ARTIKEL
Oleh :
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
2011
SOME ASPECT OF WATER’S PHYSICO-CHEMICAL AND
PHYSIOLOGICAL ASPECT OF FISH WHICH FOUND IN WASTE WATER
OF RUBBER FACTORY ARROUND BATANG ARAU RIVER
(co promotor Dr. Syaifullah dan Dr. Ir. Indra Junaidi Zakaria, MS)
Abstract
The study about some aspect of water’s physico-chemical and physiological aspect of
fish which found in waste water of rubber factory around Batang Arau river has been
conducted from July to August 2009 with to take measurement of water’s physico-
chemical and collected fishes in four location by using survey and direct collection
method, followed by measuring the methemoglobine, oxygen consumption,
operculare frequent and blood value measurement in structure and animal
development laboratory, Biology Department, Faculty of Mathematic and Natural
Sciences Andalas University Padang. The result showed that occurred decrease
quality of some aspect of water’s physico-chemical and physiological aspect of fish.
(Dibawah bimbingan Dr. Syaifullah dan Dr. Ir. Indra Junaidi Zakaria, MS)
I. PENDAHULUAN
Lingkungan perairan seperti daerah aliran sungai merupakan salah satu lingkungan
yang paling sering terkena dampak pencemaran karena hampir semua limbah dibuang
ke lingkungan perairan. Hal ini karena pada daerah aliran sungai terdapat berbagai
pengguna lahan seperti hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan persawahan,
Apabila suatu limbah yang berupa bahan pencemar masuk ke suatu lokasi
perairan sungai maka akan terjadi perubahan padanya. Perubahan dapat terjadi pada
organisme yang hidup dilokasi tersebut juga pada lingkungan perairan itu sendiri
yaitu berupa faktor fisika dan kimianya (Suin, 1994). Dampak dari pencemaran
terkena dampak pencemaran dimana kualitas airnya cendrung terus menurun. Sumber
pencemaran di sungai ini terutama berasal limbah industri yaitu limbah pabrik karet
nitrat Nitrit dan posfat sehingga dapat mempengaruhi kualitas air sungai tersebut
yang bersifat toksik terhadap organisme yang hidup di perairan. Tingkatan daya racun
walau dalam konsentrasi yang sedikit sedang nitrat baru bersifat toksik dalam
otak, penurunan nilai darah serta mereduksi kapasitasi pembawa oksigen pada tubuh
ikan (Das, Chandra, Ayyappan, dan Jena, 2004.). Sifat toksik dari senyawa nitrit
adalah mampu mengoksidasi ion ferrous (Fe2) menjadi ion ferric (Fe3+) di dalam
darah (Jensen, 1995). Sedangkan toksisitas Nitrat secara tidak langsung terjadi
menimbulkan istilah “alga bloom”. Akibatnya kadar oksigen terlarut bisa berkurang
(Hallberg, 1989 )
Ikan merupakan salah satu biota perairan yang sangat peka terhadap
bisa saja merubah kualitas perairan dan mempengaruhi aspek fisiologis seperti
prilaku pernafasan dan nilai darah ikan yang hidup di sekitar buangan limbah pabrik
perairan Sungai Batang Arau akibat pembuangan limbah karet dan apakah perubahan
kualitas perairan Sungai Batang Arau diikuti dengan perubahan aspek fisiologis ikan
yang hidup diperairannya. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan informasi
mengenai dampak limbah karet terhadap kualitas perairan sungai batang Arau serta
pengaruhnya terhadap aspek fisiologis ikan yang hidup ada dilingkungan perairan.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan juli 2010 sampai agustus 209. Sampel air
dan ikan diambil dari perairan sekitar buangan limbah karet sungai batang Arau
Alam, Universitas Andalas, Limau Manis, Padang. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode survei dan koleksi langsung dilapangan sedangkan
prosedur kerjanya meliputi koleksi sampel air dan ikan, pengukuran fisika kimia air
4.1. Faktor Fisika dan Kimia Air pada Perairan Sekitar Buangan Limbah Pabrik Karet
Dari pengamatan faktor fisik dan kimia air pada perairan buangan limbah pabrik karet
sungai batang Arau menunjukkan bahwa secara umum kualitas air pada perairan
sungai batang Arau sudah mengalami penurunan dimana sudah tidak dapat digunakan
untuk air minum namun masih memungkinkan dapat digunakan untuk perikanan atau
Suhu pada masing-masing stasiun masih tergolong suhu air normal namun
terlihat adanya peningkatan suhu pada perairan yang berada sekitar buangan limbah
pabrik karet. Hal ini disebabkan karena kegiatan industri pada pabrik karet tersebut
dimana prosesnya disertai dengan timbulnya panas reaksi atau panas dari suatu
gerakan mesin. Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah
dihasilkan oleh pabrik karet umumnya mempunyai pH yang rendah yaitu sekitar 3 – 5
(Sari, 2009). Kisaran pH pada seluruh stasiun yaitu 6,15 – 6,78 masih dalam rentang pH
baku mutu air baik untuk air kelas I maupun kelas II yang berkisar 6 – 9.
