Anda di halaman 1dari 13

Manajemen Kualitas dalam Perspektif Islam

Vita Sarasi, SE. MT.*)


*)
Dosen Manajemen Operasi dan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Padjadjaran

Pendahuluan

Sebenarnya konsep-konsep dalam Total Quality Management (Manajemen Kualitas

Total) yang selama ini telah kita kenal seperti “konsistensi”, “kontinuitas”,

“keseragaman”, “standar” maupun “standarisasi”, bukan hal baru dalam Islam. Contoh

dari penerapan konsep standar yang paling mudah misalnya dapat dilihat pada cara

beribadah yang dilakukan oleh seorang muslim. Agar suatu ibadah dapat diterima oleh

Allah SWT, maka ibadah tersebut harus memenuhi persyaratan kualitas minimum yaitu

rukun. Misalnya saja pada ibadah puasa rukunnya ada dua, yaitu melafadzkan niat dan

menahan diri dari segala yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.

Jika kedua persyaratan kualitas minimum tersebut tidak dipenuhi, maka ibadah puasanya

menjadi batal. Contoh lain yang juga sangat kita kenal adalah ISO, sebuah standar

kualitas berlevel internasional yang harus dipenuhi agar produk suatu perusahaan dapat

masuk kedalam pasar internasional. ISO tersebut juga sangat islami, karena mensyaratkan

tercapainya “efisiensi”, “produktivitas”, “kualitas”, “pertanggungjawaban” dan

“transparansi”, yang keseluruhannya merupakan nilai-nilai yang ditekankan dalam Islam

(Ahmad Sarji, 1996). Namun, walaupun demikian, sistem tersebut adalah buatan manusia

yang tentu saja tidak akan dapat bertahan terhadap uji waktu dan ruang. Selama

diterapkan, sistem ini ternyata banyak menimbulkan masalah, justru dalam kualitas

kehidupan para karyawan yang menerapkannya. Mengapa hal ini dapat terjadi? Berikut

kajian literatur dari para ilmuwan, ahli kualitas, profesional bisnis dan industrialis

muslim.
Perkembangan manajemen kualitas, dari Jepang hingga Barat

Dunia bisnis yang semakin bergejolak dan kompetitif telah mendorong para pelaku bisnis

untuk terus-menerus berusaha mencari “ceruk”, “relung” atau “sesuatu yang sederhana

namun membuat penampilan dan kinerja jadi berbeda”, agar selalu unggul di antara yang

lain. Keinginan dan kebutuhan untuk memiliki keunggulan kompetitif tersebut telah

menggiring para ilmuwan selama dua dekade terakhir untuk terlibat dalam

pengembangan berbagai sistem dan teknik manajemen, terutama manajemen kualitas.

Kemunculan para “guru kualitas” diawali di Jepang yang hancur total selama Perang

Dunia II. W. Edwards Deming, seorang ahli statistik yang gagal menerapkan teori

kualitasnya di AS, pada tahun 1950 diundang oleh persatuan ilmuwan dan teknisi di

Jepang untuk mempresentasikan “14-points of management principle and seven deadly

diseases”. Ini adalah sebuah alat untuk mendiagnosis permasalahan kualitas secara tepat,

sehingga menghasilkan solusi yang akurat. Berkat alat ini, Deming lalu dianggap sebagai

pahlawan nasional dan “Deming Prize” diabadikan sebagai penghargaan kualitas

tertinggi di Jepang.

Melengkapi alat diagnosis dari Deming, pada tahun 1954, Joseph M. Juran, seorang

konsultan manajemen, berhasil meyakinkan Jepang bahwa peranan manajemen juga

sangat penting dalam mengelola kualitas. Teorinya tercakup dalam “Juran Trilogy” yang

meliputi “Quality Planning”, “Quality Control”, dan “Quality Improvement”, dan

menjadi cikal bakal “Total Quality Control” (TQC) yang kita kenal saat ini.
Kesuksesan industri Jepang banyak membuka mata dunia setelah pada akhir tahun 1970,

Philip B. Crosby, seorang pebisnis, dalam bukunya “Quality is Free” mengungkapkan

“Zero Defects System” yaitu pengurangan bahkan peniadaan produk cacat dan rusak.

