Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULU

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai akibat
pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah merah. Kata
ikterus (jaundice) berasal dari kata Prancis “jaune” yang berarti kuning. Ikterus
sebaiknya diperiksa dibawah cahaya terang siang hari, dengan melihat sklera mata, dan
kalau ini terjadi konsentrasi bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL (34 sampai 43
umol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mengkin
sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg%. 1
Munculnya jaundice (ikterus) pada pasien adalah sebuah kejadian yang dramatis
secara visual. Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil
akhir jangka panjang bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice. Jaundice
adalah gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini
biasanya disertai dengan gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya berhubungan
dengan gejala-gejala spesifik. Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan,
memberikan perbaikan lebih lanjut pada diagnosa banding. Umumnya, jaundice non-
obstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah, sementara jaundice obstruktif biasanya
membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan. 2
Ada 3 tipe ikterus yaitu ikterus pre hepatika (hemolitik), ikterus hepatika
(parenkimatosa) dan ikterus post hepatika (obstruksi). Ikterus obstruksi (post hepatika)
adalah ikterus yang disebabkan oleh gangguan aliran empedu antara hati dan duodenum
yang terjadi akibat adanya sumbatan (obstruksi) pada saluran empedu ekstra hepatika.
Ikterus obstruksi disebut juga ikterus kolestasis dimana terjadi stasis sebagian atau
seluruh cairan empedu dan bilirubin ke dalam duodenum. 2
Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan
evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering
dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL;
ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi
terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi
pada urin merupakan satu dari perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien.3
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan
dari sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang
tidak larut ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan
melewati membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–
glucuronyl transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut
dengan asam glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin
monoglucuronide dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara
aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon,
bilirubin dirubah menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal.
Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal
didalam urin.4
Umumnya diagnosis ikterus obstruktif secara klinik ditegakkan dengan cara
imaging. Pemeriksaan ultrasonografi mudah membedakan penyebab ikterus ekstra
hepatik atau intra hepatik dengan melihat pelebaran dari saluran empedu dengan
ketepatan 95%. Tindakan biopsi umumnya hanya dilakukan untuk evaluasi dari ikterus
intra hepatik. Pada kasus tertentu tidak selalu mudah untuk menegakkan diagnosis
ikterus obstruktif ektrahepatik atau intra hepatik. Kadang-kadang saluran empedu tidak
terlihat jelas pada pemeriksaan USG untuk menentukan letak obstruksi, karena bagian
distal saluran empedu sukar terlihat pada 30-50% kasus, sehingga dibutuhkan
pemeriksaan patologi anatomi dengan tindakan biopsi hepar dalam memastikan
diagnosis ikterus obstruktif ekstrahepatik.8,13-16 Berikut ini dilaporkann sebuah kasus
ikterus obstruktif yang mula-mula tidak bisa ditegakkan diagnosisnya dengan imaging,
tetapi kemudian akhirnya diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Hepatobilier


