Anda di halaman 1dari 33

Sesudah Singasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290 M,

Singasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai
Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke
Singasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singasari yang terakhir menolak
untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan
memotong telinganya.

Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293 M. Ketika
itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja,
Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang
datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan
membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan
rasa pahit dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Raden Wijaya bersekutu dengan
pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang
sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara
kalang-kabut karena mereka berada di teritori asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir
mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka harus terpaksa menunggu
enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu pada tanggal 10 November 1293 M. Ia dinobatkan
dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi beberapa masalah dalam
negeri. Orang-orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi
memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Slamet Muljana
menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua
orang terpercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun
setelah kematian pemberontak terakhir yaitu Kuti, Halayudha ditangkap dan dipenjara, lalu
dihukum mati.

Gambar: Candi Bajang Ratu, salah satu peninggalan kerajaan Majapahit

A. PENINGGALAN SEJARAH
Hanya terdapat sedikit bukti fisik sisa-sisa Majapahit, dan sejarahnya tidak jelas. Sumber utama
yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton (kitab raja-raja) dalam bahasa Kawi dan
Nagarakertagama dalam bahasa Jawa Kuno. Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri
Kerajaan Singasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya
Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa
keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu, hal yang terjadi
tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan
sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain. Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut
dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan
mitos. Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan
masa lalu, tetapi memiliki arti supranatural dalam hal dapat mengetahui masa depan. Namun
demikian, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut
dapat diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa
dan keadaan kerajaan yang tampak cukup pasti.
B. RAJA-RAJA MAJAPAHIT
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 M - 1309 M)
Raden Wijaya merupakan pendiri kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahannya, Raden
Wijaya dibantu oleh mereka yang turut berjasa dalam merintis berdirinya Kerajaan Majapahit.
Aryawiraraja yang sangat besar jasanya diberi kekuasaan atas sebelah Timur meliputi daerah
Lumajang, Blambangan. Raden Wijaya memerintah dengan sangat baik dan bijaksana.

2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 M - 1328 M)


Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara, adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia digelari Kala
Gemet, yang berarti 'penjahat lemah'. Pada Masa pemerintahannnya ditandai dengan
pemberontakan-pemberontakan. Misalnya pemberontakan Ranggalawe 1231 Saka,
pemberontakan Lembu Sora 1233 Saka, pemberontakan Juru Demung 1235 Saka,
pemberontakan Gajah Biru 1236 Saka, Pemberontakan Nambi, Lasem, Semi, Kuti dengan
peristiwa Bandaderga. Pemberontakan Kuti adalah pemberontakan yang berbahaya, hampir
meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Namun pada akhirnya semua itu dapat diatasi. Pada tahun
1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya
menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi
pendeta wanita. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk
menjadi ratu Majapahit.

3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 M - 1350 M)


Raja Jayanegara meninggal tanpa meninggalkan seorang putrapun, oleh karena itu yang
seharusnya menjadi raja adalah Gayatri, tetapi karena ia telah menjadi seorang Bhiksu maka
digantikan oleh putrinya Bhre Kahuripan dengan gelar Tribuwana Tunggadewi, yang dibantu
oleh suaminya yang bernama Kartawardhana. Pada tahun 1331 M, timbul pemberontakan yang
dilakukan oleh daerah Sadeng dan Keta (Besuki). Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh
Gajah Mada yang pada saat itu menjabat Patih Daha. Atas jasanya ini Gajah Mada diangkat
sebagai Mahapatih Kerajaan Majapahit menggantikan Pu Naga. Gajah Mada kemudian berusaha
menunjukkan kesetiaannya, ia bercita-cita menyatukan wilayah Nusantara yang dibantu oleh
Mpu Nala dan Adityawarman. Pada tahun 1339 M, Gajah Mada bersumpah tidak makan Palapa
sebelum wilayah Nusantara bersatu. Sumpahnya itu dikenal dengan Sumpah Palapa, adapun isi
dari amukti palapa adalah sebagai berikut: 'Lamun luwas kalah nusantara isum amakti palapa,
lamun kalah ring Gurun, ring Seram, ring Sunda, ring Palembang, ring Tumasik, samana sun
amukti palapa'. Kemudian Gajah Mada melakukan penaklukan-penaklukan. Selama kekuasaan
Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di daerah tersebut.
Tribhuwana menguasai Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350 M. Ia diteruskan
oleh putranya, Hayam Wuruk

4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 M - 1389 M)


Hayam Wuruk naik tahta pada usia yang sangat muda yaitu 16 tahun. Ia bergelar Rajasanegara.
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk yang didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada,
Majapahit mencapai keemasannya. Berdasarkan Kitab Negerakertagama dapat diketahui bahwa
daerah kekuasaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, hampir sama luasnya dengan wilayah
Indonesia yang sekarang, bahkan pengaruh kerajaan Majapahit sampai ke negara-negara
tetangga. Satu-satunya daerah yang tidak tunduk kepada kekuasaaan Majapahit adalah kerajaan
Sunda yang saat itu dibawah kekuasaan Sri Baduga Maharaja. Hayam Wuruk bermaksud
mengambil putri Sunda untuk dijadikan permaisurinya. Setelah putri Sunda, Diah Pitaloka, serta
ayahnya Sri Baduga Maharaja bersama para pembesar Sunda berada di Bubat, Gajah Mada
melakukan tipu muslihat, Gajah Mada tidak mau perkawinan Hayam Wuruk dengan putri Sunda
dilangsungkan begitu saja. Ia menghendaki agar putri Sunda dipersembahkan kepada Majapahit
sebagai upeti. Maka terjadilah perselisihan paham dan akhirnya terjadinya perang Bubat. Banyak
korban dikedua belah pihak, Sri Baduga gugur, putri Sunda pun akhirnya bunuh diri.

Tahun 1364 M Gajah Mada meninggal, Kerajaan Majapahit kehilangan seorang mahapatih yang
tak ada duanya. Untuk memilih penggantinya bukan suatu pekerjaan yang mudah. Dewan
Saptaprabu yang sudah beberapa kali mengadakan sidang untuk memilih pengganti Gajah Mada
akhirnya memutuskan bahwa Patih Hamungkubhumi Gajah Mada tidak akan diganti. Untuk
mengisi kekosongan dalam pelaksanaan pemerintahan diangkat Mpu Tandi sebagai
Wridhamantri, Mpu Nala sebagai menteri Amancanegara dan patih dami sebagai Yuamentri.
Sementara itu Raja Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389 M.

5. Wikramawardhana (1389 - 1429)


Putri mahkota Kusumawardhani yang naik tahta menggantikan ayahnya bersuamikan
Wikramawardhana. Dalam prakteknya Wikramawardhanalah yang menjalankan roda
pemerintahan. Sedangkan Bhre Wirabhumi anak Hayam Wuruk dari selir, karena Bhre
Wirabhumi (Putri Hayam Wuruk) dari selir maka ia tidak berhak menduduki tahta kerajaan
walaupun demikian ia masih diberi kekuasaan untuk memerintah di Bagian Timur Majapahit ,
yaitu daerah Blambangan. Perebutan kekuasaan antara Wikramawardhana dengan Bhre
Wirabhumi disebut perang Paregreg. Wikramawardhana meninggal tahun 1429 M.

Gambar: Candi Wringin Lawang, salah satu peninggalan kerajaan Majapahit

C. KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI DAN KEBUDAYAAN


Hubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tentangga itu sangat mendukung dalam
bidang perekonomian terutama dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Wilayah kerajaan
Majapahit terdiri atas pulau dan daerah kepulauan yang menghasilkan berbagai sumber barang
dagangan. Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan,
ikan, cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana.

Dalam dunia perdagangan, kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting.
Sebagai kerajaan produsen, Majapahit mempunyai wilayah yang sangat luas dengan kondisi
tanah yang sangat subur. Banyaknya daerah subur tersebut menjadikan kerajaan Majapahit
menjadi produsen barang dagangan. Sementara itu sebagai kerajaan perantara, Kerajaan
Majapahit membawa hasil bumi dari daerah yang satu ke daerah yang lainnya. Keadaan
masyarakat yang teratur mendukung terciptanya karya-karya budaya yang bermutu. Bukti-bukti
perkembangan kebudayaan di kerajaan Majapahit dapat diketahui melalui peninggalan-
peninggalan berikut ini:

Candi: Antara lain candi Penataran (Blitar), Candi Tegowangi dan Candi Tikus (Trowulan).

Gambar: Candi Penataran


Gambar: Candi Tegowangi

Gambar: Candi Tikus

Sastra: Hasil sastra zaman Majapahit dapat kita bedakan menjadi:


Sastra Zaman Majapahit Awal

 Kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca


 Kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular
 Kitab Arjunawiwaha, karangan Mpu Tantular
 Kitab Kunjarakarna
 Kitab Parhayajna
 Sastra Zaman Majapahit Akhir

Hasil sastra zaman Majapahit akhir ditulis dalam bahasa Jawa, diantaranya ada yang
ditulis dalam bentuk tembang (kidung) dan yang ditulis dalam bentuk gancaran (prosa).
Hasil sastra terpenting antara lain:

 Kitab Prapanca, isinya menceritakan raja-raja Singasari dan Majapahit


 Kitab Sundayana, isinya tentang peristiwa Bubat
 Kitab Sarandaka, isinya tentang pemberontakan sora
 Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe
 Panjiwijayakrama, isinya menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai menjadi raja
 Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan
Aryadamar, pemindahan Keraton Majapahit ke Gelgel dan penumpasan raja
raksasa bernama Maya Denawa
 Kitab Usana Bali, isinya tentanng kekacauan di Pulau Bali

Selain kitab-kitab tersebut masih ada lagi kitab sastra yang penting pada zaman Majapahit akhir
seperti Kitab Paman Cangah, Tantu Pagelaran, Calon Arang, Korawasrama, Babhulisah, Tantri
Kamandaka dan Pancatantra.
D. PUNCAK KEJAYAAN MAJAPAHIT
Zaman keemasan Kerajaan Majapahit dimulai sejak diangkatnya Hayam Wuruk, anak Tribhuana
Wijayatunggadewi sebagai penguasa Majapahit pada tahun 1350 M. Tribhuana
Wijayatunggadewi meletakkan kekuasaannya sebagai ratu tepat setelah ibunya meninggal.
Hayam Wuruk, dikenal pula sebagai Rajasanagara, menguasai Majapahit sejak 1350 M – 1389
M. Pada tahun-tahun inilah, Majapahit berada dalam puncak keemasannya. Kesuksesan ini
dicapai berkat bantuan patih agung Majapahit, Gajah Mada. Gajah Mada melakukan penaklukan
ke berbagai wilayah di Nusantara. Penaklukan ini melalui upaya militer dan diplomatik. Upaya
seperti pernikahan antarkeluarga raja pun menjadi jalan untuk melakukan aliansi dengan
kerajaan-kerajaan kecil.

Gambar: Wilayah Kekuasaan Majapahit

Berdasarkan kitab Negrakretagama, wilayah Majapahit pada masa Gajah Mada adalah beberapa
kerajaan di Sumatra dan Semenanjung Melayu, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku,
Papua, dan sebagian pulau di Filipina.
Dibawah patih Gajah Mada Majapahit banyak menaklukkan daerah lain. Dengan semangat
persatuan yang dimilikinya, dan membuatkan Sumpah Palapa yang berbunyi 'Ia tidak akan
makan buah palapa sebelum berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara'. Mpu Prapanca
dalam bukunya Negarakertagama menceritakan tentang zaman gemilang kerajaan di masa
Hayam Wuruk dan juga silsilah raja sebelumnya tahun 1364 Gajah Mada meninggal disusun oleh
Hayam Wuruk di tahun 1389 dan kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran.

