Anda di halaman 1dari 25

PERJALANAN ANAK BANGSA MENGUASAI TEKNOLOGI

DIRGANTARA

Memiliki sebuah Industri Pesawat terbang Merupakan suatu kebanggaan bagi suatu
bangsa. Demikian juga dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan PT
Dirgantara Indonesia (Persero) tidak hanya menjadi sorotan dunia karena kiprahnya,
melainkan juga sebagai salah satu industri strategis yang mampu menjawab
kebutuhan alat utama sistem pertahanan negara dan juga alat transportasi udara.
Perjalanan 40 tahun memang bukan waktu yang singkat banyak catatan penting yang
harus digaris bawahi untuk jadi bahan pembelajaran dan cermin bagi generasi
mendatang.

Pra Kemerdekaan

Pada era Pemerintahan Hindia Belanda, di tahun 1918 pembuatan pesawat telah dimulai.
Seusai Perang Dunia I, dibawah pimpinan Ir. D.S. Gaastra telah dirancang pesawat
meniru AVRO 504 buatan Kanada. Pesawat itu dirancang di pabrik pesawat terbang di
Sukamiskin (sekarang penjara Sukamiskin) Bandung. Pada tahun 1920 Pemerintah
Belanda menentukan Kampung Andir sebagai lokasi lapangan terbang baru menggantikan
lapangan terbang Sukamiskin. Peresmian penggunaan lapangan terbang A ndir
berlangsung 26 Oktober 1925. Kemudian, pada tanggal 1 November 1928 dibuka rute
penerbangan Batavia (Jakarta) – Bandung yang dilayani Perusahaan Penerbangan KNILM
(Perusahaan Penerbangan Kerajaan Hindia Belanda). Tahun 1930 lapangan terbang A
ndir merupakan rute akhir penerbangan Hindia Belanda, artinya lapangan terbang A
ndir ini merupakan sarana penting ketika itu.

Tiga tahun sesudah lapangan terbang dipindah dari Sukamiskin ke Andir, yakni tahun
1927 – 1928, Laurents Walraven membuat 12 pesawat terbang meniru seri de Haviland
DH 9. Pada Maret tahun 1934 seorang jutawan pemilik toko serba ada “Merbaboe”,
Khouw Khe Hien memesan pesawat bermesin ganda setelah melihat keterampilan
Walraven untuk memperlancar kegiatan usahanya. Berdasarkan pesanan tersebut
dirancang pesawat bersayap rendah, dilengkapi dua mesin (engine) Pobyo 90 masing-
masing berkekuatan 90 daya kuda (shp).

Pesawat rancangan Walraven dan Pattist tersebut merupakan craftsmanship buah


tangan Achmad bin Talim dan kawan-kawannya. Sepuluh bulan kemudian, tanggal 4
Januari 1935, Letnan Terluin melakukan penerbangan perdana pesawat W2 tersebut.
Pada 9 Desember1935 pasangan Khouw – Terluin lepas landas dari bandara A ndir
Bandung lewat Batavia (Jakarta) menuju Eropa.
Keberhasilan W2 menjalani penerbangan ke Eropa mendorong Khouw berpetualang ke
Cina pada April – Mei 1936 untuk menjajagi kemungkinan mendirikan pabrik
pesawat terbang kedua di Asia – satu di Bandung dan satunya lagi di daratan Cina.
Rencana produksi W3 yang akan mampu mengangkut 4 penumpang baik di Bandung
maupun di Cina tidak pernah terwujud. Bulan Pebruari 1938, Khouw Khe Hien tewas
dalam suatu kecelakaan pesawat ketika ia mengikuti suatu penerbangan uji coba
pesawat pembom Glenn Martin di Cililitan (sekarang Halim Perdana Kusuma). Sementara
Laurents Walraven meninggal pada tanggal 6 November 1942 akibat penyakit disentri
sewaktu berlayar dengan kapal laut Takoma Maru.

Era Perang Kemerdekaan Indonesia

Tahun 1945

Pada masa perang kemerdekaan kegiatan kedirgantaraan yang utama adalah sebagai
bagian untuk memenangkan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan,
antara lain melakukan modifikasi pesawat yang ada untuk misi- misi tempur. Tokoh
pada masa ini adalah Agustinus Adisutjipto, yang merencang dan menguji
terbangkan serta menerbangkan dalam pertempuran yang sesungguhnya “Pesawat
Cureng”/Nishikoren peninggalan Jepang yang dimodifikasi menjadi versi serang darat.
Penerbangan perdananya dilakukan pada Oktober 1945 di atas kota Tasikmalaya.

Tahun 1946 & Tahun 1948

Para jenius pada masa itu, Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisurjo dan
Sumarsono telah merintis pembuatan pesawat terbang di tanah air sejak tahun
1946. Para pionir tersebut bekerja untuk Biro Perencana Konstruksi Pesawat di
lingkungan Tentara Republik Indonesia yang berkedudukan di Madiun. Kemudian
Biro tersebut dipindahkan ke Andir (sekarang Husein Sastranegara) di Bandung. Hasil
rancang bangun Biro ini antara lain pesawat laying jenis Zogling, Nurtanio, Wiweko Glider
(NWG) dan pada tahun 1948 Wiweko Experimental Light Plane (WEL X).

Era Pasca Perang Kemerdekaan

Tahun 1953 - 1966

Sesungguhnya semangat kedirgantaraan putera-puteri Indonesia sudah semakin tampak


pada tahun 1953. Pada tahun itu dibentuk suatu wadah baru yang menangani
pengembangan pesawat terbang yang diberi nama Seksi Percobaan. Empat tahun
kemudian, tahun 1957 diubah namanya menjadi Sub Depot Penyelidikan dibawah
supervisi Komando Depot Perawatan Teknik Udara
yang dipimpin oleh Mayor Nurtanio Prianggoadisurjo, seorang perwira muda kelahiran
Kandangan (Kalimantan Selatan) 3 Desember 1923. Kemudian pada tahun 1960 Sub
Depot ini ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Persiapan Industri Penerbangan
(LAPIP).

Lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1965 berubah lagi menjadi Komando Pelaksana
Persiapan Industri Pesawat Terbang (KOPELAPIP). Dan pada tahun 1966, KOPELAPIP
digabung dengan PN Industri Pesawat Terbang Berdikari menjadi Lembaga Industri
Penerbangan Nurtanio (LIPNUR). Pesawat-pesawat hasil produksi LIPNUR antara lain
Sikumbang, Belalang 85/90, Kunang, Super Kunang, dan Gelatik/PZL Wilga dan LT
200 (Gelatik dibuat dengan lisensi dari Ceko-Polandia).

Selain Direktur LA PIP, Nurtanio pernah menjadi Liaison Officer Lembaga


Pembangunan Nasional , Ketua Penasehat Ilmiah Markas Besar TNI AU, anggota Dewan
Teknologi dan Riset Industri, dan Direktur Jenderal Lembaga Penerbangan dan A
ngkasa Luar Nasional (LAPAN)

Di sisi lain, Pemerintah dalam hal ini Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno
sejak tahun 1950 telah mengirim sejumlah mahasiswa (putera- puteri Indonesia) yang
ditugaskan untuk mempelajari ilmu kedirgantaraan dan maritim (high tech) ke luar negeri.

Sejak tahun 1950 – 1954 mahasiswa yang dikirim Pemerintah Indonesia ditugaskan untuk
belajar tentang konstruksi pesawat terbang dan kedirgantaraan di TU Delft Belanda.

Salah satu diantara mahasiwa yang dikirim dalam gelombang pertama (tahun
1950) adalah Oetarjo Diran, beliau selain pakar di bidang pesawat terbang juga guru
besar teknik mesin penerbangan di Institut Teknologi Bandung (ITB), salah satu perguruan
tinggi ternama di Asia Tenggara.

Dan salah seorang mahasiswa yang dikirim tahun 1954 (gelombang ke empat) adalah BJ
Habibie (pakar pesawat terbang, Presiden RI ke 3 dan Dirut pertama PTDI). Sejalan
dengan pembentukan Dewan Penerbangan atas perintah Presiden Soekarno pada
tahun 1955. Selanjutnya atas perintas Presiden Soekarno pula dikirim sekelompok
mahasiswa Indonesia untuk belajar konstruksi pesawat terbang dan kedirgantaraan ke
Ceko dan Rusia pada tahun 1958 hingga tahun 1962.

