Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan menggangu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh beberapa faktor alam dan faktor
non-alam maupun faktor manusia sehingga dapat mengakibatkan korban jiwa, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (BNPB, 2013).Salah satu bencana yang
sering terjadi di kota-kota berkembang di Indonesia adalah bencana banjir. Banjir adalah peristiwa
atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat
(UU No.24 Tahun 2007), yang disebabkan oleh perubahan iklim, peningkatan frekuensi dan
intensitas curah hujan yang tinggi atau akibat banjir kiriman dari daerah lain yang berada di tempat
lebih tinggi.
Samarinda sebagai Ibu Kota Kalimantan Timur yang saat ini tengah berkembang dengan pesat,
namun di tengah perkembangan ini Kota Samarinda masih selalu didera dengan permasalahan
banjir, Berbagai upaya telah dilakukan, namun upaya tersebut belum optimal dalam mengatasi
masalah banjir. Upaya tersebut berupa pemeliharaan saluran drainase kota, pembenahaan sungai-
sungai yang melinatasi kota, berbagai studi terkait pengendalian banjir kota, pembangunan sarana
pengendali banjir serat beberapa aturan telah dikeluarkan untuk pengendalian banjir.
Upaya-upaya tersebut ternyata kalah cepat dengan perkembangan kota. Oleh sebab itulah
maka diperlukan suatu penataan terpadu pengendalian banjir dengan menyusun prioritas
penanganan dan pembiayaan sesuai dengan kondisi actual serata prediksi pembangunan masa
mendatang.
Di Samarinda kini hanya terlihat dua sungai yang membelah "Kota Tepian" itu, yakni
Sungai Mahakam sebagai sungai terpanjang dan terlebar di Kaltim dan Sungai Karang Mumus,
merupakan anak Sungai Mahakam. Apabila terjadi hujan lebat dalam beberapa jam, maka sebagian
kawasan Samarinda tergenang.
Untuk itulah, penelitian ini berfokus pada upaya pengendalian pemanfaatan lahan dan tingkat
kerentanan di daerah rawan banjir kota samarinda dengan meliha bagaimana kecenderungan
perubahan pemanfaatan lahan mempengaruhi kerawanan tiap kecamatan di kota samarinda. Hal
ini perlu dalam rangka mewujudkan Kota Samarinda yang bebas bencana banjir sehingga rencana
pengembangan Kota Samarinda dapat terlaksana

1
1.2 Isu Permasalahan
Pola pemanfataan lahan di Kota Samarinda sangat bepengaruh terhadap terjadinya bencana banjir.
Daerah rawan banjir merupakan wilayah yang pemanfaatannya terbatas. Ada wilayah yang boleh
dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya termasuk didalamnnya kawasan pemukiman, perdangangan, dan
perkantoran. Ada wilayah yang boleh dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya atau berfungsi lindung, hal
tersebut harus benar-benar diperhatikan dan sesuai dengan rencana yang ditetapkan sebagai bentuk
pengurangan risiko dan antisipasi dari bencana banjir di wilayah tersebut.

Melihat pentingnya pengendalian pemanfaatan lahan pada daerah rawan banjir di Kota Samarinda,
maka penelitian ini merumuskan masalah yang akan di kaji yaitu Kawasan rawan banjir meliputi Kelurahan
Sempaja, Kelurahan Lempake, Kelurahan Temindung Permai, Kelurahan Loa Bahu, Kelurahan Sungai
Siring, Kelurahan Sungai Pinang Dalam, Kelurahan Sungai Kapih, Kelurahan Pulau Atas, Kelurahan
Sindang Sari, Kelurahan Loa Janan Ilir, Kelurahan Simpang Pasir, Kelurahan Rawa Makmur, Kelurahan
Bukuan, Kelurahan Bentuas, Kelurahan Karang Asam, dan Kelurahan Gunung Kelua.

1.3 Tujuan dan Sasaran


1.3.1 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kecenderungan perubahan pemanfaatan lahan dan
kerentanan daerah rawan banjir di Kota Samarinda. Dengan demikian studi ini diharapkan dapat menjadi
masukan dalam penetapan kebijakan pengelolaan kawasan rawan banjir oleh pemerintah kota Samarinda
yang nantinya diharapkan dapat meminimalisir resiko terjadinya bencana banjir di Kota Samarinda.

1.3.2 Sasaran
1 Mengidentifikasi pola perkembangan pemanfaatan lahan meliputi aspek sebaran lokasi, dan kecepatan
perubahan lahan terbangun
2 Mengidentifikasi factor-faktor yang berpengaruh terhadap perluasan banjir di Kota Samarinda
3 Menganalisis tingkat kerentanan tiap kecamatan terhadap terjadinya bencana banjir

1.4 Ruang Lingkup


1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah
Kota Samarinda merupakan ibukota dari Provinsi Kalimantan Timur. Kota Samarinda berbatasan
langsung dengan kabupaten Kutai Kartanegara yang merupakan salah satu kabupaten yang kaya
dengan sumber daya alam dan merupakan salah satu daerah yang sangat banyak menyumbang devisa
bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Luas wilayah Kota Samarinda adalah 718,00 km 2
dan terletak antara 117 003'00" Bujur Timur dan 117 018"14" Bujur Timur serta diantara 00 019'02"

2
Lintang Selatan dan 00 042'34" Lintang Selatan. Sejak akhir tahun 2010 kota Samarinda dibagi menjadi
10 kecamatan yaitu kecamatan Palaran, Samarinda Ilir, Samarinda kota, Sambutan, Samarinda
Sebarang, Loa Janan Ilir, Sungai Kunjang, Samarinda Ulu, Samarinda Utara dan Sungai Pinang.
Sedangkan jumlah desa di kota Samarinda sebanyak 53 desa. Kota Samarinda memiliki batas-batas
wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kecamatan muara badak, kutai kartanegara


