PENDAHULUAN
1
Skizofrenia dibagi menjadi beberapa tipe, salah satunya adalah tipe
katatonik. Skizofrenia katatonik merupakan merupakan satu tipe skizofrenia yang
ditandai oleh ketegangan otot (katatonia), negativisme, dan stupor atau gaduh.1,4
Belum ada laporan prevalensi ataupun hasil survei pasti angka kejadian
skizofrenia tipe katatonik ini. Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi jarang
ditemukan kasus skizofrenia katonik yang memiliki gejala khas ini. Oleh karena
itu penulis ingin membuat analisa kasus dari kasus skizofrenia katatonik ini.
2
5. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi dari Skizofrenia katatonik?
6. Bagaimana gambaran klinis (tanda dan gejala) dari Skizofrenia katatonik?
7. Bagaimana gambaran hasil pemeriksaan status mental pada pasien dengan
Skizofrenia katatonik?
8. Bagaimana kriteria diagnosis dari Skizofrenia katatonik?
9. Bagaimana penatalaksanaan yang diberikan pada pasien dengan
Skizofrenia katatonik?
10. Bagiamana prognosis dari pasien dengan Skizofrenia katatonik?
3
BAB II
LAPORAN KASUS
B. Alloanamnesa:
Nama : Tn. FIR
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : RT 10 RW 04 Karang Anyar Bajubang, Kab. Batang
Hari.
Status Perkawinan : Belum menikah
Suku : Melayu
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan Terakhir : STM
Hub. dengan penderita : Adik kandung
4
C. Keluhan Utama:
Pasien mengamuk sejak 2 minggu yang lalu.
5
2. Gangguan Psikosomatis
Riwayat mengalami gangguan psikosomatis tidak ada.
3. Kondisi Medik
Riwayat penyakit fisik berat dan riwayat penyalahgunaan zat dan obat-
obatan tidak ada.
4. Gangguan Neurologi
Riwayat trauma kepala, sakit kepala hebat, kesulitan bicara, kelemahan
anggota tubuh, kejang dan kehilangan kesadaran tidak ada.
G. Riwayat Keluarga:
Penderita dibesarkan oleh kedua orang tua kandung.
Ayah bekerja sebagai swasta, sedangkan ibu sebagai ibu rumah tangga.
Sifat ayah pemarah, tegas, disiplin , sifat ibu pendiam, sabar dan
penyayang.
Hubungan kedua orang tua kurang baik sejak ayah pasien selingkuh,
hingga akhirnya mereka bercerai.
Penderita mempunyai sifat pendiam dan anak pertama dari empat
bersaudara.
Status sosial ekonomi menengah ke bawah.
Tidak ada hubungan darah antara ayah dan ibu.
Riwayat gangguan jiwa dalam keluarga tidak ada.
Struktur keluarga yang tinggal serumah pada saat pasien berusia 10 tahun
No Nama L/P Usia Hubungan Sifat
1 Tn.SL L x tahun Ayah Pemarah, tegas,
disiplin
2 Ny.A P x tahun Ibu Pendiam, sabar,
penyayang
3 Tn.An L x tahun Adik Pendiam, tegas
4 Nn.L P x tahun Adik Pendiam, penyayang
6
Struktur keluarga yang tinggal serumah saat ini
No Nama P/L Usia Hubungan Sifat
1 Ny.A P x tahun Ibu Pendiam, sabar,
penyayang
2 Tn.F L 30 tahun Pasien Pendiam, pemalu,
penyayang
3 Tn.An L 22 tahun Adik Pendiam, tegas
4 Nn.L P x tahun Adik Pendiam, penyayang
5 Tn.R L x tahun Adik Ceria
GENOGRAM
Keterangan:
Laki-laki
Perempuan Gangguan jiwa
7
b. Perkembangan awal
Kesehatan pasien cukup baik, jarang sakit, pertumbuhan dan
perkembangan normal, sesuai umur. Pasien merupakan anak yang
pendiam dan tidak terlalu bergaul dengan teman seusianya.
c. Toilet training
Diajarkan oleh ibu tanpa paksaan.
d. Gejala-gejala dari gangguan perilaku
Tidak ditemukan gangguan perilaku.
e. Kepribadian dan tempramen
Pasien adalah anak yang pendiam dan sedikit pemalu.
