Anda di halaman 1dari 28

Mutu Pelayanan Kesehatan

Nama : NOVITA ULFIA RAHMI

NIM : G1D116113

Diajukan Untuk Melengkapi Nilai Ujian Akhir Semester Mata Kuliah


Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Semester Ganjil Tahun Akademik
2018/2019

Peminatan Administrasi Kebijakan Kesehatan


Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Jambi
Desember 2018
Mutu Pelayanan Kesehatan adalah penampilan yang pantas dan sesuai (yang
berhubungan dengan standar-standar) dari suatu intervensi yang diketahui aman, yang
dapat memberikan hasil kepada masyarakat yang bersangkutan dan yang telah
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dampak pada kematian, kesakitan,
ketidakmampuan dan kekurangan gizi (Milton I Roemer dan CMontoya Aguilar, WHO,
1988).

Arti Mutu Pelayanan Kesehatan dari beberapa sudut pandang yaitu:

a. Pasien, Petugas Kesehatan dan Manajer Mutu merupakan fokus sentral dari tiap
uapaya untuk memberikan pelayanan kesehatan.
b. Pasien dan Masyarakat Mutu pelayanan berarti suatu empathi, respek dan
tanggap akan kebutuhannya, pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka
diberikan dengan cara yang ramah pada waktu mereka berkunjung.
c. Petugas Kesehatan Mutu pelayanan berarti bebas melakukan segala sesuatu
secara profesional untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat
sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang maju, mutu peralatan
yang baik dan memenuhi standar yang baik.
d. Kepuasan Praktisioner Suatu ketetapan “kebagusan” terhadap penyediaan dan
keadaan dari pekerja praktisioner, untuk pelayanan oleh kolega-kolega atau
dirinya sendiri Manajer Bagi yayasan atau pemilik rumah sakit.

Mutu adalah tingkat dimana pelayanan kesehatan pasien ditingkatkan


mendekati hasil yang diharapkan dan mengurangi faktor-faktor yang tidak diinginkan
(JCAHO 1993). Definisi tersebut semula melahirkan faktor-faktor yang menentukan
mutu pelayanan kesehatan yaitu :

1) Kelayakan adalah tingkat dimana perawatan atau tindakan yang dilakukan


relevan terhadap kebutuhan klinis pasien dan memperoleh pengetahuan yang
berhubungan dengan keadaannya.
2) Kesiapan adalah tingkat dimana kesiapan perawatan atau tindakan yang layak
dapat memenuhi kebutuhan pasien sesuai keperluannya.
3) Kesinambungan adalah tingkat dimana perawatan atau tindakan bagi pasien
terkoordinasi dengan baik setiap saat, diantara tim kesehatan dalam organisasi .
4) Efektifitas adalah tingkat dimana perawatan atau tindakan terhadap pasien
dilakukan dengan benar, serta mendapat penjelasan dan pengetahuan sesuai
dengan keadaannya, dalam rangka memenuhi harapan pasien.
5) Kemanjuran adalah tingkat dimana perawatan atau tindakan yang diterima
pasien dapat diwujudkan atau ditunjukkan untuk menyempurnakan hasil sesuai
harapan pasien.
6) Efisiensi adalah ratio hasil pelayanan atau tindakan bagi pasien terhadap
sumber-sumber yang dipergunakan dalam memberikan layanan bagi pasen.
7) Penghormatan dan perhatian adalah tingkat dimana pasien dilibatkan dalam
pengambilan keputusan tentang perawatan dirinya. Berkaitan dengan hal
tersebut perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan pasien serta harapan-
harapannya dihargai.
8) Keamanan adalah tingkat dimana bahaya lingkungan perawatan diminimalisasi
untuk melindungi pasien dan orang lain, termasuk petugas kesehatan.
9) Ketepatan waktu adalah tingkat dimana perawatan atau tindakan diberikan
kepada pasien tepat waktu sangat penting dan bermanfaat.

Mutu pelayanan rumah sakit (RS)

Mutu pelayanan rumah sakit (RS) dapat ditelaah dari tiga hal yaitu:

1) struktur (sarana fisik, peralatan, dana, tenaga kesehatan dan nonkesehatan, serta
pasien),
2) proses (manajemen RS baik manajemen interpersonal, teknis maupun pelayanan
keperawatan yang kesemuanya tercermin pada tindakan medis dan nonmedis
kepada pasien),
3) outcome
 Aspek Mutu yang dapat dipakai sebagai indikator untuk menilai mutu
pelayanan RS yaitu:
- penampilan keprofesian (aspek klinis),
- efisiensi dan efektivitas,
- keselamatan
- kepuasan pasien.
 Dalam pengalaman sehari-hari, ketidakpuasan pasien yang paling sering
dikemukakan dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku petugas RS,
antara lain:
- keterlambatan pelayanan dokter dan perawat.
- dokter sulit ditemui.
- dokter yang kurang.
- komunikatif dan informatif.
- lamanya proses masuk pasien RS. Indikator kepuasan pasien di Ruah
Sakit yaitu:
a. Pelayanan masuk RS:
- Lama waktu pelayanan sebelum dikirim ke ruang perawatan.
- Pelayanan petugas yang memproses masuk ke ruang perawatan.
- Kondisi tempat menunggu sebelum dikirim ke ruang perawatan.
- Pelayanan petugas Instalasi Gawat Darurat(IGD).
- Lama pelayanan di ruang IGD.
- Kelengkapan peralatan di ruang IGD.
b. Pelayanan dokter:
- Sikap dan perilaku dokter saat melakukan pemeriksaan rutin.
- Penjelasan dokter terhadap pengobatan yang akan dilakukannya.
- Ketelitian dokter memeriksa responden.
- Kesungguhan dokter dalam menangani penyakit responden.
- Penjelasan dokter tentang obat yang harus diminum.
- Penjelasan dokter tentang makanan yang harus dipantang.
- Kemanjuran obat yang diberikan dokter.
- Tanggapan dan jawaban dokter atas keluhan responden.
- Pengalaman dan senioritas dokter.
c. Pelayanan perawat:
- Keteraturan pelayanan perawat setiap hari (pemeriksaan nadi,
suhu tubuh, dan sejenisnya)
- Tanggapan perawat terhadap keluhan responden
- Kesungguhan perawat melayani kebutuhan responden
- Keterampilan perawat dalam melayani (menyuntik, mengukur
tensi, dan lain -lain)
- Pertolongan sifatnya pribadi (mandi, menyuapi makanan, dan
sebagainya)
- Sikap perawat terhadap keluarga pasien dan pengunjung/tamu
pasien
- Pemberian obat dan penjelasan cara meminumnya
- Penjelasan perawat atas tindakan yang akan dilakukannya
- Pertolongan perawat untuk duduk, berdiri, dan berjalan.
d. Pelayanan makanan pasien:
- Variasi menu makanan
- Cara penyajian makanan
- Ketepatan waktu menghidangkan makanan
- Keadaan tempat makan (piring, sendok)
- Kebersihan makanan yang dihidangkan 6. Sikap dan perilaku
petugas yang menghidangkan makanan.
e. Sarana medis dan obat-obatan:
- Ketersediaan obat-obatan di apotek RS
- Pelayanan petugas apotek RS
- Lama waktu pelayanan apotek RS
- Kelengkapan peralatan medis sehingga tak perlu dikirim ke RS
lain untuk pemakaian suatu alat
- Kelengkapan pelayanan laboratorium RS
- Sikap dan perilaku petugas pada fasilitas penunjang medis.
- Lama waktu mendapatkan kepastian hasil dari penunjang medis.
f. Kondisi fasilitas RS (fisik RS):
- Keterjangkauan letak RS
- Keadaan halaman dan lingkungan RS
- Kebersihan dan kerapian gedung, koridor, dan bangsal RS
- Keamanan pasien dan pengunjung RS
- Penerangan lampu pada bangsal dan halaman RS di waktu
malam
- Tempat parkir kendaraan di RS.
g. Kondisi fasilitas ruang perawatan:
- Kebersihan dan kerapian ruang perawatan
- Penerangan lampu pada ruang perawatan
- Kelengkapan perabot ruang perawatan
- Ruang perawatan bebas dari serangga (semut, lalat, nyamuk).
h. Pelayanan administrasi keluar RS:
- Pelayanan administrasi tidak berbelit-belit dan menyulitkan
- Peraturan keuangan sebelum masuk ruang perawatan
- Cara pembayaran biaya perawatan selama dirawat 4.
Penyelesaian administrasi menjelang pulang
- Sikap dan perilaku petugas administrasi menjelang pulang.

