Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak orang salah mengartikan skizofrenia sebagai kepribadian terbelah
di mana seseorang dapat berprilaku normal namun tiba-tiba dapat berubah
menjadi aneh atau berbahaya. Kenyataannya, skizofrenia ditandai oleh
‘terbelahnya’ hubungan normal antara persepsi, mood, pikiran, perilaku, dan
kontak dengan kenyataan.1
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1%
penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia
biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Awitan pada laki-laki
biasanya antara 25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila
dibandingkan dengan perempuan. Awitan setelah umur 40 tahun jarang terjadi.2
Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara
bervariasi terentang dari 1 sampai 1,5 persen konsitensi dengan rentang tersebut,
penelitian Epidemiological Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National
Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar
1,3 persen. Kira-kira 0.025 sampai 0.05 persen populasi total diobati untuk
skizofrenia dalam satu tahun. Walaupun dua pertiga dari pasien yang diobati
tersebut membutuhkan perawatan di rumah sakit, hanya kira-kira setengah dari
semua pasien skizofrenia mendapat pengobatan, tidak tergantung pada keparahan
penyakit.3
Diagnosis skizofrenia, menurut sejarahnya, mengalami perubahan-
perubahan. Ada beberapa cara untuk menegakkan diagnosis. Pedoman untuk
menegakkan diagnostik adalah DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) dan
PPDGJ-III/ICD-X. Dalam DSM-IV terdapat kriteria objektif dan spesifik untuk
mendefinisikan skizofrenia. Belum ada penemuan yang patognomonik untuk
skizofrenia. Diagnosis berdasarkan gejala atau deskripsi klinis dan merupakan
suatu sindrom.1,4

1
Skizofrenia dibagi menjadi beberapa tipe, salah satunya adalah tipe
katatonik. Skizofrenia katatonik merupakan merupakan satu tipe skizofrenia yang
ditandai oleh ketegangan otot (katatonia), negativisme, dan stupor atau gaduh.1,4
Belum ada laporan prevalensi ataupun hasil survei pasti angka kejadian
skizofrenia tipe katatonik ini. Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi jarang
ditemukan kasus skizofrenia katonik yang memiliki gejala khas ini. Oleh karena
itu penulis ingin membuat analisa kasus dari kasus skizofrenia katatonik ini.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penulisan laporan kasus ini adalah untuk
meningkatkan pemahaman tentang Skizofrenia katatonik sesuai dengan
kompetensi yang harus dicapai.

1.2.2 Tujuan Khusus


Adapun tujuan khusus penulisan laporan kasus tentang Skizofrenia
katatonik ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi, penyebab dan faktor risiko timbulnya Skizofrenia
katatonik.
2. Mengetahui patogenesis dan patofisiologi timbulnya Skizofrenia katatonik.
3. Mengetahui tanda dan gejala, serta penegakkan diagnosis Skizofrenia
katatonik.
4. Mengetahui pengelolaan dan prognosis dari Skizofrenia katatonik.

1.3 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari penulisan laporan kasus tentang Skizofrenia
hebefrenik ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana analisa kasus Skizofrenia katatonik yang ditemukan di RSJD
Provinsi Jambi?
2. Apa yang dimaksud dengan Skizofrenia katatonik?
3. Bagaimana epidemiologi Skizofrenia katatonik?
4. Apa saja faktor risiko dan etiologi dari Skizofrenia katatonik?

2
5. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi dari Skizofrenia katatonik?
6. Bagaimana gambaran klinis (tanda dan gejala) dari Skizofrenia katatonik?
7. Bagaimana gambaran hasil pemeriksaan status mental pada pasien dengan
Skizofrenia katatonik?
8. Bagaimana kriteria diagnosis dari Skizofrenia katatonik?
9. Bagaimana penatalaksanaan yang diberikan pada pasien dengan
Skizofrenia katatonik?
10. Bagiamana prognosis dari pasien dengan Skizofrenia katatonik?

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat penulisan laporan kasus ini adalah untuk dapat
menambah wawasan dan pemahaman tentang Skizofrenia katatonik serta dapat
dijadikan sumber informasi bagi pembaca.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Riwayat Psikiatri


A. Identitas Pasien:
Nama : Tn. FER
Umur : 30 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : RT 10 RW 04 Karang Anyar Bajubang, Kab. Batang
Hari.
Status Perkawinan : Belum menikah
Suku : Melayu
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Pendidikan Terakhir : STM
MRSJ : 04 April 2014

B. Alloanamnesa:
Nama : Tn. FIR
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : RT 10 RW 04 Karang Anyar Bajubang, Kab. Batang
Hari.
Status Perkawinan : Belum menikah
Suku : Melayu
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan Terakhir : STM
Hub. dengan penderita : Adik kandung

4
C. Keluhan Utama:
Pasien mengamuk sejak 2 minggu yang lalu.

D. Riwayat Penyakit Sekarang:


Kurang lebih sejak 5 tahun yang lalu pasien menjadi suka menyendiri
dan menjadi sangat tertutup setelah kedua orang tuanya berpisah. Ayah pasien
selingkuh dan kedua orang tuanya ini sering bertengkar. Hal ini tampaknya
menjadi pikiran bagi pasien yang saat itu berusia 25 tahun dan harus
memikirkan nasib ibu dan tiga orang adiknya yang masih kecil. Sejak saat itu,
pasien menjadi lebih tertutup dan mulai menunjukkan emosi yang suka marah-
marah.
Kurang lebih 2 tahun ini keadaan pasien mulai memburuk. Pasien sudah
tidak mau lagi merawat dirinya, pasien sudah sulit di ajak bicara, sulit disuruh
makan dan BAB sembarangan. Sampai akhirnya keluarga memutuskan untuk
membuat sekat rumah, bagian depan untuk keluarga dan bagian belakang untuk
pasien. Keluarga pasien pernah melihat pasien tersenyum-senyum sendiri.
Selain itu, pasien juga memiliki kebiasaan jongkok dari pagi sampai sore.
Pasien belum pernah dibawa ke rumah sakit untuk berobat, pasien hanya
dibawa ke paranormal (dukun).
Sejak 2 minggu ini pasien sering mengamuk-ngamuk bahkan pasien
sempat memukuli adiknya dan mengganggu anggota keluarga lainnya.
Akibat perilaku pasien keluarga merasa ketakutan dan memutuskan
untuk membawa pasien ke Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi pada tanggal 4
april 2014 pukul 16.04 WIB.

E. Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien tidak pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya.

F. Riwayat Medis dan Psikiatrik Lain:


1. Gangguan Mental atau Emosi
Belum pernah menderita gangguan jiwa sebelumnya.

5
2. Gangguan Psikosomatis
Riwayat mengalami gangguan psikosomatis tidak ada.
3. Kondisi Medik
Riwayat penyakit fisik berat dan riwayat penyalahgunaan zat dan obat-
obatan tidak ada.
4. Gangguan Neurologi
Riwayat trauma kepala, sakit kepala hebat, kesulitan bicara, kelemahan
anggota tubuh, kejang dan kehilangan kesadaran tidak ada.

G. Riwayat Keluarga:
 Penderita dibesarkan oleh kedua orang tua kandung.
 Ayah bekerja sebagai swasta, sedangkan ibu sebagai ibu rumah tangga.
 Sifat ayah pemarah, tegas, disiplin , sifat ibu pendiam, sabar dan
penyayang.
 Hubungan kedua orang tua kurang baik sejak ayah pasien selingkuh,
hingga akhirnya mereka bercerai.
 Penderita mempunyai sifat pendiam dan anak pertama dari empat
bersaudara.
 Status sosial ekonomi menengah ke bawah.
 Tidak ada hubungan darah antara ayah dan ibu.
 Riwayat gangguan jiwa dalam keluarga tidak ada.
 Struktur keluarga yang tinggal serumah pada saat pasien berusia 10 tahun
No Nama L/P Usia Hubungan Sifat
1 Tn.SL L x tahun Ayah Pemarah, tegas,
disiplin
2 Ny.A P x tahun Ibu Pendiam, sabar,
penyayang
3 Tn.An L x tahun Adik Pendiam, tegas
4 Nn.L P x tahun Adik Pendiam, penyayang

6
 Struktur keluarga yang tinggal serumah saat ini
No Nama P/L Usia Hubungan Sifat
1 Ny.A P x tahun Ibu Pendiam, sabar,
penyayang
2 Tn.F L 30 tahun Pasien Pendiam, pemalu,
penyayang
3 Tn.An L 22 tahun Adik Pendiam, tegas
4 Nn.L P x tahun Adik Pendiam, penyayang
5 Tn.R L x tahun Adik Ceria

 GENOGRAM

Keterangan:
Laki-laki
Perempuan Gangguan jiwa

H. Riwayat Kehidupan Pribadi:


1. Riwayat prenatal dan perinatal
Pasien dikandung 9 bulan, dilahirkan secara normal dengan bantuan bidan.
2. Masa kanak-kanak awal (kelahiran sampai usia 3 tahun)
a. Kebiasaan makan dan minum
Pasien mendapat ASI sampai usia ± 2 tahun, diberikan makanan
tambahan sejak usia 6 bulan. Pasien kadang-kadang rewel dan
terbangun malam hari. Kemudian tertidur kembali setelah disusui.

7
b. Perkembangan awal
Kesehatan pasien cukup baik, jarang sakit, pertumbuhan dan
perkembangan normal, sesuai umur. Pasien merupakan anak yang
pendiam dan tidak terlalu bergaul dengan teman seusianya.
c. Toilet training
Diajarkan oleh ibu tanpa paksaan.
d. Gejala-gejala dari gangguan perilaku
Tidak ditemukan gangguan perilaku.
e. Kepribadian dan tempramen
Pasien adalah anak yang pendiam dan sedikit pemalu.
3. Masa kanak-kanak menengah (usia 3-11 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai dengan anak lainnya.
Pasien diasuh oleh kedua orangtuanya. Pasien adalah anak yang pendiam
dan pemalu, tidak terlalu suka bergaul dengan teman-temannya. Hubungan
pasien dengan ibu dekat.
4. Masa kanak-kanak akhir (pubertas hingga remaja)
a. Hubungan sosial
Pasien merupakan anak yang pendiam, tidak terlalu suka bergaul
dengan teman sebayanya.
b. Riwayat pendidikan
Pasien menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD), setelah lulus SD
pasien melanjutkan ke SMP. Tidak ada masalah selama di sekolah.
Setelah lulus SMP, pasien melanjutkan ke STM. Prestasi di sekolah
cukup baik dan tidak pernah tinggal kelas.
c. Perkembangan kognitif dan motorik
Sesuai dengan anak seusianya.
d. Masalah emosi dan fisik
Pasien adalah anak yang pendiam, dan sedikit pemalu.
5. Masa dewasa
a. Riwayat pekerjaan
Sejak tamat STM pasien tidak bekerja.