3. Masa kanak-kanak menengah (usia 3-11 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai dengan anak lainnya.
Pasien diasuh oleh kedua orangtuanya. Pasien adalah anak yang pendiam
dan pemalu, tidak terlalu suka bergaul dengan teman-temannya. Hubungan
pasien dengan ibu dekat.
4. Masa kanak-kanak akhir (pubertas hingga remaja)
a. Hubungan sosial
Pasien merupakan anak yang pendiam, tidak terlalu suka bergaul
dengan teman sebayanya.
b. Riwayat pendidikan
Pasien menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD), setelah lulus SD
pasien melanjutkan ke SMP. Tidak ada masalah selama di sekolah.
Setelah lulus SMP, pasien melanjutkan ke STM. Prestasi di sekolah
cukup baik dan tidak pernah tinggal kelas.
c. Perkembangan kognitif dan motorik
Sesuai dengan anak seusianya.
d. Masalah emosi dan fisik
Pasien adalah anak yang pendiam, dan sedikit pemalu.
5. Masa dewasa
a. Riwayat pekerjaan
Sejak tamat STM pasien tidak bekerja.
8
b. Riwayat perkawinan dan relasi
Pasien belum menikah.
c. Aktivitas sosial
Hubungan pasien dengan keluarga baik, hubungan pasien dengan
tetangga pada awalnya baik, namun pasien mulai tidak harmonis
dengan tetangga semenjak pasien mengalami keluhan-keluhan
psikiatri.
d. Riwayat pendidikan
Setelah tamat STM, pasien tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang
berikutnya.
e. Latar belakang agama
Pasien kurang taat beribadah.
f. Situasi hidup sekarang
Pasien tinggal serumah dengan ibu dan tiga orang adiknya.
g. Riwayat hukum
Pasien tidak pernah berurusan dengan aparat penegak hukum.
h. Riwayat militer
Pasien tidak mempunyai pengalaman militer.
i. Riwayat seksual
Pasien mulai menyukai lawan jenis pada saat tamat SMP.
9
2. Perilaku terhadap pemeriksa
Dari awal pemeriksaan pasein tidak mau menjawab semua pertanyaan
dari pemeriksa (tidak kooperatif).
3. Karakteristik bicara
Dari awal pemeriksaan pasein tidak mau menjawab semua pertanyaan
dari pemeriksa.
4. Tingkah laku dan aktivitas psikomotor
Selama wawancara pasien tampak mutisme, rigiditas dan negativisme.
C. Persepsi
1. Ilusi : sulit dinilai
2. Halusinasi : sulit dinilai
3. Depersonalisasi : sulit dinilai
4. Derealisasi : sulit dinilai
D. Pikiran
1. Bentuk pikiran : sulit dinilai
2. Jalan pikiran : sulit dinilai
3. Isi pikiran : sulit dinilai
10
3. Memori
Jangka panjang : terganggu (sulit dinilai)
Jangka sedang : terganggu (sulit dinilai)
Jangka pendek : terganggu (sulit dinilai)
Jangka segera : terganggu (sulit dinilai)
4. Konsentrasi dan perhatian : terganggu
5. Membaca dan menulis : terganggu (sulit dinilai)
6. Berpikir abstrak : terganggu (sulit dinilai)
7. Infomasi dan intelegensia : terganggu (sulit dinilai)
F. Dekorum : cukup
11
Hepar : dalam batas normal
Lien : dalam batas normal
- Ekstremitas : edema tungkai (+)
B. Pemeriksaan Penunjang:
Tidak dilakukan
12
2.5 Diagnosis Multiaksial
Aksis I : F.20.3 Skizofrenia Katatonik
Aksis II : Tidak ada
Aksis III : Edema tungkai
Aksis IV : Masalah primary support
Aksis V : GAF 60-51 (gejala sedang (moderate), disabilitas sedang)
2.6 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
2.7 Follow Up
Pasien datang ke IGD (04/04/2014)
S : Keluhan sulit dinilai (Os diam)
O : TD 130/90 mmHg; HR 90 x/m; T 36,5 oC; RR 20 x/m;
Afek datar; Mood disforik, depresi; Negativisme (+), Mutisme (+) dan
Rigiditas (+).
