Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus membawa sinyal di antara neuron.


Neurotransmiter terbungkus oleh vesikel sinapsis, sebelum dilepaskan bertepatan dengan
datangnya potensial aksi. Neurotransmitter dalam bentuk zat kimia bekerja sebagai penghubung
antara otak ke seluruh jaringan saraf dan pengendalian fungsi tubuh. Secara sederhana, dapat
dikatakan neurotransmiter merupakan bahasa yang digunakan neuron di otak dalam
berkomunikasi. Neurotransmiter muncul ketika ada pesan yang harus di sampaikan ke bagian-
bagian lain. Seluruh aktivitas kehidupan manusia yang berkenaan dengan otak di atur melalui
tiga cara, yaitu sinyal listrik pada neuron, zat kimiawi yang di sebut neurotransmitter dan hormon
yang dilepaskan ke dalam darah. Hampir seluruh aktivitas di otak memanfaatkan
neurotransmitter. Beberapa neurotransmiter utama, antara lain, Asam amino (asam glutamat,
asam aspartat, serina, GABA, dan glisin), Monoamin (dopamin, adrenalin, noradrenalin,
histamin, serotonin, dan melatonin), bentuk lain seperti asetilkolin, adenosin, dll.

2.1 DOPAMIN 1,2

Dopamin (bahasa Inggris: dopamine, prolactin-inhibiting factor, prolactin-inhibiting


hormone, prolactostatin, PIF, PIH) adalah salah satu sel kimia dalam otak berbagai jenis hewan
vertebrata dan invertebrata, sejenis neurotransmiter (zat yang menyampaikan pesan dari satu
saraf ke saraf yang lain) dan merupakan perantara bagi biosintesis
hormon adrenalin dan noradrenalin. Dopamin juga merupakan suatu hormon yang dihasilkan
oleh hipotalamus. Fungsi utamanya sebagai hormon ialah menghambat pelepasan prolaktin dari
kelenjar hipofisis (lobus anterior hipofisis). Dopamine memiliki banyak fungsi diotak terasuk
peranan penting pada pelikau, kognitif, pergerakan volunteer, motivasi, penghambat produksi
prolaktin, tidur, mood, konsentrasi dan proses belajar. Dopamine memiliki reseptor yang berguna
menerima sinyal yang dikirimkan dari satu bagian otak ke bagian lainnya. Terdapat 5 jenis
reseptor dopamine yang teridentifikasi pada sistem saraf manusia : D1, D2, D3,D4, dan D5.
Reseptor D1 dan D5 memiliki kemiripan dikarenakan keduanya menstimulasi pembentukan
cAMP dengan mengaktifasi protein G-coupled. Reseptor D2 dan D4 bekerja dengan
mengaktifasi inhibitor G-protein sehingga menginhibisi pembentukan cAMP. Penelitian terbaru
menggunakan single photon emission computer tomography (SPECT) menunjukan bahwa pada
skizofrenia terdapat lebih banyak reseptor D2. Hal ini mengakibatkan semua obat-obatan
antipsikotik ditunjukan untuk memblokade reseptor ini.
2.2.1 Proses pembentukan dopamine 1
Dopamin merupakan salah satu neurotransmitter pad manusia yang berperan pada mekanisme
terjadinya gangguan psikotik. Dopamine sendiri diproduksi pada beberapa area di otak, termasuk
subtantia nigra dan area bentral temental. Dopamin di bentuk dari asam amino tirosin dan
disintesis melalui jalur pembentukan katekolamin. Dopamine dimetabolisme oleh 2 enzim,
Monoamin Oxidase tipe B (MAO-B) dan Catechol-O-Metil Transferse (COMT). Hasil metabolit
utama dopamine adala asam homovanillic (HVA).
2.2.2 Jalur dopamine 1,23

1. Jalur mesolimbik
Mesolimbik dopamin pathways memproyeksikan badan sel dopaminergik ke bagian
ventral tegmentum area (VTA) di batang otak kemudian ke nukleus akumben di daerah
limbik. Nukleus akumbens adalah bagian dari sistem limbik yang mempunyai peranan
untuk mempengaruhi perilaku, seperti pleasurable sensations (sensasi yang
menyenangkan), powerful euphoria pada individu yang memiliki waham, halusinasi
serta pada pengguna zat.
Peningkatan dopamin pada jalur ini akan menimbulkan gejala positif. Jalur ini
berperan penting pada emosional, perilaku khususnya halusinasi pendengaran, waham,
dan gangguan pikiran. Psikostimulan lain seperti amfetamin dan kokain dapat
menyebabkan peningkatan dari dopamin pada jalur ini sehingga menyebabkan terjadinya
simptom positif dan menimbulkan psikosis paranoid jika pemberin zat ini dilakukan
secara berulang.
2. Jalur mesokortikal
Jalur ini dimulai dari daerah ventral tegmentum area ke daerah serebral korteks
khususnya korteks limbik. Peranan mesokortikal dopamin pathways adalah sebagai
mediasi dari simptom negatif dan kognitif pada penderita skizophrenia.
Simptom negatif dan kognitif disebabkan terjadinya penurunan dopamin di jalur
mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal korteks. Penurunan dopamin
di mesokortikal dopamin pathways dapat terjadi secara primer maupun sekunder.
Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang berlebihan pada jalur ini atau
melalui blokade antipsikotik terhadap reseptor D2.
Peningkatan dopamin pada mesokortikal dopamin pathways dapat memperbaiki
simptom negatif atau mungkin simptom kognitif. Keadaan ini akan menjadi suatu dilema
karena peningkatan dopamin di jalur mesolimbik akan meningkatan simptom positif.,
sementara penurunan dopamin di jalur mesokortikal akan meningkatkan simptom negatif
dan kognitif. Hal tersebut dapat diatasi dengan pemerian antipsikotik atipikal pada
penderita skizophrenia. Antipsikotik atipikal menyebabkan dopamin di jalur mesolimbik
menurun tetapi dopamin yang berada di jalur mesokorteks meningkat.
3. Jalur nigrostriatal
Nigrostiatal dopamin pathways berjalan dari daerah substansia nigra pada atang
otak ke daerah basal ganglia atau striatum. Nigrostriatal dopamin pathways bagian dari
sistem saraf ekstrapiramidal dan berfungsi untuk mengontrol pergerakan motorik.
Penurunan dopamin pada nigrostriatal dopamin pathways dapat menyebabkan
gangguan pergerakan seperti ditemukan pada penyakit parkinson, yaitu rigiditas, akinesia,
atau bradikinesia (pergerakan berkurang atau pergerakan melambat) dan tremor.