1. Sejarah Perkembangan Mutu Pelayanan Kesehatan

Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan


setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata
serata penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi (Azrul Azwar,
1996).

Mutu pelayanan kesehatan adalah tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan


yang menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Makin sempurna kepuasan
tersebut, makin baik juga mutu pelayanannya. Permasalahan pokok dari mutu ini adalah
karena kepuasan bersifat subjektif, setiap orang memiliki tingkat kepuasan yang
berbeda untuk satu mutu pelayanan kesehatan yang sama.

Mutu pelayanan kesehatan adalah derajat kesempurnaan pelayanan akan


pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan
menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di rumah sakit atau puskesmas secara
wajar, efisien dan efektif serta diberikan secara aman dan memuaskan norma, etika,
hukum, dan sosial budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan
pemerintah dan masyarakat konsumen.

Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebenarnya bukanlah hal yang


baru. Pada tahun (1820 –1910) Florence Nightingale seorang perawat dari Inggris
menekankan pada aspek-aspek keperawatan pada peningkatan mutu pelayanan. Salah
satu ajarannya yang terkenal sampai sekarang adalah “ hospital should do the patient no
harm”, Rumah Sakit jangan sampai merugikan atau mencelakakan pasien.

Di Amerika Serikat, upaya peningkatan mutu pelayanan medik dimulai oleh ahli
bedah Dr. E.A.Codman dari Boston dalam tahun 1917. Dr.E.A Codman dan beberapa
ahli bedah lain kecewa dengan hasil operasi yang seringkali buruk, karena seringnya
terjadi penyulit. Mereka berkesimpulan bahwa penyulit itu terjadi karena kondisi yang
tidak memenuhi syarat di Rumah Sakit. Untuk itu perlu ada penilaian dan
penyempurnaan tentang segala sesuatu yang terkait dengan pembedahan. Ini adalah
upaya pertama yang berusaha mengidentifikasikan masalah klinis, dan kemudian
mencari jalan keluarnya.

Kelanjutan dari upaya ini pada tahun 1918 The American College of Surgeons
(ACS) menyusun suatu Hospital Standardization Programme. Program standarisasi
adalah upaya pertama yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan.
Program ini ternyata sangat berhasil meningkatkan mutu pelayanan sehingga banyak
Rumah Sakit tertarik untuk ikut serta. Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi
maka spesialisasi ilmu kedokteran diluar bedah cepat berkembang. Oleh karena itu
program standarisasi perlu diperluas agar dapat mencakup disiplin lain secara umum.

Pada tahun 1951 American College of Surgeon, American College of Physicians,


American Hospital Association bekerjasama membentuk suatu Joint Commision on
Accreditation of Hospital (JCAH) suatu badan gabungan untuk menilai dan
mengakreditasi Rumah Sakit .

Pada akhir tahun 1960 JCAH tidak lagi hanya menentukan syarat minimal dan
essensial untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada di Rumah Sakit, namun telah
memacu Rumah Sakit agar memberikan mutu pelayanan yang setinggi-tingginya sesuai
dengan sumber daya yang ada. Untuk memenuhi tuntutan yang baru ini antara tahun
1953-1965 standar akreditasi direvisi enam kali, selanjutnya beberapa tahun sekali
diadakan revisi.

Atas keberhasilan JCAH dalam meningkatkan mutu pelayanan, Pemerintah


Federal memberi pengakuan tertinggi dalam mengundangkan “Medicare Act”. Undang-
undang ini mengabsahkan akreditasi Rumah Sakit menurut standar yang ditentukan oleh
JCAH. Sejak saat itu Rumah Sakit yang tidak diakreditasi oleh JCAH tidak dapat ikut
program asuransi kesehatan pemerintah federal (medicare), padahal asuransi di Amerika
sangat menentukan utilisasi Rumah Sakit karena hanya 9,3% biaya Rumah Sakit berasal
dari pembayaran langsung oleh pasien.

Sejak tahun 1979 JCAH membuat standar tambahan, yaitu agar dapat lulus
akreditasi suatu Rumah Sakit harus juga mempunyai program pengendalian mutu yang
dilaksanakan dengan baik.

Di Australia, Australian Council on Hospital Standards (ACHS) didirikan


dengan susah payah pada tahun 1971, namun sampai tahun 1981 badan ini baru berhasil
beroperasi dalam 3 Negara bagian. Tetapi lambat laun ACHS dapat diterima
kehadirannya dan diakui manfaatnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan
sehingga sekarang kegiatan ACHS telah mencakup semua negara bagian. Pelaksanaan
peningkatan mutu di Australia pada dasarnya hampir sama dengan di Amerika.

Di Eropa Barat perhatian terhadap peningkatan mutu pelayanan sangat tinggi,


namun masalah itu tetap merupakan hal baru dengan konsepsi yang masih agak kabur
bagi kebanyakan tenaga profesi kesehatan. Sedangkan pendekatan secara Amerika sukar
diterapkan karena perbedaan sistem kesehatan di masing-masing negara di Eropa.
Karena itu kantor Regional WHO untuk Eropa pada awal tahun 1980-an mengambil
inisiatif untuk membantu negara-negara Eropa mengembangkan pendekatan
peningkatan mutu pelayanan disesuaikan dengan sistem pelayanan kesehatan masing-
masing.

Pada tahun 1982 kantor regional tersebut telah menerbitkan buku tentang upaya
meningkatkan mutu dan penyelenggaraan simposium di Utrecht, negeri Belanda tentang
metodologi peningkatan mutu pelayanan. Dalam bulan Mei 1983 di Barcelona, Spanyol
suatu kelompok kerja yang dibentuk oleh WHO telah mengadakan pertemuan untuk
mempelajari peningkatan mutu khusus untuk Eropa.

Walaupun secara regional WHO telah melakukan berbagai upaya, namun pada
simposium peningkatan mutu pada bulan Mei 1989 terdapat kesan bahwa secara
nasional upaya peningkatan mutu di berbagai negara Eropa Barat masih pada
perkembangan awal.

