Anda di halaman 1dari 77

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FIELDTRIP PALEONTOLOGI
DAERAH PADANGLAMPE, KECAMATAN TANETE RIAJA
KABUPATEN BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN

LAPORAN

OLEH :
YOUNDREE RUDY MANGALUK
D061171507

GOWA
2018

1
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FIELDTRIP PALEONTOLOGI
DAERAH PADANGLAMPE, KECAMATAN TANETE RIAJA
KABUPATEN BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN

LAPORAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Mata kuliah Paleontologi Pada
Program Studi Teknik Geologi Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin

OLEH :
YOUNDREE RUDY MANGALUK
D061171507

GOWA
2018

2
FIELDTRIP PALEONTOLOGI
DAERAH PADANGLAMPE, KECAMATAN TANETE RIAJA
KABUPATEN BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN

LEMBAR PENGESAHAN

Gowa, 11 Mei 2018


Koordinator Asisten Penulis

Muh. Afrisal Arif Youndree Rudy Mangaluk


NIM. D61115006 NIM. D061171507

3
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit


sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah atas segala berkat,
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga saya dapat
menyelesaikan laporan fieltrip paleontologi dengan tepat pada waktunya. .

Dalam penyusunannya, saya mengucapkan terimakasih kepada Dosen


Pembimbing dan juga kakak-kakak asisten yang telah memberikan dukungan,
kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini
berawal, semoga semua ini bias memberikan sedikit kebahagiaan.

Meskipun saya berharap isi dari laporan ini saya ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, saya mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar laporan lengkap praktikum paleontologi
ini dapat lebih baik lagi dan dapat bermanfaat bagi nusa, dan bangsa.

Akhir kata saya mengucapkan terimakasih,

Gowa, 11 Mei 2018

Penulis

4
HALAMAN PERSEMBAHAN

Pertama, saya persembahkan laporan ini kepada Tuhan Yang MahaEsa,

karena tanpa berkat, rahmat, dan hidayahnya saya tidak mungkin dapat mengikuti

kegiatan fieltrip paleontologi dan berjalan dengan lancer tanpa halangan ataupun

hambatan yang terjadi

Kedua, saya persembahkan laporan ini kepada kedua orang tua saya, yang

senantiasa membimbing, menasihati, dan member semangat kepada saya hingga

saya dapat menyelesaikan laporan ini. Tanpa dukungan dan dorongan kedua orang

tua saya, mungkin laporan lengkap ini tidak akan selesai tepat pada waktunya

Ketiga, saya persembahkan laporan ini kepada dosen pembimbing, dan

kakak-kakak asisten yang senantiasa selalu membimbing dan mendidik saya dan

teman-teman saya, tanpa didikan dan bantuan dari dosen dan kakak-kakak asisten

mungkin praktikum paleontologi tidak akan berjalan dengan baik dan laporan ini

tidak akan selesai tepat pada waktunya. Kesan dan pesan yang saya alami selama

bersama asisten , asisten paleontologi gokil semu dan heboh , seru pokoknya

pesan saya semoga kedepannya asisten paleontologi lebih baik lagi.

Dan yang terakhir, saya persembahkan kepada teman-teman tercinta, dan

tersayang beserta kakak asisten pembimbing yang senantiasa menyemangati dan

member dukungan kepada saya. Tanpa bantuan dan dukungan dari teman-teman

dan kakak asisten, mungkin laporan ini tidak akan selesai. Terimakasih atas segala

dukungan dan semangat yang telah kalian berikan kepada saya.

5
BAB I
PENDAHUAN

1.1 Latar Belakang

Paleontologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan praaksara.

Paleontologi mencakup studi fosil untuk menentukan evolusi suatu organisme dan

interaksinya dengan organisme lain dan lingkungannya (paleoekologi).

Pengamatan paleontologi telah didokumentasikan sejak abad ke 5 sebelum

masehi. Sains paleontolog berkembang pada abad ke 18 ketika Georges

Cuvier melakukan anatomi komparatif, dan berkembang secara cepat pada abad

ke 19.

Paleontologi kini mendayagunakan berbagai metode ilmiah dalam sains,

mencakup biokimia, matematika, dan teknik. Penggunaan berbagai metode ini

memungkinkan paleontologi untuk menemukan sejarah evolusioner kehidupan,

yaitu ketika bumi menjadi sesuatu yang mampu mendukung terciptanya

kehidupan, sekitar 3.800 juta tahun silam. Dengan pengetahuan yang terus

meningkat, paleontologi kini memiliki subdivisi yang terspesialisasi, beberapa

fokus pada jenis fosil tertentu, yang lain mempelajari sejarah lingkungan dan

paleoklimatologi suatu daerah.

Fieldtrip paleontologi ini bermaksud untuk memberikan pemahaman

kepada peserta agar dapat mengetahui dan membedakan fosil ketika di lapangan

baik itu filum, ciri-ciri, bentuk, proses pemfosilannya serta lingkungan

pengendapannya.

6
1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dari diadakannya fieldtrip paleontologi ini adalah untuk

mengetahui jenis-jenis fosil yang terdapat pada daerah penelitian.

Adapun tujuan dari fieldtrip paleontologi ini yaitu:

1. Praktikan diharapkan dapat mengetahui jenis-jenis dari fosil yang terdapat di

daerah penelitian.

2. Praktikan diharapkan dapat mengetahui litologi yang terdapat pada daerah

penelitian.

3. Praktikan diharapkan dapat mengetahui umur daerah penelitian.

4. Praktikan diharapkan dapat mengetahui lingkungan pengendapan yang

terdapat pada daerah penelitian.

1.3 Batasan Masalah

Pada laporan ini membahas tentang jenis-jenis dari fosil yang terdapat di

daerah padanglampe, dan juga membahas tentang data litologi pada daerah

padanglampe.

1.4 Waktu, Letak, dan Kesampaian

Fieldtrip paleontologi ini dilaksanakan pada hari sabtu tanggal 14 april

2018. Fieldtrip ini dilaksanakan di daerah padanglampe kecamatan taneteriaja

kabupaten barru provinsi Sulawesi selatan. Lokasi ini di tempuh sekitar 5 jam dari

gowa dan sampai di barru dari jam 15.00 - 20.00 dengan menggunakan bus, jarak

yang ditempuh sekitar 100 km.

7
Secara administratif, daerah penelitian meliputi wilayah Daerah

Padanglampe Kecamatan Taneteriaja, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi

Selatan dan secara geografis terletak pada koordinat 119041’30” Bujur Timur –

119043’30” Bujur Timur dan 04029’30” Lintang Selatan – 05031’00” Lintang

Selatan (Gambar 1.1).

Gambar 1.1 Peta tunjuk lokasi

8
1.5 Metode dan Tahapan Penelitian

1.5.1 Metode Penelitian

Metode penelitian untuk pemetaan geologi ini terdiri dari metode

eksplorasi permukaan meliputi kegiatan orientasi lapangan dan pengambilan data

lapangan pada lintasan-lintasan yang dilalui pada daerah penelitian. Dalam

metode pengambilan data digunakan beberapa metode yang umumnya dilakukan

untuk pengambilan data yaitu metode measuring section dan juga metode

pengamatan yang mencakup penggambaran keadaan singkapan, deskripsi litologi

batuan, dan pengambilan data foto stasiun. Kemudian dilakukan analisis meliputi

pencocokan fosil yang didapatkan di lapangan dan di laboratorium dengan metode

kesamaan jenis spesies.

1.5.2 Tahapan Penelitian

Kegiatan ini dilakukan dengan lima tahapan penelitian, yaitu tahap

persiapan, tahap penelitian lapangan, tahap pengolahan data lapangan, tahap

analisis data lapangan, dan tahap penyusunan laporan.

A. Tahap Persiapan

Tahap ini merupakan tahap persiapan sebelum melakukan penelitian dan

pengambilan data di lapangan, meliputi studi regional termasuk studi literatur

mengenai karakteristik data geologi secara langsung di lapangan sehingga

mempermudah dalam kegiatan penelitian serta penyediaan segala kelengkapan

untuk penelitian di lapangan. Dalam tahap ini, juga dilakukan pengurusan

administrasi persuratan meliputi surat perizinan kegiatan penelitian yang

9
ditujukan kepada beberapa pihak, yang terdiri atas pengurusan perizinan kepada

pihak Jurusan Teknik Geologi Universitas Hasanuddin, Fakultas Teknik

Universitas Hasanuddin, Pemerintahan Provinsi Tk. I melalui sub bagian

BALITBANGDA Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Daerah Tk. II melalui

sub bagian Kesbang Kabupaten Barru, Pemerintah Daerah Tingkat Kecamatan

Barru, dan Kepala Desa Anabanua.

Selain itu tahap persiapan ini meliputi tahap pengadaan perlengkapan

peralatan dan bahan yang akan digunakan. Dalam hal ini perlengkapan terdiri dari

perlengkapan pribadi, kelompok, dan angkatan yang bertujuan untuk

mempermudah dan melancarkan kegiatan penelitian tersebut.

B. Tahap Penelitian Lapangan

Pada tahap penelitian lapangan dilakukan proses pengambilan data baik

untuk Tabel Measuring Section (MS) ataupun pada buku lapangan, foto singkapan

dan sampel pada tiap lapisan.

C. Tahap Pengolahan Data

Tahap pengolahan data ini dilakukan setelah pengambilan data lapangan

dilakukan. Tahapan ini meliputi pengolahan data struktur berupa kedudukan

batuan, jenis litologi batuan, geomorfologi dan lintasan penelitian. Data

geomorfologi meliputi pengolahan data kemiringan lereng dan stratigrafi meliputi

perhitungan ketebalan batuan dan pembuatan tabel measuring section tiap stasiun

pengamatan.

