IKTERUS OBSTRUKTIF
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau Lupus Eritematous Sistemik (LES)
adalah suatu penyakit yang menyerang organ tubuh mulai dari ujung kaki hingga ujung
rambut, yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh manusia, lebih dikenal sebagai
penyakit autoimun, Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Yuanani Kuno oleh
Hopocrates, namun pengobatan yang tepat hingga saat ini belum diketahui. Penyakit ini
tidak menular, tetapi ditemukan 80 hingga 90% penderita penyakit ini adalah perempuan.
Dalam penelitian di Amerika Serikat ditemukan pula bahwa penyakit ini lebih banyak
ditemukan pada ras Asia, Indian Amerika dan Afrika dibandingkan dengan ras Kaukasia.
(Roviati, 2013).
Lupus adalah penyakit inflamasi kronis sistemik yang disebabkan oleh sistem
kekebalan tubuh yang keliru sehingga mulai menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri.
Inflamasi akibat lupus dapat menyerang berbagai bagian tubuh, misalnya kulit, sendi, sel
darah, paru-paru, jantung. Sistem kekebalan tubuh penderita lupus akan menyerang sel,
jaringan dan organ yang sehat (Depkes, 2017)
B. Etiologi
Ariani (2016) menjelaskan bahwa hingga saat ini penyebab SLE (Sistemik Lupus
Eritematosus belum diketahui. Namun ada beberapa faktor yang diduga menjadi faktor
yang terlibat seperti faktor genetic, lingkungn dan infeksi yang ikut berperan sebagai
pencetus SLE (Sistemik Lupus Eritematosusu). Sistem imun tubuh kehilangan
kemaampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.
Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan antibody secara terus
menerus. Antibodi ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan
penyakit inflamasi imun sistemik dengn kerusakan multiorgan dalam pathogenesis yang
melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktivitas sel
B. Hal ini merupakan faktor sekunder terjadinya lupus:
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus adalah sebagai
berikut:
1. Infeksi
2. Antibiotik
3. Sinar ultraviolet
4. Stress yang berlebihan
5. Obat-obatan tertentu
6. Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita meskipun juga bisa diderita oleh pria.
Lupus bisa menyerang seluruh kalangan usia baik itu pria maupun wanita. Namun
demikian, 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang
menyebabkan wanita lebih sering terserang penyakit lupus dibandingkan pria adalah
hormon esterogen. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi
atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormone esterogen mungkin
berperan dalam rimbulnya penyakit ini.
C. Manifestasi Klinis
Roviati (2013) menjelaskan bahwa pada awalnya, penyakit ini ditandai dengan
gejala klinis yang tak spesifik, antara lain lemah, kelelahan yang tidak bisa ditolerir, lesu
berkepanjangan, panas, demam, mual, nafsu makan menurun, dan berat badan turun.
Gejala awal yang tidak khas ini mirip dengan beberapa penyakit lain. Oleh karena itu,
gejala penyakit ini sangat luas dan tidak khas pada awalnya, jadi tidak sembarangan
untuk mengatakan seseorang terkena penyakit lupus.Akibat gejalanya mirip denan gejala
penyakit lainnya, maka lupus dijuluki sebagai penyakit peniru. Julukan lainnya adalah si
penyakit seribu wajah sehingga penderita akan berpindah-pindah dokter sebelum
diagnosis penyakitnya dapat ditegakkan.
Menurut American College of Rheumatology (1997) dalam Roviati (2013),
diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan
singkat dari 11 gejala tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada bentukan
kupu-kupu. Istilah kedokteran dari ruam ini adalah Malar Rash atau Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai dengan adanya
jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya
3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar matahari
4. Luka dimulut dan lidah seperti sariawan (orl ucers)
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini dijumpai
pada 90% odapus (orang dengan lupus)
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein dalam urine (proteinuria)
8. Gangguan pada otak/sistem saraf yaitu mulai dari depresi, kejang, stroke dan lain-
lain.
9. Kelainan pada sistem darah dimana jumlah sel darah putih dan trombosit berkurang
sehingga biasanya terjadi anemia
10. Tes ANA (Anti Nuclear Antubody) Positif
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh
D. Komplikasi
Komplikasi dari penyakit SLE (Systemic Lupus Erithematosus) adalah sebagai
berikut:
1. Ginjal
Apabila lupus menyerang organ ginjal, maka komplikasi yang mungkin muncul
adalah:
a. Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b. Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c. Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urine).
2. Jantung dan paru
Apabila lupus menyerang organ jantung atau paru, maka komplikasi yang mungkin
muncul adalah:
a. Pleuritis
b. Pericarditis
c. Efusi pleura
d. Efusi pericard
e. Radang otot jantung atau miocardiris
f. Gagal jantung
g. Perdarahan paru (batuk darah)
3. Sistem saraf
Apabila lupus menyerang organ jantung atau paru, maka komplikasi yang mungkin
muncul adalah:
a. Sistem saraf pusat
1) Conginitive dysfunction
2) Sakit kepala pada lupus
3) Sindrom anti phospholipid
4) Sindrom otak
5) Fibtomyalgia
b. Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c. Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak. Hal
ini dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya
permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh pada sistem saraf otonom
4. Kulit
a. Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut
discoid
b. Ciri-ciri lesi spesifik:
1) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitive
terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kulit subakut/cutaneus
lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut
pada koin
2) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area
yang luas di bagian tubuh
c. Rambut rontok (alopecia)
d. Vaskulitis: berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung
jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok
e. Fotosensitivitas
5. Darah
a. Anemia
b. Trombositopenia
c. Gangguan pembekuan darah
d. Limfositopenia
E. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dean hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan disertai penurunan
berat badan. Kemungkinan terjadinya arthritis, pleuritis dan pericarditis juga termasuk.
