NIM : G1D116113
a. Pasien, Petugas Kesehatan dan Manajer Mutu merupakan fokus sentral dari tiap
uapaya untuk memberikan pelayanan kesehatan.
b. Pasien dan Masyarakat Mutu pelayanan berarti suatu empathi, respek dan
tanggap akan kebutuhannya, pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka
diberikan dengan cara yang ramah pada waktu mereka berkunjung.
c. Petugas Kesehatan Mutu pelayanan berarti bebas melakukan segala sesuatu
secara profesional untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat
sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang maju, mutu peralatan
yang baik dan memenuhi standar yang baik.
d. Kepuasan Praktisioner Suatu ketetapan “kebagusan” terhadap penyediaan dan
keadaan dari pekerja praktisioner, untuk pelayanan oleh kolega-kolega atau
dirinya sendiri Manajer Bagi yayasan atau pemilik rumah sakit.
Mutu pelayanan rumah sakit (RS) dapat ditelaah dari tiga hal yaitu:
1) struktur (sarana fisik, peralatan, dana, tenaga kesehatan dan nonkesehatan, serta
pasien),
2) proses (manajemen RS baik manajemen interpersonal, teknis maupun pelayanan
keperawatan yang kesemuanya tercermin pada tindakan medis dan nonmedis
kepada pasien),
3) outcome
Aspek Mutu yang dapat dipakai sebagai indikator untuk menilai mutu
pelayanan RS yaitu:
- penampilan keprofesian (aspek klinis),
- efisiensi dan efektivitas,
- keselamatan
- kepuasan pasien.
Dalam pengalaman sehari-hari, ketidakpuasan pasien yang paling sering
dikemukakan dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku petugas RS,
antara lain:
- keterlambatan pelayanan dokter dan perawat.
- dokter sulit ditemui.
- dokter yang kurang.
- komunikatif dan informatif.
- lamanya proses masuk pasien RS. Indikator kepuasan pasien di Ruah
Sakit yaitu:
a. Pelayanan masuk RS:
- Lama waktu pelayanan sebelum dikirim ke ruang perawatan.
- Pelayanan petugas yang memproses masuk ke ruang perawatan.
- Kondisi tempat menunggu sebelum dikirim ke ruang perawatan.
- Pelayanan petugas Instalasi Gawat Darurat(IGD).
- Lama pelayanan di ruang IGD.
- Kelengkapan peralatan di ruang IGD.
b. Pelayanan dokter:
- Sikap dan perilaku dokter saat melakukan pemeriksaan rutin.
- Penjelasan dokter terhadap pengobatan yang akan dilakukannya.
- Ketelitian dokter memeriksa responden.
- Kesungguhan dokter dalam menangani penyakit responden.
- Penjelasan dokter tentang obat yang harus diminum.
- Penjelasan dokter tentang makanan yang harus dipantang.
- Kemanjuran obat yang diberikan dokter.
- Tanggapan dan jawaban dokter atas keluhan responden.
- Pengalaman dan senioritas dokter.
c. Pelayanan perawat:
- Keteraturan pelayanan perawat setiap hari (pemeriksaan nadi,
suhu tubuh, dan sejenisnya)
- Tanggapan perawat terhadap keluhan responden
- Kesungguhan perawat melayani kebutuhan responden
- Keterampilan perawat dalam melayani (menyuntik, mengukur
tensi, dan lain -lain)
- Pertolongan sifatnya pribadi (mandi, menyuapi makanan, dan
sebagainya)
- Sikap perawat terhadap keluarga pasien dan pengunjung/tamu
pasien
- Pemberian obat dan penjelasan cara meminumnya
- Penjelasan perawat atas tindakan yang akan dilakukannya
- Pertolongan perawat untuk duduk, berdiri, dan berjalan.
d. Pelayanan makanan pasien:
- Variasi menu makanan
- Cara penyajian makanan
- Ketepatan waktu menghidangkan makanan
- Keadaan tempat makan (piring, sendok)
- Kebersihan makanan yang dihidangkan 6. Sikap dan perilaku
petugas yang menghidangkan makanan.
e. Sarana medis dan obat-obatan:
- Ketersediaan obat-obatan di apotek RS
- Pelayanan petugas apotek RS
- Lama waktu pelayanan apotek RS
- Kelengkapan peralatan medis sehingga tak perlu dikirim ke RS
lain untuk pemakaian suatu alat
- Kelengkapan pelayanan laboratorium RS
- Sikap dan perilaku petugas pada fasilitas penunjang medis.