8
b. Riwayat perkawinan dan relasi
Pasien belum menikah.
c. Aktivitas sosial
Hubungan pasien dengan keluarga baik, hubungan pasien dengan
tetangga pada awalnya baik, namun pasien mulai tidak harmonis
dengan tetangga semenjak pasien mengalami keluhan-keluhan
psikiatri.
d. Riwayat pendidikan
Setelah tamat STM, pasien tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang
berikutnya.
e. Latar belakang agama
Pasien kurang taat beribadah.
f. Situasi hidup sekarang
Pasien tinggal serumah dengan ibu dan tiga orang adiknya.
g. Riwayat hukum
Pasien tidak pernah berurusan dengan aparat penegak hukum.
h. Riwayat militer
Pasien tidak mempunyai pengalaman militer.
i. Riwayat seksual
Pasien mulai menyukai lawan jenis pada saat tamat SMP.

2.2 Pemeriksaan Status Mental


Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 4 April 2014 pukul 16.04 WIB.
A. Gambaran Umum
1. Penampilan
Pasien dibawa ke IGD Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi di antar oleh adik
kandung pasien. Pasien menggunakan tidak menggunakan baju hanya
memakai kain sarung saja dan beralas kaki sendal jepit. Pasien
berpenampilan tak rapi, rambutnya yang panjang dan tidak disisir
(gimbal), kuku yang kotor dan panjang.

9
2. Perilaku terhadap pemeriksa
Dari awal pemeriksaan pasein tidak mau menjawab semua pertanyaan
dari pemeriksa (tidak kooperatif).
3. Karakteristik bicara
Dari awal pemeriksaan pasein tidak mau menjawab semua pertanyaan
dari pemeriksa.
4. Tingkah laku dan aktivitas psikomotor
Selama wawancara pasien tampak mutisme, rigiditas dan negativisme.

B. Mood dan Afek


1. Mood (subjektif) : disforik
2. Afek (objektif) : datar
3. Kesesuain afek : inappropriate

C. Persepsi
1. Ilusi : sulit dinilai
2. Halusinasi : sulit dinilai
3. Depersonalisasi : sulit dinilai
4. Derealisasi : sulit dinilai

D. Pikiran
1. Bentuk pikiran : sulit dinilai
2. Jalan pikiran : sulit dinilai
3. Isi pikiran : sulit dinilai

E. Sensorium dan kognisi


1. Kesadaran : kompos mentis
2. Orientasi
 Tempat : terganggu (sulit dinilai)
 Waktu : terganggu (sulit dinilai)
 Orang : terganggu (sulit dinilai)

10
3. Memori
 Jangka panjang : terganggu (sulit dinilai)
 Jangka sedang : terganggu (sulit dinilai)
 Jangka pendek : terganggu (sulit dinilai)
 Jangka segera : terganggu (sulit dinilai)
4. Konsentrasi dan perhatian : terganggu
5. Membaca dan menulis : terganggu (sulit dinilai)
6. Berpikir abstrak : terganggu (sulit dinilai)
7. Infomasi dan intelegensia : terganggu (sulit dinilai)

F. Dekorum : cukup

G. Wawasan terhadap penyakit : tilikan derajat 1, pasien menyangkal


penuh bahwa dirinya sakit

2.3 Pemeriksaan Diagnosis Lebih Lanjut


A. Pemeriksaan fisik:
- Keadaan umum : tampak sakit
- Kesadaran : kompos mentis
- Gizi : kurang
- Tekanan darah : 130/90 mmhg
- Nadi : 83x/menit
- Respirasi : 20x/menit
- Suhu : 36,5 oC
- Kulit : tampak kusam dan kering
- Kepala : dalam batas normal
- Mata : dalam batas normal
- Leher : dalam batas normal
- Toraks
Jantung : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal
- Abdomen

11
Hepar : dalam batas normal
Lien : dalam batas normal
- Ekstremitas : edema tungkai (+)

B. Pemeriksaan Penunjang:
Tidak dilakukan

2.4 Ikhtisar Penemuan Bermakna


A. Pemeriksan Status Mental
 Keadaan Umum : tampak sakit
 Kesadaran : kompos mentis
 Roman muka : diam
 Kontak/rapport : tidak adekuat
 Orientasi T.W.O : terganggu (sulit dinilai)
 Konsentrasi dan perhatian : terganggu
 Pikiran
Bentuk : sulit dinilai
Jalan : sulit dinilai
Isi : sulit dinilai
 Ilusi : tidak ada (sulit dinilai)
 Halusinasi : tidak ada (sulit dinilai)
 Tingkah laku : mutisme, rigiditas dan negativisme
 Bicara : diam
 Emosi : sulit dinilai
 Mood : disforik
 Afek : datar
 Kesesuaian afek : tidak sesuai
 Dekorum : cukup
 Insight of illness : tilikan derajat 1, pasien menyangkal penuh
bahwa dirinya sakit
B. Pemeriksaan Fisik : Edema tungkai (+)
C. Pem. Penunjang (laboratorium) : tidak dilakukan

12
2.5 Diagnosis Multiaksial
Aksis I : F.20.3 Skizofrenia Katatonik
Aksis II : Tidak ada
Aksis III : Edema tungkai
Aksis IV : Masalah primary support
Aksis V : GAF 60-51 (gejala sedang (moderate), disabilitas sedang)

2.6 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam

2.7 Follow Up
Pasien datang ke IGD (04/04/2014)
S : Keluhan sulit dinilai (Os diam)
O : TD 130/90 mmHg; HR 90 x/m; T 36,5 oC; RR 20 x/m;
Afek datar; Mood disforik, depresi; Negativisme (+), Mutisme (+) dan
Rigiditas (+).
A : Skizofrenia katatonik
P : Terapi awal
 Risperidon 2 mg 2x1
 THP 2mg 2x1
 Chlorpromazine 100 mg 0-0-1

Pasien dirawat di PICU (07/04/2014)