Sebelah Selatan : Kecamatan Loa Janan, Kutai Kartanegara
Sebelah Barat : Kecamatan Tenggarong Seberang dan Kabupaten Kutai Kartanegara
Sebelah Timur : Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara
1.4.2 Ruang Lingkup Materi
1. Mengidentifikasi pola perkembangan pemanfaatan lahan meliputi aspek sebaran lokasi
a) Mengidentifikasi pola perkembangan penggunaan lahan eksisting
b) Mengidentifikasi pola perkembangan pemanfaatan lahan eksisting
1. Mengidentifikasi factor-faktor yang berpengaruh terhadap perluasan banjir di Kota Samarinda
Mengidentifikasi factor-faktor yang berpengaruh terhadap perluasan banjir eksisting

2. Menganalisis tingkat kerentanan tiap kecamatan terhadap terjadinya bencana banjir


tingkat kerentanan tiap kecamatan terhadap terjadinya bencana banjir dengan komponen
Ekonomi, Fisik, Lingkungan, dan indeks penduduk terpapar

3
4
1.5 SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Pembahasan Studi ini terdiri atas lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut ;

BAB I PENDAHULUAN

Latar belakang studi, rumusan permasalahan, tujuan dan sasaran studi, ruang lingkup studi,
yang terdiri dari ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup materi, kajian pustaka, metode
pendekatan yang digunakan, serta sistematika penyajian akan dijelaskan pada bab ini.

BAB II TINJAUAN TEORI

Pada bab kedua berisi tinjauan teoritis mengenai berbabagai aspek yang melandasi analisis
dan kajian pada bab selanjutnya. Tinjauan ini mencakup pengertian dan fungsi serta litelatur

5
Perumusan Masalah
Pola pemanfataan lahan di Kota Samarinda sangat bepengaruh terhadap
terjadinya bencana banjir. Daerah rawan banjir merupakan wilayah yang
pemanfaatannya terbatas.

Tujuan
mengidentifikasi kecenderungan perubahan pemanfaatan lahan
dan kerentanan daerah rawan banjir di Kota Samarinda.

INPUT
Sasaran
 Mengidentifikasi pola perkembangan pemanfaatan lahan meliputi aspek sebaran lokasi
 Mengidentifikasi factor-faktor yang berpengaruh terhadap perluasan banjir di Kota Samarinda
 Menganalisis tingkat kerentanan tiap kecamatan terhadap terjadinya bencana banjir

Data - data
Teori  Kebijakan (RTRW Kota Samarinda
 Resiko Bencana Tahun 2014-2034)
 Kerentanan  Data Primer (Survey, pengamatan
 Penilaian Resiko Bencana langsung ke lapangan)
 Konsep Guna Lahan  Data Sekunder (Data Instansi)
 Perubahan Guna Lahan  Kuisioner, wawancara, dan
dokumentasi foto - foto

Gambaran Umum
 Kondisi Wilayah Kota Samarinda

PROSES/ Analisis Data


ANALISIS  Analisis perubahan penggunaan lahan Di Kecamatan Syiah Kuala
 Analisis factor perluasan Banjir
 Analisis kerentanan ekonomi
 Analisis kerentana fisik
 Anaisis kerentanan Lingkungan
 Analisis kerentanan sosial

Zonasi Lahan dan factor penyebab perubahan lahan


dan tingkat kerentanan
OUTPUT

Kesimpulan dan Rekomendasi

6
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Jenis-jenis Bencana


Bencana terdiri dari berbagai bentuk. UU No. 24 tahun 2007 mengelompokan bencana ke dalam
tiga kategori yaitu:

a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
b. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-
alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas
masyarakat, dan teror.

Ethiopian Disaster Preparedness and Prevention Commission (DPPC) mengelompokkan


bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri dari:

a. Natural hazard. Ini adalah hazard karena proses alam yang manusia tidak atau sedikit memiliki
kendali. Manusia dapat meminimalisir dampak hazard dengan mengembangkan kebijakan yang
sesuai, seperti tata ruang dan wilayah, prasyarat bangunan, dan sebagainya.
b. Human made hazard. Ini adalah hazard sebagai akibat aktivitas manusia yang mengakibatkan
kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hazard ini mencakup:
- Technological hazard sebagai akibat kecelakaan industrial, prosedur yang berbahaya, dan
kegagalan infrastruktur. Bentuk dari hazard ini adalah polusi air dan udara, paparan
radioaktif, ledakan, dan sebagainya.
- Environmental degradation yang terjadi karena tindakan dan aktivitas manusia sehingga
merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati dan berakibat lebih jauh
terganggunya ekosistem.
- Conflict adalah hazard karena perilaku kelompok manusia pada kelompok yang lain
sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada komunitas yang lebih luas.

2.2 Resiko Bencana


Resiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya
(hazard) yang ada.Penyebab yang memicu terjadinya bahaya bencana berasal dari kejadian alam yang
berupa bencana alam.Sedangkan penyebab terjadinya kerentanan terbagi menjadi 3 jenis yaitu

7
penyebab yang paling mendasar, tekanan dinamis dan kondisi lingkungan fisik.Penyebab kerentanan
yang paling mendasar berupa kemiskinan, infrastruktur, sumber daya, ideology, sistem ekonomi dan
faktor-faktor prakondisi umum.Tekanan dinamis yang menjadi penyebab kerentanan yaitu institusi
lokal, pendidikan, pelatihan, soft skill, investasi lokal, pasar lokal, kebebasan pers, kekuatan makro,
ekspansi penduduk, urbanisasi, degradasi lingkungan.Kerentanan bencana berdasarkan kondisi fisik
yaitu lokasi yang berbahaya, infrastruktur dan bangunan, ekonomi local, kehidupan yang beresiko,
tingkat pendapatan yang rendah dan tindakan umum.(Wisner, 2004).Secara Umum, resiko dapat
dirumuskan sebagai berikut (Bakornas PB, 2007):

Risiko = Bahaya x Kerentanan x Ketidakmampuan 2


3
Sumber : Bakornas PB, 2007 Resiko Bencana

Identifikasi Banjir Pemanasan global telah mendorong perubahan besar dalam pola curah hujan,
sehingga meningkatkan risiko banjir di berbagai kota. Banjir dapat didefinisikan sebagai massa air
yang di produksi dari limpasan air di permukaan tanah yang relatif tinggi dan tidak dapat di tampung
yang meluap secara alami serta menimbulkan genangan atau aliran dalam jumlah besar (Ward, 1978).
Identifikasi daerah rawan banjir berguna untuk mengetahui daerah yang rawan terhadap genangan
air.Hal tersebut berguna dalam mengantisipasi dampak dari genangan yang terjadi Dalam mendukung
pelaksanaan identifikasi daerah banjir, pendekatan dapat dilakukan dengan menggunakan data-data
sebagai berikut (Mulyanto, 2008).