a. Anatomi Kandung Empedu
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk bulat lonjong seperti buah
alpukat dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Kandung empedu
terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu terdiri atas fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah
pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen
setinggi ujung tulang rawan costa IX kanan. Empedu dibentuk oleh sel-sel hati dan
ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang
terletak di dalam septum inter lobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai
duktus hepatikus kanan
dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini
sebelum mencapai duodenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus
yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke
duodenum.1
b. Histologi
Saluran empedu dilapisi epitel toraks dengan bentuk seperti kriptus, yang
didalamnya terdapat sel mukus yang berselang-seling. Sel otot polos yang jarang akan
ditemukan di dalam dinding fibrosa duktus utama. Dinding vesika biliaris memiliki
empat lapisan. Daerah fundus, korpus dan infundibulum ditutupi oleh peritoneum
viseralis. Perimuskularis dibawahnya merupakan jaringan lapisan ikat dengan
penonjolan yang bervariasi dan kaya pembuluh darah dan pembuluh limfe. Tunika
muskularis mengandung serabut otot longitudinalis. Tunika mukosa dilapisi epitel
toraks tinggi, yang bila terjadi peradangan, bisa berinvaginasi secara dalam untuk
membentuk sinus Rokitansky-Aschoff. Sel yang mensekresi mukus hanya menonjol
pada daerah kollum.1
c. Vaskularisasi
Suplai arteri ke batang saluran empedu ekstrahepatik proksimal muncul dari
cabang kecil yang berasal dari arteri hepatika lobaris, dan vaskularisasi duktus
koledokus distal oleh cabang dari arteri gastroduodenalis dan arteri
pankreatikoduodenalis superior. Arteri sistika yang ke vesika biliaris biasanya berasal
dari arteri hepatika dekstra yang terletak posterior lateral terhadap duktus heaptikus
komunis. Selama kolesistektomi, arteri sistika ditemukan pada basis duktus sistikus
dalam segitiga Calot, tiga sisiya dibatasi oleh duktus hepatikus komunis, duktus
sistikus, dan hati. Drainase vena ke batang saluran empedu ekstrahepatik dan vesika
biliaris langsung ke vena porta. 1
d. Sistem Limfatik
Drainase pembuluh limfe batang hepatobiliaris bersifat sentrifugal. Pembuluh
dari parenkim hati dan batang saluran empedu intrahepatik berkonvergensi pada porta
hepatis dan berjalan sepanjang duktus hepatikus komunis di dalam ligamentum
hepatoduodenale untuk memasuki sisterna khili dan kemudian duktus torasikus. Limfe
vesika biliaris berdrainsase sepanjang duktus sistikus ke dalam jalinan ini. Pada
kolesistisis, kelenjar limfe yang membesar khas bisa ditemukan pada kollum vesika
biliaris (nodus limfatikus duktus sistikus) maupun pada sambungan duktus sistikus
dengan koledokus serta sepanjang bagian supraduodenal distal dari duktus koledokus. 1
e.. Persyarafan Sistem Saluran Empedu
Persyarafan otonom batang saluran empedu terdiri dari serabut saraf simpatis
nervus vagus) dan simpatis (torasika) yang mengikuti jalannya suplai vaskular.
Persyarafan vagus muncul dari vagus anterior serta penting dalam mempertahankan
tonus dan kontraktilitas vesika biliaris. Serabut simpatis aferen memperantarai nyeri
kolik biliaris. Sebagian produksi empedu dipengaruhi oleh kendali otonom.
Gambar 1 anatomi sistem hepatobilier

f. Fisiologi

Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara
600- 1200 ml/hari. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Diluar
waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di
akan mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung empedu adalah
memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu
memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali
dan mengurangi volume nya 80-90%. Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan
pengosongan parsial kandung empedu. 1
Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam
duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, hormone kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu
berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus
coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang
kental ke dalam duodenum. 1
Garam - garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak
dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi dari
kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal berikut ini yaitu :
a. Hormonal :Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini
yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu. 1
b. Neurogen :Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan
kontraksi dari kandung empedu. (3)

Empedu
Empedu secara primer terdiri dari air, lemak organic dan elektrolit yang secara
normal disekresi oleh hepatosit. Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan
komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan
garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal
dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang
dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.
Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu:
a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena
asam empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar
menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan
dalam getah pancreas serta asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk
akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan
yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran
hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.

