Anda di halaman 1dari 214

1

Dan apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-
orang yang sebelum mereka, sedangkan orang-orang itu adalah lebih besar kekuatannya dari
mereka? Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di di langit maupun di
bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.

(Al-Qur’an Surat Faathir: 44).

…. Zeus, the god of gods, who rules according to law, and is able to see into such things,
perceiving that an honourable race was in a woeful plight, and wanting to inflict punishment on
them, that they might be chastened and improve, collected all the gods into their most holy
habitation, which, being placed in the centre of the world, beholds all created things. And when
he had called them together, he spake as follows…(The rest of the Dialogue of Critias has been
lost, in “Timaeus” by Plato).

“Janganlah mabuk kebudayaan kuno, tetapi juga jangan


mabuk kebaratan. Ketahuilah kedua-duanya itu supaya kita
bisa memakainya dengan selamat di dalam hari-hari yang
akan datang kelak”.
(Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka)

2
3
4
PENGANTAR PENULIS

Atas Berkat dan Rahmat Allah-lah sehingga terbit buku ini, dan hanya Dialah yang patut
mendapat pujian, dan semoga Dia selalu memberi Rahmat kepada Nabi Muhammad S.A.W.
Nabi terakhir, dan tidak ada nabi lagi setelah Beliau. Amin.
Buku ini tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi mengalir sedikit demi sedikit berdasarkan
informasi yang datang maupun yang digali, dan oleh karena itu, buku ini tidak akan terwujud
tanpa bantuan berbagai pihak, maka penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga
kepada mereka, diantaranya adalah yang tercinta Seif Malik Aziz, Addin Hanif Amrullah, Nida
Makfiyati, Empah dan Teteh serta Abah dan Mamah. Mereka telah memberi waktu luang untuk
menegerjakan buku ini. Mahdiduri dari teater Anonimus dan Ucu Gabriel Jauhar aktifis KP3B
sebagai teman diskusi, Yadi Ahyadi sebagai pendamping pada beberapa observasi di lapangan
serta informasi literatur terkait, Sarmani di Keragilan sebagai tokoh seni tradisional Banten,
Perpustakaan BP3S, Museum Banten di Kasemen, Ibnu PS Megananda yang memperkenalkan
saya pada Juwoto pimpinan sanggar Setio Manunggal di Cilegon, Irfan “Ipong“ Darmawan yang
telah membantu mentranskripsi lagu pop daerah Banten menjadi notasi, Nedi “Riwog” yang
menuturkan legenda seputar Curug Kebo Malingping, serta kawan-kawan Gesbica lainnya.
Demikian pula Mufti Ali atas informasi partitur lagu “Banten Negri Leloeherkoe”, Ucu
Vivierawati dan Imay Febriana atas lagu “Laut Kidul”, Aliman dan Dian Ahmad Muliyadi atas
lagu “Jereh Bu Guru”, Reni Susilawati atas lagu “Bendrong Lesung”, dan Toton Green Toel atas
lagu “Rukune Salat”. Suryadi Sali atas informasi seputar Tabuh Beduk di Kresek Tangerang, Ki
Kajali Dalang Wayang Garing, Salman pimpinan Sanggar Angklung Buhun Mayangsari
Kampung Pulo Ciruas. Demikian pula para musisi di Banten yang telah berbagi pengalaman dan
merasakan indahnya kebahagiaan berapresiasi musik baik sebagai kesenian maupun sebagai
ilmu. Masih banyak lagi teman-teman penulis yang turut berjasa dan tidak bisa disebutkan satu-
persatu.
Terima kasih.

5
DAFTAR ISI

SAMBUTAN KEPALA DINAS (4)


PENGANTAR PENULIS (5)
DAFTAR ISI (6)

I. MUSIK DAN MANUSIA


1. Musik dan Peradaban Manusia (9)
2. Pengertian Musik (12)
3. Tangga Nada Diatonis (15)
4. Tangga Nada Pentatonis (27)
5. Pokok Persoalan Tangga Nada Pentatonis (37)

II. MISTERI PELOG DAN SLENDRO


1. Gamelan (44)
2. Sejarah Gamelan (54)
3. Salakanagara (59)
4. Artefak (66)
5. Atlantis (81)
a. Atlantis dalam “Timaeus” karya Plato (84)
b. Beberapa Spekulasi Terkait Atlantis (88)
c. Penemuan Atlantis oleh Arysio Santos (90)
1) Lokasi di Samudera Atlantis (95)
2) Pelabuhan Navigasi dan Kanal Irigasi (96)
3) Ukuran Benua dan Simbol Sakral (98)
4) Gunung Berapi dan Gunung Suci (102)
5) Beriklim Tropis dan Dua Kali Panen Setahun (104)
6) Populasi Besar (108)
7) Geometri Suci Kota Atantis (108)
8) Diantara Pilar Herkules (113)
9) Laut Yang Tak Dapat Dilayari atau Laut Sargasso (120)
10) Benua Tenggelam (124)
11) Bangunan Megalitik (128)
12) Kuda dan Kereta Perang (130)
13) Gajah (133)
14) Bukti Bencana Banjir (135)
15) Perdagangan Trans-Samudera (137)
16) Kekayaan Logam (140)
17) Keunggulan Iptek (144)
18) Sistem Pertanian Terasering (148)
19) Golongan Darah “O” (150)

III. MENGUNGKAP MISTERI


a. Warisan Atlantis di Banten (152)
b. Urang Kanekes (159)
c. Musik Barat dan Gamelan (164)

6
d. Sisa-sisa Kesenian Banten (174)
e. Lagu-lagu Pelog dan Slendro pada Seni Tradisi Banten (187)
f. Lagu-lagu dalam Permainan Masyarakat Banten (188)
g. Lagu Mars yang pertama di Banten (195)
h. Lagu Pop Daerah Banten (203)

LAMPIRAN : DASAR-DASAR ARANSEMEN (212)


DAFTAR BACAAN (213)

7
Gambar : Lyre (Lira) dengan hiasan kepala kerbau(NN), terdapat tiga spesimen alat jenis ini
yang berhasil dibongkar dari batuan di daerah Najd Mussamma (sekarang Arab Saudi) yang
dipekrirakan telah digunakan pada 3 sampai 2 ribu tahun Sebelum Masehi.1

1
Amnon Siloah, 1995,”Music in The World of Islam: A Socio-Cultural Study “, Wayne State University Press,
Detroit, Michigan 48201, halaman 2.

8
I. MUSIK DAN MANUSIA

1. Musik Dan Peradaban Manusia

Musik telah menjadi bagian dari kehidupan manusia baik dalam aktifitas sakral
maupun profan, ia memiliki daya magis yang mampu menghipnotis, oleh karenanya
musik memiliki peran yang sangat penting sepanjang hidup manusia sejak pertama
pemunculannya, hingga akhir zaman. Sebagai produk kebudayaan, musik tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat pendukungnya, karena musik adalah presentasi dan respon
manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat terhadap
kehidupannya. Ia adalah ungkapan rasa, ekspresi dan indikator eksistensi manusia. Musik
diciptakan bukan hanya dicari dan dinikmati keindahannya saja, melainkan juga
dijadikan sarana mengungkapkan rasa kekaguman manusia pada Sang Pencipta Alam,
Yang Maha Tinggi. Ia menjadi ibadah, ritual keagamaan dalam konteks kepercayaan
masa lalu. Dalam peribadatan kuno, musik sangat urgen, ia jembatan yang mampu
mengerakkan manusia yang lainnya menjadi satu rasa. Hal itu dapat dirasakan bahkan
hingga masa sekarang, puji-pujian, doa-doa diucapkan dengan merdu bukan semata-mata
untuk keindahan saja, melainkan membangun kekhusyukan yang diprlukan untuk
ibadah. Telah banyak kita lihat di berbagai umat beragama dalam peribadatannya, di
dalamnya kita temukan unsur musik, seperti murrậtal, azan, qira’at, pembacaan mantera,
hymne dan Sebagainya.
Musik semakin terus berkembang seperti halnya kehidupan, tidak hanya di tataran
ritual sakral, musik menjadi dirinya sendiri dalam tataran ilmu dan kesenian sebagaimana
terjadi pada era Pythagoras, sebagai karya, manifestasi perasaan manusia terhadap apa
yang dihadapi dalam kehidupannya dan lingkungannya.
Pada wilayah kesenian serius – terdapat dua kategori idealisme dalam kesenian-
bahwa karya seni, termasuk musik, adalah kritik bagi kehidupan, ia juga potret dari
kehidupan, ada yang bersifat temporal, terikat oleh waktu dan tempat tertentu saja seperti
halnya musik pop, ada juga yang abadi sebagaimana tercermin dalam kesenian tradisional
bangsa-bangsa di dunia, di dalamnya tersimpan nilai-nilai estetika dan etika yang
selanjutnya kita kenal dengan istilah local wisdom atau “kearifan lokal” yang secara
universal memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang sangat mendasar. Ia mampu merasuki
jiwa dan membangkitkan perasaan hingga mempersatukan bangsa-bangsa, ia memiliki
sifat universal, bahasa musik adalah bahasa yang bisa dimengerti oleh semua suku
bangsa, ia mampu menjembatani manusia secara lahir dan batin. Dari segi nilai
ekonomisnya, atau ditinjau dari segi mata pencaharian, musik juga produk peradaban
yang bisa mensejahterakan manusia melalui jalan industri seperti pada masa sekarang.
Tetapi ia juga mampu menjadi perusak, yaitu ketika musik semata-mata hanya menjadi
barang komoditi yang kurang berisi, ketika orang tidak lagi memasukkan nilai-nilai
didalamnya, seruan dan semangat perbaikan, hanya untuk mendulang uang, maka ia akan
menjadi senjata yang membunuh manusia karena semakin terjauhkan dari nuraninya, dari
nilai-nilai, beralih pada pencapaian materi semata, bukan pencapaian nilai-nilai luhur.
Musik adalah obyek, ia bisa dijadikan apa saja tergantung bagaimana manusia
memperlakukannya. Sebagaimana karya-karya seni lainnya, juga produk-produk

9
kebudayaan lainnya, tidak hanya seni. Bahwa seringkali manusia menjalankan hidupnya
terfokus pada satu cita-cita saja, kekayaan materi saja, meninggalkan hati-nuraninya
dengan pola pikir dan perilaku yang luhur, sarat dengan nilai-nilai keberbudayaan
maupun beragama, dan bukan hanya dalam pembicaraan saja, dalam gagasan saja. Nilai-
nilai itu harus diwujudkan oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk para pemimpin
masyarakat, para pengambil keputusan, yaitu Gubernur maupun anggota Dewan
Perwakilan Rakyat.
Dahulu kala, para pemimpin masyarakat memiliki budi yang luhur dan mulia
sehingga masyarakat memberinya berbagai gelar, orang Mesir, Yunani, Cina,
menganugerahi mereka gelar Dewa, di Nusantara dengan Sanghyang, Batara, Ratu, dan
sebagainya. Mereka percaya bahwa para pemimpin itu adalah utusan Tuhan, perilaku dan
perkataannya adalah kalimat Tuhan. Ratu adalah hukum. Oleh karenanya, para pemimpin
itu bukan sekedar pemimpin secara politik, melainkan juga secara spiritual. Nabi
Muhammad SAW tidak hanya memimpin saat shalat sebagai imam, melainkan juga
seorang perwira sekaligus hakim, dan sebagainya.
Mulai dari Presidan, Gubernur hingga para pembantunya, adalah pemimpin,
mereka dijadikan contoh bagi rakyatnya. Sikap para pemimpin dan pejabat negara
merupakan hukum, jika tidak sesuai dengan hukum dan nilai-nilai, maka harus dikenai
“hukum”, kondisinya kini terbalik. Hendaknya hal semacam tidak berlaku di negeri ini,
kejatuhan moral dan etika terjadi di seluruh dimensi, seolah-olah kebudayaan telah
tercerabut dari masyarakatnya, seringkali religiusitas menjadi retorika untuk
menyembunyikan keserakahan suatu pemerintahan. Membungkus sifat-sifat buruk
dengan kesalehan penampilan.
Manusia seutuhnya akan selalu berusaha membuat hidupnya lebih baik, artinya
manusia selalu membangun dirinya sendiri, merubah sendiri nasibnya, melakukan
pembangunan, dan pembangunan harus berlandaskan pada fitrah manusia, makhluk
sosial, makhluk yang berbudaya karena berakal, dan makhluk yang membutuhkan Tuhan
(peribadatan). Hanya manusialah makhluk yang mampu melakukan perubahan karena
memiliki daya cipta, ide/gagasan. Manusia yang tidak berbudaya adalah mansuia yang
terlepas dari sifat-sifat sosialnya, menjadi individualistis, hatinya akan dipenuhi
keserakahan dan permusuhan karena terus merasa kekurangan, salah orientasi dalam
menentukan cita-cita. Sangat banyak bangsa semacam ini dan telah menjadi contoh
dimana semula berjaya kemudian terjungkir oleh keserakahan dan kedengkiannya sendiri,
merasa paling berkuasa dan menjadi sombong dengan kekuasaan dan kekayaanya,
banyak diceritakan dalam kitab-kitab suci, babad, sejarah maupun dongeng dan legenda.
Kita pernah disuguhi kisah Suråqåh, Qarun, Fir’aun, Malin Kundang, Dampu
Awang, dan sebagainya. Oleh karenanya, membicarakan seni bukanlah pembicaraan
kecil dan sepele, bukan semata-mata membicarakan hiburan, atau tentang ilmu seni itu
sendiri, melainkan kita harus memandangnya sebagai satu kesatuan gagasan dalam
kehidupan manusia, kehidupan yang didasari nilai-nilai, yang membuahkan perilaku.
Gambaran seperti apa gagasan dan laku manusia itu dapat mencerminkan nilai dan
kualitas suatu peradaban, sebagai indikator identitas bangsa, apakah ia terlepas dari
koridor etika serta nilai-nilai kemanusiwiannya atau tidak. Memang berat jika kita
memandang bahwa kegiatan “berkarya seni” jadi terbebani oleh nilai-nilai kehidupan, ini
dikarenakan karya seni adalah manifestasi kehidupan itu sendiri, dan karya seni yang
seperti inilah karya yang orisinal, kesenian yang asli, meminjam istilah dari WS Rendra:

10
“kesenian yang tidak terlepas dari kehidupan”. Sementara itu, kualitas hidup manusia
juga dapat dinilai berdasarkan sejauh mana peranannya dalam masyarakat, apa pun
profesinya. Sudah saatnya untuk memulai ke arah sana, karena selama ini, baik kebijakan
politik maupun ekonomi yang seharusnya membawa kesejahteraan rakyat, justeru
semakin menjauhi rakyat, kesenjangan semakin lebar.
Maka melalui buku ini, bukan hanya misteri pelog dan slendro saja yang akan
terungkap. Akan tetapi hendaknya kita juga bisa mengambil pelajaran dari berbagai
peristiwa yang melatar-belakanginya, memahami peradaban dan kebudayaan yang
melandasi semua produk-produknya, dan dengan demikian semoga kita mampu
membuka mata dan menyadari akan “siapa kita”, semoga dengan terungkapnya “misteri”
ini tidak membuat kita berbesar kepala pula, karena kebesaran dan kekuatan yang kita
punya merupakan tanggung jawab besar pula.
Mengungkap rahasia pelog dan slendro tidak lain berarti mengungkap rahasia
musik tradisional. Musik tradisional Indonesia yang “eksotik”, fenomenal dan historik
adalah gamelan. Perbincangan mengenai gamelan berikut sejarahnya telah dilakukan
sejak lama, baik oleh orang Indonesia sendiri maupun peneliti mancanegara,
pembicaraan selalu dimulai dari pulau Jawa dan Bali. Ini karena begitu tampak pengaruh
gamelan sangat kuat bagi musik-musik tradisional di seluruh Nusantara yang berlaras
pentatonic itu. Secara khusus, pelacakan asal-usul gamelan justeru membawa kita
menyusuri pulau Jawa, dan menariknya kita dituntun ke arah barat pulau Jawa, yaitu
Banten.
Persoalan mengapa musik pentatonik (pelog dan slendro) mesti membicarakan
gamelan juga? Hal ini karena pelog dan slendro adalah tangga nada yang digunakan
dalam gamelan sebagai alat musik tertua di Nusantara.
Selanjutnya, secara filosofis dapat dikupas bagaimana masyarakat menyebutan
gamelan, di Jawa Barat gamelan sering dikaitkan dengan sebutan “gamelan degung”, dan
ada juga yang menyebutnya “gamelan gending”, pada prinsipnya adalah gamelan juga.
Perbedaan keduanya berdasarkan pemakaian di masyarakat suku bangsa yang berbeda,
tidak ada perbedaan secara prinsipil, namun sebagai pedoman, gamelan Jawa dimainkan
dengan tempo lambat, gamelan Sunda dimainkan dengan cepat, sedangkan Bali
dimainkan lebih cepat lagi serta penggunaan dinamika yang tajam–keras dan lunaknya
nada dibunyikan-.
Menurut catatan-catatan moderen, pada awal keberadaannya, gamelan hanya
digunakan di keraton-keraton atau istana kerajaan, permainan gamelan merupakan
manifestasi atas kekaguman dan rasa terimakasih kepada Yang Maha Kuasa, bunyinya
merupakan misteri, yang mampu membangkitkan rasa “agung”, “syahdu”. Kemudian
pada perkembangannya gamelan menjadi sarana hiburan, misalnya pada penyelenggaraan
pesta panen, pernikahan, khitanan, dan sebagainya. Perubahan ini ditandai dengan adanya
perpindahan tangan kepemilikan gamelan dari para bangsawan atau keraton kepada
masyarakat biasa. Perpindahan tangan ini terjadi di era kolonial, seiring dihapuskannya
kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan, dimana pada istana-istana yang memiliki
gamelan berpindah tangan pula. Sejak saat itu pula terjadi pertemuan dua kebudayaan
Timur dan Barat, orang timur mengenal biola, dan orang Barat mengenal gamelan.
Tetapi jika kita tarik lagi jauh sebelum itu, musik yang merupakan produk
kebudayaan dimana pemunculannya beriringan dengan pemunculan suatu bangsa, telah
tumbuh di berbagai tempat di dunia dan menjadi bagian dari sejarah dan peradaban

11
bangsa-bangsa di dunia. Sementara itu, sejarah manusia berasal dari satu orang, yaitu
Adam a.s., sebagaimana seluruh agama samawi mengakuinya, demikian pula dalam
berbagai mitologi di dunia, khususnya pada masyarakat Baduy, mereka percaya bahwa
manusia pertama adalah Adam, meski kita mencurigai pemahaman itu atas dasar
masuknya pengaruh agama Islam.
Kemajuan peradaban manusia dipicu oleh munculnya gagasan-gagasan, gagasan
tersebut berdasarkan pengalaman-pengalaman yang biasanya muncul dari alam bawah
sadar, dan mengingat-ingatnya berarti mengingat pengalaman nenek moyangnya,
demikian menurut Carl Jung. Artinya, peradaban manusia berawal dari satu sumber, dan
dengan demikian, ada satu titik temu antara pembahasan asal-usul musik terkait dengan
asal-usul manusia oleh karena keduanya muncul bersamaan. Cabang-cabang keturunan
manusia pertama itu mewariskan sifat-sifat nenek moyangnya, serta menemukan metode-
metode inovatif dari cara-cara sebelumnya. Demikian pula dalam seni musik, di berbagai
bangsa telah mengenal tangga nada pentatonik, baik pola slendro maupun pelog, serta
terdokumentasikan dalam bentuk alat musik yang berbeda-beda pula sesuai dengan
kondisi dan kekayaan alamnya masing-masing. Di Afrika terkenal dengan Balafon,
Marimba, kalimba, dan sebagainya, dan di Yunani pada era pra Aristoxenus dan
Pythagoras dikenal tangga nada anhemitonik sebagai tangga nada tradisional mereka,
dibuktikan pada alat musik lyra. Pada era Pythagoras, anhemitonik berkembang menjadi
diatonis berdasarkan teori tetrachord 1 dan tetrachord 2 (Ammer, 2004:146).
Kemudian di era 1900an hingga sekarang, musik telah menjadi industri yang
menggiurkan, banyak bermunculan grup-grup musik baik berupa band maupun grup
vokalis, orkestra, lembaga-lembaga pendidikan musik, dan tentu saja perusahaan
rekaman. Tidak hanya itu, musik menjadi sarana terapi, pendidikan, dan stimulan bagi
pertumbuhan otak janin. Aristoteles menyatakan bahwa “musik mempunyai kemampuan
mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa
patriotisme.”2

2. Pengertian Musik

Jika kita memandang musik sebagai ilmu, maka kita patut mempertanyakan
apakah musik itu? Istilah musik jika diambil dari bahasa Yunani adalah “Mousiké”,
kemudian ditransformasikan melalui bahasa Latin menjadi “Musica”. Istilah ini merujuk
kepada “ilmu mengaransemen melodi”, dalam bahasa Arab disebut “‘ilm al-musiqi”
sebagai terjemahan dari Yunani yang merujuk untuk musik secara teori, meskipun orang
Arab sendiri menyebutnya sebagai “’Ilm al-Ghinaa” yang telah terangkum secara
empiris pada kebudayaan Arab. 3
Secara teknis, musik dibangun oleh beberapa unsur. Diantaranya adalah bunyi,
yaitu getaran yang dapat ditangkap oleh organ telinga manusia, yang selanjutnya disebut
“nada”.4 Dave Benson kemudian menyebutkan, musik itu adalah getaran udara, dan udara
adalah gas yang terdiri dari atom dan molekul, penambahan dan pengurangan tekanan

2
Al-Wafaa News, 1997, halaman 3.
3
Ibid, halaman 4.
4
Christine Ammer, 2004, The Facts on File Dictionary of Music, halaman 262. British menyebut “nada” dengan
“note”, sedangkan Amerika adalah “tone” untuk menyebutkan nada sebagai bunyi (audio), dan “note” sebagai
lambang nada (tekstual).

12
terhadap molekul inilah yang menyebabkan adanya perbedaan getaran (dan
diinterpretasikan sebagai bunyi, pen), dalam kondisi temperatur normal, molekul udara
bergerak atau bergetar dengan kecepatan 450 sampai dengan 500 meter per detik 5.
Lantas, apakah dengan demikian segala sesuatu yang berbunyi dapat dikatakan
sebagai musik?
Untuk menjawabnya, mari kita perhatikan unsur musik lainnya, yaitu durasi (note
value, time), yaitu waktu yang dihabiskan dalam membunyikan nada, atau maksudnya
“seberapa lama nada itu dibunyikan”. Ada nada yang dibunyikan sebentar, bahkan
kurang dari satu detik, ada yang lebih, bahkan ada yang lebih lama lagi.
Unsur lainnya adalah harmoni, pembahasan mengenai hal ini sebenarnya berada
pada tingkat polifonik, termasuk pembahasan tingkat lanjutan, yaitu mengenai
memainkan lebih dari satu nada dalam waktu bersamaan. Misalnya pada piano,
sementara jari jempol membunyikan “do” jari tengah membunyikan “mi”. Antara nada
mi dan do dikatakan harmonis jika pasangan nada tersebut terdengar nyaman di telinga –
meski hal ini bersifat relatif, tergantung tingkat apresiasi pendengar, seringkali seseorang
tidak nyaman dengan harmoni tersebut, tetapi orang lain merasa nyaman-.
Dapat dikatakan bahwa harmonisasi adalah kesesuaian antara nada yang satu
dengan yang lainnya. Lazimnya, kesesuaian dimaksud mengacu pada serangkaian nada
dalam satu “keluarga”, yaitu antara nada yang satu dengan nada yang lainnya masih
berada dalam satu tangga nada yang sama. Selanjutnya paham ini mengalami
perkembangan dan aturannya semakin melebar pada permainan melodi baik secara solo,
duet, trio, kwartet, dan seterusnya. Kesesuaian pemasangan nada ini akan berpengaruh
pada kenyamanan pendengaran, keadaan inilah yang dikatakan harmonis. Sebaliknya,
pemasangan nada yang tidak sesuai berpengaruh pada ketidaknyamanan pendengaran
(dissonant). Tetapi pada akhirnya hal tersebut tergantung pada bagaimana musisi
menginginkannya, toh pada perkembangan selanjutnya, nada-nada dissonant6 telah
digunakan juga sejak era musik klasik terutama pada komposisi-komposisi Frederick
Chopin hingga pada era jazz. Pada masa ini nada-nada dissonant begitu banyak
digunakan sehingga menjadi ciri khas, akhirnya pada masa kini istilah dissonant jarang
digunakan. Pengetahuan dan pengalaman mengenai hal ini juga akan mempengaruhi
penilaian (juri) pada berbagai lomba.
Dari sini penulis berpendapat bahwa pembicaraan musik harus dimulai dari
tataran teknis, penulis memandang bahwa secara teknis, unsur utama dalam dunia musik
adalah nada. Telah dikatakan bahwa nada adalah bunyi, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh
getaran suatu benda, resonansi yang dihasilkan menimbulkan efek suasana pada hati, hal
ini seperti yang pernah dikatakan Aristoteles.
Seorang musisi, secara teknis akan memahami perihal tangga nada beserta
intervalnya. Musisi yang sudah terkenal sekalipun, akan mengacu pada aturan ini. Oleh
karena itu, nada perlu dibicarakan sebagai peletak dasar pembahasan ini, meskipun agak
masuk ke dalam tataran teknis, penulis akan berusaha menyampaikannya secara

5
Dave Benson, 2004, Mathematic and Music, Departement of Mathematics, University of Georgia, Athens, USA,
halaman 1.
6
Dissonant atau dissonance, merupakan interval nada atau chord yang tidak nyaman didengar, misalnya, dalam
harmoni C-E-G, terdapat nada D, maka nada D tersebut dissonant. Aturan ini berlaku sejak sekitar tahun 1500an
sampai 1900an, konsonant hanya berlaku pada nada unison (misalnya C dengan C tinggi). Sejak era 1900an
aturan ini ditolak secara luas. (Christine Ammer, 2004:109)

13
sederhana dan tuntas. Pemahaman teknis ini penting bagi penulis guna menemukan ruh
musik yang sebenarnya sebagaimana ditemukan di lapangan. Dengan demikian amat
dimungkinkan secara etnomusikologi dapat teridentifikasi.
Selanjutnya, penulis akan membahas di seputar musik pentatonis, yang berarti
akan berbicara dua hal, yaitu pentatonis dengan pola pelog dan pentatonis dengan pola
slendro. Juga akan membicarakan alat-alat musik yang menggunakan tangga nada
pentatonis, selndro maupun pelog terkait penggunaannya di masyarakat. Tentu saja akan
membahas pula tentang jenis-jenis kesenian yang berada di wilayah Banten serta
keterkaitannya dengan alat musik dan tangga nada yang mereka gunakan.
Pembahasan sejarah musik pentatonis, baik dari segi nada, maupun alat musiknya,
keterkaitan peradaban manusia dengan musik yang diproduksinya, telah banyak
dibicarakan. Secara umum dinyatakan bahwa kemunculan musik bersamaan dengan
kemunculan makhluk yang bernama manusia. Hal ini tentu akan berbicara juga di seputar
timbul-tenggelamnya suatu peradaban, berdasarkan literatur, bukti-bukti sejarah baik
dalam karya sastra lisan, tekstual, maupun fisik (artefak).
Dari sini, penulis akan sekaligus membuka wacana baru, bahwa keterkaitan
sejarah musik pentatonik dengan sejarah peradaban manusia sangat erat, sehingga bisa
diasumsikan bahwa musik penatonik berasal dari suatu tempat yang terpusat, lalu
menyebar ke seluruh belahan bumi menjadi musik tradisional di negeri-negeri lain di
dunia, yang pada akhirnya berkembang menjadi musik klasik, dan menjadi musik
moderen seperti yang kita nikmati sekarang.

Gambar : Ilistrasi teori Pythagoras


tentang musik dan matematika dalam
sebuah lukisan (Janson, H. W.
History of Art. Edisi V.NY: Abrams,
1995. halaman.497)

14
3. Tangga Nada Diatonis

Sebelum kita melanjutkan pembicaraan tentang tangga nada pentatonis, marilah


kita ketahui dahulu apa itu tangga nada. Yaitu sejumlah nada pilihan dalam satu
rangkaian (lazimnya disebut satu oktav, misalnya dari C ke C tinggi, atau dari “do” ke
“do” tinggi), dengan jarak antar nada tertentu, digunakan dua macam ukuran
jarak/interval, yaitu yang berjarak satu (whole) dan berjarak setengah (half).
Tangga nada sangat banyak jenisnya. Tetapi tangga nada yang lebih banyak
dipelajari adalah tangga nada diatonis (diatonic scale), dikatakan diatonis (di=dua,
tone=suara) karena interval (jarak) antar nada ini didominasi oleh dua halftone7. Nada ini
lebih mudah disosialisasikan dan dipelajari dibandingkan tangga nada pentatonis.
Nadanya lebih banyak sehingga peluang variasi melodi lebih banyak pula. Lagu-lagu
populer 8 menggunakan tangga nada ini, tangga nada ini ada kemiripan dengan yang
digunakan dalam lagu-lagu daerah di Jawa yaitu tangga nada madenda.
Tangga nada diatonik mengalami riwayat yang cukup panjang, namun pendapat
yang lebih populer menyatakan bahwa orang yang pertama mentranskripsi ke tulisanlatin
adalah Guido de Arezzo (991 M).9 Tetapi pada kenyataannya catatan-catatan lagu
sebelum Guido sudah banyak bermunculan. Diantaranya terangkum dalam Kitab al-
Aghani yang susunan Abu’l-Faradj al-Isfahani, dia menyebut bahwa salah satu sumber
dari buku itu terdapat dari koleksi lagu-lagu milik Yunus al-Katib al-Mansur (Yunus bin
Sulaiman bin Kurd bin Syahriar Abu Sulaiman, 765 M) yang berisi lagu-lagu berbahasa
Arab, terdapat 10.000 halaman dan terdiri dari 100 lagu terpopuler.10 Ini menandakan
bahwa sebelum Guido sudah terdapat tangga nada yang menggunakan huruf Arab. Guido
sendiri konon mempelajari tangga nada melalu Catalogna, yaitu sekumpulan penemuan
ilmuwan dan musisi muslim tentang musik dengan notasi yang berbahasa Arab (mi, fa,
shad, la, dst), yang kemudian Guido mentranskripsinya dan menggantinya dengan
Hymne hingga sekarang dikenal dengan do-re-mi atau solfegio.
Akan tetapi jauh lebih tua lagi, di Cina sudah ada nyanyian dan notasi dengan
huruf kanji sejak Dinasti Han (221 SM).

7
Halftone adalah interval setengah nada, sebelumnya satuan terkecil nada menggunakan microtone, kemudian
terjadi perubahan dan menghasilkan kesepakatan untuk menggunakan dua macam saja, yaitu satu nada
(wholetone), dan setengah nada (halftone). Jadi, jika menggunakan satuan halftone, maka tangga nada diatonis
berarti didominasi oleh halftone x 2.
8
Istilah “populer” berkonotasi pada sesuatu yang bersifat popularitas, temporal (tidak lama), dan lokal (di tempat
tertentu saja). Misalnya suatu grup band populis dalam tiga bulan dan di satu negeri saja, biasanya hanya
berorientasi pada industri.
9
Seorang Pendeta yang lahir di Prancis, kemudian tinggal di Arezzo, sebuah kota di Italia, konon ia
mengembangkan teori notasi Boethius.
10
Yunus bekerja untuk Al-Zubair bin al-Awwam di bagian administrasi pemerintahan di Madinah, atau Amr bin al-
Zubair yang ayahnya seorang pakar hukum (fakih) dari Persia (sekarang Iran). Yunus ahli menulis (al-katib), ia
mahir menyanyi dan membuat puisi. Ia belajar musik kepada empat orang penyanyi, pada 724 – 742 ia menjadi
langganan untuk menghibur Walid bin Yazid di Syria, dan menginap selama tiga hari dengan upah yang layak.
Sekembalinya ke Madinah, salah seorang sahabatnya Ibnu Ruhaima membuat puisi tentang kecantikan Zainab
(putri Ikrimah bin Abdul Rahman bin al-Harits bin al-Hisyam), Yunus memainkan musiknya untuk puisi tersebut
dalam satu acara yang pribadi, namun akhirnya terdengar juga di masyarakat luas hingga ke telinga keluarga
Zainab yang membuatnya marah, demikian pula Kekhalifahan nemberikan peringtan kepadanya, atas karyanya itu
gubernur Madinah memberinya hukuman masing-masing 500 cambukan untuk pembuat puisi dan musiknya.
(Encyclpedia of Islam, 1913-1936, Martijn Theodoor Houtsma, vol 2, halaman 175).

15
Gambar : Sampul Buku “al-Kitab al-Aghani” karya Abu al-Faraj al-Isfahani. Merupakan buku
kumpulan lagu-lagu berbahasa Arab dari berbagai penyanyi. Sumber:
(http://en.wikipedia.org/wiki/Kitab_al-Aghani (12/22/2010 1:23 )

Notasi yang sudah ada merupakan perpaduan dari berbagai teori berdasarkan
sejarah musik dari Yunani, para filosof itu telah meletakkan dasar teori musik sejak
Aristoxenus, Pythagoras, Ptolemy (Claudius Ptolemeus)11, dan Boethius (525 M). Tetapi
jika ditarik lebih ke belakang, pada masa pra Aristoxenus dikenal Anhaemitonik Scale,
yaitu tangga nada yang tidak menggunakan interval setengah yang tidak lain adalah
pentatonik.

11
Claudius Ptolemeus dalam catatan lain lebih dikenal sebagai orang yang tinggal di kota Alexandria, Mesir Kuno.

16
Gambar : Aulos, alat musik tiup kuno.( Karya: Euaion Painter, Youth playing the aulos,
detail of a banquet scene. Tondo of an Attic red-figure cup, ca. 460 BC–450 BC.)

Kemudian pada era selanjutnya, cikal bakal tangga nada diatonis berupa
tetrachord, yaitu tangga nada yang beranggotakan empat nada, jika ditranskripsikan
kedalam rumus masa sekarang maka terdiri dari “fa-mi-re-do”, pada masa itu, sakala ini
dijadikan pedoman untuk membuat aulos12. Berdasarkan teori tetrachord inilah kemudian
menjadi tangga nada diatonis.
Kemudian, menurut hasil penelitian Stefan Hagel, struktur tangga nada diatonis
adalah re-do-si-la-sol-fa-mi, struktur ini disebut systema ametabolon atau the
unmodulating system. Sistem ini dipercaya sebagai temuan Aristoxenus berdasarkan dua
tetrachord, dengan catatan pada nada tertinggi merupakan nada duplikasi dari nada
terrendah,. Hal ini berarti terdapat nada yang sama pada dua tetrachord tersebut, oleh
karena nadanya sama, maka digunakan satu saja sehingga jumlah nada seluruhnya ada
tujuh.

12
Aulos adalah alat musik tiup ganda, pola permianan aulos mirip dengan permianan alat musik tradisional orang
Irlandia, yaitu bagpipe, terdapat beberapa contoh permianan aulos di Youtube.com.

17
Gambar : Diagram Systema Ametabolon atau the unmodulation system (Sumber: Ancient
Greek Music, 2010, halaman 6).

Struktur nadanya sama dengan nada-nada “do re mi fa” tetapi diurutkan dari atas
ke bawah, yaitu “fa mi re do”. Kemudian disambung dengan tetrachord kedua sehingga
menjadi diatonik.

Do Re Mi Fa = Tetrachord 1
1 1 ½

Do Re Mi Fa = Tetrachord 2
1 1 1 ½

Do Re Mi Fa Sol La Si Do Diatonik =
1 1 ½ 1 1 1 ½ Tetrachord 1+

18
Tetrachord 2
(table : diolah dari berbagai sumber)

Selanjutnya beberapa filosof turut membahasnya sebagai salah satu ilmu yang
tergabung dalam ilmu matematika. Baik Pythagoras, Boethius, Al-farabi, dan sebagainya.
Bahkan Boethius menulis notasi dan teori musik dengan bab tersendiri, dengan beberapa
kategori; Musica Mundana (musik dunia), Musica Humana ( Harmony of human body
and spiritual harmony), Musica Iinstrumentalis (musik instrumental dan suara manusia),
dan Musica divina (Musik Tuhan), 13 dan dari dunia Arab telah banyak dikenal pula.
Dapat dikatakan bahwa Guido cukup melakukan perannya dalam membuat kesimpulan-
kesimpulan dan rumusan-rumusan berdasarkan bahan yang sudah ada dalam rangka
untuk mempermudah dokumentasi, pemahaman dan pembelajaran. Hal yang sudah
menjadi kenyataan bahwa ketika kita bicara tangga nada diatonis, maka kita akan
berbicara juga orang teori yang mempopulerkannya, yaitu Guido d’ Arezzo.

a. Pengertian

Mengenai tangga nada diatonik ini, Christine Ammer menyatakan:

“Pertaining to or containing the notes that make up an octave containing five


whole tones and two half tones. Both the major and minor scales are diatonic, as
are the CHURCH MODES. …” (Ammer, 2004:107).

Tangga nada diatonis terdiri dari tujuh nada yang berurutan ke atas (dari nada
rendah ke tinggi), yaitu nada 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, i, dengan menggunakan interval satu dan
setengah nada.
Tangga nada ini juga ditemukan oleh Pythagoras (Abad 4 SM), kemudian
dikembangkan oleh Huckbald, seorang pendeta dari Amand, hasil percobaannya
menyimpulkan bahwa skala Pytagoras dapat dirumuskan menjadi 6 nada, pada zaman
sekarang dapat dilambangan dengan abjad yang terdiri dari C, D, E, F, G, A. Percobaan
Pythagoras dengan menggunakan Tetrachord (lira) sehingga ia menemukan nada ke 5
ketika membagi dua dawai tetrachord, dan seterusnya hingga menghasilkan not-not
turunannya berdasarkan pembagian ruas dawai. Pythagoras membahas musik tidak hanya
dalam kerangka teknis yang masih dalampenelitianitu, melainkan juga kerangka
universal, yaitu dalam kerangak filosofis dan matematis. Sesungguhnya berdasarkan
pembagian simetris dawai lira Pythagoras telah merumuskan tangga nada diatonis dengan
model dorian secara terbalik (D CB A G FE D).
Sepeninggal Pythagoras, penelitiannya dilanjutkan oleh muridnya Phylolaus,
kemudian berkembang menjadi teori tersendiri, menjadi ilmu yang memiliki
pembahasannya secara khusus di bidang musik, terpisah dari ilmu matematika.

13
Michael Masi, 1979 ,“The Liberal Arts and Gerardus Ruffus’ Commentary on the Boethian De Arithmetica.” The
Sixteenth Century Journal 10, halaman 24.

19
Gambar : Notasi dalam huruf Kanji (1425 manuscript of Qin notation, China).

20
Gambar : Notasi musik dengan aksara Arab Usmani, 1900an. (sumber:
http://www.schoyencollection.com/music_files/ms5279op2.jpg)

21
Gambar : Ilustrasi Penelitian Pythagoras dan Phylolaus (sumber: Theorica musicae by
Franchino Gaffurio, 1492)

Selanjutnya, notasi dan penyebutannya diadaptasi oleh Guido de Arezzo ( 991 M-1050
M)14, ia membunyikan nada pada tangga nada ini dengan vokal yang menggunakan
nama-nama; do re mi fa sol la ti do, nama-nama ini berdasarkan suku kata terdepan dari
sebuah Hymne yang dipersembahkan untuk Saint John, ia sengaja mencari hymne yang
jumlah barisnya sesuai dengan jumlah nada, hymne berbahasa Latin itu berbunyi:

Ut Queant Laxis
Resonare Fibris
Mira Gestorum
Famili Tuoram
Solve Polluti
Labii Reatum
Sancte Ioannes

Dalam bahasa Inggris dapat berarti:

“So that we your servants may freely sing of the wonders of your deeds, cleanse the guilt
from our polluted lips, Oh Saint John”.

Tampaknya Guido mengambil langkah ini untuk memudahkan dalam pengajaran


vokal menurut bahasa yang ia gunakan sehari-hari, dari sinilah pengajaran tangga nada
diatonis ini menjadi pedoman dalam pelajaran musik dan vokal di gereja-geraja sehingga
skala ini disebut Church Mode.
Selanjutnya, Guido menggunakan sistem ini untuk melakukan dokumentasi
hymne-hymnenya dalam bentuk notasi balok yang masih dasar, kekhawatirannya sangat
beralasan akan terjadi pergeseran persepsi nada senandung (chant) jika tidak dilakukan
standarisasi berdasarkan pitch ini. Dari sinilah pula sistem diatonis disempurnakan
dengan munculnya nada Ti dari baris terakhir Hymne tersebut, yaitu kalimat Sancte
Ioanes. Perubahan juga terjadi pada kata Ut yang menjadi Do berdasarkan perubahan
syair ke dalam bahasa Inggris, bahwa Do berakar dari kata Domine yang berarti
“Penguasa”.

22
Gambar :
Tangan Panduan
Notasi(Manus
Guidonis) metode
Guido, berisi
tangga nada dari
berbagai nada
dasar.( Sumber:
manuscript from
Mantua, last
quarter of 15th
century, Oxford
University MS
Canon. Liturg.
216. f.168 brecto.
Bodleian
Library).

Akhirnya, Tangga nada lebih populer dan melekat pada nama Guido de Arezzo
oleh karena kepentingan penulisan liturgi15, akhirnya kebutuhan penulisan notasi meluas
juga ke dunia hiburan dan upacara-upacara adat lainnya. Pada masa sekarang lagu-lagu
populer terus bermunculan, yang artinya bermunculan artis-artis baru, dan pengajuan hak
cipta atas lagu tersebut harus menggunakan notasi balok.

15
Kumpulan senandung (lagu) untuk peribadatan.

23
Gambar : Praktek musik untuk memahami notasi (Sumber: dok pribadi Purwo.R. Obyek;
Jeannie. lokasi;Yayasan Anak Mandiri, 15/3/2011, Nokia6600).

Demikian pula kurikulum di sekolah-sekolah negeri sudah mulai mengajarkan


notasi balok sejak sekolah menengah tingkat pertama. Hal inilah yang kemudian dikritik
oleh masyarakat, kenyataan menunjukkan di sekolah-sekolah di zaman sekarang tidak
mengetahui lagu-lagu Nasional (baik lagu anak, mau pun lagu daerah), karena terlalu
banyak diajarkan notasi yang bersifat teknis -dan matematis-. Sedangkan menurut
pendapat penulis, pengajaran notasi harus diimbangi dengan perbendaharaan lagu yang
diajarkan, sebab menyanyi secara langsung adalah melatih rasa musikal anak (musical
feel) sehingga ia tidak menganggap bahwa musik terlalu matematis dan teknis, bahwa
musik adalah juga membangun rasa. Pembangunan rasa sangat perlu dalam pengajaran
musik, berdasarkan kebiasaan menyanyi, maka seorang siswa akan mencobanya dengan
alat musik bersasarkan bunyi yang telah biasa ia nyanyikan. Jika hal ini sudah dikuasai
siswa, maka akan lebih mudah lagi mengajarkan musik secara teknis.
Pengajaran notasi balok di sekolah-sekolah kurang sistematis, boleh jadi ini
dikarenakan kesenian tidak menjadi pelajaran utama. Tetapi sebaiknya untuk pengajaran
teknik baca notasi, menggunakan buku karya Gary Turner seperti yang sudah digunakan
di tempat-tempat kursus, buku tersebut terbilang sistematis dan mudah difahami. Pada
buku pembelajaran piano dan keyboard yang digunakan oleh Purwacaraka pun salah satu
referensinya buku ini. Buku tersebut merupakan dasar pembelajaran musik, siswa yang
telah mempelajari setengahnya dari buku itu akan mudah mempelajarinya secara mandiri.
Hal ini juga dapat memacu guru kesenian khususnya seni musik untuk menambah
pengetahuan dan kemampuan teknisnya. Dengan demikian, guru dapat memberikan
perbendaharaan lagu Nasional atau Daerah di kelas, sementara murid mempelajari notasi
secara mandiri, atau lebih tepat mempraktekkannya sebagaimana Jamey Aebersold
menyatakan bahwa mempelajari notasi bukanlah teori melainkan praktek.

24
Gambar 2 : Asal mula notasi balok.( Held in Florence, Italy. Photo by Asiir
17:00, 13 February 2007 (UTC)

b. Interval

Kembali pada tangga nada diatonis, selain jumlah nada tertentu, diantara nada
tersebut terdapat Interval (jarak antar nada). Pembahasan interval sangat penting karena
ini akan menjadi indikator dalam membedakan skala nada yang dimiliki kebudayaan
suatu bangsa, dan menjadi lebih penting bagi musisi ensambel sebagai aturan dasar
membuat aransemen. Interval dimaksud adalah jarak antar nada, misalnya jarak antara
nada do ke nada re telah ditentukan besarannya.
Ada dua jenis satuan interval, yang pertama berdasarkan rasio frekuensi yang
diperkenalkan pertama kali oleh Alexander Ellis pada sekitar 1875, dan yang kedua
berdasarkan cent (skala logaritma) dengan pedoman 1200 cent dalam satu oktaf. 16 Dalam
praktek musik digial, seorang operator akan membutuhkan ukuran ini untuk membuat
syntesizer17, mereka akan berpedoman pada harga 100 cent untuk semitone/halftone
(setengah nada), dan 200 cent untuk wholetone (satu). Sangat matematis memang.

16
Dave Benson, Mathematic and Music, 2004, Halaman 153.
17
Christine Ammer, 2004, halaman 417. Syntesizer adalah musik elektronik, terdiri dari sejumlah sirkuit atau
modul untuk memproduksi suara alat musik, diantaranya terdapat lima komponen yaitu; generator sinyal suara,
alat modifikasi sinyal, pengendali sinyal, mixer untuk mengkombinasikan sinyal, dan komunikasi internal untuk
menghubungkan antar komponen. Dapat ditambah pula speaker dan amplifier, serta beberapa contoh suara alat
musik dalam media penyimpan.

25
Tetapi penulis tidak akan melakukan pendekatan interval dengan menggunakan
kedua jenis tesebut secara matematis karena terlalu teknis, penulis akan menggunakan
pendekatan yang lebih mudah dipahami, yaitu skala petak, penulis mengambil variabel
halftone dan wholetone dan menganalogikannya dalam petak, yaitu satu nada (whole)
diwakili dengan dua petak, dan setengah nada (half) diwakili dengan satu petak. Untuk
lebih mudahnya dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut;

1 2 3 4 5 6 7 i
do re mi fa sol la ti do

Tabel 1: Skema tangga nada diatonic (diolah dari berbagai sumber)

Jarak antara 1 (do) ke 2 (re) dikatakan satu (whole), penulis membedakannya berdasarkan
petak kosong yang berada diantara nada 1 dan 2. Sedangkan dari nada 3 (mi) ke 4 (fa)
tidak terdapat petak kosong, jarak ini dinyatakan setengah (half), hal yang sama
ditemukan juga pada 7 dan i (do tinggi). berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa
tangga nada diatonis memiliki interval:

1–1 – ½ –1–1–1–½

jika diartikan satu persatu, maka dapat dikatakan : jarak dari Do ke Re = satu, dari Re ke
Mi = satu, dari Mi ke Fa = setengah, dari Fa ke Sol = satu, dari Sol ke La = satu, dari La
ke Ti = satu dan dari Ti ke Do = setengah. Skala ini lahir dari dua tetrachord sebagaimana
telah dibahas di atas.

Angka 1 2 3 4 5 6 7 1
Vokal do ↔ re ↔ mi fa ↔ sol ↔ la ↔ ti Do
interval 1 1 ½ 1 1 1 ½

Tabel 2: Interval pada tangga nada diatonic (diolah dari berbagai sumber)

Dalam sistem notasi modern, notasi ditulis tidak dengan angka melainkan dengan abjad
huruf (ABC, dst);

Angka 1 2 3 4 5 6 7 1
Moderen C ↔ D ↔ E F ↔ G ↔ A ↔ B C
Interval 1 1 ½ 1 1 1 ½

Tabel 3: Sistem Notasi Moderen (diolah dari berbagai sumber)

Frekeunsi nada telah ditntukan bersama berdasarkan kesepakatan internasional di


London pada 1939, bahwa nada A harus ditala 440 gelombang per detik. Frekuensi inilah
yang selanjutnya disebut Frekuensi Konser Moderen (Moderen Concert Pitch). Jika kita

26
bayangkan pada periode sebelumnya, Mozart menala A dengan frekuensi 422 Hz, bahkan
pada periode Barok orang menggunakan bermacam-macam frekuensi, sehingga banyak
alat musik yang dibuat di tiap-tiap negeri, tetapi tidak dapat digunakan atau dimainkan
bersama dengan alat musik di negeri lainnya, karena perbedaan frekuensi (tone) ini
mengakibatkan sulitnya melakukan kolaborasi atau pertukaran karya.18
Selanjutnya, masih dengan skala diatonis, apabila dipetakan pada keyboard atau piano,
scara skematik tuts piano atau keyboard disusun berdasarkan tangga nada diatonis,
perhatikan perbedaan tuts putih dan hitam.

Gambar 2: Interval pada piano (diolah dari berbagai sumber)

Jika kita perhatikan pada petak kosong yang dihitamkan, merupakan nada lain
yang digunakan dalam tuts piano sebagai tuts kromatik (nada kromatik). Penulisan nada
kromatik lazimnya diberi tanda aksidental19.
Tangga nada kromatik merupakan jumlah keseluruhan nada yang ada pada piano,
seluruhnya berjarak setengah (½), maka tangga nada kromatik berjumlah 12, yaitu C, C#,
D, D#, E, F, F#, G, G#, A, A#, dan B. Tangga nada ini sangat sulit untuk dinyanyikan,
lebih sulit dari tangga nada pentatonik. Inilah rahasia mengapa tangga nada diatonis
mudah dimainkan, yaitu memiliki interval yang tidak terlalu jauh, dan juga tidak terlalu
dekat.

4. Tangga Nada Pentatonis

18
Dave Benson, Mathematic and Music, 2004, Departement of Mathematics University of Georgia, Athens, USA,
halaman 17.
19
Tanda Aksidental (accidental) pada dasarnya ada dua, yaitu tanda untuk menurunkan dan menaikkan nada
sebanyak setengah (half). Tanda kres (sharp, #) untuk menaikkan setengah nada, misalnya nada F dinaikkan
setengah menjadi F# (Fis). Tanda mol (flat, b) untuk menurunkan setengah nada, misalnya nada G diturunkan
setengah menjadi Gb (Ges). Tanda lainnya jarang digunakan seperti doble sharp atau double flat (##, bb) serta
tanda natural (untuk menaturalkan kembali) Ibid, hal. 5. Sebenarnya ada lagi tanda aksidental lainnya, yaitu tanda
natural, digunakan untuk membatalkan aksidental, tetapi pembahasan ini lebih mudah difahami secara praktek.

27
Pentatonis berasal dari dua kata, pente atau penta (yunani) = lima, dan tonos =
nada. Yaitu tangga nada yang terdiri dari lima nada, atau tangga nada yang
beranggotakan lima nada. Menurut Kamus Musik dari Christine Ammer, bahwa tangga
nada pentatonik (Pentatonic Scale) dibangun oleh lima nada, yaitu nada C,D,F,G,A. Jenis
tangga nada ini sudah muncul dan dimainkan sebelum era Pythagoras.
Jika nada-nada tersebut dinaikkan setengah (half tone) maka menjadi C#,D#, F#,
G#,A#, nada-nada ini adalah seluruh tuts hitam pada piano (lihat gambar 2).
Konfigurasinya bisa berbeda-beda bentuk, bisa FGA CD, GA CDF, A CDFG, dan
seterusnya, atau dalam tonal C bisa menjadi CDE GA, DE GAC, dan seterusnya
(perhatikan gambar 3). Kesamaannya terletak pada jumlah nada, hanya lima nada.
Perkembangan terakhir di Amerika, Afrika dan Eropa, tangga nada pentatonik digunakan
dalam improvisasi jenis musik jazz dan blues.

Gambar 3: skala pentatonik dalam berbagai mode (inversi/voicing)(sumber:


http://www.jazzbooks.com)

Di Indonesia, skala pentatonik dikenal ada dua macam, yaitu pelog dan slendro,
dua skala ini berdasarkan pada laras gamelan yang tersebar di Jawa dan Bali (Michael
Tenzer, 1991). Para etnomusikolog barat beraneka ragam pendapat, ada yang menyatakan
bahwa laras/skala pelog berjumlah 7 nada, 9 nada hingga 23 nada. Demikian pula dengan
laras slendro, mereka menyebutkan bahwa skala slendro memiliki interval yang terlalu
dekat, hal ini kemungkinan besar disebabkan karena para peneliti itu menggunakan
pendekatan tonal secara barat, sedangkan gamelan yang terdapat di Indonesia berbeda-
beda frekuensinya (nada dasar) dari tiap-tiap daerah (Surjodiningrat 1972). Tentang
skala/laras pentatonik, dapat disimpulkan sebagai berikut:

Nama
Nama Jawa
No Tradisional
Nama Singkat Nama Arti
1 siji Ji Bem Kepala
2 loro Ro Gulu Leher
3 telu Lu Dhadha Dada
4 papat Pat papat Empat
5 lima Ma lima Lima
6 enem Nem nem Enam
7 pitu Pi barang Benda

28
Dalam sejarah slendro, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa terdapat
kekeliruan pada notasi kepatihan (slendro) yaitu pada not keempat (4), bahwa
menurutnya notasi keempat bukanlah dilompati, melainkan memang tidak ada not
keempat. Perbedaan pelog dan slendro terletak pada nada kesatu dan ketujuh. Pada skala
pelog, nada kesatu dan ke-tujuh tidak enharmonis (oktav). Untuk lebih mudahnya lihat
tabel berikut:

Pelog 1 2 3 4 5 6 7
slendro 1 2 3 5 6 1

Tabel: Laras Pelog dan Slendro menurut Ki Hajar dewantara

Jika demikian, menurut Ki Hajar Dewantara, skala pelog terdiri dari tujuh nada,
yaitu 1-2-3-4-5-6-7, sedangkan skala slendro berjumlah lima nada, yaitu 1-2-3-5-6. Hal
ini menimbulkan kerancuan dengan istilah pentatonik itu sendiri yang artinya “lima
nada”. Demikian pula Raden Machyar Angga Kusumadinata, bahkan ia
menyatakanbahwa skala pelog terdiri dari 9 nada. Ki Hajar Dewantara selanjutanya
mengatakan bahwa pelog adalah notasi tertua dibandingkan dengan Slendro, maka
selanjutnya pembahasan gamelan harus berdasarkan pada tangga nada pelog. 20
Meskipun demikian, Penulis berasumsi bahwa Pelog yang dimaksud Ki Hajar
Dewantara maupun Machyar, adalah dalam konteks gamelan kuno. Sedangkan dalam
kerangka diatonis, susunan skala pelog yang ditransformasikan ke dalam skala diatonis
menghasilkan pola lima nada atau pentatonis.
Kedua, berpegang pada hasil observasi lapangan, yakni pengamatan dan
wawancara dengan beberapa tokoh seni tradisi gamelan, diantaranya gamelan Pelog yang
terdapat di Sanggar Bali pimpinan Ni Putu Metri di Pura yang berada di area Taman
Kopassus Serang (dengan Nada Dasar A), serta sanggar Recreation Center di Krakatau
Steel juga berlaras Pelog, dan berjumlah 5 nada.

20
Sumarsam, Gamelan; Cultural Interaction and Musical Developmetn in Central Java, 1995, The University of
Chicago, halaman 137.

29
Gambar : Sanggar kesenian tradisional Bali Sedang berlatih di kompleks Kopassus
Serang (Sumber: Dok Pribadi Purwo.R, 8/4/2011, Nokia6600).

Ajip Rosidi berkomentar bahwa skala Pelog yang dimaksud R Machyar sulit
disosialisasikan, kesulitan ini dimungkinkan karena bahwa secara teknis, beberapa nada
dari 9 nada tersebut tidak menemukan enharmonis karena interval yang terlalu rapat serta
sulit dinyanyikan secara vokal. Tampaknya memang baik Machyar maupun Ki Hajar
Dewantara berpendapat demikian berdasarkan kerangka pembahasan laras gamelan kuno.
Artinya, pada awalnya laras gamelan pelog memang demikian adanya, 9 nada.
Apa yang ditengarai Ajip Rosidi membuka peluang bagi masyarakat untuk
mempermudah laras pelog menjadi 5 nada, ini terbukti dengan sebaran gamelan pelog
yang ditemukan penulis hanya terdiri dari 5 nada. Demikian pula pengaruhnya pada lagu-
lagu pop daerah, yakni menggunakan laras pelog 5 nada. Maka dapat disimpulkan bahwa
gamelan Pelog di masa sekarang merupakan gamelan pelog moderen karena sudah
mengalami modifikasi.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tangga nada pentatonis ada dua
macam, yaitu pelog dan slendro, keduanya memiliki perbedaan yang amat jelas jika
dilihat dari elemen yang terbentuk dari masing-masing tangga nada itu.

Untuk lebih mudahnya, lihat tabel di bawah ini.

Diatonis (7 nada) 1 2 3 4 5 6 7
Slendro (5 nada) 1 2 3 5 6
Pelog (5 nada) 1 3 4 5 7

Tabel 4: Skala Pentatonis dalam Interval Diatonis (diolah dari berbagai sumber).