Nurtanio telah berhasil membuat sejumlah pesawat, antara lain “Kunang”, pesawat
olahraga dari kayu yang digerakkan dengan mesin VW dan dibuat di garasi mobil.
Pesawat ini berhasil mengelilingi Pulau Jawa. Dengan pesawat ini Nurtanio ingin
meyakinkan bahwa pemuda-pemuda Indonesia tidak hanya
berpuas diri dapat menerbangkan pesawat, tetapi mampu membuat pesawat sendiri.

Nurtanio yang memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dalam A eronautical


Engineering dari Far East Aero Technical Institute Philipina ini meninggal tanggal
22 Maret 1966. Dia gugur bersama Pangkorud II Kolonel Penerbang Supadio dalam suatu
uji terbang dengan pesawat bukan buatan Indonesia.

Pada tahun 1965, Pemerintah Indonesia membuat proyek Komando Pelaksana Persiapan
Industri Pesawat Terbang (KOPELAPIP). Proyek ini berencana membuat pesawat
terbang komersial bekerja sama dengan Fokker (Industri Pesawat Terbang Belanda).
Waktu itu, Panglima Angkatan Udara dijabat Laksamana Madya Udara Omar Dhani.

Tahun 1974

Delapan tahun setelah perintis industri pesawat terbang itu meninggal (Nurtanio),
pada tahun 1974 melalui SK Dirut Pertamina, Habibie yang lahir di Pare-Pare, 25 Juni
1936 yang saat itu menjabat Vice President Direktur Aplikasi T eknologi perusahaan
pesawat terbang Jerman Messerschmit-Bolkow Blohm (MBB sekarang Eurocopter
Jerman) ditugaskan membentuk dan memimpin Divisi Advanced Technology dan T
eknologi Penerbangan (ATTP) dibawah Pertamina.

Program pertama ATTP adalah membuat pesawat C212 dibawah lisensi CASA (sekarang
Airbus Military) Spanyol dan helikopter BO-105 dibawah lisensi MBB Jerman. Habibie
juga ditugaskan Presiden Soeharto mempersiapkan pendirian industri pesawat
terbang bertaraf internasional dengan menggunakan aset yang tersedia, seperti aset TNI
AU dan Pertamina.

Tahun 1976 – 2012

PT Dirgantara Indonesia (Persero) (PTDI) pada saat peresmian pendiriannya bernama


PT Nurtanio. PT Nurtanio didirikan berdasarkan Akte Notaris No.
15 Tertanggal 28 April Tahun 1976. Peresmian pendirian PT Nurtanio berlangsung
di Kawasan Produksi I PT Nurtanio dan diresmikan Presiden ke-2
Republik Indonesia Jenderal TNI Soeharto pada tanggal 23 Agustus 1976. Prof
Dr. Ing BJ Habibie diangkat sebagai Direktur Utama PT Nurtanio. Perusahaan ini
menggabungkan asset A TTP dan LIPNUR berupa 2 hanggar, beberapa mesin
konvensional, sekitar 500 orang karyawan termasuk 17 insinyur di dalamnya.
Beberapa faktor yang merupakan dasar didirikannya industri pesawat terbang
adalah:
1. Sebagai sarana pemenuhan kebutuhan alat pertahanan (alut sista) bagi bangsa
Indonesia. Dengan memiliki sarana ini diharapkan setahap demi setahap bangsa
Indonesia mampu mandiri dan sekaligus mengurangi ketergantung pada
bangsa-bangsa lain (luar negeri).
2. Sebagai wahana pembuatan alat transportasi udara yang perannya sangat besar
bagi peningkatan dan pertumbuhan ekonomi nasional karena
dengan pesawat dapat menghubungkan semua titik di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
3. Penguasaan teknologi tinggi (high tech) sebagai bagian dari perjalanan
bangsa menguasai teknologi mutakhir yang merupakan kemampuan puncak umat
manusia. Dengan penguasaan teknologi ini maka akan menumbuhkan ratusan
industri pendukung dari bahan baku (raw material) sampai pada industri
komponen standar (standard part) yang akan menyerap jutaan tenaga kerja
putera-puteri Indonesia.

Prof. Dr. Ing BJ. Habibie yang lebih dari 20 tahun bermukim di Jerman dan
posisi terakhir sebagai salah satu Vice President di industri pesawat terbang
terkemuka di Eropa Barat itu saat kembali ke tanah air memiliki “grand strategy”
penguasaan teknologi oleh putera-puteri Indonesia.

T ahap Pertama adalah alih teknologi atau “underlicense”. Pada tahap ini
memanfaatkan produk yang sudah ada di dunia (produk Negara/perusahaan lain)
dengan membuat pesawat di bawah lisensi untuk diproduksi di PTDI (di
Indonesia).

Tahap kedua adalah integrasi teknologi/”integration technology”. Pada tahap


ini bangsa Indonesia dan bangsa lain duduk bersama untuk merancangan bangun
dan memproduksi bersama (co-design and co- manufacturing) suatu produk
baru yang belum ada di pasar. PTDI bekerjasama dengan CASA Spanyol
(sekarang bernama A irbus Defence and Space) membangun, mendesain dan
memproduksi CN235, pesawat berpenumpang 35-44 orang, multi purpose,
pesawat commuter, dengan integrasi teknologi yang terjamin untuk
mengembangkan beberapa teknologi baru, produk yang memiliki keunggulan di
pasarnya.

T ahap ketiga adalah pengembangan teknologi/”technology


development”. Pada tahap ini bangsa Indonesia merancang bangun penuh
pesawat yang akan diproduksinya (full design). Pada tahap ini PTDI berhasil
melakukan rancang bangun pesawat baru asli karya anak bangsa yang dikenal
dengan nama N250, pesawat berbadan lebar yang mampu
mengangkut penumpang 64-70 orang, memiliki teknologi Fly - By - Wire,
konfigurasi T Tail.

Tahap keempat adalah penelitian secara besar-besaran di bidang ilmu dasar


seperti, matematika, fisika, kimia, biologi, bio kimia, bio teknologi, aerodinamika,
themo dinamika, elektronika, gas dan getaran, uji konstruksi, dll. Pada tahap ini
PTDI berkonsentrasi melakukan riset dan pengembangan produk baru untuk
masa depan dengan menggunakan teknologi terbaru, berpenumpang 80-130
orang, pesawat jet berbadan lebar, memiliki teknologi Fly - By - Wire, yang
dikenal dengan nama N2130, yang direncanakan akan diperkenalkan ke publik
pada Indonesia Air Show Ketiga di bulan Juli 2006.

Pada tahap pertama PTDI memproduksi C212 dibawah lisensi CASA (sekarang Airbus
Defence and Space) Spanyol dan helikopter BO-105 dibawah lisensi MBB (sekarang A
irbus Helicopter) Jerman. Ini merupakan realisasi tahap pertama dari penguasaan
teknologi. Dalam penguasaan teknologi ini Dr. BJ Habibie menerapkan metode
“progressive manufacturing plan” .

Program ini merupakan suatu bentuk penyerapan teknologi yang diawali dengan
pengenalan secara umum tipe dan karakteristik pesawat. Kemudian dilanjutkan dengan
penguasaan tehnik-tehnik pembuatan bagian-bagian struktur pesawat (single part)
hingga komponen terkecil (detail part). Sehingga pada akhirnya menguasai pembuatan
keseluruhan (total part manufacturing) dari masing- masing pesawat dan helikopter
yang diproduksi PTDI.

Konsep Dr. BJ Habibie di atas tidak saja menjamin mutu standar internasional, tetapi
memberikan kesempatan atau peluang kerja bagi putera-puteri Indonesia dengan standar
gaji yang memadai.

Pada tahap kedua, PTDI mencari mitra untuk diajak bekerjasama merancang dan
memproduksi bersama sebuah pesawat baru yang belum ada di pasaran. Setelah pihak
Fokker diajak oleh Dr. Habibie tapi tidak bersedia, maka yang kemudian mau bekerjasama
adalah CASA (Airbus Defence and Space).