Gambar: Candi Brahu, salah satu peninggalan kerajaan Majapahit

E. KEMUNDURAN MAJAPAHIT
Majapahit kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada meletusnya Perang
Paragreg tahun 1401 M - 1406 M merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan daerah
bawahan mulai melepaskan diri. Setelah kematian Hayam Wuruk pada 1389 M. Terjadi
kekacauan dan perpecahan di dalam keluarga kerajaan. Hal ini dipicu oleh perebutan kekuasaan
antara putri mahkota Kusumawardhani yang menikahi Pangeran Wirakramawardhana dengan
anak Hayam Wuruk dari pernikahan sebelumnya, yaitu Bhre Wirabhumi. Bhre Wirabhumi yang
telah diberi kekuasaan sebagai penguasa daerah (Bupati) di Blambangan. Akan tetapi ternyata
Bhre Wirabumi menuntut takhta Majapahit. Shingga terjadilah Perang Paregreg (Perang Saudara)
pada tahun 1405 M – 1406 M. Wirakramawardhana menang, sedangkan Bhre Wirabhumi
ditangkap. Perang saudara tersebut mengakibatkan lemahnya kekuasaan Majapahit. Selain itu,
kekuatan Majapahit mulai tersaingi oleh Kesultanan Malaka yang mulai mengenggam kendali
terhadap Selat Malaka. Tahun keruntuhan Majapahit terjadi sekitar 1487 M (atau tahun 1400
Saka) atau 1527 M, ketika Kesultanan Demak yang dipimpin Raden Patah merebut Daha yang
dijadikan ibu kota Majapahit oleh Ranawijaya.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Majapahit antara lain sebagai berikut:

1. Tidak ada lagi tokoh-tokoh yang kuat di pusat pemerintahan yang dapat mempertahankan
kesatuan wilayah sepeninggal Gajah Mada dan Hayam Wuruk.
2. Terjadinya perang paregreg (perang saudara).
3. Banyak daerah-daerah jajahan yang melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit.
4. Masuk dan berkembangnya agama Islam.

Setelah mengalami kemunduran, akhirnya Majapahit runtuh. Dalam hal ini ada dua pendapat:

1. Tahun 1478, yakni adanya serangan Girindrawardana dari Kediri. Peristiwa tersebut
diberi candrasengkala 'Hilang Sirna Kertaning Bhumi' yang berarti tahun 1400 Saka /
1478 M.
2. Tahun 1526, yakni adanya serangan tentara dari Demak di bawah pimpinan Raden Patah.
Serangan Demak ini menandai berakhirnya kekuasaan Hindu di Jawa.

1. Candi Bajang Ratu

Candi Bajangratu terletah di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, sekitar 3,5 km dari Candi Wringinlawang dan sekitar 600 m dari Candi Tikus. Candi
ini masih menyimpan banyak hal yang belum diketahui secara pasti, baik mengenai tahun
pembuatannya, raja yang memerintahkan pembangunannya, fungsinya, maupun segi-segi
lainnya.

Nama Bajangratu pertama kali disebut dalam Oudheidkunding Verslag (OV) tahun 1915.
Arkeolog Sri Soeyatmi Satari menduga nama Bajangratu ada hubungannya dengan Raja
Jayanegara dari Majapahit, karena kata ‘bajang’ berarti kerdil. Menurut Kitab Pararaton dan
cerita rakyat, Jayanegara dinobatkan tatkala masih berusia bajang atau masih kecil, sehingga
gelar Ratu Bajang atau Bajangratu melekat padanya.

Mengenai fungsi candi, diperkirakan bahwa Candi Bajangratu didirikan untuk menghormati
Jayanegara. Dasar perkiraan ini adalah adanya relief Sri Tanjung di bagian kaki gapura yang
menggambarkan cerita peruwatan. Relief yang memuat cerita peruwatan ditemukan juga, antara
lain, di Candi Surawana. Candi Surawana diduga dibangun sehubungan dengan wafatnya Bhre
Wengker (akhir abad ke-7).

Dalam Kitab Pararaton dijelaskan bahwa Jayanegara wafat tahun 1328 (‘sira ta dhinar meng
Kapopongan, bhiseka ring csrenggapura pratista ring Antarawulan’). Disebutkan juga bahwa
Raja Jayanegara, yang kembali ke alam Wisnu (wafat) pada tahun 1328, dibuatkan tempat
sucinya di dalam kedaton, dibuatkan arcanya dalam bentuk Wisnu di Shila Petak dan Bubat, serta
dibuatkan arcanya dalam bentuk Amoghasidhi di Sukalila. Menurut Krom, Csrenggapura dalam
Pararaton sama dengan Antarasasi (Antarawulan) dalam Negarakertagama, sehingga dapat
disimpulkan bahwa ‘dharma’ (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan alias
Csrenggapura alias Crirangga Pura alias Antarawulan, yang kini disebut Trowulan. Arca
perwujudan sang raja dalam bentuk Wisnu juga terdapat di Bubat (Trowulan). Hanya lokasi Shila
Petak (Selapethak) yang belum diketahui.

Di samping pendapat di atas, ada pendapat lain mengenai fungsi Candi Bajangratu. Mengingat
bentuknya yang merupakan gapura paduraksa atau gapura beratap dengan tangga naik dan turun,
Bajangratu diduga merupakan salah satu pintu gerbang Keraton Majapahit. Perkiraan ini
didukung oleh letaknya yang tidak jauh dari lokasi bekas istana Majapahit.

Bajang ratu diperkirakan didirikan antara abad ke-13 dan ke-14, mengingat: 1) Prakiraan
fungsinya sebagai candi peruwatan Prabu Jayanegara yang wafat tahun 1328 M ; 2) Bentuk
gapura yang mirip dengan candi berangka tahun di Panataran Blitar; 3) Relief penghias bingkai
pintu yang mirip dengan relief Ramayana di Candi Panataran; 4) Bentuk relief naga yang
menunjukkan pengaruh Dinasti Yuan. J.L.A. Brandes memperkirakan bahwa Bajangratu
dibangun pada masa yang sama dengan pembangunan Candi Jago di Tumpang, Malang, ditilik
dari adanya relief singa yang mengapit sisi kiri dan kanan kepala Kala, yang juga terdapat di
Candi Jago. Candi Jago sendiri diperkirakan dibangun pada abad ke-13.

Bagian dalam candi membentuk lorong yang membujur dari barat ke timur. Anak tangga dan
lantai lorong terbuat dari batu. Bagian dalam atap candi juga terbuat dari balok batu yang disusun
membujur utara-selatan, membentuk ruang yang menyempit di bagian atas.
Atap candi berbentuk meru (gunung), mirip limas bersusun, dengan puncak persegi. Setiap
lapisan dihiasi dengan ukiran dengan pola limas terbalik dan pola tanaman. Pada bagian tengah
lapis ke-3 terdapat relief matahari, yang konon merupakan simbol kerajaan Majapahit. Walaupun
candi ini menghadap timur-barat, namun bentuk dan hiasan di sisi utara dan selatan dibuat mirip
dengan kedua sisi lainnya. Di sisi utara dan selatan dibuat relung yang menyerupai bentuk pintu.
Di bagian atas tubuh candi terdapat ukiran kepala garuda dan matahari diapit naga.

Candi Bajang ratu telah mengalami pemugaran pada zaman Belanda, namun tidak didapatkan
data mengenai kapan tepatnya pemugaran tersebut dilaksanakan. Perbaikan yang telah dilakukan
mencakup penguatan pada bagian sudut dengan cara mengisikan adonan pengeras ke dalam nat-
nat yang renggang dan mengganti balok-balok kayu dengan semen cor. Beberapa batu yang
hilang dari susunan anak tangga anak tangga juga sudah diganti.

2. CANDI BRAHU

Candi Brahu terletak di Pedukuhan Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur. Tepat di depan kantor Suaka Peninggalan Sejarah
dan Purbakala Jawa Timur yang terletak di jalan raya Mojokerto – Jombang, terdapat jalan masuk
ke arah utara yang agak sempit. Candi Brahu terletak di sisi kanan jalan kecil tersebut, sekitar 1,8
km dari jalan raya. Denah bangunan bujur sangkar dan arah hadapnya ke barat dengan azimuth
227°. Ukuran bangunan : tinggi 25,7 m, serta lebar 20,7 m.

a. STRUKTUR BANGUNAN CANDI BRAHU

Struktur bangunan Candi Brahu terdiri dari kaki candi, tubuh candi dan atap candi. Kaki candi
terdiri dari bingkai bawah, tubuh candi serta bingkai atas.Bingkai tersebut terdiri dari pelipit rata,
sisi genta dan setengah lingkaran.Dari penelitian yang terdapat pada kaki candi diketahui terdapat
susunan bata yang strukturnya terpisah, diduga sebagai kaki candi yang dibangun pada masa
sebelumnya.Ukuran kaki candi lama ini 17 x 17 m. Dengan demikian struktur kaki yang sekarang
merupakan tambahan dari bangunan sebelumnya. Kaki Candi Brahu terdiri dari dua tingkat
dengan selasarnya serta tangga di sisi barat yang belum diketahui bentuknya dengan jelas. Bagian
tubuh Candi Brahu sebagian merupakan susunan bata baru yang dipasang pada masa
pemerintahan Belanda.
Bentuk tubuh Candi Brahu tidak tegas persegi, melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk.
Bagian tengah tubuh candi melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas
dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga
tidak berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak
datar. Candi Brahu dibangun dari bata yang direkatkan satu sama lain dengan sistem gosok.
Sebagai bahan perbandingan, ciri-ciri candi Jawa Timur adalah bentuk bangunannya ramping,
atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncaknya berbentuk kubus, makara tidak ada, dan
pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala kala, reliefnya timbul sedikit
saja dan lukisanya simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di belakang halaman,
kebanyakan menghadap ke barat, sebagian besar terbuat dari batu bata merah. Penggunaan batu
bata merah disebabkan karena faktor lingkungan yang kurang mendukung dengan tidak adanya
batu andesit seperti yang digunakan pada candi-candi di Jawa Tengah.

Denah Candi Brahu berukuran 10 x 10,5 m dengan tinggi 9,6 m. Di dalamnya terdapat bilik
berukuran 4×4 m, namun kondisi lantainya telah rusak. Pada waktu pembongkaran struktur bata
pada bilik ini ditemukan sisa – sisa arang yang kemudian dianalisa di Pusat Penelitian Tenaga
Atom Nasional (BATAN) di Yogyakarta.Hasil analisa menunjukkan bahwa pertanggalan radio
karbon arang Candi Brahu berasal dari masa antara tahun 1410 hingga 1646 masehi.

