Anda di halaman 1dari 121

LAPORAN PENDAHULUAN K3

“KONSEP KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


RUMAH SAKIT (K3RS)”

DISUSUN OLEH :
NAMA : RUBY RAHMANIA ARYANI
NPM : 19.14201.90.12.P
SEMESTER :VIII (B1)

DOSEN PEMBIMBING :Mareta Akhriansyah, S.Kep, Ners,


M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA PALEMBANG


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KONSEP KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
RUMAH SAKIT (K3RS

A. Rumah Sakit
1. Definisi Rumah Sakit
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan memiliki
peran yang sangat strategis dalam upaya mempercepat derajat kesehatan
masyarakat Indonesia.Pemerintah telah bersungguh-sungguh dan terus-
menerus berupaya untuk meningkatkan mutu pelayanan baik yang bersifat
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi. Peran tersebut pada dewasa ini
semakin dituntut akibat adanya perubahan-perubahan epidemiologik penyakit,
perubahan struktur organisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, perubahan sosio-ekonomi masyarakat dan pelayanan yang lebih
efektif, ramah dan sanggup memenuhi kebutuhan mereka
Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit,
rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
Sementara itu, dalam Sistem Kesehatan Nasional (1992) dinyatakan
bahwa rumah sakit mempunyai fungsi utama menyelenggarakan kesehatan
bersifat penyembuhan dan pemulihan penderita serta memberikan pelayanan
yang tidak terbatas pada perawatan di dalam rumah sakit saja, tetapi
memberikan pelayanan rawat jalan, serta perawatan di luar rumah sakit.
Batasan pengertian rumah sakit di atas, menunjukkan bahwa fungsi
kegiatan rumah sakit sangat bervariasi, sesuai dengan perkembangan
zaman.Artinya rumah sakit tidak hanya berfungsi sebagai tempat
penyembuhan penyakit, tempat pengasuhan, tempat pelayanan, pendidikan
dan penelitian sederhana, dan bersifat sosial.
Implikasinya adalah setiap rumah sakit dituntut untuk senantiasa
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pasiennya dalam semua aspek
pelayanan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik agar efektivitas
pelayanan kesehatan dapat terwujud.

2. Pelayanan Rumah Sakit


Pelayanan rumah sakit merupakan salah satu bentuk upaya yang
diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.Pelayanan rumah
sakit berfungsi untuk memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh
dan terpadu yang dilakukan dalam upaya peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan kesehatan yang bermutu dan
terjangkau dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Rumah sakit sebagai salah satu bentuk fasilitas pelayanan kesehatan
harus memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas.Manajemen rumah
sakit harus berupaya memuaskan pasiennya, dalam hal ini masyarakat dengan
berbagai tingkat kebutuhannya.
Sebuah rumah sakit didirikan dan dijalankan dengan tujuan untuk
memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk perawatan, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan medis atau non medis, dan tindakan diagnosis lainnya
yang dibutuhkan oleh masing-masing pasien dalam batas-batas kemampuan
teknologi dan sarana yang disediakan di rumah sakit.
Disamping itu rumah sakit harus dapat memberikan pelayanan kesehatan
yang cepat, akurat, dan sesuai dengan kemajuan teknologi kedokteran
sehingga dapat berfungsi sebagai rujukan rumah sakit sesuai dengan tingkat
rumah sakitnya.Pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah kegiatan pelayanan
berupa pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, pelayanan administrasi,
pelayanan gawat darurat yang mencakup pelayanan medik dan penunjang
medik.
Sedangkan untuk dapat disebut sebagai bentuk pelayanan kesehatan,
baik dari jenis pelayanan kesehatan kedokteran maupun dari jenis pelayanan
kesehatan masyarakat harus memiliki berbagai syarat pokok. Syarat pokok
yang dimaksud adalah:
1. Tersedia dan berkesinambungan
Syarat yang pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan
kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat serta bersifat
berkesinambungan.
2. Dapat diterima dan wajar
Syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang baik adalah dapat diterima
oleh masyarakat serta bersifat wajar.Artinya pelayanan kesehatan tersebut
tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat.
3. Mudah dicapai
Syarat pokok yang ketiga pelayanan kesehatan yang baik adalah mudah
dicapai oleh masyarakat (dari sudut lokasi).
4. Mudah dijangkau
Syarat pokok keempat pelayanan kesehatan yang baik adalah mudah
dijangkau oleh masyarakat.Pengertian keterjangkauan yang dimaksud
disini termasuk dari sudut biaya.Untuk dapat mewujudkan keadaan yang
seperti ini harus dapat diupayakan pelayanan kesehatan tersebut sesuai
dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
5. Bermutu
Syarat pokok pelayanan kesehatan yang baik adalah bermutu. Pengertian
yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak dapat
memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan dipihak lain tata cara
penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah
ditetapkan.

B. Definisi dan Ruang Lingkup K3 Rumah Sakit


1. Definisi K3 Rumah Sakit
Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah upaya untuk
memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para
pekerja dengan carapencegahan kecelakaan dan penyakit akibat hubungan
kerja, pengendalianbahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan
dan rehabilitasi.
Semakin luas pelayanan kesehatan dan fungsi suatu rumah sakit maka
semakin kompleks peralatan dan fasilitasnya.Kerumitan yang meliputi segala
hal tersebut menyebabkan rumah sakit mempunyai potensi bahaya yang
sangat besar bagi keselamatan tenaga pekerja RS, pasien dan juga pengunjung
rumah sakit.
Konsep Dasar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit adalah
upaya terpadu seluruh pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar
orang sakit untuk menciptakan lingkungan kerja, tempat kerja rumah sakit
yang sehat, aman dan nyaman baik bagi pekerja rumah sakit, pasien,
pengunjung/pengantar orang sakit, maupun bagi masyarakat dan lingkungan
sekitar rumah sakit.
Adapun tujuan dan manfaat pelaksanaan upaya Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di Rumah Sakit adalah:
a. Tujuan dari Pelaksanaan uapaya Keselamatan Kerja di RS adalah
terciptanya cara kerja,lingkungan kerja yang sehat,aman,nyaman dan
dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat RS dan
produktifitasnya.
b. Manfaat K3 bagi RS ( meningkatkan mutu pelayanan , mempertahankan
kelangsungan operasional RS,dan meningkatkan citra RS). Bagi tenaga
kerja RS (melindungi karyawan dari Penyakit Akibat Kerja,dan mencegah
terjadinya kecelakaan akibat kerja). Bagi pasien dan pengunjung (mutu
layanan yang baik, dan kepuasan pasien dan pengunjung.

2. Ruang Lingkup K3RS


1) Prinsip, Program, dan Kebijakan Pelaksanaan K3RS
a. Prinsip Keselamatan Kerja di Rumah Sakit
Prinsip dari keselamatan kerja di Rumah sakit yakni menyangkut 3 hal
yang harus diperhatikan yang saling berinteraksi dan harus diseimbangkan
dengan proses yang bersama sama yaitu:
• Kapasitas kerja = status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta
kemampuan fisik yang prima setiap pekerja agar dapat melakukan
pekerjaannya dengan baik.
• Beban kerja = beban fisik dan mental yang harus ditanggung pekerja
RS dalam melaksanakan tugasnya.
• Lingkungan Kerja = lingkungan terdekat dari seorang pekerja
(fisik,kimia,biologi,psikososial,dan ergonomic).

b. Program Keselamatan Kerja di Rumah Sakit


Program keselamatan kerja di Rumah Sakit bertujuan untuk melindungi
keselamatan dan kesehatan serta meningkatkan produktifitas
pekerja,melindungi keselamatan pasien,pengunjung dan masyarakat serta
lingkungan sekitar Rumah Sakit.
Adapun program K3 yang harus diterapkan adalah:
• Pengembangan kebijakan keselamatan kerja di rumah sakit.
• Pembudayaan perilaku Keselamatan Kerja RS.
• Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam pelatihan Keselamatan
Kerja.
• Pengembangan Pedoman dan Standard Operational Procedure.
• Pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerja.
• Pelayanan keselamatan kerja.
• Pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah pada,cair
dan gas.
• Pengelolaan jasa , bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya.
• Pengembangan manajemen tanggap darurat.
• Pengumpulan ,pengolahan , dokumentasi data dan pelaporan kegiatan
K3.
• Audit K3 di RS.
c. Kebijakan pelaksanaan Keselamatan Kerja Rumah Sakit.
Rumah Sakit merupakan tempat kerja yang padat karya,pakar,modal dan
teknologi,namun keberadaan Rumah Sakit juga memiliki dampak negatif
terhadap timbulnya penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bila Rumah Sakit
tersebut tidak melaksanakan prosedur K3 dengan tujuan menciptakan
lingkungan kerja yang aman, sehat, dan pengunjung , masyarakat dan
lingkunga sekitar Rumah Sakit sehingga proses pelayanan Rumah Sakit
berjalan lancar.
Oleh sebab itu perlu dilaksanakan kebijakan sebagai berikut:
• Membuat kebijakan tertulis dari pimpinan RS.
• Menyediakan Organisasi K3.
• Melakukan sosialiasi Keselamatan Kerja di RS pada seluruh jajaran
Rumah Sakit.
• Membudayakan perilaku K3 di RS.
• Meningkatkan SDM yang professional dalam bidang K3 masing-
masing unit kerja di RS.
• Meningkatkan sistem informasi K3 di Rumah Sakit.

2) Standar Pelayanan K3 di Rumah Sakit


Pelayanan K3RS harus dilaksanakan secara terpadu melibatkan
berbagai komponen yang ada di rumah sakit.Pelayanan K3 di rumah sakit
sampai saat ini dirasakan belum maksimal.Hal ini dikarenakan masih
banyak rumah sakit yang belum menerapkan Sistem Manajemen
Kesehatan dan Keselamatan kerja (SMK3).
a) Standar Pelayanan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit
Setiap Rumah Sakit wajib melaksanakan pelayanan kesehatan
kerja seperti tercantum pada pasal 23 UU kesehatan no.36 tahun 2009
dan peraturan Menteri tenaga kerja dan Transmigrasi RI
No.03/men/1982 tentang pelayanan kesehatan kerja. Adapun bentuk
pelayanan kesehatan kerja yang perlu dilakukan, sebagai berikut :
(1) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum kerja bagi pekerja
(2) Melakukan pendidikan dan penyuluhan/pelatihan tentang
kesehatan kerja dan memberikan bantuan kepada pekerja di rumah
sakit dalam penyesuaian diri baik fisik maupun mental terhadap
pekerjanya.
(3) Melakukan pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus sesuai
dengan pajanan di rumah sakit
(4) Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan
kemampuan fisik pekerja
(5) Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi
pekerja yang menderita sakit
(6) Melakukan pemeriksaan kesehatan khusus pada pekerja rumah
sakit yang akan pension atau pindah kerja
(7) Melakukan koordinasi dengan tim Panitia Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi mengenai penularan infeksi terhadap pekerja
dan pasien
(8) Melaksanakan kegiatan surveilans kesehatan kerja
(9) Melaksanakan pemantauan lingkungan kerja dan ergonomi yang
berkaitan dengan kesehatan kerja (Pemantauan/pengukuran
terhadap faktor fisik, kimia, biologi, psikososial, dan ergonomi)
(10) Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan kesehatan
kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit dan Unit
teknis terkait di wilayah kerja Rumah Sakit
b) Standar pelayanan Keselamatan kerja di Rumah Sakit
Pada prinsipnya pelayanan keselamatan kerja berkaitan erat dengan
sarana, prasarana, dan peralatan kerja. Bentuk pelayanan keselamatan
kerja yang dilakukan :
(1) Pembinaan dan pengawasan keselamatan/keamanan sarana,
prasarana, dan peralatan kesehatan
(2) Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian peralatan kerja
terhadap pekerja
(3) Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja
(4) Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitair
(5) Pembinaan dan pengawasan perlengkapan keselamatan kerja
(6) Pelatihan/penyuluhan keselamatan kerja untuk semua pekerja
(7) Member rekomendasi/masukan mengenai perencanaan, pembuatan
tempat kerja dan pemilihan alat serta pengadaannya terkait
keselamatan/keamanan
(8) Membuat sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya
(9) Pembinaan dan pengawasan Manajemen Sistem Penanggulangan
Kebakaran (MSPK)
(10) Membuat evaluasi, pencatatan, dan pelaporan kegiatan pelayanan
keselamatan kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit
dan Unit teknis terkait di wilayah kerja kerja Rumah Sakit

3) Standar K3 Sarana, Prasarana, dan Peralatan di Rumah Sakit


Sarana didefinisikan sebagai segala sesuatu benda fisik yang dapat
tervisualisasi oleh mata maupun teraba panca indera dan dengan mudah
dapat dikenali oleh pasien dan umumnya merupakan bagian dari suatu
bangunan gedung (pintu, lantai, dinding, tiang, kolong gedung, jendela)
ataupun bangunan itu sendiri. Sedangakan prasarana adalah seluruh
jaringan/instansi yang membuat suatu sarana bisa berfungsi sesuai dengan
tujuan yang diharapkan, antara lain : instalasi air bersih dan air kotor,
instalasi listrik, gas medis, komunikasi, dan pengkondisian udara, dan lain-
lain.

4) Pengelolaan Jasa dan Barang Berbahaya


Barang Berbahaya dan Beracun (B3) adalah bahan yang karena sifat
dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup,
dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan
hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
a) Kategori B3
Memancarkan radiasi, Mudah meledak, Mudah menyala atau terbakar,
Oksidator, Racun, Korosif, Karsinogenik, Iritasi, Teratogenik,
Mutagenic, Arus listrik.
b) Prinsip dasar pencegahan dan pengendalian B3
(1) Identifikasi semua B3 dan instalasi yang akan ditangani untuk
mengenal ciri-ciri dan karakteristiknya.
(2) Evaluasi, untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang
diperlukan sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi
yang ditangani sekaligus memprediksi risiko yang mungkin terjadi
apabila kecelakaan terjadi
(3) Pengendalian sebagai alternatif berdasarkan identifikasi dan
evaluasi yang dilakukan meliputi pengendalian operasional,
pengendalian organisasi administrasi, inspeksi dan pemeliharaan
sarana prosedur dan proses kerja yang aman, pembatasan
keberadaan B3 di tempat kerja sesuai jumlah ambang.
(4) Untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya
c) Pengadaan Jasa dan Bahan Berbahaya
Rumah sakit harus melakukan seleksi rekanan berdasarkan
barang yang diperlukan. Rekanan yang akan diseleksi diminta
memberikan proposal berikut company profile. Informasi yang
diperlukan menyangkut spesifikasi lengkap dari material atau produk,
kapabilitas rekanan, harga, pelayanan, persyaratan K3 dan lingkungan
serta informasi lain yang dibutuhkan oleh rumah sakit.
Setiap unit kerja/instalasi/satker yang menggunakan, menyimpan,
mengelola B3 harus menginformasikan kepada instalasi logistic
sebagai unit pengadaan barang setiap kali mengajukan permintaan
bahwa barang yang diminta termasuk jenis B3. Untuk memudahkan
melakukan proses seleksi, dibuat form seleksi yang memuat kriteria
wajib yang harus dipenuhi oleh rekanan serta sistem penilaian untuk
masing-masing criteria yang ditentukan.
5) Standar SDM K3 di Rumah Sakit
Kriteria tenaga K3
a) Rumah Sakit Kelas A
(1) S3/S2 K3 minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(2) S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus
yang terakreditasi mengenai K3 RS
(3) Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi (SpOk) dan S2 Kedokteran
Okupasi minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(4) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 2 orang
yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3
RS
(5) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal
1 orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(6) Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal)
yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3
RS
(7) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS minimal 2 orang
(8) Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat
pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
(9) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 2 orang
b) Rumah Sakit Kelas B
(1) S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus
terakreditasi mengenai K3 RS
(2) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang
yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3
RS
(3) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal
1 orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(4) Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal)
yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3
RS minimal 1 orang
(5) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
(6) Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat
pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
(7) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 1 orang
c) Rumah Sakit kelas C
(1) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang
yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3
RS
(2) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal
1 orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(3) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
(4) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 1 orang

6) Pembinaan, Pengawasan, Pencatatan, dan Pelaporan


a) Pembinaan dan pengawasan
Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem
berjenjang.Pembinaan dan pengawasan tertinggi dilakukan oleh
Departemen Kesehatan. Pembinaan dapat dilaksanakan antara lain
dengan melalui pelatihan, penyuluhan, bimbingan teknis, dan temu
konsultasi.
Pengawasan pelaksanaan Standar Kesehatan dan Keselamatan
Kerja di rumah sakit dibedakan dalam dua macam, yakni pengawasan
internal, yang dilakukan oleh pimpinan langsung rumah sakit yang
bersangkutan, dan pengawasan eksternal, yang dilakukan oleh Menteri
kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat, sesuai dengan fungsi dan
tugasnya masing-masing.
b) Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan adalah pendokumentasian kegiatan K3
secara tertulis dari masing-masing unit kerja rumah sakit dan kegiatan
K3RS secara keseluruhan yang dilakukan oleh organisasi K3RS, yang
dikumpulkan dan dilaporkan /diinformasikan oleh organisasi K3RS, ke
Direktur Rumah Sakit dan unit teknis terkait di wilayah Rumah
Sakit.Tujuan kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah
menghimpun dan menyediakan data dan informasi kegiatan K3,
mendokumentasikan hasil-hasil pelaksanaan kegiatan K3; mencatat
dan melaporkan setiap kejadian/kasus K3, dan menyusun dan
melaksanakan pelaporan kegiatan K3.
Pelaporan terdiri dari; pelaporan berkala (bulanan, semester, dan
tahunan) dilakukan sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan dan
pelaporan sesaat/insidentil, yaitu pelaporan yang dilakukan sewaktu-
waktu pada saat kejadian atau terjadi kasus yang berkaitan dengan K3.
Sasaran kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah
mencatat dan melaporkan pelaksanaan seluruh kegiatan K3, yang
tercakup di dalam :
(1) Program K3, termasuk penanggulangan kebakaran dan kesehatan
lingkungan rumah sakit.
(2) Kejadian/kasus yang berkaitan dengan K3 serta upaya
penanggulangan dan tindak lanjutnya.
C. Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja di RS
1. Definisi dan Tujuan SMK3 di RS
Dalam Permenaker Nomor 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen
Kesehatan dan Keselamatan Kerja, yang menyatakan bahwa setiap perusahaan
yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau
mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses bahan
produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan,
kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem
Manajemen K3.
Jika memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah bahwa Rumah
Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman
bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap
para pelaku langsung yang bekerja d RS, tapi juga terhadap pasien maupun
pengunjung RS.Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan
upaya-upaya K3 di RS.
Kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit merupakan upaya untuk
memberikan jaminan kesehatan dan meningkatkan derajat kesehatan para
pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja,
pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan
rehabilitasi. Manajemen K3 di rumah sakit adalah suatu proses kegiatan yang
dimulai dengan tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengendalian yang bertujuan untuk memberdayakan K3 di rumah sakit.
Tujuan dari diterapkannya Sistem Manajemen K3 ini pada Rumah Sakit
adalah terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman, dan
dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan RS. Kesehatan kerja
menurut Suma’mur didefinisikan sebagai spesialisasi dalam ilmu
kesehatan/kedokteran beserta prakteknya, agar masyarakat pekerja
memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik atau mental
maupun sosial dengan usaha-usaha preventif dan kuratif terhadap penyakit-
penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor
pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit-penyakit
umum.Menurut Pedoman Teknis Upaya Kesehatan Kerja di Rumah Sakit,
Depkes (2001), tujuan umum dari manajemen K3 RS adalah menumbuh
kembangkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di rumah sakit untuk
tercapainya kemampuan hidup sehat masyarakat pekerja di rumah sakit.
Sedangkan tujuan khususnya adalah:
a. Tersusunnya rencana kegiatan K3 RS.
b. Terlaksananya kegiatan K3 RS.
c. Terpantau dan terevaluasinya kegiatan K3 RS.
Manfaat dari manajemen K3 RS (Pedoman Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di Rumah Sakit, Depkes 2006) adalah sebagai berikut:
1. Bagi rumah sakit
a. Meningkatkan mutu pelayanan.
b. Mempertahankan kelangsungan operasional RS.
c. Meningkatkan citra RS.
2. Bagi karyawan rumah sakit:
a. Melindungi karyawan dari Penyakit Akibat Kerja (PAK).
b. Mencegah terjadinya Kecelakaan Akibat Kerja (KAK).
3. Bagi pasien dan pengunjung:
a. Mutu layanan yang baik.
b. Kepuasan pasien dan pengunjung.