Konsep ini banyak diadopsi oleh negara lain.

Seiring dengan itu, pada awal 1980, Tom Peters dan Robert H. Waterman, Jr. melalui

bukunya “In Search of Excellence” dan “Thriving on Chaos” berkontribusi signifikan

terhadap kesuksesan berbagai perusahaan ternama di AS.

Apa sebenarnya yang ingin ditekankan oleh para guru? Jelas! Kualitas sangat penting

sebagai ramuan atau unsur dari kesuksesan suatu perusahaan. Hal ini telah terbukti secara

empiris dan terdokumentasi dimana-mana. Istilah TQM yang dalam bahasa Jepang

disebut “Kaizen” dapat diartikan sebagai “peningkatan secara kontinu”. Perusahaan yang

menerapkan prinsip tersebut diyakini dapat mencapai “kesinambungan hidup melalui

kemampuan untuk menghasilkan profit” (Deming dan Juran) dengan mempertimbangkan

“efektivitas biaya” (Feigenbaum, dalam Hellsten dan Klefsjo, 2000).

Munculnya globalisasi kemudian memicu terjadinya kompetisi global antar perusahaan di

satu sisi, dan semakin meningkatnya kesadaran dan ekspektasi konsumen terhadap

kualitas di sisi yang lain (Fawcett, Calantone dan Roath, 2000). Kedua faktor tersebut

memaksa sektor industri untuk lebih mengidentifikasi dan mengembangkan

kompetensinya menuju kesuksesan kompetitif. Standarisasi kemudian menjadi penting,

sehingga produk perusahaan harus memenuhi standar kualitas industri, konsumen atau

pemerintah. Pada tahun 1987, 91 negara anggota International Organization for

Standardization (ISO) menerbitkan seri ISO-9000 sebagai standar kualitas bagi


perusahaan yang akan menjual produknya di Uni Eropa. Seiring dengan itu, berbagai

penghargaan, seperti Malcolm Baldrige Award di AS dan European Quality Award di

Eropa didesain untuk perusahaan yang berhasil mencapai kualitas unggul. Alhasil banyak

perusahaan, besar maupun kecil, berlomba-lomba untuk mendapatkan penghargaan yang

dipercaya sebagai testimoni dari “produk terbaik untuk dikonsumsi”. Bahkan melalui

sertifikasi kualitas tingkat tertentu diyakini dapat mengurangi berbagai rintangan dalam

perdagangan (trade barrier) (Burgess, 1999).

Manajemen Kualitas Konvensional versus Islami

Walaupun sebenarnya sebagian dari konsep-konsep dalam Manajemen Kualitas Total

telah sesuai dengan nilai-nilai Islam, namun para ahli manajemen kualitas muslim

mendeteksi setidaknya ada tiga masalah utama dalam penerapannya, yaitu: (1) Banyak

karyawan yang merasa tidak puas atau “menderita”, karena konsep ini terlalu

mengandalkan pada alat dan teknik untuk dapat mencapai kualitas secara total dalam

perusahaan. Akibatnya walaupun tidak ada lagi produk rusak atau cacat dalam

perusahaan, namun kualitas kehidupan individu, keluarga, sosial serta pembangunan

bangsa menjadi semakin memburuk, karena belum diperhatikan secara layak; (2) Konsep

ini terlalu mengandalkan keberhasilan pada komitmen CEO (pimpinan), yang pada saat

bersamaan waktunya telah tersita untuk mengurus berbagai masalah dan strategi dalam

hal keuangan, pemasaran dan sumber daya manusia perusahaan; (3) Dalam literatur tidak

ada panduan langkah demi langkah menuju penerapan kualitas secara total, sehingga

menyulitkan bagi perusahaan yang akan menerapkan konsep ini (Sohod dan Yusof,

1996).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka tugas para ahli manajemen muslim adalah

(1) berusaha menyelidiki bagaimana standar kualitas dari perspektif Islam; (2)

mengembangkan kerangka untuk menyiapkan standar kualitas berbasis nilai dan

perspektif Islam (Musa dan Salleh, 2005).