10
Selain itu juga pengolahan data litologi, yaitu sampel batuan berbeda yang

didapatkan di lapangan dan deskripsi fosil yang didapatkan dilapangan kemudian

diamati di laboratorium paleontologi.

D. Tahap Analisis Data Lapangan

Data-data lapangan selanjutnya diolah untuk dianalisis dan interpretasi

lebih lanjut mencakup aspek geomorfologi, struktur geologi, litologi dan deskripsi

fosil. Pengerjaan analisa data lapangan tersebut mencakup :

a. Analisis geomorfologi, mengidentifikasi satuan geomorfologi daerah

penelitian yang didasarkan pada pengolahan analisis beda tinggi, pola

aliran sungai dan ciri geomorfologi lainnya.

b. Analissi litologi, contoh batuan yang telah diambil dari lapangan

selanjutnya diidentifikasi kandungan fosil yang terdapat pada batuan

tersebut.

c. Analisis struktur geologi, yaitu pengamatan struktur geologi untuk

mengidentifikasi struktur geologi yang nampak, melakukan pencatatan,

pengukuran dan perekaman data.

d. Analisis kandungan fosil, yaitu pegamatan kenampakan bentuk fosil yang

didapatkan di lapangan kemudian di cocokan dengan sampel fosil yang di

laboratorium berdasarkan jenis filum hinggan species.

E. Tahap Penyusunan Laporan

Pengolahan data akhir, yaitu data yang telah diperoleh, dianalisis secara

detail dan diinterpretasi serta dilakukan penarikan kesimpulan mengenai kondisi

11
geologi daerah penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan pembuatan peta stasiun

pengamatan geologi, profil lintasan, peta stasiun, tabel measuring section, serta

kolom litologi. Tahapan ini merupakan akhir dari penelitian yang diharapkan

dapat memberikan informasi dan penjelasan mengenai tatanan geologi daerah

penelitian. Penyajian data dan hasil laporan berupa laporan identifikasi kandungan

fosil tersebut disusun secara sistematis dalam bentuk tulisan ilmiah berupa laporan

lapangan.

1.6 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan selama di lapangan yaitu:

1. Palu geologi

2. Roll meter

3. Kompas geologi

4. Kamera digital

5. Peta

6. Alat tulis menulis

7. Clipboard

8. Kantong sampel

9. Karung

10. Lup

11. Komparator

12. Busur derajat ( 360˚ dan 180˚)

13. Mistar

14. Pita meter

12
15. Hekter

16. Helm

17. Pakaian lapangan dan pakaian ganti

18. Sepatu lapangan

19. Buku lapangan

20. Tas lapangan

21. Global positioning system (GPS)

22. Peta dasar skala 1:25.000

23. Kertas A4

24. Kertas grafik

25. Spidol permanen

26. Larutan HCL (0,1 M)

27. Double tip

1.7 Peneliti Terdahulu

Beberapa peneliti yang pernah melakukan penelitian di daerah ini baik

secara detail maupun regional antara lain:

1. Sarasin (1901), melakukan penelitian geografi dan geologi di pulau Sulawesi.

2. Van Bemmelen (1949), melakukan penelitian geologi umum di Indonesia,

termasuk Sulawesi Selatan.

3. Djuri dan Sujatmiko (1974),meneliti geologi lembar Pangkajene dan

Watampone bagian barat lembar Palopo Sulawesi Sleatan dengan skala

1:250.000

13
4. Rab Sukamto, (1975) mengadakan penelitian tentang perkembangan tektonik

Sulawesi dan sekitarnya, yang merupakan sintesis yang berdasarkan tektonik

lempeng.

5. Van Leuwen (1975), meneliti geologi Sulawesi Selatan dengan studi khusus

daerah Barru.

6. S. sartono dan K.A.S Astadireja (1981), meneliti geologi kuarter Sulawesi

Selatan dan Tenggara.

7. S. Sartono dan K.A.S Astadireja (1981), meneliti Geologi Karst Sulawesi

Selatan & Sulawesi Tenggara.

8. Rab Sukamto (1982), membuat peta geologi regional lembar Pangkajene dan

Watampone bagian barat, provinsi Sulawesi Selatan.

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

2.1.1 Geomorfologi Regional

Pada Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat pegunungan

bagian barat menempati hampir setengah luas daerah, yang melebar di bagian

selatan (50 kilometer) dan menyempit di bagian utara (22 kilometer) dengan

puncak tertingginya 1694 m dan ketinggian rata–ratanya 1500 meter dari

permukaan laut. Pembentuknya sebagian besar batuan gunungapi. Di lereng barat

dan di beberapa tempat di lereng timur terdapat topografi karst yang

mencerminkan adanya batugamping. Di antara topografi karst pada lereng barat

terdapat perbukitan yang dibentuk oleh batuan pada zaman Pra-Tersier.

Pegunungan ini dibatasi oleh dataran Pangkajene – Maros yang luas, dan sebagian

merupakan lanjutan di dataran sekitarnya.

Pegunungan yang di timur relatif lebih sempit dan lebih rendah, dengan

puncaknya rata–rata setinggi 700 meter dari permukaan air laut, sedangkan yang

tertinggi adalah 787 meter dimana sebagian besar pegunungan ini tersusun dari

batuan gunungapi. Di bagian selatannya selebar 20 kilometer dan lebih tinggi,

tetapi ke utara menyempit dan merendah dan akhirnya menunjam ke bawah batas

antara lembah Walanae dan dataran Bone. Pada bagian utara pegunungan ini

mempunyai topografi karst yang permukaanya sebagian berkerucut. Batasnya

pada bagian timurlaut adalah dataran Bone yang luas dan menempati hampir

sepertiga bagian timur.

15
2.1.2 Stratigrafi Regional

Pulau Sulawesi dibagi menjadi tiga Mandala geologi, yang didasarkan

pada perbedaan litologi stratigrafi, struktur dan sejarahnya. Ketiga mandala

tersebut adalah Mandala Sulawesi bagian barat, Mandala Sulawesi bagian timur,

dan Mandala Banggai Sula. Dari ketiga mandala tersebut secara orogen yang

paling tua adalah Mandala Sulawesi timur dan yang termuda adalah Mandala

Sulawesi bagian barat.

Kelompok batuan tua yang umurnya belum diketahui terdiri dari batuan

ultrabasa, batuan malihan dan batuan melange. Batuannya terbreksikan, tergerus

dan mendaun dan sentuhannya dengan formasi disekitarnya berupa sesar atau

ketidakselarasan. Penarikan radiomteri pada sekis yang menghasilkan 111 juta

tahun kemungkinan menunjukkan peristiwa malihan akhir pada tektonik zaman

Kapur. Batuan tua ini tertindih tak selaras oleh endapan flysch formasi Balangbaru

dan formasi Marada yang tebalnya lebih dari 2000 meter dan berumur Kapur

Atas. Kegiatan magma mulai pada waktu itu dengan bukti adanya sisipan lava

dalam flysch.

Batuan gunungapi berumur Paleosen (58,5 – 63,0 juta tahun yang lalu) dan

diendapkan dalam lingkungan laut, menindih tak selaras batuan flysch yang

berumur Kapur Atas. Batuan sedimen formasi Mallawa yang sebagian besar

dicirikan oleh endapan darat dengan sisipan batubara, menindih tak selaras batuan

gunungapi Paleosen dan batuan flysch Kapur Atas. Di atas formasi Malawa ini

secara berangsur beralih ke endapan karbonat formasi Tonasa yang terbentuk

secara menerus dari Eosen Bawah sampai bagian bawah Miosen Tengah. Tebal

16
formasi Tonasa lebih kurang 3000 meter, dan melampar cukup luas mengalasi

batuan gunungapi Miosen Tengah di barat. Sedimen klastik formasi Salo

Kalupang yang Eosen sampai Oligosen bersisipan batugamping dan mengalasi

batuan gunungapi Kalamiseng Miosen Awal di timur.

Sebagian besar pegunungan, baik yang di barat maupun yang di timur,

mempunyai batuan gunungapi. Di pegunungan yang timur, batuan itu diduga

berumur Miosen Bawah bagian atas yang membentuk batuan Gunungapi

Kalamiseng. Dilereng timur bagian utara pegunungan yang barat , terdapat batuan

Gunungapi Soppeng yang juga diduga berumur Miosen Bawah. Batuan sedimen

berumur Miosen Tengah sampai Pliosen Bawah berselingan dengan batuan

gunungapi yang berumur antara 8,93 sampai 9,29 juta tahun yang lalu. Secara

bersamaan batuan ini menyusun formasi Camba yang tebalnya sekitar 5000 meter.

Sebagian besar pegunungan yang barat terbentuk dari formasi Camba ini yang

menindih tak selaras dengan formasi Tonasa.

Selama Miosen Atas sampai Pliosen, di daerah yang sekarang jadi lembah

Walanae diendapkan sedimen klastik formasi Walanae. Batuan ini tebalnya

sekitar 4500 meter, dengan bioherm batugamping koral tumbuh di beberapa

tempat (Batugamping Anggota Tacipi). Formasi Walanae berhubungan menjari

dengan bagian atas formasi Camba. Kegiatan gunungapi selama Miosen Atas

sampai Pliosen Bawah merupakan sumber bahan bagi formasi Walanae. Kegiatan

gunungapi yang masih terjadi di beberapa tempat selama Pliosen, dan

menghasilkan batuan gunungapi Parepare (4,25 – 4,95 juta tahun) dan Baturape-

Cindako, juga merupakan sumber bagi formasai itu.