Metabolisme bilirubin
Bilirubiin merupakan pigmen tetrapirol yang larut dalam lemak yang berasal
dari pemecahan sel-sel eritrosit tua dalam sistem monosit makrofag. Masa hidup rata-
rata eritrosit adalah 120 hari. Setiap hari sekitar 50 cc darah dihancurkan menghasilkan
200 – 250 mg bilirubin. Kini diketahui juga bahwa pigmen empedu sebagian juga
berasal dari destruksi eritrosit matang dalam sum-sum tulang dan dari hemoprotein lain
terutama hati. Sebagian besar bilirubin berasal dari pemecahan hemoglobin di dalam
sel-sel fagosit mononuclear dari sistem retikulo-endotelial terutama dalam lien. Cincin
hem setelah dibebaskan dari Fe dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna
hijau oleh enzim heme oksigenase.1Enzim reduktase akan merubah biliverdin menjadi
bilirubin yang berwarna kuning. Bilirubin ini akan berikatan dengan protein sitosolik
spesifik membentuk kompleks protein-pigmen dan ditransportasikan melalui darah ke
dalam sel hati. Bilirubin ini dikenal sebagai bilirubin yang belum dikonyugasi (bilirubin
I) atau bilirubin indirek berdasarkan reaksi diazo Van den Berg. Bilirubin indirek ini
tidak larut dalam air dan tidak diekskresi melalui urine. Di dalam sel hati albumin
dipisahkan dan bilirubin dikonyugasi dengan asam glukoronik dan dikeluarkan ke
saluran empedu. Bilirubin ini disebut bilirubin terkonyugasi (bilirubin II) yang larut
dalam air atau bilirubin direk yang memberikan reaksi langsung dengan diazo Van den
Berg. Didalam hati kira-kira 80% bilirubin terdapat dalam bentuk bilirubin direk
(terkonyugasi atau bilirubin II). Melalui saluran empedu, bilirubin direk akan masuk ke
usus halus sampai ke kolon. Oleh aktivitas enzim-enzim bakteri dalam kolon glukoronid
akan pecah dan bilirubin dirubah menjadi mesobilirubinogen, stercobilinogen dan
urobilinogen yang sebagian besar diekskresikan ke dalam feses. Bila terjadi obstruksi
total saluran empedu maka tidak akan terjadi pembentukan urobilinogen dalam kolon
sehingga warna feses seperti dempul (acholic). Urobilinogen yang terbentuk akan
direabsorbsi dari usus , dikembalikan ke hepar yang kemudian langsung diekskresikan
ke dalam empedu. Sejumlah kecil yang terlepas dari ekskresi hepar mencapai ginjal dan
diekskresi melalui urine.
gambar 2. Metabolisme Bilirubin

2.2 Jaundice
2.2.1 Definisi
Ikterus (icterus) berasal dari bahasa Greek yang berarti kuning. Nama lain
ikterus adalah “jaundice” yang berasal dari bahasa Perancis “jaune” yang juga berarti
kuning. Dalam hal ini menunjukan peningkatan pigmen empedu pada jaringan dan
serum. Jadi ikterus adalah warna kuning pada sclera, mukosa dan kulit yang disebabkan
oleh akumulasi pigmen empedu di dalam darah dan jaringan (> 2 mg / 100 ml serum).
1.4

2.2.2 Klasifikasi Jaundice


Klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan post-hepatik. Jaundice
obstruktif selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya terletak pada jalur
metabolisme bilirubin melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice ditunjuk sebagai
jaundice non-obstruktif. Bentuk ini akibat defek hepatosit (jaundice hepatik) atau
sebuah kondisi pre-hepatik.2