1. Peta-peta, yang terdiri dari peta topografi, geologi, hidrologi (hidrogeologi dan hidrometeorologi)
rawan bencana banjir;
2. Laporan, meliputi publikasi khusus hasil seminar dan bahan bacaan media cetak serta elektronik;
3. Identifikasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah tentang tingkat kerawanan kawasan bencana
banjir. Selain dengan cara-cara diatas, identifikasi daerah rawan banjir saat ini dapat dilakukan
melalui citra satelit.Cara ini lebih modern dan efektif dibandingkan dengan cara-cara
konvensional sebelumnya.Pengelolaan citra satelit yang baik dapat mendeteksi daerah-daerah
yang rawan genangan, dari situ dapat dibuat peta sebaran daerah rawan banjir.

2.3 Kerentanan
Kerentanan (vulnerability) adalah tingkatan suatu sistem yang rentan terhadap dan mempu
mengatasi efek dari perubahan iklim, termasuk variabilitas iklim dan ekstream.Kerentanan
merupakan fungsi dari karakter, jarak dan laju perubahan iklim dan variasi sistem yang terbuka,
kepekaan dan kapasitas adaptif (IPCC, 2007).Kerentanan adalah sekumpulan kondisi dan atau suatu
akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap

8
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana (Bakornas PB, 2009).Bila suatu bahaya
merupakan suatu fenomena atau kondisi yang sulit diubah maka kerentanan masyarakat relative
dapat diubah. Oleh karena itu pengurangan resiko bencana dapat dilakukan dengan cara memperkecil
kerentanan. Kerentanan dikaitkan dengan kemampuan manusia untuk melindungi dirinya dan
kemampuan untuk menanggulangi dirinya dari dampak bahaya/bencana alam tanpa bantuan dari luar.

Kriteria kerentanan bencana berdasarkan pada karakteristik dampak yang ditimbulkan pada
obyek tertentu.Kerentanan, ketangguhan, kapasitas, dan kemampuan merespon dalam situasi darurat,
bisa diimplementasikan baik pada level individu, keluarga, masyarakat dan institusi (Sunarti, 2009).

Sumber : Bakornas PB, 2007 Pengurangan Resiko Bencana Dengan Memperkecil Kerentanan

Faktor-faktor kerentanan meliputi (Bakornas PB, 2007) :

a. Kerentanan fisik: Prasarana dasar, konstruksi, bangunan

b. Kerentanan ekonomi: Kemiskinan, penghasilan, nutrisi

c. Kerentanan sosial: Pendidikan, kesehatan, politik, hukum, kelembagaan

d. Kerentanan lingkungan: Tanah, air, tanaman, hutan, lautan Jenis bencana alam yang tidak bias

Dikontrol dan dicegah manusia, besarnya resiko dan dampak bencana selain dipengaruhi oleh
besarnya bahaya (termasuk bahaya ikutan karena kerentanan yang bersifat fisik), juga dipengaruhi
oleh ketangguhan manusia dalam meminimalkan resiko sebelum bencana, dalam mengelola resiko
pada saat bencana, dan mengelola resiko setelah terjadinya bencana (Sunarti, 2009).

2.4 Penilaian Resiko Bencana


Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, definisi
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat pula didefinisikan sebagai situasi krisis
yang jauh di luar kapasitas manusia untuk menyelamatkan diri. Artinya, suatu kejadian alam ekstrim
tidak akan disebut bencana apabila dampak atau kerugian yang ditimbulkannya tidak dirasakan oleh
manusia.

Bencana alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa

9
atau rangkaian peristiwa non-alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,
dan wabah penyakit. Kemudian bencana sosial yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

Bencana terjadi ketika terdapat faktor ancaman atau bahaya yang bertemu dengan faktor kondisi
rentan masyarakat. Dampak bencana atau dapat disebut sebagai risiko bencana merupakan hasil
pertemuan antara ancaman atau bahaya dengan faktor kerentanan dan faktor kapasitas.

Bahaya adalah peristiwa yang dapat menyebabkan kerusakan fisik. Ini juga yang dapat
menyebabkan hilangnya nyawa atau cedera, kerusakan aset, gangguan sosial dan ekonomi atau
degradasi lingkungan (ISDR, 2004). Selain itu Zhang et.al (2005) menyatakan bahwa bahaya adalah
peristiwa alam ekstrim yang secara merusak mempengaruhi kehidupan manusia, properti atau
aktivitas dan sampai pada tingkat yang menyebabkan bencana dengan tingkat probabilitas dan tingkat
keparahan tertentu.

Risiko merupakan kombinasi antara probabilitas dari suatu peristiwa dan konsekuensi negatifnya
(UNISDR, 2009). Menurut UU No. 24 Tahun 2007, risiko bencana adalah potensi kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa
kematikan, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan, atau kehilangan
harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Risiko dapat dikurangi dengan meningkatkan kapasitas
dan mengurangi kerentanan. Begitu pula dengan sebaliknya, risiko dapat bertambah apabila
kerentanan meningkat atau kapasitas yang menurun.

Kerentanan merupakan karakteristik dan kondisi dari masyarakat, sistem atau aset yang
membuatnya rentan terhadap efek yang merusak dari bahaya (UNISDR, 2009). Selain itu, kerentanan
menunjukkan tingkat resistensi aset dan populasi terhadap bahaya. Ini memutuskan tingkat kerugian
yang disebabkan oleh bahaya. Secara umum, semakin tinggi kerentanan, semakin besar tingkat
kerugian yang mungkin disebabkan oleh mereka dan semakin tinggi risiko bencana alam (Zhang
et.al, 2005). Kerentanan yaitu suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses
fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat
dalam menghadapi bahaya. Kapasitas merupakan kombinasi dari semua kekuatan, atribut dan sumber
daya yang tersedia dalam masyarakat, komunitas, atau organisasi yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan yang disepakati (UNISDR, 2009). Kapasitas merupakan penguasaan sumberdaya,
cara dan kekuatan yang dimiliki masyarakat yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan
dan mempersiapkan diri mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri
dari akibat bencana.