2. Pedoman SMK3 di Rumah Sakit


1) Komitmen dan Kebijakan
Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas
dan mudah dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan RS.Manajemen
RS mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber daya esensial seperti
pendanaan, tenaga K3 dan sarana untuk terlaksananya program K3 di RS.
Kebijakan K3 di RS diwujudkan dalam bentuk wadah K3 RS dalam
struktur organisasi RS. Untuk melaksanakan komitmen dan kebijakan K3 RS,
perlu disusun strategi antara lain :
a) Advokasi sosialisasi program K3 RS.
b) Menetapkan tujuan yang jelas.
c) Organisasi dan penugasan yang jelas.
d) Meningkatkan SDM profesional di bidang K3 RS pada setiap unit
kerja di lingkungan RS.
e) Sumberdaya yang harus didukung oleh manajemen puncak
f) Kajian risiko (risk assessment) secara kualitatif dan kuantitatif
g) Membuat program kerja K3 RS yang mengutamakan upaya
peningkatan dan pencegahan.
h) Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala.
2) Perencanaan
RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai
keberhasilan penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan
dapat diukur. Perencanaan meliputi:
a) Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko.
Identifikasi sumber bahaya yang ada di RS berguna untuk
menentukan tingkat risiko yang merupakan tolok ukur kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan PAK (penyakit akibat kerja). Sedangkan
penilaian faktor risiko merupakan proses untuk menentukan ada
tidaknya risiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial
yang menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan.
Pengendalian faktor risiko di RS dilaksanakan melalui 4
tingkatan yakni menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko
dengan sarana atau peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah
bahkan tidak ada risiko sama sekali, administrasi, dan alat pelindung
pribadi (APP).
b) Membuat peraturan. Peraturan yang dibuat tersebut merupakan
Standar Operasional Prosedur yang harus dilaksanakan, dievaluasi,
diperbaharui, serta harus dikomunikasikan dan disosialisasikan
kepada karyawan dan pihak yang terkait.
c) Menentukan tujuan (sasaran dan jangka waktu pencapaian)
d) Indikator kinerja yang harus diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3
dan sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan
pencapaian SMK3 RS.
e) Program K3 ditetapkan, dilaksanakan, dimonitoring, dievaluasi dan
dicatat serta dilaporkan.
3) Pengorganisasian
Pelaksanaan K3 di RS sangat tergantung dari rasa tanggung jawab
manajemen dan petugas, terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta
kerja sama dalam pelaksanaan K3. Tanggung jawab ini harus ditanamkan
melalui adanya aturan yang jelas.Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan
kepada semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan disiplin.
a) Tugas dan Fungsi unit pelaksana K3 RS
Tugas Pokok :
• Memberi rekomendasi dan pertimbangan kepada direktur RS
mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan K3.
• Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan
dan prosedur.
• Membuat program K3 RS
Fungsi unit pelaksana K3 RS
• Mengumpulkan dan mengolah seluruh data dan informasi serta
permasalahan yang berhubungan dengan K3.
• Membantu direktur RS mengadakan dan meningkatkan upaya promosi
K3, pelatihan dan penelitian K3 di RS.
• Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3.
• Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan
korektif.
• Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3RS.
• Memberi nasehat tentang manajemen k3 di tempat kerja, kontrol
bahaya, mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencegahan.
• Investigasi dan melaporkan kecelakaan, dan merekomendasikan sesuai
kegiatannya.
• Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru,
pembangunan gedung dan proses.
b) Struktur organisasi K3 di RS
Organisasi K3 berada 1 tingkat di bawah direktur dan bukan
merupakan kerja rangkap.
Model 1:
Merupakan organisasi yang terstruktur dan bertanggung jawab kepada
Direktur RS, bentuk organisasi K3 di RS merupakan organisasi struktural
yang terintegrasi ke dalam komite yang ada di RS dan disesuaikan dengan
kondisi/kelas masing-masing RS, misalnya Komite Medis/Nosokomial.
Model 2:
Merupakan unit organisasi fungsional (non structural), bertanggung jawab
langsung ke Direktur RS.Nama organisasinya adalah unit pelaksana K3
RS, yang dibantu oleh unit K3 yang beranggotakan seluruh unit kerja di
RS.
Keanggotaan:
• Organisasi/unit pelaksana K3 RS beranggotakan unsur-unsur dari
petugas dan jajaran direksi RS.
• Organisasi/unit pelaksana K3 RS terdiri dari sekurang-kurangnya
Ketua, Sekretaris dan anggota. Organisasi/unit pelaksana K3 RS
dipimpin oleh ketua.
• Pelaksanaan tugas ketua dibantu oleh wakil ketua dan sekretaris
serta anggota.
• Ketua organisasi/unit pelaksana K3 RS sebaiknya adalah salah satu
manajemen tertinggi di RS atau sekurang-kurangnya manajemen
dibawah langsung direktur RS.
• Sedang sekretaris organisasi/unit pelaksana K3 RS adalah seorang
tenaga professional K3 RS, yaitu manajer K3 RS atau ahli K3.
c) Mekanisme Kerja
Ketua organisasi/unit pelaksana K3 RS memimpin dan
mengkoordinasikan kegiatan organisasi/unit pelaksana K3 RS.
Sekretaris organisasi/unit pelaksana K3 RS memimpin dan
mengkoordinasikan tugas-tugas kesekretariatan dan melaksanakan
keputusan organisasi/unit pelaksana K3 RS.
Anggota organisasi/unit pelaksana K3 RS mengikuti rapat
organisasi/unit pelaksana K3 RS dan melakukan pembahasan atas
persoalan yang diajukan dalam rapat, serta melaksanakan tugas-tugas yang
diberikan organisasi/unit pelaksana K3RS.
Untuk dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,
organisasi/unit pelaksana K3 RS mengumpulkan data dan informasi
mengenai pelaksanaan K3 di RS. Sumber data antara lain dari bagian
personalia meliputi angka sakit, tidak hadir tanpa keterangan, angka
kecelakaan, catatan lama sakit dan perawatan RS, khususnya yang
berkaitan dengan akibat kecelakaan. Dan sumber yang lain bias dari
tempat pengobatan RS sendiri antara lain jumlah kunjungan, P3K dan
tindakan medik Karena kecelakaan, rujukan ke RS bila perlu pengobatan
lanjutan dan lama perawatan dan lama berobat. Dari bagian teknik bias
didapat data kerusakan akibat kecelakaan dan biaya. Informasi juga
dikumpulkan dari hasil monitoring tempat kerja dan lingkungan kerja RS,
terutama yang berkaitan dengan sumber bahaya potensial baik yang
berasal dari kondisi berbahaya maupun tindakan berbahaya serta data dari
bagian K3 berupa laporan pelaksanaan K3 dan analisisnya.
Data dan informasi dibahas dalam organisasi/unit pelaksana K3 RS,
untuk menemukan penyebab masalah dan merumuskan tindakan korektif
maupun tindakan preventif.Hasil rumusan disampaikan dalam bentuk
rekomendasi kepada direktur RS.Rekomendasi berisi saran tindak lanjut
dari organisasi/unit pelaksana K3 RS serta alternatif-alternatif pilihan serta
perkiraan hasil/konsekuensi setiap pilihan.
Organisasi/unit pelaksana K3 RS membantu melakukan upaya
promosi di lingkungan RS baik pada petugas, pasien maupun pengunjung,
yaitu mengenai segala upaya pencegahan KAK dan PAK di RS. Juga bias
diadakan lomba pelaksanaan K3 antar bagian atau unit kerja yang ada di
lingkungan kerja RS, dan yang terbaik atau terbagus pelaksanaan dan
penerapan K3 nya mendapat reward dari direktur RS (Pedoman
Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit, Depkes
2006).

3. Tahap Penyelenggaraan SMK3 Rumah Sakit


Untuk memudahkan penyelenggaraan K3 di RS, maka perlu langkah-
langkah penerapan yaitu:
1. Tahap Persiapan
a. Menyatakan komitmen.
Komitmen harus dimulai dari direktur utama/ direktur RS (manajemen
puncak).Pernyataan komitmen oleh manajemen puncak tidak hanya dalam
kata-kata, tetapi juga harus dengan tindakan nyata, agar dapat diketahui,
dipelajari, dihayati dan dilaksanakan oleh seluruh staf dan petugas RS.
b. Menetapkan cara penerapan K3 di RS.
Bisa menggunakan jasa konsultan atau tanpa menggunakan jasa konsultan
jika RS memiliki personil yang cukup mampu untuk mengorganisasikan
dan mengarahkan orang.
c. Pembentukan organisasi/unit pelaksana K3 RS.
d. Membentuk kelompok kerja penerapan K3.
Anggota kelompok kerja sebaiknya terdiri atas seorang wakil dari setiap
unit kerja, biasanya manajer unit kerja.Peran, tanggung jawab dan tugas
anggota kelompok kerja perlu ditetapkan.Sedangkan mengenai kualifikasi
dan jumlah anggota kelompok kerja disesuaikan dengan kebutuhan RS.
e. Menetapkan sumber daya yang diperlukan.
Sumber daya disini mencakup orang (mempunyai tenaga K3), sarana,
waktu dan dana.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Penyuluhan K3 ke semua petugas RS.
Menurut Suardi (2005), kegiatan penyuluhan dapat dilakukan melalui
beberapa cara, misalnya dengan pernyataan komitmen manajemen,
melalui ceramah, surat edaran, atau pembagian buku-buku yang terkait
dengan Sistem Manajemen K3.
b. Pelatihan K3 yang disesuaikan dengan kebutuhan individu dan kelompok
di dalam organisasi RS. Fungsinya memproses individu dengan perilaku
tertentu agar berperilaku sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya
sebagai produk akhir dari pelatihan.
c. Melaksanakan program K3 sesuai peraturan yang berlaku diantaranya:
- Pemeriksaan kesehatan petugas (prakarya, berkala dan khusus).
- Penyediaan alat pelindung diri dan keselamatan kerja.
- Penempatan pekerja pada pekerjaan yang sesuai kondisi kesehatan.
- Pengobatan pekerja yang menderita sakit.
- Menciptakan lingkungan kerja yang higienis secara teratur, melalui
monitoring lingkungan kerja dari hazard yang ada.
- Melaksanakan biological monitoring.
- Melaksanakan surveilans kesehatan pekerja.
3. Tahap pemantauan dan Evaluasi
a. Pencatatan dan pelaporan K3.
✓ Pencatatan dan pelaporan K3
✓ Pencatatan semua kegiatan K3.
✓ Pencatatan dan pelaporan KAK.
✓ Pencatatan dan pelaporan PAK.
Pencatatan dan pelaporan K3 telah terintegrasi ke dalam sistem
pelaporan RS(SPRS).
b. Inspeksi dan pengujian.
Inspeksi K3 di RS dilakukan secara berkala, terutama oleh petugas K3 RS
sehingga kejadian PAK dan KAK dapat dicegah sedini mengkin.Kegiatan
lain adalah pengujian baik terhadap lingkungan maupun pemeriksaan
terhadap pekerja berisiko seperti biological monitoring (pemantauan
secara biologis).
c. Melaksanakan audit K3.
Tujuan audit K3 adalah:
- Untuk menilai potensi bahaya, gangguan kesehatan dan keselamatan.
- Memastikan dan menilai pengelolaan K3 telah dilaksanakan sesuai
ketentuan.
- Menentukan langkah untuk mengendalikan bahaya potensial serta
pengembangan mutu.
d. Perbaikan dan pencegahan didasarkan atas hasil temuan dari audit,
identifikasi, penilaian risiko direkomendasikan kepada manajemen
puncak.
e. Tinjauan ulang dan peningkatan oleh pihak manajemen secara
berkesinambungan untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan dalam
pencapaian kebijakan dan tujuan K3 (Pedoman Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di Rumah Sakit, Depkes 2006).

D. Tehnik Sosialisasi K3 di Rumah Sakit


1. Sosialisasi K3 di Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan industri pelayanan kesehatan bagi masyarakat,
dengan kegiatan pokok berupa pelayanan medis, baik preventif, kuratif
maupun rehabilitatif. Pandangan masyarakat mengenai rumah sakit adalah
tempat yang terjamin bersih dan bebas dari penyakit karena mengetahui
bagaimana cara menghadapi suatu penyakit agar tidak menulari dirinya
maupun orang lain, diharapkan bagi mayarakat yang menerima pelayanan
rumah sakit akan mencapai kesembuhan yang optimal. Akan tetapi, perubahan
selalu terjadi, teknologi semakin canggih begitupun dengan perkembangan
penyakit yang awalnya mudah ditangani berubah menjadi penyakit yang
berbahaya, sehingga menjadikan rumah sakit yang awalnya melayani
masyarakat dengan optimal beralih menjadi tempat yang juga merupakan awal
timbulnya suatu penyakit baru bagi pasien, tenaga kerja rumah sakit bahkan
masyarakat.
Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga terdapat
potensi bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi RS, yaitu
kecelakaan yang dalam artian sisi keselamatan kerja di lingkungan RS seperti
kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik,dan sumber-sumber
cidera lainnya,radiasi,bahan-bahan kimia yang berbahaya,gas-
gas,anastesi,gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya
tersebut jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para
pasien maupun para pengunjung yang ada di lingkungan RS.
Dengan demikian diperlukan suatu sistem untuk menangani hal
tersebut.Tujuan dari diterapkannya Sistem Manajemen K3 ini pada Rumah
Sakit adalah terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang sehat, aman,
nyaman, dan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan RS.
Program K3RS yang telah di jelaskan pada poin sebelumnya bertujuan
untuk melindungi keselamatan dan kesehatan serta meningkatkan
produktifitas SDM Rumah Sakit, melindungi pasien, pengunjung/ pengantar
pasien dan masyarakat serta lingkungan sekitar Rumah Sakit.Kinerja setiap
petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante dari tiga
komponen yaitu kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja.
Kebijakan program K3 tersebut harus disosialisasikan pada semua
elemen-elemen yang ada lingkup rumah sakit. Sosialisasi kebijakan K3
merupakan langkah awal menumbuhkan kesadaran akan pentingnya budaya
K3 di rumah sakit. Kebijakan K3 harus disosialisasikan kepada semua pihak
yang ada di perusahaan baik internal maupun eksternal (termasuk trainee,
magang, manajer), pekerja baru, supervisor dan manajer perlu memahami
kebijakan K3.
Salah satu program K3RS yang harus diterapkan adalah
pembudayaan perilaku Kesehatan dan Keselamatan Kerja di rumah sakit
(K3RS) yang meliputi :
a) Advokasi sosialisasi K3 pada seluruh jajaran rumah sakit, baik bagi
pekerja,pasien serta pengunjung rumah sakit.
b) Penyebaran media informasi dan komunikasi baik melalui film ,leaflet,
poster, pamflet dll.
c) Promosi K3 pada setiap pekerja yang bekerja disetiap unit RS dan pada
para pasien serta para pengantar pasien/pengunjung Rumah Sakit.
Kegiatan Sosialisasi merupakan upaya penyegaran kembali
pengetahuandan keselamatan kerja sehingga menciptakan lingkungan kerja
yang aman, nyaman, sehat dan produktif serta mencegah terjadinya kecelakaan
kerja.Dasar dari sosialisasi K3 itu sendiri adalah bagaimana komunikasi yang
efektif agar tujuan yang dimaksud tercapai.
Pada hakikatnya metode penyampaian program/kebijakan K3 Rumah
Sakit adalah sama dengan metode dalam mempromosikan program K3 di
tempat kerja, yaitu suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan
(program/kebijakan) kepada kelompok. Dengan harapan bahwa dengan adanya
pesan tersebut kelompok (orang-orang yang ada di RS) dapat memperoleh
pengetahuan tentang program/kebijakan tersebut guna tujuan yang lebih baik
lagi yang pada akhirnya diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilaku.
Sosialisasi K3 Rumah Sakit adalah suatu proses penyampaian informasi
kepada seluruh pekerja rumah sakit untuk dapat menerapkan budaya K3RS
secara komprehesif dengan tujuan dapat menciptakan lingkungan kerja,
tempat kerja rumah sakit yang sehat, aman dan nyaman baik bagi pekerja
rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar orang sakit, maupun bagi
masyarakat dan lingkungan sekitar rumah sakit.
Berikut adalah beberapa Teknik Sosialisasi K3 di Rumah Sakit.
1) Kebijakan Berwawasan K3
Kebijakan berwawasan K3 ini ditunjukan kepada para pembuat
kebijakan untuk mebuat kebijakan K3 RS dengan tujuan untuk melindungi
para pekerja dari segala hazard yang ada di rumah sakit.
Dengan kata lain adalah mensosialisasikan kebijakan K3 yang
diterapkan oleh management RS kepada para pekerja baik secara tertulis,
lisan maupun melalui media media yang ada di lingkungan rumah sakit.
Tujuan dari kebijakan berwawasan K3 ini adalah agar pelaksanaan
K3 di Rumah Sakit mempunyai legal standing bagi para pekera di rumah
sakit. Hal ini juga merupakan salah satu wujud bahwa management rumah
sakit mempunyai kesadaran untuk melindungi karyawan dari
hazard.Sosialisasi kebijakan K3 dapat dilakukan pada setiap pertemuan
seperti rapat, upacara dan lain-lain.
2) Supportive Enviroment
Supportive environment yang dimaksud disini adalah penyediaan
sarana prasarana yang memadai untuk pelaksanaan K3 di rumah
sakit.Kegiatan Sosialisasi merupakan upaya penyegaran kembali
pengetahuan dan keselamatan kerja sehingga menciptakan lingkungan
kerja yang aman, nyaman, sehat dan produktif serta mencegah terjadinya
kecelakaan kerja.Oleh karena itu harus didukung oleh sarana dan
prasarana K3 yang memadai untuk penerapan K3 RS yang efektif.
3) Pendidikan dan Latihan
Pendidikan dan latihan disini dimaksudkan kepada para karyawan
untuk menguasai permasalahan K3 di rumah sakit.Baik itu sumber bahaya
maupun potensi bahaya.Sosialisasi pentingnya K3 di rumah sakit salah
satunya bisa dilakukan dengan mengikutsertakan seluruh sumber daya
manusia yang ada untuk mengikuti training K3 rumah sakit.
4) Komunikasi Pesuasif
Rabilzani (2013) Komunikasi secara persuasif merupakan salah
satu bentuk sosialisasiyang efektif dilakukan untuk mensosialisakikan K3
.Komunikator yang efektif tahu cara dalam meraihperhatian komunikan,
memegang perhatian itu agar komunikan menangkapdengan jelas apa yang
sedang disampaikan, dan menanamkan secara emosionalhal itu pada
komunikan. Hal ini dapat dilakukan dengan Safety talk pada setiap
pergantian shif di rumah sakit.
5) Menggunakan Media
Penggunaan media merupakan salah satu cara sosialisasi K3 di RS, baik itu
media berupa poster, banner, audio ataupun video. Dengan menggunakan
media ini diharapakan para pekerja dapat melihat secara terut menerus, dan
selanjutnya adalah menerapkannya dalam melakukan pekerjaan agar
terhindar dari bahaya-bahaya yang ada dalam lingkungan kerja
6) Pengembangan ( Development)
Pengembangan budaya K3 Rumah Sakit dilakukan dengan pendampingan
oleh staf ahli yang diberi wewenang untuk memberikan pengarahan bagi
staf atau tenaga kerja lainnya. Dalam metode pengembangan ini dua
elemen yang sangat berpengaruh
1. Keterlibatan ahli dalam tim K3
2. Sebagai fasilitator K3

2. Media Sosialisasi K3 di Rumah Sakit


Metode sosialisasi program K3 rumah sakit adalah semua sarana atau
upaya untuk menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh
manajemen atau Panitia Pembinan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (P2K3)
di rumah sakit, baik itu melalui media cetak, elektronika (siaran), dan media
luar ruang, sehingga sasaran (petugas RS) dapat meningkat pengetahuannya
yang akhirnya diharapkan dapat berubah perilakunya kearah positif terhadap
Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Sosialisasi program K3 RS tidak dapat lepas dari media karena melalui
media, pesan-pesan K3 dapat disampaikan dapat lebih menarik dan dipahami,
sehingga sasaran dapat mempelajari pesar tersebut sehingga sampai
memutuskan untuk mengadopsinya perilaku yang sehat dan
selamat/(Behavioral Based Safety/Perilaku berbasis selamat) di Rumah Sakit.
Media dapat mempermudah penyampaian informasi; di rumah sakit
yang memiliki luas dan petuga/pekerja yang banyak, media merupakan alat
bantu dalam mempermudah penyampaian informasi. Mengurangi penyampaian
yang verbalistik dan juga dapat mengefisiensikan waktu, dan juga tidak
membutuhkan dana yang cukup besar (misalnya dengan mengadakan seminar
terus menerus terkait K3), media juga membantu dalam pemenuhan peraturan
mengenai K3 yang mewajibkan tiap tempat kerja wajib memasang poster-
poster K3 dan tanda-tanda bahaya tidak terkecuali juga Rumah Sakit.
Adanya media dalam sosialisasi program K3 di Rumah Sakit juga
bertujuan untuk memperjelas informasi dan menghindari kesalahan persepsi
dari orang yang satu dengan yang lainnya, artinya jika pesan K3 disampaikan
terus menerus melalui komunikasi verbal, lebih sulit untuk mengingat dan
menimbulkan banyak persepsi dan akhirnya tidak menimbulkan persamaan
persepsi.
Berdasarkan cara produksinya, media sosiolisasi program
dikelompokkan menjadi:
a. Media cetak, yaitu suatu media statis dan mengutamakan pesan-pesan
visual. Media cetak umumya terdiri dari gambaran sejumlah kata, gambar
atau foto dalam tata warna.
Adapun macam-macamnya adalah:Poster, Leaflet, Brosur, Majalah, Surat
kabar, Lembar balik, Stiker dan pamflet
b. Media elektronika, yaitu suatu media bergerak dan dinamis, dapat dilihat
dan didengar dalam menyampaikan pesannya melalui alat bantu
elekronika. Adapun macam-macam media tersebut adalah:
TV, Radio, Film, Video, Cassete, CD/VCD
c. Media luar ruang yatu media yang menyampaikan pesannya di luar ruang
secara umum melalui media cetak dan elektronika secara statis, misalnya:
• Papan reklame yaitu poster dalam ukuran besar yang dapat dilihat secara
umum di perjalanan.
• Spanduk yaitu suatu pesan dalam bentuk tulisan dan disertai gambar yang
dibuat di atas secarik kain dengan ukuran tergantung kebutuhan dan
dipasang di suatu tempat strategi agar dapat dilihat semua orang
• Pameran
• Banner
• TV layar lebar
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. 2001. Pedoman Teknis Upaya Kesehatan Kerja di


Rumah Sakit: Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
1087/Menkes/Sk/VIII/2010 Tentang Standar Kesehatan Dan Keselamatan
Kerja Di Rumah Sakit
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
432/Menkes/Sk/Iv/2007 Tentang Pedoman Manajemen Kesehatan Dan
Keselamatan Kerja (K3) Di Rumah Sakit
Hari Mukti. 2010. Pedoman penyelenggaraan K3 di Rumah Sakit. Diakses Pada
27 November 2016
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka
Cipta. Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNo 50 Tahun 2012TentangPenerapan
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Sholihah, Q. 2013. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit. UB Press :
Malang.
LAPORAN PENDAHULUAN K3
“HAZARD RUMAH SAKIT”

DISUSUN OLEH :
NAMA : RUBY RAHMANIA ARYANI
NPM : 19.14201.90.12.P
SEMESTER :VIII (B1)

DOSEN PEMBIMBING : Mareta Akhriansyah, S.Kep, Ners,


M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA PALEMBANG


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
HAZARD RUMAH SAKIT

A. DEFENISI
Hazard adalah suatu keadaan / kondisi yang dapat mengakibatkan
(berpotensi) menimbulkan kerugian (injury/penyakit) bagi pekerja .
Risiko dapat didefinisikan sebagai suatu kombinasi dari kemungkinan
terjadinya peristiwa yang berhubungan dengan cidera parah atau sakit akibat
kerja dan terpaparnya seseorang atau alat pada suatu bahaya ,OHSAS 1z001 :
200Rh.

