Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoseluler.
Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular,
dan regenerasi nodularis parenkim hati.1
World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan 783 000 pasien di
dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati paling banyak disebabkan oleh
penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di Indonesia sirosis hati banyak
dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan C karena penyalahgunaan alkohol lebih
jarang terjadi dibandingkan negara-negara barat. Sekitar 57%, pasien sirosis hati terinfeksi
hepatitis B atau C.South East Asia Regional Office (SEARO) tahun 2011 melaporkan sekitar
5,6 juta orang di Asia Tenggara adalah pembawa hepatitis B, sedangkan sekitar 480 000
orang pembawa hepatitis C. Di Indonesia, prevalensi hepatitis B dan C pada dewasa sehat
yang mendonorkan darah masing-masing adalah 2,1% dan 8,8% pada tahun 1995.1,3

Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum
adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala dan tanda
klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik
dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan
melalui pemeriksaan biopsi hati.1

1
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HEPAR


Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, mempunyai berat
sekitar 1.5 kg . Walaupun berat hati hanya 2-3% dari berat tubuh , namun hati terlibat dalam
25-30% pemakaian oksigen. Sekitar 300 milyar sel-sel hati terutama hepatosit yang
jumlahnya kurang lebih 80%, merupakan tempat utama metabolisme intermedier.1,2

Gambar 2.1 Anatomi Hepar


Hati manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, dibawah diafragma,
dikedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan. Beratnya
1200-1600 gram. Permukaan atas terletak bersentuhan dibawah diafragma,
permukaan bawah terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi
secara erat oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh peritonium kecuali di
daerah posterior-posterior yang berdekatan dengan vena cava inferior dan
mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Hepar dibungkus oleh simpai yg
3

tebal, terdiri dari serabut kolagen dan jaringan elastis yg disebut Kapsul Glisson.
Simpai ini akan masuk ke dalam parenchym hepar mengikuti pembuluh darah getah
bening dan duktus biliaris. Massa dari hepar seperti spons yang terdiri dari sel-sel yg
disusun di dalam lempengan-lempengan/ plate dimana akan masuk ke dalamnya
sistem pembuluh kapiler yang disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid tersebut berbeda
dengan kapiler-kapiler di bagian tubuh yang lain, oleh karena lapisan endotel yang
meliputinya terdiri dari sel-sel fagosit yg disebut sel kupffer. Sel kupffer lebih
permeabel yang artinya mudah dilalui oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler
yang lain.3,4

Gambar 2.2 Sel-sel pada hepar

Setiap hepatosit dapat berkontak langsung dengan darah dari dua sumber : darah vena
yang langsung datang dari saluran pencernaan dan darah arteri yang datang dari aorta. Darah
vena memasuki hati melalui hubungan vaskuler yang khas dan kompleks yang dikenal
sebagai system porta hati. Vena yang mengalir dari saluran pencernaan tidak secara langsung
menyatu dengan vena kava inferior. Malahan, vena-vena dari lambung dan usus memasuki
vena porta hepatica, yang mengangkut produk-produk yang diserap dari saluran pencernaan
langsung ke hati untuk diolah, disimpan, atau didetoksifikasi sebelum produk-produk tersebut
mendapat akses ke sirkulasi umum. Di dalam hati, vena porta kembali bercabang-cabang
menjadi jaringan kapiler (sinusoid hati) yang memungkinkan pertukaran antara darah dan
hepatosit sebelum mengalirkan darah ke vena hepatica, yang kemudian menyatu dengan vena
kava inferior. Hepatosit juga mendapat darah arteri segar, yang menyalurkan oksigen mereka
dan menyalurkan metabolit-metabolit untuk diolah di hati.3,4
4

Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi
tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada beberapa fungsi hati
yaitu :

1. Membentuk dan mengekskresi empedu.


Hati menyekresi sekitar 500 hingga 1000 ml empedu kuning setiap hari. Unsur utama
empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu, fosfolipid (terutama lesitin),
kolesterol, garam anorganik, dan pigmen empedu (terutama bilirubin terkonjugasi).
Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak dalam usus halus,
sebagian besar garam empedu akan direabsorbsi di ileum, mengalami resirkulasi ke
hati, serta kembali dikonjugasi dan disekresi. Bilirubin (pigmen empedu) adalah hasil
akhir metabolisme pemecahan eritrosit yang sudah tua; proses konjugasi berlangsung
di dalam hati dan diekskresi ke dalam empedu.
2. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat
Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling berkaitan satu
sama lain. Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus menjadi
glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun di dalam hati
kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan
glikogen menjadi glukosa disebut glikogenelisis. Karena proses-proses ini, hati
merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa
melalui heksosa monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa.

3. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak


Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak. Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :

 Senyawa 4 karbon – badan keton


 Senyawa 2 karbon – active acetate (dipecah menjadi asam lemak dan gliserol)
 Pembentukan kolesterol
 Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
 Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi dimana serum
kolesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid.
4. Fungsi hati sebagai metabolisme protein
5

Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses deaminasi,
hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino.Dengan proses transaminasi,
hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen. Hati merupakan satu-
satunya organ yg membentuk plasma albumin dan ∂ - globulin dan organ utama bagi
produksi urea. Urea merupakan end product metabolisme protein. ∂ - globulin selain
dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang ß – globulin hanya
dibentuk di dalam hati.
5. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah

Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X.
Untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi dibutuhkan vitamin K.

6. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin

Vitamin larut lemak (A,D,E,K) disimpan di dalam hati; juga vitamin B12 tembaga
dan besi.

7. Fungsi hati sebagai detoksikasi

Hati adalah pusat detoksikasi tubuh. Fungsi detoksifikasi sangat penting dan
dilakukan oleh enzim hati melalui oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau konjugasi zat-zat
yang dapat berbahaya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif.

8. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas

Sel kupffer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui
proses fagositosis. Selain itu sel kupffer juga ikut memproduksi globulin sebagai
mekanisme imun hati.

9. Fungsi hemodinamik

Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ± 1500 cc/
menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam arteri hepatica ± 25%
dan di dalam vena porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar
dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah
cepat pada waktu latihan, terik matahari, dan shock. Hepar merupakan organ penting
untuk mempertahankan aliran darah 1,2
6

2.2 Definisi
Sirosis merupakan akhir dari perubahan patologis dari berbagai macam penyakit hati.
Istilah sirosis pertama kali dikemukakan oleh Laennec pada tahun 1826. Berasal dari
istilah yunani “scirrhus” dan digunakan untuk menjelaskan tekstur hati yang seperti
jeruk yang terlihat pada saat autopsy. Banyak bentuk cedera hati yang ditandai dengan
fibrosis. Fibrosis didefinisikan sebagai penumpukan komponen matriks ekstraselular
(kolagen, glikoprotein, proteoglikan) yang berlebihan pada hati.1,3
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar
dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis
hepatoseluler. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi
jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati.1
2.3 Epidemiologi
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis ditemukan waktu
pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsy. Keseluruhan insidensi sirosis di
Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat
penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan
perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis nonalkoholik (NASH, prevalensi
4%) dan berakhir dengan sirosis hati dengan prevalensi 0,3%. Prevalensi sirosis hati
akibat steatohepatitis alkoholik dilaporkan 0,3% juga. Di Indonesia data prevalensi sirosis
hati belum ada, hanya laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Salah satunya terdapat
di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4.1% dari pasien yang
dirawat di bagian penyakit dalam pada kurun waktu satu tahun di tahun 2004. Di medan
dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati 819 (4%) pasien dari seluruh
pasien dibagian penyakit dalam.1

2.4 Etiologi
Penyebab yang pasti dari sirosis hepatis sampai sekarang belum jelas. Di negara barat
yang tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus
hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B
menyebabkan sirosis sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20%
penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B dan C ( non B-non
7

C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali
karena belum ada datanya.1

1. Faktor keturunan dan malnutrisi


Kekurangan protein menjadi penyebab timbulnya sirosis hepatis. Hal ini dikarenakan
beberapa asam amino seperti metionin berpartisipasi dalam metabolism gugus metil yang
berperan mencegah perlemakan hati dan sirosis hepatis. Menurut Spellberg, Shiff (1998)
bahwa di negara Asia faktor gangguan nutrisi memegang penting untuk timbulnya sirosis
hati. Dari hasil laporan Hadi di dalam simposium Patogenesis sirosis hati di Yogyakarta
tanggal 22 Nopember 1975, ternyata dari hasil penelitian makanan terdapat 81,4 %
penderita kekurangan protein hewani, dan ditemukan 85 % penderita sirosis hati yang
berpenghasilan rendah, yang digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli, petani,
buruh kasar, mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah menengah.1

2. Hepatitis virus
Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari penyebab sirosis
hepatis dan secara klinik telah dikenal bahwa virus hepatitis B lebih banyak mempunyai
kecenderungan untuk lebih menetap dan gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang
kronis bila dibandingkan dengan virus hepatitis A. penderita dengan hepatitis aktif
kronik banyak yang menjadi sirosis karena banyak terjadi kerusakan hati yang kronis.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sekitar 10% penderita virus lebih dari 10 minggu
disertai tetap meningginya kadar asam empedu puasa lebih dari 6 bulan, maka
mempunya prognosis kurang baik.
Istilah "hepatitis" dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati. Penyebabnya dapat
berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan obat-obatan, termasuk obat tradisional.
Virus hepatitis terdiri dari beberapa jenis : hepatitis A, B, C, D, E, F dan G. Hepatitis A,
B dan C adalah yang paling banyak ditemukan. Manifestasi penyakit hepatitis akibat
virus bisa akut (hepatitis A), kronik (hepatitis B dan C) ataupun kemudian menjadi
kanker hati (hepatitis B dan C).1,13
8

Tabel 2.1 Perbedaan Hepatitis Virus

Tabel 2.2. Evaluasi pada pasien dengan HbsAg positif

3. Zat hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi sel
hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara akut akan berakibat nekrosis atau
degenerasi lemak. Sedangkan kerusakan kronik akan berupa sirosis hepatis. Pemberian
bermacam-macam obat –obatan hepatotoksik secara berulang kali dan terus menerus.
Mula-mula akan terjadi kerusakan setempat, kemudian terjadi kerusakan hati yang
merata, dan akhirnya dapat terjadi sirosis hepatis. Zat hepatotoksik yang sering disebut-
sebut adalah alcohol. Efek yang nyata dari etil alcohol adalah penimbunan lemak dalam
hati.1
9

4. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang muda
ditandai dengan sirosis hepatis, degenerasi ganglia basalis dari otak, dan terdapatnya
cicin pada kornea yang bewarna coklat kehijauan disebut kayser fleiscer ring. Penyakit
ini diduga disebabkan defisiensi sitoplasmin bawaan. Penyakit ini diduga disebabkan
defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti,
mungkin ada hubungannya dengan penimbunan tembaga dalam jaringan hati.12
5. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya
hemokromatosis, yaitu:
- Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
- Kemungkinan didapat setelah lahir, misalnya dijumpai pada penderita dengan penyakit
hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya
sirosis hati.8
6. Sebab-Sebab Lain
Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak. Perubahan
fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap reaksi dan nekrosis sentrilobuler. Sebagai
saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat
menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kaum
wanita. Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis
kriptogenik.1

Tabel 2.3. Etiologi Sirosis Hati

Hepar yang normal mampu mengakomodasi perubahan aliran darah portal tanpa
menyebabkan perubahan tekanan portal bermakna. Hipertensi porta terjadi akibat
10

kombinasi peningkatan aliran masuk vena porta dan peningkatan resistensi pembuluh
darah porta. Hipertensi porta pada sirosis terjadi karena adanya kerusakan pada
sinusoid. Meski begitu, hipertensi porta dapat terjadi pada berbagai keadaan non-
sirosis. Penyebab hipertensi porta :
Prehepatik
- Thrombosis vena splenikus, thrombosis vena porta
biasanya berhubungan dengan keadaan hiperkoagulasi dan keganasan.
- Kompresi ekstrinsik pada vena porta.
Intrahepatik
Presinusoidal
- Deposisi oosit Schistosoma (shistosomiasis).
- Sinusoidal
- Sirosis hati, sirosis alkoholik, sirosis virus hepatitis B atau C, penyakit Wilson,
hepatitis aktif kronis, hepatitis fulminan, dll.
Postsinusoidal
- Penyakit veno-oklusif.
Posthepatik
Gagal jantung kanan kronik, dan regurgitasi triskuspid, dan lesi obstruktif vena
hepatika dan vena cava inferior. Kondisi yang dapat diakibatkan oleh hal tersebut
selanjutnya disebut sindrom Budd-Chiari. Gejalanya yaitu berupa hepatomegali, nyeri
abdomen, dan asites.2,3,15
2.5 Klasifikasi1
Sirosis secara konvensional di klasifikasikan sebagai :

1. Mikronodular : Besar nodul kurang dari 3 mm


2. Makronodular : Besar nodul lebih dari 3 mm
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)
Sirosis secara klinis di klasifikasikan sebagai :

1. Sirosis hati kompensata : sering disebut dengan sirosis hati laten. Pada stadium
kompensata ini belum terliht gejala-gejala yang nyata, biasanya stadium ini
ditemukan pada saat pemeriksaan skrining
2. Sirosis hati dekompensata dikenal dengan active liver cirrhosis dan stadium ini
biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya; asietes, edema dan ikterus.1
11

Sirosis secara etiologis dan morfologis dibagi menjadi :

1. Sirosis Alkoholik
2. Sirosis Kriptogenik dan post hepatitis (pasca nekrosis)
3. Sirosis Biliaris
4. Sirosis Kardiak
5. Sirosis metabolik, keturunan , dan terkait obat
2.6 Patofisiologi

Gambar 2.3 Patofisiologi Sirosis Hati

Meskipun penyebab sirosis hati dari beberapa faktor, tetapi terdapat beberapa
karakteristik patologi yang sama yang menyebabkan terjadinya sirosis hati, seperti
degenerasi, sel hepatosit yang nekrosis dan pergantian jaringan parenkim baru dengan
jaringan parut yang difus dan sedikit nodul regeneratif. Transisi dari penyakit hati kronik ke
sirosis melibatkan proses inflamasi, aktivasi HSC (Human Stellata Cell), angiogenesis, dan
lesi parenkima akibat oklusi vaskular. Proses ini menyebabkan perubahan mikrovaskular,
yaitu sinusoidal remodelling (deposisi matriks ekstraselular dari proliferasi HSC yang
teraktivasi yang menghasilkan kapilarisasi sinusoid hati), pembentukan shunt intrahepatik,
dan disfungsi endotelial hati. HSC yang sebelumnya dikenal dengan sel penyimpan lemak, sel
perisinusoid, atau sel yang kaya vitamin A, terletak di ruang Disse pada hati yang normal dan
memiliki fungsi sebagai tempat penyimpan vitamin A. HSC teraktivasi setelah terpapar
12

dengan beberapa injuri/inflamasi yang menyebabkan dikeluarkannya sitokin peradangan


seperti platelet-derived growth factor (PDGf), transforming growth factor (TGF)-β, tumor
necrosis factor (TNF)-α dan interleukin (IL)-1. Aktivasi dari HSC ditandai dengan proliferasi
sel dan migrasi, kontraksi setelah berubah menjadi miofibroblas, deposisi kolagen dan
matriks ekstraselulernya lainnya, akhirnya menyebabkan fibrosis hati. Disfungsi endotel
ditandai dengan kurangnya vasodilator yang dilepaskan, terutama nitrit oksida (NO).
Pelepasan NO diinhibisi oleh aktivitas endothelial nitric oxide synthetase, dengan
peningkatan produksi vasokonstriktor, dan juga aktivasi RAAS.1
Patofisiologi Hipertensi Portal