10
Bagaimana cara memitigasi efek dari bahaya dan mengurangi dampak bencana menjadi isu
utama di dalam dunia akademik pada abad ini (Bankoff, 2001). Sebelumnya manajemen bencana
lebih fokus kepada penanganan pasca bencana dengan jumlah besar yang sebenarnya sangat
signifikan apabila dialihkan untuk kegiatan pengurangan kerentanan dan pengembangan kapasitas
(Alexander, et al, 2006). Namun beberapa waktu kebelakang didalam menghadapi bencana telah
banyak negara yang mengalihkan manajemen bencana pada berbagai kegiatan pra bencana. Berbagai
strategi pra bencana pada dasarnya merupakan hal-hal yang bersifat universal, namun
implementasinya perlu disesuaikan dengan karakteristik tertentu dari pihak yang menghadapi
ancaman (Alcantara, 2002).

Dalam menganalisis kejadian bencana diantaranya adalah dengan model bencana. Model-model
ini masing-masing dapat rnenjelaskan kejadian bencana dengan elemen-elemen penting yang terjadi
di dalamnya. Model dapat membantu menjelaskan kondisi yang terjadi di dunia nyata dengan model
teoritis yang dapat membantu pemahaman mengenai situasi yang sedang terjadi saat ini dan
bagaimana merencanakan manajemen bencana untuk masa depan.

Gambar 2.1 Model Terjadinya Bencana “Crunch Model”

Sumber : Smyth, 2012

Model crunch memberikan kerangka untuk memahami penyebab terjadinya bencana.


Kerentanan lingkungan baik fisik maupun non fisik yang bertemu dengan adanya bahaya menjadi
penyebab terjadinya bencana di berbagai tempat di dunia.

11
Gambar 2.2 Model Terjadinya Bencana “PAR” Model

Sumber : Wisner er.al, 2004


PAR Model menjelaskan bahwa bencana terjadi akibat hasil pertemuan antara kondisi sosial
ekonomi dengan keterpaparan fisik oleh ancaman atau bahaya. Model ini membedakan tiga
komponen kerentanan, yaitu penyebab utama, tekanan dinamis, dan aspek-aspek kerentanan. Model
ini ingin mengindikasikan bahwa risiko dari bencana dapat dikurangi dengan cara menjalankan aksi
pencegahan dan juga mitigasi. Dimana hal ini dapat dimulai dengan cara mengatasi berbagai
penyebab yang menjadi dasar terjadinya bencana, kemudian dilanjutkan dengan cara menganalisis
sifat dasar dari bahaya (Ashgar et. al, 2006). Hal ini kemudian akan mengarahkan semua ke kondisi
yang lebih aman dan membantu mempersiapkan komunitas ke dalam kondisi yang lebih baik.

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan
dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa
aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (BNPB,
2012). Konsep risiko ini sangat sesuai untuk melihat sejauh mana tingkat risiko dari bencana banjir
rob yang terjadi di Kawasan Minapolitan Kabupaten Indramayu. Oleh karena itu, konsep pengkajian
risiko dalam penelitian ini mengacu kepada skema berikut :

12
Gambar 2.3 Model Penyusunan Peta Risiko Bencana

Sumber : BNPB, 2012

2.5 Kerentanan Bencana dari Perspektif Undang-Undang Penataan Ruang


Kerentanan tersebut selalu terkait dengan konsteks ruang yang sekiranya akan terkena dampak
kerawanan yang terjadi. Definisi ruang berdasarkan pada UU No.26 Tahun 2007 merupakan
wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya. Dalam undang-undang tersebut tertuang pula beberapa
subtansi yang bertujuan dalam peningkatan kapasitas fisik dan non fisik wilayah tersebut.

Adapun substansi tersebut tertuang dalam tata ruang yakni wujud struktur ruang dan pola
ruang. Atas dasar tersebut maka dalam penentuan criteria kerentanan suatu wilayah juga harus
ada keterkaitannya dengan lingkup penataan ruang secara komprehensif. Pada substansi Undang-
Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 beberapa elemen yang dapat dikaitkan dengan
kerentanan bencana yakni elemen struktur ruang dan elemen pola ruang. Elemen tersebut terkait
dengan kondisi fisik wilayah, sedangkan untuk kondisi sosial masyarakat yang terkait langsung
dengan elemen kerentanan bencana belum terjabarkan secara jelas di dalam undang-undang
tersebut. Adapun substansi yang perlu diperhatikan dalam penataan ruang dihubungkan dengan
kerentanan bencana yakni terkandung aspek struktur ruang wilayah yang meliputi susunan pusat-
pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung

13
kegiatan sosial ekonomi masyarakat serta aspek pola ruang meliputi kawasan lindung dan
budidaya di wilayah, dan aspek kawasan strategis wilayah.

Sedangkan aspek sosial, kelembagaan maupun pengendalian tata ruang tidak secara detail
menjabarkan elemen kerentanan bencana. Atas dasar-dasar tersebut maka beberapa elemen tata
ruang berdasarkan prespektif Undang-Undang Penataan Ruang yang dapat dikaitkan dengan
kerentanan bencana adalah sebagai berikut ini: 1. Elemen Struktur Ruang sebagai Elemen
Kerentanan Bencana Elemen struktur ruang ini terkait dengan prasarana dasar dan fasilitas
perkotaan. Adapun elemen-elemen tersebut terjabar berikut ini:

a. Prasarana dasar, meliputi Jaringan Jalan, Jaringan Listrik, Jaringan air bersih, Jaringan
telekomunikasi, Jaringan Persampahan, Jaringan Drainase, Jaringan Sanitasi.
b. Sarana/fasilitas, meliputi Perdagangan dan jasa, Pendidikan, Kesehatan, dan lain-lain 2. Elemen
Pola Ruang sebagai Elemen Kerentanan Bencana Elemen pola ruang terkait dengan keberadaan
kawasan lindung dan kawasan budidaya. Adapun elemen-elemen yang sekiranya terkait dengan
kerentanan bencana yakni:
- Kawasan lindung, meliputi Kawasan Hutan Lindung, Kawasan bergambut, Kawasan resapan air,
Kawasan sempadan pantai,sungai, danau, sekitar mata air, Kawasan rawan bencana alam,
Kawasan terumbu karang, pengungsian satwa, dan lain-lain.
- Kawasan budidaya, meliputi Perdagangan dan jasa, Pendidikan, Kesehatan,dan lain-lain.

