Anda di halaman 1dari 10

Aplikasi Fluoride Varnish pada Anak-Anak Prasekolah dan Fluorosis

pada Gigi Insisivus Permanen: Hasil Studi Nested-Cohort dalam


Percobaan Klinis

Ana Paula Pires dos Santos, DDS, PhD • Marcella Cristina Bordallo Malta, DDS, MSc • Mirian
de Waele Souchois de Marsillac, DDS, PhD • Branca Heloisa de Oliveira, DDS, PhD

Abstrak:
Tujuan: Untuk membandingkan prevalensi dan tingkat keparahan fluorosis pada gigi
insisivus rahang atas permanen yang telah berpartisipasi dalam percobaan klinis terkontrol
plasebo dua tahun pada aplikasi fluoride varnish pada gigi sulung dan untuk menilai
persepsi estetika anak pada gigi mereka.
Metode: Orang tua dari 200 anak berusia satu sampai empat tahun yang telah menerima
aplikasi dua tahunan dari fluoride varnish atau plasebo yang dikontakkan empat tahun
setelah akhir percobaan. Dua pemeriksa yang dikalibrasi menilai fluorosis gigi
menggunakan indeks Thylstrup dan Fejerskov (TF) dan mewawancarai anak-anak
mengenai persepsi penampilan gigi mereka.
Hasil: Fluorosis (TF sama dengan setidaknya satu) dan fluorosis yang tidak sesuai dengan
estetika (TF sama dengan setidaknya tiga) diamati pada masing-masing 38 (30,9%) dan
delapan (6,5%) anak-anak. Tidak ada perbedaan prevalensi fluorosis yang signifikan secara
statistik antara anak-anak yang telah menerima fluoride varnish atau plasebo. Respon anak-
anak mengenai persepsi estetik gigi mereka tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
secara statistik antara anak-anak dengan dan tanpa fluorosis.
Kesimpulan: Aplikasi fluoride varnish pada anak-anak prasekolah tidak terkait dengan
tingkat fluorosis pada gigi insisivus rahang atas permanen mereka. Fluorosis yang
ditemukan dalam penelitian ini tidak mempengaruhi persepsi estetika anak terhadap gigi
mereka.
Fluoride varnish (F) adalah salah satu dari berbagai metode F yang efektif dalam
mengendalikan karies gigi. Alasan di balik perkembangannya adalah memperpanjang
waktu kontak antara F dan enamel gigi, yang memungkinkannya bertindak sebagai
reservoir slow-releasing yang terikat secara longgar dan terikat dengan ketat. Meskipun
konsentrasi F tinggi, toksisitas akut tidak mungkin terjadi karena fluoride varnish
diterapkan dalam jumlah yang kecil dan waktu setting yang cepat, sehingga aman untuk
diterapkan pada anak kecil. Selain itu, kadar plasma F setelah aplikasi fluoride varnish
ditemukan jauh di bawah yang dianggap beracun. Mengenai toksisitas kronis, satu-satunya
efek samping yang diharapkan adalah terjadinya fluorosis gigi. Namun, fluorosis gigi yang
terkait dengan aplikasi fluoride varnish praktis bisa dikesampingkan, karena aplikasi ini
bersifat sporadic (tidak terstruktur/tidak tertata), dan fluorosis gigi disebabkan oleh
penyerapan F kronis yang tertelan dalam waktu lama selama perkembangan gigi. Namun,
walaupun tidak mungkin, hipotesis bahwa fluorosis tidak terkait dengan F yang diterapkan
secara profesional belum pernah diuji coba dalam desain eksperimental.

Mekanisme yang tepat dimana fluoride varnish dapat menyebabkan fluorosis masih
tidak jelas; karena mekanisme yang dapat memiliki efek anti karies enam bulan dari satu
aplikasi tunggal juga belum ditetapkan. Dengan demikian, seseorang dapat berhipotesis
bahwa, jika varnish secara perlahan memberikan F yang cukup ke lingkungan oral agar
memiliki efek anti karies positif yang terukur, mereka juga dapat berkontribusi pada
peningkatan paparan F kronis dan, oleh karena itu, risiko terjadinya fluorosis, terutama bila
digunakan pada anak-anak yang sangat muda yang juga terpapar pasta gigi berfluoride dan
air.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) membandingkan prevalensi dan tingkat
keparahan fluorosis gigi pada gigi insisivus rahang atas permanen anak-anak empat tahun
setelah uji coba klinis terkontrol plasebo dua tahun secara acak pada aplikasi fluoride
varnish dua tahunan pada gigi utama; dan (2) menilai persepsi estetik anak tentang gigi
mereka.

