TINJAUAN PUSTAKA
1. Jalur mesolimbik
Mesolimbik dopamin pathways memproyeksikan badan sel dopaminergik ke bagian
ventral tegmentum area (VTA) di batang otak kemudian ke nukleus akumben di daerah
limbik. Nukleus akumbens adalah bagian dari sistem limbik yang mempunyai peranan
untuk mempengaruhi perilaku, seperti pleasurable sensations (sensasi yang
menyenangkan), powerful euphoria pada individu yang memiliki waham, halusinasi
serta pada pengguna zat.
Peningkatan dopamin pada jalur ini akan menimbulkan gejala positif. Jalur ini
berperan penting pada emosional, perilaku khususnya halusinasi pendengaran, waham,
dan gangguan pikiran. Psikostimulan lain seperti amfetamin dan kokain dapat
menyebabkan peningkatan dari dopamin pada jalur ini sehingga menyebabkan terjadinya
simptom positif dan menimbulkan psikosis paranoid jika pemberin zat ini dilakukan
secara berulang.
2. Jalur mesokortikal
Jalur ini dimulai dari daerah ventral tegmentum area ke daerah serebral korteks
khususnya korteks limbik. Peranan mesokortikal dopamin pathways adalah sebagai
mediasi dari simptom negatif dan kognitif pada penderita skizophrenia.
Simptom negatif dan kognitif disebabkan terjadinya penurunan dopamin di jalur
mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal korteks. Penurunan dopamin
di mesokortikal dopamin pathways dapat terjadi secara primer maupun sekunder.
Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang berlebihan pada jalur ini atau
melalui blokade antipsikotik terhadap reseptor D2.
Peningkatan dopamin pada mesokortikal dopamin pathways dapat memperbaiki
simptom negatif atau mungkin simptom kognitif. Keadaan ini akan menjadi suatu dilema
karena peningkatan dopamin di jalur mesolimbik akan meningkatan simptom positif.,
sementara penurunan dopamin di jalur mesokortikal akan meningkatkan simptom negatif
dan kognitif. Hal tersebut dapat diatasi dengan pemerian antipsikotik atipikal pada
penderita skizophrenia. Antipsikotik atipikal menyebabkan dopamin di jalur mesolimbik
menurun tetapi dopamin yang berada di jalur mesokorteks meningkat.
3. Jalur nigrostriatal
Nigrostiatal dopamin pathways berjalan dari daerah substansia nigra pada atang
otak ke daerah basal ganglia atau striatum. Nigrostriatal dopamin pathways bagian dari
sistem saraf ekstrapiramidal dan berfungsi untuk mengontrol pergerakan motorik.
Penurunan dopamin pada nigrostriatal dopamin pathways dapat menyebabkan
gangguan pergerakan seperti ditemukan pada penyakit parkinson, yaitu rigiditas, akinesia,
atau bradikinesia (pergerakan berkurang atau pergerakan melambat) dan tremor.
4. Jalur tuberoinfundibular
2.2.1 Definisi 2
Skizofrenia merupakan sindroma klinis dari berbagai keadaan patologis yang sangat
mengganggu yang melibatkan gangguan proses berpikir, emosi dan tingkah laku. Menurut
PPDGJ-III, Skizofrenia adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan
penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh
genetik, fisik dan sosial budaya.
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikirin dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (Inappropriate) atau tumpul
(Blunted). Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara
walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
Menurut DSM-IV, adapun klasifikasi untuk skizofrenia ada 5 yakni subtipe paranoid,
terdisorganisasi (hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan dan residual. Untuk istilah
skizofrenia simpleks dalam DSM-IV adalah gangguan deteriorative sederhana. Sedangkan
menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia
yang ke-III skizofrenia dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu katatonik, paranoid, hebefrenik, tak
terinci (undifferentiated), simpleks, residual dan depresi pasca skizofrenia.
2.2.2 Epidemiologi 2
Prevalensi antara laki-laki dan perempuan sama, namun menunjukkan perbedaan
dalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset yang lebih awal daripada
perempuan. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, sedangkan
perempuan 25 sampai 35 tahun. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa laki-laki
adalah lebih mungkin daripada wanita untuk terganggua oleh gejala negative dan wanita
lebih mungkin memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Pada umumnya,
hasil akhir untuk pasien skizofrenia wanita adalah lebih baik daripada hasil akhir untuk
skizofrenia laki-laki.