2.6 Konsep Guna Lahan


2.6.1 Pengertian Guna Lahan
Lahan merupakan sumber daya alam yang sangat. penting bagi kehidupan manusia.
Dikatakan sebagai sumber daya alam yang penting karena lahan tersebut merupakan tempat
nianusia melakukan segala aktifitasnya. Pengertian lahan dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau
dari segi fisik geografi, lahan adalah tempat dimana sebualh hunian mempunyai kualitas fisik yang
penting dalam penggunaannya. Sementara ditinjau dari segi ekonomi lahan adalah suatu sumber
daya alam yang mempunyai peranan penting dalam produksi (Lichrield dan Drabkin, 1980).
Beberapa sifat atau karakteristik lahan yang dikemukakan oleh Sujarto (1985) dan Drabkin (4980)
adalah sebagai berikut:
1. Secara fisik, lahan merupakan aset ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh kemungkinan
penurtman nilai dan harga, dan tidak terpengaruhi oleh waktu, Lahan juga merupakan aset
yang terbatas dan tidak bertambah besar kecuali melalui reklamasi.

14
2. Perbedaan antara lahan tidak terbangun dan lahan terbangun adalah lahan tidak terbangun
tidak akan dipengarahi oleh kemungkinan penurunan nilai, sedangkan lahan terbangun
nilainya cenderung turun karena penurunan nilai struktur bangunan yang ada di atasnya.
Tetapi penurunan nilai struktur bangunan juga dapat meningkatkan nilai lahannya karena
adanya harapan peningkatan fungsi penggunaan lahan tersebut selanjutnya.
3. Lahan tidak dapat dipindahkan tetapi sebagai substitusinya intensitas penggunaan lahan
dapat ditingkatkam. Sehingga faktor lokasi untuk setiap jenis penggunaan lahan tidak sama.
4. Lahan tidak hanya berfungsi untuk tujuan produksi tetapi juga sebagai investasi jangka
panjang (long-ferm investment) atau tabungan. Keterbatasan lahan dan sifatnya yang secara
fisik tidak terdepresiasi membuat lahan menguntungkan sebagai tabungan. Selain itu
investasi lahan berbeda dengan investasi barang ekonomi yang lain, dimana biaya
perawatannya (maintenance cost) hanya meliputi pajak dan interest charges. Biaya ini relatif
jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntiungan yang akan diperoleh dari penjualan lahan
tersebut.
Penggunaan lahan adalah suatu proses yang berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan bagi
maksud-maksud pembangunan secara optimal dan efisien (Sugandhy, 1989) selain itu penggunaan
lahan dapat diartikan pula suatu aktivitas manusia pada lahan yang langsung berhubungan dengan
lokasi dan kondisi lahan (Soegino, 1987). Penggunaan lahan dapat diartikan juga sebagai wujud
atau bentuk usaha kegiatan, pemanfaatan suatu bidang tanah pada suatu waktu (Jayadinata, 1992).

2.7 Jenis Penggunaan lahan


Lahan kota terbagi menjadi lahan terbangun dan lahan tak terbangun. Lahan Terbangun terdiri
dari dari perumahan, industri, perdagangan, jasa dan perkantoran. Sedangkan lahan tak terbangun
terbagi menjadi lahan tak terbangun yang digunakan untuk aktivitas kota (kuburan, rekreasi,
transportasi, ruang terbuka) dan lahan tak terbangun non aktivitas kota (pertanian, perkebunan, area
perairan, produksi dan penambangan sumber daya alam). Untuk mengetahui penggunaan lahan di
suatu, wilayah, maka perlu diketahui komponen komponen penggunaan lahannya. Berdasarkan
jenis pengguna lahan dan aktivitas yang dilakukan di atas lahan tersebut, maka dapat diketahui
komponen-komponen pembentuk guna lahan (Chapin dan Kaiser, 1979). Menurut Maurice Yeates,
komponen penggunaan lahan suatu wilayah terdiri atas (Yeates, 1980):
1. Permukiman
2. Industri
3. Komersial
4. Jalan

15
5. Tanah publik
6. Tanah kosong
Sedangkan menurut Hartshorne, komponen penggunaan lahan dapat dibedakan
menjadi (Hartshorne, 1980):
a. Private Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan lahan
permukiman, komersial, dan industri.
b. Public Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan lahan rekreasi
dan pendidikan.
c. Jalan