4. Jalur tuberoinfundibular

Tuberoinfundibular dopamin pathways dimulai dari daerah hipotalamus ke


hipofisis anterior. Dalam keadaan normal tuberoinfundibular dopamin pathways
dipengaruhi oleh inhibisi dan penglepasan aktif prolaktin.
Peningkatan level prolaktin antara lain dikarenakan terjadinya gangguan dari
fungsi tuberoinfundibular dopamin pathways yang disebabkan oleh lesi atau pemakaian
obat – obatan antipsikotik.
Manifestasi klinis akibat peningkatan level prolaktin dapat berupa galaktorea,
amenorea, atau disfungsi seksual. Hal ini sering terjadi selama atau setelah pemberian
obat antipsikotik.
2.2 SKIZOFRENIA

2.2.1 Definisi 2
Skizofrenia merupakan sindroma klinis dari berbagai keadaan patologis yang sangat
mengganggu yang melibatkan gangguan proses berpikir, emosi dan tingkah laku. Menurut
PPDGJ-III, Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan
penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh
genetik, fisik dan sosial budaya.
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikirin dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (Inappropriate) atau tumpul
(Blunted). Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara
walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
Menurut DSM-IV, adapun klasifikasi untuk skizofrenia ada 5 yakni subtipe paranoid,
terdisorganisasi (hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan dan residual. Untuk istilah
skizofrenia simpleks dalam DSM-IV adalah gangguan deteriorative sederhana. Sedangkan
menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia
yang ke-III skizofrenia dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu katatonik, paranoid, hebefrenik, tak
terinci (undifferentiated), simpleks, residual dan depresi pasca skizofrenia.

2.2.2 Epidemiologi 2
Prevalensi antara laki-laki dan perempuan sama, namun menunjukkan perbedaan
dalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset yang lebih awal daripada
perempuan. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, sedangkan
perempuan 25 sampai 35 tahun. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa laki-laki
adalah lebih mungkin daripada wanita untuk terganggua oleh gejala negative dan wanita
lebih mungkin memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Pada umumnya,
hasil akhir untuk pasien skizofrenia wanita adalah lebih baik daripada hasil akhir untuk
skizofrenia laki-laki.
2.2.3 Etiologi 2
1. Model diatesis stres
Menurut teori ini skizoprenia dapat timbul karena adanya integrasi antara faktor
biologis, faktor psikososial dan lingkungan. Seorang yang rentan (diatesis) jika dikenai
stresor akan lebih mudah menjadi skizoprenia.
Faktor genetik mempunyai peranan dalam terjadinya suatu skizooprenia. Ada 7 gen
yang mempengaruhi perkembangan skizoprenia. Kembar identik dipengaruhi oleh gen
sebesar 28% sedangkan pada kembar monozygot dan kembar dyzigot pengaruhnya
sebesar 1,8 – 4,1%. Skizoprenia kemungkinan berkaitan dengan kromosom 1,3,5,11 dan
kromosom X. Penelitian genetik ini dihubungkan dengan COMT (Catechol-O- Methyl
Transferse) dalam encoding dopamin sehingga mempengaruhi fungsi dopamin.
Faktor pencetus dan kekambuhan dari skizoprenia dipengaruhi oleh emotional
turbulent families, stressful life events, diskriminasi, dan kemiskinan. Lingkungan
emosional yang tidak stabil mempunyai resiko yang besar pada perkembangan
skizoprenia. Stressor sosial juga mempengaruhi perkembangan suatu skizoprenia.
Diskriminasi pada komunitas minoritas mempunyai angka kejadian skizoprenia yang
lebih tinggi. Skizoprenia lebih banyak didapatkan pada masyarakat di lingkungan
perkotaan dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan.

2. Faktor neurobiologis
Perkembangan awal saraf selama masa kehamilan ditentukan oleh asupan gizi selama
hamil (wanita hamil yang kurang gizi mempunyai resiko anaknya berkembang menjadi
skizoprenia) dan trauma psikologis selama masa kehamilan.
Pada masa kanak – kanak disfungsi situasi sosial seperti trauma kecil, kekerasan,
hostilitas dan hubungan interpersonal yang kurang hangat diterima anak, sangat
mempengaruhi perkembangan neurologikal anak sehingga anak lebih rentan mengalami
skizoprenia dikemudian hari.
Penelitian saat ini melihat adannya perbedaan struktur dan fungsi dari otak pada
penderita skizoprenia. Dengan Positron Emission Tomography (PET) dapat terlihat
kurangnya aktivitas di daerah lobus frontal, dimana lobus frontal itu sendiri berfungsi
sebagai memori kerja, penurunan dari aktivitas metabolik frontal dihubungkan dengan
perjalanan penyakit yang lama dan gejala negatif yang lebih erat. Penderita skizoprenia
memiliki kadar fosfomonoester (PME) yang lebih rendah dan katar fosfodiester (PDE)
yang lebih tinggi dibandingkan nilai normal. Konsentrasi fosfat inorganik menurun dan
konsentrasi ATP meningkat. Hal ini disebabkan karena terjadinya hipofungsi di daerah
korteks frontal dorsolateral.
Pemeriksaan dengan menggunakan PET menunjukkan gejala negatif memiliki
abnormalitas yang lebih besar di daerah sirkuit frontal, temporal dan serebelar
dibandingkan dengan penderita skizoprenia dengan gejala positif. Menurunnya atensi
pada penderita skizoprenia berhubungan dengan hipoaktivitas di daerah korteks singulat
anterior. Retardasi motorik berhuungan dengan hipoaktivitas di daerah basal ganglia. 3
Gangguan bicara dan mengekspresikan emosi berhubungan dengan rendahnya
metabolisme glukosa di area Brodmann 22 (korteks bahasa asosiatif sensoris), area
Brodmann 43 (transkortikal), area Brodmann 45 dan 44 (premotorik), area Brodmann 4
dan 6 (motorik).
Gejala positif berhubungan dengan peningkatan aliran darah didaerah
temporomedial, sedangkan gejala disorganisasi berhubungan dengan peningkatan aliran
darah di daerah korteks singulat dan striatum.
Halusinasi sering berhubungan dengan perubahan aliran darah di regia hipokampus,
parahipokampus dan amgdala. Halusinasi yang kronik berhubungan dengan peningkatan
aliran darah di daerah lous temporal kiri.
Waham sering dihubungkan dengan peningkatan aliran darah didaerah lobus
temporalmedial kiri dan penurunan aliran darah didaerah korteks singulat posterior dan
lobus temporal lateral kiri.
Gangguan penilaian realita pada penderita skizoprenia berhubungan dengan aliran
darah didaerah korteks prefrontal lateral kiri, striatum ventral, girus temporalis superior,
dan regio parahipokampus.
Disorganisasi veral pada penderita skizoprenia berhubungan dengan menurunnya
aktivitas didaerah korteks inferior, singulat, dan temporal superior kiri.
Pada penderita skizoprenia didapati adanya penurunan fungsi kognitif. Salah satu
penurunan fungsi kognitif yang sering ditemukan adalah gangguan memori dan fungsi
eksekutif lainnya. Fungsi eksekutif yang terganggu adalah kemampuan bahasa,
memecahkan masalah, mengambil keputusan, atensi dan perencanaan. Sedangkan
gangguan memori yang sering dialami adalah gangguan memori segera dan memori
jangka pendek yang dikenal sebagai memori kerja.