17
Terobosan batuan beku yang terjadi di daerah ini semuanya berkaitan erat

dengan kegiatan gunungapi tersebut. Bentuknya berupa stok, sil dan retas

bersusun beraneka ragam dari basal, andesit, trakit, diorit dan granodiorit yang

berumur berkisar dari 8,3 – 19, 2 juta tahun yang lalu.

Setelah Pliosen Atas, rupanya tidak terjadi pengendapan yang berarti di

daerah ini, dan juga tidak ada kegiatan gunungapi. Endapan undak di utara

Pangkajene dan di beberapa tempat ditepi sungai Walanae, rupanya terjadi selama

Pliosen. Endapan Holosen yang luas berupa aluvium terdapat di sekitar danau

Tempe, di dataran Pangkajene-Maros dan di bagian utara dataran Bone.

a. Batuan Sedimen.

1. Formasi Balangbaru

Formasi Balangbaru merupakan formasi batuan sedimen tipe flysch;

batupasir berselingan dengan batulanau, batulempung dan serpih, bersisipan

konglomerat, batupasir konglomeratan, tufa dan lava, batupasirnya bersusunan

grewake dan sarkosa, sebagian tufaan dan gampingan. Pada umumnya

menunjukkan struktur turbidit, di beberapa tempat ditemukan konglomerat dengan

susunan basal, andesit, diorit, serpih, tufa, terkersikkan, sekis, kuarsa, dan

bersemen batupasir. Di bawah miskroskop, batupasir dan batulanau terlihat

mengandung pecahan batuan beku, metasedimen dan rijang radiolaria.

Formasi ini tebalnya sekitar 2000 meter, tertindih tak selaras batuan

formasi Mallawa dan batuan Gunungapi Terpropilitkan, dan menindih tak selaras

Komplek tektonika Bantimala.

18
2. Formasi Mallawa

Formasi Mallawa merupakan batupasir, konglomerat, batulanau,

batulempung, dan napal, dengan sisipan lapisan atau lensa batubara dan

batulempung, batupasirnya sebagian besar batupasir kuarsa, ada pula yang arkosa,

grewake, dan tufaan, umumnya berwarna kelabu muda dan coklat muda, bersifat

rapuh, dan kurang padat. Batulempung dan batugamping umumnya mengandung

Mollusca. Dan batubara berupa lensa setebal beberapa sentimeter dan lapisan

sampai 1,5 meter. Tebal formasi ini tidak kurang dari 400 meter, tertindih selaras

oleh batugamping Temt, dan menindih tak selaras batuan sedimen Kb, dan batuan

gunungapi Tpv.

3. Formasi Tonasa

Formasi ini beranggotakan batugamping koral pejal sebagian terhablurkan,

berwarna putih dan kelabu muda, batugamping bioklastika dan kalkarenit,

berwarna putih, coklat muda dan kelabu muda, sebagian berlapis baik, berselingan

dengan napal globigerina tufaan, bagian bawahnya mengandung batugamping

berbitumen, setempat bersisipan breksi batugamping dan batugamping pasiran; di

dekat Malawa daerah Camba terdapat batugamping yang mengandung glaukonit

dan di beberapa tempat di daerah Ralla ditemukan batugamping yang

mengandung banyak sisipan sekis dan batuan ultramafik, batugamping berlapis

sebagian mengandung banyak foraminifera kecil dan beberapa lapisan napal

pasiran mengandung banyak kerang (Pelecypoda) dan siput (Gastropoda).

19
4. Formasi Camba.

Formasi Camba merupakan batuan sedimen laut berselingan dengan

batuan gunungapi, batupasir tufaan berselingan dengan tufa, batupasir, batulanau,

dan batulempung, bersisipan dengan napal, batugamping, konglomerat dan breksi

gunungapi. Dan setempat batubara. Pada formasi ini ditemukan fosil-fosil

foraminifera, ganggang dan koral. Kemungkinan sebagian dari formasi Camba

diendapkan dekat daerah pantai. Satuan ini tebalnya sekitar 5000 meter, menindih

tak selaras batugamping dari formasi Tonasa dan batuan dari formasi Mallawa,

mendatar berangsur berubah menjadi bagian bawah daripada formasi Walanae,

diterobos oleh retas, sil dan stok bersusunan Basal piroksin, Andesit dan Diorit.

2.1.3 Struktur Regional

Lengan selatan pulau Sulawesi secara struktural dibagi atas dua bagian

yaitu lengan selatan bagian utara dan lengan selatan bagian selatan yang sangat

berbeda struktur geologinya.

Lengan selatan bagian utara berhubungan dengan orogen, sedangkan

lengan Selatan bagian Selatan memperlihatkan hubungan kearah jalur orogen

yang merupakan sistem pegunungan Sunda.

Perkembangan struktur lengan selatan bagian utara pulau Sulawesi di

mulai pada zaman Kapur, yaitu terjadinya perlipatan geosinklin disertai dengan

kegiatan vulkanik bawah laut dan intrusi Gabro. Bukti adanya intrusi ini terlihat

pada singkapan disepanjang pantai Utara–Selatan Teluk Bone.

20
Batuan yang masih dapat diketahui kedudukan struktur stratigrafinya dan

tektoniknya adalah sedimen flisch formasi Balangbaru dan formasi Marada, di

bagian bawah tidak selaras oleh batuan yang lebih muda. Batuan yang lebih tua

merupakan massa yang terimbrikasi melalui sejumlah sesar sungkup,

terbreksikan, tergerus dan sebagian tercampur aduk dengan Mélange. Berdasarkan

himpunan batuannya diduga formasi Balangbaru dan formasi Marada merupakan

endapan lereng di dalam sistem busur palung zaman Kapur Atas dan gejala ini

menunjukkan bahwa Mélange di daerah Bantimala terjadi sebelum Kapur Atas.

Pada daerah bagian timur terjadi vulkanisme yang dimulai sejak Miosen

Atas dimana hal ini ditunjukkan pada daerah Kalamiseng dan Soppeng. Akhir

kegiatan vulkanisme ini diikuti oleh tektonik yang menyebabkan terjadinya

permulaan terban Walanae yang kemudian menjadi cekungan tempat

pembentukan formasi Walanae. Peristiwa ini kemungkinan besar berlangsung

sejak awal Miosen Tengah dan mengalami penurunan perlahan-lahan selama

terjadi proses sedimentasi sampai kala Pliosen, proses penurunan terban Walanae

dibatasi oleh dua sistem sesar normal, yaitu sesar Walanae yang seluruhnya

nampak hingga sekarang di timur dan sesar Soppeng yang hanya tersingkap tidak

menerus di sebelah Barat.

Sejak Miosen Tengah terjadi sesar utama yang berarah utara – baratlaut

dan tumbuh setelah Pliosen. Perlipatan besar yang berarah hampir sejajar dengan

sesar utama diperkirakan terbentuk sehubungan adanya tekanan mendatar yang

kira-kira berarah timur-barat sebelum akhir Pliosen. Tekanan ini mengakibatkan

pula adanya sesar lokal yang mengsesarkan batuan Pra Kapur Akhir di lembah

21
Walanae dan di bagian barat pegunungan barat, yang berarah baratlaut- tenggara

dan merencong, kemungkinan besar terjadi oleh gerakan mendatar ke kanan

sepanjang sesar besar.

2.2 Proses Pemfosilan

2.2.1 Pengertian Fosil dan Fosilisasi

a. Pengertian Fosil

Fosil (bahasa Latin: fossa yang berarti "menggali keluar dari dalam

tanah") adalah sisa-sisa atau bekas-bekas makhluk hidup yang menjadi batu atau

mineral. Untuk menjadi fosil, sisa-sisa hewan atau tanaman ini harus segera

tertutup sedimen. Oleh para pakar dibedakan beberapa macam fosil. Ada fosil

batu biasa, fosil yang terbentuk dalam batu ambar, fosil ter, seperti yang terbentuk

di sumur ter La Brea di Kalifornia.

Hewan atau tumbuhan yang dikira sudah punah tetapi ternyata masih ada

disebut fosil hidup. Fosil yang paling umum adalah kerangka yang tersisa seperti

cangkang, gigi dan tulang. Fosil jaringan lunak sangat jarang ditemukan.Ilmu

yang mempelajari fosil adalah paleontologi, yang juga merupakan cabang ilmu

yang direngkuh arkeologi.

b. Pengertian Fosilisasi

Fosilisasi merupakan proses penimbunan sisa-sisa hewan atau tumbuhan

yang terakumulasi dalam sedimen atau endapan-endapan baik yang mengalami

22
pengawetan secara menyeluruh, sebagian ataupun jejaknya saja. Terdapat

beberapa syarat terjadinya pemfosilan yaitu antara lain:

1. Organisme mempunyai bagian tubuh yang keras

2. Mengalami pengawetan

3. Terbebas dari bakteri pembusuk

4. Terjadi secara alamiah

5. Mengandung kadar oksigen dalam jumlah yang sedikit

6. Umurnya lebih dari 10.000 tahun yang lalu.

2.2.2 Proses Pemfosilan

Proses pemfosilan dimulai dari proses awal ketika organisme mati dan

kemudian tertimbun oleh material sedimen. Tertimbunnya organisme ini

menyisakan bagian tubuh yang keras saja, karena bagian yang lunak telah hancur

bercampur dengan unsur hara lainnya. Tertimbunnya organisme ini juga

menyebabka terhindar nya oganisme dari proses kimia baik oksidasi dan reduksi

sehingga tetap terjaga. Kemudian, fosil akan dibawa oleh tiga media geologi

yaitu air, angin, dan es. Pada saat fosil dibawa oleh air terjadilah proses leaching

(pencucian). Setelah itu, fosil akan tertransportasikan ke cekungan yang lebih

stabil dan kemudian akan tertimbunlagi dan kembali mengalami pencucian seperti

sebelumnya. Lalu terjadilah kompaksi dan tersedimentasi oleh material semen

yaitu karbonat. Kemudian terjadilah proses pembatuan fosil atau litifikasi lalu

akibat dari tenaga endogen yang berupa tektonik lempeng terangkat keatas

bersama fosil tersebut. Sehingga laut dangkal akan menjadi daratan. Setelah

23
terangkat, fosil akan terlihat akibat adanya proses eksogen seperti pelapukan dan

erosi atau akan di temukan dan dikenal sebagai fosil.