- Lama waktu mendapatkan kepastian hasil dari penunjang medis.
f. Kondisi fasilitas RS (fisik RS):
- Keterjangkauan letak RS
- Keadaan halaman dan lingkungan RS
- Kebersihan dan kerapian gedung, koridor, dan bangsal RS
- Keamanan pasien dan pengunjung RS
- Penerangan lampu pada bangsal dan halaman RS di waktu
malam
- Tempat parkir kendaraan di RS.
g. Kondisi fasilitas ruang perawatan:
- Kebersihan dan kerapian ruang perawatan
- Penerangan lampu pada ruang perawatan
- Kelengkapan perabot ruang perawatan
- Ruang perawatan bebas dari serangga (semut, lalat, nyamuk).
h. Pelayanan administrasi keluar RS:
- Pelayanan administrasi tidak berbelit-belit dan menyulitkan
- Peraturan keuangan sebelum masuk ruang perawatan
- Cara pembayaran biaya perawatan selama dirawat 4.
Penyelesaian administrasi menjelang pulang
- Sikap dan perilaku petugas administrasi menjelang pulang.
Di Amerika Serikat, upaya peningkatan mutu pelayanan medik dimulai oleh ahli
bedah Dr. E.A.Codman dari Boston dalam tahun 1917. Dr.E.A Codman dan beberapa
ahli bedah lain kecewa dengan hasil operasi yang seringkali buruk, karena seringnya
terjadi penyulit. Mereka berkesimpulan bahwa penyulit itu terjadi karena kondisi yang
tidak memenuhi syarat di Rumah Sakit. Untuk itu perlu ada penilaian dan
penyempurnaan tentang segala sesuatu yang terkait dengan pembedahan. Ini adalah
upaya pertama yang berusaha mengidentifikasikan masalah klinis, dan kemudian
mencari jalan keluarnya.
Kelanjutan dari upaya ini pada tahun 1918 The American College of Surgeons
(ACS) menyusun suatu Hospital Standardization Programme. Program standarisasi
adalah upaya pertama yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan.
Program ini ternyata sangat berhasil meningkatkan mutu pelayanan sehingga banyak
Rumah Sakit tertarik untuk ikut serta. Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi
maka spesialisasi ilmu kedokteran diluar bedah cepat berkembang. Oleh karena itu
program standarisasi perlu diperluas agar dapat mencakup disiplin lain secara umum.
Pada akhir tahun 1960 JCAH tidak lagi hanya menentukan syarat minimal dan
essensial untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada di Rumah Sakit, namun telah
memacu Rumah Sakit agar memberikan mutu pelayanan yang setinggi-tingginya sesuai
dengan sumber daya yang ada. Untuk memenuhi tuntutan yang baru ini antara tahun
1953-1965 standar akreditasi direvisi enam kali, selanjutnya beberapa tahun sekali
diadakan revisi.
Sejak tahun 1979 JCAH membuat standar tambahan, yaitu agar dapat lulus
akreditasi suatu Rumah Sakit harus juga mempunyai program pengendalian mutu yang
dilaksanakan dengan baik.
Pada tahun 1982 kantor regional tersebut telah menerbitkan buku tentang upaya
meningkatkan mutu dan penyelenggaraan simposium di Utrecht, negeri Belanda tentang
metodologi peningkatan mutu pelayanan. Dalam bulan Mei 1983 di Barcelona, Spanyol
suatu kelompok kerja yang dibentuk oleh WHO telah mengadakan pertemuan untuk
mempelajari peningkatan mutu khusus untuk Eropa.