Manajemen Kualitas berdasarkan perspektif Islam

Konsep kualitas dalam perspektif Islam bersifat komprehensif, yang sebaiknya ditinjau

sebagai sebuah proses yang memberikan perubahan positif menuju kinerja terbaik atau

“excellent” untuk semua jenis usaha, dimana tujuan akhirnya adalah meningkatnya

kualitas kehidupan manusia. Ini tentu saja merupakan proses jangka panjang melalui

peningkatan yang dilakukan secara terus-menerus selama proses berlangsung. Kinerja

kualitas tidak diukur berdasarkan output yang diproduksi oleh seorang karyawan, tapi

dimulai dari pebisnis atau produsen itu sendiri. Jika produsennya berkualitas, maka

diharapkan hasil produksinya juga akan berkualitas. Jadi ada dua hal penting, yaitu (i)

kualitas hasil dan (ii) kualitas manajemen yang melakukan produksi. Islam mensyaratkan

kualitas yang tinggi untuk keduanya (Sadeq, 2005).

Manajemen kualitas dalam Islam tidak berarti hanya memproduksi produk berkualitas

agar konsumen merasa puas, tapi lebih dari itu mencakup keseluruhan aspek kualitas

individu, organisasi dan masyarakat, sehingga hasilnya dapat bermanfaat untuk

kesejahteraan seluruh umat manusia. Sarker (1999) menjabarkan tujuan dari perusahaan

yang islami yaitu “memaksimasi profit dan sekaligus falah (kesuksesan di dunia dan di

akhirat)”. Dalam Islam, kemampuan berkompetisi tidak digunakan untuk mengeksploitasi

yang lain, tapi justru untuk saling membantu dalam meningkatkan kualitas kehidupan.
Kualitas ekonomi Islam membutuhkan semua jenis produksi. Jadi ada kebutuhan untuk

bekerja sama di antara semua perusahaan dalam mencapai ekonomi yang berkualitas dan

kemakmuran bersama. Perkembangan suatu negara hanya dapat dicapai melalui

peningkatan kinerja kualitas dari semua perusahaan di negara tersebut. “Together we

develop” harus menjadi strategi, dan “together we share our quality living” harus menjadi

tujuan dari perjuangan (Hassan, 2005).

Ada empat filosofi yang mendasari manajemen dalam Islam, yaitu (1) Tawhid, (2)

Risalah, (3) Khilafah dan (4) Akhirah (Sadeq, 1996). Setiap muslim harus meyakini

bahwa Allah SWT adalah Sang Pencipta alam semesta beserta isinya yang tunduk

terhadap hukumNya (tawhid). Jadi Islam memiliki pendekatan tersendiri dalam

mengelola semua urusan di muka bumi, termasuk urusan bisnis dan ekonomi.

Selanjutnya muslim perlu menyadari tugasnya sebagai khalifah (wakil) Allah SWT di

muka bumi yaitu mengelola berbagai urusan di dunia seefisien mungkin sesuai kehendak,

norma dan nilai-Nya. Allah SWT ingin melihat seberapa baik usaha yang dilakukan

manusia, dan menganugerah kehidupan yang akan diakhiri dengan sebuah kematian

untuk menguji siapa yang terbaik kinerjanya (ahsan ‘amal) melalui pemberian ganjaran

(reward) yang sesuai di alam akhirat.