Kadar O2 terlarut pada stasiun I masih memenuhi baku mutu kualitas air baik
kelas I maupun kelas II. Pada stasiun II sudah melewati batas baku mutu air kelas I
tetapi masih memenuhi baku mutu kualitas air kelas II. Sedangkan pada stasiun III
dan IV sudah melampaui batas baku mutu kualitas air kelas II. Kisaran oksigen
terlarut untuk kegiatan perikanan tidak boleh kurang dari 4 mg/L (Asmawi, 1984).
Sementara Effendi (2003) menambahkan bahwa kadar oksigen terlarut yang paling
Kisaran CO2 masih merupakan kisaran yang aman bagi kehidupan organisme
perairan. Namun perlu diawasi kecendrungan kenaikan kadar CO2 pada stasiun III
dan IV yang telah hampir mendekati kadar maksimum. Asmawi (1984) menyatakan
bahwa perairan yang kurang baik bagi kehidupan ikan adalah jika perairan tersebut
mengandung lebih dari 12 mg/ L. Kandungan CO2 terlarut sebesar 12 mg/L telah
Tingginya Kadar ammonia dan nitrit pada stasiun III akibat dari buangan
limbah karet dari pabrik yang terdapat di pinggiran sungai tersebut. Pabrik ini masih
sungai kecil yang dialirkan ke area pabrik. Pada stasiun IV kadar ammonia bebas dan
nitrit juga tinggi. Hal ini karena letak stasiun IV yang bersebelahan arah ke hilir
stasiun III sehingga limbah juga mengalir dan menumpuk pada stasiun IV.
Pada stasiun II kadar ammonia dan nitrit tidak begitu tinggi meskipun pada
pinggiran terdapat pabrik karet. Hal ini karena pabrik yang terdapat pada pinggiran
stasiun II tidak langsung membuang limbah ke perairan sungai batang Arau tetapi
telah menggunakan sistem instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yaitu dengan
menggunakan sistem biologis atau lumpur aktif dan kemudian ditampung ke bak
efektifitas IPAL yang tinggi sehingga kualitas air limbah yang dihasilkan berada
Stasiun I merupakan daerah yang terendah kadar ammonia dan nitrit. Hal ini
disebabkan pada pinggiran sungai daerah ini tidak terdapat buangan limbah karet.
Adanya kadar ammonia dan nitrit dalam jumlah kecil pada daerah ini berasal dari
limbah organik rumah tangga yang kemudian di urai oleh bakteri aerob dan anaerob
Kadar nitrat perairan pada semua stasiun pengamatan jauh dibawah nilai baku
mutu air baik kelas II maupun kelas I. Hal ini menunjukkan bahwa proses oksidasi
amonia dan nitrit belum mencapai tingkat proses perombakan senyawa nitrit menjadi
nitrat oleh oleh bakteri nitrobacter atau nitrosomonas. Hal ini disebabkan belum
(Durborrow, et al, 1997). Selain itu, Effendi (2003) menyatakan bahwa sumber
utama peningkatan kadar nitrat diperairan berasal dari limpasan pupuk pertanian.
Daerah sekitar stasiun pengamatan tidak digunakan sebagai area pertanian sehingga
limpasan pupuk pertanian ke perairan tersebut sangat sedikit sekali. Dengan demikian
mutu air kelas I. Hal ini menunjukkan bahwa aliran sekitar buangan limbah karet
sungai batang Arau telah tercemar bahan organik terutama pada daerah yang terkena
yang langsung sebagai tempat buangan limbah karet. Pada stasiun I kemungkinan
kandungan bahan organik hanya berasal dari limbah domestik rumah tangga sehingga
kadar BOD5 dan COD hanya sedikit lebih tinggi dari kadar baku mutu air kelas I.
Pada Stasiun lainnya, kandungan bahan organik tidak hanya berasal dari limbah
domestik rumah tangga, tapi juga berasal dari limbah karet baik langsung ataupun
tidak langsung sehingga kadar BOD5 sudah melampaui baku mutu air kelas II dan III
bahkan hampir mendekati baku mutu air kelas IV. Kadar COD masih lebih rendah
dari baku mutu air kelas II meskipun pada stasiun III dan IV telah hampir mendekati
dapat dinilai berdasarkan kandungan nilai BOD5 dimana kandungan ≤ 2,9 mg/l
merupakan perairan yang tidak tercemar, kandungan 3,0 - 5,0 mg/l merupakan
perairan yang tercemar ringan, kandungan 5,1 – 14,9 mg/l merupakan perairan yang
tercemar sedang dan kandungan ≥ 15,0 mg/l merupakan perairan yang tercemar berat.
Berdasarkan kriteria diatas, maka perairan pada stasiun I tercemar ringan sedangkan
perairan sekitar buangan limbah pabrik karet sungai batang Arau diperoleh hasil
lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan kondisi fisik dan kimia air pada perairan
tersebut yang menunjukkan kondisi tidak tercemar oleh limbah karet. Kondisi
perairan yang tidak tercemar merupakan habitat yang menyenangkan bagi ikan.
Thompson dan Larsen (1994) menyatakan bahwa ikan akan mencari tempat yang
sesuai sebagai habitatnya dimana sangat tergantung pada kondisi air sebagai media
tempat hidupnya. Apabila habitatnya sudah tidak sesuai maka ikan akan pindah ke
perairan lain. Apabila kondisi tersebut tidak ditemukan, maka ikan akan beradaptasi
dengan lingkungan perairan sekitarnya. Ikan yang tidak bisa beradaptasi akan mati.
Kemungkinan hal ini terlihat dengan semakin kecilnya jumlah ikan hasil tangkapan
Tingginya jumlah ikan sapu-sapu (Liposarcus pardalis Linn.) dan Ikan Nila
(Oreochromis niloticus Linn.) menunjukkan bahwa ikan ini dapat bertahan hidup
pada area lingkungan perairan yang tercemar dan mengalami deoksigenasi. (Siregar
et al, 1993). Jumlah ikan Mungkuih (Sicyopterus sp), Kapareh (Barbodes gonionotus
Blkr.) dan Balang (Pristolepis fasciata Blkr.) paling banyak ditemukan pada stasiun I
dan paling sedikit pada stasiun III. Hal ini menunjukkan keterkaitan dengan kondisi
faktor fisik dan kimia perairan pada masing-masing stasiun tersebut. Ketiga jenis ikan
ini sensitif terhadap perairan yang tercemar. Keberadaan ikan mungkuih (Sicyopterus
sp), kapareh (Barbodes gonionotus Blkr.) dan balang (Pristolepis fasciata Blkr.) di
Sungai batang Arau kemungkinan bukan berasal dari kolam budidaya karena ikan-
ikan ini tidak biasa dibudidaya oleh penduduk. Ketiga jenis ikan ini merupakan ikan
yang umum tersebar di perairan sungai sumatera barat. Ketiga jenis ikan ini juga
Ikan mansaik (Barbodes schwanenfeldii Blkr.) dan ikan Rayo Cyprinus carpio
Linn. tidak ditemukan pada stasiun III. Ikan Rayo juga tidak ditemukan pada stasiun
IV. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis ikan ini sangat sensitif terhadap perairan
pada stasiun II dan IV. Sebagai keluarga Pangasidae, ikan ini dapat hidup pada
perairan yang tidak mengalir dengan kandungan oksigen rendah (Yustina, 2001).
Batang Arau.
dibandingkan dengan stasiun I erat kaitannya dengan keberadaan limbah karet yang
meningkatkan kadar nitrit pada ketiga perairan tersebut. Kadar nitrit pada perairan
ketiga stasiun tersebut sudah melewati nilai ambang baku mutu air kelas I dan II.
Nitrit yang terdapat diperairan dengan mudah masuk sistem peredaran darah
ikan melalui insang. Didalam pembuluh darah, nitrit akan menumpuk pada plasma
darah yang kemudian menyebar keseluruh jaringan. Dari plasma darah, nitrit
2+
berdifusi kedalam sel darah merah dan mengoksidasi besi hemoglobin-Fe menjadi
3+
Fe yang disebut methemoglobin. Dalam bentuk ini hemoglobin kehilangan
oksigen keseluruh jaringan tubuh. Efek ini akan menyebabkan hipoksia (Doblander,
terbentuk dalam darah ikan tersebut akibat terdedah nitrit. Semakin besar kadar nitrit
pada suatu perairan maka semakin besar pula kemungkinan ikan terdedah nitrit.
Semakin besar ikan terdedah nitrit semakin besar kadar methemoglobin terbentuk
sehingga semakin besar pula ikan kekurangan O2 dalam tubuhnya. Untuk mengatasi
kekurangan oksigen pada tubuhnya tersebut maka ikan mengkonsumsi O2 yang lebih
banyak dari perairan sekitarnya (da Silva, et al. 2004). Hasil terlihat pada Tabel 4.
perairan sekitar buangan limbah pabrik karet sungai batang Arau menunjukkan
gerakan operkulum untuk menambah pasokan oksigen kedalam tubuh (Bath dan
4.4. Nilai darah dan plasma laktat ikan yang ditemukan di perairan sekitar
Lebih tingginya jumlah sel darah merah ikan Liposarcus pardalis Linn. dan
ikan Oreochromis niloticus Linn. yang ditemukan pada stasiun IV, III dan II
dibandingkan pada stasiun I erat kaitannya dengan kondisi hipoksia jaringan akibat
ketersediaan oksigen dalam jaringan, tubuh ikan akan merespon pembentukan sel-sel
darah merah yang baru sehingga ketersediaan hemoglobin untuk mengikat oksigen
akan tetap cukup (Swift, 1981). Pada stasiun I ikan terdedah nitrit dalam konsentrasi
yang sangat rendah. Kondisi ini tidak merangsang tubuh untuk membentuk sel-sel
darah merah yang baru dengan cepat karena jumlahnya masih mencukupi.
Lebih rendahnya jumlah sel darah merah ikan Sicyopterus sp, Barbodes
gonionotus Blkr. dan Pristolepis fasciata Blkr. yang ditemukan pada stasiun IV, III
dan II dibandingkan pada stasiun I mungkin berkaitan dengan kerusakan sel darah
merah ikan akibat terdedah nitrit dan ammonia. Fenomena ini dapat diterangkan
sebagai hemolisis eritrosit (Kundsen & Jensen, 1997). Hasil terlihat pada tabel 6.
Lebih tingginya kadar hemoglobin darah ikan Liposarcus pardalis Linn. dan
ikan Oreochromis niloticus Linn. yang ditemukan pada stasiun IV, III dan II
terdedah nitrit. Dalam kondisi ini tubuh ikan akan merespon dengan mengkonsumsi
oksigen lebih banyak dari lingkungan. Untuk mengikat oksigen yang masuk kedalam
tubuh maka dibutuhkan hemoglobin yang cukup. Dengan demikian tubuh akan
memproduksi sel darah merah baru agar kebutuhan hemoglobin dapat terpenuhi
(Hilmy et al, 1987). Pada stasiun I ikan terdedah nitrit dalam konsentrasi yang
rendah. Dalam kondisi ini jaringan yang mengalami hipoksia juga tidak banyak
gonionotus Blkr. dan Pristolepis fasciata Blkr. yang ditemukan pada stasiun IV, III
dan II dibandingkan pada stasiun I menegaskan kondisi anemia terjadi pada ketiga
spesies ikan tersebut yang disebabkan terdedahnya toksikan ammonia dan nitrit.
menurunkan konsentrasi polutan pada sistem sirkulasi. Hasil terlihat pada Tabel 7.
dan ikan Oreochromis niloticus Linn. pada stasiun II, III dan IV dibandingkan dengan
stasiun I menunjukkan adanya keterkaitan dengan banyaknya jumlah sel darah merah
yang terbentuk oleh jaringan haemapoesis dimana jumlah sel darah merah berbanding
lurus dengan nilai hematokrit. Hal ini menunjukkan respon klasik yang umum akan
stress hipoksia akibat terdedah nitrit dan ammonia sebagai strategi untuk
ikan Sicyopterus sp, Barbodes gonionotus Blkr. dan Pristolepis fasciata Blkr. dimana
terjadi penurunan nilai hematokrit pada stasiun II, III dan IV dibandingkan dengan
stasiun I. Penurunan hematokrit dapat dihubungkan dengan adanya lisis sel darah
merah. Fenomena ini dapat diterangkan sebagai hemolisis eritrosit (Knudsen &
melawan stres polutan (Wahbi, Shalaby dan El-Dakar, 2004). Ammonia dan nitrit
yang masuk kedalam tubuh ikan dianggap suatu benda asing. Untuk itu tubuh akan
merangsang pembentukan sel darah putih sebagai pertahanan tubuh. (Davis, Maney,
stasiun III, IV dan II dibandingkan stasiun I erat kaitannya dengan kondisi keadaan
jaringan ikan yang mengalami stress hipoksia akibat terdedah nitrit. Hipoksia
konsentrasi plasma laktat (Stormer, Jensen dan Rankin, 1996). Hasil terlihat pada
Tabel 10.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai kajian beberapa aspek
fisika kimia air dan fisiologis ikan yang ditemukan pada aliran buangan limbah karet
1. Secara umum kualitas air pada perairan sungai batang Arau sudah mengalami
penurunan dimana sudah tidak dapat digunakan untuk air minum namun masih
2. Akibat perubahan kualitas air terutama dengan tingginya kadar ammonia dan
juga terjadi peningkatan dan penurunan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan
hematokrit, peningkatan jumlah sel darah putih dan plasma asam seluruh ikan.
5.2. Saran
Sosialisasi kepada masyarakat tentang kualitas air batang arau yang menurun telah
dan kualitas ikan yang terdapat di sungai tersebut. Pengupayakan pencegahan dan
Bappedalda Kota Padang. 2003. Kualitas Air Sungai Batang Arau. Laporan Tahunan
Kondisi Batang Arau Kota Padang. (Tidak dipublikasikan).
Bath, R. N. and F. B. Eddy. 1980 Transport Of Nitrite Across Fish Gills. J. Exp.
Zool. 214:119-121.
Das P., S. Chandra, J.K. Ayyappan, B.K.D. Jena. 2004. Acute toxicity of ammonia
and its sub-lethal effects on selected haematological and enzymatic
parameters of mrigal, cirrhinus mrigala (Hamilton). Aquac.Re. 35(2): 134-
144.
Davis, A. K., D. L. Maney and J. C. Maerz. 2008. The use of leukocyte profiles to
measure stress in vertebrates: a review for ecologists. Functional Ecology
2008, 22, 760–772
Lee, C.D., S.B. Wong and L.C. 1978. Benthic Macro Invertebrate and Fish
asBiological Indicator of Water Quality, with Reference on WaterPollution.
Control in Developing Countries. Bangkok Thailand.
Mahida, V. N. 1981. Water Polution and Disposal of Wastewater on Land. Tata Mc.
Graw-Hill. New Delhi.
Peraturan Pemerintah No. 82. 2001. Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian
Pencemaran Air. Jakarta.
Sari, M. 2009. Pengendalian Limbah Cair di Pabrik Benang Karet. PT Industri Karet
Nusantara Medan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. USU
Repository. Medan.
Siregar, S., Putra, R.M. & Sukendi. 1993. Fauna ikan di perairan sektor Bukit
Tigapuluh Siberida, Sumatra. Rain Forest and Resource Management.
Proceedings of the NORINDA. Jakarta, 23-25 Mei 1993.
Siti Salmah, A. Junaidi, Izmiatri, Masrizal and Azhar. 2002. Fishway Installation and
Fish Habitat study For River Ecosystem Conservation in Indonesia Stream. J.
Freshwater fish.15 : 45-52 pp.
Stormer J., F.B. Jensen and J.C. Rankin. 1996. Uptake of nitrite, nitrate, and bromide
in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss: effects on ionic balance. Canadian
Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 53, 1943–1950.
Suin, M. N. 1994. Dampak Pencemaran pada Ekosistem Perairan. Proseeding
Penataran Pencemaran Lingkungan, Dampak dan Penanggulangannya.
Padang.
Wahbi, O. M., S. M. Shalaby and A. Y. El-Dakar. 2004. Effect of Pulp and Paper
Industrial Effluent Onsome Blood Parameters, Gonads and Flesh Proteins in
Experimentally Exposed Striped Seabream Lithognatus Mormyrus. Egyptian
Jour. Of Aquatic research. Vol. 30 (A), 2004:25-42
Yustina. 2001. Keaneragaman Jenis Ikan di Sepanjang Perairan Sungai Rangau Riau
Sumatera. Universitas Riau. Pekan Baru.
Zulkifli dan Anwar, J. 1994. Alternatif Penanggulangan Limbah Pabrik Karet. Jurnal
Lingkungan dan Pembangunan 14; 1 : 60 – 67.
LAMPIRAN
Tabel 1. Faktor fisika-kimia air pada perairan sekitar buangan limbah pabrik karet
sungai Batang Arau
Rata-rata frekuensi
Jumlah
Nama gerakan operkulum
No. Species ikan
Lokal (kali/menit)
(ekor)
I II III IV
Liposarcus
1 Sapu-sapu 21 140,25 141,67 144,83 143,6
pardalis Linn.
Oreochromis
2 Nila 25 140,40 141,40 143,80 142
niloticus Linn.
3 Sicyopterus sp Mungkuih 18 137,80 140,14 149,25 145,67
Barbodes
4 Kapareh 12 139,20 140,20 154 147,67
gonionotus Blkr.
Pristolepis
5 Balang 12 139,80 141,33 143,67 142,25
fasciata Blkr.
Tabel 6. Rata-rata jumlah sel darah merah yang ditemukan di perairan sekitar
buangan limbah pabrik karet sungai Batang Arau
Rata-rata jumlah
Jumlah
Nama sel darah merah
No. Species ikan
Lokal (106/mm3)
(ekor)
I II III IV
1 Liposarcus pardalis Linn. Sapu-sapu 21 4,57 4,79 4,87 4,93
Oreochromis niloticus
2 Nila 25 3,85 3,93 4,03 4,25
Linn.
3 Sicyopterus sp Mungkuih 18 3,95 3,78 3,26 2,94
4 Barbodes gonionotus Blkr. Kapareh 12 5,38 5,27 4,46 4,23
5 Pristolepis fasciata Blkr. Balang 12 4,48 4,27 3,95 3,78
Tabel 9. Rata-rata jumlah sel darah putih ikan yang ditemukan di perairan sekitar
buangan limbah pabrik karet sungai Batang Arau