Walaupun secara regional WHO telah melakukan berbagai upaya, namun pada
simposium peningkatan mutu pada bulan Mei 1989 terdapat kesan bahwa secara
nasional upaya peningkatan mutu di berbagai negara Eropa Barat masih pada
perkembangan awal.
Di Asia, negara pertama yang sudah mempunyai program peningkatan mutu dan
akreditasi Rumah Sakit secara nasional adalah Taiwan. Negara ini banyak menerapkan
metodologi dari Amerika. Sedangkan Malaysia mengembangkan peningkatan mutu
pelayanan dengan bantuan konsultan ahli dari Negeri Belanda.
Di Indonesia langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang telah
dilakukan Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan mutu yaitu
penetapan kelas Rumah Sakit pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan
No.033/Birhup/1972. Secara umum telah ditetapkan beberapa kriteria untuk tiap kelas
Rumah Sakit A,B,C,D. Kriteria ini kemudian berkembang menjadi standar-standar.
Kemudian dari tahun ke tahun disusun berbagai standar baik menyangkut pelayanan,
ketenagaan, sarana dan prasarana untuk masing-masing kelas Rumah Sakit. Disamping
standar, Departemen Kesehatan juga mengeluarkan berbagai panduan dalam rangka
meningkatkan penampilan pelayanan Rumah Sakit.
Era tanpa mutu adalah era dimana persaingan belum terjadi oleh produsen atau
pemberi layanan. Sehingga pelanggan belum diberi kesempatan untuk memilih. Hal
serupa terjadi pula pada organisasi pemberi layanan publik. Pada lembaga pelayanan
publik yang dikelola oleh pemerintah, masyarakat sebagai pelanggan tidak diberikan
hak untuk menuntut mutu pelayanan organisasi yang lebih baik dan yang diharapkan.
Keadaan ini menyebabkan mutu pelayanan organisasi publik belum menjadi penilaian.
Pengguna hanya mengutamakan yang penting ada dan dapat dipergunakan saja.
B. Era Inpeksi
Era ini ditandai dengan perhatian yang rendah dari pihak manajemen terhadap
mutu produk. Tanggung jawab terhadap mutu produk didelegasikan pada departemen
inpeksi yang bertugas hanya pada pendeteksian dan penyisihan produk yang tidak
memenuhi syarat kualitas dari produk yang baik. Di era inpeksi ini belum ada perhatian
terhadap kualitas proses dan sistem untuk merealisasikan produk tersebut.
C. Era Pengendalian Mutu
Era ini dimulai sekitar tahun 1930-an, yang disebut juga sebagai era Statistical
Control, yang lebih menekankan pada pengendalian, keseragaman produk dan
pengurangan aktifitas inspeksi serta dilakukan oleh Departemen Teknis dan Departemen
Inspeksi. Pada era ini perlu diperkenalkan pandangan baru terhadap konsep Walter A
Shewart, menurut pandangan ini mutu produk merupakan serangkaian karakteristik
yang melekat pada produk yang dapat diukur secara kuantitatif.
Era ini dimulai sekitar tahun 1960-an yang menekankan pada koordinasi,
pemecahan masalah secara proaktif. Di era ini mulai dikenal adanya konsep Total
Quality Control (TQC) yang diperkenalkan oleh Armand F pada tahun 1950.
Era ini dimulai pada tahun 1980, pada era ini menekankan pada manajemen
strategi.TQM merupakan suatu sistem yang berfokus kepada orang yang bertujuan
untuk meningkatkan kepuasan pelanggan pada titik penekanan biaya agar sama dengan
biaya sesungguhnya untuk menghasilkan dan memberikan pelayanan. TQM adalah
sebuah upaya untuk mencapai keunggulan kompetitif serta mengutamakan kebutuhan
pasar dan konsumen yang dilakukan oleh setiap orang dalam organisasi dengan
leadership yang kuat dari pimpinan.