2.3 Obstruksi Jaundice


2.3.1 Definisi dan Etiologi
Obstruksi jaundice dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran empedu.
Sumbatan saluran empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran misalnya
adanya tumor atau penyempitan karena trauma (iatrogenik). Batu empedu dan cacing
askaris sering dijumpai sebagai penyebab sumbatan di dalam lumen saluran.
Pankreatitis, tumor kaput pankreas, tumor kandung empedu atau anak sebar tumor
ganas di daerah ligamentum hepatoduodenale dapat menekan saluran empedu dari luar
menimbulkan gangguan aliran empedu.5
Beberapa keadaan yang jarang dijumpai sebagai penyebab sumbatan antara lain kista
koledokus, abses amuba pada lokasi tertentu, divertikel duodenum dan striktur sfingter
papila vater.6
Penyebab terjadinya jaundice obstruktif adalah adanya obstruktif post hepatik
yang antara lain disebabkan oleh 6 :
1. Obstruksi dalam lumen saluran empedu:
 Batu
 Parasit (ascaris)
2. Kelainan di dinding saluran empedu
 Atresia bawaan
 Striktur traumatic
 Tumor saluran empedu
3. Penekanan saluran empedu dari luar
 Tumor caput pancreas
 Tumor ampula Vateri
 Pankreatitis
 Metastasis di dalam ligamentum hepaoduodenale
Gambar 3. Etiologi Obstruksi Jaundice
2.3.2 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul antara lain:
a. Ikterus, hal ini disebabkan penumpukkan bilirubin terkonjugasi yang ada dalam
darah yang merupakan pigmen warna empedu.
b. Nyeri perut kanan atas, nyeri yang dirasakan tergantung dari penyebab dan beratnya
obstruktif. Dapat ditemui nyeri tekan pada perut kanan atas maupun kolik bilier.
c. Warna urin gelap (Bilirubin terkonjugasi). Urin yang berwarna gelap karena adanya
bilirubin dalam urin.
d. Feces seperti dempul (pucat/akholis). Hal ini disebabkan karena adanya sumbatan
aliran empedu ke usus yang mengakibatkan bilirubin di usus berkurang atau bahkan
tidak ada sehingga tidak terbentuk urobilinogen yang membuat feces berwarna pucat.
e. Pruritus yang menetap. Adanya pruritus menunjukkan terakumulasinya garam
empedu di subkutan yang menyebabkan rasa gatal.
f. Anoreksia, nausea dan penurunan berat badan. Gejala ini menunjukkan adanya
gangguan pada traktus gastrointestinal.
g. Demam
h. Pembesaran hepar dan kandung empedu (Courvoisier sign).7
2.3.3 Patofisiologi Obstruksi Jaundice
Empedu merupakan sekresi multi-fungsi dengan susunan fungsi, termasuk
pencernaan dan penyerapan lipid di usus, eliminasi toksin lingkungan, karsinogen, obat-
obatan, dan metabolitnya, dan menyediakan jalur primer ekskresi beragam komponen
endogen dan produk metabolit, seperti kolesterol, bilirubin, dan berbagai hormon.2
Pada obstruksi jaundice, efek patofisiologisnya mencerminkan ketiadaan
komponen empedu (yang paling penting bilirubin, garam empedu, dan lipid) di usus
halus, dan cadangannya, yang menyebabkan tumpahan pada sirkulasi sistemik. Feses
biasanya menjadi pucat karena kurangnya bilirubin yang mencapai usus halus.
Ketiadaan garam empedu dapat menyebabkan malabsorpsi, mengakibatkan steatorrhea
dan defisiensi vitamin larut lemak (A, D, K); defisiensi vitamin K bisa mengurangi level
protrombin. Pada kolestasis berkepanjangan, seiring malabsorpsi vitamin D dan Ca bisa
menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia.2