A : Skizofrenia katatonik
P : Terapi awal
Risperidon 2 mg 2x1
THP 2mg 2x1
Chlorpromazine 100 mg 0-0-1
13
Chlorpromazine dihentikan (stop)
Paracetamol 500 mg 3x1
14
P : Terapi
Olanzapine 5 mg 0-0-1
Diet: bubur saring dan susu 6 x 200cc
Observasi TTV dan ESO
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian.2,4
Skizofrenia katatonik adalah jenis skizofrenia di mana penderita
skizofrenia biasanya tidak terkoordinasi, merasa canggung, dan memiliki perilaku
yang tidak biasa. Penderita gangguan skizofrenia ini memiliki gangguan dalam
gerakan. Mereka cenderung untuk membuat gerakan berulang-ulang yang tidak
biasa seperti mengepakkan tangan atau kaki mereka. Dalam beberapa kasus,
penderita skizofrenia akan duduk, berdiri atau tinggal dalam posisi yang aneh
selama berjam-jam atau berhari-hari. Mereka benar-benar tidak mampu mengurus
diri sendiri karena perilaku mereka. Kadang-kadang, orang tersebut mengulangi
satu kata atau kalimat berulang-ulang.1,2,4
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang
dapat meliputi motorik yang tidak bergerak (waxy flexibility). Aktivitas motor
yang berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain
(echopraxia).2,4
3.2 Epidemiologi
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di
berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar
hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi
dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa.
Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25
16
tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden
skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di
daerah urban dibandingkan daerah rural.2
Dewasa ini skizofrenia katatonik jarang ditemukan, mungkin karena terapi
obat bekerja secara efektif bagi proses-proses motorik yang aneh tersebut.
Skizofrenia katatonik adalah salah satu jenis skizofrenia yang langka.2,5
3.3 Etiologi6,7
1. Model Diatesis-stress
Menurut model diathesis-stress, seseorang mungkin memiliki kerentanan
spesifik (diathesis) yang bila diaktifkan oleh pengaruh yang penuh tekanan,
memungkinkan timbulnya gejala skizofrenia. Biasanya yang paling umum,
diathesis atau stress dapat berupa stress biologis, lingkungan atau keduanya.
2. Faktor Neurobiologis
a. Integrasi teori biologis
Daerah otak utama yang terlibat dalam skizofrenia adalah struktur
limbik, lobus frontalis, dan ganglia basalis. Thalamus dan batang otak
juga terlibat karena peranan thalamus sebagai mekanisme pengintegrasi
dan batang otak serta otak tengah merupakan lokasi utama bagi neuron
aminergik ascenden.
b. Hipotesis dopamin
Skizofrenia disebabkan karena terlalu banyak aktivitas dopaminergik
dan tidak memperinci apakah hiperaktivitas dopaminergik adalah karena
terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor
dopamine atau kombinasi mekanisme tersebut. Neuron dopaminergik
didalam jalur tersebut berjalan dari badan selnya di otak tengah
keneuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebral. Peranan
penting bagi dopamin dalam patofisiologi skizofrenia adalah penelitian
yang mengukur konsentrasi plasma metabolit dopamin utama, yaitu
homovanillic acid pada plasma yang meningkat.
c. Neurotransmitter lainnya
17
1) Serotonin
Aktivitas serotonin telah berperan dalam perilaku bunuh diri dan
impulsive yang juga dapat ditemukan pada pasien skizofrenik.