Pada tahun 1979 didirikanlah A ircraft Technology Industry (A irtech)


berkedudukan di Madrid Spanyol dan Dr. BJ Habibie diangkat sebagai Direktur Utamanya.
Program pertama dari usaha patungan ini adalah pesawat CN235 (CASA –Nurtanio, 2
mesin 35 penumpang). Saat ini sudah lebih dari 300 pesawat CN235 dioperasikan di
seluruh dunia.
Tahap ketiga yang dicanangkan oleh Dr. BJ Habibie adalah “pengembangan teknologi”.
Pada tahap ini bangsa Indonesia khususnya putera-puteri yang bekerja di PTDI
mendapat tugas untuk merancang dan memproduksi secara penuh pesawat baru. Sejak
tahun 1987 mulailah rancang bangun pesawat N250 (Nusantara 2 mesin 50 penumpang).

Dalam rancang bangun N250 tidak kurang dari 4000 insinyur termasuk S2 dan S3
terlibat di dalamnya. Dan pada tanggal 10 Agustus 1995 N250 “Gatot Koco” melakukan
penerbangan perdananya selama 80 menit berjalan dengan lancar. Keberhasilan ini
dijadikan momentum bersejarah, yakni tanggal 10 Agustus ditetapkan sebagai Hari
Kebangkitan Teknologi Nasional (HA KTEKNAS).

N250 pesawat kebanggaan bangsa Indonesia rencananya akan diproduksi di 3 tempat,


yakni Bandung, Alabama (USA) dan Stugart (Jerman). Namun hal itu tidak terealisasi
karena diberhentikannya aliran dana dari Pemerintah sejak Januari 1998 setelah
Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan Internasional Monetery
Fund (IMF). Dampak dari krisis ekonomi ini berakibat pula pada program pesawat
bermesin jet N2130 dan program pembuatan satelit, program pengembangan SDM, dll.

Tahap keempat, yakni penelitian di bidang ilmu dasar oleh Dr. BJ Habibie dipusatkan di
Serpong Tanggerang. Beberapa fasilitas yang sudah dibangun sampai sekarang masih
berjalan tetapi ada beberapa fasilitas yang tidak jadi karena hantaman krisis sejak 1998.

Tahun 1977

Fasilitas PTDI di kawasan produksi satu (KP I) yang semula hanya dari LIPNUR
kemudian dikembangkan ke sebelah barat di area seluas 11 hektar.

Tahun 1979

Didirikan usaha patungan CASA – Nurtanio (Airbus Defence and Space – PTDI) diberi
nama Aircraft Technology Industry (Airtech) berkedudukan di Madrid Spanyol. Dr. BJ.
Habibie diangkat menjadi Direktur Utama. Program pertama usaha patungan ini pesawat
serba guna CN235.

Pesawat CN235 dirancangan bangun bersama oleh para insinyur Indonesia dan Spanyol.
PTDI mendapatkan bagian untuk membuat “ outer wings” dan “tail unit”, dan pintu-
pintu (doors), sementara Airbus Defence and Space mendapatkan tugas membuat
“center wings” dan “noses”. Badan tengah dan badan belakang (center fuselage and rear
fuselage) dibuat masing-masing sesuai order yang diterima. CN235 ditenagai 2 mesin
(engine) General Electric (USA ) CT7-9C masing-masing berkekuatan 1750 daya kuda
(Shp).
Pada tahun yang sama PTDI mendapatkan fasilitas pembuatan roket dari TNI Angkatan
Udara (Pemerintah) yang berada di Cibeureum Tasikmalaya. Pada saat itu sedang
diproduksi Roket Sura D dibawah lisensi dari Oerlikon Swiss. Kemudian program
Sura D diganti oleh PTDI menjadi program pembuatan Roket FFAR 2,75” dibawah lisensi
dari Fellzebrugee (FZ) Belgia. Program ini berlanjut sampai sekarang. Roket ini mampu
jarak jangkaunya 8,75 km.

Tahun 1979 PTDI juga mendapat lisensi dari Siemen – Telefunken Jerman untuk
memproduksi Surface Underwater Target Torpedo (SUT) Torpedo. Senjata ini
diproduksi di Kawan Produksi V PTDI di Batuporon Madura. Pada tahun yang sama PTDI
berhasil menyelesaikan perakitan 11 unit helikopter Puma NSA 330 untuk TNI Angkatan
Udara. Helikopter ini produksi Aerospatiale (sekarang Eurocopter) Perancis.

Tahun 1980

Pada tahun ini Direktur Umum PTDI (PT Nurtanio saat itu), Marsekal Untung
Suwignyo beserta sejumlah staf mengalami musibah saat penerbangan Bandung
– Jakarta menggunakan pesawat C212 di gunung Sanggabuana – Bogor.

Pada tahun ini dilakukan pula peletakkan batu pertama pembangunan Kawasan Produksi
II PTDI yang terletak di sebelah utara landasan pacu Husein Sastranegara di atas tanah
seluas 40 hektar. Saat ini KP II menjadi pusat kegiatan manajemen, rancang bangun,
produksi dan jasa perawatan PTDI.

Tahun 1981

Pesawat CN235 terus melakukan uji terbang untuk mendapatkan sertifikasi dari DGA
C/DGCA . Pada tahun ini dipersiapkan pula pendirian salah satu divisi
perawatan/pemeliharaan mesin-mesin pesawat dan industry. Divisi tersebut dikenal
dengan nama Universal Maintenance Center (UMC).

Tahun 1982

Pada Tahun 1982 PTDI bekerja sama dengan Boeing Company di bidang manajemen dan
organisasi. Pada tahun ini pula PTDI mengembangkan kerjasama dengan Aerospatiale
(Eurocopter, saat ini dikenal A irbus Helicopter – Perancis) untuk memproduksi
helikopter Super Puma NAS332 dibawah lisensi perusahaan Perancis tersebut.

Kerjasama juga ditandatangani PTDI dengan Bell Helicopter Textron USA untuk
memproduksi Bell 412 dibawah lisensi perusahaan Amerika tersebut.
Pada tahun ini salah satu divisi, yakni Divisi Universal Maintenance Center (pusat
perawatan, pemeliharaan dan perawatan berat) engine/mesin-mesin pesawat
mulai beroperasi. Kekuatan personilnya sekitar 50 orang dan mereka telah menjalani
training di General Electric (GE) USA.

Tahun 1983

Pada tahun ini tercatat beberapa peristiwa penting. Pada tanggal 10


September 1983 Presiden Soeharto meresmikan peluncuran (Roll-Out) CN235 dan
sekaligus memberi nama pesawat prototype tersebut dengan nama
Gatot Koco semasa bayi yakni “Tetuko”. Inilah awal Indonesia memasuki era
baru di bidang teknologi dirgantara.

Keberhasilan tersebut dilengkapi dengan penerbangan perdana Tetuko pada pengujung


bulan Desember yaitu tanggal 30 Desember 1983 ketika Tetuko terbang perdana selama
85 menit di atas kota Bandung dan sekitarnya. Pilot Kol Penerbang Guillermo Delgado
dan Co Pilot Letnan Kolonel Penerbang E. Mursanto begitu percaya diri menerbangkan
bayi Tetuko.

Sekitar 11.000 pasang mata, yakni para karyawan PTDI menyaksikan hari yang bersejarah
tersebut. Tidak terasa air mata pun jatuh dari sebagian besar karyawan yang
menyaksikan hasil karyanya mengudara.

CN235 pesawat commuter serba guna mampu mengangkut 35 – 42 penumpang, panjang


21,40 m tinggi 8,12 m, memiliki baling-baling 4 bilah dan rentang sayap
27,30 m dengan beban maksimum 4000 kg dan kecepatan terbang maksimal
236 knots. CN235 merupakan pesawat serba guna memiliki ramp door yang
memudahkan bagi pengguna untuk mengangkut peralatan militer.

Tahun 1984

Pada Tahun 1984 PTDI mulai memproduksi helikopter Bell 412 dibawah lisensi Bell
Helicopter Textron USA. Alih teknologi Bell 412 ini setahap lebih maju dibandingkan
produk-produk lisensi sebelumnya. Pada saat PTDI mulai merakit helikopter ini bagian
ekor (tail unit)nya sudah diproduksi di PTDI.