B. REGULASI
Dasar Hukum dan Pedoman :
• UU No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja
• UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan
• Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
• Undang – Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
• Permenkes RI No. 986 tahun 92 tentang kesehatan lingkungan RS
• Permenkes RI No. 472 tahun 1996 tentang pengamanan bahan berbahaya
bagi kesehatan
• Permenkes RI Nomor 66 tahun 2016 Tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Rumah Sakit
• Permenkes RI Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien
• SK Menkes No.351 tahun 2003 tentang Komite K3 sektor Kesehatan
• Permenaker no.05/Men/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
• Keputusan Dir.Jen. P2PLP nomor 1204 tahun 2004 tentang persyaratan
kesehatan lingkungan rumah sakit
• Pedoman K3 di rumah sakit th 2006 ( BinKesja DepKes )
• Pedoman teknis pengelolaan limbah klinis dan desinfeksi dan sterilisasi di
rumah sakit tahun 2002.
C. JENIS
Macam – macam Hazard K3 adalah :
• Hazard somatic
• Hazard lingkungan kerja (fisik, kimia, Biologi)
• Hazard Perilaku (Behaviour)
• Hazard Ergonomi
• Hazard Pengorganisasian Pekerjaan
• Hazard Budaya Kerja

Hazard Somatik :
• Hazard yang (sudah) ada pada tubuh pekerja
• Lazim disebut “factor risiko”
- Hipertensi
- Diabetes Mellitus
- Obesitas
- Dyslipidemia
- Asthma
• Pengendalian
- Pola hidup sehat (diet seimbang , olah raga, tidak merokok, cek up
teratur dll)

Hazard Lingkungan Fisik


1. Radiasi non pengion : UV light, infra merah, microwave (gelombang
mikro)
- Efek kesehatan : gangguan mata (sementara – permanen), gangguan
pada kulit.
2. Radiasi Pengion : sinar x, sinar alpha, sinar betha dll
- Efek akut : syndrome SSP, gangguan pencernaan , gangguan
hemopoetik
- Efek kronis : karsinogenesis, kerusakan genetic
Pengendalian :
- Tempatkan sumber radiasi secara benar ( mis : ruang isolasi )
- Lidungi operator dengan APD
3. Bising : suara yang tidak dikehendaki
Efek terhadap pekerja
- Gangguan fisiologis
- Gangguan psikologis
- Gangguan patologis organis
Pengendalian :
- Substitusi
- Eliminasi
- Administrasi
4. Suhu / temperatur
- Suhu tinggi : heat stroke & heat cramps
- Pengendalian : air minum , asupan garam, istirahat, tidur, pakaian,
aklimatisasi
Frosbite, akibat suhu sangat rendah di bawah titik beku
Chilblain , akibat bekerja di tempat cukup dingin untuk waktu yang
lama
Trenchfoot, akibat terendam air dingin cukup lama
Hiperbarik
Getaran, akibat terpajan terhadap getaran dapat menimbulkan
Raynaund Syndrome.
5. Pencahayaan
- Mengakibatkan kelelahan pada mata : iritasi, mata berair, mata merah,
sakit kepala, viskositas menurun, contrast sensitivity, akomodasi
menurun
- Pengendalian , harus diperhatikan hal – hal sbb :
➢ Sumber pencahayaan : intensitas, sumber cahaya, efisiensi dan
efektivitasnya
➢ Keadaan lingkungan tempat kerja luas, jendela, langit-
langit/dinding
➢ Tenaga kerja : kemampuan penglihatannya, kondisi kesehatan

Hazard Lingkungan Kimia


• Inorganic , mis : lead, arsenic, silica
• Organic mis : Solvent, Vapours & gases
• Efek kesehatan :
- Asbes →asbestosis (preparasi tekstil terbuat dari asbes)
- Silica → silikosis ( perusahaan granit, keramik)
- Byssinosis (industry tekstil)
- Anthracosis (tambang batu bara)
- Larutan korosif (menimbulkan kerusakan kulit)
- Gas sianida, asam sulfide dan karbon monoksida
- Uap logam (menimbulkan “demam uap logam” , dermatitis)
• Mikro organisme : bakteri, virus, fungi → toksin, infeksi, alergi
• Arthropoda (serangga,dll) →sengatan → infeksi
• Tumbuhan tingkat tinggi (toksin & allergen) → dermatitis, asma, pilek
• Tumbuhan tingkat rendah (yang membentuk spora)
• Vertebrata (protein allergen) → urine, saliva, faeces, kulit/rambut →
allergi
• Intervetebrata selain Arthropoda (cacing protozoa).

Hazard Perilaku (Behavior)


• Merokok
• Pola makan
• Minum-minuman beralkohol
• Workaholic
• Efek kesehatan : PJK, DM,Stroke, Stress
Pengendalian : Pola hidup sehat
Hazard Ergonomi :
Bahaya yang timbul karena alat kerja, lingkungan kerja atau cara kerja yang
dirancang tidak sesuai dengan kemampuan tubuh manusia secara fisik maupun
kejiwaan.
Contoh :
- kursi yang dirancang tidak sesuai dengan struktur punggung manusia
akan dapat menyebabkan penyakit punggung.
- Penerangan yang dibuat berlebihan atau terlalu gelap bagi penglihatan
mata manusia dapat menyebabkan sakit mata.
- Kesalahan tehnik mengangkat beban secara manual, menyebabkan
terlukanya bantalan di antara ruas tulang belakang yang keras sehingga
timbul rasa nyeri di punggung untuk jangka panjang

Hazard Pengorganisasian Pekerjaan


a. Waktu :
- Long work hours ( sihf kerja)
- Career planning ( jalur karir,kenaikan pangkat dan jabatan)
- Central planning (otonomi,partisipasi karyawan )
b. Beban Pekerjaan :
- Jumlah dan jenis pekerjaan
- Karyawan tidak dibebani pekerjaan yang dia tidak bisa
- Fasilitas yang memadai
- Reward yang sesuai

Hazard Budaya Kerja Value ( tata nilai perusahaan)


a. Pemimpin otoriter dan demokrasi
b. Profit oriented
c. Kebersihan
d. Norma ( peraturan atau kegiatan yang dikerjakan untuk mendukung value
)
e. Suasana kerja atau iklim ( iklim yang kondusif untuk bekerja keterbukaan
( friendly)
f. Tertutup
g. Kerja dalam team work : Karyawan yang individualistis akan sulit bekerja
dalam tim, Tidak adanya dukungan atasan dan rekan kerja tim

D. MANFAAT HAZART RUMAH SAKIT


- Dengan mengetahui hazard rumah sakit lebih dini diharapkan tercipta
suatu sistem kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit dengan
melibatkan unsur manajemen, karyawan, kondisi dan lingkungan kerja
yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan
penyakit akibat kerja.

E. PROSEDUR
K3RS merupakan unit organisasi fungsional (non structural) dan bertanggung
jawab langsung ke Direktur RS. Nama organisasinya adalah Unit Pelaksana K3RS
yang dibantu oleh unit K3 yang beranggotakan seluruh unit kerja RS. Ketua
organisasi / pelaksana K3RS sebaiknya adalah salah satu manajemen tertinggi di
RS atau sekurang-kurangnya jajaran Manajemen satu tingkat di bawah Direktur.

Keselamatan dan keamanan di rumah sakit dilakukan melalui :


a. Identifikasi dan penilaian risiko : dilakukan dengan cara inspeksi di area
rumah sakit
b. Pemetaan area risiko : hasil identifikasi area risiko terhadap kemungkinan
kecelakaan dan gangguan keamanan di rumah sakit
c. Upaya pengendalian : tindakan pencegahan terhadap risiko kecelakaan dan
gangguan keamanan
A. Hirarki Pengendalian Resiko Bahaya
Menurut Department of Occupational Safety and Health Ministry Of
Human Resources Malaysia (2008) bahwa pengendalian terhadap bahaya
dilingkungan kerja adalah tindakan- tindakan yang diambil untuk
meminimalisir atau mengeliminasi risiko kecelakaan kerja dengan tahap-
tahap yang ada seperti Eliminasi, Subtitusi, Engineering control,
Administratif control dan Alat Pelindung Diri (APD). Tindakan pengendalian
risiko ini digunakan untuk bahaya dengan risiko tinggi.
Resiko-resiko bahaya itu semua bisa kita kendalikan melalui 5 hirarki
seperti berikut;
a. Eliminasi
Hirarki teratas yakni eliminasi menghilangkan bahaya dikerjakan saat
design tujuannya ialah untuk menghilangkan kemungkinan kekeliruan
manusia dalam menjalankan suatu system sebab terdapatnya kekurangan
pada design. Penghapusan bahaya adalah cara yang sangat efisien hingga
bukan hanya mengandalkan perilaku pekerja dalam hindari resiko akan
tetapi penghilangan benar- benar pada bahaya tidak selamanya praktis
serta ekonomis.
Misalnya: kemungkinan bahaya kimia karena proses reuse hollow fiber
HD bisa di eliminasisaat hollow fiber tak perlu reuse kembali atau single
use.
b. Substitusi
Cara pengendalian ini mempunyai tujuan untuk merubah bahan proses
operasi atau perlengkapan dari yang berbahaya jadi lebih tidak beresiko.
Dengan pengendalian ini turunkan bahaya serta kemungkinan minimal
lewat disain system atau design lagi. Beberapa contoh aplikasi substitusi
contohnya: Sistem mekanisasi pada mesin untuk kurangi interaksi mesin-
mesin beresiko dengan operator memakai bahan pembersih kimia yang
kurang beresiko kurangi kecepatan kapabilitas dan arus listrik ganti bahan
baku padat yang memunculkan debu jadi bahan yang cair atau basah.
c. Eksperimen with Enginering.
Pengendalian ini dikerjakan mempunyai tujuan untuk memisahkan bahaya
dengan pekerja dan untuk mencegah terjadinya kekeliruan manusia.
Pengendalian ini terpasang pada suatu unit system mesin atau
perlengkapan.
Beberapa contoh implementasi cara ini contoh ialah system tekanan
negatif pada ruangan perawatan air borne disease, pemakaian laminar
airflow, pemasangan shield sekat Pb pada pesawat fluoroscopy ,X-Rayhi
dan sebagainya.
d. Administrasi
Kontrol administrative diperuntukkan pengendalian dari bagian orang
yang akan melakukan pekerjaan. Dengan dikendalikan cara kerja
diharapkan orang akan mematuhi mempunyai potensi serta ketrampilan
cukup untuk merampungkan pekerjaan dengan aman. Jenis pengendalian
ini diantaranya seleksi karyawan terdapatnya standard operasional
Mekanisme ,SOP, pelatihan, pengawasan modifikasi prilaku agenda kerja
perputaran kerja pemeliharaan manajemen pergantian agenda istirahat dan
sebagainya.
e. Alat pelindung diri (APD)
Penentuan serta pemakaian alat pelindung diri adalah merupakan perihal
yang sekiranya efisien dalam pengendalian bahaya. APD Cuma dipakai
oleh pekerja yang akan bertemu langsung dengan kemungkinan bahaya
dengan memerhatikan jarak serta waktu kontak dengan kemungkinan
bahaya itu. Makin jauh dengan kemungkinan bahaya jadi kemungkinan
yang didapatkan makin kecil begitu pun makin singkat kontak dengan
kemungkinan bahaya kemungkinan yang didapatkan ikut makin kecil.
Pemakaian beberapa APD terkadang mempunyai dampak negatif pada
pekerja seperti kurang bebas dalam bekerja, terbatasnya komunikasi
dengan pekerja lainnya, alergi pada APD spesifik dan sebagainya. Beberpa
pekerja yang kurang faham pada efek kemungkinan bahaya dari pekerjaan
yang dikerjakan terkadang kepatuhan dalam pemakaian APD ikut jadi
rendah. APD reuse memerlukan perawatan serta penyimpanan yang baik
hingga kualitas perlindungan dari APD itu tetap maksimal.
B. Pengendalian Resiko Bahaya
Setelah kita ketahui jenis-jenis resiko bahaya di rumah sakit ternyata
seluruh resiko bahaya tersebut terdapat di rumah sakit. Beberapa contoh
system pengendalian resiko bahaya yang telah dilakukan di rumah sakit adalah
sebagai berikut :
1. Resiko bahaya fisik
a) Mekanik :resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum dan
terpeleset atau menabrak dinding pintu kaca. Pengendalian yang
sudah dilakukan antara lain: penggunaan safety box limbah tajam
kebijakan dilarang menutup kembali jarum bekas pemasangan
keramik anti licin pada koridor dan lantai yang miring, pemasangan
rambu awas licin, pemasangan kaca film dan stiker pada dinding pintu
kaca agar lebih kelihatan, kebijakan penggunaan sabuk keselamatan
pada pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian lebih dari2 meter dan
lain-lain.
b) Resiko bahaya radiasi: resiko ini terdapat di ruang radiologi radio
therapy kedokteran nuklir ruang cath lab dan beberapa kamar operasi
yang memiliki fluoroskopi w x-ray. Pengendalian yang sudah
dilakukan antara lain: pemasangan rambu peringatan bahaya radiasi
pelatihan proteksi bahaya radiasi penyediaan APD radiasi pengecekan
tingkat paparan radiasi secara berkala dan pemantauan paparan radiasi
pada petugas radiasi dengan personal dosimetri pada patugas radiasi.
c) Resiko bahaya kebisingan: terdapat pada ruang boileri generator
listrik dan ruang chiller. Pengendalian yang telah dilakukan antara
lain: substitusi peralatan dengan alat-alat baru dengan ambang
kebisingan yang lebih rendah penggunaan pelindung telinga dan
pemantauan tingkat kebisingan secara berkala oleh Instalasi Sanitasi
Lingkungan Rumah Sakit (ISLRS).
d) Resiko bahaya pencahayaan : resiko bahaya ini terutama di satuan
kerja dengan pekerjaan teliti seperti di kamar operasi dan
laboratorium. Pengendalian yang sudah dilakukan adalah pemantauan
tingkat pencahayaan secara berkala oleh ISLRS dan hasil pemantauan
dilaporkan ke Direkturi Teknik dan Unit K3 untuk tindak lanjut
ruangan yang tingkat pencahayaannya tidak memenuhi persyaratan.
e) Resiko bahaya listrik : resiko bahaya listrik terdiri dari konsleting dan
kesetrum. Pengendalian yang telah dilakukan adalah adanya
kebijakan penggunaan peralatan listrik harus memenuhi Standar
Nasional Indonesia ,SNI dan harus dipasang oleh bagian IPSRS atau
orang yang kompeten. Peralatan elektronik di RSUD Dr H Ibnu
Sutowo secara berkala dilakukan maintenance oleh bagian IPSRS dan
seluruh peralatan yang layak pakai akan diberikan label layak pakai
berupa stiker warna hijau sedangkan yang tidak layak pakai akan
diberikan stiker merah dan peralatan tersebut ditarik oleh bagian
IPSRS. Selain itu unit K3 dan IPSRS secara berkala melakukan
sosialisasi keseluruh satuan kerja tentang perilaku aman dalam
menggunakan listrik di rumahsakit.
f) Resiko bahaya akibat iklim kerja: resiko ini meliputi kondisi
temperatur dan kelembaban ruang kerja. Pemantauan temperatur dan
kelembaban dilakukan oleh ISLRS. Acuan dari standar temperatur
dan kelembaban mengacu pada keputusan menteri kesehatan RI no
1402 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah
sakit.
Masalah yang sering muncul adalah temperatur melebihi standar
seperti di Instalasi Binatu dan ruang produksi gizi karena belum
memungkinkan untuk distandarkan pengendalian yang dilakukan
dengan pemberian minum yang cukup. Masalah kelembaban yang
tinggi beresiko terjadinya kolonisasi kuman pathogen sehingga
meningkatkan angka infeksi baik bagi pasien maupun bagi pekerja.
Pengendalian secara teknis telah dilakukan akan tetapi pada musim
tertentu kadang tidak memenuhi persyaratan. Upaya yang dilakukan
untuk menghambat kolonisasi kuman terutama pada ruang perawatan
pasien ICU dan kamar operasi harus dilakukan desinfeksi ruangan
lebih sering dan pemantauan angka kuman secara berkala.
g) Resiko bahaya akibat getaran: resiko bahaya getaran tidak terlalu
signifikan. Dari telaah yang telah dilakukan unit K3 resiko bahaya
getaran ditemukan di bagian taman akibat dari mesin pemotong
rumput dan di klinik gigi akibat dari mesin bor gigi tetapi tingkat
getaran pada ke 2 lokasi tersebut masih dalam batas yang diijinkan.
2. Resiko bahaya biologi
Resiko bahaya biologi yang paling banyak adalah akibat kuman pathogen dari
pasien yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh dropet dan udara.
Pengendalian resiko ini telah dilakukan oleh Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi(PPI) akan tetapi termasuk dalam area pemantauan Unit
K3. Resiko air borne disease dikendalikan dengan rekayasa ruangan tekanan
negative beserta peraturan administratif dan APD. Resiko penularan melalui
droplet dikendalikan dengan menyediakan masker bagi petugas pengantar
pasien dan pasien yang batuk serta sosialisasi etika batuk oleh PPI. Resiko
blood borne disease dikendalikan dengan penggunaan alat-alat single
use beserta peraturan administratif dan APD. Selain itu untuk mencegah pe
nularan penyakit blood borne disease khususnya Hepatitis B dilakukan
Imunisasi Hepatitis B dengan perioritas pada karyawan dengan kadar titer anti
HBs i 0i2 uwL terutama yang bekerja pada tindakan invasive terhadap pasien.
Selain itu juga telah dilakukan penanganan paska pajanan infeksi khususnya
pada HIV dan Hepatitis B. Bila pekerja atau peserta didik mengalami
kecelakaan kerja berupa tertusuk jarum bekas pasien atau terkena percikan
darah dan cairan tubuh pada mukosa ,mata mulut atau terkena pada luka maka
wajib melaporkan kepada penanggungjawab ruangan pada saat itu dan setelah
melakukan pertolongan pertama harus segera periksa ke IGD agar dilakukan
telaah dan tindak lanjut paska pajanan sesuai prosedur untuk mengurangi
resiko tertular.

3. Resiko bahaya kimia


Resiko ini terutama terhadap bahan kimia golongan berbahaya dan beracun
,B3. Pengendalian yang telah dilakukan adalah dengan identifikasi bahan-
bahan B3 pelabelan standar penyimpanan standar penyiapan MSDS penyiapan
P3K, APD dan safety shower serta pelatihan teknis bagi petugas pengelola B3.
Rekayasa juga dilakukan dengan penggunaan Laminary Airflow pada
pengelolaan obat dan B3 lainnya.

4. Resiko bahaya ergonomi


Resiko ini banyak terjadi pada pekerjaan angkat dan angkut baik pasien
maupun barang. Sosialisasi cara mengangkat dan mengangkut yang benar
selalu dilakukan. Selain itu dalam pemilihan sarana dan prasarana rumah sakit
juga harus mempertimbangkan factor ergonomic tersebut terutama peralatan
yang dibeli dari negara lain yang secara fisik terdapat perbedaan ukuran
badan.

5. Resiko bahaya psikologi


Upaya yang dilakukan antara lain dengan mengadakan pertemuan antar satuan
kerja antar staff dan pimpinan dan pada acara-acara bersama seperti saat ulang
tahun RS dan lain-lain yang bertujuan agar terjalin komunikasi yang baik
sehingga secara psikologi menjadi lebih akrab dengan harapan resiko bahaya
psikologi dapat ditekan seminimal mungkin.

F. HAMBATAN
Tantangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit :
- Kualitas penerapan K3 masih rendah
- Kualitas riksa uji K3 rendah
- Kuantitas dan Kualitas Pengawasan rendah
- Obyek pengawasan K3 semakin kompleks

G. SOLUSI
Empat solusi yang harus dilakukan dunia K3 Indonesia di era industry 4.0
menurut Dr.Ir Isradi Zainal CAAE (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Jasa
Keselamatan dan Kesehatan Kerja / APJK3) adalah :
1. Menggelar pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
kompetensi serta redistribusi pendapatan dan asset melalui
Gerakan Nasional Indonesia Kompeten (GNIK)
2. Melakukan kolaborasi antara dunia industry, akademisi, dan
masyarakat untuk mengidentifikasi permintaan dan ketersediaan
skill bagi era digital di masa depan yang paham K3.
3. Menyusun kurikulum pendidikan yang telah memasukkan materi
terkait human- digital skills atau kemampuan digital setiap orang
khususnya terkait K3
4. Mewujudkan masyarakat untuk membiasakan atau membudayakan
hidup dengan K3.
DAFTAR PUSTAKA

• Permenkes RI Nomor 66 tahun 2016 Tentang Keselamatan dan Kesehatan


Kerja Rumah Sakit
• Permenkes RI Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien
• //nadzibillah.blogspot.co.id/
LAPORAN PENDAHULUAN K3
“KECELAKAAN KERJA DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA ”

DISUSUN OLEH :
NAMA : RUBY RAHMANIA ARYANI
NPM : 19.14201.90.12.P
SEMESTER :VIII (B1)

DOSEN PEMBIMBING :Mareta Akhriansyah, S.Kep, Ners,


M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA PALEMBANG

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KECELAKAAN KERJA DAN PENYAKIT AKIBAT
KERJA

A. Kecelakaan Akibat Kerja


1. Definisi Kecelakaan Akibat Kerja
Kecelakaan kerja menurut beberapa sumber, diantaranya:
a. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/Men/98 adalah
suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula
yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda.
b. OHSAS 18001:2007 menyatakan bahwa kecelakaan kerja
didefinisikan sebagai kejadian yang berhubungan dengan
pekerjaan yang dapat menyebabkan cidera atau kesakitan
(tergantung dari keparahannya), kejadian kematian, atau
kejadian yang dapat menyebabkan kematian.
c. Kejadian yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau
yang berpontensi menyebabkan merusak lingkungan. Selain
itu, kecelakaan kerja atau kecelakaan akibat kerja adalah suatu
kejadian yang tidak terencana dan tidak terkendali akibat dari
suatu tindakan atau reaksi suatu objek, bahan, orang, atau
radiasi yang mengakibatkan cidera atau kemungkinan akibat
lainnya (Heinrich et al., 1980).
d. Menurut AS/NZS 4801: 2001, kecelakaan adalah semua
kejadian yang tidak direncanakan yang menyebabkan atau
berpotensial menyebabkan cidera, kesakitan, kerusakan atau
kerugian lainnya
e. Kecelakaan yang terjadi ditempat kerja atau dikenal dengan
kecelakaan industri kerja. Kecelakaan industri ini dapat
diartikan suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak
dikehendaki yang mengacaukan proses yang diatur dari suatu
aktifitas (Husni, 2003).
f. Menurut Pemerintah c/q Departemen Tenaga Kerja RI, arti
kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tiba-tiba atau yang
tidak disangka-sangka dan tidak terjadi dengan sendirinya akan
tetapi ada penyebabnya.
g. Sesuatu yang tidak terencana, tidak terkendali, dan tidak
diinginkan yang mengacaukan fungsi fungsi normal dari
seseorang dan dapat mengakibatkan luka pada pada seseorang
(Hinze, 1997)
h. Kejadian yang tidak terencana, dan terkontrol yang dapat
menyebabkan atau mengakibatkan luka-luka pekerja,
kerusakan pada peralatan dan kerugian lainya (Rowislon dalam
Endroyo, 2007)

2. Klasifikasi Kecelakaan Kerja


Pengertian kejadian menurut standar (Australian AS 1885,
1990) adalah suatu proses atau keadaan yang mengakibatkan
kejadian cidera atau penyakit akibat kerja. Ada banyak tujuan
untuk mengetahui klasifikasi kejadian kecelakaan kerja, salah
satunya adalah dasar untuk mengidentifikasi proses alami suatu
kejadian seperti dimana kecelakaan terjadi, apa yang karyawan
lakukan, dan apa peralatan atau material yang digunakan oleh
karyawan. Penerapan kode-kode kecelakaan kerja akan sangat
membantu proses investigasi dalam meginterpretasikan informasi-
informasi yang tersebut diatas. Ada banyak standar yang
menjelaskan referensi tentang kode-kode kecelakaan kerja, salah
satunya adalah standar Australia AS 1885-1 tahun 1990.
Berdasarkan standar tersebut, kode yang digunakan untuk
mekanisme terjadinya cidera/sakit akibat kerja dibagi sebagai
berikut:
a. Jatuh dari atas ketinggian
b. Jatuh dari ketinggian yang sama
c. Menabrak objek dengan bagian tubuh
d. Terpajan oleh getaran mekanik
e. Tertabrak oleh objek yang bergerak
f. Terpajan oleh suara keras tiba-tiba
g. Terpajan suara yang lama
h. Terpajan tekanan yang bervariasi (lebih dari suara)
i. Pergerakan berulang dengan pengangkatan otot yang rendah
j. Otot tegang lainnya
k. Kontak dengan listrik
l. Kontak atau terpajan dengan dingin atau panas
m. Terpajan radiasi
n. Kontak tunggal dengan bahan kimia
o. Kontak jangka panjang dengan
p. Kontak lainnya dengan bahan kimia
q. Kontak dengan, atau terpajan faktor biologi
r. Terpajan faktor stress mental
s. Longsor atau runtuh
t. Kecelakaan kendaraan/Mobil
u. Lain-lain dan mekanisme cidera berganda atau banyak
v. Mekanisme cidera yang tidak spesifik

3. Dampak Kecelakaan Kerja


Berdasarkan model penyebab kerugian yang dikemukakan
oleh Det Norske Veritas (DNV, 1996), terlihat bahwa jenis
kerugian akibat terjadinya kecelakaan kerja meliputi
manusia/pekerja, properti, proses, lingkungan, dan kualitas.
4. Cidera Akibat Kecelakaan Kerja
Pengertian cidera berdasarkan Heinrich et al. (1980) adalah
patah, retak, cabikan, dan sebagainya yang diakibatkan oleh
kecelakaan. Bureau of Labor Statistics, U.S. Department of Labor
(2008) menyatakan bahwa bagian tubuh yang terkena cidera dan
sakit terbagi menjadi:
a. Kepala; mata.
b. Leher.
c. Batang tubuh; bahu, punggung.
d. Alat gerak atas; lengan tangan, pergelangan tangan, tangan
selain jari, jari tangan.
e. Alat gerak bawah; lutut, pergelangan kaki, kaki selain jari kaki,
jari kaki
f. Sistem tubuh.
g. Banyak bagian
Tujuan menganalisa cidera atau sakit yang mengenai anggota
bagian tubuh yang spesifik adalah untuk membantu dalam
mengembangkan program untuk mencegah terjadinya cidera
karena kecelakaan, sebagai contoh cidera mata dengan penggunaan
kaca mata pelindung. Selain itu juga bisa digunakan untuk
menganalisis penyebab alami terjadinya cidera karena kecelakaan
kerja.

5. Klasifikasi Jenis Cidera Akibat Kecelakaan Kerja


Jenis cidera akibat kecelakaan kerja dan tingkat keparahan
yang ditimbulkan membuat perusahaan melakukan
pengklasifikasian jenis cidera akibat kecelakaan. Tujuan
pengklasifikasian ini adalah untuk pencatatan dan pelaporan
statistik kecelakaan kerja. Banyak standar referensi penerapan
yang digunakan berbagai oleh perusahaan, salah satunya adalah
standar Australia AS 1885-1 (1990)1. Berikut adalah
pengelompokan jenis cidera dan keparahannya:
a. Cidera fatal (fatality)
Adalah kematian yang disebabkan oleh cidera atau penyakit
akibat kerja
b. Cidera yang menyebabkan hilang waktu kerja (Loss Time
Injury)
Adalah suatu kejadian yang menyebabkan kematian, cacat
permanen, atau kehilangan hari kerja selama satu hari kerja
atau lebih. Hari pada saat kecelakaan kerja tersebut terjadi
tidak dihitung sebagai kehilangan hari kerja.
c. Cidera yang menyebabkan kehilangan hari kerja (Loss Time
Day)
Adalah semua jadwal masuk kerja yang mana karyawan tidak
bisa masuk kerja karena cidera, tetapi tidak termasuk hari saat
terjadi kecelakaan. Juga termasuk hilang hari kerja karena
cidera yang kambuh dari periode sebelumnya. Kehilangan hari
kerja juga termasuk hari pada saat kerja alternatif setelah
kembali ke tempat kerja. Cidera fatal dihitung sebagai 220
kehilangan hari kerja dimulai dengan hari kerja pada saat
kejadian tersebut terjadi.
d. Tidak mampu bekerja atau cidera dengan kerja terbatas
(Restricted duty) Adalah jumlah hari kerja karyawan yang tidak
mampu untuk mengerjakan pekerjaan rutinnya dan
ditempatkan pada pekerjaan lain sementara atau yang sudah di
modifikasi. Pekerjaan alternatif termasuk perubahan lingungan
kerja pola atau jadwal kerja.
e. Cidera dirawat di rumah sakit (Medical Treatment Injury)
f. Kecelakaan kerja ini tidak termasuk cidera hilang waktu kerja,
tetapi kecelakaan kerja yang ditangani oleh dokter, perawat,
atau orang yang memiliki kualifikasi untuk memberikan
pertolongan pada kecelakaan.
g. Cidera ringan (first aid injury)
Adalah cidera ringan akibat kecelakaan kerja yang ditangani
menggunakan alat pertolongan pertama pada kecelakaan
setempat, contoh luka lecet, mata kemasukan debu, dan lain-
lain.
h. Kecelakaan yang tidak menimbulkan cidera (Non Injury
Incident)
Adalah suatu kejadian yang potensial, yang dapat
menyebabkan kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja
kecuali kebakaran, peledakan dan bahaya pembuangan limbah.

6. Definisi Rate
a. Incident rate
Adalah jumlah kejadian/kecelakaan cidera atau sakit akibat
kerja setiap seratus orang karyawan yang dipekerjakan.
b. Frekwensi rate
Adalah jumlah kejadian cidera atau sakit akibat kerja setiap
satu juta jam kerja
c. Loss Time Injury Frekwensi Rate
Jumlah cidera atau sakit akibat kecelakaan kerja dibagi satu
juta jam kerja
d. Severity Rate
Waktu (hari) yang hilang dan waktu pada (hari) pekerjaan
alternatif yang hilang dibagi satu juta jam kerja
e. Total Recordable Injury Frekwensi Rate
Jumlah total cidera akibat kerja yang harus dicatat (MTI, LTI
& Cidera yang tidak mampu bekerja) dibagi satu juta jam
kerja.

7. Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Kerja


Faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja ada beberapa
pendapat. Faktor yang merupakan penyebab terjadinya kecelakaan
pada umumnya dapat diakibatkan oleh 4 faktor penyebab utama
(Husni:2003) yaitu :
a. Faktor manusia yang dipengaruhi oleh pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap.
b. Faktor material yang memiliki sifat dapat memunculkan
kesehatan atau keselamatan pekerja.
c. Faktor sumber bahaya yaitu:
1) Perbuatan berbahaya, hal ini terjadi misalnya karena
metode kerja yang salah, keletihan/kecapekan, sikap kerja
yang tidak sesuai dan sebagainya;
2) Kondisi/keadaan bahaya, yaitu keadaan yang tidak aman
dari keberadaan mesin atau peralatan, lingkungan, proses,
sifat pekerjaan
d. Faktor yang dihadapi, misalnya kurangnya
pemeliharaan/perawatan mesin/peralatan sehingga tidak bisa
bekerja dengan sempurna
Selain itu, faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja
menurut Bennet dan Rumondang (1985) pada umumnya selalu
diartikan sebagai “kejadian yang tidak dapat diduga“. Sebenarnya,
setiap kecelakaan kerja itu dapat diramalkan atau diduga dari
semula jika perbuatan dan kondisi tidak memenuhi persyaratan.
Oleh karena itu kewajiban berbuat secara selamat dan mengatur
peralatan serta perlengkapan produksi sesuai dengan standar yang
diwajibkan. Kecelakaan kerja yang disebabkan oleh perbuatan
yang tidak selamat memiliki porsi 80 % dan kondisi yang tidak
selamat sebayak 20%. Perbuatan berbahaya biasanya disebabkan
oleh:
a. Sikap dalam pengetahuan, ketrampilan dan sikap
b. Keletihan
c. Gangguan psikologis

8. Teori penyebab kecelakaan kerja


a. Teori domino
Teori ini diperkenalkan oleh H.W. Heinrich pada tahun
1931. Menurut Heinrich, 88% kecelakaan disebabkan oleh
perbuatan/tindakan tidak aman dari manusia (unsafe act),
sedangkan sisanya disebabkan oleh hal-hal yang tidak
berkaitan dengan kesalahan manusia, yaitu 10 % disebabkan
kondisi yang tidak aman (unsafe condition) dan 2% disebabkan
takdir Tuhan. Heinrich menekankan bahwa kecelakaan lebih
banyak disebabkan oleh kekeliruan atau kesalahan yang
dilakukan oleh manusia. Menurutnya, tindakan dan kondisi
yang tidak aman akan terjadi bila manusia berbuat suatu
kekeliruan. Hal ini lebih jauh disebabkan karena faktor
karakteristik manusia itu sendiri yang dipengaruhi oleh
keturunan (ancestry) dan lingkungannya (environment).
Apabila terdapat suatu kesalahan manusia, maka akan
tercipta tindakan dan kondisi tidak aman serta kecelakaan serta
kerugian akan timbul. Heinrich menyatakan bahwa rantai batu
tersebut diputus pada batu ketiga sehingga kecelakaan dapat
dihindari. Konsep dasar pada model ini adalah:
1. Kecelakaan adalah sebagai suatu hasil dari serangkaian
kejadian yang berurutan. Kecelakaan tidak terjadi dengan
sendirinya.
2. Penyebabnya adalah faktor manusia dan faktor fisik.
3. Kecelakaan tergantung kepada lingkungan fisik dan sosial
kerja.
4. Kecelakaan terjadi karena kesalahan manusia.
b. Teori Bird & Loftus
Kunci kejadian masih tetap sama seperti yang dikatakan
oleh Heinrich, yaitu adanya tindakan dan kondisi tidak aman.
Bird dan Loftus tidak lagi melihat kesalahan terjadi pada
manusia/pekerja semata, melainkan lebih menyoroti pada
bagaimana manajemen lebih mengambil peran dalam
melakukan pengendalian agar tidak terjadi kecelakaan.

c. Teori Swiss Cheese


Kecelakaan terjadi ketika terjadi kegagalan interaksi pada
setiap komponen yang terlibat dalam suatu sistem produksi.
Kegagalan suatu proses dapat dilukiskan sebagai “lubang”
dalam setiap lapisan sistem yang berbeda. Dengan demikian
menjelaskan apa dari tahapan suatu proses produksi tersebut
yang gagal.
Sebab-sebab suatu kecelakan dapat dibagi menjadi Direct
Cause dan Latent Cause. Direct Cause sangat dekat
hubungannya dengan kejadian kecelakaan yang menimbulkan
kerugian atau cidera pada saat kecelakaan tersebut terjadi.
Kebanyakan proses investigasi lebih konsentrasi kepada
penyebab langsung terjadinya suatu kecelakaan dan bagaimana
mencegah penyebab langsung tersebut. Tetapi ada hal lain
yang lebih penting yang perlu di identifikasi yakni “Latent
Cause”. Latent cause adalah suatu kondisi yang sudah terlihat
jelas sebelumnya dimana suatu kondisi menunggu terjadinya
suatu kecelakaan.

B. Penyakit Akibat Kerja


a. Pengertian Penyakit Akibat Kerja
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja.
Dengan demikian, penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang
artifisual atau man made disease. Sejalan dengan hal tersebut
terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa Penyakit Akibat
Kerja (PAK) ialah gangguan kesehatan baik jasmani maupun
rohani yang ditimbulkan ataupun diperparah karena aktivitas kerja
atau kondisi yang berhubungan dengan pekerjaan.( Hebbie Ilma
Adzim, 2013).
b. Penyebab Penyakit Akibat Kerja
Tedapat beberapa penyebab PAK yang umum terjadi di
tempat kerja, berikut beberapa jenis yang digolongkan berdasarkan
penyebab dari penyakit yang ada di tempat kerja.
a. Golongan fisik: bising, radiasi, suhu ekstrim, tekanan udara,
vibrasi, penerangan
Efek pencahayaan pada mata, kekuatan pencahayaan
beraneka ragam, yaitu berkisar 2.000-100.000 lux di tempat
terbuka sepanjang hari dan pada malam hari dengan
pencahayaan buatan 50-500 lux.
Kelelahan pada mata ditandai oleh :
1) Iritasi pada mata / conjunctiva
2) Penglihatan ganda
3) Sakit kepala
4) Daya akomodasi dan konvergensi turun
5) Ketajaman penglihatan
Upaya perbaikan penggunaan pencahayaan di tempat
kerja. Grandjean (1980) menyarankan sistem desain
pencahayaan di tempat kerja sebagai berikut:
1. Hindari sumber pencahayaan lokal langsung dalam
penglihatan pekerja
2. Hindari penggunaan cat mengkilap terhadap mesin-mesin,
meja, kursi, dan tempat kerja
3. Hindari pemasangan lampu FL yang tegak lurus dalam
garis penglihatan
b. Golongan kimiawi: semua bahan kimia dalam bentuk debu,
uap, gas, larutan, kabut
c. Golongan biologik: bakteri, virus, jamur, dll
d. Golongan fisiologik/ergonomik: desain tempat kerja, beban
kerja.
e. Golongan psikososial: stres psikis, monotomi kerja, tuntutan
pekerjan

c. Macam-Macam Penyakit Akibat Kerja


Adapun beberapa penyakit akibat kerja, antara lain:
Pencemaran udara oleh partikel dapat disebabkan karena
peristiwa alamiah maupun ulah manusia, yaitu lewat kegiatan
industri dan teknologi. Partikel yang mencemari udara banyak
macam dan jenisnya, tergantung pada macam dan jenis kegiatan
industri dan teknologi yang ada. Partikel-partikel udara sangat
merugikan kesehatan manusia. Pada umumnya udara yang
tercemar oleh partikel dapat menimbulkan berbagai macam
penyakit saluran pernapasan atau pneumoconiosis.
Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan yang
disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang masuk atau
mengendap didalam paru-paru. Penyakit pneumoconiosis banyak
jenisnya, tergantung dari jenis partikel (debu) yang masuk atau
terhisap kedalam paru-paru. Beberapa jenis penyakit
pneumoconiosis yang banyak dijumpai di daerah yang memiliki
banyak kegiatan industri dan teknologi, yaitu silikosis, asbestosis,
bisinosisi, antrakosis, dan beriliosis.
a. Penyakit Silikosis
Penyakit silikosis disebabkan oleh pencemaran debu
silika bebas, berupa SiO2, yang terhisap masuk ke dalam paru-
paru dan kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak
terdapat di pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton,
bengkel yang mengerjakan besi (mengikir, menggerinda) dll.
Selain dari itu, debu silika juga banyak terdapat di tempat
penampang besi, timah putih dan tambang batu bara.
Pemakaian batu bara sebagai bahan bakar juga banyak
menghasilkam debu silika bebas SiO2. Pada saat dibakar, debu
silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama- sama
dengan partikel yang lainya, seperti debu alumunia, oksida besi
dan karbon dalam bentuk debu. Tempat kerja yang potensial
untuk tercemari oleh debu silika perlu mendapatkan
pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan
yamg ketat sebab penyakit silikosis belum ada obatnya yang
tepat.
b. Penyakit Asbestosis
Penyakit asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang
disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara.
Asbes adalah campuran dari berbagai macam silikat, namun
yang paling utama adalah magnesium silikat. Debu asbes
banyak dijumpai pada pabrik dan industri yang menggunakan
asbes, pabrik pemintalan serat asbes, pabrik beratap asbes dan
lain sebagainya. Debu asbes yang terhirup ke dalam paru-paru
akan mengakibatkan gejala sesak nafas dan batuk-batuk yang
disertai dahak. Ujung-ujung jari penderitanya akan tampak
besar/melebar. Apabila dilakukan pemeriksaan pada dahak
maka akan tampak debu asbes dalam dahak tersebut.
Pemakaian asbes untuk berbagai macam keperluan kiranya
perlu diikuti dengan kesadaran akan keselamatan dan
kesehatan lingkungan agar jangan mengakibatkan asbestosis
ini.
c. Penyakit Bisnosis
Penyakit bisnosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
pencemaran debu kapas atau serat kapas di udara yang
kemudian terhisap kedalam paru- paru. Pencemaran ini dapat
dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik tekstil,
perusahaan, atau pergudangan kapas. Masa inkubasi penyakit
bisnosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun. Tanda-tanda awal
penyakit bisnosis ini berupa sesak nafas, terasa berat pada
dada, terutama peda hari senin (yaitu hari awal kerja pada
setiap minggu). Pada bisnosis yang sudah lanjut atau berat,
penyakit tersebut biasanya juga diikuti dengan penyakit
bronchitis kronis dan mungkin juga disertai dengan
emphysema.
d. Penyakit Antrakosis
Penyakit antrakosis adalah penyakit saluran pernapasan
yang disebabkan oleh debu batu bara. Penyakit ini biasanya
dijumpai pada pekerja-pekerja tambang batubara atau pada
pekerja-pekerja yang banyak melibatkan penggunaan batubara,
seperti pengumpa batubara pada tanur besi, lokomotif (stoker),
dan juga pada kapal laut bertenaga batubara, serta pekerja
boiler pada pusat Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara.
Penyakit antrakosis ada tiga macam, yaitu: penyakit antrakosis
murni, penyakit silikoantrakosis, dan penyakit
tuberkolosilkoantrakosis.
e. Penyakit Beriliosis
Udara yang tercemar oleh debu logam berilium, baik
yang berupa logam murni, oksida, sulfat, maupun dalam
bentuk halogenida, dapat menyebabkan penyakit saliran
pernafasan yang disebut beriliosis. Debu logam tersebut dapat
menyebabkan nasoparingtis, bronchitis, dan pneumonitis yang
ditandai dengan gejala sedikit demam, batuk kering, dan sesak
nafas. Penyakit beriliosis dapat timbul pada pekerja-pekerja
industri yang menggunakan logam campuran berilium,
tembaga, pekerja pada pabrik fluoresen, pabrik pembuatan
tabung radio, dan juga pada pekerja pengolahan bahan
penunjang industri nuklir.
f. Penyakit Saluran Pernafasan
PAK pada saluran pernafasan dapat bersifat akut maupun
kronis. Akut misalnya asma akibat kerja. Sering didiagnosis
sebagai tracheobronchitis akut atau karena virus kronis, misal:
asbestosis. Seperti gejala Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) atau edema paru akut. Penyakit ini
disebabkan oleh bahan kimia seperti nitrogen oksida.
g. Penyakit Kulit
Pada umumnya tidak spesifik, menyusahkan, tidak
mengancam kehidupan, dan kadang sembuh sendiri. Dermatitis
kontak yang dilaporkan, 90% merupakan penyakit kulit yang
berhubungan dengan pekerjaan. Penting riwayat pekerjaan
dalam mengidentifikasi iritan yang merupakan penyebab,
membuat peka, atau karena faktor lain.
h. Kerusakan Pendengaran
Banyak kasus gangguan pendengaran menunjukan akibat
pajanan kebisingan yang lama, ada beberapa kasus bukan
karena pekerjaan. Riwayat pekerjaan secara detail sebaiknya
didapatkan dari setiap orang dengan gangguan pendengaran.
Dibuat rekomendasi tentang pencegahan terjadinya hilang
pendengaran.
i. Gejala pada Punggung dan Sendi
Tidak ada tes atau prosedur yang dapat membedakan
penyakit pada punggung yang berhubungan dengan pekerjaan
daripada yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Penentuan
kemungkinan bergantung pada riwayat pekerjaan. Artritis dan
tenosynovitis disebabkan oleh gerakan berulang yang tidak
wajar.
j. Kanker
Adanya presentase yang signifikan menunjukan kasus
Kanker yang disebabkan oleh pajanan di tempat kerja. Bukti
bahwa bahan di tempat kerja (karsinogen) sering kali didapat
dari laporan klinis individu dari pada studi epidemiologi. Pada
Kanker pajanan untuk terjadinya karsinogen mulai > 20 tahun
sebelum diagnosis.
k. Coronary Artery
Penyakit ini disebabkan oleh karena stres atau Carbon
Monoksida dan bahan kimia lain di tempat kerja.
l. Penyakit Liver
Sering didiagnosis sebagai penyakit liver oleh karena
hepatitis virus atau sirosis karena alkohol. Penting riwayat
tentang pekerjaan, serta bahan toksik yang ada
m. Masalah Neuropsikiatrik
Masalah neuropsikiatrik yang berhubungan dengan
tempat kerja sering diabaikan. Neuropatiperifer, sering
dikaitkan dengan diabet, pemakaian alkohol, atau tidak
diketahui penyebabnya. Depresi SSP oleh karena
penyalahgunaan zat-zat atau masalah psikiatri. Kelakuan yang
tidak baik mungkin merupakan gejala awal dari stres yang
berhubungan dengan pekerjaan. Lebih dari 100 bahan kimia
(a.I solven) dapat menyebabkan depresi SSP. Beberapa
neurotoksin (termasuk arsen, timah, merkuri, methyl, butyl
ketone) dapat menyebabkan neuropati perifer. Selain itu,
Carbon disulfide dapat menyebabkan gejala seperti psikosis.
n. Penyakit yang Tidak Diketahui Sebabnya
Alergi dan gangguan kecemasan mungkin berhubungan
dengan bahan kimia atau lingkungan sick building syndrome.
Multiple Chemical Sensitivities (MCS), misal: parfum, derivate
petroleum, rokok.