Sedangkan menurut Lean dan Goodall , 1976), komponen penggunaan lahan


dibedakan menjadi
1. Penggunaan lahan yang menguntungkan
Penggunaan lahan yang menguntungkan tergantung pada penggunaan lahan yang tidak
menguntungkan. Hal ini disebabkan guna lahan yang tidak menguntungkan tidak dapat bersaing
secara bersamaan dengan lahan untuk ftmgsi yang menguntungkan. Komponen penggunaan lahan
ini meliputi penggunaan lahan untuk pertokoan, perumahan, industri, kantor dan bisnis. Tetapi
keberadaan. guna lahan ini tidak lepas dari kelengkapan penggunaan lahan lainnya yang cenderung
tidak menguntungkan, yaitu penggunaan lahan untuk sekolah, rumah sakit, taman, tempat
pembuangan sampah, dan sarana prasarana. Pengadaan sarana dan prasarana yang Iengkap
merupakan suatu contoh bagaimana. guna lahan yang menguntungkan dari suatu lokasi dapat
inempengaruhi guna lahan yang lain. Jika lahan digunakan untuk suatu tujuan dengan membangun
kelengkapan untuk guna.lahan disekitarnya, maka hal ini dapat meningkatkan nilai keuntungan
secara umum, dan meningkatkan nilai-lahan. Dengan demikian akan memungkinkan beberapa
guna lahan bekerjasama meningkatkan keuntungannya dengan berlokasi dekat pada salah satu guna
lahan.
2. Penggunaan lahan yang tidak menguntungkan
Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk jalan, taman, pendidikan dan
kantor pemerintahan. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa guna lahan yang menguntungkan
mempunyai keterkaitan yang besar dengan guna lahan yang tidak menguntungkan. Guna lahan
utama yang dapat dikaitkan dengan fungsi perumahan adalah guna lahan komersial, guna lahan
industri, dan guna lahan publik maupun semi publik (Chajin dan Kaiser,1979). Adapun penjelasan
masing masing guna lahan tersebut adalah:
A. Guna lahan komersial

16
Fungsi komersial dapat dikombinasikan dengan perumahan melalui percampuran secara
vertikal. Guna lahan komersial yang harus dihindari dari perumahan adalah perdagangan
grosir dan perusahaan besar.
B. Guna lahan industry
Keberadaan industri tidak saja dapat inemberikan kesempatan kerja namun juga memberikan
nilai tambah melalui landscape dan bangunan yang megah yang ditampilkannya. Jenis industri
yang harus dihindari dari perumahan adalah industri pengolahan minyak, industri kimia,
pabrik baja dan industri pengolahan hasil tambang.
C. Guna lahan publik maupun semi publik
Guna lahan ini meliputi guna lahan untuk pemadam kebakaran, tempat ibadah, sekolah, area
rekreasi, kuburan, rumah sakit, terminal dan lain-lain.

2.8 Perubahan Guna Lahan


Pengertian perubahan guna lahan secara umum menyangkut transformasi dalam
pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Namun dalam
kajian land economics, pengertiannya difokuskan pada proses dialih gunakannya lahan dari lahan
pertanian atau perdesaan ke penggunaan non pertanian atau perkotaan. Perubahan guna lahan ini
melibatkan baik reorganisasi struktur fisik kota secara internalmaupun ekspansinya ke arah luar
(Pierce, 1981). Perubahan guna lahan ini dapat tejadi karena ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab. Ada empat proses utama yang menyebabkan terjadinya perubahan guna lahan yaitu
(Bourne. 1982):
1. Perluasan batas kota
2. Peremajaan di pusat kota
3. Perluasan jaringan infrastruktur
4. Tumbuh dan hilangnya pernusatan aktivitas tertentu
Menurut Chapin, Kaiser, dan Godschalk perubaban guna lahan juga dapat terjadi karena pengaruh
perencanaan guna lahan setempat yang merupakan rencana dan kebijakan guna lahan untuk masa
mendatang, proyek pembangunan, program perbaikan pendapatan, dan partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dari pernerintah daerah. Perubahan guna lahan
juga terjadi karena kegagalan mempertermukan aspek dan politis dalam suatu manajemen
perubahan guna lahan. Menurut Chapin, 1996, perubahan guna lahan adalah interaksi yang
disebabkan oleh tiga komponen pembentuk guna lahan, yaitu sistem pembangunan, sistem aktivitas
dan sistem lingkungan hidup. Didalam sistem aktivitas, konteks perekonomian aktivitas perkotaan
dapat dikelompokkan menjadi kegiatan produksi dan konsumsi. Kegiatan produksi membutuhkan

17
lahan untuk berlokasi dimana akan mendukung aktivitas produksi diatas. Sedangkan pada kegiatan
konsurnsi membutuhkan lahan untuk berlokasi dalam rangka pemenuhan kepuasan.

18
D

19
BAB III

Gambaran Umum Wilayah

3.1 Gambaran Umum Kota Samarinda

kota Samarinda tidak bersinggungan secara langsung dengan laut, karena di dalam
wilayah kota Samarinda tidak terdapat laut. Namun demikian Sungai Mahakam yang ada di kota
Samarinda terhubung dengan laut melalui daerah tetangga, yaitu daerah Kutai Kartanega ra,
Bontang, Kutai timur dan Balikpapan. Antara daerah kota Samarinda dengan daerah -daerah
lainnya di Provinsi Kalimantan Timur terdapat wilayah laut, yaitu antara kota Samarinda
dengan kota Balikpapan, antara kota Samarinda dengan kota Tarakan, antara kot a Samarinda
dengan kabupaten Nunukan, dan antara kota Samarinda dengan kabupaten Tanjung Redeb.

Kota Samarinda yang beriklim tropis mempunyai musim yang hampir sama dengan
wilayah Indonesia pada umumnya, yaitu adanya musim kemarau dan musim penghujan. Sel ain
itu, karena letaknya di daerah khatulistiwa maka iklim di kota Samarinda juga dipengaruhi oleh
angin Muson, yaitu angin Muson Barat November-April dan angin Muson Timur Mei-Oktober.

Samarinda sebagai Ibu Kota Kalimantan Timur yang saat ini tengah berkembang dengan pesat,
namun di tengah perkembangan ini Kota Samarinda masih selalu didera dengan permasalahan banjir,
Berbagai upaya telah dilakukan, namun upaya tersebut belum optimal dalam mengatasi masalah
banjir. Upaya tersebut berupa pemeliharaan saluran drainase kota, pembenahaan sungai-sungai yang
melinatasi kota, berbagai studi terkait pengendalian banjir kota, pembangunan sarana pengendali
banjir serat beberapa aturan telah dikeluarkan untuk pengendalian banjir.
Berbagai upaya telah dilakukan, namun upaya tersebut belum optimal dalam mengatasi masalah
banjir. Upaya tersebut berupa pemeliharaan saluran drainase kota, pembenahaan sungai-sungai yang
melinatasi kota, berbagai studi terkait pengendalian banjir kota, pembangunan sarana pengendali banjir
serat beberapa aturan telah dikeluarkan untuk pengendalian banjir. Upaya-upaya tersebut ternyata
kalah cepat dengan perkembangan kota. Oleh sebab itulah maka diperlukan suatu penataan terpadu
pengendalian banjir dengan menyusun prioritas penanganan dan pembiayaan sesuai dengan kondisi
actual serata prediksi pembangunan masa mendatang.
Upaya-upaya tersebut ternyata kalah cepat dengan perkembangan kota. Oleh sebab itulah maka
diperlukan suatu penataan terpadu pengendalian banjir dengan menyusun prioritas penanganan dan
pembiayaan sesuai dengan kondisi actual serata prediksi pembangunan masa mendatang.