30
Kemudian sebagai catatan, bahwa pada awalnya frekuensi laras gamelan tidaklah sama
dengan frekeunsi diatonis (moderen), demikian pula intervalnya. Tetapi keduanya
kemudian bertemu dengan skala diatonis sehingga skala gamlean lama-kelamaan
menyesuaikan dengan frekuensi diatonik. Maka jika kedua tangga nada pentatonik ini
dinyatakan dalam notasi moderen sebagai berikut:

1. Pelog ; 1-3-4-5-7, atau C-E-F-G-B


2. Slendro ; 1-2-3--5-6, atau C-D-E--G-A

Jika diaplikasikan pada Keyboard/piano, maka akan tampak sebagai berikut;

Pelog
Slendro

Gambar 4: Skala pentatonik slendro dan pelog pada keyboard

Hal ini sangat menarik, karena jika kita bermain piano dengan nada dasar C,
kemudian tidak menggunakan nada D dan A, maka dengan sendirinya kita memainkan
tangga nada Pelog. Demikian pula dengan Slendro, cukup dengan membuang nada F dan
B. Menariknya, dua tangga nada ini, meski dimainkan oleh orang awam sekalipun, akan
terdengar seperti melody sebuah lagu. Jadi, seseorang bisa dianggap musisi. Lain halnya
jika nada-nada ini dimainkan dengan vokal, kesulitan yang pertama adalah merasakan
intervalnya, oleh karenanya kemampuan menyanyikan lagu (vocalizing) laras ini
sebanding dengan seberapa sering ia mendengarkan gamelannya. Akan menjadi mudah
menyanyikan lagu-lagu pentatonik jika lagu jenis ini sering dipentaskan atau
diperdengarkan di telinga, tentu ini akan berpengaruh pada gejolak pasar musik
moderen. Dari segi instrument saja, musik tradisional sudah jarang diminati, kita lebih
sering melihat gitar di rumah-rumah ketimbang saron.
Skala Slendro dapat ditemukan pula di negeri-negeri lain di Asia dan Afrika
diantaranya Cina dan Jepang, demikian pula pada musik-musik rakyat di Eropa seperti di
kebudayaan Celtic, Afrika Utara dan Afrika Timur. Skala ini juga digunakan dalam
komposisi-komposisi musik dari Dvorak, Puccini, Debussy serta beberapa komposer
lainnya. Tangga nada ini muncul pada upacara sakral dan akhirnya di musik pop juga.
Masih dalam wacana etnomusikologi, tangga nada Slendro dikategorikan
pentatonik berdasarkan penyesuaian interval dan pitch pada piano, pitch ke 6,7,8,9
(bahkan pitch ke-10, jika merujuk pada R. Machyar) tidak disediakan dalam interval
piano. Maka pada 1829 R. Machyar bersama Jaap Kunst - seorang musikolog dari
Belanda-membuat gamelan yang dinamai gamelan Ki Pambayun dengan menyertakan

31
pitch berskala barat, dengan demikian gamelan tersebut tidak hanya dimainkan untuk
lagu-lagu karawitan saja, melainkan juga dapat digunakan untuk mengiringi lagu berlaras
diatonik, namun oleh karena beragam laras yang digunakan, maka sulit untuk
memainkannya.
Pembuatan gamelan Ki Pambayun (Sunda: Si Sulung) ini dilakukan dua kali,
gamelan yang pertama menghilang, kemudian dibuatlah yang kedua lalu hilang pula dan
tidak ada informasi hingga sekarang. Namun Penulis berasumsi gamelan tersebut berada
di luar negeri.
Tangga nada Slendro berdasrkan intervalnya dikategorikan ke dalam Anhemitonic
Scale (tangga nada tanpa semitone), skala ini tersebar hingga ke Eropa dan Amerika
dalam musik pop. Sedangkan skala/laras Pelog termasuk Hemitonik Scale (tangga nada
dengan semitone), tangga nada pelog dapat kita temui juga di daratan Afrika Barat, yang
bila diterjemahkan dalam keyboard dan dimulai dari nada C, maka nada tersebut adalah ;
C, Db, Eb, G, Ab, jika dibunyikan secara berurutan maka akan terdengar seperti lagu
tradisional di Jawa.

Selanjtnya, berdasarkan pembahasan-pembahasan tersebut, maka Christine


Ammer meyimpulkan mengenai tangga nada Slendro:

“…Slendro of Indonesia is obtained by dividing an octave into five equal parts.


Since this requires a different tuning system from that of Western (European and
American) music, the tones cannot be produced on ordinary Western musical
instruments.”

Tampaknya, Christine Ammer memahami benar perbedaan tonal di Barat dengan


timur, lebih dari sekedar tonal sebagai tangga nada, tetapi termasuk perbedaan pola
interval diatonis yang lazim di barat. Kemudian ia juga menyebutkan Pelog dalam sistem
7 nada, bukan lima nada, sama halnya dengan Ki Hajar Dewantara dan R. Machyar.
Secara khusus, R. Machyar telah melakukan penelitian di Bandung terhadap tiga
set gamelan yang berbeda, ia dapat mentranskripsikan frekuensi nada ketiga gamelan
tersebut sebagai berikut:

La (5) Ti (4) Na (3) Mi (2) Da (1) La‘ (5’)


Pangasih Gulu Dada Lima Nem Pangasih
254 Hz 289 Hz 328 Hz 383 Hz 435 Hz 508 Hz

Tabel : Frekuensi skala Slendro Bedantara menurut hasil penelitian R.Machyar.

Ketika penulis buktikan menggunakan software Turbo Basic, frekuensi tersebut


merupakan rangkaian nada berlaras slendro, dengan nada dasar B (Do=B). Menurut R.
Machyar laras tersebut adalah Slendro Bedantara, hal ini berdasarkan perbedaan cent,
yaitu menggunakan antara 220 cents dan 270 cents (RMA Kusumadinata; Ilmu seni
Raras, 1969:80, dalam Dinda, 2001:103).
Dr. A.N. Tucker menyebutan bahwa di Afrika terdapat pula tangga nada
Pentatonik ini, dan tidak dapat disamakan dengan pentatonik di barat, pentatonik yang
dikenal dibarat sangat berbeda dengan yang ia dengar di Sudan, disini lebih terdengar asli

32
(khas, pen). Namun, Tucker tidak mendeskripsikan secara detil dan teknis, karena
nampaknya perbedaan ini menyangkut perbedaan rasa yang bersifat subyektif. 21 Dapat
diasumsikan bahwa notasi yang didengar Tucker berbeda karena system nada yang
digunakan berbeda dengan system barat. Seperti halnya gamelan.
Joseph P. Swain menyebutkan bahwa di Cina telah ada musik Ya Yueh, yaitu
pergelaran musik yang elegan dan diselenggarakan di istana kerajaan pada era Dinasti
Han, peristiwa ini tercatat sejak tahun 221 SM, musik ini kemudian menjadi musik ritual
kaum Confusianis. Tradisi ini terus berlanjut hingga tahun 1911 M, dan dari jejaknya
dapat diketahui bahwa komposisi musik ini terdiri dari nada C,D,E,G,A yang tidak lain
adalah pentatonik.22 Dari sini pula diperkirakan tradisi musikal dibawa ke Jepang dan
mengalami transformasi menjadi berbagai bentuk seni pertunjukan maupun peribadatan,
sehingga dikenal ada Gagaku23, Noh (musik dalam drama tradisional Jepang), serta pada
alat musik berupa Shakuhachi, Koto dan Shamisen. Semua berskala Pentatonik.
Banyak lagu mau pun musik instrumental bertangga nada pentatonik tersebar di
seluruh Nusantara. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa banyak pendapat
mengenai skala pentatonis ini, tetapi orang lebih mengenalnya dengan istilah Pelog dan
Slendro. Hal ini akibat transformasi dan akulturasi antara kebudayaan Timur dengan
Barat. Menurut pendapat penulis kedua laras ini memang harus mengalami modifikasi
demi mengikuti perkembangan kehidupan manusia, ini menunjukkan adanya interaksi
antar bangsa, namun gamelan yang asli harus tetap ada, hal ini untuk menjembatani
generasi berikutnya dalam rangka memperkaya khazanah kebudayaan, pemicu kreatifitas
dalam rangka menemukan gagasan-gagasan baru sebagai ciri dinamika kebudayaan.
Setidaknya skala ini dikenal secara sederhana berdasarkan skala diatonis, ini akan
memudahkan dalam memahami dan mempelajarinya kemudian saat berhadapan dengan
gamelan. Maka Penulis menyimpulkan bahwa pelog dan slendro, kedua-duanya, adalah
tangga nada pentatonik, yang masing-masing beranggotakan lima nada, tidak lebih. Hal
Ini berdasarkan bukti di lapangan, baik berupa benda-benda peninggalan sejarah seperti
gamelan-gamelan, angklung buhun, serta jejak dari beberapa alat musik tua yang telah
termodifikasi dan berlaku hingga sekarang, juga pada lagu-lagu buhun yang masih
terdengar dinyanyikan di desa-desa hingga saat ini. Bahkan dalam lagu-lagu pop daerah.
Sebagai bahan untuk memperkaya perbendaharaan lagu, maka penulis akan
mencantumkan beberap contoh lagu pop daerah yang berlaras Pelog dan Slendro,
diantaranya ialah sebagai berikut;

21
A. N. Tucker, Tribal Music and Dancing in the Southern Sudan (Africa) at Social and Ceremonial Gatherings
(London: William Reeves), Hal 55.
22
Joseph Peter Swain, 2006, Historical dictionary of sacred music , hal. 231.
23
Ibid, 232. Musik kerajaan yang sudah populer sejak Periode Hein (794-1192 M), musik ini asli dari Cina dengan
nama To-gaku, dan di Kore dikenal Komagaku, musik jenis ini dimainkan secara instrumentalia (tanpa vokal).

33
34
35
Sedangkan lagu berlaras Slendro;

36
4. Pokok Persoalan Tangga Nada Pentatonik

Tangga nada (skala) Pentatonik, khususnya Pelog dan Slendro merupakan tangga
nada asli dari Indonesia, dari beberapa penelitian, konon skala nada ini lahir dari
gamelan seperti yang ditemukan di Jawa, Madura dan Bali. 24 Terdapat perbedaan
pendapat di kalangan musikolog soal jumlah nada pada skala pelog, misalnya R. Machyar
Angga Kusumadinata dan Jaap Kunst menyatakan bahwa pelog memiliki 9 nada dan
slendro 10 nada (1937-1938).25 Sedangkan Ki Hajar Dewantara menyebutkan 7 nada
untuk pelog. Demikian pula Michael Tenzer menyebutkan laras pelog tidak dalam
kerangka pentatonis.
24
Michael Tenzer, (1991), Balinese Music, ISBN 0-945971-30-3
25
Ajip Rosidi (ed), 2000, Mahjar Angga Kusumadinata: Ensiklopdi Sunda - Alam, Manusia dan Budaya (termasuk
budaya Cirebon dan Betawi), Pustaka Jaya, Jakarta, hal 390.

37
Faktor lainnya, penulis memandang bahwa terdapat perubahan pada musik
gamelan, yaitu dengan adanya melodi lagu untuk vokal. Pada awal pemunculannya,
gamelan dimainkan secara instrumentalia (suara alat musik saja) sehingga tidak terdapat
masalah dengan vokal karena tidak menggunakan suara manusia, tidak menggunakan
kendang, suling, dan rebab. Maka pada periode selanjutnya, gamelan telah mendapat
tambahan instrumen rebab, seruling dan gendang, serta vokal.
Sejak saat itu pulalah bermunculan lagu-lagu baru dan bervariasi, seiring dengan
perkembangan zaman dan perkembangan musik gamelan itu sendiri, baik dari segi
perkembangan alat musiknya (waditra) maupun tujuan pertunjukannya, tentu dipengaruhi
juga oleh kebudayaan dari bangsa-bangsa Eropa, misalnya tangga nada diatonis dan lagu-
lagu klasiknya, yang selanjutnya dalam seni karawitan muncul tangga nada madenda
(Ganjar Kurnia, 2003). 26 Meskipun menurut penulis skala madenda tetap berbeda dengan
diatonik.

Gambar : (dari kiri ke kanan) Saron Panerus yang tersimpan di Museum Banten,
diletakkan secara terbalik (ukuran bilah mengecil kearah kiri),Kenong dengan
latar belakang saron barung, dan Bonang berlatar belakang gong (Foto:Dok
Pribadi Purwo R, Nokia6600,10/2010).

Penulis memandang bahwa perbedaan pendapat di seputar tangga nada pentatonis


disebabkan oleh perbedaan periode pembahasan gamelan serta adanya akulturasi
kebudayaan, hal ini sangat mudah terlihat pada pada lagu-lagu vokal. Tetapi berdasarkan
bukti di lapangan tidak ditemukan gamelan yang berskala 7 mau pun 9 nada, semua
berjumlah lima nada, sehingga dapat diasumsikan bahwa gamelan berlaras 7 dan 9 nada
sudah punah.
Gamelan-gamelan yang ditemui di lapangan tersebut berkonfigurasi nada seperti
yang sudah dipaparkan sebelumnya, yaitu pelog dan slendro. Keduanya disebutkan
berbunyi da-mi-na-ti-la-(da), baik pelog mau pun slendro, dengan interpretasi skala
moderen seperti telah disebutkan secara khusus pada bagian sebelumnya dari buku ini.
Diantara bukti-bukti itu ialah diantaranya Saron yang terdapat di Museum Banten,
diperkirakan berlaras slendro berdasarkan bentuknya sebagai saron panerus, meskipun
terdapat 6 bilah, tetapi jumlah nada seluruhnya hanya lima, bilah yang keenam
merupakan nada yang sama dari salah satu nada yang lima itu, hanya saja berada di

26
Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung

38
tingkat/interval yang lebih tinggi (oktav).27 Ini berdasarkan bentuk dan jumlah bilahnya
sama dengan gamelan milik Mang Sarmani di Kecamatan Keragilan Kabupaten Serang.

Gambar: Mang Sarmani di Kediamannya di Keragilan sedang membersihkan kenong, Tokoh


dan sesepuh kesenian Ubrug di Banten (Foto: Dok Pribadi Purwo.R. Nokia6600,12/2010).

Demikian pula dengan gamelan yang terdapat di rumah Sarmani (62)28, tokoh seni
tradisi di Banten ini memiliki koleksi 2 set gamelan perunggu, dimana terdapat saron,
kenong dan bonang yang berlaras Slendro. Gamelan sejenis ini masih banyak terdapat di
beberapa tempat lainnya di seluruh wilayah Banten utara (dari wilayah Kabupaten Serang
sampai Kabupaten Tangerang), penulis telah mencatat beberapa set gamelan yang
tersebar itu, beberapa diantaranya masih aktif digunakan untuk pertunjukan wayang
golek maupun ubrug.29 Sarmani juga membuat sendiri alat musik gambang berlaras
slendro dengan 15 bilah bambu.

27
Oktave/oktaf, adalah nada yang sama tetapi lebih tinggi atau lebih rendah dari nada yang sebelumnya. Misalnya,
jika disebutkan do re mi fa sol la ti do, maka, do yang pertama dengan do yang terakhir sama sama nada do, tetapi
dalam tingkatan yang berbeda, do yang pertama lebih rendah dari do yang terakhir.( The Facts On File Dictionary
of Music, Fourth Edition, Christine Ammer 1992 Trust, hal.267)
28
Seniman Ubrug dari Cantel Grup sebagai kordinator dan penabuh gendang, tinggal di kampung Cisereh, Rt.
01/02, kecamatan Keragilan
29
Hasil wawancara dengan Sarmani usai acara peluncuran dan bedah buku “Ubrug, Tontonan dan Tuntunan” pada
27 Oktober 2010 di Perpustakaan dan Arsip Daerah Banten di Serang.

39
Gambar : Gambang milik Mang Sarmani hand-made (Foto: Dok Pribadi Purwo R, Nokia6600,
8/2010)

Demikian pula calung renteng baik yang terdapat di Kabupaten Pandeglang


maupun di Desa Cinangka Anyer, berlaras Slendro. Berapapun bilah yang terdapat pada
gamelan maupun alat musik tradisional lainnya seperti calung renteng maupun angklung
buhun, menggunakan sistem pentatonis, sistem lima nada.
Nyanyian-nyanyian yang disenandungkan di desa-desa yang masih lekat dengan
budaya pertanian di wilayah Banten menggunakan laras slendro, baik nyanyian untuk
menunggu padi, menidurkan anak, maupun shalawatan disetiap menjelang waktu shalat.
Ada pula yang berlaras pelog tetapi sudah sulit ditemukan.

Gambar : Peta Afrika Utara (Mali)

40
Pencarian sejarah pelog dan slendro, oleh karena kedua tangga nada ini bersumber
dari gamelan, dan gamelan adalah alat musik tradisional Indonesia, maka pencarian
dimulai dari Indonesia.
Istilah tradisional lazimnya mengandung arti bahwa sesuatu itu dikerjakan,
diwariskan, diajarkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, didalamnya
mengandung konvensi-konvensi dan nilai-nilai yang sulit diubah, karena biasanya
mengandung unsur dasar-dasar etika kehidupan bermasyarakat mau pun peribadatan, hal
ini dapat dikaji lagi secara multidimensional dan mendalam karena dapat menjadi acuan
bagi kehidupan di masa sekarang, konon etika orang Timur lebih tua dan lebih arif
sehingga tidak perlu anggota dewan mempelajarinya jauh-jauh ke Yunani.
Karya seni tradisi merupakan hasil kebudayaan, dimana kebudayaan adalah
produk manusia yang dibuat secara sengaja dalam rangka memenuhi kebutuhannya, oleh
karena itu, berbicara seni tradisi, maka harus berbicara juga soal asal-usul tradisi tersebut,
berikut dengan sistem pendukung yang ada di dalam masyarakatnya.
Misteri apakah yang terdapat pada tangga nada pelog dan slendro? Apakah hal ini
berkaitan dengan sejarah peradaban manusia? Peradaban manakah yang pertama kali
menggunakan musik jenis ini?

Gambar: Balafon, alat musik tradisional Mali (Afrika), berlaras pelog (Cootje Van Oven.
Music of Sierra Leone, in African Arts).

Jawaban dari pertanyaan-pertanyan tersebut sesungguhnya sudah ada dalam


bukti-bukti yang tercatat dan tertinggal, tinggal bagaimana kita mengumpulkan dan
saling menghubungkannya. Untuk menjawabnya, dibutuhkan pendekatan melalui
beberapa faktor yaitu:

a. Faktor Kebudayaan fisik berupa peralatan, yaitu alat musik dan sebarannya, bahwa
terdapat alat musik tradisional yang berlaras pelog maupun slendro (pentatonis) di
beberapa tempat di dunia. Alat-alat musik tersebut tersebar di seluruh Asia, Afrika,
dan di beberapa tempat di Eropa dan Amerika. Di Asia diantaranya ialah di
Indonesia, China, termasuk diantaranya Korea, Philipina, Thailand, Jepang dan
sampai ke seluruh wilayah daratan utara dan barat Asia, termasuk India. Di Eropa,
sangat jelas terlihat pada musik tradisional Celtic, di Amerika terdapat di Peru.
Demikian pula di Sudan dan Mesir Kuno. Alat-alat musik modern yang sekarang kita
kenal merupakan perkembangan dari alat musik tradisional. Selain itu, di beberapa

41
negara, tidak melupakan tradisi memainkan alat-alat musik tradisional yang masih
asli baik sebagai sarana ritual maupun hiburan. Produksi alat musik ini pun masih ada
yang menggunakan tata-cara tradisional dengan etika yang diajarkan secara turun
temurun.

b. Faktor Sejarah dan Mitologi. G.R. Elton dan Henry Pirenne menyatakan bahwa
sejarah adalah hasil studi tentang perbuatan dan hasil-hasil kehidupan manusia dalam
masyarakatnya di masa silam. Sejarah diungkap melalui disiplin ilmu Filologi (ilmu
yang mempelajari bahasa dan tulisan pada naskah-naskah kuno), Epigrafi (ilmu yang
mempelajarai tulisan dan bahasa kuno pada batu, kayu, logam, yang dikenal dengan
prasasti), dan Arkeologi (Ilmu yang mempelajari benda-benda peninggalan
sejarah/artefak). Ayatrohaedi juga menyatakan bahwa sumber sejarah lainnya adalah
tradisi lisan, dan hal ini dapat diartikan bahwa dalam pemahaman masyarakat Sunda,
sejarah itu berupa dongeng. cerita, tambo, legenda, mitos, sasakala, pantun, wawacan,
babad, dan sebagainya, dimana hal-hal tersebut masuk dalam kategori karya sastra,
sejarah dan karya sastra memiliki pemisah yang sangat tipis. 30 Selain itu, ada
beberapa mitos yang terdapat di berbagai kebudayaan di dunia yang memiliki
beberapa kesamaan.

Penelitian tentang tangga nada pentatonis ini telah banyak dilakukan oleh
peneliti mancanegara maupun Nusantara. Penelitian-penelitian tersebut beragam, baik
dari segi materi musikal, perkembangan lagu, pathet, motif, sejarah, tipikal lagu di
beberapa daerah sebaran. Ada pula upaya mengungkap mitos dan dongeng dengan
seksama menggunakan berbagai ilmu sehingga tersarikan suatu hasil penelitian ilmiah
seperti pada sejarah kebudayaan bangsa-bangsa.
Penulis akan membahas pelog dan slendro berdasarkan hasil pengumpulan data
berupa literatur serta observasi dan wawancara di lapangan. Kemudian penulis mencoba
mengungkap kronologi terjadinya kelompok masyarakat pertama sebagai pelaku
kebudayaan yang menggunakan musik pentatonik hingga masa moderen termasuk di
Banten secara khusus.

30
Yoseph Iskandar, Sejarah Banten, 2001, halaman xiv, dan 4-5.

42
Gambar : Xilofon, dan alat musik perkusi (membranphone) tradisional Afrika (nn).

43
II. MISTERI PELOG DAN SLENDRO

Telah kita bicarakan sebelumnya bahwa membahas musik pentatonik di Indonesia berarti
harus merujuk pada gamelan, selain karena gamelan musik asli dari Indonesia, sampai sejauh ini
tidak ada informasi atau hasil penelitian yang menyatakan adanya gamelan di kebudayaan lain
selain di Indonesia. Kecuali bahawa gamelan itu didatangkan dari tempat asalnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, bisa dengan cara membawa ahli/pembuat gamelan, membeli
atau mendatangkannya secara langsung, atau bisa juga disebabkan oleh migrasi akibat terjadinya
bencana besar di negeri asal gamelan itu, seperti yang diberitakan dalam mitos-mitos di negeri-
negeri di seluruh dunia. Misteri gamelan terungkap jika kita memulai dari permbahasan di
seputar perdaban manusia, mengingat bahwa gamelan adalah musik ritual. Gamelan adalah
lambang kebudayaan dan peradaban manusia.
Membahas Peradaban berarti harus berbicara tentang seluruh faktor pendukungnya, mulai
dari sejarah manusia, mitos, agama, kitab-kitab, ilmu bumi, sosio-antropologi, dan berbagai
bidang ilmu pendukung lainnya. Tetapi buku ini akan membatasi ranah pendukung tersebut agar
pembahasan tidak terlalu melebar, cukup membawa kita pada pembahasan utama, ada pun jika
nantinya terdapat ranah yang lainnya disampaikan dengan paparan dan penjelasan yang rinci
dimaksudkan agar kerangka yang ingin disampaikan dapat dipahami berdasarkan argumentasi
yang lengkap.
Untuk itu, obyek pertama pembahasan dalam buku adalah gamelan,
untuk mengetahui apa itu gamelan dan dari mana asalnya, maka diperlukan satu bagian untuk
membahasnya secara khusus.

1. Gamelan
Gamelan berasal dari bahasa Jawa gamel yang artinya menabuh, maksudnya
adalah alat musik yang ditabuh. Dalam bahasa Bali gamel artinya menangani (Grolier,
2002:29). Gamelan merupakan musik ensambel31, bahkan Christine Ammer menyebutnya
sebagai musik “orkestra Indonesia”, dimana gamelan dimainkan oleh lebih dari satu orang.
Secara sosial, keberadaan musik gamelan menunjukkan adanya suatu sistem
kemasyarakatan, suatu sistem yang telah mampu mengorganisasikan orang, ini
menunjukkan telah adanya sistem kepemimpinan, pembagian tugas, juga menunjukkan
bahwa kebudayaan masyarakat tersebut telah maju.
Gamelan merupakan alat musik satu set, yang terdiri dari beberapa alat musik, dari
segi materi, Gamelan adalah alat musik yang terbuat dari perunggu (gong, kenong, bonang,
saron, gender dan sejenisnya), terbuat dari kayu dan kulit (gambang, kendang/gendang),
serta alat musik berdawai sebagai ciri khas kebudayaan maju (celempung/siter, rebab).

31
“Adalah sekelompok pemain musik, terdiri dari pemain alat musik (instrumental ensemble), penyanyi (vocal
ensemble), atau kedua-duanya (bermain alat musik sambil bernyanyi). Ensembel bisa juga berarti sebagai istilah
yang digunakan untuk mendeskripsikan bagaimana bermain musik dan bernyanyi secara bersama-sama dengan hasil
yang indah, hal ini juga berkaitan dengan kemampuan bermain musik serta membedakan keseimbangan takaran
dari masing-masing bagian pemain musik dalam satu kesatuan pementasan. Dalam hal ini, kelompok musik yang
baik adalah kelompok yang mampu bermain bersama secara baik, atau sebaliknya, meskipun para musisi itu baik
bermain musiknya, tetapi tidak baik dalam berbain bersama, maka kelompok itu buruk (Christine Ammer , 2004, hal
129).

44
Masyarakat Sunda menyebutkan gamelan sebagai Degung, yang merupakan
sebutan yang berasal dari dua kata ngadeg dan ageng (berdiri dan megah), atau pangagung,
yang terakhir ini sangat erat dengan kebangsawanan/pangagung. Ini menunjukkan bahwa
gamelan/degung hanya dimiliki oleh kaum bangsawan. Berbeda dengan pemahaman orang
Belanda seperti yang dikutip oleh Ganjar Kurnia, bahwa dalam kamus susunan H.J.
Oosting, kata "De gong" berarti “penclon-penclon yang digantung”.
Keunikan lain pada gamelan adalah penalaan, tuning/stem atau pitch (nada dasar,
ukuran frekeunsi atau tinggi-rendahnya nada) dari satu set gamelan berbeda pitch dengan
set gamelan lainnya meskipun masih berada dalam satu desa, bahkan satu kampung.
Hal ini dapat diasumsikan bahwa, secara logika, gamelan tidak akan tertukar
dengan gamelan komunitas lainnya, atau masing-masing komunitas memiliki ciri khas
yang berbeda-beda yang sudah direncanakan dalam pembuatan materi gamelannya.
Namun, pada perkembangannya, gamelan mengalami penyesuaian dengan frekuensi alat
musik moderen seperti piano dan sebagainya, sementara gamelan yang sesuai tradisi tetap
dijaga. Lagu-lagu yang berlaras slendro maupun pelog kini telah banyak dibawakan dengan
alat musik moderen. Seperti lagu Cublak-cublak Sueng, Gundul-gundul Pacul, dan
sebagainya merupakan lagu yang bermula diiringi gamelan, ini pun telah mengalami
penyesuaian dengan tangga nada diatonis.
Pada awalnya gamelan tidak memiliki vokal (suara manusia), kendang, rebab dan
suling. Gamelan yang asli adalah gamelan yang dimainkan secara instrumen, suaranya
membangun rasa ketuhanan bagi pendengarnya, gamelan merupakan peralatan untuk
peribadatan.

45
Gambar : Grup Setio Manunggal pimpinan Juwoto sedang berlatih gamelan di sanggarnya
di wilayah Sumampir, simpang tiga Kota Cilegon (Foto: Purwo.R, Nokia6600,
4/12/2010).

Gamelan yang tersebar di masyarakat, khususnya yang kita bicarakan adalah yang
terdapat di Banten, rata-rata gamelan berlaras slendro, serta ada satu kasus yang bertolak
belakang dengan kenyataan itu, ada kemungkinan telah terjadi kesepakatan dalam
pembuatan gamelan, atau suatu kebetulan. Dalam wawancara penulis dengan Mang
Sarmani pada bulan Desember 2010, ia bercerita, bahwa pada bulan itu ia pentas Ubrug
menggunakan gamelan pengiring tambahan, ini disebabkan gamelan yang dibawanya tidak
lengkap, namun ternyata cocok.
Penulis membandingkan pitch gamelan yang terdapat di rumah kediaman Sarmani
dengan keyboard Yamaha PSR 740, membuktikan bahwa nada pertama gamelan tersebut
berada pada nada G#, tetapi tidak benar-benar G#, agak sedikit naik tetapi tidak sampai ke
nada A. Diperkirakan nada tersebut berada di frekuensi antara 207.652 Hz sampai 220.000
Hz. Jika dituliskan dalam staff maka nada tersebut berada di clef F.
Pada gamelan yang terdapat di Sanggar Setio Manunggal Sumampir di Kota
Cilegon, nada pertama dimulai dari nada D#, berada 5 nada lebih tinggi (atau 4 nada lebih
rendah) dari gamelan milik Sarmani. Sanggar Pimpinan Pak Juwoto ini berciri khas Jawa
Tengah-an, dan membawakan lagu-lagu berbahasa Jawa Tengah di antaranya gending Ojo
Semoyo (Langgam), Sri Wening, Lenggang Kangkung, Caping Gunung, Kembang Kapas,
Ilir ilir, Sinom (ketawang), dan lain-lain. 32 Setidaknya keduanya sudah mewakili
keberadaan gamelan dari dua masyarakat yang berbeda, namun keduanya sama-sama
berlaras Slendro.

Gambar : Saron Barung


(http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Budaya_Bangsa/Gamelan)

32
Hasil observasi penulis bersama Ibnu PS Megananda pada tanggal 4 Desember 2010 di Sanggar Setio Manunggal
bertempat di Perumahan Pondok Golf, Sumampir, Simpang Tiga Kota Cilegon, Banten.

46
Gambar : Saron Panerus
(http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Budaya_Bangsa/Gamelan)

Gambar : Bonang
(http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Budaya_Bangsa/Gamelan)

Gambar : Gambang
(http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Budaya_Bangsa/Gamelan)

47
Gambar : Gender Barung
(http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Budaya_Bangsa/Gamelan)

Gambar : Gender Panerus


(http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Budaya_Bangsa/Gamelan)

Gambar : Kenong dan Ketuk

Gambar : Kempyang
(http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Budaya_Bangsa/Gamelan)

48
Gambar : Kendang
(http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/Budaya_Bangsa/Gamelan)

Gambar : Siter/celempung (Foto: Kedubes RI untuk Canberra)

49
Gambar : Satu Set Gamelan Jawa Tengah (Ilustrasi: JT. Titon, Worlds of Music, halaman 235)

Selanjutnya, gamelan adalah indikator sosial, ciri kegotongroyongan, konon ciri ini
telah ada jauh sebelum masehi, jauh sebelum abad pertengahan, orang Indonesia
(Nusantara) telah mengenal musik ensambel (orkestra) lebih dahulu ketimbang orang-orang
Barat yang dikenal dengan musik-musik klasiknya.
Jennifer Lindsay menulis bahwa Gamelan sangat erat kaitannya dengan masyarakat
di pulau Jawa, gamelan menunjukkan dinamika sosial dan mengandung pesan moral yang
mengarah pada pendalaman rasa terhadap peran individu di dalam interaksi sosial
kemasyarakatan.
Gamelan adalah “Cahaya bulan dan air yang mengalir, murni dan penuh misteri bak
cahaya bulan, Ia adalah bentuk-bentuk yang diciptakan untuk pendengaran yang tak
berlagu, sebuah pernyataan akan eksistensi, seperti cahaya bulan yang menyebar
melimpahi bumi” demikian kata Leonhard Huizinga yang juga dikutip oleh Ruth T. Mcvey
dalam bukunya “Indonesia: Music and Theatre in Java and Bali (South east Asia studies
Yale University 1963)”. 33 Semangat gotong royong tercermin dalam kesenian gamelan.

33
Jennifer Lindsay, Javanese Gamelan: Traditional Orchestras of Indonesia, Oxford University press, Oxford New
York 1992.

50
Pada mulanya, gamelan hanya dimiliki oleh kaum bangsawan dan raja-raja, tidak
heran jika masa itu gamelan hanya ada di keraton-keraton, demikian pula pertunjukan-
pertunjukan bukanlah semata-mata hiburan, melainkan suatu upacara adat keraton, di
keraton Yogyakarta ada salah satu upacara khusus seperti Sekatenan, yaitu perayaan
Maulid Nabi Muhammad S.A.W. Sedangkan di Bali, seluruh upacara adat dan ritual
keagamaan banyak menggunakan gamelan.
Hingga saat ini, kita masih bisa melihat pentas gamelan untuk mengiringi tarian dan
pertunjukan wayang kulit dan wayang golek baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, atau DI
Yogyakarta. Pertunjukan wayang, baik wayang kulit yang berbahasa Jawa, mau pun
wayang golek yang berbahasa Sunda, tidak terlepas dari cerita dan mitos dewa-dewa,
cukup banyak cerita-cerita pewayangan terkait dengan tempat-tempat kejadiannya yang
berada di dunia khususnya di Nusantara seperti Medang, Madangkara, Suryalaya atau
Suralaya, dan sebutan-sebutan lainnya yang khas.
Pertunjukan dengan gamelan di daerah Banten kini lebih banyak terlihat di kesenian
ubrug saja, itu pun terbatas di pedesaan sebagai hiburan dalam perhelatan pernikahan atau
khitanan, sedangkan di wilayah perkotaan hiburan semacam itu telah diganti dengan orgen
tunggal. Hal ini dapat membuat generasi berikutnya kehilangan pengetahuan akan tradisi,
jati diri. Sebagai pandangan umum, dari berbagai mata kesenian di Banten ini, pengetahuan
siswa SMU hanya bisa menyebutkan Debus. Padahal ada lebih dari 80 macam seni-budaya
Banten. Mempersoalkan Debus saja masyarakat kita masih banyak yang memandangnya
sebagai kekerasan. Padahal pada awalnya Debus adalah sebagai bagian dari fase tarekat
Rifa’iyah, dimana tarekat merupakan jalur tasawuf yang di dalamnya sangat kental dengan
ajaran penyerahan diri atau kepasrahan kepada Sang Khaliq.
Hingga saat ini, menurut keterangan Sarmani dan beberapa observasi penulis
bersama Yadi Ahyadi dan Ibnu PS Megananda, ada sejumlah gamelan di Banten Utara
khususnya Serang Timur hingga ke Tangerang. Gamelan tersebut digunakan untuk
pertunjukan ubrug, cokek, wayang golek, wayang wong (ubrug dengan kostum wayang
wong), dan wayang kulit (Cilegon). Gamelan tersebut diantaranya terdapat di sanggar-
sanggar tradisional, yaitu milik beberapa orang sebagai berikut:

1. Dalang H. Kirun (Cembeh) dari Citerep yang sekarang sudah dimiliki oleh mang
Sarmani di Keragilan sebanyak dua set dan keduanya berlaras slendro.
2. Dalang Benhur di Kp.Catang untuk pertunjukan wayang golek.
3. Dalang Entih di Cilayang
4. Dalang Aria dan Jamari di Kp. Pengawinan
5. Dalang Emen, di Cikande.
6. Dalang Wardi di Cikande.
7. Dalang Musa di Desa Harendong, Cikande.
8. Dalang Suki Desa Harendong, Cikande.
9. Dalang Sakol di Kp. Benda, Balaraja Tangerang
10. Dalang Murjana di Pasar Ceplak, Tangerang
11. H. Kirun di Kp. Cibetik, Pangampelan, Pabuaran serang. Dalam kondisi disimpan.
12. Sahari di Kp. Prisen Ciruas Kab. Serang, digunakan untuk pertunjukan Ubrug.

Tidak hanya itu, dari wilayah Cilegon hingga Suralaya terdapat pula lima grup
kesenian khas Jawa (Tengah), dan satu diantaranya adalah sanggar Setio Manunggal

51
pimpinan Juwoto di Sumampir, tidak hanya menyanyikan langgam-langgam, tetapi juga
sering tampil memenuhi permintaan pertunjukan campur sari dan wayang kulit. Mereka
berlatih secara reguler pada setiap malam minggu dan masih aktif hingga saat ini.
Mayoritas pelaku keseniannya memiliki porofesi yang berragam, buruh, pegawai, pelajar,
pedagang, dll ). Rata-rata grup-grup kesenian berbasis gamelan tersebut dibiayai secara
swadaya.

Gambar : Sebagian personil (nayaga) Sanggar Bali berfoto bersama penulis usai
pembukaan peringatan Hari Kartini 2011 di kota Serang (Sumber: Dok Pribadi
Purwo.R, 26 April 2011, Nokia6600).

Di Kota serang, tepatnya di kompleks Kopassus terdapat Sanggar Bali pimpinan Ibu
Metri, sanggar ini berdiri sejak 2002 di area Pura, sanggar ini menggunakan gamelan
berlaras Pelog, secara rutin digunakan untuk peribadatan di Pura tersebut. Sering pula
mengisi berbagai acara, termasuk peringatan hari Kartini pada April 2011 di Serang
berkolaborasi dengan paduan suara Dharma Wanita Propinsi Banten.
PT. Krakatau Steel pun memiliki sanggar di Recreation Centre (RC) yang berlokasi
di area BAPOR, hingga saat ini sanggar tersebut dikomandani oleh Wisnu Kuncoro. Tahun
2010 lalu merupakan perhelatan pertama Sanggar RC dilaksanakan di luar area Krakatau
Steel, yaitu di Alun-alun Serang. Hal ini sangat membantu apresiasi masyarakat terhadap
kesenian tradisional, dan itu berarti pula bahwa kesenian telah sesuai dengan fungsi
sosialnya, bahwa kesenian harus bersumber dan kembali pada kehidupan masyarakat
sebagaimana terdapat dalam sejarah pemunculannya.

52
Kemungkinan ada lebih banyak lagi sanggar-sanggar tradisional tersebut, baik yang
asli Banten maupun yang dipelopori kelompok pendatang.

Gambar : gambaran gamelan merujuk pada relif Borobudur (net/nn).

53
2. Sejarah Gamelan

Tidak ada kejelasan mengenai asal-usul gamelan, tetapi diduga kemunculan musik
ini sejak ditemukannya kentongan, tepukan dan gesekan serat pada pohon, atau
semacamnya, hingga kemudian dikenal bahan logam.
Ketidak jelasan itu dikarenakan secara ilmiah, sejarah tercampur-aduk dengan fiksi,
yaitu cerita-cerita yang tidak masuk akal, dilebih-lebihkan, sarat dengan mitos dan mistik.
Hal ini biasanya muncul atas keterkaitan antara peninggalan-peninggalan sejarah dengan
cerita rakyat. Diduga, mitos dan dongeng tersebut terlahir karena adanya benda-benda atau
tempat-tempat yang telah ada. Banyak kasus sejarah yang berkaitan dengan mitos, seperti
kota Medangkamulan (Medang) yang disebut-sebut dalam mitos, sementara orang
mempercayai kerajaan Medang berada di sebelah timur kota Demak. Lindsay menyatakan
bahwa Medangkamulan merupakan sebuah kerajaan yang berada diantara Surakarta dan
Madiun. Sementara dalam mitos, ada suatu tempat dengan nama yang mirip, Madangkara.
Perlu kajian lebih mendalam untuk menemukan hubungan antar keduanya untuk
mengungkap simbol-simbol dalam mitos-mitos tersebut.
Untuk mengungkapnya diperlukan beberapa ilmu, termasuk dalam hal ini kita
membahas tentang asal-usul gamelan. Diantara komponen ilmu itu ialah arkeologi, karya
sastra baik yang tidak tertulis (lisan, mitos, legenda) maupun tertulis (kitab/babad), serta
beberapa ilmu lainnya. Dari segi arkeologis dapat berupa benda-benda peninggalan serta
catatan-catatan pada batu (prasasti), lontar, dan sebagainya. Maka kajian tentang gamelan
akan dikupas dari sudut pandang tersebut.

Gambar : Ilustrasi Batara Guru dalam


pewayangan, digambarkan sebagai dewa yang
menghadap pada manusia, tampak dengan kaki
dan tangannya yang menghadap kedepan (bukan
ke samping), ia juga berdiri diatas seekor Lembu
Nandin, Ia adalah penguasa kahyangan yang
mengatur seluruh dewa di Jawa. (sumber
http://www.wikipedia.com)

54
Dalam mitologi di Pulau Jawa, dikenal tokoh pewayangan terkait dengan gamelan
yaitu Batara Guru. Konon, disebutkan bahwa gamelan dibuat oleh Sang Hyang Guru pada
Era Saka 167 (230 M). Dewa yang menjadi raja dan memimpin seluruh pulau Jawa,
istananya berada di puncak gunung Maendra (Gunung Lawu) di dekat kota
Medangkamulan (di sebelah timur Demak). Gong itu dugunakan untuk memanggil dewa-
dewa agar berkumpul untuk menerima perintah. Kemudian, oleh karena banyak dan
beragamnya panggilan dan pesan yang ingin disampaikan, maka dibuatlah gong yang lain
untuk membedakan jenis-jenis panggilan. Dari sini terbentuklah sekumpulan gong dan
menjadi gamelan.34
Tetapi menurut Lindsay, gong dibuat jauh sebelum adanya agama Hindu, jauh
sebelum adanya Borobudur dan Prambanan, oleh karena itu gamelan bukanlah alat musik
tradisional agama Hindu.
Selain itu, tokoh Sang Hyang Guru memiliki sebutan yang beragam bagi
masyarakat di pulau Jawa (Sunda dan Jawa), dalam cerita yang lain terdapat tokoh Batara
Guru atau Manikmaya, tokoh Sang Hyang Guru atau katakan saja Batara Guru yang
(terkait dengan gamelan) pun merupakan misteri tersendiri. Dalam kitab-kitab suci agama-
agama samawi juga menyebutkan nama-nama sebagaimana disebutkan pula dalam babad-
babad seperti Prabu Seth pada Babad Tanah Jawa, atau hanya disebutkan Seth sebagai
putera Adam A.S. pada kitab suci agama samawi.
Dalam agama Hindu terdapat pula sebutan Sanghyang sebagaimana tercantum
dalam Puja Trisandhya, diantara baitnya berbunyi sebagai berikut:

“Om Sanghyang Widhi, semua yang ada berasal dari Sanghyang Widhi baik yang
telah ada maupun yang akan ada, Sanghyang Widhi bersifat gaib, tidak ternoda,
tidak terikat oleh perubahan, tidak dapat diungkap, suci, Sanghyang Widhi Maha
Esa, tidak ada yang kedua.”

34
R.T. Warsodiningrat, Serat Weda Pradangga. Dalam Roth, A. R. New Compositions for Javanese Gamelan.
University of Durham, Thesis doktoral, 1986. halaman 4.

55
Gambar : Satu set gamelan (http://sumarsam.web.wesleyan.edu/Intro.gamelan.pdf)

Dalam sejarah Sunda dijelaskan bahwa sebelum masa Hindu-Budha, kepercayaan


yang dianut adalah Sunda Wiwitan, yaitu Sunda yang mula-mula, memiliki kepercayaan
kepada roh nenek moyang, dimana nenek moyang ini yang semasa hidupnya berperan
sebagai pemimpin yang dihormati. Roh inilah yang dipercaya sebagai jembatan
penghubung dari generasi dahulu dengan generasi sekarang, yaitu “Sang Hyang”, yang
juga menghubungkan manusia dengan dewa-dewa. Istilah “dewa” juga merupakan misteri
tersendiri. Lalu siapakah Batara Guru? Sang Hyang Guru? Apakah keduanya sama atau dua
orang yang berbeda? Apa kaitannya dengan para dewa? Konon Sang Hyang adalah
sebutan yang dipakai oleh suku Sunda, sedangkan Batara dipakai oleh suku Jawa.
Bagaimana dengan para Nabi? Apakah ada kaitannya?
Dalam Babad tanah Jawa disebutkan di halaman pertama tentang silsilah raja-raja
Jawa. Dimulai dari Adam a.s., mempunyai anak Sis, beranak Nurcahya beranak Nurrasa
beranak Sanghyang Wening, beranak Sang Hyang Tunggal beranak Sang Hyang Guru.
Batara Guru, memiliki lima putera, dan satu puteri yaitu Dewi Sri atau Nyi Pohaci, dan
salah satu puteranya adalah Batara Wisnu yang kemudian menjadi raja pertama di Jawa
yang dikenal dengan Prabu Set. Dari sini sebenarnya sudah muncul pertanyaan baru dan
misterius, Siapakah Prabu Seth? Apakah jika demikian Adam, a.s. berada di Jawa?
Sementara Al-Qur’an tidak menyebutkan tempat?
Batara Guru kemudian menyukai seorang puteri keturunan manusia yang dikenal
dengan Putri Medang, ia menyuntingnya dan menjadikannya isteri simpanan. Suatu ketika
Batara Wisnu memeriksa wilayahnya hingga sampai ke daerah Medang dan bertemu

56
dengan seorang manusia yang ternyata Putri Medang, lalu ia jatuh cinta, maka konflik
antara bapak dan anak pun dimulai. Cerita yang menarik, dan manusiawi. 35
Jika digambarkan dalam tabel maka terlihat sebagai berikut:

Adam
Sis
Nurcahya
Nurrasa
Sang Hyang Wening
Sang Hyang Tunggal
Sang Hyang Guru (Batara Guru)
Batara Brahma
-
-
Batara Wisnu (Prabu Set)
-
Dewi Sri

Tabel : Silsilah Raja-raja Jawa dalam Babad Tanah Jawa versi Olthof.

Hal ini menimbulkan pertanyaan menarik keterkaitan antara mitos dewa-dewi,


batara-batari, cerita pewayangan, cerita Salakanagara -dalam naskah laporan Pangeran
Wangsakerta-, dimana terdapat suatu masyarakat di era Saka tersebut yang menganut
kepercayaan dan memuja roh (pitarapuja) yang tidak lain merujuk pada istilah Sang
Hyang. Dalam kasus lain, istilah Hyang merujuk hanya pada satu pihak yaitu Sang Hyang
Tunggal, atau Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Mencipta. Kemudian dalam agama
Sunda Wiwitan, dipercaya bahwa kesempurnaan sukma adalah bertemu dengan Sang
Hyang Tunggal (Ali Fadillah dalam Joseph Iskandar, 2001 ).
Di Barat ditemukan pula mitos dewa-dewi, misalnya dalam cerita tertulis dari Plato
berjudul Timaeus yang ditulis pada sekitar 360 SM, cerita itu berisi tentang konsep filsafat
dan pemikiran plato yang dituangkannya dalam bentuk percakapan tokoh bernama Timeaus
dengan Critias. Demikian pula dalam naskah-naskah Yunani lainnya, sarat dengan cerita
dewa-dewi, sebagaimana terdapat pula di kebudayaan India, Cina, Jepang, dan tentu saja
Indonesia.
Mitologi ini yang menarik untuk dikupas mengingat banyaknya faktor kesamaan,
selain itu, diduga kuat terdapat suatu rahasia atau misteri yang seolah-olah hendak
disampaikan oleh cerita-cerita yang dikunci oleh simbol-simbol mitos itu. Tetapi tentu saja
akan kita temui pula bahwa mitos-mitos tersebut ada sedikit perbedaan dari tiap-tiap
kebudayaan, perbedaan tersebut diperkirakan sebagai akibat adanya interaksi antar bangsa
dan pengaruh perbedaan bahasa dan perspektif, terjadi adaptasi dan akulturasi sehingga
terjadi perbedaan cerita, yang meskipun sudah pasti ada satu kegelisahan yang sama untuk
disampaikan pada setiap bangsa.

35
W.L. Olthof, Babad Tanah Jawa (Silsilah dari Adam sampai tahun 1647) termasuk nukilan sejarah Cirebon,
terjemah H.R. Sumarsono, 2007, halaman 9.

57
Sebagai contoh dari perbedaan budaya itu misalnya, orang Srilanka percaya bahwa
mereka keturunan Hanoman, tetapi ketika Hanoman digambarkan sebagai seekor kera putih
dalam pertunjukan wayang, maka orang Srilangka tidak suka dan menganggap cerita itu
salah. Demikian pula cerita tentang Rahwana yang berbentuk raksasa bertaring
dipertunjukkan di Thailand, maka orang Thailand pun marah karena mereka percaya
sebagai keturunan Rahwana. Tetapi dari sini dapat ditarik satu kesimpulan bahwa negara-
negara di daratan Asia memiliki mitos yang sama, tokoh Rahwana, Hanoman, dan
sebagainya. 36
Di Malingping Kab. Lebak Banten ada suatu mitos tentang gamelan, yang hingga
sekarang gong secara fisik tidak dapat ditemukan, tetapi diduga gong tersebut berada di
dalam sebuah gua yang pintu masuknya ditutup oleh air terjun (curug) yang disebut Curug
Kebo, demikian sebagaimana dituturkan oleh Nedi Riwog warga Malingping yang tinggal
di kampung dekat Curug Kebo, menurutnya amat banyak cerita terkait dengan Curug
Kebo. Orang yang masuk ke dalam gua Curug Kebo tidak pernah kembali lagi, dan
dipercaya didalamnya ada tempat penyimpanan gamelan. Konon, apabila gamelan tersebut
terdengar berbunyi, maka pertanda akan adanya suatu kerusuhan besar. Menurut Yadi
Ahyadi, berdasarkan informasi dari salah seorang warga, mengatakan bahwa gong tersebut
pernah berbunyi pada tahun 1926 bertepatan menjelang terjadinya pemberontakan
Komunis.
Lain halnya dengan Situs Batu Goong di Citaman, situs tersebut berbunyi hanya
pada setiap 15 Rabiul Awal. Memang tidak dapat dipercaya secara langsung, karena cerita,
dongeng, merupakan fiksi. Namun dalam beberapa hal akan menjadi pertanyaan menarik
untuk diteliti ketika cerita-cerita tersebut terbukti secara nyata, bahwa ada keterkaitan
antara mitos dengan kenyataan, atau seperti suara gong di Curug Kebo jika dapat didengar
oleh seluruh penduduk sekitarnya. Keraguan yang ada disebabkan oleh adanya tambahan
berupa peristiwa yang diluar logika, atau adanya tokoh yang bukan dari dunia nyata.
Pada kasus ini seharusnya berbagai dongeng atau mitos itu tidak dipandang secara
sederhana, melainkan secara analogi, atau pendekatan simbolis. Lagi pula, pemunculan
mitos dapat diasumsikan sebagai catatan atau dokumentasi dari masa lalu ketika peradaban
belum memiliki budaya tulis/aksara, maka berbagai peristiwa penting diabadikan melalui
cerita lisan.
Secara sibolis, seperti kasus cerita Batara Guru atau Sang Hyang Guru dikatakan
sebagai Dewa, dimana dewa secara kedudukan kesemestaan ia bukanlah manusia, tentu
memiliki sifat yang jauh lebih unggul dari manusia. Tetapi dalam kasus ini, Dewa/Dewi
yang banyak jumlahnya itu, masing-masing memiliki tugas yang spesifik, dan memiliki
sifat-sifat manusia juga, misalnya hawa nafsu. Dalam cerita tersebut Batara Guru kawin
“sirri” dengan Putri Medang sehingga Batara Wisnu tidak tahu kalau Putri Medang adalah
ibu tirinya, kemudan ia mencintainya dan ingin mempersuntingnya. 37 Hal ini akan
membingungkan dalam membedakan sifat-sifat dewa, apakah ia bersifat malakut, atau
sama saja dengan manusia?
Dari sini dapat diasumsikan bahwa bisa saja yang dimaksud dengan tokoh Batara
Guru adalah manusia biasa tetapi oleh karena kekhusyukannya dalam menjalankan
kepercayaannya sehingga ia memiliki sifat-sifat mulia layaknya Dewa. Dari sini pula dapat

36
Hasil diskusi dengan Dalang Ki Kamanjaya di Panancangan Serang pada bulan Juni 2010.
37
Dalam cerita pewayangan tedapat banyak versi, baik dipandang dari sudut letak geografis cerita, maupun karena
pengaruh budaya dan agama-agama yang datang kemudian.

58
disimpulkan, bahwa kemungkinan besar tokoh tersebut adalah seorang pemuka masyarakat,
bisa sebagai seorang raja, kepala kampung, penghulu, pemangku adat, atau semacamnya.
Telah banyak difahami pula bahwa raja-raja sejak masa Salakanagara, Jawa Tengah, Jawa
Timur, hingga kembali ke Cirebon, banyak yang menggunakan gelar Batara, Sang Hyang,
dan semacamnya.
Adapun waktu terjadinya peristiwa pembuatan gamelan pertama tersebut yaitu pada
era Saka.38 Hal ini berarti bahwa cerita tersebut menunjukkan pada kita terjadi pada abad
pertama Masehi. Sedangkan tempat peristiwanya di pulau Jawa. Maka dalam hal ini,
penelusuran asal usul Gamelan kita dibawa pada abad ke-1 Masehi dimana era Saka di
mulai, yaitu tepatnya sejak 78 M. Siapakah tokoh di pulau Jawa pada masa itu? Apakah
pada masa itu baru dimulai pembuatan Gong, atau memang sudah ada jauh sebelum itu?

3. Salakanagara
Pembahasan mengenai keberadaan Salakanagara sebenarnya masih belum tuntas,
sebagian sejarawan dan arkeolog tidak mempercayai kebenaran naskah Wangsakerta yang
menceritakan kerajaan Salakanagara dan Aki Tirem. Namun Penulis merasa perlu untuk
menyampaikan cerita Salakanagara untuk dijadikan pertimbangan di penelitian selanjutnya
dikarenakan Salakanagara terkait dengan Aki Tirem telah lama hidup dalam motos dan
cerita rakyat di masyarakat Banten, dengan merujuk bahwa cerita rakyat yang lisan tersebut
juga adalah dokumentasi atas peristiwa yang telah terjadi pada masa dimana belum terdapat
budaya tulis menulis, atau memang sengaja tidak ditulis. Maka bicara peradaban tentu
bicara segala hal yang menyangkut di dalamnya.
Dimulai dari konteks bahwa peradaban terbangun karena telah adanya masyarakat,
yang dimulai dari beberapa kepala keluarga yang hidup bersama di suatu tempat,
kehidupan bersama membutuhkan aturan agar tidak terjadi perbenturan kepentingan, oleh
karena itu suatu peradaban dengan sendirinya akan membuat berbagai produk baik fisik
maupun non fisik dalam rangka melengkapi tatanan kehidupan bermasyarkat sehingga
terbangunlah masyarakat berikut peradaban dan kebudayaannya.
Demikian halnya menurut Joseph Iskandar, bahwa di pulau Jawa telah muncul
peradaban sejak 1.600 tahun sebelum Saka. Memang dikatakan bahwa ada penduduk asli
pulau Jawa, tetapi penduduk asli tersebut merupakan penduduk yang datang pertama kali
dari daerah utara Nusantara, mereka merupakan penduduk yang bodoh dan pemalu, dan
pakaian mereka hanya terbuat dari kulit kayu, perkakas dan senjata hanya terbuat dari kayu,
batu dan tulang. sedangkan orang-orang pandainya dari para pendatang. Kedatangan
penduduk baru ini terdiri dari dua gelombang besar, yang pertama dan yang kedua, tentang
kedatangan pertama tidak dijelaskan secara rinci, tetapi pada kedatangan yang kedua yaitu
dari negeri Yawana dan negeri Syanka, mereka disebut juga manusia purba pertengahan.
Para pendatang tersebut, baik dari gelombang pertama maupun kedua, telah memiliki
pengetahuan yang beragam.
Mereka mampu membuat senjata dan perkakas dari besi, emas, perak. Membuat
pakaian dan perhiasan yang indah seperti manik-manik, kristal dan kendaraan (perahu yang
indah), pengetahuan memanah, obat-obatan, menanam padi, ilmu perbintangan, menghias
perkakas dan senjata dengan ukiran, membuat rumah besar, membuat api dengan pemantik

38
Istilah Era Saka merujuk masa penobatan Raja Saka dan dokumentasi hukum Saka. Setelah melalui perdebatan
panjang, maka para sarjana bersepakat bahwa era Saka dimulai pada tahun 78 Masehi (Ajay Mitra Shastri: Indian
Journal of History of Science, 31/1/1996, halaman 1).

59
batu dan besi, “membuat tabuh-tabuhan untuk menari”, tatanan laku baik dan buruk di
dusun, tutur kata, memberlakukan alat tukar, pengetahuan tentang gerhana, gempa bumi,
ukuran, kuliner, menghitung hari dan musim yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan,
rempah-rempah, gunung, laut. Mereka juga sudah mahir berbisnis jasa maupun
perdagangan. Demikian keterangan dari seorang sastrawan (mahakawi) dari panitia
Wangsakerta sebagaimana dikutip oleh Joseph Iskandar (2001:37-38).
Sesuai dengan keterangan di atas, maka kebudayaan telah muncul di pulau Jawa,
kehidupan beserta segala unsur pendukungnya telah tercipta, diantaranya adalah seni.
Bahwa seni ukir, seni musik dan seni tari telah menjadi aktifitas pula jauh sebelum era
Saka (78 Masehi). Penggunaan seni musik berupa tetabuhan memang tidak disebutkan
secara rinci, tetapi dari sini dapat diasumsikan soal tetabuhan tersebut jika dipandang dari
segi bahan, maka ada beberapa macam, pertama dari bahan kayu atau bambu, bisa
dicontohkan berupa kentongan, angklung atau calung, atau kendang dengan tambahan
berbahan kulit, sedangkan yang berbahan besi atau logam bisa berupa gong dengan
berbagai ukuran (kempul, bonang), saron, selenthem, dan sebagainya.
Sistem kepercayaan masa itu diketahui bersistem animisme dan dinamisme, yaitu
kepercayaan kepada roh, ini sangat berkaitan dengan peribadatan menggunakan gamelan.
Maka sistem kemasyarakatan yang terbangun juga berdasarkan sistem kepercayaan yang
dianutnya. Struktur kemasyarakatan pun belum terbangun secara kompleks, saat sistem
kepemimpinan berdasarkan penghuni tertua, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat
hanya dipimpin oleh seorang tokoh penghulu.
Mengenai tokoh masyarakat di pulau Jawa bagian barat pada masa itu disebutkan
dalam naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara oleh Pangeran Wangsakerta
sebagaimana dikutip oleh Joseph Iskandar berbunyi sebagai berikut:

/ ha-
na pwa sang panghulu atha-
wa pangawasa mandala
pasisir jawa kulwan/
bang kulwan ika prama-
naran aki tire-
m athawa sang aki lu-
hurmulya ngaranira wa-
neh//

Artinya:
“Adapun seorang penguasa pesisir barat Jawa Barat sebelah barat, namanya
Aki Tirem atau sang Aki Luhur Mulya nama lainnya.”