3. Hipotesis dopamine
Skizofrenia disebabkan Karena terlalu banyak aktivitas dopaminergik dan tidak
memperinci apakah hiperaktifitas dopaminergik adalah karena terlalu banyaknya
pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine atau kombinasi mekanisme
tersebut. Neuron dopaminergik didalam jalur tersebut berjalan dari badan selnya diotak
tengah keneuron dopaminoseptif disistem limbic dan korteks serebral2
Peranan penting bagi dopamine dalam patofisiologi skizofrenia adalah penelitian
yang mengukur konsentrasi plasma metabolit dopamine utama, yaitu homovanillik acid
pada plasma yang meningkat.

2.2.4 Patogenesis 2
Pada skizofrenia terdapat penururnan aliran darah dan ambilan glukosa, terutama di
korteks prefrontalis (pada pasien dengan gejala positif) dan juga terdapat penurunan jumlah
neuron (penurunana jumlah substansi grisea). Selain itu, migrasi neuron yang abnormal
selama perkembangan otak secara patofisiologis sangat bermakna.
Atrofi penonjolan dendrit dari sel pyramidal telah ditemukan di korteks prefrontalis dan
girus singulata. Penonjolan dendrit mengandung sinaps glutamatergik.; sehingga transmisi
glutamatergiknya terganggu. Selain itu, pada area yang terkena, pembentukan GABA
dan/jumlah neuron GABAergik tampaknya berkurang sehingga penghambatan sel
pyramidal menjadi berkurang.
Makna patofisiologis yang khusus dikaitkan dengan dopamin; avaibilitas dopamin
atau agonis dopamine yang berlebihan dapat menimbulkan gejala skizofrenia, dan
penghambat reseptor dopamine-D2 telah sukses digunakan dalam penatalaksanaan
skizofrenia. Disisi lain, penurunan reseptor D2 yang ditemukan di korteks prefrontalis, dan
penurunan reseptor D1 dan D2 berkaitan dengan gejala negative skizofrenia, seperti
kurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamine mungkin terjadi akibat pelepasan
dopamine meningkat dan hal ini tidak memiliki efek patogenetik.
Dopamin berperan sebagai transmitter melalui beberapa jalur :
1. Mesolimbik Dopamin Pathways
Mesolimbik dopamin pathways memproyeksikan badan sel dopaminergik ke bagian
ventral tegmentum area (VTA) di batang otak kemudian ke nukleus akumben di daerah
limbik.
Jalur ini berperan penting pada emosional, perilaku khususnya halusinasi
pendengaran, waham, dan gangguan pikiran. Psikostimulan lain seperti amfetamin dan
kokain dapat menyebabkan peningkatan dari dopamin pada jalur ini sehingga
menyebabkan terjadinya simptom positif dan menimbulkan psikosis paranoid jika
pemberin zat ini dilakukan secara berulang.
Nukleus akumbens adalah bagian dari sistem limbik yang mempunyai peranan
untuk mempengaruhi perilaku, seperti pleasurable sensations (sensasi yang
menyenangkan), powerful euphoria pada individu yang memiliki waham, halusinasi serta
pada pengguna zat.

Gambar 3.1 Jalur Dopamin

2. Mesokortikal Dopamin Pathways


Jalur ini dimulai dari daerah ventral tegmentum area ke daerah serebral korteks
khususnya korteks limbik. Peranan mesokortikal dopamin pathways adalah sebagai
mediasi dari simptom negatif dan kognitif pada penderita skizophrenia.
Simptom negatif dan kognitif disebabkan terjadinya penurunan dopamin di jalur
mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal korteks.
Penurunan dopamin di mesokortikal dipamin pathways dapat terjadi secara primer
maupun sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang
berlebihan pada jalurr ini atau melalui blokade antipsikotik terhadap reseptor D2.
Peningkatan dopamin pada mesokortikal dopamin pathways dapat memperbaiki
simptom negatif atau mungkin simptom kognitif. Keadaan ini akan menjadi suatu
dilemma karena peningkatan dopamin di jalur mesolimbik akan meningkatan simptom
positif., sementara penurunan dopamin di jalur mesokortikal akan meningkatkan
simptom negatif dan kognitif.
Hal tersebut dapat diatasi dengan pemerian antipsikotik atipikal pada penderita
skizophrenia. Antipsikotik atipikal menyebabkan dopamin di jalur mesolimbik
menurun tetapi dopamin yang berada di jalur mesokorteks meningkat.

3. Nigrostriatal Dopamin Pathways


Nigrostiatal dopamin pathways berjalan dari daerah substansia nigra pada atang
otak ke daerah basal ganglia atau striatum. Nigrostriatal dopamin pathways bagian dari
sistem saraf ekstrapiramidal dan berfungsi untuk mengontrol pergerakan motorik.
Penurunan dopamin pada nigrostriatal dopamin pathways dapat menyebabkan
gangguan pergerakan seperti ditemukan pada penyakit parkinson, yaitu rigiditas,
akinesia, atau bradikinesia (pergerakan berkurang atau pergerakan melambat) dan
tremor.

4. Tuberoinfundibular Dopamin Pathways


Tuberoinfundibular dopamin pathways dimulai dari daerah hipotalamus ke
hipofisis anterior. Dalam keadaan normal tuberoinfundibular dopamin pathways
dipengaruhi oleh inhibisi dan penglepasan aktif prolaktin.
Peningkatan level prolaktin antara lain dikarenakan terjadinya gangguan dari
fungsi tuberoinfundibular dopamin pathways yang disebabkan oleh lesi atau pemakaian
obat – obatan antipsikotik.
Manifestasi klinis akibat peningkatan level prolaktin dapat berupa galaktorea,
amenorea, atau disfungsi seksual. Hal ini sering terjadi selama atau setelah pemberian
obat antipsikotik.