Ada tiga tahap utama dalam pembentukan fosil, yaitu kematian, peristiwa

pre-burial (pra-terkubur) dan peristiwa post-burial (pasca-terkubur). Jadi untuk

menjadi fosil sebuah organisma harus mengalami kematian terlebih dahulu.

Gambar 2.1 Proses pemfosilan

Kematian bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti usia tua, sakit,

dimangsa predator, infeksi parasit, dan terluka (baik karena terjatuh maupun

berkelahi). Fosil dinosaurus banyak mengindikasikan bahwa binatang ini rentan

terhadap pernyakit radang sendi, sedangkan parasit biasanya menyerang binatang

invertebrata dan krinoid. Hal lain yang dapat menyebabkan kematian adalah yang

berkaitan dengan kondisi fisikal, kimiawi dan biologikal lingkungan (seperti

perubahan iklim).

Proses yang dialami organisma setelah kematian adalah pembusukan

karena bakteri pembusuk, dan yang lebih dahulu mengalami pembusukan adalah

jaringan lunak (daging, otot). Jaringan keras seperti tulang dan gigi adalah bagian

tubuh yang awet sehingga bagian inilah yang biasanya terfosilkan. Selain karena

24
pembusukan kerusakan jaringan lunak terjadi karena dcabik dan dimakan binatang

pemakan bangkai.

Organisma yang terkubur cepat (rapid burial) biasanya akan terfosilkan di

tempat dia mati dan dalam posisi awal ketika dia mati. Fosil ini disebut fosil

autochtonous. Fosil yang mengalami rapid burial biasanya terawetkan dengan

baik karena tidak mengalami gangguan pasca-mati dan struktur anatominya utuh.

Sedangkan organisma yang tidak langsung terkubur, biasanya akan mengalami

proses-proses alamiah seperti hanyut terbawa arus air, busuk karena angin dan

udara, atau dicabik binatang pemakan bangkai sehingga posisinya sudah

berpindah dari tempat dia mati, dan susunan tubuhnya sudah tidak anatomis lagi.

Fosil seperti ini disebut fosil allochtonous. Maksud tidak anatomis adalah

organisma tersebut sudah tercerai-berai tulang-belulangnya sehingga bentuk

anatominya tidak seperti bentuk ketika organisma tersebut masih hidup.

Rapid burial biasanya terjadi di lingkungan air atau dekat dengan air, dan

organisma yang mengalami fosilisasi seperti ini biasanya adalah binatang air.

Untuk binatang yang hidup di daratan, fosilisasi melalui rapid burial sangat

jarang terjadi. Biasanya hal tersebut terjadi bila ada gunung meletus sehingga

banyak binatang mati seketika di suatu tempat dalam jumlah massal dan langsung

terkubur dalam timbunan sedimen material muntahan gunung api.

2.2.3 Jenis-Jenis Pemfosilan

Jenis pemfosilan ada beberapa macam antara lain:

25
1. Penggantian (replacement), penggantian mineral pada bagian yang keras dari

organisme seperti cangkang. Misalnya cangkang suatu organisme yang

semula terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3) digantikan oleh silica.

2. Petrifaction, bagian lunak dari batang tumbuhan diganti oleh presipitasi

mineral yang terlarut dalam air sedimen.

3. Karbonisasi, daun atau material tumbuhan yang jatuh ke dalam lumpur rawa,

terhindar dari oksidasi. Dan pada saat diagenesa, material itu diubah menjadi

cetakan karbon dengan tidak mengubah bentuk asalnya.

4. Pencetakan, pada saat diagenesa, sisa binatang atau tumbuhan terlarut,

sehingga terjadilah rongga, seperti cetakan (mold) yang bentuk dan besarnya

sesuai atau sama dengan benda salinya. Apabila rongga ini terisi oleh mineral

maka terbentuklah hasil cetakan (cast) binatang atau tumbuhan tersebut.

5. Mold dan cast, lubang atau lekukan yang bentuk- nya mirip dengan

organisme aslinya dan ini disebut sebagai mold. Apabila mold kemudian

terisi sedimen, maka akan terbentuk apa yang disebut cast

Terdapat beberapa syarat terjadinya pemfosilan yaitu antara lain:

1. Organisme mempunyai bagian tubuh yang keras

2. Mengalami pengawetan

3. Terbebas dari bakteri pembusuk

4. Terjadi secara alamiah

5. Mengandung kadar oksigen dalam jumlah yang sedikit

6. Umurnya lebih dari 10.000 tahun yang lalu.

26
2.2.4 Jenis-Jenis Fosil

Berdasarkan cara pengawetannya, fosil dapat dibedakan menjadi beberapa

jenis fossi yaitu :

1. Fosil tidak berubah yaitu semua bagian fosil terawetkan dan tidak berubah

baik bagian-bagian yang lunak maupun bagian-bagian yang keras dari fosil

trsebut. Contoh: fosil serangga yang trawetkan di dalam getah damar, dan

fosil mammoth yang terawetkan di dalam es di Siberia.

2. Fosil yang mengalami perubahan dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :

a. Permineralisasi yaitu fosil yang terawetkan karena masuknya mineral

sekunder yang mengisi pori-pori atau ruang antar sel pada bagian fosil

yang keras. Contoh: Sebagian tulang-tulang vertebrata dan cangkang-

cangkang invertebrata terawetkan dalam bentuk permineralisasi.

b. Replacement (Penggantian) yaitu folsil yang terawetkan karena mineral

sekunder yang mengganti semua material fosil asli, sehingga bentuknya

hampir sempurna seperti jiplakan asli.

c. Rekristalisasi yaitu fosil yang terawetkan karena adanya perubahan di

sebagian atau seluruh material fosil akibat tekanan dan suhu yang sangat

tinggi, sehingga molekul-molekul dari tubuh fosil (non-kristalin) akan

mengikat agregat tubuh fosil itu sendiri menjadi kristalin

3. Fosil yang berupa fragmen yaitu fosil yang berupa fragmen dalam batuan

sedimen yang dapat berubah ataupun tidak dapat berubah.

27
4. Fosil yang berupa jejak atau bekas fosil tidak hanya dianggap sebagai sisa

oganisme tetapi juga termasuk dengan adanya jejak organisme sebagai bukti

adanya kehidupan. Dalam hal ini, jejak dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :

a. Mold, Cast, dan Imprit. Mold adalah bekas organisme yang berupa

cetakan dari fosil, kalau yang tercetak adalah bagian luar disebut Eksternal

Mold sedangkan kalau yang tercetak adalah bagian dalam disebut Internal

Mold. Cast adalah Mold yang terisi mineral sekunder membentuk jiplakan

fosil aslinya secara kasar, bagian luar disebut Eksternal Cast sedangkan

bagian dalam disebut Internal Cast. Imprint adalah jejak dimana suatu

organisme terjebak di dalam sedimen halus tapi kemudian organisme

tersebut dapat meloloskan diri.

b. Track, Trail dan Burrow. Track merupakan jejak perpindahan organisme

di atas permukaan sedimen-sedimen lunak yang berupa tapak (kenanpakan

kasar). Trail merupakan jejak perpindahan organisme di atas permukaan

sedimen-sedimen lunak yang berupa seretan (kenampakan halus). Burrow

adalah jejak yang berupa sisa penggalian lubang suatu organisme.

c. Coprolite adalah jejak berupa berupa kotoran hewan yang telah

terfosilkan. Kotoran ini dapat digunakan untuk mengetahui tempat

hidupnya, makanannya, dan ukuran relatifnya.

d. Fosil Kimia Fosil kimia merupakan jejak asam organik yang tersimpan

didalam batuan prakambium. Zat asam organik ini berasal dari organisme

yang terserap oleh batuan tersebut sehingga dapat ditemukan sebuah bukti

kehidupan.

28
2.2.5 Keterdapatan Fosil Pada Batuan

Batuan Beku, pada batuan beku tidak akan dijumpai fosil karena

batuan beku terbentuk dari hasil pembekuan magma, sehingga tidak

mungkin terdapat fosil.

Batuan Sedimen, batuan sedimen sangat baik untuk pengendapan

organisme, sehingga akan banyak terkandung fosil di dalam batuan

sedimen.

Batuan Metamorf, pada batuan metamorf, masih mungkin

dijumpai, namun sedikit sekali dan umumnya fosil telah hancur bahkan

telah hilang oleh proses metamorfisme.