Disebutkan pula mengenai dari manakah asal usul Aki Tirem melalui silsilah
dengan terjemahan sebagai berikut:

“Adapun Sang Aki Tirem, putera Ki Srengga namanya, Ki Srengga putera


Nyai Sariti Warawiri namanya, Nyai Sariti puteri Sang Aki Bajulpakel
namanya, Sang Aki Bajulpakel putera Sang Aki Dungkul namanya dari
Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan, kemudian berdiam di Jawa Barat

60
sebelah barat. Aki Dungkul putera Ki Pawang Sawer namanya, berdiam di
Swarnabhumi sebelah selatan. Ki Pawang Sawer putera Datuk Pawang Marga
namanya, berdiam di Swarnabhumi sebelah selatan. Datuk Pawang Marga
putera Ki Bagang namanya, berdiam di Swarnabhumi sebelah utara. Ki
Bagang putera Datuk Waling namanya yang berdiam di pulau Hujung
Mendini. Datung Waling putera Datuk Banda namanya, ia berdiam di dukuh
tepi sungai. Datuk Banda putera Nesan namanya, berdiam di wilayah
Langkasuka. Sedangkan nenek moyangnya dari Yawana sebelah barat.

Jika digambarkan dalam tabel silsilah, dan dihitung dari Nesan, maka Aki Tirem
merupakan putera dari generasinya yang ke-10.

1 Nesan
2 Datuk Banda
3 Datung Waling
4 Ki Bagang
5 Datuk Pawang Marga
6 Ki Pawang Sawer
7 Aki Dungkul
8 Aki Bajulpakel
9 Nyai Sariti Warawiri
10 Ki Srengga
11 Aki Tirem

Adapun Yawana diduga kuat terletak di propinsi Yunnan sekarang (China), dalam
“The Hammond Atlas” terbitan majalah TIME tahun 1980 (USA) bahwa di Yunnan
terdapat kota kecil bernama Yu-wan (Joseph Iskandar;2001:35-36). Jika demikian maka
dari sinilah nenek moyang orang pulau Jawa berasal.
Hal tersebut diatas menimbulkan asumsi bahwa naskah Pangeran Wangsakerta
seolah-olah menyatakan bahwa di Jawa tidak ada penduduk asli dan semuanya pendatang.
Ini berarti terlepas dari konteks asal-usul manusia berkaitan dengan bukti dan temuan
kerangka manusia di berbagai tempat di Jawa seperti di Mojokerto (homo Mojokertensis),
di Sangiran (Meganthropus Palaeojavanicus), dan di Trinil (Pithecanthropus erectus) yang
berangka tahun ratusan ribu tahun yang lalu.
Ini dapat dipahami karena pada setiap tulisan sejarah dibuat berdasarkan apa yang
mereka alami dan diketahui. Namun disisi lain, bahwa di propinsi Yunnan juga terdapat
daerah pertanian yang menggunakan sistem sengkedan atau terasering (sawah berundak)
seperti halnya di Indonesia khususnya Jawa dan Bali. Keberadaan sistem terasering
menunjukkan akulturasi kebudayaan yang dapat menggambarkan pengaruh dari kedua
belah pihak, yang juga menimbulkan pertanyaan “siapa mempengaruhi siapa?”.

61
Gambar : Peta Propinsi Yunnan.

Penyebaran penduduk hingga ke seluruh pulau di Nusantara selanjutnya diawali


dengan datangnya sejumlah penduduk dari negeri India, masih dalam naskah yang dibuat
oleh Pangeran Wangsakerta disebutkan sebagai berikut :

/Jwah
Tambaya ning prathama
Kawasa riking wus a
Kweh wwang bharata na-
Gari tekan jawadwi-
Pa mwang nusantara I bhum-
Mi nusantara//denira
Pramanaran dwipantara
Nung wreddhi prethiwi// pa
Ntaran ning sinarung teka-
n jawadwipa//hana n u-
oakriya wikirya/
hansing mawarah ma-
rahaken sanghyang a-
gama/hanasing lu-
putakensakeng bha-

62
ya kaparay jaya/ ya
thabhuten nagarini-
ra/ mwang moghande ni-
kang agong panigit ring
nusa-nusai I bhuminusantara//a

Artinya:
Kelak, mulai awal pertama tahun Saka disini telah banyak orang-orang negeri
Bharata (India) tiba di pulau Jawa dan pulau-pulau di bumi nusantara. Karena
nusantara dikenal sebagai tanah yang gembur. Diantara mereka yang tiba di
pulau Jawa, ada yang berdagang dan mengusahakanpelayanan, ada yang
mengajarkan Sang Hyang Agama (ajaran agama), ada yang menghindarkan
diri dari bahaya yang akan membinasakan dirinya, seperti yang telah terjadi di
negeri asalnya, yang menyebabkan mengungsi ke pulau-pulau di bumi
nusantara. (Joseph Iskandar, 2001:43)

Para pendatang dari negeri India itu dipimpin oleh Dewawarman, kemudian
Dewawarman bersahabatan dengan penduduk pribumi, pemimpin penduduk pribumi itu
ialah Aki Tirem, dari persahabatan Dewawarman dengan Aki Tirem terjadilah hubungan
perkawinan antara Dewawarman dengan Pohaci Larasati puteri dari Aki Tirem. Maka dari
sinilah dimulai kerajaan Salakanagara dengan Dewawarman I sebagai rajanya yang
bergelar Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara. Salakanagara sebagai kerajaan
pertama di Nusantara kemudian memiliki keturunan di berbagai tempat di Nusantara dan
mendirikan kerajaan-kerjaan lainnya hingga ke Banten.

A
B
Kerajaan

C
D
E
F
G
Abad 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
(Masehi)

A. Salakanagara B. Tarumanegara C. Kendan


D. Sunda dan Galuh E. Sumedang Larang F. Cirebon
G. Banten

Dengan tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan tersebut, maka sistem tata


kehidupan pun semakin berkembang dan kompleks, termasuk keberadaan alat musik
gamelan yang terkait langsung dengan kebiasaan-kebiasaan bangsawan dan raja-raja akan
wisata rohani yang bersifat transendental. Sistem kerajaan inilah yang kemudian membawa
gamelan hingga masa sekarang.
Tetapi, pembahasan akan adanya kerajaan Salakanagara masih terbuka, oleh karena
tidak semua orang menerima kebenaran naskah dari Pangeran Wangsakerta. Tentu hal ini

63
akan mempengaruhi kebenaran tentang asal mula alat musik pelog dan slendro pula,
dimana jenis musik tersebut hanya terdapat pada gamelan dan beberapa alat tradisional di
Nusantara. Keraguan terhadap naskah Pangeran Wangsakerta bukan disebabkan oleh data
yang tidak cukup, melainkan karena data yang terlalu lengkap, baik tahun, nama tokoh,
maupun tempat kejadiannya. Bahwa kemungkinan keaslian naskah tersebut diragukan
karena kemiripannya dengan sistematika dan metodologi dokumentasi yang
dikembangakan ilmuwan Barat. Artinya, orang yang tidak percaya menyatakan bahwa
naskah ini dibuat pada abad 19.
Sesungguhnya ini dapat diasumsikan bahwa mereka yang tidak percaya itu
menganggap bahwa di nusantara saat itu belum ada ilmuwan yang sehebat ilmuwan-
ilmuwan Barat. Demikian pula dari segi arkeologi bahwa baik arca maupun prasasti tertua
hanya berumur 4 sampai dengan 9 Masehi. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa
orang Timur tidak percaya pada diri sendiri, dan lebih menganggap orang Barat unggul
dibandingkan orang Timur. Pemikiran seperti Ini bisa disebut Barat-sentris. Meskipun
demikian, tidaklah semua hal dapat diterima begitu saja tanpa sikap kritis dan melakukan
cross-check.
Dalam catatan para ahli menunjukkan adanya aktifitas di pulau Jawa pada masa itu.
Misalnya catatan N.J. Krom dalam buku Het Hindoe Tijdperk (1938:121) sebagaimana
dikutip oleh Atja dan Edi S Ekadjati, menyatakan sebagai berikut:

“Suatu berita Tionghoa yang bertanggal seksama dari tahun 132 sesudah
Masehi menjadi samar pula, oleh karena tidak dapat ditafsirkan dengan pasti.
Dalam tahun itu tersebutlah raja Ye-Tiao yang bernama Pien dan
mengirimkan utusan ke Tiongkok dan raja Tiao-Pein tersebut memperoleh
hadiah kehormatan. Dalam nama tanah itu dapatlah dikenal Yawadwipa
(Pulau Jawa), yang mana akan berarti bahwa di waktu itu pula telah disebut
pada nama sanskertanya oleh orang Tionghoa. Memang mungkin sekali,
seperti akan ternyata nanti bahwa pulau itu pada waktu itu telah memakai
nama yang diberikan oleh orang Hindu. Jauh lebih lemah tafsiran nama raja
itu dengan Dewawarman, yang bukan saja berarti bahwa nama raja inikah
kiranya yang tertua yang kita kenal di Nusantara, tetapi juga akan
menerangkan bahwa proses penghinduan telah dimulai pada waktu itu, baik
oleh karena seorang Hindu telah datang menetap dan menjadikan dirinya raja,
maupun seorang raja Nusantara telah mengambil nama Hindu tersebut.”

Catatan lainnya seperti yang dikutip oleh Joseph Iskandar, bahwa beberapa sarjana
telah mencatat peristiwa duta Ye-Tiao ke Cina sebagaimana disebut dalam Hou Han Shu.
Diantaranya adalah Wolter (1967:258) yang mengutip dari Pelliot (1904:266-69) yang
menyatakan bahwa Ye Tiao adalah catatan pertama tentang “Jawa” yang menyimpulkan
bahwa saat itulah hubungan Cina-Indonesia paling tua di abad kedua Masehi. Ditambahkan
oleh Stein (1974:136-12), bahwa Ye-Tiao terletak di perbatasan barat daya Cina. Tetapi
Demieville menyatakan bahwa Ye-Tiao adalah bentuk lain dari Ssu-Tiao yang berarti
Ceylon atau Singhala di India Utara. Kemudian N.J. Krom melanjutkan bahwa raja Ye-
Tiao yang bernama Pien meminjamkan materai emas dan pita ungu kepada maharaja Tiao
Pien. Menurut Dugaan Sarjana Peancis G. Ferrand, Ye-Tiao dapat disesuaikan dengan
Yawadwipa.

64
Tiao Pien merupakan lafal Cina dari nama Sanskerta yang berarti Dewawarman.
Kemudian D.G.E. Hall mengemukakan bahwa laporan orang-orang Cina berikutnya, tahun
132 Masehi mungkin ada artinya dalam hubungan ini, seandainya interpretasi yang agak
kurang pasti dari nama-nama yang disebut mempunyai nilai. Disebut upacara penerimaan
oleh Kaisar Han39 untuk suatu perutusan yang membawa hadiah kehormatan dari seorang
raja Ye-Tiao bernama Tiao Pien. Apakah Ye Tiao merupakan nama terjemahan ke dalam
bahasa Cina dari istilah sanskerta Jawadwipa, pulau jawa, dan apakah nama raja itu sama
dengan Dewawarman dalam bahasa Sanskerta?.
Claudius Ptolomy atau ptolemeus dari Alexandria (Mesir) telah membuat catatan
pada awal abad 1 Masehi, dan tentu saja ia menggunakan sumber yang lebih terdahulu,
pada bukunya Geographia menunjukkan detail Asia Tenggara, disana digambarkan negeri
Perak dan negeri Emas dekat kota-kota di Semenanjung Emas (Chryse Chersonesus).
Diantara pulau-pulau itu disebut “Barousai Lama” yang dihuni oleh para pemakan daging
manusia, demikian juga di “Sabadeibai Tiga” dan ”Yabadiou” atau “Sabadiou” yang
berarti Negeri Jelai yang amat subur dan memiliki banyak Emas, ibukotanya di ujung
sebelah baratnya, sebuah kota dagang bernama Argyre atau kota Perak. Demikian
sebagaimana dikutip juga oleh Sartono Kartodirjo dalam bukunya Sejarah Nasional
Indonesia II.

39
Kaisar Han merupakan salah satu raja dari Dinasti Han, berkuasa antara 206 SM–220 M

65
Gambar: Propinsi Yunnan merupakan daerah pertanian, terlihat area pesawahan dengan sistem
terasering/sengkedan seperti yang terdapat di Indonesia (Foto: “Countryside of Yunnan”, Graf
Cagliostro, Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported, 17:26, 19 February 2005 )

Pada umumnya para ilmuwan merujuk catatan Caludius Ptolemeus sebagai catatan
yang cermat mengenai peta hubungan perdagangan dengan Asia Tenggara, ditambah lagi
dengan temuan keramik Cina di pantai utara Jawa barat. Demikian pula Sartono Kartodirjo
berasumsi bahwa yang dimaksud Ptolemeus tentang kota Argyre adalah kota Perak yang
sekarang dikenal dengan Merak di ujung Jawa bagian Barat. Sedangkan Claude Guillot
menyatakan bahwa Ibukota Salakanagara terletak di Rajatapura, Teluk Lada, Pandeglang.
Meski demikian dapatlah dikatakan bahwa memang ada kerajaan Salakanagara
sebagaimana terbukti secara tekstual (naskah), baik dalam naskah Wangsakerta maupun
berita dari berbagai negeri yang sezamannya.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa membicarakan asal usul musik
pelog dan slendro adalah sama saja dengan membicarakan gamelan, dan berbicara gamelan
tentu saja merujuk kepada Gong sebagai nama alat musik yang tertua sebagaimana disebut
dalam mitos penduduk pulau Jawa. Baik secara mitos maupun teks telah dipaparkan diatas,
kesimpulan pertama, bahwa di Era Saka telah ada gong.

4. Artefak
Dari segi fisik, bukti akurat mengenai adanya gamelan terdapat di relief candi
Borobudur, meski bukti ini dianggap cukup muda, yaitu sekitar abad ke-8 M dibandingkan
dengan situs Sang Hyang Dengdek yang tidak dapat menggambarkan alat musik apapun.
Tetapi informasi sementara menyatakan bahwa Gong tertua konon terdapat di Banten
(Ajip Rosidi, 2000:52). Relief borobudur cukup memberikan gambaran sejarah gamelan.
Dari sekian banyak relief yang menampilkan alat musik tradisional, diantaranya pada
deretan ke satu dari Relief Lalitawistara terdapat saron. Pada relief Jataka Awadana
(deretan keempat) terdapat siter bar, kendang dan simbal besar, calung, bell, gambang,
terompet, suling, rebab, sitar dan sebagainya. Ini menggambarkan bahwa aktifitas musik
ensambel tradisional yang tidak lain adalah gamelan, sudah semarak pada masa itu. Dari
relief Borobudur secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa musik di Jawa kuno dapat
dibagi menjadi kelompok membranphone (Alat musik menggunakan bahan kulit),
chordophone (alat musik dengan busur atau dawai), idiophone (alat musik terbuat dari
benda padat/logam) Aerophone (alat tiup).40
Selanjutnya Timbul Haryono menyatakan dalam makalahnya bahwa; Informasi
yang menarik yang diperoleh dari relief adalah bahwa ada dua kelas masyarakat seniman,
yaitu seniman dari kalangan atas dan seniman (bangsawan) dari kalangan bawah (rakyat
biasa), hal ini tampak jelas oleh lukisan pada relief candi Borobudur. Instrumen musik yang
selalu khas digambarkan dalam konteksnya dengan masyarakat bangsawan adalah siter,
kecapi, dan harpa. Instrumen-instrumen tersebut jarang sekali dilukiskan dalam konteksnya
dengan masyarakat bawah. Pada seni pertunjukan yang dilaksanakan oleh rakyat bawah,
instrumen musik yang digunakan pada umumnya sejenis kendang dan simbal (perkusi).

40
Timbul Haryono. Sejarah Seni Pertunjukan dalam Perspektif Arkeologi. Makalah , disampaikan pada diskusi
sejarah dengan tema sejarah seni pertunjukan dan pembangunan bangsa, diselenggarakan oleh balai kajian sejarah
dan nilai tradisional Yogyakarta, 17-18 Mei 2006.

66
Demikian pula dengan seni tari, diketahui ada jenis tarian tunggal dan ada pula
tarian berpasangan. Tarian dilakukan oleh penari pria mau pun penari wanita. Menurut
hasil penelitian Edi Sedyawati (1985:3-11) ternyata kaidah-kaidah tari klasik Hindu (di
India) sudah benar -benar dikenal di Jawa Tengah sejak abad 8-10 M. Melihat konteksnya
tari-tarian pada relief candi Jawa Tengah yang sesuai dengan kaidah tari India Klasik
digambarkan selalu dalam hubungan dengan lingkungan orang bangsawan atau orang
berada. Sebaliknya, dikalangan rakyat banyak, digambarkan tari-tarian yang tidak
mengikuti tari India klasik.(Timbul Haryono, 2006:23-24).
Timbul Haryono dalam makalahnya memang tidak mengatakan secara khusus
tentang gamelan, karena ia membicarakan seni pertunjukan secara umum, serta berada
dalam koridor arkeologi. Namun dari beberapa alat musik yang digambarkan dalam relief
Borobudur, jika dikumpulkan beberapa kelompok seperti yang terdapat dalam satu set
gamelan, maka semua telah lengkap sebagai gamelan.

Gambar : Ilustrasi pertunjukan musik pada relief Borobudur


(http://www.wikipedia.com/musician borobudur.jpg)

Dalam Ensiklopedi Sunda disebutkan bahwa Goong Gede dan Goong Kolot (Gong
tua) ada di Banten. 41 Memang tidak disebutkan di Banten bagian mana dan di rumah siapa
gong itu tersimpan. Untuk membuka titik terang bagi pernyataan itu secara arkeologi, maka
kita akan membahas situs-situs yang berkaitan dengan hal tersebut.

41
Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda (Alam, Manusia dan Budaya, termasuk Cirebon dan Betawi), Pustaka Jaya, 2000,
halmana 52.

67
Adapun Situs tua di wilayah Banten terdapat di beberapa tempat diantaranya di
Kabupaten Pandeglang hingga ke selatan wilayah Banten. Di Gunung Pulosari Pandeglang
terdapat menhir yang dinamai oleh masyarakat setempat sebagai Sang Hyang Dengdek dan
Sang Hyang Heuleut, berlokasi di Kecamata Cisata Kab. Pandeglang. Menurut masyarakat
setempat menhir tersebut merupakan lambang nenek moyang mereka. Masih menurut
masyarakat, kedua menhir tersebut, Sang Hyang Dengdek dan Sang Hyang Heuleut konon
merupakan sepasang suami-isteri. Arca ini seperti yang dikutip oleh Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Serang, menurut Claude Guillot (1994) bahwa Sang Hyang
Dengdek adalah arca primitive tipe polinesia yang menyandang nama ‘Dewa’ yang dipuja.
Arca ini didirikan diatas timbunan tanah yang ditimbun lagi dengan batu-batu kali. Karena
arca ini secara alami agak membungkuk maka orang memberi namanya “si bungkuk yang
terpuja “ (Claude Guillot, 1994:100). Sayangnya sampai saat ini penulis tidak berhasil
menemukan informasi hasil penelitian dating carbon terhadap arca di situs tersebut, jika
hal ini ditemukan maka akan lebih jelas dari abad keberapakah arca ini berasal. Ini akan
membuka jalan terkait dengan bukti tekstual -seperti naskah wangsakerta-, dengan bukti
fisik yang menunjukkan aktifitas di tempat dan waktu keberadaan Aki Tirem.

Gambar: Kolam megalitikum Citaman, kolam pensucian bagi pembuat goong.(sumber dok.
Pribadi Purwo R dan Y Ahyadi, 27 Maret 2011.)

Lebih dari itu, aktifitas kehidupan seperti yang diceritakan itu tentu aktifitas yang
kompleks, beraneka ragam, termasuk aktifitas kesenian dan peribadatan. Aktifitas peribadatan
kerap menjadi keterangan penting dalam menjelaskan arca atau artefak lainnya. Seperti
halnya di Citaman, selain terdapat kolam pemandian, juga terdapat situs Batu Goong,
Terletak tidak jauh dari situs Sanghyang Dengdek ke sebelah barat di desa Sukasari
Kecamatan Menes, kabupaten pandeglang. Batu goong adalah sebuah situs dimana menhir

68
sebagai pusatnya dikelilingi oleh batu-batu yang berbentuk gamelan atau gong, dan batu
pelinggih dalam formasi batu gamelan (Fadillah, 2002).

Gambar : Situs batu Goong (Gong), di Desa Sukasari Kecamatan Menes, Kabupaten
Pandeglang.(BP3S)

Situs Batu Goong terletak diatas bukit tidak jauh dari kolam pemandian Citaman.
Situs Batu Goong ini terdapat diatas Bukit Kadu Guling. Konon dari cerita masyarakat
mengatakan bahwa pada hari tertentu di bulan Rabiul Awal, batu goong ini mengeluarkan
bunyi-bunyian seperti suara gamelan yang terdengar hingga satu desa setempat.42 Tetapi
informasi terbaru menurut wawancara Yadi Ahyadi dengan Sofiyan (30) kuncen batu
goong pada bulan Maret 2011, sering terdengar gamelan pada hari Jum’at menjelang shalat
Jum’at. Ketiga situs ini membentuk garis segitiga, mulai dari kali kecil, kemudian kolam
citaman, dan situs batu goong. Diduga, situs batu goong awalnya tempat pembuatan
gamelan, dimana dilakukan ritual tapa bagi pembuatnya di dalam gua di sekitar kali kecil.
Di dalam gua tersebut terdapat batu patapaan yang berbentuk datar dan terdapat bekas kaki
dan bokong orang bertapa, demikian menurut keterangan Sofiyan. Sebelum dan sesudah
bertapa, pawang gamelan tersebut mandi di kolam citaman, baru kemudian membuat
42
Laporan Yadi Ahyadi atas keterangan Ahmad Wahyudin pada 2007.

69
gamelan. Ritual tapa merupakan ritual pemurnian jiwa dan membantu membangun rasa
untuk menghasilkan suara gamelan yang merdu. Kemungkinan besar apa yang dikatakan
Ajip Rosidi tentang gong tertua berada di Banten berasal dari tempat ini.

Gambar: Sungai kecil dimana terdapat gua patapaan yang di dalamnya terdapat bekas
orang duduk sila di batu patapaan (Sumber: dok pribadi Purwo.R dan Ahyadi, 27
Maret 2011).

Mengenai usia batu Goong tersebut belum diketahui secara pasti karena
kemungkinan belum dilakukan uji karbon, namun melihat sebaran situs semacam itu
terdapat di berbagai tempat di pandeglang dan wilayah Banten selatan. Ini berbeda dengan
arca Hindu-Budha yang telah disimpan di Museum Pusat sebagaimana laporan Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang pada tahun 2007. Diperkirakan situs-situs
Megalitik tersebut berkaitan dengan masa megalitikum (mega=besar, lithos=batu, batu
besar). Jika merujuk pada era Megalitikum, maka berada pada rentang waktu 8000–550
SM.
Di Asia khususnya Korea terdapat banyak bangunan megalitikum yang
diperkirakan dibuat pada 1500 – 850 SM. Bangunan ini serupa dengan bangunan megalit
yang terdapat di Cina, Jepang, dan Indonesia.43 Dari seluruh lokasi tersebut, diperkirakan
terdapat 15.000 hingga 100.000 situs yang serupa. Bangunan-megalit ini terkait dengan
peradaban manusia masa itu berfungsi sebagai :

1. Tanda batas teritorial,


2. Monumen suatu peristiwa, atau,
3. Sesuatu yang berkaitan dengan agama/kepercayaan (kuburan tokoh, dan tempat
pemujaan).44

43
Goindol (Megalith) in Hanguk Gogohak Sajeon (Dictionary of Korean Archaeology), National Research Institute
of Cultural Heritage (ed.) NRICH, Seoul. halaman. 72-75
44
d'Alviella, 1892, Goblet, halaman 22-23.

70
Sebagai gambaran umum tentang masa megalitikum dapat diperhatikan pada tabel
berikut, dimana angka tahun merupakan perkiraan berdasarkan obyek bangunan
megalitikum yang dibuat pada masa itu.

PERIODISASI MASA MEGALITIKUM


1. Periode Mesolitik
Pada penggalian monumen megailitikum (di Inggris, Irlandia, Skandinavia, dan
Prancis) membuktikan bahwa terdapat aktifitas ritual, dan beberapa situs disertai
unsur arsitektur dari mesolitik, dari sini dapat menunjukkan data tertua dari
monumen Neolitik
8000 SM Stonehenge (Inggris)
5400 SM Carrowmore (Irlandia)
2. Periode Neolitik
5000 SM Evora (Portugal), Atlantik periode neolitik, Budaya agraris
4800 SM (Eropa)
4000 SM Bangunan Barnenez (Inggris) dan Poitou (Bougon).
Bangunan Carnac (Brittania), Portugal (Lisbon), Prancis
3700 SM (Prancis tengah dan selatan), Korsika, Inggris dan Wales.
3600 SM Bangunan di Irlandia (Knockiveagh dandi tempat lainnya).
Bangunan di Inggris (Maumbury Rings dan Godmanchester),
3500 SM dan Malta (Ġgantija dan kuil Mnajdra).
Bangunan di Spanyol (Malaga dan Guadiana), Irlandia (di barat
daya), Prancis (Arles dan the north), Sardinia, Cicilia, Malta
(dan di semua tempat di Mediterania), Belgia (di timur laut)
3400 SM Jerman (tengah dan barat daya).
Bangunan di Irlandia (Newgrange), Belanda (timur laut),
3200 SM Swedia dan Denmark.
3000 SM Bangunan di Malta (Ħaġar Qim dan Tarxien).
Bangunan di Pranis (Saumur, Dordogne, Languedoc, Biscay,
2800 SM dan di pantai Mediterania), Spanyol (Los Millares), Sicilia,
Belgia (Ardennes), dan Orkney, dan batu susun pertama
(lingkaran) di Inggris.
Klimaks megalit Budaya Corong di Denmark, dan bangunan
stonehenge.

3. Periode Kalkolitik
2500 SM Bangunan di Inggris (Le Menec, Kermario dan ditempat
lainnya), Italia (Otranto), Sardinia, dan Skotlandia (utara),
puncak masa megalitik di tandai dengan budaya gelas. Di
2400 SM Iberia, Jerman, Inggris (Stonehenge). Dengan budaya gelas,
periode Neolitik selesai dan dimulailah periode Kalkolitik,
yaitu zaman logam jenis tembaga.

Budaya gelas berkembang luas di Britania, dan ribuan batu


bulat banyak dibuat di Inggris Isles.

71
4. Periode (Zaman) Perunggu
2000 SM Bangunan di Inggris (Er Grah), Italia (Bari), Sardinia (di utara),
dan Skotlandia (Callanish). Periode Kalkolitik berakhir dan
dimulai periode Perunggu di Barat dan Eropa.
1800 SM Bangunan di Italia (Giovinazzo).
1500 SM Bangunan di Portugal (Alter Pedroso dan Mourela).
1400 SM Kuburan “Egtved Girl” di Denmark, tubuh manusia yang
pertama dikubur secara baik.
1200 SM Sisa terakhir tradisi megalitik di Mediterania dan di beberapa
tempat lainnya.

Tabel diatas merupakan intisari dari berbagai sumber diantaranya dari G. E. Daniel,
dalam “The megalith builders of Western Europe” (1963), kemudian Mark Patton, dalam
“Statements in Stone: monuments and society in Neolithic Brittany” (1993).

Jika diperhatikan, keberadaan bangunan-bangunan megalitikum tersebut dibuat di


era Sebelum Masehi, dan didalam era tersebut, juga ditemukan logam. Dalam catatan lain
dinyatakan bahwa pada 6.000 tahun sebelum masehi ternyata telah ditemukan emas,
bahkan sejak periode ini telah digunakan teknologi peleburan emas, namun selanjutnya
oleh karena emas terlalu lunak, orang-orang kemudian beralih ke tembaga (copper) setelah
ditemukan, jika digabungkan data tersebut, maka dari sinilah periode Kalkolitik dimulai.
Selanjutnya ditemukan timah yang dibuat campuran dengan tembaga sehingga menjadi
perunggu, masa ini masuk pada Periode Perunggu (Bronze Age). Dalam catatan lain,
periode perunggu dimula pada 3800 SM. Baru kemudian ditemukan Besi (Iron). Selain itu,
di Indonesia telah ditemukan sejenis alat cor logam di sekitar Dago Bandung yang menurut
penelitian van Bemmelen (peneliti Belanda) usianya telah mencapai 125.000 tahun. Hal itu
berarti sejak zaman prasejarah orang Sunda telah memiliki keterampilan teknologi logam
(alat tersebut kini tersimpan di Musium Geologi Bandung).45

PERIODE PERUNGGU
→ → → → → → → → → → → →
6000 SM 4200 SM 3800 SM 3200 SM 2500 SM 1500 SM
Emas Logam yang Ditemukan Orang dari Besi lebih penggunaa
ditemukan, lebih keras Timah, perkampungan banyak n besi
dan ditemukan, kemudian tradisional di diguanakan karena
teknologi yaitu dicampur Turki karena lebih lebih
peleburan Tembaga. dengan menemukan mudah efisien46
emas tembaga Besi dikerjakan,
dimulai menjadi perunggu
Perunggu menjadi
mahal.

45
Pikiran Rakyat, Sabtu, 14 Juni 2003
46
Leslie Aitcheson, 1960, A History of Metals. Volume 1, Interscience, New York, USA.

72
Sumber: Leslie Aitcheson, 1960, A History of Metals. Volume 1, Interscience, New
York, USA.

Jika merujuk pada era Perunggu, sedangkan dalam sejarahnya, Gong yang tertua
terbuat dari bahan perunggu, maka waktu pembuatan gong yang pertama bisa dikatakan
lebih tua umurnya dari yang diceritakan dalam mitos sebagaimana ditulis sebagai sejarah
gamelan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Jennifer Lindsay, bahwa Gong bukanlah
berasal dari kebudayaan Hindu-Budha, melainkan jauh sebelum itu.
Tentang bangunan-bangunan megalitikum di Banten terkait erat dengan mitos Aki
Tirem atau Aki Jangkung, yang dikenal juga sebagai Angling Darma. Bangunan
megalitikum itu diantaranya terdapat di situs Sang Hyang Dengdek dan Sang Hyang
Heuleut. Situs ini ditemukan disekitar lereng Gunung Pulosari daerah Pandeglang. Sang
Hyang Heuleut merupakan menhir yang ditemukan di Desa Sanghyang Dengdek
Kecamatan Cisata Kabupaten Pandeglang. Di dekat Sanghyang Heuleut terdapat arca
perwujudan nenek moyang yang disebut SangHyang Dengdek. Diperkuat dengan bentuk
Sanghyang Dengdek dengan bentuk kepala arca yang dibuat secara kasar, lengan dan
bentuk kelamin laki-laki yang terlihat tapi tidak begitu menonjol. Dan berdasarkan cerita
rakyat mengatakan ‘bahwa hampir disetiap malam jum’at dan malam selasa, arca nenek
moyang ini menampakan dengan wujud nenek-nenek dan kakek-kakek. Dapat diasumsikan
bahwa memang pada malam hari batu-batu tersebut berbentuk sosok orang karena suasana
gelap, seperti halnya orang melihat pohon pisang di malam hari yang mirip sosok manusia.
Diceritakan pula bahwa Sang Hyang Dengdek biasa disebut juga arca kesuksesan,
maksudnya adalah banyak orang yang juga mempercayai bahwa setelah kita ziarah dan
menggantikan kain yang digunakan sebagai pakaiannya, apa yang menjadi cita-cita kita
akan tercapai. Dan SangHyang Heuleut atau “Arca Ki Semar”, maksudnya adalah arca ini
menjadi simbol juga bagi siapa saja yang ingin terlihat menarik, maka hendaknya berziarah
terlebih dahulu ke Sanghyang Heuleut, lalu meminum air cipamor yang terletak di
Kadumeong. (BP3S, 2007:46).
Ini dapat menggambarkan bahwa kepercayaan kepada Sang Hyang merupakan
kepercayaan awal sejak masa megalitikum, artinya kepercayaan ini telah ada sebelum lahir
agama Hindu dan Budha. Dasar kepercayaan kepada Sang Hyang adalah mempercayai
bahwa semua benda mati dihuni oleh roh, demikian pula tumbuhan dan binatang.

73
Gambar: Batu Ranjang, diperkirakan sebagai kuburan leluhur atau tempat pemuajaan
kepada roh leluhur (BP3S, 2007:50).

Keberadaan situs menunjukkan keberadaan peradaban yang didalamnya terdapat aktifitas


pemujaan. Menurut Ali Fadillah, dipercaya bahwa roh nenek moyang merupakan perantara yang
menghubungkan generasi dahulu dengan sekarang, serta kepada dewa-dewa, dan oleh penduduk
lokal disebut Sang Hyang, yaitu sumber kekuatan spiritual yang memiliki kekuatan pada bumi,
tanah, dan air, tradisi ini pada setiap daerah memiliki masa awal yang berbeda-beda, tetapi
umumnya dimulai sejak 6000 – 2000 SM (Fadillah,2002:40).

74
Gambar : Gong Indonesia, terbuat dari perunggu (Foto: http://www.c4life.com).

Hal ini memperkuat akan asal mula Gong (gamelan), bahwa bisa saja Gong itu
dibuat memang pada Era Saka karena Perunggu memang sudah ada pada masa itu, tetapi
Era Saka merupakan era dimana Perunggu tidak lagi populer menjadi bahan untuk
membuat peralatan hidup, orang lebih memilih untuk menggunakan besi sejak 1500 SM.
Disisi lain, dalam era Hindu-Budha sebutan untuk para dewa lebih banyak menggunakan
istilah Batara ketimbang Sang Hyang, sedangkan mitos yang berkembang di seputar
gamelan bukanlah Batara Guru melainkan Sang Hyang Guru, ini menunjukkan bahwa
mitos itu lebih tua dibandingkan dengan Hindu-Budha itu sendiri. Meskipun demikian
sebagai simpulan awal berdasarkan kajian di atas, maka akan lebih membantu jika
memandang beberapa hal berikut tentang gamelan.

1. Catatan mengenai perunggu sudah ada sejak 3800 tahun SM, dan berdasarkan
Pendapat Jennifer Lindsay, diperkirakan Gong sudah ada sebelum masa
Hindu-Budha.
2. Gong (gamelan) tertua terbuat dari Perunggu sebagaimana ditengarai olehAjip
Rosidi.
3. Pada Era Saka orang lebih memilih untuk menggunakan Besi ketimbang
perunggu sebagai peralatan untuk berbagai keperluan hidup.
4. Dalam mitos disebutkan Sang Hyang Guru, sedangkan sebutan Batara Guru

75
muncul belakangan, dan kepercayaan kepada Sang Hyang sudah ada sejak
6000-2000 SM.

Memandang hal tersebut diatas, ada dugaan kuat bahwa manusia pada era jauh
Sebelum Masehi telah memiliki peradaban dan berkebudayaan tinggi. Jika pada 6000 tahun
SM orang-orang sudah mampu mengecor emas, maka pada era perunggu, keahlian
mengecor logam sudah semakin berkembang dan mengalami inovasi sehingga
dimungkinkan lebih mudah dalam pengerjaannya. Perunggu merupakan campuran dari
tembaga dan timah, tembaga selain dapat di cor, juga dapat dibentuk dengan cara ditempa.
Suatu benda yang di cor atau pun ditempa memerlukan cetakan, maka dalam hal ini
cetakan yang tahan panas dan mudah dibentuk adalah batu. Secara logika hal ini dapat
diterima, apalagi jika diperkuat dengan adanya suatu artefak. Maka semakin dekat
menentukan waktu dan tempat gong tersebut dibuat.
Adapun artefak yang dekat dengan logika tersebut diatas terdapat pada situs Batu
Sorban. Masyarakat menamainya Batu Sorban, mungkin oleh karena bentuknya mirip
dengan sorban yang diikatkan di kepala. Ukuran Batu Sorban berdiameter 30 cm, dan
ketebalan 10,5 cm. Penulis memandang bahwa bentuk batu tersebut juga mirip dengan
gong besar.

76
Gambar : Situs Batu Sorban, selain mirip sorban, juga mirip gong. Situs ini termasuk
dalam situs masa prasejarah. Ini berarti pula termasuk pada masa megalitikum.(Foto:
http://humaspdg.wordpress.com).

Di Kampung Cisata Desa Sanghyang Dengdek terdapat situs Batu Sorban, demikian
masyarakat sekitar menyebutnya, batu ini berdiameter 30 cm dan tebal 10.5 cm. situs ini
berjarak 39 Km dari kota Pandeglang 47. Sedangkan menurut informasi lisan dari Neli
Wahyudin, situs ini jauh elewati kawasan Cikoromoy, Pandeglang.48 Jika kita perhatikan
dan bandingkan situs Batu Sorban, ia tidak hanya mirip dengan sorban kiyai, tetapi juga
mirip dengan sebuah gong, bahkan lebih jauh lagi bisa dimaknai sebagai simbol
“mandala”. Situs ini, diduga dijadikan sarana pemujaan, tetapi penulis memandang bahwa
47
http://humaspdg.wordpress.com)
48
Wawancara dengan penulis pada 27 Desember 2011 di Museum Banten, Kasemen. Ia menyatakan sempat dikejar-
kejar oleh tokoh masyarakat sekitar lantara dikira pelaksana pekerjaan pembuatan jalan.

77
ini bisa juga dijadikan alat tempa untuk pembuatan gong, atau paling tidak sebagai sarana
ritual yang berkaitan dengan pembuatan gong/gamelan. Selain itu, situs seperti ini
merupakan situs tipe megalitikum, serta belum ada penanggalan-radiokarbon sehingga
belum diketahui umurnya secara hitungan tahun. Dengan demikian, berdasarkan
keberadaan situs megalitikum tersebut, maka diduga gong telah dibuat sejak masa
megalitikum, tepatnya pada periode perunggu (3800 SM) dimana gong yang pertama
dibuat dari perunggu. Secara fisik sampai saat ini belum ditemukan gong yang disebutkan
itu. Mungkin saja ini ada kecocokan sebagaimana dikatakan gong tua (goong kolot) ada di
Banten (Ajip Rosidi, 2000:52). Hal ini memperkuat dugaan bahwa Banten adalah tempat
mula-mula pemunculan peradaban.
Benarkan demikian? Apakah hanya sampai disini misteri terungkap? Bagaimana
jika ada bukti-bukti lain yang menyatakan dengan jelas, bahkan disertai informasi dating
karbon, kemudian menyatakan bahwa alat musik inilah yang tertua, yang ditemukan di
tempat lain, dan bukan di Banten?
Untuk memperkaya wacana dan bahan pertimbangan lainnya, bolehlah kita lihat di
negeri China, musik yang indah telah ada sejak Dinasti Zhou (1122 SM - 256 SM). Ada
sebuah legenda, “Ling Lun” memproduksi suara burung dengan bambu. Dikatakan bahwa
seorang pelajar bernama Ling Lun, suatu hari ia pergi jauh ke pegunungan di wilayah barat
China, kemudian ia memotong bambu sedemikian rupa sehingga menghasilkan nada yang
akurat, maka jadilah seruling yang menghasilkan 12 nada, hingga kemudian berdasarkan
suling Ling Lun inilah musik di negeri itu berakar.
Pada 22 September 1999 (Reuters, London.), para arkeolog berhasil mengangkat
artefak seruling sebanyak 30 buah, dan ternyata seruling tertua diperoleh dari China,
berusia 9000 tahun atau dibuat sekitar 7000 tahun sebelum masehi -lebih tua dari
gamelan?-, seruling ini dapat dibunyikan dan dimainkan.

78
Gambar: Beberapa seruling tua dari 30 suling yang berhasil digali, diperkirakan sudah berusia
9000 tahun (atau 7000 SM) (http://www.crystalinks.com/chinamusic.htm)

Seruling ini berukuran 8,6 inci dengan 7 lubang, terbuat dari materi tulang
burung bangau. Ketujuh seruling ini dan beberapa bagian seruling lainnya
ditemukan di situs arkeologi Jiahu, propinsi Henan, China.
Menurut Garman Harbottle dari Brookhaven National Laboratory bahwa
“ini adalah seruling-seruling tertua yang dapat dimainkan” katanya dari Upton
New York ketika diwawancarai melalui telepon. Serakan-serakan seruling lainnya
yang lebih tua ditemukan di Slovenia, yaitu berusia sekitar 45.000 tahun, namun
tidak dapat dimainkan. Dikatakannya lagi bahwa di era Neolitik, China telah
memiliki kehidupan desa dan bagian dari kota, yang telah luas kebudayaannya,
mereka telah mempunyai sistem pembagian tugas.

Seruling lainnya ada yang berlubang lima buah dan delapan buah, dapat
dimainkan, para peneliti mengkhawatirkan instrument tersebut rusak karena
usianya yang tua, dan untuk mengetahui nada, maka disarankan untuk membuat
replikanya (tiruan) tanpa membahayakan artefak.
Dapat disimpulkan, bahwa jauh sebelum zaman Salakanagara, bangsa
China telah memiliki peradaban yang maju, dengan kota dan musik yang indah.

79
Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya seruling tua berusia 9000 tahun. Lantas
apakah dengan kenyataan ini mengartikan bahwa seruling sebagai alat musik
tertua? Jika demikian dapatkah disimpulkan bahwa bangsa China adalah bangsa
tertua?
Konon nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunnan yang
sekarang menjadi salah satu propinsi di China. Ada kemungkinan bahwa migrasi
orang Yunnan ke Jawa disebabakan sering terjadinya gempa, demikian seperti
yang diceritakan oleh seorang Mahakawih yang dikutip oleh Joseph Iskandar dari
naskah Pangeran Wangsakerta. Tetapi apakah ada kemungkinan lainnya? Adakah
mitos yang mengatakan bahwa nenek moyang bangsa China berasal dari surga?
Mitos dewa-dewi datang dari India atau China? Bagaimana mitos dewa-dewi di
China? Mengenai hal ini, di Jiahu ditemukan gua dengan piktograf terdapat 8453
gambar, diantaranya lambang dewa, diperkirakan dibuat 6000-5000 SM.
Pada periode Dinasti Shang (1300-1046 SM), kepercayaan China
menyembah pada lebih dari satu Dewa, yaitu Dewa Cuaca, Dewa Langit, dan
Dewa tertinggi adalah Shangdi. Pada masa ini mereka percaya bahwa nenek
moyang mereka, orang tua mereka, adalah seperti layaknya Dewa ketika mereka
mati, dan nenek moyang mereka ingin disembah juga seperti Tuhan, maka
kemudian masing-masing keuarga menyembah nenek moyang mereka.
Kepercayaan yang telah ada di China tampak memiliki kesamaan seolah-olah
dibawa ke Jawa oleh nenek moyang Aki Tirem dalam konteks animisme dan
dinamisme.
Misteri mengenai Aki Tirem dan nenek moyangnya agaknya terungkap
lewat sejarah China. Tetapi jika kita kembali melontarkan pertanyaan tentang
asal-usul nenek moyang Aki Tirem yang orang Yunnan itu, lantas dari manakah
orang Yunnan itu? Apakah Adam diturunkan di Yunnan? Kita harus kembali
mencari tahu. Dan tentu ini menjadi misteri baru yang harus kita singkap juga di
buku ini.
Setidaknya setelah ini akan diketahui peradaban manakah? Kebudayaan
apakah? Apakah disana ada Gong, gamelan, angklung atau suling? Atau mungkin
sudah ada harpa, biola?

80
Gambar : Neolithic bone flute (Sumber: Henan Provincial Museum, 11 Januari 2007, 02:34,
2007_0111china20360)

5. Atlantis

Musik sebagai salah satu aktifitas kesenian adalah bagian dari kebudayaan, atau
dengan kata lain musik adalah salah satu unsur kebudayaan, pembahasan musik harus
kembali pada pembahasan kebudayaan sebagai induk wacana. Kebudayaan terbentuk sejak
adanya masyarakat, yaitu sekelompok manusia yang berdomisili cukup lama di suatu
tempat, kebudayaan adalah hasil dari karya manusia, baik berupa fisik (peralatan,
bangunan) maupun non fisik (kebiasaan-kebiasaan, etika, institusi sosial, dsb) yang
berguna untuk mempermudah kehidupan manusia itu. Dan hasil semua itu disebut
peradaban.
Telah berkembang wacana tentang peradaban mula-mula (early civilitation) di
kalangan ilmuwan Barat, dimana mereka telah mencari di berbagai tempat, berdasarkan
informasi dari berbagai sumber dan disiplin ilmu dan dari berbagai kebudayaan bangsa-
bangsa di dunia, sehingga dapat suatu kesimpulan yang menarik untuk dikaji. Yaitu negeri
Atlantis di Indonesia. Jika kebenaran Atlantis terungkap, maka akan semakin banyak pula
misteri terungkap, termasuk misteri pelog dan slendro dalam ranah karya seni dan sarana
ritual dalam peradaban, sebagai komponen kebudayaan, kesenian tidak bisa terlepas dari
induknya, karena kesenian dibangun berdasarkan pemikiran manusia yang juga dapat
dikatakan sebagai dasar pembentuk kebudayaan.

81
Gambar : Ilustrasi pusat kekuasaan negara Atlantis(nn).

Atlantis dipercaya berada di Indonesia, tepatnya berpusat di lokasi Gunung


Krakatau sekarang. Di dalam berbagai buku dan artikel Barat banyak dinyatakan bahwa
ada suatu misteri di Timur, baik secara geografis maupun secara kultural.
Dalam ranah etnomusikologi, studi musik terfokus pada musik sebagai obyek yang
terkait dengan kebudayaan dimana musik tersebut diproduksi. Seringkali pembahasan lebih
banyak pada musik Non-Barat (Amerika, Eropa), melainkan lebih ke Timur, seperti Arab,
Cina, Jepang, dan beberapa negeri di Afrika. Pada abad 19 orang kebanyakan beranggapan
bahwa musik non-barat amat aneh dan belum menganggapnya secara serius. Muncul pula
istilah “Exotic Music” berdasarkan pandangan atas keberagaman musik di Timur, pada
akhir abad ke-19, para sarjana secara serius meneliti musik non-Barat ini dengan metode
yang serius seperti halnya mereka melakukannya pada penelitian lainnya, penelitian lebih
mendalam dan menekankan keberadaan musik sebagaimana digunakan dalam kebudayaan
musik tersebut berasal. Kemudian didapat satu kesimpulan yang menyatakan bahwa musik-
musik barat banyak terpengaruhi oleh musik-musik non-Barat, ini terlihat pada musik pop
seperti raga, rock, dan reggae, serta pada musik-musik serius seperti terdapatnya tangga
nada non-Barat, alat musik, serta jenis irama. 49
Hal tersebut membuktikan bahwa dari segi musik saja, peradaban di Timur
merupakan peradaban yang menarik dikaji dan penuh misteri sehingga layak untuk
dijadikan obyek penelitian. Kembali kepada pernyataan awal, bahwasanya pembicaraan
musik tentu tidak terlepas dari kebudayaan dimana musik itu muncul. Demikian pula jika
diteliti secara khusus dan mendetil, bahwa setiap kebudayaan memiliki ciri khas dengan
memperhatikan karya-karya yang muncul di kebudayaan masyarakat tersebut. Karya seni
dalam suatu masyarakat tertentu berbeda dengan masyarakat yang lain. Inilah yang menjadi
dasar suatu masyarakat dikatakan memiliki identitas yang khas, karena mereka memiliki

49
Christine Ammer, halaman 131.

82
sesuatu yang tidak ada di masyarakat lainnya. Tetapi meski demikian, bahwa ternyata satu
kebudayaan dengan kebudayaan lain telah saling bersentuhan dan mengalami akulturasi,
terjadi pertemuan nilai-nilai etika dan estetika. Kesimpulan itulah yang memperkuat
bahwa telah terjadi hubungan terkait asal usul umat manusia dengan Atlantis. Pembahasan
mengenai Atlantis telah banyak ditulis dari berbagai sudut pandang, baik ilmiah maupun
non ilmiah.

a. Atlantis Dalam “Timaeus” karya Plato

Percakapan Timeaus dan Critias terdapat di dalam salah satu karya Plato yang
ditulis pada 360 SM, dialog tersebut menceritakan mengenai masyrakat Atlantis
dengan sistem kemasyarakatan yang ideal, yaitu sistem Republik. Karya asli ditulis
dalam bahasa Yunani kuno. Sudah banyak dilakukan terjemahan diantaranya ke
dalam bahasa Inggris oleh Benjamin Jowett dalam 43 halaman. Percakapan itu
terjadi antara Socrates, Timeaus, Critias, dan Hermocrates.

Critias bercerita bahwa cerita ini didapatkannya dari kakeknya yang bernama
Critias juga. Kakeknya mendengar dari orang Mesir yang bernama Solon. Adapun
cuplikan bagian awal percakapan tersebut adalah sebagai berikut:

Socrates: One, two, three; but where, my dear Timaeus, is the fourth of those
who were yesterday my guests and are to be my entertainers to-day?

Timaeus: He has been taken ill, Socrates; for he would not willingly have been
absent from this gathering.

Socrates: Then, if he is not coming, you and the two others must supply his
place.

Timaeus: Certainly, and we will do all that we can; having been handsomely
entertained by you yesterday, those of us who remain should be only
too glad to return your hospitality.

Socrates: Do you remember what were the points of which I required you to
speak?

83
Timaeus: We remember some of them, and you will be here to remind us of
anything which we have forgotten: or rather, if we are not troubling
you, will you briefly recapitulate the whole, and then the particulars
will be more firmly fixed in our memories? …

Menarik. Dari segi pembelajaran, Plato menggunakan tradisi sastra lisan, ia


bercerita tentang dua orang sahabat dan beberapa sahabat lainnya, secara tidak
langsung orang tidak merasa diajarkan sesuatu jika mendengarkan cerita tersebut
yang sesungguhnya berisi berbagai ajaran dan ilmu, diantaranyua ialah cerita Atlantis.
Singkat cerita, dari percakapan-percakapan tersebut dapat diambil beberapa
kesimpulan mengenai Atlantis, terjemahan di bawah ini diolah dari berbagai sumber:

1) Lokasi Atlantis

"Kekuatan ini datang dari samudera Atlantik. Pada waktu itu, samudera
Atlantik dapat dilayari dan ada sebuah pulau yang terletak di hadapan selat yang
engkau sebut pilar-pilar Herkules. Pulau itu lebih luas dibandingkan dengan
gabungan Libya dan Asia dan pilar-pilar ini juga merupakan pintu masuk ke pulau-
pulau lain di sekitarnya, dan dari pulau-pulau itu engkau dapat sampai ke seluruh
benua yang menjadi pembatas laut Atlantik. Laut yang ada di dalam pilar-pilar
Herkules hanyalah seperti sebuah pelabuhan yang memiliki pintu masuk sempit.
Namun laut yang di luarnya adalah laut yang sesungguhnya, dan benua yang
mengelilinginya dapat disebut benua tanpa batas. Di wilayah Atlantis ini, ada sebuah
kerajaan besar yang memerintah keseluruhan pulau dan pulau lain disekitarnya serta
sebagian wilayah di benua lainnya" (Timaeus).

84
Gambar : Ilistrasi Poseidon (Sumber: Wikimedia,dan Department of Greek, Etruscan and
Roman antiquities in the Louvre, Sully, first floor, room 41)

2) Asal Mula Bangsa Atlantis

“Sebelumnya aku telah berbicara mengenai pembagian wilayah yang diadakan


bagi para dewa dan bagaimana mereka tersebar ke seluruh dunia dalam proporsi yang
berbeda-beda. Dan Poseidon, menerima bagiannya, yaitu pulau Atlantis." (Critias).
"Di tengah-tengah pulau itu ada sebuah dataran yang dianggap terbaik dan
memiliki tanah yang subur. Di situ ada sebuah gunung yang tidak terlalu tinggi di
masing sisi-sisinya. Di gunung itu tinggal seorang pria fana bernama Evenor yang
memiliki seorang istri bernama Leucippe. Mereka memiliki satu anak perempuan
bernama Cleito. Ketika Cleito telah dewasa, ayah dan ibunya meninggal dunia.
Poseidon jatuh cinta dan bersetubuh dengannya." (Critias)
"Poseidon dan Cleito memiliki lima pasang anak kembar laki-laki. Ia lalu
membagi pulau Atlantis menjadi sepuluh bagian. Ia memberikan kepada anak tertua
dari pasangan kembar pertama tempat kediaman ibu mereka dan wilayah yang
mengelilinginya yang merupakan tanah terluas dan terbaik. Ia juga menjadikannya
raja atas saudara-saudaranya. Poseidon memberi nama anak itu Atlas. Dan karenanya
seluruh pulau dan samudera itu disebut Atlantik." (Critias).

3) Karakteristik Tanah Atlantis

"Poseidon lalu memecahkan tanah di sekitar bukit tempat tinggal Cleito sehingga
bukit itu terpisah dari dataran lain. Bukit itu sekarang dikelilingi oleh laut yang
berbentuk lingkaran. Poseidon membuat dua bagian daratan seperti ini sehingga
jumlahnya menjadi dua daratan yang dikelilingi tiga wilayah perairan." (Critias)

85
"Masing-masing daratan memiliki sirkumferen yang berjarak sama dari tengah
pulau tersebut. Jadi tidak ada satu orang dan satu kapalpun yang dapat mencapai
pulau itu. Poseidon lalu membuat dua mata air di tengah-tengah pulau, satu air hangat
dan satu lagi air dingin. ia juga membuat berbagai macam makanan muncul dari tanah
yang subur." (Critias).

4) Kemakmuran Atlantis

"Tanah Atlantis adalah tanah yang terbaik di dunia dan karenanya mampu
menampung pasukan dalam jumlah besar." (Critias)
"Tanah itu juga mendapatkan keuntungan dari curah hujan tahunan, memiliki
persediaan yang melimpah di semua tempat." (Critias).
"Orichalcum bisa digali di banyak wilayah di pulau itu. Pada masa itu Orichalcum
lebih berharga dibanding benda berharga apapun, kecuali emas. Di pulau itu juga
banyak terdapat kayu untuk pekerjaan para tukang kayu dan cukup banyak persediaan
untuk hewan-hewan ternak ataupun hewan liar, yang hidup di sungai ataupun darat,
yang hidup di gunung ataupun dataran. Bahkan di pulau itu juga terdapat banyak
gajah" (Critias).

5) Struktur Masyarakat Atlantis

"Pada masa itu, wilayah Atlantis didiami oleh berbagai kelas masyarakat. Ada
tukang batu, tukang kayu, ada suami-suami dan para prajurit. Bagi para prajurit,
mereka mendapat wilayah sendiri dan semua keperluan untuk kehidupan dan
pendidikan disediakan dengan berlimpah. Mereka tidak pernah menganggap bahwa
kepunyaan mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka menganggapnya sebagai
kepunyaan bersama. Mereka juga tidak pernah menuntut makanan lebih banyak dari
yang dibutuhkan." (Critias).
"Para prajurit ini tinggal di sekitar kuil Athena dan Hephaestus di puncak bukit.
Di tempat itu mereka kemudian membuat pagar untuk melindungi tempat itu. Di
sebelah utara, mereka membangun ruangan untuk makan di musim dingin dan
membuat bangunan-bangunan yang dapat digunakan untuk kebutuhan bersama."
(Critias)
"Mereka tidak memuja emas dan perak karena bagi mereka, semua itu tidak ada
gunanya. mereka juga membangun rumah sederhana dimana anak-anak mereka dapat
bertumbuh." (Critias)
“Inilah cara mereka hidup, mereka menjadi penjaga kaum mereka sendiri dan
menjadi pemimpin bagi seluruh kaum Helenis yang dengan sukarela menjadi
pengikut mereka. Lalu mereka juga menjaga jumlah perempuan dan laki-laki dalam
jumlah yang sama untuk berjaga-jaga bila terjadi perang. Dengan cara inilah mereka
mengelola wilayah mereka dan seluruh wilayah Hellas dengan adil. Atlantis menjadi
sangat termashyur di seluruh Eropa dan Asia karena ketampanan dan kebaikan hati
para penduduknya." (Critias)

6) Teknologi

86
"Mereka membangun kuil, istana dan pelabuhan-pelabuhan. Mereka juga
mengatur seluruh wilayah dengan susunan sebagai berikut : pertama mereka
membangun jembatan untuk menghubungkan wilayah air dengan daratan yang
mengelilingi kota kuno. Lalu membuat jalan dari dan ke arah istana. Mereka
membangun istana di tempat kediaman dewa-dewa dan nenek moyang mereka yang
terus dipelihara oleh generasi berikutnya. Setiap raja menurunkan kemampuannya
yang luar biasa kepada raja berikutnya hingga mereka mampu membangun bangunan
yang luar biasa besar dan indah." (Critias)
"Dan mereka membangun sebuah kanal selebar 300 kaki dengan kedalaman 100
kaki dan panjang 50 stadia (9 km). Mereka juga membuat jalan masuk yang cukup
besar untuk dilewati bahkan oleh kapal terbesar dan Lewat kanal ini mereka dapat
berlayar menuju zona terluar." (Critias)

7) Kehancuran Atlantis

"9.000 tahun adalah jumlah tahun yang telah berlangsung sejak perang yang
terjadi antara mereka yang berdiam di luar pilar-pilar Herkules dengan mereka yang
berdiam di dalamnya. Perang inilah yang akan aku deskripsikan." (Critias)
"Pasukan yang satu dipimpin oleh kota-kota Athena. Di pihak lain, pasukannya
dipimpin langsung oleh raja-raja dari Atlantis, yaitu seperti yang telah aku jelaskan,
sebuah pulau yang lebih besar dibanding gabungan Libya dan Asia, yang kemudian
dihancurkan oleh sebuah gempa bumi dan menjadi tumpukan lumpur yang menjadi
penghalang bagi para penjelajah yang berlayar ke bagian samudera yang lain."
(Critias)
"Banyak air bah yang telah terjadi selama 9.000 tahun, yaitu jumlah tahun yang
telah terjadi ketika aku berbicara. Dan selama waktu itu juga telah terjadi banyak
perubahan. Tidak pernah terjadi dalam sejarah begitu banyak akumulasi tanah yang
jatuh dari pegunungan di satu wilayah. Namun tanah telah berjatuhan dan menimbun
wilayah Atlantis dan menutupinya dari pandangan mata." (Critias)
"Karena hanya dalam semalam, hujan yang luar biasa lebat menyapu bumi dan
pada saat yang bersamaan terjadi gempa bumi. Lalu muncul air bah yang
menggenangi seluruh wilayah." (Critias)
"Namun sesudah itu, muncul gempa bumi dan banjir yang dashyat. Dan dalam
satu hari satu malam, semua penduduknya tenggelam ke dalam perut bumi dan pulau
Atlantis lenyap ke dalam samudera luas. Dan karena alasan inilah, bagian samudera
disana menjadi tidak dapat dilewati dan dijelajahi karena ada tumpukan lumpur yang
diakibatkan oleh kehancuran pulau tesebut." (Timaeus)

8) Pelajaran

"Selama banyak generasi, karakter yang mulia hidup di dalam diri mereka,
mereka patuh kepada hukum dan memiliki ketertarikan yang kuat kepada dewa.
Mereka memiliki jalan hidup yang baik, menggabungkan kelemahlembutan dengan
kebijaksanaan di dalam berbagai aspek kehidupan dan dalam hubungannya dengan
sesama." (Critias)

87
"Mereka tidak mau mengangkat senjata melawan sesamanya, dan mereka akan
segera bergegas menolong rajanya ketika ada usaha untuk menggulingkannya.
Mereka menolak segala kejahatan dan hanya melakukan kebaikan. Mereka hanya
menaruh sedikit perhatian untuk kehidupan mereka sendiri. Mereka menganggap
remeh harta benda emas dan perak yang sepertinya hanya menjadi beban bagi
mereka." (Critias)
"Bahkan ketika mereka berkelimpahan di dalam kemewahan, mata hati mereka
tidak dibutakan olehnya. Mereka sadar bahwa kekayaan mereka akan bertambah oleh
perbuatan baik dan persahabatan antara satu dengan yang lain yang juga disertai
dengan penghormatan antara sesama. Karakter-karakter semacam itu terus bertumbuh
di antara mereka." (Critias)
"Namun, karakter-karakter mulia tersebut mulai memudar dan menjadi terlalu
sering dikompromikan. Mereka bercampur dengan sifat-sifat duniawi, dan sifat itu
kemudian menjadi pengendali. Karena itu mereka tidak mampu lagi menanggung
kekayaan yang mereka miliki. Mereka mulai berperilaku tidak sepantasnya dan mata
mereka menjadi rabun karena mereka telah kehilangan harta mereka yang paling
berharga." (Critias)
"Zeus, raja para dewa yang memerintah berdasarkan hukum dan mampu melihat
perbuatan-perbuatan jahat yang mereka lakukan mulai mencanangkan hukuman bagi
ras yang terhormat itu supaya mereka dapat disadarkan dan dimurnikan. Lalu ia mulai
mengumpulkan para dewa dari tempat kediaman masing-masing. Setelah mereka
semua berkumpul, Zeus berkata : ....." (Critias)

Dan dengan kalimat itulah Critias berakhir, tidak terselesaikan. Jadi kita tidak akan
pernah tahu apa yang ingin dikatakan oleh Zeus. Tapi bahkan walaupun buku ini tidak pernah
terselesaikan, pengaruhnya terhadap umat manusia jauh lebih besar dibandingkan dengan ribuan
buku lainnya.

b. Beberapa Spekulasi Terkait Atlantis

Sejumlah peristiwa yang konon menyangkut dengan keberadaan Atlantis telah


dihimpun dari berbagai sumber,diantaranya adalah sebagai berikut:
Awal tahun 1970-an disekitar kepulauan Yasuel Samudera Atlantik, sekelompok
peneliti telah mengambil inti karang dengan mengebor pada kedalaman 800 meter di
dasar laut, atas ungkapan ilmiah, tempat itu memang benar-benar sebuah daratan pada
12.000 tahun silam. Kesimpulan yang ditarik atas dasar teknologi ilmu pengetahuan,
begitu mirip seperti yang dilukiskan Plato! Namun, apakah di sini tempat tenggelamnya
kerajaan Atlantis?
Tahun 1974, sebuah kapal peninjau laut Uni Soviet telah membuat 8 lembar foto
yang jika disarikan membentuk sebuah bangunan kuno mahakarya manusia. Apakah ini
dibangun oleh orang Atlantis?
Tahun 1979, ilmuwan Amerika dan Perancis dengan peranti instrumen yang sangat
canggih menemukan piramida di dasar laut “segitiga maut” laut Bermuda.