20
Di Samarinda kini hanya terlihat dua sungai yang membelah "Kota Tepian" itu, yakni Sungai
Mahakam sebagai sungai terpanjang dan terlebar di Kaltim dan Sungai Karang Mumus, merupakan
anak Sungai Mahakam. Apabila terjadi hujan lebat dalam beberapa jam, maka sebagian kawasan
Samarinda tergenang. Kawasan rawan banjir di Kota samarinda meliputi Kecamatan Samarinda Ulu
Kelurahan Sungai Pinang Dalam, Kecamatan Samarinda Ilir dan Kelurahan Sempaja (Sumber: RTRW
Kota Samarinda Tahun 2014-2034) Luas DAS Sungai Karang Mumus sekitar 36.527 ha dengan
panjang alur utama sekitar 40 km. Jarak muara sungai Karang Mumus sampai Bendung Lempake
sekitar 20 km. Bendung Lempake dibangun pada tahun 1977, dengan luas tangkapan air sekitar 195
km2. Secara umum kondisi topografi daerah pengaliran sungai Karang Mumus berbukit-bukit dan juga
terdapat daerah datar khususnya di alur sungai Karang Mumus yang berada dalam kota Samarinda. Di
sepanjang alur sungai Karang Mumus masuk anak-anak sungai dan juga terdapat beberapa lokasi rawa.
Beberapa anak sungai Karang Mumus antara lain sungai Lubang Putang, Sungai Siring, Sungai
Lantung, Sungai Muang, Sungai Selindung, Sungai Bayur, Sungai Lingai dan Sungai Bengkuring.
Sealin itu terdapat dua sub system lain yang juga mempunyai masalah banjir yaitu DAS Karang
Asam Besar (9,65 km2) dan DAS Karang Asam Kecil (16,25 km2). Sungai Loa Bakung meskipun
mempunyai DAS tidak masuk dalam Kota Samarinda, namun mengingat perkembangan kota dan
peningkatan pemenuhan pemukiman, di DAS ini diprediksi akan berpotensi menjadi daerah banjir bila
tidak ada penganganan secara dini.

3.1.1 Batas Administrasi

Kota Samarinda merupakan ibukota dari Provinsi Kalimantan Timur. Kota Samarinda
berbatasan langsung dengan kabupaten Kutai Kartanegara yang merupakan salah satu kabupaten
yang kaya dengan sumber daya alam dan merupakan salah satu daerah yang sangat banyak
menyumbang devisa bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Luas wilayah Kota
Samarinda adalah 718,00 km 2 dan terletak antara 117 003'00" Bujur Timur dan 117 018"14" Bujur
Timur serta diantara 00 019'02" Lintang Selatan dan 00 042'34"LintangSelatan.
Sebelah Timur : Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara

Sebelah Barat : Kecamatan Loa Janan, Kutai Kartanegara

Sebelah Utara : Kecamatan Tenggarong Seberang dan Muara Badak di Kabupaten Kutai
Kartanegara.

Sebelah Selatan : Kecamatan Muara Badak, Anggana, dan Sanga-Sanga di Kabupaten Kutai
Kartanegara.

21
3.1.2 Kondisi Geografis

Secara Geografis Kota Samarinda memiliki Topografi wilayah lereng/Punggung Bukit yang
memiliki persentase terhadap luas wilayah sebesar 28,80 % yang berarti curam, desa tenjolaya berada
pada ketinggian 2.334 MDPL juga mempunyai suhu tertinggi 23 derajat celcius sementara terendah
sampai 12 derajat celcius, selain itu desa tenjolaya memiliki jenis tanah yang didominasi oleh jenis
tanah Andosol sebesar 4928,15 Ha yang berarti sebagin besar Desa ini memiliki Jenis Tanah Andosol
yang berarti peka akan terhadap Erosi.

3.1.3 Kependudukan

Kota Samarinda memliki penduduk sebanyak 812.597 jiwa

Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Samarinda, 2015

Kecamatan Luas Wilayah (km2) Persentase

Palaran 221,29 30.82


Samarinda Ilir 17,18 2.39
Samarinda Kota 11,12 1.55
Sambutan 100,95 14.06
Samarinda Seberang 12,49 1.74
Loa Janan Ilir 26,13 3.64
Sungai Kunjang 43,04 5.99
Samarinda Ulu 22,12 3.08
Samarinda Utara 229,52 31.97
Sungai Pinang 34,16 4.76
Samarinda 718.00 100.00

Sumber: Badan Pertanahan Kota Samarinda

22
Distribusi dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Samarinda, 2015

Kepadatan
Persentase
Kecamatan Penduduk
Penduduk
per km2

Palaran 6.75 248

Samarinda Ilir 9.11 4308

Samarinda Kota 4.54 3320

Sambutan 6 483

Samarinda Seberang 7.91 5145

Loa Janan Ilir 7.79 2422

Sungai Kunjang 15.68 2960

Samarinda Ulu 16.71 6140

Samarinda Utara 12.4 439

Sungai Pinang 13.12 3121

Samarinda 100 1132

Sumber : Proyeksi Penduduk Indonesia 2010–2035

Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Samarinda, 2010, 2014, dan 2015

Laju Pertumbuhan
Jumlah Penduduk (ribu)
Penduduk per Tahun
Kecamatan
2010 2014 2015 2010-2015 2014-2015