Atap Candi Brahu tingginya kurang lebih 6 m. Pada sudut tenggara atap terdapat sisa hiasan
berdenah lingkaran yang diduga sebagai bentuk stupa. Berdasarkan gaya bangunan serta profil
sisa hiasan yang berdenah lingkaran pada atap candi yang diduga sebagai bentuk stupa, para ahli
menduga bahwa Candi Brahu bersifat Budhis. Selain itu diperkirakan Candi Brahu umurnya lebih
tua dibandingkan dengan candi-candi yang ada di situs Trowulan. Dasar dugaan ini adalah
prasasti tembaga Alasantan yang ditemukan tidak jauh dari Candi Brahu, kira-kira sekitar 45 m di
sebelah barat Candi Brahu. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Mpu Sindok pada tahun 861
Saka 939 M, di antara isinya menyebutkan nama sebuah bangunan suci yaitu Waharu atau
Warahu. Nama istilah inilah yang diduga sebagai asal nama Candi Brahu sekarang. Candi Brahu
dipugar pada tahun 1990/1991 sampai dengan 1994/1995.

Dari reliefnya, candi ini adalah gambaran sinkretisme keagamaan antara agama Hindu dan agama
Budha, dan dengan gambaran sinkretisme tersebut, hingga saat ini pemeliharaan Candi Brahu
dilakukan oleh kedua agama tersebut. Awalnya candi ini berfungsi sebagai tempat pembakaran
raja-raja Majapahit, namun asumsi tersebut tidak terbukti karena tidak ditemukannya sisa–sisa
abu pembakaran jenazah. Berbeda dengan ritual pemujaan pada situs pemujaan lainnya, di sini
aktifitas tersebut dilakukan hanya dengan cara meletakkan sesaji pada bagian depan dan pintu
candi yang menghadap ke arah barat.

Meskipun tidak terbukti, menurut masyarakat sekitar Candi Brahu, candi ini dahulunya berfungsi
sebagai tempat pembakaran jenasah dari Raja Brawijaya I sampai IV. Akan tetapi, hasil
penelitian yang dilakukan terhadap Candi Brahu tersebut tidak menunjukkan adanya bekas-bekas
abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong. Candi Brahu tidak berdiri sendiri,
disekitarnya terdapat beberapa bangunan candi-candi lain, yaitu candi Gentong. Candi Gentong
berjarak kurang lebih sekitar 360m dari Candi Brahu. Dan candi-candi lainnya ialah Candi
Gedong dan Candi Tengah yang sekarang sudah tidak nampak lagi. Di sekitar Candi Brahu
pernah ditemukan benda-benda kuno, antara lain :
1. Benda-benda semisal perhiasan dari emas dan perak.
2. 6 buah arca yang bersifat agama Budha.
3. Piring perak yang bagian bawah bertuliskan tulisan kuno.
4. 4 lempeng prasati tembaga pada masa Raja Mpu Sindok.

b. SEJARAH CANDI BRAHU

Candi Brahu merupakan salah satu candi yang ada dalam lingkungan situs Trowulan Kerajaan
Majapahit. Candi Brahu sudah ada sebelum masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk bahkan
diperkirakan juga sudah ada sebelum masa Raja Brawijaya I. Dapat dikatakan bahwa Candi
Brahu merupakan candi yang paling tua dibandingkan dengan candi-candi lainnya yang ada di
daerah situs Trowulan. Candi Brahu didirikan oleh Mpu Sindok yang sebelumnya ia merupakan
raja dari Kerajaan Mataram Kuno yang ada di Jawa Tengah. Hal ini dijelaskan dari nama Brahu
dihubungkan diperkirakan berasal dari kata ‘Wanaru’ atau ‘Warahu’, yaitu nama sebuah
bangunan suci keagamaan yang disebutkan di dalam prasasti tembaga ‘Alasantan’ yang
ditemukan kira-kira 45 meter disebelah barat Candi Brahu. Prasasti ini dibuat pada tahun 861
Saka atau, tepatnya, 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Dari
penuturan prasasti itu dijelaskan bahwa Candi Brahu yang didirikan oleh masa Mpu Sindok ialah
candi yang usianya lebih tua dibanding candi-candi lain bahkan lebih tua dari Kerajaan
Majapahit. Pada masa Kerajaan Majapahit, Candi Brahu digunakan sebagai tempat
persembayangan atau merupakan bangunan suci yang digunakan untuk berdoa.Hal ini dapat
dilihat dari temuan-temuan yang berada di candi tersebut seperti beberapa benda yang kerap
menjadi alat-alat upacara keagamaan seperti alat-alat upacara dari logam.

Menurut beberapa penelitian, Candi Brahu dinyatakan sebagai candi agama Budha. Anggapan ini
muncul karena candi Brahu memiliki stupa yang kerapnya menjadi ciri-ciri bagi candi agama
Budha. Selain itu bentuk dari Candi Brahu yang lebih berbeda dibanding candi-candi lain di situs
Trowulan Kerajaan Majapahit, bentuk tubuh Candi Brahu tidak tegas persegi melainkan bersudut
banyak, tumpul dan berlekuk. Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang.
Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding
depan candi.

Atap candi juga tidak berbentuk berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut
banyak dengan puncak datar, hal tersebut memunculkan anggapan bahwa Candi Brahu didirikan
bukan pada masa kerajaan Majapahit, melainkan merupakan bangunan candi yang dibangun
sebelum Kerajaan Majapahit. Selain itu anggapan lain yang menerangkan bahwa Candi Brahu
merupakan candi agama Budha ialah penemuan beberapa benda-benda kuno. Disekitar kompleks
candi Brahu pernah ditemukan benda-benda kuno, antara lain alat upacara dari logam, perhiasan
dan benda-benda dari emas, dan arca-arca logam di mana hal tersebut menunjukkan adanya cirri-
ciri agama Budha. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa candi Brahu merupakan
candi Budha .

c. KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT SEKITAR CANDI

Pemukiman terpencar-pencar di lembah-lembah sungai ataupun pegunungan-pegunungan.


Tempat-tempat tersebut masih sedikit penduduknya,maka banyak masyarakat-masyarakat desa
yang memiliki hutan dan tanah persawahan yang luas.Tanah yang dimiliki oleh para rakyat
kebanyakan atau golongan bangsawan biasa atau golongan bangsawan agama. Dari situlah
tumbuh masyarakat seperti masyarakat lingkungan yang meninggali wilayah yang berdekatan
dengan bangunan suci seperti candi yang terdapat golongan agamawan yang disekelilingnya
masyarakat sekitanya bekerja sebagai tani.

Kehidupan sosial masyarakat sekitar Candi Brahu pada waktu itu kurang lebih sama seperti
daerah kehidupan sosial masyarakat sekitar peninggalan candi yang lainnya di situs Trowulan.
Kehidupan masyarakat sekitar Candi Brahu tak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat pada
perkembangan kerajaan Majapahit, walau Candi Brahu dimungkinkan berdiri sebelum Kerajaan
Majapahit itu sendiri. Masyarakat di sekitar Candi Brahu sangat menginternal sekali, di dalam
diri mereka kebudayaan serta keahlian para leluhurnya sangatlahdihargai dan mereka terus
lestarikan sesuai tradisi yang ada. Dengan adanya regenerisasi kebudayaan tersebut
mencerminkan bahwa masyarakat sekitar Candi Brahu sangat menghargai,menghormati, peduli
serta menjunjung tinggi terhadap kebudayaan leluhur mereka.

Sebagai lingkungan candi yang dipergunakan sebagai tempat keagamaan, lingkungan sekitar
Candi Brahu menjadi lingkungan yang menumbuhkan masyarakat yang sadar betul akan
kehidupan beragama. Di lingkungan Candi Brahu ada pula lingkungan kaum agama yang biasa
hidup berkelompok di sekitar bangunan agama, seperti mandala, dharma, sima, wihara dan
sebagainya.Pada umumnya mandala memperoleh kebebasan yang luas.Mereka dinyatakan bebas
dari pembayaran pajak dan hanya diwajibkan membayar beberapa yang memang sudah
lazim.Mereka berada dibawah kekuasaaan pendeta tertinggi, bebas dari campur tangan raja dan
bebas dari kewajiban pemilik tanah sekuler. Sama seperti halnya Candi Brahu yang dinyatakan
sebagai tempat pendarmaan raja Brawijaya yang jelas merupakan bangunan suci keagaaman dan
tentunya mendapat asuhan dari para pendeta yang berada di mandala.Hal itu membuktikan bahwa
adanya lingkungan yang ditempati kaum agamawan.

Ada pula kehidupan yang di bagi-bagi sesuai golongan menurut pekerjaan dari penduduk desa,
seperti golongan keluarga tani bebas (rama) dan anggota komunitas biasa (dapur) yang diperintah
oleh para pengetua(buyut). Dapur ialah bentuk kelompok masyarakat asli yang tertua dan
penduduknya ialah apa yang dinamakan kulina, yaitu para masyarakat dari keluarga petani kuno,
penduduk asli daerah dan anak keturunan cikal-bakal desa. Mereka merupakan penduduk asli
desa.

Kebanyakan profesi masyarakat desa ialah menjadi petani yang dimana petani terbagi menjadi
beberapa golongan diantaranya petani yang menggarap tanah sendiri atau milik tuan tanah atau
dan buruh tani. Didaerah kaum agamawan, para bangsawan menyuruh budak-budak untuk
mengolah tanah mereka dan memungut panennya, sebagian pengolahan tanah dan panen
diserahkan kepada pekerja dari masyarakat desa yang ada didekatnya, dan juga para kaum
agamawan.Para pekerja itu dibayar dengan sebagian dari hasil panen yang ditetapkan menurut
adat.

2. CANDI TIKUS

3.

Terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Dari Candi Bajangratu ke arah
tenggara sekitar 500 m. Candi Tikus adalah sebuah candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang
terletak di kompleks Trowulan, Kabupaten Mojokerto, di Trowulan. Bangunan Candi Tikus
berupa tempat ritual mandi (petirtaan) di kompleks pusat pemerintahan Majapahit. Bangunan
utamanya terdiri dari dua tingkat. Candi Tikus diperkirakan dibangun pada abad ke-13 atau abad
ke-14. Candi ini dihubungkan dengan keterangan Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakretagama,
bahwa ada tempat untuk mandi raja dan upacara-upacara tertentu yang dilaksanakan di kolam-
kolamnya. Arsitektur bangunan melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat
bersemayamnya para dewa. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru merupakan tempat
sumber air Tirta Amerta atau air kehidupan, yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dan
dapat memberikan kesejahteraan, dari mitos air yang mengalir di Candi Tikus dianggap
bersumber dari Gunung Mahameru.

Candi ini disebut Candi Tikus karena sewaktu ditemukan merupakan tempat bersarangnya tikus
yang memangsa padi petani. Di tengah Candi Tikus terdapat miniatur empat buah candi kecil
yang dianggap melambangkan Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber
segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran/jaladwara
yang terdapat di sepanjang kaki candi. Air ini dianggap sebagai air suci amrta, yaitu sumber
segala kehidupan. Situs candi ini digali pada tahun 1914 atas perintah Bupati
MojokertoKromodjojo Adinegoro. Karena banyak dijumpai tikus pada sekitar reruntuhannya,
situs ini kemudian dinamai Candi Tikus. Candi Tikus baru dipugar pada tahun 1985-1989. Dulu,
ada petani dari Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto gelisah karena serbuan tikus
sawah. Hasil tani yang biasanya cukup untuk menghidupi seluruh anggota keluarga, kini nyaris
tak tersisa. Tak tahan menghadapi serbuan tikus, ia memohon pada Sang Pencipta. Suatu malam,
Si Petani mendapat wisik (wangsit,) agar mengambil air di kawasan Candi Tikus lalu
menyiramkan air itu ke empat sudut sawah.
Sebuah keajaiban terjadi. Tikus-tikus yang biasanya kerap beraksi di malam hari hilang begitu
saja. Tanah sawah juga mendadak jadi subur. Si Petani tak kuasa menahan kegembiraannya dan
bercerita pada warga desa.