Di Asia, negara pertama yang sudah mempunyai program peningkatan mutu dan
akreditasi Rumah Sakit secara nasional adalah Taiwan. Negara ini banyak menerapkan
metodologi dari Amerika. Sedangkan Malaysia mengembangkan peningkatan mutu
pelayanan dengan bantuan konsultan ahli dari Negeri Belanda.

Di Indonesia langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang telah
dilakukan Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan mutu yaitu
penetapan kelas Rumah Sakit pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan
No.033/Birhup/1972. Secara umum telah ditetapkan beberapa kriteria untuk tiap kelas
Rumah Sakit A,B,C,D. Kriteria ini kemudian berkembang menjadi standar-standar.
Kemudian dari tahun ke tahun disusun berbagai standar baik menyangkut pelayanan,
ketenagaan, sarana dan prasarana untuk masing-masing kelas Rumah Sakit. Disamping
standar, Departemen Kesehatan juga mengeluarkan berbagai panduan dalam rangka
meningkatkan penampilan pelayanan Rumah Sakit.

Sejak tahun 1984 Departemen Kesehatan telah mengembangkan berbagai


indikator untuk mengukur dan mengevaluasi penampilan (performance) Rumah Sakit
pemerintah kelas C dan Rumah Sakit swasta setara yaitu dalam rangka Hari Kesehatan
Nasional. Indikator ini setiap dua tahun ditinjau kembali dan disempurnakan. Evaluasi
penampilan untuk tahun 1991 telah dilengkapi dengan indikator kebersihan dan
ketertiban Rumah Sakit dan yang dievaluasi selain kelas C juga kelas D dan kelas B
serta Rumah Sakit swasta setara. Sedangkan evaluasi penampilan tahun 1992 telah
dilengkapi pula dengan instrumen mengukur kemampuan pelayanan. Evaluasi
penampilan Rumah Sakit ini merupakan langkah awal dari Konsep Continuous Quality
Improvement (CQI). Berbeda dengan konsep QA tradisional dimana dalam monitor
dan evaluasi dititik beratkan kepada pencapaian standar, maka pada CQI fokus lebih
diarahkan kepada penampilan organisasi melalui penilaian pemilik, manajemen, klinik
dan pelayanan penunjang. Perbedaan yang sangat mendasar yaitu keterlibatan seluruh
karyawan.

Selain itu secara sendiri-sendiri beberapa Rumah Sakit telah mengadakan


monitoring dan evaluasi mutu pelayanan Rumah Sakitnya. Pada tahun 1981 RS Gatot
Subroto telah melakukan kegiatan penilaian mutu yang berdasarkan atas derajat
kepuasan pasien. Kemudian Rumah Sakit Husada pada tahun 1984 melakukan kegiatan
yang sama. Rumah Sakit Adi Husada di Surabaya membuat penilaian mutu atas dasar
penilaian perilaku dan penampilan kerja perawat. Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya
menilai mutu melalui penilaian infeksi nosokomial sebagai salah satu indikator mutu
pelayanan. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan upaya penggunaan obat
secara rasional. Rumah Sakit Islam Jakarta pernah menggunakan pengendalian mutu
terpadu (TQC) dan Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle = QCC). Beberapa
Rumah Sakit lainnya juga telah mencoba menerapkan Gugus Kendali Mutu, walaupun
hasilnya belum ada yang dilaporkan.

Sejalan dengan hal di atas maka Departemen Kesehatan telah mengadakan


Pelatihan Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit pada beberapa Rumah Sakit.
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran untuk meningkatkan mutu
sudah cukup meluas walaupun dalam penerapannya sering ada perbedaan.

 SEJARAH DAN ERA PERKEMBANGAN MUTU DI INDONESIA


 Sejarah perkembangan tentang upaya perbaikan mutu yang dikutip dari
Tjahyono Koentjoro, 2004 menerangkan bahwa upaya perbaikan mutu dan
kinerja pelayanan kesehatan di Indonesia telah mulai di lakukan sejak tahun
1986 dengan diterapkannya gugus kendali mutu di rumah sakit dan di
puskesmas serta pada pelayanan kesehatan yang lain. • Perbaikan ini dilanjutkan
dengan dikenalkannya total quality management pada tahun 1994 dan
performance management pada tahun 1996 .
 Untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas, diperkenalkan program jaminan
mutu (quality assurance) pada tahun 1995 di Provinsi Jawa Barat, Jawa timur,
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera
Barat melalui Proyek Kesehatan IV (Health Project IV).
 Di Jawa Tengah, pelayanan kesehatan tersebut diperkenalkan melalui Proyek
Community Health and Nutrition III, sedangkan di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, pengenalan dilakukan melalui Provincial Health Project I dengan
tiga tahapan, yakni analisis sistem, supervisi dan pembinaan, dan pendekatan
tim.
 Empat standar pelayanan telah disusun melalui program jaminan mutu tersebut,
yaitu standar penanganan diare, standar pelayanan imunisasi, standar
penanganan infeksi saluran nafas atas, dan standar pelayanan antenatal, dalam
bentuk lembar periksa yang harus diikuti oleh petugas pelayanan kesehatan di
puskesmas

Sejarah perkembangan tentang upaya perbaikan mutu yang dikutip dari


Tjahyono Koentjoro, 2004 menerangkan bahwa upaya perbaikan mutu dan kinerja
pelayanan kesehatan di Indonesia telah mulai di lakukan sejak tahun 1986 dengan
diterapkannya gugus kendali mutu di rumah sakit dan di puskesmas serta pada
pelayanan kesehatan yang lain. Perbaikan ini dilanjutkan dengan dikenalkannya total
quality management pada tahun 1994 dan performance management pada tahun 19963.

Untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas, diperkenalkan program jaminan


mutu (quality assurance) pada tahun 1995 di Provinsi Jawa Barat, Jawa timur, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Barat melalui
Proyek Kesehatan IV (Health Project IV). Di Jawa Tengah, pelayanan kesehatan
tersebut diperkenalkan melalui Proyek Community Health and Nutrition III, sedangkan
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pengenalan dilakukan melalui Provincial
Health Project I dengan tiga tahapan, yakni analisis sistem, supervisi dan pembinaan,
dan pendekatan tim. Empat standar pelayanan telah disusun melalui program jaminan
mutu tersebut, yaitu standar penanganan diare, standar pelayanan imunisasi, standar
penanganan infeksi saluran nafas atas, dan standar pelayanan antenatal, dalam bentuk
lembar periksa yang harus diikuti oleh petugas pelayanan kesehatan di puskesmas.

Proses perkembangan menuju era mutu merupakan proses dengan melewati


berbagai pengalaman dan pendekatan metode yang bermacam-macam. Perkembangan
mutu yang terjadi tidak lepas dari awal perubahan era menuju era industri. Secara garis
beras perkembangan atau evolusi mutu adalah sebagai berikut :
a) Era Tanpa Mutu
b) Era Inpeksi
c) Era Pengendalian Mutu
d) Era Jaminan Mutu
e) Era Manajemen Mutu Terpadu
f) Era Sistem Manajemen Mutu (ISO)

A. Era Tanpa Mutu

Era tanpa mutu adalah era dimana persaingan belum terjadi oleh produsen atau
pemberi layanan. Sehingga pelanggan belum diberi kesempatan untuk memilih. Hal
serupa terjadi pula pada organisasi pemberi layanan publik. Pada lembaga pelayanan
publik yang dikelola oleh pemerintah, masyarakat sebagai pelanggan tidak diberikan
hak untuk menuntut mutu pelayanan organisasi yang lebih baik dan yang diharapkan.
Keadaan ini menyebabkan mutu pelayanan organisasi publik belum menjadi penilaian.
Pengguna hanya mengutamakan yang penting ada dan dapat dipergunakan saja.