2.2.3 Etiologi 2
1. Model diatesis stres
Menurut teori ini skizoprenia dapat timbul karena adanya integrasi antara faktor
biologis, faktor psikososial dan lingkungan. Seorang yang rentan (diatesis) jika dikenai
stresor akan lebih mudah menjadi skizoprenia.
Faktor genetik mempunyai peranan dalam terjadinya suatu skizooprenia. Ada 7 gen
yang mempengaruhi perkembangan skizoprenia. Kembar identik dipengaruhi oleh gen
sebesar 28% sedangkan pada kembar monozygot dan kembar dyzigot pengaruhnya
sebesar 1,8 – 4,1%. Skizoprenia kemungkinan berkaitan dengan kromosom 1,3,5,11 dan
kromosom X. Penelitian genetik ini dihubungkan dengan COMT (Catechol-O- Methyl
Transferse) dalam encoding dopamin sehingga mempengaruhi fungsi dopamin.
Faktor pencetus dan kekambuhan dari skizoprenia dipengaruhi oleh emotional
turbulent families, stressful life events, diskriminasi, dan kemiskinan. Lingkungan
emosional yang tidak stabil mempunyai resiko yang besar pada perkembangan
skizoprenia. Stressor sosial juga mempengaruhi perkembangan suatu skizoprenia.
Diskriminasi pada komunitas minoritas mempunyai angka kejadian skizoprenia yang
lebih tinggi. Skizoprenia lebih banyak didapatkan pada masyarakat di lingkungan
perkotaan dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan.
2. Faktor neurobiologis
Perkembangan awal saraf selama masa kehamilan ditentukan oleh asupan gizi selama
hamil (wanita hamil yang kurang gizi mempunyai resiko anaknya berkembang menjadi
skizoprenia) dan trauma psikologis selama masa kehamilan.
Pada masa kanak – kanak disfungsi situasi sosial seperti trauma kecil, kekerasan,
hostilitas dan hubungan interpersonal yang kurang hangat diterima anak, sangat
mempengaruhi perkembangan neurologikal anak sehingga anak lebih rentan mengalami
skizoprenia dikemudian hari.
Penelitian saat ini melihat adannya perbedaan struktur dan fungsi dari otak pada
penderita skizoprenia. Dengan Positron Emission Tomography (PET) dapat terlihat
kurangnya aktivitas di daerah lobus frontal, dimana lobus frontal itu sendiri berfungsi
sebagai memori kerja, penurunan dari aktivitas metabolik frontal dihubungkan dengan
perjalanan penyakit yang lama dan gejala negatif yang lebih erat. Penderita skizoprenia
memiliki kadar fosfomonoester (PME) yang lebih rendah dan katar fosfodiester (PDE)
yang lebih tinggi dibandingkan nilai normal. Konsentrasi fosfat inorganik menurun dan
konsentrasi ATP meningkat. Hal ini disebabkan karena terjadinya hipofungsi di daerah
korteks frontal dorsolateral.
Pemeriksaan dengan menggunakan PET menunjukkan gejala negatif memiliki
abnormalitas yang lebih besar di daerah sirkuit frontal, temporal dan serebelar
dibandingkan dengan penderita skizoprenia dengan gejala positif. Menurunnya atensi
pada penderita skizoprenia berhubungan dengan hipoaktivitas di daerah korteks singulat
anterior. Retardasi motorik berhuungan dengan hipoaktivitas di daerah basal ganglia. 3
Gangguan bicara dan mengekspresikan emosi berhubungan dengan rendahnya
metabolisme glukosa di area Brodmann 22 (korteks bahasa asosiatif sensoris), area
Brodmann 43 (transkortikal), area Brodmann 45 dan 44 (premotorik), area Brodmann 4
dan 6 (motorik).
Gejala positif berhubungan dengan peningkatan aliran darah didaerah
temporomedial, sedangkan gejala disorganisasi berhubungan dengan peningkatan aliran
darah di daerah korteks singulat dan striatum.
Halusinasi sering berhubungan dengan perubahan aliran darah di regia hipokampus,
parahipokampus dan amgdala. Halusinasi yang kronik berhubungan dengan peningkatan
aliran darah di daerah lous temporal kiri.
Waham sering dihubungkan dengan peningkatan aliran darah didaerah lobus
temporalmedial kiri dan penurunan aliran darah didaerah korteks singulat posterior dan
lobus temporal lateral kiri.