88
Panjang piramida kurang lebih 300 meter, tinggi kurang lebih 200 meter, puncak
piramida dengan permukaan samudera hanya berjarak 100 meter, lebih besar dibanding
piramida Mesir. Bagian bawah piramida terdapat dua lubang raksasa, air laut dengan
kecepatan yang menakjubkan mengalir di dasar lubang.
Piramida besar ini, apakah dibangun oleh orang-orang Atlantis? Pasukan kerajaan Atlan
pernah menaklukkan Mesir, apakah orang Atlantis membawa peradaban piramida ke
Mesir? Benua Amerika juga terdapat piramida, apakah berasal dari Mesir atau berasal
dari kerajaan Atlantis?
Tahun 1985, dua kelasi Norwegia menemukan sebuah kota kuno di bawah areal laut
“segitiga maut”. Pada foto yang dibuat oleh mereka berdua, ada dataran, jalan besar
vertikal dan horizontal serta lorong, rumah beratap kubah, gelanggang aduan
(binatang), kuil, bantaran sungai dll. Mereka berdua mengatakan mutlak percaya
terhadap apa yang mereka temukan itu adalah Benua Atlantis seperti yang dilukiskan
oleh Plato.
Prof. Arysio de Nune Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis itu
merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra,
Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia sebagai pusatnya. Di wilayah
itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang
menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik
Sedangkan menurut Plato Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan
gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian
dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene). Dengan meletusnya
berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di
wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air
asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan
gunung Semeru/Sumeru/Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di
Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Samosir, yang merupakan
puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian
hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan
lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.
Santos berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu
berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu,
menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya
bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani
samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar
samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini
diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan
menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich
Events.
Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak
Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang
katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera
Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di wilayah
Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh
karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed

89
magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang
kepada kebenaran.”
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat.
Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos
dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata
rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang, Krakatoa,
Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani.
Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali. 50

c. Penemuan Atlantis oleh Arysio Santos

Penelitian yang konfrehensif tentang Atlantis telah dilakukan oleh Prof. Arysio
Santos selama 30 tahun. Hasil penelitian tersebut telah diterbitkan dalam bentuk buku yang
berjudul “Atlantis - The Lost Continental Finally Found” pada tahun 2005. Pertanyaan
mengapa Santos begitu berani menyatakan bahwa atlantis ada di Indonesia? Karena ia
lakukan penelitian dengan sudut pandang disiplin ilmu yang beragam, tidak heran jika
Openheimeir mendukung pendapatnya dan bahkan memperkuat argumen Santos. Berikut
beberapa keterangan santos dari bukunya.

Gambar : Peta Nusantara pada 50 juta tahun yang lalu (Sumber: Southeast Asia research
Group, London University, Robert Hall 1995).

Beberapa paragraf dalam buku santos dikatakan sebagai berikut:

50
http://www.Jendelaonline.com

90
Beberapa bukti penting yang sudah terkumpul mengenai lokasi Atlantis,
hasil dari penelitian bertahun-tahun untuk mendekati kesimpulan terrangkum
dalam sebuah tabel, memberikan informasi yang memberikan suatu pelajaran,
dengan penjelasan yang tuntas dan beragam dari berbagai informasi tanpa cacat
argumentasi, detil dan setidaknya menjaga logika agar dapat diterima akal.
Catatan dari teori-teori dan penemuan-penemuan besar kami mendapat
tanggapan yang cepat dan menjadi berita besar dari pada berita lainnya terkait
tentang penemuan yang sensasional berupa sejumlah struktur yang tenggelam di
wilayah India, China dan Asia Tenggara.
Berdasarkan hal tersebut, beberapa peneliti Atlantis seperti Pole Shift yang
sebelumnya mendukung teori Atlantis-Antartika, kini mendukung pandangan
kami dan meninggalkan penemuannya sendiri. Lagi pula, semisal hasil penelitian
klimatologi (iklim) dan geologi yang terakhir, bahwa pada saat becana besar usai
di Zaman Es itu, dan naiknya permukaan air dengan sangat cepat seperti
ditengarai oleh Plato, teori kami dengan cepat dapat diterima bahwa Abad Es
dimulai dan berakhir oleh letusan vulkanik yang besar dan serentak yang disebut
dengan Heinrich Events (Perisitwa Heinrich). Hal ini sudah pasti mengakibatkan
pengaruh positif bagi kesimpulan kami pada lebih dari dua dekade yang lalu
ketika kami memulai penelitian.

Peta NOAA yang menggambarkan wilayah laut China Selatan- yang


dihasilkan dari satelit pengintai angkasa, dan yang akhirnya terungkap-secara
dramatis memberikan konfirmasi yang akurat pada peta kami tentang Paparan
Sunda dan wilayah yang tertutup air serta tempat lainnya di halaman ini.
Pengaruh dari publikasi dari penelitian kami sangat besar bagi beberapa peneliti
(seperti Pole Shift dengan teori yang berbeda tentang Atlantis) secara tidak
langsung menolak pandangannya sendiri dan secara hati-hati pula beralih menuju
pandangan kami.
Hasilnya membuat bangkitnya semangat dan ketertarikan masyarakat
kepada Atlantis serta penelitian tentangnya. Lebih dari ratusan buku dan beberapa
dokumenter yang dipublikasikan terakhir dalam suatu terbitan, dan beberapa
ekspedisi telah diluncurkan dalamrangka penelitian tersebut di beberapa lokasi
yang mungkin, termasuk dalam ekspedisi kami juga. Bahwa Atlantis, untuk
tujuan praktis, timbul-tenggelam. Sedikit diragukan tentang kenyataan itu, bahwa
Atlantis terkait dengan “Taman” (Eden), atau “Taman Surga” (Paradise) dalam
tradisi global. Bahkan peristiwa banjir (yang sejumlah ilmuwan mentertawakan
dan menganggapnya tidak masuk akal telah terjadi beberapa tahun yang lalu), kini
mereka ikut dengan serius memikirkannya sebagaimana saya mengidentifikasi
bencana besar pada akhir Abad Es Pleistosen dan perubahan besar yang tidak
disengaja terjadi dengan pasti pada 11.600 tahun yang lalu sebagaimana
dinyatakan Plato dalam percakapan-percakapan terkenalnya tentang Atlantis.
Para pembaca berhenti mempertimbangkan persoalan mereka sendiri
hanya untuk mendengarkan argumentasi yang seolah-olah benar sebagaimana
ditampilkan oleh peneliti-peneliti lain, dan keraguan pun berakhir, bahwa tidak

91
ada lokasi lain kecuali Laut China Selatan dan Benua Sunda seperti deskripsi
yang digambarkan oleh Plato berupa;

1. Benua yang terrendam,


2. beriklim tropis,
3. Ada gajah
4. Kuda
5. Nanas
6. Kelapa dan pisang
7. Kaya akan logam dan batu permata yang beragam
8. Gunung yang megah,
9. Paparan yang tenggelam
10. Pertanian dan teknologi hidrolik
11. Jaringan parit untuk irigasi an navigasi
12. Dua sampai tiga panen dalam setahun
13. Musim Hujan
14. Populasi yang besar di masa-masa awal
15. Gunung berapi dan gempa bumi
16. Keahlian navigasi, dan sebagainya...

Semua itu, seseorang harus memperhatikan keunikan keberadaan manusia


di wilayah tersebut, dan fakta adanya pertanian dan peradaban asli di tempat itu,
tertanam sangat jelas.
Tentu saja, pembaca dapat melakukan pendekatan dan kesimpulan yang
berbeda dengan materi spesifik yang kami miliki. Tetapi kami yakin bahwa kami
tidak akan merubah seluruh gambaran yang kami argumentasikan ini.
Demikian dalam pengantar yang disampaikan oleh tim penelitinya di situs
http://www.atlan.org. sebagai komunikasi dengan pembaca untuk memahami
lebih jauh tentang proses dan metode yang mereka garap. Lalu mereka
melanjutkan :

Meski demikian kami senang untuk mendiskusikan hal ini dengan


pembaca melalui halaman feedback, dan akhirnya kami sampaikan pertanyaan-
pertanyaan dan jawaban kami, dan dalam rangka memberikan penghargaan bagi
para peneliti kami. Kami sampaikan juga terimakasih kepada para pembaca
terdahulu kami dan kritik yang cukup baik sebagai bagian dari perhatian kepada
kami, khususnya, mereka yang menemukan dan menunjukkan kesalahan kepada
kami atau editor kami.

Dalam presentasi diagram, kami harus membuat penegasan jika pada


topik-topik tersebut faktual, meragukan, atau tidak didukung oleh bukti. Pada
daftar-centang kami tandai item yang “didukung” dengan tanda centang (v),
“meragukan” dengan tanda tanya (?), dan “tidak didukung” dengan tanda silang
(x). Kami juga memberikan komentar singkat di beberapa item (32 item) yang
kami analisis pada daftar-centang.

92
Demikian tim ini menyebutkan 32 item yang menjadi kekuatan
argumentasi keberadaan atlantis, namun penulis tampilkan 19 item saja mengingat
ruangan yang kecil dan menjaga agar tetap dalam jalur pembahasan tema, yaitu
gamelan dalam konteks skala pentatonik pelog dan slendro. Keterkaitan hal
tersebut dengan atlantis terletak pada keberadaan manusia sejak mula-mula.

Palto dan yang lainnya

Skandinavia dan Laut


Maya di Mexiko
Pulau Atlantis
ITEM

Afrika Utara
Thera /Crete

India Timur
Inca di Peru

Tenggelam

Celtiberia
Antartika

Tartessos
Utara
Troy
Lokasi Atlantis (1)
Parit navigasi dan irigasi
(2)
Gajah (Mammoth?) (13)

Ukuran Benua (3)

Iklim Tropis (5)

Kelapa dan Nanas (5)

Wewangian dan dupa (5)


Populasi yang jumlahnya
besar (5)
Kuda dan kereta kuda
(12)
Era pemunculan Manusia
(6)
Bangunan Megalitik(11)
Gunung berapi dan
gempa bumi (4)
Benua tenggelam (10)

93
Laut tak dapat dilayari
(9)
Diantara tiang Herkules
(8)
Diluar benua (8)

Banyak pulau(8)

Taman Surga (3)

Bukti bencana (14)

Budaya Piramida (4)


Rumput laut warna
coklat (9)
Jalur perdagangan
melalui laut (15)
Kaya logam (16)

Teknologi tertinggi (17)


Terasering/sengkedan
(18)
Bentuk-bentuk sakral (3);
(4); (7)
Gunung sakral dan
berapi (4); (7)
Penanggalan (13); (14);
(15)
Dua kali panen dalam
setahun (5)
Logam (16); (17)

Golongan darah O (19)

Tulisan dan abjad (17)


Skor (% kebenaran) 97 25 59 56 16 13 38 13 38 41 38 100

Komentar singkat dari beberapa item perlu disampaikan sebagai analisis


dari tabel diatas, hal karena kondisi semakin banyaknya pembaca buku tersbut

94
untuk mengetahui lebih jauh dan detil tentang Atlantis. Dan akan bermanfaat juga
bagi kita untuk memahami lebih jauh kekuatan argumentasi tersebut. Beberapa
komentar itu adalah sebagai berikut;

1) Lokasi di Samudera Atlantis

Plato sangat spesifik memfaktakan bahwa Atlantis berlokasi di


Smudera Atlantik. Sungguh? Diperkirakan nama samudera ini
berdsasarkan pengertian “Samudera orang Atlantis” sebagaimana Plato
mengatakannya. Lantas, lokasi Mediterania seperti Troy, Crete (Thera),
Carthage, Bosporus, dan seterusnya, secara otomatis tidak termasuk
sebagai kemungkinan situs Atlantis.
Meski demikian, kita harus berhati-hati dalam menyebutkan Samudera
Atlantik, atau seperti Samudera Luar (Outer Ocean), Kronius Oceans,
Mare Magnum, Mare Oceanium, dan seterusnya, tidaklah sama dengan
yang dimaksud pada saat sekarang, Laut Atlantis pada masa lalu di zaman
Plato, Herodotus, Aristoteles dan yanglainnya adalah lautan secara
keseluruhan yang mengelilingi daratan.
Khususnya, nama ini digunakan untuk Samudera Hindia, seperti yang
dapat kita lihat di peta misalnya pada peta Eratosthenes dan peta Strabo.
Erastosthenes sebenarnya membagi Samudera Atlantis menjadi dua yang
masing-masing menjadi setengahnya, yaitu Oriental dan Occidental. Maka
Atlantis sudah pasti berlokasi di Mare Atlanticum Orientale, setengah dari
“oriental“ adalah Samudera Hindia. Bahkan, Atlantis memisahkan antara
Samudera Atlantis dengan Samudera Pacifik. Inilah alasan mengapa Surga
(Atlantis) sering dikatakan sebagai tempat yang berlokasi di tengah
samudera. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Atlantis disebut
“pulau”.
Perbedaan sistem penamaan sangat penting, sebagai simpul yang
mendasari persoalan Atlantis, dan menjelaskan mengapa para peneliti
melakukan kesalahan yang jauh dalam menentukan lokasi Atlantis yang
benar. Kami menampilkan peta scara eksplisit dimana menunjukkan
bahwa lautan yang mengelilingi itu dinamakan Atlanticus Oceanus.
Gambar bumi maaa lalu (dimana diketahui sekarang sebagai Eurasia dan
Africa, sedangkan dahulu disebut sebagai Old World atau Oikumene)
yang agaknya melingkari lempeng yang dikelilingi oleh lautan seluruhnya
“yang bernama Atlantik”. Bahwa di tengah lautan terbuka berisi benua,
untuk selanjutnya kita sebut sebagai benua yang sesungguhnya, Amerika,
dimana dilingkari laut di sekelilingnya dan Plato menyebutnya dengan
Peirata Ges.
Pada bagian luar benua tersebut di masa lalu terdapat sebuah tempat
yang di sebut surga (Eden) dan dalam beberapa legenda yang lain disebut
sebagai Taman (Paradises) yang berkaitan dengan Atlantis. Seperti pada
dalam kasus ini, singkatnya, pada peta Cosmas Indiacopleustes,
menunjukkan Taman (Surga) di jalur tersebut. Sebagaimana dalam item
faktual, bahwa kata “Ocean” berasal dari bahasa Sanskerta “Ashayana”

95
yang berarti “melingkari di sekeliling”. Oleh karena itu, wilayah
Mediterania tidak termasuk dalam kategori sebagai kemungkinan lokasi
Atlantis (tidak dikatakan sebagai berada di laut Atlantik atau di luar pilar
Herkules) areatersebut berlokasi di Samudera Hindia (Samudera
Indonesia) dan Samudera Pacifik sedemikian rupa, fakta yang memuaskan
mereka karena terpenuhinya dua prasyarat tersebut, sejak lautan ini
sebelumnya sebagai Atlantik.
Avienus, bedasarkan sumber dari orang Phoenic kuno, menempatkan
Hesperides dan pulau Geryon, Erytheia, “di Samudera orang Atlantis”.
Kini, sejak Avienus dan deskrpisi rinci lainnya, Erytheia terletak di
“Orient” (Timur ), yaitu di Erythraean (Samudera Hindia), memberikan
nama seperti itu. Maka, kita memahami bahwa nama “Samudera Atlantik”
atau “samudera orang Atlantis” merujuk pada Samudera Hindia. Terakhir
nama ini telah diterjemahkan, awalnya untuk “dua lautan”, tetapi
kemudian dibatasi untuk masa kini sebagai Samudera Atlantik.
Kami menyimpulkan, bahwa dengan demikian, bahwa Atlantis harus
dicari terlebih dahulu di seluruh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik,
dan hanya dengan mengambil pengertian yang kedua dimana sekarang
kita menyebutkannya sebagai “Samudera Atlantik“, bahwa nama ini tidak
sesuai dan tidak digunakan oleh Yunani. Faktanya, nama Atlantik berlaku
untuk lautan di barat yang dihasilkan dari konsep yang salah yang sudah
didukung sejak zaman kuno yang merujuk hingga ke lautan Pasifik dan
India Timur, yangmereka kenal sebagai tempat Surga dan India Timur,
sebagai lokasi yang sesungguhnya. Christopher Columbus, Amerigo
Vespucci dan masih banyak lagi menyebarkan keyakinannya, dan
berkeyakinan kuat bahwa mereka dapat menghampiri India Timur dan
lautnya dengan berlayar hingga terus lebih jauh lagi ke barat. Dengan kata
lain, mereka bertujuan untuk mencapai Timur Jauh (Far East) melalui
Barat Jauh (Far West), sebuah kemungkinan yang realistis, memahami
akan bumi yang bulat, fakta yang dapat diterima dengan baik bagi para
penjelajah.

2) Pelabuhan, Navigasi, dan Kanal Irigasi

Salah satu penjelasan Plato yang mengagumkan adalah Kanal (terusan)


yang saling berhubungan, digunakan untuk dua fungsi, irigasi untuk
pertanian yang luas dan serta mendukung transportasi air untuk berbagai
produk. Ibu kota Atlantis merupakan persilangan dan dikelilingi terusan
tersebut, bentuk gambar yang dikelan sebagai “Celtic Cross” atau
“Crossed Circle”51, yaitu . Dimana simbol tersebut masih

51
Terdapat fenomena alam berupa crop circle, berbentuk lingkaran dengan motif tertentu dan berbeda-beda di
bagian tengahnya (berbentuk teratai 4 kelopak pada kejadian 26 Januari 2011), namun di bangian tengah
lingkaran itu terdapat lubang seperti bekas sesuatu yang ditancapkan (kejadian terkahir di Bantul, Yogyakarta
pada 26 Januari 2011 seperti yang diberitakan di Trans7 pukul 12 siang). Belum diketahui apakah ada
hubungannya dengan crossed circle, sebab crop circle sendiri masih misteri. Mungkinkah ada keterkaitan dengan
vimana sebagai bukti teknologi tinggi dari orang Atlantis?

96
membingungkan apakah simbol bumi atau matahari. Tetapi sebenarnya
simbol tersebut dipergunakan di Mesir kuno sebagai negeri Surga (To-
Wer). Sibol tersebut merepresentasikan Eden, Paradise, Surga, dimana
empat aliran sungai tersebut mengalir ke empat penjuru dari pusatnya,
seperti keterangan dalam Injil. Namun simbol tersebut bersifat universal,
dan dapat dilihat sebagai lingkaran gunung.

Gambar : Crossed Circle menurut gambaran sebuah klub desianer (klub desianer.com).

Pada Jaringan terusan ini juga terdapat bendungan dan pintu air untuk
mengendalikan aliran sungai. Hal itu merupakan teknologi hidrolik yang
mengagumkan, suatu kemiripan yang terbukti terdapat di Timur jauh pada
masa lalu, dan pada skala kecil, pada orang Inca di Amerika.Lebih dari itu,
Plato secara khusus menyatakan bahwa Atlantis adalah sebagai kekuatan
angkatan laut besar dan terdapat banyak kapal diperdagangkan dengan
negeri-negeri yang jauh melampaui lautan luas. Dengan demikian, suatu
yang kurang berdasar untuk mengasumsikan dari sisi kemampuan laut
sperti yang dimiiki Kerajaan Maya atau di Celtiberian, bahkan di Canaries
dan Afrika Utara yang hingga sekarang tidak dapat dijadikan sebagai
lokasi Atlantis yang sebenarnya.

97
Gambar: Crop Circle, Bantul, pada 25 januari 2011 dan di Switzerland pada ladang gandum
(foto:Liputan 6 TV dan wikipedia.com)

Suku Inca di Peru memiliki armada laut yang kuat, dan itu merupakan
bukti kuat, diperkuat lagi oleh Thor Heyerdahl pada ekspedisi “Kon Tiki”-
nya, bahwa mereka melakukan kontak rutin dengan Timur Jauh melalui
Samudera Pasifik. Orang Inca di Peru telah melangsungkan kontak
perdagangan dengan orang-orang kerajaan Mexico, tetapi kerajaan mereka
jauh diatas pegunungan Andes, dan tidak memiliki pelabuhan laut yang
baik, demikian pula perekonomian Inca dan armada perdagangannya.
Perairan merupakan wilayah yang kecil bagi mereka, bertentangan dengan
apa yang dinyatakan Plato tentang Atlantis.
Pada item ini, kita mengkualifikasi negeri-negeri seperti Troy,
Celtiberia, Tartessos, yang merupakan orang-orang Afrika dan barat laut
Eropa. Bagi mereka, secara mitos cukup banyak berkaitan dengan
pelayaran. Meskpun demikian, pada mereka terdapat jejak kanal dengan
jarigan yangluas sebagaimana keterangan Plato, atau dari bukti baku
lainnya berupa kemampuan maritim di masa awal. Inca-Peru juga tidak
memberikan bukti yang cukup mengenai pelabuhan yang besar, meskipun
diperklirakanmemiliki keahlian maritim. Kemungkinannya, pelabuhan dan
terusan ini terendam oleh bencana besar, hingg akhirnya bukti yang
kompleks tentang kemungkinan tersebut menjadi mentah.
Kreta jelas memiliki kemampuan maritim, demikian pula dengan
Skandinavia dengan pengembaraan Vikingnya. Dua negeri India dan
Indonesia telah teridentifikasi adanya hubungan perdagangan yang intensif
antara Timur Tengah dan Timur Jauh (Indonesia) di masa lalu, bahkan ada
kemungkinan dengan Amerika. Afrika Barat telah ditempati oleh orang
Phoenic yang memiliki koloni di Tartessos, Carthage dan Cadiz (Gadeira).
Namun demikian, sulit untuk menemukan data koloni seusia dengan masa
orang-orang Atlantis, berdasaran penelitian arkeologi hanya ada wilayah
yang ditempati pada zaman perunggu akhir. Hal ini terlalu kecil untuk
merekomendasikan orang Phoenic, menggunakan suplay kapal selama
perjalanan ke Hindia, dimana mereka memiliki perdagangan rutin dan
berjarak jauh di masa lalu.

98
Di Antartika dan di beberapa tempat kemungkinan Atlantis tenggelam,
kami tidak memiliki penjelasan yang jernih, bukti ilmiah yang dapat
diterima, dan materi penting yang dapat dikonfirmasi oleh para ahli.

Memperhatikan dasar laut Atlantik, telah diteliti dengan skala


decameter oleh kedua kapal oseanografi dan kapal selam mata-mata serta
satelit, dan tidak pernah menemukan bukti apa pun mengani pulau yang
tenggelam atau bahkan benua yang tenggelam. Hal penting untuk diingat
adalah bahwa fitur utama Atlantis adalah kecakapan angkatan lautnya dan
serta jaringan kanal dan pintu air. Keajaiban kuno seperti teknik hidrolik
hanya ditemukan di Timur Jauh seperti halnya di Angkor, dan, mungkin,
pada orang Amazon di kekaisaran Inka, karena beberapa penemuan
terbaru di wilayah ini tampak merujuk ke sana.

Gambar : Aerail View of Angkor Wat (Sumber:


http://famouswonders.com/angkor-wat-temple).

3) Ukuran Benua dan Simbol Sakral

Teks Plato agak membingungkan akan ukuran yang sebenarnya


mengenai Atlantis ini. Dan kebingungan ini seperti disengaja, agar
Atlantis tetap rahasia dan tersimpan terus. Memang harus dipahami bahwa
Plato berbicara tentang dua Atlantis, selain yang ketiga, sebagai ibu kota,

99
sebagai pulau kecil yang juga memakai nama itu. Plato berbicara kedua
Atlantis dalam kerangka yang disebutnya dengan nama Yunani purba.
Yunani sebagai musuh dan negeri yang dikalahkan oleh Atlantis - Plato
mengartikan bangsa Arya atau Aryanavarta telah lama hilang (Negara
bangsa Arya) yang tenggelam di wilayah Atlantis. Sebenarnya, "kerangka"
primordial Atlantis ini sekarang terbentuk di kepulauan Indonesia, yang
pulau puncak gunung berapi yang masih di atas garis air ketika hamparan
besar dari “Elysian Plains” itu (nama Atlantis dalam mitos) tenggelam
jauh di bawah laut. Pulau-pulau itu kemudian berkurang menjadi “Realm
of the Dead” yang diketahui oleh orang Yunani sebagai Kepulauan dari
Blest (Makarioi Nesoi = kepualuan suci). Tapi sebelumnya merupakan
bentuk benua yang luas, sekarang sebagian besar tenggelam di bawah Laut
Cina Selatan. Ini sebagian besar benua itu, lalu, seperti disebut "lebih
besar dari Asia (Minor) dan Libya (Afrika Utara) yang digabungkan",
persis seperti penegasan Plato mengenai Atlantis.

Gambar : Peta Atlantis (National Geographic Magazine)

Atlantis yang kedua dari Plato dalam kumpulan mitologinya adalah


sebagian dari India yang sekarang masih dapat diamati di lembah Indus
dan Gangga. Kedua adalah situs peradaban yang megah seperti dari
Harappa dan Mohenjo-Daro. Plato juga berbicara juga tentang ibu kota
Atlantis. Ini ibukota kerajaan - memang diperuntukkan bagi kaum
bangsawan, imamat dan penjaga kerajaan - sering dibuat bingung dengan
Atlantis secara keseluruhan bagi beberapa peneliti. Apakah hanya sebuah
pulau kecil, atau sebuah ibukota suci bagi seluruh kekaisaran.

Kami telah menemukan, untuk memastikan, beberapa ibukota yang


ditiru - atau mencoba meniru - ibukota Atlantis. Salah satunya adalah
ibukota kerajaan suku Inca, terletak di pulau kecil Danau Titicaca, di
lingkungan Tiahuanaco (Bolivia). Satu lagi adalah pulau Thera

100
(Santorini), mungkin ibukota suci Minoan Kreta, sebagai warisannya
menurut Atlantologis. Troy juga seperti digambarkan oleh Homer turut
melengkapi paradigma suci ini, dan dikatakan telah terendam oleh air bah
setelah kehancuran pada Zaman Perunggu "Yunani" sebagai mana dalam
epik Homer. Menurut Schliemann "Troy" di Turki hampir tidak cocok
dengan deskripsi standar modal Atlantis, atau bahkan Troy versi Homer,
karena beberapa ahli seperti M.I. Finley telah menyimpulkannya. Jadi,
sulit untuk melihat bagaimana hal yang pernah ada itu telah diidentifikasi
baik Plato, atau paradigma Homer. Ibu kota Aztecan di Meksiko,
Tenochtitlan, juga diikuti adaptasi pedalaman dari model primordial,
dengan Gunung Suci di pusatnya (Gunung Atlas) diganti dengan piramida,
dan kanal-kanal yang saling berhubungan dan melingkar digantikan oleh
jalanan dan pintu yang megah.

Gambar : Situs Harappa dan Mohenjo Daro, Pakistan


(http://pakistanpalses.blogspot.com/2011/05/harappa-pakistan.html).

Geometri Keramat ini sangat banyak dibuktikan di Timur Jauh


(Angkor, Borobudur, dll). Jadi, semakin sedikit keraguan bahwa model
tersebut dari Timur Jauh, dimana hal tersebut sangat populer. Salinan
kasar juga ditemukan di Skandinavia dan di Celtiberia, di monumen
(cromlechs) seperti Stonehenge dan sejenisnya itu. Universalitas tradisi ini
membuktikan realitas Atlantis sebagai prototipe kota yang mengikuti
model dari "Celestial Yerusalem", yang juga memiliki bentuk ini, salah
satu bentuk “silang berlingkar” ( ) yang kami komentari lebih lanjut di
bawah. Di India dan Indonesia kita menemukan jumlah yang banyak dari
seluruh kota dan kompleks seperti di candi Angkor Thom, Angkor Wat
dan Borobudur, yang didasarkan pada model Kota Atlantis, baik yang
berukuran penuh atau sebagai kecil, atau tiruannya. Seperti yang kita
bahas di tempat lain, yang Geometri Suci ibukota Atlantis itu sendiri
merupakan replika bumi, bentuk ideal yang berasal jauh dari jaman
dahulu. Keempat kuadran Salib Atlantis merupakan “Four Corners of the
World”, yaitu Empat Benua (Eurasia, Afrika, Amerika dan Australia).
Demikian juga, di tengahnya merupakan benua Atlantis, tenggelam di
bawah laut, dan menjadi bagian kecil (Indonesia). Seperti yang sudah

101
dikatakan, bentuk suci ini juga mewakili Gunung Suci (Gunung Meru)
yang jika dilihat dari atas terdapat “empat sungai surga” (four river
paradise) yang mengalir ke bawah lereng sampai ke samudera yang
“melingkari” dunia (daratan).

4) Gunung Berapi dan Gunung Suci

Fitur penting dari Atlantis adalah Gunung Suci. Gunung ini, yang baru
saja kita komentari, bertempat di ibukota dan telah diidentifikasi sebagai
Gunung Atlas yang dalam perannya sebagai "Pillar of the Sky" atau “tiang
langit”. Dalam legenda, ketika pilar ini runtuh, langit jatuh ke bumi,
menghancurkan dan menyesakkan udara. Pada kenyataannya ini
merupakan peristiwa dari ledakan Gunung. Atlas (gunung berapi) dan
dari bencana alam yang menyebabkan akhir Abad Es Pleistocene, seperti
yang kita bincangkan secara rinci di tempat-tempat lain. Dengan kata lain,
ibukota Atlantis adalah replika bumi itu sendiri, dengan kanal melingkar
mewakili lautan mengelilingi bumi, dan dua persimpangan yang mewakili
empat sungai surga. Gunung Suci yang kita temukan pada dasarnya ada di
semua agama dan tradisi suci, yaitu tentang surga dan Gunung Atlas,
itulah pola dasar dari semua kepercayaan. Kami menemukan Gunung Suci
di dalam menggunakan nama-nama serupa seperti Gunung Smeru di
Indonesia, Gunung Kalvari (atau Golgota) dalam istilah Kristen, Gunung
Qaaf ("Tengkorak" = Kalvari) dalam istilah Islam, gunung Kailasa di
agama Siwa, gunung Salvat (atau Calvat = "Tengkorak") dalam istilah
Catharisme, Gunung Olympus di Yunani, dll. semua berasal dari model
Atlantis, baik di masa sekarang maupun Masa lalu.

Misalnya Gunung Olympus, mendapatkan namanya dari Hippous


Olmos Yunani, berarti "gunung para centaurus52". Selain itu, Centaurs
(Khentarfos) terdapat pula di mitos Gandharva India, di mana Gunung
Meru disebut "Gunung dari Gandharva". Fakta ini menunjukkan bahwa
mitologi India menjadi mitologi Yunani kuno. Gunung Suci (berhubungan
langsung dengan tokoh Atlas “Ayar Cachi” yang berubah menjadi batu)
juga ditemukan di Peru sebagai Huanacauri suku Inca. Bahkan, di
manapun kita menemukan mitos tentang Gunung Suci di surga, dapat
menelusuri Gunung Suci dan Indonesia, yaitu mengarah pada Atlantis.

52
Mitos monster bertubuh setengah manusia setengah binatang.

102
Gambar : Orang Lemuria berlatar belakang Gunung Suci (Watson).

Dalam bentuk simbol, Gunung Suci juga direpresentasikan sebagai


piramid atau obelisk53, atau struktur serupa. Ini termasuk artefak seperti
tiang candi Mesir, menara-menara dari ziggurats di Babilonia, menara dari
katedral Gothic dan gapura Hindu dan kuil-kuil piramida. Piramida -
piramida berundak di Mesir, Meksiko, Peru dan Timur Jauh (Cina,
Jepang) - semua membentuk replika Gunung Suci, yang berbentuk sebagai
piramida empat sisi dalam tradisi Hindu.

Banyak dan sebagain besar Kuil piramida di India telah dihancurkan


oleh penyerbu Muslim, menggantikannya dengan masjid-masjid dan
istana. Tetapi banyak yang telah direkonstruksi sesuai dengan paradigma
lama “Gunung Suci”. Namun, contoh terbaik yang selamat berada di luar
India, misalnya Angkor (Angkor Wat dan Angkor Thom) dan Jawa
(Baphuon, Borobudur) yang tidak hanya meniru Gunung Suci, namun juga
seperti ibukota suci Atlantis itu sendiri.

53
Batu berdiri (menhir) membentuk formasi segi empat bersusun mengecil ke atas (seperti piramida).

103
Gambar : Angkor Wat With Buddhist Monks in Front of Reflection Pool
(http://famouswonders.com/angkor-wat-temple)

Seperti yang sudah kita kisahkan, Gunung Suci Atlantis, Gunung


Atlas, adalah puncak gunung berapi besar yang meletus dan runtuh,
menghapus kota suci di bawahnya. Jadi, “peistiwa tenggelam” ini
merupakan salah satu fitur penting dari Atlantis yang tidak boleh
dilupakan saat mencari lokasi Atlantis. Untuk memberikan contoh yang
spesifik, tipikal Yerusalem adanya pusat Gunung Sion. Ini Gunung Suci,
benar-benar sama dengan Gunung Sinai. Gunung Sinai, dalam Kitab
Kejadian, digambarkan sebagai gunung berapi yang menakutkan "tiang
api dan asap" merupakan panduan bagi bangsa Israel dalam Eksodus
mereka dari surga lama mereka yang hancur. Surga ini - yang sekarang
dinamakan Mesir (Egyp atau Eden) – adalah Indonesia, tanah air asli
orang Yahudi.

Oleh karena itu, hanya membuang-buang waktu untuk mencari


Atlantis, seharusnya dicari di daerah yang penuh bencana gunung api dan
gempa bumi (dalam hal ini mencari Eden, Surga menurut mistisisme
Mesir). Daerah seperti itu memang sangat sedikit di dunia. Pertama ada
Thera, Atlantologis yang lebih berpikiran ilmiah menyukai fitur ini.
Kondisi alam suku Inca dan suku Maya juga sering dirongrong oleh
bencana ini. Tetapi gunung berapi mereka tidak bersifat eksplosif, berbeda
dengan di Timur Jauh, lavanya sangat kental.
tidak ada ledakan vulkanik di tempat-tempat seperti Skandinavia,
Greenland dan Antartika. Tidak ada gunung berapi di Schliemann's Troy,
di Tartessos (Spanyol) dan di Celtiberia (Perancis dan Inggris Raya). India
juga tidak memiliki gunung api, tetapi memang sering menjadi korban
gempa dahsyat. Jadi, kita dibiarkan untuk memperhatikan Hindia dengan

104
Thera sebagai lokasi kemungkinannya, dan daerah vulkanik lainnya di
dunia tidak termasuk dalam memungkinkan itu. Daerah-daerah non-
vulkanik tidak termasuk dalam daftar kami.

Indonesia adalah wilayah vulkanik yang paling aktif di seluruh dunia.


Bahkan, Indonesia dibentuk oleh ribuan dari puncak gunung berapi yang
sekarang berubah menjadi pulau-pulau, setelah perendaman dari dataran
rendah tersebut. Dan daerah ini disebut dengan nama yang kuat sebagai
"Sabuk Api". Keganasan ini dibuktikan dalam sejarah dengan bencana
yang besar dari letusan Krakatau dan Tambora, dan di beberapa wilayah di
Indonesia. Selat Sunda - lokasi Gunung Krakatoa – adalah kaldera gunung
api raksasa dimana ini merupakan gunung api semi-kapal selam (gunung
api yang tumbuh dari dasar laut, pen). Danau Toba, di Sumatra, dipandang
kaldera vulkanik terbesar di bumi, seluruhnya 100 kilometer.

Kaldera vulkanik besar lainnya di wilayah ini, memiliki ukuran yang


serupa, salah satunya Danau Taupo, di New Zealand. Semua kaldera
raksasa merupakan hasil dari ledakan besar gunung api yang terjadi di
masa geologi, sekitar 75 kya (kiloyears ago). Jadi, catatan geologi di
wilayah tersebut menunjukkan kenyataan adanya kemungkinan bencana
api dan air di seluruh dunia seperti yang digambarkan oleh Plato dan yang
lainnya terkait dengan Surga Atlantis. Dan kini telah terbukti bahwa
gunung api super seperti yang baru saja disebutkan itu cukup mampu
memicu Zaman Es, dan sebenarnya begitu banyak letusan raksasa di masa.

Kristal batuan banyak bertebaran di garis dasar samudera di wilayah


itu (Hindia dan Samudra Pasifik) adalah bukti lebih lanjut dari kehancuran
besar lebih banyak di sana, di masa lalu, bahkan lebih lama lagi. Batuan
kristal tersebut diyakini hasil dari dampak meteor atau asteroid. Dan
menjadi pertanyaan di sini adalah terjadi pada sekitar 780 kya, yaitu di era
Manusia. Kristalbatuan ini adalah manik-manik kaca, kadang-kadang
berukuran besar, hasil dari dampak besar tersebut, yang disebabkan
pencairan dan penyemburan batuan silikat yang menjadi dasar kerak bumi.
Salah satu daerah itu - ditemukan dari Australia hingga ke Tibet, dan dari
Madagaskar ke Filipina - disebut Indochinites, dan dapat mencapai
beberapa kilo.

5) Beriklim Tropis dan Dua Panen dalam Setahun

Tropis, adalah iklim Atlantis yang menyenangkan diamana dijadikan


sebagai salah satu fitur utama dari Atlantis versi Plato. Merupakan fakta
bahwa filosof besar itu menciptakannya tidak secara iseng, kini menjadi
bukti dan dapat dijelaskan. Pertama, bahwa ada dua panen dalam setahun
telah disebutkannya secara spesifik. Orang-orang Yunani dari Alexander
kagum dengan kenyataan ini ketika menyaksikan kejadian itu di Lembah
Indus.

105
Dua panen dalam setahun - umumnya padi, gandum atau barley (biji
semacam gandum) - tidak hanya terjadi di Hindia, namun hampir di mana-
mana di Timur Jauh. Hal itu nerupakan hasil dari kombinasi keuntungan
yang membahagiakan dan unik bagi wilayah ini dibandingkan wilayah
lain di dunia. Di musim panas, ada pencairan gletser dari Himalaya dan
gunung lainnya membanjiri sungai untuk mengairi tanaman. Hal ini
dilakukan dengan cara membangun jaringan yang indah dan diatur dengan
bendungan, kanal dan terasering yang layak seperti gambaran Plato
mengenai Atlantis.
Fitur tersebut diamati di lembah Indus dan Gangga, belum lagi
Indonesia, Cina dan daerah sekitarnya. Hanya di Peru dan sisa kerajaan
Inka yang dapat kita temukan dalam segi teknologi meskipun dalam skala
kecil.

Panen yang kedua - dan kadang-kadang yang ketiga- dibantu musim


hujan yang menyburkan wilayah ini selama musim dingin. Angin
monsoon membawa kelembaban dan kesejukan, sangat berguna untuk
navigasi. Sekali lagi, hal itu adalah fitur khusus dari “Paradise”
sebagaimana dalam teks-teks seperti Homer, Hesiod dan bahkan Josephus,
serta beberapa penulis klasik lainnya. Bahkan, angin ini juga merupakan
angin sejuk dari siang hari yang dinikmati dewa-dewa di surga yang
menyertai Adam.
Angin monsun secara mitos, sama dengan legenda “Dewa Angin
Utara“ yang bertiup dari Hyperborea, suatu tempat yang legendaris
sebagai tempat tinggal Apollo di Pulau Matahari. Pulau ini juga disebut
dengan nama lain seperti Delos, Hypereia, Erythia, Phoenicia, Ortygia,
Chemmis, dll. Pada kenyataannya, semua pulau-pulau tersebut adalah
manifestasi dari Pulau Surgawi dari Taprobane (Sumatera), yang menurut
Pliny54 dan dan yang lainnya serupa dengan “dunia yang lain”.
Banyak fakta disebutkan dalam konfirmasi Critias tentang alam tropis
Atlantisnya Plato: hutan hujan, pohon-pohon palem, kelapa, mawar hutan,
pohon kemenyan, nanas, kelapa, pisang, dll. Tentu saja, Plato juga
menyebutkan "pulau ini sangat tepat di bawah matahari". Ungkapan ini
berarti, dalam bahasa kuno, sama dengan yang modern "equatorial”
(khatulistiwa), yaitu, "berbaring langsung di bawah jalan matahari di
langit" (lying directly under the path of the sun in the skies).
Kita harus ingat bahwa Atlantis Plato berkembang selama gletser
terakhir, zaman ketika suhu global 5 ° sampai 10 ° C di bawah sekarang.
Pada saat itu, kebanyakan daerah beriklim sedang dan dingin sekali, dan
seluruhnya tertutup oleh gletser tebal bermil-mil. Jadi, peradaban besar -
selalu didasarkan pada pertanian dan memelihara ternak - hanya bisa ada
di daerah tropis dan khatulistiwa seperti India Selatan, Asia Tenggara,
Indonesia, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Tengah danutara, serta

54
Gaius Plynius Secundus (23-79 M), Pliny Sang Pendeta, Sejarawan yang menulis “Natural History” , meninggal
ketika sedang mengamati meletusnya gunung Vesuvius (62-113 M). (Babylon Dictionary, 2007, Babylon Ltd)

106
Timur Dekat. Daerah beriklim bumi itu menunggu Zaman Es berakhir
untuk memulai membangun pertanian dan bahkan peradaban.
Para pendukung daerah dingin seperti Laut Utara, Antartika, wilayah
Arktik, dan semacamnya, menjadi penjelasan yang “tidak nyambung”
seperti “pindah kutub” dan Continental Drift spontan (pergerakan benua
secara rutin, pen). Tapi peristiwa ini sepenuhnya di luar bidang ilmu
pengetahuan, karena mereka bertentangan dengan semua fakta Geologi.
Oleh karena itu, hal itu tidak dapat diterima kecuali beberapa bukti faktual
berkembang untuk mendukung pernyataan “tidak nyambung” itu. Bukti ini
juga menjelaskan fakta bahwa gletser dari pegunungan Himalaya,
Greenland, dari Antartika, dll, telah berada di sana selama jutaan tahun.
Demikian juga, hutan khatulistiwa seperti, Amazon di Brasil, di
Afrika, dan Indonesia telah ada selama jutaan tahun yang secara bertahap
telah terjadi perkembangan spesies yang variatif, keseimbangan ekologi
sangat mudah terganggu bahkan oleh gangguan kecil sekalipun. Jika
Kutub memang bergeser di masa geologi baru-baru ini, hutan-hutan ini
akan dibawa ke daerah beriklim sedang atau kutub di dunia, bersama
dengan Atlantis. Kenyataan bahwa hutan ini masih ada, karena mereka
telah ada selama jutaan tahun dan menjadi bukti cukup bahwa Pergeseran
Kutub tidak pernah terjadi di zaman Atlantis.
Jadi, secara ilmiah para Atlantologis berpikir lebih baik melupakan
perpindahan kutub baik Arktik atau Antartika sebagai lokasi Atlantis, jika
memang mereka ingin dianggap serius oleh komunitas akademisi. Hal ini
tidak ilmiah dengan membalikkan fakta agar sesuai dengan teori yang
“tidak nyambung”, bukan menekuk teori agar sesuai fakta.
Sementara itu, sering terjadi kebingungan di antara beberapa
pendukung ide-ide liar ini. Bumi memiliki dua kutub, Kutub Magnetik dan
Kutub Langit (Celestial Pole). Salah satunya adalah ditentukan oleh
magnet, dan perubahan yang cukup sering dari waktu ke waktu geologi.
Tapi pergeseran itu berakibat sangat kecil pada kehidupan maupun pada
permukaan bumi. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa bumi
berputar terhubung dengan bintang-bintang, dan pada dasarnya tidak
berubah disebabkan oleh rotasi bumi yang tetap terjaga. Dengan kata lain,
bumi berperilaku seperti poros raksasa atau gulungan, dan cenderung
untuk tetap menjaga arah sumbu rotasi relatif terhadap bintang-bintang,
bahkan jika terganggu oleh pengaruh eksternal yang cukup besar seperti
perubahan hamparan es atau salju.
Hanya pada gangguan besar- katakan saja, tabrakan meteor raksasa
seukuran planet - akan menyebabkan pergeseran besar pada “Kutub
Langit” bumi. Tidak ada jejak apa pun bahwa hal ini terjadi dalam jutaan
tahun terakhir, katakan saja selama masa Homosapiens. Selain itu,
pengamatan rinci tentang magnetisme batuan, analisis palynologic (studi
serbuk sari), sedimentologi (endapan laut dan danau) dan analisis varve
(variasi permukaan danau tahunan) hanya meninggalkan keraguan semata
bahwa kebenaran akan danya pergeseran kutub merupakan ilusi frustrasi

107
Atlantologis amatir yang putus asa pencarian benua Atlantis yang hilang
di manapun di dunia nyata kita.

6) Populasi Besar

Plato memberikan beberapa petunjuk bahwa penduduk Atlantis itu


memang banyak untuk zaman tersebut. Fakta ini sendiri tidak ada di di
wilayah paling kuno di dunia seperti Eropa, Asia Utara dan Amerika
Utara, di mana hamparan salju pada Zaman Es hanya dihuni oleh suku-
suku semi primitif, pengumpul dan pemburu lapara. Syarat ini juga
menghalangi Afrika Utara dan Timur Dekat, yang terutama gurun di
zaman itu. Dengan demikian kita berlaih ke Amerika Tengah dan Selatan,
serta Hindia dan Asia Tenggara, di mana lokasi hujan tropis yang
melimpah, yang memungkinkan adanya pertanian.
Pertanian dan ternak - versus berburu dan mengumpul - adalah dua
syarat dasar untuk pengembangan kehidupan kota, luas, stabil, dan
masyarakat yang beradab. Komunitas besar semacam itu langka di masa
lalu di luar Mesir, Mesopotamia, India dan Timur Jauh. Selama zaman
Pleistosen dan Paleolitik, mereka mungkin tidak berada di luar Atlantis.
Populasi Atlantis dapat diperkirakan melalui fakta-fakta yang
diungkapkan oleh Plato. Pertama-tama, kita memiliki wilayah negara yang
kuas, dongeng kesuburannya, dua kali panen setahun dan jaringan irigasi
yang sangat besar. Ini adalah, kata Plato, sekitar 600 x 400 km ². Jika kita
mengambil produktivitas pertanian khas Asia (beras), kita mendapatkan
panen tahunan untuk wilayah seperti 10 sampai 20 juta ton beras,
ditambah keberagaman produk pertanian dan ternak lainnya, bahkan
membiarkan sebagian besar tanah tetap kosong (meski telah dibajak, pen).
kini, beras cukup melimpah untuk memberi makan populasi 15 sampai 30
juta orang dan masih meninggalkan surplus cukup untuk ekspor. Ini
adalah angka yang sesuai dengan hasil pengamatan di daerah Asia Selatan.
Jadi, kita Plato berbicara realitas, bukan fiksi atau semacamya.
Kemungkinan lainnya, hasil panen ini sebagian dapat diekspor untuk
mengisi kas, inilah legenda kekayaan Atlantis yang melimpah. Ekspor
makanan dan kesumburan inilah yang terkenal dari pulau Blest (Atlantis)
yang ditengarai di banyak mitos dan tradisi di tempat lain.
Kami juga dapat memperkirakan populasi Atlantis dari data yang
diberikan oleh Plato melalui tentara Atlantis. Plato memberikan angka-
angka ini secara rinci, dengan total 1.160.000 tentara. Jika kita
menganggap bahwa satu setengah dari penduduk adalah perempuan dan
bahwa sekitar setengah dari laki-laki adalah anak-anak atau orang tua,
selanjutnya, kemungkinan besar, tak lebih dari 1 / 4 atau lebih dari
populasi orang dewasa laki-laki itu sebenarnya wajib militer, maka kita
dapati jumlah penduduk sekitar 20 juta orang sesuai perkiraan jumlah di
atas.
Jumlah ini sangat besar dalam norma dunia prasejarah, terutama ketika
kita mempertimbangkan bahwa Atlantis berkembang pada zaman yang

108
mendahului zaman Neolitik. Oleh karena itu, sama seperti perkataan Plato,
tidak ada bangsa di zaman itu mampu melawan Atlantis. Pada kasus
Athena, ada tidak lebih dari 30-50.000 pria di masa puncak kekuasaannya,
yaitu pada zaman Pericles. Tapi kita harus memaklumi karena alasan
pemahaman patriotisme Plato, yang ia tulis untuk pendengar orang
Yunani.
Kita dapat simpulkan bahwa populasi besar Atlantis adalah poin yang
unik bagi Timur Jauh ( satu-satunya tempat di mana pasukan yang besar
seperti itu bisa dihimpun di masa lalu) sesuai alasan-alasan di atas.
Bahkan, orang Yunani kuno, seperti bangsa-bangsa lain, mengagumi
ukuran raksasa tentara Timur, dan terutama yang dari Porus, raja dari
salah satu India yang diduga ditaklukkan oleh Alexander Agung.
Kita juga harus menyadari bahwa Atlantis berkembang selama Paleolitik
dan bahwa kehancurannya bertepatan dengan munculnya Neolitik dan
pengenalan pertanian. Hal ini menjadi alasan kuat bahwa Pertanian
ditemukan di Timur Jauh lebih dari sepuluh ribu tahun yang lalu, dengan
padi - dibuktikan dengan 12.000 tahun yang lalu di Cina - menjadi salah
satu kebudayaan pertama kali dikenal. Revolusi Neolitik mulai secara
spontan, sekitar 10.000 tahun yang lalu pada skala dunia, setelah hampir
satu juta tahun masa Paleolitik berdiri.
Hal ini mengarahkan untuk kesimpulan bahwa Revolusi Neolitik
ternyata didorong oleh Atlantis ketika mereka dipaksa keluar dari blisfull
cocoon mereka dengan bencana tersebut. Di sana mereka tinggal dalam
ekologi yang seimbang, tanpa memperluas atau menjarah tetangga mereka
yang kurang maju atau bahkan mencoba untuk memperdaya mereka.
Dengan kata lain, tampaknya Atlantis memiliki keyakinan bahwa "kecil
itu indah" dan bahwa mereka melaksanakan kebijakan "hidup dan
membiarkannya hidup", seperti kita saat ini belajar untuk melakukannya.
Dengan kata lain, tampaknya bahwa Atlantis sebenarnya adalah Civilizing
Heroes- atau "Bidadari" atau "Dewa" - yang semua bangsa di dunia
mengatakannya: Viracocha, sume, Quetzalcoatl, Kukulkan, Tubal Kain,
Erikhthonios, Cadmus, Thoth , Eneas, The Oannés, dan sebagainya.

7) Geometri suci kota Atlantis

Kota Atlantis - ibukota suci dan benteng kerajaan dari kerajaan besar
dengan nama yang sama - memiliki Geometri Suci (sacred geometry)
yang menjadi paradigma dan model bagi semua kota lainnya. Geometri
kota digambarkan secara detail oleh Plato maupun oleh yang lainnya,
pakar mitologi simbol dan atlantologis. Pada dasarnya, ini mengikuti
model apa yang disebut "Celtic Cross" atau "Persilangan Atlantis", sebuah
lingkaran dengan silang ditengahnya yang sudah kita dibahas.
Simbol sakral ini sering dihubungkan dengan Matahari atau Bumi,
yang kemudian digunakan dalam Astrologi. Dan memang lambang
Atlantis dimana para Atlantologists seperti Otto Muck menamainya "Salib
Atlantis". Di Mesir, seperti yang kita katakan di atas, dalam hyrogliph

109
adalah simbol surga (Punt), atau juga Holy Eucharist (Roti Suci). Ide
tentang "Pengorbanan Kuno" yang terkait dengan roti suci selalu
dihubungkan dengan Atlantis dan kebinasaannya.
Di pusat ibukota Atlantis terdapat Gunung Suci (Gunung Atlas), yang
tidak lain dari gunung suci Hindu (Gunung Meru). Gunung Meru
berbentuk piramida, dan pola dasar dari semua piramida dan gunung suci
dimana-mana piramidal. Piramida ini bertingkat, secara geometri serupa
dengan Gunung Atlantis (Hindia), yang bertingkat dengan terasering
untuk keperluan pertanian, seperti yang kita sudah bahas di atas.
Pertanian terasering hingga hari ini cukup lazim di seluruh Timur Jauh
(Asia Tenggara). Mereka melestarikan air dan tanah, yang memungkinkan
pertanian di lereng gunung terjal yang khas dari daerah vulkanik seperti
Asia Tenggara dan Indonesia. Teknologi pertanian ini dikirim ke Amerika
(Inka Peru), yang dikonfirmasi dengan baik dalam kontak prasejarah
Amerika dengan Timur Jauh di era prasejarah.
Empat bagian dari alam semesta ditandai dengan bentuk piramida
terhitung sejak era Atlantis. Hal ini ditemukan baik di dunia purba maupun
sekarang, selalu dalam konteks yang sama persis. Dengan demikian,
simbolisme piramida muncul di akhir Pleistosen, ketika dunia purba dibagi
berdasarkan standar doktrin akademisi di Passage Beringian dan
mengenai munculnya peradaban Amerindian. Kecuali hipotesis Atlantis,
tidak ada penjelasan ilmiah lain yang mampu menjelaskan kesamaan
simbolisme piramida dan pertanian terasering baik di Amerika maupun
Timur Jauh. Hipotesis biasa "kebetulan belaka"tidak akan terjadi di sini,
karena kemungkinannya kecil.
Kami juga menemukan simbolisme pembagian empat dalam empat kasta
Hindu, serta di candi berbentuk piramida mereka, dan khususnya dalam
mandala suci mereka menggambarkan Gunung Meru, Gunung Surga.
Mandala seperti Tanah Suci (Shveta Dvipa) atau “roda waktu”
(Kalachakra) dengan tipe yang menggambarkan surga jika terlihat dari
atas. Di pusat lingkaran menunjukkan kanal yang melalui Atlantis, kami
dapati bahwa Gunung Meru mewakili piramid berundak.

Kembali ke simboli mandala Gunung Meru, selanjutnya kita memiliki


tiga dinding dengan empat pintu, semuanya adalah Empat Arah Primer.
Semua itu adalah Sungai Oceanus yang melingkar. Sungai melingkar ini
sering direpresentasikan sebagai Ouroboros, ular yang memakan ekornya
sendiri. Mandala kerap direpresentasikan sebagai teratai berapi (Golden
Lotus), bentuk simbol abstrak dari suku kata suci, om mani padme hum.
Mantra (doa) tersebut dapat diartikan sebagai “yang membakar”, “yang
menghancurkan” Atlantis, sebuah bencana alam Api dan Air dikenal
sebagai Banjir, seperti yang telah kita bicarakan.