Beberapa saat kemudian, ada saudagar kaya mendengar kabar tentang khasiat air Candi Tikus.
Dengan rakus, ia mencari jalan pintas untuk menambah kekayaannya. Suatu malam, ia mencuri
batu candi dan meletakkannya di sudut-sudut sawah. Lagi-lagi sebuah kejaiban terjadi.

Tapi kali ini, tikus-tikus malah datang dan menghabisi padi di sawah. Fenomena ini membuat
warga desa sadar, bahwa mereka tak bisa berharap lebih. “Kami hanya bisa memanfaatkan air di
Candi Tikus, tapi bukan batu-batu candi,” kata mereka. Dan mitos ini, ternyata masih dipercaya
hingga kini.

Di sisi lain, ada mitos lain yang berkembang kebalikannya. Pada tahun 1914, candi ini ditemukan
oleh Bupati Mojokerto, RAA Kromojoyo Adinegoro. Sebelumnya, ia mendengar keluh kesah
warga Desa Temon yang kalang kabut karena serbuan hama tikus di sawah mereka. Tanpa pikir
panjang, Kromojoyo memerintah aparat desa agar memobilisasi massa dan menyatakan perang
pada tikus. Anehnya, saat terjadi pengejaran, tikus-tikus itu selalu lari dan masuk dalam lobang
dalam sebuah gundukan besar.

Karena ingin membersihkan tikus sampai habis, Kromojoyo memilnta agar gundukan itu
dibongkar. Ternyata, di dalam gundukan terdapat sebuah candi. Melihat sejarah penemuannya,
Kromojoyo memberi nama Candi Tikus.

Memasuki masa kemerdekaan, Candi Tikus yang mulai rusak dipugar setahap demi setahap.
Puncaknya, Candi Tikus dipugar pada tahun 1984 hingga 1989. Tentu, pemugaran ini dilakukan
dengan ekstra hati-hati agar tak berseberangan dengan tampilan asli. Kini, masyarakat bisa
melihat Candi Tikus sebagai aset wisata sejarah yang kaya sentuhan estetika.

Secara keseluruhan, candi ini lebih mirip dengan petirtaan. Bangunannya dibangun di atas tanah
yang lebih rendah 3,5 meter dari tanah di sekitarnya. Untuk mendekati candi, kita harus melewati
tangga masuk di sisi utara. Dari situ, kita bisa melihat candi berukuran 29,5X28,25 meter dan
tinggi keseluruhan 5,2 meter ini dari dekat.
Sampai sekarang, Candi Tikus masih sering dijadikan ajang penelitian ahli purbakala dari dalam
dan luar negeri. Kebanyakan, mereka ingin merangkai fakta sekaligus antitesis sebuah teori yang
menyebut, semua bangunan yang berasal dari masa pengaruh agama Hindu – Budha abad 5-15 M
adalah candi. Padahal, bangunan-bangunan itu tak selalu berfungsi sebagai sarana pemujaan.

Sebagai bangunan berkarakter khas, Candi Tikus adalah icon yang berseberangan dengan teori
itu. Karena Candi Tikus memiliki pancuran dan saluran air yang konon berperan besar sebagai
pengatur debit air di Majapahit. Di luar itu, Candi Tikus juga memiliki daya tarik yang tak bisa
lepas dari rangkaian situs Majapahit yang tersebar di Trowulan.

Candi Tikus merupakan salah satu bangunan yang mempunyai nilai eksotisme tersendiri. Selain
memiliki arsitektur yang cukup unik dengan ornamen pada bangunan induk yang dihiasi
pancuran air berbentuk makara dan padma, candi tersebut juga memiliki dua kolam dan saluran-
saluran air yang mengandung struktur petirtaan. Adanya pancuran air di Candi Tikus (jaladwara)
yang berbentuk makara dan padma, makara merupakan perubahan bentuk tunas-tunas yang
keluar dari bonggol teratai, sedangkan padma merupakan teratai itu sendiri.

Secara keseluruhan candi itu dapat dikategorikan sebagai bangunan petirtaan. Mengenai
keterangan akar kronologis tentang Candi Tikus dapat dikaitkan dengan uraian dalam kitab
Nagarakartagama yang ditulis oleh Prapanca (1385 M). Dalam kitab tersebut pada pupuh 27 dan
29 menyebutkan adanya tempat pemandian (petirtaan) raja yang dikunjungi Hayam Wuruk dan
keterangan yang menyebutkan adanya upacara-upacara tertentu yang dirayakan di kolam-kolam.

Meskipun dalam kitab tersebut Prapanca tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai nama
Candi Tikus, namun diyakini oleh sebagian besar pengamat situs kebudayaan purbakala, salah
satu tempat pemandian yang dimaksudkan dalam kitab Nagarakartagama adalah Candi Tikus,
terkait dengan letak bangunan yang masih berada di kawasan Kerajaan Majapahit.

Di sisi lain, menara-menara (bangunan miniatur yang mengelilingi bangunan induk) merupakan
bagian terpenting dari gubahan arsitektur abad ke XIII-XIV. Secara tidak langsung bangunan
candi itu dapat diyakini didirikan pada abad ke XIII-XIV, premis ini semakin memperuncing
kebenaran bahwa yang dimaksud dalam kitab Nagarakartagama mengenai petirtaan yang
dikunjungi oleh Hayam Wuruk dan kolam-kolam yang dijadikan sebagai tempat untuk
mengadakan prosesi upacara-upacara tertentu, salah satunya adalah Candi Tikus.

Meskipun Candi Tikus sempat tenggelam dari panggung sejarah dan kembali tampil sekitar 1914,
setelah diadakan penggalian terhadap tanah yang menutupinya dan adanya beberapa kerusakan
fisik yang hampir menyusutkan eksotisme bangunan tersebut.

Namun autentisitas nilai dan kandungan filosofis yang terdapat dalam keutuhan candi itu hingga
dewasa ini masih mampu terlestarikan dengan baik.

Simbolis Gunung Meru

Menurut Bernet Kempers (1954:210), Candi Tikus merupakan replika atau simbolis Gunung
Meru. Hal itu terkait dengan konsep religi yang melatarbelakangi bangunan candi, di samping itu
model bangunan Candi Tikus yang makin ke atas makin mengecil dan pada bangunan induk
seakan-akan terdapat puncak utama yang dikelilingi oleh delapan puncak yang lebih kecil,
menurut Bernet, model tersebut ada kemiripan tersendiri dengan bentuk utuh Gunung Meru.

Secara mitologi, Gunung Meru selalu dihubungkan dengan air kehidupan yang dipercaya
mempunyai kekuatan magis dalam memberi kekuatan pada semua makhluk hidup. Kepercayaan
ini lahir dari konsep Hindu-Buddha yang meyakini gunung tersebut sebagai pusat kehidupan,
yang kemudian termanefestasikan dalam bentuk bangunan candi, pemahaman itu hingga dewasa
ini masih dikultuskan oleh segenap masyarakat tradisionalis.

Perpaduan konsep Hindu-Buddha dalam bangunan Candi Tikus yang sudah kadung mendarah
daging membentuk pola pemikiran dan perilaku masyarakat Jawa. Secara teoritis sebenarnya
masyarakat berhasil membangun tempat pemujaan merupakan suatu kebanggaan tersendiri
karena tempat tersebut dipercaya sebagai sarana untuk bersua dengan Sang Penciptanya atau
sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan yang diyakininya.

Lahirnya kebanggaan tersebut secara tidak langsung merupakan percikan dari rasa cinta manusia
terhadap zat yang menciptakannya, jangan heran jika kemudian Candi Tikus juga dipersepsikan
sebagai salah satu petirtaan tempat diadakannya prosesi upacara-upacara tertentu sebab selain
sebagai petirtaan, candi itu juga memilik dimensi religi yang sangat kental tergambar dalam
model bangunannya.

Berpijak pada akar kronologis dibangunnya ragam candi pada masa pemerintahan Kerajaan
Majapahit, tidak lepas dari pengaruh sosial-kultural masyarakat Jawa yang pada waktu itu masih
kebanyakan menganut paham Hindu-Buddha sehingga pasca kepemerintahan Kerajaan Majapahit
banyak ditemukan situs purbakala yang berbentuk candi.

Pada dasarnya salah satu unsur terbentuknya candi yang mempunyai replika atau simbolis
tersendiri semisal Candi Tikus sebagai lambang Gunung Meru, pertama, guna memberi dukungan
emosional dan moral. Kedua sebagai sarana memperkukuh hubungan transendental. Ketiga
mengeramatkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat setempat. Keempat memberi identitas
pada individu dan kelompok. Kelima, erat hubungannya dengan siklus pertumbuhan (life cycle)
Sederhananya,

Candi Tikus yang terletak lebih rendah dari permukaan tanah di sekitarnya, yaitu pada kedalaman
sekitar 3,50 m atau sekitar 46,78 m dari permukaan laut, secara umum bangunan ini berdenah
bujur sangkar dengan ukuran 22,50 x 22,50 m, apabila dipahami dari konsep yang
melatarbelakangi perwujudan bangunan dikaitkan dengan ciri yang ada pada candi tersebut, akan
menunjukkan tujuan pembangunan candi itu adalah untuk melambangkan air amrta yang keluar
dari gunung.

Simbol-simbol semacam itu sebenarnya mempertegas manusia merupakan makhluk yang penuh
dengan lambang, baginya realitas lebih dari sekadar tumpukan fakta-fakta. Ada semacam
simbiosis-mutualisme antara makhluk hidup dengan alam yang ada di sekitarnya karena pada
dasarnya setiap makhluk hidup sangat dipengaruhi lingkungan sekitar yang menghidupi
keberadaan dirinya.

Konsep semacam ini dapat ditemukan dalam konsep triloka yang dibangun dari kepercayaan
agama Hindu-Buddha dengan menempatkan semesta pada dua versi antara jagad gedhe
(makrokosmos) dan jagat cilik (mikro-kosmos). Penempatan Candi Tikus sebagai simbol
keagungan Gunung Meru, secara tidak langsung telah menisbahkan adanya suatu keterkaitan
yang erat antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya.

Keyakinan semacam itu sebenarnya tumbuh dari pembacaan awal manusia terhadap gejala alam
dengan menggunakan logika dasar. Namun, tidak bisa dinafikan pembacaan semacam itu yang
termanefestasikan dalam model bangunan Candi Tikus merupakan salah satu pijakan yang
membantu terbentuknya pola pemikiran manusia masyarakat Jawa tradisionalis dan peletak
pertama dasar-dasar pemikiran masyarakat Jawa secara general.
Lahirnya premis yang mengatakan mempelajari maupun berusaha mengenali peninggalan-
peninggalan purbakala secara implisit merupakan bentuk lain dari belajar mengenali keberadaan
diri sendiri. Di satu sisi premis tersebut tidak bisa dibantah kebenarannya karena pada dasarnya
peninggalan purbakala selain memiliki momen sejarah yang teramat penting untuk senantiasa
diketahui para penerusnya guna menegaskan eksistensinya sebagai masyarakat Jawa.