Gangguan penilaian realita pada penderita skizoprenia berhubungan dengan aliran
darah didaerah korteks prefrontal lateral kiri, striatum ventral, girus temporalis superior,
dan regio parahipokampus.
Disorganisasi veral pada penderita skizoprenia berhubungan dengan menurunnya
aktivitas didaerah korteks inferior, singulat, dan temporal superior kiri.
Pada penderita skizoprenia didapati adanya penurunan fungsi kognitif. Salah satu
penurunan fungsi kognitif yang sering ditemukan adalah gangguan memori dan fungsi
eksekutif lainnya. Fungsi eksekutif yang terganggu adalah kemampuan bahasa,
memecahkan masalah, mengambil keputusan, atensi dan perencanaan. Sedangkan
gangguan memori yang sering dialami adalah gangguan memori segera dan memori
jangka pendek yang dikenal sebagai memori kerja.
3. Hipotesis dopamine
Skizofrenia disebabkan Karena terlalu banyak aktivitas dopaminergik dan tidak
memperinci apakah hiperaktifitas dopaminergik adalah karena terlalu banyaknya
pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine atau kombinasi mekanisme
tersebut. Neuron dopaminergik didalam jalur tersebut berjalan dari badan selnya diotak
tengah keneuron dopaminoseptif disistem limbic dan korteks serebral2
Peranan penting bagi dopamine dalam patofisiologi skizofrenia adalah penelitian
yang mengukur konsentrasi plasma metabolit dopamine utama, yaitu homovanillik acid
pada plasma yang meningkat.
2.2.4 Patogenesis 2
Pada skizofrenia terdapat penururnan aliran darah dan ambilan glukosa, terutama di
korteks prefrontalis (pada pasien dengan gejala positif) dan juga terdapat penurunan jumlah
neuron (penurunana jumlah substansi grisea). Selain itu, migrasi neuron yang abnormal
selama perkembangan otak secara patofisiologis sangat bermakna.
Atrofi penonjolan dendrit dari sel pyramidal telah ditemukan di korteks prefrontalis dan
girus singulata. Penonjolan dendrit mengandung sinaps glutamatergik.; sehingga transmisi
glutamatergiknya terganggu. Selain itu, pada area yang terkena, pembentukan GABA
dan/jumlah neuron GABAergik tampaknya berkurang sehingga penghambatan sel
pyramidal menjadi berkurang.
Makna patofisiologis yang khusus dikaitkan dengan dopamin; avaibilitas dopamin
atau agonis dopamine yang berlebihan dapat menimbulkan gejala skizofrenia, dan
penghambat reseptor dopamine-D2 telah sukses digunakan dalam penatalaksanaan
skizofrenia. Disisi lain, penurunan reseptor D2 yang ditemukan di korteks prefrontalis, dan
penurunan reseptor D1 dan D2 berkaitan dengan gejala negative skizofrenia, seperti
kurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamine mungkin terjadi akibat pelepasan
dopamine meningkat dan hal ini tidak memiliki efek patogenetik.
Dopamin berperan sebagai transmitter melalui beberapa jalur :
1. Mesolimbik Dopamin Pathways
Mesolimbik dopamin pathways memproyeksikan badan sel dopaminergik ke bagian
ventral tegmentum area (VTA) di batang otak kemudian ke nukleus akumben di daerah
limbik.
Jalur ini berperan penting pada emosional, perilaku khususnya halusinasi
pendengaran, waham, dan gangguan pikiran. Psikostimulan lain seperti amfetamin dan
kokain dapat menyebabkan peningkatan dari dopamin pada jalur ini sehingga
menyebabkan terjadinya simptom positif dan menimbulkan psikosis paranoid jika
pemberin zat ini dilakukan secara berulang.
Nukleus akumbens adalah bagian dari sistem limbik yang mempunyai peranan
untuk mempengaruhi perilaku, seperti pleasurable sensations (sensasi yang
menyenangkan), powerful euphoria pada individu yang memiliki waham, halusinasi serta
pada pengguna zat.