Tahun 1985

Pada tahun 1985, prototype CN235 “Tetuko” diperkenalkan kepada para calon pembeli
(customers). Hasil-hasil uji terbang dari Tertuko disebarkan dalam berbagai event
internasional termasuk “Paris Air Show”. Nama PTDI semakin melambung dalam
kancah industri pesawat terbang internasional. Wartawan Flight International, Pieter
Mindleton bahkan menyebut PT NUrtanio (saat itu) sebagai “the rising star of the orient”
(Bintang yang muncul dari timur). Dan satu sebutan lagi sebagai “Everret of the East”.
(Everret salah satu kota yang
menjadi pusat produksi pesawat Boeing). Pada tahun ini dipersiapkan juga
Indonesia Air Show pertama.

Pada tahun 1985 PTDI mengirim beberapa insinyur Indonesia untuk bekerja di
Hughes Aerospace Industry di California USA.

Tahun 1986

Pada tahun 1986 nama PT Nurtanio diganti menjadi PT Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN) berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia. Kata “Nusantara”
merupakan gabungan dari “Nusa” yang berarti kepulauan dan “Antara” yang berarti
diantara. Secara lengkap Nusantara diartikan sebagai suatu kesatuan dari kepualauan
dan perairan yang mengelilinginya, yang terletak di antara dua benua, Asia dan A
ustralia.

Pada tahun ini kelaikan terbang CN235 semakin sempurna dengan diperolehnya
sertifikasi FAA melalui CASA Spanyol.

Pada tahun ini juga CN235 mulai dioperasikan oleh PT Merpati Nusantara. Sebanyak
15 pesawat secara bertahap melayani berbagai rute di tanah air. Rute yang menggunakan
CN235 antara lain Bandung – Jakarta (pp), Jakarta – Lampung (pp), Semarang – Pangkalan
Bun (pp), Bali – Lombok (pp).

Pesawat pertama CN235 yang diserahkan pada tanggal 15 Desember 1986 diberi nama
Obira, nama sebuah pulau di Indonesia bagian timur. Di wilayah itulah Obira
dioperasikan.

Pada tahun ini diselenggarakan “Indonesia Air Show” yang pertama di Bandara
Kemayoran Jakarta. Pameran Kedirgantaraan Terbesar di Asia Tenggara ini diikuti oleh
ratusan perusahaan baik pembuat pesawat maupun komponen-komponen dan industri
pendukungnya dari puluhan Negara.

Pembukaan dan penyelenggaraan pameran yang dimeriahkan dengan demo terbang


pesawat-pesawat tempur membuat langit Jakarta hingar-bingar. A irshow berlangsung
dari tanggal 22 Juni sampai 1 Juli 1986.

Pada tahun ini juga PTDI mendapatkan offset dari General Dynamics, pabrik pembuat
pesawat tempur F-16 karena pembelian 12 pesawat tersebut oleh TNI Angkatan Udara.
Berdasarkan kesepakatan PTDI mendapatkan offset senilai
35% dari total pembelian. PTDI menggantinya dengan membuat 400 shipset
komponen F-16, antara lain (pintu kiri dan kanan, tempat senjata, tempat bahan bakar,
sirip tegak/vertical fin).
Tahun 1986 pula PTDI mendapatkan sertifikasi dari Boeing. Dengan sertifikasi ini maka
setiap produk komponen PTDI dapat dimanfaatkan oleh setiap pesawat Boeing.

Tahun 1987

PTDI mulai memasuki tahap ke 3 pada tahun ini, yaitu tahap “pengembangan teknologi”.
PTDI mendapat tugas dari Pemerintah untuk merancang bangun dan memproduksi
sepenuhnya pesawat baru. Maka dimulailah rancang bangun pesawat N250.

PTDI pada saat itu semakin meningkatkan jumlah SDMnya terutama para engineer
(insinyur). N250 merupakan pesawat turbo prop yang menggunakan teknologi mutakhir
termasuk sistem fly by wire. Rancang bangunnya melibatkan SDM terpilih antara lain
4000 insinyur, temasuk lebih dari 100 orang S3 dan 350
S2.

Tahun 1988

Kerjasama PTDI dengan Hughes Aerosystem USA terus berlanjut dan PTDI mengirim
30 insinyur ke California. Mereka terlibat dalam perancangan Satelit B2R, C1 dan C2 yang
dibeli PT Telkom Indonesia (Persero).

Pada tahun ini rancang bangun pesawat N250 terus berjalan dan semua yang terlibat
benar-benar memiliki harapan besar untuk dapat terwujudnya pesawat yang akan jadi
andalan PTDI di masa mendatang setelah eranya CN235. Kemampuan putera-puteri
Indonesia di sini benar-benar diuji karena N250 adalah pesawat pertama yang
sepenuhnya dirancang oleh bangsa Indonesia.

Tahun 1989

Pada tahun ini dunia dibuat tercengang ketika Dr. BJ Habibie memperkenalkan pesawat
yang dirancang sepenuhnya oleh putera-puteri Indonesia, yakni N250 dipublikasikan di
Le Bourget Paris dalam rangka Paris Air Show. Dengan diketahuinya tentang pesawat
N250 lebih luas maka para pesaingnya begitu was-was. Apalagi setelah mereka tahu
bahwa N250 menggunakan teknologi mutakhir fly by wire serta sejumlah perusahaan
domestik di Indonesia telah memesan pesawat tersebut semakin khawatirlah mereka.

Tahun 1990

Salah satu peristiwa penting bagi PTDI di tahun 1990 adalah Kunjungan Presiden Uni
Emirate Arab ke Indonesia. Dalam kunjungan tersebut ditandatangani memorandum
of understanding (MoU) yang menyangkut minat UAE untuk
membeli sejumlah produk PTDI dan dikemudian hari UAE membeli 7 unit CN235 produk
PTDI.

Tahun 1991

Pada tahun ini PTDI bersiap memasuki tahap ke empat dari penguasaan teknologi,
yakni penelitian ilmu dasar yang akan diaplikasikan dalam produk pesawat transonik
berkapasitas 100 – 130 tempat duduk, yakni N2130. PTDI juga sudah memperkirakan
beberapa metoda untuk mendukung proses rancang bangun pesawat antara lain:
computational fluid dynamic, structural optimization, new material technology,
smart wings, fly-by-optics, adaptive control, human factor engineering.

Tahun 1992

Pada A gustus 1992, N250 memasuki tahap produksi, yang ditandai dengan
pemotongan pertama material untuk komponen bagian sayap yang dilakukan Dirut
PTDI, Dr. BJ Habibie dengan menekan spindle mesin CNC (computer numerical
control machine), di hanggar Fabrikasi (sekarang Aerostructure). Komponen N250
pertama yang dibuat adalah bagian sayap kiri atas dari bahan baku aluminium alloy.

Tahun 1994

Dua tahun kemudian, tepatnya 10 Nopember 1994 prototype pertama pesawat N250
berkapasitas 50 penumpang yang diberinama Gatot Koco keluar hanggar (roll-out) ditarik
50 orang karyawan. Gatot Koco nama yang diberikan Presiden Soeharto untuk pesawat
prototype pertama. Untuk ketiga prototype berikutnya yang berkapasitas 70
penumpang Presiden Soeharto member nama, Krincingwesi, Koconegoro dan Putut
Guritno.

Pada tahun ini pesawat N2130 mulai dirancang dan diperhitungkan tahun 2003 akan
terbang perdana. Pesawat ini dapat dibuat 80, 100, dan 130 tempat duduk. Pesawat ini
dibuat untuk dapat bersaing merebut pasar pesawat berkapasitas 80
– 130 tempat duduk yang diproyeksikan pada tahun 1995 – 2015 kebutuhan dunia
mencapai 2.757 pesawat.

Tahun 1995

Pada Tahun 1995 ada dua peristiwa besar, pertama peringatan 50 tahun Kemerdekaan
Republik Indonesia dan yang kedua adalah penerbangan perdana (first flight) N250 Gatot
Koco. Tanggal 10 Agustus 1995 kemudian ditetapkan menjadi Hari Kebangkitan
Teknologi Nasional (HA KTEKNAS). Penerbangan perdana N250 disaksikan langsung
Presiden Soeharto beserta Ibu Tien Soeharto
dan Wakil Presiden Try Sutrisno berserta Ibu Tuti Try Sutrisno dan sejumlah
Menteri.

Peristiwa terbang perdana N250 sebagai hadiah ulang tahun Emas Republik Indonesia
dipandang sebagai suatu ujian psikologis bagi siapapun yang berada di kubu yang ingin
melihat suksesnya terbang, karena sebelumnya banyak yang pesimis dan meragukan
bahwa N250 buatan putera-puteri Indonesia itu bias terbang.