Metode

Penelitian ini disetujui oleh Komite Etika Penelitian Rumah Sakit Pedro Ernesto di
Universitas Negeri Rio de Janeiro, Brasil, dan semua orang tua membaca dan
menandatangani formulir informed consent. Ini adalah studi nested-cohort dalam uji coba
terkontrol secara acak. Peserta studi sebelumnya telah mengambil bagian dalam uji coba
klinis terkontrol plasebo secara acak tentang keefektifan aplikasi fluoride varnish dua
tahunan pada kejadian karies pada gigi sulung. Dua ratus satu sampai empat tahun telah
dialokasikan secara acak ke salah satu kelompok tes (aplikasi fluoride varnish dua tahunan)
atau kelompok kontrol (aplikasi varnish plasebo dua tahunan) dan diikuti selama dua
tahun. Rincian perhitungan ukuran sampel, pengacakan, dan rekrutmen dapat ditemukan
di tempat lain. Orang tua dari 200 anak tersebut dihubungi melalui telepon atau surat
empat tahun setelah berakhirnya percobaan klinis untuk membuat suatu janji pertemuan.

Dua pemeriksa berpartisipasi dalam pelatihan teoritis, yang dilakukan dengan


menggunakan Buku Pegangan Fluorosis untuk Pekerja Kesehatan dan berkas asli yang
mengajukan indeks fluorosis Thylstrup dan Fejerskov. Kriteria yang dijelaskan oleh Russel
juga dipelajari untuk membedakan bentuk fluorosis ringan dibandingkan dengan opasitas
enamel yang tidak berkontak dengan F. Selanjutnya, gambaran yang berisi berbagai tahap
fluorosis pada gigi insisivus rahang atas permanen dievaluasi. Pelatihan klinis termasuk
pemeriksaan terhadap 23 anak berusia 8-11 tahun yang menunjukkan gigi dengan berbagai
tahap fluorosis. Setelah setiap pemeriksaan, kedua pemeriksa mendiskusikan hasilnya, dan
setiap ketidaksetujuan diselesaikan dengan konsensus. Akhirnya, 27 anak berusia 8-11
tahun diperiksa secara independen untuk menilai reproduktifitas interexaminer. Tak satu
pun dari anak-anak ini ikut mengambil bagian dalam percobaan fluoride varnish.

Pemeriksaan gigi dilakukan oleh dua pemeriksa yang tidak berpartisipasi dalam uji
klinis dan tidak tahu mengenai intervensi yang diterima setiap anak. Semua anak diperiksa
di klinik gigi menggunakan kaca mulut, di bawah sinar alami, setelah diinstruksikan untuk
menyikat gigi. Permukaan bukal gigi insisivus rahang atas permanen dikelompokkan untuk
fluorosis setelah dikeringkan dengan cotton roll. Setelah fluorosis didiagnosis, anak
tersebut menerima nilai untuk dua gigi yang paling parah terkena dampaknya. Sewaktu-
waktu kedua gigi ini menunjukkan nilai yang berbeda, klasifikasi ditentukan oleh nilai
tertinggi.

Informasi mengenai jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi (SES), paparan anak-
anak terhadap pasta gigi F dan air yang mengandung fluor, dan kebiasaan menyikat gigi
dikumpulkan. Semua anak menjawab kuesioner versi Brazilian yang mengukur
kekhawatiran yang disebabkan oleh persepsi anak-anak dan orang tua mereka tentang
penampilan gigi. Dalam penelitian ini, kami menganalisis sebuah pertanyaan mengenai
keluhan ("Selama dua bulan terakhir, bagaimana kecewanya Anda mengenai penampilan
gigi Anda?") dan sebuah pertanyaan mengenai masalah sosial ("Selama dua bulan terakhir,
bagaimana menurut Anda mengenai penampilan gigi Anda dan membuat Anda kurang
percaya diri untuk tersenyum?"). Kedua pertanyaan dinilai menggunakan skala Likert
dengan tingkat berikut: banyak; sedikit; sangat kecil; tidak semuanya; dan tidak tahu
Pertanyaan ketiga menanyakan tentang perubahan warna gigi anak-anak yang dirasakan
sendiri ("Tolong ukur gigi Anda sesuai dengan yang berikut: sangat putih; putih; tidak putih
atau terdapat stain; sedikit stain; dan banyak stain"). Pertanyaan terakhir bertanya kepada
anak-anak tentang pendapat mereka dengan menggunakan pernyataan betapa
menyenangkan warna giginya ("Warna gigiku menyenangkan dan terlihat bagus"), dengan
pilihan respons berikut: sangat setuju; setuju; ragu-ragu; tidak setuju; dan sangat tidak
setuju.