d. Faktor- Faktor Penyebab Penyakit Akibat Kerja


a. Faktor Fisik
1) Suara tinggi atau bising dapat menyebabkan ketulian
2) Temperature atau suhu tinggi dapat menyebabkan
Hyperpireksi, Miliaria, Heat Cramp, Heat Exhaustion, dan
Heat Stroke
3) Radiasi sinar elektromagnetik infra merah dapat
menyebabkan katarak
4) Ultraviolet dapat menyebabkan konjungtivitis
5) Radio aktif/alfa/beta/gama/X dapat menyebabkan
gangguan terhadap sel tubuh manusia
6) Tekanan udara tinggi menyebabkan Coison Disease
7) Getaran menyebabkan Reynaud’s Desiase, ganguan
metabolisme, Polineurutis
Pencegahan:
1) Pengendalian cahaya di ruang laboratorium.
2) Pengaturan ventilasi dan penyediaan air minum
yang cukup memadai.
3) Menurunkan getaran dengan bantalan anti vibrasi
4) Pengaturan jadwal kerja yang sesuai.
5) Pelindung mata untuk sinar laser
6) Filter untuk mikroskop
b. Faktor Kimia
Asal: bahan baku, bahan tambahan, hasil sementara, hasil
samping(produk), sisa produksi atau bahan buangan. Bentuk:
zat padat, cair, gas, uap maupun partikel Cara masuk tubuh
dapat melalui saluran pernafasan, saluran pencerrnaan kulit dan
mukosa. Masuknya dapat secara akut dan sevara kronis. Efek
terhadap tubuh: iritasi, alergi, korosif, asphyxia, keracunan
sistematik, kanker, kerusakan kelainan janin.
Terjadi pada petugas/ pekerja yang sering kali kontak
dengan bahan kimia dan obat-obatan seperti antibiotika.
Demikian pula dengan solvent yang banyak digunakan dalam
komponen antiseptik, desinfektan dikenal sebagai zat yang
paling karsinogen. Semua bahan cepat atau lambat ini dapat
memberi dampak negatif terhadap kesehatan. Gangguan
kesehatan yang paling sering adalah dermatosis kontak akibat
kerja yang pada umumnya disebabkan oleh iritasi (amoniak,
dioksan) dan hanya sedikit saja oleh karena alergi (keton).
Bahan toksik (trichloroethane, tetrachloromethane) jika
tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit dapat
menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan kematian.
Bahan korosif (asam dan basa) akan mengakibatkan kerusakan
jaringan yang irreversible pada daerah yang terpapar.
Pencegahan :
1) Material safety data sheet (MSDS) dari seluruh bahan
kimia yang ada untuk diketahui oleh seluruh petugas
laboratorium.
2) Menggunakan karet isap (rubber bulb) atau alat vakum
untuk mencegah tertelannya bahan kimia dan terhirupnya
aerosol.
3) Menggunakan alat pelindung diri (pelindung mata, sarung
tangan, celemek, jas laboratorium) dengan benar.
4) Hindari penggunaan lensa kontak, karena dapat melekat
antara mata dan lensa.
5) Menggunakan alat pelindung pernafasan dengan benar.
c. Faktor Biologi
1) Viral Desiases: rabies, hepatitis
2) Fungal Desiases: Anthrax, Leptospirosis, Brucellosis, TBC,
Tetanus
3) Parasitic Desiases: Ancylostomiasis, Schistosomiasis
Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan favorable
bagi berkembang biaknya strain kuman yang resisten, terutama
kuman-kuman pyogenic, colli, bacilli dan staphylococci, yang
bersumber dari pasien, benda-benda yang terkontaminasi, dan
udara. Virus yang menyebar melalui kontak dengan darah dan
sekreta (misalnya HIV dan Hepatitis B) dapat menginfeksi
pekerja sebagai akibat kecelakaan kecil dipekerjaan, misalnya
karena tergores atau tertusuk jarum yang terkontaminasi virus.
Angka kejadian infeksi nosokomial di unit Pelayanan
Kesehatan cukup tinggi. Secara teoritis kemungkinan
kontaminasi pekerja LAK sangat besar, sebagai contoh dokter
di Rumah Sakit mempunyai risiko terkena infeksi 2 sampai 3
kali lebih besar dari pada dokter yang praktek pribadi atau
swasta, dan bagi petugas Kebersihan menangani limbah yang
infeksius senantiasa kontak dengan bahan yang tercemar
kuman patogen maupun debu beracun mempunyai peluang
terkena infeksi.
Pencegahan :
1) Seluruh pekerja harus mendapat pelatihan dasar tentang
kebersihan, epidemilogi, dan desinfeksi.
2) Sebelum bekerja dilakukan pemeriksaan kesehatan pekerja
untuk memastikan dalam keadaan sehat badan, punya
cukup kekebalan alami untuk bekrja dengan bahan
infeksius, dan dilakukan imunisasi.
3) Melakukan pekerjaan laboratorium dengan praktek yang
benar (Good Laboratory Practice).
4) Menggunakan desinfektan yang sesuai dan cara
penggunaan yang benar.
5) Sterilisasi dan desinfeksi terhadap tempat, peralatan, sisa
bahan infeksius, dan spesimen secara benar.
6) Pengelolaan limbah infeksius dengan benar.
7) Menggunakan kabinet keamanan biologis yang sesuai.
8) Kebersihan diri dari petugas.
d. Faktor Ergonomi/Fisiologi
Faktor ini sebagai akibat dari cara kerja, posisi kerja, alat
kerja, lingkungan kerja yang salah, dan kontruksi yang salah.
Efek terhadap tubuh: kelelahan fisik, nyeri otot, deformirtas
tulang, perubahan bentuk, dislokasi, dan kecelakaan.
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi, dan seni berupaya
menyerasikan alat, cara, proses, dan lingkungan kerja terhadap
kemampuan, kebolehan, dan batasan manusia untuk
terwujudnya kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman,
nyaman, dan tercapai efisiensi yang setinggi-tingginya.
Pendekatan ergonomi bersifat konseptual dan kuratif, secara
populer kedua pendekatan tersebut dikenal sebagai To fit the
Job to the Man and to fit the Man to the Job
Sebagian besar pekerja di perkantoran atau Pelayanan
Kesehatan pemerintah, bekerja dalam posisi yang kurang
ergonomis, misalnya tenaga operator peralatan, hal ini
disebabkan peralatan yang digunakan pada umumnya barang
impor yang disainnya tidak sesuai dengan ukuran pekerja
Indonesia. Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat
menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang
efisien dan dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan
fisik dan psikologis (stress) dengan keluhan yang paling sering
adalah nyeri pinggang kerja (low back pain)
e. Faktor Psikologi
Faktor ini sebagai akibat organisasi kerja (tipe
kepemimpinan, hubungan kerja komunikasi, keamanan), tipe
kerja (monoton, berulang- ulang, kerja berlebihan, kerja
kurang, kerja shift, dan terpencil). Manifestasinya berupa
stress. Beberapa contoh faktor psikososial yang dapat
menyebabkan stress antara lain:
1) Pelayanan kesehatan sering kali bersifat emergency dan
menyangkut hidup mati seseorang. Untuk itu pekerja di
laboratorium kesehatan di tuntut untuk memberikan
pelayanan yang tepat dan cepat disertai dengan
kewibawaan dan keramahan-tamahan
2) Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat monoton.
3) Hubungan kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan
bawahan atau sesama teman kerja.
4) Beban mental karena menjadi panutan bagi mitra kerja di
sektor formal ataupun informal

e. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja


Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada
individu perlu dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk
mendapatkan informasi yang diperlukan dan menginterpretasinya
secara tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah
yang dapat digunakan sebagai pedoman:
a. Menentukan diagnosis klinis
Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu
dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas penunjang yang ada,
seperti umumnya dilakukan untuk mendiagnosis suatu
penyakit. Setelah diagnosis klinik ditegakkan baru dapat
dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut berhubungan
dengan pekerjaan atau tidak.
b. Menentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini
Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh
seorang tenaga kerja adalah esensial untuk dapat
menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk
ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya
secara cermat dan teliti, yang mencakup:
1) Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan
oleh penderita secara kronologis
2) Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan
3) Bahan yang diproduksi
4) Materi (bahan baku) yang digunakan
5) Jumlah pajanannya
6) Pemakaian alat perlindungan diri (masker)
7) Pola waktu terjadinya gejala
8) Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang
mengalami gejala serupa)
9) Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang
digunakan (MSDS, label, dan sebagainya)
c. Menentukan apakah pajanan memang dapat menyebabkan
penyakit tersebut
Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan
yang mendukung pendapat bahwa pajanan yang dialami
menyebabkan penyakit yang diderita. Jika dalam kepustakaan
tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal
tersebut di atas, maka tidak dapat ditegakkan diagnosa penyakit
akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang mendukung.
d. Menentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar
untuk dapat mengakibatkan penyakit tersebut.
Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada
keadaan pajanan tertentu, maka pajanan yang dialami pasien di
tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut dan
membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat
menentukan diagnosis penyakit akibat kerja.
e. Menentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat
mempengaruhi
Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun
riwayat pekerjaan yang dapat mengubah keadaan pajanannya,
misalnya penggunaan APD? Riwayat adanya pajanan serupa
sebelumnya sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien
mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang
mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap
pajanan yang dialami.
f. Mencari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan
penyebab penyakit
Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab
penyakit? Apakah penderita mengalami pajanan lain yang
diketahui dapat merupakan penyebab penyakit? Meskipun
demikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat digunakan
untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.
g. Membuat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh
pekerjaannya
Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu
dibuat suatu keputusan berdasarkan informasi yang telah
didapat yang memiliki dasar ilmiah. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan penyebab
langsung suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya
memperberat suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. Suatu
pekerjaan/pajanan dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit
apabila tanpa melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan
tertentu, pasien tidak akan menderita penyakit tersebut pada
saat ini. Sedangkan pekerjaan dinyatakan memperberat suatu
keadaan apabila penyakit telah ada pada waktu yang sama
tanpa tergantung pekerjaannya, tetapi pekerjaannya/pajanannya
memperberat/mempercepat timbulnya penyakit. Dari uraian di
atas dapat dimengerti bahwa untuk menegakkan diagnosis
Penyakit Akibat Kerja diperlukan pengetahuan yang spesifik,
tersedianya berbagai informasi yang didapat baik dari
pemeriksaan klinis pasien, pemeriksaan lingkungan di tempat
kerja (bila memungkinkan), dan data epidemiologis.

f. Pencegahan Penyakit Akibat Kerja


Berikut ini beberapa tips dalam mencegah penyakit kerja,
diantaranya:
a. Memakai alat pelindung diri secara benar dan teratur
b. Mengenali resiko pekerjaan dan cegah supayah tidak terjadi
lebih lanjut
c. Segara akses tempat kesehatan terdekat apabila
terjadi luka yang berkelanjutan
Selain itu terdapat pula beberapa pencegahan lain yang
dapat ditempuh seperti berikut ini:
a. Pencegahan Pimer – Healt Promotio
1) Perilaku kesehatan
2) Faktor bahaya di tempat kerja
3) Perilaku kerja yang baik
4) Olahraga
5) Gizi
b. Pencegahan Skunder – Specifict Protectio
1) Pengendalian melalui perundang-undangan
2) Pengendalian administratif/organisasi: rotasi/pembatas jam
kerja
3) Pengendalian teknis: subtitusi, isolasi, alat pelindung diri
(APD)
4) Pengendalian jalur kesehatan imunisasi
c. Pencegahan Tersier
1) Pemeriksaan kesehatan pra-kerja
2) Pemeriksaan kesehatan berkala
3) Pemeriksaan lingkungan secara berkala
4) Surveilans
5) Pengobatan segera bila ditemukan gangguan pada pekerja
6) Pengendalian segera ditempat kerja
Dalam pengendalian penyakit akibat kerja, salah satu upaya
yang wajib dilakukan adalah deteksi dini, sehingga pengobatan
bisa dilakukan secepat mungkin. Dengan demikian, penyakit bisa
pulih tanpa menimbulkan kecacatan. Sekurang-kurangnya, tidak
menimbulkan kecacatan lebih lanjut. Pada banyak kasus, penyakit
akibat kerja bersifat berat dan mengakibatkan cacat.
Ada dua faktor yang membuat penyakit mudah dicegah.
a. Bahan penyebab penyakit mudah diidentifikasi, diukur, dan
dikontrol.
b. Populasi yang berisiko biasanya mudah didatangi dan dapat
diawasi secara teratur serta dilakukan pengobatan.
Disamping itu perubahan awal seringkali bisa pulih dengan
penanganan yang tepat. Karena itulah deteksi dini penyakit akibat
kerja sangat penting. Sekurang-kurangnya ada tiga hal menurut
WHO yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam deteksi dini
yaitu:
a. Perubahan biokimiawi dan morfologis yang dapat di ukur
melalui analisis laboraturium. Misalnya hambatan aktifitas
kolinesterase pada paparan terhadap pestisida organofosfat,
penurunan kadar hemoglobin (HB), sitologi sputum yang
abnormal, dan sebagainya.
b. Perubahan kondisi fisik dan sistem tubuh yang dapat dinilai
melalui pemeriksaan fisik laboraturium. Misalnya
elektrokardiogram, uji kapasitas kerja fisik, uji saraf, dan
sebagainya.
c. Perubahan kesehatan umum yang dapat dinilai dari riwayat
medis. Misalnya rasa kantuk dan iritasi mukosa setelah paparan
terhadap pelarut- pelarut organik.
Selain itu terdapat pula beberapa pencegahan lain yang
dapat ditempuh yaitu pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan
kesehatan ini meliputi:
a. Pemeriksaan sebelum penempatan
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum seorang dipekerjakan
atau ditempatkan pada pos pekerjaan tertentu dengan ancaman
terhadap kesehatan yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik
yang ditunjang dengan pemeriksaan lain seperti darah, urine,
radiologis, serta organ tertentu, seperti mata dan telinga,
merupakan data dasar yang sangat berguna apabila terjadi
gangguan kesehatan tenaga kerja setelah sekian lama bekerja.
b. Pemeriksaan kesehatan berkala
Pemeriksaan kesehatan berkala sebenarnya dilaksanakan
dengan selang waktu teratur setelah pemeriksaan awal sebelum
penempatan. Pada medical check-up rutin tidak selalu
diperlukan pemeriksaan medis lengkap, terutama bila tidak ada
indikasi yang jelas. Pemeriksaan ini juga harus difokuskan
pada organ dan sistem tubuh yang memungkinkan terpengaruh
bahan-bahan berbahaya di tempat kerja, sebagai contoh,
audiometri adalah uji yang sangat penting bagi tenaga kerja
yang bekerja pada lingkungan kerja yang bising. Sedang
pemerikaan radiologis dada (foto thorax) penting untuk
mendeteksi tenaga kerja yang berisiko menderita
pneumokonosis, karena lingkungan kerja tercemar debu.
DAFTAR PUSTAKA

AS/NZS 4801. (2001). Occupational Health And Safety Management Systems.


Australian Standard. (1990). Australian Standard AS 1885.1-1990:
Workplace Injury and Disease Recording Standard.

Barry S. Levy, David H. Wegman. Occupational Health : Recognizing and


Preventing Work Related Disease. Edisi ke-3,2006

De Vuyst P, Gevenois PA. (2002). Occupational Disesase. Eds WB Saunders,


London

Direktorat Bina Kesehatan Kerja. (2008). Pedoman Tata Laksana Penyakit Akibat
Kerja bagi Petugas Kesehatan. Departemen Kesehatan

Endroyo, B. dan Tugino (2007). Analisa Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan


Kerja Konstruksi. Jurnal Teknik Sipil dan Perencanaan.Nomor 2 vol 21-31
Heinrich, HW., Petersen, DC., Roos, NR., Hazlett, S., 1980.
Industrial Accident Prevention: A Safety Management Approach. NY:
McGraw-Hill

Hinze, Jimmie. (1997). Construction Safety. NJ: Prentice-Hall.

Adzim, HI. (2013). Penyakit Akibat Kerja.

Husni, Lalu. (2003). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Raja


Grafindo Perkasa

OHSAS 18001. (2007). Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja.


Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 03/MEN/98
tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan
Silalahi, B. dan Silalahi, R. (1995). Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja. Pustaka Binaman Pressindo

Week, J. Gregory R. Wagner, Kathleen M. Rest, Barry S. Levy. (2005). A public


Health Approach to Preventing Occupational Disesase and Injuries in
Preventing Occupational Disease and Injuries. Edisi ke-2, APHA,
Washington
LAPORAN PENDAHULUAN K3
“ALAT PELINDUNG DIRI”

DISUSUN OLEH :
NAMA : RUBY RAHMANIA ARYANI
NPM : 19.14201.90.12.P
SEMESTER :VIII (B1)

DOSEN PEMBIMBING :Mareta Akhriansyah, S.Kep, Ners,


M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA PALEMBANG


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
ALAT PELINDUNG DIRI

A. Definisi Alat Pelindung Diri


Alat Pelindung Diri adalah alat-alat yang mampu memberikan
perlindungan terhadap bahaya-bahaya kecelakaan (Suma’mur, 1991). Atau
bisa juga disebut alat kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja
sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu
sendiri dan orang di sekelilingnya.
APD dipakai sebagai upaya terakhir dalam usaha melindungi
tenaga kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan administratif tidak
dapat dilakukan dengan baik. Namun pemakaian APD bukanlah pengganti
dari usaha tersebut, namun sebagai usaha akhir.
Alat Pelindung Diri harus mampu melindungi pemakainya dari
bahaya-bahaya kecelakaan yang mungkin ditimbulkan, oleh karena itu,
APD dipilih secara hati-hati agar dapat memenuhi beberapa ketentuan
yang diperlukan.
Menurut ketentuan Balai Hiperkes, syarat-syarat Alat Pelindung Diri
adalah :
1. APD harus dapat memberikan perlindungan yang kuat terhadap
bahaya yang spesifik atau bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja.
2. Berat alat hendaknya seringan mungkin dan alat tersebut tidak
menyebabkan rasa ketidaknyamanan yang berlebihan.
3. Alat harus dapat dipakai secara fleksibel.
4. Bentuknya harus cukup menarik.
5. Alat pelindung tahan untuk pemakaian yang lama.
6. Alat tidak menimbulkan bahaya-bahaya tambahan bagi
pemakainya yang dikarenakan bentuk dan bahayanya yang tidak
tepat atau karena salah dalam menggunakannya.
7. Alat pelindung harus memenuhi standar yang telah ada.
8. Alat tersebut tidak membatasi gerakan dan persepsi sensoris
pemakainya.
9. Suku cadangnya harus mudah didapat guna mempermudah
pemeliharaannya
10. APD harus dapat memberikan perlindungan yang kuat terhadap
bahaya yang spesifik atau bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja.
11. Alat harus dapat dipakai secara fleksibel.
12. Alat pelindung tahan untuk pemakaian yang lama.
13. Alat tidak menimbulkan bahaya-bahaya tambahan bagi
pemakainya yang dikarenakan bentuk dan bahayanya yang tidak
tepat atau karena salah dalam menggunakannya.
14. Alat pelindung harus memenuhi standar yang telah ada.
15. Alat tersebut tidak membatasi gerakan dan persepsi sensoris
pemakainya
.
B. Tujuan dan Manfaat Alat Pelindung Diri (APD)
Adapun tujuan dari penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), antara
lain:
1. Melindungi tenaga kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan
administrative tidak dapat dilakukan dengan baik.
2. Meningkatkan efektifitas dan produktivitas kerja.
3. Menciptakan lingkungan kerja yang aman.
Sedangkan manfaat dari penggunaan Alat Pelindung Diri (APD),
antara lain :
1. Untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya terhadap
kemungkinan adanya potensi bahaya/kecelakaan kerja.
2. Mengurangi resiko penyakit akibat kecelakaan.