2.3 Karakteristik Invertebrata Daerah Padang Lampe

2.3.1. Filum Porifera

A. Pengertian Porifera

Porifera dalam bahasa latin, porus artinya pori, sedangkan fer artinya

membawa. Porifera adalah hewan multiseluler atau metazoa yang paling

sederhana. Karena hewan ini memiliki ciri yaitu tubuhnya berpori seperti busa

atau spons sehingga porifera disebut juga sebagai hewan spons.

B. Ciri-Ciri Porifera

Dalam membedakan spesies dari filum porifera, maka perlunya anda

mengetahui ciri-ciri porifera secara umum. Ciri-ciri porifera adalah sebagai

berikut...

Hewan yang bersel banyak (metazoa) yang paling sederhana atau primitive.

29
1. Sebagian besar hidup di laut dangkal dengan kedalaman sekitar 3,5 meter.

2. Bentuk tubuh porifera menyerupai vas bunga/piala dan melekat pada dasar

perairan.

3. Tubuhnya terdiri dua lapisan sel (diploblastik) dengan lapisan luarnya

(epidermis) yang tersusun atas sel-sel yang memiliki bentuk pipih, disebut

dengan pinakosit.

4. Pada epidermis yang terdapat porus/lubang kecil yang disebut dengan ostia

yang dihubungkan oleh saluran ke rongga tubuh (spongocoel)

5. Lapisan dalamnya tersusun dari sel-sel yang berleher dan berflagel yang

disebut dengan koanosit yang berfungsi untuk mencernakan makanan

6. Di dalam mesoglea terdapat juga beberapa jenis sel, yaitu sel amubosit, sel

skleroblas, sel arkheosit.

7. Di antara epidermis dan koanosit memiliki lapisan tengah yang berupa bahan

kental yang disebut dengan mesoglea atau mesenkin

8. Sel amubosit atau amuboid yang berfungsi untuk mengambil makanan yang

telah dicerna di dalam koanosit. Sel skleroblasnya berfungsi dengan

membentuk duri (spikula) atau spongin. Spikula terbuat dari kalsium karbonat

atau silikat.

9. Spongin tersusun dari serabut-serabut spongin yang lunakm berongga dengan

membentuk seperti spon.

10. Sel arkheosit berfungsi sebagai sel reproduktif, misalnya pembentuk tunas,

pembentukan gamet, pembentukan bagian-bagian yang rusak dan regenerasi.

30
C. Reproduksi

Porifera melakukan reproduksi secara aseksual maupun seksual.

Reproduksi secara aseksual terjadi dengan pembentukan tunas dan gemmule.

Gemmule disebut juga tunas internal. Gemmule dihasilkan menjelang musim

dingin di dalam tubuh Porifera yang hidup di air tawar. Secara seksual dengan

cara peleburan sel sperma dengan sel ovum, pembuahan ini terjadi di luar tubuh

porifera.

D. Klasifikasi

Berdasarkan atas kerangka tubuh atau spikulanya, Porifera dibagi menjadi

tiga kelas, yaitu :

1. Kelas Calcarea

Kerangka tubuh pada kelas Calcarea berupa spikula yang mirip dengan

duri-duri kecil dari kalsium karbonat. Misalnya Scypha, Leucosolenia, dan

Grantia

Ciri-Ciri Calcarea:

a. Rangka tersusun atau kalsium karbonat

b. Tubuhnya berwarna pucat dengan bentuk vas bunga atau silinder

c. Tingginya kurang dari 10 cm

d. Hidup di laut

31
2. Kelas Hexatinellida

Kerangka tubuh kelas Hexatinellida berupa spikula bersilikat atau kersik

(SiO2). Umumnya berbentuk silinder atau corong. Misalnya Euplectella

aspergillum.

Ciri-Ciri Hexatinellida:

a. Spikula berjumlah enam

b. Tubuhnya berwarna merah pucat dan bentuknya seperti vas

c. Hidup di laut pada kedalaman 200-1000 meter

3. Kelas Demospongia

Kelas tubuh kelas Demospongia terbuat spongin saja, atau campuran dari

spongin dan zat kersik. Misalnya Euspongia sp. dan Spongilla sp.

Ciri-Ciri Demospongia:

a. Tersusun dari sponging

b. Tubuhnya berwarna merah cerah karena mengandung pigmen yang terdapat

pada amoebosit

c. Tinggi dan diameternya menjadi lebih dari 2 meter

d. Bentuk tubuhnya tidak beraturan dan bercabang

e. Hidup dilaut dan di air tawar

2.3.2. Filum Coelenterata

A. Pengertian Coelenterata

Coelenterata (dalam bahasa yunani, coelenteron=rongga) adalah

invertebrata yang memiliki rongga tubuh. Rongga tubuh tersebut berfungsi

sebagai alat pencernaan (gastrovaskuler). Coeleanterata disebut juga Cnidaria

32
(dalam bahasa yunani, cnido=penyengat) karena sesuai dengan cirinya yang

memiliki sel penyengat. Sel penyengat terletak pada tentakel yang terdapat

disekitar mulutnya. Coelenterata memiliki struktur tubuh yang lebih kompleks.

Sel-sel Coelenterata sudah terorganisasi membentuk jaringan dan fungsi

dikoordinasi oleh saraf sederhana.

B. Ciri-ciri

Adapun ciri-ciri dari coelenterate yaitu:

1. Terdapat sekitar 10.000 spesies Coelenterata yang sebagian besar hidup di

laut.

2. Sebagian hidup secara soliter, sedangkan sebagian lain hidup berkoloni.

3. Memiliki simetri radial.

4. Memiliki rongga gastrovaskuler yang berfungsi untuk mencerna makanan.

5. Tubuhnya hanya memiliki satu lubang bukaan yanh berfungsi sebagai mulut

sekaligus anus.

6. Merupakan hewan diploblastik.

7. Mempunyai tentakel yang berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam

mulut.

8. Tentakel dilengkapi dengan sel penyengat yang disebut dengan knidosit

(cnidoblast).

9. Memiliki dua bentuk tubuh, yaitu polip dan medusa.

C. Struktur Tubuh

Coelenterata merupakan diploblastik, hewan ini mempunyai dua lapis sel yaitu

ektoderm yang merupakan lapisan sel luar dan endoderm yang merupakan lapisan dalam.

33
Coelenterata memiliki dua bentuk tubuh, yaitu polip dan medusa. Pada bentuk polip

(seperti tabung), coelenterata memiliki mulut di bagian dorsal yang dikelilingi oleh

tentakel. Sedangkan pada bentuk medusa yang berbentuk seperti cakram, mulut

coelenterata terletak di bagian bawah (oral) dan tubuhnya dikelilingi oleh tentakel.

D. Reproduksi

Coelenterata dapat bereproduksi baik dengan cara generatif (seksual) maupun

vegetatif (aseksual). Reproduksi secara generatif terjadi saat sel sperma jantan

membuahi sel telur (ovum) betina. Sedangkan perkembangbiakan secara aseksual

berlangsung dengan cara pembentukan tunas pada sisi tubuh coelenterata yang

akan tumbuh menjadi individu baru setelah lepas dari tubuh induknya.

Gambar 2.2 Tahap metagenesis pada Obelia sp.

Beberapa jenis coelenterata juga mengalami metagenesis (pergiliran

keturunan), yaitu perkembangbiakan seksual yang diikuti oleh perkembangbiakan

aseksual pada satu generasi. Pada coelenterata jenis ini, tubuh akan memiliki

bentuk polip pada satu fase hidupnya, kemudian berbentuk medusa pada tahap

selanjutnya.

34
E. Klasifikasi

Coelenterata terdiri dari tiga kelas utama, yaitu Hydrozoa, Scypozoa, dan

Anthozoa.

1. Hydrozoa

Beberapa jenis hidrozoa mengalami dua siklus hidup yaitu tahap polip

yang aseksual dan tahap medusa yang seksual. Contohnya adalah spesies Obelia

sp. Ada pula yang selama hidupnya hanya berbentuk polip saja, misalnya Hydra.

Sebagian besar hydra hidup di perairan secara soliter (sendiri-sendiri).

Pada ujung tubuh hydra terdapat mulut yang dilengkapi oleh tentakel yang

berfungsi untuk menangkap makanan. Tentakel-tentakel ini dilengkapi dengan sel

knidosit yang mengandung nematosista, yaitu racun berbentuk sengat untuk

memburu mangsa. Hydra dapat bereproduksi secara seksual maupun aseksual.

Perkembangbiakan seksual terjadi saat sel sperma jantan membuahi sel telur

betina. Sedangkan perkembangbiakan aseksual terjadi dengan tunas (kuncup)

yang tumbuh di sisi tubuh hydra yang nantinya akan tumbuh menjadi individu

baru.

35
Gambar 2.3 Anatomi tubuh Hydra

2. Scyphozoa

Contoh spesies yang termasuk dalam kelas ini adalah Aurelia aurita (ubur-

ubur). Hewan ini memiliki bentuk seperti mangkuk, kadang mempunyai tubuh

berwarna namun ada beberapa spesies yang tubuhnya transparan. Tubuh

Scyphozoa dilengkapi dengan tentakel yang mempunyai sel penyengat. Seluruh

spesies Scyphozoa hidup di perairan, baik tawar maupun laut.

3. Anthozoa

Memiliki ciri-ciri khusus yaitu tubuh yang menyerupai bunga. Contoh

spesies yang termasuk dalam kelas ini adalah Metridium (anemon laut). Anthozoa

hidup sebagai polip, salah satu ujung tubuhnya mempunyai mulut yang dikelilingi

tentakel lengkap dengan penyengatnya, sedangkan ujung yang lain merupakan

bagian tubuh yang berfungsi untuk melekatkan diri pada dasar perairan.