Tujuan dari diterapkannya TQM adalah perlu adanya perubahan budaya serta
komitmen dari seluruh mulai dari pimpinan sampai anggota. Organisasi harus didukung
oleh budaya yang mendukung yang menekankan pada kerja kelompok, pemberdayaan
dan partisipasi karyawan, peningkatan terus menerus fokus pada pelanggan serta
kepemimpinan yang tepat agar TQM dapat berkelanjutan. Prinsip TQM secara
keseluruhan proses produk maka titik bertanya pada penanganan kualitas pada seluruh
aspek organisai.
Era ini dimulai pada sekitar tahun 1943 yaitu pada masa perang dunia II, di
mana sekutu mulai mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan peledak. Hal ini
terkait dengan mutu bahan peledak untuk keperluan militer terutama oleh pasukan
Inggris. Berdasarkan keadaan tersebut pihak militer Inggris mengembangkan
serangkaian standar yang secara umum dapat menunjukkan kemampuan suatu
perusahaan dalam menyediakan produk bermutu tinggi serta konsisten bagi kepentingan
bahan militer. Pada akhir tahun 1960, disusun standar sistem mutu AQAP (Allied
Quality Assurance Publicators) yaitu pengembangan standar yang sudah ada sebagai
sistem kendali dengan tujuan utamanya adalah untuk mengendalikan pemasok dalam
pemenuhan persyaratan. Pada tahun 1979 anggota ISO untuk Inggris yaitu British
Standard Institute, menyerahkan proposal kepada ISO agar dibentuk suatu komite teknis
baru untuk menyiapkan standar internasional yang berkaitan dengan teknik dan praktik
penjaminan mutu, maka dibentuklah komite teknis baru dengan nomor ISO/TC 176.
Sebagai hasil kerja ISO/TC 176, pada tahun 1987 dipublikasikan seri standar ISO 9000
yaitu sistem manajemen mutu yang merangkum sebagian besar standar sebelumnya di
samping peningkatan dan penjelasan standar baru.
1) Sumber daya rumah sakit, termasuk antara lain tenaga, pembiayaan, sarana dan
teknologi yang digunakan.
2) Interaksi kegiatan yang digerakkan melalui proses dan prosedur tertentu dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menghasilkan jasa atau pelayanan.
Adanya berbagai aspek dan faktor yang terkait dan berperan dalam menentukan
mutu pelayanan maka definisi yang tepat tentang mutu sangat sukar. Karena itu ada
beraneka definisi yang dikemukakan dalam kepustakaan, tergantung dari sudut
pendekatan mana yang dipilihnya. Joint Commision on Accreditation of Healthcare
Organizations mendefinisikan mutu pelayanan kesehatan adalah dipenuhinya standar
profesi yang baik dalam pelayanan medik dan terwujudnya hasil akhir (outcome) seperti
yang selayaknyadiharapkan yang menyangkut : perawatan pasien, diagnosis, prosedur
atau tindakan dan pemecahan masalah klinis. Dari definisi tersebut jelas kemudian
untuk mengukur mutu diperlukan standar, kriteria dan indikator. Ada perbedaan yang
relatif di antara ketiganya dalam arti konsep, namun seringkali dalam praktek istilah-
istilah itu dipakai secara berbaur untuk maksud yang sama. Indikator tak lain adalah
ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi. Ia suatu variabel
yang digunakan untuk bisa melihat perubahan. Indikator yang baik adalah yang sensitif
tapi juga spesifik, sedangkan kriteria adalah spesifikasi dari indikator dan standar adalah
spesifikasi yang eksak dan kwantitatif daripada kriteria.
Dengan akan berakhirnya Repelita V, dimana kita akan memasuki tahap tinggal
landas pembangunan, salah satu prakondisi yang harus dipenuhi adalah meningkatnya
mutu pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan yang nyata. Peningkatan mutu
pelayanan merupakan prioritas, terutama di Rumah sakit Kelas C.