Dalam sistem Islam, kualitas lebih penting dibandingkan dengan kuantitas. Kualitas

merupakan persyaratan yang harus dipenuhi bukan saja pada masalah yang besar, tapi

juga masalah yang kecil seperti ketika menyembelih hewan, kondisi kualitas yang tinggi

diterapkan dengan cara memakai pisau yang tajam agar tidak membuat hewan menderita.

Tapi berdasarkan kondisi ini bukan berarti lalu kuantitas tidak diperhitungkan. Kuantitas
tetap diperhitungkan jika telah memenuhi kriteria kualitas, yaitu dilakukan sesuai dengan

risalah, Al Qur’an dan Hadis. Pada hari akhir (akhirah), manusia akan

mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia dan mendapatkan balasan sesuai

kualitas perbuatannya.

Beberapa penulis telah mengajukan konsep manajemen kualitas berdasarkan perspektif

Islam, diantaranya adalah “The Model of an Islamic Total Quality” (Musa dan Salleh,

1996) (lihat Gambar 1). Berdasarkan konsep ini, ada delapan elemen yang mempengaruhi

kualitas total dalam sebuah perusahaan yaitu desain, proses, manajemen, karyawan,

hukum dan peraturan, konsumen, lingkungan, dan publik. Semua elemen ini harus

memiliki satu tujuan yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT.

Gambar 1. Model Kualitas Total Islam

Sumber : Musa dan Salleh, “Quality Standard from the Islamic Perspective”, 1996

Total Quality Product atau Service diawali dengan desain kualitas yang sesuai dengan

Islam, misalnya prosedur dalam melakukan proses produksi. Sebagai contoh, perusahaan

yang akan menyiapkan ayam halal, maka doa pada saat penyembelihan harus diucapkan
sendiri oleh penyembelih, bukan berasal dari rekaman CD. Contoh lain, tanggung jawab

perusahaan atas pengaruh proses produksinya terhadap lingkungan di sekitarnya. Sebagai

landasannya adalah firman Allah SWT dalam QS. al-Qasas ayat 77: “Dan carilah pada

apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan

janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah

(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah

kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang yang berbuat kerusakan.”

Keleluasaan dalam beribadah juga harus diperhatikan oleh perusahaan. Ketika telah

masuk waktu Dhuhur dan Ashar, perusahaan harus mengizinkan karyawan muslim untuk

mendirikan shalat. Kewajiban menutup aurat bagi karyawan muslim mensyaratkan

perusahaan untuk mengizinkan karyawan wanita muslim mengenakan busana muslimah.

Lebih jauh, pihak manajemen juga bertanggung jawab untuk menyediakan pelatihan

religius bagi karyawan muslim. Melalui pendidikan yang kontinu atau tarbiyyah,

diharapkan semua pegawai akan memiliki tujuan yang sama yaitu bekerja dalam mencari

ridha Allah SWT, sehingga terjalin hubungan yang baik antara pihak manajemen dan

karyawan, dan karenanya lingkungan kerja menjadi harmonis dan kondusif. Dalam

perspektif Islam, karyawan akan menyadari bahwa pekerjaan dapat terselesaikan dengan

baik hanya jika dikerjakan sesuai dengan syariah Islam. Setiap individu –pihak

manajemen dan karyawan- memiliki kewajiban untuk meningkatkan pengetahuan dan

keterampilannya secara kontinu, tetapi tanggung jawab penyediaan fasilitasnya tetap

berada di pihak manajemen.


Konsep lain yang dikemukakan adalah “Model Manajemen Kualitas” oleh Sadeq

(1996). Menurut konsep ini atribut manajemen kualitas dibagi dalam dua kategori, yaitu

atribut yang dipersyaratkan untuk mengelola kualitas dan atribut yang bersifat interaktif.