2.2.5 Gejala dan diagnosis 2

1. Penampilan dan perilaku umum


Pasien dengan skizofrenia kronis cenderung menelantarkan penampilannya.kerapian dan
higienis pribadi juga terabaikan. Mereka juga cenderung menarik diri secara sosial.
2. Gangguan pembicaraan
Intinya terdapat gangguan pada proses pikir :
o Yang terganggu terutama adalah asosiasi. Asosiasi longgar berarti tidak adanya
hubungan antar ide. Kalimat-kalimatnya tidak saling berhubungan. Kadang-kadang
satu ide belum selesai diutarakan, sudah ditemukan ide lainnya
o Inkoherensiasi
o Clang association : asosiasi bunyi: misalnya piring, miring
o Neologisme : membentuk kata baru untuk menyatakan arti yang hanya dipahami oleh
dirinya sendiri
o Mutisme : sering tampak pada pasein skizofrenia katatonik
o Blocking : kadang-kadang fikiran terhenti, tidak timbul ide lagi
3. Gangguan perilaku
o Gejala katatonik yang dapat berupa stupor atau gaduh dan gelisah
o Stereotipi : berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau mengambil sikap badan
tertentu misalnya menarik-narik rambut dapat berlangsung beberapa hari atau
beberapa tahun
o Manerisme : stereotipi tertentu pada skizofrenia yang dapat dilihat dalam bentuk
grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan
o Negativism : melakukan hal yang berlawanan dengan apa yang disuruh
o Otomatisme komando : menentang atau justru melakukan; semua perintah justru
dituruti secara otomatis.
4. Gangguan afek
o Kedangkalan respon emosi : pasien acuh tak acuh
o Anhedonia : perasaan halus juga hilang
o Parathimi : apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada
penderita timbul rasa sedih atau marah
o Paramimi : penderita merasa senang dan gembira akan tetapi ia menangis
o Ambivalensi : karena terpecah-pecahnya kepribadian, maka dua hal yang berlawanan
mungkin timbul bersama-sama
o Sensitivitas emosi : menunjukan hipersensitivitas pada penolakan sering
menimbulkan isolasi social untuk menghindari penolakan.
5. Gangguan persepsi
o Halusinasi
Halusinasi paling sering adalah auditorik dalam bentuk suara manusia, halusinasi
penciuman, halusinasi pengecapan, dan halusinasi rabaan jarang dijumpai
6. Gangguan pikiran
o Waham : waham sering tidak logis sama sekali.mayer gross membagi waham dalam 2
kelompok : waham primer dan waham sekunder
o Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari
luar
o Waham sekunder biasanya logis kedengarannya dapat diikuti dan merupakan cara
bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain.

Kriteria Diagnosis menurut PPDGJ-III, adalah: 5


I. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :
(a) “Thought echo” : Isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kulitasnya berbeda; atau
“Thought insertion or withdrawal” : Isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
(withdrawal); dan
“Thought broadcasting”: Isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
(b) “Delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dati luar; atau
“Delusion of influence” : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
“Delusion of passivity” : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar;(tentang ‘dirinya”: secara jelas merujuk ke pergerakan
tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan atau penginderaan khusus);
“Delusional perception” : pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
 Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
 Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara), atau
 Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari
dunia lain).
II. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang
menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-
bulan terus menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan (interpolation),
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
(h) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja social; tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
III. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).
IV. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadai (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

Kritetria penegakkan diagnosa berdasarkan DSM-IV (Kriteria resmi dari American


Psychiatric Association), antara lain :
A. Gejala karakteristik : Dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan untuk bagian
waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan berhasil)
1) Waham
2) Halusinasi
3) Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau inkoheren)
4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
5) Gejala negatif,
B. Disfungsi sosial/pekerjaan : Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan,
satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan
diri, adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa
anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal,
akademik, atau pekerjaan yang diharapkan)
C. Durasi : Tanda ganguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Periode 6
bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang jika diobati dengan
berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaitu, gejala fase aktif) dan mungkin termasuk
periode gejala prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual, tanda
gangguan mungkin dimanifestasikan hanya oleh gejala negative atau 2 atau lebih gejala
yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang diperlemah (misalnya, keyakinan
yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim)
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gannguan mood. Gangguan skizoafektif dan
ganggaun mood dengan cirri psikotik telah disingkirkan karena :
(1) Tidak ada episode depresif berat, manic, atau campuran yang telah terjadi bersama-
sama dengan gejala fase aktif, atau
(2) Jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya adalah
relative singakat dibandingkan durasi periode aktif dan residual
E. Penyingkiran zat / kondisi medis umum. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis
lansung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu
kondisi medis umum
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasive. Jika terdapat riwayat adanya
gangguan autistic atau gangguan perkembangan pervasive lainnya, diagnosis tambahan
skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga ditemukan untuk
sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati secara berhasil)
2.2.6 Prognosis 2
Prognosis baik Prognosis buruk
- Late onset - Onset usia muda
- Onset akut - Onset bertahan dan tidak jelas
- Mempunyai faktor pencetus yang - Tidak diketahui faktor pencetus
jelas - Memiliki riwayat premorbid
- Memiliki riwayat premorbid yang - Dijumpai perilaku menarik diri
baik dalam sosial, seksua, dan - Belum menikah atau bercerai
pekerjaan - Memiliki riwayat skizo
- Mempunyai sitem support yang - Mempunyai sistem support yang buruk
baik - Memiliki riwayat skizo pada
keluargannya
2.3 ANTIPSIKOTIK 1,2,3,4
Antipsikotik juga disebut neuroleptik atau major tranquillizers, adalah antagonis dopamin
yang menyekat reseptor dopamin dalam berbagai jaras di otak. Neuroleptik bermanfaat pada
terapi psikosis akut maupun kronis. Ciri terpenting obat neuroleptik ialah :
 Berefek anti psikosis, yaitu berguna untuk mengatasi agresivitas, hiper aktivitas dan
labilitas emosional pada pasien psikosis.
 Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anesthesia.
 Dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal yang reversible atau ireversibel.
 Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan psikis atau fisik.

2.3.1 Indikasi penggunaan


Gejala sasaran antipsikosis (target syndrome) : SINDROM PSIKOSIS, yaitu :
- Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability),
bermanifestasi dalam gejala : kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai
norma sosial (judgement) terganggu, dan insight terganggu.
- Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala : gangguan
asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar (waham), gangguan persepsi
(halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi), dan perilaku yang aneh
atau tidak terkendali (disorganized).
- Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala : tidak
mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.

Sindroma psikosis dapat terjadi pada :


- Sindrom psikosis fungsional : Skizofrenia, psikosis paranoid, psikosis afektif,
psikosis reaktif singkat, dll.
- Sindrom psikosis organik : Delirium, dementia, intoksikasi alkohol, dll.