Vena porta terbentuk dari lienalis dan vena mesentrika superior menghantarkan 4/5
darahnya ke hati, darah ini mempunyai kejenuhan 70% sebab beberapa O2 telah diambil oleh
limfe dan usus, guna darah ini membawa zat makanan ke hati yang telah di observasi oleh
mukosa dan usus halus. Besarnya kira-kira berdiameter 1 mm. Yang satu dengan yang lain
terpisah oleh jaringan ikat yang membuat cabang pembuluh darah ke hati, cabang vena porta
arteri hepatika dan saluran empedu dibungkus bersama oleh sebuah balutan dan membentuk
saluran porta. Darah berasal dari vena porta bersentuhan erat dengan sel hati dan setiap
lobulus disaluri oleh sebuah pembuluh Sinusoid darah atau kapiler hepatika. Pembuluh darah
halus berjalan di antara lobulus hati disebut Vena interlobuler. Dari sisi cabang-cabang
kapiler masuk ke dalam bahan lobulus yaitu Vena lobuler. Pembuluh darah ini mengalirkan
darah dalam vena lain yang disebut vena sublobuler, yang satu sama lain membentuk vena
hepatika dan langsung masuk ke dalam vena kava inferior. Empedu dibentuk di dalam sela-
sela kecil di dalam sel hepar melalui kapiler empedu yang halus/korekuli. Dengan cara
berkontraksi, dinding perut berotot pada saluran ini mengeluarkan empedu dari hati.
Hipertensi portal merupakan gabungan antara penurunan aliran darah porta dan peningkatan
resistensi vena portal (1). Hipertensi portal dapat terjadi jika tekanan dalam sistem vena porta
meningkat di atas 10-12 mmHg. Nilai normal tergantung dari cara pengukuran, terapi
umumnya sekitar 7 mmHg (2). Peningkatan tekanan vena porta biasanya disebabkan oleh
adanya hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran darah ke dalam vena splanikus.
Obstruksi aliran darah dalam sistem portal dapat terjadi oleh karena obstruksi vena porta atau
cabang-cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan tahanan vaskuler dalam hati yang
terjadi dengan atau tanpa pengkerutan (intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid,
parasinusoid atau postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena hepatik (supra hepatik).
13

Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan porta yang menetap di atas nilai
normal yaitu 6 sampai 12 cm H2O. Tanpa memandang penyakit dasarnya, mekanisme primer
penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati.
Selain itu biasanya terjadi peningkatan aliran arteria splangnikus. Kombinasi kedua faktor
yaitu menurunnya aliran keluar melalui vena hepatika dan meningkatnya aliran masuk
bersama sama menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal. Pembebanan berlebihan
sistem portal inimerangsang timbulnya aliran kolateral guna menghindari obstruksi hepatik
(varises). Tekanan balik pada sistem portal menyebabkan splenomegali dan sebagian
bertanggung jawab atas tertimbunnya asites. Asites merupakan penimbunan cairan encer
intraperitoneal yang mengandung sedikit protein. Faktor utama patogenesis asites adalah
peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (hipertensi porta) dan penurunan tekanan
osmotik koloid akibat hipoalbuminemia. Faktor lain yang berperan adalah retensi natrium dan
airserta peningkatan sintesis dan aliran limfe hati.

Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat pada
esofagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi
vena-vena tersebut (varises esofagus). Varises ini terjadi pada sekitar 70% penderita sirosis
lanjut. Perdarahan dari varises ini sering menyebabkan kematian.

Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superfisial dinding abdomen, dan timbulnya
sirkulasi ini menyebabkan dilatasi vena-vena sekitar umbilikus (kaput medusa). Sistem vena
rektal membantu dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena berdilatasi dan dapat
menyebabkan berkembangnya hemoroid interna. Perdarahan dari hemoroid yang pecah
biasanyatidak hebat, karenatekanadi daerah ini tidak setinggi tekanan pada esofagus karena
jarak yang lebih jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis dapat dijelaskan berdasarkan
kongesti pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan darah yang lebih tinggi pada vena
linealis. 2,3,11,15
14

Gambar 2.4 Sistem Vena Portal

Gambar 2.5 Patofisiologi Hipertensi Portal pada Sirosis


15

2.7 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dan komplikasi sirosi hati umumnya sama untuk semua tipe
tanpavmemandang penyebabnya, meskipun beberapa tipe sirosis yang tersendiri mungkin
memiliki gambaran klinis dan biokimia yang agak berbeda. Stadium awal sirosis sering
tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan
kesehatan rutin atau karena penyakit lain. Gejala dini bersifat samar dan tidak spesifik
yang meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung, mual, berat badan menurun, perubahan kebiasaan defekasi (konstipasi atau
diare), dan itching/pruritus.
Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat dua tipe gangguan fisiologis :
hepatoceluller damage (gagal sel hati) dan hipertensi portal. 1,3,15

- Manifestasi hepatoceluller damage (gagal sel hati)


a. Ikterus
Pada 60% penderita, lebih sering hiperbilirubinemia tanpa ikterus.
b. Gangguan endokrin
 Angioma laba-laba (spider navy)
 Atrofi testis
 Ginekomastia
 Alopesia` pada dada dan aksila
 Eritema Palmaris
 kelebihan estrogen dalam sirkulasi, kelainan pigmentasi kulit akibat aktivitas
hormon perangsang melanosit bekerja berlebihan.
c. Gangguan hematologik
 Kecenderungan perdarahan
 Anemia
 Leukopenia
 Trombositopenia
Perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat dan mudah memar.
 Masa protrombin memanjang
 berkurangnya faktor-faktor pembekuan oleh hati, adanya hipersplenisme,
kehilangan darah dan peningkatan hemolisis eritrosit.
d. Hipoalbuminemia
16