Namun demikian, disadari pula masih banyak kendala yang dihadapi, terutama
yang berkaitan denhgan standar kebutuhan dan tuntutan sistem pelayanan yang masih
belum selaras dengan perkembangan iptek kedokteran yang semakin pesat dimana
pelayanan spesialistik dan sub spesialistik cenderung semakin berkembang.
Mengingat masih adanya kendala dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan
khususnya pelayanan rumah sakit maka dalam rangkapeningkatan mutu pelayanan
kesehatan diperlukan perumusan tujuan, sasaran, program dan strategi di rumah sakit.
1) Tujuan
Umum
Khusus
3) Strategi
Sembilan intervensi ini telah mulai dilaksanakan di rumah sakit terutama yang
dikonversi menjadi unit swadana.
4) Langkah-langkah kegiatan
a. Di tingkat nasional
1.) Perizinan
Sesuai dengan PP No. 1/1988 dan Permenkes No. 385/1988 tentang pelaksanaan
masa bakti dan izin praktek bagi dokter dan dokter gigi, tenaga medis dalam
melaksanakan tugas harus mempunyai Surat Penugasan (SP) dan Surat Izin
Praktek (SIP). SP ini merupakan pengganti dari SID.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, setiap
sarana kesehatan baik milik pemerintah maupun swasta harus mempunyai izin.
Pelanggaran dari ketentuan tersebut akan mendapat sangsi bisa berupa kurungan
atau denda sebesar 15 juta rupiah.
2.) Ketenagaan
Pemberian ijasah bagi dokter yang baru lulus dan brevet keahlian kepada dokter
spesialis yang telah lulus merupakan salah satu program menjaga mutu.
Sedangkan untuk dokter lulusan luar negeri harus melakukan adaptasi dulu dan
untuk dokter dari Fakultas Kedokteran swasta harus ikut ujian negara dulu
sebelum dapat ijasah. Sedangkan sertifikat diberikan kepada tenaga medis dan
paramedis yang telah selesai mengikuti penataran, seminar dan latihan-latihan
lainnya. Semuanya tadi dapat memberikan gambaran tingkat pengetahuan dari
berbagai macam tenaga kesehatan.
Mengadakan pendidikan dan pelatihan untuk tenaga medis maupun paramedis
perawatan dan non perawatan. Pendidikan dan pelatihan tersebut meliputi
managerial skill dan technical skill. Misalnya : HMT, PKMRS, infeksi
nosokomial, medicaU surgical ICCU, PICU, UGD, koroner, cancer unit,
perawatan ortopedi, ASI, hematologi, dialisis, teknik kamar bedah, dan lain-lain.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan maka penempatan dokter spesialis 4 dasar
di RSU kelas C lebih ditingkatkan. Juga dilakukan penempatan tenaga dokter
spesialis radiologi, patoIogi klinik, patologi anatomi dan forensik, anestesi dan
tenaga apoteker. Selain itu dokter spesialis mata, THT, saraf, gigi ortotik
prostetik, rehabilitasi medik ditempatkan untuk melengkapi RSU kelas C,
disertai dengan tenaga paramedik perawatan dan paramedik non perawatan
sesuai dengan kebutuhan.
3.) Sarana, Prasarana, Peralatan dan Penampilan
Rumah sakit Pemerintah dilengkapi dengan sarana, prasarana dan peralatan
sesuai dengan kebutuhan. Misalnya: peralatan mata dan THT untuk RS Kelas C.
Untuk meningkatkan mutu penampilan rumah sakit maka setiap memperingati
Hari Kesehatan Nasional diadakan lomba penilaian penampilan rumah sakit
Pemerintah maupun rumah sakit swasta. Dalam tahun anggaran 1991/1992
lomba tersebut ditambah dengan lomba Gerakan Rumah Sakit Bersih.
4.) Pembiayaan
Untuk meningkatkan citra rumah sakit Pemerintah maka rumah sakit Pemerintah
mendapat biaya operasional dan pemeliharaan rumah sakit (OPRS).