Obat-obat neuroleptika juga disebut tranquilizer mayor, obat anti psikotik atau obat anti
skizofren, karena terutama digunakan dalam pengobatan skizofrenia tetapi juga efektif untuk
psikotik lain, seperti keadaan manik atau delirium.Antipsikoti yang beredar dipasaran dapat
dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu :
I. Obat anti psikotik tipikal
Antipsikotik tipikal bekerja dengan memblok reseptor D2 di jalur mesolimbik, sehingga
dengan cepat menurunkan gejala positif. Jenis antipsikotik tipikal diklasifikasikan berdasarkan
jenis rantai, yaitu :
Jenis rantai Contoh
1. Phenothiazine  Rantai aliphatic
CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE
 Rantai piperazine
PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
 Rantai piperidine
THIORIDAZINE

2. Butyrophenone  HALOPERIDOL
3. Diphenyl-butyl-piperidine  PIMOZIDE

Mekanisme Kerja Antipsikotik Tipikal

Mekanisme kerja antipsikotik tipikal dengan cara memblok reseptor D2 pada jalur
mesolimbik. Akibatnya akan mereduksi hiperaktifitas pada jalur tersebut sehingga akan
menurunkan gejala positif.
Antipsikotik tipikal tidak hanya memblok reseptor D2 di jalur mesolimbik karena
antipsikotik jenis ini memberikan efek ke seluruh bagian otak. Dengan demikian antipsikotik ini
akan mencari setiap reseptor D2 diseluruh otak dan menginhibisi reseptor D2 tersebut.
Secara spesifik, antipsikotik ini juga dapat memblok reseptor D2 di jalur mesokortikal.
Peranan mesokortikal dopamin pathways adalah sebagai mediasi dari simptom negatif dan
kognitif pada penderita skizophrenia. Simptom negatif dan kognitif disebabkan terjadinya
penurunan dopamin di jalur mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal korteks.
Penurunan dopamin di mesokortikal dopamin pathways dapat terjadi secara primer maupun
sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang berlebihan pada jalur ini
atau melalui blokade antipsikotik terhadap reseptor D2. Keadaan ini akan menjadi suatu dilema
karena peningkatan dopamin di jalur mesolimbik akan meningkatan simptom positif, sementara
penurunan dopamin di jalur mesokortikal akan meningkatkan simptom negatif dan kognitif.

Penghambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapan menimbulkan gangguan


pergerakan seperti ditemukan pada penyakit parkinson, yaitu rigiditas, akinesia, atau bradikinesia
(pergerakan berkurang atau pergerakan melambat) dan tremor. Karena jalur nigrostriatal
merupakan bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal, efek samping pemberian antipsikotik tipikal
ini dapat menimbulkan sindrom ekstrapiramidal.
Sedangkan inhibisi reseptor D2 pada jalur tuberoinfundibular dapat menyebabkan
konsentrasi prolaktin meningkat, atau biasa disebut hiperprolaktinemia. Hal ini berhubungan
dengan keadaan galaktorea dan amenore sehingga dapat mengganggu fertilitas, terutama pada
wanita hiperprolaktinemia dapat menyebabkan demineralisasi tulang pada wanita post
menopause yang tidak menerima terapi pengganti esterogen. Masalah lain yang terkait dengan
kadar prolakin yang tinggi dapat mengakibatkan disfungsi seksual kenaikan berat badan,
meskipun peran prolaktin pada mekanisme penyebab diatas masih belum diketahui.

2.3.2 Cara pemilihan obat


 Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama
pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping: sedasi,
otonomik, ekstrapiramidal)
Anti-psikosis Mg.Eq Dosis (Mg/h) Sedasi Otonomik Eks. Pir
Clorpomazine 100 150 - 1600 +++ +++ ++
Thioridazine 100 100 -900 +++ +++ +
Perphenazine 8 8 - 48 + + +++
Trifluoperazine 5 5 - 60 + + +++
Fluphenazine 5 5 - 60 ++ + +++
Haloperidol 2 2 - 100 + + ++++

 Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan


dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.
Misalnya pada contoh sbb: Chlorpromazine dan Thioridazine yang efek samping sedatif
kuat terutama digunakan terhadap Sindrom Psikosis dengan gejala dominan: gaduh
gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, dan perilaku,dll. Sedangkan
Trifluoperazine, dan Haloperidol yang efek samping sedatif lemah digunakan terhadap
Sindrom Psikosis dengan gejala dominan : apatis, menarik diri, perasaan tumpul,
kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi, dll. Tetapi obat yang
terakhir ini paling mudah menyebabkan timbulnya gejala ekstrapiramidal pada pasien
yang rentan terhadap efek samping tersebut perlu digantikan dengan Thioriodazine (dosis
ekivalen) dimana efek samping ekstrapiramidalnya sangat ringan. Untuk pasien yang
sampai timbul "tardive dyskinesia" obat anti-psikosis yang tanpa efek samping
ekstrapiramidal adalah Clozapine.
 Apabila obat anti-psikosis tertentu tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat anti-
psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama) , dengan dosis ekivalen-nya,
dimana profil efek samping belum tentu sama.
 Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis obat anti-
psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya,
dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
 Apabila gejala negatif ( afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran miskin) lebih
menonjol dari gejala positif ( waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tak terkendali)
pada pasien Skizofrenia, pilihan obat antipsikosis- atipikal perlu dipertimbangkan.
khususnya pada penderita Skizofrenia yang tidak dapat mentolerir efek samping
ekstrapiramidal atau mempunyai resiko medik dengan adanya gejala ekstrapiramidal
(neuroleptic induced medical complication).