B. Era Inpeksi

Era Inpeksi ini dimulai oleh perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang.


Hal ini terjadi karena mulai adanya persaingan antar produsen. Dengan demikian setiap
perusahaan mulai melakukan pengawasan terhadap produknya. Pada era ini mulai
dilakukan pemilihan mutu barang yang dilakukan melalui inpeksi. Namun mutu produk
hanya pada atribut yang melekat pada produk. Oleh karena itu, mutu hanya dipandang
produk yang rusak, cacat atau hanya pada penyimpangan dari atribut yang seharusnya
melekat pada produk tersebut. Era Inpeksi ini menekan pada deteksi permasalahan,
keseragaman produk serta pengukuran dengan alat ukur yang dilakukan oleh yang
meninpeksi. Fokus perusahaan terhadap mutu belum besar dan terbatas pada produk
akhir yaitu dilihat yang cacat atau rusak yang dibuang sedangkan yang baik yang
diberikan kekonsumen.

Era ini ditandai dengan perhatian yang rendah dari pihak manajemen terhadap
mutu produk. Tanggung jawab terhadap mutu produk didelegasikan pada departemen
inpeksi yang bertugas hanya pada pendeteksian dan penyisihan produk yang tidak
memenuhi syarat kualitas dari produk yang baik. Di era inpeksi ini belum ada perhatian
terhadap kualitas proses dan sistem untuk merealisasikan produk tersebut.
C. Era Pengendalian Mutu

Era ini dimulai sekitar tahun 1930-an, yang disebut juga sebagai era Statistical
Control, yang lebih menekankan pada pengendalian, keseragaman produk dan
pengurangan aktifitas inspeksi serta dilakukan oleh Departemen Teknis dan Departemen
Inspeksi. Pada era ini perlu diperkenalkan pandangan baru terhadap konsep Walter A
Shewart, menurut pandangan ini mutu produk merupakan serangkaian karakteristik
yang melekat pada produk yang dapat diukur secara kuantitatif.

Pada era ini manajemen telah dimulai memperhatikan pentingnya pendeteksian


yaitu dengan cara departemen inspeksi sudah mulai dilengkapi dengan alat dan metode
statistik dalam mendeteksi penyimpangan yang terjadi dalam atribut produk yang
dihasilkan dari proses produksi. Terdapat perubahan dalam penanganan mutu produk
yaitu hasil deteksi yang secara statistikal dari penyimpangan muali dipergunakan oleh
departemen produksi untuk memperbaiki proses dan sistem produksi.

D. Era Jaminan Mutu

Era ini dimulai sekitar tahun 1960-an yang menekankan pada koordinasi,
pemecahan masalah secara proaktif. Di era ini mulai dikenal adanya konsep Total
Quality Control (TQC) yang diperkenalkan oleh Armand F pada tahun 1950.

Jaminan mutu adalah seluruh perencanaan dan kegiatan sistematik yang


diperlukan untuk memberikan suatu keyakinan yang memadai bahwa suatu barang atau
jasa dapat memenuhi persyaratan mutu. Jaminan mutu merupakan bagian dari
manajemen mutu yang difokuskan pada peningkatan kemampuan untuk memenuhi
persyaratan mutu.

Oleh karena itu, Jaminan mutu dilaksanakan secara berkesinambungan


sistematis, objektif, dan terpadu dalam menetapkan masalah dan penyebab, masalah
mutu pelayanan berdasarkan standar yang telah ditetapkan dan selanjutnya menetapkan
serta melaksanakan cara penyelesaian masalah sesuai dengan kemampuan, menilai hasil
yang dicapai, dan menyusun saran tindak lanjut untuk lebih meningkatkan mutu
pelayanan. Sejak era inilah diterapkannya jaminan mutu pada industri manufuktur dan
pada industri jasa.
Di Indonesia era ini dimulai dengan dibentuknya Gugus Kendali Mutu (GKM)
di masing-masing bagian atau divisi pada setiap organisasi. GKM tidak hanya bersifat
parsial namun lebih bersifat nasional. Pada era ini manajemen mutu mulai diterapkan
pada Rumah sakit, Puskesmas dan organisasi jasa lainnya.

E. Era Management Mutu Terpadu/ Total Quality Management

Era ini dimulai pada tahun 1980, pada era ini menekankan pada manajemen
strategi.TQM merupakan suatu sistem yang berfokus kepada orang yang bertujuan
untuk meningkatkan kepuasan pelanggan pada titik penekanan biaya agar sama dengan
biaya sesungguhnya untuk menghasilkan dan memberikan pelayanan. TQM adalah
sebuah upaya untuk mencapai keunggulan kompetitif serta mengutamakan kebutuhan
pasar dan konsumen yang dilakukan oleh setiap orang dalam organisasi dengan
leadership yang kuat dari pimpinan.

Tujuan dari diterapkannya TQM adalah perlu adanya perubahan budaya serta
komitmen dari seluruh mulai dari pimpinan sampai anggota. Organisasi harus didukung
oleh budaya yang mendukung yang menekankan pada kerja kelompok, pemberdayaan
dan partisipasi karyawan, peningkatan terus menerus fokus pada pelanggan serta
kepemimpinan yang tepat agar TQM dapat berkelanjutan. Prinsip TQM secara
keseluruhan proses produk maka titik bertanya pada penanganan kualitas pada seluruh
aspek organisai.

F. Era Sistem Manajemen Mutu

Era ini dimulai pada sekitar tahun 1943 yaitu pada masa perang dunia II, di
mana sekutu mulai mengalami kesulitan dalam mendapatkan bahan peledak. Hal ini
terkait dengan mutu bahan peledak untuk keperluan militer terutama oleh pasukan
Inggris. Berdasarkan keadaan tersebut pihak militer Inggris mengembangkan
serangkaian standar yang secara umum dapat menunjukkan kemampuan suatu
perusahaan dalam menyediakan produk bermutu tinggi serta konsisten bagi kepentingan
bahan militer. Pada akhir tahun 1960, disusun standar sistem mutu AQAP (Allied
Quality Assurance Publicators) yaitu pengembangan standar yang sudah ada sebagai
sistem kendali dengan tujuan utamanya adalah untuk mengendalikan pemasok dalam
pemenuhan persyaratan. Pada tahun 1979 anggota ISO untuk Inggris yaitu British
Standard Institute, menyerahkan proposal kepada ISO agar dibentuk suatu komite teknis
baru untuk menyiapkan standar internasional yang berkaitan dengan teknik dan praktik
penjaminan mutu, maka dibentuklah komite teknis baru dengan nomor ISO/TC 176.
Sebagai hasil kerja ISO/TC 176, pada tahun 1987 dipublikasikan seri standar ISO 9000
yaitu sistem manajemen mutu yang merangkum sebagian besar standar sebelumnya di
samping peningkatan dan penjelasan standar baru.