C. Jenis-jenis Alat Perlindungan Diri (APD)


Alat Pelindung Diri di bagi menjadi 3 kelompok yaitu:
1. APD bagian kepala meliputi :
a. Alat Pelindung Kepala : Alat ini adalah kombiansi dari alat
pelindung mata,pernapasan dan mata contohnya Topi
Pelindung/Pengaman (Safety Helmet), Tutup Kepala, Hats/cap,
Topi pengaman.
b. Alat Pelindung Kepala Bagian Atas : Topi
Pelindung/Pengaman (Safety Helmet),
c. Alat Pelindung Muka : Safety Glasses, Face Shields, Goggles.
d. Alat Pelindung Pengliahatan : Kaca Mata
e. Alat Pelindung Telinga : Tutup Telinga (Ear muff ), Sumbat
Telinga (Ear plugs).
f. Alat Pelindung Pernafasan : Masker, Respirator.
2. APD bagian badan meliputi :
a. Alat Pelindung Seluruh Badan : jas laboratorium
b. Alat Pelindung Badan Bagian Muka : Apron
c. Alat Pelindung Bagian Dada : Rompi Pelindung
3. APD bagian anggota badan meliputi :
a. Alat Pelindung Tangan : Sarung Tangan (Safety Gloves).
b. Alat Pelindung Kaki : sepatu bot.

D. Kegunaan Alat Pelindung Diri


1. Alat Pelindung Kepala
a. Alat Pelindung Kepala Topi Pelindung/Pengaman (Safety
Helmet) : Melindungi kepala dari benda keras, pukulan dan
benturan, terjatuh dan terkena arus listrik.
b. Tutup Kepala : Melindungi kepala dari kebakaran, korosif, uap-
uap, panas/dingin.
c. Hats/cap : Melindungi kepala dari kotoran debu atau tangkapan
mesin-mesin berputar.
d. Topi pengaman : untuk penggunaan yang bersifat umum dan
pengaman dari tegangan listrik yang terbatas. Tahan terhadap
tegangan listrik. Biasanya digunakan oleh pemadam kebakaran.
2. Alat Pelindung Muka Dan Mata
Melindungi muka dan mata dari:
a. Lemparan benda-benda kecil.
b. Lemparan benda-benda panas
c. Pengaruh cahaya
3. Alat Pelindung Telinga
a. Sumbat Telinga (Ear plugs ) yang baik adalah menahan
frekuensi Daya atenuasi (daya lindung) : 25-30 dB, sedangkan
frekuensi untuk bicara biasanya (komunikasi) tak terganggu.
b. Tutup Telinga (Ear muff ) frekuensi 2800–4000 Hz sampai 42
dB (35–45 dB) Untuk frekuensi biasa 25-30 dB. Untuk keadaan
khusus dapat dikombinasikan antara tutup telinga dan sumbat
telinga sehingga dapat atenuasi yang lebih tinggi; tapi tak lebih
dari 50 dB,karena hantaran suara melalui tulang masih ada.
4. Alat Pelindung Pernafasan
a. Memberikan perlindungan terhadap sumber-sumber bahaya
seperti:
b. Kekurangan oksigen
c. Pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap dan uap logam)
d. Pencemaran oleh gas atau uap
5. Alat Pelindung Tangan
Sarung Tangan (Gloves) Jenis pekerjaan yang membutuhkan
sarung tangan :
a. Pengelasan/ pemotongan (bahan kulit)
b. Bekerja dengan bahan kimia (bahan karet)
c. Beberapa pekerjaan mekanikal di workshop dimana ada potensi
cedera bila tidak menggunakan sarung tangan (seperti benda
yang masih panas, benda yang sisinya tajam dlsb.).
d. Beberapa pekerjaan perawatan.

6. Alat Pelindung Kaki


a. Untuk mencegah tusukan
b. Untuk mencegah tergelincir
c. Tahan terhadap bahaya listrik
7. Alat Pelindung Badan
Pakaian Pelindung: digunakan untuk melindungi tubuh dari
benda berbahaya, misal api, asap, bakteri, zat-zat kimia, dsb.
8. Safety Belt
Berguna untuk melindungi tubuh dari kemungkinan
terjatuh, biasanya digunakan pada pekerjaan konstruksi dan
memanjat serta tempat tertutup atau boiler.
9. Alat pelindung diri untuk tugas khusus
a. Apron untuk bekerja dengan bahan kimia ataupun pekerjaan
pengelasan.
b. Full body harness untuk bekerja di ketinggian melebihi 1,24
meter.
c. Tutup telinga (ear plugs) untuk bekerja di tempat dengan
kebisingan melebihi 85 dB.
d. Sepatu boot karet (rubber boot) untuk semua pekerjaan di
kebun yang dimulai dari survey lahan, pembibitan, penanaman
hingga panen.

E. Kekurangan dan Kelebihan Alat Pelindung Diri


1. Kekurangan
a. Kemampuan perlindungan yang tak sempurna karena memakai
Alat pelindung diri yang kurang tepat
b. Fungsi dari Alat Pelindung Diri ini hanya untuk menguragi
akibat dari kondisi yang berpotensi menimbulkan bahaya.
c. Tidak menjamin pemakainya bebas kecelakaan
d. Cara pemakaian Alat Pelindung Diri yang salah,
e. Alat Pelindung Diri tak memenuhi persyaratan standar)
f. Alat Pelindung Diri yang sangat sensitive terhadap perubahan
tertentu.
g. Alat Pelindung Diri yang mempunyai masa kerja tertentu
seperti kanister, filter dan penyerap (cartridge).
h. Alat Pelindung Diri dapat menularkan penyakit,bila dipakai
berganti-ganti.
2. Kelebihan
a. Mengurangi resiko akibat kecelakan
b. Melindungi seluruh/sebagian tubuhnya pada kecelakaan
c. Sebagai usaha terakhir apabila sistem pengendalian teknik dan
administrasi tidak berfungsi dengan baik.
d. Memberikan perlindungan bagi tenaga kerja di tempat kerja.

F. Cara Memilih dan Merawat Alat Pelindung Diri


1. Cara memilih
a. Sesuai dengan jenis pekerjaan dan dalam jumlah yang
memadai.
b. Alat Pelindung Diri yang sesuai standar serta sesuai dengan
jenis pekerjaannya harus selalu digunakan selama mengerjakan
tugas tersebut atau selama berada di areal pekerjaan tersebut
dilaksanakan.
c. Alat Pelindung Diri tidak dibutuhkan apabila sedang berada
dalam kantor, ruang istirahat, atau tempat-tempat yang tidak
berhubungan dengan pekerjaannya.
d. Melalui pengamatan operasi, proses, dan jenis material yang
dipakai.
2. Cara merawat
a. Meletakkan Alat pelindung diri pada tempatnya setelah selesai
digunakan.
b. Melakukan pembersihan secara berkala.
c. Memeriksa Alat pelindung diri sebelum dipakai untuk
mengetahui adanya kerusakan atau tidak layak pakai.
d. Memastikan Alat pelindung diri yang digunakan aman untuk
keselamatan jika tidak sesuai maka perlu diganti dengan yang
baru.
e. Dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin yang
menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta kondisinya.
f. Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan alat helm kerja
yang kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat tersebut
ditarik serta tidak dibenarkan untuk dipergunakan
Secara spesifik sebagai berikut
a. Helm Safety/ Helm Kerja (Hard hat)
1) Helm kerja dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin
yang menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta
kondisinya oleh manajemen lini.
2) Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan alat helm
kerja yang kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat
tersebut ditarik serta tidak dibenarkan untuk dipergunakan
(retak-retak, bolong atau tanpa system suspensinya).
3) Setiap manajemen lini harus memiliki catatan jumlah
karyawan yang memiliki helm kerja dan telah mengikuti
training.
b. Kacamata Safety (Safety Glasses)
1) Kacamata safety dijaga keadaannya dengan pemeriksaan
rutin yang menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta
kondisinya oleh manajemen lini.
2) Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan kacamata
safety yang kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat
tersebut ditarik serta tidak dibenarkan untuk dipergunakan.
3) Penyimpanan masker harus terjamin sehingga terhindar dari
debu, kondisi yang ekstrim (terlalu panas atau terlalu
dingin), kelembaban atau kemungkinan tercemar bahan-
bahan kimia berbahaya.
4) Setiap manajemen lini harus memiliki catatan jumlah
karyawan yang memiliki kacamata safety dan telah
mengikuti training.
c. Sepatu Safety (Safety Shoes)
1) Sepatu safety dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin
yang menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta
kondisinya oleh manajemen lini.
2) Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan sepatu
safety yang kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat
tersebut ditarik serta tidak dibenarkan untuk dipergunakan.
3) Setiap manajemen lini harus memiliki catatan jumlah
karyawan yang memiliki sepatu safety dan telah mengikuti
training.
d. Masker/ Perlindungan Pernafasan (Mask/ Respiratory
Protection)
1) Pelindung pernafasan dijaga keadaannya dengan
pemeriksaan rutin yang menyangkut cara penyimpanan,
kebersihan serta kondisinya.
2) Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan alat
pelindung pernafasan yang kualitasnya tidak sesuai
persyaratan maka alat tersebut ditarik serta tidak
dibenarkan untuk dipergunakan.
3) Kondisi dan kebersihan alat pelindung pernafasan menjadi
tanggung jawab karyawan yang bersangkutan,
4) Kontrol terhadap kebersihan alat tersebut akan selalu
dilakukan oleh managemen lini.
e. Sarung tangan
1) Sarung tangan dijaga keadaannya dengan pemeriksaan rutin
yang menyangkut cara penyimpanan, kebersihan serta
kondisinya oleh manajemen lini.
2) Apabila dalam pemeriksaan tersebut ditemukan sarung
tangan yang kualitasnya tidak sesuai persyaratan maka alat
tersebut ditarik serta tidak dibenarkan untuk dipergunakan.
3) Penyimpanan sarung tangan harus terjamin sehingga
terhindar dari debu, kondisi yang ekstrim (terlalu panas
atau terlalu dingin), kelembaban atau kemungkinan
tercemar bahan-bahan kimia berbahaya.

G. Prosedur Kerja Pemasangan Dan Pelepasan Alat Pelindung Diri


1. Masker
a. Langkah-langkah pemasangan
1) Eratkan tali atau karet elastis pada bagian tengah kepala
dan leher
2) Paskan klip dari logam fleksibel pada batang hidung
3) Paskan dengan erat pada wajah dan dibawah dagu sehingga
melekat dengan baik
4) Periksa ulang pengepasan masker
b. Langkah –langkah melepaskan masker
1) Jangan di sentuh bagian depan masker karena telah
terkontaminasi
2) Lepaskan tali bagian bawah dan kemudian tali atau karet
bagian atas
3) Buang ke tempat limbah infeksius
2. Kaca Mata Pelindung
a. Pasang pada wajah dan mata dan sesuaikan agar pas
b. Langkah-langkah melepaskan
1) Bagian luar kaca mata atau pelindung wajah telah
terkontaminasi
2) Saat melepaskannya pegang karet atau gagang kacamata
3) Letakkan di wadah yang telah disediakan untuk di proses
ulang atau dalam tempat limbah infeksius
3. Pemakaian gaun atau apron
a. Langkah-langkah pemasangan
1) tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut ,lengan
hingga bagian pergelangan tangan dan selubungkan ke
belakang punggung
2) ikat di pakai di bagian belakang leher dan pinggang
b. Langkah-langkah pelepasan
1) Bagian depan gaun dan lengan gaun pelindung telah
terkontaminasi
2) Lepas tali
3) Tarik dari leher dan bahu dengan memegang bagian dalam
gaun pelindung saja
4) Balik gaun pelindung
5) Lipat atau gulung menjadi gulungan dan letakkan di wadah
yang telah disediakan untuk diproses ulang atau buang di
tempat limbah infensius
4. Pemakaian sarung tangan
a. Langkah langkah pemasangan
1) Buka pembungkus sarung tangan dengan hati hati pilih
yang sesuai ukuran
2) Jika harus mempertahankan prinsip-prinsip steril hindarkan
sarung tangan terkontaminasi obyek tidak steril
3) Jari telunjuk dan ibu jari non dominan membuka lipatan
sarung tangan bagian atas dan masukkan tangan non
dominan dengan posisi terlentang , masukkan jari secara
pelan-pelan
4) Untuk memakai sarung tangan sebelah kiri menggunakan
4jari tangan dominan masukkan dalam lipatan sarung
tangan (bagian luar ) segera masukkan tangan non dominan
secara perlahan lahan
b. Langkah-langkah melepaskan sarung tangan
1) Ingatlah bahwa bagian luar sarung tangan terkontaminasi
2) Pegang bagian luar sarung tangan dengan sarung tangan
lainnya,lepaskan
3) Pegang sarung tangan yang telah dilepas dengan
menggunakan tangan yang masih memakai sarung tangan
4) Selipkan jari tangan yang sudah tidak memakai sarung
tangan dibawah sarung tangan yang belum di lepas di
pergelangan tangan
5) Lepaskan sarung tangan di atas sarung tangan pertama
6) Buang sarung tangan di tempat limbah infensius
7) Cuci tangan sesuai prosedur.
5. Pemakaian penutup kepala
a. Langkah-langkah pemasangan dan pelepasan
1) Pakailah pelindung kepala sesuai ukuran sehingga menutup
semua rambut
2) Lepaskan pelindung kepala dan langsung di buang ke
tempat sampah
6. Pemakaian pelindung kaki
a. Langkah-langkah
1) Gunakan sepatu karet atau plastik yang menutupi seluruh
ujung dan telapak kaki, bisa digunakan sepatu boot dari
bahan kulit
2) Sepatu harus selalu bersih
3) Harus selalu digunakan di dalam kamar operasi dan tidak
boleh dipakai keluar, tidak dianjurkan memakai sandal,
sepatu, sepatu terbuka dan telanjang kaki.
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Alat_pelindung_diri
http://lindariski.blogspot.com/2010/04/makalah-apd.html
http://makalahpendidikanteknikmesin.blogspot.com/2012/03/aalat-pelindung-diri-
untuk-memenuhi.html
https://tonimpa.wordpress.com/2013/04/25/makalah-alat-pelindung-diri-apd/
http://cholate-gustiar.blogspot.co.id/2012/12/penggunaan-alat-pelindung-diri-
dalam.html
LAPORAN PENDAHULUAN K3
“SAMPAH DAN LIMBAH RUMAH SAKIT”

DISUSUN OLEH :
NAMA : RUBY RAHMANIA ARYANI
NPM : 19.14201.90.12.P
SEMESTER :VIII (B1)

DOSEN PEMBIMBING : Mareta Akhriansyah, S.Kep, Ners,


M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA PALEMBANG


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
SAMPAH DAN LIMBAH RUMAH SAKIT

1. Definisi Limbah Rumah Sakit


Menurut bishop (2001), limbah adalah sesuatu yang dibuang dari sumbernya.
Menurut PP 18 jo 85 tahun 1999, limbah diartikan sebagai sisa suatu usaha dan
atau kegiatan manusia. Jadi dari beberapa definisi tersebut pengertian limbah
adalah sesuatu yang dibuang dari sumbernya karena tidak digunakan, tidak
diinginkan dan tidak berasal dari kegiatan manusia.

Limbah rumah sakit dan Puskesmas merupakan semua limbah yang dihasilkan
dari kegiatan rumah sakit dan Puskesmas dalam bentuk padat, cair, dan gas.
Berdasarkan sifatnya limbah rumah sakit dan Puskesmas dibedakan menjadi
limbah medis dan limbah non medis (Depkes,2006):
a. Limbah medis , merupakan semua bahan buangan yang dihasilkan dari
fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, klinik, bank darah,
praktek dokter gigi, rumah sakit hewan dan Puskesmas. Serta fasilitas
penelitian medis dan laboratorium. (U.S Environmental Protection
Agency, 2011). Sedangkan menurut depkes (2002), limbah medis
merupakan limbah yang berasal dari perawatan gigi, veterinary, farmasi,
serta limbah rumah sakit dan Puskesmas saat dilakukan perawatan ataupun
penelitian.
b. Limbah nonmedis, merupakan limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan
di rumah sakit dan Puskesmas di luar medis yang berasal dari perkantoran,
dapur, taman dari halaman yang dimanfaatkan kembali apabila ada
teknologinya.

2. Limbah Berbahaya dan Beracun (B3)


a. Definisi Limbah B3
Limbah medis termasuk kedalam kategori limbah berbahaya dan beracun dengan
kode limbah D277 sesuai dengan PP jo 85 tahun 1999. Menurut PP 18 jo tahun
1999, limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah sisa suatu usaha dan atau
kegiatan yang mengandung B3 yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan atau
merusak lingkungan hidup sehingga dapat membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia. Sedangkan menurut PP no. 74 tahun
2001, B3 merupakan nahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau
jumlahnya, baik secara langsung atupun tidak langsung dapat mencemari
lingkungan hidup, dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.

Dari uraian di atas maka dapat didefinisikan limbah B3 merupakan hasil atau sisa
dari proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun, yang secara
langsung ataupun tidak langsung dapat menimbulkan gangguan terhadap
kesehatan dan lingkungan. Berdasrkan definisi di atas, upaya pengololaan limbah
B3 dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi sifat sifat atau
kerakteristik berbahaya dan beracun yang dikandungnya agar tidak
membahayakan kesehatan manusia sekaligus mencegah terjadinya segala resiko
pencemaran yang dapat merusak kualitas lingkungan.

b. Karakteristik Limbah B3
Menurut PP no. 18 tahun 1999, karakteristik limbah berbahaya dan beracun (B3)
antara lain:
• Mudah meledak (explosive) adalah limbah yang melalui reaksi kimia
dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan
cepat dapat merusak lingkungan.
• Mudah terbakar (ignitable dab flamable) adalah limbah yang jika
berdekatan dengan api atau percikan api ataupun gesekan atau sumber
nyala lain akan mudah terbakar dan jika sudah menyala maka akan terus
terbakar hebat dalam waktu lama.
• Bersifat reaktif adalah limbah yang menyebabkan kebakaran karena
melepaskan atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang
tidak stabil dalam suhu tinggi.
• Beracun (toxic) adalah limbah yang mengandung racun berbahaya bagi
manusia dan lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau
sakit jika masuk ke dalam tubuh manusia baik melewati pernapasan, kulit,
atau mulut. Penentuan sifat racun untuk identifikasi limbah ini dengan
menggunakan bahan baku konsentrasi TCLP ( tixicity charactereristic
leaching prosedure). Klasifikasi limbah yang bersifat toksik yaitu:
- Carcinogenic (karsinogen) yaitu sifat bahan penyebab sel kanker
- Teratogenic yaitu sifat bahan yang dapat mempengaruhi
pembentukan dan pertumbuhan embrio
- Mutagenic yaitu sifat bahan yang dapat menyebabkan perubahan
kromosom yang dapat merubah genetika.
• Menyebabkan infeksi (infectious) adalah limbah laboratorium yang
terinfeksi penyakit atau limbah yang mengandung kuman penyakit, seperti
bagian rtubuh manusi yang diamputasi dan cairan tubuh manusia yang
terken infeksi.
• Bersifat korosif
• Menyebabkan iritasi atau terbakar di kulit
• Mempunyai pH < 2 untuk limbah asam dan > 12,5 untuk limbah yang
bersifat basa.