Di sisi lain, peninggalan purbakala juga menampung beberapa kandungan makna filosofis yang
teramat penting untuk dipelajari oleh para generasi muda masyarakat Jawa. Berpijak pada UU No
5/1992, tentang Benda Cagar Budaya Pasal 2 yang berbunyi, perlindungan benda cagar budaya
dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional
Indonesia.

Maka sudah selayaknya pelestarian terhadap peninggalan purbakala seperti Candi Tikus yang
terletak di daerah Trowulan, tepatnya di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan,
Mojokerto semakin digalakkan. Menziarahi Candi Tikus secara tidak langsung membuka diri
untuk memasuki dimensi lain tempat para leluhur masyarakat Jawa melalukan prosesi ritual
penyerahan diri terhadap Sang Pencitanya.

Candi Tikus, Pengatur Debit Air Majapahit

Sudah bukan rahasia lagi bila mendengar nama candi. Benak kita lantas tertuju pada suatu
bangunan (terbuat dari batu atau bata merah) yang berasal dari masa silam yang berfungsi
sebagai sarana pemujaan. Ini tidak keliru, karena memang candi berfungsi sebagai sarana untuk
melakukan suatu ritual pemujaan.

Namun di Indonesia, tampaknya ada semacam pandangan yang menyatakan bahwa segala
bangunan yang berasal dari masa pengaruh agama Hindu – Budha (abad V – XV M) sering
disebut segabagai candi. Padahal, bangunan-bangunan itu belum tentu berfungsi sebagai sarana
pemujaan. Salah satu contoh dalam bangunan kuno yang sudah terlanjur disebut candi adalah
candi Tikus di Jawa Timur.

Sejak ditemukan pertama kalinya pada tahun 1914, kemudian sampai dilakukan pemugaran
sekitar tahun 1983 – 1986, candi Tikus yang secara administratif terletak di dukuh Dinuk, Desa
Temon, Kecamatan Trowulan, Kbaupaten Mojokerto, Jawa Timur, telah banyak mengundang
perhatian para pakar sejarah kuno dan arkeologi.

Betapa tidak! Letaknya yang berada dibawah permukaan tanah (sekitar 3,5 meter) dengan
beberapa pancuran air dan saluran-saluran air serta mengingat lokasinya yang berada di Trowulan
(yang diduga kuat merupakan bekas ibukota kerajaan Majapahit), telah mengusik perhatian para
pakar untuk menentukan makna dan fungsi dari bangunan itu, baik dari segi arsitektural naupun
ditinjau dari segi religius.

Dua Tahap Pembangunan

Secara pasti, tidak diketahui kapan candi Tikus ini didirikan karena tidak adanya sumber sejarah
yang memberitakan tentang pendirian candi Tikus ini.

Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 M (yang telah diakui
oleh para pakar sebagai suatu sumber sejarah yang cukup lengkap memuat tentang kerajaan
Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk), tidak disebutkan tentang
eksistensi candi Tikus ini.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa serangkaian penelitian yang ditujukan guna mencari
dan menentukan saat dibangunnya candi Tikus ini lantas manjadi tidak bisa dilaksanakan.
Setidaknya, berdasarkan kajian arsitektural, diperoleh gambaran perbedaan dalam hal
penggunaan bahan baku candi, yaitu bata merah.

Adanya perbedaan penggunaan bata merah (baik perbedaan kualitas maupun kuantitasnya),
memberikan indikasi tentang tahapan pembangunan candi Tikus. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh para arkeolog, terbukti bahwa bata merah yang berukuran lebih besar berusia
lebih tua dibandingkan dengan bata merah yang berukuran lebih kecil.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama masa berdiri dan berfungsinya, candi Tikus
pernah mengalami dua tahap pembangunan. Pembangunan tahap pertama dilakukan dengan
mempergunakan batu bata merah yang berukuran lebih besar sebagai bahan bakunya, sedangkan
pembangunan tahap kedua dilakukan dengan mempergunakan bata merah yang berukuran lebih
kecil.

Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh N.J. Krom lewat buku “sakti”-nya yang
berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II (Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan
memperhatikan bahan dan gaya seni dari saluran air, pakar sejarah kesenian Jawa kuno
berkebangsaan Belanda itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.

Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan bentuknya yang kaku.
Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu andesit dan memperlihatkan bentuknya
yang lebih dinamis serta dibuat pada masa keemasan Majapahit. Ini berarti pula bahwa menurut
Krom, candi Tikus telah berdiri sebelum kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya,
yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 – 1380).

Sementara itu, ketika dilakukan pemugaran pada tahun 1984/1985, berhasil disingkap sisi
tenggara bangunan candi Tikus. Kaki bangunan yang terdapat di sisi tersebut, menunjukan
perbedaan ukuran bata merah yang dipergunakan sebagai bahan bakunya. Hal ini semakin
memperkuat dugaan mengenai dua tahap pembangunan candi tersebut. Kaki bangunan tahap
pertama yang tersusun dari bata merah yang berukuran besar, tampak ditutup oleh kaki bangunan
tahap kedua yang tersusun dari bata merah yang berukuran lebih kecil. Kapan secara pasti
pembangunan tahap pertama dan kedua ini dilakukan, belum jelas benar.

Menurut catatan hasil penelitian yang telah dilakukan H. Maclaine Pont pada tahun 1926,
setidaknya terdapat 18 buah waduk besar yang diduga kuat dibangun pada masa Majapahit
(letaknya kini tersebar diseluruh kabupaten Mojokerto, Jawa Timur). Dari 18 buah waduk besar
itu 4 buah diantaranya terletak di daerah Trowulan. Yaitu di Desa Baureno, Kumitir, Domas dan
Temon. Waduk-waduk besar ini berfungsi sebagai tempat penampungan air pertama untuk
selanjutnya dialirkan ke tempat-tempat lain.

Dari ke-empat waduk besar yang terletak di daerah Trowulan, waduk Baureno diduga merupakan
sumber dari air yang masuk ke candi Tikus. Untuk selanjutnya air dari candi Tikus ini
didistribusikan ka arah kota. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh alm. Didiek Samsu
W.T. selama tahun 1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-rata dari pancuran-pancuran air di
candi Tikus adalah 17.604.915 cm/******* “Berdasarkan perhitungan ini, dapat diperkirakan
bahwa candi Tikus pada masa itu memiliki peranan yang cukup penting dalam sistem jaringan air
di daerah Trowulan,” tulis arkeolog ini dalam skripsinya.

Lebih lanjut, alm. Didiek menyatakan bahwa air candi Tikus juga bisa dijadikan patokan musim
kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau, debit air rata-rata setiap pancuran
pancuran lebih kurang 400 cm/******* Sedangkan jika lantai dasar candi Tikus mulai tergenang
dan pancuran air memancarkan air lebih jauh, dapat diartikan bahwa musim hujan telah
menjelang. Ini berarti pula bahwa pada musim hujan debit air di candi Tikus akan naik, sehingga
bisa jadi patokan untuk membuka atau menutup pintu air di waduk atau bendungan.

Memiliki Kekuatan Magis

Tanpa usaha yang telah dilakukan oleh H. Maclaine Pont, barangkali nama Trowulan tidak akan
mencuat ke permukaan dalam panggung sejarah Indonesia. Dialah yang pertama kali menyatakan
bahwa Trowulan merupakan bekas Ibukota kerajaan Majapahit. Dengan bersumber pada kitap
Nagarakertagama, Maclaine Pont berhasil merekonstruksi (bina ulang) ibukota kerajaan
Majapahit. Dari peta kota hasil rekonstruksi Maclaine Pont pada tahun 1926 tersebut, tampak
bahwa candi Tikus terletak di luar kota Majapahit.
Sejak zaman Prasejarah, air memang memiliki peranan penting dalam kehidupan spiritual
manusia. Air dipercaya memiliki daya magis utnuk membersihkan, mensucikan dan
menyuburkan. Tak heran, bila kemudian air yang keluar dari candi Tikus juga dipercaya memiliki
kekuatan magis untuk memenuhi harapan rakyat agar hasil pertanian mereka berlipat ganda dan
terhindar dari kesulitan-kesulitan yang merugikan.

PENINGGALAN SISA SISA SENI KERAJINAN TANGAN


KERAJAAN MAJAPAHIT

Dimas Indranata /120731435995/34/A/DDA/2012

Benda benda Terakota


Istilah terakota berasal dari akar kata terra-cotta (bahasa Italia) yaitu produk dari
pembakaran tanah liat sehingga berwarna merah kecoklatan, kadang-kadang dilapikilap dan
berwarna.Produk ini dapat digunakan untuk bangunan sebagai media ekspresi.Terakota dapat
diartikan sebagai benda-benda yang dibuat dari tanah liat atau tembikar yang dilapisi lasir, dibuat
dr tanah liat yang dibakar sehingga warnanya merah kecokelat-cokelatan (digunakan sbg benda
hias atau pelapis lantai): artefak dan terdapat dalam peti kubur.
Jejak sejarah kerajaan Majapahit tersebar pada tinggalan-tinggalannya yang ditemukan di
Mojokerto, Jawa Timur.Ada banyak artefak yang dapat menjelaskan banyak hal termasuk
mengenai kehidupan ekonomi masyarakat.Terakota, misalnya, atau kerajinan tanah liat era
Majapahit.Seni Terakota adalah satu karakter budaya pada masa Majapahit yang cukup terkenal
dan banyak diketemukan.Di trowulan dan sekitarnya telah ditemukan banyak artefak terakota
dalam berbagai bentuk dan ukuran unsur bangunan (bata, genteng, jobong sumur, pipa saluran),
wadah (periuk, pasu, kendi, tempayan, boneka, vas bunga), ritus religi (sesaji, meterai), dan alat
kebutuhan praktis lainnya seperti timbangan, dan lampu (clupak).

Foto benda benda terakota peninggalen kerajaan Majapahit

Sebagian besar terakota ini diduga merupakan buatan setempat karena ditemukan alat produksinya
yang berupa pelandas.Selain terakota, di Situs Trowulan banyak ditemukan juga berbagai benda
yang terbuat dari bahan logam dan batu seperti genta, guci amerta dan arca, yang telah memiliki
nilai seni yang cukup tinggi.Dilihat dari dimensi bentuk, berbagai karya terakota seperti tersebut
menunjukkan bahwa teknologi tanah sudah sangat maju karaena mereka sudaj mengenal berbagai
teknik pembuatan seperti teknik cetak (casting), teknik roda putar (whell made), teknik tatap
pelandas (paddle-alvil) dan teknik tangan (hand-made).