Palaran 49.079 53.767 54.819 11.695 1.957

Samarinda Ilir 66.261 72.591 74.012 11.698 1.958

Samarinda Kota 33.052 36.21 36.919 11.7 1.958

Sambutan 43.651 47.822 48.746 11.695 1.953

Samarinda Seberang 57.532 63.029 64.262 11.698 1.956

Loa Janan Ilir 56.651 62.064 63.28 11.701 1.959

Sungai Kunjang 114.044 124.942 127.384 11.697 1.955

Samarinda Ulu 121.591 133.208 135.814 11.697 1.956

Samarinda Utara 90.202 98.817 100.75 11.694 1.956

Sungai Pinang 95.437 104.556 106.601 11.698 1.956

Samarinda 727.5 797.006 812.597 11.697 1.956

23
Sumber : Samarinda Dalam Angka

Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Menurut Bulan di Kota Samarinda,
2015

Bulan Curah Hujan (mm3) Hari Hujan

Januari 344,8 26

Februari 193 19

Maret 197,8 17

April 343,7 23

Mei 213,5 20

Juni 259,2 23

Juli 162,7 11

Agustus 57,6 7

September 0 1

Oktober 73,2 8

November 60,9 19

Desember 191,4 16

Sumber: Stasiun Meteorologi Temindung Samarinda

24
BAB IV
RENCANA KERJA
Dalam pengerjaan penelitian Dampak Perubahan Lahan Dan Kerentanan Daerah Rawan Banjir di Kota
Samarinda ini perlu adanya rencana kerja yang mana akan dilakukan dalam gambaran kurun waktu
secepat cepatnya dalam hitungan studi kurang lebih 1 tahun penelitian untuk memaksimalkan hasil dan
output dari penelitian ini agar dapat bermanfaat. Adapun rencana kerja yang akan di lakukan sebagai
berikut:

25
DESAIN SURVEY

Desain Survey adalah suatu penelitian survei atau survei bertujuan untuk
mengumpulkan informasi tentang orang yang jumlahnya besar, dengan cara mewawancarai
sejumlah kecil dari populasi tersebut. Survei dapat digunakan dalam penelitian yang bersifat
eksploratif, deskriptif maupun eksperimental. Desain survey bertujuan untuk memberkan
arahan dan mempermudah dalam proses survey di lapangan untuk mencari data.
A. Rencana Kerja
Sebagaimana Rencana Studi ini diuraikan secara detail pada bagian sebelumnya, secara
keseluruhan kegiatan penelitian ini akan diselesaikan dalam kurun waktu 1 semester 6 (enam)
bulan, dengan penelitian mengenai perubahan lahan dan tingkat kerentanan dengan studi
kasus Kota Samarinda. Adapun jadwal pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada berikut:
a. Tahap Persiapan
 Mempelajari rencana kerja
 Menyusun metodologi pendekatan penelitian
 Merancang kegiatan survey untuk memperoleh data dan informasi guna mendukung
penelilian mengenai perubahan lahan dan tingkat kerentanan di Kota Samarinda
b. Tahapan Survei
Dalam pengumpulan data perlu dilakukan pengumpulan data dan informasi baik yang
dikeumpulkan berupa data primer maupun data sekunder. Data dan informasi primer yang
didapatkan melalui observasi dan wawancara. Sedangkan data sekunder yang didapat dari
data-data sekunder yang didapat dari berbagai dinas/instansi terkait.
c. Tahap Analisis
Dalam tahap ini pelaksanaan analisis menggunakan metoda analisis Deskriptif
kuantitatif terhadap input data yang berhasil dikumpulkan. Dengan penelitian mengenai
“KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN LAHAN DAN KERENTANAN DAERAH
RAWAN BANJIR”

B. Latar Belakang
Latar belakang penelitian ini yaitu untuk Mengidentifikasi bahaya longsor yang
membahayakan permukiman setempat dengan melihat upaya apakah yang telah di lakukan

26
untuk meminimalisir resiko longsor di wilayah yang memiliki gerakan tanah yang cukup
tinggi. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian mengenai dampak pemindahan lokasi
TPA tersebut maka di diperlukan adanya suatu perencanaan atau desain survey untuk
mempermudah dalam pelaksanaan pengumpulan data primer maupun sekunder.

C. Tujuan dan Sasaran


a. Tujuan
Tujuan desain survey adalah sebagai arahan untuk memudahkan peneliti di lapangan.
Desain survey ini berisi dari tahapan-tahapan yang harus dilakukan peneliti guna
memudahkan dalam proses memperoleh data dan informasi, baik sekunder maupun primer.
b. Sasaran
Adapun sasaran yang akan dicapai untuk mencapai tujuan dari desain survey adalah
sebagai cara untuk mengidentifikasi data-data yang dibutuhkan berdasarkan penelitian yang
dilakukan diantarnya adalah sebagai berikut :
1. Pengumpulan data sekunder pada instansi–instansi yang terkait.
2. Pengumpulan data dilapangan atau survei primer untuk mencari data yang tidak ada
pada data sekunder.
3. Wawancara

D. Mekanisme Survei
Dalam pengumpulan data ini dilakukan dengan melalui survey, secara garis besar
terbagi menjadi dua yaitu: survey sekunder dan survey primer. Berikut penjabaran tentang
survey sekunder dan survey primer. Dalam metodologi penelitian menggunakan berbagai
metoda pendekatan yaitu :
Dalam pengumpulan data ini dilakukan dengan melalui survey, secara garis besar terbagi
menjadi dua yaitu survey primer dan survey sekunder.
a. Survey Primer, Data primer diperoleh dari:
1. Observasi :
Yaitu suatu studi penelitian yang sistematis tentang fenomena dan gajala psikis
dengan jalan pengamatan pada wilayah kajian.
2. Wawancara

27
Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab
sepihak yang dilakukan secara sistematis dan berlandaskan kepada tujuan
penelitian.

b. Survey Sekunder
Merupakan pengambilan data survey sekunder diperoleh dari data-data dan literatur
yang ada di Instansi terkait atau daftar pustaka dan buku-buku yang ada kaitannya dengan
survey sekunder itu sendiri. Untuk menunjang proses analisis penelitian ini maka
diperlukan checklist data yaitu sebagai berikut:

28

Anda mungkin juga menyukai