Obat-obat neuroleptika juga disebut tranquilizer mayor, obat anti psikotik atau obat anti
skizofren, karena terutama digunakan dalam pengobatan skizofrenia tetapi juga efektif untuk
psikotik lain, seperti keadaan manik atau delirium.Antipsikoti yang beredar dipasaran dapat
dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu :
I. Obat anti psikotik tipikal
Antipsikotik tipikal bekerja dengan memblok reseptor D2 di jalur mesolimbik, sehingga
dengan cepat menurunkan gejala positif. Jenis antipsikotik tipikal diklasifikasikan berdasarkan
jenis rantai, yaitu :
Jenis rantai Contoh
1. Phenothiazine Rantai aliphatic
CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE
Rantai piperazine
PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
Rantai piperidine
THIORIDAZINE
2. Butyrophenone HALOPERIDOL
3. Diphenyl-butyl-piperidine PIMOZIDE
Mekanisme kerja antipsikotik tipikal dengan cara memblok reseptor D2 pada jalur
mesolimbik. Akibatnya akan mereduksi hiperaktifitas pada jalur tersebut sehingga akan
menurunkan gejala positif.
Antipsikotik tipikal tidak hanya memblok reseptor D2 di jalur mesolimbik karena
antipsikotik jenis ini memberikan efek ke seluruh bagian otak. Dengan demikian antipsikotik ini
akan mencari setiap reseptor D2 diseluruh otak dan menginhibisi reseptor D2 tersebut.
Secara spesifik, antipsikotik ini juga dapat memblok reseptor D2 di jalur mesokortikal.
Peranan mesokortikal dopamin pathways adalah sebagai mediasi dari simptom negatif dan
kognitif pada penderita skizophrenia. Simptom negatif dan kognitif disebabkan terjadinya
penurunan dopamin di jalur mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal korteks.
Penurunan dopamin di mesokortikal dopamin pathways dapat terjadi secara primer maupun
sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang berlebihan pada jalur ini
atau melalui blokade antipsikotik terhadap reseptor D2. Keadaan ini akan menjadi suatu dilema
karena peningkatan dopamin di jalur mesolimbik akan meningkatan simptom positif, sementara
penurunan dopamin di jalur mesokortikal akan meningkatkan simptom negatif dan kognitif.
Efek endokrin
CPZ menghambat ovulasi dan menstruasi, juga menghambat sekresi ACTH. Hal ini dikaitkan
dengan efeknya terhadap hipotalamus. Semua fenotiazin, kecuali klozapin menimbulkan
hiperprolaktinemia lewat penghambatan efek sentral dopamin.
Kardiovaskular
Dapat menimbulkan hipotensi berdasarkan :
Refleks presor yang penting untuk mempertahankan tekanan darah yang dihambat oleh
CPZ
Berefek bloker
Menimbulkan efek inotropik negatif pada jantung
Toleransi dapat timbul terhadap efek hipotensi CPZ
Neurologik
Dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal seperti parkinsonisme pada dosis berlebihan.
Dikenal 6 gejala sindrom neuroleptik yang karakteristik pada obat ini, empat diantaranya
terjadi sewaktu obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme dan sindroma
neuroleptik malignant, sedangkan dua gejala lain timbul setelah pengobatan berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun, berupa tremor perioral dan diskinesia tardif.
2. BUTYROPHENONE
Menimbulkan reaksi ekstra pyramidal terutama pada pasien usia muda. Dapat terjadi depresi
akibat reversi keadaan mania atau sebagai efek samping. Leukopenia dan agranulositosis
ringan dapat terjadi. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil.
Susunan saraf pusat
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami eksitasi,
menurunkan ambang rangsang konvulsif, menghambat sistem dopamin dan hypothalamus,
juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.
Sistem saraf otonom
Dapat menyebabkan pandangan kabur. Obat ini menghambat aktifitas reseptor yang
disebabkan oleh amin simpatomimetik.
Sistem kardiovaskular dan respirasi
Menyebabkan hipotensi, takikardi, dan dapat menimbulkan potensiasi dengan obat
penghambat respirasi.
Efek endokrin
Menyebabkan galaktore
3. DIBENZODIAZEPIN
Agranulositosis merupakan efek samping utama pada pengobatan dengan klozapin. Gejala
ini timbul paling sering 6-18 minggu setelah pemberian obat, dengan resiko 1,2% pada
penggunaan setelah 4 minggu. Penggunaan obat ini tidak boleh lebih dari 6 minggu kecuali
bila terlihat ada perbaikan. Dapat pula terjadi hipertermia, takikardia, sedasi, pusing kepala,
hipersalivasi, kantuk, letargi, koma, disorientasi, delirium, depresi pernapasan, aritmia dan
kejang.