2.3.3 Efek samping


Antipsikotik tipikal selain memblokir reseptor D2 di empat jalur dopamin, memiliki sifat
farmakologi penting lainnya yaitu, kemampuan antispsikotik tipikal untuk menghambat reseptor
kolinergik muskarinik. Hal ini dapat menyebabkan efek samping seperti mulut kering,
penglihatan kabur, konstipasi, dan penurunan fungsi kognitif. Penghambatan kolinergik
muskarinik juga dapat menjelaskan mengapa antipsikotik tipikal memiiki efek samping
ekstrapiramidal yang lebih tinggi dibandingan dengan yang lain. Untuk itu, antipsikotik tipikal
yang menyebabkan efeksamping ekstrapiramidal memiliki sifat antikolinergik yang lemah,
sedangkan antipsikotik atipikal memiliki sifat antikolinergik yang kuat. Muskarinik blokade
dapat mengurangi efek samping ekstrapiramidal memiliki peranan bahwa dopamin dan
asetilkolin memiliki hubangan timbal balik pada jalur nigrostriatal. Neuron dopamin di jalur
nigrostriatal membuat jalur koneksi dengan neuron kolinergik postsinaps. Dopamin biasanya
menghambat pelepasan asetilkolin dari postsinaps sehinggal menekan aktifitas asetilkolin yang
ada. Jika dopamin tidak dapat lagi menekan pelepasan asetilkolin akibat penghambatan reseptor
dopamin oleh obat antipsokoti tipikal, maka asetilkolin terlaku aktif sehingga timbul efek
samping seperti mulut kering, penglihatan kabur, konstipasi, dan penurunan fungsi kognitif.
Salah satu cara untuk mengimbangi aktifitas yang berlebihan pada asetilkolin adalah
dengan agen antikolinergik. Dengan deminkian, antikolinergik mengurangi aktifitas asetilkolin
yang disebabkan oleh penghambatan resptor dopamin oleh antipsikotik tipikal. Penggunaan
bersamaan obat ini tidak mengurangi kemampuan antipsikotik tipikal untuk menyebabkan
tardive dyskinesia.
1. KLORPROMAZIN DAN DERIVAT FENOTIAZIN
Batas keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Efek samping umumnya
merupakan perluasan efek farmakodinamiknya. Gejala idiosinkrasi mungkin timbul, berupa
ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi ini disertai eosinofilia dalam darah perifer.

Efek endokrin
CPZ menghambat ovulasi dan menstruasi, juga menghambat sekresi ACTH. Hal ini dikaitkan
dengan efeknya terhadap hipotalamus. Semua fenotiazin, kecuali klozapin menimbulkan
hiperprolaktinemia lewat penghambatan efek sentral dopamin.
Kardiovaskular
Dapat menimbulkan hipotensi berdasarkan :
 Refleks presor yang penting untuk mempertahankan tekanan darah yang dihambat oleh
CPZ
 Berefek  bloker
 Menimbulkan efek inotropik negatif pada jantung
 Toleransi dapat timbul terhadap efek hipotensi CPZ
Neurologik
Dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal seperti parkinsonisme pada dosis berlebihan.
Dikenal 6 gejala sindrom neuroleptik yang karakteristik pada obat ini, empat diantaranya
terjadi sewaktu obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme dan sindroma
neuroleptik malignant, sedangkan dua gejala lain timbul setelah pengobatan berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun, berupa tremor perioral dan diskinesia tardif.

2. BUTYROPHENONE
Menimbulkan reaksi ekstra pyramidal terutama pada pasien usia muda. Dapat terjadi depresi
akibat reversi keadaan mania atau sebagai efek samping. Leukopenia dan agranulositosis
ringan dapat terjadi. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil.
Susunan saraf pusat
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami eksitasi,
menurunkan ambang rangsang konvulsif, menghambat sistem dopamin dan hypothalamus,
juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.
Sistem saraf otonom
Dapat menyebabkan pandangan kabur. Obat ini menghambat aktifitas reseptor  yang
disebabkan oleh amin simpatomimetik.
Sistem kardiovaskular dan respirasi
Menyebabkan hipotensi, takikardi, dan dapat menimbulkan potensiasi dengan obat
penghambat respirasi.
Efek endokrin
Menyebabkan galaktore

3. DIBENZODIAZEPIN
Agranulositosis merupakan efek samping utama pada pengobatan dengan klozapin. Gejala
ini timbul paling sering 6-18 minggu setelah pemberian obat, dengan resiko 1,2% pada
penggunaan setelah 4 minggu. Penggunaan obat ini tidak boleh lebih dari 6 minggu kecuali
bila terlihat ada perbaikan. Dapat pula terjadi hipertermia, takikardia, sedasi, pusing kepala,
hipersalivasi, kantuk, letargi, koma, disorientasi, delirium, depresi pernapasan, aritmia dan
kejang.

EFEK SAMPING OBAT ANTIPSIKOSIS

OBAT ANTI PSIKOSIS EFEK EFEK EFEK EFEK


HIPOTE
EKSTR ANTIE SEDATIF NSIF
APIRA METIK
MIDAL

A. DERIVAT FENOTIAZIN

1. Senyawa dimetilaminopropil :

Klorpromazin ++ ++ +++ ++

Promazin ++ ++ ++ +++

Triflupromazin +++ +++ +++ +

2. Senyawa piperidil :
Mepazin ++ ++ +++ ++

Tioridazin + + ++ ++

3. Senyawa piperazin :

Asetofenazin ++ ++ + +

Karfenazin +++ +++ ++ ++

Flufenazin +++ +++ ++ +

Perfenazin +++ +++ + +

Proklorperazin +++ +++ ++ +

Trifluoperazin tiopropazat +++ +++ ++ +

B. NON-FENOTIAZIN

Klorprotiksen ++ ++ +++ ++

C. BUTYROPHENONE

Haloperidol +++ +++ + +

EFEK SAMPING NEUROLOGIK OBAT NEUROLEPTIK

EFEK GAMBARAN WAKTU MEKANISME PENGOBATAN

KLINIS RESIKO

MAKSIMAL

Distonia akut Spasme otot 1-5 hari Belum Dapat diberikan


lidah, wajah, diketahui berbagai
leher, punggung ; pengobatan, obat
dapat menyerupai anti Parkinson
bangkitan ; bukan bersifat
histeria diagnostik dan
kuratif

Akatisia Ketidak- 5-60 hari Belum Kurangi dosis


tenangan, diketahui atau ganti obat;
motorik, bukan obat anti
ansietas atau Parkinson,
agitasi benzodiazepin,
atau propanolol

Parkinsonisme Bradikinesia, 5-30 hari Antagonisme Obat anti


rigiditas, macam- dengan Parkinson
macam tremor, dopamin menolong
wajah topeng,
suffling gait

Sindroma Katatonik, Berminggu- Ada kontribusi Hentikan


malignan stupor, demam, minggu, dapat antagonisme neuroleptik
tekanan darah bertahan dengan segera; dantrolene
tidak stabil, beberapa hari dopamin atau bromokriptin
mioglobinemia,; setelah obat dapat menolong;
dapat fatal dihentikan obat anti
Parkinson lainnya
tidak efektif

Tremor perioral Tremor perioral Setelah Belum Obat


(sindroma (mungkin sejenis berbulan- diketahui antiparkinson
kelinci) perkinsonisme bulan atau sering menolong
yang dating bertahun-
terlambat) tahun
pengobatan

Diskinesia tardif Diskinesia mulut- Setelah Diduga : Sulit dicegah,


wajah; berbulan- kelebihan efek pengobatan tidak
koreoatetosis bulan atau dopamin memuaskan
atau distonia bertahun-
meluas tahun
(memburuk
dengan
penghentian)

Efek samping yang ireversibel seperti tardif diskinesia (gerakan berulang involunter pada
lidah, wajah, mulut/rahang dan anggota gerak dimana saat tidur gejala menghilang) yang timbul
akibat pemakaian jangka panjang dan tidak terkait dengan besarnya dosis. Bila gejala tersebut
timbul maka obat anti psikotik perlahan-lahan dihentikan, bias dicoba pemberian Reserpine 2,5
mg/h (dopamine depleting agent). Penggunaan L-dopa dapat memperburuk keadaan. Obat anti
psikotik hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis atau keinginan
untuk bunuh diri.