36
2.3.3. Filum Mollusca

A. Pengertian Mollusca

Moluska berasal dari bahasa latin: molluscus yang artinya lunak. Moluska

adalah hewan triploblastik slomata yang bertubuh lunak. Mollusca hidup di laut,

air tawar, payau, dan darat. Beberapa Mollusca memiliki cangkang. Filum

Mollusca merupakan filum terbesar kedua setelah Artropoda.

Mollusca adalah kelompok hewan yang bersifat tripoblastik slomata dan

invertebrata yang bertubuh lunak dan multiseluler. Istilah Mollusca berasal dari

bahasa Yunani dari kata molluscus yang berarti lunak. Mollusca termasuk dalam

hewan yang lunak baik yang dengan cangkang ataupun tanpa cangkang. Seperti

dari berbagai jenis kerang-kerangan, siput, kiton, dan cumi-cumi serta

kerabatanya. Mollusca merupakan filum yang terbesar kedua dari kerajaan

binatang (Animalia) setelah filum Arthropoda. Pada saat ini, diperkirakan terdapat

75 ribu jenis, dengan ditambah 35 ribu jenis yang dalam bentuk posil. Molluska

hidup di air laut, air tawar, payau, dan darat. Habitat Mollusca dapat berada di

palung benua laut sampai pegunungan yang tinggi, dan bahkan dapat ditemukan

dengan mudah di sekitar rumah kita. Molluska dipelajari pada cabang zoologi

yang disebut dengan malakologi (malacology). Filum mollusca telah ribuan yang

telah menjadi fosil, mollusca memiliki spektrum penyebaran biogeografi yang

amat luas,mulai dari lingkungan akuatis (laut,payau,tawar) sampai dengan

lingkungan terrestris (darat) merupakan jenis Kingdom animalia yang paling

sintas sepanjang waktu geologi,sehingga banyak digunakan sebagai fosil indeks.

37
B. Struktur Tubuh Mollusca

Mollusca biasanya memiliki bentuk tubuh simetri bilateral ( bila ditarik

garis memotong yang membagi tubuhnya dari depan ke belakang akan didapatkan

dua sisi yang sama), tubuhnya relatif bulat dan pendek. Tubuh lunak dari mollusca

ini dilindungi oleh cangkang, namun beberapa adapula yang tidak bercangkang.

Tubuh Mollusca memiliki 3 struktur utama, yaitu :

1. Kaki, merupakan penjuluran bagian tubuh yang terdiri atas otot – otot. Kaki

ini berfungsi untuk bergerak, merayap, atau menggali. Pada beberapa jenis

mollusca kaki digantikan dengan tentakel yang berfungsi untuk menangkap

mangsa.

2. Massa Viseral, merupakan bagian tubuh yang lunak tempat terdapatnya

organ-organ tubuh. Massa ini diselubungi jaringan tebal yang disebut mantel.

3. Mantel merupakan bagian yang menyelubungi dan melindungi massa viseral.

Pada mantel terdapat rongga cairan yang merupakan tempat lubang insang,

anus dan cairan hasil eksresi. Mantel ini juga dapat mensekresikan komponen

yang akan membentuk cangkang.

C. Klasifikasi Mollusca

1. Kelas Pelecypoda

Berasal dari bahasa Yunani yaitu Pelekys yang berarti kapak kecil

dan Pous yang berarti kaki, Jadi Mollusca adalah binatang yang mempunyai kaki

yang mirip kapak kecil disebut juga Lamellibranchia yang berarti lempeng kecil.

Binatang dari Phylum ini memilki insang, test dari kulit kerang (bivalve)

38
dimana dua valve ini dihubungkan dengan sistem engsel yang terdiri dari gigi &

socket. Bagian dalam test ini dilapisi oleh membrant yang tipis dimana kearah

posteior kulit mantel dapat membentuk saluran-saluran

Pada umumnya, Pelecypoda yang hidup di lumpur mempunyai siphon yang

lebih besar dibandingkan yang hidup di laut. Klasifikasi Pelecypoda didasarkan

pada bagian tubuh tertentu, yaitu insang, susunan gigi dan otot penutup

kelopaknya. Bentuk gigi yang sederhana telah dijumpai pada zaman Ordovisium

& terjadi evolusi. Kerang, tiram, simping termasuk dalam kelas ini. Hewan ini

mempunyai dua buah cangkang yang melindungi tubuh (cangkang setangkup).

Pelecypoda simetri billateral, tapi tidak dapat bergerak dengan cepat. Hewan ini

bergerak dengan menjulur kan kaki otot yang besar melelui celah antara dua

cangkang. Semua anggota kelas ini memperoleh makanan dengan menyaring

makanan dari air yang masuk kedalam rongga mantel. Adapun pembagian ordo

dalam kelas ini adalah sebagai berikut :

1. Ordo Taksodonta yaitu yang mempunyai kisaran umur Ordovisium-Resen,

mempunyai gigi yang hampir sama besar dan berjumlah 35 buah

2. Ordo Anisomyariazyaitu yang mempunyai kisaran umur Ordovisium-Resen.

Mempunyai dua muscle scar, dimana muscle scar bagian belakang (posterior)

lebih besar dari anterior, serta mempunyai gigi dan socket dua buah

3. Ordo Eulamellibranchiata yaitu yang mempunyai anterior muscle scar yang

lebih kecil dari posterior muscle scar, tetapi umumnya sama besar dimana

gigi dan susunan giginya tidak sama besar.

39
Gambar 2.4 Fosil Pelecypoda

2. Kelas Gastropoda

Gastropoda berasal dari kata Gaster yang berarti perut dan podos yang

berarti kaki. Jadi Gastropoda adalah hewan yang bertubuh lunak, berjalan dengan

perut yang dalam hal ini disebut kaki. Gastropoda adalah hewan hemafrodit, tetapi

tidak mampu melakukan autofertilisasi. Beberapa contoh Gastropoda adalah

bekicot (Achatina fulica), siput air tawar (Lemnaea javanica), siput laut

(Fissurella sp), dan siput perantara fasciolosis (Lemnaea trunculata).

Gambar 2.5 Fosil Gastropoda

Gastropoda merupakan kelas yang terbesar dari moluska. Siput dan siput tak

bercanggkang termasuk dalam kelas ini. Siput bercanggkang tunggal dan spiral.

40
Siput dewasa tidak menunjukan simetri bilateral tetapi larvanya simetri bilateral.

Gastropoda mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Hidup di air laut & air payau

b. Rumahnya terdiri dari satu test yang terputar (terpilin) memanjang melalui satu

sumbu

c. Tubuhnya terdiri dari kepala, kaki dan alat pencernaan

d. Kepala dilengkapi dengan alat pengunyah yang disebut rongga mantel

(berfungsi sebagai insang pada air laut & berfungsi sebagai paru-paru pada

lingkungan darat

e. Test terdiri dari zat gampingan dan terputar secara spiral melalui satu garis

lurus (putaran involut & evolut)

f. Arah putaran test gastropoda terdiri dari Dextral (searah jarum jam) & Sinistral

(berlawanan putaran jarum jam).

Gastropoda mempunyai lidah yang panjang dan sempit yang ditutupi deretan

gigi kecil. Lidahnya disebut radula. Hewan ini mempunyai kepala dan dua pasang

tentakel. Pada ujung tentakel terdapat mata. Sebagian besar spesies gastropoda

hidup di laut tetapi beberapa hidup di air tawar bahkan ada yang hidup di darat.

Yang hidup di darat bernafas dengan paru-paru. Siput tak bercangkang dapat

ditemukan di laut dan di darat. Warna siput darat sederhana namun siput tak

bercangkang yang hidup di laut kebanyakan berwarna menyolok dan indah.

Beberapa jenis gastropoda dapat dimakan. Kebanyakan siput laut memakan

pelecypoda. Bekecot termasuk gastropoda yang merugikan pertanian. Berberapa

siput merupakan inang perantara bagi cacing.

41
Klasifikas Gastropoda :

1. Subclass Protogastropoda ;

a. Ordo Cynostraca

b. Ordo Cochliostracea

2. Subclass Prosobranchia ;

a. Ordo Archaeogastropoda

b. Ordo Mesogastropoda

c. Ordo Neogastropoda

3. Subclass Opisthobranchia ;

a. Ordo Pleurocoela

b. Ordo Pteropoda

4. Subclass Pulmonata ;

a. Ordo Basommatopora

b. Ordo Stylommatophora

Kepentingan Gastropoda Dalam Geologi Khususnya Stratigrafi

Gastropoda berkembang cukup baik di daerah tropis. Beberapa spesies akan

mencirikan lapisan tertentu.Gastropoda penting untuk digunakan sebagai fosil

indeks dalam kajian biostratigrafi.Gastropoda berkembang cukup baik di daerah

tropis.Beberapa spesies mencirikan lapisantertentu.didasarkan atas fosil indeks

gastropoda.

42
3. Kelas Cepalophoda

Cephalopoda, berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari katacephale

yang berarti kepala dan podos yang berarti kaki. Jadi Cephalopoda adalah

Mollusca yang berkaki di kepala. Contoh dari Klas ini yaitu Cumi-cumi dan

sotong yang memiliki 10 tentakel yang terdiri dari 2 tentakel panjang dan 8

tentakel lebih pendek, yang termasuk kelas ini misalnya gurita, cumi-cumi, dan

nautilus. Hewan ini mempunyai kepala yang besar dan bermata sangat tajam. Pada

kepala terdapat tangan-tangan (delapan pada gurita dan sepuluh pada cumi-cumi)

yang berguna untuk pergerakan dan mencari mangsa. Mata cephalophoda dapat

melihat dan berfungsi seperti vertebrata. Hanya Nautilus lah yang bercangkang.