S : Keluhan sulit dinilai (Os diam)
O : TD 130/80 mmHg: HR 84 x/m; T febris; RR 20 x/m;
Afek datar; Mood disforik, depresi; Negativisme (+), Mutisme (+) dan
Rigiditas (+).
A : Skizofrenia katatonik
P : Terapi
 IVFD RL 20 tetes/menit
 Risperidon 2 mg 2x1

13
 Chlorpromazine dihentikan (stop)
 Paracetamol 500 mg 3x1

Pasien dirawat di PICU (10/04/2014)


S : Keluhan sulit dinilai (Os diam)
O : TD 120/80 mmHg; HR 84 x/m; T 36,5 oC; RR 20 x/m
Afek datar; Mood disforik, depresi; Negativisme (+), Mutisme (+) dan
Rigiditas (+).
A : Skizofrenia katatonik
P : Terapi
 IVFD RL 20 gtt/menit
 Olanzapine 5 mg 0-0-1
 Diet: bubur saring dan susu 6 x 200cc
 Observasi TTV dan ESO

Pasien dirawat di PICU (14/04/2014)


S : Keluhan sulit dinilai (Os diam)
O : TD 120/80 mmHg: HR 84 x/m: T 36,5 oC: RR 20 x/m
Afek datar; Mood disforik, depresi; Negativisme (+), Mutisme (+) dan
Rigiditas (+).
A : Skizofrenia katatonik
P : Terapi
 Olanzapine 5 mg 0-0-1
 Diet: bubur saring dan susu 6 x 200cc
 Observasi TTV dan ESO

Pasien dirawat di PICU (19/04/2014)


S : Keluhan sulit dinilai (Os diam)
O : TD 120/80 mmHg: HR 84 x/m: T 36,5 oC: RR 20 x/m
Afek datar; Mood disforik, depresi; Negativisme (+), Mutisme (+) dan
Rigiditas (+). Negativisme dan mutisme masih ada, namun sudah berkurang.
A : Skizofrenia katatonik

14
P : Terapi
 Olanzapine 5 mg 0-0-1
 Diet: bubur saring dan susu 6 x 200cc
 Observasi TTV dan ESO

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian.2,4
Skizofrenia katatonik adalah jenis skizofrenia di mana penderita
skizofrenia biasanya tidak terkoordinasi, merasa canggung, dan memiliki perilaku
yang tidak biasa. Penderita gangguan skizofrenia ini memiliki gangguan dalam
gerakan. Mereka cenderung untuk membuat gerakan berulang-ulang yang tidak
biasa seperti mengepakkan tangan atau kaki mereka. Dalam beberapa kasus,
penderita skizofrenia akan duduk, berdiri atau tinggal dalam posisi yang aneh
selama berjam-jam atau berhari-hari. Mereka benar-benar tidak mampu mengurus
diri sendiri karena perilaku mereka. Kadang-kadang, orang tersebut mengulangi
satu kata atau kalimat berulang-ulang.1,2,4
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang
dapat meliputi motorik yang tidak bergerak (waxy flexibility). Aktivitas motor
yang berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain
(echopraxia).2,4

3.2 Epidemiologi
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di
berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar
hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi
dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa.
Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25

16
tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden
skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di
daerah urban dibandingkan daerah rural.2
Dewasa ini skizofrenia katatonik jarang ditemukan, mungkin karena terapi
obat bekerja secara efektif bagi proses-proses motorik yang aneh tersebut.
Skizofrenia katatonik adalah salah satu jenis skizofrenia yang langka.2,5

3.3 Etiologi6,7
1. Model Diatesis-stress
Menurut model diathesis-stress, seseorang mungkin memiliki kerentanan
spesifik (diathesis) yang bila diaktifkan oleh pengaruh yang penuh tekanan,
memungkinkan timbulnya gejala skizofrenia. Biasanya yang paling umum,
diathesis atau stress dapat berupa stress biologis, lingkungan atau keduanya.

2. Faktor Neurobiologis
a. Integrasi teori biologis
Daerah otak utama yang terlibat dalam skizofrenia adalah struktur
limbik, lobus frontalis, dan ganglia basalis. Thalamus dan batang otak
juga terlibat karena peranan thalamus sebagai mekanisme pengintegrasi
dan batang otak serta otak tengah merupakan lokasi utama bagi neuron
aminergik ascenden.
b. Hipotesis dopamin
Skizofrenia disebabkan karena terlalu banyak aktivitas dopaminergik
dan tidak memperinci apakah hiperaktivitas dopaminergik adalah karena
terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor
dopamine atau kombinasi mekanisme tersebut. Neuron dopaminergik
didalam jalur tersebut berjalan dari badan selnya di otak tengah
keneuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebral. Peranan
penting bagi dopamin dalam patofisiologi skizofrenia adalah penelitian
yang mengukur konsentrasi plasma metabolit dopamin utama, yaitu
homovanillic acid pada plasma yang meningkat.
c. Neurotransmitter lainnya

17
1) Serotonin
Aktivitas serotonin telah berperan dalam perilaku bunuh diri dan
impulsive yang juga dapat ditemukan pada pasien skizofrenik.
2) Norepinefrin
Sistem noradrenergik memodulasi system dopaminergik dengan
cara tertentu sehingga kelainan system noradrenergic predisposisi
pasien untuk relaps.
3) Asam amino
Neurotransmitter asam amino inhibitor gamma-aminobutiric acid
(GABA) mengalami penurunan di hipokampus yang menyebabkan
hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergik
d. Neuropatologi
1) Sistem limbik
Sistem limbik karena peranannya dalam mengendalikan emosi.
Pada penelitian ditemukan penurunan ukuran daerah termasuk
amigdala, hipokampus, dan gyrus parahipokampus.
2) Ganglia basalis
Karena ganglia basalis terlibat dalam mengendalikan pergerakan,
dengan demikian patologi pada ganglia basalis dilibatkan dalam
patologi skizofrenia.
e. Psikoneuroendokrinologi
Beberapa data menunjukan data penurunan konsentrasi luteinzing
hormone-foliccle stimulating hormone (LH/FSH), kemungkinan
dihubungkan dengan onset usia dan lamanya penyakit.