II. Obat anti psikotik atipikal


Dalam perspektif farmakologis, antipsikotik atipikal diklasifikasikan sebagai Serotonin-
Dopamin Antagonis (SDA). Antipsikotik ini memanfaatkan interaksi serotonin dan dopamine di
empat jalur dopamine. Mekanisme kerja secara umum obat ini adalah mengambat reseptor
dopamine D2 dan reseptor serotonin 5HT2. Serotonin mempunyai banyak pengaruh diantaranya
terhaap kecemasan, nafsu makan, kognitif, proses belajar, memori, mood, tidur, dan
thermoregulasi. Sifat klinis yang membedakan dengan antipsikotik tipikal yaitu gejala
ekstrapiramidal yang rendah dan efektif untuk gejala negative. Dengan memahami perbedaan
antara inhibisi reseptor D2 antipsikotik tipikal dengan inhibisi reseptor serotonin 2A dan reseptor
D2 dapat dijelaskan perbedaan mekanisme kerja antipsikotik tersebut diatas. Dibawah ini jenis
antipstikotik tipikal yaitu :
Jenis Contoh
1. Benzamide SULPIRIDE
2. Dibenzodiazepin CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE

3. Benzisoxazole RISPERIDON
2.3.4 Mekanisme Kerja Antipsikotik Atipikal

Serotonin memiliki peranan penting dengan dopamin, tetapi pengaruh tersebut memiliki
perbedaan pada empat jalur dopamine. Memahami serotogenik dalam kontrol pelepasan
dopamine di empat jalu sangat penting untuk membedakan peranan antipsikotik tipikal dan
antipikal. Serotonin menghambat pelepasan dopamine dari jalur terminal akson dopaminergik.
Neuron serotonin berasal dari raphe batang otak. Serotonin berinteraksi dengan reseptor
serotonin postsinaps 5HT2A pada neuron dopamine, dan menghambat pelepasan dopamine.
Dengan demikian dalam jalur nigrostriatal ini, serotonin memiliki kontrol yang kuat dalam
pelepasan dopamin karena terjadi di dua bagian. Pertama pada bagian persarafan serotonergik
dari substansia nigra, terminal akson dai sinaps raphe pada badan sel dan dendrite sel
dopaminergik. Dengan demikian, interaksi serotonin melauli reseptor 5HT2A pada neuron
dopamin akan menginhibisi pelepasan dopamine.
Pada jalur nigrostriatal serotonin 2A menstimulasi reseptor 5HT2A yang menghambat
pelepasan dopamin. Dengan demikian, 5HT2A antagonis membalikan D2 antagonis di alur
nigrostriatal. Hal ini yang mengakibatkan penurunan atau bahkan tidak adanya sindrom
ekstrapiramidal dan tardive diskinesia, karena ada pengurangan blockade reseptor D2 di jalur ini.
Sedangkan pada jalur mesokortikal serotonin 2A anatgonis tidak hanya membalikan
aktifitas D2 antagonis tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya aktfitas dopamine di jalur
mesokortkal, berbeda dengan jalur nigrostriatal dimana reseptor D2 mendominasi, terdapat
dominasi serotonin 2A dua kali lebih banyak dibagian korteks serebri. Dengan demikian,dalam
jalur mesokortikal, antipsikotik atipikal SDA memiliki efek yang lebih besar dalam menghambat
reseptor serotonin 2A, dari pada memnghambat reseptor D2. Pelepasan dopamine pada jalur ini
menguntukan bagi gejala negative skizofrenia, dan uji klinis menunjukan bahwa anti psikotik
atipikal lebih baik dalam memperbaiki gejala negative dari pada antipsikotik tipikal.

Sedangkan pada jalur tuberoinfundibular antagonis serotonin 2A dapat membalikan


antagonis dopamine 2. Terdapat hubungan antagonis dan timbale balik antara serotonin dan
dopamine dalam kontrol sekresi prolakti di sel lactoroph hipofisis. Artinya, dopamine
menghambat pelepasan prolaktin dengan merangsang reseptor D2, sedangkan serotonin
menstimulis pelepasan 5HT2A reseptor. Jadi ketika reseptor D2 dihambat oelh antipsikotik
tipikal. Dopamine tidak bisa lagi menghambat pelepasan prolaktin, sehingga kadar prolaktin
meningkat. Namun, pada antipsikotik atipikal, terdapat penghambat stimulus reseptor 5HT2A,
sehingga serotonin tidak dapat menstimulus pelepasan proalktin. Hal ini cenderung untuk
mengurangi hiperprolaktinemia pada penghambatan reseptor D2. Meskipun ini adalah
farmakologi teoritis menarik, dalam prakteknya tidak semua SDA mengurangi sekresi prolaktin
pada tingkat yang sama, dan beberapa kasus tidak mengurangi sama sekali.

Pada jalur mesolimbik antagonis serotonin tidak dapat membalikan kerja antagonis D2 .
terbukti bahwa antagonis serotonin tidak cukup kuat untuk membalikan kerja reseptor D2.
Sehingga tidak dapat merubah kerja antipsikotik atipikal dalam mengatasi gejala positif pada
skizofrenia.
Antipsikotik atipikal masih relatif baru, terdapat empat temuan yang menguntukan pada
antipsikotik atipikal. Pertama, antipsikotik atipikal memiliki efek sindrom ekstrapiramidal yang
sedikit bila dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Kedua, antipsikotik atipikal mengurangi
gejala negatif skizofrenia lebih sedikit bila dibandingkan antipsikotik tipikal. Ketiga, antipsikotik
atipikal mengurangi gejala afektik pada gangguan pada skizofrenia. Dan keempat, antipsikotik
atipikal mengurangi gejala kognitif pada skizofrenia dan gangguan seperti pada penyakit
alzheimer.
Penggunaan antipsikotik atipikal pada pasien skizofrenia, meskipun obat ini terbaik untuk
menangani gejala psoitif skizofrenia menjadi pengobatan lini pertama akut dan untuk dosis
pemeliharaan gejala positif psikosis, selain itu obat ini dapat digunakan pada pasien bipolar tipe
manik, depresi, skizoafektif, gangguan perilaku kognitif pada penyakit alzheimer, penyakit
parkinson, dan gangguan mental organik.