Retensi bilirubin menyebabkan hiperbilirubinemia campuran. Beberapa bilirubin
terkonjugasi mencapai urin dan menggelapkan warnanya. Level tinggi sirkulasi garam
empedu berhubungan dengan, namun tidak menyebabkan, pruritus. Kolesterol dan
retensi fosfolipid menyebabkan hiperlipidemia karena malabsorpsi lemak (meskipun
meningkatnya sintesis hati dan menurunnya esterifikasi kolesterol juga punya andil);
level trigliserida sebagian besar tidak terpengaruh.3
Penyakit hati kolestatik ditandai dengan akumulasi substansi hepatotoksik,
disfungsi mitokondria dan gangguan pertahanan antioksidan hati. Penyimpanan asam
empedu hidrofobik mengindikasikan penyebab utama hepatotoksisitas dengan
perubahan sejumlah fungsi sel penting, seperti produksi energi mitokondria. Gangguan
metabolisme mitokondria dan akumulasi asam empedu hidrofobik berhubungan dengan
meningkatnya produksi oksigen jenis radikal bebas dan berkembangnya kerusakan
oksidatif.1
2.3.4. Diagnosa Obstruksi Jaundice
Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati.
1. Anamnesis
Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa
gatal, keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan, adanya
kontak dengan pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan,
suntikan atau tindakan pembedahan.2
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari tanda-
tanda stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema palmaris, bekas garukan
di kulit karena pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar dapat
dijumpai pada pasien dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang membesar
menunjukkan adanya sumbatan pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering
disebabkan oleh tumor (dikenal hukum Courvoisier).5
Hukum Courvoisier : “Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin
disebabkan oleh batu kandung empedu”.
Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor (tumor pankreas,
ampula, duodenum, CBD), striktur pankreatitis kronis, atau limfadenopati portal.7
Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan oleh
gangguan pada sel-sel hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran empedu.1
Diagnosa klinis untuk pemeriksaan jaundice obstruktif antara lain : 2
a. Peningkatan level bilirubin direk (terkonjugasi) (> 0,4 mg/ml), Normal = 0,1-0,3
mg/ml.
b. Peningkatan level bilirubin indirek (tak terkonjugasi) (> 0,8 mg/ml), Normal = 0,2-
0,8 mg/ml.
c. Tidak adanya bilirubin dalam urin atau peningkatan bilirubin urin (konsentrasi tinggi
dalam darah).
d. Peningkatan urobilinogen (> 4 mg/24 jam) tergantung pada kemampuan hati untuk
mengabsorbsi urobilinogen dari sistem portal, Normal = 0-4 mg/hari.
e. Menurunnya urobilinogen fekal (< 40 mg/24 jam), Normal = 40-280 mg/hari, karena
tidak mencapai usus.
f. Peningkatan alkalin fosfat dan level kolesterol karena tidak dapat diekskresi ke
kandung empedu secara normal.
g. Pada kasus penyakit hati yang sudah parah, penurunan level kolesterol
mengindikasikan ketidakmampuan hati untuk mensintesisnya.
h. Peningkatan garam empedu yang menyebabkan deposisi di kulit, sehingga
menimbulkan pruritus.
i. Pemanjangan waktu PTT (Prothrombin Time) (> 40 detik) dikarenakan penurunan
absorbsi vitamin K.