A. DERIVAT FENOTIAZIN
1. Senyawa dimetilaminopropil :
Klorpromazin ++ ++ +++ ++
Promazin ++ ++ ++ +++
2. Senyawa piperidil :
Mepazin ++ ++ +++ ++
Tioridazin + + ++ ++
3. Senyawa piperazin :
Asetofenazin ++ ++ + +
B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen ++ ++ +++ ++
C. BUTYROPHENONE
KLINIS RESIKO
MAKSIMAL
Efek samping yang ireversibel seperti tardif diskinesia (gerakan berulang involunter pada
lidah, wajah, mulut/rahang dan anggota gerak dimana saat tidur gejala menghilang) yang timbul
akibat pemakaian jangka panjang dan tidak terkait dengan besarnya dosis. Bila gejala tersebut
timbul maka obat anti psikotik perlahan-lahan dihentikan, bias dicoba pemberian Reserpine 2,5
mg/h (dopamine depleting agent). Penggunaan L-dopa dapat memperburuk keadaan. Obat anti
psikotik hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis atau keinginan
untuk bunuh diri.
3. Benzisoxazole RISPERIDON
2.3.4 Mekanisme Kerja Antipsikotik Atipikal
Serotonin memiliki peranan penting dengan dopamin, tetapi pengaruh tersebut memiliki
perbedaan pada empat jalur dopamine. Memahami serotogenik dalam kontrol pelepasan
dopamine di empat jalu sangat penting untuk membedakan peranan antipsikotik tipikal dan
antipikal. Serotonin menghambat pelepasan dopamine dari jalur terminal akson dopaminergik.
Neuron serotonin berasal dari raphe batang otak. Serotonin berinteraksi dengan reseptor
serotonin postsinaps 5HT2A pada neuron dopamine, dan menghambat pelepasan dopamine.
Dengan demikian dalam jalur nigrostriatal ini, serotonin memiliki kontrol yang kuat dalam
pelepasan dopamin karena terjadi di dua bagian. Pertama pada bagian persarafan serotonergik
dari substansia nigra, terminal akson dai sinaps raphe pada badan sel dan dendrite sel
dopaminergik. Dengan demikian, interaksi serotonin melauli reseptor 5HT2A pada neuron
dopamin akan menginhibisi pelepasan dopamine.
Pada jalur nigrostriatal serotonin 2A menstimulasi reseptor 5HT2A yang menghambat
pelepasan dopamin. Dengan demikian, 5HT2A antagonis membalikan D2 antagonis di alur
nigrostriatal. Hal ini yang mengakibatkan penurunan atau bahkan tidak adanya sindrom
ekstrapiramidal dan tardive diskinesia, karena ada pengurangan blockade reseptor D2 di jalur ini.
Sedangkan pada jalur mesokortikal serotonin 2A anatgonis tidak hanya membalikan
aktifitas D2 antagonis tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya aktfitas dopamine di jalur
mesokortkal, berbeda dengan jalur nigrostriatal dimana reseptor D2 mendominasi, terdapat
dominasi serotonin 2A dua kali lebih banyak dibagian korteks serebri. Dengan demikian,dalam
jalur mesokortikal, antipsikotik atipikal SDA memiliki efek yang lebih besar dalam menghambat
reseptor serotonin 2A, dari pada memnghambat reseptor D2. Pelepasan dopamine pada jalur ini
menguntukan bagi gejala negative skizofrenia, dan uji klinis menunjukan bahwa anti psikotik
atipikal lebih baik dalam memperbaiki gejala negative dari pada antipsikotik tipikal.
Pada jalur mesolimbik antagonis serotonin tidak dapat membalikan kerja antagonis D2 .
terbukti bahwa antagonis serotonin tidak cukup kuat untuk membalikan kerja reseptor D2.
Sehingga tidak dapat merubah kerja antipsikotik atipikal dalam mengatasi gejala positif pada
skizofrenia.
Antipsikotik atipikal masih relatif baru, terdapat empat temuan yang menguntukan pada
antipsikotik atipikal. Pertama, antipsikotik atipikal memiliki efek sindrom ekstrapiramidal yang
sedikit bila dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Kedua, antipsikotik atipikal mengurangi
gejala negatif skizofrenia lebih sedikit bila dibandingkan antipsikotik tipikal. Ketiga, antipsikotik
atipikal mengurangi gejala afektik pada gangguan pada skizofrenia. Dan keempat, antipsikotik
atipikal mengurangi gejala kognitif pada skizofrenia dan gangguan seperti pada penyakit
alzheimer.