 Edema perifer
 Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan
dengan warna normal kuku
e. Fetor hepatikum
f. Gangguan neurologis : ensefalopati hepatic

- Manifestasi hipertensi portal

a. Asites
b. Varises esofagus

c.Caput medusa (dilatasi vena-vena sekitar umbilikus)


d. Hemoroid interna
e.Splenomegali

Gejala Gagal Hepatoseluler Gejala Hipertensi Portal


Ikterus Asites
Hipoalbumin Varises esofagus
Spider navi Caput medusa
Atrofi testis Splenomegali
Ginekomastia Pelebaran vena kolateral
Alopesia pada dada dan ketiak Hemoroid
Eritema palmaris
Gangguan hematologi (trombositopenia,
leukopenia, anemia
Fetor hepatikum
Ensefalopati hepatik
Tabel 2.4 Manifestasi Sirosis Hati
17

Gambar 2.6 Manifestasi klinis Sirosis Hati

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu
seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrinning untuk evaluasi keluhan
spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil
transpeptidase, bilirubin, albumin, dan waktu protrombin.1

A. Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT) dan
alanin aminotransferase atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat
tapi tak begitu tinggi. AST lebih meningkat daripada ALT, namun bila transaminase
normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis. Kenaikan kadar enzim transaminase
– SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati,
kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak,
pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis
inaktif. Aspartat- to- Platelet Ratio Index (skor APRI) merupakan pemeriksaan
indirect marker meliputi dua parameter pemeriksaan laboratorium yakni pemeriksaan
Aspartat aminotransferase (AST) dan jumlah platelet yang rutin dilakukan
18

pemeriksaannya pada semua pasien dan dapat dilakukan di laboratorium di daerah ,


dengan biaya yang relatif murah. Indeks rasio aspartat aminotransferase dan platelet
(Skor APRI) dengan persamaan: = Aspartat aminotransferase (AST) (U/L)/ batas atas
normal x 100 jumlah platelet(109/L). AST akan dibebaskan dalam jumlah yang lebih
besar pada gangguan hati kronis yang disertai kerusakan progresif, karena banyaknya
sel hati yang hancur, dimana 80 % konsentrasi AST hepatosit berada di dalam
mitokondria. Kerusakan hati akan mempengaruhi pembentukan trombopoeitin, suatu
hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh hepatosit sehingga akan terganggu
keseimbangan antara destruksi dan produksi trombosit dengan akibat
trombositopenia, disamping juga penurunan jumlah trombosit akibat splenomegali
dan penekanan sum-sum tulang oleh karena infeksi virus Hepatitis C. Beberapa
penelitian telah dilakukan mengenai hubungan antara skor APRI dengan derajat
beratnya penyakit hati.1
B. Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan
sirosis bilier primer.1
C. Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase
pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik, karena
alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan
bocornya GGT dari hepatosit. 1
D. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa
meningkat pada sirosis yang lanjut. 1
E. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan
perbaikan sirosis.
F. Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan,
antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi
produksi imunogobulin.
G. Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga
pada sirosis memanjang. Pemanjangan masa protrombin merupakan petunjuk adanya
penurunan fungsi hati. Pemberian vit K baik untuk menilai kemungkinan perdarahan
baik dari varises esophagus, gusi maupun epistaksis.
H. Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
19

I. Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia


normokrom normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia
dengan trombositopenia, lekopenia, dan netropenia akibat splenomegali kongestif
berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
J. Pemeriksaan CHE (kolinesterase) ini penting karena bila kadar CHE turun,
kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal/tambah turun akan menunjukan
prognosis jelek.
K. Peningggian kadar gula darah. Hati tidak mampu membentuk glikogen, bila terus
meninggi prognosis jelek.
L. Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg/ HbcAb, HBV
DNA, HCV RNA., untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (alfa
feto protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transformasi kearah
keganasan.
M. Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi adanya
hipertensi porta.
N. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya non
invasif dan mudah digunakan, namun sensitivitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang
bisa dinilai dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas,
dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan
irregular, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga bisa
untuk melihat asites, splenomegali, thrombosis vena porta, serta skrinning adanya
karsinoma hati pada pasien sirosis.
O. Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak rutin digunakan
karena biayanya relatif mahal. Magnetic resonance imaging, peranannya tidak jelas
dalam mendiagnosis sirosis selain mahal biayanya.1
P. Fibro-Scan
Saat ini dapat dilakukan cara lain untuk melihat tingkat kerusakan hati yaitu melalui
Fibroscan. FibroScan adalah alat non-invasiv yang dapat mengukur kekakuan jaringan
hati, dengan metode transient elastography yang dianggap menjanjikan menggantikan
biopsi yang memiliki banyak kelemahan Sampling error lebih kecil, mudah
digunakan, tidak membutuhkan anestesi dan rawat inap, tidak nyeri, dan cepat, tetapi
teknologi ini masih mahal dan tidak tersedia secara luas, terbatas pada sentra sentra
pelayanan tertentu saja.Fibroscan merupakan suatu yang dapat dipakai untuk
menggantikan biopsi untuk memeriksa tingkat kerusakan jaringan hati (fibrosis)
20