2) Norepinefrin
Sistem noradrenergik memodulasi system dopaminergik dengan
cara tertentu sehingga kelainan system noradrenergic predisposisi
pasien untuk relaps.
3) Asam amino
Neurotransmitter asam amino inhibitor gamma-aminobutiric acid
(GABA) mengalami penurunan di hipokampus yang menyebabkan
hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergik
d. Neuropatologi
1) Sistem limbik
Sistem limbik karena peranannya dalam mengendalikan emosi.
Pada penelitian ditemukan penurunan ukuran daerah termasuk
amigdala, hipokampus, dan gyrus parahipokampus.
2) Ganglia basalis
Karena ganglia basalis terlibat dalam mengendalikan pergerakan,
dengan demikian patologi pada ganglia basalis dilibatkan dalam
patologi skizofrenia.
e. Psikoneuroendokrinologi
Beberapa data menunjukan data penurunan konsentrasi luteinzing
hormone-foliccle stimulating hormone (LH/FSH), kemungkinan
dihubungkan dengan onset usia dan lamanya penyakit.
3. Faktor Genetika
Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang menderita skizofrenia jika
anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia dan kemungkinan
penderita skizofrenia berhubungan dekat dengan saudara tsb (contoh: sanak
saudara derajat pertama atau derajat kedua). Petanda kromosom terletak pada
lengan panjang kromosom 5, 11, dan 18; lengan pendek kromosom 15 dan
kromosom X adalah yang paling sering dilaporkan.
18
a) Populasi umum 1%
b) Saudara Kandung 8%-10%
c) Anak dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15%
d) Kembar 2 telur (dizigot) 12%-15%
e) Anak dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40%
f) Kembar monozigot 47%-50%
4. Faktor Psikososial
Klinisi harus mempertimbangkan factor psikologis yang mempengaruhi
skizofrenia
a. Teori tentang pasien individual
1) Teori psikoanalitis
Sigmund Freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh
fiksasi dalam perkembangan yang terjadi lebih awal dari yang
menyebabkan perkembangan neurosis. Freud juga mendalilkan
bahwa adanya defek ego juga berperan pada skizofrenia.
2) Teori psikodinamika
Pandangan psikodinamika cenderung menganggap hipersensitivitas
terhadap stimulus persepsi yang didasarkan secara konstitusional
sebagai suatu defisit.
3) Teori belajar
Anak-anak yang menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara
berfikir yang irasional dengan meniru orang tuanya yang mungkin
memiliki masalah emosionalnya sendiri yang bermakna.
b. Teori tentang keluarga
Perilaku keluarga yang patologis bermakna meningkatkan stress
emosional yang harus dihadapi pasien skizofrenik yang rentan.
19
Selain itu migrasi neuron abnormal selama perkembangan otak secara
patofisiologis sangat bermakna.
Atrofi penonjolan dendrit dari sel pyramidal telah ditemukan di korteks
prefrontalis dan girus singulata. Penonjolan dendrit mengandung sinaps
glutamatergik; sehingga transmisi glutamanergiknya terganggu. Selain itu, pada
area yang terkena, pembentukan GABA dan/atau jumlah neuron GABAergik
tampaknya berkurang sehingga penghambatan sel pyramidal menjadi berkurang.
Makna patofisiologis dikaitkan dengan dopamine; avaibilitas dopamin atau
agonis dopamin yang berlebihan dapat menimbulkan gejala skizofrenia, dan
penghambat reseptor dopamin D1 dan D2 dapat digunakan sebagai tatalaksana
skizofrenia. Penurunan reseptor D2 yang ditemukan di korteks prefrontalis dan
penurunan reseptor D1 dan D2 berkaitan dengan gejala negatif skizofrenia, seperti
berkurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamin mungkin terjadi akibat
pelepasan dopamin yang meningkat dan hal ini tidak memiliki efek patogenetik.