Penggunaan antipsikotik atipikal pada pasien skizofrenia, meskipun obat ini terbaik untuk
menangani gejala psoitif skizofrenia menjadi pengobatan lini pertama akut dan untuk dosis
pemeliharaan gejala positif psikosis, selain itu obat ini dapat digunakan pada pasien bipolar tipe
manik, depresi, skizoafektif, gangguan perilaku kognitif pada penyakit alzheimer, penyakit
parkinson, dan gangguan mental organik.
Pemilihan sediaan obat antipsikosis dapat didasarkan atas strukur kimia serta efek
farmakologik yang menyertainya. Berhubung perbedaan antargolongan antipsikosis lebih nyata
daripa perbedaan masing-masing obat dalam golongannya, maka cukup dipilih salah satu obat
dari tiap golongan untuk tujuan tertentu.
Menonjolnya salah satu gejala umumnya bukan merupakan patokan dalam pemilihan
obat. Tidak perlu mengenal semua obat psikotik untuk pengobatan jangka panjang, tetapi 1 atau
2 obat dari tiap kelompok perlu dikenal secara baik efeknya maupun efek sampingnya. Pedoman
terbaik dalam memilih obat secara individual ialah riwayat respons pasien terhadap obat.
Kecendurungan pengobatan saat ini ialah meninggalkan obat antipsikosis berpotensi rendah,
misalnya klorpromazin, dan tioridazin, kearah penggunaan obat berpotensi tinggi, misalnya
tiotiksen, haloperidol dan flufenazin.
Pada saat ini penggunaan klozapin dibatasi hanya diindikasikan pada pasien yang gagal
diobati dosis tinggi antipsikosis konvensional dan yang mengalami diskinesia Tardif berat;
sehubungan dengan efek agranulositosis dan kejang yang disebabkannya.
Sebagai pedoman pemilihan antipsikosis dapat disebutkan hal-hal sebagai berikut:
bila resiko tidak diketahui atau tidak ada komplikasi yang diketahui sebelumnya
maka pilihan jatuh pada fenotiazin berpotensi tinggi
bila kepatuhan penderita (compliance) dalam menggunakan obat tidak terjamin,
maka pilihan jatuh pada flufenazin oral dan kemudian tiap dua minggu diberikan
suntikan flufenazin enantan dan ekanoat
bila penderita mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular atau stroke sehingga
hipotensi merupakan hal yang membahayakan maka pilihan jatuh pada fenotiazin
piperazin atau haloperidol
bila karena alasan usia atau factor penyakit, terdapat resiko efek samping gejala
ekstrapiramidal yang nyata, maka pilihan jatuh pada tioridazin
tioridazin tidak boleh digunakan apabila terdapat gangguan ejakulasi
bila efek sedasi berat perlu dihindari, maka pilihan jatuh pada haloperidol atau
fenotiazin piperazin
bila penderita mempunyai kelainan hepar atau cenderung menderita ikterus,
haloperidol merupakan obat yang paling aman pada stadium awal pengobatan
Pemilihan jenis obat anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan
efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekuivalen.misalnya contoh sebagai
berikut: CPZ dan Thioridazine yang efek sedative kuat, terutama digunakan terhadap sindrom
psikosis dengan gejala dominan: gaduh gelisah, hiperaktif, susah tidur, kekacauan pikiran,
perasaan, perliaku, dan lain sebagainya. Sedangkan Trifluoroperazine, Fluphenzine dan
Haloperidol yang efek samping sedatif lemah digunakan terhadap Sindrom psikosis dengan
gejala dominan : apatis, menarik diri, persaan tumpul, kehilangan minat, dan inisiatif, hipoaktif,
waham halusinasi dan lain-lain. Tetapi obat yang terakhir ini paling mudah menyebabkan gejala
ekstrapiramidal, pada pasien yang rentan terhadap efek samping tersebut, perlu digantikan
dengan Thioridazine (dosis ekuivalen) di mana efek samping ekstrapiramidalnya sangat ringan.
Untuk Pasien yang sampai timbul “Tardive Dyskinesia” obat antipsikotik yang tanpa efek
samping ekstrapiramidalnya adalah Clozapine.
Dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikan setiap 2 – 3 hari dosis efektif (timbul
sindrom psikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan dosis optimal
dipertahankan sekitar 8 – 12 minggu diturunkan setiap 12 minggu dosis maintenance
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) stop