Berikut ini Sejarah Kronologi Perkembangan Total Quality Management :


Tahun Perkembangan
1920 Quality Control mulai di Amerika Serikat, terbatas untuk produksi dan
pabrik
1924 Control Chart diperkenalkan oleh W. A. Shewhart
1940 Quality Control menggunakan metode-metode statistic, mulai diterapkan di
Amerika Serikat dengan Dr. J. M. Juran sebagai pelopor
1950 Jepang mulai menerapkan Total Quality Control. Diperkenalkan Statistik QC
oleh Dr. W.E. Deming Tokohtokoh TQC lainnya, tercatat: Dr. A.V.
Feigenbaum (1951) dan Dr. J.M. Juran (1954)
1960 Jepang mulai menerapkan Quality Control Circle
1968- Penerapan QC mulai meluas ke bidang-bidang lain, yaitu industry non
1986 manufaktur (konstruksi dan lain-lain), serta industry jasa, terutama setelah
diperkenalkannya system manajemen dengan pengendalianyang terpadu
(TQC), yang menitikberatkan pelaksanaan proses PDCA (Plan, Do, Check,
Action) pada tahun 1978. Disamping itu, penerapan QCC mulai merambah
dunia Internasional dan salah satu Negara yang mengadopsi konsep ini
adalah Indonesia (1980), melalui perusahaan swasta nasional yang
berpartner dengan perusahaan Jepang, yakni PT. United Tractors dan Astra
Group.
1979 Motorola memperkenalkan Metode Six Sigma, suatu pendekatan dalam
Total Quality Management yang bertujuan menurunkan tingkat cacat,
sehingga level mutu (Yield) bisa mencapai: 99,99966 (lebih popular dengan
istilah 6 Sigma = 3,4 DPMO – Deffect per Million Opportunity).
Konsep/Metodologi ini sedemikian popular setelah Jeck Welch dari GE
(General Elektrik) USA sejak 1995 mengumumkan sukses penerapan 6
Sigma dengan keuntungan lebih dari $ 600 juta pada tahun 1998.
1985 Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia (PMMI) berdiri atas prakarsa
Menteri Tenaga Kerja Repubilk Indonesia – Laksamana TNI (Purn.)
Sudomo. Organisasi ini diharapkan menjadi “Prime Mover” Quality
Movement di Indonesia. (diluar institusi pemerintah)
1986 Menteri Perindustrian membentuk LPMT (Lembaga Pengendalian Mutu
Terpadu) yang secara khusus menjadi lembaga TQM sector industri.
1987 ISO-9000 Standar Manajemen Mutu Internasional mulai diperkenalkan di
dunia oleh Badan ISO (International Organization for Standarization). ISO-
9000 ini sangat menyita perhatian dunia industry karena melalui Sertifikat
ISO-9000, perusahaan penerimanya seolah-olah memiliki “Passport“ Mutu
Internasional untuk bisa merambah keseluruhan pelosok karena diakui
memiliki Standar Mutu Internasional.
1989 Di Amerika Serikat mulai didirikan The Center of Quality Management,
diprakarsai oleh 7 perusahaan besar Boston, yang bertujuan
mengakselerasikan penerapan TQM di masing-masing perusahaan. Dalam
perkembangannya, melalui pengalaman penerapan TQM, perusahaan-
perusahaan anggota organisasi ini diperkenalkan buku dengan judul “A New
American TQM” Di Indonesia, sejumlah menteri menyatakan tahun 1989
sebagai tahun kebangkitan Mutu dengan ditanda tanganinya Pernyataan
Bersama, seiring dengan pergantian pengurus PMMI yang kemudian dijabat
SUDOMO selaku Chairman.
1991 Presiden Republik Indonesia Soeharto mencanangkan Bulan Mutu,
Standarisasi dan Produktivitas Nasional. PMMI resmi ditunjuk sebagai
Badan Penyelenggara Bulan Mutu hingga saat ini dengan menamakan
Kegiatannya dengan KMI (Konvensi Mutu Indonesia) atau IQC (Indonesian
Quality Convention). Bersamaan dengan ini, PMMI menjadi tuan rumah
penyelenggara ICQCC-Bali (International Convention on Quality Control
Circle), Konvensi Tingkat
1992 Indonesia resmi mengadopsi ISO-9000 sebagai Standar Nasional dengan
nama SNI-19-9000. Diawali dengan berangkatnya 6 orang Tim-PMMI
“Round The World” ke Negara Eropa (Belanda, Belgia, Jerman dan Swiss)
mengunjungi kantor pusat ISO di Geneve-Swiss. Dan ke Amerika Serikat
dengan mengunjungi kantor pusat ASQ (American Society for Quality) dan
berakhir di Jepang (JUSE). Misi Tim ini untuk melihat seberapa jauh Negara
lain menyambut ISO-9000, dan strategi masing-masing Negara dalam
mensosialisasikannya hasil TIM 6 bersamasama beberapa orang lain
departemen perindustrian dan DSN adalah terjemahan ISO-9000 kedalam
bahasa Indonesia yang kemudian sebagai cikal bakal SNI-19-9000.
1995 Januari, Prof. Shoji Shiba dari Jepang memberikan 6 hari Seminar TQM atas
prakarsa dan pembiayaan Laksamana TNI (Purn.) Sudomo. Pesertanya 35
orang, 5 orang diantaranya Pengurus PMMI yang kemudian
mengembangkan dan menyebarluaskan konsep-konsep Shiba di Indonesia,
antara lain 4 Revolutions in Management Thinking dan WV-Model Problem
Solving Approach.
1996 JUSE (Japanese Union for Scientist and Engineers), Organisasi yang selama
ini mengembangkan system manjemen mutu di Jepang, telah memutuskan
untuk merubah istilah TQC menjadi TQM.
1997 Indonesia mengenal PDCA-TULTA (Tujuh Langkah dan Tujuh Alat
Pengendalian Mutu). Pendekatan Quality Problem Solving yang
dikembangkan berdasarkan “Gaya” dan “Kebiasaan” pekerja di Indonesia.
2000 TULTA memperoleh pengakuan hokum atas HAKI (Hak atas Kekayaan
Intelektual) semacam Patent. Penerapan PDCA TULTA ini meluas, hingga
saat ini ratusan perusahaan penerap TQM/QCC sudah mengadopsinya
sebagai “Problem Solving”.
2000 PMMI resmi memperkenalkan “Six Sigma” Quality melalui Seminar
Eksekutif pada KMI-2000 di Malang. Secara perlahan namun pasti, Six
Sigma ini mulai dipakai sebagai salah satu Metoda Problem Solving untuk
meningkatkan Mutu secara Proaktif.
2001 Di Indonesia mulai dirancang National Quality Award – melalui pendekatan
ISO-9000 Excellence Award. Salah satu penerimanya adalah Phillips Ralin-
Surabaya yang juga penerima: European Quality Award (tahun 2002).
2002 10 negara praktisi mutu di Asia – memprakarsai pendirian “ASIA
NETWORK FOR QUALITY” (ANQ) dengan tujuan menggalang Negara
se-Asia dalam mengembangkan pendekatan Quality-Management berbasis
“ASIA-VIEW”. Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia (PMMI)
mewakili Indonesia. Berikut ini organisasi-organisasi pendiri ANQ sebagai
berikut: 1. China Association for Quality (CAQ) 2. Chinese Society for
Quality (Chinese Taipei) 3. Hongkong Society for Quality (HKSQ) 4. Indian
Society for Quality (ISQ) 5. Indonesian Quality Management Association
(IQMA) Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia (PMMI) 6. Iranian
Society for Quality (ISQ) 7. Japanese Society for Quality Control (JSQC) 8.
Korean Society for Quality Management (KSQM) 9. The Standards and
Quality Association of Thailand (SQA) 10. Director for Standards and
Quality, Vietnam (STAMEC)
2003 JUSE (Japanese Union for Scientist and Engineers) memperkenalkan e-QCC
yakni pengembangan trasisional – QCC melalui pemanfaatan Internet atau
Intranet dalam memutar PDCA-Cycle. Terutama media ini ditunjukkan
kepada kelompok-kelompok: Sales, Marketing, R&D yang cenderung sulit
bertemu, karena ditunjuk kegiatan Indonesia memperkenalkan e-QCC pada
KMI 2003-Batam
2004 Indonesia memperluas forum Society-Networking Quality Improvement
Team dengan menggagas Forum Gugus Mutu dan Sistem Saran yang digelar
dalam Konvensi Mutu Indonesia. Oleh sebab itu, di Indonesia paling tidak
sudah dikenal 3 tipe pendekatan : 1. QCC – dengan PDCA TULTA 2. FGM
(Forum Gugus Mutu) dengan PDCA Non-Tulta 3. PSS (Perbaikan melalui
Sistem Saran) dengan PDCA Individual Untuk Level Manajemen menengah
dikenal Quality Improvement Team dengan nama “TM2” (Tim Manajemen
Mutu) – yang sudah dipatenkan oleh PMMI. Dan tahun 2004 resmi
dipromosikan ke Hongkong melalui program kerjasama HKPC (Hongkong
Productivity Center)
2012 Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia (PMMI) resmi meluncurkan SQM
(Sudomo Quality Medal) pada IQC 2012 di Manado.
2. Tahapan Perkembangan Mutu Dalam Pelayanan Kesehatan