secara tepat dan akurat. FibroScan dengan tehnik Transient Elastography (FibroScan,
Echosens, Franc) menggunakan gelombang suara untuk mengukur kekakuan hati
yang dinyatakan dalam kilopascal (kPa). FibroScan mudah digunakan, tidak
membutuhkan anestesi dan rawat inap, tidak nyeri, dan hasilnya cepat diperoleh;
tetapi tehnik ini masih relatif mahal dan tidak tersedia luas. Hasil yang diperoleh
akurat untuk menilai tahap fibrosis pada penyakit hati kronis yang berbeda. Ini juga
bisa menjadi evaluasi terapi pertama pada pasien hepatitis B dan C. Penilaian tingkat
fibrosis adalah salah satu indikator kunci dalam evaluasi penyakit hati kronis.

Pasien dianjurkan untuk mendapatkan pengobatan apabila tingkat fibrosis sudah


mencapai lebih besar F2, dalam skala F0 yaitu belum ada fibrosis sampai dengan F4
yaitu fibrosis tingkat lanjut (sirosis). Fibroscan sudah digunakan secara meluas pada
beberapa negara, karena kepraktisan dan kemudahan alat ini dalam mendeteksi
kerusakan jaringan hati (fibrosis).

Tabel 2.5 Tes non-invasif yang secara umum digunakan untuk pemeriksaan tingkat
kerusakan jaringan hati
21

Gambar 2.7 Fibro Scan

Q. Biopsi Hati

Sampai saat ini, gold standard yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kerusakan hati
adalah biopsi. Namun, terdapat beberapa kekurangan dari tindakan ini, yaitu pasien
merasa nyeri atau sakit, kemungkinan terjadinya kesalahan sebesar 30 persen dan
pelaksanaannya memelukan tenaga kesehatan yang terlatih. Biopsi hati saat ini memiliki
tiga peran utama : (1) untuk diagnosis, (2) untuk penilaian prognosis, dan/atau (3) untuk
membantu dalam membuat keputusan manajemen terapi . Sirosis adalah yang terbaik
ditentukan dengan memeriksa sampel jaringan hati dibawah mikroskop , prosedur yang
disebut biopsi hati . Dalam prosedur yang relatif sederhana ini dimasukkan jarum tipis,
dengan anestesi lokal, dalam hati dan memberikan apusan sepotong kecil jaringan hati .
Biopsi hati tidak hanya menegaskan adanya sirosis , tetapi sering dapat memberikan
informasi mengenai penyebabnya. Ada beberapa skala untuk mengukur tingkat
kerusakan pada hati. WHO mengusulkan dipakai Skor METAVIR:
22

 F0 Tidak ada parutan


 F1 Sedikit parutan
 F2 Parutan telah terjadi dan meluas di luar daerah dalam hati yang mengandung
pembuluh darah
 F3 Fibrosis menjembatani menyebar dan menghubungkan ke daerah lain yang
mengandung fibrosis
 F4 Sirosis
Baku emas untuk menilai tingkat kerusakan dan mengukur skor METAVIR adalah
dengan biopsi hati.1,3,10,15,17

Gambar 2. 8 Biopsi Hati

Gambar 2.9 Penggunaan biopsi hati pada keadaan klinis


23

2.9 Diagnosis
A. Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan
diagnosis sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa
ditegakkan diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium
biokimia/serologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan diagnosis
sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisis, laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu
diperlukan pemeriksaan biopsi hati atau peritoneoskopi karena sulit membedakan hepatitis
kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini.

B. Pada stadium dekompensata diagnosis kadangkala tidak sulit karena gejala dan
tanda-tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi. Diagnosis pada penderita suspek
sirosis hati dekompensata tidak begitu sulit, gabungan dari kumpulan gejala yang dialami
pasien dan tanda yang diperoleh dari pemeriksaan fisis sudah cukup mengarahkan kita pada
diagnosis. Namun jika dirasakan diagnosis masih belum pasti, maka USG Abdomen dan tes-
tes laboratorium dapat membantu.

C. Pada pemeriksaan fisis, kita dapat menemukan adanya pembesaran hati dan terasa
keras, namun pada stadium yang lebih lanjut hati justru mengecil dan tidak teraba. Untuk
memeriksa derajat asites dapat menggunakan tes-tes puddle sign, shifting dullness, atau fluid
wave. Tanda-tanda klinis lainnya yang dapat ditemukan pada sirosis yaitu, spider
telangiekstasis (Suatu lesi vaskular yang dikelilingi vena-vena kecil), eritema palmaris
(warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan), caput medusa, foetor
hepatikum (bau yang khas pada penderita sirosis), dan ikterus.

D. Tes laboratorium juga dapat digunakan untuk membantu diagnosis. Fungsi hati
kita dapat menilainya dengan memeriksa kadar aminotransferase, alkali fosfatase, gamma
glutamil transpeptidase, serum albumin, protrombin time, dan bilirubin. Serum glutamil
oksaloasetat (SGOT) dan serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak
begitu tinggi dan juga tidak spesifik.

