Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air merupakan kebutuhan utama manusia karena memiliki banyak fungsi,
diantaranya untuk pertanian, irigasi, industry, rekreasi dan lain-lain. Akan tetapi,
dewasa ini kualitas air sudah mengalami degradasi atau penurunan. Hal ini
diakibatkan oleh pencemaran air yang disebabkan oleh polutan air. Menurut UU
No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan PP RI No 82 Tahun
2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air,
pencemaran air adalah masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air
turun hingga ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi
sesuai dengan peruntukannya.
Kecamatan rancaekek, Bandung, merupakan salah satu daerah di mana
perairannya, yaitu irigasinya tercemar. Hasil analisis beberapa sifat kimia dan
fisika tanah di areal sawah Rancaekek menunjukkan bahwa tanah di kawasan
tersebut sudah banyak terkontaminasi oleh zat-zat pencemar, terutama logamlogam berat seperti Fe, Al, Cu, Zn, Pb, Co, Cr, dan B. Sementara itu, berdasarkan
hasil analisis kualitas air buangan yang berasal dari industri tekstil di Sungai
Cikijing, menunjukkan bahwa air tersebut memiliki pH (9,8) dan salinitas
tergolong sangat tinggi, hal ini dapat dilihat dari nilai Daya Hantar Listrik (DHL)
air sebesar 5.400 mhos/cm. Air irigasi dengan kisaran DHL di atas 2100 mhos/cm
termasuk klasifikasi kualitas buruk sekali, dan tidak disarankan untuk keperluan
pertanian (Sudirja, 2006).
Selain itu, Edy Suryadi , Ir., MT, Dwi Rustam K. S.Si, MT dan Sophia
Dwiratna, NP., STP

dari Fakultas Teknik Industri Pertanian Unpad dengan

sumberdana dari LITSAR melakukan penelitian pada tahun 2007, dengan


menggunakan

metode

penelitian

deskriptif

analitik.

Hasil

penelitian

menunjukkan, bahwa kualitas air di lima lokasi sepanjang Sungai Cikijing di


Rancaekek berdasarkan parameter nilai Daya Hantar Listrik (DHL), Sodium

Adsorption Ratio (SAR), Kadar Boron dan Zat Padat Terlarut (TDS) tidak cocok
untuk keperluan irigasi pertanian.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa saja sumber pencemaran di Sungai Citarik
1.2.2 Apa yang terjadi pada tanaman padi yang ditanam oleh petani

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Eutrofikasi
Eutrofikasi merupakan Proses penumpukan senyawa anorganik seperti fosfat
dan nitrat yang terakumulasi di perairan. Eutrofikasi disebabkan karena adanya
peningkatan nutrisi kimia dalam suatu ekosistem. Eutrofikasi merupakan salah satu
hasil dari pencemaran, seperti pembuangan limbah domestic ke dalam sungai atau
danau walaupun eutrofikasi sering ditemukan terjadi secara alami di alam dengan
kondisi di mana nutrisi-nutrisivkimia terakumulasi atau terbawa masuk ke dalam

system lingkungan. Dalam lingkuangan akuatik, peningkatan pertumbuhan dari


vegetasi akuatik atau phytoplankton (algae bloom) mengganggu fungsi ekosistem
manusia.
Proses eutrofikasi sendiri merupakan proses alami yang akan terjadi pada setiap
perairan tergenang namun dalam waktu yang cukup lama. Seiring dengan
meningkatnya aktivitas masyarakat, maka akan memberikan masukan berupa unsur
hara ke badan air danau dan jika proses pulih diri (self purification) terlampaui maka
akan mempercepat proses eutrofikasi.
1) Eutrofikasi alamiah
Eutrofikasi yang terjadi secara alamiah akibat adanya nutrisi dan
mikroorganisme yang berasal dari badan air itu sendiri atau pertambahan
nutrisi melalui air limpasan tanpa adanya pengaruh aktivitas manusia.
Eutrofikasi ini berjalan sangat lambat, bias berlangsung selama ratusan tahun
2) Eutrofikasi Kultural
Eutrofikasi yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Beberapa kegiatan
manusia yang dapat menyebabkan eutrofikasi di antaranya adalah
pembuangan limbah domestic, kegiatan pertanian, peternakan, budidaya ikan,
pembuangan limbah industry, dan lain-lain.
Menurut USEPA dalam HENDERSON-SELLER & MARKLAND dalam Tri
Suryono dkk (2009) secara umum suatu badan air yang telah mengalami proses
eutrifikasi dapat ditandai adanya penurunan konsentrasi oksigen terlarut pada
lapisan hipolimnion, kenaikan konsentrasi nutrien N dan P, kenaikan suspended
solid (terutama material organic), penurunan penetrasi cahaya (kecerahan menurun),
terjadi blooming alga, dan sedimen tinggi serta keragaman jenis alga rendah namun
kelimpahan dan produktifitasnya tinggi.
Proses sederhana dari eutrofikasi yaitu Alga meningkatmenyebabkan adanya
kompetisi

