Anda di halaman 1dari 4

Situ Burung merupakan Situ yang pengelolaannya di bawah Dinas Pekerjaan

Umum, tetapi seiring berjalannya waktu kondisi Situ Burung kurang diperhatikan oleh
Dinas Pekerjaan Umum tersebut. Berdasarkan informasi yang didapat, kondisi Situ
Burung saat ini berbeda dengan kondisi zama dulu. Kedalaman Situ pada saat ini
diperkirakan 3-4 m, namun sejak dulu kedalaman pinggirnya saja bisa mencapai 6 m.
Kondisi air di Situ Burung juga saat ini sangat berbeda sekali dengan zaman dahulu
yang masih bersih dan jernih. Namun saat ini perairan Situ burung ini memiliki substrat
yang berlumpur serta banyak sampah yang dibuang sembarangan ke situ ini.
Parameter fisika yang diamati pada perairan Situ Burung meliputi waktu, suhu,
warna, cuaca, salinitas, kekeruhan, kedalaman, DHL, kecerahan, TSS, dan TDS. Hasil
pengamatan parameter fisika di perairan Situ Burung terdapat pada tabel 2 . suhu pada
stasiun ini yaitu sebesar 28,3o .
Warna perairan Situ Burung diamati secara visual dengan warna yang teramati
umumnya hijau tua. Warna tersebut disebabkan karena substrat pada Situ Burung
berupa lumpur dan banyak terdapat fitoplankton serta tumbuhan air seperti teratai di
sebagian daerah yang terpapar cahaya matahari. Kriteria warna air yang dapat dijadikan
acuan standar dalam pengelolaan kualitas air menurut Marindro (2002) adalah perairan
dengan warna hijau tua yang didominasi oleh Chloropiceae sp. dengan sifat lebih stabil
terhadap perubahan lingkungan dan cuaca karena mempunyai waktu mortalitas yang
relatif panjang, warna kecoklatan yang menunjukkan adanya dominasi diatome, dan
warna hijau kecoklatan yang menunjukkan adanya dominasi Chloropiceae sp. dan
diatome.
Cuaca yang teramati pada saat pengamatan umumnya berawan. Kedalaman
perairan di Situ Burung di setiap stasiun berkisar antara 4,4 meter. Kedalaman pada
stasiun 4 di Situ Burung sebesar 4,4 m. Kedalaman suatu perairan dapat memengaruhi
parameter lain seperti DO dan suhu. Konsentrasi oksigen terlarut pada umumnya
mengalami penurunan dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini diduga terjadi karena
suplai oksigen dari proses fotosintesis dan difusi menurun. Selain itu, pada lapisan
dasar perairan terjadi dekomposisi bahan organic (Sinaga et al. 2016). Suhu semakin
menurun dan kerapatan air semakin meningkat seiring bertambahnya kedalaman
perairan. Semakin dalam perairan maka semakin sedikit cahaya yang masuk sehingga
kecerahan semakin berkurang. Kedalaman menjadi faktor penentu pada parameter
kualitas air yang lain. Di perairan tropis dan subtropis kadar zat hara pada umumnya
rendah di permukaan dan meningkat seiring bertambahnya kedalaman (Simanjuntak
2009).
Salinitas pada stasiun 4 di Situ Burung sebesar 0. Variasi salinitas dapat
mempengaruhi kehidupan berbagai jenis plankton dalam suatu perairan. Di perairan
pantai yang bersalinitas rendah komunitas plankton lebih tinggi daripada perairan yang
letaknya lebih jauh dari pantai (Simanjuntak 2009).
Kecerahan di perairan Situ Burung pada stasiun 4 bernilai 85 cm. Kecerahan
dipengaruhi oleh nilai TSS (Total Suspended Solid). Semakin besar nilai TSS maka
nilai kecerahan akan semakin menurun. Hal ini karena TSS dapat menghambat
masuknya cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan (Akbar et al. 2016).
Nilai DHL hasil pengukuran dengan SCT meter di lapangan menunjukkan angka
142,8 mS. Angka tersebut mengindikasikan perairan memiliki daya hantar listrik yang
baik karena kadar ilmiah DHL berkisar antara 20-1500 mS (Effendi 2003). Jika
konsentrasi garam meningkat, maka kemampuan larutan menghantarkan listrik akan
meningkat.