110
Gambar : Teratai Emas (sumber: natureproduct.net).

Jadi, Simbol Suci Atlantis dari mandala dan yantra itu memang telah
kita temukan di seluruh Timur Jauh, dan khususnya di Hindia Timur.
Selain itu, simbolisme mandala ini – ditunjukkan dengan cara yang sama
persis dan menggunakan teknik yang serupa baik penggambaran pasir dan
perspektif samping - juga ditemukan di Amerika, misalnya antara Navajo
dan Indian Zuni.

Gambar : Situs Navajo (sumber : http://www.edwardjkschmidt.com).

lebih tepat lagi, mandala Hindu-Buddha serta Amerindian mewakili


tempat sejati surga Atlantis. Representasi ini termasuk Gunung Atlas
sebagai Gunung Suci di surga. Gunung ini kerap secara eksplisit
digambarkan sebagai sebuah gunung berapi, sumber ledakan berapi yang
menghancurkan surga, dalam istilah Hindu disebut “Atala” dan “Patala”,
yang sangat dekat dengan kata “Atlantis”.

111
Gambar : Patala di Tibet (sumber Index-China.com).

Selain itu, mandala India dalam diskusi juga memperlihatkan “Wall


Triple Atlantis” (trimekhala). Tiga dinding ini sesuai dengan gelombang
“laut” (atau “Sungai Oceanus”) di sekitar kota suci, juga diwakili oleh tiga
parit bundar. Sekali lagi, empat gerbang (toranas) maritim merupakan
empat selat yang memungkinkan mengakses Atlantis dari empat penjuru
Dunia. Fakta bahwa kita menemukan legenda Atlantis yang menjelaskan
begitu akurat dalam lukisan pasir Amerindian dan dalam mandala Timur
Jauh, yang membentuk dasar dari Hinduisme dan Buddhisme
membuktikan pentingnya ekstrim mitos Atlantis baik di Amerika maupun
Timur Jauh.
Faktanya adalah bahwa bentuk mandala Atlantis dan geometri suci
ditemukan di mana-mana. Seperti yang kita lihat, secara skematis
digambarkan dalam “Celtic Cross” maupun di monumen seperti
Stonehenge, yang sebenarnya merupakan hal yang serupa. Demikian juga
Celtic disebut Triple Wall, simboli mandala juga ditemukan di mana-mana
di dunia kuno. Di Australia juga, dan di Melanesia, mandala identik
dengan orang Hindu-Buddha dan Amerindian - juga ditemukan dalam
kaitannya dengan representasi simbolik surga serta Gunung Suci.
Demikian pula piramida Mesir dan ziggurat di Mesopotamia, Pagoda dan
Stupa di Timur Jauh.

Dalam pandangan skematik, orang bisa mengatakan bahwa


lingkaran batu itu (cromlechs) serta asumsinya adalah seperti lingkaran
danau atau kolam, dolmen, dan sebagainya, merepresentasikan yoni, dan
dolmen (batu-batu berdiri), menhir, piramida, tugu dan seterusnya
mewakili lingga tersebut. Kedua simbol tersebut adalah objek paling suci
di India, dan secara kasar terkait dengan dua buah segitiga dari David
Mogen, dua balok bersilang, Bulan Sabit dan Bintang Kutub, dan
sebagainya. Bahkan, keduanya merupakan Gunung Suci, pertama sebagai
suatu puncak gunung, maka di negara yang runtuh, setelah "pembersihan"
yang dipengaruhi oleh ledakan raksasa dan mengubah gunung menjadi

112
kaldera yang menganga, seperti gunung Krakatau di Indonesia, negerinya
gunung berapi.
Motif identik juga ditemukan di Mesir, di kompleks piramidal juga
menggambarkan piramid yang berbentuk Gunung Suci. Sebuah mangkuk
tembikar biru yang terkenal ditemukan di Thebes dan bertanda Kerajaan
Baru menggambarkan piramida Gunung Suci, Menurut tinjauan
rancangan, seperti pulau yang dikelilingi oleh kanal. Memgarah ke empat
penjuru, ada pula empat Pohon Kehidupan digambarkan sebagai tanaman
teratai raksasa. Gambar ini mirip dengan desain mandala serupa dari Maya
dan Aztec, yang sering mewujudkan empat Pohon Kehidupan. Hal ini juga
membangkitkan mandala Hindu mewakili Gunung Meru, juga dilihat dari
atas, dengan empat puncak penyokong, masing-masing dengan Pohon
Kehidupan sendiri. Hal ini sangat tidak mungkin, dimana suatu desain
simbolisme surgawi yang identik itu berkembang secara independen di
semua tempat yang jauh di wilayah-wilayah terpencil di dunia. Dan
pemunculan awal mereka menunjukkan bertepatan dengan zaman Atlantis,
seperti yang kita duga.
Dalam bentuk yang lebih kamuflase- tapi melambangkan ide-ide
yang sama persis dan geometri suci serupa Atlantis - kita juga memiliki
bentuk serupa mandala mewakili Surga Yerusalem sebagai Pusat Dunia.
Gunung Suci di sini diwakili oleh Gunung Kalvari (= Gunung Atlas, atau
Meru) dan persilangan (Golden Lotus). Memang, sebagian besar ibu kota
seperti Washington DC, Belo Horizonte, Buenos Aires, Lhassa, Harappa,
Mekah, dan sebagainya, dibangun sesuai dengan Geometri Suci Atlantis,
sumber sebenarnya dari semua Simbolisme Surga tersebut.
Semua kota memilikinya, sebagai simbol utama mereka, tugu di tengah
alun-alun, dengan empat jalan utama (Four Cardinal Direction). Siapa pun
yang terbiasa dengan makna dalam mandala Hindu-Buddha yang diwakili
Gunung Meru sebagai Gunung Suci surga tidak akan mengalami kesulitan
dalam memahami simbol universal asli India ini. Kenyataannya hal itu
secara universal dan ekstrim memang memang menjadi terbukti tua, tanpa
diragukan, bahwa penyebaran ke seluruh dunia dibawa oleh orang
Atlantis, sebelum bencana, di akhir Era Pleistosen.

8) Diantara Pilar Herkules

Sejak Atlantis ditempatkan di samudera luar, maka harus dicari di luar


Pilar Hercules. Ada dua pilar di Eropa yang disebut Calpe dan Habila, di
Selat Gibraltar. Sebenarnya, ada beberapa pilar Hercules di zaman kuno
yang diciptakan oleh orang Phoenik yang terampil atau oleh orang
Yunani, untuk membingungkan orang mencari rute rahasia ke surga. Rute
rahasia itu memang benar dimana memungkinkan terjadinya perdagangan
yang menguntungkan dengan Hindia Timur yang diantaranya dengan
bumbu dan rempah-rempah, kami menduga, juga termasuk obat-obatan
halusinogen seperti ganja, opium, datura dan jamur suci.

113
kita temukan pilar Hercules - kadang dibingungkan oleh orang Atlas,
the Pillar of Heaven- tidak hanya di Gibraltar, tetapi juga di Tartessos
(Spanyol), Gadis (Cádiz modern, di Spanyol), Gadir (Maroko), Bosporus (
Laut Hitam), di Bab-el-Mandeb (Saudi) dan bahkan sejauh Delta Indus
(India) dan Selat Sunda (Indonesia). Pada kenyataannya, itu adalah
gerbang Pilar Hercules sejati ada di Selat Sunda yang membangun legenda
Hero (Hercules-Gadeiros) membuka Selat Gibraltar sebagai kejadian
penting, gemerisik sapi Geryon's, tenaga kerja kesepuluh. Pada
kenyataannya tugas ini dilakukan oleh ledakan raksasa gunung Krakatau,
yang masa laluny adalah Gunung Atlas, dan terletak di antara Jawa dan
Sumatera, yang dipisahkan oleh Selat Sunda, kaldera bawah air raksasa.
Ketika Yunani keluar dari tanah air purba mereka di Hindia Timur
menuju Mediterania, mereka membawa bersama mitos mereka, yang
mereka pindahkan ke fitur-fitur geografis lokal. Oleh karena itu, mereka
menciptakan sepasang Pilar Hercules (di Gibraltar), "Samudera Atlantik"
yang baru, sebuah Taman baru dari Hesperides, satu set Pulau baru di
Blest, sebuah Gunung baru, Olympus, dan sebagainya. Dan mereka juga
mengalihkan legenda pembukaan selat Gibraltar, dan dokumen Baladewa
(Bala, Baal) ke salah satu Hercules, mitra Yunaninya. Bahkan, nama-nama
seperti Bosporus (yunani;. bos-phoros), Oxford ("sapi-ford"), Gadeira
(Gad-ira), dan seterusnya, yang berarti "tempat sapi menyeberang",
mengarahkan Hercules menyeberang dengan ternak yang dia curi dari
Geryon.
Namun, seperti yang kita hanya berkata, tipikal Pilar Hercules benar-
benar terletak di Indonesia, situs sejati Atlantis, yaitu Surga (Eden). Ada
cerita di mana seluruh umat manusia memang dimulai.
Tapi, apakah orang menerima penemuan kami atau tidak, sangat
sedikit, untuk Plato sangat spesifik pada pengungkapan bahwa Atlantis
sebenarnya terletak di Samudra luar dan "di luar Pilar Hercules".
Sebenarnya, filsuf besar menggunakan kata hyper yang merupakan kata
keterangan dari bahasa Yunani yang berarti "di luar", yang berarti
"relokasi", "persimpangan", "menyeberang melewati", "lebih jauh", "di
sana", "dahulu", "melampaui", dan lain lain. Jadi, usulan bahwa tempat
Atlantis di dalam Basin Mediterania, meskipun menarik dan secara ilmiah
meyakinkan, harus dibuang karena tampak benar tetapi salah. Demikian
pula kasus Thera (Santorini, dekat Kreta), Schott-el-Djerid (Libya),
Bosporus (Laut Hitam), Selat Kertch (idem), Troy (Hisarlik, di Turki) dan
seterusnya, semua yang menganggap keberadaan sama jelas palsu dari
Pilar Hercules. Selain itu, kata-kata Plato sebenarnya berarti sesuatu yang
ditempatkan langsung di depan Pilar Hercules ketimbang jauh, seperti
kasus Amerika, atau seperti yang terjadi di Kepulauan Canary atau Laut
Utara, atau bahkan di Inggris .
Spesifikasi Plato lebih lanjut mengandung permainan kata tertentu (
amat disukai oleh orang dahulu ketika menyimpan sesuatu yang berkaitan
dengan rahasia dari suatu misteri) yang sekarang kita coba untuk jelaskan.
Untuk memulai dengan kata hyper yang dibahas di atas juga memiliki arti

114
"diletakkan di atas, sebagai pengganti". Ini mungkin apa yang ada dalam
pikiran Plato ketika ia menulis bahwa "Atlantis tinggal di luar Pilar
Hercules" (hyper ten Heraklei Nyssai).
Kami dapati secara tepat jenis permainan kata yang sama pada
penamaan dari Mesir yaitu negara Hau-nebut, tentang orang-orang
misterius dan tidak jelas (kabur) "island of the Middle of the great green".
Pulau-pulau yang dibingungkan oleh pulau Kreta bagi banyak
Egyptologists, memang orang Indonesia, Surga asli orang Mesir. Nama
Hau-nebut berasal dari sebuah permainan kata, dalam bahasa Sansekerta
dan Dravida, bahasa asli tempat itu, dan berarti sesuatu seperti "Kepulauan
(atau Rawa-Rawa) di luar Pilar (Hercules)". Dengan kata lain, pulau-pulau
yang jauh ini adalah pulau orang Atlantis, sisa dari benua nesar yang
tenggelam di masa lalu. Negeri ini juga disebut orang Yunani sebagai
Cimmeria, di Jerman disebut Nephelheim dan di Hindu disebut Dumâdhi,
yang semuanya nama berarti sesuatu yang "kabur" atau "ditutupi oleh
asap".
Interpretasi ini mungkin dianggap tidak berdasar, kalau bukan karena
fakta bahwa Plato membuat lain permainan kata yang sama ketika ia
membuat Pendeta Sais menegaskan bahwa Atlantis terletak "di depan selat
yang oleh Anda disebut Pilar-pilar Hercules". Dengan "Anda", dan bukan
"saya sendiri", itulah yang dimaksud sang filsuf. Betapa maksud Plato
mengisyaratkan Pilar Hercules benar-benar orang Indonesia, sebagaimana
ia sendiri menyebutnya. Sebab, tidak ada tanah atau pulau, tenggelam
ataukah tidak, "sebelum Gibraltar" kecuali benua yang jauh di Amerika
Utara atau beberapa pulau kecil yang tidak akan pernah bisa dipastikan
letak Atlantis. Tidak ada hingga sejauh ini, di zaman modern, terlalu
berani untuk mengidentifikasi Amerika sebagai Atlantis.
Jika kita perhatikan peta dunia - atau di yang ditunjukkan pada
Gambar- kita akan sadari bahwa Plato berbicara dengan sebenarnya, dan
bahwa daerah ini adalah satu-satunya di dunia yang cocok dengan kata-
katanya dan pada zaman yang dimaksud, “Ice Age Pleistosen”. "Pilar
Hercules" - yang benar sebenarnya, asli - adalah Selat Sunda diapit
"Pulau" atau "benua" (nesos) dimana sekarang sebagian dari Paparan
Sunda terrendam, yaitu Atlantis. Jalur kepulauan yang disebut Plato sesuai
dengan apa yang kita kenal sebagai Wallace Line.
Garis Wallace adalah garis maritim pemisah antara Asia Tenggara dan
Australia. Selama Pleistosen Ice Age, jaur ini sempit, selat yang panjang
yang memungkinkan penyeberangan kapal dari Samudera Hindia ke
Samudra Pasifik saat itu dalam keadaan terblokir. Dan dari sana, kita
dapat bertemu dengan kepulauan dari Melanesia dan Polinesia yang
memungkinkan dengan aman menyeberang (dengan pengisian bekal lagi)
ke Amerika (Luar Benua, Peirata Ges). Pernyataan Plato begitu sempurna,
sangat unik sehingga menggoda kita untuk mencari satu lagi yang seperti
itu.
Dua hal yang lebih layak dikomentari salah satunya adalah makna dari
kata nesos, biasanya diartikan "pulau", dan yang lainnya adalah

115
terjemahan yang berkenaan dengan ukuran Atlantis yang "lebih besar dari
Libya dan Asia disatukan". Dengan "Asia", orang Yunani kuno umumnya
berarti Asia Minor (Turki atau Anatolia). Sedangkan "Libya" mereka
dipahami Afrika, yaitu ujung utara khatulistiwa, seperti ditunjukkan pada
peta Strabo. Beberapa peneliti yang mengidentifikasi Atlantis dengan
Kreta mengusulkan bahwa frase di atas ditafsirkan sebagai "antara Libya
dan Asia Minor", yang akan menempatkan Atlantis di wilayah Kreta.
Tetapi terjemahan ini tidak mungkin. Apa Plato menulis: hê de nêsos
hama Libuês ên kai Asias meizôn, yang secara harfiah berarti: “dan pulau
itu lebih besar (meizôn) dari Libya dan Asia (Hama)”. Meizôn sebanding
dengan Megas (besar), dan ia bukan kata preposisi, seperti “antara”. Selain
itu, Plato menggunakan Hama, yang berarti "ditempatkan bersama,
ditambahkan, disandingkan".
Isu kedua lebih mengungkap rahasia ini. Seperti yang kita jelaskan
berikutnya, dalam bahasa Yunani nesos (pulau) juga dipakai di zaman
kuno untuk dataran rendah berpantai yang mengalami banjir periodik atau
permanen, atau suatu daerah yang terisolasi oleh air atau gurun, dan
sebagainya. Karena itu, kata itu justru digunakan sama dengan Dvipa
(Sansekerta) dan yu (Mesir), yang memilki arti sama. Secara khusus, kata
Dvipa diterapkan pada surga yang tenggelam dalam tradisi Hindu, tipikal
nyata yang ditulis Plato. Bahkan, Plato menegaskan bahwa cerita itu
diterjemahkan dari bahasa asli tidak diketahui di Mesir dan bahwa pendeta
yang mengatakan itu kepadanya menafsirkan arti dari nama yang
digunakan (Critias. 113A).
Jadi, adalah kemungkinan bahasa yang tidak diketahui itu sebenarnya
bahasa Sansekerta, dan bahwa kata yang diterjemahkan sebagai nesos oleh
Solon55 adalah Dvipa, yang berarti “pulau” atau “benua”, atau lebih
tepatnya, "tanah cekung" atau "Semenanjung". Apapun, dari bahasa
Yunani nesos yang digunakan Plato diartikan sebagai “tanah yang
terrendam, “tanah cekung”, “semenanjung" sama persis dengan yang
disebut dalam bahasa Sansekerta dvipa. Penggunaan nama ini sama seperti
yang digunakan pada nama Peloponnesus (Pulau Pelops), adalah sebuah
semenanjung, bukan benar-benar sebuah pulau. Kata asli dari “tanah
cekung” hanya terbukti disebutkan di beberapa papirus Yunani, dan itu
juga berarti “tanah endapan", seperti salah satu delta Nil.
Plato, seperti yang kita katakan, adalah seorang ahli pidato, pendeta,
seorang ahli dalam penggunaan kata-kata. Karena itu, ia sering bermain
kata-kata, untuk menyembunyikan rahasia yang ingin diketahui orang.
Jadi, ketika dia menggunakan kata nesos, faktanya ia berbicara dua hal,
dalam arti ganda, yaitu, dengan permainan kata atau semacamnya. Ini
mengarah pada pemahaman bahwa filosof itu berbicara tentang sebuah
pulau, dalam bahasa yang mudah dimengerti. Sedangkan yang lainnya
sebaliknya, mereka memahami bahwa Plato berbicara tentang tanjung atau
sebagian tanah yang terrendam laut, hanya dengan “kerangka” yang
disisakan. “kerangka” ini adalah tanah pegunungan Taprobane, yang ia
55
Solon adalah nama seorang pendeta Mesir dalam cerita Plato.

116
sebut dengan tepat nama ini. Taprobane adalah suatu “Thule Ultima”
dalam istilah tradisi Romawi, permulaan dari “dunia yang lain” yang
oranglain menyebutnya Pliny.

Taprobane ini bukanlah Sri Lanka, ia hanya replika dari India.


Taprobane sebenarnya (tanah terendam yang disebut orang Dravida
sebagai Kanya Kumari ) adalah Semenanjung Melayu, pulau Sumatra dan
Jawa, sebagaimana disebutkan dalam Indonesia. Tanah tersebut adalah
“pulau-pulau di tengah laut” yang dibicarakan juga dalam Al-kitab (Injil)
dan beberapa tradisi suci lainnya. Arti sebenarnya dari nama rahasia ini
kini dimengerti. Semenanjung Melayu, Pulau Jawa dan Sumatera
membelah dua samudera, Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Dengan
demikian, mereka berada “di tengah laut” (atau samudera) dan dengan
demikian membaginya dalam dua gugus, seperti dapat lihat dalam peta.
Pulau-pulau ini juga merupakan “Kepulauan Atlantik“ yang kuno yang
diidentifikasi dengan Atlantis dan juga dengan “Kepulauan Blest”, sisa
dari “Surga Yang Hilang”.
Karena wilayah Atlantis di sela-sela antara dua samudera dan dekat ke
Samudra Pasifik, maka dapat disebut Ultima Thule, sebuah nama yang
dalam bahasa Latin berarti “bagian terakhir” atau “perbatasan terakhir”.
Sebagai dalam peta menunjukkan situasi sekarang sesuai dengan apa
dinyatakan Plato: “selat sempit” dengan “pulau” dan pulau Atlantis ada di
depannya. Selat ini adalah Selat Lombok (Selat Lombok), antara pulau
Bali dan Lombok, selat yang diapit oleh dua gunung berapi di sisinya,
yang merupakan "Pilar Hercules" dalam pembicaraan Plato.

117
Gambar : Terdapat celah menuju samudera Pacific diantara Bali dan Lombok, dipercaya
maksudnya adalah celah yang diapit oleh Pilar Herkules (National Geographic
Magazine, http://ari3f.wordpress.com/2008/02/17 ).

Kedua gunung berapi dan selat ini kemudian dibingungkan dengan


Selat Sunda antara Jawa dan Sumatera serta gunung berapinya, Krakatau,
dan gunung berapi Toba. Tapi ini hanya terjadi setelah akhir Pleistosen Ice
Age terakhir, ketika Selat Sunda dibuka karena kenaikan permukaan laut
besar yang kemudian terjadi. Dengan menavigasi sepanjang saluran
sempit yang sesuai dengan Garis Wallace, dapat masuk ke Laut Sulawesi,
kemudian ke Laut Cina Selatan, keluar di Samudera Pasifik. Tentu saja,
lorong sempit adalah rahasia yang dijaga ketat, diketahui hanya sedikit
orang seperti Plato sendiri.
Dua "Pilar Hercules" - atau lebih tepatnya, Gunung Atlas, kembar dan
sepasang Hercules - awalnya memang gunung berapi kembar Bali dan
Lombok, begitu terkenal dalam tradisi lokal. Memeluk gunung api ini
secara dekat di Selat Lombok, pintu masuk ke saluran sempit yang
dibentuk oleh Wallace's Line. Di Bali gunung berapi disebut Gunung
Agung, yang orang Bali mengumpamakannya sebagai “pusar alam
semesta”, Gunung Suci di mana seluruh alam semesta berputar dan yang
berfungsi sebagai penghubung dari bumi ke surga dan neraka. Gunung
Agung juga dianggap tempat tinggal Tuhan yang Maha Kuasa (Siwa),
yang tidak lain Atlas sendiri. Gunung Agung berukuran 3.142 meter, dan

118
memiliki pemandangan yang mengesankan bersama dengan kembarannya,
gunung berapi Lombok.
Gunung Lombok adalah Gunung Rinjani. Sekarang tertidur, tetapi
dapat kembali bangun dalam waktu dekat sebagaimana pakar gunung
berapi saat ini mewaspadainya. Berbeda dengan Gunung Agung, Gunung
Rinjani adalah kaldera raksasa, seperti dapat dilihat di foto NASA.
Meskipun telah runtuh, Gunung Rinjani masih terkesan tinggi, mencapai
ketinggian 3.726 meter. Tidak dapat diragukan lagi, sekarang mereka telah
diidentifikasi, bahwa dua gunung berapi yang megah pada kenyataannya
sesuai dengan keaslian Pilar Hercules dan Atlas. Pilar-pilar sejati
ditempatkan di tengah bumi, berfungsi sebagai Pilar Surga, yang tetap
tinggi. Identifikasi ini lebih lanjut ditunjang oleh fakta bahwa kedua Pilar
Hercules, Calpe dan Habila, oleh Avienus, berupa satu buah tiang tinggi,
dan yang lainnya sebagai cangkir raksasa atau kaldera, seperti yang terjadi
di sini.
Sulit dibayangkan, mengakurasi dengan lebih baik dari geografi lokal
di wilayah Indonesia menjadi laporan yang rinci disertai penjelasan Plato
tentang Atlantis. Perhatikan sekarang situasi geografis diilustrasikan pada
Gambar 1 di bawah ini, yang merupakan salah satu yang menang selama
Zaman Es, zaman Atlantis. Akses ke interior Atlantis 'diperoleh melalui
Selat Lombok (Selat Lombok) antara Bali dan Lombok. Satu kemudian
diikuti saluran, sempit panjang sesuai dengan Wallace Line. Selat ini pada
dasarnya lewatnya hanya terbuka terbuka ke Pasifik, seperti ditunjukkan
pada Gambar. 1. Dan Wallace's Line dibentuk oleh batas dari dua Pelat
Kontinental daerah, Lempeng Eurasia dan Lempeng India-Australia,
seperti dapat dilihat pada peta.
Hanya di depan selat ini dan "Pilar Hercules" (Atlas) kita dapati "pulau
Atlantis", yaitu, tanah cekung nya, Paparan Sunda. Mengikuti jalur ini,
orang bisa ke Laut Sulawesi, dan kemudian ke Laut Cina Selatan,
akhirnya muncul di Samudra Pasifik. Di sana kita dapati kepualuan dari
Melanesia dan Polinesia, dengan aman menyeberang ke Benua Luar,
Amerika yang disebut Plato Peirata Ges. Masih ada masalah yang
belumditemukan, yaitu “penghalang dilalui lumpur”, yang secara efektif
menutup bagian ini setelah bencana Atlantis, satu yang dapat kita
identifikasi, pertama, pada akhir Abad Es Pleistosen, sekitar 11.600 tahun
yang lalu, ketentuan waktu yang ditetapkan oleh Plato.

119
Gambar : Kawah Rinjani (http://www.belantaraindonesia.org/2011/09/tentang-gunung-
rinjani.html).

Tetapi sebelum itu, bagaimanapun, mari kita perhatian fakta penting.


Jika benar penafsiran kita tentang nesos kata sebagai yang setara dengan
Dvipa dari Sansekerta, kita harus mencari tanah cekung, bukan sebuah
pulau atau bahkan benua seperti Amerika yang tidak pernah tenggelam
sama sekali. Kuba, di mana beberapa peneliti saat ini menemukan seusatu
yang luar biasa, tampaknya telah sebagian tenggelam. Tetapi kedalaman,
ukuran dan waktu kejadian keluar dari kemungkinan sebagai lokasi
Atlantis.
Demikian juga dengan Kreta dan Santorini, dan bahkan Hisarlik
(Troy) sendiri, menemui kesulitan yang sama, dimana tidak adanya tempat
“di luar (atau sesudah) Pilar Hercules” dengan cara apapun. Akhirnya,
penempatan seperti Kepulauan Canary, daratan Inggris atau Laut Utara
sangat sulit untuk dikatakan sebagai lokasi yang dimaksud dengan “di
depan Pilar Hercules", seberat apapun argumentasi yang disampaikan.
Dan pembaca harus memperhatikan kenyataan bahwa tidak ada
argumentasi yang mencukupi, namun hal itu dilakukan dengan baik,
pernah akan mengubah realitas dan fakta. Jadi, harus berhati-hati
(pembeli) melawan orang-orang yang berusaha membengkokkan fakta
untuk membenarkan teori kecil mereka.

9) Laut Yang Tak Dapat Dilayari dan Laut Sargasso

Subyek lainnya yang sangat penting dalam teks Plato adalah masalah
“laut yang tak dapat dilayari”. Filsuf ini mengacu pada laut ini dua kali,
satu di Critias (108e) dan yang lainnya di Timaeus (25d). Dalam Timaeus,
Plato menyebutkan bahwa ketika Atlantis tenggelam ke dalam laut,
“menjadi laut di wilayah tersebut dilewati dan tak tertembus karena karang
dan lumpur di dalamnya, disebabkan oleh penurunan dari pulau
(Atlantis)".

120
Gambar : Laut Sargasso, laut dengan tumbuhan khas rumput laut merah
(sargasso). (NN).

Dalam Plato, Critias mengulangi cerita yang sama “penghalang


lumpur”, kembali menambahkan detail pulau yang tenggelam itu memang
“lebih besar dari Libya dan Asia digabungkan”. Orang Yunani tidak
memiliki kata “benua” dalam pengertian modern. Jadi, mereka
menggunakan kata “Pulau” untuk “benua”, dalam arti perluasan tanah
yang “terisolasi” oleh laut. Penggunaan ini telah menyebabkan kesulitan
berkepanjangan bagi Atlantologis yang tidak terbiasa dengan fakta ini.
Itulah alasan mengapa mereka percaya bahwa Atlantis adalah pulau

121
ketimbang benua atau tanah yang berukuran benua yang terisolasi oleh
laut.
Bahkan, Plato sendiri menggunakannya, dalam Critias (25a), istilah
nesos (pulau) diberdakan dengan “benua” (peirata Ges) untuk
menggambarkan Amerika secara jelas, hal ini menyiratkan bahwa benua-
benua lainnya hanyalah “pulau”. Pada jaman dahulu, kata “Pulau” adalah
istilah yang diterapkan untuk setiap wilayah yang terisolasi oleh laut atau
sungai dan gurun, misalnya, Mesir, Mesopotamia, India, dan lain-lain. Hal
sama terjadi pada kasus “paparan yang terrendam”, seperti yang kita
bicarakan sebelumnya.
Tapi mari kita kembali ke soal “laut yang tak bisa dilayari” (innavigible
sea). Samudra Atlantik (khususnya di luar Selat Gibraltar) sebenarnya
sangat dalam dan sangat cocok untuk navigasi. Ini rupanya tidak pernah
ada penghalang bagi navigasi dan tidak pernah ada pula beting pasir atau
lumpur baik alami atau sebagai akibat dari tenggelamnya pulau atau benua
apapun.
Oleh karena itu, para ahli kelautan dan yang lainnya memmperhatikan
kata-kata Plato secara keseluruhan, dan memulai mencari Atlantis di
tempat lain. Dalam keputusasaan, beberapa peneliti membandingkan Laut
Sargasso, bahkan Atlantologists menyadari akan kemajuan baru-baru di
bidang Oseanografi dan Mitologi. Memang, Laut Sargasso mendapat
namanya karena kesalahan dari Christopher Columbus. Columbus percaya
bahwa ia mengarah ke Hindia.
Hindia adalah situs Eldorado dan surga, sebagaimana pelaut
berpengalaman mengetahuinya. Karena itu, ketika penjelajah besar
melihat rumput laut dan bagian-bagian kapal yang terapung, ia langsung
berpikir bahwa ia telah mencapai Hindia dan Laut Sargasso yang dangkal
dan berbahaya sebagaimana dalam dongeng, seperti diklaim Plato.
Columbus, pun demikian, salah menamai laut yang ia temukan, tetapi
nama itu tetap dipakai sampai hari ini. Laut Sargasso disebut orang Hindu
Nalanala, yang memiliki arti sama apa yang dimaksud dalam bahasa
Sanskerta. “Laut Sargassos” adalah Laut Cina Selatan, meskipun kadang
dinamai juga Samudera Hindia Selatan.

122
Gambar : Legenda Eldorado
(http://bilogizma.blogspot.com/2011/10/legenda-el-dorado_02.html).

Laut ini merupakan salah satu wilayah Indonesia, yang tak lain dari
salah satu Atlantis tenggelam. Laut ini ada memang dangkal dan penuh
dengan rumput laut, gundukan pasir dan terumbu karang, yang membuat
navigasi mereka nyaris mustahil, kecuali pelaut terampil. Dan nama "Laut
Sargasso" - secara khusus diaplikasikan ke Samudera India selatan dalam
Peta Ptolemy Edisi Ulm56. Nama ini secara alami diberikan dalam bahasa
Latin sebagai Prasodum Mare, di mana prasodum adalah jamak genitif
dari prason “Sargasso” (rumput laut).

56
Map of Ptolemy of the Ulm Edition.

123
Gambar : Map of Ptolemy of the Ulm Edition(http://www.henry-
davis.com/MAPS/AncientWebPages/119I.html)

Terlebih lagi, Laut Indonesia rentan terhadap fenomena yang sangat


aneh yang memang terkait dengan bencana alam Atlantis, seperti
diungkapkan Plato. Ketika Krakatau meletus pada tahun 1883, dalam
catatan sejarah. Ledakan itu menyebabkan gelombang pasang yang besar
dan menewaskan sekitar 40.000 orang seketika karena tenggelam. Sisanya
mati karena kelaparan. Namun fitur yang paling aneh dari ledakan tersebut
adalah pembebasan sejumlah besar batu apung. Ini bertahan selama
berbulan-bulan, menghambat navigasi di kawasan itu dan menyebabkan
kematian sejumlah besar ikan dan organisme laut lainnya.
Kini dapat dipahami arti sebenarnya dari kata-kata Plato. Bahwa “lumpur”
dalam sebutan Plato pelos, bahasa Yunani yang berarti “lendir”, “tanah
liat”, “lumpur”, “kotoran”, “debu”, “cairan”, “sedimen”. Dengan kata lain,
“lumpur” ini adalah batu apung dan abu terbang meletus oleh ledakan
gunung berapi raksasa - mungkin seribu kali lebih besar dari letusan
Krakatau tahun 1883. Massa ini menutupi laut lokal dengan sedimen dan
gumpalan mengambang lontaran vulkanik. Navigasi terhambat beberapa
abad terakhir. Hingga saat ini, laut ini sebagian besar tidak dapat dilayari
(innavigable), sebagai hasil dari bencana vulkanik memuntahkan
gumpalan-gumpalan besar lumpur dan gundukan pasir tersimpan di akhir
zaman Pleistosen.

10) Benua Tenggelam

Salah satu petunjuk paling kuat dari Plato soal Atlantis adalah benua
yang tenggelam “lebih besar dari Libya (Afrika Utara) dan Asia (Minor)
disatukan”. Dengan kata lain, Plato berbicara tentang sesuatu seperti 5

124
sampai 10 juta kilometer persegi, tentang ukuran Brasil atau Amerika
Serikat. Sekarang yang merupakan bagian besar dari tanah dan
peradabnnya, seukuran benua, yang mungkin sedang bersembunyi di mana
saja.
Dimanakah wilayah berukuran benua ini bersembunyi sampai hari ini?
Tentu saja tidak di Samudra Atlantik, seperti yang telah diteliti (untuk
tujuan militer) dengan skala decametric baik oleh oseanografer Amerika
maupun Rusia. Hal yang sama juga berlaku di Pasifik dan Samudra Hindia
yang juga telah dipindai secara menyeluruh. Oleh karena itu, Atlantis
adalah ilusi yang bisa ditemukan mana-mana. Jadi, jika Atlantis benar-
benar ada, harus dicari di tempat lainnya selain di Samudera Atlantik.
Ini adalah fakta yang sangat menarik yang Atlantologists (dan ahli
kelautan) telah meneliti laut di dunia sehingga mereka lupa untuk mencari
di tempat yang tepat di mana Atlantis yang sebenarnya: Laut Cina Selatan.
Indonesia, yang terletak antara Pasifik dan Samudra Hindia. Tapi bukan
keduanya, melainkan membagi keduanya. Ini adalah alasan mengapa
Indonesia disebut Ultima Thule (Ultimate Divide) oleh orang dahulu.
Thule dianggap "Divide Dunia" di zaman kuno, karena membaginya dari
yang lama kepada Dunia Baru.
Seperti bola dunia, dan menutup pada dirinya sendiri, saling
bersentuhan. Jadi, dua dunia (Timur dan Barat) memang berbatasan, dan
juga berada di pusat, Pusat Dunia. Ini adalah paradoks dari “Thule Pilar
Hercules” yang kedua ujung akhir dunia, secara bersamaan, Center atau
Navel (titik pusat) pada akhirnya dapat dipahami. Demikian juga bahwa
kita harus memahami paradoks surga terletak di Barat dan di Timur.
Karena, di Timur Jauh (terjauh timur) terletak di Barat Jauh (barat
terjauh), sebuah Dunia Baru. Sudah agak jelas, jika kita berhenti sejenak
untuk memikirkan hal itu. Columbus berpikir dengan cara ini ketika ia
berusaha untuk mencapai Timur Jauh melalui barat, dengan berlayar di
Samudra Atlantik.
Laut Cina Selatan rata-rata hanya sekitar 50-60 meter kedalamannya. Hal
ini sangat dangkal dan berbahaya, penuh dengan gundukan pasir dan
terumbu karang yang membuat navigasi sangat berbahaya, seperti Plato
tegaskan (lihat 9 item diatas). Jadi, adalah mungkin untuk memahami
secara tepat apa yang terjadi menurut Plato. Geologi baru-baru ini
diberikan jenis bukti juga.
Selama Abad Es Pleistosen (atau lebih tepatnya selama Periode Es
terakhir) air disimpan dalam gletser kontinental bahwa permukaan laut
lebih rendah 100-150 meter. Oleh karena itu, bagian bawah Laut Cina
Selatan benar-benar membentuk hamparan luas dimensi benua.
Inilah hamparan luas yang disebut orang Yunani dengan Elysian Fields
dan orang Mesir menamainya Sekhet Aaru (tanah dengan belukar). Rawa
ini kemudian menjadi Laut Sargasso di wilayah Indonesia.
Jadi, meskipun memang benar bahwa “benua tidak bisa tenggelam”,
bahwa permukaan laut dapat naik dan banjir ke seluruh benua seperti yang
terjadi di Laut Cina Selatan. Disitulah kita temukan Atlantis dan Eden,

125
serta Elysian Fields dan Kepulauan Blest. Disitu pulalah pernah ada Surga,
tempat lahir Manusia dan Peradaban. Atlantis tidak ditemukan
sebelumnya karena telah dicari di sisi dunia yang salah, mungkin sebagai
akibat dari bias etnosentris dan praduga supremasi kulit putih.
Ketika kita melihat peta wilayah ini selama Zaman Es kita dapat melihat
bahwa, memang, wilayah tersebut membentuk hamparan luas berukuran
benua, persis seperti klaim Plato dan yang lainnya, dan kami berpendapat
sama. Plato berbicara tentang sebuah bencana yang tiba-tiba, mengambil
“kesedihan dalam sehari semalam ". Sebaliknya, ahli geologi secara bulat
menegaskan bahwa kenaikan permukaan laut yang lambat dan bertahap,
dan bahwa proses itu berlangsung mungkin selama milenium, sementara
gletser mencair perlahan-lahan, pencairan itu secara bertahap mengisi laut.
Dapatkah dua sudut pandang yang berlawanan secara faktual
dipertemukan? Sesungguhnya keduanya benar dan dapat dipahami. Apa
yang terjadi adalah bahwa letusan raksasa gunung berapi Krakatau
menyebabkan tsunami kolosal (disebut “gelombang pasang”) yang
melanda lebih dari dataran rendah Atlantis dan lembah-lembah sungai,
membunuh dan menghancurkan segala sesuatu di belakangnya.Dan
ledakan kolosal ini juga menyebabkan Abad Es Pleistocene berakhir.
Peristiwa ini terjadi karena ledakan raksasa menutupi gletser dunia dengan
lapisan halus jelaga. Jelaga ini meningkatkan penyerapan panas matahari,
menyebabkan lelehan es. Lelehan gletser kontinental mengalir ke laut,
meningkatkan permukaan laut. Beban air yang besar menekan dasar lautan
dan dan tanah benua menjadi ringan. Tekanan ini menyebabkan aksi lebih
lanjut yaitu gerakan vulkanis dan gempa bumi dalam skala yang tidak
dapat dibayangkan.
Jadi, proses berhentinya Abad Es Pleistosen itu mungkin lebih atau kurang
seragam selama milenium itu. Tapi itu diperjelas di awal serangkaian
bencana besar yang disebabkan oleh gunung berapi, gempa laut dan
gempa bumi.

126
Gambar : Salah satu sudut Pyramid Giza (foto: giganteus1, 25 Juli 2006 dalam Wikipedia)

Dengan kata lain akhir Pleistosen dipicu oleh bencana alam yang
menghancurkan Atlantis. Hal ini membangun istilah sebagai daerah
terkutuk. Sudah hampir sepenuhnya hancur oleh kebakaran dan tsunami
raksasa yang kita sebut air bah, Atlantis melihat wilayah luas secara
bertahap menghilang di bawah laut yang terus meningkat secara perlahan,
sementara serangkaian letusan gunung berapi dan gempa laut raksasa
menandai irama dari serangkaian bencana ganas lebih lanjut.
Semua keganasan ini dimulai tepat pada penanggalan yang diberikan oleh
Plato, yaitu 11.600 yang lalu. Waktu ini adalah salah akhir Pleistosen
dalam catatan geologi. Peristiwa yang mengerikan ini juga menyebabkan
kepunahan massa secara luas yang menandai transisi dari era Pleistosen ke
era geologi masa kini, yaitu era Holocene. Cukup menarik, studi terbaru
dari catatan geologi telah menunjukkan bahwa akhir Abad Es Pleistocene
(era geologi lainnya juga) ditandai oleh kenaikan aktivitas gunung berapi
dan gempa dalam proporsi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Alasan ini mudah dimengerti. gletser mencair, mengalir ke laut,
menyebabkan permukaan laut naik setinggi 100-150 meter. Pelat
kontinental naik, sedangkan dasar laut terbebani, terjadi tekanan air yang
besar yang cenderung menekan dasar laut. Dorongan ini menyebabkan
tekanan luar biasa di kerak bumi, yang retak dan bergerak pada titik-titik
lemah, yang melahirkan serangan tiba-tiba. Proses ini terjadi mandiri,
sekali dimulai, karena umpan balik yang positif, aktivitas vulkanik

127
meningkat dan aktivitas seismik mempercepat pencairan gletser seperti
dijelaskan di atas.

11) Bangunan Megalitik

Kami menganggap bangunan megalitik (terutama yang terbuat dari


batu dipahat seperti di Mesir dan Peru) untuk dijadikan “penanda”
Atlantis. Karena mudah dilihat. Dengan demikian karya yang dibuat dari
bahan seperti batu granit dan basalit, memang tidak sekuat baja atau
perunggu, tetapi minimal pernah ada. Batu (sekeras dolerite dan granit)
mudah pecah dan retak, jadi tidak berguna.
Arkeolog umumnya menyatakan bahwa Mesir dan Indian Peru telah
membangun struktur kolosal yang bisa kita mengamati sampai saat ini, di
Inggris (Stonehenge), di Giza (Piramida Agung) serta di Peru dan Bolivia
(Tiahuanaco) dikerjakan dengan alat kuno dari tembaga atau dari batu
seperti dolerite. Fakta ini menunjukkan bahwa mereka benar-benar tidak
berusaha keras untuk melakukannya dalam realitas atau bahkan secara
teoritis dapat menunjukkan bagaimana hal ini dapat dilakukan dalam
praktek. Alasan yang sederhana untuk kita lihat, sebagai karya yang benar-
benar tidak mungkin dalam kenyataannya.
Rahasia sebenarnya dari konstruksi megalitik adalah karena memiliki
peralatan logam dan perunggu serta teknik metalurgi dalam pembuatan
bangunan megalit itu. Teknologi ini ada di Timur Jauh beberapa milenium
sebelum waktu yang diakui di Barat. Sudah jelas bahwa teknik ini berasal
dari tempat lain, dan memang dilakukan oleh orang asing atau penjajah
yang menyimpan rahasia tersebut untuk diri mereka sendiri.

128
Gambar : ilustrasi Stonehenge
(http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Stonehenge_Closeup.jpg).

Di Mesir dan Peru, dua eksponen awal teknologi megalitik terbesar di


luar Timur Jauh. Kemudian Inka dan tradisi Mesir, keduanya
menceritakan bagaimana tokoh yang terkait dengan pembangunan
piramida megalith berasal dari Timur jauh, yang membawa bersama
senjata baja mereka. Alat ini mereka gunakan untuk mendirikan konstruksi
megalitik yang luar biasa itu. Di Mesir, alat baja ditemukan di dalam
Piramida Besar oleh Kolonel Vyse, ia bersumpah secara tertulis bahwa hal
itu tidak masalah dan melanggar batasan hingga hari kemudian. Tapi
Piramida Agung dibangun pada 2.600 SM, hampir 2 milenium sebelum
besi secara resmi diperkenalkan di Mesir. Selanjutnya, dari manakah para
“developer” (Free-Mason?) konstruksi megalitik tersebut berasal? (tokoh
seperti Khufu, Imhotep dan Thoth) secara bulat dikatakan datang dari
Timur, dari tempat surga (Punt). Punt (Indonesia) adalah surga yang kita
yakini sebagai Atlantis.

Gambar : Patung khufu’ (sumber: http://www.bbc.co.uk).

Hal yang sama juga terjadi di Peru. Ada suku Inca terkait
pembangunan piramida megah Tiahuanaco dan struktur presisi megalitik
ke Chimus (atau Chams), yang mereka sebut sebagai putih, berambut
pirang, raksasa bermata biru. Ini adalah standar fenotip Atlantis di mana-

129
mana. Mereka juga mengklaim bahwa, ketika penyerbu datang dari luar
Samudera (Pasifik), mereka membawa besi dan perunggu yang mereka
pakai pada alat-alat dan senjata kuno mereka. Bahkan orang Peru
menamakan baja (quillay) adalah derivasi dari bahasa Dravida, yang jelas
berasal dari Timur Jauh.
Ketika kita beralih ke tempat-tempat seperti Yunani (legenda pada
pembangunan Troy), Inggris (Stonehenge), Perancis (Carnac) dan Timur
Jauh (Angkor, Jawa, India Selatan) kita selalu temukan legenda yang
mengklaim bahwa monumen dibangun oleh raksasa pirang dan hitam
kerdil bekerja sama dan menggunakan cara ajaib dalam rangka untuk
membangun megalith mereka.
Apakah ini, barangkali, refleksi Atlantis dan dua ras raksasa (Nagas)
dan dwarf (kinnara, atau sesuatu ?) bagaimanakah kita bisa menjelaskan
misteri pembangunan monumen spektakuler seperti Piramida Agung,
kompleks piramidal Zozer's , Tiahuanaco atau bahkan konstruksi kasar
dari Perancis (Carnac) dan Inggris (Stonehenge) Ini? semua terbuat dari
batu-keras raksasa yang telah memiliki bentuk dengan teknik ketepatan
yang kita hampir tidak dapat mereproduksinya hari ini. Selain itu,
bagaimanakah kita dapat menjelaskan Atlantis bahwa semua monumen
tersebut dibangun untuk melayani tujuan yang sama sebagai replika
Atlantis? Selain itu, mengapa mereka semua dianggap berasal dari tokoh
serupa- dewa yang berasal dari Atlantis yang menggunakan keunggulan,
tampaknya teknik ajaib digunakan untuk berbagai tujuan?

12) Kuda dan Kereta Perang

Plato menceritakan secara detail bagaimana Atlantis memiliki pasukan


besar waktu tertentu, berjumlah sekitar 1,2 juta orang bersenjata. Tentara
besar ini memiliki kereta kuda sebanyak 10.000, sesuatu yang
menakjubkan untuk zaman itu. Sekarang, kereta perang membutuhkan
kuda, yang berarti bahwa kuda pertama kali dijinakkan di Atlantis sekitar
12 ribu tahun yang lalu atau bahkan lebih. Fakta ini tampaknya
mengeluarkan Amerika dari daftar kami, karena mereka tidak dimiliki
hewan kecuali berdasarkan ukuran dan titi mangsa-nya non-konformal
(diluar standar).

130
Gambar : Dewa Odin sedang berkuda, dan Loki (Sumber: Miyths and
Legend Explained, hal.11).

Kesimpulan yang sama juga berlaku ke Eropa dan Timur Dekat. Di


sana, kuda hanya diperkenalkan jauh setelah Mesir dan Hyksos, sekitar
1.670 SM atau lebih. Semuanya, tampaknya ungkapan Plato pada
penggunaan kuda peliharaan secara intensif di Atlantis memang benar,
hanya di lokasi Oriental sebagai Benua Yang Hilang memang ada
faktanya.

131
Gambar : Bellerophon (Toppan Printing Co. Ltd. China)

Asal-usul kuda dibungkus dalam misteri, seperti yang biasanya terjadi


dengan segala sesuatunya mengenai Atlantis. Binatang megah ternyata
muncul di Asia pada sekitar 38 juta tahun yang lalu. Dari sana kemudian
menyebar ke Amerika, dan menjadi punah di sana setelah itu, tapi tidak
sebelum kembali ke Eurasia. Para ahli percaya bahwa kuda itu dijinakkan
di Asia Tengah sekitar milenium ketiga SM. Dari sana, melalui Mesir dan
Hyksos, penggunaan kuda tersebar ke Eropa dan Timur Dekat dan,
mungkin, dari sini, kembali ke Timur Jauh, dimana penggunaannya telah
benar-benar hilang dan dilupakan.
Para ahli juga umumnya sepakat bahwa kuda domestik tidak berasal dari
Amerika, tetapi sebaliknya dari Asia. Oleh karena itu, titik arkeologi kuda
menyatakan bahwa Asia sebagai tanah asal kuda dijinakkan. Hal ini
menunjukkan hubungan antara Atlantis dan Timur jika Plato benar dalam
penegasan bahwa kuda domestik berasal dari Atlantis jauh lebih awal dari
para ahli mendapatinya.
Plato juga menceritakan bagaimana ibu kota kerajaan Atlantis telah
memiliki arena yang luas untuk pacuan kuda. Plato mungkin mengacu
pada kereta balap, meskipun bukan tidak mungkin bahwa ada juga
dipasang kontes. Arena balap yang lebar (200 meter) mempertunjukkan
kontes kereta-kuda, sebuah olahraga yang sangat dihargai di zaman kuno.
Kurban Kuda dari Hindu (Ashvamedha) memang diberlakukan pada
ritual kematian di Paradise (Atlantis). Kuda itu diperingati sebagai hewan
yang mewakili Cosmos (surga). Jadi, ritual Veda yang aneh membentuk
hubungan dengan Atlantis sebagai tanah air dari kuda yang dijinakkan,
salah satu yang terbaik dari semua penaklukan manusia. Legenda Kuda
Pemberani (Trojan Horse) juga mengingatkan hubungan antara Atlantis
dengan kuda, Troy yang sesungguhnya tidak lain adalah Atlantis.
Kuda dan kereta perang tidak ada di Timur Dekat sebelum
diperkenalkan oleh Hyksos, kami yakin bahwa Schliemann's Troy
bukanlah seseorang yang sebenarnya sebagaimana arkeolog

132
mempercayainya. Kereta perang yang dijelaskan secara rinci oleh Plato
adalah jenis kereta orang Hindu daripada yang digunakan di Timur Dekat
saat itu.
Kereta perang Atlantis, seperti yang di India, memiliki dua pengendara
dan sepasang kuda. Salah satunya pengendara, sedangkan yang lainnya
pemanah panah musuh dengan busurnya. Dalam cerita Bhagavad Gita,
Krishna dan Arjuna adalah dua pengendara yang menang dalam
pertempuran klasik, berperang pada Zaman Perunggu dan kemungkinan
besar di Atlantis juga.
Kita tidak bisa mengakhiri bagian ini tanpa mengulangi bahwa, semua
bangsa mendapat hadiah warisan dari Atlantis, kuda peliharaan tentu salah
satu yang paling baik dari semua. Meskipun digunakan dalam tempur
klasik, selain untuk pertemppuran, kuda juga berfungsi sebagai sarana
transportasi dan mengangkut beban, ribuan tahun sebelum zaman
pembuatan mobil.
Betapa manusia mengagumi kuda, dengan kecepatan dan keanggunan
dari binatang yang luar biasa itu. Tapi satu hal lagi bahwa makhluk-
makhluk luar biasa ini harus menjelajah dan butuh makan. Salah satunya
adalah memimpikan padang rumput paradisial yang besar, rumput
berlimpah dan sumber air yang mengkilap di bawah sinar matahari hangat
di daerah tropis.
Apakah ada dataran lain yang cocok sebagai Elysian Plains tempat
kelahiran berasal? Kenyataan bahwa nenek moyang kuda jinak tidak dapat
dilacak dengan pasti menunjukkan situs asal seperti Atlantis yang hilang.
Atlantis, adalah situs Elysian Plains, yang memiliki padang berumput
yang sangat besar di mana kuda itu paling mungkin berasal.

13) Gajah

Plato sangat spesifik tentang keberadaan gajah di Atlantis. Dalam


Critias-nya, filsuf itu menulis:
”Ada sejumlah besar gajah di pulau ini, karena ada banyak persediaan
makanan bagi segala macam hewan ... termasuk untuk hewan yang
terbesar dan yang paling rakus dari semua.”
Pertanyaan gajah sangat penting, karena sangat terang dalam isu Atlantis.
Masa yang diberikan oleh Plato untuk akhir Atlantis (11.600 yang lalu)
adalah terbaginya perairan. Hal ini berhubungan langsung dan persis
dengan masa akhir Pleistosen. Ini adalah zaman ketika mastodon dan
mamoth punah di seluruh dunia, bersamaan dengan sejumlah spesies
tanaman dan hewan lainnya. Plato tentu menyebut kedua jenis elephantoid
dengan nama “gajah”, karena sangat mirip baik bentuk maupun ukuran.
Jadi, jika kita mempertimbangkan penanggalan Plato secara nyata,
dimanapun Atlantis disana ada mamalia besar. Sebaliknya, jika kita
menerima penanggalan sebelumnya, seperti yang dilakukan para
pendukung seorang Amerika atau Atlantis Theran, kita harus mengabaikan
mastodon raksasa karena mereka telah punah. Yang pasti, ada mamoth

133
raksasa di Amerika Utara, setelah akhir Pleistosen. Tapi harus
dipertimbangkan sambil menunggu konfirmasi, karena tampaknya palsu,
barangkali sebagai akibat kontaminasi dengan bahan asing.
Dengan kata lain, gajah hanya ditemukan di Afrika dan Asia Selatan.
Jadi, urgensi kehadiran mereka oleh Plato tidak termasuk Amerika dan
lembah Mediterania, dengan pengecualian negara-negara Afrika Utara.
Gajah yang ada di Afrika Utara, telah digunakan oleh Hannibal di Kartago
dalam perang melawan Roma. Beberapa tradisi kuno melaporkan adanya
gajah liar di Syria, di mana ia dijadikan ritual berburu oleh raja-raja dan
firaun. Tapi tradisi-tradisi ini mungkin mengacu pada tradisi “Suriah”
terdapat Pulau Matahari (Surya, dalam bahasa Sansekerta), yang tidak lain
adalah Atlantis. Namun, tidak mungkin ada gajah di Palestina kuno dalam
kesimpulan kami, dimana wilayahnya semi-gurun dan sulit dijadikan
sebagai situs yang nyaman sebagai Atlantis yang tropis itu.
Makhluk indah juga ada di sabana Afrika dalam jumlah besar. Tetapi di
Hindia (di India, Indonesia dan Semenanjung Melayu) bahwa gajah
memang berkembang. Di sana, gajah telah dijinakkan sebagai binatang
kedua pengangkut beban dan digunakan untuk peperangan sejak jaman
dahulu, seperti yang dibuktikan dalam prasasti batu dari Peradaban
Lembah Indus.
Para raksasa dan mastodon (berbeda dengan gajah ) beradaptasi
dengan cuaca dingin, dan berkisar lebih jauh ke utara, ke daerah es
Pleistocenic Amerika Utara, Eropa, dan Asia Utara. Jadi, jika kita
menggolongkan makhluk-makhluk tersebut sebagai “gajah” oleh Plato,
kita juga harus memasukkan daerah lain sebagai kemungkinan situs
Atlantis. Tetapi kita harus ingat bahwa penanggalan Atlantis di lokasi
tersebut menjadi masa akhir, dimana hewan-hewan ini punah setelah
akhir Abad Es Pleistocene, sekitar 11.600 tahun yang lalu, masa tanggal
Atlantis tenggelam.
Beralih ke titik lain. Sebagai fakta, gajah itu adalah dewa totem dari
Naga (bangsa Arya) dari India. The Naga (Titans) adalah orang-orang
yang erat hubungannya dengan Atlantis dan Atlantis adalah legenda yang
ada di sana dan di tempat lain. Memang, kata naga berarti “gajah” dan
“ular” (ular naga) dalam bahasa Sanskerta. Seperti “naga” atau “gajah”
secara universal dianggap sama dengan orang Atlantis Anak Dewa,
Legenda kedinastian di setiap kerajaan. Misalnya, Alexander Agung,
Buddha (a Naga), dan Arthur Pendragon (Anak Naga).
Yang cukup menarik, orang Maya di Meksiko menyembah gajah
sebagai totem dewa, dan terus direproduksi fitur ini di kuil dan istana
mereka. Candi Maya seringkali dihiasi dengan “belalai gajah”. Dewa
berwajah gajah ini disebut Chaac. Chaac merupakan dewa Hindu, yaitu
Ganesha, dewa berkepala gajah. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa
dewa Chaac Maya (bahasa lokal menyebutnya Narigón (Hidung Besar)
adalah nama lain dari dewa gajah Hindu dengan panggilan Naga (kata
Sansekerta yang berarti baik “Gajah”, “Serpent” atau”Dragon”).

134
Para Naga merupakan Titans Anguipedal dan, khususnya, ular (atau
gajah = Naga) dewa Shesha. Shesha adalah pola dasar sejati Atlas sebagai
Pilar Dunia. Dekorasi candi serupa gajah banyak hingga saat ini di Hindia.
Gajah (atau ular) dewa ini, seperti di Maya Amerika, tak henti-hentinya
direproduksi dalam bentuk pilar kuil yang mewakili langit. Di Inca Peru
kami juga mendapati hal yang sama. Ada Amaru Ular (Shesha) dibuat
untuk mendukung dunia. Burung Inti, semacam layang-layang atau elang,
adalah musuh utama ular. Kedua hewan menghiasi mantel tentara
kerajaan, sama seperti yang terdapat di Meksiko.
Para dewa gajah atau ular dari suku Inca, suku Maya dan Hindu memiliki
dewa elang juga yang disebut Garuda atau Nagari (Musuh Naga) di
Hindia. Di Meksiko, duel Elang dan Ular ini telah diadopsi sebagai
lambang nasional Meksiko, seperti di pusat agama Maya. Motif ini
terkenal di Hindia, dimana Garuda adalah Eagle, dan Naga adalah Ular
atau Ular Naga.
Oleh karena itu, Mayas mendapatkan dewa gajah dari India, atau kita
harus runut akar peradaban mereka yang kokoh dan kuno, dari masa
Pleistocenik. Keduanya memiliki perspektif yang sama. Keduanya
merujuk Atlantis, pada peradaban Pleistosenik atau adanya kontak trans-
Pasifik rutin antara Timur Jauh dan Amerika, meski berbenturan dengan
pemandangan prasejarah manusia.
Gajah atau mammoth dan mastodon yang punah itu mungkin ada di
sebuah pulau Atlantik yang sekarang tenggelam itu, tetapi tidak ada bukti
konfirmasi untuk ini, dan masalah ini ditunda. Di Skandinavia dan
Celtiberia ada bukti kehadiran mammoth, tapi tidak ada apapun dari
domestikasi atau dari setiap peradaban Pleistocenic besar yang mungkin
bisa disamakan dengan Atlantis. Tidak ada jejak gajah yang pernah
ditemukan di Thera atau Kreta, kecuali mungkin untuk objek tertentu
sebagai gading impor. Hal yang sama berlaku untuk Antartika (lihat
kembali pada tabel) Plato, Hindia, Afrika Libya, Afrika Utara dan
Northwest: Positif (v). Diragukan (v): Atlantik yang tenggelam,
Skandinavia (dan Laut Utara), Celtiberia. Negatif (x): Thera (Crete) dan
Antartika, di mana tidak pernah ada jejak gajah atau mammoth ditemukan.