Atribut yang dipersyaratkan untuk mengelola kualitas, diantaranya adalah : (a)

komitmen untuk menerapkan syariah Allah SWT dalam mengelola perusahaan secara

profesional; (b) pengetahuan dan keterampilan dalam menjalankan bisnis; (c)

integritas berupa kejujuran dan keikhlasan dalam bekerja; (d) perencanaan, mulai dari

penetapan tujuan, prioritas, target hingga metode yang efektif untuk mencapainya disertai

antisipasi terhadap berbagai kemungkinan terjadinya perubahan; (e) perubahan dalam

arti kedinamisan berpikir dan melakukan ijtihad untuk menyelesaikan masalah yang tidak

dapat diekspektasi sebelumnya atau dengan kata lain melakukan “continuous

improvement”.

Atribut yang bersifat interaktif adalah atribut yang diterapkan di seluruh perusahaan, di

antaranya adalah : (a) model peran dimana norma Islam bersifat universal, tidak dibatasi

oleh ras, bahasa, warna kulit dan dapat direfleksikan dalam mengelola bisnis atau

perusahaan; (b) motivasi yang terdiri dari motivasi positif berupa pemberian

penghargaan untuk karyawan yang memiliki kinerja baik dan motivasi negatif berupa

hukuman bagi karyawan yang tidak melaksanakan kewajiban; (c) konsultasi yaitu

melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan; (d) keadilan dimana karyawan

berhak mendapatkan apa yang layak didapatkan atas apa yang telah dikerjakannya, dan

(e) persaudaraan, yaitu hubungan yang baik antara pihak karyawan dan manajemen

(Lihat Gambar 2).


Gambar 2. Model Manajemen Kualitas

Sumber : Sadeq, “Quality Management in the Islamic Framework”, 1996

Penetapan Standar yang Islami

Standar terdiri dari tiga jenis, yaitu : standar desain produk (bentuk dan karakteristik),

standar kinerja (spesifikasi produk yang diinginkan) dan standar proses (spesifikasi

aktivitas yang dilakukan hingga produk akhir) (Bahaldin, 2005).

Beberapa standar islami yang telah dikembangkan para ilmuwan, ahli kualitas,

profesional bisnis dan industrialis muslim, diantaranya adalah MS 1900 : 2005 yaitu

standar yang dikeluarkan oleh Departemen Standar Malaysia. Standar ini dikembangkan

dari ISO 9001 dengan menambahkan tiga komponen syariah, yaitu “akidah”

(kepercayaan), “akhlak”(perilaku) dan “fiqh” (interaksi antar manusia, lingkungan dan

hukum). Standar lainnya, juga dari Malaysia adalah IQOMS 313 (Islamic-based Quality

Organizational Management Systems) yaitu standar kualitas yang berbasis Islam untuk

sistem manajemen organisasi, HAFAS (Halal Food Assurance System) yaitu standar

untuk perusahaan yang memproduksi makanan halal, dan Universal Integrated System

ISI 2020 (the Institute of Islamic Standard) yaitu standar berbasis etika dan nilai moral
Islam yang terdiri dari tiga komponen, yaitu kepercayaan, perilaku organisasi dan

pengendalian manajemen.

Pada saat ini standar yang islami sangat dibutuhkan mengingat pasar Islam yang semakin

meningkat, yaitu 2,9 persen per tahun. Pada tahun 2001, perdagangan dunia bernilai

sekitar US$ 6142 milyar, dimana 8 persennya (US$ 491 milyar) berlangsung di negara

muslim, yang dilakukan dengan negara berkembang, dimana sebagian besar

penduduknya adalah non muslim (77,9 persen dari total) (IMF, Direction of Trade

Statistics Yearbook, 2003). Kebutuhan makanan halal dunia pada saat ini telah mencapai

nilai US$560 milyar per tahun (Malaysia Business Times, 2004).