Pemeriksaan penunjang berupa tes imunologi diagnostik yang dapat dilakukan atau yang
dianjurkan pada klien yang mengalami SLE (Systemic Lupus Erithemtosus) menurut
Ariani (2016) adalah sebagai berikut:
1. Anti.ds DNA
Batas normal : 70-200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : >200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-70% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE
sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan
penyakit reumatik, hepatitis kronik, infeksi mononucleosis, dan sirosis bilier. Jumlah
antibody ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran [enyakit terutama lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negative
pada penyakit SLE yang tenang
2. Anti Nuclear Antibodies (ANA)
Batas normal: NOL
ANA sering digunakan untuk diagnose SLE dan penyakit autoimun yang lain.
ANA adalah sekelompok antibody protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu
sel. ANA cukup sensitive untuk mendeteksi adanya SLE. Hasil yang positif terjadi
pada 95% penderita SLE, akan tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja melainkan
berkaitan juga dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah
pemberian terapi, maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan
menurun. Jika hasil tes negative, maka pasien belum tentu negative terhadap SLE.
Data klinis dan tes laboratorium lain juga perlu dipertimbangkan dan pasien
dianjurkan untuk melakukan test serologi. Sebaliknya, jika didapatkan hasil tes
positif, maka sebaiknya dlakukan tes laboratorium yang lain.
3. Tes laboratorium lain
Tes laboratorium lain yang digunakan untuk menunjang diagnose serta untuk
monitoring pada penyakit SLE antara lain antiribosomal P, antikardiolpin, lupus
antikoagulan, urinalisis, serum kreatinin dan test fungsi hepar.
F. Penatalaksanaan
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting untuk diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita SLE. Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, perlu
diketahui apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau
imunosupresif yang agresif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-
organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif seperti kortikosteroid dosis
tinggi dan umunopresan lainnya. Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Jadi,
tujuan terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi
peradangan atau tingkat aktivitas autoimun dalam tubuh. Adapun bentuk penanganan
umum pada pasien dengan SLE menurut Sukmana (2004) dalam Ariani (2016) adalah
sebagai berikut:
1. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Perawat harus mengetahui
apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu:
anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi pengobatan dan
emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah:
cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup. SLE dianjurkan
untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu tersebut
2. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat LES,
akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada
penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan
obat yang mengandung estrogen.
3. Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul. Pada keluhan yang
ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid namun
tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap system
gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, dengan pemeriksaan kreatinin
serum secara berkala. Pemberian kortikosteroid dosis rendah 15 mg, setiap pagi.
Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas. Sebagian besar sunscreen
topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,
benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B atau
steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon
asetonid
4. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5 mg/kgBB/hari,
sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5
mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB
selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis
tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.
Secara ringkas penatalaksanaan SLE adalah sebagai berikut:
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
3. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
4. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan
gejala artritis.
5. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort ) atau
triamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.
6. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria, seperti
hidroksikolorokuin sulfat (plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel.
7. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan mencegah
eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang berhubungan dengan
sistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis lupus, vaskulitis dan
gangguan pada SSP
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura
di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi
SSP lainnya.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan proses penyakit
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan kontraktilitas
4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hambatan ekspansi dada
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi
6. Keletihan berhubungan dengan anemia
7. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan salah interpretasi informasi
Nyeri akut Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul
akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau yang digambarkan
sebagai kerusakan (international Association for the Study of Pain);
awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat
dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi
Pemberian obat
Gangguan citra tubuh Konfusi dalam gambaran mental tentang diri-fisik individu
Pengurangan Kecemasan
Penurunan curah jantung Ketidakadekuatan darah yang dipompa oleh jantung untuk memenuhi
kebutuhan metabolic tubuh
Ketidakefektifan pola napas Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tdak memberi ventilasi adekuat.
Pengecekan Kulit
Perlindungan infeksi
Keletihan Rasa letih luar biasa dan penurunan kapasitas kerja fisik dan jiwa pada
tingkat yang biasanya secara terus menerus
Behavior Management
Activity Therapy
Nutrition Management
Defisiensi pengetahuan Ketiadaan atau defisiensi informasi kognitif yang berkaitan dengan topic
tertentu.
Ariani, N. F. (2016). Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Klen Systemaic
Lupus Eritematous. Malang: Universitas Brawijaya.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC). United States of America: Elsevier.
Depkes (2017). Situasi Lupus di Indonesia. Diakes pada tanggal 13 Mei 2018 di halaman
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin-Lupus-
2017.pdf
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Nursing Diagnoses: Defenitions
and Classification 2015-2017. Jakarta: EGC.
Mahendrasari, D., & Fandika, R. A. (2016). Unnes Journal of Public Health 5 (3), Hubungan
keparahan penyakit, aktivitas dan kualitas tidur terhadap kelelahan pasien systemic lupus
erythematosus.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). United States of America: Elsevier
Roviati, E. (2013). Systemic Lupus Erithematosus (SLE): Kelainan auto imun bawaan yang
langka dan mekanismme, molekulernya. Jurnal Scientiae Educatia Volume 2 Edisi 1, 20-
33.