3. Faktor Genetika
Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang menderita skizofrenia jika
anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia dan kemungkinan
penderita skizofrenia berhubungan dekat dengan saudara tsb (contoh: sanak
saudara derajat pertama atau derajat kedua). Petanda kromosom terletak pada
lengan panjang kromosom 5, 11, dan 18; lengan pendek kromosom 15 dan
kromosom X adalah yang paling sering dilaporkan.

18
a) Populasi umum 1%
b) Saudara Kandung 8%-10%
c) Anak dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15%
d) Kembar 2 telur (dizigot) 12%-15%
e) Anak dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40%
f) Kembar monozigot 47%-50%

4. Faktor Psikososial
Klinisi harus mempertimbangkan factor psikologis yang mempengaruhi
skizofrenia
a. Teori tentang pasien individual
1) Teori psikoanalitis
Sigmund Freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh
fiksasi dalam perkembangan yang terjadi lebih awal dari yang
menyebabkan perkembangan neurosis. Freud juga mendalilkan
bahwa adanya defek ego juga berperan pada skizofrenia.
2) Teori psikodinamika
Pandangan psikodinamika cenderung menganggap hipersensitivitas
terhadap stimulus persepsi yang didasarkan secara konstitusional
sebagai suatu defisit.
3) Teori belajar
Anak-anak yang menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara
berfikir yang irasional dengan meniru orang tuanya yang mungkin
memiliki masalah emosionalnya sendiri yang bermakna.
b. Teori tentang keluarga
Perilaku keluarga yang patologis bermakna meningkatkan stress
emosional yang harus dihadapi pasien skizofrenik yang rentan.

3.4 Patogenesis dan Patofisiologi6,7


Pada pasien skizofrenia dengan gejala negatif yaitu berkurangnya motivasi
dan emosi terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa, terutama di
korteks prefrontalis, dan penurunan jumlah neuron (jumlah substansia gricea).

19
Selain itu migrasi neuron abnormal selama perkembangan otak secara
patofisiologis sangat bermakna.
Atrofi penonjolan dendrit dari sel pyramidal telah ditemukan di korteks
prefrontalis dan girus singulata. Penonjolan dendrit mengandung sinaps
glutamatergik; sehingga transmisi glutamanergiknya terganggu. Selain itu, pada
area yang terkena, pembentukan GABA dan/atau jumlah neuron GABAergik
tampaknya berkurang sehingga penghambatan sel pyramidal menjadi berkurang.
Makna patofisiologis dikaitkan dengan dopamine; avaibilitas dopamin atau
agonis dopamin yang berlebihan dapat menimbulkan gejala skizofrenia, dan
penghambat reseptor dopamin D1 dan D2 dapat digunakan sebagai tatalaksana
skizofrenia. Penurunan reseptor D2 yang ditemukan di korteks prefrontalis dan
penurunan reseptor D1 dan D2 berkaitan dengan gejala negatif skizofrenia, seperti
berkurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamin mungkin terjadi akibat
pelepasan dopamin yang meningkat dan hal ini tidak memiliki efek patogenetik.
Pelepasan dan kerja dopamin ditingkatkan oleh beberapa zat yang meningkatkan
perkembangan skizofrenia. Dopamin berperan sebagai transmitter melalui
beberapa jalur:
1. Jalur dopaminergik ke sistem limbik (mesolimbik).
2. Ke korteks (mesokorteks) mungkin penting dalam perkembangan
skizofrenia.
3. Pada sistem tubuloinfundibular, dopamine mengatur pelepasan hormon
hipofisis (terutama penghambatan pelepasan prolaktin)
4. Dopamin mengatur aktivitas motorik pada sistem nigrostriatum.

Serotonin mungkin juga berperan dalam menimbulkan gejala skizofrenia.


Kerja serotonin yang berlebihan dapat menyababkan halusinasi dan banyak obat
antipsikotik akan manghambat reseptor 5-HT2A.

20
3.5 Gambaran Klinis1,2
1. Timbul pertama (15-30 tahun), akut, didahului stress emosional.
2. Hampir tidak ada respon terhadap lingkungan, aspek motorik dan verbal sangat
terganggu.
3. Terjadi:
a. Stupor katatonik: mutisme, muka tanpa mimik, negativisme, makanan
ditolak, tidak bergerak sama sekali dalam waktu yang lama.
Stupor katatonik terdapat 2 bentuk:
- rigiditas (badan menjadi kaku)
- chorea-flexibility (badan menjadi lentur)

21
b. Gaduh gelisah katatonik: hiperaktivitas motorik tapi tidak disertai emosi
yang semestinya, stereotipi, mennerisme, grimace, dan neologisme.
4. Tipe katatonik serangannya berlangsung dengan jauh lebih cepat. Aktivitasnya
jauh berkurang dibandingkan waktu normal. Pada individu terjadi stupor,
dimana individu diam, tidak mau berkomunikasi, kalau berbicara suaranya
menonton, ekspresi mukanya datar, makan dan berpakaian harus dibantu, dan
sikap badan yang aneh.