Cangkang cumi-cumi kecil berupa lempengan yang melekat pada mantel

sedangkan gurita tidak bercangkang.

Gambar 2.6 Fosil Cephalopoda

4. Kelas Scaphopoda

Scaphopoda merupakan kelas terkecil dari moluska. Hewan ini mempunyai

kebiasaan membenamkan diri di pasir pantai. Dentalium vulgare adalah salah satu

contoh kelas Scaphopoda. Jika Anda berjalan-jalan di pantai, hati-hati dengan

43
cangkang jenis Scaphopoda ini. Karena biasanya hewan ini tumbuh di batu atau

benda laut lainnya yang berbaris menyerupai taring. Dentalium vulgare hidup di

laut dalam pasir atau lumpur. Hewan ini juga memiliki cangkok yang berbentuk

silinder yang kedua ujungnya terbuka. Panjang tubuhnya sekitar 2,5 sampai

dengan 5 cm. Dekat mulut terdapat tentakel kontraktif bersilia, yaitu alat peraba.

Fungsinya untuk menangkap mikroflora dan mikrofauna. Sirkulasi air untuk

pernafasan digerakkan oleh gerakan kaki dan silia, sementara itu pertukaran gas

terjadi di mantel.

5. Kelas Amphineura

Hewan Mollusca kelas Amphineura ini hidup di laut dekat pantai atau di

pantai. Tubuhnya bilateral simetri, dengan kaki di bagian perut (ventral)

memanjang. Ruang mantel dengan permukaan dorsal, tertutup oleh 8 papan

berkapur, sedangkan permukaan lateral mengandung banyak insang Hewan ini

bersifat hermafrodit (berkelamin dua), fertilisasi eksternal (pertemuan sel teur dan

sperma terjadi di luar tubuh). Contohnya Cryptochiton sp atau kiton. Hewan ini

juga mempunyai fase larva trokoper.

Neopilina disebut fosil hidup karena sebelum ditemukan pada tahun 1957

hewan ini dianggap sudah punah sejak jutaan tahun yang lalu. Moluska ini sangat

menarik perhatian karena di samping memiliki sifat-sifat moluska bagian

dalamnya beruas-ruas. Karena susunan yang beruas-ruas seperti Annelida

dianggap bahwa annelida-annelida dan moluska mempunyai kerabat yang dekat.

44
Gambar 2.7 Amphineura

D. Kegunaan Fosil Mollusca

Fosil dalam filum Mollusca berperan penting dalam bidang Geologi, salah

satu fosil yang sering digunakan dalam penelitian adalah fosil dari kelas

Gasteopoda.Kelas Gastropoda dapat dijadikan sebagai fosil indeks dikarenakan

lebih dari 14.000 spesiesnya telah punah dan sebagian terawetkan menjadi fosil.

Fosil berguna sebagai indikator umur geologi suatu batuan. Walaupun lebih sering

digunakan fosil mikro untuk penentuan korelasi biostratigrafi, namun

keterdapatan fosil makro juga berperan dalam penentuan umur geologi sedimen.

Untuk dapat digunakan sebagai acuan korelasi biostratigrafi, fosil yang digunakan

harus tersebar luas secara geografis, sehingga dapat berada pada bebagai horizon

berbeda. Mereka juga harus berumur pendek sebagai spesies, sehingga periode

waktu dimana mereka dapat tergabung dalam sedimen relatif sempit, semakin

lama waktu hidup spesies, semakin tidak akurat korelasinya, sehingga fosil dapat

berevolusi dengan cepat. banyak spesies kelas gastropoda yang berumur pendek

dan telah punah sehingga terkualifikasi untuk dijadikan sebagai acuan

45
biostratigrafi. Organisme ini biasanya terawetkan dengan cara fragmen, yaitu

organisme kelas gastropoda yang mati kemudian bagian lunaknya terurai

sehingga hanya akan menyisakan fragmen bagian keras organisme berupa

cangkang, organisme ini juga dapat mengalami pengawetan dengan cara

moldapabila bagian cangkangnya tercetak pada suatu lapisan sedimen atuapun

cast jika cetakan tersebut terisi oleh material lain.

Fosil gastropoda juga dapat digunakan sebagai penentu lingkungan

pengendapan suatu sedimen. Lingkungan pengendapan adalah suatu daerah di

permukaan litosfer, baik diatas maupun dibawah permukaan laut, yang dicirikan

oleh serangkain ciri kimia, fisika dan biologi yang khusus. Penentuan lingkungan

pengendapan sedimen didasarkan dari kebiasaan hidup organisme kelas

gastropoda yang dapat berdomisili di laut dalam, laut dangkal, darat, maupun

perairan tawar.

Apabila dijumpai fosil gastropoda dengan kelimpahan tinggi maka dapat di

interpretasiakn lingkungan pengendapan sedimen tersebut adalah zona laut

dangkal yang hangat, terang, terkena cahaya matahari serta energy arus yang tidak

terlalu kuat. Organisme gastropoda yang memiliki cangkang dengan ukuran

relatif besar, dinding cangkang tebal serta hiasan cangkang yang kompleks

biasanya hidup pada lingkungan laut dangkal sehingga apabila ditemukan sedimen

dengan kandungan fosil gastropoda yang memiliki ciri-ciri cangkang tersebut

maka dapat diindikasikan lingkungan pengendapannya termasuk zona laut

dangkal yang jenuh akan senyawa karbonat.

46
BAB III
IDENTIFIKASI KANDUNGAN FOSIL DAERAH PADANGLAMPE

3.1 Stasiun 1A-1B

Pada stasiun 1A-1B dijumpai singkapan batuan sedimen dengan warna

lapuk nya kuning kecoklatan dan warna segar abu-abu. Memiliki tekstur klastik

dan struktur nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3 . Berdasarkan ciri-ciri

tersebut maka jenis batuan yaitu batupasir.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Tryplasma loveni.

Filum Spesies

Coelenterata

Porpites porpita

Coelenterata

Tryplasma loveni

Tabel 3.1 Fosil Stasiun 1A-1B

47
3.2 Stasiun 1B-1C

Pada stasiun 1B-1C dijumpai singkapan batuan sedimen dengan warna lapuk

nya kuning kecoklatan dan warna segar abu-abu. Memiliki tekstur klastik dan

struktur nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3 . Berdasarkan ciri-ciri

tersebut maka jenis batuan yaitu batupasir.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Tryplasma loveni.

Filum Spesies

Coelenterata

Porpites porpita

Coelenterata

Tryplasma loveni
Tabel 3.2 Fosil Stasiun 1B-1C

48
3.3 Stasiun 1C-1D

Pada stasiun 1C-1D dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan struktur

nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka

batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Tryplasma loveni.

Filum Spesies

Coelenterata

Porpites porpita

Coelenterata

Tryplasma loveni
Tabel 3.3 Fosil Stasiun 1C-1D

49
3.4 Stasiun 1D-1E/2A

Pada stasiun 1D-1E/2A dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya

abu-abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan

struktur nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas

maka batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites

porpita, Tryplasma loveni, dan Tympanotonos funatus.

Filum Spesies

Coelenterata

Porpites porpita

Coelenterata

Tryplasma loveni

Coelenterata

Tympanotonos funatus
Tabel 3.4 Fosil Stasiun 1D-1E/2A

50
3.5 Stasiun 2A-2B

Pada stasiun 2A-2B dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan struktur

nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka

batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Borealis borealis.

Filum Spesies

Coelenterata

Porpites porpita

Molusca

Borealis borealis
Tabel 3.5 Fosil Stasiun 2A-2B

51
3.6 Stasiun 2B-2C

Pada stasiun 2B-2C dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan struktur

nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka

batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Tympanotonos funatus

Filum Spesies

Coelenterata

Porpites porpita

Coelenterata

Tympanotonos funatus
Tabel 3.6 Fosil Stasiun 2B-2C

52
3.7 Stasiun 2C-2D

Pada stasiun 2C-2D dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan struktur

nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka

batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Tympanotonos funatus.

Filum Spesies

Coelenterata

Porpites porpita

Coelenterata

Tympanotonos funatus
Tabel 3.7 Fosil Stasiun 2C-2D

53
3.8 Stasiun 2D-2E/3A

Pada stasiun 2D-2E/3A dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya

abu-abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan

struktur nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas

maka batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Tryplasma loveni.

Filum Spesies

Coelenterata

Porpites porpita

Coelenterata

Tryplasma loveni
Tabel 3.8 Fosil Stasiun 2D-2E/3A

54
3.9 Stasiun 3A-3B

Pada Stasiun 3A-3B dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan struktur

nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka

batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Cyathophyllum dinanthus.

Filum Spesies

Coelenterata

Porpites porpita

Coelenterata

Cyathophyllum dinanthus
Tabel 3.9 Fosil Stasiun 3A-3B

55
3.10 Stasiun 3B-3C

Pada stasiun 3B-3C dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan

komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka batuan tersebut yaitu

batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Cyathophyllum

dinanthus, Triplophyllum spinolosum, Dreissena spathulata.

Filum Spesies

Coelenterata

Cyathophyllum dinanthus

Coelenterata

Triplophyllum spinolosum

Molusca

Dreissena spathulata
Tabel 3.10 Fosil Stasiun 3B-3C

56
3.11 Stasiun 3C-3D

Pada stasiun 3C-3D dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan struktur

nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka

batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Triplophyllum spinolosum,dan Tympanotonos funatus.