Di Indonesia, berbagai upaya peningkatan mutu tersebut tidak terintegrasi satu


sama lain, masing-masing upaya berdiri sendiri, hal ini juga sering terjadi di negara-
negara lain. Sebagai contoh, untuk standar, umumnya terdiri dari 2 jenis, yaitu standar
klinis (clincal standard) dan standar manajemen (organisational standard). Standar klinis
seharusnya disusun berdasarkan penelitian biomedis (kedokteran, keperawatan, dsb)
sehingga menghasilkan sebuah pedoman pelayanan klinis ataupun clinical pathways
(kadang meski telah tersedia hasil penelitian dari negara maju, organisasi profesi di
Indonesia masih perlu untuk melakukan penelitian klinis untuk melihat kesesuaian
dengan karakteristik manusia Indonesia). Demikian pula dengan standar manajemen,
seharusnya berasal dari penelitian dalam bidang manajemen (misalnya di Amerika
penelitan IOM tentang medical error menghasilkan standar keselamatan pasien). Namun
intergrasi antara penelitian dengan penyusunan standar ataupun integrasi antara standar
klinis dengan standar manajemen sering tidak terjadi.

Dibawah ini merupakan tahapan dalam perkembangan mutu pelayanan


kesehatan yang dimasukkan kedalam beberapa konsep diantaranya:
 Konsep Inspeksi
Pada konsep ini, upaya mutu hanya dilakukan dalam bentuk inspeksi secara
sederhana pada pemberian dan hasil pemberian pelayanan kesehatan. Konsep ini
oleh Foreman disebut juga dengan “quality by inspection” dan selanjutnya
konsep ini berkembang menjadi “bad apple theory”.Dalam teori ini dikatakan
bahwa penyebab yang terjadi dari suatu masalah mutu selalu menitikberatkan
kepada manusia (karyawan). Pandangan terhadap masalah mutu pelayanan
seperti ini disebabkan karena kurangnya minat atau perhatian dari karyawan.
Penekanan utama dari teori ini adalah bagaimana staf atau karyawan dibuat lebih
peduli terhadap peningkatan mutu pelayanan. Teori quality by inspection ini
tetap mengupayakan perlunya alat-alat (tools) untuk melakukan inspeksi. Alat-
alat tersebut juga harus mempunyai sensitivitas dan spesivitas yang tinggi untuk
mengukur mutu pelayanan termasuk penggunaan piranti statistik. Taktik yang
ada dalam teori ini yaitu: 1. Atasan (mandor) dianggap orang yang ditakuti, dan
staf atau karyawan bekerja jika ada orang yang mengawasi; 2. Mengubah data
atau mengubah pengukuran (jika perlu), dengan demikian staf atau karyawan
perlu diawasi terus-menerus; 3. Jika tidak berhasil, yang dilakukan adalah
langsung mengganti staf dengan tenaga lainnya , dan supervisor atau atasan
mengalihkan perhatian kepada yang lain.
 Konsep Kendali Mutu
Hampir sama dengan konsep inspeksi, upaya utama konsep kendali mutu
(quality control) ialah mencegah konsumen atau pasien atau masyarakat
memperoleh pelayanan kesehatan yang tidak memenuhi standar yang telah
ditetapkan.
 Konsep Penjaminan Mutu
Konsep penjaminan mutu (quality assurance) ini lebih lanjut tertuju kepada
terjaminnya mutu pelayanan kesehatan secara berkesinambungan berdasarkan
standar yang sudah ditetapkan. Konsep penjaminan mutu lebih menekankan
pada pentingnya proses pelayanan kesehatan yang dilaksanakan agar betul-betul
sesuai dengan standar yang ada. Upaya utamanya adalah mencegah terjadinya
pelayanan kesehatan yang tidak memenuhi standar. Penjaminan mutu produk
secara terus-menerus atau berkesinambungan dapat dilakukan antara lain dengan
menerapkan sistem mutu dalam pengelolaan organisasi secara baik. Organisasi
yang menerapkan sistem mutu dalam pengelolaannya akan selalu berupaya
menghasilkan produk jasa yang sesuai atau melebihi standar, serta berfokus pada
kepuasan pelanggan, baik pelanggan internal (staf) maupun pelanggan eksternal.
 Konsep Peningkatan Mutu Berkelanjutan
Konsep peningkatan mutu berkelanjutan (continous quality improvement) pada
dasarnya tidak banyak berbedadengan konsep penjaminan mutu. Konsep ini
lebih menekankan pada pendekatan analitik secara berkesinambungan
melaksanakan peningkatan mutu untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang
ada dalam pelayanan. Filosofi yang dianut dalam konsep ini tetap mengacu pada
apa yang sudah ditulis oleh Deming, Juran, Crosby, Berwick, Batalden, dan para
ahlinya lainnya. Konsep ini lebih mengutamakan penggunaan piranti statistik
dalam organisasi yang digunakan untuk menganalisis hasil produksi dan
meningkatkan proses pelayanan. Dengan mengenal dan memahami proses
secara luas, akan dapat menjamin tercapainya hasil kerja (outcome) yang lebih
baik. Peningkatan mutu secara berkelanjutan dalam suatu organisasi
membutuhkan partipasi individu atau kelompok dalam menganalisis dan
meningkatkan proses pelayanan, dan mereka sekaligus merupakn bagian yang
tidak bisa dipisahkan dalam suatu organisasi.
 Konsep Manajemen Mutu Terpadu
Konsep manajemen mutu terpadu (total quality management, TQM) merupakan
pendekatan manajemen untuk memadukan upaya-upaya pengembangan mutu,
pemeliharaan mutu, dan meningkatkan mutu dari berbagai kelompok dalam
organisasi untuk menghasilkan prosuk yang paling ekonomis serta terpenuhinya
kepuasan konsumen.