N250 Gatot Koco yang berigestrasi PK-XNG, dikemudikan oleh Chief Test Pilot Erwin
Danuwinata dan co pilot test Sumarwoto dan dibantu teknisi terbang Hindawan Hari
Wibowo dan Yuarez Riadi. Setelah keempat crew melapor kepada Presiden mereka
langsung naik ke pesawat yang telah disiapkan sebelumnya. Sementara itu Presiden
beserta rombongan bergegas menuju menara control.

Di atas menara control Presiden Soeharto, Ibu Tien, Wakil Presiden Try Sutrisno, Ibu Tuti
menyaksikan N250 Gatot Kaca mengudara. Presiden Soeharto juga berbincang dengan
Kapten Pilot Erwin Danuwinata. Pada kesempatan tersebut Presiden menanyakan tentang
peralatan yang ada di pesawat. Kapten Pilot Erwin menjawab bahwa semua peralatan
berjalan baik. Setelah 56 menit mengudara N250 Gatot Koco mendarat mulus di
landasan pacu Bandara Husein Sastranegara Bandung.

Pertengahan Juni 1995 Dr. BJ. Habibie Declaration of Intent dengan Gubernur Alabama
yang diwakili Dick Campton tentang pendirian pabrik perakitan pesawat N250 di AS, A
merican Regional Aircraft Industry (AMRAI) akan berpusat di kota Mobile rencananya
akan merakit antara 1 – 3 pesawat N250 per minggu. Pada saat itu Gubernur Alabama
menyiapkan tanah seluas 15 hektar dan harga sewa tanah US $ 1 per meter/tahun.

Selain di AS, perakitan N250 juga akan dilaksanakan di Jerman. Pada 13 Juni
1995 ditandatangani Surat Kesepakatan Bersama (SKB) dengan Menteri Ekonomi,
Teknologi dan Perhubungan Nierderscahen, Jerman Dr. Fisher dalam kaitan penunjukkan
perusahaan Aircraft Services Lemwerder (ASL) sebagai agen tunggal N20 untuk wilayah
Eropa. Khusus untuk Eropa PTDI akan lebih memfokuskan pesawat N250 tipe
Krincingwesi yang kapasista tempat duduknya lebih banyak dari Gatot Koco.

Di Perusahaan ini PTDI (IPTN saat itu) memiliki 25,11 persen saham ASL. Berbeda
dengan Mobile (A labama – USA ) pabrik perakitan akan didirikan di kota Lemwerder
Jerman, apabila ASL berhasil mencapai titik impas penjualan 18 pesawat N250.
Tahun 1996

Pada tahun ini, di wilayah udara Jakarta khususnya di sekitar Bandara Soekarno Hatta
kembali hingar bingar dengan Penyelenggaraan Indonesia Air Show untuk kedua kalinya.
N250 Gatot Koco dengan gagahnya terbang dalam demo flight di Indonesia Air Show. Ini
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memang memiliki kemampuan yang tidak kalah
dibandingkan bangsa lain. Di samping N250, CN235 juga tampil dalam perhelatan besar
tersebut.

Tahun 1997

Tahun 1997 PTDI kehilangan beberapa putera terbaiknya. Kapten Pilot Erwin
Danuwinata dan crew CN235 yang sedang menjalani uji terbang dan droping barang
dari pesawat mengalami musibah di Gorda Serang Banten. Kapten Erwin yang sedianya
akan menerbangkan N250 ke Paris dan sejumlah kota di berbagai Negara tidak
kesampaian. Beliau gugur saat menjalankan tugas.

Perhelatan Paris Air Show 1997 di Le Bourget Paris merupakan ajang pembuktian bahwa
N250 produk bangsa Indonesia memang layak diperhitungkan. Selain N250 PTDI juga
menerbangkan CN235 MPA (Maritime Patrol A ircraft) dan juga memperkenalkan
program selanjutnya N2130. Setelah Kapten Erwin berpulang, Kapten Pilot yang
menerbangkan N250 ke Paris adalah Kol Penerbang (Purn) Chris Sukardjono (58
tahun) dan LetKol Penerbang Sumarwoto (46 tahun). Beliau berdua sangat bangga dan
terharu dapat menerbangkan pesawat yang dirancang dan diproduksi sepenuhnya oleh
bangsa Indonesia.

Pada hari Selasa 10 Juni 1997 pagi N250 bertolak dari Bandung. Jarak Bandung
– Paris 13.500 km ditempuh Gatot Kaca selama 30 jam. Ini lebih lama dibandingkan
pesawat komersial lainnya, karena pesawat harus beberapa kali singgah di beberapa
Negara untuk mengisi bahan bakar. Rute yang ditempuh adalah Bandung – Batam –
Bangkok – Calcuta – Bombay – Muskat (Oman) – Riyadh (Arab Saudi) – Alexandria
(Mesir) – Brindisi (Italia) dan terakhir di Le Bourget (Paris).

Jalur yang sama ditempuh juga oleh CN235 MPA. Pada saat kembali N250 terbang
di beberapa Negara Eropa, kemudian ke Pakistan, Thailand, Vietnam dan Pilipina
sebelum kembali ke Bandung.

Namun situasi berubah begitu cepat. Nilai dolar terhadap rupiah naik sangat melambung
ini jelas menimbulkan malapetaka. Pada bulan Oktober 1997 para karyawan melaukan
unjuk rasa (demo) untuk pertama kalinya.
Tahun 1998

Masa depan industri kedirgantaraan yang menjanjikan sebenarnya sudah di depan


mata. Ini akan memberikan dampak bola salju yang akan menghidupkan ratusan industri
pendukung. Industri pendukung yang akan tumbuh dan berkembang bukan hanya untuk
PTDI tapi juga untuk PT PAL, PT PINDAD dan industri lainnya.

Lapangan kerja terhormat bagi putera-puteri bangsa akan terbuka lebar. Indonesia akan
memasuki era baru sebagai Negara “maju” di bidang industry dan akan diperhitungkan
oleh Negara yang tergabung dalam G7 dan Rusia.

Namun, bangsa Indonesia kalau menyadari sebenarnya “dihancurkan” oleh kekuatan luar
yang sangat dahsyat. Diawali dengan tiupan “topan” naiknya nilai dollar terhadap rupiah
dan selanjutnya krisis ekonomi yang melanda Asia dan puncaknya terjadi pada Januari
1998.

Dengan ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Republik


Indonesia, Presiden Soeharto dengan Direktur International Monetery Fund (IMF) ,
Michael Camdesau pada 15 Januari 1998 di Jakarta yang isinya bahwa “Dana Anggaran
dan Non Anggaran” yang digunakan untuk program PTDI (IPTN) dihentikan. Sebagai
tindak lanjut LoI dengan IMF, Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3
Tahun 1998 tertanggal 21 Januari
1998, yang berisi:
Menghentikan pemberian bantuan keuangan kepada PT IPTN
Menghentikan pemberian fasilitas kredit yang dijamin Pemerintah
kepada PT IPTN.

Akibat langsung dari LoI di atas, program N250, N2130 dan Satelit Aeri al Navigation
Satellite System terhenti. Pada tahun ini yang menjadi Direktur Utama PTDI, Ir. Hari
Laksono

Tahun 1999

Ir. Hari laksono memimpin PTDI sekitar 1 tahun dan beliau digantikan oleh
CTR Direktur Utama, Ir. S Paramajuda.

Pada kepemimpinan Ir. S Paramajuda situasi PTDI belum beranjak baik. Pada saat itu
sempat beberapa bula hari Jum’at diliburkan untuk efisiensi. Baik dalam kepemimpinan
Ir. Hari Laksono maupun Ir. S. Paramajuda aksi demo karyawan masih berlangsung
meskipun frekuensinya masih kecil. Pada tahun ini sebagai dampak lanjutan dari LoI
Pemerintah dengan IMF PTDI (IPTN) mengeluarkan
Program Pensiun Dini sampai 12 tahap, yang intinya member kesempatan kepada
para karyawan untuk mengundurkan diri dari PT IPTN.
Program ini dimulai tanggal 1 Maret 1999 hingga 1 Januari 2002. Sekitar
5000 karyawan, khususnya para perancang pesawat dari berbagai keakhlian dan
spesialisasi mengundurkan diri (Pensiun Atas Permintaan Sendiri/APS).
Bagi bangsa Indonesia ini benar-benar piukulan telak. Karena bangsa lain yang tidak
mendidik, membiayai dan member pengalaman justru menikmati hasil kerja keras kita
sementara kita yang telah bersusah payah hany tinggal menonton saja. Ini pukulan
yang mematikan dan sangat ironis.