2.3.5. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk serum
bilirubin direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan hitung sel darah
lengkap. Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan
produksi bilirubin atau menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit. Kegagalan pada
ekskresi bilirubin (kolestasis intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik
menyebabkan hiperbilirubinemia (direk) terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi
pada bilirubin serum biasanya ditemukan pada pasien dengan obstruksi maligna, pada
mereka yang levelnya meluas sampai 15 mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu
umumnya biasanya berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada bilirubin
serum (4 – 8 mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif pada
obstruksi bilier dan mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan obstruksi
bilier parsial.1
Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin
disebabkan oleh sumbatan saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek yang jelas
meningkat. Pada keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin
indirek tidak dapat diekskresikan melalui ginjal sedangkan bilirubin yang telah
dikonjugasikan dapat keluar melalui urin. Karena itu adanya bilirubin lebih mungkin
disebabkan akibat hambatan aliran empedu daripada kerusakan sel-sel hati. Pemeriksaan
feses yang menunjukkan adanya perubahan warna feses menjadi akolis menunjukkan
terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen usus (pigmen tidak dapat mencapai
usus).8
2. Hematologi
Meningkatnya level serum bilirubin dengan kelebihan fraksi bilirubin
terkonjugasi. Serum gamma glutamyl transpeptidase (GGT) juga meningkat pada
kolestasis. Umumnya, pada pasien dengan penyakit batu kandung empedu
hiperbilirubinemia lebih rendah dibandingkan pasien dengan obstruksi maligna ekstra-
hepatik. Serum bilirubin biasanya < 20 mg/dL. Alkali fosfatase meningkat 10 kali
jumlah normal. Transaminase juga mendadak meningkat 10 kali nilai normal dan
menurun dengan cepat begitu penyebab obstruksi dihilangkan. Meningkatnya leukosit
terjadi pada kolangitis. Pada karsinoma pankreas dan kanker obstruksi lainnya, bilirubin
serum meningkat menjadi 35-40 mg/dL, alkali fosfatase meningkat 10 kali nilai normal,
namun transamin tetap normal.1
Penanda tumor seperti CA 19-9, CEA dan CA-125 biasanya meningkat pada
karsinoma pankreas, kolangiokarsinoma, dan karsinoma peri-ampula, namun penanda
tersebut tidak spesifik dan mungkin saja meningkat pada penyakit jinak percabangan
hepatobilier lainnya.3
3. Pencitraan1
Tujuan dibuat pencitraan adalah:
a. memastikan adanya obstruksi ekstrahepatik (yaitu membuktikan apakah jaundice
akibat post-hepatik dibandingkan hepatik),
b. untuk menentukan level obstruksi,
c. untuk mengidentifikasi penyebab spesifik obstruksi,
d. memberikan informasi pelengkap sehubungan dengan diagnosa yang mendasarinya
(misal, informasi staging pada kasus malignansi).
I. USG
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang
pencitraan yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan
sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang melebar, adanya batu
atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada sistem hepatobilier
untuk deteksi batu empedu, pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu
dan massa tumor tinggi sekali. Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran
empedu dapat diperkirakan penyebab ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu,
sedangkan pelebaran saluran empedu memperkuat diagnosis ikterus obstruktif.1
Pada pemeriksaan USG akan memperlihatkan ukuran duktus biliaris,
mendefinisikan level obstruksi, mengidentifikasi penyebab dan memberikan informasi
lain sehubungan dengan penyakit (mis, metastase hepatik, kandung empedu, perubahan
parenkimal hepatik). Identifikasi obstruksi duktus dengan akurasi 95%, memperlihatkan
batu kandung empedu dan duktus biliaris yang berdilatasi, namun tidak dapat
diandalkan untuk batu kecil atau striktur. Juga dapat memperlihatkan tumor, kista atau
abses di pankreas, hepar dan struktur yang mengelilinginya.1
II. Pemeriksaan Radiologi1,5
a. Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar
batu empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus
karena zat kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang sakit.
b. CT-scan : memberi viasualisasi yang baik untuk hepar, kandung empedu, pankreas,
ginjal dan retroperitoneum; membandingkan antara obstruksi intra- dan ekstrahepatik
dengan akurasi 95%. CT dengan kontras digunakan untuk menilai malignansi bilier.
c. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography) dan PTC
(Percutaneus Transhepatic Cholangiography) : menyediakan visualisasi langsung
level obstruksi. Namun prosedur ini invasif dan bisa menyebabkan komplikasi
seperti kolangitis, kebocoran bilier, pankreatitis dan perdarahan.
d. EUS (endoscopic ultrasound) : memiliki beragam aplikasi, seperti staging
malignansi gastrointestinal, evaluasi tumor submukosa dan berkembang menjadi
modalitas penting dalam evaluasi sistem pankreatikobilier. EUS juga berguna untuk
mendeteksi dan staging tumor ampula, deteksi mikrolitiasis, koledokolitiasis dan
evaluasi striktur duktus biliaris benigna atau maligna. EUS juga bisa digunakan
untuk aspirasi kista dan biopsi lesi padat.
e. MRCP (Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography): merupakan teknik
visualisasi terbaru, non-invasif pada bilier dan sistem duktus pankreas. Hal ini
terutama berguna pada pasien dengan kontraindikasi untuk dilakukan ERCP.
Visualisasi yang baik dari anatomi bilier memungkinkan tanpa sifat invasif dari
ERCP. Tidak seperti ERCP, MRCP adalah murni diagnostik.
2.3.6. Penatalaksanaan Obstruksi Jaundice
Pengobatan ikterus sangat bergantung penyakit dasar penyebabnya. Beberapa
gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis
intrahepatik, pengobatan penyakit dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan
irreversibel (seperti sirosis bilier primer) biasanya responsif terhadap kolestiramin 4-16
g/hari PO dalam dosis terbagi dua yang akan mengikat garam empedu di usus. Kecuali
jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah
pemberian fitonadion (vitamin K1) 5-10 mg/hari SK untuk 2-3 hari.1
Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang ireversibel,
namun pencegahan penyakit tulang metabolik mengecewakan. Suplemen vitamin A
dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan steatorrhea yang berat
dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak dalam diet dengan medium chain
trigliceride.1
Selama ini titik berat jaundice obstruktif ditujukan kepada eradikasi bakteri
dengan pemberian antibiotika empedu pengganti, pemberian laktulosa dan terapi
pembedahan. Penatalaksanaan terapi ini sangat efektif bila dilakukan pada fase dini dari
ikterus obstruktif, akan tetapi hasilnya terbukti menjadi kurang efektif bila dilakukan
pada penderita yang sudah berlangsung lama, karena adanya pengingkatan risiko
gangguan fungsi ginjal.6
Terapi pembedahan untuk mengembalikan fungsi aliran empedu dari hepar ke
duodenum adalah melakukan drenase interna yang dilakukan secara langsung dengan
menyambungkan kembali saluran empedu ke usus halus. Bila hal ini tidak
memungkinkan karena keadaan penderita terlalu lemah untuk dilakukan pembedahan
besar, maka dalam keadaan darurat dapat dilakukan drainase eksterna dengan
melakukan pemasangan pipa saluran melalui kulit ditembuskan ke hepar sampai ke
saluran empedu (Percutaneous Transhepatal Drainage). Apabila keadaan penderita
sudah stabil kembali, maka ppenderita harus segera dilakukan pembedahan interna
(DI).6
2.3.7. Komplikasi
Salah satu penyulit dari drainase interna pada ikterus obstruktif adalah gagal
ginjal akut (GGA). GGA pada penderita ikterus obstruktif lanjut pasca drenase interna
sampai saat ini masih merupakan komplikasi klinis yang mempunyai risiko kematian
tinggi. Pada penderita ikterus obstruktif lanjut yang mengalami tindakan pembedahan
sering mengalami komplikasi pasca operatif. Komplikasi ini berhubunga dengan
endoktoksemia sistemik terjadi melalui 2 mekanisme yang pertama, tidak adanya
empedu pada traktus gastrointestinal yang bersifat “detergen like” sehingga terjadi
transolakasi endotoksin melalui mukosa usus. Dengan tidak adanya empedu dan
cinjugated bilirubin di traktus gastrointestinal akan menganggu funngsi barier usus
sehingga terjadi over growth bakteri, terutama bakteri gram negatif, yang dapat
menyebabkan translokasi bakteri maupun endotoksinnya kedalam sirkulasi. Mekanisme
kedua, ikterus obstruktif menyebabkan menurunnya fungsi kupffer sebagai “clearance
of endotoxin” sehingga endotoksin semakin meningkat di dalam sirkulasi.6
Perubahan hemodinamika ginjal yang terjadi pada pasien denga ikterus
obstruktif bersifat reversible. Oleh karena itu harus segera dilakukan intervensi optimal
untuk mencegah semakin memburuknya fungsi ginjal. Pencegahan terjadinya gagal
ginjal akut pada pembedahan ikterus obstruktif dengan melakukan ekspansi volume
cairan dari intaseluler menuju ekstraseluler dan menurunkan terjadinya
endotoksinemia.6
Komplikasi yang terjadi pada ikterus obstruktif adalah sepsis primer, perdarahan
gastrointestinal, koagulopati, gangguan penyembuhan luka bedah dan gagal ginjal akut
(GGA).6
BAB III