Pelepasan dan kerja dopamin ditingkatkan oleh beberapa zat yang meningkatkan
perkembangan skizofrenia. Dopamin berperan sebagai transmitter melalui
beberapa jalur:
1. Jalur dopaminergik ke sistem limbik (mesolimbik).
2. Ke korteks (mesokorteks) mungkin penting dalam perkembangan
skizofrenia.
3. Pada sistem tubuloinfundibular, dopamine mengatur pelepasan hormon
hipofisis (terutama penghambatan pelepasan prolaktin)
4. Dopamin mengatur aktivitas motorik pada sistem nigrostriatum.
20
3.5 Gambaran Klinis1,2
1. Timbul pertama (15-30 tahun), akut, didahului stress emosional.
2. Hampir tidak ada respon terhadap lingkungan, aspek motorik dan verbal sangat
terganggu.
3. Terjadi:
a. Stupor katatonik: mutisme, muka tanpa mimik, negativisme, makanan
ditolak, tidak bergerak sama sekali dalam waktu yang lama.
Stupor katatonik terdapat 2 bentuk:
- rigiditas (badan menjadi kaku)
- chorea-flexibility (badan menjadi lentur)
21
b. Gaduh gelisah katatonik: hiperaktivitas motorik tapi tidak disertai emosi
yang semestinya, stereotipi, mennerisme, grimace, dan neologisme.
4. Tipe katatonik serangannya berlangsung dengan jauh lebih cepat. Aktivitasnya
jauh berkurang dibandingkan waktu normal. Pada individu terjadi stupor,
dimana individu diam, tidak mau berkomunikasi, kalau berbicara suaranya
menonton, ekspresi mukanya datar, makan dan berpakaian harus dibantu, dan
sikap badan yang aneh.
3.6 Diagnosis2,4,8
Adapun penegakkan diagnosis skizofrenia hebefrenik menurut Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III adalah sebagai
berikut:
1. Memenuhi kriteria umum skizofrenia:
a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejalaatau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
“thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
“thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luardirinya (withdrawal); dan
“thought broadcasting”= isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya;
“delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
22
“delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara
jelas merujukke pergerakan tubuh/ anggota gerak atau ke pikiran,
tindakan, atau penginderaan khusus);
“delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifat mistik atau
mukjizat;
Halusinasi auditorik:
Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau
Mendiskusikan perihal pasien pasien di antara mereka sendiri
(di antara berbagai suara yang berbicara), atau
Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian
tubuh.
Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan
di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahkluk asing dan dunia lain)
b. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus
menerus;
Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;
23
Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme, dan stupor;
Gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi oleh depresi atau medikasi
neuroleptika;
c. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal)
d. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
24
g. Gejala-gejala lain seperti Command autism (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
25
3. Durasi: tanda kontinu gangguan berlansung selama setidaknya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus mencakup 1 bulan gejala (atau kurang bila telah
berhasil diobati) yang memenuhi kriteria A (yaitu gejala fase aktif) dan dapat
mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama periode gejala
prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai
gejala negatif saja atau dua atau lebih gejala dalam kriteria A yang muncul
dalam bentuk yang lebih lemah (seperti kepercayaan-kepercayaan aneh,
pengalaman perseptual yang tidak lazim).
4. Eksklusi gangguan mood dan skizofektif: Gangguan skizoafektif dan mood
dengan ciri psikotik telah disingkirkan baik karena: (1) tidak ada episode
depresi, mania atau campuran mayor yang terjadi bersamaan dengan gejala-
gelala fase aktif, maupun (2) jika episode mood terjadi selama gejala fase
aktif, durasi totalnya relatif singkat dibanding durasi fase aktif dan residual.
5. Eksklusi kondisi medis dan zat: Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek
fisiologis langsung dari suatu zat (seperti obat-obatan yang disalah gunakan,
obat medis) atau oleh suatu kondisi medis umum.