2.3.5 Cara pemilihan obat

Anti-psikosis Mg.Eq Dosis (Mg/h) Sedasi Otonomik Eks. Pir


Clozapin 25 25-200 ++++ + -
Zotepine 50 75-100 + + +
Sulpiride 200 200-1600 + + +
Risperidone 2 2-9 + + +
Quetiapine 100 50-400 + + +
Olanzapine 10 10-20 + + +
Aripiprazole 10 10-20 + + +

Pemilihan sediaan obat antipsikosis dapat didasarkan atas strukur kimia serta efek
farmakologik yang menyertainya. Berhubung perbedaan antargolongan antipsikosis lebih nyata
daripa perbedaan masing-masing obat dalam golongannya, maka cukup dipilih salah satu obat
dari tiap golongan untuk tujuan tertentu.
Menonjolnya salah satu gejala umumnya bukan merupakan patokan dalam pemilihan
obat. Tidak perlu mengenal semua obat psikotik untuk pengobatan jangka panjang, tetapi 1 atau
2 obat dari tiap kelompok perlu dikenal secara baik efeknya maupun efek sampingnya. Pedoman
terbaik dalam memilih obat secara individual ialah riwayat respons pasien terhadap obat.
Kecendurungan pengobatan saat ini ialah meninggalkan obat antipsikosis berpotensi rendah,
misalnya klorpromazin, dan tioridazin, kearah penggunaan obat berpotensi tinggi, misalnya
tiotiksen, haloperidol dan flufenazin.
Pada saat ini penggunaan klozapin dibatasi hanya diindikasikan pada pasien yang gagal
diobati dosis tinggi antipsikosis konvensional dan yang mengalami diskinesia Tardif berat;
sehubungan dengan efek agranulositosis dan kejang yang disebabkannya.
Sebagai pedoman pemilihan antipsikosis dapat disebutkan hal-hal sebagai berikut:
 bila resiko tidak diketahui atau tidak ada komplikasi yang diketahui sebelumnya
maka pilihan jatuh pada fenotiazin berpotensi tinggi
 bila kepatuhan penderita (compliance) dalam menggunakan obat tidak terjamin,
maka pilihan jatuh pada flufenazin oral dan kemudian tiap dua minggu diberikan
suntikan flufenazin enantan dan ekanoat
 bila penderita mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular atau stroke sehingga
hipotensi merupakan hal yang membahayakan maka pilihan jatuh pada fenotiazin
piperazin atau haloperidol
 bila karena alasan usia atau factor penyakit, terdapat resiko efek samping gejala
ekstrapiramidal yang nyata, maka pilihan jatuh pada tioridazin
 tioridazin tidak boleh digunakan apabila terdapat gangguan ejakulasi
 bila efek sedasi berat perlu dihindari, maka pilihan jatuh pada haloperidol atau
fenotiazin piperazin
 bila penderita mempunyai kelainan hepar atau cenderung menderita ikterus,
haloperidol merupakan obat yang paling aman pada stadium awal pengobatan

Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan
efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekuivalen.misalnya contoh sebagai
berikut: CPZ dan Thioridazine yang efek sedative kuat, terutama digunakan terhadap sindrom
psikosis dengan gejala dominan: gaduh gelisah, hiperaktif, susah tidur, kekacauan pikiran,
perasaan, perliaku, dan lain sebagainya. Sedangkan Trifluoroperazine, Fluphenzine dan
Haloperidol yang efek samping sedatif lemah digunakan terhadap Sindrom psikosis dengan
gejala dominan : apatis, menarik diri, persaan tumpul, kehilangan minat, dan inisiatif, hipoaktif,
waham halusinasi dan lain-lain. Tetapi obat yang terakhir ini paling mudah menyebabkan gejala
ekstrapiramidal, pada pasien yang rentan terhadap efek samping tersebut, perlu digantikan
dengan Thioridazine (dosis ekuivalen) di mana efek samping ekstrapiramidalnya sangat ringan.
Untuk Pasien yang sampai timbul “Tardive Dyskinesia” obat antipsikotik yang tanpa efek
samping ekstrapiramidalnya adalah Clozapine.

2.3.6 Pengaturan dosis


Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan :
 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam
 Waktu paruh : 12 – 24 jam (pemberian 1- 2 X /hari
 Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping
sehingga tidak begitu menggangu kualitas hidup pasien

Dosis awal sesuai dengan dosis anjuran  dinaikan setiap 2 – 3 hari  dosis efektif (timbul
sindrom psikosis)  dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan  dosis optimal 
dipertahankan sekitar 8 – 12 minggu  diturunkan setiap 12 minggu  dosis maintenance 
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun  tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu)  stop

2.3.7 Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM)


Merupaakn kondisi yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi terhadap obat
antipsikotik. Semua pasien yang diberikan antipsikotik mempunyai risiko untuk terjadinya SNM
tetapi dengan kondisi dehidrasi, kelelahan, atau malnutrisi, risiko ini akan menjadi lebih tinggi.
Gejala :
 Suhu badan lebih dari 38 derajat celcius (hiperpireksia)
 Terdapat sindrom ekstrapiramidal yang berat (rigiditas)
 Gejala disfungsi otonomik (incontinensia urin)
 Perubahan status mental
 Perubahan tingkat kesadaran
 Gejala tersebut timbul dan berkembang dengan cepat
 Pengobatan : hentikan segera obat antipsikotik, perawatan suportif, obat dopamine
agonist (bromokriptin 7,5-60 mg/h, L-dopa 2x100mg/h, atau amatadin 200mg/h)
BAB III
KESIMPULAN

1. Pengobatan antipsikotik ditujukan untuk menghambat aktifitas berlebihan pada


neurotransmitter otak utamanya dopamine
2. Obat-obatan antipsikotik terbagi atas 2 jenis yaitu golongan tipikal yang hanya bekerja
dengan menghambar reseptor dopamin D2 dan golongan atipikal yang selain
menghambat reseptor dopamin D2, dia juga menghambat reseptor serotonin 5HT2
3. Pemberian obat-obatan antipsikotik didasarkan pada gejala klinis yang timbul dan efek
samping masing-masing obat
DAFTAR PUSTAKA

1. Stahl, Stephen M., Essential Psychopharmacology 2nd Edition.


2. Kaplan HI, Sadock BJ. Kaplan and Saddock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Science/ Clinical Psychiatry. 8th ed. Maryland: William & Wilkins; 1998.
3. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2001.
4. Maslim R, Panduan Praktis Penggunaan Klini, Obat Psikotropik. Edisi 3. Jakarta: 2001.
5. PPDGJ-III

Anda mungkin juga menyukai