Anda di halaman 1dari 2

Kasus DPRD Kota Malang, Korupsi Massal yang Mengkhawatirkan

JAKARTA, KOMPAS.com — Sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur,
berstatus tersangka suap. Mereka ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dalam kasus dugaan suap pembahasan APBD-P Pemkot Malang Tahun Anggaran
2015. Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, uang suap dialirkan ke DPRD agar
penetapan rancangan peraturan daerah Kota Malang tentang APBD-P Tahun Anggaran 2015
disetujui.

Sebanyak 22 orang yang ditetapkan tersangka diduga menerima fee Rp 12,5 juta hingga Rp 50
juta dari Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton. "Penyidik mendapatkan fakta-fakta yang
didukung dengan alat bukti berupa surat, keterangan saksi, dan barang elektronik (terkait dugaan
tersebut)," ujar Basaria, Senin (3/9/2018).

Mengkhawatirkan

Basaria menuturkan, kasus ini mengkhawatirkan dan menjadi cerminan kejahatan korupsi
dilakukan secara massal. Pasalnya, selain anggota DPRD sebagai pihak legislatif, kepala daerah
dan pejabat pemerintahan daerah selaku eksekutif ikut terlibat.

"Pelaksanaan tugas di satu fungsi legislatif, misalnya atau untuk mengamankan kepentingan
eksekutif, justru membuka peluang adanya persengkongkolan para pihak mengambil manfaat
untuk kepentingan pribadi atau kelompok," ujar Basaria. Menurut dia, situasi ini membuat
peranan anggota legislatif yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan, anggaran, dan
regulasi tidak berjalan maksimal.

Peristiwa ini juga membuat khawatir Wali Kota Malang terpilih Sutiaji. Sutiaji yang kini
menjabat sebagai Plt Wali Kota Malang menyampaikan kegelisahannya itu kepada penyidik
KPK di sela pemeriksaan dirinya di Aula Bhayangkari Mapolres Kota Malang, Jumat
(31/8/2018) lalu. "Saya menyinggung gini di luar pemeriksaan, ini nanti bagaimana kalau sudah
enggak ada DPRD-nya. Ke depan ini dilantik, terus saya nyambut gaene model koyok opo (saya
kerjanya kayak apa). APBD-nya 2018, berarti banyak hal yang perlu kami pikirkan," kata Sutiaji
usai pemeriksaan.

Payung hukum

Menyikapi situasi itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo akan menggunakan diskresi untuk
menjamin keberlangsungan roda pemerintahan di Kota Malang. Menurut Tjahjo, akibat banyak
anggota DPRD Kota Malang yang ditahan, rapat-rapat paripurna di lembaga perwakilan itu
bersama pemerintah kota tak bisa terlaksana. Sebab, rapat paripurna tak memenuhi kuorum.
"Jadi, untuk mengatasi persoalan pemerintahan dan agar tidak terjadi stagnasi pemerintahan,
akan ada diskresi Mendagri," ujar Tjahjo dalam keterangan tertulisnya, Senin (3/9/2018). Tjahjo
menjelaskan, kewenangan Mendagri menggunakan diskresi sudah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Tjahjo akan menugaskan jajarannya
dari Direktorat Jenderal Otonomi Daerah untuk bertolak ke Malang. Opsi lainnya adalah
mengundang sekretaris DPRD dan sekretaris daerah Kota Malang ke Jakarta. “Saya sudah
perintahkan membuat payung hukum agar pemda berjalan," kata dia.

Potensi korupsi Bersama-sama

Di sisi lain, Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina
menilai peristiwa ini menandakan praktik korupsi di daerah semakin menjadi persoalan
tersendiri. "Terlebih di kasus Malang, korupsi melibatkan kepala daerah dan puluhan anggota
DPRD," kata Almas dalam pesan singkat, Senin. Kasus ini menunjukkan tingginya potensi
korupsi massal di daerah. Ia juga melihat kasus ini cerminan kegagalan fungsi DPRD dalam
menjalankan perannya, khususnya pada konteks pembahasan APBD.

Ia berharap peristiwa semacam ini jadi catatan utama bagi seluruh pihak, khususnya pembuat
kebijakan untuk menutup celah-celah korupsi dalam pembahasan APBD antara eksekutif dan
legislatif di daerah. Sementara itu, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan melihat praktik
semacam ini seharusnya bisa dicegah jika kepala daerah konsisten menggunakan sistem
elektronik dalam perencanaan hingga penganggaran keuangan daerah.

Selain itu, kepala daerah juga harus proaktif melaporkan setiap proses penganggaran, khususnya
jika ada hambatan-hambatan dalam pengesahan RAPBD di DPRD. Pahala menyatakan, KPK
siap membantu memfasilitasi proses itu agar berjalan lancar. Sebab, kata dia, anggota DPRD bisa
menyalahgunakan wewenangnya dengan menggunakan instrumen biaya ketuk palu yang
dibebankan kepada kepala daerah apabila RAPBD itu ingin disahkan. "Jadi, DPRD mengancam
akan menahan APBD. Jika kepala daerah tidak kuat, keluar yang namanya uang ketuk," ujar
Pahala dilansir harian Kompas, Senin.

Anda mungkin juga menyukai