3. Strategi Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan

Peningkatan mutu pelayanan kesehatan dapat diartikan keseluruhan upaya dan


kegiatan secara komprehensif dan integratif memantau dan menilai mutu pelayanan
kesehatan, memecahkan masalah-masalah yang ada dan mencari jalan keluarnya,
sehingga mutu pelayanan kesehatan diharapkan akan lebih baik.

Tinggi rendahnya mutu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor :

1) Sumber daya rumah sakit, termasuk antara lain tenaga, pembiayaan, sarana dan
teknologi yang digunakan.
2) Interaksi kegiatan yang digerakkan melalui proses dan prosedur tertentu dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menghasilkan jasa atau pelayanan.

Berhasil tidaknya peningkatan mutu sangat tergantung dari monitoring faktor-


faktor di atas dan juga umpan balik dari hasilhasil pelayanan yang dihasilkan untuk
perbaikan lebih lanjut terhadap faktor-faktor dalam butir 1 dan 2. Dengan demikian
nampak bahwa peningkatan mutu merupakan proses yang kompleks yang pada akhirnya
menyangkut managemen rumah sakit secara keseluruhan.

Adanya berbagai aspek dan faktor yang terkait dan berperan dalam menentukan
mutu pelayanan maka definisi yang tepat tentang mutu sangat sukar. Karena itu ada
beraneka definisi yang dikemukakan dalam kepustakaan, tergantung dari sudut
pendekatan mana yang dipilihnya. Joint Commision on Accreditation of Healthcare
Organizations mendefinisikan mutu pelayanan kesehatan adalah dipenuhinya standar
profesi yang baik dalam pelayanan medik dan terwujudnya hasil akhir (outcome) seperti
yang selayaknyadiharapkan yang menyangkut : perawatan pasien, diagnosis, prosedur
atau tindakan dan pemecahan masalah klinis. Dari definisi tersebut jelas kemudian
untuk mengukur mutu diperlukan standar, kriteria dan indikator. Ada perbedaan yang
relatif di antara ketiganya dalam arti konsep, namun seringkali dalam praktek istilah-
istilah itu dipakai secara berbaur untuk maksud yang sama. Indikator tak lain adalah
ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi. Ia suatu variabel
yang digunakan untuk bisa melihat perubahan. Indikator yang baik adalah yang sensitif
tapi juga spesifik, sedangkan kriteria adalah spesifikasi dari indikator dan standar adalah
spesifikasi yang eksak dan kwantitatif daripada kriteria.

Dengan akan berakhirnya Repelita V, dimana kita akan memasuki tahap tinggal
landas pembangunan, salah satu prakondisi yang harus dipenuhi adalah meningkatnya
mutu pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan yang nyata. Peningkatan mutu
pelayanan merupakan prioritas, terutama di Rumah sakit Kelas C.

Untuk meningkatkan mutu pelayanan tersebut, Departemen Kesehatan semenjak


Pelita I hingga sekarang, telah melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan secara
bertahap. Upaya tersebut dilaksanakan melalui pembangunan sarana, prasarana,
pengadaan peralatan dan ketenagaan serta perangkat lunak lainnya, sejalan dengan
pembangunan rumah sakit pada umumnya.

Namun demikian, disadari pula masih banyak kendala yang dihadapi, terutama
yang berkaitan denhgan standar kebutuhan dan tuntutan sistem pelayanan yang masih
belum selaras dengan perkembangan iptek kedokteran yang semakin pesat dimana
pelayanan spesialistik dan sub spesialistik cenderung semakin berkembang.
Mengingat masih adanya kendala dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan
khususnya pelayanan rumah sakit maka dalam rangkapeningkatan mutu pelayanan
kesehatan diperlukan perumusan tujuan, sasaran, program dan strategi di rumah sakit.

1) Tujuan

Umum

Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui program peningkatan mutu


pelayanan secara efektif dan efisien agar tercapainya derajat kesehatan yang optimal.

Khusus

Tercapainya peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara efektif dan efisien


melalui

 Optimasi tenaga, sarana dan prasarana.


 Pemberian pelayanan sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan yang
dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan kebutuhan pasien.
 Pemanfaatan teknologi, hasil penelitian dan pengembangan pelayanan
kesehatan.
2) Sasaran

Sasaran utama dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah secara


umum tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya melalui
pelayanan kesehatan. Secara khusus, sasarannya adalah :

 Menurunkan angka kematian


 Menurunkan angka kesakitan(re admission rateuntuk rumah sakit)
 Menurunkan angka kecacatan
 Penggunaan obat secara rasional
 Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan
 Efisiensi penggunaan tempat tidur, dan lain-lain.

3) Strategi

Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit maka


disusunlah sebagai berikut :
1) Rumah sakit harus memahami dan menghayati konsep dasar dan prinsip mutu
pelayanan rumah sakit yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik sehingga dapat menyusun upaya peningkatan mutu di masing-masing
rumah sakit.
2) Memberi prioritas kepada peningkatan sumber daya manusia di rumah sakit
termasuk di dalamnya meningkatkan kesejahteraan karyawan, memberikan
imbalan yang layak, program keselamatan dan kesehatan kerja, program diklat,
dan sebagainya.
3) Menciptakan budaya mutu di rumah sakit. Termasuk di dalamnya menyusun
program mutu rumah sakit, menyusun tema yang akan dipakai sebagai pedoman,
memilih pendekatan yang dipakai (quality assurance, GKM, TQM, dan lain-
lain). Kemudian juga menetapkan mekanisme monitoring dan evaluasi.
4) Intervensi pada 9 bidang pelayanan.

Dalam upaya meningkatkan efisiensi manajemen dan mutu pelayanan serta


meningkatkan cost recovery rumah sakit, maka pada tahun 1989 Departemen Kesehatan
telah mengadakan survei diagnosis di rumah sakit kelas B, C, D dan swasta yang
terletak di tiga propinsi yaitu Bali, Sumatera Barat dan Jawa Timur. Berdasarkan hasil
survei, untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit perlu dilakukan intervensi
pada 9 pelayanan yaitu

 Penyempurnaan rekam medis


 Penyempurnaan sistem informasi manajemen
 Penyempurnaan sistem akuntansi
 Penyempurnaan sistem pembiayaan
 Penyempurnaan konsep pola penetapan tarif
 Penyusunan standar pelayanan rumah sakit
 Penyusunan standar pelayanan farmasi
 Penyempurnaan organisasi rumah sakit
 Penyempurnaan peraturan dan perundangan

Sembilan intervensi ini telah mulai dilaksanakan di rumah sakit terutama yang
dikonversi menjadi unit swadana.