Pada era Majapahit pengetahuan tentang pembuatan barang-barang dari tanah liat bakar
diduga dapat diuraikan dengan prinsip yang sangat sederhana, yaitu membuat bentuk atau model
dari tanah liat, mengeringkan di bawah sinar matahari, dan membakarnya dalam api. Walaupun
prinsipnya sederhana, berdasarkan pengamatan dapat diketahui, bahwa hasil kesenian terakota
dalam berbagai bentuk tersebut tidak mempunyai cacat bawaan yang diakibatkan kurangnya
pengetahuan dalam proses pembuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa si pembuat benda seni
tersebut.Di dalam prasasti dan kitab-kitab kesastraan, para pembuat gerabah disebut ‘andyun’.
Selain bahan dari tanah liat, juaga ada bahan laian seperti bambu, ijuk, dan dari tanaman lain yang
digunakan untuk bahan artefak. Di dalam prasati dikenal: anganamanam(anayam-anyaman),
magawai payung (tukang membuat payung).Di Trowulan juga banyak ditemukan miniatur
bangunan terakota, terdiri dari aneka bentuk miniatur ini ada yang menggambarkan bangunan suci
(candi) dan ada yang menggambarkan berbagai bentuk bangunan rumah. Dilihat dari bentuk
atapnya bangunan rurmah ada yang beratap tajuk, kampung, limasan, dan gonjong.Penutup atap
ada yang terbuat dari genteng, sirap, bambu, dan ijuk atau rumbia.Bangunan yang ada dapat
dibedakan menjadi bangunan terbuka tanpa dinding serta bangunan yang tertutup.

Foto celengan babi peninggalan kerajaan Majapahit

Salah satu temuan terakota dari Situs Trowulan adalah arca binatang yang bagiannya
berongga sehingga arca itu nampak sangat gemuk dan digambarkan dengan posisi duduk; pada
bagian punggungnya diberi lubang sempit memanjang, Bentuk arca seperti ini mengingatkan
kepada ‘celengan’ sebagai tempat/wadah menabung uang. Selain arca binatang, ‘celengan’ terakota
lainnya ada yang berbentuk bulatan biasa seperti ‘bola’ dengan diberi pegangan pada bagian atas
dan sedikit hiasan.Dalam perkembangannya istilah celengan (babi-babian) yang berasal dari kata
celeng, atau babi hutan tidak hanya digunakan untuk menyebut kotak uang dalam bentuk babi,
tetapi juga untuk kotak uang dalam bentuk yang lain. Sejauh ini kotak uang yang ada sebagian
besar berbentuk babi yang terbesar berukuran lebih kurang 45 cm dan tingginya 31 cm. Selain itu
terdapat sebuah contoh kotak uang berbentuk induk babi yang dikelilingi oleh 4 ekor anaknya.
Sampai sekarang di Jawa Timur istilah yang dipakai untuk menyebut kotak uang yang berbentuk
babi adalah celengan.Wujud celengan hewan bukanlah tanpa makna.Ini bentuk ekspresif manusia
yang menganggap sejumlah binatang menandai simbol tertentu.Wujud babi diyakini sebagai
bentuk kemakmuran.

Artefak Terakota
Artefak atau artifact merupakan benda arkeologi atau peningalan benda-benda bersejarah,
yaitu semua benda yang dibuat atau dimodifikasi oleh manusia yang dapat dipindahkan.Contoh
artefak adalah alat-alat batu, logam dan tulang, gerabah, prasasti lempeng dan kertas, senjata-
senjata logam (anak panah, mata panah, dll), terracotta dan tanduk binatang.barang yang bersejarah
ini sangatlah penting untuk diletakkan di museum sehingga semua orang dapat melihat dan
mempelajarinya.
Artefak dalam arkeologi mengandung pengertian benda (atau bahan alam) yang jelas dibuat
oleh (tangan) manusia atau jelas menampakkan (observable) adanya jejak-jejak buatan manusia
padanya (bukan benda alamiah semata) melalui teknologi pengurangan maupun teknologi
penambahan pada benda alam tersebut.Ciri penting dalam konsep artefak adalah bahwa benda ini
dapat bergerak atau dapat dipindahkan (movable) oleh tangan manusia dengan mudah (relatif)
tanpa merusak atau menghancurkan bentuknya. Banyak artefak terakota yang ditemukan di
Trowulan diantaranya sebagai berikut:

1. Wadah
Banyak wadah dalam berbagai ukuran dan bentuk ditemukan di Trowulan.Wadah mungkin
digunakan untuk berbagai tujuan, dari wadah air sampai wadah gabah.Ada wadah air berbentuk
kotak dan Kendi khas, bejana dengan leher bulat dan tinggi dengan payudara-seperti cerat berasal
dari periode Majapahit.

2.Kepala
Kepala kecil banyak ditemukan di sekitar Trrowulan. Dari berbagai ukuran dari 3 cm
sampai 10cm. Banyak dari kepala menunjukkan fitur Jawa dengan gaya rambut dan perhiasan
telinga. Untuk sebagian besar kepala dibuat solid, tetapi kadang-kadang contoh berdinding tipis
yang ditemukan.Hal ini mendalilkan bahwa wajah yang banyak hiasan mewakili wanita kelas atas.

3. Figur
Umumnya patung-patung dengan ukuran kecil, dibuat dengan metode kumparan dan
mencubit dengan dekorasi ukiran atau gores, metode pembentukan yang mirip patung-patung lain
yang dibuat dengan pencetakan..Berbagai dari patung ini berekspresi tak terbatas dengan sikap dan
ekspresi alami.

4. Hewan
Salah satu tokoh terkenal hewan terakota Majapahit Majapahit adalah Celengan, Kata
Celengan sebenarnya berasal dari Nama binatang Celeng (Babi), karena bentuk Celengan memang
banyak yang berbentuk Celeng ditemukan di Trowulan. Tokoh hewan lain juga ditemukan, seperti
banteng Nandi dan gajah

5. Relief
Ukiran batu bata telah ditemukan di daerah tersebut.Adegan ini menunjukkan dari
kehidupan sehari-hari dan penggambaran cerita agama atau sastra.Teknik konstruksi yang mirip
dengan relief batu berukir yang terlihat pada candi Borobudur.Untuk sebagian besar batu bata
ditemukan terpisah dan dalam perbaikan yang minim, tetapi urutannya sesekali telah ditemukan.
Sering angka-angka dalam panel digambarkan dalam gaya Jawa Timur, dimana tubuh penuh
frontal, wajah tiga perempat dan kaki berada dalam profil.

6. Tujuan Lain
Orang-orang Majapahit memanfaatkan metode gerabah terakota untuk memproduksi
berbagai objek untuk kebutuhan sehari-hari.Di antaranya; atap, lantai ubin, clupak (lampu), jobong
sumur, ritus religi dan pipa.Beberapa terakota model miniatur arsitektur dan ornamen arsitektur
juga ditemukan.

Karya-karya tersebut semakin menjelaskan bahwa spesifikasi pekerjaan berdasarkan


kompetisi telah berjalan dengan baik. Secara konsptual-teoreitis, suatu inovasi teknolgi akan bias
terwujud manakala ada aspek kepandaian (genius), aspek kebutuhan (need), aspek kesempatan
(opportunity), dan aspek sumber bahan (resources). Aspek kepandaian dan keterampilan saja tidak
menjamin terjadinya inovasi jika masyarakat yang bersangkutan tidak merasa memerlukan atau
membutuhkan. Demikian pula, ketersediaan sumber bahan juga belum menjamin terjadinya
inovasi jika masyarakat tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan , tidak merasa memerlukan.

Artefak Logam
Artefak logam pada masa majapahit cukup beragam pula, seperti arca perunggu, darpana
perunggu (cermin), dipa perunggu (lampu minyak), alat-alat musik perunggu atau gamelan,
nampan perunggu, keris besi, alat-alat pertanaian besi, artefak perhiasan (emas dan perunggu,
prasasti tembaga. Keberagaman jenis bahan tersebut memenag sudah dinyatakan di sumber lain
khususnya di dalam sumber tertulis prasasti, bahwa untuk mencukupi kebutuhan alat perlengkapan
didalam kehidupan keagamaan maupun kehidupan domestic sudah ada masing-masing tukang
yang disebut pande. Berdasarka pengamatan arteaktual, pengetahuan tentang metalurgi sudah
dikuasai dengan perkembangan ketika itu.Mereka para pande logam telah mengenal logam dengan
baik, logam tunggal dan logam paduan.Teknik pembuatan benda logam tampak telah dikuasai
sesuai dengan kompetensinya masing-masing.Pada prinsipnya, teknik pengerjaan untuk artefak
logam adalah teknik cetak dan teknik tempa.
Pembuatan dekorasi untuk artefak tembaga dan perunggu dapat dilakukan dengan beberapa
teknik yaitu: repouse, chasing, engraving, overlying, flushing. Teknik repouse adalah pembuatan
dekorasi dengan penempaan dari sisi belakang sehingga menimbulkan hiasan seperti
relief.Penempaan dilakukan secara hati-hati dan perlahan.Teknik tersebut juga dapat dilakukan
dengan penempaan bagian permukaan yang disebut chasing.Kedua macam teknik tersebut tidak
meninggalkan goresan seperti halnya pada teknik engraving. Teknik overlying dilakukan dengan
menempelkan logam lain pada artefak logam yang akan dihias kemudian dipukul-pukul sampai
menempel. Teknik flushing dilakukan dengan melapisi permukaan artefak denagn lempengan
logam menggunakan sodir.

Manfaat sisa-sisa peninggalan pada masa kini


Dari uraian singkat yang dipaparkan dimuka, warisan budaya kerajaan Mejapahit masih
memilki niai relevansi tinggi bagi kehidupan masa kini. Karya budaya memiliki tiga macam
manfaat yaitu: Ideologis, edukatif dan ekonomis. Nilai ideologis bermakna bahwa warisan budaya
Majapahit bagi masyarakat masa kinimerupakan sebuah kebanggaan.Di dalam warisan budaya
terdapat nilai-nilai luhur.Nilai ekonomis adalah bahwa warisan budaya Majapahit pada masa kini
dapat dimanfaatkan untuk kepeningan ekonomimelalui sector pariwisata. Nilai edukatif adalah
bahwa di dalam warisan budaya terdapat pesan-pesan edukatif, karena sebuah karya seni pada
hakikatnya mengandung pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
Pesan-pesan semua warisan yang telah diuraikan di depan menisyaratkan bahwa nilai nilai
yang terkandung di dalam kerajaan Majapahit masih bermanfaat untuk kehidupan masa kini:

1. Persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara


2. Rasa saling menghormati sesame umat beragama
3. Ketaatan dalam hukum
4. Perdamaian dan kedamaian dalam mengerjakan kehidupan bermasyarakat
5. Ketahanan budaya yang tangguh dalam menghadapi pengaruh budaya asing
6. Peran kebudayaan lokal yang kuat.

Sejarah Terbentuknya Kerajaan Majapahit


Pada saat terjadi serangan Jayakatwang, Raden Wijaya bertugas menghadang bagian utara,
ternyata serangan yang lebih besar justru dilancarkan dari selatan. Maka ketika Raden Wijaya
kembali ke Istana, ia melihat Istana Kerajaan Singasari hampir habis dilalap api dan mendengar
Kertanegara telah terbunuh bersama pembesar-pembesar lainnya. Akhirnya ia melarikan diri
bersama sisa-sisa tentaranya yang masih setia dan dibantu penduduk desa Kugagu. Setelah
merasa aman ia pergi ke Madura meminta perlindungan dari Aryawiraraja. Berkat bantuannya ia
berhasil menduduki tahta, dengan menghadiahkan daerah tarik kepada Raden Wijaya sebagai
daerah kekuasaannya. Ketika tentara Mongol datang ke Jawa dengan dipimpin Shih-Pi, Ike-Mise,
dan Kau Hsing dengan tujuan menghukum Kertanegara, maka Raden Wijaya memanfaatkan
situasi itu untuk bekerja sama menyerang Jayakatwang. Setelah Jayakatwang terbunuh, tentara
Mongol berpesta pora merayakan kemenanganya. Kesempatan itu pula dimanfaatkan oleh Raden
Wijaya untuk berbalik melawan tentara Mongol, sehingga tentara Mongol terusir dari Jawa dan
pulang ke negrinya. Maka tahun 1293 Raden Wijaya naik tahta dan bergelar Sri Kertajasa
Jayawardhana.