Hasil perhitungan TSS yang didapatkan adalah 63 mg/L. Angka tersebut
mengindikasikan bahwa kadar TSS pada perairan sampel yaitu Situ Burung memiliki
nilai dibawah kadar alamiah menurut Effendi (2003) yaitu 25-80 mg/L dan masuk
dalam baku mutu kelas nomor I dan II menurut PP RI No. 82 Tahun 2001 yang
peruntukannya untuk bahan baku air minum, prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan , air untuk mengairi pertanaman, dan atau
peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
Analisis TDS dengan electrometri menunjukkan angka 64 mg/L. Angka tersebut
mengindikasikan TDS pada perairan Situ Burung lebih tinggi dari kadar alamiah
menurut Effendi (2003) yaitu 23mg/L. Tingginya nilai TDS mengakibatkan tingginya
nilai salinitas dan daya hantar listrik perairan (Effendi 2003). Sedangkan menurut baku
mutu berdasarkan PP RI No. 82 Tahun 2001, perairan tersebut masuk ke dalam baku
mutu kelas I, II, dan III yaitu 1000mg/L yang peruntukannya adalah untuk pengairan
budidaya ikan.
Parameter kimia yang dianalisis di perairan Situ Burung meliputi pH, DO,
kesadahan, alkalinitas, nitrat, nitrit, total N, BOD, ammonia, COD, CO2 bebas, dan
ortho fosfat. Hasil analisis parameter kimia di perairan Situ Burung terdapat pada tabel
3. Hasil analisis pH di stasiun 4 pada perairan Situ Burung yaitu bernilai 6,66. Nilai Commented [WU1]: hasil analisis apa yang dimaksud
tersebut termasuk ke dalam baku mutu kelas III sesuai dengan PP RI Nomor 82 Tahun
2001. Peruntukannya yaitu untuk budidaya perikanan air tawar.
Hasil analisis oksigen terlarut di perairan Situ Burung yang diperoleh adalah
sebesar 7,1 mg/l di stasiun 4. Jika dibandingkan dengan kadar alamiah yakni < 10 mg/l
menyatakan bahwa perairan tersebut cukup baik. Hal ini menandakan bahwa perairan
tersebut masuk kedalam baku mutu kelas III yang berarti air tersebut di peruntukan
untuk kegiatan budidaya perairan dan pengairan sawah atau tanaman. Dampak jika
kadar DO diperairan rendah dapat meningkatkan kekeruhan air yang disebabkan
semakin meningkatnya aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan zat organik
menjadi zat anorganik, sedangkan jika kadar DO semakin tinggi menunjukkan kualitas
air tersebut baik (Patty 2018).
Kadar alamiah kesadahan pada perairan berkisar antara 120-500 (Effendi 2003).
Hasil analisis kesadahan yang didapat sebanyak 60,06 mg/L. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa kadar kesadahan di situ burung lebih rendah dari kadar ilmiah.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa lokasi situ burung tidak berada pada daerah yang
memiliki litologi kapur. Hasil pengukuran alkalinitas yang diperoleh pada stasiun 4
adalah 44 mgCaCO3/l. Hasil tersebut jika dibandingkan dengan kadar alamiah <500
mgCaCO3/l menunjukkan bahwa perairan tersebut masih baik. Perairan Situ Burung
sesuai dengan fungsinya perairan tersebut diperuntukkan untuk budidaya perairan dan
perairan sawah dan tanaman.