3. Klasifikasi Limbah Medis


Penggolongan kategori limbah medis dapat diklasifikasikan berdasrkan potensi
bahaya yang tergantung di dalamnya, serta volume dan sifat persistensinya yang
menimbulkan masalah (Depkes, 2006; CDC, 2003) ;
a. Limbah benda tajam, yaitu limbah denga materi padat yang dapat
menyebabkan luka iris atau tusuk. Limbah beda tajam meliputi jarum
suntik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, kaca sediaan (preparat
glass), ampul atau vial obat, pecahan kaca dan lain sebagainya. Semua
benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera
melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin
terkontamisasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi bahan
beracun atau radioaktif.
b. Limbah infeksius yaitu limbah yang diduga mengandung mikroorganisme
patogen dalam konsentrasi jumlah yang cukup untuk menyebabkan
penyakit pada orang yang rentan. Limbah infeksius meliputi:
- Kultur dan stok agen infeksius dari berbagai aktifitas
laboratorium
- Limbah hasil operasti atau otopsi dari pasien yang menderita
penyakit menular
- Limbah pasien yang menderita penyakit menular dari unit isolasi
- Alat atau materi lain yang kontak langsung dengan orang yang
sakit. Di rumah sakit, sumber utama limbah infeksius meliputi
ruang operasi, lanoratorium, ICU, laboratorium patologis,
dialisis, dan poliklinik (Cheng et al, 2008).
c. Limbah patologi (jaringan tubuh) adalah limbah yang berasal dari jaringan
atau organ tubuh (anggota badan atau placenta yang tidak melalui
penguburan), atau cairan tubuh.
d. Limbah genotoksik adalah limbah yang sangat berbahaya dan bersifat
mutadenetik, teratogenetik, atau karsinogenik. Limbah genotoksik
meliputi:
- Obat-obatan sitotoksik yang memiliki kemampuan untuk
membunuh atau menghentikan pertumbuhan sel dan digunakan
dalam kemoterapu kanker.
- Tumpahan urine, atau tinja pasien yang diterapi dengan
menggunakan obat-obatan sitotoksik, zat kimia, maupun radioaktif.
- Bahan-bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi
dengan obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau
tindakan terapi sitotoksik.
e. Limbah farmasi, berasal dari obat-obatan, vaksin, dan serum yang sudah
kadaluarsa, obat-obatan yang terbuang karena batch yang tidak memenuhi
spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat yang dikembalikan
oleh pasien dan limbah yang dihasilkan selama peracikan atau produksi
obat. Barang yang akan dibuang setelah digunakan untuk menangani
produk farmasi seperti sarung tangan, masker, botol obat berisi residu, dan
ampul obat.
f. Limbah kimia , yaitu limbah yang mengandung zat kimia yang berasal dari
kegiatan diagnostik, pemeliharaan kebersihan, dan pemberian desinfektan.
Limbah ini dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis,
veterinaty, laboratorium, zat kimia fotografis, formaldehid, proses
sterilisasi, dan riset.
g. Limbah radioaktif, merupakan bahan yang terkontaminasi dengan
radioisotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radionuklida
yang terbebtukakibat pelaksanaan prosedur seperti analisis in-vitro pada
jaringan dan cairan tubuh, pencitraan organ, dan lokalisasi tumor secara
in-vivo serta terapi kanker.
h. Kontainer bertekanan yaitu limbah medis yang berasal dari kegiatan di
instalasi kesehatan yang memerlukan gas. Limbah kontainer bertekanan
meliputi (gas cylinders, cartilage, kaleng aerosol).
i. Limbah yang mengandung logam berat merupakan limbah berbahaya dan
biasanya sangat toksik seperti limbah yang berasal dari peralatan
kedokteran yang pecah (termometer dan stetoskop), bahan tumpatan,
limbah cadmium dari baterau bekas dan lain sebagainya.
j. Menurut Gil Jong Oh (2006), limbah medis berupa limbah plastik seperti
syringes, ringer’s solution set, kantong darah.

4. Definisi Limbah Medis Dan Non Medis


a. Limbah medis merupakan semua bahan buangan yang dihasilkan
dari tindakan medis seperti limbah yang berasal dari perawatan
gigi, veterinary, farmasi, serta limbah rumah sakit saat dilakukan
perawatan ataupun penelitian.
b. Limbah non medis merupakan semua bahan buangan yang
dihasilkan bukan dari tindakan medis seperti yang berasal dari
perkantoran, dapur rumah sakit, taman dari halaman yang
dimanfaattkan kembali apabila ada teknologinya.
5. Karakteristik Limbah Rumah Sakit dan Puskesmas
Sampah dan limbah rumah sakit dan Puskesmas adalah semua sampah dan limbah
yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit,Puskesmas dan kegiatan penunjang
lainnya.Apabila dibanding dengan kegiatan instansi lain, maka dapat dikatakan
bahwa jenis sampah dan limbah rumah sakit dapat dikategorikan kompleks.
Secara umum sampah dan limbah rumah sakit dibagi dalam dua kelompok besar,
yaitu sampah atau limbah klinis dan non klinis baik padat maupun cair.

Limbah klinis adalah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi,
veterinari, farmasi atau sejenis, pengobatan, perawatan, penelitian atau pendidikan
yang menggunakan bahan-bahan beracun, infeksius berbahaya atau bisa
membahayakan kecuali jika dilakukan pengamanan tertentu. Bentuk limbah klinis
bermacam-macam dan berdasarkan potensi yang terkandung di dalamnya.

6. Limbah B3
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa
suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau
beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan
lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain. Intinya adalah setiap materi
yang karena konsentrasi dan atau sifat dan atau jumlahnya mengandung B3 dan
membahayakan manusia, mahluk hidup dan lingkungan, apapun jenis sisa
bahannya.
Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa
(limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan
beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta
konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan
manusia.
Pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu
berdasarkan sumber dan berdasarkan karakteristik antara lain :
a. Golongan limbah B3 yang berdasarkan sumber dibagi menjadi:
limbah B3 dari sumber spesifik, limbah B3 dari sumber tidak
spesifik, dan limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan,
bekas kemasan dan buangan produk yang tidak memenuhi
spesifikasi.
b. golongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristik ditentukan
dengan sifat:
• Mudah meledak (explosive) adalah limbah yang melalui reaksi
kimia dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi
yang dengan cepat dapat merusak lingkungan.
• Mudah terbakar (ignitable dab flamable) adalah limbah yang
jika berdekatan dengan api atau percikan api ataupun gesekan
atau sumber nyala lain akan mudah terbakar dan jika sudah
menyala maka akan terus terbakar hebat dalam waktu lama.
• Bersifat reaktif adalah limbah yang menyebabkan kebakaran
karena melepaskan atau menerima oksigen atau limbah organik
peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi.
• Beracun (toxic) adalah limbah yang mengandung racun
berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Limbah B3 dapat
menimbulkan kematian atau sakit jika masuk ke dalam tubuh
manusia baik melewati pernapasan, kulit, atau mulut. Penentuan
sifat racun untuk identifikasi limbah ini dengan menggunakan
bahan baku konsentrasi TCLP ( tixicity charactereristic leaching
prosedure). Klasifikasi limbah yang bersifat toksik yaitu:
Carcinogenic (karsinogen) yaitu sifat bahan penyebab sel
kanker, Teratogenic yaitu sifat bahan yang dapat mempengaruhi
pembentukan dan pertumbuhan embrio, dan Mutagenic yaitu
sifat bahan yang dapat menyebabkan perubahan kromosom yang
dapat merubah genetika.
• Menyebabkan infeksi (infectious) adalah limbah laboratorium
yang terinfeksi penyakit atau limbah yang mengandung kuman
penyakit, seperti bagian rtubuh manusi yang diamputasi dan
cairan tubuh manusia yang terken infeksi.
• Bersifat korosif
- Menyebabkan iritasi atau terbakar di kulit
- Mempunyai pH < 2 untuk limbah asam dan > 12,5 untuk
limbah yang bersifat basa.

7. Jenis – Jenis Limbah Medis


7.1.Klasifikasi Limbah Rumah Sakit
Menurut Darmadi (2008) sumber mikroba itu didapatkan dari produk samping
yang dihasilkan dari segala kegiatan pelayanan medis atau non-medis pada rumah
sakit. Dimana produk sampingan yang dihasilkan oleh aktivitas rumah sakit
berupa sampah dan limbah.
Sampah adalah semua barang atau benda sisa yang sudah tidak berguna dan
terbuang dari kegiatan sehari-hari. Sedangakan Limbah adalah produk akhir yang
berupa material buangan dari sebuah proses pencucian,dekontaminasi/proses
metabolisme tubuh. Di dalam rumah sakit, keduanya ini masih digolongkan
berdasarkan tingkat infeksius dan asal darinya.
1. Sampah Rumah Sakit dan Puskesmas
Untuk sampah rumah sakit dan Puskesmas dibagi menjadi dua, yakni sampah
domestic dan sampah medis. Sampah rumah sakit ini lebih umumnya berbentuk
padat.Berikut keduanya akan dijelaskan:
a. Sampah Domestik
Merupakan sampah yang dihasilkan dari segala kegiatan kerumahtanggaan
(house keeping) rumah sakit dan Puskesmas. Sampah jenis domestic ini
bisa dihasilkan dari ruangan rekam medis,kantor,TU, dapur, gudang,
taman dan sebagainya. Sampah jenis ini sama sekali tidak infeksius.
Contoh : kertas,plastik,kaleng, sayur/buah,daun, ranting dan sebagainya.
b. Sampah medis
Merupakan sampah yang dihasilkan dari produk samping setelah
digunakan dalam membantu upaya diagnose,pengobatan, tindakan
medis/perawatan penderita.untuk sampah medis ini merupakan benda-
benda yang infeksius, dengan demikian diperlukan pengolahan terlebih
dahulu untuk mengurangi penyebaran mikroba pathogen.
Contoh: verban,handscoon,syringe,botol infuse,kantong darah dsb.

Limbah Rumah Sakit dan Puskesmas

Seperti halnya sampah rumah sakit dan Puskesmas, limbah rumah sakit dan
Puskesmas ini dibagi lagi menjadi tiga subbagian, yakni Limbah Domestik
Medis,Limbah Klinis Medis, Dan Limbah Patologis Medis. Limbah rumah sakit
ini lebih infeksius dibandingkan dengan sampah medis rumah sakit dan
Puskesmas.Limbah rumah sakit ini dapat berbentuk padat,cair atau setengah
padat. Berikut macam ketiganya akan dibahas lebih lanjut:
a. Limbah Domestik Medis
Yakni limbah rumah sakit yang dihasilkan dari kegiatan kerumahtanggaan.
Contoh :
• Sisa air kegiatan cuci piring alat makan penderita penyakit menular
• Sisa air kegiatan laundry dari kamar operasi,kamar bersalin, serta dari
bangsal menular.
b. Limbah Klinis Medis
Yakni limbah yang diperoleh dari proses patofisiologis penderita dan
berbagai tindakan medis.
Contoh :
• Sekreta,ekskreta,fese,urine, dan sebagainya
• Cairan/sisa makanan yang dimuntahkan penderita
• Cairan ,darah,sisa jaringan dari kamar operasi, bedah mayat, laboratorium.
c. Limbah Patologis Medis
Yakni limbah rumah sakit yang berwujud jaringan tubuh manusia yang
didapatkan karena pemisahan ataupun pemotongan selama tindakan medis,
limbah jenis ini perlu penanganan khusus karena sifatnya sangat infeksius.
Contoh :Potongan dari tindakan amputasi, Jaringan kanker dan jaringan
nekrotik
7.2.Klasifikali Limbah Medis
1. Limbah benda tajam
Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung
atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum
hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah.
Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera
melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin
terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau
radioaktif.
2. Limbah infeksius
Limbah infeksius mencakup pengertian sebagai berikut:
a. Limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit
menular (perawatan intensif)
b. Limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi
dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular.

3. Limbah jaringan tubuh


Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh,
biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi.
4. Limbah sitotoksik
Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi
dengan obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi
sitotoksik. Limbah yang terdapat limbah sitotoksik didalamnya harus dibakar
dalam incinerator dengan suhu diatas 1000oc.
5. Limbah farmasi
Limbah farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang
terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang
terkontaminasi, obat-obat yang dibuang oleh pasien atau dibuang oleh
masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi yang bersangkutan
dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan.
6. Limbah kimia
Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan
kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboratorium, proses sterilisasi,
dan riset.
7. Limbah radioaktif
Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang
berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukleida. Limbah ini dapat berasal
dari antara lain : tindakan kedokteran nuklir, radio-imunoassay dan bakteriologis;
dapat berbentuk padat, cair atau gas. Limbah cair yang dihasilkan rumah sakit
mempunyai karakteristik tertentu baik fisik, kimia dan biologi.

Tabel klasifikasi limbah medis


No Kategori Limbah Definisi Contoh limbah yang
dihasilkan
1 Infeksius Limbah yang terkontaminasi Kultur laboratorium,
organisme patogen (bakteri, limbah dari bangsal
virus, parasit, atau jamur) isolasi, kapas, materi,
yang tidak secara rutin ada atau peralatan yang
lingkungan dan organism teresentuh pasien
tersebut dalam jumlah dan yang
virulensi yang cukup untuk terinfeksi, ekskreta.
menularkan penyakit pada
manusia rentan.
2 Patologis Limbah berasal dari Bagian tubuh manusia
pembiakan dan stock bahan dan hewan (limbah
yang sangat infeksius, otopsi, anatomis), darah dan
organ binatang percobaan dan cairan tubuh yang
bahan lain yang telah lain,
diinokulasi, janin.
terinfeksi atau kontak dengan
bahan yang sangat infeksius.
3 Sitotoksis Limbah dari bahan yang Dari materi yang
terkontaminasi dari persiapan terkontaminasi pada
dan pemberian obat sitotoksis saat persiapan dan
untuk kemoterapi kanker yang pemberian obat,
mempunyai kemampuan misalnya spuit,
untuk membunuh atau ampul, kemasan, obat
mengahambat pertumbuhan kedaluarsa, larutan
sel hidup. sisa, urine, tinja,
muntahan pasien yang
mengandung obat
sitotoksik.
4 Benda Tajam merupakan materi yang dapat jarum, jarum suntik,
menyebabkan luka iris atau skalpel, pisau bedah,
luka peralatan infus,
tusuk. Semua benda tajam ini gergaji
memiliki potensi bahaya dan bedah, dan pecahan
dapat menyebabkan cedera kaca
melalui sobekan atau tusukan.
Benda- benda tajam yang
terbuang mungkin
terkontaminasi oleh darah,
cairan tubuh, bahan
mikrobiologi, bahan beracun
atau radioaktif.
5 Kimia mengandung zat kimia yang Reagent di
berbentuk padat, cair, maupun laboratorium, film
gas yang berasal dari aktivitas untuk rontgen,
diagnostic dan eksperimen desinfektan yang
serta dari pemeliharaan kadaluarsa atau sudah
kebersihan rumah sakit tidak diperlukan lagi,
dengan menggunakan solven
desinfektan.
6 Farmasi Limbah farmasi mencakup obat-obatan, vaksin,
produksi farmasi. Kategori ini dan serum yang sudah
juga mencakup barang yang kedaluarsa, tidak
akan di buang setelah digunakan, tumpah,
digunakan untuk menangani dan terkontaminasi,
produk farmasi, misalnya yang tidak diperlukan
botol atau kotak yang berisi lagi.
residu, sarung tangan, masker,
slang penghubung darah
atau cairan, dan ampul obat.
7 Radioaktif Bahan yang terkontaminasi Cairan yang tidak
dengan radioisotop yang terpakai dari
berasal dari penggunaan radioaktif atau riset
medis atau riset radio dilaboratorium,
nukleida. Limbah ini dapat peralatan kaca, kertas
berasal dari antara lain : absorben yang
tindakan kedokteran nuklir, terkontaminasi, urine
radio-imunoassay dan dan ekskreta dari
bakteriologis; dapat berbentuk pasien yang diobati
padat, cair atau gas atau diuji dengan
radionuklida yang
terbuka.
8 Logam yang Limbah yang mengandung Thermometer, alat
bertekanan logam berat dalam konsetrasi pengukur tekanan
tinggi/ berat tinggi termasuk dalam darah, residu dari
subkategori limbah kimia ruang
berbahaya dan biasanya pemeriksaan gigi, dan
sangat toksik. Contohnya sebagainya.
adalah limbah merkuri yang
berasal dari bocoran peralatan
kedokteran yang
rusak
9 Kontainer Limbah yang berasal dari tabung gas, kaleng
Bertekanan berbagai jenis gas yang aerosol yang
digunakan di rumah mengandung residu,
sakit. gas cartridge.

7.3.Dampak Limbah Medis


Pengaruh limbah rumah sakit terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan
dapat menimbulkan berbagai masalah seperti :
a. Gangguan kenyamanan dan estetika
Ini berupa warna yang berasal dari sedimen, larutan, bau phenol,
eutrofikasi dan rasa dari bahan kimia organik.
b. Kerusakan harta benda
Dapat disebabkan oleh garam-garam yang terlarut (korosif, karat), air
yang berlumpur dan sebagainya yang dapat menurunkan kualitas
bangunan di sekitar rumah sakit.
c. Gangguan/kerusakan tanaman dan binatang
Ini dapat disebabkan oleh virus, senyawa nitrat, bahan kimia, pestisida,
logam nutrien tertentu dan fosfor.
d. Gangguan terhadap kesehatan manusia
Ini dapat disebabkan oleh berbagai jenis bakteri, virus, senyawa-senyawa
kimia, pestisida, serta logam seperti Hg, Pb, dan Cd yang berasal dari
bagian kedokteran gigi.
a. Gangguan genetik dan reproduksi
Meskipun mekanisme gangguan belum sepenuhnya diketahui secara pasti,
namun beberapa senyawa dapat menyebabkan gangguan atau kerusakan
genetik dan sistem reproduksi manusia misalnya pestisida, bahan
radioaktif.
Menurut pruss, giroult, dan rushbrook (2005), pajanan limbah rumah sakit yang
berbahaya dapat mengakibatkan tertular penyakit atau cedera.
1. Resiko tertular penyakit
Resiko tertular penyakit melalui kontak langsung dengan limbah
medis dapat ditularkan kepada kelompok masyarakat rumah sakit yang
rentan yaitu dokter, perawat, pasien rawat inap atau berobat jalan,
pengunjung atau pengantarorang sakit, karyawan rumah sakit, serta
masyarakat di sekitar rumah sakit. Selain itu pemulung yang
mengumpulkan limbah untuk didaur ulang dari tempat pembuangan akhir
limbah berisiko kontak langsung dengan bahan infeksius.
Resiko tertular penyakit yang berasal dari limbah medis karena
mengandung agen penyakit berupa limbah yang bersifat infeksius, bahan
kimia toksik, dan radioaktif. Agen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh
manusia melalui empat jalur yaitu, kulit, selaput lendir, saluran pernapasan,
dan saluran pencernaan. Pemaparan dapat terjadi melalui percikan cairan
yang mengandung kuman masuk ke dalam selaput lendir (selaput lendir
mata, hidung, dan mulut).
2. Resiko kecelakaan atau cedera
Petugas yang mengelola limbah medis akan beresiko mengalami
kecelakaan kerja seperti tertusuk benda tajam saan mengangkut atau
memindahkan limbah. Resiko tersebut terus ada setiap proses penanganan
limbah yaitu selama limbah dibuang, dikumpulkan, dipindahkan untuk
dimusnahkan.
3. Resiko terhadap lingkungan
Limbah medis selain menimbulkan dampak buruk terhadap
pencemaran lingkungan meliputi pencemaran air (water borne diseases),
pencemaran tanah (soil borne siseases) seperti pembuangan limbah secara
terbuka yang menimbulkan bahaya lingkungan terhadap masyarakat, dan
pencemaran udara (air borne diseases) seperti pemusnahan limbah medis
dengan cara dibakar dengan menggunakan insinerator engan suhu rendah
dapat menghasilkan emisi gas yang beracun.

7.4.Pengelolaan Limbah Medis


Menurut kepmenkes 1204 tahun 2004 yaitu rangkaian kegiatan yang mencakup
segregasi, pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, dan
penimbunan limbah medis. Mnurut WHO (2005), pruss, giroult, dan rushbrokk
(2005), beberapa elemen penting dalam pengelolaan limbah rumah sakit yaitu
meminimasi limbah, pelabelan, dan pengemasan, transportasi, penyimpanan,
pengolahan, dan pembuangan limbah. Pada dasarnya pengolahan limbah
bertujuan untuk mengendalikan pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan
industri. Sistem pengelolaan limbah yang digunakan harus dirancang untuk
meminimalkan kontak dengan limbah berbahaya. Mislkan mengurangi
penanganan ganda, penyediaan fasilitas, penyimpanan yang baik, transportasi
yang efektif.