Raja-raja Majapahit

 Kertajasa Jawardhana (1293 – 1309)

Merupakan pendiri kerajaan Majapahit, pada masa pemerintahannya, Raden Wijaya dibantu oleh
mereka yang turut berjasa dalam merintis berdirinya Kerajaan Majapahit, Aryawiraraja yang
sangat besar jasanya diberi kekuasaan atas sebelah Timur meliputi daerah Lumajang,
Blambangan. Raden Wijaya memerintah dengan sangat baik dan bijaksana. Susunan
pemerintahannya tidak berbeda dengan susunan pemerintahan Kerajaan Singasari.

 Raja Jayanegara (1309-1328)

Kala Gemet naik tahta menggantikan ayahnya dengan gelar Sri Jayanegara. Pada Masa
pemerintahannnya ditandai dengan pemberontakan-pemberontakan. Misalnya pemberontakan
Ranggalawe 1231 saka, pemberontakan Lembu Sora 1233 saka, pemberontakan Juru Demung
1235 saka, pemberontakan Gajah Biru 1236 saka, Pemberontakan Nambi, Lasem, Semi, Kuti
dengan peristiwa Bandaderga. Pemberontakan Kuti adalah pemberontakan yang berbahaya,
hampir meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Namun semua itu dapat diatasi. Raja Jayanegara
dibunuh oleh tabibnya sendiri yang bernama Tanca. Tanca akhirnya dibunuh pula oleh Gajah
Mada.

 Tribuwana Tunggadewi (1328 – 1350)

Raja Jayanegara meninggal tanpa meninggalkan seorang putrapun, oleh karena itu yang
seharusnya menjadi raja adalah Gayatri, tetapi karena ia telah menjadi seorang Bhiksu maka
digantikan oleh putrinya Bhre Kahuripan dengan gelar Tribuwana Tunggadewi, yang dibantu
oleh suaminya yang bernama Kartawardhana. Pada tahun 1331 timbul pemberontakan yang
dilakukan oleh daerah Sadeng dan Keta (Besuki). Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh
Gajah Mada yang pada saat itu menjabat Patih Daha. Atas jasanya ini Gajah Mada diangkat
sebagai Mahapatih Kerajaan Majapahit menggantikan Pu Naga. Gajah Mada kemudian berusaha
menunjukkan kesetiaannya, ia bercita-cita menyatukan wilayah Nusantara yang dibantu oleh
Mpu Nala dan Adityawarman. Pada tahun 1339, Gajah Mada bersumpah tidak makan Palapa
sebelum wilayah Nusantara bersatu. Sumpahnya itu dikenal dengan Sumpah Palapa, adapun isi
dari amukti palapa adalah sebagai berikut :”Lamun luwas kalah nusantara isum amakti palapa,
lamun kalah ring Gurun, ring Seram, ring Sunda, ring Palembang, ring Tumasik, samana sun
amukti palapa”. Kemudian Gajah Mada melakukan penaklukan-penaklukan.

 Hayam Wuruk

Hayam Wuruk naik tahta pada usia yang sangat muda yaitu 16 tahun dan bergelar Rajasanegara.
Di masa pemerintahan Hayam Wuruk yang didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Majapahit
mencapai keemasannya. Dari Kitab Negerakertagama dapat diketahui bahwa daerah kekuasaan
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, hampir sama luasnya dengan wilayah Indonesia yang
sekarang, bahkan pengaruh kerajaan Majapahit sampai ke negara-negara tettangga. Satu-satunya
daerah yang tidak tunduk kepada kekuasaaan Majapahit adalah kerajaan Sunda yang saat itu
dibawah kekuasaan Sri baduga Maharaja. Hayam Wuruk bermaksud mengambil putri Sunda
untuk dijadikan permaisurinya. Setelah putri Sunda (Diah Pitaloka) serta ayahnya Sri Baduga
Maharaja bersama para pembesar Sunda berada di Bubat, Gajah Mada melakukan tipu muslihat,
Gajah Mada tidak mau perkawinan Hayam Wuruk dengan putri Sunda dilangsungkan begitu saja.
Ia menghendaki agar putri Sunda dipersembahkan kepada Majapahit (sebagai upeti). Maka
terjadilah perselisihan paham dan akhirnya terjadinya perang Bubat. Banyak korban dikedua
belah pihak, Sri Baduga gugur, putri Sunda bunuh diri.
Tahun 1364 Gajah Mada meninggal, Kerajaan Majapahit kehilangan seorang mahapatih yang tak
ada duanya. Untuk memilih penggantinya bukan suatu pekerjaan yang mudah. Dewan Saptaprabu
yang sudah beberapa kali mengadakan sidang untuk memilih pengganti Gajah Mada akhirnya
memutuskan bahwa Patih Hamungkubhumi Gajah Mada tidak akan diganti “untuk mengisi
kekosongan dalam pelaksanaan pemerintahan diangkat Mpu Tandi sebagais Wridhamantri, Mpu
Nala sebagai menteri Amancanegara dan patih dami sebagai Yuamentri. Raja Hayam Wuruk
meninggal pada tahun 1389.

 Wikramawardhana

Putri mahkota Kusumawardhani yang naik tahta menggantikan ayahnya bersuamikan


Wikramawardhana. Dalam prakteknya Wikramawardhanalah yang menjalankan roda
pemerintahan. Sedangkan Bhre Wirabhumi anak Hayam Wuruk dari selir, karena Bhre
Wirabhumi (Putri Hayam Wuruk) dari selir maka ia tidak berhak menduduki tahta kerajaan
walaupun demikian ia masih diberi kekuasaan untuk memerintah di Bagian Timur Majapahit ,
yaitu daerah Blambangan. Perebutan kekuasaan antara Wikramawardhana dengan Bhre
Wirabhumi disebut perang Paregreg.
Wikramawardhana meninggal tahun 1429, pemerintahan raja-raja berikutnya berturut-turut
adalah Suhita, Kertawijaya, Rajasa Wardhana, Purwawisesa dan Brawijaya V, yang tidak luput
ditandai perebutan kekuasaan.
Sumber Sejarah berdirinya Kerajaan Majaahit
Sumber sejarah mengenai berdiri dan berkembangnya kerajaan Majapahit berasal dari berbagai
sumber yakni :
Prasasti Butok (1244 tahun). Prasasti ini dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah ia berhasil naik
tahta kerajaan. Prasasti ini memuat peristiwa keruntuhan kerajaan Singasari dan perjuangan
Raden Wijaya untuk mendirikan kerajaan
Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama, kedua kidung ini menceritakan Raden
Wijaya ketika menghadapi musuh dari kediri dan tahun-tahun awal perkembangan Majapahit
Kitab Pararaton, menceritakan tentang pemerintahan raja-raja Singasari dan Majapahit
Kitab Negarakertagama, menceritakan tentang perjalanan Rajam Hayam Wuruk ke Jawa Timur.
Kehidupan Politik
Majapahit selalu menjalankan politik bertetangga yang baik dengan kerajaan asing, seperti
Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa dan Kamboja. Hal itu terbukti sekitar tahun 1370 –
1381, Majapahit telah beberapa kali mengirim utusan persahabatan ke Cina. Hal itu diketahui dari
berita kronik Cina dari Dinasti Ming.
Raja kerajaan Majapahit sebagai negarawan ulung juga sebagai politikus-politikus yang handal.
Hal ini dibuktikan oleh Raden Wiajaya, Hayam Wuruk, dan Maha Patih Gajahmada dalam
usahanya mewujudkan kerajaan besar, tangguh dan berwibawa. Struktur pemerintahan di pusat
pemerintahan Majapahit :
1. Raja
2. Yuaraja atau Kumaraja (Raja Muda)
3. Rakryan Mahamantri Katrini
a. Mahamantri i-hino
b. Mahamantri i –hulu
c. Mahamantri i-sirikan
4. Rakryan Mahamantri ri Pakirakiran
a. Rakryan Mahapatih (Panglima/Hamangkubhumi)
b. Rakryan Tumenggung (panglima Kerajaan)
c. Rakryan Demung (Pengatur Rumah Tangga Kerajaan)
d. Rakryan Kemuruhan (Penghubung dan tugas-tugas protokoler) dan
e. Rakryan Rangga (Pembantu Panglima)
5. Dharmadyaka yang diduduki oleh 2 orang, masing-masing dharmadyaka dibantu oleh sejumlah
pejabat keagamaan yang disebut Upapat. Pada masa hayam Wuruk ada 7 Upapati.
Selain pejabat-pejabat yang telah disebutkan dibawah raja ada sejumlah raja daerah (paduka
bharata) yang masing-masing memerintah suatu daerah. Disamping raja-raja daerah adapula
pejabat-pejabat sipil maupun militer. Dari susunan pemerintahannya kita dapat melihat bahwa
sistem pemerintahan dan kehidupan politik kerjaan Majapahit sudah sangat teratur.

Kehidupan Sosial Ekonomi dan Kebudayaan Kerajaan Majapahit


Hubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tentangga itu sangat mendukung dalam
bidang perekonomian (pelayaran dan perdagangan). Wilayah kerajaan Majapahit terdiri atas
pulau dan daerah kepulauan yang menghasilkan berbagai sumber barang dagangan.
Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan,
cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana.
Dalam dunia perdagangan, kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting.
Sebagai kerajaan Produsen – Majapahit mempunyai wilayah yang sangat luas dengan kondisi
tanah yang sangat subur. Dengan daerah subur itu maka kerajaan Majapahit merupakan produsen
barang dagangan.
Sebagai Kerajaan Perantara – Kerajaan Majapahit membawa hasil bumi dari daerah yang satu ke
daerah yang lainnya. Keadaan masyarakat yang teratur mendukung terciptanya karya-karya
budaya yang bermutu. bukti-bukti.perkembangan kebudayaan di kerajaan Majapahit dapat
diketahui melalui peninggalan-peninggalan berikut ini :
Candi : Antara lain candi Penataran (Blitar), Candi Tegalwangi dan candi Tikus (Trowulan).
Sastra : Hasil sastra zaman Majapahit dapat kita bedakan menjadi
Sastra Zaman Majapahit Awal
Kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca
Kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular
Kitab Arjunawiwaha, karangan Mpu Tantular
Kitab Kunjarakarna
Kitab Parhayajna
Sastra Zaman Majapahit Akhir
Hasil sastra zaman Majapahit akhir ditulis dalam bahasa Jawa Tengah, diantaranya ada yang
ditulis dalam bentuk tembang (kidung) dan yang ditulis dalam bentuk gancaran (prosa). Hasil
sastra terpenting antara lain :
Kitab Prapanca, isinya menceritakan raja-raja Singasari dan Majapahit
Kitab Sundayana, isinya tentang peristiwa Bubat
Kitab Sarandaka, isinya tentang pemberontakan sora
Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe
Panjiwijayakrama, isinya menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai menjadi raja
Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan Aryadamar,
pemindahan Keraton Majapahit ke Gelgel dan penumpasan raja raksasa bernama Maya Denawa.
Kitab Usana Bali, isinya tentanng kekacauan di Pulau Bali.
Selain kitab-kitab tersebut masih ada lagi kitab sastra yang penting pada zaman Majapahit akhir
seperti Kitab Paman Cangah, Tantu Pagelaran, Calon Arang, Korawasrama, Babhulisah, Tantri
Kamandaka dan Pancatantra.