E. Pemeriksaan radiologis seperti USG abdomen, sudah secara rutin digunakan


karena pemeriksaannya noninvasif dan mudah dilakukan. Pemeriksaan USG meliputi sudut
hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati
mengecil dan noduler, permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati.
Selain itu USG juga dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran
vena porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien sirosis. Untuk pemeriksaan sebagai gold
24

standard dilakukan Biopsi hati yang saat ini memiliki tiga peran utama yang salah satunya
untuk mendiagnosis adanya sirosis, dan dapat memberikan informasi mengenai
penyebabnya.1,3,10,15

2.10 Pengobatan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma
hepatik diberikan diet yang mengandung protein 1 g/kgBB dan kalori sebanyak 2000-
3000 kkal/hari.1
A. Pengobatan Sirosis Kompensata.
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk
mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk
menghilangkan etiologi, di antaranya: alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik
dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya.1
- Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif.14

Tabel 2.6 Pengobatan immunosupresi untuk hepatitis autoimun


- Pada hemokromatosis, flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi
normal dan diulang sesuai kebutuhan.8
25

Gambar 2.10 Algoritma tatalaksana Hemokromatosis

Tabel 2.7 Pengobatan Hemokromatosis


- Pada penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah
terjadinya sirosis.1
- Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan
terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral
setiap hari selama satu tahun.. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3
MlU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata juga banyak yang
kambuh.13
26

- Pada hepatitis C kronik; kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi


standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MlU tiga
kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6 bulan.1,13

Tabel 2.8 Terapi Hepatitis viral pada anak dan dewasa

Tabel 2.9 Pilihan antiviral untuk pengobatan antiviral yang resisten


27

- Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan
merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi dari sel stelata
bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik
yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki
efek anti peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti
dalam penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis.1
B.Pengobatan Sirosis Dekompensata
ASITES; tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2
gram atau 90 mmol / hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan
diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali
sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari,
tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana
pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan
dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada
respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat
besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian
albumin. Parasintesis biasanya dilakukan hanya untuk alasan diagnostik dan bila
asites menyebabkan kesulitan bernafas yang berat akibat volume cairan yang besar.9,15

Tabel 2.10 Tatalaksana ascites


28

Indikasi Pemberian Albumin Pada Sirosis Hati


Terdapat berbagai indikasi untuk memberikan infus albumin bagi pasien sirosis hati,
seperti memperbaiki kondisi umum, mengatasi asites atau mengobati sindroma hepatorenal.
Dari sekian banyak alasan pemberian albumin ada empat indikasi yang ditunjang oleh data
uji klinis memadai, yaitu:
1. Peritonitis bakterialis spontan
2. Sindroma hepatorenal tipe 1
3. Sebagai pengembang plasma sesudah parasentesis volume besar (>5 liter)
4. Meningkatkan respons terapi diuretika
Selain itu masih ada beberapa indikasi lain yang masih menjadi kontradiksi, misalnya
pada sirosis hati dengan hipoalbuminemia berat yang disertai penyulit atau pasien sirosis hati
yang akan menjalani operasi besar. Tidak ditemukannya kesepakatan untuk memberikan
infus albumin pada beberapa indikasi klinis berkaitan dengan lemahnya data penelitian yang
dapat dijadikan bukti penunjang.4
29

Tabel 2.11 Tatalaksana ascites pada sirosis

Tabel 2.12 Obat Asites13

Ensefalopati hepatik; laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan


amonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia,
30

diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang
kaya asam amino rantai cabang.1,15

Tabel 2.13 Tatalaksana ensefalopati Hepatik


Tabel 2.14 Obat Ensefalopati hepatik13

Varises esofagus; Skrining terhadap terjadinya perdarahan variseal dapat


dilakukan menggunakan esofagogastroduodenoskopi (EGD). Tujuan EGD adalah
untuk mengetahui ukuran varises pada pasien sirosis sehingga dapat ditentukan
apakah pasien tersebut diberikan terapi profilaksis. Terapi profilaksis tersebut yaitu
nonselective beta-blockers (NSBBs), contohnya propanolol, nadolol, dan endoscopic
variceal ligation (EVL). Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat
penyekat beta (propranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat
somatostatin atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi
endoskopi.
Farmakoterapi yang diberikan terdiri atas vasokonstriktor splanchnic
(vasopressin, somatosstatin dan analognya, beta blocker non selektif) dan venodilator
(nitrat). Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta
(propranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau
31

oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi. Tetapi


tindakan ini tidak berefek pada aliran porta ataupun resistensinya. Terapi endoskopi
justru efektif mengendalikan perdarahan aktif dan dapat menurunkan mortalitas serta
efektif mencegah perdarahan varises berulang dibandingkan terapi medikamentosa
dengan vasopresin atau tamponade balon. Tamponade balon cocok jika endoskopi
bukanlah pilihan atau setelah tindakan endoskopi, operasi atau TIPS yang gagal.
Antibiotik profilaksis dapat diberikan pada pasien dengan sirosis dan perdarahan
gastrointestinal, yaitu norfloxacin oral (400 mg BID) atau ciprofloxacin intravena,
atau ceftriaxone intravena pada daerah dengan prevalensi resistansi quinolone tinggi.
Sementara itu pada pasien dengan perdarahan berulang yang tidak terkontrol, atau
gagal dengan farmakoterapi, ligasi, atau skleroterapi dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic shunting). Bila penderita
pulih dari perdarahan operasi pirau porta-kaval harus dipertimbangkan. Operasi ini
memperkecil kemungkinan perdarahan esofagus selanjutnya. 1,3,7,11,15