14) Bukti Bencana Banjir

Ada sedikit fakta dalam catatan geologi tentang Banjir Total. Hal ini
cukup membaca keterangan Buffon, Cuvier, Buckland, dan pra-Bencana
Darwin untuk memverifikasi seberapa banyak bukti dari sebuah bencana
total tersebut. Pakar bencana modern (ahli geologi yang punya nyali untuk
tidak setuju dengan doktrin uniformitarian57 resmi Darwin dan Lyell)
bahkan lebih banyak bukti yang meyakinkan tentang bencana universal.
Memang akhir Pleistosen 11.600 tahun yang lalu ini ada kepunahan
massal yang mengerikan dan bencana di seluruh dunia. Sebagaimana
penanggalan yang diberikan oleh Plato. Percaya bahwa ini adalah murni
57
Mengikuti pendapat umum

135
kebetulan yang acak dan melewati batas rasional. Sekitar 70% dari semua
spesies mamalia besar dan seluruh rangkaiannya punah. Bahkan
Neanderthal dan Cro-Magnons tampaknya telah tewas dalam bencana
alam itu, mereka punah pada sekitar saat mengerikan tersebut.
Tapi, bukti yang paling jelas tentang bencana banjir ini ada di Amerika
Utara. Banyak ahli geologi telah mengakui bahwa fitur geologi seperti
scablands dari Northwestern Amerika Serikat, bahwa perbukitan dari
dataran barat laut dari Kanada terdapat paus di daerah Great Lakes (danau
besar), di jantung benua Amerika Utara, adalah hasil dari banjir raksasa
skala benua.
Beberapa ahli geologi, terbiasa dengan masalah ini, menganggap
banjir benua ini masuk ke danau raksasa yang terbentuk oleh oencairan
gletser Pleistocenic ketika mereka surut di akhir masa geologi. Namun
para ahli seperti Dr Warren Hunt dan lain-lain telah menunjukkan
ketidakmungkinan bahwa jumlah pencairan gletser raksasa bisa saja
dibendung oleh tanggul es, hal ini tidak memiliki kekuatan dan adhesivitas
untuk menahan air yang begitu banyak.
Satu-satunya penjelasan yang masuk akal yang mungkin adalah bahwa
invasi maritim tiba-tiba disebabkan oleh tsunami raksasa proporsi global,
karena beberapa ahli geologi sekarang mulai menyadari. Semuanya
menunjukkan fakta bahwa gelombang raksasa ini datang dari Samudera
Pasifik melalui utara, di Samudra Arktik. Ini melewati Alaska dan Siberia
barat laut di mana ia meninggalkan bukti mammoth yang beku dan
sejumlah besar dari “kotoran” yang dibentuk oleh puing-puing diluvial
seperti paus, organisme laut, ikan mati, pohon hancur dan banyak yang
lainnya.
Memperhatikan legenda air bah besar ini. Kenangan banjir pada akhir
Zaman Es tertinggal dalam pikiran manusia. Bukti dalam mitos dan tradisi
serupa bencana dari air bah dan kehancuran surga itu kini terang
benderang. Tradisi adalah sebagai bukti universal geologi. Tentu saja, ada
penjelasan yang berbeda-beda dari tempat tempat lainnya, pengalaman
sebenarnya dan visi dari bencana juga berubah dari suatu tempat ke tempat
lain.
Terkait cerita invasi maritim oleh tsunami raksasa sepanjang Pesisir
Pasifik, hujan badai dan langit gelap. Mereka juga berbicara tentang
gempa bumi dan bencana api dari gunung berapi dekat pusat bencana,
Indonesia dan Asia Tenggara, dan sebagainya.
Analisis semua ini banyak mendeskripsikan “Banjir” dan penghancuran
surga oleh Api dan Air mengungkapkan bahwa bencana tersebut hanya
terjadi di akhir Abad Es Pleistosen. Sekali lagi, sebuah analisis
mengungkapkan fakta bahwa bencana ini disebabkan oleh sebuah ledakan
besar gunung api yang memicu semacam reaksi berantai.
Kejadian tersebut berlangsung tepat pada masa yang dinyatakan oleh
Plato atas kematian Atlantis, yaitu 11.600 yang lalu. Maka, untuk
mempercayai bahwa ini adalah kebetulan belaka, atau, sebaliknya, bahwa
banjir adalah bencana lokal kecil oleh “primitif” kuno adalah pandangan

136
yang tidak dapat dipegang lagi. Realitas bencana geologi ini telah
terbentuk tanpa diragukan berdasarkan berbagai bukti faktual. Jadi,
prinsip-prinsip uniformitarianisme dari Darwin dan Lyell tidak dapat
diikuti secara wajar oleh setiap orang dalam ranah perkembangan Geologi
modern dan evolusi.

15) Perdagangan Trans-Samuedra

Plato menegaskan bahwa salah satu ciri utama Atlantis adalah sifat dan
intensitas perdagangan laut bahkan dengan negara yang paling jauh di
dunia. Ibu kota kekaisaran Atlantis yang dipersilangan oleh kanal maritim
yang memungkinkan masuknya kapal terbesar dan diperbolehkan merapat
di pelabuhan. Dalam Critias (114 d) Plato menegaskan:
“Karena kebesaran kerajaan mereka, banyak hal dibawa kesana
(Atlantis) dari negara asing, meskipun tanah mereka sendiri yang
disediakan kebanyakan dari apa yang diperlukan bagi mereka untuk
digunakan dalam kehidupan ...”
Dan Plato menambahkan lebih lanjut di bawahnya (Critias117c)
bahwa:
“Kanal-kanal dan pelabuhan terbesar (ibukota) penuh kapal dan
pedagang berbagai material dari semua bagian di dunia yang jumlahnya
sangat besar, menyimpan beraneka hiruk-pikuk manusia dan kebisingan
siang dan malam”
Banyak catatan para ahli yang memiliki kedekatan informasi dengan
Plato mengenai Atlantis, demikian pula Homer Phaeacia, alam emas yang
jauh telah dikunjungi oleh Odysseus (Ulysses) dalam pengembaraannya ke
Samudera Luar. Homer Phaeacia (atau Scheria) memastikan terletak di
Samudra Hindia, yang disebut oleh Homer sebagai “samudra merah yg
memabukkan”. Semua julukan itu ditujukan secara eksklusif ke Samudra
India, yang disebut Erythraean (Red One) oleh orang Yunani. Orang
menganggap Erythraean sebagai perpanjangan dari Samudra Atlantik ke
arah timur, dan itu dianggap sebagai Samudra Atlantis yang sesungguhnya
seperti yang kami perdebatkan.

137
Gambar : Ilustrasi Kanal (Atlantismaps.com).

Gambaran Phaeacia oleh Homer (Od. VII: 80) dengan dinding tinggi
tersebut, pelabuhan yang luas, kapal laut dan istana emas sejajar dengan
orang-orang Atlantis seperti yang dijelaskan oleh Plato. Homer
menyebutkan bagaimana sang pahlawan, terpesona oleh kemegahan istana
kerajaan, bertahan untuk waktu yang lama, dan tidak berani untuk
memasukinya.
Dengan kata-kata Homer sendiri, “keindahan istana itu seperti
matahari dan bulan”. Homer juga menegaskan bahwa orang Phaeacians
“adalah bangsa pelaut, dan berlayar ke semua lautan bersama karunia
Poseidon, dengan armada kapal bagai burung di udara”.
Sebenarnya, nama Scheria (dikatakan berasal dari kata schera Fenisia,
yang berarti “pasar”.) adalah tanda. Hal ini menunjukkan bahwa Homer
takjub dengan alam emas itu, seperti rekan ahli Atlantisnya, merupakan
pusat perdagangan laut internasional.
Nama Scheria juga dapat didekati dengan “schedia” bahasa Yunani yang

138
berarti "kapal" atau lebih tepatnya, “armada kapal”, seperti yang Atlantis.
Memang, Homer menyamakan Phaeacia untuk sebuah kapal besar yang
berubah menjadi batu dan tenggelam oleh Poseidon, sebagai hukuman atas
ketidaktaatan mereka dalam membantu Ulysses. Poseidon, merupakan
dewa besar Phaeacians, juga dewa leluhur dan tertinggi di Atlantis,
demikian menurut Plato.
Kapal seperti Phaeacia erat kaitannya dengan pelabuhan di daerah
Tyre pada Yehezkiel (bab 26-28) yang disamakan dengan kapal Nabi.
Yehezkiel “Tyre” kemudian menjadi “tempat menyebar jaring ikan di
atasnya” setelah itu berubah menjadi batu dan tenggelam ke laut.
Yehezkiel menggambarkan Tyre sebagai “kota yang terkenal, dihuni oleh
bangsa pelaut pedagang, yang kuat di tengah lautan”. Nabi besar juga
pernah ke kota terkenal ini yang disebutnya “pulau-pulau di Samudera
Luar” dan bukan di lembah Mediterania.
Ketika kami berhenti sejenak untuk memikirkan hal itu, kami melihat
bahwa ini primordial “Tyre” sama dengan Phaeacia Homer dan Plato
mengenai Atlantis. Sebagaimana model Tirus lainnya di Lebanon,
didirikan oleh Fenisia sekitar 1.500 SM, setelah mereka dikeluarkan dari
tanah air primordial mereka di laut luar (India). Yehezkiel menceritakan
bagaimana Tyre dan pulau lainnya “bergetar di hari keberangkatan Mu ...
di tengah air”.
Tyre Yehezkiel juga disamakan dengan “Eden, Taman Tuhan/Dewa“.
Hal ini berlokasi, oleh nabi dikatakan, “di tengah laut” di antara pulau-
pulau lain dari Samudera Luar, seperti yang kita katakan di atas. Tyre-nya
Yehezkiel adalah, seperti Atlantis-nya Plato, “penuh oleh para pedagang”
yang menjual segala macam barang seperti logam, batu permata, barang-
barang berharga dan rempah-rempah dalam "kapal-kapal Tarsis". Tarsis
itu, seperti Yehezkiel dan lain-lain menegaskan, pemasok logam seperti
perak, emas, besi, timah, tembaga dan perunggu bagi bangsa-bangsa di
Zaman Perunggu.
Ada sedikit keraguan tentang Tarsis, dan, karenanya, pulau-pulau lain
dari laut seperti Tyre Yehezkiel terletak di Samudera Hindia. Pada
kenyataannya, para pelaut Fenisia Raja Salomo dan Hiram dari Tirus
(Tyre) mencapai wilayah ini dari pelabuhan Ezion-Geber, di Laut Merah.
Meskipun Tarsis misterius ( pemasok bijih mineral dan batu permata )
telah sering dibingungkan dengan Tartessos Spanyol, faktanya adalah
bahwa Tartessos Spanyol itu, seperti Tirus Lebanon, hanya replika saja,
adapun secara murni terdapat di kepulauan Indonesia.
Perdagangan dengan Hindia ini mungkin dirahasiakan sejak dahulu.
Rute angkatan laut terpencil ini pemasok logam, rempah-rempah dan
barang-barang berharga lainnya seperti minyak wangi, dupa, obat dari
segala macam, pewarna, gading, kuningan, tisu, kertas, dan sebagainya,
dengan hati-hati tersembunyi dari pesaing yang mungkin perdagangan ini
terjadi sejak jaman dahulu, dan ini dibuktikan tidak hanya dalam sejarah
rinci dari Mesir, Cina, dan Mesopotamian. Hal ini juga tercatat dalam
mitos-mitos dan tradisi dari Alkitab (seperti di Yehezkiel dan dalam

139
Wahyu), di Yunani (Odyssey, Argonautica, dan lain-lain), dimana mereka
dikenal sebagai bangsa yang paling kuno.
”Pulau-pulau laut” yang dimaksud Yehezkiel tidak lain daripada
“Kepulauan Atlantis” yang selalu direproduksi dalam peta dunia Abad
Pertengahan sebagai “baru ditemukan” (insulae de novo repertae). Pulau-
pulau misterius itulah Indonesia, yang lain menyebutkannya “India” dari
sini rempah-rempah dan logam diimpor di zaman kuno.
Rute laut ke pulau-pulau yang jauh ini dicari oleh semua pelaut
sepanjang masas seperti Columbus, Vasco da Gama, Magellan dan Cabral.
Yaitu pulau-pulau di Hindia Timur dimana pencarian mereka menjadi sia-
sia, yang akhirnya ditemukan teka-teki lokasi keberadaan mereka.
Kisah-kisah pelaut dahulu seperti Ulysses, Argonauts, Gilgames, dan
kapal pelaut Mesir yang terdampar, atau para pelaut bersejarah seperti
Hanno, Himilco, Pytheas dari Marseilles dan Scylax dari Caryanda, tidak
lebih dari sekedar peta kasar yang mereka buat untuk rute ke Hindia yang
menakjubkan itu.
Dengan kata lain, hanya ada satu daerah di zaman kuno yang
berhubungan dengan deskripsi Plato tentang Atlantis yang sangat kaya
sebagai bangsa pelaut di seluruh dunia, dan pemasok dari semua jenis
barang berharga. Itulah negara India, lebih tepatnya dua Hindia, India dan
Indonesia. Hingga ke zaman modern, seperti di zaman dahulu, Hindia
adalah sumber barang berharga seperti yang disebutkan di atas. Barang
dagangan ini semua spesial dari India di zaman kuno. Jadi, fakta bahwa
mereka terkait dengan Atlantisnya Plato, dan Ophir (atau Tarsis atau Eden
atau "Tirus") dalam Alkitab, adalah petunjuk identitas dasar dari semua
lokasi dengan Hindia Timur yang menakjubkan itu.
Baru kemudian sebagai sumber alternatif pasokan timah diantaranya
Inggris (Cassiterides), ambar (Baltik) dan “rempah-rempah” (Amerika)
ditemukan untuk menggantikan Hindia yang luar biasa itu, warisan sejati
dari legenda Atlantis. Orang Phoenix dan pelaut kuno lainnya seperti
Carthage, yang Minoan dan Etruscan Kreta adalah anak cucu Atlantis.
Merekalah yang selamat dari bencana Atlantis yang terlindung dalam
perdagangan laut kuno yang dibuat dalam kemuliaan dan kekayaan besar
dari kerajaan Lucifer.

16) Kekayaan Logam

Masalah pasokan timah untuk produksi perunggu dalam jumlah besar


sebagai tanda karakteristik Zaman Perunggu. Perunggu adalah campuran
tembaga dan timah, 10% timah yang cukup langka dan mahal. Tambang-
tambang timah dari Kestel, dan Goltepe di Gunung Taurus di Turki secara
faktual sudah ada pada Zaman Perunggu. Tapi jumlahnya tidak
mencukupi, dan tidak cukup dijadikan harapan arkeolog yang melihat
kemungkinan solusi dari teka-teki sumber timah di zaman kuno.
The Tartessos Spanyol, sering dijadikan bingung oleh legenda Tarsis
(yang merupakan pemasok timah kuno menurut Alkitab) tidak pernah

140
menghasilkan logam penting di zaman kuno dalam jumlah yang berarti.
Sebenarnya, timah di Tarsis itu telah datang dahulu kala dari luar negeri,
di Samudra Hindia. Tartessos adalah tiruan orang Spanyol, hanya sebuah
muslihat dari orang pintar Fenisia untuk mengalihkan pesaing potensial
dari sumber logam mulia yang sebenarnya (lihat butir 15 di atas).
Seperti halnya Cassiterides (legenda “pulau timah”, kassiteros, dalam
bahasa Yunani, dari Cornwall, Inggris) hanyalah alternatif, jauh dari
sumber pasokan timah. Tambang dari Cornwall hanya ditemukan dan
diaktifkan oleh Fenisia pada sekitar abad 6 SM. Ini jauh terlambat untuk
Zaman Perunggu, yang berakhir pada sekitar 1.000 SM atau lebih.
Herodotus ( 430 SM) secara samar-samar mendengar tentang
Cassiterides, yang dibingungkan dengan Tartessos. Kemudian penulis
terapkan nama itu untuk beberapa pulau kecil di lepas pantai Spanyol atau
ke pantai timur Spanyol, di wilayah Gades. Tapi ini tidak membuktikan
sebagai sumber timah sebenarnya, dan di Yunani-Romawi penulis tidak
bisa mengidentifikasi lokasi sebenarnya dari legenda Cassiterides.
Legenda Cassiterides bertahan hingga sumber timah di Cornwall berhasil
diidentifikasi.
Sedikit yang dapat diketahui bahwa Cassiterides terletak “di luar Pilar
Hercules”, tepat seperti halnya Atlantis. Timah dalam Yunani dalah
kassiteros, berasal dari bahasa Dravida, dan dalam Sanskerta kacita, yang
berarti “logam putih”. Faktanya di Eropa bahwa nama timah adalah nama
Hindu yang diragukan berasal dari India.
Avienus pun kebingungan dalam mendeskripsikan lokasi dari Cassiterides
dalam bukunya Ora Maritima. Dimana tempat ini merupakan tempat
pulau-pulau misterius (yang ia identifikasi sebagai Gades dan Tartessos,
serta Kepulauan Oestrymnid) dekat Pilar Hercules dan Laut Sargasso.
Kedua tempat ini berhubungan erat dengan situs Atlantis. Faktanya, kata
oestrum, merupakan nama Pulau Timah yang berarti “kedahsyatan”,
“halusinasi”.
Dan kata ini hanyalah terjemahan ke dalam bahasa Yunani dari nama
Moluccas, yang berarti hal yang sama dari bahasa Dravida (malukku).
“Maluku” adalah nama pelaut kuno yang merujuk ke Kepulauan Rempah
di Indonesia, karena rempah-rempah memabukkan, jamu dan halusinogen
diproduksi di sana. Obat-obatan orang Fenisia, orang Etruscan dan
Minoan lalu dibawa ke Barat, bersama dengan logam dan batu permata
dan barang-barang khusus serupa lainnya dari perdagangan India yang
indah, yang mereka dijual kembali dengan harga selangit.
Baru-baru ini ditetapkan melalui analisis kimia secara rinci beberapa
mumi di Mesir, bahwa lalu lintas obat di zaman kuno itu cukup luas. Ini
mencakup Amerika (coca, tembakau), Hindia (ganja dan opium) dan
Timur Dekat (opium dan heroin). Hasil ini diperoleh oleh tim ahli Jerman,
dan cukup kuat. Kita semua tahu betapa teliti dan kompeten orang Jerman
dalam melakukan penelitian.
Avienus juga mengidentifikasi Cassiterides dengan situs Gunung
Cassius (Argentarius). Warna perak gunung ini berasal, menurut dia,

141
gunung itu ditutup dengan timah, sehingga orang dahulu sering
mengiranya perak. Sair ini juga meyatakan bahwa pulau ini terdapat Pilar
Hercules dan tempat tinggal para Geryon raksasa. Geryon adalah tiga
raksasa yang dibunuh oleh Hero. Sekarang, Geryon mendiami Pulau
Erytheia, yang terletak di Timur, di laut luar (India) dan Pilar Hercules, di
situs Atlantis (lihat butir 8 di atas).
Ketika kami menunjukkan tempat lain, pulau-pulau legenda, begitu
kaya dengan emas, perak dan timah, adalah sama dengan yang bahasa
Yunani disebut dengan nama-nama seperti Argyre (Pulau Perak) atau
Chryse (pulau Golden ). Pulau-pulau ini juga disebut Chryse Chersonesos
("Semenanjung Emas") atau Cassia Chersonesos (Peninsula of Tin).
Sebab, di zaman kuno, pulau-pulau dan semenanjung (kepulauan dekat)
tidak dibedakan. Semenanjung emas ini dan pulau-pulau yang dimaksud
adalah Indonesia masa kini. Indonesia bahkan saat ini, pemasok terbesar
logam timah dan terkait terjauh di zaman kuno.
Orang Hindu menamai pulau legenda ini dengan nama-nama seperti
Saka-Dvipa (Pulau Putih) atau Suvarna-Dvipa (Pulau Emas) karena logam
(emas dan timah, logam putih) yang mereka hasilkan. Bahkan, Saka-Dvipa
dijelaskan dalam Purana sebagai tempat yang sangat kaya akan logam
berharga serta batu permata. Penduduknya yang putih seperti Etiopia
Pious Indonesia-Atlantis, seperti yang dijelaskan oleh Pliny dan Solinus
dan beberapa penulis klasik lainnya.

Saka-Dvipa juga ditandai dengan memiliki “gunung emas yang tinggi


dari situ awan yang membawa hujan timbul “dan satu lagi “yang
menghasilkan semua rempah dan obat-obatan obat”. Sekarang, Gunung
Emas itu adalah gunung Meru (Semeru) dan yang lainnya adalah Gunung
Perak (Kumeru) yang Avienus menyebutnya Gunung Argentarius
(Cassius). Dalam bahasa Sansekerta, kata Saka berarti “putih” (logam
putih) dan “obat obat”, seperti dalam nama Moluccas. Jadi, kita lihat
bagaimana kebingungan dari dua nama awalnya muncul.
Plato juga menceritakan kenyataan bahwa Atlantis sangat kaya akan
logam dan batu permata, yang digunakan Atlantis dalam dekorasi kuil dan
dinding mereka. Dalam satu bagian Critias (114 d) filsuf Yunani itu
menulis tentang Atlantis bahwa:

”pulau mereka memproduksi sendiri sebagian besar apa yang mereka


butuhkan untuk kehidupannya. Pada tempat yang mereka gali dari bumi
apa (logam dan batu permata) yang akan mereka temukan di sana, adalah
sesuatu yang padat dan dapat dilebur.
Mereka juga memproduksi sesuatu yang disebut, orichalcum, tapi mereka
menggali di beberapa bagian benua, dan ada yang lebih berharga daripada
logam lain selain emas.”
Dalam bagian lain (Critias116b) Plato menceritakan bagaimana
dinding triple Atlantis yang dilapisi perunggu dan yang lainnya dengan
timah di bagian dalamnya, yang mengelilingi benteng “menyala dengan

142
cahaya merah orichalc”. Sifat sebenarnya dari orichalc telah diperdebatkan
oleh para ahli dari segala macam sejak jaman dahulu. Logam emas yang
menyala hanya kuningan, paduan tembaga dan seng adalah kombinasi
yang sangat sulit dan hanya teknologi di zaman modern yang dapat
membuatnya.
Penggunaan logam mewah di Atlantis berupa emas dan perak
digunakan dengan melimpah untuk kuil-kuil dan istana mereka.
Alexander, dalam legenda penaklukan Hindia, memiliki kesempatan untuk
melihat secara langsung cukup banyaknya pilar-pilar emas seperti yang
digunakan raja-raja Atlantis untuk menuliskan hukum mereka. Proclus,
seorang Neo-Platonis mengomentari karya Plato, menceritakan bagaimana
Crantor, Neo-Platonis lain itu, masih bisa melihatnya di Mesir, pilar emas
dimana para pendeta Sais menunjukkan kepada para wisatawan, dan yang
bertuliskan dengan skrip yang menceritakan kisah hilangnya suatu benua.
Proclus juga menegaskan bahwa Atlantis “tetap berbentuk sebuah
kepulauan di Samudra Luar, di luar Pilar Hercules". Secara singkat,
banyak tradisi yang sesuai dengan fakta bahwa Atlantis itu sangat kaya
dalam segala macam logam dan mineral seperti batu permata, dan
khususnya timah, emas dan perak, yang dibawa ke semua bangsa di dunia
kuno. Tradisi seperti tambang Salomo di Ophir, atau Hero seperti Ulysses
dan Argonauts mencari legenda emas dari Phaeacia dan Aiagia tidak lebih
dari ingatan redup Atlantis, tidak mungkin menyimpang dan dibesar-
besarkan untuk sebuah karya sastra kuno. Demikian juga dengan tradisi
kuno seperti dinding perunggu dari Hades, gunung emas dan perak dari
Timur Jauh, dan Eldorado dari conquistador, yang menganggap Amerika
sebagai Hindia, situs yang sebenarnya Atlantis-Eden.
Sebagian alam keemasan ini adalah kota yang tenggelam seperti kapal
selam Poseidon (Aigaia), atau seperti super istana emas dari Triton di
dasar Samudera. Sebagian terendam oleh banjir, seperti kasus Golden
Troy dengan dinding perunggunya atau Atlantis itu sendiri. Akhirnya,
sebagian besar pulau-pulau terpencil di Timur Jauh, terletak di luar Pilar
Hercules. Begitulah kasus Erytheia Merah dari Geryon dan pulau-pulau
misterius yang disebutkan oleh Proclus, yang sama dengan legenda
Atlantis yang tersisa.
Dalam setiap kasus adalah mungkin untuk menunjukkan (seperti yang
kami lakukan di tempat lain) bahwa semua alam yang sebagiannya
tenggelam dan berubah menjadi pulau-pulau sama dengan Indonesia,
termasuk Moluccas (Maluku, Spice Islands atau Kepulauan Emas), serta
tanah di sekitar Selatan dan Asia Tenggara. Pulau-pulau menyedihkan ini
adalah, sama dengan Elysium maupun Kepulauan Blest, Hades paradisial
adalah nenek moyang Atlantis yang menghabiskan hidup yang
menyenangkan tak berkehabisan, mereka memiliki permainan, tarian,
perburuan dan memancing ikan di Paradise yang kini muram, dan orang
Mesir menyebutnya Punt (Amenti atau Duat, dan lain-lain).

143
17) Keunggulan Iptek

Satu lagi bukti yang jelas diberikan oleh Plato dari teknologi unggul
yang digunakan oleh orang Atlantis adalah penggunaan orichalc, logam
misterius yang "menyala seperti api"dan yang mereka gunakan untuk
menghias dinding benteng mereka. Seperti yang kita kemukakan di atas
(lihat item16) orichalc (atau aurichalcum, yaitu “tembaga emas”,
sebagaimana tulisan Pliny) adalah kuningan, paduan tembaga dan seng
dari warna emas yang indah dan sifat mekanis yang unggul.
Pembuatan kuningan adalah prestasi teknologi yang hanya bisa
diulang di zaman modern karena kesulitan-kesulitan prosesnya. Fakta
bahwa Atlantis dapat menghasilkan campuran massal ini adalah bukti
langsung dari nenek moyang mereka akan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Jadi, kenyataannya mereka dapat menghasilkan logam dan batu
permata dalam jumlah besar untuk memasok negara-negara kuno karena
barang-barang ini sulit untuk pengadaan dan proses dalam kondisi primitif
saat itu.

Gambar: Lukisan dugaan bentuk Vimana (sumber: http://www.geocities.com )

Bukti superioritas dalam hal ilmu dan teknologi telah dikuasai oleh
orang-orang Atlantis sebagai suatu kemampuan ganda, tabiat ganda:
tradisi dan fakta. Sebagai penjelasan secara tradisional, kita dengar mitos
dan legenda seperti mesin terbang yang menakjubkan, misalnya vimana
dan vahanas dari Ramayana dan Mahabharata. Kitab suci ini bercerita
tentag pesawat udara yang mampu mengangkut seluruh tentara, senjata

144
(agniastras) yang dapat ditembakkan dan diledakkan, seperti bom atom
yang mampu menyapu seluruh kota.
Mereka juga berbicara tentang mesin yang dapat berbicara dan
membuat prediksi di masa yang akan datang, serta mampu melihat
seseorang dari jarak jauh. Mereka bicarakan juga tentang teleportasi
(pemindahan obyek dengan cara psikokinetik), telepati (komuniasi ekstra
sensorik), terbang (ilmu meringankan tubuh), dan merubah bentuk logam.
Tanpa kesulitan mendirikan bangunan megalitik seperti piramid megah.
Seperti “metode gaib” “magical means” dalam pembahasan ilmu
pengetahuan dan teknologi super. Selain itu, tradisi sakral dapat
mengantarkan pada penggunaan teknologi genetik untuk membuat
tanaman dan hewan peliharaan. Bukanlah sub-spesies manusia yang
dipersiapkan untuk tujuan khusus seperti “melayani dewa-dewa”.
Campuran logam super seperti baja stenlis, perunggu dan kuningan
(orichalic) telah ada jauh di masa lampau. Dan tak ada seorang pun yang
mampu memberikan laporan yang memuaskan atas waktu dari penemuan
atau tempat aslinya, kecuali di Atlantis, lokasi sebenarnya Taman Surga?
Penemuan penting seperti tanaman dan hewan peliharaan, abjad, kitab
suci, kertas, mesiu, peleburan dan pembentukan logam, fermentasi (seperti
pembuatan bir) dan penyulingan, obat-obatan, elektrik kimia, lensa,
teleskop dan kacamata, pemotongan dan pembentukan batu, dan tak
terhitung lagi seperti kreasi sulap yang telah datang pada kita di masa
sekarang. Keterangan resmi hal tersebut datang dari “China”, China telah
membuat peradabannya sendiri, seperti negeri kuno yang megah dari
Hindu, kedatangan Hindu, diklaim telah dibangun oleh orang Atlantis
Naga, apakah mereka bicara bohong atau benar? Dan mengapa semua
masa lalu seperti itu?
Pendapat kami, keahlian yang luar biasa dari orang Atlantis terletak
pada bidang sosial dan ilmu metafisika: agama, filsafat, etika, hukum,
mitologi, psikologi dan sebagainya. Seperti yang kita pelajari lebih
mendalam kebenaran filosofi Yunani (sebagaimana diungkapkan oleh para
filosof seperti Plato, Pythagoras, Aristoteles, Epicurus, Zeno, Thales,
Anaxagoras dan yang lainnya) tidak salah untuk menyatakan bahwa
pengalaman mereka semua berdasarkan dari Hindu darsanas (sistem
filosofis).
ilmu-ilmu orang India memiliki makna yang lebih mendalam dan jauh
lebih banyak daripada yang ada di Barat, para ahli Barat terjebak pada
etnosentrisme tidak menyadari kenyataan bahwa agama dan sistem
filosofisnya semua datang dari Timur. Sekaranglah saat
yangmemungkinkan untuk menyadarinya, persisnya seperti menjaga Kitab
Suci dan tradisi suci kita (Barat). Semua ini doktrin “Hindu”, pada
gilirannya, akar risalah kuno berasal legendaris kuno yang tak lain adalah
Atlantis itu sendiri.
Agama juga - mungkin yang terbesar di antara semua buatan Manusia
– berasal dari surga, yaitu di Atlantis itu sendiri. Hal ini mudah dilihat
tidak hanya dalam tradisi kuno wahyu, dewa, malaikat atau makhluk

145
superior (orang Atlantis), tetapi juga telah menjadi kenyataan bahwa
semua agama berasal dari sumber tunggal, Urreligion (Agama purba)
yang digambarkan oleh seorang jenius Mircea Eliade dan René Guénon.
Mitologi adalah ciptaan lainnya dari Atlantis yang mengatur tipe dan
model perilaku keteladanan, mentalitas yang bahwa kita semua terlalu
mengikuti naluri selama hidup kita. Kebanyakan mitos terkait dengan
Atlantis atau hal-hal mengenai Atlantis, dan menangkapnya menjadi
doktrin agama kita (Barat).
Dimanakah lagi sementara Atlantis yang hancur dalam mitos air bah
sedemikian rupa, atau pada Milenium dan kelahiran kembalinya Surga
Yerusalem (Atlantis) berasal? Siapa lagi kecuali orang Atlantis yang
menyebarkan mitos itu ke seluruh dunia, termasuk ke sudut-sudut
terpencil di hutan Amazon dan orang-orang Indonesia dan Asia Selatan?
Faktanya adalah bahwa semua penemuan tertinggi - orang-orang yang
dapat merubah manusia menjadi lbih dari sekedar kera atau binatang buas-
datang dari Atlantis, muncul pertama kalinya. Satu penemuan yang
membuat semua orang bisa melakukan pertanian, warisan tertinggi dari
Atlantis kuno. Pertanian yang memungkinkan stabilisasi Manusia
menetap, dan menjamin ketersediaan pangan dengan tenaga yang jauh
lebih hemat daripada yang dibutuhkan dalam berburu dan mengumpulkan
makanan.
Pertanian membuat banyak waktu untuk berpikir dan untuk
pengembangan penemuan dan kreasi yang memungkinkan kita untuk naik
melebihi binatang buas. Tetapi ketika kita berbicara tentang pertanian dan
hewan perliharaan kita tidak bisa melupakan bahwa kegiatan ini hanya
dimungkinkan dengan mnciptakan spesies buatan dan keturunan yang
memiliki sifat khusus. Perkembangan ini perlu penggunaan rekayasa
genetika yang cukup maju yang mungkin hanya ada atau bahkan lebih
unggul dari zaman modern.
Dengan arogansi khas, sains modern telah benar-benar mampu
menciptakan bahkan satu contoh tumbuhan atau hewan peliharaan
melebihi dari yang kita warisi sejak awal, yaitu Atlantis di zaman nenek
moyang kita. Banyak dari tumbuhan dan binatang - khususnya anjing,
babi, kambing, jagung, gandum, barley, kapas, kelapa, nanas, ubi,
kentang, pisang, anggur dan banyak lainnya – telah ada baik di zaman
dahulu maupun sekarang.
Selain itu, banyak digunakan nama yang sama di kedua zaman. Siapa
lagi kecuali Anak-anak Dewa Atlantis yang membuatnya dan
membawanya ke negara-negara lain jauh di dunia? Persis dengan apa yang
semua orang klaim dalam tradisi suci mereka di seluruh dunia. Mengapa
mereka berbohong tentang isu penting ini? Selain itu, ketika kita mencari
tempat asal dari semua ciptaan manusia yang hebat atau dewa-dewa, kami
memverifikasi bahwa mereka selalu ada dan rupanya tidak berasal dari
mana-mana.
Para ahli sulit menempatkan untuk memberitahu kapan dan tempat
asal mereka, dan para penelitian mereka mendorong merekanya ke Timur

146
Jauh, tempat asal yang benar pertanian dan peradaban. Ilmu-ilmu mereka
yang lain jelas membuktikan keberadaan Atlantis adalah ilmu Astronomi
dan Geodesi. Beberapa peta kuno dunia, seperti orang-orang dari Piri Rei
dan Oronteus Finaeus, mewujudkan pengetahuan yang luar biasa dari
seluruh dunia yang tidak bisa diperoleh di semua tanpa sistem kartografi
dan geodesi yang canggih.
Dan hal ini, pada gilirannya memerlukan pengetahuan yang mendalam
tentang trigonometri bola, logaritma, geometri proyektif dan ilmu terkait
lainnya. Selain itu, pemetaan ini membutuhkan ketepatan penggunaan
instrumen yang sangat akurat seperti kronometer, teleskop, sextants,
spheres armillary, dan sebagainya, penentuan koordinat bintang dan posisi
pengamat pada saat pengamatan.
Penciptaan instrumen tersebut membutuhkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang-bidang seperti optik, metalurgi dan ilmu material.
Siapa lagi selain orang Atlantis bisa memiliki teknologi ini dari awal
waktu? Detil yang luar biasa dan ilmu pengetahuan yang unggul dalam
Astronomi.
Telah diketahui sejak dahulu - tetapi jelas tidak memiliki kemampuan
untuk memiliki fakta-fakta tersebut ditemukan – ada dua buah bulan di
Mars, dua belas di Jupiter, di Saturnus ada sepuluh. Selain itu, mereka
tahu tentang heliosentris dari Tata Surya, ada sembilan planet, dan cincin
Saturnus, serta fakta bahwa Sirius, bintang terbesar di langit, adalah
bintang kembar yang tidak terlihat dengan berat jenis yang sangat tinggi.
hal ini serta banyak fakta astronomi lainnya hanya dapat diamati
dengan teleskop yang sangat besar dan sangat halus dalam teknik
observasional. instrumen dan teknik tersebut telah dikembangkan oleh
orang Atlantis dan tidak ada bangsa lain, pembatasan ekstra-terrestrials
dan kekuatan malaikat.
Orang dahulu juga mampu menghitung garis bintang dengan detil
yang luar biasa. akurasi mereka kadang-kadang melebihi yang astronom
modern lakukan, bahkan yang terbaik dari program komputer. Mereka
memiliki kemampuan menghitung dan memprediksi tanggal astronomi
dan posisi benda angkasa dengan baik untuk masa lalu dan di masa yang
akan datang. Penanggalan yang akurat ini amat jelas ditunjukkan dalam
Piramid Besar dan artefak lainnya, yang banyak juga menunjukkan tradisi
yang mengarah pada Atlantis.
Demikian juga, Piramid Besar juga merupakan perwujudan geodetical
pengukuran seperti panjang dari Meridian Lingkaran Kutub dan
Khatulistiwa dengan akurasi yang baik dibandingkan dengan yang
diperoleh terakhir dengan satelit geodetical. Kami membahas masalah ini
secara rinci dalam buku kami tentang Atlantis, yang kita lihat pembaca
tertarik.

147
18) Sistem Pertanian Terasering/berundak.

Seperti yang kita katakan di atas (lihat butir 17), yang terbesar dari
penemuan manusia adalah Pertanian. Pertanian memungkinkan Manusia
menetap dan karenanya munculnya peradaban dan perkembangan
kesenian dan ilmu pengetahuan. Tapi, secara eksklusif sistem pertanian
tebang-bakar tidak memungkinkan dalam pertanian menetap, beberapa
cara untuk memperbaharui kesuburan tanah secara permanen belum
ditemukan.

Gambar: Sistem pertanian berundak (terasering) di Propinsi Ifugao,


Filipina. ( http://en.wikipedia.org/wiki/File:Rice_terraces.png)

Dalam dunia modern, ini dicapai oleh sintesis kimia pupuk atau
dengan pengomposan residu hewan dan tumbuhan. Dalam dunia kuno,
renovasi tanah tersebut dilindungi oleh dua proses dasar. Yang pertama
mengambil manfaat tahunan dari sungai besar seperti Nil, Tigris, Efrat,
Indus, Gangga dan Irawadi, banjir membawa lumpur yang diendapkan di
ladang, memperbarui tanah dan mengairi perkebunan.
Proses ini masih banyak digunakan di Timur Jauh, dimana mungkin
berasal di zaman Atlantis. Proses lain menggunakan gunung berapi untuk
renovasi tanah, abu vulkanik yang sangat subur turun bersama hujan,
menutupi tanah dan menjadi pupuk. Begitulah alasan peradaban kuno
sering muncul di dekat gunung berapi: di Italia, di Peru, di Meksiko, di
Kreta dan, khususnya, di Indonesia. Memang, tampaknya bahwa pertanian
awal berbasis vulkanik dan pengairan.
Karena semua hal yang yang ditunjukkan, semua situs dari pertama
memanfaatkan teknik canggih ini adalah di Indonesia, tempat yang benar
sebagai Taman Eden dan asal-usul peradaban. Indonesia adalah wilayah
vulkanik paling aktif di dunia. Bahkan saat ini Indonesia memperoleh
kesuburannya yang banyak dari gunung berapi yang menjadi dua

148
keuntungan sekaligus kerugian (bencana) periodik.
Namun, abu vulkanik benar-benar berguna, penemuan hebat lainnya
diterapkan: pertanian terasering di daerah Vulkanik seperti Indonesia yang
bergunung-gunung. Di pegunungan, hujan cenderung membasuh tanah,
menghapus penggunaan pertanian mereka. Penggunaan terasering ini
mencegah pencucian tanah bahkan melestarikan air dan mempertahankan
pupuk di tanah pertanian.
Air hujan disimpan dalam bendungan di bagian atas gunung, dan
dibuat untuk aliran sepanjang teras di mana dilakukan pertanian. Hasilnya
adalah produksi besar yang sering menghasilkan dua dan bahkan tiga
panen setahun. Fitur ini ditunjukkan oleh Plato dalam deskripsi tentang
Atlantis. Jika filsuf besar tidak berbohong, kita dituntun untuk
menyimpulkan bahwa irigasi, pertanian terasering adalah sebuah
penemuan akan Atlantis.
pertanian terasering ditemukan, bahkan hingga hari ini, di sebagian
besar wilayah yang dipengaruhi Atlantis yang memiliki gunung berapi:
pulau-pulau Indonesia, Jepang, Cina, Italia Selatan (Etna, Vesuvius), Crete
(Thera), Andes Peru, Meksiko, dll. Tradisi pertanian berteras (terasering)
sejalan dengan salah undakan piramid.Piramid merupakan Gunung Suci,
gunung berapi merupakan lereng yang bertingkat untuk pertanian.
Gunung Suci ini tidak lain adalah Gunung Atlas dan, lebih tepatnya,
Gunung Meru seperti yang sudah dikatakan, secara umum adalah gunung
suci Hindu dan Buddha di India, Indonesia dan Timur Jauh. Legenda
Gunung Meru merujuk pada tragedi Atlantis. Tertarik pada puncak
gunung berapi seperti lalat kepada madu, Atlantis bertemua bencana,
ketika gunung berapi meledak, membunuh secara massal, dan pemusnahan
peradaban mereka yang maju, Atlantis menghilang dari tempat kejadian.
Tetapi mereka meninggalkan legenda yang abadi seperti senyum kucing
Cheshire.
Tradisi pertanian berteras dilambangkan oleh piramida berundak yang
ditemui bahkan di negara yang tidak memiliki gunung berapi dan undakan
untuk basis pertanian. Begitulah kasus Mesopotamia dan Mesir.
Ketertarikan mereka dengan dua fitur ini adalah pengaruh Atlantis dari.
Pahlawan legendaris peradaban bangsa-bangsa - tokoh seperti Thoth,
Osiris, Dercetto dan Oannès – sebagai dewa Atlantis dan diidentifikasi
dengan Naga (atau Titans) Indonesia.
Piramid pertama Mesir, Zozer, adalah piramid berundak sesuai fungsi,
bentuk dan ritual yang ada di Indonesia (Borobudur) dan Asia Tenggara
(Angkor Vat, Angkor Thom, Bakong, dan lain-lain). Seperti yang kita
lihat, hampir tidak ada keraguan bahwa tradisi bangunan piramid berasal
dari pertanian bertingkat (terasering) dan bahwa kedua tradisi itu berasal
dari Indonesia, situs Atlantis yang sebenarnya, Eden, dan asal mula
pertanian. Bagaimana tradisi pertanian berteras telah mencapai Mesir dan
Babilonia, - yang tidak pernah ada – kecuali dari Timur Jauh, di mana ia
dikembangkan? Apalagi telah ada baik di dunia lama dan dunia baru dan
di semesta alam sejak awal waktu?

149
Taman Gantung Babilonia - salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia
Kuno - ada hal lain dari gunung bertingkat dibuat secara artifisial. The
ziggurats Babilonia (kuil-gunung) adalah piramida berundak yang
mewakili ide yang sama. Hal yang sama juga terdapat di Mesir dan di
Amerika.
Ratu Hatshepsut juga dibangun replika "Taman Libanon", Taman
Eden direplikasi oleh Ratu Semiramis. Raja Salomo, sesuai dengan tradisi
kuno ini, juga dibangun salinan Taman Eden (purba “Lebanon”) di dekat
istananya, di legendari Yerusalem yang tidak pernah benar-benar ada
kecuali dalam tradisi Atlantis, di mana ia hanya mengubah nama ibukota
Atlantis.
Orang Mesir sering merepresentasikan “taman” dalam bentuk patung
Osiris yang ditanami jagung, sebagai hadiah darinya untuk manusia.
Osiris, dewa kematian dan kebangkitan di Gunung Suci, seperti Atlas,
dianggap sebagai Pilar Surga (Tet). Memang, Kisah dua bersaudara Mesir
adalah tiruan kata dari salah Atlas dan Gadeiros, banyak nama
berdasarkan aturan Atlantis sesuai keterangan Plato. Dua bersaudara
bersaing, yang satu membunuh yang lain, yang kemudian bangkit kembali
dari orang mati. Seperti yang kita lihat, duel ini sesuai dengan salah satu
dari Osiris dan Seth. Tapi semua ini memang perumpamaan dari Perang
Atlantis, di mana dua saudara adalah “Yunani” dan Atlantis, yang
berperang sampai akhir kehancurannya masing-masing.

19) Golongan darah “O”

Salah satu paling pasti dari semua sifat genetik yang menghubungkan
dua kelompok populasi berbeda adalah golongan darah. Penelitian yang
lebih baru telah menghasilkan genotipe yang bahkan lebih efisien. Sebuah
proyek global, sekarang dalam proses untuk menentukan genotipe dari
kelompok manusia yang beragam, dan dalam beberapa tahun kita akan
dapat menentukan dengan pasti siapa dari siapa dan berasal dari siapa.
Namun, sementara ini kita harus puas dahulu dengan yang ada.
Apa yang telah kita dapati sejauh ini menentukan bahwa Type Darah
O merupakan ciri khas dari apa yang kita sebut “jejak merah” Atlantis.
Jenis darah adalah karakteristik di ras merah Amerika, di Guanches
Canarian, di Basque Perancis dan Spanyol, di Skandinavia, di Celtic di
Kepulauan Inggris dan pantai Atlantik Perancis, serta bangsa Polinesia
tertentu dan Indonesia.
Distribusi Golongan Darah O menunjukkan bahwa orang-orang ini
masuk ke Eropa dari Indonesia, melalui Hindia dan Samudra Atlantik,
persis seperti legenda yang diklaim oleh orang-orang Celtic, Romawi, dan
Yunani. Selain itu, distribusi ini juga menunjukkan sebuah serangan dari
Hindia ke arah Timur Jauh, mencapai sepanjang jalan ke Amerika, melalui
Melanesia dan Polinesia. Dengan kata lain, tampaknya bahwa asal mula
populasi darah O ini adalah Indonesia purba dan lembah tergenang,
Atlantis.

150
Plato tentu saja tidak bisa memprediksi pembangunan modern. Tapi
lebih dari suatu kebetulan bahwa pada masa lalu, “Merah” atau “Royals”
(Kshatryas atau Rajput = “Sons of Kings”) diklaim memiliki darah yang
berbeda dari biasa, yang disebut “darah biru”. Mungkin ini adalah satu
lagi warisan ilmu Atlantis masuk ke dalam tradisi legenda pada
keberadaan berdarah ras unggul yang berbeda yang ditakdirkan untuk
memerintah yang lain.
Dengan demikian, kami tandai entri pada Checklist kami pada masalah ini,
sebagai berikut: Diragukan (?): Plato, Thera / Crete, Cekung Atlantik
Pulau, Antartika, Tartessos, karena kita belum punya cara untuk
menentukan jenis darah dari populasi . Namun, ini adalah kemungkinan
masa depan yang pasti dengan penelitian fosil DNA mitokondria.
Kemungkinan Positif (v) adalah: Skandinavia, suku Inca, Mayas,
Northwest Afrika (Berber), Celtiberia dan populasi putih tertentu Polinesia
dan Hindia. Pengecualian hanya yang pasti (x) dalam Daftar Periksa kita
Schliemann's Troy, di Hisarlik (Turki), sebagai tipe darah Eropa Timur
dan Timur Dekat merupakan karakteristik dari jenis A-, indikator yakin
asal Asia. Tentu saja, fakta ini juga cenderung untuk mengecualikan lokasi
yang diusulkan tidak ada dalam daftar, seperti Bosporus dan Kaukasus,
serta situs-situs lebih jauh ke timur, baik di Eropa dan Asia.

Hasil penelitian Santos tersebut sangat kompleks ditinjau dari segi data
pendukungnya, Santos melakukan penelitian menggunakan berbagai instrumen ilmu
pengetahuan yang meliputi mitologi, geografi, arkeologi, kelautan, sosiologi, geneologi,
metalurgi dan sebagainya.
Argumentasi Santos tersebut meski dalam bentuk terjemahan bebas setidaknya
dapat memberikan gambaran agar kita dapat mengambil sikap apakah setuju ataukah
tidak mengenai keberadaan Atlantis di masa lalu sebagai peradaban yang pertama. Di
dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an ada disebutkan nama-nama para Nabi/Rasul, ada pula
disebutkan dimana lokasi mereka menjalankan hidup dan tugas kenabiannya, tetapi ada
pula yang tidak disebutkan secara jelas. Demikian pula tentang Nuh a.s. dengan bencana
banjir besarnya. Belum lagi jika kita telaah silang dengan kitab-kitab suci lainnya seperti
dalam Perjanjian Lama (Old Testament), dengan cerita-cerita dalam mitos negeri-negeri
dan kebudayaan-kebudayaan besar, serta artefak dan perubahan kontur bumi seperti
dalam keterangan Santos diatas.
Plato menyatakan (seperti halnya Edgar Cayce yang juga merujuk pada Plato)
bahwa cerita itu ia dapatkan dari seorang pendeta bernama Solon, seorang dari tujuh
orang terbijak ,Solon mendapatkan cerita itu dari orang Mesir. Kemudian orang Mesir
mengaku legenda itu ia dapat dari Punt Hindu, tanah leluhur mereka (To Wer), tanah
berapi yang konon dari sana orang Mesir berasal, yang mengungsi karena bencana yang
menghancurkan negeri mereka, dari sana pulalah bangsa Arya, Ibrani dan Fenesia
berasal. Demikian pula mitos-mitos dan agama-agama berasal dari bangsa Lemuria
Atlantis

151
IV.

MENGUNGKAP MISTERI

a. Warisan Atlantis di Banten

Selanjutnya, Atlantis, telah memiliki ilmu pengetahuan yang mapan, bahkan


konon melebihi bangsa-bangsa di masa sekarang, juga mitologi dan filosofi, ditambah
pula dengan kekayaan alam seperti logam dan sebagainya, oleh karena mata
pencahariannya bertani, maka tidak memakan banyak waktu untuk bekerja sehingga
memiliki waktu luang untuk mengerjakan yang lainnya, misalnya bermain musik. Oleh
karena itu, penggunaan logam tidak hanya dibuat untuk senjata atau perhiasan, tetapi
juga alat musik. Besar kemungkinan alat musik gamelan telah muncul sejak masa
Atlantis ini. Seperti yang ditengarai oleh Jennifer Lindsay, yang menyatakan bahwa
gamelan telah ada jauh sebelum zaman Hindu-Buddha.
Maka jika kita menyetujui akan keberadaan Atlantis sebagai peradaban awal yang
mapan, dengan demikian bahwa gamelan telah ada sejak masa Atlantis itu. Sebagaimana
diceritakan dalam sejarah gamelan yang sarat dengan mitos, bahwa Sang Hyang Guru lah
yang pertama membuatnya, bersemayam di kerajaan Surga (nirwana, suralaya), dan
ketika Gong tersebut dibunyikan, maka berkumpulah seluruh Dewa-Dewi, dapat
diasumsikan didalamnya ada termasuk Poseidon yang “mendapat bagiannya di pulau
(benua) Atlantis”. Dalam Babad Tanah Jawa versi Olthof sendiri menyatakan bahwa
Batara Wisnu-lah yang menjadi raja pertama di Pulau Jawa. Secara mitologi, bahwa Jawa
dan Yunani memiliki kemiripan tentang sejarah daerah “surga” ini. Pertama tentang
“Dewa-dewa”, kedua tentang “pertemuan para dewa”, ketiga tentang “gunung berapi”
sebagai tempat tinggal Dewa. Dalam keterangan Plato sendiri tidak dikatakan tentang
cara memanggil para Dewa tersebut, tetapi mekanisme pemanggilan itu diceritakan di
Jawa dalam legenda Gong. Dan Gong adalah alat musik gamelan yang pertama dibuat,
selanjutnya, gong-gong lainnya dibuat dengan nada dan ukuran yang berbeda-beda untuk
membedakan jenis-jenis panggilan dan intruksi sang Dewa.
Sampai sejauh ini, informasi tentang gong tua berbahan perunggu, (perunggu
merupakan campuran antara tembaga dengan timah) ini dapat diartikan bahwa teknologi
peleburan logam telah dikuasai oleh orang Atlantis. Dalam pembuatan alat musik
perunggu terdapat dua cara, mengecor sebagai tahap awal seperti pencampuran timah dan
tembaga, kemudian menempanya hingga mencapai bentuk dan bunyi yang diinginkan.
Baik proses penempaan maupun pengecoran dibutuhkan alat bantu seperti cetakan atau
landasan untuk menempa. Mengenai hal ini terdapat satu situs yang dapat dikaitkan
dengan gong, yaitu Batu Sorban. Sayangnya belum ada penelitian mengenai ada tidaknya
keterkaitan antara gong dengan situs Batu Sorban di kab. Pandeglang ini. Batu Sorban
merupakan julukan masyarakat sekitar terhadap situs ini, diperkirakan disebabkan
bentuknya seperti sorban yang dibebatkan di kepala, hal ini sekaligus menunjukkan akan
kuatnya pengaruh Islam di daerah ini, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa masyarakat ini
lebih mengenal sorban ketimbang gong, pada kenyataanya selain situs Batu Sorban, di
kecamatan Menes terdapat situs Batu Goong, yang justeru bentuk dan ukuran batunya
lebih dekat dengan bentuk kenong (semacam bonang) yang jumlahnya banyak.

152
Perbedaan kedua situs tersebut menunjukkan situs batu goong lebih banyak obyek Batu
Goong-nya ketimbang Batu Sorban. Hal ini semakin meyakinkan penulis bahwa Batu
Sorban lebih kuat sebagai “pertanda” yang menunjukkan tempat dimana gong yang
pertama dibuat. Sampai sejauh ini penulis belum mendapat sumber yang valid tentang
usia Batu Sorban tersebut, informasi terakhir menyatakan bahwa batu tersebut dibuat
pada abad ke-4 Masehi, namun tanpa keterangan semisal apakah dari hasil uji karbon
atau prakiraan saja. Jelasya, penulis memandangnya bahwa terdapat kemiripan antara
Batu Sorban dengan Gong khas Indonesia. Demikian pula batu yang terdapat pada situs
Patapan di kecamatan Kibin Kab. Serang. Memiliki permukaan yang serupa.
Sementara itu, istilah kumbang gending (penabuh/pembuat gamelan) sudah
disebutkan dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesyan 58, artinya, profesi tersebut
sudah ada jauh sebelum dituliskan dalam naskah itu sendiri..
Alternatif lain diduga gong tersebut adalah sebagai “cetak biru” dari candi atau
piramida, sebagai manifestasi mandala atau gunung suci tempat penguasa alam semesta
bersemayam.

Gambar : Batu Sorban, dan Gong perunggu.

Demikian pula fungsi gong pada lagu, jika ia dipukul, berfungsi sebagai penutup
birama atau penutup lagu sekaligus sebagai pembuka bait berikutnya. Birama dalam
musik moderen adalah satu ruang yang dibatasi dua garis vertikal, dalam satu ruangan
tersebut terdapat empat ketuk, maka birama tersebut dinamakan 4/4, setelah birama itu
genap empat ketuk, maka lagu dilanjutkan ke birama berikutnya .
Dengan demikian, gong dipukul sebagai tanda bahwa birama yang sudah lewat
telah selesai, dan pemukulan tanda selesai itu adalah juga sebagai tanda bahwa birama
berikutnya telah dimulai. Demikian pula pada satu lagu, setiap suatu lagu selesai, maka
ditutup dengan gong. Demikianlah fungsi gong yang bentuknya seperti gunung itu. Ia
adalah pertanda.
Dalam kasus lain, terdapat pukulan yang disebut dengan ketuk tilu (sunda =
pukulan tiga), dalam prakteknya, gong memang dipukul dengan hitungan berkelipatan
ganjil, dalam bahasa musik moderen disebut syncopate (pungtuasi / tekanan), maksudnya
adalah bahwa pukulan yang ganjil menimbulkan tekanan dari ke-ganjil-annya, gong tidak

58
Drs. H. Halwany Michrob, M.Sc. dan Drs.H.A.Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, 2011, halaman 40-
42.

153
dipukul pada hitungan ke 1, 2, 3, atau 4, tetapi dipukul pada hitungan antara 3 dan 4, atau
antara 4 dan 1, demikian pula pada teknik pukulan gendang yang dilakukan oleh Sarmani
pada grup Ubruk Cantel, berpola ketuk tilu.
Dalam musik jazz, ini adalah pola swing, di periode kedua dalam genre musik
jazz, terdapat satu style swing yang berciri ganjil, baik pada pukulan ride-cymbal,
maupun pada piano accompaniment, keduanya dipukul pada pola hitungan “antara”, atau
swing (mengayun, menggantung). Lebih menarik lagi, musik ini lahir di Amerika (mulai
disebut jazz pada tahun 1913) dan dipelopori oleh kaum buruh dari Afrika 59 dan lebih
menarik lagi, sejarah kebudayaan Afrika menunjukkan hadirnya alat musik Balafon
sebagaimana terdapat di Mali, alat ini merupakan jenis marimba (alat pukul yang terbuat
dari bilah kayu direntengkan) yang jika merujuk pada alat musik gamelan, maka balafon
merupakan gambang. Hal ini sesuai dengan apa yang ditengarai oleh Tucker tentang alat
musik marimba yang konon berasal dari “Malayo on far east” ini, ternyata sudah ada
sejak 2000 tahun sebelum Masehi, marimba lebih dikenal berlaras diatonik, sedangkan
Balafon berlaras slendro. Dengan demikian, Balafon lebih dekat “kekerabatannya”
dengan gambang karena sama-sama berlaras slendro.
Diperkuat lagi oleh pendapat Carl Jung (1875-1967) tentang teori kreatifitas-nya
menyatakan bahwa pemikiran kreatif merupakan ketidaksadaran kolektif, yakni alam
tidak sadar yang dibentuk pada masa lalu, di dalamnya tersimpan pengalaman-
pengalaman masa lalu, mengingatnya berarti mengingat pengalaman “nenek moyang”.

Gambar : Balafon (Foto: http://en.wikipedia.org/wiki/Balafon)

59
Jazz merupakan bahasa slang orang Amerika yang dapat dimaknai sebagai kebersamaan, dimana bermaksud
bahwa permainan musik jazz merupakan curahan hati atas penderitaan buruh dengan penghasilan yang tidak sesuai.
Musik jazz dimulai sejak muncul irama ragtime pada era akhir abad ke-19, pertemuan antara ragtime dengan blues
menghasilkan swing dengan triplet dan walking bass-nya. Salah satu tokoh pendirinya adalah Joseph “King” Oliver
(1885-1938), mereka sangat sedikit mengetahui metode “membaca” musik, mereka lebih benayak bermain dengan
mendengar (Christina Ammer, 2002, halaman 200).

154
Maka penulis berkesimpulan bahwa musik jazz dan gamelan ada keterkaitan,
yaitu berdasarkan pada :

1) Punktuasi/aksentuasi (swing, ayunan ganjil, ketuk tilu),


2) Latar belakang etnis para pelopor jazz, serta
3) Pola pentatonik (slendro) dalam improvisasinya.