Hasil analisis kadar nitrat di perairan Situ Burung yang diperoleh sebesar 0,4632
mg/L. Jika dibandingkan dengan kadar alamiah yakni berada lebih tinggi sedangkan
pada baku mutu termasuk kelas I dan II. Nilai nitrat yang tinggi dikarenakan nitrat
merupakan hasil akhir dari oksidasi terakhir amonium dan amoniak yang berasal dari
pemupukan dan limbah domestik, maka saat air pasang air pada kolam akan masuk ke
saluran irigasi sehingga menyebabkan jumlah nitrat akan semakin tinggi. Nilai nitrat
yang semakin rendah dikarenakan jumlah vegetasi air yang beragam dapat meresidu
jumlah nitrat untuk pertumbuhannya (Septiani et al. 2017). Dampak jika jumlah nitrat
tinggi pada suatu perairan dapat meningkatkan produksi fitoplankton dan total produksi
yakni berupa dampak positif. Dampak negatif terjadi ketika penurunan kandungan
oksigen diperairan, penurunan biodiversitas dan terkadang memperbesar potensi
muncul dan bertumbuhnya fitoplankton berbahaya yang dikenal HABs (Harmful Algal
Blooms) (Suprapto dan Muskananfola 2014).
Hasil nitrit dalam air sampel menunjukkan nilai konsentrasi sebesar 0.0123
mg/L. Kadar konsentrasi tersebut tergolong perairan alami yang menurut Effendi
(2003) kadar nitrit dalam perairan alami sebesar kurang dari 0.006 mg/L. Sementara
itu, air sampel dari Situ Burung berdasarkan PP No 82 Tahun 2001 tergolong baku
mutu kelas II. Hal tersebut berarti air sampel tersebut dapat diperuntukkan sebagai air
baku untuk sarana prasarana rekreasi air, budidaya air tawar dan irigasi pertanian.
Hasil analisis total N di Situ Burung yang diperoleh pada stasiun 4 sebesar -0.278
mg/L. Hasil tersebut masuk ke dalam kadar alamiah menurut Effendi (2003), yaitu
sebesar ≤ 0,1 mg/L. Hasil tersebut sangat rendah namun jika dibandingkan dengan baku
mutu menurut PP RI No.82 Tahun 2001 hasil tersebut masuk untuk peruntukan semua
kelas, khususnya kelas III yakni air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Hasil analisis ammonia stasiun 4, menunjukkan kadar ammonia dalam perairan
sebesar 0.7224 mg/L. Hasil tersebut melebihi kadar alamiah, menurut Effendi (2003),
kadar alamiah ammonia <0,1 mg/L. Kemudian hasil pengukuran ini juga lebih besar
jika dibandingkan dengan baku mutu menurut PP RI No.82 Tahun 2001 yakni kadar
yang baik bagi perikanan sebesar <0.02 mg/L sebagai NH3. Hal ini berarti perairan Situ
Burung kurang cocok untuk peruntukan semua kelas, khususnya kelas III yakni
digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
Hasil dari uji COD low lebih tinggi dari kadar alamiah, COD low senilai 67,54
mg/L.Nilai COD high sebesar -2,7215 mg/L yang lebih rendah dari kadar alamiah dan
baku mutu. Rendahnya nilai COD tersebut baik untuk keberadaan biota laut yang ada
didalamnya. Tingginya nilai COD mampu memengaruhi kehidupan biota akuatik.
Penurunan dari COD disebabkan peningkatan pH yang menyebabkan terpakainya
oksigen untuk menguraikan bahan organik, sehingga kadar CO2 menurun dan
tertahannya bahan organik yang mempengaruhinya (Susilo 2016).
Sampel stasiun 4 setelah dianalisis, hasil parameter CO2 Bebas yang didapatkan
adalah 7,04 mg/L. Hasil pengukuran melebihi kadar alamiah, sesuai dengan Effendi
(2003) yang menyatakan bahwa kadar alamiah CO2 di perairan <5mg/L. Hasil tersebut
menunjukkan perairan bersifat basa.
Hasil analisis fosfor total dalam air sampel menunjukkan konsentrasi sebesar
0.0149 mg/L. Hasil tersebut tergolong perairan alami yang menurut Effendi (2003)
kadar fosfor total dalam perairan alami sebesar kurang dari 1 mg/L. Konsentrasi fosfor
total dalam air sampel jika dibandingkan dengan baku mutu PP No 82 Tahun 2001
tergolong baku mutu kelas II yaitu sebesar 0,2 mg/L. Hal tersebut berarti air sampel
dapat digunakan sebagai air baku untuk kegiatan pertanian, budidaya perairan, dan
sarana prasarana rekreasi air serta irigasi pertanian.

Anda mungkin juga menyukai