Tahun 2000

Pada tahun 2000 PTDI dipimpin Direktur Utama baru yaitu Ir. Jusman SD. Beliau
sebelumnya menjabat Direktur Umum. Pada masa ini pensiun dini (APS) masih
berlangsung. Pada tanggal 2 Maret 2000, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 T ahun 2000 tentang Pencabutan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1980 tentang Larangan Pemasukan Dan Pemberian
Izin Pengoperasian Pesawat Terbang.

Dengan dicabutnya Inpres 1/1980, maka tidak ada lagi proteksi terhadap produksi PT
IPTN (PTDI). Dan pada tahun 2000 ini nama PT Industri Pesawat Terbang Nusantara
(PT IPTN) diubah menjadi PT. Dirgantara Indonesia (PTDI). Pergantian nama ini
diresmikan oleh Presiden RI ke 4, Bapak KH Abdurachman Wahid pada tanggal 24
Agustus 2000.

Pada periode ini dilakukan perombakan organisasi dan dibentuknya unit-unit bisnis untuk
mendongkrak pendapatan perusahaan. Pada tahun 2000 ini terjadi 4 kali aksi demo besar
karyawan PTDI.

Tahun 2001

Dalam kepemimpinan Ir. Jusman SD PTDI untuk pertama kali membukukan


keuntungan sebesar Rp. 11,26 Milyar. Ini suatu prestasi yang luar biasa, karena dalam
sitiuasi dan kondisi yang masih terhempas krisis dan di tengah-tengah maraknya aksi
unjuk rasa (demo), PTDI mulai membukukan keuntungan dalam bisnisnya.

Ketidakseimbangan antara jumlah SDM dengan volume kerja akan diatasi dengan
jalan membuat “sekoci-sekoci” berupa anak-anak perusahaan agar dapat menampung
tenaga kerja yang belum mendapatkan beban pekerjaan. Ini secara bertahap mulai
dipersiapkan. PTDI dalam situasi sulit bisnisnya merambah ke berbagai produk namun
tetap bernafaskan teknologi tinggi. PTDI pernah memasok “cetakan panci”, “antenna
parabola”, “kendaraan tempur” dan
“kendaraan taktis” untuk Pasukan Khas TNI Angkatan Udara, “ flight simulator”
pesawat CN235 untuk Malaysia, dll.

Tahun 2002

Direktur Utama PTDI saat itu, Jusman SD menargetkan perusahaan untung sebesar
Rp. 48 milyar. Pada saat itu selain PTDI masih menyelesaikan pembuatan CN235
untuk Angkatan Udara Korea Selatan juga tengah negosiasi dengan Tentera Udara Diraja
Malaysia untuk pembelian 2 unit CN235 VIP.

Pada tahun itu telah ditandatangani pula pembuatan bagian dari sayap Airbus A380,
yakni IOFLE (Inboard – Outer Fixed Leading Edge) dengan British Aerospace Inggris.
Sementara SBU-SBU sudah semakin bergerak secara serentak untuk mendapatkan
keuntungan, antara lain SBU AITEM, AIPCM, Helikopter, ACS, Engineering Services, dll.

Proyek lain yang diperoleh antara lain penanganan pekerjaan CN235 Turki (proyek
Meltem), penanganan pesawat Dornier dengan Jerman dan proyek “penguin” dengan
Iran.

Pada masa kepemimpinan Ir. Jusman telah disepakati pula bahwa uang pensiun karyawan
75% dari penghasilan ketika masih aktif. Kesepakatan ini dibuat Manajemen dengan SP-
FKK yang difasilitasi oleh Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia yang langsung
dihadiri Menteri Jacob Nuwawea dan dikenal dengan Kesepakatan Homan, karena
dilangsungkan di hotel Homan Bandung.

Tapi apa hendak dikata, jajaran direksi dibawah Ir. Jusman SD diberhentikan pada bulan
Agustus 2002. Ir. Jusman SD digantikan Ir. Edwin Soedarmo sebagai nakhoda baru.

Dengan hadirnya nakhoda baru diharapkan akan lebih mendongkrak kondisi


perusahaan yang sempat terpuruk. Namun saya dalam kurun waktu satu tahun kondisi
bahkan semakin parah. Karena Serikat Pekerja (SP-FKK) selalu memaksakan kehendaknya
tanpa memperhitungkan kondisi keuangan perusahaan. Keuangan PTDI mengalami
pendarahan yang hebat.

Tahun 2003

Situasi dan kondisi PTDI masih sulit. Beruntung masih ada pengerjaan 2 unit CN235 untuk
Tentera Udara Diraja Malaysia dan sebelumnya PTDI juga mendapatkan kontrak 4 unit
CN235 dari Angkatan Udara Pakistan. Ini merupakan suatu capaian yang cukup
menggembirakan yang dapat dijadikan bekal dalam periode yang memang masih sulit
tersebut.
Sebagai langkah untuk menyelamatkan perusahaan (PTDI pada Pebruari 2003, Menteri
Keuangan melakukan audit kinerja pada PTDI dengan menggunakan jasa Price
Waterhouse Coopers (PWC). Audit Kinerja ini untuk waktu antara 1998 – 2002.

Kemudiaan, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui Keputusan


Nomor: SK-45a/BPPN/0603 tertanggal 9 Juni 2003, memutuskan Pembentukan
Kelompok Kerja Restrukturisasi PT Dirgantara Indonesia (Persero) dengan susunan Tim
adalah:
Ketua Tim Pengarah : Rini M Sumarno Soewandi
Ketua Tim Pelaksana : Achdiat Atmawinata

Tahun 2003 bagi PTDI tampaknya akan tetap dikenang oleh ribuan mantan karyawan.
Betapa tidak, dalam situasi yang sangat-sangat sulit aksi unjuk rasa karyawan yang
dimotori oleh para pengurus SP-FKK seakan tiada henti. Direktur Utama, Ir. Edwin
Soedarmo dalam rangka menyelamatkan perusahaan, akhirnya menggunakan jurus
“dokter”, kalau sudah busuk harus diamputasi.

Pada tanggal 11 Juli 2003 seluruh karyawan PTDI sebanyak 9600 orang
dirumahkan melalui SKEP/0598/030.02/PTDI/UT0000/07/03.

Pada tanggal 17 Juli 2003 pagi Kementerian BUMN, Direksi dan Komisaris
mengadakan rapat dengan hasil antara lain bahwa Keputusan Direksi tentang
Pengrumahan Seluruh Karyawan PTDI harus tetap dilaksanakan.

Pada tanggal 17 Juli malam, Rapat Kabinet Terbatas antara lain memutuskan bahwa PTDI
harus tetap dipertahankan eksistensinya dan proses rasionalisasi karyawan harus segera
dilaksanakan.

Keputusan KKSK No. Kep 01/K.KKSK/12/2003 tertanggal 2 Desember 2003 sebagai


tindak lanjut arahan Rapat Kabinet Terbatas pada tanggal 13
Nopember 2003, KKSK memutuskan bahwa BPPN dan Manajemen PTDI diminta
untuk segera melaksanakan keputusan Rapat Kabinet untuk melakukan PHK
terhadap sebagian karyawan PTDI.

Tahun 2004

Pada awal tahun, tepatnya tanggal 29 Januari 2004 Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat (P4P) memutuskan bahwa Memberi Izin pada Pengusaha PT
Dirgantara Indonesia (Persero) untuk memutuskan hubungan kerja sdr Eppy
Syaifuddin dkk (6.561 karyawan) terhitung sejak
tanggal 31 Desember 2003. Keputusan ini dibukukan dengan No 142/03/02-
8/X/PHK/1-2004 tertanggal 29 Januari 2004.
A mar III Putusan P4P, yakni “Mewajibkan PT Dirgantara Indonesia untuk
memberikan Kompensasi Pensiun dengan mendasarkan besarnya upah pekerja terakhir
menjadi perdebatan dan pokok perselisihan antara PTDI dengan mantan karyawan yang
menimbulkan aksi demo luar biasa.