Di samping itu standar islami diperlukan untuk diambil nilai-nilai islamnya dalam

mengatasi masalah etika yang banyak terjadi pada perusahaan saat ini seperti : (i)

penyalahgunaan alkohol dan narkoba; (ii) pencurian; (iii) konflik kepentingan; (iv) isu

pengendalian kualitas; (v) diskriminasi dalam pengangkatan dan promosi karyawan; (vi)

penyalahgunaan informasi; (vii) penyalahgunaan laporan pengeluaran perusahaan; (viii)

penutupan perusahaan, pemberhentian karyawan; (ix) penyalahgunaan aset perusahaan

(x) laporan palsu pada pemegang saham; dan (xi) polusi lingkungan.

Standar yang islami diperlukan juga dalam membentuk budaya manajemen yang islami

pada sebuah perusahaan, yaitu menerapkan prinsip keadilan, keprogresifan dan keetisan

dalam hubungan kerja, baik antar pegawai yang muslim maupun dengan pegawai yang

non muslim.
Dengan mengetahui betapa komprehensifnya standar islami ini kita dapat menilai bahwa

terdapat beberapa kelemahan pada standar manajemen lain, diantaranya adalah : (a)

Kurangnya elemen moral dan etika; (b) Mendukung praktek monopoli; (c) Terbatas

dalam cakupan dan tujuan hidup yang bersifat keduniawian, (c) Tidak mengandung nilai-

nilai budaya, keluarga, lingkungan dan agama (d) Hambatan perdagangan terselubung

melawan negara berkembang; (e) Tidak mencakup pengetahuan bagaimana

meningkatkan kemajuan perusahaan. Sebagai contoh, pada ISO 9001 : 2000 tidak ada

standar mengenai praktek etika, keamanan dan kesehatan, transparansi dan keterbukaan

dalam operasi perusahaan.

Penutup

Nilai-nilai Islam dalam Al Qur’an dan Hadis telah terbukti bersifat universal, termasuk

dalam manajemen kualitas. Hal yang diperlukan bagi kita adalah mengoperasionalkan

nilai-nilai tersebut, sehingga dapat digunakan oleh semua perusahaan dan diterapkan oleh

semua orang, baik muslim maupun non muslim.

Diharapkan pengembangan manajemen kualitas yang berdasarkan nilai-nilai Islam ini

dapat membawa dunia Islam menjadi semakin dekat pada kesatuan, pengertian dan

kerjasama antar muslim dalam menghadapi tantangan di dunia modern. Hal ini juga dapat

menjadi syiar bahwa Islam adalah suatu pandangan hidup terbaik bagi seluruh umat

manusia.

Referensi:
1. Abulhasan M.Sadeq. 1996. “Quality Management in the Islamic Framework”,

Leeds Publication, K. Lumpur.

2. Ahmad Sarji. Abdul Hamid. 1996. Perkhidmatan Awam menuji Era Baru. Kuala

Lumpur.

3. Burgess, N. 1999. “Standards and TQM at the opening of the twenty-first

century”. The TQM Magazine.

4. Fawcett, S.E., R.J. Calantone dan A.Roath. 2000. “Meeting quality and cost

imperatives in a global market”, International Journal of Physical Distribution &

Logistics Management.

5. Hellsten, U dan B. Klefsjӧ. 2000. “TQM as a managemen system consisting of

values, techniques and tools”. The TQM Magazine.

6. Ma’amor Osman. 2005. “Towards a Universal Intefrated System Isi 2020”.

7. Mazilan Musa, Shaikh Mohd Saifuddeen Shaik Mohd Salleh. 2005. “The

Elements of an Ideal Total Quality from the Islamic Perspective”, IKIM, Kuala

Lumpur.

8. Mohd Salmi Sohod dan Rushaimi Zien Yusof. 1996. “Re-addressing the TQM

Movement : Towards an Alternative Model”. IKIM. Kuala Lumpur.

9. Nik Mustapha Hj. Nik Hassan. 2005. “An Islamic approach to Quality and

Productivity”. Leed Publication.

10. Shea, J. dan D.Gobeli. 1995. “TQM: The experiences of ten small businesses”.

Business Horizons.

Anda mungkin juga menyukai