Keterangan Santos yang bersandar pada Plato, dinyatakan bahwa orang Atlantis
terdapat beberapa suku bangsa, diantaranya orang yang bertubuh besar dan bermata biru,
dan ada pula yang bertubuh kecil serta berkulit hitam yang sekarang disebut orang pigmy.
Diduga orang pigmy tersebut merupakan pengungsi dari bencana besar yang menimpa
Atlantis, kemudian secara turun temurun mereka melestarikan tradisi musikal nenek
moyangnya.
Adapun kabar tentang keberadaan Atlantis telah ditindaklanjuti oleh berbagai
pemerintah daerah di Indonesia, diantaranya Jambi dan Riau, bahkan Negara Malaysia
tentunya, Atlantis dijadikan motif untuk kepariwisataan. Wajar saja jika mereka
melakukan itu, karena deskripsi Santos menyatakan bahwa kerajaan Atlantis terbentang
sepanjang India hingga ke Jawa. Berdasarkan informasi terakhir yang diperoleh dari Yadi
Ahyadi, bahwa di Universitas Indonesia sendiri telah ada 9 penelitian tentang ini (tahun
2010). Tinggal menunggu hasilnya untuk melihat bagaimana bangsa Indonesia
mensikapinya, apakah memandangnya secara kepariwisataan saja (yang tentu hanya
berorientasi kepada uang) ataukah mengambil nilai-nilai pelajaran di dalamnya,
sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Faathir di halaman muka buku ini, atau
dalam kitab-kitab lainnya, catatan-catatan lainnya, serta legenda-legenda di berbagai
negara.
Banten memiliki legenda Aki Tirem, dimana cerita Aki Tirem sendiri merupakan
cerita yang bagi sebagian peneliti belum dapat dijadikan fakta karena terdapat kelemahan
pada sumbernya. Sedangkan di pihak lain yang mempercayai naskah tersebut
menganggap bahwa pihak yang merasa keberatan tersebut disebabkan naskah tersebut
terlalu detil dan sejajar dengan tulisan-tulisan dan hasil-hasil penelitian dari Barat,
dimana di Nusantara diduga belum ada tulisan atau hasil penelitian sehebat itu. Dugaan
lainnya ialah karena naskah wangsakerta menggambarkan asal-usul raja-raja Jawa dan
Nusantara, yang jika disimpulkan maka semua berasal dari Banten, yaitu Salakanagara
(negeri perak) yang dipimpin oleh Aki Tirem, yang kemudian menurunkan raja-raja di
Jawa dan Nusantara.
Akan tetapi cerita naskah Pangeran Wangsakerta diperkuat oleh mitos yang
tersebar di Banten Selatan (Pandeglang, Lebak) di lapangan, masyarakat memiliki mitos
tentang Aki Tirem, misalnya di daerah Pari di Cikoromoy, Pandeglang. Mereka percaya
bahwa nenek moyangnya adalah Aki Tirem yang memiliki nenek moyang dari Yunnan
tersebut.Selain di Pari, beberap tetua di daerah Munjul (Pandeglang) pun ada cerita
mengenai Aki Tirem. Bahkan cerita-cerita yang terkait Aki Tirem dengan Angling Darma
sampai juga ke hampir seluruh Jawa Timur.
Hal ini juga diperkuat dengan catatan-catatan dari Cina dan negeri-negeri lain
yang menceritakan adanya hubungan antara tempat ini dengan negeri-negeri mereka.
Maka selanjutnya, dapat diasumsikan bahwa orang Yunnan (yang nenek moyangnya Aki

155
Tirem itu) merupakan orang Atlantis yang mengungsi pada banjir besar, kemudian
menceritakan kepada anak cucunya bahwa di sanalah mereka berasal, maka mencari
tempat itu dan merasa telah menemukannya. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa
Aki Tirem adalah orang Atlantis yang telah kembali dan membangun peradabannya
seperti semula. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai hal ini.

Gambar : Arca tinggalan periode megalitikum.

Jika hal ini benar maka pembahasan akan lebih menarik, karena akan terkait juga
pada orang Baduy, sudah menjadi paradigma bahwa orang baduy adalah suku tertua di
Banten. Tetapi keterkaitan orang baduy dengan gamelan justeru lemah, sampai sejauh ini
penulis belum menemukan petunjuk mengenai gamelan yang ada pada masyarakat
Baduy, kecuali angklung buhun60, suling, dan calung renteng. Menariknya, asal-usul
gamelan tersebut berawal dari gamelan renteng seperti pada tulisan Ganjar Kurnia
tentang Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Hal ini dapat ditarik kepada keberadaan calung

60
Cukup sulit untuk membongkar sejarah angklung dari masyarakat baduy, akan tetapi sementara ini sejarah
angklung buhun didapat dari Kampung Pulo pada grup kesenian pimpinan Salman, menurut pengakuannya,
angklung tersebut ditemukan oleh kakek moyangnya di sebuah sungai di sekitar Ciruas, angklung tersebut terbawa
hanyut oleh sebuah getek (rakit), kemudian diambilnya dan setelah diteliti bernama Nyi Mayang Sari. Angklung ini
pernah di kubur selama masa penjajahan Jepang karena khawatir terjadi perampasan dan pengrusakan. Angklung ini
masih ada hingga sekarang dan konon bambunya masih asli seperti saat ditemukan.
Angklung telah dikukuhkan oleh UNESCO dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia
(Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dalam sidang Intergovernmental Committee
For The Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage IGC-ICH UNESCO di Nairobi, Kenya, 14-19 November
2010, termasuk keris dan batik.

156
renteng di Baduy, dimana keduanya memiliki kemiripan secara morfologi. Hal ini
diperkuat oleh Ayip Rosidi yang menyatakan bahwa Angklung (Buhun) dan Gong tertua
dan terbesar ada di Banten. Memang tidak diceritakan secara rinci baik tempat maupun
waktunya, namun hal ini merupakan pertanda bahwa kedua alat musik tersebut berasal
dari Banten tua, atau lebih tua dari yang kita bayangkan. Maka dengan demikian, bukan
hanya kerajaan saja yang berawal dan berakhir di Banten, bukan hanya peradaban saja,
tetapi juga musik pelog dan slendro.

Gambar : Suling Baduy (Foto: Ali Sastramidjaja 1979)

Sampai sejauh itu, dalam kepercayaan Sunda Wiwitan (Sunda Buhun, Sunda
awal) meski amat jelas terlihat animisme dan dinamisme, namun keyakinan orang Baduy
mengakui adanya satu kekuatan Yang Maha. Yakni apa yang disebut dengan Sang Hyang
Tunggal atau Tuhan Yang Maha Esa. Penguasa dan pengatur dari segala Dewa. Adapun
roh nenek moyang yang menjelma benda-benda alam dan tumbuhan serta binatang
adalah sebagai perantara, yang kemudian Islam meniadakan keperantaraan tersebut.
Baik dalam mitos Sunda wiwitan, maupun mitos bangs-bangsa di dunia, bahkan
Atlantis tidak terlepas dari cerita Dewa-Dewi. Mitos-mitos tersebut seolah-olah adalah
pesan yang harus terus disampaikan secara turun-temurun.
Jika dilihat dari segi ilmiah, maka mitos tidak termasuk dalam kategori fakta
karena sarat dengan peristiwa atau tokoh yang diluar dari logika. Tetapi jika kita telaah
lebih dalam, mitos juga adalah karya ilmiah, yang didalamnya penuh rahasia dan simbol-
simbol, oleh karenanya banyak hal-hal yang diluar logika yang bisa saja merupakan
simbol sekaligus sebagai proteksi atas kerahasiaan fakta. Lagi pula, mitos tersebut
bercerita tentang peristiwa yang terjadi pada masa sebelum adanya budaya tulis-menulis
(prasejarah), maka dengan cara apa mereka mendokumentasikan peristiwa kalau bukan
dengan cara lisan?

157
Tampaknya hal ini juga terjadi pada sejarah gamelan. Jika sejarah gamelan
merujuk pada mitos medangkamulan berdasarkan Serat Weda Pradangga (naskah yang
tentu saja sudah berupa tulisan, sudah pada masa budaya tulis atau zaman sejarah), maka
boleh jadi hal itu dikarenakan pengakuan dan pencatatan akan keberadaan gamelan baru
dimulai pada era tersebut, bahwa gamelan semakin menyebar dan lebih populer ke
wilayah timur pulau Jawa seiring dengan pasang surutnya kerajaan-kerajaan di Pulau
Jawa.
Orang Baduy di Kanekes pun mempunyai mitos, tetapi berbeda dengan orang Pari
di Cikoromoy, orang baduy (Kanekes) menyatakan sebagai keturunan Batara Cikal, yaitu
salah satu dari tujuh Dewa yang diutus ke bumi, tetapi mereka juga mengaku keturunan
Adam as,. Menurut Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan
pada tahun 1928, menyatakan bahwa orang Kanekes adalah penduduk asli daerah
tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146).
Orang Kanekes sendiri menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang
pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda
(1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala
(kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara
kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau
Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau “Sunda Asli”
atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli
mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai
mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Pada sejarah gamelan juga terdapat mitos dewa sebagaimana dalam Babad Tanah
Jawa (W.L. Olthof), Batara Guru memiliki kakek moyang Sis yang ber-ayah Nabi Adam
as. Pada kasus Atlantis pun sama mereka mengenal akan adanya “Dewanya para Dewa”,
dalam Timaeus dan Critias Plato, Timaeus berkata :

“…. Zeus, the god of gods, who rules according to law, and is able to see into
such things, perceiving that an honourable race was in a woeful plight, and
wanting to inflict punishment on them, that they might be chastened and improve,
collected all the gods into their most holy habitation, which, being placed in the
centre of the world, beholds all created things. And when he had called them
together, he spake as follows…”(The rest of the Dialogue of Critias has been lost,
in “Timaeus” by Plato).

Di Jawa Barat sendiri sebagai kerajaan terakhir penganut agama Hindu/Budha


adalah Pajajaran, yang kemudian digantikan dengan Sistem Kesultanan Banten dan
Sultan Hasanuddin sebagai Sultan yang pertama. Sejak saat itu, tidak ditemukan cerita
tentang gamelan, hanya di beberapa catatan tentang pemberian hadiah gamelan oleh
seorang putri China kepada kesultanan Banten.
Adapun pada era Sultan Ageng Tirtayasa ada suatu ide yang menarik, yaitu
adanya sistem kanal, dan dari keahlian inilah sang Sultan mendapat julukan Tirtayasa.
Hal ini seolah-olah menyiratkan bahwa ide irigasi/kanal tersimpan secara genetik di
bangsa Indonesia yang konon dulunya adalah Atlantis. Sungai Cibanten, selain sebagai
irigasi, tetapi dapat juga dilayari oleh kapal dagang hingga ke Banten Girang dan Kaujon

158
saat ini. Pada masa itu volume air masih tinggi dan melebar sehingga dapat dilayari oleh
kapal-kapal besar. Merupakan salah satu warisan Atlantis yang tersisa di Banten.

b. Urang Kanekes
Orang sering menyebutnya sebagai orang Baduy, tetapi orang Baduy sendiri
menyebut dirinya Urang Kanekes atau Urang Rawayan61. Kanekes adalah nama desa di
lereng gunung Kendeng kabupaten Lebak, Banten Selatan.
Menegnai asal-usul nama Baduy terdapat tiga pendapat, pertama dari Roo De La
Faillo, menyebutkan bahwa kata Baduy berasal dari kata Wadwa atau Wadya, hal ini
berdasarkan hasil hipotesisnya bahwa orang Baduy adalah tawanan perang Sunan
Gunung Djati. Wadwa berarti kelompok, tentara, bawahan. Yang kedua dikatakan oleh
Blume dan disetujui oleh Spanoge, Baduy menurut Blume adalah Budha, atau dari nama
sungai Cibaduy. Yang ketiga dikeluarkan oleh W.R.Van Hoeven menyatakan bahwa
baduy berasal dari bahasa Arab Badu/Badawi yang berarti padang pasir. Kata ini
disematkan pada urang Kanekes karena keengganan mereka untuk memeluk agama
Islam; dan kemudian menyamakan mereka dengan suku Badwi di Arab. Demikian
menurut Suria Saputra pada naskah 5, 1950 (Helmi 2010:47).
Kemudian Suria Saputera juga mengajukan teori (sintesa) bahwa akar kata Baduy
adalah Waluy yang berarti kembali ke asal. Perubahan W menjadi B biasa terjadio pada
kata welas menjadi belas, watu menjadi batu, rewu menjadi rebu (ribu). Juga perubahan
L menjadi D, seperti pada kata babal menjadi babad(menebas), euleuh menjadi eudeuh
(hal), sabda menjadi sabla (sabda). Kata Bali juga memiliki akar yang sama, yaitu wali,
berakar dari kata waluy dengan bentuk antaranya adalah walwi. Dari bentuk Waluy atau
Walu, dapat juga berubah menjadi kata walu. Istilah Kawalu di Kanekes berasal dari
kata ini-bukan dari kata kawolu (delapan)-, kemudian dalam bahasa Sunda (baik Sunda
umum maupun yang ada di Kanekes) ada kecenderungan menghaluskan kata dengan
mengganti suku kata yang terakhir dengan ten, misalnya saniskara menjadi saniskanten
(segala), sora soara menjadi soanten (suara), sore menjadi sonten (petang). Maka kata
bali dapat dihaluskan menjadi banten, wali menjadi wanten, dan menurut Helmi dapat
juga menjadi wahanten, sehingga dapat merujuk pada kerajaan Wahanten Girang di
Serang. Dengan demikian, menurut Suria Saputra, kata waluy, baduy, wali, bali, walu,
banten, dan banten berasal dari induk kata yang sama, yang memiliki arti (yang bersifat
spiritual) yang sama, yaitu (manusia) kembali kepada asalnya (wiwitan-nya) (Helmi,
2010:48).
Keterkaitan antara Bali dengan Baduy pernah ada petunjuk, yaitu berdasarkan
laporan lisan dari Yadi Ahyadi dengan penulis (2010), ia bertemu seorang sarjana Hindu
yang berasal dari pulau Bali, sarjana tersebut melakukan penelitian di India untuk
mencari asal-usul agama Hindu, namun ternyata sarjana tersebut menyimpulkan bahwa
orang India sendiri mengakui asal-usul agama Hindu adalah dari Indonesia, terutama di
pulau Jawa bagian Barat. Dengan demikian penulis memprediksi bahwa asal-usul itu
terkait dengan Urang Kanekes, meski orang Kanekes sendiri tidak mengaku sebagai
umat agama Hindu melainkan agama Sunda Wiwitan.

61
Rawayan = Jembatan, Keturunan, (Glosarium dalam Helmi Faizi Bahrul Ulum, 2010, Ngareksakeun Sasaka
Pusaka Buana: Pandangan Etika Urang Kanekes Tentang Hubungan Manusia Dengan Alam, UGM Yogyakarta,
Disertasi Doktoral.

159
Dari segi lain, kata banten dalam bahasa Bali berarti sesajen, untuk sesembahan,
persembahan, menurut penulis, hal ini memberikan peluang bahwa Banten dalam
sejarahnya memang sebagai pusat peradaban dan kepercayaan, tempat untuk
melakukan persembahan, dimana para Pandhita, Karesian, terpusat disana, dapat
dikatakan Banten adalah “Mandala”. Hal ini pula memperkuat asumsi penulis bahwa
Banten turut berperan penting dalam membentuk identitas nasional Indonesia.
Demikian pula kenyataan bahwa sejarah kerajaan di seluruh Indonesia banyak yang
merujuk ke Banten,
Tetapi disayangkan sampai saat ini belum ada konfirmasi lagi dari sarjana
tersebut sehingga penulis belum bisa berspekulasi untuk menjadikan dasar keterangan
tersebut sebagai asal-usul agama Hindu. Tetapi kemudian penulis memperoleh
informasi lain yaitu ketika berdiskusi dengan beberapa nayaga dari sanggar seni
tradisional Bali di Pura Kopassus menyetujui bahwa agama Hindu berasal dari Banten.
Mengenai hal ini, dapat dilihat dari sikap urang Kanekes terhadap alam semesta -
dalam kepercayaan mereka-, serta keterkaitannya dengan orang Pajajaran. Antara
urang Kanekes dengan orang Pajajaran terdapat perbedaan agama. Tampaknya,
kedatangan “orang lain” -yang kemudian mendirikan Pajajaran itu- tidak
mempengaruhi kepercayaan urang Kanekes. Bahkan ada kemungkinan bahwa
pendatang yang kemudian justeru terpengaruh oleh kepercayaan urang Kanekes,
dimana pendatang tersebut yang dikatakan sebagai orang India, yang merupakan suatu
bangsa yang telah memiliki peradaban, tentu juga telah memiliki kepercayaan
sebagaimana sejarah menyebutnya sebagai agama Hindu.
Dijelaskan lagi oleh Garna (1991:22) dalam Helmi (2010:50), bahwa Urang
Kanekes bukanlah keturunan (pelarian) Pajajaran, tetapi masyarakat asli yang sudah
ada jauh sebelum kerajaan pajajaran berdiri. Orang-orang Hindu dari abad kesatu
hingga abad lima belas, menurut Garna sudah cukup puas dengan kekuasaan tertinggi
yang diperoleh di kerajaannya masing-masing. Mereka juga tidak memaksakan agama
Hindu kepada masyarakat asli, bahkan mereka tetap mempraktekkan kepercayaan asli
mereka.
Adapun mengenai pengetahuan Urang Kanekes tentang Pajajaran, berikut
wawancara Garna dengan kokolot (tetua) kampung Gajeboh:

Baduy lain Urang Pajajaran, deukeut mah henteu, puun mah ngamusuhan,
kusabab kitu boga panolakna, Basa Prabu Kiansantang datang ti Mekah,
datangna kadinya ka bapana di dayeuh di Ujung Kulon. Ngahiangna di Batu
Tulis, nyirurup jadi Urang Islam.Ti Ujung Kulon leumpang ka wetan, eusi
dayeuh, eusi karajaan, ieu kabeh nu jadi pramunggu-pramunggu, dua kuren
diunggal gunung tea mimitina mah, nu lila-lila ngalobaan.

(Baduy bukanlah orang pajajaran, tidak juga dekat, puun bermusuhan dengan
mereka, karena itu ia penolaknya. Pada waktu Prabu Kian Santang dari Mekah,
ia pergi kepada bapaknya di Ujung Kulon. Menghilang di Batu Tulis, berubah
menjadi orang Islam. Dari Ujung Kulon menyingkir ke Timur. Isi ibukota, isi
kerajaan, semuanya menjadi paramanggu-paramanggu, di setiap gunung ada
dua keluarga, demikianlah mula-mulanya, yang kemudian akan bertambah
banyak)(Garna,1991:23).

160
Amatlah jelas apa yang diterangkan Garna tersebut, menunjukkan kesesuaian
dimana para pendatang itu tiba di Jawa pada abad I hingga XV M. Sebagaimana
diterangkan pula oleh Joseph Iskandar tentang keberadaan Aki Tirem dan menantunya
yang dari India itu, kemudian menjadi raja dan bergelar Dewawarman. Cukup kuat
fakta yang menunjukkan bahwa urang Kanekes adalah masyarakat asli Banten, dan
masih memegang teguh aturan adat-istiadatnya hingga sekarang.
Demikian pula menurut Helmi, bahwa dari beberapa masyarakat adat Sunda di
Indonesia, Urang Kanekes-lah yang paling kuat memegang teguh adat leluhurnya
(2010:9). Filosofi dalam kepercayaan dan ritual Urang Kanekes sangat mirip dengan
kepercayaan orang Atlantis sebagaimana dideskripsikan oleh Plato.
Urang Kanekes menyebutkan bahwa tanah adatnya merupakan inti jagat.
Keyakinanan itu muncul dari pandangan mereka bahwa disanalah alam semesta ini
bermula, dan disana pulalah manusia pertama diturunkan ke bumi. Titik Sakral sebagai
inti jagat mereka terletak di Gunung Pamuntuan. Di atasnya terdapat bangunan punden
berundak yang mereka sebut Sasaka Pada Ageng62. Pada punden tertinggi terdapat
menhir yang mereka sebut Sasaka Pusaka Buana. Selanjutnya Helmi menjelaskan
adanya enam tugas hidup dalam agama Sunda Wiwitan, yaitu :

1. Ngareksakeun Sasaka Pusaka Buana;


2. Ngareksakeun Sasaka Parahiyang;
3. Ngasuh Ratu Ngajayak Menak;
4. Ngabaratapakeun Nusa Telu Puluh Telu;
5. Kalanjakan Kapundayan; dan
6. Ngukus Kawalu Muja Ngalaksa.

Tugas yang pertama terkait dengan merawat dan menjaga Sasaka Pusaka Buana
sebagai inti jagat, yaitu cosmic-mountain, mountain-temple, cosmic-river, dan gate of
heaven. Tugas kedua menjaga dan merawat inti jagat yang kedua, yaitu Sasaka
Parahiyang; tugas ketiga terkait dengan pengabdian Urang Kanekes kepada raja; tugas
keempat terkait dengan hakikat hidup Urang Kanekes; dan tugas kelima dan keenam
terkait dengan upacara keagamaan terbesar mereka (Helmi, 2010,7-8).

62
Sasaka = tiang/tonggak utama, pusaka, kabuyutan (Helmi, 2010, Glosarium).

161
Gambar: Ngaseuk (Foto: Harisa Marjukie/Fotokita.net).

Sasaka Pusaka Buana adalah nama menhir yang ada pada punden ke 13 (punden
puncak) dari punden berundak Sasaka Pada Ageung di wilayah tangtu. Disinilah
tempat alam semesta bermula, dan tempat Batara Tunggal menurunkan tujuh Batara,
dianataranya Batara Cikal yang menurunkan Urang Kanekes dan agama Sunda
Wiwitan sebagai manusia pertama dan agama pertama. Oleh sebab itu, wilayah kanekes
merupakan wilayah inti jagat atau poros alam semesta yang harus tetap dijaga demi
kelangsungan hidup alam semesta beserta isinya. Pelaksanaan tugas ini berbentuk muja
atau pensucian Sasaka Pusaka Buana pada tanggal 16-18 bulan Kalima. Mencakup
juga penjagaan ekstra ketat dari penodaan inti jagat ini, inilah daerah paling terlarang di
Kanekes termasuk bagi orang Kanekesnya sendiri kecuali orang-orang tertentu saja.
Ngareksakeun Sasaka Parahiyang merupakan tugas yang sama yaitu muja dan
menjaga Sasaka Parahyang yang terletak di hulu sungai Ciparahyang Tangtu di Cibeo.
Wilayah ini juga wilayah terlarang seperti Sasaka Pada Ageng di Cikeusik.
Ngasuh Ratu Ngajayak Menak, yaitu mengasuh ratu (raja) dan membimbing
orang-orang mulia (para pembersar). Di Kanekes sendiri tidak ada ratu, raja atau para
pembesar, yang ada hanyalah puun dan jaro. Menurut Saleh Danasasmita, tugas ketiga
ini menunjukkan bahwa mereka bukan pelarian Pajajaran atau orang primitif.
Melainkan para resi seperti yang tercantum dalam prasasti yang dikutip oleh Nina H.
Lubis dan Helmi sebagai berikut:

Prasasti nomor E.43:

Inilah (surat) keputusan Sri Baduga Maharaja, raja penguasa Pakuan, (yaitu) Sri
Ratu Sang Dewata. Yang diberi keputusan adalah tanah Dewa Sasanasunda
Sembawa. Jangan ada yang mengganggu, jangan ada yang mempermainkan.
Batasnya adalah Timur dari Ciraub sampai Sanghyang Salila; di Barat dari
Ruseb sampai ke Munjul, ke Cibakekang, Cihonje sampai ke muara
Cimuncang; di selatand ari hutan Comon. Jangan (sampai) tidak diperhatikan
karena dewasasana adalah sanggar (pemujaan) kami, sang raja. Sepanjang jalan

162
besar ke arah hulu, tanah laranganitu disediakan untuk para pendeta. Janganlah
ada yang memaksa akan hasil keputusan ini karena aku menyayangi pendeta.

Tugas ketiga ini dilakukan dalam bentuk Seba, pada era kesultanan Banten
seba dilakaukan ke Sultan pada setiap tahunnya, demikian pula berlaku hingga
sekarang Seba dilakukan kepada pemerintah daerah. Konon, diramalkan, suatu hari
nanti, Seba Baduy tidak akan ada pemerintah yang mau menerimanya lagi.
Ngabaratakeun nusa telu puluh telu, bangawan sawidak lima, pancer salawe
nagara, atau mempertapakan 33 nusa, 65 sungai, poros 25 negara. Angka ini
ditafsirkan Helmi sebagai Tanah adat Kanekes, jumlah kampung di kanekes pada waktu
tertentu, jumlah sungai di Kanekes, dan daerah-daerah keturunan Urang Kanekes dari
enam saudara Kandung Batara Cikal. Pandangan Helmi berdasarkan ketidaktahuan
Urang Kanekes sendiri, atau sengaja ditutup-tutupi. Penulis sendiri berpendapat angka
tersebut bermaksud lebih luas dari sekedar tanah adat Kanekes, hal ini berdasarkan
filosofi bahwa tanah Kanekes adalah tanah kabuyutan, mandala, yang harus dijaga
untuk kepentingan “universal”. Mereka sadar manusia adalah bagian dari alam.
Kalanjakan kapundayan, atau perihal berburu, menangkap ikan (punday) atau
binatang dengan lanjak (jaring/jala). Ritual ini dilakukan 9 hari sebelum saat kawalu
(panen dan mengembalikan padi ke lumbung). Didahului oleh puun lalu diikuti orang
banyak (kecuali puun Cikrtawana, ia tidak boleh memakan makanan yang bernyawa,
diduga ini disebabkan tangtu Cikrtawana sebagai tempat karesian). Hewan yang boleh
diburu yaitu peucang (kancil) buut (tupai), dan mẽncẽk (menjangan), jika yang terjaring
bukan hewan tersebut, maka harus dilepas. Setelah diasapi, pada hari kawalu dijadikan
lauk pauk untuk berbuka puasa.
Ngukus ngawalu, muja ngalaksa. Ngukus berarti mengasapi, dalam hal ini
membuat asap wangi seperti membakar kemenyan, kayu gaharu, madat atau getah.
Ritual ini untuk membuka pintu gaib dan dunia atas. Bul kukus ngukup ka manggung
(mengepullah asap memenuhi dunia atas). Setiap bahan memiliki spesifikasi, misalnya
getah tenjo untuk memuja Nyi Pohaci. Kawalu, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, selain sebagai pemulangan padi ke leuit, bahwa Urang Kanekes dananak
yang sudah dikhitan wajib berpuasa pada malam sebelum kawalu. Muja adalah ritual
penyucian Sasaka dan pamujaan kepada leluhur di Sasaka Pada Ageung sebagai Sasaka
Pisaka Buana, dipimpin oleh puun Cikeusik.
Pada saat membuka ritual dengan membakar dupa (ngukus) dari getah tenjo
kemudianmengucap mantera:

Pun sapun
Spun ka luluhuran
Tabe ka handapeunana
Neda panjangnya hampura

(berhenti sejenak)

Aing deuk nyaritakeun deui


Bisi nebuk sisikunana
Bisi nincak laranganana

163
Aing deuk nyaritakeun dei laranganana

(kemudian dituturkan kisah kejadian alam dan manusia)

Bul kukus aing


Cai putih tumpang herang
Angin putih tumpang rasa
Nu aya di pancatengah
Kukus nyungguh ka luluhur
Kukus nyangga ka pramana
Ka sasaka telu puluh telu
Bangawan sawidak lima, panca salawe nagara
Neda tangtung payung wongatuwa kabeh

Lalu warga memebrsihkan seluruh area punden dengan tangan. Setelah


membersihkan diri di Sanghyang Pangumbahan kemudian ke punden beriukutnya yang
lebih tinggi dan membaca mantera (Saputera, Naskah 9, 1951:17);

Pun sapun!
Sadu!
Sadat Sunda
Tuan katata, tuan katepi
Selam larang teu kasorong
Tan urang haji pakuan

Lalu naik ke Punden tertinggi Sasaka Pusaka Buana. Mengambil beberapa


tanah dan lumut lalu singgah di talahab untuk berbuka dan pulang untuk berbuka
bersama warga.
Ngalaksa adalah membuat laksa (semacam mie dari tepung)pada tanggal 21-28
bulan Katiga. Diawali di kapuunan dan diteruskan oleh warga. Laksa ini dibuat dari
tujuh rumpun padi di pupuhunan huma serang atau huma tuladan yang menganduk zat
terbaik (sakti bumi), dikonusmsi oleh seluruh warga Kanekes dan penguasa daerah
dalam kegiatan Seba. Seba dilakukan pad bulan Kapat (bulan pertama kalender baduy).
Laksa juga dibuat untuk seba kepada penguasa gaib di hutan larangan sambil ngukus
dupa kayu gaharu.

c. Musik Barat dan Gamelan


Gamelan sudah diperkenalkan di barat sejak tahun 1889 pada event ”Paris
Exposition of 1889” (meskipun pada 1887 telah dihadirkan musik Cirebonese tetapi
masih diragukan orisinalitas ke-Cirebon-annya). Gamelan diperdengarkan pertama
kali di hadapan para komposer dan musisi klasik seperti Calude Debussy. Dimainkan
oleh orang Jawa Tengah dengan laras slendro.63 Debussy tidak memiliki laras ini
dalam karya-karya musik klasiknya, baik laras/melodi, ritmik, maupun tekstur
musiknya. Maka sejak saat itulah Debussy membuat beberapa komposisi yang
dipengaruhi oleh punktuasi gong misalnya pada lagu ”Estampes” (piano). Demikian
63
Neil Sorrell. A Guide to the Gamelan. London: Faber and Faber, 2000. Halaman 2–7

164
pula dengan Erik Satie yang turut mendengarkan gamelan dan terhipnotis sehingga
mempengaruhi karya-karyanya pula seperti pada komposisi ”Gnossienne” untuk
dimainkan pada piano.64

Gambar: lukisan suasana di Exposition Universelle de Paris 1889 (


http://en.wikipedia.org/wiki/File:Central_Dome_of_the_Gallery_des_Machines_Exp
osition_Universelle_de_Paris_1889_by_Louis_Beroud_1852_1930.jpg)

Sebagai penghormatan pad gamelan yang menakjubkan itu, banyak musisi


membuat komposisi atas pengaruh gamelan, misalnya John Cage, Colin McPhee, Lou
Harrison, Bela Bartok, Francis Poulenc, Olivier Messiaen, Pierre Boulez, Bronislaw
Kaper serta Benjamin Britten. Selanjutnya di era berikutnya dilakukan pula oleh
musisi Amerika seperti Henry Brant, Steve Reich, Philip Glass, Dennis Murphy,
Loren Nerell, Michael Tenzer, Evan Ziporyn, Daniel James Wolf dan Jody Diamond,
kemudian oleh komposer Australia seperti Peter Sculthorpe, Andrew Schultz dan
Ross Edwards di beberapa bagian karyanya atau seluruhnya dibuat untuk gamelan. I
Nyoman Windha diantara komposer kontemporer Indonesia juga menulis komposisi
64
Orledge, RobertSatie the Composer (Music in the Twentieth Century)Cambridge University Press (October 26,
1990)

165
untuk dimainkan gamelan bersama musik Barat. Komposer Hongaria seperti Gyorgy
Ligeti menulis “piano étude”nya dengan judul Galamb Borong yang sangat
diperngaruhi oleh gamelan. Gitaris musik rakyat Amerika John Fahey memasukkan
unsur gamelan pada banyak karyanya pada tahun 60an, demikian pula pada 1997
ketika melakukan kolaborasi dengan “Cul de Sac”, The Epiphany of Glenn Jones.
Pada musik rock eksperimental “King Crimson” tidak menggunakan gamelan ,
menggunakan ritmik duet gitar yang dipengaruhi oleh ritmik gamelan. Pada
performan pertamanya EP dari “Sonic Youth” pada lagu “She's not Alone” terdapat
suara gamelan. Sebuah grup pop eksperimental “The Residents”, “23 Skidoo” (pada
1984 album tersebut berjudul Urban Gamelan), “Mouse on Mars”, “His Name Is
Alive”, “Xiu Xiu”, “Macha”, “Saudade”, dan “Sun City Girls” menggunakan perkusi
gamelan. Gamelan digunakan juga oleh musisi Inggris Mike Oldfield setiap waktu
seperti pada “Woodhenge” (1979), “The Wind Chimes (bagian ke-II)” (1987) serta
“Nightshade” (2005). Sebuah performan dari band Avant-garde “Melted Men”
menggunakan gamelan Bali berikut tarian dan kostumnya. “The Moodswinger” yang
dibuat oleh Yuri Landman memakai gamelan seperti pada suara jam dan bel.

Gambar : Aerial view of Paris, France, from balloon, showing the Eiffel Tower
in center foreground, taken during the Paris Exposition of 1889 by Alphonse Liébert
(1826-1913/14)(Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Paris-
LOC_cph_3b40741.jpg)
Terakhir, banyak dari orang Amerika yang memasukkan suara gamelan ke
dalam film animasi mereka, seperti film Akira. Unsur gamelan elements digunakan
dalam film ini menyelang adegan pertempuran, seperti memberikan simbol untuk
membangun kondisi psikis sang pahlawan, Tetsuo. Gamelan dalam musik film
dipertunjukkan oleh musisi Jepang seperti Geinoh Yamashirogumi. Gamelan dan
kecak digunakan juga pada soundtrack dalam video games Secret of Mana dan Sonic

166
Unleashed. Musik soundtrack untuk Sci Fi Channel alam film serie Battlestar
Galactica terdapat suara gamelan yang diperlebar, terutama pada sesi ke-tiga, seperti
yang dilakukan oleh Alexandre Desplat's membuat musik score untuk Girl With A
Pearl Earring dan The Golden Compass.
Loop gamelan ada pula pada musik elektronik. Contoh yang pertama adalah
pada band Texas Drain's dalam album Offspeed and In There, berisi dua track yang
berupa trip-hop beat yang seusai dengan loop gamelan dari Java dan Bali lebih
populer lagi terdapat pada karya Haruka Shimotsuki.
Sebelumnya di Barat sendiri sudah memiliki sejarah musiknya sendiri, ini dapat
dikelompokkan berdasarkan era, secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai
berikut:

1. Musik Klasik dan Tradisional


2. Musik Pop/Kontemporer

Musik klasik merujuk pada era klasik (1750 -1820 M) bahwa di barat, musik
telah memiliki identitasnya, menjadi aktifitas seni (keindahan), dan mencapai masa
puncak kejayaannya di era ini. Christine Ammer menyatakan bahwa musik klasik
adalah istilah yang digunakan untuk membedakan antara musik serius atau memiliki
nilai seni yang tinggi dengan musik populer serta musik rakyat.65 Tetapi perbedaan
ini tidak memiliki dasar yang kuat. Selanjutnya ia menyatakan Musik klasik
berkarakter elegan, disiplin, dan ”menahan diri”. Gamelan adalah musik klasik
Indonesia, gamelanmerupakan orkestra Indonesia, karena gamelan merupakan satu
set alat musik yang dimainkan dari beraneka ragam alat musik. Oleh karena itu,
seiring dengan pemunculan dan perkembangan musik di Eropa, di Indonesia sendiri
mengalami hal sama dengan keistimewaannya tersendiri. Memiliki sejarahnya
sendiri.
Musik pop adalah musik kontemporer, musik pop (populer) (terkenal) dapat
dipahami sebagai musik yang dibuat untuk dinikmati oleh orang banyak. Biasanya
berkarakteristik mudah dinikmati (easy listening), mudah ditiru, dan kadang instant.
Musik pop biasanya dibedakan dengan musik klasik seperti halnya terdapat
perbedaan pada teknik permainan musik, durasi lagu, serta bagian-bagian yang
kompleks. Diantara genre musik yang termasuk ke dalam golongan musik pop
adalah.: Rock, jazz, blues, dangdut, campur sari, keroncong, dan sebagainya. Era
musik pop dimulai pada 1900an hingga sekarang, ditandai dengan ciri ke-kini-an dan
lokal (kontemporer), kemunculan musik elektronik, ekspresionisme (pembebasan dari
disiplin).66
Sebagai perbandingan, sebaiknya kita bahas juga secara keseluruhan mengenai
era musik di Barat. Seperti yang dirangkum oleh Robert Sherrane mengenai
perkembangan musik di Barat, yaitu di mulai sejak masa runtuhnya kerajaan Romawi
(Abad 5 M), masa ini disebut juga Abad Pertengahan (Middle Ages), atau disebut
juga Masa Kegelapan (Dark Ages), dimana pengaruh gereja telah masuk dalam
sistem kekuasaan, kemudian dari sini muncul jenis musik dengan istilah Gregorian
Chant, yaitu sebuah kodifikasi liturgi (lagu-lagu gereja) yang dibuat dibawah

65
Christine Ammer, hal. 81
66
Ibid, hal 445.

167
pemerintahan Paus Gregorius I. Tak lama kemudian muncul musik Organum yang
dipelopori oleh Universirtas Notre Dame di Paris Perancis. Ini kemudian berkembang
di seluruh Eropa.

Gambar: Xylophone dan Metallophone sebagai alat musik tradisional dari Afrika.
Bandingkan dengan Gamelan.(sumber:nn)

Di Nusantara khususnya di Jawa Barat pada masa itu telah muncul agama Hindu-
Buddha di bawah kekuasaan kerajaan Tarumanegara hingga ke masa kerjaan Sunda-
Galuh, dimana era tersebut gamelan dan banyak alat musik yang beraneka ragam lazim
digunakan. Era ini pulalah dibangun candi Borobudur (abad ke-8 M) dimana dalam elief-
reliefnya didokumentasikan berbagai alat musik tersebut. Orang Barat mengenal alat
musik di Jawa dan Bali pada masa ini adalah Xilophone dan Metallophone, yang tidak
lain adalah gamelan. Ciri khas melodi gamelan adalah bermain secara oktave dan unison.
Diperkirakan laras masih menggunakan pelog karena keberadaan gamelan masih terbatas
di istana-istana kerajaan saja.
Era Renaissance (1420-1600 M), yaitu era ”kelahiran kembali” bermaksud pada
kelahiran kembali kebudayaan di seluruh Eropa, termasuk didalamnya adalah seni,
budaya tulis, dan ilmu pengetahuan di seluruh Eropa. Era ini telah dimulai metode
pendidikan musik dan aransemen polyphonik (harmoni, pen) yang diselenggarakan di
negeri Belanda. Sudah cukup banyak jenis musik yang membebaskan diri dari aturan
musik gereja. Pengaruh ini pun terlihat di Inggeris.
Di Banten pada era ini, selain masih dalam kekuasaan Sunda-Galuh, telah muncul
pula kerajaan-kerajaan baru seperti sumedang Larang, Cierbon dan Kesultanan Banten,
ini menunjukkan bahwa fondasi kebudayaan orang-orang di Indoneisa telah terbangun
kuat dalam kerangka ajaran Islam. Dengan demikian, kedatangan bangsa-bangsa Eropa
yang mulai banyak itu pada awalnya tidak menimbulkan persoalan, meskipun pada

168
akhirnya mereka melakukan kolonialisasi. Sejak saat itulah kebudayaan Barat sedikit-
demi sedikit mulai masuk. Dari segi musik terdapat sudah ada gitar dan biola.

Gambar : Johann Sebastian Bach (aged 61) on a portrait by Elias Gottlob Haussmann, Copy or
second Version of his 1746 Canvas, private ownership of William H. Scheide, Princeton, New
Jersey, USA (http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Bach.jpg)

Kemudian berlaih kepada Era Barok, (1600-1750 M). Masa ini berciri dimana para
komposer melakukan pemberontakan terhadap konsep musik yang telah ada sejak masa
sebelumnya (renaissance), masa ini juga telah terbangun sistem monarki yang saling
berkompetisi dalam kemegahan dan kebanggaan di kerajaan-kerajaan, ini berakibat
buruk bagi para musisi, dimana mereka diperlakukan seperti budak oleh raja mereka
untuk menampilkan musik yang indah dan megah di istana-istana mereka. Seperti Johann
Sebastian Bach (lagu “Gavotte”, “Menuett G Dur BWV.anh. 114”). Selain itu, era ini
telah melahirkan gaya musik yang baru, yaitu musik opera. Musik ini pertama kali dibuat

169
bersama beberapa komposer di Florentina, Italia. Karya terbesar jenis ini dibuat oleh
Caludio Monteverdi. Tarian diformat-suaikan dengan musik, dan musik dengan suara
manusia (choral, voice) memuncak pada era ini dalam opera-opera. Komposisi-komposisi
piano pun sudah banyak bermunculan seperti dalam karya-karya Dominico Scarlatti.

Gambar : Portrait Ludwig van Beethoven when composing the Missa Solemnis
(http://www.archiv.fraunhofer.de/archiv/presseinfos/pflege.zv.fhg.de/german/press/pi/pi2002/08/
md_fo6a.html).

Pada Era Klasik (1750-1820 M), para seniman, arsitek, dan musisi mulai
meninggalkan gaya dan ornamentasi Barok, mencoba membersihkan gaya dan berfikir
sugestif untuk beralih pada gaya Yunani. Muncul pula sistem aristokrasi mengantikan
monarki, dan gereja menjadi pendukung kesenian, menuntut musik lebih bersifat

170
impersonal, tetapi tetap indah dan elegan. Tarian Minuet dan Gavotte dikondisikan
menjadi hiburan dalam bentuk serenade dan divertimenti. Masa ini, kota Wina menjadi
pusat perkembangan musik di Eropa. Karya-karya musik banyak merujuk pada Gaya
Wina (Viennese Style). Banyak musisi berlatih di Wina dan sekitarnya dan membuat
standar formal musik yang kemudian menjadi standar kebudayaan musik Eropa, ini
berlaku hingga era berikutnya. Masa ini juga melahirkan gagasan musik orkestra simfoni.
Inilah masa memasuki masa puncak kemegahan musik klasik dengan munculnya
berbagai simfoni, sonata, dan chamber musik seperti string kwartet (empat pemain biola)
yang dilakukan kompser besar dari Viennes School seperti; Franz Joseph Haydn,
Wolfgang Amadeus Mozart (lagu “Turkish March”), dan Ludwig van Beethoven (lagu
fur Elise).

Gambar : Portrait of Mozart (1756-1791),lukisan pada usia 21 tahun, komposer termuda di


zamannya. Di Indonesia, salah satu lagunya digunakan pada sebuah iklan pasta gigi
(2010), yaitu lagu Turkish March. (
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:Martini_bologna_mozart_1777.jpg
&filetimestamp=20110809163412)

171
Era Romantik (1820-1900 M), dicirikan dengan terjadinya perubahan sosial, gaya
hidup dan pemikiran, masa ini para musisi membuat gaya musik baru, yaitu dengan
“menambahkan emosi yang lebih mendalam” dari bentuk musik klasik yang telah berlaku
selama ini. Sepanjang masa ini, seluruh seniman di berbagai bidang lebih menekankan
pada “ekspresi subyektifnya”, dan “emosi personalnya”. Istilah “Romantik” berdasarkan
kisah-kisah di era pertengahan yang sarat dengan kisah kepahlawanan, negeri-negeri dan
tempat yang jauh dan dirindukan, serta kisah kasih tak sampai. Istilah Romantik ini
dinamai oleh para senimannya sendiri. Komposer romantik lahir diantara abad 19
diantaranya adalah ; Frederic Chopin (karyanya “Nocturne op.9-2”, “Fantaisie
Impromptu”), Felix Mendelssohn dan Robert Schumann (Jerman), Hector Berlioz
(Prancis), Franz Liszt (Hongaria).
Selama awal abad ke-19, Komposer opera seperti Carl Maria von Weber lebih
mengarah ke cerita rakyat Jerman untuk opera-operanya, sedangkan orang Italia merujuk
pada literatur yangada saat itu kemudian jadilah Bel Canto Opera (atau ”Beautiful
Singing”). Di akhir abad ini, ranah opera di Italia didominasi oleh Giuseppe Verdi,
sementara di Jerman hampir dimonopoli oleh Richard Wagner. Selama abad ini, musisi-
musisi di berbagai negara lain mulai mencari ara mengekspresikan musik negeri mereka.
Akhirnya banyak dari mereka kembali kepada sejarah, adat dan legenda serta melodi-
melodi dan irama tarian daerah asal mereka menjadi sumber inspirasi bagi musik mereka.
Yang lainnya mencoba membangun melodi yang sangat khas berusaha untuk berbeda dan
menghin dari pengruh musik dari tradisi musik Jerman. Kelanjutan dari modifikasi dan
intensifikasi musik yang ada, serta ditambah dengan penemuan sesuatu yang baru
membawa pada perluasan orkestra simfoni sepanjang abad itu. Maka diperoleh suatu
kekayaanbaru dalam dunia musik yaitu simfoni yang lebih lebar, tari balet, dan komposisi
orekstra. Dua tokoh orang besar di periode ini adalah Johannes Brahms (Jerman) dan
Peter Ilyich Tchaikovsky.
Abad 20, serta beberapa dekade berikutnya, seniman di berbagai negeri mencari
model ekspresi yang menarik dan berbeda. Komposer seperti Arnold Schoenberg
mengeksplorasi yang tidak lazim dan harmoni baru (meninggalkan gaya ortodok) serta
skema tonal. Komposer Prancis Claude Debussy terpesona dengan musik ytang datang
dari timur serta nada berinterval penuh yang dibawanya, dari sini ia membangun style
yangdia ciptakan sebagai style imperssionisme. Demikian pula dengan Bela Bartok
(Hongaria) melanjutkan pergerakan musiknya dan berfusi ke dalam musik tradisi agraris
dalam bentuk era abad 20 ini. Komposer Avant Garde seperti Edgard Varese lebih
menggali dan memanipulasi irama ketimbang mengutak-atik melodi atau skema
harmonisasi. Berbagai percobaan genre simfoni dilakukan meski pada akhirnya
mengalami modifikasi juga, membuat ketertarikan sendiri bagi para musisi master seperti
Gustav Mahler dan Dmitri Shostakovich, sementara Igor Stravinsky lebih berkonsentrasi
pada memanipulasi ritmik-ritmiknya serta warna dari instrumental hingga membawanya
pada karir yang panjang dan beragam bidang.
Sementara itu banyak komponis melakukan eksperimen dengan cara-cara baru dan
alat-alat musik tradisional (seperti pada ”prepared piano” yang dilakukan oleh John Cage
dari Amerika) dan banyak juga komponis besar seperti Sergei Rachmaninoff dan
komponis Italia Giacomo Puccini yang tetap pada jalur musik tradisional yang sarat
dengan nilai sejarah itu. Selain terdapat banyak gaya baru trend musik, masa ini bebeapa

172
komposer banyak menawarkan harmonisasi dan melody style yang masih dapat
dinikmati (easy listening) dan diapresiasi dengan mudah.
Dari sini dapat disimpulkan dalam tabel sebagai berikut:

PERIODISASI MUSIK BARAT


Periode Tahun Deskripsi Ket
Barat Timur
Era/Abad 5 – 1400 M Gregorian Chant Xylophone dan Gamelan di Jawa dan Bali
Pertengahan (liturgi/kumpulan Metallophone di sudah muncul
lagu gereja), Jawa dan Bali,
Organum (musik masuknya orang
non gereja) Islam dan Cina
Era Renaissance 1420-1600 M Kebangkitan Pengaruh Islam Gamelan dalam
budaya Eropa, pada seni musik Pertunjukan Raket67 di
pendidikan dan pertunjukan Kesultanan Banten, Calung,
arransemen tradisional telah dan tari Tayub di masa
harmonisasi, lepas marak (Wayang). Sultan Hasanuddin.
dari kekuasaan Gamelan lebih Gamelan Sekatenan di
gereja banyak ke wilayahMajapahit
timur Jawa

Era Barok, 1600-1750 M Musik Opera, Bangsa Eropa Gamelan Sekatenan


komposisi piano membangun berpindah tangan ke Demak
kekuasaan di
Nusantara
Era Klasik 1750-1820 M Gaya Yunani, Pertemuan Untuk Sultan Mataram di
Orkestra, Kota kebudayaan Yogya dan Solo
Wina sebagai Timur dan Barat. (menggganti gamelan
pusat musik Eropa Perjanjian Giyanti sekatenan dengan nama
membagi dua baru Ki Guntur Sari dan Ki
Gamelan Guntur Madu)
Sekatenan
(Mataram)
Era Romantik 1820-1900 M Musik dengan Penulisan buku Gamelan Ki Pambayun
emosi yang lebih gamelan oleh R. dibuat. Penampilan
mendalam, Machyar K Dinata gamelan di Paris (1889 M)
Muncul Musik dan Jaap Kunst.
Tradisi masing-
masing negeri
Abad 20 1900 - Eksperimental Penguasaan Lagu-lagu bertema negeri

67
Seni Drama Tradisional yang pada waktu itu dimainkan oleh Pangeran Mandura beserta para prajurit kesultanan.
(dalam wawacan)

173
Sekarang musik, eksplorasi terhadap musik dan kebangsaan. Era Musik
melodi, barat. Pop dimulai.
harmonisasi, dan Akulturasi
irama (ritmik). kebudayaan
Muncul musik mengakibatkan
yang lebih lebih dominannya
sederhana dn global character.
mudah dinikmati
(easy listening)

a. Sisa-sisa Kesenian Banten


Berdasarkan paparan sejarah diatas, pasca Atlantis, yaitu sekembalinya migrasi
penduduk atlantis ke Nusantara, diduga alat musik yang pertama dibuat menggunakan
materi bambu yang hingga sekarang tersisa sebagai Angklung Buhun, Calung renteng,
dan gamelan renteng.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara penulis dengan tokoh/pelaku kesenian
tradisi di berbagai tempat dan waktu yang berbeda-beda, diantaranya dengan Asep
Sukaraja (Rudat) di kampung baru Serang, Mistar (Terebang Gede) dari Kamalaka
Serang, Sarmani (Ubrug) di Keragilan, Salman (Angklung Buhun di Ciruas) di
kediamannya di Kampung Pulo kab. Serang, Kajali (Wayang Garing) dari Ciruas, juga
observasi dilakukan diantaranya pada masyarakat Baduy di Cibeo (Angklung Buhun)
selama satu malam pada tahun 1994 bersama beberapa mahasiswa jurusan Pidana Perdata
Islam IAIN Sunan Gunung Djati Bandung di Serang (sekarang menjadi IAIN Sultan
maulana Hasanuddin Banten). Serta hasil dari beberapa diskusi dan observasi bersama
Yadi Ahyadi dari Bojonegara. Terdapat sisa-sisa kesenian tradisional yang masih hidup
hingga sekarang dan belum dilakukan penelitian secara mendalam terhadap mata
kesenian tersebut, sehingga amat sulit untuk mempublikasikan keindahan dan kehalusan
kebudayaan Banten yang hanya dikenal dari debusnya saja.

174
Gambar : Angklung Buhun (angklung tua ) di salah satu masyarakat adat Cisungsang Banten
Selatan, berlaras pelog sebagai cikal bakal angklung khas Jawa Barat
(http://www.humaspdg.wordpress.com).

Gambar: Angklung Buhun urang Kanekes


(https://www.facebook.com/note.php?note_id=165803806818&id=13974
1679742).

Jenis-jenis kesenian tersebut akan penulis deskripsikan secara singkat, serta


keterangan kategori berdasarkan keaslian (asli) atau telah menerima pengaruh dari

175
kebudayaan asing (asupan). Kategori kesenian asli dapat juga berarti jenis kesenian
dipandang berdasarkan usia kesenian tersebut, yaitu kesenian yang sudah ada sebelum
masuknya pengaruh agama Hindu, Budha maupun Islam. Sedangkan kesenian asupan
adalah kesenian yang muncul kemudian, baru, dan biasanya kesenian jenis ini
dipengaruhi dari luar yang kemudian berasimilasi.
Sebenarnya ada jenis-jenis kesenian lain yang berasal dari banten, namun penulis
tidak memasukannya ke dalam kesenian Banten karena daerah lain telah
mengembangkan dan mempopulerkannya lebih dahulu bahkan sebelum dibentuknya
Propinsi Banten. Jaipongan misalnya, konon merupakan pengembangan dari Rampak
Tari Ibing yang kemudian disebut geblak (di Jawa Barat), dan pada era 1980an menjadi
Jaipong. Di Banten sendiri masih tetap dipakai dengan sebutan nandung/sempilan (ngigel
= menari) dari salah satu pertunjukan musik pembuka dalam pentas Ubrug. 68
Selain itu, keberadaan tarian jaipongan diperkuat pula dengan adanya nama kampung
Panayagan dan Kidalang di Kecamatan Bandung, demikian pula pernah ada tempat
ziarah di sekitar Banten Girang disana tempat dimakamkannya Nyi Tandak, dari
namanmya tentu dia seorang tokoh seni tari. Demikian pula beberapa kesenian yang
lainnya yang tersebar hingga ke perbatasan Jawa Tengah.

68
Keterangan Sarmani pada Agustus 2010.

176
Gambar : Rudat Sukaraja pimpinan Asep Sukaraja dalam pentas Konser Gotun 4 berkolaborasi
bersama UKM Gesbica IAIN SMH Banten.(Foto : Nedi Suryadi Gesbica, Desember
2010).

177
Adapun sisa-sisa mata kesenian dan kebudayan Banten dapat dirumuskan sebagai
berikut:

NO NAMA DESKRIPSI SINGKAT KATEGORI SEBARAN


1 Angklung Buhun Slendro, bambu berukuran Asli 1. Baduy (Lebak),
lebih besar dari angklung 2. Cisungsang
biasa. Dimainkan saat musim (Lebak),
panen, musim tanam, atau 3. Kampung Pulo
dalam rangka ronda (patroli) Ciruas (Kab.
kampung. Serang)

2 Suling Buhun Suling kayu Slendro, Asli 1. Cibaliung


dimainkan saat menjaga padi.

3 Calung Rentang Bambu diikat dengan Asli 1. Cibaliung


tambang/tali, dimainkan saat 2. Pandeglang
menjaga padi. Laras Slendro 3. Cinangka

4 Ubrug Pemeranan (teater), dimainkan Asli Lebih dari 100


saat pesta panen, perkawinan grup tersebar di
atau khitanan. Diiringi musik berbagai
gamelan slendro, lengkap kab/kota
dengan penari dan sinden. Prop.Banten

5 Beluk Seni Vocal (falsetto) Berisi Asupan 1. Pamarayan


lagu-lagu pujian pada Tuhan, (Islami) 2. Ciruas
dilakukan oleh kaum pria. 3. Saketi
Berlaras slendro, belum
ditemukan lagu yang berlaras
pelog.

6 Debus Atraksi al-Madad, Asupan Lebih dari 100 grup


menusukkan besi ke perut. (Islam, berasal tersebar di berbagai
Diiringi gamelan Slendro dari tarekat kab/kota
Rifa’iyah, dan Prop.Banten
Satariyah)
7 Rudat Musik perkusi menggunakan Asupan Di Seluruh
rebana, lagu puji-pujian (Islami) Kab/Kota di Prov
(shalawat), mulanya sebagai Banten.
musik pengiring Debus. Baru
ditemukan dalam laras Slendro
pada melodi yang
dinyanyikan.

8 Terebang Rebana besar dengan efek Asupan Taktakan Serang,

178
Gede/Gabral bunyi bedug. Digunakan (Islami) sebagian tersebar di
untuk mengiringi debus. Juga seluruh kab/kota di
untuk melantunkan puji-pujian Prov. Banten.
dan doa-doa dari tarekat
rifa’iyah. Laras Slendro dan
Madenda.

9 Tabuh Bedug Dua atau tiga buah bedug, Asupan 1. Gunung


dimainkan ensambel pasca (Islami) Kaler,
taraweh, adu antar masjid Tangerang.
/mushalla atau saat takbiran.
Tidak ada melodi. Hanya
ritme.