cahaya

meningkat. Karena

dan

terlalu

banyak

kejadian tersebut

alga

menyebabkna pertumbuhan

tumbuhan dan

alga banyak

yang mati.Tumbuhan dan alga yang mati diubah menjadi detritus. Detritus
merupakan tanamanyang mati dirubah menjadi senyawa organic. Buangan industry
dan limbah rumah tanggamenghasilkan senyawa organic juga, senyawa organic yang
tidak dibutuhkan juga diubahmenjadi detritus. Kemudian detritus di uraikan oleh

bakteri aerob. Karena seluruhoksigen diperairan tersebut banyak digunakan oleh


bakteri aerob maka terjadi BOD. Bilasudah langka oksigen disuatu perairan maka
munculah bakteri anaerob dan perairantersebut mengalami ANOXIC. Bakteri
anaerob tadi lebih berkembang dan bakterianaerob melepaskan gas racun seperti
NH4, CH, H2S. organism yang aerob jadi terganggu dan banyak yang mati juga
karena kekurangan oksigen dan kualitas perairan memburuk.

BAB III
METODE PENGUJIAN

3.1 Metode Pengujian Air


Pengujian kualitas dan mutu air dapat dilakukan oleh laboratorium lingkungan
yang ditunjuk oleh Gubernur dan sudah terkareditasi dalam rangka mengendalikan
pencemaran air. Namun, apabila Gubernur belum menunjuk laboratorium yang sudah
terkareditasi maka pengujian dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk Menteri
Lingkungan Hidup. Untuk melakukan pengujian kualitas air kita harus melakukan
beberapa tahapan yaitu pengambilan sampel air, pengukuran kualitas air, analisis

data, hasil dan pembahasan. Pengambilan sampel air yang akan diuji harus diambil
dari 10 titik/lokasi dan berasal dari 6 lokasi yang didasarkan pada perbedaan jenis
tanah dan pertimbangan lain. Metode yang akan digunakan untuk menentukan status
mutu air adalah metode STORET. Dengan metode ini dapat diketahui parameterparameter yang memenuhi atau tidak memenuhi baku mutu air. Secara prinsip
metode STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu
air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Cara
untuk menentukan status mutu air adalah menggunakan sistem nilai dari US-EPA
(Environment Protection Agency) dengan mengklasifikasikan mutu air dalam empat
kelas, yaitu :
1.
2.
3.
4.

Kelas A
Kelas B
Kelas C
Kelas D

Baik sekali, skor = 0


Baik, skor =-1 s/d -10
Sedang, skor = -11 s/d -30
Buruk, skor = -31

memenuhi baku mutu


cemar ringan
cemar sedang
cemar berat

Langkah-langkah penenuan status mutu air menggunakan metode ini adalah


Lakukan pengumpulan data kualitas air dan debit air secara periodik sehingga
membentuk data dari waktu ke waktu (time series data), termasuk data yang
dianalisis dari pengambilan sampel yang dilakukan saat itu
Bandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dengan
nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air
Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran lebih
kecil sama dengan baku mutu) maka diberi skor 0
Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran
lebih besar dari baku mutu) maka diberi skor sesuai tabel berikut ini

Jika negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya
dari jumlah skor yang didapat dengan menggunakan sistem nilai.
Parameter kualitas air yang aka di hitung sesuai dengan PP RI No. 82 Tahun 2001
adalah sebagai berikut

BAB IV
HASIL DAN

PEMBAHASAN

Hasil yang didapatkan merupakan rangkuman dari beberapa jurnal yang


membahas mengenai pencemaran air. Pada jurnal yang berjudul Kandungan
Beberapa Ion di dalam Sumber Air di SUB DAS itarik dan DAS Kaligarang, jurnal
berjudul Identifikasi Kerusakan Lahan Sawah Di Rancaekek Kabupaten Bandung,
Jawa Barat dan jurnal berjudul Evaluasi Pencemaran Limbah Industri Tekstil Untuk
Kelestarian Lahan Sawah didapatkan hasil sebagai berikut :
4.1 Penyebab Pencemaran Air di Rancaekek

Sungai Citarik merupakan salah satu anak sungai dari Sungai Citarum yang
berada di wilayah Rancaekek. Di Daerah Aliran Sungai Citarum terdapat berbagai
jenis industri utama antara lain industri tekstil, industri penyamakan kulit, industri
makanan, dan industri elektroplating. Hal yang menjadi fokus perhatian dalam
pengelolaan kualitas air sungai citarum adalah masuknya bahan kimia dari aktivitas
industri ke badan air sungai, misalnya logam berat. Hal ini dikarenakan logam berat
merupakan elemen yang sulit terdegradasi dan dapat terakumulasi dalam makhluk
hidup melalui rantai makanan (bioakumulasi), dengan efek jangka panjang yang
merugikan pada organisme hidup.
Dalam

golongan

bahan

kimia

beracun,

kontaminan

utama

yang

mempengaruhi kualitas air Sungai Citarum adalah limbah yang berasal dari kegiatan
industri (logam dan senyawa non-logam), pertanian (pupuk sintetis dan pestisida),
jasa (minyak dan logam) dan domestik (deterjen, logam, plastik).
Di sekitar Sungai Citarik terdapat banyak industri tekstil. Berdasarkan data
BPLHD (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup) (2001), terdapat 219 industri
tekstil dan 1 industri minuman yang mencemari sungai dimana terdapat kandungan
logam berat di dalamnya. Air limbah yang dikeluarkan oleh industri, terutama
industri tekstil sering menimbulkan warna pada aliran sungai, sehingga air sunggai
berwarna kehitaman dan berbau menyengat. Selain limbah industri, yang mencjadi
sumber pencemar di Sungai Citarik yaitu limbah domestik atau limbah rumah tangga
berupa air deterjen, sisa pencucian, logam, dan plastik.
Gambar 1. Kondisi Sungai Citarik

4.2
Kondisi
Lahan
Sawah

Rancaekek

di

Salah satu dampak yang diakibatkan oleh pembuangan limbah industry garmen
ke saluran irigasi adalah tingginya kandungan logam seperti Cu (tembaga), Pb (timah
hitam), Cr (khromium), Cd (kadmium), Hg (air raksa). Jenis-jenis logam berat
tersebut merupakan unsur-unsur yang digunakan dalam proses produksi tekstil.
Kadar yang berlebihan dari keempat unsur tersebut, baik secara sendiri maupun
bersama-sama dapat meracun tanaman tingkat tinggi. Bahkan dapat meracuni
bakteri- bakteri yang bermanfaat dalam tanah, seperti bakteri rhizobium yang
terdapat pada akar tanaman leguminosa. Menurut Sudirja (1998) konsentrasi Pb di
lahan Desa Jelekong Kecamatan Rancaekek adalah 16,080 ppm, merupakan
konsentarasi yang dapat menurunkan hasil gabah kultivar IR64. Sementara
berdasarkan hasil analisis tanah kandungan Pb tanah semakin meningkat yaitu
39,610 ppm (Suryatmana dkk., 2001).Tingginya konsentrasi Pb yang terdapat pada
lahan pertanian dapat diserap tanaman dalam jumlah yang berlebihan dan berbahaya
untuk dikonsumsi.
Lahan sawah yang tercemar mencapai 1.250 ha atau sekitar 15% dari total
luas di daerah tersebut. Kerusakan disebabkan oleh tingginya kandungan Na dalam
tanah sawah, yang berkisar antara 467-2.983 mgNkg -1 tanah. Pada tabel
memperlihatkan konsentrasi Cr, Co, Ni, dan Zn berada di sekitar batas kritis.
Tabel. Kandungan unsur pencemar dan logam berat dalam tanah tercemar limbah
industry tekstil di persawahan Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung

Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 g
per cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, Sebagian logam berat seperti
timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang
berbahaya. Menurut Subowo et al. (1999) adanya akumulasi logam berat yang
berlebihan pada tanah pertanian dapat berakibat tidak hanya terhadap kontaminasi
lingkungan tetapi yang lebih buruk adalah menyebabkan meningkatnya kadar logam
berat pada hasil-hasil pertanian yang dipanen sehingga hal tersebut pada akhirnya
membahayakan kesehatan manusia bila hasil tersebut dikonsumsi.
4.3 Zat Toksik Pencemar Tanaman Padi di Rancaekek
Sungai terkadang digunakan sebagai tempat pembuangan limbah, namun
sering dimanfaatkan sebagai air irigasi bagi persawahan di bagian hilirnya. Seperti
terjadi di Sub DAS Citarik, pihak industri atau pabrik di wilayah Kabupaten
Sumedang membuang limbahnya ke Sungai Cihideung dan Sungai Cikijing yang
merupakan sumber air irigasi bagi persawahan di Kabupaten Bandung. Para petani di
kawasan tersebut melaporkan beberapa kali menanam padi dalam setahun tanpa
mendapatkan hasil atau hasilnya sangat minim (Abdurachman et al., 2000).
Berdasarkan hasil wawancara sumber dengan 19 petani terpilih di daerah
survei, disimpulkan bahwa lahan sawah yang terkena limbah pabrik tekstil
menyebabkan pertumbuhan dan hasil padi kurang baik (kehampaan sangat tinggi),
walaupun pemeliharaan dan pemupukan sudah mengikuti dosis anjuran (100-150 kg
urea, 50- 100 kg SP36, dan 50 kg KCl/ha). Akibat limbah tekstil, kualitas tanah dan
air pengairan pada saat-saat tertentu sangat jelek. Gabah kering giling (GKG) yang
diperoleh selama MH 2001-2002 (panen MaretApril) 3,5 t/ha (Desa Tenjolaya,
dan Desa Bojongsalam, Kecamatan Cicalengka), padahal sebelumnya dapat
mencapai 4,05,5 t GKG/ha. Bila dibandingkan dengan lahan yang satu hamparan
dan tidak terkena limbah, hasil gabahnya dapat mencapai 4,55,0 t GKG/ha (Desa
Jatimukti, Jatinangor, Cigentur, Majalaya).
Menurut Onken dan Hassner (1995), kandungan logam berat dalam jaringan
tanaman padi lebih banyak pada jaringan vegetatif dibandingkan pada jaringan
generatif, karena lebih mudah dan cepat terdifusi ke dalam jaringan vegetatif dan
terhambat masuk ke dalam jaringan generatif karena bukan hasil fotosintesis. Unsur

tembaga banyak terdapat dalam biomass, tetapi tidak dalam beras dan jaringan
generatif lainnya, Cu (2,43 mg kg-1 di dalam biomass kering) tidak ditranslokasikan
ke dalam beras. Kandungan logam berat yang tinggi dalam larutan tanah (soil
solution) mempengaruhi kandungan logam berat di dalam jaringan tanaman.
Kandungan Pb dalam tepung tidak boleh lebih dari 1,0 mg kg-1 , unsur Cd
0,005 mg kg-1 , Zn 40 mg kg-1 , dan Cu 10 mg kg-1 (Ditjen POM 1989).
Berdasarkan aturan tersebut, maka Cd dalam beras dari Rancaekek telah melampaui
ambang batas. Menurut beberapa hasil penelitian, dan hasil wawancara di lokasi,
kualitas beras yang tercemar limbah industri tekstil, di samping mengandung unsurunsur beracun dan berbahaya, juga rasa nasinya tidak enak (Suganda et al. 2003;
Kurnia et al. 2003).

Tabel 1. Rataan kandungan logam berat di dalam jaringan tanaman padi dari
sawah tercemar limbah industri di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung
Berdasarkan Tabel 1, Tembaga (Cu) dan mangan (Mn) berfungsi sebagai hara
mikro, sehingga keberadaannya di dalam lapisan olah kadang-kadang sangat
dibutuhkan tetapi kadangkadang juga menjadi racun. Apabila mengacu kepada
Tanaka dan Yoshida (1970) dalam Sanches (1976), maka tanaman padi di daerah
survei mengalami kahat Cu (batas kritis Cu adalah 6 ppm) tetapi surplus Mn dan Zn
(batas kritis masing-masing 10 ppm dan 20 ppm). Mn sebanyak 1130 ppm pada
jaringan tanaman belum meracuni tanaman padi. Tanaman padi akan keracunan Cu,
Mn, dan Zn apabila dalam jaringan daunnya mengandung masing-masing 30 ppm,
2500 ppm, dan 1500 ppm.
4.3 Nasib Dan Perilaku Zat Pencemar Tersebut Di Lingkungan Perairan

Polutan yang masuk ke dalam badan perairan sebagian zat akan mengalami
pengenceran dan pemencaran ang terjadi akibat adanya peristiwa arus. Sebagian zat
polutan lainnya akan mengalami pemindahan atau diangkut oleh adanya ombak dan
arus, serta dipindahkan melalui adanya aktivitas organisme. Konsentrasi zat polutan
yang masuk ke dalam badan perairan akan di degradasi melalui proses biologis, fisik
dan kimia. Secara biologis, konsentrasi polutan akan berkurang karena terambil oleh
ikan, fitoplankton dan gulma air. Secara fisik-kimia, konsentrasi polutan akan
berkurang karena adanya penyerapan (adsorpsi), presipitasi, dan pertukaran ion, juga
terakumulasi sehingga terjadi sedimentasi
Akibat limbah industry yang dibuang ke dalam badan air atau sungai yang berada
di sekitar industry atau pabrik, maka badan air tersebut akan tercemar unsur-unsur
yang sama dengan yang digunakan dalam proses produksi dan pengolahan limbah.
Hasil analisis unsur-unsur pencemar dan logam berat dalam sampel air sungai yang
digunakan sebagai sumber air pengairan menunjukkan kandungan B3 dan logam
berat tersebut masih dibawah batas kritis, kecuali Na dan SO4. Tetapi sampel air
diambil dari bagian dasar sungai yang bercampur lumpur, memiliki kandungan Pb,
Cr, Co, Ni, Zn, dan Cu umumnya melebihi batas kritis logam berat dalam air.
Tingginya kandungan logam berat dalam lumpur di dasar sungai, diduga karena
proses pengendapan yang terjadi terus-menerus.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pada prinsipnya, upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran di
lingkungan air dan produk pertanian adalah diantaranya dengan mengurangi
penggunaan bahan pencemar (reduce), menggunakan kembali barang atau bahan
untuk kegunaan yang sama (reuse), dan mendaur ulang barang atau bahan (recycle).
Namun disamping itu untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan
penanggulangan pencemaran, secara umum perlu dilakukan beberapa langkah
sebagai berikut :
a. Konservasi Sumber Air
Konservasi sumber air meliputi perlindungan daerah resapan air dengan
menerapkan pembatasan pembangunan, pelarangan penebangan dan
pembukaan hutan, penguasaan sumber-sumber air oleh individu atau
pengambilan yang berlebihan, perlindungan dari pencemaran baik
domestik maupun dari industry.
b. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring diperlukan untuk pengisian data-data perairan yang dianggap
rawan atau beresiko mencemari dan pada tahap berikutnya dilakukan
evaluasi untuk keperluan pengambilan tindakan.
c. Kegiatan Produksi Pertanian Bersih
Kegiatan produksi bersih adalah kegiatan internal dari pengusaha, namun
demikian tetap berhubungan dengan pemerintahan. Produksi bersih
dimulai dari pemilihan bahan baku, pemrosesan ramah lingkungan,
pengepakan hingga proses pendistribusian produk.

Anda mungkin juga menyukai