KONSEP KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan. Dalam
mengkaji, harus memperhatikan data dasar pasien. Informasi yang didapat dari
klien (sumber data primer), data yang didapat dari orang lain (sumber data
sekunder), catatan kesehatan klien, informasi atau laporan laboratorium, tes
diagnostik, keluarga dan orang terdekat atau anggota tim kesehatan lain merupakan
pengkajian data dasar.
Pengkajian pasien Post Operatif ikterus obstruktif meliputi :
a. Aktifitas/Istirahat
1) Gejala :
a) Kelemahan, atau keletihan
b) Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari;
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misalnya nyeri, ansietas,
rasa gatal.
b. Sirkulasi
1) Tanda :
a) Takikardia (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi, dan nyeri).
b) Kulit/membran mukosa: Turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah
(dehidrasi/malnutrisi).
c) Berkeringat
c. Eliminasi
1) Gejala
Perubahan warna urine dan feses.
2) Tanda
a) Distensi abdomen
b) Teraba massa pada kuadran kanan atas
c) Urine gelap, pekat
d) Feses berwarna seperti tanah liat
d. Makanan dan cairan
1) Gejala
a) Anoreksia, mual/muntah
b) Tidak toleran terhadap lemak dan makanan “pembentuk gas”; regurgitasi
berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan, flatus, dispepsia.
c) Berdahak
2) Tanda
Kegemukan, adanya penurunan berat badan.
e. Nyeri/kenyamanan
1) Gejala
a) Nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan.
b) Kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan.
c) Nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit.
2) Tanda
Nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan.
f. Pernafasan
1) Tanda
a) Peningkatan frekuensi pernafasan
b) Pernafasan tertekan ditandai oleh nafas pendek, dangkal.
g. Keamanan
1) Tanda
a) Demam, menggigil
b) Ikterik dengan kulit berkeringat dan gatal ( pruritus )
c) Kecendrungan perdarahan ( kekurangan vitamin K )
h. Penyuluhan dan pembelajaran
1) Gejala
a) Kecendrungan keluarga untuk terjadi batu empedu.
b) Adanya kehamilan atau melahirkan; riwayat DM, penyakit inflamasi usus,
diskrasias darah.
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri.
2. Gangguan pertukaran gas.
3. Kerusakan integritas kulit.
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan.
5. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, prognosis, dan
kebutuhan tindakan.
BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Secara umumnya, obstruksi jaundice adalah perubahan warna kulit, sclera mata
atau jaringan lainnya (mebran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan
bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Obstruksi jaundice
dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran empedu. Sumbatan saluran empedu dapat
terjadi karena kelainan pada dinding saluran empedu misalnya adanya tumor atau
penyempitan karena trauma (iatrogenik).
Manifestasi klinis dari obtruksi jaundice dapat berupa mata, badan menjadi
kuning, urine berwarna pekat seperti teh, badan terasa gatal (pruritus), disertai atau
tanpa kenaikan suhu badan, disertai atau tanpa kolik perut kanan atas, kadang-kadang
feses berwarna keputih-putihan seperti dempul. Tergantung dari penyebab ikterus
obstruksi. Untuk diagnosis dari obetruksi jaundice bisa dilakukan dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dilakukan pemeriksaan labolatorium
yang meliputi pemeriksaan darah, urine dan feses rutin. Pemeriksaan fungsi hati bisa
dijumpai adanya kenaikan dari bilirubin direct (tekonjugasi), alkali fosfatase meningkat
2-3 kali diatas normal. Serum transminase (SGOT, SGPT) dan Gamma GT sedikit
meninggi. Selain itu juga bisa dilakukan pencitraan untuk menentukan penyebab
obstruksi seperti pemeriksaan USG, CT Scan abdomen, ERCP (Endoskopic Retrograde
Cholangio Pancreatography) dll. Pengobatan ikterus sangat bergantung penyakit dasar
penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA

Lesmana L.: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380-384.

I J Beckingham. 2001. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System


Gallstone Disease. Dalam: British Medical Journal Vol 13, Januari 2001: 322
(7278): 91–94. Available from :
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1119388 [diakses
pada tanggal 10 April 2014].

Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-579.

Price, Sylvia Anderston. Patofisiologi Konsep Klinis Preose-Proses Penyakit. Jilid 1.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994. Schwartz S, Shires G, Spencer
F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.

Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery).


Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.

Kasper Dennis, Harrison Tinsley Randolph. 2005. Harrison Principle’s of Internal


Medicine 16th. New York: Mc Graw Hills Publishing. 1880-1890

Sujono Hadi. 1983. Nyeri Epigastrik Penyebab dan Pengelolaannya. Dalam: Cermin
Dunia Kedokteran No. 4, 1983: 29. Available From:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/03_NyeriEpigastrik.pdf/03_NyeriEpigastri
k.html [diakses pada tanggal 10 April 2014.

Anda mungkin juga menyukai