10 Gacle Trik Sulap dan Atraksi Asli Kec. Kramatwatu


Kemahiran. Biasanya
disatukan dalam pentas debus

11 Wayang Garing Seni pertunjukan, Satu orang Asupan, Ki Kajali, Ciruas


dalang dengan layar. Termasuk penyederhana Serang.
efek bunyi gamelan dan an dari
sebagainya diisi oleh dalang. wayang kulit
Dibantu satu orang asisten
pengatur wayang.
Selain sebagai modifikasi dari
wayang kulit, juga disebabkan
oleh berkurangnya personil
dari satu grup wayang kulit
karena berkurangnya apresiasi
masyarakat.
12 Wayang Golek Seni Pertunjukan Asli
13 Pepetan Wewe Ondel-ondel khas Banten. Asli
14 Cokek Ubrug dengan gaya khas Asupan Tangerang
daerah Tangerang, dipengaruhi
juga oleh budaya Cina.
15 Marhaban Seni memabca shalawat (kitab Asupan
Barzanji), cukuran bayi, tradisi (Islami)
pesantren,
16 Dala’il Seni membaca shalawat, Asupan
tradisi pseantren (Islami)
17 Pajang Mulud Arak-arakan yang memabwa Asupan Tersebar di seluruh
hiasan berisi uang, dan Kab/Kota di Prov.
sebagainya Banten
18 Barongsai Singa-singaan, pada perayaan Asupan, dari Kota Tangerang,
hari-hari besar Tionghoa masyarakat dan beberapa grup
Tionghoa di Kasemen dan

179
Kota Serang
19 Rampak Dayak Arak-arakan - Bojonegara
20 Rampak Bedug Pukul Bedug dengan tarian Asupan Pandeglang,
sekarang telah
menyebar di
seluruh propinsi
Banten.
21 Wawacan Syeh Membaca wawacan dengan Asupan -
lagu tradisional (Pupuh, dlll), (Islami)
dilakukan dalam acara
selamatan rumah atau
menjelang hajatan
22 Patingtung Musik pengiring seni beladiri - -
23 Rampak Kendang Mengiringi pencak silat Asupan
24 Zikir Saman Shalawat dan puji-pujian pada - -
Allah.
25 Bandrong Seni bela diri khas banten - -
(Divisi laut tentara Kesultanan
Banten)
26 Bendrong Lesung Musikal, memukul lesung Asli -
sambil menari pada saat pesta
panen.
27 Yalil Vokal, dibawakan pada Asupan Tersebar di seluruh
upacara adata perkawinan propinsi Banten….
Buka Pintu di kediaman
mempelai wanita
28 TTKKDH Seni Bela Diri
29 Kasidah Rebana Lagu-lagu Islami diiringi Asupan Tersebar…
perkusi dengan kulit hewan (Islami)
(membranphone), sering
dipentaskan dalam pesta
perkawinan atau khitanan.
30 Marawis Lagu berbahasa Arab diiringi Asupan Lebih banyak di
dengan alat musik (Islami) Tangerang
membranphone
31 Pantun Bambu Bambu dikuliti tanpa dilepas Asli Cilegon dan
dari bambunya, hanya diganjal Bojonegara.
sehingga menjadi dawai, cara
memainkannya di pukul
dawainya dan lubang
bambunya. Dilakukan saat
menggembala ternak
32 Ngabahlum Seni bercerita (sastra lisan) Asli Pandeglang
(Bahlum) untuk anak-anak, sudah tidak
ditemukan di masa sekarang.
33 Nandung Ngibing, biasanya dilakukukan Asli Tersebar

180
pada pesta panen menjelang
pentas ubrug
34 Bal-balan Geni Seni permainan bermain sepak Asupan Tersebar
(Bola Api) takraw yang dibakar, biasanya
dilakukan oleh para santri.
35 Gobak Sodor Seni Kemahiran dalam - Banten Utara
Permainan
36 Bentengan permainan - Idem
37 Gegemplangan permainan - Idem
38 Pung-pung Alu-alu permainan - Idem

39 Kekemarangan permainan - Idem

40 Sumur-sumur permainan - Idem


Rainde

41 Arak-arakan permainan - Idem

42 Jejamuran permainan - Idem

43 Pajal Lewe-lewe permainan - Idem

44 Dodod Seni Pertunjukan Pandeglang


45 Mawalan Musik sebagai hiburan dan Serang
pergaulan
46 Taleot idem Pandeglang
47 Karinding Idem Pandeglang, Lebak
48 Rengkong Idem Pandeglang, Lebak
49 Kenclong Idem Pandeglang
50 Kongkorak Idem Pandeglang
51 Terebang Tandak Seni tari Pandeglang
52 Kuda Lumping Seni Tari Pandeglang
53 Wayang Orang Seni pertunjukan, ada sejak Banten
aman kesultanan, sekarang
sulit ditemukan

Tabel: Kesenian dan Permainan Banten (Diolah dari berbagai


sumber)

Daftar tersebut merupakan hasil diskusi dengan Yadi Ahyadi pada


2007 serta beberapa observasi di lapangan dalam kurun waktu 2007-2010.
Dari seluruh kesenian dan kebudayaan yang Banten sebenarnya ada lebih
banyak dari yang tercatat dalam buku ini, kemungkinan itu diakrenakan
mata kesenian yang terebut berada di tempat-tempat yang jauh dari

181
keramaian sehingga sulit untuk dilacak. Olehkarena itu, penelitian
mengenai kesenian Banten masih terbuka lebar.
Berikut keterangan dari beberapa kesenian tersebut di atas berdasarkan
data yang dikumpulkan penulis:

1. Angklung Buhun

Angklung buhun adalah angklung tua (buhun=tua, Sunda), ukurannya lebih besar dari
angklung yang biasa dikenal di sekolah-sekolah - hasil pengembangan dan modifikasi
dari Daeng Sutigna yang kemudian diteruskan oleh Udjo Ngalagena -. Angklung buhun
dapat ditemukan di beberapa masyarakat adat di Jawa Barat dan Banten dengan sebutan-
sebutan yang khas, seperti Angklung Buncis di Arjasari Bandung, Angklung Gubrag di
Cipining kabupaten Bogor, Angklung Bungko di desa Bungko Kabupaten Cirebon, Badud
di Cijulang Kabupaten Ciamis, Angklung Dogdog Lojor di Ciptarasa Kabupaten
Sukabumi, dan Angklung Mayangsari di kampung pulo Ciruas Kabupaten Serang, Dodod
di Mekarwangi Kabupaten Pandeglang. Semua itu tidak lain adalah Angklung Buhun,
sebagaimana dapat ditemui pula di masyarakat adat Baduy di Kanekes, Cisungsang dan
Citorek -ketiganya di Banten-(Dinda, 2001:3 dan 59).

182
Gambar : Gambaran kosmologi, bentuk, dan nama-nama bagian angklung Baduy
(rekontruksi penulis berdasarkan Budiyana, 2001, dalam Dinda, 2001,74).

Mengenai asal usul angklung buhun dapat diperkirakan berdasarkan keberadaan


musik Angklung Buhun di beberapa masyarakat adat. Dari beberapa masyarakat adat
tersebut, menurut Helmi, bahwa masyarakat adat yang masih sangat kuat memegang
istiadatnya adalah orang Baduy/Kanekes. Adat istiadat dalam masyarakat Baduy sarat
dengan filosofi, mitologi dan kosmologi, dapat dibilang lengkap. Jika merujuk
berdasarkan keberadaan masyarakat Baduy, maka angklung buhun adalah kesenian asli
Banten. Usianya sama dengan usia masyarakat Baduy serta aktifitas pertaniannya. Ini
berarti jauh lebih tua dari peradaban dan kebudayaan yang dibangun oleh agama-agama
samawi seperti budaya Kesultanan yang sarat konflik hingga era selanjutnya. Maksud
penulis bahwa jika berbicara sejarah maka kita harus berbicara peristiwa-peristiwa ke
masa lalu sejauh data yang diperoleh. Sejarah seringkali ditulis dalam berbagai versi,
selain itu, rekaman-rekaman sejarah masih berserakan di berbagai tempat dan materi,

183
dimana materi-materi itu menunggu untuk ditemukan sepanjang waktu, oleh karenanya
akan ada temuan-temuan baru untuk melengkapi fragmen-fragmen yang sudah ada
menjadi cerita yang lengkap dan akurat. Seperti halnya sejarah Angklung Buhun yang
sedang kita bahas ini, akan menunjukkan bagaimana peradaban masa lalu Banten yang
tinggi dan bernurani dalam pluralitas yang proporsional.
Angklung Buhun termasuk ke dalam kategori idiophone, yaitu alat musik yang
mengeluarkan bunyi dari badan alat musik itu sendiri, alat musik ini berlaras slendro,
sebagaimana diperkuat oleh Dinda Satya Upaja. Angklung Buhun di Kanekes dimainkan
dalam satu rangkaian ngaseuk (ritual tanam padi), sejak pengambilan benih hingga
panen, tidak terlepas dari kesenian Angklung Buhun. Lagu-lagu yang dibawakan adalah :

1) Lutung Kasarung
2) Yandu Bibi
3) Ceuk Arileu
4) Oray orayan
5) Dengdang
6) Yarigandang
7) Oyong-oyong Bangkong
8) Badan Kula
9) Kokoloyoran
10) Ayun-ayunan
11) Pileuleuyan
12) Gandrung Manggu
13) Rujak Gadung
14) Mulung Muncang
15) Giler
16) Bibi Lenjang
17) Keupat Reundang
18) Lalaela
19) Lili-lilang
20) Nganteh

Satu set Angklung Buhun terdiri dari 9 buah angklung dan 3 buah bedug, dengan
pengelompokan berdasarkan fungsi musikalnya sebagai berikut :

1). Angklung Indung (besar), Indung Leutik dan Bedug.


2). Ringkung dan Engklok,
3). Dongdong, Gunjing dan Ketuk,
4). Roel 1
5). Roel 2
6) Talingting

184
Melodi lagu Lutung Kasarung:

Adapun syair lagu lutung kasarung adalah sebagai berikut :

Kancing angde duh kancing tangan


Duh di sungsi mah bae kula
Jasee dikancingan bae heula jasena
Yalele eeee ela elaeeeeela
Ari deungdeut pateunangan
Deuh dek kamana wae heula
Rasa …. ….da kamana

185
Yalele eeeee ela elaeeeela, (dst).69

Sejak mengenal sistem pertanian, masyarakat Baduy menggunakan angklung untuk


ritual padi dengan kepercayaan akan hadirnya Nyi Pohaci Sanghyang Asri, sang Dewi
Padi. Dengan demikian, diduga angklung sudah lama dikenal oleh masyarakat Baduy
sebelum adanya sistem pertanian sebagaimana bentuk pertama musik bambu adalah
kentongan. Angklung masih digunakan oleh masyarakat Jawa Barat dan Banten hingga
masa ini. Suara angklung merupakan manifestasi suara alam yang bermakna bahwa
manusia adalah bagian dari alam.
Kualitas angklung diukur dari suaranya, kualitas paling baik suaranya Pasieup
Carang-carang, yaitu bunyi angklung dengan cara mendengarkannya dari jarak jauh,
menghasilkan suara yang jelas dan bersih. Suara inilah yang dipercaya disukai oleh Dewi
Sri. Sebaliknya, banyi angklung yang tidak jelas dan tidak bersih disebut Pasieup Rindu.
Suara angklung seperti ini disebabkan oleh bebrbagai faktor, bisa karena saat
penebangan, pembuatan, dan sebagainya.
Pada 1984, angklung ini digunakan juga di masyarakat Malingping Kabupaten Lebak
Banten, saat bulan Ramadhan, yaitu menjelang sahur, para pemuda memainkannya
dengan berkeliling kampung. Menurut keterangan Nedi Mulyadi di Cikaraton, kini
tinggal hanya seorang saja yang mampu membuat angklung. Sedangkan di Menes
Kabupaten Pandeglang Banten, pada sekitar tahun yang sama ritual ngaseuk diawali
dengan membuat nasi tumpeng, namun tidak ada permainan angklung melainkan Radio
Transistor, dan kini handphone, dan tidak hanya untuk ngaseuk melainkan seluruh
aktifitas padi dihibur dengan musik moderen, demikian menurut keterangan Munawir
Syahidi.

2. Rudat
Rudat berasal dari kata Raudhah yang berarti “taman bunga” (Arab), muncul di
Banten sejak adanya dakwah Islam dengan cara melantunkan syair-syair Syaikh Ja’far al-
Barzanji. Rudat sudah banyak terlihat pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa (Abad 16M).
Rudat tidak terlepas dengan Tarekat, diantaranya adalah tarekat Samaniyah dan
sebagainya, selanjutnya Rudat digunakan untuk mengiringi atraksi yang sekarang dikenal
dengan Debus, Bandrong (seni bela diri), dansebagainya. Tarekat ini pula kemudian
melahirkan Zikir Saman. Pada masa penjajahan Belanda, Rudat digunakan untuk
membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah.
Berdasarkan wawancara dengan Asep pimpinan grup rudat Sukaraja Kampung Baru
Serang, disebutkan bahwa dahulu rudat dibawakan untuk mengiringi puji-pujian,
sementara anggota yang lain memainkan jurus-jurus terumbu maupun bandrong.
Kesenian ini menggunakan alat tabuh membranphone, yaitu sejenis ketimpring (rebana)
atau terebang dengan simbal kecil di sisi-sisinya. Terebang yang baik terbuat dari kayu
yang kuat tetapi ringan, biasanya buatan Madura, sedangkan membran terbaik terbuat
dari kulit sapi, tetapi lazimnya menggunakan kulit kerbau karena mudah didapat dan
harganya terjangkau.
Terdapat enam jenis pukulan (style), tetapi baru empat macam pukulan yang telah
dipelajari oleh grup Rudat Sukaraja pada generasi terakhir. Adapun kondisi terakhir pada
periode ini (tahun 2010) tercatat ada tiga generasi grup Rudat Sukaraja, sementara Asep
69
Dinda, 2001, halaman 100.

186
menangani grup termuda. Grup ini terdiri dari 12 orang, dengan demikian Rudat
merupakan musik ensambel, yaitu musik yang dimainkan secara bersama, oleh karena itu
perbedaan cara memukul bagi masing-masing personilnya menghasilkan efek bunyi yang
berbeda-beda pula.
Berdasarkan bunyi yang ditimbulkannya, maka penulis mencoba membuat transkripsi
sederhana dengan angka, angka satu sebagai bunyi rendah, sedangkan angka dua lebih
tinggi dari angka satu dan tidak lebih tinggi dari tiga. Sedangkan lambang L menyatakan
lebih rendah dari angka satu dikarenakan jenis pukulan L jarang digunakan.
Secara ensambel, ada enam jenis pukulan iringan, empat diantaranya adalah sebegai
berikut :

1) Kontrengan, dengan kecepatan (tempo) 218 sampai dengan 230 birama per
menit (bpm) dengan transkripsi notasi sebagai berikut:

2) Koprok, tempo 75 bpm.

3) Tratean, tempo 120.

__ __ __ __
3 4 4 1 |1 33 3 4 | 3 33 4 1|1 33 3 4 | 3 33 4 1|

|:1 1 1 L |1 1 1 L | 1 1 1 L |1 1 1 L |
__ __ __ __ __
2 1 22 1 |2 22 1 2 |2 1 22 1| 34 33 4 1:||

4) Rudat, tempo 80.


__
4 3 3 11| 1 1 1 0
__ __ __
||:4 3 3 11| 1 1 1 0 |2 1 2 11| 1 1 1 0 | 2 1 2 11| 1 1 1 0 |3 4 3 43| 3 4 3 0 :||

3. Lagu-lagu Pentatonik lainnya pada Seni Tradisi Banten


Pada zikir saman terdapat gaya vokal falset sebagaimana digunakan dalam beluk,
berlaras slendro, lagu “Asrakal” yang berisi shalawat Nabi S.A.W, lagu yang cukup
panjang (10 menit) dibuka dengan tempo lambat, kemudain diiringi acapella layaknya

187
suara kendang dan gamelan. Ciri khas beluk adalah menggunakan suara tinggi. Kesenian
ini sangat jelas dipengaruhi oleh Islam.
Pada suling buhun diantaranya terdapat lagu “Ear-ear kotok” dan “Jalan” yang
merupakan permainan suling tunggal, suling ini lebih khas pada lagu-lagu yang berlaras
slendro (lagu Jalan) dan lebih terasa buhunnya, sedangkan lagu “Ear-ear kotok” berlaras
pelog. Uniknya, suling ini terbuat dari kayu dengan empat lubang, dan bukan bambu
Pada calung renteng terdapat lagu “Lutung Kasarung, Kebo Jiro, sleweran” yang
berisi pantun-pantun jenaka, calung renteng merupakan calung yang digantung
menggunakan tambang, dalam satu set ada dua buah calung yang berukuran berbeda dan
bernada sama dengan laras slendro. Diduga calung ini sebagai cikal bakal gamelan, yang
konon di wilayah Banten dahulu terdapat gamelan renteng.
Rudat menggunakan alat musik membranphone yaitu rebana yang dibuat khusus
untuk rudat, ada motif pukulan singkop, terdapat lagu lagu yang telah populer
diantaranya ialah : “Nulban, Kapal Berlayar, Ilahinas” dan sebagainya. Ada lima bentuk
pukulan rudat, tiga diantaranya adalah pukulan klasik. Lagu-lagu rudat pada mulanya
bermotif Arab (Islami) sesuai dengan fungsinya sebagai pengiring debus dalam tarekat
Rifaiyah dan Satariyah, tetapi sebagai sebuah mata kesenian kini rudat mengalami
inovasi (sementara tradisi kalisk tetap terjaga) dan berkembang sehingga memiliki motif-
motif lokal (melayu, jawa, sunda).70

4. Lagu-lagu dalam Permainan


Beberapa lagu permainan telah digarap dalam bentuk lagu populer, tetapi nampaknya
kurang begitu meluas oleh karena berbagai faktor. Permainan anak biasanya diiringi
dengan nyanyian, tetapi kebanyakan nyanyian-nyanyian pada permainan anak tidak
memiliki motif yang luas, lagu permianan lebih seperti Rapp yang hanya terdiri dari satu
sampai tiga nada. Hal ini sesuai yang dilaporkan oleh Mas Mangoen Dikaria, yaitu salah
seorang opziener sekolah desa di Serang dalam bukunya “Dialect Djawa Banten” (1914)
di halaman 50 berisi:
Di bawah ini perkumpulan nyanyian-nyanyian, yang dinyanyikan oleh orang-orang
tua dan budak-budak (anak-anak).
Adapun orang-orang tua bangsa orang kebanyakan dalam afdeling Serang, amat
jarang atau boleh dikata tiada kedengaran suka menyanyi, hanya kalau membaca
Wawacan Syekh, atau ada seorang dua yangmembaca hikayat Menak Amir Hamzah,
itupun amat jarang kedengaran.
Ada pula orang-orang tua yang suka bernyanyi, yang dinyanyikannyanyian ronggeng.
Maka nyanyian ronggeng itu kebiasanya bercampur dengan naynyian Sunda.
Menjadi suatu tanda bahwa Jawa Banten, orangkecilnya kurang suka akan “tembang”
(nyanyian).
Disini hanya ada satu-dua nyanyian, yang kedengarandinyanyikan oleh orang-orang
bangsawan saja, umpama;

70
Wawancara dengan Asep Sukaraja pimpinan Rudat Sukaraja, Kampung Baru Serang, dalam suatu latihan untuk
persiapan Konser Gotun.

188
Pupuh Kinanti:

1. Mangu-mangu kepirangu, mangune ing pinggir kali, sidakep


madep ing ngetan, banyu mate den usapi, katuwon awor
kasmaran, ningali andike Gusti.

2. Yen sekar balingbing wuluh, sedempal sun kedemeni, sedine-


dine sun sawang, matek manasaken ati, kepengen sun sempal
pisan, tak sempal sun gawe mulih.

Pupuh Pucung:

3. Larasingrum, rarane pendawee bangun, ayu ing kang tue, luwih


ayu ing kang anom, pade june sun enggo sekaro pisan.

4. Bapa pucung, alelunge maring gunung, kebngen ing marge,


ginepe ing kayon-kayon, bedilmuni siPucunge tatabuhan.

Pupuh Sangu :

5. Wong Betawi kinangane jambe jebug, tembako gambir


kelawan, suruh kuning apu campur.

6. Bismillahi rahmanirrahim puniku, maknane iku mengkana,


isun amimiti nebut.

7. ing namaning Allah ingkang mahe luhur, ingkang murah


maring dunya, kang asih akherat besuk.

Di dalam nyanyian yang tersebut diatas itu tidak ada yang perlu diterangkan, karena
semua perkataannya tidak seberapa berbeda dengan dialek Solo (Jawa Tengah-an, pen),
hanya ada satu dua saja, itupun telah disebutkan dalam arti kata-kata.
Nyanyian 1-2 dinyabyikan oleh orang-orang yang lagi birahi kepada orang laki-laki
atau perempuan.
Nyanyian 3, adalah suatu teka-teki, adapun artinya gombal, subang, dan lain-lain
perhiasan telinga.
Nyanyian 4-5-6-7 tiada lain maksudnya. Di bawah ini adalah nyanyian yang
dinyanyikan oleh orang tua waktu mengolit dan menjampi anak-anak, supaya jauh dari
pada penyakit.

Pupuh Kinanti:

1. Pitik tulak71 pitik tukung72, tetulak si jabang bayi, ngadohakan


cacing racak73, sawan sarab74 pan sumingkir, si tukung
merekungkung arsa, tetulak si jabang bayi.
71
Anak ayam akan penulak

189
2. Ngingu pitik berungbung75, tulak walik rob jaladri76, wulune
amanca warne, abang ireng putih kuning, si tukung mayuni
marga, tulak walik aneng wuri.

3. Jen lara pan tambani pun, godong pasrah ing Yang Widi,
berangbang lega ing manah, adas lawan pulasari, lawan
sinandingan do’a puraging si jabang bayi.

4. Si jabang bayi puniku, kekasihing sukmajati, rinaksa ing


malaikat, kinipasan widadari, ginendeng para Olia, pinayungan
kanjeng Nabi.

5. Jabang bayi age turu, pung pung rahinane becik, ana ula lan
kelabang, ana lamuk memedeni, lah uwis age turuwa, ana koko
beluk muni.

6. Ana kinjeng tangis mabur, miber ing kajangan neki, angrungu


tangis si jabang, anulye si kinjeng balik, ngtokaken kang
memala, tumungkul sarwi jampeni.

7. Ana dening jampinipun; “Allahumma adzam sarfin, wa innahu


alaeka, innahu rikatullahi, wa bardan wa salman”, cep menenga
aje nangis.

Nyanyian yang dinyanyikan orang tua mengolit atau membawa bermain anak-anak.
Nyanyian ini bukan tembang berukuran, akan tetapi dinyanyikan semau-maunya saja.
Tak ada lagu yang tetap.

1. Yun ayun tumpi, baleman kayu kecapi, anak siji oleh ngimpi.

2. Yun ayun bandung, baleman kayu kepundung, anak siji oleh


ngambung.

3. Pok ipok ambe-ambe, si Dempok nyolong jambe, digawe ming


tegalcabe, dikinang kenang lambe, di edol telu sawe, kependak
kelajan sing due.

72
Anak ayam tukung (tidak berekor)
73
Nama cacing yang ada di dalam perut orang yang membuat cacingan anak-anak (spoelworm).
74
Sarab semacam penyakitt ringan pada anak-anak seperti cacar air, beruntusan merah, dan gatal-gatal jika sedang
jadi.
75
Anak ayam yang tidak berbulu. Jika demikian maka ekornya pun tidak ada.
76
Tulak walik=pulang pergi, rob jaladir=pasang dengan segera, ombaknya pergi datang, jadi bentuk bulu ayam itu
begulung-gulung bagai ombak segera yang lagi rob,yaitu yangdinamai orang Sunda sebagai ayam rintit, jawa=ayam
walik. Dan seterusnya.

190
4. Titip dodol titip wajik, titip gule lan kelape, didokon
ningpepage, dirubung semut gatel, sing endi dedalane? Sing
kene kih! Griming! Griming! Celetit! (sambil digeli-geli
ketiaknya) .

5. Kuk Angkuk deruk, jagunge durung tue, entek ming cemere!


Gug! Gug! Cemere abang!

6. puk-upuk walang gepuk, si enong turu ngelumpuk!

7. nang! Nang ! kung! Wader cenang bise nginang, kadal buntung


bise ngangklung.

Nyanyian yang ke-1 dan 2 dinyanyikan sambil mengayun anak-anak, baik pada
buaian maupun pakai gendonmgan.
Nyanyian yang ke-3 dinyanyikan sambiol memangku anak-anak dan kedua tangan
anak itu dipegang dan ditepuk-tepukkan. Nyanyian yang ke-4 sama saja, tetapi tangan
anak yang sebelah dibukan satu lagi digenggamkan hanya telunjuknya dibuka ditekan
pada telapak tanganyang terbuka itu. Setelah menyebutkan “ning endi dedalane nig kene
kih” lalu telunjuk dijalankan sepanjang tangan sampai di ketiak anak itu sampai anak
geli.
Nyanyian yang ke-5 sama seperti yang ke-4, tetapi tangannya tidak dipegang hanya
anak-anak itu digoyang-goyang (diunggut-unggut, Sunda).
Nyanyian ke-6 pengolit anak-anak yang hendak tidur.
Nyanyian ke-7 dinyanyikan sembarang waktu sambil di ambin dan sebagainya agar
anak itu diam.
Berikut ini nyanyian yang dibawakan sambil bermain oleh anak-anak.

1. Gegemplangan, dinyanyikan bersama-sama:


“Gegemplangan,, wohing aren, gelondong wohingpenjalin,
umah-umah banjar kulon, kulon-kulon sekedaton, kedatone
kupat kuning, kupat kuning kayu andong, andong kayu
ketumpang, ketumpang lalawuh urang, dening rangde lusuh
kembang.

2. “Akeh Karte, ore kaye Sidapurna, kekutu den larangi, alas


pangbegalan, wewarung pangbadogan, jen bengi gerigis malih,
wewarung senunggal, kebek tiang ngutil”

3. Pung-pung Alu-alu, dinyanyikan bersama-sama, berselang


(tidak sekaligus):
“Pung-pung alu-alu, alune tak gejang-gejang, pepunton
punage, endog merak pecah siji, prak!.“
“Surantang surinting si Semar nyolong gunting, guntinge bibi
Laos, sidakep tangan sios.”

191
Dok-dok gelondok susu nira segede gondok, singsed ojod
ape?”

4. Kekemarangan, dinyanyikan bersama-sama:


“Kemarang kemanting,kemanting kembang jelupang, kuning-
kuning kembang sepat, purilit pupurantenan, ane manuk
ciyung bingkung, larang geh tukunen sewu, genah ire jage
perang, jertugenjer edan! Dodolwajik! Guleke lape! dodol
waluh! Setan blukbukan kumpul maring si….(disebut nama
anak yang dibuat kekemarangan itu).

5. Sumur-sumur Rainde, permainan anak perempuan, bernyanyi


sambil mengayun-ayunkan tangannya.
“Sumur sumur rainde, rainde sumur kepande, dirarai barang-
barang, barange nyi penganten!”
“Ape mengkono iku? Digecek lansi balu! Ape gegeceke? Kayu
sembung lan oyode. Pepetok bibi rotok, ayun-ayun
penggawangan.”

6. Arak-arakan, dinyanyikan seperti lagu dengan rebana


mengiringi pengantin;
“Allhu Allah Allah, pengantene Rurah Endung! Di sepak
gemelundung, ip! ip! Ureee”

7. Pajal Lewe-lewe,dinyanyikan semakin cepat lalu berhenti;


“Pajal lewe-lewe, selempet pajal pepitu, ngaku yen ngakuwe,
pitik mati tetorondol!”

8. Jejamuran, sambil berpegangan tangan bernyanyi bersama:


“Jejamuran gege!”
“Jamur Ape?”
“Si Kadang klaras jamur ape?”
“Jamur …..”
9. Pring Sedapur
“Pring sedapur, pring anak-anak pitu likur, wadung kampak,
turuk kebo kekedutan!”

10. Dom Setugel;


“ Dom-dom setugel, ditandur ning sor pager, di kinang Maja
Keling, dipetek-petek seger, disiram-siram alum!”

11. Kekuwukan;
“ Kekuwukan amjuk-amjukan, di demak-demak akum, akum
rerejaban. Hur! Jembar!.”

12. Jot-jotan;

192
“Jot ijot kopo, kopo landungbelendung perahu Serang,
gandang, ela elu jejakane Mas Ketumbar, jinten! Jinten ireng
meleng-meleng ning sor galeng, cengkeh! Cengkeh gude
ngegade umah si Kacer, lijer!.

13. Kiong-kiong Mati (Kijing-kijing Mati);


Kijing-kijing mati (kiong-kiong mati), matine ning pinggir kali,
cecindil sing ngadusi, kekunang sing ngedamari, cecebong sing
nangisi, baje sing ngiliri!”
“Andong-andong telihe”
“jerebebeng elare”
“Njlengketik buntute”
“mencongok endase”

14. Ayun-ayunan
“Yun ayun bandung, dung! Dung pak kali capak, pak! Pakring
nunggang jaring, ring! Ringas kebo bule, le! Legul menagul,
gul! Gule Bi Serijah, jah! Jahe ki mudasim, sim! Simpang ning
umah rombeng, beng! Bengkok kadingnehe, he! Ehe manjing
edan, dan! Caduk ngejo ketan!”

15. Kekelintingan
“Tum-tum, tum-tum, rujak seketak, kelime judel, sime
ngunggung, merene si Majapait; walang-walang setugel,
jumenenge wong kidul, cabol bongkok, sirane sing kukube”.
“Kekelintingan maning, kelinting saude ude mono, bayem-
bayem suro tembung sono, blit-blit pe anak Ki Rajipe sun
enteni, ipik suro gadung”
“Plo ting plo er, Plo ting plo er”
“menak-menak-menak”
“ratu”
“kukub”
“sejen maning ratune, gondang ces”

16. Cublak-Cublak Suweng


“cublak-cublaksuweng, suwenge Nyi Gelenter, butata butiti,
segentong tai lentong, tala bungkuk tibakena ing sebatur, gem
gem aje bribin! Ta’ em em, ta’ em em! Ta’ embrot”

17. Wit-wit Berit


“ Wit iwit berit, berite ning wuwungan, ana macan ning
gedongan, ber-ber clok, menclok! Ber ber clok menclok!”

18. Suruh-suruh Aking


“ Suruh suruh aking, dikinang Maje Keling, ane wayang putih
kuning, ta eja eja kenong! ta eja eja kenong!”

193
19. Sisir-sisiran Timun
“sisir-sisiran timun, timun giliran santri, ane payung ambing
elor, payunge sape bibi? Payung isun, alo! “
“Bibi, bibi kidul! Enak temen ganderiye, wong pontang gede
entute, Cere mendung joget, babat ire sowek! Aget agung !
aget agung Nyi rangde cecewok wedang!”

20. Blarak Sengkleh


“blarak-blarak sengkleh, sengklehe ketiban alu, pak dengkul
alu –alu! Pak dengkul alu-alu! Nginclek bise ngigel! Nginclek
bise ngigel!”

21. Jebug-jebug Bosok


Jebug-jebug bosok, di tandur ning pepojok, adu dempok si
nona, adi dempok leyok-leyok!”

22. Nyanian yang dinyanyikan saat terang bulan, bertepuk tangan


sambil menyanyi:
“ Wa-wa wulan, enjuk sekul sededulang, iwake iwak urang,
jangane jangan combrang, lalabe lalabkacang, kendine kendi
Pontang, singmajuh cemcere belang!”

23. Nyanyian untuk menentukan siapa yang kentut, dengan lagu


sambil menunjuk satu per satu:
“ting tat ting tut, sape ngentut, muni jebrut!”

24. Nyanyian mengolah gulali yang belum keras, nyanyian


diulang-ulang hingga gulali keras:
“Panas kaje geni, putih kaje mlati, morotoli ngajembuti!”

25. Nyanyian mantra untuk menyumpahi :


“Tok-tok lung, ngelotok kari bebalung!”

26. Nyanyian memanggil hujan saat panas terik”


Wur udan! Kebo kuru rare badan! Suket mati pari dadi! Endah
si bape agi agi lunge haji”

27. Nyanyian saat membuat alat tiup dari bahan jerami, sambil
membersihkan lubang jerami menyanyikan lagu:
“Leluteng! Leluteng! Biluluk lagi meteng, metenge ning sor
galeng! Matane mleleng-mleleng! Lelemeke godong lelateng!
Sesogoke gedang mateng!

. Demikianlah lagu-lagu dan beberapa permainan anak yang diiringi lagu telah
didokumentasikan oleh Mas Mangun Di Karia pada tahun 1914, beliau adalah seorang

194
penilik di Sekolah Desa di Serang yang sekarang menjadi Taman K3 Ciceri, Serang.
Upaya pelesatarian budaya telah dilakukan sejak lama meski saat itu pembuatan buku
dilakukan dalam rangka melengkapi materi pengajarn bagi guru yang bukan berasal dari
Banten.
Selanjtnya menurut Mas Mangun, lagu-lagu serta permainan-permainan tersebut
merupakan hanya lagu yang terdengar di tempat-tempat ramai saja seperti pinggir jalan,
pasar dan sebagainya. Lebih dari itu, lagu dan permainan sangat banyak yang tidak
tertulis. Pada kemudian hari, lagu-lagu tersebut menjadi salah satu unsur peletak dasar
bahasa dialek BantenHal ini membuktikan bahwa kesenian dan permainan anak-anak
juga adalah salah suatu produk kebudayaan, bahwa setiap produk kebudayaan pada
akhirnya menjadi pembentuk karakteristik suatu bangsa, suatu negeri, (suatu propinsi),
dan faktor-faktor seperti inilah yang akan menjadi fondasi kebudayaan bagi suatu
masyarakat, apa yang dikenal dengan nilai kearifan lokal adalah datang dari nilai-nilai
yang terkandung dalam faktor-faktor kebudayaan itu sendiri. Maka jika bicara kearifan
lokal kita tidak bisa mengesampingan faktor lain termasuk di dalamnya adalah faktor
kesenian. Nilai-nilai tersebut jelas terlihat dalam kesenian maupun permainan tradisional,
jelas menggambarkan pola pikir dan perilaku masyarakatnya, bahwa banyak hikmah
yang dapat diambil darinya, dengan demikian hati nurani masyarakatnya tetap dalam
kondisi yang sehat walafiat. Demikianlah jika suatu bangsa mau menjaga adat dan
budayanya, maka mereka masih mempunyai jati dirinya, mempunyai martabat.
Apabila perilaku masyarakat tidak sesuai dengan kebudayaannya, itu artinya
masyarakat tersebut telah merubah fondasi kebudayaannya, atau bahkan telah
melepaskan diri dari kebudayaannya. Tercerabut dari akarnya, atau bisa dikatakan
sebagai masyarakat yang tidak berbudaya, tidak mempunyai jati diri dan tidak
mempunyai martabat.

5. Lagu Mars yang pertama di Banten


Pada tahun 1929 terbit sebuah koran Banten bernama “Surosowan”. Di dalam salah
satu halamannya berisi partitur lagu berjudul “Banten, Negri Leloehoerkoe”77, karya
Raden Soerya P Winangoen. Menurut asumsi penulis, RSP Winangoen menguasai biola
(vioel, violin), hal ini berdasarkan pattern melodi pada partitur.
Secara teknis, lagu dimainkan pada nada dasar F (on key F), perbedaan penggunan
“key” berpengaruh pada ambitus (jangkauan tinggi rendahnya nada-nada yang
dinyanyikan dengan suara manusia) tetapi pada lagu ini nampaknya RSP Winangoen
mendapat kemudahan dari nada dasar F ini untuk menggunakan harmonisasi78 dua senar
biola, yaitu pada senar nomor 2 dan 3 untuk memainkan duet. Pada vokal, seringkali nada
dasar (key) dirubah oleh penyanyi dan disesuaikan berdasarkan kemampuan vokal atau
jenis kelamin vokalis, seperti halnya lagu Indonesia Raya (WR Soepratman) ditulis pada
G (Key G), pada kenyataannya, Idris Sardi memainkannya di key E, turun sebanyak 3
semitone karena hanya menggunakan vokal unison (satu suara).
Kemudian, lagu ini menggunakan time signature 4/4 pada partitur di tulis C, artinya
common yang berarti sama dengan 4/4. Tidak ditulis apakah lagu ini dinyanyikan dengan

77
Partitur diperoleh dari Mufti Ali di Bantenologi, pada 20 Desember 2010, yang ia temukan di Arsip Nasional
setahun yang lalu dalam salah satu halaman di koran Banten “Surosowan” terbitan tahun 1929.
78
Keselarasan antara nada yang satu dengan nada yang lainnya, dua nada (duet), tiga nada (trio), empat nada
(kwartet) atau lebih.

195
tempo lambat, sedang atau cepat (Lento, adagio, moderato, atau presto), tetapi penulis
berpendapat bahwa lagu ini dinyanyikan secara march (sedang, moderato) mengingat
motif melodi yang dibuat tidak mungkin dinyanyikan secara lambat karena keterbatasan
pernafasan manusia tidak mampu mencapai selama itu (yang tertulis). Demikian pula
terdapat lick (cengkok) yang lazimnya terdapat pada march (mars).

196
197
Gambar : Partitur Mars Banten Negri Leloehoerkoe! Karya R.S.P. Winangoen. (Arsip
Nasional RI)

Gambar : Staff untuk piano (tangan kanan dan tangan kiri).

Gambar : Duet Staff, dapat digunakan untuk biola duet(diolah dari berbagai sumber)

Secara struktur lagu (partitur) tersebut dapat dipilah untuk memudahkan telaah
menjadi dua bagian, pertama bagian pembuka, kedua bagian lagu yang terdiri dari frase
awal dan frase refrein.
Bagian Pertama, yakni musik pembuka; Dua bar (birama) pertama dibiarkan kosong
untuk dimainkan oleh pemain drum atau perkusi (alat musik yang dipukul), pada partitur
tertulis tambur, maksudnya adalah semacam genderang atau perkusi. Metode ini masih
digunakan sampai sekarang, mengosongkan dua bar dimaksudkan untuk menyatakan
tempo (kecepatan lagu berdasarkan ketukan), ini perlu dilakukan pada permainan musik
ensembel (grup) agar anggota grup memiliki persepsi tempo yang sama sehingga
memainkan lagu jatuh pada saat (ketukan) yang sama. Artinya, RSP Winangoen telah
memperhitungkan satu unsur aransemen, yaitu ketentuan tempo.
Empat bar (bar 3 s/d 6) berikutnya diisi dengan biola duet sebagai musik pembuka.
Pada bagian ini, kita diperdengarkan alunan nada-nada intro, secara tidak langsung ini
merupakan pernyataan terhadap tinggi rendahnya nada (pitch), dimana jika suatu lagu
dinyanyikan bersama (oleh banyak orang secara bersamaan) maka harus memiliki
persepsi yang sama agar tidka sumbang.
Duet pada musik pembuka (intro) ditulis dengan dua staff, dan kedua staff
menggunakan kunci G (clef G). Artinya, komposer (RSP Winangoen) membuatnya untuk
dua pemain biola, yang paling atas untuk sopran, yang bawah untuk alto. Tetapi dalam
hal ini, kemungkinan besar sang komposer membuatnya dengan satu biola saja, tetapi
memainkannya dengan dua senar (double snare) pada senar nomor 2 dan 3. Dari sinilah
jelas terlihat bahwa RSP Winangoen seorang pemain biola.

198
Gambar: Grtand staff, dua staff untuk piano dimana kunci G untuk
tangan kanan dan kunci F untuk tangan kiri.(Cakewalk
Audio Pro 9)

Masih di bagian ini, penulis sedikit mengkritisi komposer tentang cara penulisan
tanda aksidental, pada bagian alto (staff bawah) terdapat nada E pada nada kedua diberi
tanda kres (#) yang artinya nada yang tertulis menjadi F (karena tanda kres menaikkan
setengah), hal ini tidak perlu karena interval antara nada E ke F nilainya setengah
(semitone, halftone) 79. Adapun tanda natural pada staff atas sudah benar, kemungkinan
komposer mengikuti staff atas. Artinya, pada prakteknya musik dengan sendirinya akan
bermain sebagamana mestinya.
Setelah itu komposer memberi dua bar untuk pemain gitar dan piano mengisi intro.
Bagian Kedua, lagu dimulai pada bar ke-9. Bagian inilah yang dinyanyikan dengan
vokal (suara manusia) hingga selesai, bagian refrain diulang 2 kali, reff yang pertama
masuk ke bar bertanda romawi I (kamar 1, first ending), kemudian refrain diulangi lagi
dan masuk ke bar bertanda romawi II (kamar 2, second ending) dengan melompati bar
bertanda romawi I. Setelah itu kembali ke Segno ($), yaitu lagu diulang sekali lagi
seperti struktur pertama, tetapi dengan lirik (kata-kata) yang berbeda sesuai yang telah
ditulis terpisah dari notasi. Terdapat sedikit permaslahan pada bagian ending (first ending
dan second ending), yaitu pada nada terakhir, merupakan nada penutup. Bagian ini tidak
diisi vokal karena liriknya sendiri sudah selesai sebelum memasuki bagian ini.

Kesimpulan, Tampaknya lagu ini belum pernah dinyanyikan secara vokal (dengan
suara manusia) berdasarkan beberapa pandangan: Pertama, notasi dan lirik ditulis secara
terpisah, terdapat kesulitan pada pemenggalan suku kata ketika disesuaikan dengan
notasi. Kedua, secara teknis sebagaimana tergambar dalam partitur, ada beberapa bagian
lagu ini yang sulit dinyanyikan dengan vokal, yaitu pada bar ke 12-15 terdapat notasi
legato (bersambung, tidak terputus). Semakin kuat penulis berasumsi bahwa RSP
Winangoen memainkannya dengan biola, bahwa biola sebagai alat musik dapat
memainkan nada legato dengan panjang.

79
Microtone adalah satuan yang lebih kecil dari semitone, tetapi sudah tidak digunakan sejak masyarakat mengenal
tangga nada diatonis (do re mi…) karena sulit untuk dinyanyikan. Tetapi secara teori maish digunakan dalam kajian
etnomusikologi.

199
Maka berdasarkan pandangan tesebut diatas, penulis melakukan sedikit penyesuaian
dan menulis ulang notasi lagu tersebut, serta mentranskripnya menjadi notasi angka
(angka Arab) guna kemudahan dalam mempelajarinya bagi para siswa atau guru
kesenian, angka Arab lebih sering digunakan untuk menyanyi, sedangkan notasi balok
untuk memainkan alat musik.
Adapun lagu telah direkam sebagai sampel pertama yang dinyanyikan oleh anggota
GESBICA (Gema Seni Budaya Islam Campus) IAIN SMH Banten, melodi dinyanyikan
hanya bagian Sopran saja meskipun untuk Alto sudah disiapkan oleh RSP. Winangoen.
Hak Cipta sementara terdapat pada Bantenologi serta penulis sebagai pengaransemen
ulang dan dokumentasi audio. Sampel tersebut dinyanyikan menurut partitur yang telah
disesuaikan.
Sebelumnya, Banten telah memiliki lagu “Mars Banten” (karya Alm. Aki dari Kab.
Lebak), serta lagu “Hymne Banten” karya Ucu Vivierawati dari Pandeglang. Lazimnya
sebuah lagu yang berkaitan dengan kedaerahan dan budaya lokal mengalami proses
seminar atau lomba terlebih dahulu, atau dinyanyikan secara massal sebagai bukti bahwa
lagu tersebut telah diterima secara massal, terlebih jika lagu tersebut memiliki nilai
historis.
Dengan ditemukannya lagu “Banten Negeri Leluhurku” tersebut, membuktikan
bahwa Banten telah memiliki sejarah kepeloporan pergerakan yang tercermin dalam
lembaga pergerakan yang sejajar dengan pergerakan-pergerakan lainnya seperti di
berbagai daerah di Indonesia. RSP Winangoen adalah anggota perkumpulan Boedi
Banten yang berkantor di daerah Kaujon (sekarang di wilayah kota Serang, Banten),
adalah sebuah lembaga pergerakan yang anti pemerintah (Belanda). Lagu ini layak untuk
dijadikan Mars Banten karena memiliki nilai historis, tinggal dilakukan sosialisasi baik
berupa seminar maupun berupa penyiaran atau tayangan di Radio atau Televisi lokal
yang menomor-satukan semangat lokal.

Gambar : Gedung Juang, salah satu gedung Cagar Budaya (BCB) yang tersisa, membuktikan
bahwa Banten punya sejarah, berlokasi di sebelah selatan alun-alun Kota Serang
(Foto: Kompasiana.com).

200
201
Struktur lagu “Banten Negeri Leluhurku” dan lirik yang telah mengalami penyesuaian
adalah sebagai berikut:

BANTEN NEGERI LELUHURKU

Wahai negeri leluhur Banten kucinta


Tanah Air tempat tumpah darah kita
Puteramu yang sesenang sederita
Semau sekata dan secita-cita

Refrein :
Wahai Banten, Jantung hati
Denganmu kuberdiri
Mari kita semua
Kerja untuk majunya

Wahai Banten mustika gilang gemilang,


Kita sumpah setia tiada kepalang
Membela hormatmu terang benderang
Pandumu siap seuntung dan semalang

(Musik/Intro)

Banten muda, ingatlah kewajibanmu


Wajib bersatu antara saudaramu
Sama-sama mewujudkan sikap tentu
Berdiri berbaris tegak laju maju

Refrein:
Putra Banten sesamaku
Sayangilah negerimu
Mari kita semua
Junjung tinggi namanya

Banten muda, putra puteri yang setia


Bersatulah bernaung bawah seruan
Bersatulah yang keras untuk bersatu
Persatuan memberi kemuliaan.

202
Adapun untuk kepentingan paduan suara polyphonik dibebaskan untuk membuat
aransemen Alto, Tenor, Bariton dan Bass sesuai kreatifitas masing-masing. Ada sedikit
catatan sebagai pengayaan dalam pembuatan aransemen sebagaimana terlampir.
Lagu ini (Banten Negeri Leluhurku) diciptakan sezaman dengan lagu Indonesia
Raya (1928) dimana sedang hangatnya semangat persatuan. Sesungguhnya lagu ini
sejajar dengan lagu-lagu Nasional lainnya. Lagu-lagu nasional merupakan lagu yang
membawa semangat ke-Indonesia-an dalam konteks identitas bangsa, dengan demikian
lagu nasional merupakan lagu-lagu yang memiliki akar budaya, oleh karenanya amat
penting untuk kembali mengajarkan lagu-lagu Nasional sejak dini (Sekolah dasar),
demikian pula dengan lagu-lagu daerah dalam rangka memahami keberagama
bangsa,menghargai perbedaan yang kaya itu. Dengan demikian bangsa ini tidak mudah
terlepas dari akar kebudayaannya. Tetapi tampaknya pembelajaran musik di sekolah-
sekolah sekarang lebih mengarah pada wilayah teknis, pengenalan notasi, pengenalan
seni tradisional, dan sebagainya. Menurut hemat penulis, pada pembelajaran notasi
terbukti kurang efektif sehingga kemungkinan siswa lebih senang diajarkan
menyanyikan. 80 Hal ini selain memberi pengalaman musikal bagi siswa untuk
dipergunakan dan ditingkatkan di jenjang berikutnya, juga dipercaya mampu
menanamkan apresiasi terhadap unsur lokal (ke-Indonesia-an), hal ini juga dapat
memberikan efek kejiwaan dnperilaku yang positif, tidak kasar dan indah.
Adapun pembelajaran notasi dapat dilakukan secara mandiri, atau dikelola oleh
sekolah sebagai ekstra kurikuler. Pengajaran notasi merupakan pelajaranyang bersifat
mandiri, ia bukan pelajaran teori melainkan praktek, seperti halnya belajar mengaji Al-
Qur’an, ia bukan teori yang harus dijelaskan panjang lebar, ia harus dipraktekkan. Oleh
karena itu pembelajaran notasi lebih terfokus pada siswa, sesuai keinginan siswa, bukan
materinya.

6. Lagu Pop Daerah Banten


Pengertian tentang lagu pop adalah lagu yang dibuat pada era 1900 sampai sekarang,
sebagaimana dikatakan lagu pop diistilahkan juga sebagai lagu kontemporer. Lagu pop
sering dikonotasikan sebagai karya yang bersifat temporal, dan lokal. Jika dikatakan
pop-daerah maka bisa diartikan sebagai lagu kontemporer yang bernuansa lokal, atau
katakan saja nuansa etnik, seperti lagu-lagu berlaras pelog dan slendro sebagaimana
dibahas pada bagian awal buku ini.
Menurut catatan penulis hingga diterbitkannya buku ini, ada beberapa lagu pop
daerah Banten yang sudah mulai populer baik di kalangan pelajar maupun mahasiswa,
khusunya di bidang seni musik, baik vokal maupun paduan suara. Lagu-lagu tersebut
diantaranya ;

1) Laut Kidul karya M. Syahri (Pandeglang),


2) Bendrong Lesung karya Heni Susilawati (Cilegon),
3) Jereh Bu Guru karya Aliman dan aransemen Dian A Muliyadi (Serang).

Tentu saja telah banyak dicipakan lagu yang bersemangat dan ciri khas serupa dari
kota lain di Banten, tetapi sampai saat ini belum ada laporan baik dari Tangerang maupun
Lebak, mungkin akan dibahas dalam buku yang lain yang sekaligus disertakan dasar-
80
Observasi penulis di SMPN 1 Serang pada tahun 2007.

203
dasar aransemen secara rinci. Diantara lagu-lagu tersebut berikut partiturnya seperti di
bawah ini, lagu tersebut semuanya ditulis dalam satu suara (unison) oleh para
komposernya, ada pun aransemen untuk Alto dan sebagainya penulis berikan hanya
sebagai contoh, tetapi aransemen dapat dibuat berdasarkan kreatifitas masing-masing
arranger, dan dapat dibuat sebebas-bebasnya berdasarkan harmoni yang lebih luas
(altered).

204
205
206
207
208
209
Tetapi penulis memandang bahwa penciptaan lagu-lagu pop daerah telah banyak
dilakukan oleh masyarakat Banten termasuk diantaranya Bondolan karya Subro yang
jenaka dan menghibur, bernuansa khas seolah-olah dapat mentransormasikan keakraban
seni tradisi ke dalam seni moderen (Organ Tunggal).
Adapun sejumlah lagu daerah Banten lainnya sempat dipentaskan dalam Konser
Gotun 4 oleh mahasiswa IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, yang tergabung
dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Gema seni Budaya Islam Campus (GESBICA) pada
Desember 2010, sayangnya undangan yang hadir hanya 10% dari yang diundang,
diperkirakan disebabkan oleh hujan.
Ada pula beberapa lagu kasidah dibuat oleh orang Banten (Ciruas) seperti “Ya Rabbi
Barik” dan “Ifrah” dan sebagainya, belum lagi grup-grup kasidah yang telah bermunculan
seperti El-Balasqi (Serang) pimpinan Inu Aminuddin. Tak lupa pula karya-karya Toton
Gerintul yang banyak berisi cerita rakyat, juga beberapa nomor yang bernuansa Islami
salahsatunya lagu “Rukune Shalat”, terakhir ia menerbitkan album yang kedua bertajuk
“Ayo Bangun Banten”. Lagu lagu Toton Gerintul terkesan terlalu panjang karena berisi
folklore. Tampaknya hal ini menjadi salah satu kendala dalam melakukan sosialisasi
sebagai lagu daerah. Seperti halnya pada karya-karya berbentuk musikalisasi puisi.
Keduanya memiliki muatan yang berkualitas, tetapi hanya kalangan tertentu saja yang
mampu memahaminya.
Sebenarnya bukanlah suatu persoalan kalau suatu karya memang ditujukan untuk
pencerahan, namun seringkali menjadi persoalan jika peran yang diemban semacam itu
hanya dilimpahkan kepada seniman atau masyarakat pada umumnya, sementara tugas
melakukan pencerahan itu harus dilakukan bersama, harus dilakukan juga oleh
pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk memaksa, dalam hal ini bisa saja pemerintah
mensosialisasikan lagu-lagu tersebut melalui media atau dengan memanfaatkan kebijakan
hukumnya untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan golongan atau pribadi. Tidak
boleh hanya mengandalkan seniman seorang diri, sudah berkarya, ia pula yang harus
menjualnya sendiri, untuk pencerahan, untuk harga diri, untuk identitas budaya lokal,
untuk dijadikan peletak dasar fondasi kebudayaan. Alangkah ajaibnya jika seniman
(baca; masyarakat) bisa melakukan itu sendirian. Hendaknya lembaga-lembaga
pemerintah menghindari program-program yang sifatnya ceremonial dan ritual,
hendaknya mengesampingkan kepentingan atau bahkan keuntungan pribadi dalam
melaksanakan program tersebut, karena harga diri negeri ini harus dibangun dari hati
nurani jika nasibnya tidak ingin seperti Atlantis yang kini tinggal mitos itu. Bahwa
pembinaan kesenian tidak boleh setengah-setengah apalagi sekadar menggugurkan
kewajiban atau bahkan menganggapnya sebagai teror.
Betapa banyak kesenian khas Banten yang jika dilakukan penelitian lagi untuk untuk
menghitungnya kemungkinan besar akan ada lebih dari 50 kesenian Banten, seperti yang
diliput dalam Radar Banten bulan Agustus 2011, bahwa Gubernur Banten menyatakan
sesuai informasi dari para seniman dan masyarakat Banten, bahwa kesnian tradisional
Banten ada 42 buah, meski jumlah tersebut tidak disertai dengan data yang terperinci,
setidaknya jumlah tersebut dapat menjadi motor pengembangan kebudayaan yang
mengarah pada pensejahteraan masyarakat.
Satu hal lagi, mengenai grup-grup band, ternyata tidak sedikit yang membuat lagu
mereka dengan bahasa daerah. Selain juga perlu dikatakan disini bahwa pertumbuhan

210
grup-grup band di Banten amat pesat, memang tidak begitu mengherankan disebabkan
hal yang sama juga terjadi di daerah lain di Indonesia, tetapi secara ekonomi hal ini dapat
diukur bahwa masyarakat Banten sudah banyak yang mampu memperoleh fasilitas
musik, mulai dari rekaman artis (digital maupun analog), alat musik, serta pengetahuan
bermain musik. Uniknya, sektor ini adalah sektor swasta, seperti halnya perdagangan
telepon seluler dan asesorisnya. Penulis belum dapat mengambil kesimpulan tentang
seberapa besar peran pemerintah di kedua bidang tersebut, karena masih mengumpulkan
data. Yang jelas, kedua sektor ini maju amat pesat sejak tahun 2000.

211
Lampiran 1: Dasar-dasar Harmoni dan Aransemen

A. Chord dengan Nada Dasar C

Struktur Rutin : C  Dm  Em  F  G7  Am  Bdim


Struktur Pop : C  Dm  Em  F  G7  Am  Bdim
Struktur Jazz : C  Dm  Em  F  G7  Am  Bdim

B. Chord dan elemen pembentuknya

1. C = C,E,G
2. C minor (Cm) = C, Eb, G
3. C Dominant 7(C7) = C, E, G, Bb
4. C Mayor 7 (Cmaj7) = C, E, G, B
5. C diminish (Cdim/Co) = C, Eb, Gb
6. C6 = C, E, G, A
7. C9 = C, D, E, G
8. C13 = C, E, G, A, Bb
9. C(sus)4 = C, E, F, G
10. C7b9 (C) = C, E, G, Bb, Db
11. C7#9 = C, E, G, Bb, D#
12. C7b5 = C, E, Gb, Bb
13. C augmented (Caug) = C, E, G#

C. Chord Triad dan Inversinya


C = C-E-G = E-G-C = G-C-E
Bentuk ke- I II III

D. Chord dan Substitusinya


Triad:
C  Em  G  Bdim  Dm  F  Am  C (kembali)

Maj7:
CMaj7  Em7  G7  Bdim7  Dm7  Fmaj7  Am7  Cmaj7 (kembali)

Altered :
C7b5  F#7b5

212
Daftar Bacaan:

1. A.N. Tucker, Tribal Music and Dancing in The sourhern Sudan at social and Ceremonial
Gathering, London, t.t., William Reeves.
2. Ajay Mitra Shastri: Indian Journal of History of Science, 31/1/1996.
3. Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda (Alam, Manusia dan Budaya, termasuk Cirebon dan
Betawi), Pustaka Jaya, 2000.
4. Al-Wafaa News, 1997.
5. Ammer, Christine, 2004, The Facts on File Dictionary of Music, Facts On File, Inc.132
West 31st Street New York NY 10001
6. Guillot, Claude, dkk, Banten Sebelum Zaman Islam, Jakarta, Depdikbud, 1996/1997.
7. Dave Benson, 2004, Mathematic and Music, Departement of Mathematics, University of
Georgia, Athens, USA.
8. Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata Republik Indonesia , Rencana Strategis
Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata 2005 – 2009, Departemen Kebudayaan Dan
Pariwisata Republik Indonesia, Jl. Medan Merdeka Barat No. 17 Jakarta 10110.
9. Kurnia, Ganjar, 2003, Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata
Jawa Barat, Bandung
10. Swain, Joseph Peter, Historical dictionary of sacred music. The Scarecrow Press, Inc.
Lanham, Maryland, Toronto, Oxford 2006.
11. Houtsma, Martijn Theodoor, Encycolpedia of Islam, 1913-1936, vol 2.
12. Di Karia, Mas Mangoen, Dialect Djawa Banten, Bataviaasch Genootschap Van Kunsten
En Wetenschappen, Batavia 1914.
13. Masi, Michael, “The Liberal Arts and Gerardus Ruffus’ Commentary on the Boethian De
Arithmetica.” The Sixteenth Century Journal 10 (1979).
14. Philip M.Peek and Kwesi Yankah, Editors, African Folklore An Encyclopedia, Routledge
New York London, Taylor & Francis e-Library, 2005.
15. Hagel, Stefan, Ancient Greek Music A New Technical History Austrian Academy Of
Sciences, University Press, Cambridge, 2010.
16. Stuart-Fox, Martin, A short history of China and Southeast Asia : tribute, trade and
influence. Set in 11/14 pt Goudy by Midland Typesetters, Maryborough, Victoria, South
Wind Production (Singapore) Private Limited, 2003.
17. Sumarsam, 1978-1979, Javanese Gamelan Instruments and Vocalists.
18. Haryono, Timbul, Sejarah Seni Pertunjukan dalam Perspektif Arkeologi. Makalah ,
disampaikan pada diskusi sejarah dengan tema sejarah seni pertunjukan dan
pembangunan bangsa, diselenggarakan oleh balai kajian sejarah dan nilai tradisional
Yogyakarta, 17-18 Mei 2006.
19. Appeal , Willi (Ed), Harvard Dictionary of Music, Harvard University press, 1962.
20. Samson, Jim, editors, The Cambridge History Of Nineteenth-Century Music.Cambridge
University Press, t.t..
21. Christensen, Thomas, editors, The Cambridge History of Western Music Theory
Cambridge University Press, 2008
22. Bunson, Margaret R., Rev. ed, Encyclopedia of ancient Egypt. 2002, Facts On File
Inc.132 West 31st Street New York NY 10001.

213
23. Gregory Barz & Timothy J. Cooley., editors, Shadows in the field : new perspectives for
fieldwork in ethnomusicology, 2008, Oxford University Press, Inc.,
24. Richard Bauman, editors, Folklore, Cultural Performances, and Popular
Entertainments, a communication-centered handbook, New York Oxford, Oxford
University press, 1992.
25. Pratt, Waldo Selden, 1907, The History Of Music A Handbook And Guide For Students,
New York, G. Schirmer 3 East 43n Street.
26. Metcalf, Barbara D and Metcalf , Thomas R, 2002, A Concise History of India,
Cambridge University Press.
27. Arundell, Lord, 1885, The Secret Of Plato's Atlantis, London: Burns And Oates.1885.
28. Lindsay, Jennifer, Javanese Gamelan: Traditional Orchestras of Indonesia, Oxford
University press, Oxford New York 1992.
29. Roth, A. R., 1986, New Compositions for Javanese Gamelan. University of Durham,
Thesis doktoral.
30. Helmi Faizi Bahrul Ulum, 2010, Ngareksakeun Sasaka Pusaka Buana: Pandangan Etika
Urang Kanekes Tentang Hubungan Manusia Dengan Alam, UGM Yogyakarta, Disertasi.
31. Dinda Satya Upaja Budi, 2001, Angklung Baduy Dalam Upacara Ritual Ngaseuk, UGM
Yogyakarta, Tesis.

214

Anda mungkin juga menyukai