Sejarah Runtuhnya Kerajaan Majapahit

Kehancuran Kerajaan Majapahit, yang di sertai tumbuhnya negara-negara Islam di Bumi


Nusantara, menyimpan banyak sekali fakta sejarah yang sangat menarik untuk diungkap kembali.
Sebagai kerajaan Hindu terbesar di tanah Jawa, Majapahit bukan saja menjadi romantisme
sejarah dari puncak kemajuan peradaban Hindu-Jawa, sudah menjadi bukti sejarah tentang
pergulatan politik yang terjadi di tengah islamisasi pada masa peralihan.

Keruntuhan Kerajaan Majapahit banyak mengantarkan suatu peradaban bagi orang China dalam
proses islamisasi di Nusantara. Stigma yang kecenderungan para sejarawan dalam
mengungkapkan bahwa kedatangan Islam di Indonesia lebih pada kecenderungan orang Arablah
yang berjasa sebagai penyebar Islam, sehingga tidak pernah melirik, orang China pernah andil
dalam membangun peradaban Islam.

Peristiwa keruntuhan Majapahit yang berpusat di Mojokerto diyakini terjadi tahun 1478, namun
sering diceritakan dalam berbagai versi, antara lain:

Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak. Brawijaya
mengundurkan diri dan pindah ke gunung Lawu, kemudian masuk agama Islam melalui Sunan
Kalijaga, dimana pengikut setianya yaitu Sabdapalon dan Noyogenggong sangat menentang
kepindahan agamanya.

Sehingga, dikenal adanya semacam sumpah dari Sabdopalon dan Noyogenggong, yang salah
satunya mengatakan bahwa sekitar Teori ini muncul berdasarkan penemuan Kronik Cina dari
Kuil Sam Po Kong. 500 tahun kemudian, akan tiba waktunya, hadirnya kembali agama budi,
yang kalau ditentang, akan menjadikan tanah Jawa hancur lebur luluh lantak.
Majapahit runtuh tahun 1478, ketika Girindrawardhana memisahkan diri dari Majapahit dan
menamakan dirinya sebagai raja Wilwatikta Daha Janggala Kediri. Tahun peristiwa tersebut di
tulis dalam Candrasangkala yang berbunyi “Hilang sirna kertaning bhumi”.

Kebudayaan Majapahit
Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu kota
Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.

“Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna indah” [Dalam
lingkungan dikelilingi tembok] “terdapat pendopo anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan
dalam lukisan… Kelopak bunga katangga gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap
itu bagaikan rambut gadis yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang
memandangnya”.

— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.

Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa
seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam
kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari
semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan
Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan
sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat
yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang
menikmati otonomi luas.[25]

Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar
keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja
Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa,
maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi
sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]

Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah
yang paling ahli menggunakannya[26]. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris
dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata.
Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura
Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto.

“…. Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya berpenduduk banyak,
merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada…. Raja pulau ini memiliki istana yang luar
biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas
dan perak, bahkan atapnya pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali
berperang melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil
mengalahkannya.”

— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[27]

Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit didapatkan dari
catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan dalam bukunya: “Perjalanan
Pendeta Odorico da Pordenone”. Ia mengunjungi beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa,
dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah.
Pada 1318 ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus
hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga
mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia melalui jalan
darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju Eropa pada 1330.

Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang
ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di pulau ini
terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan
istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga
menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan
berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan disini tak lain adalah Majapahit yang
dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.
[sunting] Ekonomi
Celengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi Museum Gajah,
Jakarta)
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan[15]. Pajak dan denda
dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata uang sejak abad ke-8
pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar
tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting
terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang “kepeng” yaitu keping uang tembaga
impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40
kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era
Majapahit.[28] Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam
catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya
ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang
Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran
ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.[25]

Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari
berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78
titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[25]
Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier,
mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging.
Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun
proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian semakin
meningkat pada era Majapahit.

Menurut catatan Wang Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah
lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas,
perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak,
timah putih, timah hitam, dan tembaga[29]. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan
Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana
raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. [30]

Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai Brantas dan
Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk pertanian padi. Pada
masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan
pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali
berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah
Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan
sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[25]

Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak


pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus
dikenakan pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan
pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi
pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat
lain di wilayah Majapahit di Jawa[31].
[sunting] Struktur pemerintahan
Arca dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanottunggadewi, ratu Majapahit ibunda
Hayam Wuruk.

Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak
berubah selama perkembangan sejarahnya [32]. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia
dan ia memegang otoritas politik tertinggi.
[sunting] Aparat birokrasi

Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para
putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada
pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:

Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja


Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan
Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang
bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat
pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang
disebut Bhattara Saptaprabhu.
[sunting] Pembagian wilayah

Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari[13], terdiri atas


beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa. Daerah ini diperintah oleh
uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar Bhre. Gelar ini adalah gelar tertinggi
bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah
untuk mengelola kerajaan mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan
mengelola pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.

Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di Majapahit, yang
dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian wilayah di kerajaan Majapahit
dikenal sebagai berikut:

Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja


Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)
Watek: dikelola oleh wiyasa,
Kuwu: dikelola oleh lurah,
Wanua: dikelola oleh thani,
Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.

No Provinsi Gelar Penguasa Hubungan dengan Raja


1 Kahuripan (atau Janggala, sekarang Surabaya) Bhre Kahuripan Tribhuwanatunggadewi ibu suri
2 Daha (bekas ibukota dari Kediri) Bhre Daha Rajadewi Maharajasa bibi sekaligus ibu mertua
3 Tumapel (bekas ibukota dari Singhasari) Bhre Tumapel Kertawardhana ayah
4 Wengker (sekarang Ponorogo) Bhre Wengker Wijayarajasa paman sekaligus ayah mertua
5 Matahun (sekarang Bojonegoro) Bhre Matahun Rajasawardhana suami dari Putri Lasem,
sepupu raja
6 Wirabhumi (Blambangan) Bhre Wirabhumi Bhre Wirabhumi1 anak
7 Paguhan Bhre Paguhan Singhawardhana saudara laki-laki ipar
8 Kabalan Bhre Kabalan Kusumawardhani2 anak perempuan
9 Pawanuan Bhre Pawanuan Surawardhani keponakan perempuan
10 Lasem (kota pesisir di Jawa Tengah) Bhre Lasem Rajasaduhita Indudewi sepupu
11 Pajang (sekarang Surakarta) Bhre Pajang Rajasaduhita Iswari saudara perempuan
12 Mataram (sekarang Yogyakarta) Bhre Mataram Wikramawardhana2 keponakan laku-laki

Catatan:
1 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi (blambangan), nama aslinya
tidak diketahui dan sering disebut sebagai Bhre Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan
Nagawardhani, keponakan perempuan raja.
2 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan Wikramawardhana (keponakan laki-laki raja),
pasangan ini lalu menjadi pewaris tahta.

Sedangkan dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit
dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.[33]
Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:

Daha
Jagaraga
Kabalan
Kahuripan
Keling
Kelinggapura

Kembang Jenar
Matahun
Pajang

Singhapura
Tanjungpura
Tumapel

Wengker
Wirabumi

Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan Gajah Mada,
beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran pengaruh Majapahit,
sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun terbentuk:

Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit atau Majapahit Lama
selama masa pembentukannya sebelum memasuki era kemaharajaan. Yang termasuk area ini
adalah ibukota kerajaan dan wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan
pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan semua provinsinya yang
dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang merupakan kerabat dekat raja.
Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara langsung dipengaruhi oleh
budaya Jawa, dan wajib membayar upeti tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya
memiliki penguasa atau raja pribumi, yang kemungkinan membentuk aliansi atau menikah
dengan keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat dan pegawainya
di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan luar negeri mereka dan mengumpulkan
pajak, namun mereka menikmati otonomi internal yang cukup penting. Termasuk didalamnya
daerah Pulau Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung, Lampung dan
Palembang di Sumatra.
Nusantara, adalah area yang tidak merefleksikan kebudayaan Jawa, tetapi termasuk ke dalam
koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan. Mereka menikmati otonomi yang cukup dan
kebebasan internal, dan Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau
tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat mengancam Majapahit
akan menghasilkan reaksi keras. Termasuk dalam area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di
Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.

Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan tetapi
Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai hubungan diplomatik luar
negeri:

Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti “mitra dengan tatanan (aturan) yang sama”. Hal itu
menunjukkan negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai
bawahan dalam kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing adalah
Syangkayodhyapura (Ayutthaya dari Thailand), Dharmmanagari (Kerajaan Nakhon Si
Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari (kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa,
Kamboja (Kamboja), dan Yawana (Annam).[34] Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi
Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India tidak termasuk dalam
kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini.

[sunting] Raja-raja Majapahit


Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dalam
gambar ini.[35]

Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang dirintis oleh Sri
Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa
Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana
(penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang
memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[8].
Nama Raja Gelar Tahun
Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana 1293 – 1309
Kalagamet Sri Jayanagara 1309 – 1328
Sri Gitarja Tribhuwana Wijayatunggadewi 1328 – 1350
Hayam Wuruk Sri Rajasanagara 1350 – 1389
Wikramawardhana 1389 – 1429
Suhita Dyah Ayu Kencana Wungu 1429 – 1447
Kertawijaya Brawijaya I 1447 – 1451
Rajasawardhana Brawijaya II 1451 – 1453
Purwawisesa atau Girishawardhana Brawijaya III 1456 – 1466
Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa Brawijaya IV 1466 – 1468
Bhre Kertabumi Brawijaya V 1468 – 1478
Girindrawardhana Brawijaya VI 1478 – 1498
Patih Udara 1498 – 1518
[sunting] Warisan sejarah
Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-
Dahlem, Jerman.

Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa Nusantara pada
abad-abad berikutnya.
[sunting] Legitimasi politik

Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha mendapatkan legitimasi atas
kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit. Demak menyatakan legitimasi keturunannya
melalui Kertabhumi; pendirinya, Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan
sebagai anak Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia
melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin langsung oleh Sultan
Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan lokasi ibukota Majapahit. Keraton-
keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para
rajanya dengan keluarga kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di
Jawa merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan tersebut.
Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan masyarakat Bali menganggap
diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[26]

Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat Gerakan
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada Majapahit, disamping Sriwijaya,
sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia. Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik
negara Republik Indonesia saat ini.[15] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai
Komunis Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai penjelmaan
kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[36]Sukarno juga mengangkat Majapahit untuk
kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde Baru menggunakannya untuk kepentingan
perluasan dan konsolidasi kekuasaan negara.[37] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia
modern meliputi wilayah yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.

Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen Majapahit.
Bendera kebangsaan Indonesia “Sang Merah Putih” atau kadang disebut “Dwiwarna” (“dua
warna”), berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit. Demikian pula bendera armada kapal
perang TNI Angkatan Laut berupa garis-garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit.
Semboyan nasional Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika”, dikutip dari “Kakawin Sutasoma” yang
ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit.

Anda mungkin juga menyukai