Data dimasukkan dalam MS Excel (Microsoft Corp., Redondond, Wash., USA), dan
dianalisis pada perangkat lunak Stata 11.1 ® (Stata-Corp, College Station, Texas, USA). Hasil
data diakumulasikan dengan menggunakan koefisien kappa dikuadratkan. Perbedaan
antara prevalensi fluorosis pada kelompok uji dan kontrol dianalisis dengan menggunakan
uji pasti Fisher. Persepsi anak terhadap penampilan gigi juga dianalisis dengan
menggunakan uji pasti Fisher. Tingkat signifikansi ditetapkan sebesar 5%. Analisis post hoc
sekunder dilakukan untuk menilai pengaruh aplikasi fluoride varnish pada dasarnya yang
disesuaikan berdasarkan usia anak.

Hasil

Pendaftaran percobaan klinis berlangsung dari Juli 2006 sampai Juli 2007, dan
follow-up berakhir pada bulan September 2009. Semua orang tua dari 200 anak-anak yang
diacak dihubungi melalui telepon atau surat, dan janji pertemuan dijadwalkan antara bulan
Juni dan Oktober 2013. Total dari 123 anak (61,5%) diperiksa ulang: 63 awalnya milik
kelompok uji, dan 60 termasuk dalam kelompok kontrol. Anak-anak yang diperiksa untuk
fluorosis gigi saat follow-up serupa dengan anak-anak yang terdaftar dalam percobaan
varnish F mengenai jenis kelamin, SES, usia, penggunaan pasta gigi F, dan status karies gigi
(Tabel 1).
* Semua nilai P> 0,05; Status sosial ekonomi diukur dengan menggunakan Kriteria Klasifikasi
Ekonomi Brasil, yang mengelompokkan orang menjadi lima kategori sosioekonomi (A dan B =
status sosial ekonomi tinggi, C = status sosial ekonomi menengah, D dan E = status sosial ekonomi
rendah); d3mfs = jumlah kerusakan kavitasi (pada tingkat dentin), permukaan gigi yang sudah
ditambal dan diekstraksi pada gigi sulung.

† Analisis univariat dilakukan dengan uji chi-square.

§ Analisis univariat dilakukan dengan menggunakan dua sampel uji proporsi.

‡ Analisis univariat dilakukan dengan menggunakan uji t.

Usia anak-anak yang diperiksa untuk fluorosis gigi bervariasi dari tujuh sampai 11
tahun (rata-rata sama dengan 9,4 ± 0,9 [SD]), dan kebanyakan keluarga (93%) memperoleh
antara $ 255 dan $ 599 (dolar A.S.) per bulan. Semua keluarga menggunakan pasta gigi F
sebesar 1.000 ppm, dan 39% melaporkan bahwa mereka mulai menggunakannya sebelum
tahun pertama kehidupan. Namun, dalam studi lanjutan, 39% disikat dua kali sehari, 30,9%
disikat sekali sehari, dan 30,1% disikat tiga kali sehari. Pada permulaan uji pernis F, 79,5%
anak-anak menggunakan pasta gigi F, dan 96,5% memiliki akses ke air berfluoridasi yang
optimal.

Hasil data diakumulasikan dengan menggunakan koefisien kappa dikuadratkan,


dianggap substansial (k sama dengan 0,73) menurut Landis dan Koch. Tiga puluh delapan
anak (30,9%) memiliki beberapa bentuk fluorosis gigi. Skor paling sering adalah TF 2 (18
anak) dan TF 1 (12 anak). TF 3 ditemukan pada tujuh anak, dan TF 5 ditemukan pada satu
anak. Bila hanya kasus fluorosis yang dianggap tidak sesuai dengan pertimbangan estetis
(TF sama dengan setidaknya 3), prevalensi fluorosis menurun menjadi 6,5%.

Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik
antara fluorosis pada gigi insisivus rahang atas permanen di antara anak-anak yang telah
menerima aplikasi varnish F rata-rata dua tahunan dan mereka yang telah menerima
aplikasi varnish plasebo dua tahunan (P = 0,44). Bila hanya fluorosis yang dianggap tidak
sesuai dengan estetika, perbedaannya secara statistik tidak signifikan (P = 0,48).
Ketika anak ditanya apakah mereka kecewa atau tidak percaya diri saat tersenyum
karena penampilan gigi, tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik di antara
mereka yang memiliki tingkat fluorosis atau tidak fluorosis sama sekali (P> 0,05). Hal yang
sama juga teramati saat anak ditanya apakah warna giginya menarik dan terlihat bagus.
Anak-anak yang memiliki fluorosis gigi yang tidak sesuai estetika cenderung menyatakan
bahwa gigi mereka terdapat stain lebih banyak daripada mereka yang tidak; namun
perbedaan ini tidak signifikan secara statistik (P = 0,06; Gambar 1-3).

Gambar 1. Frekuensi anak-anak melaporkan keluhan dan tidak percaya diri saat tersenyum,
karena penampilan giginya, oleh gambaran dan keparahan fluorosis.
Gambar 2. Penilaian diri terhadap perubahan warna gigi dengan adanya dan tingkat
keparahan fluorosis gigi.

Gambar 3. Self-rating kepuasan dengan warna gigi oleh kehadiran dan keparahan fluorosis
gigi.

Diskusi

Karena masalah etis, hal ini tidak dapat dilakukan percobaan untuk menilai intervensi
yang merugikan. Dengan demikian, seseorang seharusnya tidak berharap ada percobaan
yang dilakukan untuk menilai secara spesifik terjadinya fluorosis gigi. Namun, masih ada
lingkup untuk melakukan uji klinis untuk menilai manfaat dari metode perolehan F yang
berbeda, dan peneliti tidak boleh melewatkan kesempatan untuk menyelidiki efek samping
yang terkait dengan pemaparan F. Faktanya, tinjauan sistematis Cochrane tentang efek F
topikal pada fluorosis gigi menunjukkan bahwa uji coba yang menilai keefektifan berbagai
jenis F topikal (termasuk pasta gigi, gel, varnish, dan obat kumur) harus mencakup periode
follow-up yang memadai untuk mengumpulkan data tentang fluorosis.

Untuk menilai efek jangka panjang yang merugikan seperti fluorosis gigi, uji coba
harus memperhitungkan masa follow-up yang panjang. Selain itu, untuk dapat
memverifikasi apakah intervensi minat (aplikasi F) berpotensi menyebabkan fluorosis pada
gigi insisivus rahang atas permanen, intervensi harus terjadi pada usia yang sangat dini
(empat tahun pertama kehidupan), sedangkan penilaian terhadap hasilnya (fluorosis gigi)
harus berusia delapan sampai sembilan tahun saat gigi ini erupsi. Hal ini menjadi jelas
bahwa percobaan semacam itu sulit dilakukan. Sepengetahuan kami, penelitian ini
menyajikan, untuk pertama kalinya, sebuah follow up percobaan varnish F pada gigi sulung
yang menilai terjadinya fluorosis gigi pada gigi insisivus rahang atas permanen. Hanya ada
dua penelitian lain yang juga menilai prevalensi fluorosis gigi setelah akhir uji coba secara
acak yang ditujukan terutama untuk menilai efek antikaries pada F. Namun, kedua uji coba
ini menguji keefektifan pasta gigi F dan bukan F yang diterapkan secara profesional. Hasil
gabungan mereka menunjukkan bahwa penggunaan pasta gigi F standar, dibandingkan
pasta gigi F rendah, meningkatkan risiko semua jenis fluorosis namun tidak meningkatkan
risiko florosis yang tidak sesuai dengan estetika. Sampai saat ini, penelitian kami, bersama
dengan dua percobaan lainnya, hanya terdiri dari bukti eksperimental klinis dari dampak F
topikal terhadap terjadinya fluorosis.

Kami menemukan prevalensi semua tingkat fluorosis sekitar 31%, di bawah yang
diharapkan (40 sampai 47%) ketika tingkat F dalam air berkisar antara 0,7 sampai satu
ppm. Faktanya, dua studi yang dilakukan di kota-kota Brasil lainnya dengan air yang
terfluoridasi optimal menunjukkan prevalensi fluorosis yang lebih tinggi: 59% dan 72%.
Sejauh mana prevalensi fluorosis yang dijelaskan dalam penelitian ini, pada kenyataannya,
dianggap sebagai kejadian fluorosis yang masih dalam perdebatan. Karena sifat biologis
alami fluorosis, tidak memungkinkan merancang sebuah percobaan yang akan menilai gigi
yang bebas fluorosis di awal dan di mana, setelah masa follow-up, beberapa akan
mengalami fluorosis. Sehingga perkembangan fluorosis terjadi sebelum gigi erupsi, namun
hanya dapat dinilai setelah erupsi, setiap usaha untuk menilai kejadian fluorosis dalam uji
klinis akan serupa dengan yang digunakan dalam penelitian kami.