Tahun 2005

Tanggal 5 Desember Tahun 2005 untuk pertama kalinya Presiden Republik Indonesia
ke-3 dan juga Direktur Utama PT DI pertama, Prof Dr. Ing BJ Habibie kembali
mengunjungi PTDI setelah beliau melepaskan jabatan Dirut tahun 1998 lalu.

Sehubungan dengan masalah ketenagakerjaan akibat kemelut di PTDI, Ir. Edwin


Soedarmo sebagai Direktur Utama terbelit masalah hukum. Dengan pertimbangan
beliau tidak dapat berkonsentrasi untuk melakukan tugas-tugas sebagai Direktur Utama
dan untuk memperlancar pengelolaan perusahaan, para pemegang saham menunjuk Ir.
Muhammad Nuril Fuad (Direktur Umum ketika itu) untuk menjalankan tugas (care
taker) Direktur Utama PTDI.

Keputusan tersebut ditandatangani Menteri Negara BUMN, Bapak Sugiharto dan Direktur
Utama PT Perusahaan Pengelola Asset, Bapak Mohammad Syahrial di Jakarta tanggal
30 Agustus 2005. Selama kurang lebih 18 bulan Ir. Muhammad Nuril Fuad menjabat care
taker Direktur Utama PTDI.

Tahun 2006

Selasa 3 Januari 2006 Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang


Yudhoyono untuk pertama kalinya mengunjungi PT Dirgantara Indonesia. Presiden dalam
kesempatan kunjungan ke PTDI waktu itu sempat meninjau pesawat N250 yang menjadi
kebanggaan bangsa Indonesia.

Pada Nopember 2006 berlangsung penandatanganan kerjasama antara PTDI dengan


Korea Aerospace Industry (KAI) dan Dewoo International Corporation. Kerjasama ini
dalam rangka pembuatan pesawat latih dan “light combat” KO-1.

Pada bulan Pebruari 2006 PTDI menyerahkan pesawat CN235 VIP yang kedua kepada
Tentera Udara Diraja Malaysia.

Tahun 2007
Pada bulan Maret 2007 Direksi PTDI membentuk “Program riset dan Pengembangan
pesawat terbang komuter CASR 23. Pesawat yang dirancangbangun sepenuhnya
oleh putera-puteri Indonesia ini adalah N219, yang berkapasitas 19 penumpang dan
program ini dipimpin Ir. Andi Alisjahbana.

PTDI memiliki nakhoda baru setelah Pemegang Saham mengangkat Direksi Baru pada
tanggal 6 Juli 2007. Pria kelahiran Jember 18 Juni 1955 ini sempat menakhodai PT
PINDAD sebelum pulang kandang ke PTDI. Dr. Budi Santoso sejak 6 Juli 2007 dipercaya
memimpin PTDI sampai saat ini.

Pada tanggal yang sama, yakni 6 Juli 2007 dua (dua) orang mantan karyawan yang
terkena PHK tahun 2004 mengajukan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta. Melalui
serangkaian sidang pada tanggal 19 September 2007 PTDI dinyatakan “pailit”
oleh Pengadilan Niaga Jakarta. PTDI langsung melakukan upaya Kasasi.

Dalam suasana pailit PTDI berhasil menembus pasar Afrika untuk pertama kalinya.
Satu unit CN235-220 dibeli oleh Angkatan Udara Burkina Faso.

Tahun 2008

Putusan Kasasi dari Mahkamah Agung yang membatalkan putusan pailit


Pengadilan Niaga Jakarta, dikeluarkan pada tanggal 6 Januari 2008.

Pada Mei 2008 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Perpres N0


28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional.

Pada Lampiran Hal 37 poin 3 Industri Kedirgantaraan dinyatakan sebagai berikut:


Melakukan restrukturisasi dan revitalisasi industri kedirgantaraan
Mengembangkan pesawat berpenumpang kurang dari 30 orang
Meningkatkan kemampuan dan pemanfaatan fasilitas perawatan dan
perbaikan pesawat terbang dalam negeri.
Meningkatkan sumber pendanaan untuk peningkatan kemampuan pasok
industri pesawat terbang nasional
Mengembangkan PTDI sebagai pusat produksi dan litbang dan Lembaga
Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai pusat R & D produk
kedirgantaraan
Mengembangkan pesawat udara jarak pendek dan menengah untuk
berbagai kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.
Pada Juni 2008 PTDI menyerahkan CN-235 MPA ke Kementerian Pertahanan
Republik Indonesia dan selanjutnya dioperasikan oleh TNI Angkatan Udara.

Pada 30 Juni 2008 untuk pertama kalinya PT Dirgantara Indonesia (Persero)


menandatangani Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan Himpunan Karyawan
Dirgantara Indonesia (HKDI). Penandatanganan PKB disaksikan langsung Kepala Dinas
Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Bandung.

Desember 2008 PTDI mendapatkan kontrak pembelian 4 unit CN235 versi pengawas
pantai dari Pemerintah Korea Selatan. Kontrak senilai $ 94,5 juta ini merupakan bukti
bahwa produk PTDI masih diminati oleh Negara lain. Pesanan dari Korea ini memang
untuk Korea Coast Guard (KCG) yang di negara tersebut berada dibawah Kepolisian.

Tahun 2009

Tahun 2009 merupakan tahun yang memberi harapan bagi dunia


kedirgantaraan. Setelah keluarnya Perpres No 28 Tahun 2008, diberlakukan pula Undang-
Undang (UU) N0 1 Tahun 2009.

Pada BAB XVII PEMBERDAYAAN INDUSTRI DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENERBA


NGAN, Pasal 37 berbunyi:
1. Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan wajib
dilakukan Pemerintah secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait
untuk memperkuat transportasi udara nasional
2. Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. rancang bangun,
produksi, dan pemeliharaan pesawat udara; b. mesin, baling - baling dan
komponen pesawat udara; c. fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan;
d. teknologi informasi, dan navigasi penerbangan; e. kebandarudaraan; serta f.
fasilitas pendidikan dan pelatihan personel penerbangan.
3. Perkuatan Transportasi udara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan Pemerintah dengan: a. mengembangkan riset pemasaran dan rancang
bangun yang laik jual; b. mengembangkan standarisasi dan komponen
penerbangan dengan mengunakan sebanyak- banyaknya muatan local dan alih
teknologi; c. mengembangkan industry bahan baku dan komponen; d.
memberikan kemudahan fasilitas pembiayaan dan perpajakan; e. memfasilitasi
kerja sama dengan industry sejenis dan/atau pasar pengguna di dalam dan
luar negeri; serta f. menetapkan kawasan industri penerbangan terpadu.
Maret 2009 PT Dirgantara Indonesia (Persero) menandatangani kerjasama dengan A
lliant Techsystem International (ATK Mission Group Amerika) Kerjasama masing-masing
ditandatangani Dirut PTDI, Dr. Budi Santoso dan Vice President and general Manager A
TK Mission System, Mr. David L. Sharpin di Jakarta. Kedua perusahaan telah sepakat
bekerjasama menggunakan sistem Intellegence Surveillance and Reconnaisance (ISR)
untuk pasukan lintas udara serta menggalang kerjasama untuk peluang pasar di masa
mendatang.

Bulan Juli 2009 untuk kedua kalinya Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang
Yudhoyono mengunjungi PT Dirgantara Indonesia (Persero). Meskipun kedatangan yang
keduam kalinya ini untuk menyaksikan penyerahan
40 unit panser dari PT PINDA D (Persero) ke Kementerian Pertahanan tetapi
kedatangan beliau juga membawa angin segar dengan akan ditingkatkannya anggaran
untuk alut sista dalam APBN 2010.

Pada bulan Agustus 2009 PTDI kembali bekerjasama dengan Bell Helicopter Textron.
Kerjasama dituangkan dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU), yang
masing-masing ditandatangani oleh Direktur Utama PTDI Dr. Budi Santoso dan CEO Bell
Helicopter Textron, Mr. Dick Millma di Kementerian BUMN Jakarta. Berdasarkan MoU
tersebut PTDI akan kembali memproduksi helicopter Bell 412 generasi terbaru yakni Bell
412 EP.