6. Hubungan dengan suatu gangguan perkembangan pervasif: Jika terdapat
riwayat gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya,
diagnosa tambahan skizofernia hanya dibuat bila waham atau halusinasi yang
menonjol juga terdapat selama setidaknya satu bulan (atau kurang jika telah
berhasil diterapi).
26
4. Gerakan spontan yang aneh seperti melakukan postur tertentu (berlagak
spontan yangg inappropriate atau postur ganjil), gerakan stereotipik,
menojolnya manerisme atau menyerigai.
5. Echolalia atau echopraxia.
3.8 Penatalaksanaan9,10
3.8.1 Psikofarmaka
Pemilihan obat
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang
sama pada dosis ekivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping:
sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis antipsikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat.
Pergantian disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu
tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka
waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat antipsikosis lain (sebaiknya dan
golongan yang tidak sama) dengandosis ekivalennya. Apabila dalam riwayat
penggunaan obat antipsikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek
sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat
antipsikosis atipikal, Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan
gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek
samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat antipsikotik yang
beredar dipasaran dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu antipsikotik
generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi ke dua (APG II). APG I
bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal
dan tuberoinfundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi
pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa gangguan
27
ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan
menyebabkan disfungsi seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala
negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping
antikolinergik seperti mulut kering pandangan kabur, gangguan miksi, defekasi
dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang
digunakan kurang atau sama dengan 10 mg diantaranya adalah trifluoperazine,
fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi
sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham
dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg diantaranya adalah
chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala dominan
gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. APG II sering disebut sebagai serotonin
dopamin antagonis (SDA) atau antipsikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi
serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan
rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala
negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine,
quetiapine dan rispendon.
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
Onset efek primer (efek klinis): 2-4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping): 2-6 jam
Waktu paruh: 12-24 jam (pemberian 1-2 x/hari)
Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga
tidak mengganggu kualitas hidup penderita.
Obat antipsikosis long acting: fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau
haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4 minggu. Berguna untuk
pasien yang tidak/sulit minum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.
Cara/Lama pemberian
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari
sampai mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi setiap 2 minggu
bila pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian dipertahankan 8-12 minggu.
(stabilisasi). Diturunkan setiap 2 minggu (dosis maintenance) lalu dipertahankan 6
28
bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2/hari/minggu) setelah itu tapering
off (dosis diturunkan 2-4 minggu) lalu stop. Untuk pasien dengan serangan
sindrom psikosis multiepisode, terapi pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini
dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5 kali). Pada umumnya
pemberian obat antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1
tahun setelah semua gejala psikosis reda sama sekali. Pada penghentian mendadak
dapat timbul gejala cholinergic rebound gangguan lambung, mual, muntah, diare,
pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian anticholinergic
agent seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg IM, tablet trhexyphenidyl 3x2
mg/hari.
Obat antipsikotik
Dopamin reseptor antagonis: chlorphromazine, trifluoperazine, haloperidol,
thionidazine. Kekurangannya: 50% penderita tetap tidak ada perbaikan dan
eso serius (tardive dyskinesia dan neurolepic malignant syndrom).
Risperindon (risperidal): lebih efetif, ESO neurologik sangat berkurang, dapat
mengatasi gejala positif dan gejala negatif.
Clozapine: minus; agronulositosi dan harganya mahal, Pluz; tidak
menyebabkan tardive dyskimesia.
1. Antipsikotik tipikal:
a. Phenothiazine:
chlorpromazine: tablet 25 mg; 100 mg
levomepromazine: tablet 25 mg;100 mg
perphenazine: tablet 4 mg; 8 mg
trifluoperazine: tablet 5 mg
thioridazine: 10 mg; 100 mg
b. Butyrophenone:
haloperidol: tablet 0,5 mg; 1,5 mg; 2 mg; 5 mg
diphenyl-butyl-piperidine
pimozide : tablet 2 mg; 4 mg
29
Efek penggunaan obat-obat antipsikotik: mulut kering, pandangan kabur, sulit
konsentrasi, tekanan darah rendah dan gangguan otot yang menyebabkan
gerakan mulut dan dagu yang tidak disengaja.