4) Langkah-langkah kegiatan
a. Di tingkat nasional
1.) Perizinan
 Sesuai dengan PP No. 1/1988 dan Permenkes No. 385/1988 tentang pelaksanaan
masa bakti dan izin praktek bagi dokter dan dokter gigi, tenaga medis dalam
melaksanakan tugas harus mempunyai Surat Penugasan (SP) dan Surat Izin
Praktek (SIP). SP ini merupakan pengganti dari SID.
 Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, setiap
sarana kesehatan baik milik pemerintah maupun swasta harus mempunyai izin.
Pelanggaran dari ketentuan tersebut akan mendapat sangsi bisa berupa kurungan
atau denda sebesar 15 juta rupiah.
2.) Ketenagaan
 Pemberian ijasah bagi dokter yang baru lulus dan brevet keahlian kepada dokter
spesialis yang telah lulus merupakan salah satu program menjaga mutu.
Sedangkan untuk dokter lulusan luar negeri harus melakukan adaptasi dulu dan
untuk dokter dari Fakultas Kedokteran swasta harus ikut ujian negara dulu
sebelum dapat ijasah. Sedangkan sertifikat diberikan kepada tenaga medis dan
paramedis yang telah selesai mengikuti penataran, seminar dan latihan-latihan
lainnya. Semuanya tadi dapat memberikan gambaran tingkat pengetahuan dari
berbagai macam tenaga kesehatan.
 Mengadakan pendidikan dan pelatihan untuk tenaga medis maupun paramedis
perawatan dan non perawatan. Pendidikan dan pelatihan tersebut meliputi
managerial skill dan technical skill. Misalnya : HMT, PKMRS, infeksi
nosokomial, medicaU surgical ICCU, PICU, UGD, koroner, cancer unit,
perawatan ortopedi, ASI, hematologi, dialisis, teknik kamar bedah, dan lain-lain.
 Untuk meningkatkan mutu pelayanan maka penempatan dokter spesialis 4 dasar
di RSU kelas C lebih ditingkatkan. Juga dilakukan penempatan tenaga dokter
spesialis radiologi, patoIogi klinik, patologi anatomi dan forensik, anestesi dan
tenaga apoteker. Selain itu dokter spesialis mata, THT, saraf, gigi ortotik
prostetik, rehabilitasi medik ditempatkan untuk melengkapi RSU kelas C,
disertai dengan tenaga paramedik perawatan dan paramedik non perawatan
sesuai dengan kebutuhan.
3.) Sarana, Prasarana, Peralatan dan Penampilan
 Rumah sakit Pemerintah dilengkapi dengan sarana, prasarana dan peralatan
sesuai dengan kebutuhan. Misalnya: peralatan mata dan THT untuk RS Kelas C.
 Untuk meningkatkan mutu penampilan rumah sakit maka setiap memperingati
Hari Kesehatan Nasional diadakan lomba penilaian penampilan rumah sakit
Pemerintah maupun rumah sakit swasta. Dalam tahun anggaran 1991/1992
lomba tersebut ditambah dengan lomba Gerakan Rumah Sakit Bersih.
4.) Pembiayaan
 Untuk meningkatkan citra rumah sakit Pemerintah maka rumah sakit Pemerintah
mendapat biaya operasional dan pemeliharaan rumah sakit (OPRS).
 Untuk mengatasi keterbatasan biaya operasional maka secara bertahap rumah
sakit pemerintah akan dikonversikan menjadi unit swadana. Rumah sakit unit
swadana akan diberi kewenangan mengelola penerimaan fungsionalnya
sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatannya.
5.) Program-program
 Penggunaan obat secara rasional.
Dalam rangka meningkatkan mutu pengobatan maka obat yang ada harus
digunakan secara rasional. Untuk itu ada kewajiban penggunaan obat generik di
sarana kesehatan pemerintah. Juga ditetapkan adanya Komite Farmasi dan
Terapi, formularium rumah sakit, dan lain-lain. Selain itu dilakukan pula
penelitian ulang manfaat obat yang beredar.
 Standarisasi
Telah disusun standar pelayanan rumah sakit yang merupakan integrasi dari
standar pelayanan medik dan terapi, standar ketenagaan, standar sarana,
prasarana dan keperawatan. Setiap rumah sakit pemerintah maupun swasta
secara bertahap diharapkan dapat menerapkan standar dan kriteria tersebut.
Standar pelayanan rumah sakit merupakan langkah awal dari pelaksanaan
akreditasi.
 Klasifikasi
Telah disusun standar penetapan kelas rumah sakit baik untuk rumah sakit
pemerintah maupun rumah sakit swasta. Dengan adanya klasifikasi rumah sakit
ini diharapkan dapat meningkatkan mutu rujukan pelayanan secara berjenjang.
 Akreditasi
Untuk meningkatkan mutu pelayanan telah dipersiapkan standar dalam rangka
akreditasi rumah sakit dan dipersiapkan instrumen dan uji coba. Direncanakan
rumah sakit yang akan dikonversikan ke dalam unit swadana harus melalui
akreditasi terlebih dahulu atau setidak-tidaknya menggunakan dasar-dasar
akreditasi.
b. Di tingkat sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit)
1) Program Quality Assurance/Quality Improvement
Pada umumnya yang telah dilaksanakan adalah case review, menilai atau me-
reviewmutu dan kelayakan pemberian pelayanan kepada pasien. Kegiatan ini
terutama telah dilakukan di rumah sakit pendidikan. Misalnya reviewkasus
bedah, review penggunaan obat, dan lain-lain.
2) Manajemen Mutu Terpadu (TQM)
TQM merupakan suatu sistem manajemen yang melibatkan seluruh lapisan
organisasi dalam mengendalikan dan meningkatkan mutu secara terpadu.
Falsafah dasar TQM adalah perbaikan terus menerus. Perbaikan terus menerus
akan terjadi kalau setiap orang melakukan usaha secara terus menerus dalam
memecahkan masalah yang timbul. Walaupun manajemen mutu terpadu tersebut
Iebih cocok untuk perusahaan manufaktur, namun ada rumah sakit yang pernah
melaksanakan TQM ini.
3) Gugus Kendali Mutu (GKM)
Merupakan salah satu bentuk penerapan falsafah dasar manajemen mutu terpadu
yaitu melakukan perbaikan terus menerus. Namun berlainan dengan TQM,
dalam GKM masalah yang dibahas adalah masalah-masalah yang dihadapi
sehari-hari dalam bekerja di tingkat pelaksana atau operator. Kegiatan GKM ini
telah dilaksanakan di beberapa rumah sakit yang akan dikonversikan menjadi
rumah sakit unit swadana yaitu RS Pasar Rebo, RS Tegalyoso, dan lain-lain.
4) Program-program khusus
Program khusus ini dilaksanakan di rumah sakit sesuai dengan kebutuhannya.
Misalnya : Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya telah melaksanakan
pengendalian infeksi nosokomial, RS Husada melaksanakan pengukuran derajat
kepuasan pasien.
5) Pengembangan standar profesi
Penyusunan dan evaluasi terus menerus standar profesi di rumah sakit.
Daftar Pustaka

Bustami. 2011. Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan dan Akseptabilitasnya. Jakarta:


Erlangga.

Hadi, Syamsi. “Sejarah Perkembangan Sistem Mutu”.

http://syamsisite.blogspot.com/2010/11/sejarah-perkembangan-manajemen-mutu.html.
Diakses tanggal 8 September 2013.

Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia. “Sejarah Kronologis Perkembangan Total


Quality Management”. http://pmmi-iqma.org/sejarah-kronologis-
perkembangan-total-qualitymanagement/. Diakses tanggal 8 September 2013.

Anda mungkin juga menyukai