Tabel 2.15. Indikasi TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic shunting)

Tabel 2.16 Efek aliran portal, resistensi, dan tekanan dengan perbedaan terapi untuk
varises/perdarahan varises
32

Tabel 2.17 Obat Varises Esofagus13

Tabel 2.18 Strategi pengobatan setelah ada hasil skrining endoskopi pada pasien
sirosis

Tabel 2.19 Strategi pengobatan untuk mencegah varises esofagus berulang


33

Tabel 2.20 Diagnosis dan strategi untuk terapi perdarahan akut varises esofagus

Peritonitis bakterial spontan; diberikan antibiotika seperti sefotaksim


intravena, amoksilin, atau aminoglikosida.1,15

Tabel 2.21 Diagnosis dan pengobatan Peritonitis bakterial spontan


34

Tabel 2.22 Diagnosis dan strategi pada peritonitis bakterial spontan

Tabel 2.23 Strategi Tatalaksana untuk pencegahan Peritonitis bakterial spontan yang
berulang

Tabel 2.24 Obat peritonitis bakterial spontan13


35

Sindrom hepatorenal; Sindrom hepatorenal (hepatorenal syndrome/ HRS)


merupakan komplikasi terjadinya gagal ginjal pada pasien penyakit hati kronik,
kadang-kadang berupa hepatitis fulminan dengan hipertensi portal dan ascites
mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam dan
air.1,3,9,1516

Tabel 2.25 Kriteria International Ascites Club mengenai HRS setelah revisi pada tahun 2007
36

Tabel 2.26 Diagnosis dan tatalaksana sindrom hepatorenal


Transplantasi hati; terapi definitif pada pasien sirosis dekompensata. Namun
sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien
dahulu.
Indikasi transplantasi hati pada pasien dewasa dengan sirosis, yaitu :
a. Gagal hati kronik dan lanjut
skor Child-Pugh >7
memenuhi kualifikasi skor MELD
b. Gagal hati akut
terinduksi obat, toksin atau virus
hepatitis fulminan
c. Tidak ada terapi alternatif yang tersedia
d. Tidak ada kontraindikasi absolut
e. Kesanggupan mengikuti kontrol ulang dan dukungan keluarga
Sementara itu kontraindikasinya, yaitu:
Relatif
- HIV seropositivity
- Ketergantungan methadone
- Karsinoma hepatocellular stadium 3
Absolut
- Penyakit malignansi ekstrahepatik

- AIDS
37

- Cholangiocarcinoma
- Infeksi sistemik yang berat dan tidak terkontrol
- Kegagalan multiorgan
- Penyakit kardiopulmonar lanjut
- Penyalahgunaan substansi tertentu secara aktif1,10

Tabel 2.27 Indikasi dan Kontraindikasi transplantasi hati pada pasien sirosis
38

Gambar 2.11. Tahapan untuk pencegahan dan pengobatan komplikasi sirosis dini

2.11 Komplikasi

Gambar 2.12 Tatalaksana untuk komplikasi pada sirosis hati


39

Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup


pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial spontan,
yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra
abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri
abdomen.
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal. Kerusakan hati
lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi
glomerulus.
Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. Dua puluh
sampai 40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan
perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak dua pertiganya akan
meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk
menanggulangi varises ini dengan beberapa cara.
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi
hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat
timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma..
Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi
portopulmonal.1,3
40

Gambar 2.13 Algoritma tatalaksana komplikasi pada sirosis hati

2.12 Prognosis
Prognosis sirosis hati sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyait lain yang
menyertai. Klasifikasi Child Pugh, juga dapat digunakan untuk menilai prognosis
pasien sirosis yang akan menjalani operas, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin,
albumin, ada tidaknya asites, dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasi Child-
Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu
tahun untuk pasien dengan child A, B, dan C berturut-turut 100,80,dan 45%.
Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease
(MELD) digunakan untuk pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati.1,3
41

Tabel 2.28 Klasifikasi Child-Pugh


42

Tabel 2.29 Skor MELD


43

BAB III
PENUTUP

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. Sirosis h``ati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati
kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata
yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas, yaitu adanya ikterik, perdarahan
saluran cerna, asites, ataupun ensefalopati. Gejala dini bersifat samar dan tidak spesifik yang
meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung,
mual, berat badan menurun, perubahan kebiasaan defekasi (konstipasi atau diare), dan
itching/pruritus. Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat dua tipe gangguan
fisiologis : hepatoceluller damage (gagal sel hati) dan hipertensi portal.
Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisis,
laboratorium, dan USG. Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Tatalaksana
pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati,
yaitu dengan menatalaksana penyakit hati yang mendasarinya dan mencegah/mendiagnosis
dini terjadinya komplikasi sirosis. Untuk pengobatan sirosis dekompensata sendiri dilakukan
tatalaksana sesuai dengan manifestasi yang ditimbulkan.
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi,
beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai. Penilaian
menggunakan Child-Pugh classification atau Pugh scoring system dan Model of End State
Liver Disease (MELD) score sering digunakan untuk menilai risiko operasi pada pasien
sirosis hati. Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease
(MELD).

Anda mungkin juga menyukai