2. Antipsikotik atipikal
a. Benzamide:
sulpiride: tablet 50 mg; 200 mg
dibenzodiazepine
clozapine: tablet 25 mg; 100 mg
olanzapine: tablet 5 mg; 10 mg
quetiapine
zotapine
aripiprazole
b. Benzisoxazol: risperidone (tablet 1 mg), paliperidone (kapsul 3 mg)
Obat-obat ini bisa menetralisir gejala-gejala akut skizofrenia (kacau,
gaduh gelisah, waham, halusinasi auditorik, inkoheren, gejala negatif
kronik.
3.9 Prognosis2,4,8
Prognosis dievaluasi dengan melihat riwayat longitudinal dari penyakit,
dimulai dengan riwayat keluarga sampai pada penanganan. Ada banyak faktor
yang mempengaruhi prognosis skizofrenia, antara lain sebagai berikut:
30
1. Keluarga
Pasien membutuhkan perhatian dari masyarakat, terutama dari keluarganya.
jangan membeda-bedakan antara orang yang mengalami Skizofrenia dengan
orang yang normal, karena orang yang mengalami gangguan Skizofrenia
mudah tersinggung.
2. Inteligensi
Pada umumnya pasien Skizofrenia yang mempunyai Inteligensi yang tinggi
akan lebih mudah sembuh dibandingkan dengan orang yang inteligensinya
rendah.
3. Pengobatan
Obat memiliki dua kekurangan utama. Pertama hanya sebagian kecil pasien
(kemungkinan 25%) cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah
fungsi mental yang cukup normal. Kedua antagonis reseptor dopamine
disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius. Namun
pasien skkizofrenia perlu di beri obat Risperidone serta Clozapine.
4. Reaksi Pengobatan
Dalam proses penyembuhan skizofrenia, orang yang bereaksi terhadap obat
lebih bagus perkembangan kesembuhan daripada orang yang tidak bereaksi
terhadap pemberian obat.
5. Stressor Psikososial
Apabila stressor dari skizofrenia ini berasal dari luar, maka akan
mempunayi dampak yang positif, karena tekanan dari luar diri individu
dapat diminimalisir atau dihilangkan. Begitu pula sebaliknya apabila
stressor datangnya dari luar individu dan bertubi-tubi atau tidak dapat
diminimalisir maka prosgnosisnya adalah negatif atau akan bertambah
parah.
6. Kekambuhan
Penderita skizofrenia yang sering kambuh prognosisnya lebih buruk.
7. Gangguan Kepribadian
Prognosis untuk orang yang mempunyai gangguan kepribadian akan sulit
disembuhkan. Besar kecilnya pengalaman akan memiliki peran yang sangat
besar terhadap kesembuhan.
31
8. Onset
Jenis onset yang mengarah ke prognosis yang baik berupa onset yang
lambat dan akut, sedangkan onset yang tidak jelas memiliki prognosis yang
lebih baik.
9. Proporsi
Orang yang mempunyai bentuk tubuh normal (proporsional) mempunyai
prognosis yang lebih baik dari pada penderita yang bentuk tubuhnya tidak
proporsional.
10. Perjalanan penyakit
Pada penderita skizofrenia yang masih dalam fase prodromal prognosisnya
lebih baik dari pada orang yang sudah pada fase aktif dan fase residual.
11. Kesadaran
Kesadaran orang yang mengalami gangguan skizofrenia adalah jernih. Hal
inilah yang menunjukkan prognosisnya baik nantinya.
32
BAB IV
PENUTUP
4.2 Saran
Dengan diselesaikannya laporan ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan sumber informasi tentang Skizofrenia katatonik bagi pembaca.
33
DAFTAR PUSTAKA
34