7.5.Tahap Pengelolaan Limbah Medis


Dalam pengelolaan limbah medis terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan
antara lain:
1. Meminimasi limbah
Meminimasi limbah merupakan upaya untuk mengurangi volume,
konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari
proses produksi, dengan cara reduksi pada sumbernya dan atau
pemanfaatan limbah berupa reuse, recycle, dan recovery. Menurut
kepmenkes RI No. 1204 tahun 2001 menyebutkan bahwa minimasi
limbah merupakan salah satu upaya untuk mengurangi jumlah
limbah yang dihasilkan oleh kegiatan pelayanan kesehata. Jadi
minimasi limbah medis yaitu upaya untuk mengurangi volume,
konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari
kegiatan rumah sakit. Berikut upaya untuk meminimalisasi limbah
dengan cara reduksi pada sumber yaitu:
a. Melakukan housekeeping, yaitu dengan menjaga kebersihan
lingkungan dengan mencegah terjadinya ceceran, tumpahan atau
kebocoran bahan serta menangani limbah yang terjadi dengan
sebaik mungkin seperti mangutamakan metodw pembersihan
secara fisik daripada secara kimiawi, menggunakan sedikit
mungkin bahan kimia.
b. Pemilihan atau segregasi limbah, yakni memisahkan berbagai
jenis limbah menurut jenis komponen, konsentrasi atau
keadaannya, sehingga dapat mempermudah, mengurangi
volume atau mengurangi biaya pengolahan limbah.
c. Pemeliharaan pencegahan, yaitu pemeliharaan atau penggantian
alat atau bagian alat menurut waktu yang telah diwajibkan.
Ujuan dari metode ini untuk melindungi asset dan
meningkatkan keandalan sistem, mengurangi biaya penggantian,
mengurangi cedera. Tempat pewadahan limbah infeksius segera
dibersihkan dengan larutan desinfektan apabila akan
dipergunakan kembali.
d. Pemilihan teknologi dan proses, yakni pemilihan teknologi dan
proses yang tepat untuk mengeluarkan limbah B3 denga efisien
yang cukup tinggi, sebaiknya dilakukan sejak awal
pengembangan rumah sakit baru atau penggantian sebagai
untinya.
e. Pengelolaan bahan, yaitu agar persediaan bahan selalu cukup
untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, namun tidak
berlebihan sehingga tidak menimbulkan gangguan lingkungan,
sedangkan penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol.
Pengelolaan bahan sangat tepat untuk dilakukan di unit farmasi
dan laboratorium rumah sakit dan Puskesmas seperti
manajemen persediaan yang cermat dan menyeluruh sehingga
dapat menurunkan kuantitas limbah yang dihasilkan.
f. Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik, pengoperasian
alat sesuai kondisi yang optimum sehingga dapat meningkatkan
efisiensi dalam mengurangi terjadinya limbah.
g. Memodifikasi bahan, mengganti bahan-bahan yang dapat
mengurangi terjadinya limbah berbahaya dan baha-bahan yang
tidak menghasilkan banyak limbah
h. Penggunaan teknologi bersih, menggunakan teknologi yang
tidak atau kurang memiliki potensi untuk menghasilkan limbah
B3 dengan efisiensi yang cukp tinggi.
2. Pemanfaatan limbah
Pemanfaatan limbah medis yaitu upaya mengurangi volume,
konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya yang menyebar di
lingkunga, dengan cara reuse, recycle, dan recovery. Pemanfaatan
limbah dilakukan setelah melakukan uapaya reduksi pada sumber.
a. Reuse (penggunaan kembali), merupakan upaya penggunaan
barang atau limbah untuk digunakan kembali untuk kepentingan
yang sama tanpa mengalami proses pengolahan atau perubahan
bentuk. Reus dapat mengurangi biaya pwmbwlian dan
mengurangi limbah dari kegiatan perawatan pasien. Berikut ini
fasilitas kesehatan yang dapat direuse diantaranya linen yang
dapat digunakan kembali, perawatan seperti pispot, cekungan
muntah, dan peralatan makan. Sebaiknya jarum suntik tidak
digunakan kembali karena dapat membahayakan kesehatan,
walaupun dapat digunakan kembali, rumah sakit dan Puskesmas
harus mengeluarkan biaya untuk membersihkan dan
mensterilkan peralatan tersebut.
b. Recycle (daur ulang) merupakan upaya pemanfaatan limbah
dengan cara proses daur ulang melalui perubahan fisik atau
kimia, baik untuk menghasilkan produk yang sama maupun
produk yang berlainan dengan maksud kegunaan yang lebih.
Limbah padat yang dapat didaur ulang yaitu kertas, kardus,
kaca, plastik, kayu, logam, sisa makanan, daun, dan limbah
pekarangan, dan berbagai bahan campuran.
c. (recovery (perolehan kembali), merupakan upaya pemanfaatan
limbah dengan cara memproses untuk memperoleh kembali
materi atau energi yang terkandung di dalamnya atau
merupakan suatu proses pemulihan. Misalnya pengambilan
perak dari fixing-bath yang digunakan dalam pengolahan foto
rontgen.
3. Pemisahan Limbah Medis
Untuk memudahkan mengenal jenis limbah yang akan
dimusnahkan, perlu dilakukan penggolongan limbah. Dalam kaitan
dengan pengelolaan, limbah klinis dikategorikan menjadi 5
golongan sebabagi berikut :
a. Golongan A :
- Dressing bedah, swab dan semua limbah terkontaminasi
dari kamar bedah.
- Bahan-bahan kimia dari kasus penyakit infeksi.
- Seluruh jaringan tubuh manusia (terinfeksi maupun tidak),
bangkai/jaringan hewan dari laboratorium dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan swab dan dreesing.
b. Golongan B :
Syringe bekas, jarum, cartridge, pecahan gelas dan benda-
benda tajam lainnya.
c. Golongan C :
Limbah dari ruang laboratorium dan postpartum kecuali yang
termasuk dalam golongan A.
d. Golongan D :
Limbah bahan kimia dan bahan-bahan farmasi tertentu.
e. Golongan E :
Pelapis Bed-pan Disposable, urinoir, incontinence-pad, dan
stomach.
cara yang paling teoat dalam pengelolaan limbah medis adalah
dengan melakukan pemilihan limbah berdasrkan warna kantong atau
kontainer plastik yang digunakan. Hal ini dapat meminimalkan
volume limbah medis yang infeksius dan mengurangi biaya untuk
pembuangan limbah tersebut. Berikut contoh warna kantong
menurut DepKes RI :
• Kantong hitam untuk limbah umum
• Kantong kuning untuk limbah yang harus diinsinerasi
• Kantong kuning untuk limbah yang sebaiknya diinsinerasi, tetapi
dapat dibuang ke landfill.
• Kantong biru muda untuk limbah yang harus disterilisasi
4. Pengumpulan Limbah Medis
Pada tahap pengumpulan limbah, maksimal 2/3 bak
sampah yang sudah tersisi harus diambil, atau kontainer harus
diangkat jika sudah tiga perempat penuh. Kantong plastik yang
belum terisi penug dapat disegel dengan cara membuat disimpul
ikatan di bagian lehernya. Untung kantong yang terisi penuh
mungkin perlu diikat denga menggunakan labeel plastik pengikat
dan tidak boleh ditutup dengan cara distaples. Rumah sakit harus
mempunyai program rutin untuk pengumpulan limbah karena
limbah tidak boleh menumpuk di satu titik pengumpulan. Limbah
harus dikumpulkan setiap hari dan diangku ke tempat penampungan
yang telah ditentukan. Persediaan akntong plastik dan kontainer
harus tersedia di semua tempat yang menghasilkan limbah.
5. Pengangkutan Limbah Medis
Setelah proses pengumpulan, tahap selanjutnya adalah
pengangkutan limbah. Pengangkutan limbah dilakukan oleh petugas
kebersihan dari sumber penghasil limbah. Pengangkutan limbah
medis harus menggunakan alat angkut berupa kereta, gerobak, atau
troli. Alat angkut tersebut harus didesain sedemikian rupa sehingga
permukaan harus licin, rata dan tidak tembus; tidak akan menjadi
sarang serangga dan mudah dibersihan dan dikeringkan.
Dalam proses pengangkutan limbah medis, disarankan
menggunakan alat angkut yang terpisahkan antara limbah domestik
dan tidak boleh digunakan untuk mengangkut materi lainnya.
Limbah benda tajam dan limbah medis lainnya yang tekah terisi
penuh kemudiaan diangkut secara rutin menggunakan troli khusus
dengan wadah tertutup yang kokoh dan kuat dibawa ke tempat
pembuangan. Pengangkutan limbah dari ruangan atau unit yang ada
dalam rumah sakit ke tempat penampungan limbah sementara
melalui rute yang paling cepat yang harus direncanakan sebelum
perjalanan atau yang sudah ditetapkan.
Jika pengangkutan menggunakan lift, disarankan jangan
menggunakan lift yang sama untuk lift pasien atau pengunjung atau
makanan dalam pengangkutan limbah medis. Kendaraan
pengangkut limbah medis harus dibersihkan dan didesinfeksi setiap
hari dengan menggunakan desinfektan yang tepat yaitu dengan
0,5% klorin kemudian dibilas dengan air bersih.
6. Penyimpanan Limbah Medis
Setelah pengumpulan dari sumber penghasil limbah
kemudian ditempatkan pada tempat penampungan sementara.
Tempat penampungan limbah harus memiliki lantai yang kokoh
dengan dilengkapi drainase yang baik dan mudah dibersihkan serya
didesinfeksi. Selain itu, tidak boleh berada dekat dengan lokasi
penyimpanan bahan makanan atau dapur. Harus ada pencahayaan
yang baik serta kemudahan akses untuk kendaraan pengumpul
limbah. Lokasi untuk tempat penyimpanan limbah yang berbahaya
dan beracun minimum berjarak 50 meter dari lokasi fasilitas umum
dan daerah bebas banjir sehingga aman dari kemungkinan terkena
banjir.
Tempat penyimpanan limbah juga harus dilengkapi dengan
penutup, menjaga agar areya penyimpanan limbah medis tidak
bercampur dengan limbah non medis, membatasi akses sehingga
hanya orang tertentu yang dapat memasuki area penampungan.
7. Pemusnahan Limbah Medis
Setelah limbah medis ditampung pada tempat penampungan
sementara, proses selanjutnya yaitu pengolahan limbah medis yaitu
pemusnahan dan pembuangan akhir. Menurut PP ni. 18 jo 85 tahun
1999, pengolahan limbah medis yang termasuk kategori limbah B3
adalah proses mengubah jenis, jumlah, dan karakteristik limbah B3
menjafi tidak berbahaya dan tidak beracun sebelum ditimbun.
1) Limbah infeksius dan benda tajam
a. Limbah yang sangat infeksius seperti biakan dan persediaan
agen infeksius dari laboratorium harus disterilisasi dengan
pengolahan panas dan basah seperti dalam autoclave sedini
mungkin. Untuk limbahinfeksius yang lain cukup dengan
cara desinfeksi.
b.Benda tajam harus diolah dengan insinerator bila
memungkinkan dan dapat diolah bersama dengan limbah
infeksius lainnya. Kapsulisasi juga cocok untuk benda tajam.
c. Setelah insinerasi atau desinfeksi, residunya dapat dibuaang
ke tempat penampungan B3 atau di buang ke landfill jika
residunya sudah aman.
2) Limbah Farmasi
Limbah farmasi dalam jumlah kecil dapat diolah dengan
insinerator pirolitik (pyrolitik incinerator), rotary klin, dikubur
secara aman, sanitary landfill, dibuang ke sarana air limbah atau
insinerasi. Tetapi dalam jumlah besar harus menggunakan
fasilitas pengolahan yang khusus seperti rotary kli, kapsulisasi
dalam drum logam, dan inersisasi.
3) Limbah Sitotoksik
a. Limbah Sitotoksik sangat berbahaya dan tidak boleh dibuang
dengan penimbunan (landfiil) atau saluran limbah umum.
b. Bahan yang belum dipakai dan kemasannya masih utuh
karena kadaluarsa harus dikembalikan ke distributor apabila
tidak ada insinerator dan diberi keterangan bahwa obat
tersebut sudah kadaluarsa atau tidak dipakai lagi.
c. Insinerasi pada suhu tinggi sekitar 1200°C dibutuhkan untuk
menghancurkan semua bahan sitotoksik. Insinerasi pada suhu
rendah dapat menghasilkan uap sitotoksik yang berbahaya ke
udara.
d. Apabila cara insinerasi maupun degradasi kimia tidak
tersedia, kapsulisasi atau inersisasi dapat di pertimbangkan
sebagai cara yang dapat dipilih.
4) Limbah bahan kimiawi
Limbah biasa yang tidak bisa daur ulang seperti asam amino,
garam, dan gula tertentu dapat dibuang ke saluran air kotor.
Limbah bahan berbahaya dalam jumlah kecil seperti residu yang
terdapat dalam kemasan sebaiknya dibuang dengan insinerasi
pirolitik, kapsulisasi, atau ditimbun (landfill).
5) Limbah dengan kandungan logam berat tinggi
Limbah dengan kandungan mercuri atau kadmium tidak
boleh dibakar atau diinsinesrasi karena berisiko mencemari udara
dengan uap beracun dan tidak boleh dibuang landfill karena dapat
mencemari air tanah.
6) Kontainer Bertekanan
Cara yang terbaik untuk menangani limbah kontainer
bertekanan adalah dengan daur ulang atau pengunaan kembali.
Apabila masih dalam kondisi utuh dapat dikembalikan ke
distributor untuk pengisian ulang gas. Agen halogenida dalam
bentuk cair dan dikemas dalam botol harus di perlakukan sebagai
limbah bahan kimia berbahaya untuk pembuangannya.
7) Limbah radioaktif
Pengelolaan limbah radioaktif yang aman harus diatur dalam
kibijakan dan strategi nasional yang menyangkut perturan,
infrastruktur, organisasi pelaksana dan tenaga yang terlatih.
(Permenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004, Depkes RI, 2004).
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M., 2008, ‘Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Kesehatan’,


Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Hindarko ,5 15. Ir. 2003. Mengolah limbah supayah tidak mencemari


orang lain.
Jakarta.

Keraf, sonny. Dr . 2000. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana


pengelolah lingkungan.
Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN K3
“PENANGGULANGAN KEBAKARAN (ALAT PEMADAM API
RINGAN)”

DISUSUN OLEH :
NAMA : RUBY RAHANIA ARYANI
NPM : 19.14201.90.12.P
SEMESTER : VIII (B1)

DOSEN PEMBIMBING :MaretaAkhriansyah, S.Kep, Ners,


M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA PALEMBANG

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


TAHUN AKADEMIK 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
PENANGGULANGAN KEBAKARAN (ALAT PEMADAM API
RINGAN)

A. Defenisi
Apar adalah singkatan dari alat pemadam api ringan yang merupakan
suatu komponen alat pemadam kebakaran yang fungsinya untuk
memadamkan api dengan intensitas yang ringan atau kecil. Penggunaan
apar tentu tidak sama dengan penggunan alat pemadam api yang biasanya
dipakai oleh petugas pemadam kebakaran.
Jika alat pemadam api yang digunakan oleh petugas pemadam kebakaran
merupakan alat pemadam api khusus untuk memadamkan api yang
intensitasnya besar, maka apa rmerupakan alat pemadam api kecil yang
memiliki kapasitas memadamkan api secara terbatas.
Tabung alat pemadam api ringan ini hadir dalam berbagai ukuran dengan
kapasitas yang berbeda – beda. Alat tersebut dapat digunakan pengguna
sesuai potensi kebakaran yang terjadi di suatu lingkungan atau bangunan.
Namun cara penggunaan apar tetap harus sesuai SOP penggunaan
apar yang berlaku.
Unsurpembentukpenyebabkebakarandanapi
Jadi, api yang
berpotensimenyebabkankebakaranjikahadirnyadalamjumlahbesarterbentukdari
unsur – unsurberikutini :
- Sumberpanas
- Oksigen
- Bahanbakar

Bahanbakar
Bahanbakar yang menyebabkanterbentuknyaapiberasaldaribahanpadat,
bahancairatau pun bahan gas. Bahanpadat yang
dapatmenyebabkanterbentuknyaapiterdiriataskayu, kertas, kapasdan lain –
lain.
Bahancair yang dapatmenyebabkanterbentuknyaapiterdiriatasbensin,
spirtus, minyaktanahdan lain – lain. Bahan gas yang
menyebabkanterbentuknyaapidiantaranya LNG, LPG, karbitdan lain –
lain.
Oksigen
Oksigenmerupakansalahsatuunsurpembentukapi yang terdapat di udara.
Kadar oksigennyasebesar 16% dalamudara,
makajikaoksigenberkapasitastersebutberada di lingkungan yang
memungkinkanmakareaksikebakaranakanterjadi.

Sumberpanas
Sumberpanas yang dapatmenyebabkanapimunculmerupakansumberpanas
yang berasaldaribahankimia, listrik, mekanik, nuklirdanmatahari.
Makabisadikatakanbahwa proses
terjadinyaapimerupakankondisidimanaoksigenada di
lingkungantertentuuntukmempertahankanpembakaran,
panasdiperlukanuntukmenaikkanbahanbakarpadasuhupengapian,
sertaterdapatbahanbakar yang penting demi mendukungpembakara.
Nantinyareaksikimiaakantimbuldaritigaelemen yang terkaittersebut.
Namunwalautelahterpenuhiketigaunsurtersebut,
apitidakakanmenimbulkankebakaranjikaintensitasnyatidakdalamjumlahbes
ardanmasihdapatdikendalikan. Api yang
dapatmenyebabkankebakaranadalahapi yang
intensitasnyabesardantidakdapatdikendalikan.

B. PetunjukPenggunaanApar
Cara pemakaianapar sebenarnyamudahakantetapitetap SOP yang
berlakuharusdipatuhi agar tidakterjadihal – hal yang
tidakdiinginkanatauhal – haldiluarkendali.
Sesuaidengan Permenakertrans RInomor 4/MEN/1980 yang
membahastentangsyarat –
syaratpemasangandanpemeliharaanalatpemadamapiringan, caramemakaiapar
harussesuaiaturan.
Dalam prosedurpenggunaanapar, tatacarapenggunaanapar yang
tepatsesuailangkah – langkahberikutini :
1. Pertama – tama tarikataulepas pin
penguncituasaparatautabungalatpemadam
2. Selanjutnya caramenggunakanalat pemadamdenganmengarahkanselangpa
datitikpusatapi
3. Setelahitu, tuasperluAndatekanuntukmengeluarkanisididalamtabungapar
4. Terakhir, sapukanapisecarameratasampaiapibenar – benarpadam

Pada gambarapar,
Andaakanmenemukanberbagaiinformasiterkait carapakaiapar yang tepat.
BaiknyaAndaharusmemahaminya. Dalampenggunaanaparsendiri,
adabeberapahalpenting yang Andaharustahudanpahamidiantaranya :
Bagian APAR
1. PastikanAndamemperhatikanarahangin. Usahakan agar
badanataumukaaparmenghadapsearahdenganarahangin agar media
pemadamdapatsecaraefektifmenujuketitikpusatapidanjilatanapitidaksampai
mengenaitubuhdaripetugaspemadamkebakaran yang ditugaskan.
2. Dalammemadamkanapidenganapar,
perhatikansumberkebakarandangunakanjenisapar yang
sesuaidenganklasifikasisumberkebakaran.

C. Jenisjenis APAR
Alatpemadamapisendirihadirdalamduajenisyaituterdiriatas :
1. Apardenganberat rata – rata 1 – 9 kg. Jenisapar yang
satuinimerupakanjenisapardimana carapenggunaanalatpemadamapiringan
yang perludilakukantidakbutuhbantuan orang lain
danberfungsisebagaialatpemadamapidalampotensiapikecil.
Aparuntukmobilbiasanyaadalahaparjenisini.
2. Apardenganberat rata – rata 20 – 100 kg
merupakanaparuntukmemadamkanapi di lingkunganapisedangataubesar.
Biasanyaaparinidigunakanuntukmematikanapi di suatubangunan demi
mencegahpotensiapimelebar.

D. Tipe – TipeApar
Setelahmembahastentang caramenggunakanapar yang tepat,
kitaakanmembahastentangtipe – tipeapar.
Tipeapardiklasifikasikanberdasarkansistemkerjanya, media dankapasitasnya.
Cara
menggunakanalatpemadamapiringan untukkapasitasaparkecildanbesarcenderu
ngberbedanamunprinsipprosedurnyarelatifsama.
Tipeaparberdasarkansistemkerjanyaterdiriatas :
1. Stored pressure system :sisteminimerupakanapartekananlangsung yang
carakerjanyadenganmenggunakankatupbukatutup.
Sistemaparinidilengkapidenganalatpengukurtekanan yang
berfungsimemudahkanAndadalampengecekanapar.
2. System cartridge pressure
:Aparjenisinitidakdilengkapialatpengukurtekanandanmerupakanjenisapar
yang tekanannyatidaklangsung.
Artinyasistempadatabungpemadamapiinimenggunakantekanan yang
tidakdicampurmenjadisatudengan media.
Tipeaparberdasarkanmedianyaterdiriatas :
1. Aparcairan :merupakanjenisapar yang menggunakan media air
bertekanantinggi.
Aparjenisinidibanderoldenganharga yang sangatterjangkau.
2. Aparbusaataufoam :merupakanjenisapar yang
terdiriatasbahankimiauntukmembentukbusa. Api yang
timbulkarenabendapadat non logamsepertikain,
kertasataukaretdapatdiatasidenganjenisaparini.
3. Aparserbukkimiaatau dry chemical powder :merupakanjenisapardengan
media serbukkeringkimiakombinasidari mono ammonium dan ammonium
sulfat.
4. Aparkarbondioksida : merupakanjenisapar yang
menggunakankarbondioksidasebagaibahanpemadam
5. Aparhalotron HCFC bland : merupakanjenisaparuntukkelaskebakaran
ABC
6. Apar HFC 236 : merupakanjenisaparuntukkelaskebakaran ABC

Tipeaparberdasarkankapasitasnya :
1. Apar 18 kg
2. Apar di atas 18 kg

E. Dalam proses pemadamanapi, faktorpenting yang Andaharustahumeliputi :


1. Arahangin
2. Jenisbenda yang terbakar
3. Volume benda yang terbakar
4. Berapa lama bendaakanterbakarsampaihangus
5. Situasi, kondisisertalingkungankebakaran
6. Keselamatandiri orang di
lingkungankebakarandantenagapemadamkebakaran
F. DasarHukumdanPedoman :
• UU No.1 tahun 1970 tentangkeselamatankerja
• Undang – UndangNomor 13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan
• Undang – UndangNomor 44 Tahun 2009 tentangRumahSakit
• Permenkes RI No. 986 tahun 92 tentangkesehatanlingkungan RS
• Permenkes RI No. 472 tahun 1996
tentangpengamananbahanberbahayabagikesehatan
• Permenkes RI Nomor 66 tahun 2016
TentangKeselamatandanKesehatanKerjaRumahSakit
• SK Menkes No.351 tahun 2003 tentangKomite K3 sektorKesehatan
• Permenaker no.05/Men/1996
tentangSistemManajemenKeselamatandanKesehatanKerja
• Pedoman K3 di rumahsakitth 2006 ( BinKesjaDepKes )
G.Manfaat Dari TabungPemadamKebakaran

Berikutinirincianmanfaat yang
didapatkandenganmempersiapkantabungpemadamkebakaran:
• Lebihmudahdalammencegahterjadinyakebakaran yang akanbesar
• Lebihmudahdalammembantumemadamkanapikecilhinggabesar

• Ukurantabungdapatdisesuaikandengantingkatkeamanandanspesifikasiruan

gan
• Merupakaninvestasikeamanan yang amandanramahlingkungan
• Harga yang lebihmurahdenganperawatan yang mudah
• Memilikijangkawaktuperemajaanalat yang jelas
• Dapatdiletakan di berbagaisudutruangandankendaraan
• Memilikihasil yang maksimaldalammemadamkanapi
• Tabung yang telahkadaluarsaatauterpakaidapat di isiulang / refill
• Dll
DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia, PeraturanMenteriTenagaKerjadanTransmigrasiNomor PE-


04/MEN/1980 tentangsyarat-
syaratpemasangandanpemeliharaanalatpemadamapiringan.
BadanDiklatPerhubungan, 2000, Fire Prevention and Fire Fighting.

Anda mungkin juga menyukai