Penderita skizophrenia katatonik yang parah biasanya di tempat tidur,


tidak mau berbicara, jorok, makan-minum dipaksa, dan apabila mata terbuka
biasanya akan terpaku pada satu titik, tidak berkedip, dan ekspresi kosong.
Perkembangan selanjutnya yaitu setelah beberapa minggu atau beberapa bulan,
terjadi catatonic excitement dimana penderita menunjukkan suatu gerakan tertentu
dalam waktu yang lama dan kemudian secara ekstrim berubah sebaliknya.

3.6 Diagnosis2,4,8
Adapun penegakkan diagnosis skizofrenia hebefrenik menurut Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III adalah sebagai
berikut:
1. Memenuhi kriteria umum skizofrenia:
a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejalaatau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
 “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
“thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luardirinya (withdrawal); dan
“thought broadcasting”= isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya;
 “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau

22
“delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara
jelas merujukke pergerakan tubuh/ anggota gerak atau ke pikiran,
tindakan, atau penginderaan khusus);
“delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifat mistik atau
mukjizat;
 Halusinasi auditorik:
 Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau
 Mendiskusikan perihal pasien pasien di antara mereka sendiri
(di antara berbagai suara yang berbicara), atau
 Jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian
tubuh.
 Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan
di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahkluk asing dan dunia lain)
b. Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
 Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk
tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus
menerus;
 Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;

23
 Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme, dan stupor;
 Gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi oleh depresi atau medikasi
neuroleptika;
c. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal)
d. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

2. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi:


a. Stupor (amat berkurangnya reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan ) atau mutisme (tidak berbicara)
b. Gaduh-gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang
tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara suka rela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh)
d. Negativitisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan kea rah
yang berlawanan)
e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
upaya menggerakkan dirinya)
f. Fleksibiltas cerea/waxy flxibility (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar)

24
g. Gejala-gejala lain seperti Command autism (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.

3. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari


gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting
untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik
untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak,
gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif.

Adapun menurut diagnostic and statistical manual of mental disorder IV-


TR, penegakkan diagnosisnya adalah:1
1. Gejala karakteristik: dua (atau lebih) poin berikut, masing-masing terjadi
dalam porsi waktu yang signifikan selama periode 1 bulan (atau kurang jika
berhasil diobati):
a. waham.
b. halusinasi.
c. pembicaraan yang janggal (contoh. Sering melantur atau inkoherensia).
d. perilaku yang sangat kacau atau katatonik
e. adanya gejala negatif, yaitu afektif mendatar, alogia atau kehilangan
minat.
Catatan: Hanya dibutuhkan satu gejala dari kriteria A jika waham-nya bizar
atau halusinasinya terdiri atas suara yang terus-menerus memberi komentar
terhadap tingkah laku atau pikiran pasien, atau dua (atau lebih) suara-suara
yang saling bercakap-cakap.
2. Disfungsi sosial atau okupasional: selama suatu porsi waktu yang signifikan
sejak awitan gangguan, terdapat satu atau lebih area fungsi utama, seperti
pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh
dibawah tingkatan yang telah dicapai sebelum awitan (atau apabila
awitan terjadi pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan pencapaian tingkat
interpersonal, akademik atau okupasional yang diharapkan)

25
3. Durasi: tanda kontinu gangguan berlansung selama setidaknya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus mencakup 1 bulan gejala (atau kurang bila telah
berhasil diobati) yang memenuhi kriteria A (yaitu gejala fase aktif) dan dapat
mencakup periode gejala prodromal atau residual. Selama periode gejala
prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai
gejala negatif saja atau dua atau lebih gejala dalam kriteria A yang muncul
dalam bentuk yang lebih lemah (seperti kepercayaan-kepercayaan aneh,
pengalaman perseptual yang tidak lazim).
4. Eksklusi gangguan mood dan skizofektif: Gangguan skizoafektif dan mood
dengan ciri psikotik telah disingkirkan baik karena: (1) tidak ada episode
depresi, mania atau campuran mayor yang terjadi bersamaan dengan gejala-
gelala fase aktif, maupun (2) jika episode mood terjadi selama gejala fase
aktif, durasi totalnya relatif singkat dibanding durasi fase aktif dan residual.
5. Eksklusi kondisi medis dan zat: Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek
fisiologis langsung dari suatu zat (seperti obat-obatan yang disalah gunakan,
obat medis) atau oleh suatu kondisi medis umum.
6. Hubungan dengan suatu gangguan perkembangan pervasif: Jika terdapat
riwayat gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya,
diagnosa tambahan skizofernia hanya dibuat bila waham atau halusinasi yang
menonjol juga terdapat selama setidaknya satu bulan (atau kurang jika telah
berhasil diterapi).

Untuk skizofrenia tipe katatonik menurut DSM-IV-TR setidaknya harus


memenuhi 2 kriteria berikut:
1. Imobilitas motorik yang dibuktikan dengan katalepsi (termasuk waxy
flexibility) atau stupor.
2. Aktvitas motorik yg berlebihan (yang tampak tak bertujuan dan tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal).
3. Negativisme yang nyata (yang tampaknya penolakan tanpa motif terhadap
semua perintah atau mempertahankan suatu postur kaku melawan usaha
untuk menggerakannya) atau mutisme.

26
4. Gerakan spontan yang aneh seperti melakukan postur tertentu (berlagak
spontan yangg inappropriate atau postur ganjil), gerakan stereotipik,
menojolnya manerisme atau menyerigai.
5. Echolalia atau echopraxia.

3.7 Diagnosis Banding4


1. Katatonik organik: akibat penyakit organik (ensefalitis).
2. Stupor disosiatif: tidak ditemukan gangguan fisik atau gangguan jiwa lainnya,
adanya problem atau kejadian-kejadian baru (stressful).

3.8 Penatalaksanaan9,10
3.8.1 Psikofarmaka
Pemilihan obat
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang
sama pada dosis ekivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping:
sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis antipsikosis
mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat.
Pergantian disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu
tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka
waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat antipsikosis lain (sebaiknya dan
golongan yang tidak sama) dengandosis ekivalennya. Apabila dalam riwayat
penggunaan obat antipsikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek
sampingnya ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat
antipsikosis atipikal, Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan
gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek
samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis atipikal. Obat antipsikotik yang
beredar dipasaran dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu antipsikotik
generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi ke dua (APG II). APG I
bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal
dan tuberoinfundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi
pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa gangguan

27
ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan
menyebabkan disfungsi seksual/peningkatan berat badan dan memperberat gejala
negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping
antikolinergik seperti mulut kering pandangan kabur, gangguan miksi, defekasi
dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang
digunakan kurang atau sama dengan 10 mg diantaranya adalah trifluoperazine,
fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi
sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham
dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg diantaranya adalah
chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada penderita dengan gejala dominan
gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur. APG II sering disebut sebagai serotonin
dopamin antagonis (SDA) atau antipsikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi
serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan
rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala
negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine,
quetiapine dan rispendon.

Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
 Onset efek primer (efek klinis): 2-4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping): 2-6 jam
 Waktu paruh: 12-24 jam (pemberian 1-2 x/hari)
 Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga
tidak mengganggu kualitas hidup penderita.
 Obat antipsikosis long acting: fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau
haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4 minggu. Berguna untuk
pasien yang tidak/sulit minum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.

Cara/Lama pemberian
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran dinaikkan setiap 2-3 hari
sampai mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda), dievaluasi setiap 2 minggu
bila pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian dipertahankan 8-12 minggu.
(stabilisasi). Diturunkan setiap 2 minggu (dosis maintenance) lalu dipertahankan 6

28
bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2/hari/minggu) setelah itu tapering
off (dosis diturunkan 2-4 minggu) lalu stop. Untuk pasien dengan serangan
sindrom psikosis multiepisode, terapi pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini
dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5 kali). Pada umumnya
pemberian obat antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1
tahun setelah semua gejala psikosis reda sama sekali. Pada penghentian mendadak
dapat timbul gejala cholinergic rebound gangguan lambung, mual, muntah, diare,
pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian anticholinergic
agent seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg IM, tablet trhexyphenidyl 3x2
mg/hari.

Obat antipsikotik
 Dopamin reseptor antagonis: chlorphromazine, trifluoperazine, haloperidol,
thionidazine. Kekurangannya: 50% penderita tetap tidak ada perbaikan dan
eso serius (tardive dyskinesia dan neurolepic malignant syndrom).
 Risperindon (risperidal): lebih efetif, ESO neurologik sangat berkurang, dapat
mengatasi gejala positif dan gejala negatif.
 Clozapine: minus; agronulositosi dan harganya mahal, Pluz; tidak
menyebabkan tardive dyskimesia.

1. Antipsikotik tipikal:
a. Phenothiazine:
 chlorpromazine: tablet 25 mg; 100 mg
 levomepromazine: tablet 25 mg;100 mg
 perphenazine: tablet 4 mg; 8 mg
 trifluoperazine: tablet 5 mg
 thioridazine: 10 mg; 100 mg
b. Butyrophenone:
 haloperidol: tablet 0,5 mg; 1,5 mg; 2 mg; 5 mg
 diphenyl-butyl-piperidine
 pimozide : tablet 2 mg; 4 mg

29
Efek penggunaan obat-obat antipsikotik: mulut kering, pandangan kabur, sulit
konsentrasi, tekanan darah rendah dan gangguan otot yang menyebabkan
gerakan mulut dan dagu yang tidak disengaja.
2. Antipsikotik atipikal
a. Benzamide:
 sulpiride: tablet 50 mg; 200 mg
 dibenzodiazepine
 clozapine: tablet 25 mg; 100 mg
 olanzapine: tablet 5 mg; 10 mg
 quetiapine
 zotapine
 aripiprazole
b. Benzisoxazol: risperidone (tablet 1 mg), paliperidone (kapsul 3 mg)
Obat-obat ini bisa menetralisir gejala-gejala akut skizofrenia (kacau,
gaduh gelisah, waham, halusinasi auditorik, inkoheren, gejala negatif
kronik.

3.8.2 Terapi Psikososial


Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan antara lain :
1. Psikoterapi individual
2. Terapi suportif
3. Sosial skill training
4. Terapi okupasi
5. Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
6. Psikoterapi kelompok
7. Psikoterapi keluarga
8. Manajemen kasus
9. Assertive Community Treatment (ACT)

3.9 Prognosis2,4,8
Prognosis dievaluasi dengan melihat riwayat longitudinal dari penyakit,
dimulai dengan riwayat keluarga sampai pada penanganan. Ada banyak faktor
yang mempengaruhi prognosis skizofrenia, antara lain sebagai berikut:

30
1. Keluarga
Pasien membutuhkan perhatian dari masyarakat, terutama dari keluarganya.
jangan membeda-bedakan antara orang yang mengalami Skizofrenia dengan
orang yang normal, karena orang yang mengalami gangguan Skizofrenia
mudah tersinggung.
2. Inteligensi
Pada umumnya pasien Skizofrenia yang mempunyai Inteligensi yang tinggi
akan lebih mudah sembuh dibandingkan dengan orang yang inteligensinya
rendah.
3. Pengobatan
Obat memiliki dua kekurangan utama. Pertama hanya sebagian kecil pasien
(kemungkinan 25%) cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah
fungsi mental yang cukup normal. Kedua antagonis reseptor dopamine
disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius. Namun
pasien skkizofrenia perlu di beri obat Risperidone serta Clozapine.
4. Reaksi Pengobatan
Dalam proses penyembuhan skizofrenia, orang yang bereaksi terhadap obat
lebih bagus perkembangan kesembuhan daripada orang yang tidak bereaksi
terhadap pemberian obat.
5. Stressor Psikososial
Apabila stressor dari skizofrenia ini berasal dari luar, maka akan
mempunayi dampak yang positif, karena tekanan dari luar diri individu
dapat diminimalisir atau dihilangkan. Begitu pula sebaliknya apabila
stressor datangnya dari luar individu dan bertubi-tubi atau tidak dapat
diminimalisir maka prosgnosisnya adalah negatif atau akan bertambah
parah.
6. Kekambuhan
Penderita skizofrenia yang sering kambuh prognosisnya lebih buruk.
7. Gangguan Kepribadian
Prognosis untuk orang yang mempunyai gangguan kepribadian akan sulit
disembuhkan. Besar kecilnya pengalaman akan memiliki peran yang sangat
besar terhadap kesembuhan.

31
8. Onset
Jenis onset yang mengarah ke prognosis yang baik berupa onset yang
lambat dan akut, sedangkan onset yang tidak jelas memiliki prognosis yang
lebih baik.
9. Proporsi
Orang yang mempunyai bentuk tubuh normal (proporsional) mempunyai
prognosis yang lebih baik dari pada penderita yang bentuk tubuhnya tidak
proporsional.
10. Perjalanan penyakit
Pada penderita skizofrenia yang masih dalam fase prodromal prognosisnya
lebih baik dari pada orang yang sudah pada fase aktif dan fase residual.
11. Kesadaran
Kesadaran orang yang mengalami gangguan skizofrenia adalah jernih. Hal
inilah yang menunjukkan prognosisnya baik nantinya.

Prognosis Baik Prognosis Buruk


 Riwayat keluarga tentang  Riwayat keluarga skizofrenia
gangguan mood/afek  Riwayat trauma prenatal
 Perilaku dan personalitas  Onset pada usia muda
premorbid yang baik  Prilaku dan personalitas
 Sudah menikah premorbid yang buruk
 Onset akut  Lajang, bercerai, atau menjanda
 Gejala kelainan mood terutama  Insidious onset
kelainan depresif  Tanpa sebab yang jelas
 Gejala positif  Tanda dan gejala gangguan
 Sistem pembantu (support neurologist
systems yang baik)  Cenderung menarik diri
 Gejala negatif
 Tidak ada remisi dalam 3 tahun
 Sering kambuh
 Riwayat kekerasan
 Support systems yang buruk

32
BAB IV
PENUTUP

4.1 Analisa Kasus


Adapun hasil analisa kasus dari kasus yang diangkat antara lain sebagai
berikut:
1. Berdasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan psikiatrikus pasien
didiagnosis sebagai Skizofrenia tipe katatonik karena adanya didapatkan
tanda dan gejala yang memenuhi kriteria umum skizofrenia dan kriteria
tambahan skizofrenia katatonik (adanya negativisme dan rigiditas).
2. Psikofarmaka yang diberikan pada pasien ini adalah obat golongan atipikal
yaitu Risperidon untuk mengatasi gejala negatif pada pasien ini. Selanjutnya
diberikan Trihexiphenidil adalah untuk mencegah timbulnya
Extrapyramidal syndrome yang dapat disebabkan oleh penggunaan
risperidon. Pemberian Clorpromazine untuk memberikan efek sedasi agar
pasien menjadi lebih tenang.
3. Pemberian nutrisi kepada pasien awalnya adalah melalui cairan infus selama
4 hari, kemudian pemberian nutrisi sampai sekarang diganti dengan melalui
oral berupa susu, bubur nasi cair dan mie instant.
4. Psikoterapi yang dilakukan berupa menolong pasien beradaptasi dan
mengembalikan keadaan jiwa yang rapuh ataupun mengalami gangguan ke
arah keseimbangan, yang terutama dilakukan adalah menekan ataupun
mengontrol gejala-gejala yang terjadi serta menstabilkan pasien ke dalam
suasana yang aman dan terlindungi untuk melawan ataupun menghadapi
tekanan yang mungkin saja berat.
5. Dari penjelasan diatas kemungkinan Tn. FER prognosisnya buruk,
mengingat onsetnya pada usia muda, lajang, cenderung menarik diri dan
adanya gejala negatif yang dominan.

4.2 Saran
Dengan diselesaikannya laporan ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan sumber informasi tentang Skizofrenia katatonik bagi pembaca.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Katatona C, Cooper C, Robertson M. Psikiatri. Jakarta: Erlangga 2012.


2. Sadock B, Sadock V A. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis, Edisi
2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 2010.
3. Hawari HD. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa. Jakarta: FK-UI 2009.
4. Maslim, Rusdi dr. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkasan
dari PPDGJ III Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya, Jakarta,
2001.
5. Elvira SD, Hadiskanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FK-UI 2010.
6. Silbernagl, Stefan dan Florian lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta: EGC 2007.
7. Price Sylvia A, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi. Ed. 6. Jakarta: EGC 2005.
8. Maramis WR. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Universitas Airlangga 2005.
p.223
9. Maslim, Rusdi. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: PT Nuh Jaya
2007.
10. Amir Syarif dkk. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

34

Anda mungkin juga menyukai