Untuk mengatasi keterbatasan biaya operasional maka secara bertahap rumah
sakit pemerintah akan dikonversikan menjadi unit swadana. Rumah sakit unit
swadana akan diberi kewenangan mengelola penerimaan fungsionalnya
sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatannya.
5.) Program-program
Penggunaan obat secara rasional.
Dalam rangka meningkatkan mutu pengobatan maka obat yang ada harus
digunakan secara rasional. Untuk itu ada kewajiban penggunaan obat generik di
sarana kesehatan pemerintah. Juga ditetapkan adanya Komite Farmasi dan
Terapi, formularium rumah sakit, dan lain-lain. Selain itu dilakukan pula
penelitian ulang manfaat obat yang beredar.
Standarisasi
Telah disusun standar pelayanan rumah sakit yang merupakan integrasi dari
standar pelayanan medik dan terapi, standar ketenagaan, standar sarana,
prasarana dan keperawatan. Setiap rumah sakit pemerintah maupun swasta
secara bertahap diharapkan dapat menerapkan standar dan kriteria tersebut.
Standar pelayanan rumah sakit merupakan langkah awal dari pelaksanaan
akreditasi.
Klasifikasi
Telah disusun standar penetapan kelas rumah sakit baik untuk rumah sakit
pemerintah maupun rumah sakit swasta. Dengan adanya klasifikasi rumah sakit
ini diharapkan dapat meningkatkan mutu rujukan pelayanan secara berjenjang.
Akreditasi
Untuk meningkatkan mutu pelayanan telah dipersiapkan standar dalam rangka
akreditasi rumah sakit dan dipersiapkan instrumen dan uji coba. Direncanakan
rumah sakit yang akan dikonversikan ke dalam unit swadana harus melalui
akreditasi terlebih dahulu atau setidak-tidaknya menggunakan dasar-dasar
akreditasi.
b. Di tingkat sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit)
1) Program Quality Assurance/Quality Improvement
Pada umumnya yang telah dilaksanakan adalah case review, menilai atau me-
reviewmutu dan kelayakan pemberian pelayanan kepada pasien. Kegiatan ini
terutama telah dilakukan di rumah sakit pendidikan. Misalnya reviewkasus
bedah, review penggunaan obat, dan lain-lain.
2) Manajemen Mutu Terpadu (TQM)
TQM merupakan suatu sistem manajemen yang melibatkan seluruh lapisan
organisasi dalam mengendalikan dan meningkatkan mutu secara terpadu.
Falsafah dasar TQM adalah perbaikan terus menerus. Perbaikan terus menerus
akan terjadi kalau setiap orang melakukan usaha secara terus menerus dalam
memecahkan masalah yang timbul. Walaupun manajemen mutu terpadu tersebut
Iebih cocok untuk perusahaan manufaktur, namun ada rumah sakit yang pernah
melaksanakan TQM ini.
3) Gugus Kendali Mutu (GKM)
Merupakan salah satu bentuk penerapan falsafah dasar manajemen mutu terpadu
yaitu melakukan perbaikan terus menerus. Namun berlainan dengan TQM,
dalam GKM masalah yang dibahas adalah masalah-masalah yang dihadapi
sehari-hari dalam bekerja di tingkat pelaksana atau operator. Kegiatan GKM ini
telah dilaksanakan di beberapa rumah sakit yang akan dikonversikan menjadi
rumah sakit unit swadana yaitu RS Pasar Rebo, RS Tegalyoso, dan lain-lain.
4) Program-program khusus
Program khusus ini dilaksanakan di rumah sakit sesuai dengan kebutuhannya.
Misalnya : Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya telah melaksanakan
pengendalian infeksi nosokomial, RS Husada melaksanakan pengukuran derajat
kepuasan pasien.
5) Pengembangan standar profesi
Penyusunan dan evaluasi terus menerus standar profesi di rumah sakit.
Daftar Pustaka
http://syamsisite.blogspot.com/2010/11/sejarah-perkembangan-manajemen-mutu.html.
Diakses tanggal 8 September 2013.