Pada tanggal 1 Desember 2009 PTDI mendapatkan kontrak pembuatan komponen


Airbus A320, A321, A330, A340 dan A350 dari Spirit Aero System sebesar Rp. 273
Milyar.

Pada Desember 2009 PTDI dan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia


menandatangani kontrak pembelian 3 unit CN235-220 versi Patroli Maritime senilai $
80 juta. Kontrak jual beli ini ditandatangani oleh Dirut PTDI, Budi Santoso dan Dirjen
Ranahan Kementerian Pertahanan, Marsekal Madya TNI Erris Heryanto di Jakarta.
Pesawat ini rencananya akan dioperasikan oleh jajaran TNI Angkatan Laut.

Tahun 2010

Januari 2010 PTDI mencatat langkah baru di bidang produksi komponen. Tepatnya
tanggal 27 Januari diresmikan awal pembuatan komponen untuk helikopter
EC725/EC225 dimulai ditandai dengan merivet (riveting) komponen tailboom untuk
kedua jenis heli tersebut.

Pada tahun ini Pemerintah Republik Indonesia membentuk Komite Kebijakan Industri
Pertahanan (KKIP). KKIP dibentuk berdasarkan Peraturan Persiden Republik Indonesia
(Perpres) No 42 tahun 2010. Komite ini dibentuk untuk
mengkoordinasikan perumusan, pelaksanaan, pengendalian, dan kebijakan nasional
industri pertahanan. Komite ini juga berupaya untuk meningkatkan kapasitas produksi
produsen alutsista dan non alutsista.

KKIP beranggotakan: Menteri Pertahanan sebagai Ketua; Menteri Negara BUMN sebagai
Wakil Ketua; Wakil Menteri Pertahanan sebagai Sekretaris dan anggota yang terdiri dari:
Menteri Riset Dan Teknologi, Panglima TNI dan Kapolri.

Pada bulan Juni 2010 saat Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang
Yudhoyono berkunjung ke Turki, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Turki sepakat
melakukan kerjasama bilateral di bidang industry pertahanan, melalui salah satu BUMNIS
yakni PTDI, yang akan membantu memodifikasi beberapa pesawat terbang milik Turki
untuk keperluan patrol maritim.

Pada tahun ini juga dicetuskan bahwa Pemerintah Indonesia akan bekerjasama dengan
Pemerintah Korea Selatan untuk membuat pesawat tempur KFX/IFX. Pesawat tempur
generasi 4,5 ini kemampuannya di atas F16 dan Sukhoi dan di bawah F35. Mengenai
pendanaan akan ditanggung Pemerintah Korea Selatan sebesar 80% dan Pemerintah
Indonesia sebesar 20%. Pesanan pertama untuk pesawat tempur ini 100 unit untuk A
ngkatan Udara Korea Selatan dan 50 unit untuk TNI Angkatan Udara. Sampai saat ini
masih didefinisikan tentang pesawat tersebut yang melibatkan puluhan insinyur dari
kedua Negara. Selama 2 tahun lebih 37 insinyur Indonesia (dari PTDI, Kementerian
Pertahanan dan ITB) masih bekerja terus di Seoul Korea Selatan.

Tahun 2011

PTDI pada tahun ini berada dalam tahap emergency karena mengalami “defisit cash
flow. Menteri Negara BUMN telah menyetujui dan menginstruksikan PT Perusahaan
Pengelola Aset (PT PPA) untuk melaksanakan proses
Restrukturisasi/Revitalisasi (R/R) di PTDI sejak akhir 2010. Rencannya Business Plan
harus masuk bulan Pebruari 2012 tetapi ada kendala. Tapi bulan Mei sudah diajukan
rencana tersebut menjadi 2 alternatif atau scenario. Ada 2 skenario dalam
penanganan PTDI. Skenario ke-1 jika PTDI ditutup berisi berapa banyak dana yang
harus dikeluarkan oleh Pemerintah jika akan memutuskan untuk menutup PTDI,
disusun berdasarkan pengalaman PTDI sewaktu dipailitkan di tahun 2007. Skenario
ke-2, jika PTDI dipertahankan. Skenario ke-2 dibagi menjadi 2 pula. Pertama jika
PTDI masih menjadi Perusahaan dengan entitas seperti saat ini.

Kedua jika ada unit bisnis yang dilepas, misalnya Direktorat ACS digabung dengan
PT NTP atau dengan BUMN lain. Dengan masuknya Business Plan ke Kementerian BUMN
pada bulan Mei 2011, maka bulan berikutnya PTDI mendapatkan R/R sebesar Rp. 675
milyar. Dan tepatnya pada tanggal
07 Juni 2011 Komite Restrukturisasi & Revitalisasi yang dipimpin oleh Menteri Negara
BUMN, menyetujui diberikannya dana tunai Rp. 675 milyar kepada PTDI.

Pada bulan Mei 2011 pula 1 (satu pesawat) pesanan AD Trade untuk Senegal sudah
sampai di Senegal – Afrika. Demikian juga dengan 2 (dua) pesawat CN-
235 KCG sudah sampai di Korea Selatan.

Tanggal 7 Oktober 2011, Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Letjen


TNI (Purn) Sjafrie Sjamsuddin mengikuti uji terbang pesawat CN295.

Pada hari Rabu, tanggal 26 Oktober 2011 untuk ketiga kalinya Presiden Republik
Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi PT Dirgantara Indonesia
(Persero). Presiden selain didampingi Ibu Ani Yudhoyono juga sejumlah Menteri.
Dalam kesempatan ini Presiden menyaksikan penandatanganan pengadaan 9 unit
CN295 antara Kementerian Pertahanan dengan PTDI seharga $ 325 juta.

Dengan penanganan RR, maka pada tahun 2012 – 2015 memasuki tahap Restrukturisasi
dan Stabilitasi. Dan pada tahun 2016 mendatang memasuki tahap Pertumbuhan
(growth).

Tahun 2012

Pertama dalam sejarah PTDI selama 36 tahun bahwa Direksi saat ini dibawah pimpinan
Dr. Budi Santoso telah mengantongi nilai kontrak sampai tahun 2014 mendatang sebesar
Rp. 8 Trilyun lebih. Dengan nilai kontrak sebesar itu berarti tiap tahunnya ada peningkatan
nilai sebesar 150% lebih. Ini adalah prestasi yang mencengangkan dan membanggakan.
MDengan perolehan kontrak ini maka diharapkan dalam tutup buku tahun 2012, 2013 dan
2014 PTDI akan mengulangi keberhasilan di tahun 2001 yang semapat membukukan
keuntungan sebesar Rp
11,26 milyar.

Pada tanggal 15 Pebruari 2012 lalu di tengah-tengah acara Singapore Air Show PTDI
menandatangani Letter of Intent (LoI) atau kesepakatan pembelian 20 pesawat N219
ditambah opsi 10 dengan PT Nusantara Buana Air (PT NBA). Nilai penjualan tersebut
sebesar $ 120 juta. Kesepakatan tersebut masing-masing ditandatangani Dirut PTDI,
Budi Santoso dan Dirut PT NBA, Laurens Prawira Nata Mihardja.

Tanggal 9 Maret 2012 PTDI menyelesaikan pesanan Korea Coast Guard. Pada hari
Jum’at itu CN235 KCG diterbangkan dari Bandung menuju Korea Selatan. Pada tahun ini
pula PTDI sedang berupaya keras untuk mendapatkan sertifikasi dari EASA Eropa khusus
untuk perawatan pesawat Airbus A320. Disamping itu
PTDI mendapat kepercayaan untuk membuat sebagian dari komponen sayap Airbus
A350. Di tahun ini pula order melalui pesawat Airbus A350 tidak hanya diperoleh dari
pembuatan komponennya melainkan juga sudah terlibat dalam proses rancang bangun
meskipun kuantitasnya masih relatif kecil.

Di bulan Mei 2012 PTDI kembali kehilangan salah satu kader terbaiknya, yakni Ir Kornel
Mandagi Sihombing. Ir Kornel meninggal saat mengikuti demo terbang pesawat Sukhoi
Super Jet 100. Keikutsertaan Ir. Kornel Sihombing dalam penerbangan tersebut dalam
rangka pendekatan dengan Sukhoi karena rencananya sebagian dari ekor Sukhoi akan
diproduksi di PTDI dari tahun 2013 sampai 2025 mendatang.

Anda mungkin juga menyukai