Filum Spesies

Coelenterata

Porpites porpita

Coelenterata

Triplophyllum spinolosum

Coelenterata

Tympanotonos funatus
Tabel 3.11 Fosil Stasiun 3C-3D

57
3.12 Stasiun 3D-3E/4A

Pada stasiun 3D-3E/4A dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya

abu-abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan

komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka jenis batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Cyathophyllum dinanthus, Dreissena spathulata.

Filum Spesies

Coelenterata

Cyathophyllum dinanthus

Coelenterata

Porpites porpita

Molusca

Dreissena spathulata
Tabel 3.12 Fosil Stasiun 3D-3E/4A

58
3.13 Stasiun 4A-4B

Pada stasiun 4A-4B dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik komposisi

kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka jenis batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Rimella

fissurella, Cyathophyllum dinanthus, Dreissena spathulata.

Filum Spesies

Coelenterata

Cyathophyllum dinanthus

Molusca

Rimella fissurella

Molusca

Dreissena spathulata
Tabel 3.13 Fosil Stasiun 4A-4B

59
3.14 Stasiun 4B-4C

Pada stasiun 4B-4C dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan struktur

nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka

batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

dan Ostrea cucularis.

Filum Spesies

Molusca

Ostrea cucularis

Coelenterata

Porpites porpita
Tabel 3.14 Fosil Stasiun 4B-4C

60
3.15 Stasiun 4C-4D

Pada stasiun 4C-4D dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan struktur

nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka

batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Tympanotonos

funatus, Triplophyllum spinolosum, dan Furcirhynchia furcillata.

Filum Spesies

Coelenterata

Triplophyllum spinulosum

Coelenterata

Tympanotonos funatus

Brachiopoda

Furcirhynchia furcillata
Tabel 3.15 Fosil Stasiun 4C-4D

61
3.16 Stasiun 4D-4E/5A

Pada stasiun 4D-4E/5A dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya

abu-abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan

komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka jenis batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Tympanotonos

funatus, Dreissena spathulata, dan Zaphrentoides delanovei.

Filum Spesies

Coelenterata

Tympanotonos funatus

Coelenterata

Zaphrentoides delanovei

Molusca

Dreissena spathulata
Tabel 3.16 Fosil Stasiun 4D-4E/5A

62
3.17 Stasiun 5A-5B

Pada stasiun 5A-5B Dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya

cokelat dan warna segar hitam. Memiliki tekstur non klastik dan struktur nya

berlapis dengan komposisi kimia C.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Triplophyllum

spinulosum, Paludina diluviana dan Porpites porpita.

Filum Spesies

Coelenterata

Triplophyllum spinulosum

Coelenterata

Porpites porpita

Molusca

Paludina diluviana
Tabel 3.17 Fosil Stasiun 5A-5B

63
3.18 Stasiun 5B-5C

Pada stasiun 5B-5C dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan struktur

nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka

batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Turitella (mesalia) intermedia.

Filum Spesies

Molusca

Turittella (mesalia) intermedia

Coelenterata

Porpites porpita
Tabel 3.18 Fosil Stasiun 5B-5C

64
3.19 Stasiun 5C-5D

Pada stasiun 5C-5D dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan

komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka jenis batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Tympanotonos funatus, dan Triplophyllum spinotosum.

Filum Spesies

Coelenterata

Triplophyllum spinulosum

Coelenterata

Porpites porpita

Colenterata

Tympanotonos funatus
Tabel 3.19 Fosil Stasiun 5C-5D

65
3.20 Stasium 5D-5E/6A

Pada stasiun 5D-5E/6A dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya

abu-abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan

struktur nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas

maka batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Triplophyllum spinotosum.

Filum Spesies

Coelenterata

Triplophyllum spinulosum

Coelenterata

Porpites porpita
Tabel 3.20 Fosil Stasiun 5D-5E/6A

66
3.21 Stasiun 6A-6B

Pada stasiun 6A-6B dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan struktur

nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka

batuan tersebut yaitu batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Cyathophyllum dinanthus.

Filum Spesies

Coelenterata

Cyathophyllum dinanthus

Coelenterata

Porpites porpita
Tabel 3.21 Fosil Stasiun 6A-6B

67
3.22 Stasiun 6B-6C

Pada stasiun 6B-6C dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya abu-

abu kecoklatan dan warna segar kekuningan. Memiliki tekstur klastik dan

komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri diatas maka jenis batugamping.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Porpites porpita,

Tryplasma loveni dan Cyathophyllum dinanthus.

Filum Spesies

Coelenterata

Cyathophyllum dinanthus

Coelenterata

Porpites porpita

Coelenterata

Tryplasma loveni
Tabel 3.22 Fosil Stasiun 6B-6C

68
3.23 Stasiun 6C-6D

Pada stasiun 6C-6D dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk nya

orange kecoklatan dan warna segar abu-abu. Memiliki tekstur klastik dan struktur

nya berlapis dengan komposisi kimia CaCO3. Berdasarkan ciri-ciri di atas maka

jenis batuan tersebut yaitu serpih.

Pada stasiun ini dijumpai beberapa spesies fosil diantaranya Morchisonia

verneuili BARR dan Amauropsis bulbiformis SOW.

Filum Spesies

Molusca

Amauropsis bulbiformis SOW

Molusca

Morchisonia verneuili BARR


Tabel 3.23 Fosil Stasiun 6C-6D

69
Filum Spesies No. Stasiun
Coelenterata 1A-1B, 1B-1C,
1C-1D, 1D-1E,
2A-2B, 2B-2C,
2C-2D, 2D-2E,
3A-3B, 3C-3D,
3D-3E, 4B-4C,
5A-5B, 5B-5C,
Porpites porpita 5C-5D, 5D-5E,
6A-6B, 6B-6C.

1A-1B, 1B-1C,
1C-1D, 1D-1E,
2D-2E, 3A-3B,
6B-6C.

Tryplasma loveni

1D-1E, 2B-2C,
2C-2D, 3C-3D,
4C-4D, 4D-4E,
5C-5D.

Tympanotonos funatus

70
3A-3B, 3B-3C,
3D-3E, 4A-4B,
6A-6B, 6B-6C.

Cyathophyllum dinanthus

3B-3C, 3C-3D,
4C-4D, 5A-5B,
5C-5D, 5D-5E.

Triplophyllum spinolosum

4D-4E

Zaphrentoides delanouei

71
Molusca 2A-2B

Borealis borealis

3B-3C, 3D-3E,
4A-4B, 4D-4E

Dreissena spathulata

4A-4B

Rimella fisurella

72
4B-4C

Ostrea cucularis

5A-5B

Paludina diluviana

5B-5C

Turitella (mesalia) intermedia

73
6C-6D

Murchisonia verneuili BARR

6C-6D

Amauropsis bulbiformis SOW

Brachiopoda
4C-4D

Furcirhynchia furcillata

74
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari laporan fieldtrip ini yaitu:

1. Kandungan fosil yang terdapat di daerah penelitian yaitu fosil pada jenis

filum porifera, filum mollusca dan filum coelenterata.

2. Litologi yang terdapat pada daerah penelitian yaitu batugamping,

batupasir, dan batubara.

3. Umur daerah penelitian dari Eosen sampai Miosen berdasarkan formasi

tonasa

4. Lingkungan pengendapan daerah penelitian yaitu laut dangkal.

4.2 Saran

Adapun saran saya setelah melakukan fieldtrip paleontologi adalah agar

masyarakat dan pemerintah dapat memaksimalkan potensi alam yang terdapat

pada daerah penilitian, berupa lahan yang dapat digunakan oleh para mahasiswa

geologi seluruh Indonesia untuk melakukan penilitian tentang paleontologi

mengenai fosil dan juga litologi yang sangat beragam.

75
,DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2016.http://biologi.budisma.net/klasifikasi-mollusca-ciri-dan

reproduksi.html. Diakses pada Kamis, 19 April 2016 pukul 15.30 wita

Anonim. 2012. http://ceritageologist.blogspot.co.id/2012/03/filum-brachiopoda.

html. Diakses pada Kamis 19 april 2016 pada pukul 15.54 wita

Anonim. 2015. http://www.artikelsiana.com/2015/07/arthropoda-pengertian-ciri-

klasifikasi-reproduksi-peranan.html. diakses pada Kamis, 18 April 2016

pukul 17.23 WITA

Anonim. 2015. http://www.kelasipa.com/2015/09/penjelasan-klasifikasi-

arthropoda-dalam-berbagai-subfilum.html. diakses pada Jumat, 19 April

2016 pukul 20.35 WITA

Asisten Paleontologi. 2016. Penutun Praktikum. Makassar : Universitas

Hasanuddin.

Hayati , Aziza Mir'atil 2014.http://azizamiratilhayat.blogspot.co.id/2014/04/mata-

kuliah-zoologi-invertebarata-abkc.html. dikases pada Sabtu 20 April 2016

pada pukul 06.23 wita

Taufan. 2014. http://taufan-web.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-ciri-ciri-dan-

klasifikasi.html. diakses pada Sabtu, 2o April 2016 pukul 19.34 WITA

Warino, Joko. http://jokowarino.id/ciri-dan-klasifikasi-filum-arthropoda/. Diakses

pada Senin, 21 April 2016 pukul 14.00 WITA

76
77

Anda mungkin juga menyukai