Di sisi lain, telah ditunjukkan bahwa waktu pemaparan yang lama (lebih dari dua dari
empat tahun pertama kehidupan) meningkatkan risiko terjadinya fluorosis gigi pada gigi
insisivus rahang atas permanen. Seiring usia anak-anak di awal bervariasi dari satu sampai
empat tahun, kemungkinan gigi yang mengalami fluorosis yang terdeteksi pada anak yang
lebih tua tidak akan terkait dengan intervensi (misalnya aplikasi varnish F) namun pada
eksposur F lainnya yang terjadi lebih awal kehidupan mereka. Namun, kami tidak
menemukan perbedaan yang signifikan secara statistik dalam hal usia rata-rata pada awal
antara anak-anak yang menderita fluorosis dan mereka yang tidak. Selain itu, analisis post
hoc kami tidak mendeteksi adanya perbedaan dalam kejadian fluorosis atau fluorosis yang
tidak sesuai dengan harapan bila sampel dikelompokkan menurut usia anak pada awal;
Dengan kata lain, anak-anak yang sama dengan atau lebih muda dari dua tahun pada awal
percobaan menyajikan tingkat fluorosis yang sama bila dibandingkan dengan anak-anak
yang berusia lebih dari dua tahun saat terdaftar dalam percobaan. Temuan ini memperkuat
asumsi bahwa hasil prevalensi fluorosis kita dapat ditafsirkan sebagai kejadian fluorosis.

Tidak ada perbedaan signifikan secara statistik yang ditemukan pada fluorosis antara
anak-anak yang telah menerima aplikasi fluoride varnish atau aplikasi varnish plasebo dua
tahunan, walaupun hanya kasus fluorosis yang dianggap tidak sesuai dengan estetika.
Sebenarnya, lebih banyak kasus fluorosis dan fluorosis yang tidak sesuai dengan estetika
terdeteksi pada kelompok plasebo. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi fluoride varnish,
selain F dalam air dan pasta gigi, tidak meningkatkan risiko anak dalam terjadinya fluorosis
gigi.

Terjadinya fluorosis tampaknya tidak mempengaruhi respons anak terhadap


pertanyaan terkait penampilan gigi. Beberapa anak menjawab bahwa mereka kecewa atau
menghindar untuk tersenyum karena penampilan gigi; Namun, itu tidak terkait dengan
fluorosis, terlepas dari tingkatnya. Lalu, beberapa anak tanpa fluorosis sama sekali tidak
setuju bahwa warna gigi mereka menarik dan terlihat bagus. Hal ini menekankan bahwa
kondisi lain, seperti karies gigi dan trauma gigi, dapat mempengaruhi persepsi anak
terhadap penampilan gigi mereka, seperti yang ditunjukkan pada penelitian sebelumnya.
Seperti yang mungkin diharapkan, gigi lebih sering dianggap terdapat stain atau banyak
stain pada anak-anak akibat fluorosis sehingga mengganggu estetika, walaupun tidak ada
perbedaan signifikan secara statistik.

Perlu dicatat bahwa percobaan fluoride varnish dirancang untuk menilai kejadian
karies gigi, bukan kejadian fluorosis, yang berarti bahwa perhitungan ukuran sampel tidak
memperhitungkan kedua hasil tersebut. Terjadinya fluorosis gigi yang tidak sesuai dengan
estetika sangat jarang terjadi. Mengingat prevalensi yang diamati dalam penelitian ini
untuk kelompok uji dan kontrol, percobaan harus mendaftarkan sekitar 1.000 anak di
setiap kelompok agar memiliki kekuatan 80% untuk mendeteksi perbedaan signifikan
secara statistik dalam persentase fluorosis pada kedua kelompok, jika perbedaan seperti
itu benar-benar ada. Dengan demikian, bukti yang diberikan dalam penelitian ini tidak
dapat mengesampingkan efek aplikasi fluoride varnish pada terjadinya fluorosis.
Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, kesimpulan yang dapat dibuat:

1. Aplikasi fluoride varnish pada anak-anak prasekolah tidak dikaitkan dengan terjadinya
tingkat fluorosis pada gigi insisivus rahang atas permanen.

2. Respon anak-anak terhadap pertanyaan mengenai penampilan gigi mereka tidak


terdapat perbedaan pada berbagai tingkat fluorosis maupun mereka yang tidak memiliki
fluorosis sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai