Anda di halaman 1dari 112

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Visi Pembangunan hukum di Indonesia mewujudkan negara hukum
yang adil dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional
yang mengabdi pada kepentingan rakyat dan bangsa dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melindungi segenap rakyat
dan bangsa, serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 33 UUD 1945 dalam
Perubahan Keempat menyatakan sebagai berikut:1
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Pasal 33 UUD 1945 tersebut telah secara jelas menyatakan
cabang-cabang produksi yang penting, bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara. Namun, pada masa
pemerintahan Presiden Megawati tindakan privatisasi aset negara banyak
dilakukan, baik terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun

1
Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 33.

1
perusahaan negara lainnya. Padahal tindakan tersebut tidak selamanya
menguntungkan bagi pemerintah maupun rakyat Indonesia. Bahkan
sebaliknya, dengan privatisasi aset negara oleh pribadi maupun asing ini
dapat merugikan bangsa. Bila deviden yang dulunya dihasilkan BUMN
sebagian besar langsung masuk kas negara, dengan beralihnya
kepemilikan aset, secara otomatis pemerintah hanya akan mendapat
pemasukan dari pajak. Padahal nilai nominal yang diperoleh dari pajak
masih terlalu kecil, jika dibandingkan dengan pemasukan BUMN saat
masih di bawah kendali pemerintah sendiri.
Tindakan privatisasi aset negara ini masih banyak dilakukan hingga
saat ini, karena longgarnya aturan di bidang tersebut. Pemilikan swasta
atas aset negara tidak hanya dilakukan terhadap BUMN maupun
perusahaan-perusahaan milik pemerintah melalui privatisasi, tetapi juga
pemilikan oleh swasta terhadap aset negara oleh pejabat negara, melalui
pengalihan aset negara menjadi milik pribadi oleh mantan pejabat maupun
pihak ketiga. Kendala lain yang dihadapi kementerian dalam pengelolaan
aset terkait kepemilikan antara lain masalah sertifikasi kepemilikan dan
gugatan hukum atas aset.
Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya sebagai dasar
hukum yang melindungi aset negara sekarang ini dinilai sudah tidak
relevan lagi dengan perkembangan yang ada. Undang-Undang tersebut
dinilai memberikan kelonggaran terhadap pihak-pihak yang ingin memiliki
aset negara, khususnya aset tidak bergerak seperti tanah dan/atau
bangunan.
Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 hanya mengatur aset
negara dalam arti sempit, yaitu tanah milik negara yang dialihkan kepada
pihak ketiga, sehingga tidak menyangkut aset negara dalam bentuk lain.
Aset negara dalam pengertian yuridis-normatif adalah semua barang yang

2
dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara
atau berasal dari perolehan lainnya yang sah, seperti hibah/sumbangan,
pelaksanaan dari perjanjian/kontrak, ketentuan undang-undang, atau
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.2 Dalam
konsep teori, sebagaimana dikemukakan J. Prodhoun, aset negara adalah
aset yang berada pada lingkup ranah publik (public prive), sehingga
pengelolaan dan pertanggungjawabannya tunduk pada ketentuan
peraturan perundang-undangan secara publik.
Secara yuridis-normatif, aset negara itu terbagi atas tiga sub-aset
negara, yaitu:
1) yang dikelola sendiri oleh pemerintah disebut Barang Milik Negara
(BMN), misalnya tanah dan bangunan Kementerian/Lembaga, mobil
milik Kementerian/Lembaga;
2) dikelola pihak lain disebut kekayaan negara yang dipisahkan, misalnya
penyertaan modal negara berupa saham di BUMN, atau kekayaan
awal di berbagai badan hukum milik negara (BHMN) yang dinyatakan
sebagai kekayaan terpisah berdasarkan UU pendiriannya.
3) dikuasai negara berupa kekayaan potensial terkait dengan bumi, air,
udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai
negara selaku organisasi tertinggi, misalnya, tambang, batu bara,
minyak, panas bumi, aset nasionalisasi eks-asing, dan cagar budaya.
Secara teoritis, khususnya analisis ekonomi yang berbasiskan pada
hukum,3 ada beberapa aliran teori yang dapat dijadikan rujukan

2
Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah.
3
Analisis ekonomi atas hukum (the economic analysis of Law) merupakan rekonstruksi
perilaku ekonomi yang didukung dengan ketentuan hukum. Pemahaman konsep analisis
ekonomi atas hukum pada dasarnya mencerminkan teori yang memperkirakan dampak
ketentuan hukum terhadap tindakan ekonomi. Konsep tindakan ekonomi ini tidak hanya berada
pada tataran mikro, tetapi makro sebagaimana tindakan ekonomi publik yang ditetapkan negara.
Dengan kata lain, analisis ekonomi atas hukum merupakan standar hukum normative untuk

3
pembahasan mengenai aset negara. Sementara dalam telaah kultur filsafat
hukum,4 pembahasan tersebut dapat diidentifikasi sebagai diskursus
antara postpragmatisme dan neo-konservatisme. Postpragmatisme5
memandang aset negara adalah keseluruhan aset yang dimiliki negara dan
harus dipertanggungjawabkan negara dalam hal ini pemerintah terhadap
rakyatnya melalui parlemen yang tercermin dalam penggunaan anggaran
pendapatan dan belanja negaranya. Namun, neo-konservatisme6
mendefinisikan aset negara sebagai konsep kepunyaan dan penguasaan
negara dalam lapangan hukum apapun, baik yang berada pada
pengaturan publik maupun pengaturan privat.
Adanya pembedaan pandangan ini pada dasarnya menunjukkan
diskursus rasionalitas dalam mengidentifikasikan aset negara. Neo-
konservatisme melacak aset negara sebagai seluruh kekayaan negara di
manapun, sehingga menumbuhkan kesadaran yang bersifat konkret dan
substantif bagi penganut ini yang menyatakan aset negara ada di mana-

mengevaluasi suatu kebijakan atau hukum ekonomi yang ditetapkan negara. Sebagai bahan
diskusi dapat dibaca referensi Robert Cooter and Thomas Ulen, Law and Economics
(Masscahusetts: Addison-Wesley, 1997), p. 3-4.
4
Kultur filsafat seringkali menjadi ideologi yang menjadi faktor determinasi suatu
keputusan atau tindakan. Lihat M.D.A. Freeman, Interoduction to Jurisprudence (London: Sweet
& Maxwell Ltd., 2001). P. 2-4.
5
Istilah postpragmatisme diadposi dari postmodernisme yang digagas oleh Harbermas
sebagai bentuk pencerahan atas institusi negara yang menggagas dan mengidealkan sebuah
alat negara yang berfungsi pada pemenuhan kebutuhan publik rakyat dan ditujukan untuk
merealisasikan tujuan kenegaraan dan kemasyarakatan. Postpragmatisme memandang alat
negara merupakan administrasi negara yang rasional yang menjalankan wewenangya atas
kebutuhan rasional atas peran negara, peran pemerintah, dan peran masyarakat. Lihat F. Budi
Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Jakarta: Kanisius, 2003), hal. 162. Sebagai
bahan diskusi terkait lihat juga historis-filosofis lembaga audit dalam A.V. Dicey, Introduction to
the Study of the Law and the Constitution (London: McMillan and Co., 1952), p. 354-357.
6
Neokonservatisme dimaknai sebagai aliran filosofis yang mengadaptasi konsep
mahzab hukum alam dari Hobbes yang menghendaki hukum sebagai wujud ketertiban dan
kemauan yang dikehendaki beberapa kelompok, khususnya yang dimiliki negara. Aliran
neokonsevatisme memandang negara sebagai instutusi mahakuasa terhadap warganegaranya.
Oleh sebab itu, negara yang direpresentasikan oleh alat-alat negara hanya mengejar
kepunyaannya dengan menghiraukan kepunyaan lain. Lihat konsepsi ini dalam Freeman, op.cit.,
p. 146-147.

4
mana. Hal ini berarti rasionalitas neo-konservatisme memandang aset
negara bersumber, berasal, dan berkembang dari negara.7 Ada semangat
serba negara dan mahanegara di dalamnya. Pandangan ini cenderung
mereduksi pemahaman badan hukum sebagai subyek hukum mandiri.

Tesis neo-konservatisme yang menyatakan aset negara ada di


mana-mana mengingatkan pada hipotesis kedaulatan negara 8 yang
menyatakan negara sebagai representasi kekuasaan tertinggi. Ada tiga
indikator tesis paham neokonservatisme dalam memahami aset negara,
yaitu negara sebagai faktor kekuasaan tertinggi dalam lapangan hukum
publik dan hukum privat, campur tangan organ negara terhadap
mekanisme pemeriksaan aset, dan menguatnya pengaruh birokrasi negara
dalam pemeriksaan sektor privat.9 Jika ketiga indikator tersebut
dipertahankan terus, yang terjadi adalah tirani negara dalam lapangan
hukum pengelolaan kekayaan negara.10

7
Hal ini terkait dengan teori diferensiasi fungsi, yaitu aset yang difungsikan untuk
maksud kepentingan publik dan pelayanan publik, serta manfaat publik merupakan aset negara.
Namun, fungsi aset yang dimaksudkan sebagai usaha mencari laba, menemukan inovasi baru
demi keuntungan, dan dipertanggungjawabkan secara berbeda bukanlah aset negara. Negara
merupakan badan hukum publik murni yang fungsi publiknya adalah melayani kepentingan
publik dan anggarannya ditopang dengan kekuasaan dan legitimasi hukum publik. Lihat (siapa
pengarangnya), “Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup Keuangan Negara dan
Implikasinya terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah,” (Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum di
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010).
8
Kedaulatan negara versi Thomas Hobbes merupakan refleksi terbaik untuk penguatan
alat negara untuk memantau kepunyaan publik dan kepunyaan privat. Pandangan Hobbes
mendeskripsikan penolakan hak individu dalam lapangan kekayaan privat, sehingga negara
adalah pendukung hak dan kewajiban yang ideal dalam melakukan tatanan tertib hukum. Lihat
konsepsi leviathan yang dikemukakan Hobbes dalam Freeman, op.cit., p. 146-148.
9
Penguatan peranan negara dalam lapangan kekayaan dapat dikaagorikan sebagai
overloaded government di mana peranan pemerintahan negara mengambil alih peranan sektor
swasta dan sektor masyarakat. Dalam kondisi ini alat-alat negara mengembangkan intervensi
aktif dalam sektor ekonomi dan kekayaan, sehingga peraturan perundang-undangannya
merefleksikan kepentingan negara secara umum. Dalam konteks ini dapat dibahas paparan
David Held, Models of Democracy (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1997), p. 339.

5
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6
Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang
mengatur, pengelolaan aset negara berada pada penguasaan Menteri
Keuangan selaku bendahara umum negara, sedangkan pimpinan
kementerian/lembaga negara merupakan pengguna barang milik negara,
dan pejabat satuan kerja sebagai kuasa pengguna barang milik negara.
Berbeda dengan pengaturan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 yang
komprehensif mengatur barang milik negara/daerah, dalam Undang-
Undang (UU) Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Ijin yang berhak atau kuasanya adalah tidak kuatnya sanksi
bagi orang yang mengalihkan aset negara secara tidak sah, sanksinya
hanya diancam hukuman Rp. 5.000,- atau pidana penjara maksimal 3
bulan. Masalah tanah dan/atau bangunan milik negara tidak diatur secara
khusus dalam undang-undang ini mengingat pentingnya pengamanan aset
negara berupa barang tidak bergerak. Pengaturan tersebut dibutuhkan,
karena ada kecenderungan dewasa ini rumah milik negara yang dikuasai
dan/atau dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa dasar hukum dan
prosedur yang jelas. Ketiadaan pengaturan mengenai tanah dan/atau
bangunan milik negara memudahkan pihak tertentu yang tidak
bertanggung jawab menguasai bahkan memindahtangankan aset negara
menjadi milik pribadi.
Oleh karena dasar itulah, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan HAM menganggap perlu melakukan analisa dan
evaluasi peraturan perundang-undangan tentang aset negara dengan
mengaitkan pada UU Nomor 51 Prp Tahun 1960.

10
Tindakan ini dapat dikatagorikan sebagai konglomerasi negara dalam lapangan
hukum kekayaan. Lihat Benvebiste, op.cit., hal. 129.

6
B. Pokok Permasalahan
1. Apakah masih relevan diberlakukan sekarang ini subtansi UU Nomor 51
Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang
berhak atau kuasanya?
2. Bagaimana konsep pengaturan yang terintegrasi guna melindungi aset
negara dari kemungkinan pemindahtanganan dan penggunaannya
secara melawan hukum?
3. Perlukah sanksi yang lebih berat kepada pihak yang melakukan
pemindahtanganan dan penggunaan aset negara secara melawan
hukum?

C. Maksud dan Tujuan


Maksud dilakukannya kegiatan ini adalah mengidentifikasi dan
menginventarisasi masalah dalam UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 saat ini,
apakah masih relevan diberlakukan atau tidak dalam sistem pengelolaan
dan pertanggungjawaban kekayaan negara dewasa ini, dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan yang terkait lainnya. Selanjutnya
menganalisis dan mengevaluasi semua permasalahan tersebut dengan
memperhatikan perkembangan hukum kebutuhan masyarakat saat ini.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk memberikan rekomendasi atau
masukan bagi penyempurnan dan pembaruan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan aset negara.

D. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup dalam kegiatan Analisa dan Evaluasi
peraturan perundang-undangan Tentang Aset negara, yaitu UU Nomor 51
Prp Tahun 1960 dan peraturan perundang-undangan yang terkait lainnya,
baik secara horisontal maupun vertikal. Pembahasan dibatasi pada
pencegahan pemindahtanganan dan penggunaan aset negara secara

7
melawan hukum, baik yang dilakukan oleh pejabat pemerintah maupun
oleh masyarakat umum. Permasalahan yang muncul dalam pengelolaan
dan pertanggungjawaban aset negara tersebut dan alternatif solusi dan
rekomendasi yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

E. Metode
Metode pendekatan yang digunakan dalam kegiatan analisa dan
evaluasi peraturan perundang-undangan tentang aset negara dikaitkan
dengan (UU No. 51 Prp Tahun 1960), yaitu yuridis-normatif dengan
menekankan pada tipe deskriptif, sebagai suatu metode yang berusaha
menggambarkan tindakan pengambilalihan dan penggunaan aset negara
secara melawan hukum, baik yang dilakukan oleh pejabat pemerintah
maupun masyarakat umum, dan permasalahan hukum yang muncul.
Selain itu, metode pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan,
yaitu melakukan studi dokumen dari data sekunder berupa bahan-bahan
hukum tertulis, baik bahan hukum primer berupa peraturan perundang-
undangan terkait maupun bahan hukum sekunder berupa buku-buku
ilmiah, artikel-artikel di majalah, internet, koran, jurnal dan sebagainya.

F. Jadwal Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan tim ini dilaksanakan sejak Januari 2010
sampai dengan Desember 2010, dengan susunan jadwal kegiatan adalah
sebagai berikut:
a. penyusunan personalia dan pembuatan proposal (Januari s/d Maret
2010);
b. pengumpulan data (April s/d Mei 2010);
c. pengelolaan data (Juni s/d Juli 2010);
d. analisa dan evaluasi data (Agustus s/d September 2010);
e. penyusunan laporan akhir (Oktober s/d November 2010);

8
f. penyerahan laporan akhir (Desember 2010).

G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan menghasilkan laporan dengan sistematika
penelitian yang merepresentasikan susunan keilmuan dan kepakaran
personalia di dalam penelitian ini dikaitkan dengan tujuan penulisan.
BAB I PENDAHULUAN
Akan disampaikan (A) Latar Belakang, (B) Pokok
Permasalahan, (C) Maksud dan Tujuan, (D) Ruang Lingkup,
(E) Metode, (F) Jadwal Kegiatan, (G) Sistematika Penulisan,
(H) Susunan Personalia.

BAB II PENGATURAN ASET NEGARA DALAM PERATURAN


PERUNDANG- UNDANGAN
Akan diuraikan : (A) Pengertian, (B) Tata Kelola Aset Negara
(Tanah), (C) Peraturan Perundang-undangan yang meliputi: (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (2)
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (3) PP
Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah (BMN/D) dan PP yang terkait (4) Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) tentang Pengelolaan BMN dan
Peraturan Menteri yang terkait.
BAB III ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TENTANG ASET
NEGARA
Akan diuraikan (A) Analisis dan Evaluasi Kebijakan
Pengelolaan Aset Negara yang meliputi benda tak bergerak
dan benda bergerak; (B) Analisis dan Evaluasi Kebijakan
Praktek Penata Usahaan, Penilaian, Penggunaan,
Pemeliharaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan

9
Pemindahtanganan Aset Negara benda tak bergerak dan
benda bergerak; (C) Analisis dan Evaluasi atas Akuntabilitas
Pengelolaan Aset Negara; (D) Analisis dan Evaluasi
Pengelolaan Aset Daerah. (E) Struktur dan Komposisi Aset
Negara(khususnya aset tetap berupa tanah) dalam
Mewujudkan Sistem Pengelolaan Kekayaan Negara yang
Terintegrasi. (F) Relevansi UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 guna
Mewujudkan Pengelolaan Aset Negara yang Baik dan
Terintegrasi.

BAB IV PENUTUP
Disampaikan (A) Kesimpulan dan (B) Rekomendasi.

H. Susunan Personalia
Keanggotaan Tim Analisa dan Evaluasi peraturan perundang-undangan
tentang Aset Negara (UU Nomor 51 Prp Tahun 1960)

Ketua : Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H.


Sekertaris : Melok Karyandani, S.H.

Anggota : 1.. Wigati Partosedono ,S.H., LL.M.


2. Topan Sani, S.H., CFE.
3. Dr. Purnama T Sianturi, S.H., M.Hum.
4. Aisyah Lailiyah,S.H., M.H.
5. Jamilus, S.H., M.H.
6. Dadang Iskandar, S.Sos.

Anggota Sekretariat:
1. Supriyadi
2. Darti

10
BAB II
PENGATURAN ASET NEGARA DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Pengertian Aset Negara


1. Aset
Berdasarkan perspektif ilmu ekonomi mendefinisikan aset negara
secara komprehensif, diantaranya, Sprague yang menyatakan aset yang
dimiliki perusahaan harus memiliki nilai dan perusahaan dapat
menikmati/memanfaatkan nilai tersebut. Paton mendefinisikan aset
sebagai kekayaan baik dalam bentuk fisik atau bentuk lainnya yang
memiliki nilai bagi suatu entitas. Sementara itu, Vatter lebih merinci lagi
dengan meninjau aset dari sisi manfaat yang dihasilkan dengan
mendefinisikan aktiva sebagai manfaat ekonomi masa yang akan datang
dalam bentuk potensi jasa yang dapat diubah, ditukar atau disimpan.
Dalam perkembangan dewasa ini beberapa lembaga
perekonomian juga memberikan definisi mengenai aset yang disesuaikan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
juga memberikan definisi aset sebagai manfaat ekonomi masa depan
yang terwujud dalam aset, yang potensi aset tersebut memberikan
sumbangan, baik langsung maupun tidak, arus kas dan setara kas
kepada perusahaan. Sejalan dengan itu, Financial Accounting Standard
Board pada 1980 mendefinisikan aset sebagai manfaat ekonomi yang
mungkin terjadi di masa mendatang yang diperoleh atau dikendalikan
oleh suatu entitas tertentu sebagai akibat transaksi atau peristiwa masa
lalu.
Definisi aset menurut Standar Akuntansi Pemerintahan lebih luas
lagi dan komprehensif, yaitu sumber daya ekonomi yang dikuasai
dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu

11
dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan yang
diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat,
serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non-
keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat
umum dan sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan
budaya.
Banyaknya definisi mengenai aset tersebut menunjukan tidak jauh
berbeda satu sama lainnya. Dengan demikian, dapat dirumuskan
karakteristik umum aset sebagai berikut:
1. Adanya karakteristik manfaat di masa mendatang.
2. Adanya pengorbanan ekonomi untuk memperoleh aset.
3. Berkaitan dengan entitas tertentu.
4. Menunjukkan proses akuntansi.
5. Berkaitan dengan dimensi waktu.
6. Berkaitan dengan karakteristik keterukuran.
Dengan mendasarkan pada karakteristik aset tersebut, pengakuan
aset menurut IAI pada 2007 adalah berikut ini:
1. Aset diakui dalam neraca, kalau besar kemungkinan manfaat
ekonominya di masa depan diperoleh perusahaan dan aset tersebut
mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal.
2. Aset tidak diakui dalam neraca, kalau pengeluaran telah terjadi dan
manfaat ekonominya dipandang tidak mungkin mengalir setelah
periode akuntansi berjalan. Sebagai alternatif transaksi semacam ini
menimbulkan pengakuan beban dalam laporan laba rugi.11
Dalam konteks peraturan perundang-undangan, definisi aset
terdapat dalam RUU tentang Perampasan Aset. Dalam RUU tersebut

11
Eddy Mulyadi Soepardi, “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu
Unsur Tindak Pidana Korupsi”, Makalah pada ceramah ilmiah FH Universitas Pakuan, 24
Januari 2009 hal. 6

12
diatur aset adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak,
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan yang mempunyai
nilai ekonomis, sedangkan hukum positif yang sekarang berlaku tidak
menggunakan istilah „aset‟, tetapi menggunakan istilah barang atau
kekayaan. PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, misalnya, menggunakan istilah „barang‟ untuk “Barang
Milik Negara”.

2. Negara
Pengertian atau batasan negara menurut hukum positif dalam
penelitian ini ditujukan pada Pemerintah Republik Indonesia, dalam arti
yang lebih spesifik adalah kementerian negara/lembaga. Pengertian
lembaga adalah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 6 ayat
(2) huruf b UU Nomor 17 Tahun 2003, yaitu lembaga negara dan
lembaga pemerintah non kementerian negara.

3. Aset Negara
PP Nomor 6 Tahun 2006, yang menggunakan istilah barang
negara untuk aset negara mendefinisikan barang milik negara (BMN),
yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau
berasal dari perolehan lainnya yang sah. Mendasarkan pada definisi
tersebut, aset negara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
sebagaimana diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006, yaitu semua benda
bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud, dan yang mempunyai nilai ekonomis, yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang
sah.
BMN dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 mendasarkan pada UU
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Adapun yang

13
dimaksud BMN sesuai dengan Pasal 1 butir 10 UU Nomor 1 Tahun 2004
adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau
berasal dari perolehan lainnya yang sah. BMN dimaksud dapat berada di
semua tempat, tidak terbatas hanya yang ada pada
kementerian/lembaga, tetapi juga yang berada pada BUMN dan BHMN
atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkan
statusnya menjadi aset negara yang dipisahkan. Sementara itu, terhadap
BMN yang statusnya sudah ditetapkan menjadi kekayaan negara yang
dipisahkan diatur secara terpisah dari ketentuan ini.
Untuk barang-barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN
dapat lebih mudah identifikasinya sebagai bagian dari BMN. Sementara
itu, untuk barang-barang yang berasal dari perolehan yang sah perlu
adanya batasan yang lebih jelas, mana yang termasuk sebagai BMN.
Dalam hal ini, batasan pengertian barang-barang yang berasal dari
perolehan yang sah adalah barang-barang yang menurut ketentuan
perundang-undangan, ketetapan pengadilan, dan/atau perikatan yang
sah ditetapkan sebagai Barang Milik Negara.12 .

4. Jenis Aset Negara


Menurut Pasal 2 PP Nomor 6 Tahun 2006, aset negara terdiri atas
dua jenis, yaitu barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
APBN/APBD dan barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah,
yang meliputi:
a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;

12
“Pengelolaan Barang Milik Negara (State Property Management)” disusun oleh Pokja
RPP Pengelolaan BMN/D Pada KPMK, http://pbmkn.perbendaharaan.go.id/Artikel/004.htm

14
b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/
kontrak;
c. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang,
atau;
d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

B. Tata Kelola Aset Negara (Tanah)


1. Pengaturan aset negara (tanah)
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, aset negara ada dua
kelompok, yaitu kelompok pertama adalah aset negara yang dikuasai
negara (bersifat publik), dalam hal ini negara bertindak sebagai
penguasa, sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada lembaga
yang berwenang. Misalnya, dalam hal tanah, lembaga yang berwenang
adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jika aset mengenai hasil
hutan, diserahkan pada Kementerian Kehutanan, sedangkan mengenai
hasil laut, diserahkan kepada Kementerian Kelautan. Aset yang
dikuasai negara bersumber pada Pasal 33 UUD 1945 yang
menyatakan, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.”
Di samping itu, ada aset yang dikuasai negara, dan ada juga
aset yang dimiliki Pemerintah. Aset negara yang dimiliki Pemerintah
dibagi dua, yaitu aset yang tidak dipisahkan dan aset yang dipisahkan.
Aset yang dipisahkan atau yang disebut Barang Milik Negara/Daerah
adalah barang yang diperoleh/dibeli atas beban APBN/APBD dan
barang yang berasal dari perolehan lain yang sah meliputi barang yang
diperoleh dari hibah/sumbangan atau sejenis, diperoleh sebagai
pelaksanaan perjanjian/kontrak, diperoleh berdasarkan ketentuan

15
undang-undang dan diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengeloaan aset negara yang
tidak dipisahkan diatur dalam beberapa peraturan perundang-
undangan, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan
pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Selain aset negara yang tidak dipisahkan tersebut, ada aset
negara yang dipisahkan, yang disebut investasi pemerintah, yang terdiri
penyertaan modal pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah
(BUMN/BUMD), perseroan terbatas lainnya, dan badan hukum milik
pemerintah lainnya. Landasan hukum pengelolaan kekayaan Negara
yang dipisahkan adalah UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, UU Nomor 1 Tahun
2004 yang pelaksanaannya diatur dalam peratuan pemerintah
mengenai pengelolaan investasi pemerintah sebagai pelaksanaan
ketentuan Pasal 41 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004.
Pergantian pemerintahan pada era reformasi 1998 ikut
mempengaruhi kebijakan pemerintah di bidang pertanahan demi
mewujudkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Hal tersebut sangat mendesak mengingat sudah sejak
lama terjadi penguasaan atas tanah aset negara oleh pihak yang tidak
bertanggungjawab. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
ada, usaha untuk melindungi aset negara (tanah) dari penguasaan
pengguna yang tidak berhak, misalnya UU yang menjadi bahasan
dalam kajian ini yaitu UU Nomor Prp 51 Tahun 1960.
Pasal 1 huruf (a) UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 mengatur,
“tanah ialah (a) tanah yang langsung dikuasai oleh negara; (b) tanah
yang tidak termasuk huruf a yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh

16
perseorangan atau badan hukum.” Adapun maksud tanah pada butir a
dan butir b tersebut adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara
atau tanah yang belum dihaki dengan hak-hak perseorangan.13 Selain
itu juga disebut dengan tanah negara dalam arti luas, yaitu tanah yang
belum diberikan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 28, 37, 41, 47
dan 49 UU Nomor 5 Tahun 19tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria. Para ahli membedakan tanah negara menjadi tiga, yaitu:14
a) tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara, dalam
pengertian hak menguasai dari negara untuk mengatur bumi, air
dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya pada suatu tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang mempunyai
kewenangan:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
b) tanah negara yang dimiliki oleh pemerintah yaitu tanah-tanah yang
diperoleh pemerintah pusat maupun daerah berdasarkan
nasionalisasi, pemberian, penyerahan sukarela maupun melalui
pembebasan tanah dan berdasarkan akta-akta peralihan hak.

13
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Edisi 2008, Cetakan keduabelas (Jakarta:
Djambatan, 2008, hal.271)
14
B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia,
Cetakan Kedua (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2005, hal.79-80).

17
c) tanah negara yang tidak dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat,
badan hukum swasta dan badan keagamaan atau badan sosial
serta tanah-tanah yang dimiliki oleh perwakilan negara asing.
Jika dilihat dari status penguasaannya, tanah negara masih
dibagi menjadi (1) tanah wakaf, (2) tanah hak pengelolaan, (3) tanah
hak ulayat, (4) tanah hak kaum, (5) tanah hak kawasan hutan, dan (6)
tanah lainnya yang tidak termasuk lima klasifikasi itu, yang
penguasaannya ada pada BPN. Tanah negara mempunyai dua
pengertian, yaitu (a) tanah negara dalam arti luas adalah tanah yang
dikuasai BPN dan penguasaannya ada pada Kepala BPN dan (b) tanah
negara dalam arti sempit adalah tanah yang dikuasai oleh kementerian
dan lembaga dengan hak pakai yang merupakan aset/bagian dari aset
negara dan penguasaannya ada pada Menteri Keuangan.15
Sebelum lahirnya UU Nomor 51 Prp Tahun 1960, telah ada
berbagai peraturan lain yang sejenis mengatur penguasaan dan
pendudukan tanah secara illegal, di antaranya UU Darurat Nomor 8
Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan
oleh Rakyat, yang kemudian diubah dan ditambah menjadi UU Darurat
Nomor 1 Tahun 1956 yang berlaku bagi tanah-tanah perkebunan, dan
peraturan sejenis lainnya. Jika dilihat dari keberadaan peraturan yang
pernah ada sebelum lahirnya UU Nomor 51 Prp Tahun 1960, banyak
penguasaan tanah tanpa hak, sehingga untuk mengantisipasi dan
menyelesaikan masalah yang mungkin muncul, diperlukan suatu tata
kelola aset negara berupa tanah dalam bentuk yang dapat
dipertanggungjawabkan dan mengikuti perkembangan zaman serta
dilakukan dan ditangani oleh BPN. Hal ini berarti ada kejelasan
mengenai lembaga yang bertanggungjawab, sistem

15
Ibid., hal. 272

18
pengadministrasiannya yang jelas dan mudah dipahami, tata cara
pelaporan sebagai pertanggungjawabannya serta dengan mengikuti
ketentuan peraturan yang ada.

2. Lembaga dan pejabat pengelola aset negara (tanah).


Tanah merupakan bagian dari aset yang dikuasai negara
berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur, “Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.”
Dengan demikian, pemegang kekuasaan tertinggi adalah bangsa
Indonesia dalam suatu organisasi yang disebut negara. Sebagai
perwujudan kebijakan negara dalam hal pengelolaan tanah
sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, negara menerbitkan
UUPA menjadi pijakan hukum bagi penyelenggaraan kebijakan
pengelolaan tanah, di mana hak menguasai negara melahirkan
kewenangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (2) UU
Nomor 5 Tahun 1960, yaitu:
a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan tersebut, negara telah


mengeluarkan peraturan bagi lembaga yang bertugas mengatur dan
mengelola aset negara berupa tanah demi kelangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara, yaitu Perpres Nomor 10 Tahun 2006 tentang

19
Badan Pertanahan Nasional. Ketiga fungsi utama tersebut di atas, yang
harus dijalankan oleh negara diberikan kepada BPN sebagai lembaga
pemerintah yang berwenang untuk menangani pertanahan. Namun,
pada kenyataannya hingga saat ini kelembagaan pertanahan belumlah
optimal, antara lain dapat dilihat dari pengelolaan tanah yang ditangani
oleh lebih dari satu lembaga, tetapi tidak terkoordinasi dengan baik.
Pengelolaan administrasi tanah selama ini ditangani oleh Kementerian
Kehutanan untuk tanah hutan dan BPN untuk tanah non hutan.16 Di
samping itu, dalam hal pengelolaan tanah, BPN juga bekerja sama
dengan Kementerian Keuangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
3 huruf (i) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006.

3. Kedudukan Badan Pertanahan Nasional (BPN)


Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 menyatakan
BPN adalah Lembaga Pemerintah Non-Departemen yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada presiden, dan dipimpin oleh
seorang Kepala. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya,
Kepala BPN dibantu oleh Sekretaris Utama dan 5 (lima) Deputi serta
Inspektur Utama. Kelima Deputi tersebut masing-masing adalah (Pasal
4) Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan, Deputi Bidang
Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah, Deputi Bidang Pengaturan dan
Penataan Pertanahan, Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan
Pemberdayaan masyarakat, Deputi Bidang Pengkajian dan
penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Selanjutnya, menurut
Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional bertugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan
sektoral, dengan demikian lembaga Badan Pertanahan Nasional

16
Adrian Sutedi, Tinjauan Hukum Pertanahan, Cetakan Pertama, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2009, hal.11)

20
merupakan organisasi tertinggi yang berwenang untuk melakukan
penatausahaan tanah di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 3 yang menyatakan BPN
menyelenggarakan fungsi:
a) perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
b) perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
c) koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang
pertanahan;
d) pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
pertanahan;
e) penyelenggaraan survey, pengukuran dan pemetaan di bidang
pertanahan;
f) pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian
hukum;
g) pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
h) pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan
wilayah-wilayah khusus;
i) penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik
negara/daerah bekerjasama dengan Kementerian Keuangan;
j) pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
k) kerjasama dengan lembaga-lembaga lain;
l) penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan
program di bidang pertanahan;
m) pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
n) pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan
konflik di bidang pertanahan;
o) pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
p) penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;

21
q) pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di
bidang pertanahan;
r) pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
s) pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan
bidang pertanahan;
t) pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang,
dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
u) fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundangan-
undangan yang berlaku.

Mengingat BPN melaksanakan tugas pengelolaan secara


nasional, regional dan sektoral, Badan Pertanahan Nasional
membentuk Kantor Wilayah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 Perpres Nomor 10 Tahun
2006.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas, BPN juga membutuhkan
keterlibatan masyarakat, sehingga diperbolehkan mengangkat paling
banyak tiga (3) orang staf khusus untuk membantu Kepala BPN dan
bertugas memberikan saran dan pertimbangan. Staf khusus dapat
berasal dari pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri dan
bertugas paling lama sama dengan jabatan Kepala BPN. Selanjutnya,
dalam rangka pengelolaan tanah negara BPN bekerja sama dengan
instansi lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 huruf (i), yaitu
”penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik
negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan.”

22
4. Menteri Keuangan/Kementerian Keuangan
Kementerian Keuangan adalah kementerian yang membidangi
urusan keuangan yang dipimpin oleh seorang Menteri. Keberadaan
Kementerian Keuangan dalam pengeloaan tanah dilandasi oleh
beberapa peraturan di antaranya adalah UU Nomor 17 Tahun 2003, UU
Nomor 1 Tahun 2004, dan PP Nomor 6 Tahun 2006. Penjelasan umum
PP Nomor 6 Tahun 2006 menyatakan, ”Menteri Keuangan selaku
bendahara umum negara adalah pengelola barang milik negara.”
Pengertian pengelola barang menurut Pasal 3 PP Nomor 6 Tahun 2006
adalah “Pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan
kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan barang milik
negara/daerah.” Dengan demikian, pengelola berkaitan erat dengan
orang/pejabat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) PP
Nomor 6 Tahun 2006.

5. Kepala Daerah/Pemerintah Daerah


Rujukan peraturan perundang-undangan mengenai lembaga/
pejabat pengelola aset negara (tanah) adalah UU Nomor 1 Tahun 2004
dan PP Nomor 6 Tahun 2006. Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) PP
Nomor 6 Tahun 2006, gubernur/bupati/walikota adalah pemegang
kekuasaan pengelolaan barang milik daerah. Sementara itu, pejabat
pengelola barang milik daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 (3)
PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah ”sekretaris daerah adalah pengelola
barang milik daerah.”

6. Pejabat Pembuat Akta Tanah.


Di samping pejabat pemerintah yang telah disebutkan
sebelumnya, ada pejabat lain yang turut serta melakukan kegiatan
pengelolaan aset negara (tanah), yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah

23
(PPAT). PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan
untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.17
Selain itu, ada yang disebut PPAT sementara dan PPAT khusus. PPAT
sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya
untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di
daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Di sisi lain, PPAT khusus
adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas
pemerintah tertentu.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan tanah, maka fungsi PPAT
umum adalah membuat akta pemindahan hak atas tanah, pembebanan
hak atas tanah dan akta lain yang diatur dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan membantu kepala kantor pertanahan
dalam melaksanakan pendaftaran tanah, dengan membuat akta yang
akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan dalam pendaftaran
Tanah.18 PPAT wajib menyimpan dan memelihara kumpulan dokumen,
yang biasa disebut Protokol PPAT, yang terdiri dari daftar akta, akta
asli, warkah19 pendukung akta, arsip laporan, agenda, dan surat-surat
lainnya.

17
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah, PP
No. 37 Tahun 1998, pasal 1.
18
Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia, Jilid 2, (Jakarta: Prestasi
Pustaka karya, 2004),hal. 67.
19
Warkah adalah dokumen yang merupakan alat pembuktian data fisik dan data yuridis bidang
tanah yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran tanah (Permen Agraria/Kepala BPN
No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, Pasal 1)

24
7. Pengelolaan aset negara (tanah)
Pengelolaan pertanahan meliputi tanah hak dan tanah negara.
Tanah hak yang dikuasai oleh perseorangan maupun badan hukum
dengan hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16 UUPA, yaitu
hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai.
Sementara itu, tanah negara, menurut Pasal 1 PP Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah tanah yang dikuasai langsung
oleh negara yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah. 20
Demi tertib administrasi, aset negara (tanah) perlu dilakukan
pengurusan secara administratif dengan tujuan untuk memudahkan
bagi pemilik atau pengguna hak tanah tersebut, sehingga dapat
mengurangi konflik yang mungkin terjadi di kemudian hari.
Pengertian pengelolaan menurut Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 6
Tahun 2006 adalah suatu kegiatan yang meliputi: (a) perencanaan
kebutuhan dan penganggaran; (b) pengadaan; (c) penggunaan; (d)
pemanfaatan; (e) pengamanan dan pemeliharaan; (f) penilaian; (g)
penghapusan; (h) pemindahtanganan; (i) penatausahaan; dan (j)
pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Penatausahaan adalah
rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi dan
pengelolaan. Inventarisasi adalah kegiatan pendataan, pencatatan dan
penghapusan. Pengelolaan dimaksud adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Kementerian Keuangan terhadap barang milik negara
(BMN).
Pengertian pengelolaan BMN, sejalan dengan tugas dan fungsi
BPN, yang sejak berlakunya UUPA menjadi lembaga yang mengurus
segala sesuatu mengenai pertanahan. Kegiatan pengelolaan dilakukan
sebagaimana diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, sebagai

20
R. Raharjo, Himpunan Istilah Pertanahan dan Yang Terkait, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 2008, hal.242-243).

25
pelaksanaan dari Pasal 19 UU Nomor 5 Tahun 1960 yang
menginstruksikan kepada pemerintah, agar seluruh wilayah Indonesia
diadakan pendaftaran tanah, yang bersifat rechts kadaster, bertujuan
untuk menjamin kepastian hak atas tanah yang penyelenggaraan tugas
dibebankan kepada jawatan pendaftaran tanah dengan berpedoman
pada PP Nomor 10 Tahun 196121 (sekarang PP Nomor 24 Tahun
1997). Menurut Pasal 1 (1) PP Nomor 24 Tahun 1997, “Pendaftaran
tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan Pemerintah secara
terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik
dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada
haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya”. Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data
pendaftaran tanah (Pasal 11).
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan
melalui pendafataran secara sistematik dan pendafataran tanah secara
sporadic. Pendaftaran tanah secara sistematik dilaksanakan atas
prakarsa Badan Pertanahan Nasional yang didasarkan atas suatu
rencana kerja jangka panjang dan rencana tahunan yang
berkesinambungan, sedangkan pendaftaran tanah secara sporadic
dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak
yang berhak atas obyek pendaftaran tanah yang bersangkutan 22
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:

21
Chomzah, op.cit., hal 26
22
Harsono, op.cit., hal. 487.

26
a) Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat sebagaimana dimaksud Pasal 19 huruf c
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
b) Penyajian data fisik dan data yuridis, kegiatan penatausahaan
pendafataran pengumpulan dan pengolahan data phisik, kegiatan
ini mencakup pengukuran dan pemetaan, pembuatan peta dasar
pendaftaran, penetapan batas-batas bidang tanah, pengukuran
dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran, pembuatan daftar tanah serta membuat surat ukur.
c) Pembuktian hak dan pembukuannya, kegiatan ini mencakup
pembuktian hak baru, pembuktian hak lama, dan pembukuan hak.
d) Penerbitan sertifikat, sertifikat diterbitkan untuk kepentingan
pemegang hak. Sertifikat juga merupakan surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat bukti yang diselenggarakan oleh Kantor
Pertanahan, ke dalam daftar umum yang terdiri dari peta
pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama.
e) Penyimpanan daftar umum dan dokumen, dokumen-dokumen
yang merupakan alat pembuktian yang telah digunakan sebagai
dasar pendaftaran, diberi tanda pengenal dan disimpan di kantor
pertanahan atau di tempat lain yang ditetapkan oleh menteri,
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari daftar umum. Secara
bertahap data pendaftaran tanah disimpan dan disajikan dengan
menggunakan peralatan elektronik dan microfilm.23

Selain pendaftaran tanah, kegiatan pengelolaan lainnya adalah


pemeliharaan dan pendaftaran tanah. Pemeliharaan dan pendaftaran

23
Ibid.,, hal 505

27
tanah dilakukan jika terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis
obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar, misalnya (a) pemindahan
hak yang disebabkan oleh telah terjadinya jual-beli, tukar menukar,
hibah dan lain-lain, (b) pemindahan hak dengan lelang, (c) pemindahan
hak karena pewarisan, (d) pemindahan hak karena penggabungan atau
peleburan perseroan dan koperasi, (e) jika terjadi pembebanan hak
(hak tanggungan, hak guna bangunan, dsb). Disamping perubahan
hak, maka perlu dilakukan pemeliharaan dan pendaftaran tanah jika
terjadi perubahan data-data lainnya, yaitu: (a) jika ada perpanjangan
jangka waktu hak atas tanah, (b) jika terjadi pemecahan, pemisahan
dan penggabungan bidang tanah, (c) jika ada pembagian hak bersama
(rumah susun), (d) jika atas suatu pembebanan hak telah berakhir
(hapusnya hak atas tanah dan hak milik rumah susun), (e) jika terjadi
peralihan dan penghapusan hak tanggungan, (f) jika ada
pemberitahuan putusan atau penetapan pengadilan, dan (g) jika
pemegang hak berganti nama. Kegiatan pemeliharaan juga terjadi
dalam hal ada permohonan dari pemegang hak atas tanah untuk
diterbitkannya sertifikat baru sebagai pengganti sertifikat yang rusak
atau hilang, dan alasan lainnya.

Tata cara pengelolaan aset negara (tanah) yang menjadi


tanggung jawab Kementerian Keuangan sebagai pengelola BMN/D
meliputi:
a) perencanaan kebutuhan dan penganggaran. Perencanaan
dimaksud disusun dalam rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga/satuan kerja pemerintah daerah dengan
memperhatikan kebutuhan BMN dan berpedoman pada standard
barang, standard kebutuhan dan standard harga yang ditetapkan

28
oleh pengelola barang, setelah berkoordinasi dengan instansi atau
dinas teknis terkait.
b) Pengadaan, dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien,
efektif, transparan dan terbuka, adil/tidak diskriminatif dan
akuntabel, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
c) Penggunaan, status penggunaan BMN ditetapkan oleh pengelola
barang. Penetapan dilakukan dengan cara sebagaimana diatur
dalam Pasal 14 ayat (1), dimana pengguna barang melaporkan
BMN yang diterimanya kepada pengelola barang disertai usul
penggunaan, dan kemudian pengelola barang meneliti laporan
tesebut dan menetapkan status penggunaannya. Penetapan status
penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan ketentuan
bahwa tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk
kepentingan penyelenggaraan tupoksi pengguna barang atau kuasa
pengguna barang. Jika tanah dan/atau bangunan tidak digunakan
lagi, maka wajib diserahkan kembali kepada pengelola barang.
Tindak lanjut pengelolaan terhadap tanah dan/atau bangunan yang
telah diserahkan kembali tersebut meliputi: (i) ditetapkan
penggunaannya untuk penyelenggaraan tupoksi instansi
pemerintah lainnya, (ii) dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi
BMN, dan (iii) dipindahtangankan.
d) Pemanfaatan, pemanfaatan BMN tanah dilaksanakan oleh
pengelola barang. Bentuk pemanfaatan dapat berupa sewa, pinjam
pakai, kejasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun
serah guna.
e) Pengamanan dan pemeliharaan, yang dimaksud dengan
pengamanan adalah pengamanan terhadap BMN/D yang ada dalam
penguasaan pengguna barang (menteri/pimpinan lembaga selaku

29
pimpinan kementerian negara/lembaga), yang meliputi pengamanan
administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum. (Pasal
32). Sedangkan kegiatan pemeliharaan barang adalah daftar hasil
pemeliharaan yang dibuat oleh pengguna barang dan/atau kuasa
pengguna barang, yang dibuat dalam satu tahun anggaran dan
wajib dilaporkan kepada pengguna barang secara berkala.
f) Penilaian, penilaian barang dilakukan menurut Standar Akutansi
Pemerintahan (SAP) dan dibuat dalam rangka penyusunan neraca
pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan dan pemindahtanganan
BMN/D. Penilaian terhadap BMN berupa tanah dan/atau bangunan
dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh
tim yang ditetapkan oleh pengelola barang dan dapat melibatkan
penilai independen.
g) Penghapusan, kegiatan penghapusan BMN meliputi: (a)
penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa
pengguna, (b) penghapusan dari daftar BMN/D, dan dilakukan jika
BMN/D sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang
dan/atau kuasa pengguna barang. Penghapusan wajib dilakukan
dengan penerbitan Surat Keputusan Penghapusan (SKP) dari
pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola dan
SKP dari pengguna barang setelah mendapat persetujuan
gubernur/bupati/walikota atas usul pengelola barang untuk BMD.
Pelaksanaan penghapusaan wajib dilaporkan kepada pengelola
barang.
h) Pemindahtanganan, bentuk-bentuk pemindahtanganan dapat
berupa: (a) penjualan, (b) tukar-menukar, (c) hibah, dan (d)
penyertaan modal pemerintah pusat/daerah. Pemindatangan tidak
memerlukan persetujuan DPR jika tanah: sudah tidak sesuai
dengan tata ruang wilayah atau penataan kota, diperuntukkan

30
untuk pegawai negeri, diperuntukkan bagi kepentingan umum,
dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan. Selanjutnya, pemindatanganan BMN tanah
senilai diatas Rp.10.000.000.000 (sepuluh milyar) dilakukan oleh
pengelola barang setelah mendapat persetujuan presiden, jika nilai
tanah sepuluh milyar kebawah, maka cukup dilakukan oleh
pengelola barang.
i) Penatausahaan, kegiatan penatausahaan meliputi pembukuan,
inventarisasi dan pelaporan. Pembukuan dimaksud adalah tindakan
kuasa pengguna barang/pengguna untuk mendaftarkan dan
mencatatkan BMN/D berupa tanah dan/atau bangunan ke dalam
Daftar Kuasa Pengguna (DBKP)/Daftar Pengguna (DBP) menurut
penggolongan dan kodifikasi barang, dan kemudian menyimpan
dokumen kepemilikan tanah/bangunan yang berada dalam
pengelolaannya. Dalam hal inventarisasi, pengguna barang
melakukan inventarisasi BMN/D minimal sekali dalam lima tahun,
untuk kemudian dilaporkan kepada pengelola barang selambat-
lambatnya tiga bulan setelah selesai inventarisasi. Untuk pelaporan,
maka pengelola barang harus menyusun Laporan BMN/D beruapa
tanah dan/atau bangunan semesteran dan tahunan. Hasil dari
laporan dimaksud akan digunakan sebagai bahan penyusunan
neraca pemerintah pusat/daerah.
j) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Pembinaan
pengeloaan BMN dilakukan oleh Menteri Keuangan, dan BMD
dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Tugas pengguna barang
adalah melakukan pemantauan terhadap penggunaan,
pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pemeliharaan
dan pengamanan BMN/D yang berada dalam penguasaannya.

31
Kewenangan untuk melakukan pemantauan dan investigasi atas
pelaksaaan penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan BMN/D
ada pada pengelola barang, dan sebagai tindak lanjut, maka
pengelola barang dapat minta aparat pengawas fungsional untuk
melakukan audit terhadap pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan
dan pemindahtanganan BMN/D.

8. Pelaporan aset negara (tanah)


Tanah-tanah Negara dalam arti sempit harus dibedakan dengan
tanah-tanah yang dikuasai oleh kementerian dan lembaga pemerintah
non departemen lainnya dengan Hak pakai, yang merupakan aset atau
sebagian kekayaan negara, yang penguasaannya ada pada Menteri
Keuangan. Sedangkan penguasaan tanah-tanah negara dalam arti
publik sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UUPA ada pada Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.24 Pasal 1 (26) PP
Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
menyatakan bahwa menteri/pimpinan lembaga adalah pejabat yang
bertanggungjawab atas penggunaan barang kementerian negara/
lembaga yang bersangkutan. Pertanggungjawaban pada umumnya
disampaikan dalam bentuk laporan.
Laporan merupakan bagian dari kegiatan penatausahaan yang
dihasilkan dari proses inventarisasi dan pembukuan. Ketentuan
mengenai pelaporan penggunaan BMN/D diatur dalam Pasal 71 PP
Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Laporan dibuat oleh kuasa pengguna barang,
pengguna barang dan pengelola barang. Laporan dibuat baik di tingkat
pemerintah daerah maupun di tingkat pemerintah pusat dan dibuat

24
B.F.Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Cetakan
kedua, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, Tbk, 2005, hal.79).

32
secara berkala berupa laporan semesteran dan laporan tahunan.
Kuasa pengguna, pengguna dan pengelola BMN/D adalah pejabat
yang bertanggungjawab menyusun dan menyampaikan baik Laporan
Barang Pengguna Semesteran (LBPS) maupun Laporan Barang
Pengguna Tahunan (LBPT) terhadap barang yang berada dalam
penguasaannya. Kuasa pengguna barang adalah kepala satuan kerja
atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang. Pengguna barang
adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN/D,
sedangkan pengelola adalah pejabat yang berwenang dan
bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta
melakukan pengelolaan BMN/D. Pada tingkat pemerintah pusat,
menteri/pimpinan lembaga selaku pimpinan kementerian
negara/lembaga adalah pengguna barang milik negara, sedangkan
pada tingkat pemerintah daerah, kepala satuan kerja perangkat daerah
adalah pengguna barang milik daerah. Kuasa pengguna barang
menyampaikan laporan yang dibuatnya kepada pengguna barang,
sedangkan pengguna barang menyampaikan laporan yang disusunnya
kepada pengelola barang. Disamping harus menyusun Laporan
Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau
bangunan, maka pengelola barang juga harus menghimpun LBPS dan
LBPT yang dilaporkan oleh pengguna BMN/D dan juga laporan yang
disusun olehnya, yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan
penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah.
Jangka waktu pelaporan, menurut ketentuan Pasal 69 (3),
jangka waktu pelaporan hasil inventarisasi BMN/D adalah tiga bulan
setelah selesai inventarisasi. Inventarisasi BMN/D berupa tanah
dan/atau bangunan dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam lima
tahun.

33
9. Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 dikaitkan dengan
Regulasi Pengelolaan Aset Negara (Tanah).

Obyek tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Prp


Tahun 1960 adalah meliputi tanah yang ada di seluruh wilayah
Republik Indonesia, baik itu merupakan tanah negara maupun tanah
yang telah dilekati Hak-hak atas tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh
badan hukum maupun perorangan. UU Nomor 17 Tahun 2003 tidak
menyebutkan secara spesifik tentang tanah, melainkan menyebut
tentang kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri oleh pihak lain
yang dapat berupa uang, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, yang menekankan pada penyebutan barang
yang dapat diukur dalam satuan uang dan dalam beberapa pasalnya
menyebutkan tentang tanah. PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah telah dengan jelas
menyebutkan di berbagai pasalnya dan membedakan antara BMN/D
berupa tanah dan berupa bukan tanah. Definisi mengenai BMN/D yang
dikemukakan dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 adalah semua barang
yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D atau dari perolehan
yang sah. Dari kata dibeli dan diperoleh kiranya dapat dikatakan bahwa
obyek tanah yang diatur oleh UU ini hanya tanah yang dikuasai dan
dimiliki oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan dan bukan meliputi
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam
UU Nomor 51 Prp Tahun 1960.
Sehubungan dengan kegiatan pengelolaan, maka tindakan
pelarangan dalam UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 dapat dikategorikan
sebagai tindakan pengawasan dan pengendalian dalam rangka
pengeloaan barang milik negara sebagaimana diatur dalam UU Nomor

34
17 Tahun 2003, UU Nomor 1 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2006, mengingat Perpu tersebut menghendaki adanya
suatu tindakan atas pendudukan illegal, yaitu tindakan pelarangan,
pengosongan dan bahkan pemberian sanksi pidana. Perpu ini
menghendaki adanya pemakaian aset negara berupa tanah yang
teratur, badan hukum atau perorangan dapat menggunakan tanah
hanya jika mereka berhak, yang tentunya diikuti oleh bukti-bukti yang
mendukung hak-hak pendudukan, penggunaan maupun pemanfaatan
atas tanah.
Mengenai pejabat yang berwenang dalam pengelolaan tanah,
maka Perpu inipun sejalan dengan apa yang diatur dalam PP Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang
melibatkan pemerintah pusat dan daerah, maka Perpu menghendaki
keterlibatan pemerintah pusat (Menteri Agraria) maupun pemerintah
daerah (dalam hal ini Bupati/Walikota/Kepala Daerah, untuk Daerah
Tingkat I, Gubernur dan Penguasa Darurat Sipil Daerah, Penguasa
Darurat Militer Daerah dan Penguasa Perang Daerah untuk daerah-
daerah yang dalam keadaan dengan tingkatan darurat sipil, darurat
militer dan keadaan perang untuk melaksanakan pengawasan dan
pengendalian terhadap pendudukan illegal atas tanah sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 berikut:
Pasal 3 (1): Penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan
untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan
perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau
kuasanya yang sah, yang ada di daerahnya masing-
masing pada suatu waktu.
Pasal 5 (2): Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam
ayat (1) pasal ini, maka Menteri Agraria dengan
mendengar Menteri Pertanian, dapat pula mengambil

35
tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah-
tanah perkebunan dan hutan tanpa izin yang berhak atau
kuasanya yang sah, yang dimulai sejak tanggal 12 Juni
1954.
Dilihat dari hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka intisari
pengaturan pelaksanaan pengelolaan aset negara (tanah) dalam Perpu
Nomor 51 Tahun 1960 sangat tidak memadai dan belum mengikuti
perkembangan jaman. Pengaturan pengelolaan aset negara (tanah)
lebih memadai diatur dalam: Perpres Nomor 10 Tahun 2006 Tentang
adan Pertanahan Nasional serta peraturan lain yang mengikutinya, UU
Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 1Tahun 2004 dan PP Nomor 6
Tahun 2006.

C. Peraturan Perundang-Undangan
Berkaitan dengan masalah aset negara. Pasal 33 UUD 1945 secara
jelas menyatakan bahwa25 cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak seperti bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
Pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tentang aset negara ini,
diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

1. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.


Dalam Pasal 1 angka 1 UU tersebut di atas menyatakan bahwa:
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

25
Hasil Perubahan Keempat UUD 1945.

36
Lebih lanjut dalam penjelasannya telah menyebutkan bahwa pengertian
dan ruang lingkup keuangan negara melalui pendekatan yang
digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi
obyek, subyek, proses, dan tujuan26

2. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.


Pasal 1 angka 1 UU tentang Perbendaharaan Negara ini
menyatakan bahwa perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan
kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.
Dengan definisi tersebut jelas bahwa UU tentang perbendaharaan
negara telah memberikan landasan hukum di bidang administrasi
keuangan negara.

3. PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik


Negara/Daerah.

Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara


/aset negara yang ditandai dengan dikeluarkannya PP Nomor 6 Tahun
2006 yang merupakan peraturan turunan UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, telah memunculkan optimisme baru
best practices dalam penataan dan pengelolaan aset negara yang lebih

26
Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan Negara meliputi semua hak dan
kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan
keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara,
dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Peruashaan Negara/Daerah, dan
badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara
mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana
tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan
dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek
sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahaan negara.

37
tertib, akuntabel, dan transparan kedepannya. Pengelolaan aset negara
yang profesional dan modern dengan mengedepankan good
governance di satu sisi diharapkan akan mampu meningkatkan
kepercayaan pengelolaan keuangan negara dari masyarakat /stake-
holder.
Pengelolaan aset negara dalam pengertian yang dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah tidak
sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani
aset negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas dan
menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup
pengelolaan aset negara mencakup perencanaan kebutuhan dan
penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan
dan pemeliharaan; penilaian; penghapusan; pemindahtanganan;
penatausahaan; pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses
tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan
pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus
perbendaharaan dalam konteks yang lebih luas (keuangan negara).
Dewasa ini muncul banyak sekali permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan pengelolaan Barang Milik Negara (BMN).
Permasalahan tersebut antara lain, terdapat perubahan dari
beberapa peraturan perundang-undangan di bidang BMN, antara lain
UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 1 Tahun 2004, UU Nomor 6
Tahun 2006, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007
tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan,
Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2007 tentang
Penggolongan dan Kodifikasi Barang Milik Negara. Namun, pada
dasarnya terdapat ciri yang menonjol dari produk-produk hukum tersebut
yaitu meletakkan landasan hukum dalam bidang administrasi keuangan

38
negara dan melakukan pemisahan secara tegas antara pemegang
kewenangan administratif dan pemegang kewenangan perbendaharaan.
Selain itu, sejalan dengan kebijakan nasional yaitu adanya otonomi
daerah serta bergulirnya perubahan struktur kabinet yang memunculkan
penghapusan suatu kementerian di satu sisi dan pendirian kementerian
pada sisi yang lain membawa implikasi adanya mutasi BMN.

39
BAB III
ANALISIS DAN EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG ASET NEGARA

A. Analisis dan Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Aset Negara yang


Meliputi Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak.

Sebelum tahun 2006, pengelolaan BMN belum dilaksanakan


dengan baik, negara kita belum memiliki sistem pengelolaan BMN yang
reliable, yang bisa dipertanggungjawabkan dengan baik, transparan, dan
akuntabel. Pemanfaatan BMN dari penatausahaan yang kurang baik itu
berujung pada pemanfaatan BMN yang masih belum akuntabel dan belum
transparan. Hal ini terlihat dari temuan BPK yang terkait penatausahaan
dan pemanfaatan aset negara cukup banyak. Dalam LKPP 2004 dan
neraca 2004, untuk neraca aset belum disajikan dengan nilai wajar, dilihat
bahwa belum tertib secara fisik, belum tertib secara administrasi, belum
tertib secara hukum.

Perubahan paradigma pengelolaan aset negara terjadi setelah


terbitnya undang-undang di bidang keuangan negara, yaitu dari UU Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara serta UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Guna
mendukung pengelolaan BMN yang lebih baik telah diterbitkan PPNomor
6 Tahun 2006 tentang Pengelolan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D)
sebagai peraturan pelaksanaan UU dimaksud yang memberikan
kewenangan kepada Menteri Keuangan selain menjadi Bendahara Umum
Negara juga menjadi Pengelola BMN. Dengan perubahan paradigma
dimaksud, kebijakan pemerintah bahwa Menteri Keuangan adalah
Pengelola barang dan Menteri/Pimpinan Lembaga adalah Pengguna
barang. Pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan

40
bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan
pengelolaan barang milik negara/daerah. Pengguna barang adalah
pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN/D. Dengan demikian
pelaksana pengelolaan adalah Pengelola barang dan Pengguna barang.

Kebijakan mengenai aset negara khususnya BMN yang dituangkan


dalam UU di bidang keuangan negara dan PP mengenai pengelolaan BMN
dilaksanakan dengan berbagai Peraturan Menteri Keuangan (PMK),
sehingga peraturan terkait pengelolaan aset negara khususnya BMN
yaitu:
1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008;
5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2007 tentang Bagan
Akun Standar;
6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2007 tentang
Penggolongan dan KodIfikasi Barang Milik Negara;
7) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang
Penatausahaan Barang Milik Negara;
8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem
Akuntansi dan Pelaporan Pemerintah Pusat;
9) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.05/2009 tentang
Tatacara Rekonsiliasi BMN dalam rangka Penyusunan Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat;

41
10) Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 51/PB/2008
tentang Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian
Negara/ Lembaga;
11) Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 07/KN/2009
tentang Tatacara Rekonsiliasi Data Barang Milik Negara dalam rangka
Penyusunan Laporan Barang Milik Negara dan Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat;

Pasal 1 angka 10 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang


Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 PP Nomor 6 Tahun 2006
menyatakan bahwa BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh
atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006, barang yang
berasal dari perolehan lainnya yang sah meliputi :
a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
c. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau
d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006, aset negara
berupa BMN jenisnya sangat banyak, diantaranya barang dari hasil
pembelian APBN, barang eks Kontrak Kerjasama Hasil di bidang migas,
barang eks Badan Penyehatan Perbankan, barang rampasan berdasarkan
putusan pengadilan, dan lainnya.

Sistem pengelolaan barang milik negara Pengelolaan BMN


sebagaimana diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 dimaksud meliputi
kegiatan :

1. perencanaan kebutuhan;
2. penganggaran;

42
3. pengadaan;
4. penggunaan;
5. pemanfaatan;
6. pengamanan dan pemeliharaan;
7. penilaian;
8. penghapusan;
9. pemindahtanganan;
10. penatausahaan;
11. pengawasan dan pengendalian.

Lingkup pengelolaan BMN tersebut merupakan siklus logistik


yang sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Pasal 49 ayat 6 UU
Nomor 1 Tahun 2004, yang antara lain didasarkan pada pertimbangan
siklus perbendaharaan.

Pokok-pokok pengaturan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 yang


perlu diperhatikan yaitu:

1. Penggunaan
Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh
pengguna barang dalam mengelola dan menatausahakan BMN/D
yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi yang
bersangkutan. Status penggunaan barang ditetapkan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. barang milik negara oleh pengelola barang;
b. barang milik daerah oleh Gubernur/Bupati/Walikota

2. Pengamanan dan pemeliharaan


Pengelola barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna
barang wajib melakukan pengamanan BMN/D yang berada dalam
penguasaannya. Pengamanan BMN/D pada ayat (1) meliputi:

43
a) pengamanan administrasi;
b) pengamanan fisik; dan
c) pengamanan hukum.
BMN/D berupa tanah harus disertifikatkan atas nama
Pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang
bersangkutan. BMN/D berupa bangunan harus dilengkapi dengan
bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia
/pemerintah daerah yang bersangkutan. BMN selain tanah dan/atau
bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama
pengguna barang. Bukti kepemilikan BMN/D wajib disimpan dengan
tertib dan aman.
Penyimpanan bukti kepemilikan BMN berupa tanah dan/atau
bangunan dilakukan oleh pengelola barang. Penyimpanan bukti
kepemilikan BMN selain tanah dan /atau bangunan dilakukan oleh
pengguna barang/kuasa pengguna barang. Penyimpanan bukti
kepemilikan BMD dilakukan oleh pengelola barang.
Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang
bertanggung jawab atas pemeliharaan BMN/D yang ada di bawah
penguasaannya. Biaya pemeliharaan BMN/D dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah. Kuasa pengguna
barang wajib membuat daftar hasil pemeliharaan barang yang berada
dalam kewenangannya dan melaporkan /menyampaikan daftar hasil
pemeliharaan barang tersebut kepada pengguna barang secara
berkala.

3. Penilaian
Penilaian BMN/D dilakukan dalam rangka penyusunan neraca
pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan
BMN/D. Penetapan nilai BMN/D dalam rangka penyusunan neraca

44
pemerintah pusat/daerah dilakukan dengan berpedoman pada
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Penilaian BMN berupa tanah
dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau
pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola
barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan
oleh pengelola barang. Penilaian BMN/D berupa tanah dan/atau
bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan
dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota,
dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota. Penilaian BMN/D dilaksanakan untuk
mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah menggunakan
NJOP. Hasil penilaian BMN/D ditetapkan oleh:

a) Pengelola barang untuk BMN;


b) Gubernur/Bupati/Walikota untuk barang milik daerah (BMD).

Penilaian barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan


dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh
tim yang ditetapkan oleh pengguna barang, dan dapat melibatkan
penilai independen yang ditetapkan oleh pengguna barang. Penilaian
BMD selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan
atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh
pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang
ditetapkan pengelola barang.Penilaian BMN/D dilaksanakan untuk
mendapatkan nilai wajar.

Hasil penilaian BMN/D ditetapkan oleh:

a) pengguna barang untuk barang milik negara;


b) pengelola barang untuk barang milik daerah.

45
Pengelolaan atas barang milik negara (BMN) yang baik
menjadi keharusan dalam rangka keakuratan dan keandalan
penyajian data BMN dalam Neraca Pemerintah Pusat pada Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

4. Pemanfaatan

Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMN/D yang tidak


dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah (SKPD), dalam
bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan bangun
serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status
kepemilikan. Bentuk-bentuk pemanfaatan BMN/D berupa:
a) sewa;
b) pinjam pakai;
c) kerjasama pemanfaatan;
d) bangun guna serah dan bangun serah guna.

Mengenai rumah dinas, dengan inventarisasi dan penilaian


dilakukan pemetaan terhadap pemanfaatan rumah dinas, secara
umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pemanfaatan
rumah dinas sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan pemanfaatan
rumah dinas yang tidak mengikuti aturan/ketentuan yang berlaku.
Pada kondisi kedua banyak ditemukan pemanfaatan rumah dinas
oleh pihak yang tidak berhak.

5. Penghapusan

Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN/D dari daftar


barang dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang
berwenang untuk membebaskan pengguna dan/atau kuasa pengguna

46
barang dan/atau pengelola barang dari tanggung jawab administrasi
dan fisik atas barang yang berada dalam penguasaannya.
Penghapusan BMN/D meliputi:
a. penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa
pengguna;
b. penghapusan dari daftar BMN/D.

Penghapusan BMN/D, dilakukan dalam hal BMN/D dimaksud


sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau
kuasa pengguna barang; Penghapusan dengan penerbitan surat
keputusan penghapusan dari:

a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola


barang untuk BMN ;

b. pengguna barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/


walikota atas usul pengelola barang untuk BMD.
Penghapusan BMN/D dari daftar BMN/D dilakukan dalam hal
BMN/D dimaksud sudah beralih pemilikannya, terjadi pemusnahan
atau sebab lain.
Penghapusan dilakukan dengan penerbitan surat keputusan
penghapusan dari:

a. pengelola barang untuk BMN ;


b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati
/Walikota untuk barang milik daerah.

Penghapusan BMN/D dengan tindak lanjut pemusnahan


dilakukan apabila BMN/D dimaksud:

a. tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat


dipindahtangankan;

b. alasan lain sesuai ketentuan perundang-undangan.

47
Pemusnahan dilaksanakan oleh pengguna barang setelah
mendapat persetujuan pengelola barang untuk BMN atau pengguna
barang dengan surat keputusan dari pengelola barang setelah
mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota untuk barang milik
daerah.

6. Pemindahtanganan

Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN/D


sebagai tindak lanjut dari penghapusan dengan cara dijual,
dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah.
Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tindak lanjut atas
penghapusan BMN/D meliputi:
a. penjualan;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.

7. Penatausahaan
Mengacu pada Pasal 1 butir 20 PP Nomor 6 Tahun 2006,
penatausahaan BMN adalah rangkaian kegiatan yang meliputi
pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan BMN sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. BMN yang telah diperoleh tersebut harus
dicatat dan dilaporkan sesuai dengan asas-asas pengelolaan BMN,
yaitu fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi,
akuntabilitas dan kepastian nilai.
Penatausahaan BMN bertujuan untuk mewujudkan tertib
administrasi dan mendukung tertib pengelolaan BMN yang meliputi
penatausahaan pada Pengguna/Kuasa Pengguna barang dan
Pengelola barang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN.

48
Output utama penatausahaan adalah terbitnya Laporan Barang Milik
Negara (LBMN) sebagai media pertanggungjawaban pengelolaan
BMN yang dilakukan oleh pengguna/pengelola barang dalam suatu
periode tertentu, yang dapat digunakan sebagai sumber informasi
dalam pengambilan keputusan masa depan (prediction value) terkait
BMN. LBMN juga merupakan bahan untuk menyusun neraca
pemerintah pusat yang menjadi bagian dari Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP). Oleh karena itu, kebijakan akuntansi BMN
mengacu pada PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan, yang merupakan prinsip-prinsip dasar pengakuan,
pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi keuangan
pemerintah yang berlaku umum.

Kebijakan Pemerintah mengenai pengelolaan aset negara


yang meliputi benda tak bergerak dan benda bergerak telah tertuang
dalam UU di bidang keuangan negara yaitu Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara serta Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara dan PP Nomor 6 tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

B. Analisis dan Evaluasi Kebijakan Praktek Penatausahaan, Penilaian,


Penggunaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan
Pemindahtanganan Aset Negara, Benda Tak Bergerak, dan Benda
Bergerak.

Mengingat besarnya kewenangan dan tanggung jawab Menteri


Keuangan dalam melakukan pengelolaan BMN dimaksud, maka di
Kementerian Keuangan telah dibentuk satu unit eselon I yang khusus

49
menangani pengelolaan kekayaan/aset negara termasuk BMN yaitu
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 66 tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I
Kementerian RI. Kegiatan Penertiban BMN menuntaskan inventarisasi dan
penilaian BMN di seluruh Kementerian Negara dan Lembaga (K/L) adalah
kegiatan yang menjadi prioritas bagi DJKN pada awal-awal berdirinya
direktorat jenderal ini.
Pemerintah juga berdasarkan Keppres 17 Tahun 2007 membentuk
Tim Penertiban BMN untuk melakukan inventarisasi dan penilaian atas aset
negara berupa BMN pada Kementerian dan Lembaga, yang diperpanjang
oleh Presiden dengan menerbitkan Keppres 13 Tahun 2009, di mana batas
waktu Penertiban BMN diperpanjang yang semula berlaku mulai tanggal 1
Agustus 2008 dan berakhir sampai dengan 31 Desember 2008, menjadi
berakhir sampai dengan 31 Maret 2010. Tim diketuai oleh Menteri
Keuangan dan sebagai wakilnya adalah Menteri Sekretaris Negara,
anggotanya terdiri dari Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri
Negara BUMN, Menteri Pertahanan, Sekretaris Kabinet, Kepala BPKP dan
Kapolri, sedangkan Sekretaris dijabat oleh Direktur Jenderal Kekayaan
Negara, Kementerian Keuangan.
Tim Penertiban BMN mempunyai tugas merumuskan kebijakan dan
strategi percepatan inventarisasi; mengkoordinasikan pelaksanaan
inventarisasi, penilaian dan sertifikasi BMN di K/L; melakukan monitoring
terhadap pelaksanaan inventarisasi, penilaian dan sertifikasi BMN yang
dilakukan oleh K/L; dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian
permasalahan dalam rangka pengamanan BMN yang berada penguasaan
K/L. Dalam menjalankan tugasnya, tim dibantu oleh satuan tugas (satgas)
yang keanggotaannya, susunan organisasi, tugas dan alat kerjanya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku Ketua Tim. Tugas satgas adalah

50
melakukan identifikasi permasalahan, inventarisasi dan evaluasi BMN,
penyesuaian laporan K/L, sertifikasi dan pembangunan database BMN.
Pelaksanan tugas Tim dilakukan oleh DJKN.
Saat ini DJKN, sedang meletakkan pondasi sebagai aset manager
pemerintah, dengan membangun perhatian dan kesadaran (awareness)
dari setiap K/L agar dapat melaksanakan optimalisasi aset atau lebih
dikenal dengan The Highest and Best Use of Asset. Setelah optimalisasi
BMN ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka penganggaran
aset yang efisien dan efektif dapat diwujudkan dalam waktu yang tidak
terlalu lama.
Penertiban BMN yang dilakukan DJKN sesuai amanat PP 6 Tahun
2006 dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu:
1. tertib administrasi. Setelah Inventarisasi dan Penilaian, setiap K/L
harus menindaklanjuti hasil Inventarisasi dan Penilaian dengan
rekonsiliasi secara berjenjang sesuai PMK nomor 102/PMK.06/2009
tentang Tata Cara Rekonsiliasi BMN Dalam Rangka Penyusunan
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, yakni (i) rekonsiliasi internal K/L
antara unit akuntansi Barang/SIMAK BMN dan unit akuntansi
keuangan/SAK, (ii) rekonsiliasi antara K/L dan DJKN selaku Pengelola
barang, dan (iii) rekonsiliasi pada Bendahara Umum Negara (BUN)
antara DJKN dengan Ditjen Perbendaharaan.
2. tertib hukum. Terkait dengan tertib hukum, DJKN sudah menerbitkan
aturan terkait dengan sertifikasi BMN. DJKN telah mengadakan
sosialisasi terkait dengan terbitnya Peraturan Bersama Menteri
Keuangan Nomor 186/PMK.06/2009 dan Kepala BPN Nomor 24
Tahun 2009 tentang Pensertifikatan Barang Milik Negara Berupa
Tanah. Dengan diadakannya sosialisasi ini, diharapkan seluruh K/L
mempunyai kesamaan persepsi tentang makna dan urgensi

51
pensertifikatan BMN berupa tanah dalam rangka pengamanan aset
sehingga dapat terwujud tertib hukum dalam pengelolaan BMN.
3. tertib fisik Setelah dua tertib tersebut dapat dilaksanakan maka
dilaksanakan tertib terakhir yaitu tertib fisik.

Penertiban BMN didefinisikan sebagai kegiatan pengumpulan data


BMN meliputi jenis, jumlah, nilai, berikut permasalahan dalam
penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan,
pengamanan, dan pemeliharaaan BMN serta tindak lanjut dalam rangka
mewujudkan pengelolaan yang tertib dan akuntabel, baik secara
administratif, teknis maupun hukum.
Jadi tujuan utama penertiban BMN adalah menginventarisasi dan
mengamankan seluruh BMN pada K/L yang belum terinventarisasi dengan
baik sesuai peraturan perundang-undangan, menyajikan nilai koreksi BMN
pada laporan keuangan K/L per 31 Desember 2007 dan melakukan
sertifikasi BMN atas nama Pemerintah Republik Indonesia.
Adapun obyek inventarisasi dan penilaian adalah seluruh BMN yang
diperoleh sampai dengan 31 Desember 2007, meliputi: BMN yang belum
dicatat atau disertifikasi atau digunakan/dimanfaatkan, BMN yang
bersumber dari Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, BMN yang
berasal dari kekayaan negara lain-lain (KNL), Barang Pemerintah Yang
Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS) dan aset lain yang berdasarkan
peraturan perundangan ditetapkan sebagai BMN.
Output yang diharapkan dari penertiban BMN ditinjau dari aspek
administratif, yuridis dan teknis sebagai berikut:
a) aspek administratif, database BMN yang lengkap dan handal, dan nilai
aset yang wajar dan akuntabel,

52
b) aspek yuridis, kejelasan status hukum BMN dan hasil inventarisasi dan
penilaian BMN menjadi dasar pensertifikatan BMN yang belum
bersertifikat,
c) aspek teknis, perencanaan aset secara terintegrasi dengan
mengutamakan pengadaan melalui optimalisasi aset idle, penggunaan
BMN oleh K/L sesuai kebutuhan, penerimaan negara dari
pemanfaatan aset dan peningkatan pelayanan bagi masyarakat
(digunakan untuk kepentingan umum).

Dengan output ini diharapkan dapat mencapai tujuan akhir penertiban


BMN yang terangkum dalam 3T, yaitu tertib administrasi, tertib hukum
dan tertib fisik.
Penertiban BMN yang dilakukan oleh DJKN, ditemukan kendala
antara lain :
a) Jumlah satuan kerja (satker) instansi vertikal yang banyak serta SKPD
yang berubah-ubah;

b) Jumlah satker yang menjadi target penertiban BMN lebih dari 20 ribu
satker yang di dalamnya juga memuat SKPD yang menguasai BMN
yang berasal dari dana DK/TP;

c) Lokasi satker yang tersebar di pulau-pulau;

d) Lokasi satker tersebar di wilayah/pulau yang sulit untuk dilalui,


sehingga menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pelaksanaan
penertiban BMN;

e) Tidak semua satker membuat SABMN.

Penertiban BMN, seyogyanya dapat dilakukan lebih cepat dan


tepat apabila lebih dari 20 ribu satker yang menjadi target penertiban
BMN mengaplikasikan Sistem Informasi Manajemen Akuntansi BMN

53
(SIMAK-BMN (dh. SABMN)). Walaupun pemerintah sudah membuat
LKPP sejak tahun 2004, akan tetapi masih ditemukan sebagian besar
satker tidak melaksanakan penatausahaan menggunakan SIMAK-BMN.

a) BMN properti khusus

Pada beberapa kasus, khususnya BMN milik Kementerian Pekerjaan


Umum yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti bendungan, jalan
dan jembatan sulit untuk diberikan nilai wajarnya. Pendekatan yang
paling tepat untuk memberikan nilai wajar pada BMN properti khusus
ini adalah pendekatan biaya (Cost Approach), karena tidak mungkin
dilakukan dengan pendekatan data pasar (Market Data Approach).

b) BMN dari dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan (DK/TP)

BMN yang berasal dana DK/TP pada umumnya belum ditatausahakan


sesuai dengan ketentuan. Terdapat SKPD yang menerima dana
DK/TP lebih dari satu eselon pada satu K/L. Terdapat SKPD yang
sifatnya on/off, dengan kata lain boleh jadi tahun lalu menerima dana
DK/TP akan tetapi tahun berikutnya tidak lagi menerima atau
sebaliknya.

c) BMN milik Departemen Pertahanan

Departemen Pertahanan memiliki struktur Pengelola Anggaran/Barang


yang berbeda dengan K/L yang lain. Apabila di K/L lain terdapat
satker/Kuasa Pengguna barang (KPB), maka di Kementerian
Pertahanan kantor-kantor instansi vertikal/markas komando bukan
sebagai KPB, melainkan seperti subsatker yang memiliki aplikasi
penatausahaan BMN sendiri yang berbeda dari yang berlaku pada K/L
lain.

54
Dari 74 K/L tersebut, 71 K/L telah selesai dilakukan Inventarisasi
dan Penilaian pada seluruh satkernya. Sedangkan terdapat 3 K/L yang
progresnya belum mencapai 100% karena terdapat beberapa kendala
terkait penyelesaian inventarisasi dan penilaian antara lain karena :
a) Terdapat satker yang dalam pelaksanaan inventarisasi dan penilaian
satker dimaksud terdapat kekuranglengkapan data pendukung yang
dibutuhkan oleh Tim Penertiban;

b) Pelaksanaan inventarisasi dan penilaian pada satker yang ternyata


dilaksanakan oleh pihak ketiga (outsourcing) sehingga memerlukan
beberapa penyesuaian untuk dapat memenuhi standard dan
ketentuan yang dipersyaratkan oleh Kementerian Keuangan;

c) Terdapat 1.140 satker/subsatker dari 1.565 satker/subsatker yang


telah dilaksanakan inventarisasi dan penilaian, akan tetapi karena
dilakukan perubahan sistem pengkodean barang pada Sistem
Informasi Manajemen Keuangan (SIMAK) Pengguna barang yang
bersangkutan, mengakibatkan diperlukannya waktu dan upaya
tambahan bagi Tim Penertiban Inventarisasi dan Penilaian untuk
menyesuaikan dengan sistem yang ada pada SIMAK-BMN.

Selanjutnya hasil inventarisasi dan penilaian BMN tersebut


dijadikan sebagai dasar koreksi atas nilai BMN yang telah disajikan pada
Neraca Awal Pemerintah per 31 Desember 2004. Hasil pelaksanaan
inventarisasi dan penilaian atas BMN yang dilakukan oleh Tim Penertiban
bersama-sama dengan K/L menunjukkan bahwa dari total 22.619 satker
yang menjadi target inventarisasi dan penilaian, sebanyak 22.506 satker
telah dilakukan inventarisasi dan penilaian atau 98,4% dengan total nilai
koreksi sebesar Rp409.274.152.965.644 sampai dengan tanggal 31
Maret 2010, yang sebelumnya Rp 363.735.295.478.025 menjadi Rp
773.009.448.443.669 (Laporan Intern Penertiban BMN 6 Mei 2010).

55
Penertiban BMN ini akhirnya membuahkan hasil. Pada tanggal 1
Juni 2009, BPK mengumumkan opini terhadap Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2009, yaitu Wajar Dengan Pengecualian
(WDP). Suatu opini di bawah opini terbaik Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP). Dari sisi aset tetap, penertiban BMN ini memberi andil dalam
perbaikan opini BPK. Sebagaimana dikutip dari Siaran Pers BPK tanggal
1 Juni 2009, ” Dalam tahun 2009 pemerintah telah melakukan perbaikan,
berupa inventarisasi dan penilaian atas aset tetap yang diperoleh
sebelum tahun 2005 yang telah mencapai 98%.” Dengan peningkatan
opini ini, berarti LKPP lebih bisa dipertanggungjawabkan (lebih
akuntabel). Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2004,
LKPP Tahun 2005, dan LKPP Tahun 2006, terdapat beberapa temuan
yang terkait dengan Barang Milik Negara (BMN), antara lain: (i) BMN
yang disajikan pada neraca belum dapat diyakini kewajarannya, (ii) Aset
Tetap K/L belum disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan, (iii) prosedur pencatatan dan pelaporan BMN tidak
dilakukan sesuai dengan sistem akuntansi yang telah ditetapkan, dan (iv)
sistem pengendalian intern pengelolaan atas BMN masih lemah.

Penertiban BMN menghasilkan input bagi pembuatan database


Kekayaan Negara. Untuk keperluan APBN, sesuai amanat PP 6 Tahun
2006, maka Pengelola barang berkepentingan untuk mengintegrasikan
perencanaan kebutuhan aset dan penganggarannya (Integrated Asset
Planning and Budgeting). Dengan kata lain fungsi perencanaan,
penganggaran, pengelolaan dan pertanggungjawaban aset adalah
sebuah siklus yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan BMN. Untuk itu
DJKN selaku Pengelola barang perlu membuat standar kebutuhan
barang yang diperlukan oleh K/L dalam menjalankan tugas dan
fungsinya. Dalam membuat Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Lembaga (RKA-KL) ke depan, tidak hanya memperhitungkan berapa

56
anggaran yang dibutuhkan oleh K/L, akan tetapi juga memperhitungkan
berapa BMN yang dibutuhkan oleh K/L. Dengan terintegrasinya
perencanaan aset dan anggaran, diharapkan optimalisasi, efisiensi dan
efektifitas pembiayaan APBN dapat segera terwujud.
Dari penertiban BMN dan praktek pengelolaan BMN yang
dilaksanakan DJKN, ditemui berbagai kendala dan masalah, sebagai
berikut:
Masalah/Kendala Dalam Proses Pengelolaan BMN

No Pengelolaan Masalah/Kendala

1 Penggunaan Adanya perbedaan penafsiran maupun kendala di


lapangan dalam melakukan penetapan status
penggunaan mengingat sebagaimana PMK
Nomor 96/PMK.06/2007 Pasal 4 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa “Penggunaan BMN untuk
menjalankan tugas pokok dan fungsi dilakukan
berdasarkan penetapan status penggunaan oleh
Pengelola barang”.
- Hal yang menjadi permasalahan atau pertanyaan
adalah:
a. Apakah ketentuan penetapan status
penggunaan tersebut berlaku bagi seluruh
BMN, baik yang diperoleh sebelum adanya
PMK tersebut maupun setelahnya dan
bagaimana status hukum terhadap BMN yang
belum ditetapkan status penggunaannya;
b. Apabila harus ditetapkan status penggunaan
terhadap seluruh BMN, apakah hal tersebut
tidak memperpanjang birokrasi mengingat
pada dasarnya setiap tahun DJKN membuat
LBMN yang telah diaudit serta menjadi bagian
dari LKPP;
c. Terhadap BMN berupa tanah sebagaimana
lampiran I PMK tersebut, dalam hal penetapan
status penggunaannya dipersyaratkan telah
bersertifikat an. Pemerintah RI, hal tersebut
menjadi kendala tersendiri mengingat untuk
saat ini hampir seluruh BMN berupa tanah
belum memenuhi persyaratan tersebut.

57
Pemeliharaan Dari hasil penertiban BMN diketahui beberapa hal
2
berikut terkait pemeliharaan BMN:
a. Adanya indikasi biaya yang dikeluarkan untuk
pemeliharaan BMN tidak tepat sasaran
mengingat terdapat BMN dengan kondisi
rusak berat juga diajukan untuk memperoleh
biaya pemeliharaan. Sedangkan di sisi lain
KPPN tidak melakukan pengecekan kondisi
fisik terhadap BMN yang diajukan untuk
memperoleh biaya pemeliharaan;
b. Perlunya kajian lebih lanjut terkait besaran
biaya pemeliharaan BMN yang lebih sesuai,
mengingat banyak keluhan biaya yang ada
tidak mencukupi khususnya untuk biaya
pemeliharaan kendaraan bermotor dan
gedung/bangunan;

Pemanfaatan BMN terdiri dari sewa, pinjam pakai,


3 Pemanfaatan
kerjasama pemanfaatan dan BGS/BSG
Permasalahan terkait sewa:
- Terkait penentuan nilai sewa sebagaimana diatur
dalam Lampiran II A PMK-96/PMK.06/2007
terdapat permasalahan dalam pelaksanaannya.
Seringkali nilai sewa yang dihasilkan dari
penghitungan menggunakan rumus sewa tersebut
tidak sesuai dengan kondisi di lapangan (kadang
terlalu tinggi atau terlalu rendah), sebagai contoh
penghitungan sewa tanah/bangunan untuk mesin
ATM atau papan reklame/baliho bila menggunakan
ketentuan tersebut maka dihitung hanya
berdasarkan luas tanah dan/atau bangunan yang
disewa (misal: 2x2 meter) sehingga menghasilkan
nilai yang terlalu kecil dibanding nilai pasar.
- Belum ada pengaturan terhadap sewa BMN yang
terjadi secara insidentil/tidak sepanjang tahun,
misal sewa terhadap gedung serba guna untuk
kegiatan dengan waktu terbatas.

Permasalahan terkait kerjasama pemanfaatan


(KSP):
- Diusulkan untuk kajian lebih lanjut terkait tatacara
KSP sebagaimana lampiran IV PMK dimaksud
sehingga tidak terjadi multitafsir serta menjadi
kendala dalam pelaksanaannya, sebagai contoh
aturan mengenai pembagian keuntungan yang

58
wajib dibayar setiap tanggal 31 Maret tahun
berikutnya, belum diatur mengenai apabila pihak
ketiga belum memperoleh keuntungan;
- Belum adanya petunjuk yang jelas terkait
penetapan kontribusi tetap dan pembagian
keuntungan dalam PMK Nomor 96/PMK.06/2007
maupun dalam aturan penilaian BMN.

Terdapat perbedaan penafsiran terkait alur


4 Penghapusan
pelaksanaan penghapusan yang disebabkan adanya
perbedaan pengaturan antara PP Nomor 6 Tahun
2006 dengan PMK Nomor 96/PMK.06/2007.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 PP Nomor
6 Tahun 2006 yang dapat diartikan bahwa
pemindahtanganan merupakan tindak lanjut atas
penghapusan BMN, sedangkan pada Pasal 9 ayat
(4) PMK Nomor 96/PMK.06/2007 menyebutkan
bahwa penghapusan BMN dilakukan dalam hal
beralih kepemilikannya, dimusnahkan atau sebab-
sebab lainnya.

Pemindahtanganan meliputi penjualan, tukar-


5 Pemindahtangan-
menukar, hibah.
an Permasalahan penjualan:
Terkait Pasal 13 ayat (1) pada PMK Nomor
96/PMK.06/2007 yang menyebutkan bahwa
penilaian terhadap BMN selain tanah dan
bangunan oleh tim dilakukan untuk mendapatkan
nilai tertinggi diantara nilai pasar, nilai buku
dikurangi penyusutan dan nilai yang ditetapkan
oleh instansi yang berwenang. Hal tersebut
menimbulkan kesulitan dalam penerapannya,
karena sebagaimana diketahui bahwa kegiatan
penilaian suatu barang adalah untuk memperoleh
nilai wajar atas barang tersebut. Permasalahan
terjadi apabila nilai yang dihasilkan dari kegiatan
penilaian lebih rendah dari salah satu atau kedua
nilai lainnya.

Permasalahan tukar- menukar:


Dalam PMK Nomor 96/PMK.06/2007 pelaksanaan
tukar-menukar dilaksanakan dengan melalui tender
dengan minimal lima peserta, dalam prakteknya
hal ini banyak mengalami kendala terkait jumlah
peserta tersebut. Untuk itu sebaiknya perlu

59
dilakukan pengkajian terkait kemungkinan
pemilihan mitra tukar menukar tidak harus melalui
tender.

Permasalahan Penggunaan Nilai Jual Obyek Pajak


(NJOP)
Pasal 39 ayat (3) PP Nomor 6 Tahun 2006
menyebutkan bahwa penilaian BMN/D
dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar,
dengan estimasi terendah menggunakan NJOP.
Hal ini menjadi kontradiktif mengingat di satu sisi
penilaian dilakukan untuk memperoleh nilai wajar
atas suatu BMN, namun di sisi lain “dibatasi”
dengan adanya NJOP tersebut. Dalam praktek
pengelolaan BMN hal tersebut menjadi kendala
terutama dalam hal apabila terjadi hasil penilaian
lebih kecil dibanding NJOP.

Sumber: Direktorat BMN II DJKN Kementerian Keuangan

Khusus praktek pengelolaan BMN berupa tanah yang dilaksanakan


DJKN, ditemui berbagai kendala dan masalah, sebagai berikut:

Masalah/Kendala Dalam Proses Pengelolaan BMN


Berupa Tanah/Bangunan

No Pengelolaan Masalah/Kendala
1 Penggunaan Hampir tidak ada K/L yang mengusulkan penetapan
status penggunaan tanah. Penyebabnya antara lain:
1) Kekurang pedulian K/L terhadap hal ini karena tidak
ada sanksi yang memadai bagi K/L yang tidak
mematuhi.
2) Terkendala oleh proses sertifikasi tanah.
 Dalam Undang-undang Nomor 1Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dan PP Nomor 6
Tahun 2006 diatur bahwa BMN berupa tanah
disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik
Indonesia. Pada kenyataannya hal ini tidak dapat
dilaksanakan karena Badan Pertanahan Nasional
(BPN) tidak bersedia menerbitkan sertifikat atas

60
nama Pemerintah Republik Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri
Keuangan dan Kepala BPN Nomor
186/PMK.06/2009 disebutkan Sertifikat Tanah
akan diterbitkan “atas nama Pemerintah Republik
Indonesia cq Kementerian/ Lembaga…”

 Tahun 2010 belum dialokasikan dana untuk


sertipikasi.

Pemeliharaan a. Biaya pemeliharaan BMN boros, karena:


2
Dalam kegiatan IP diketahui terdapat cukup banyak
BMN berupa tanah yang tidak dimanfaatkan (idle).
BMN idle tetap harus dijaga dan dipelihara. Dengan
demikian, biaya pemeliharaan secara keseluruhan
menjadi lebih besar dibanding jika BMN tersebut
dimanfaatkan.
b. Banyak orang mengeluhkan mutu sarana prasarana
umum seperti jalan, jembatan, dsb. Persoalan ini
dapat diduga disebabkan oleh:
1) Biaya pemeliharaan kurang; atau
2) Biaya cukup tapi pemeliharaan tidak benar.

Pemanfaatan a. Tidak ada pedoman rinci:


3
1) Tatacara tender untuk pemilihan mitra, KSP,
BGS/BSG
2) Tatacara perhitungan kompensasi pada
KSP, BGS/BSG
b. Pengaturan tarif sewa tunggal. Tarif demikian
tidak kondusif untuk menunjang
penyelenggaraan tugas fungsi K/L karena mitra
sewa tidak selalu profit oriented.
c. Adanya peraturan yang hanya berlaku bagi
Kementerian tertentu. Contoh PMK Nomor
23/PMK.06/2010.
d. Di dalam PMK 96/2007 diatur bahwa
kewenangan penghitungan nilai aset yang
merupakan sebagian tanah/bangunan dan
selain tanah/bangunan yang disewakan dan
nilai sewa dilakukan oleh Tim K/L belum
mempunyai Tenaga Penilai bersertifikat.
Seringkali nilai yang diajukan oelh pengguna
dalam usul pemanfaatan terlalu rendah.

61
Penghapusan Tidak diatur pembongkaran mendahului ijin.
4
Sementara itu, hal ini sering segera dilakukan. Contoh:
karena bencana alam atau peristiwa kecelakaan,
bangunan menjadi rusak berat dan membahayakan
keselamatan. Seharusnya bangunan yang demikian
dapat langsung dibongkar setelah diperiksa dan
dikeluarkan surat keterangan dari instansi kompeten
(Dinas Pekerjaan Umum).

Pemindahtanganan a. Peraturan tidak secara rinci mengatur tatacara


5
pemilihan mitra.
b. Keharusan tender untuk tukar menukar. Sementara
tidak semuanya dapat dilakukan dengan tender.
Contoh, tukar-menukar tanah berbatasan, tukar-
menukar untuk mendapat akses jalan, tukar-
menukar karena sungai pindah/dipindahkan.
c. Tidak ada tata cara tukar-menukar untuk
menyatukan BMN.

Penatausahaan a. Terdapat cukup banyak BMN yang sesuai peraturan


6
perundangan harus memiliki dokumen kepemilikan
tidak didukung dokumen kepemilikan.
b. Dokumen terkait BMN tidak lengkap.
c. Tidak ada ruang penyimpanan dokumen.
d. Belum ada peraturan tentang Tatacara Pengelolaan
Dokumen BMN.

Sumber Direktorat BMN I DJKN Kementerian Keuangan

Kendala-kendala yang ditemukan dalam praktek pengelolaan aset


negara/BMN dimaksud akan diatasi dengan suatu rencana strategis dan

62
pembuatan peraturan-peraturan terkait untuk meluruskan semua kegiatan
pengelolaan sesuai dengan jiwa PP Nomor 6 Tahun 2006.

C. Analisis dan Evaluasi atas Akuntabilitas Pengelolaan Aset Negara

Pada tahun anggaran 2008 Badan Pemeriksa Keuangan Republik


27
Indonesia kembali tidak menyatakan pendapat (disclaimer) atas

27
Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi
keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria (i) kesesuaian
dengan standar akuntansi pemerintahan, (ii) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures),
(iii) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (iv) efektivitas sistem
pengendalian intern.
Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni (i) opini wajar
tanpa pengecualian (unqualified opinion), (ii) opini wajar dengan pengecualian (qualified
opinion), (iii) opini tidak wajar (adversed opinion), dan (iv) pernyataan menolak memberikan
opini (disclaimer of opinion). Penjelasan atas setiap jenis opini adalah sebagai berikut:
1. opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), opini wajar tanpa pengecualian
menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dan
cukup, dalam semua hal yang material. Dengan kata lain, informasi keuangan yang disajikan
dan diungkapkan dalam laporan keuangan dapat digunakan oleh para pengguna laporan
keuangan. Ini adalah opini yang dinyatakan dalam bentuk baku Laporan Hasil Pemeriksaan
atas Laporan Keuangan.
2. opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), opini wajar dengan pengecualian
menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dan
cukup, dalam semua hal yang material, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan
dengan yang dikecualikan. Dengan kata lain, informasi keuangan yang disajikan dan
diungkapkan dalam laporan keuangan ”yang tidak dikecualikan dalam opini pemeriksa” dapat
digunakan oleh para pengguna laporan keuangan.
3. opini tidak wajar (adversed opinion), opini tidak wajar menyatakan bahwa laporan
keuangan tidak disajikan dan diungkapkan secara wajar dan cukup, dalam semua hal yang
material. Dengan kata lain, informasi keuangan yang disajikan dan diungkapkan dalam
laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan; dan
4. pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion), pernyataan menolak
memberikan opini menyatakan bahwa laporan keuangan tidak dapat diperiksa sesuai
dengan standar pemeriksaan. Dengan kata lain, pemeriksa tidak dapat memberikan
keyakinan bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material. Dengan demikian,

63
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2008. Ini berarti,
selama lima tahun berturut-turut, 2004 - 2008, BPK telah memberikan opini
disclaimer atas LKPP. Opini atas LKPP yang terus menerus buruk seperti ini
menggambarkan bahwa perbaikan sistem keuangan negara belum terjadi
secara menyeluruh pada semua Departemen/Lembaga Negara. Salah satu
penyebabnya adalah karena belum adanya kesungguhan dan upaya yang
mendasar, petunjuk maupun program terpadu dari pemerintah.
Terdapat sembilan kelompok permasalahan yang ditemukan BPK,
berkaitan dengan pemberian opini disclaimer pada LKPP 2008, yaitu:
1. Belum adanya sinkronisasi UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004
dengan UU Perpajakan dan UU PNBP ataupun ketidakpatuhan terhadap
perundang-undangan yang berlaku.
2. Masih adanya berbagai jenis pungutan yang tidak memiliki dasar hukum
dan dikelola di luar mekanisme APBN. Terdapat pungutan sekitar Rp731
miliar oleh 11 kementerian/lembaga negara yang tidak ada dasar
hukumnya.
3. Belum adanya keterpaduan antara Sistem Akuntansi Umum (SAU) yang
diselenggarakan oleh Departemen Keuangan dan Sistem Akuntansi
Instansi (SAI) yang diselenggarakan departemen/lembaga sehingga
masih ada selisih antara keduanya. Dilaporkan adanya penerimaan
perpajakan Rp3,43 triliun yang belum dapat direkonsiliasikan.

informasi keuangan yang disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan tidak dapat
digunakan oleh para pengguna laporan keuangan.
Dengan pertimbangan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur serta
harapan akuntabilitas dan transparansi publik, SPKN mengakui bahwa tingkatan kualitas
kewajaran penyajian Laporan Keuangan adalah (i) opini wajar tanpa pengecualian (unqualified
opinion), (ii) opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), (iii) opini tidak wajar (adversed
opinion), dan (iv) pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion). Pernyataan
Standar Pemeriksa

64
4. Rekening liar belum terintegrasi dan terekonsiliasi dalam suatu Treasury
Single Account. Kesalahan pembukuan masih terjadi, seperti kesalahan
pembebanan pengakuan pendapatan PBB Migas dan Panas Bumi atas
Kontraktor Kontrak Kerja Sama Rp5,33 triliun.
5. Inventarisasi aset negara di berbagai instansi pemerintahan berjalan
sangat lambat dan penilaiannya belum seragam.
6. Belum ada program untuk menyatukan sistem teknologi informasi
pemerintah.
7. Belum ada program yang mendasar untuk meningkatkan jumlah sumber
daya manusia pemerintah dalam bidang pembukuan dan akuntansi.
8. Belum ada program mendasar untuk memberdayakan Inspektur
Jenderal/Satuan Pengendalian Intern dan Bawasda dalam peningkatan
mutu penyusunan laporan keuangan maupun pemberantasan korupsi;
9. Peranan BPKP tetap tidak jelas dalam pembangunan sistem akuntansi
pemerintah maupun dalam pemberdayaan pengawas internal
pemerintah.

Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara/aset


negara yang ditandai dengan keluarkannya PP Nomor. 6 Tahun 2006 yang
merupakan peraturan turunan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, telah memunculkan optimisme baru best practices
dalam penataan dan pengelolaan aset negara yang lebih tertib, akuntabel,
dan transparan kedepannya. Pengelolaan aset negara yang professional
dan modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi
diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan
keuangan negara dari masyarakat/stake-holder.
Pengelolaan aset negara dalam pengertian yang dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah tidak sekedar
administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset

65
negara, dengan bagaimana meningkatkan efisiensi, efektifitas dan
menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup
pengelolaan aset negara mencakup perencanaan kebutuhan dan
penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan dan
pemeliharaan; penilaian; penghapusan; pemindahtanganan;
penatausahaan; pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses
tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada
pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam
konteks yang lebih luas (keuangan negara).
Dewasa ini muncul banyak sekali permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan pengelolaan BMN. Permasalahan-permasalahan tersebut
antara lain yaitu terdapat perubahan dari beberapa peraturan perundang-
undangan di bidang BMN, antara lain UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/ Daerah, PMK Nomor 20/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan
BMN, dan PMK Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan BMN.
Namun, pada dasarnya terdapat ciri yang menonjol dari produk-produk
hukum tersebut yaitu meletakkan landasan hukum dalam bidang
administrasi keuangan negara dan melakukan pemisahan secara tegas
antara pemegang kewenangan administratif dan pemegang kewenangan
perbendaharaan. Selain itu, sejalan dengan kebijakan nasional yaitu adanya
otonomi daerah serta bergulirnya perubahan struktur kabinet yang
memunculkan penghapusan suatu kementerian di satu sisi dan pendirian
kementerian pada sisi yang lain membawa implikasi adanya mutasi BMN.

a. Pengendalian intern atas pengelolaan aset negara

66
Walaupun sudah banyak kebijakan tentang sistem dan prosedur
yang diterbitkan untuk mencegah penyalahgunaan asset negara, namun
tampaknya hal itu masih belum cukup. Aset tetap negara merupakan
salah satu sektor yang paling strategis dalam pengelolaan keuangan
negara. Pada umumnya nilai aset tetap negara paling besar
dibandingkan akun lain pada laporan keuangan. Selain itu,
keberadaannya sangat mempengaruhi kelancaran roda penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu, manajemen aset
negara tidak bisa dipandang sebelah mata. Sistem Pengendalian Intern
(SPI) atas pengelolaan aset tetap negara harus handal untuk mencegah
penyimpangan yang dapat merugikan negara.
PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP) telah menetapkan definisi yang tegas tentang aset.
Dalam Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan paragraf 60 (a)
dan 61 diuraikan dengan jelas tentang definisi aset, yaitu bahwa:
“Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki
oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana
manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat
diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur
dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang
diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-
sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.”
Berdasarkan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan
(paragraf 60), sesuatu harus memiliki nilai agar dapat dikategorikan
sebagai aset. Nilai dari suatu aset harus diukur dan dinyatakan dalam
satuan moneter (yakni rupiah), sehingga aset tersebut dapat diakui
(recognized) dalam laporan keuangan.
Di Indonesia, manajemen aset diungkapkan dalam PP Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yang

67
menyebutkan: (1) pengelolaan BMN/D dilaksanakan berdasarkan asas
fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi,
akuntabilitas, dan kepastian nilai, (2) Pengelolaan BMN/D meliputi:
perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan,
pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan,
pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan
pengendalian.
Tujuan dan sasaran dari manajemen aset adalah untuk mencapai
kecocokan/kesesuaian sebaik mungkin antara keberadaan aset dengan
strategi entitas (organisasi) secara efektif dan efisien. Hal ini mencakup
seluruh siklus hidup aset sejak perencanaan dan penganggaran hingga
pembinaan, pengawasan dan pengendalian serta pengaturan risiko dan
biaya yang terkait selama siklus hidup aset.
Maraknya kasus korupsi terkait aset tetap negara menunjukkan
sistem pengendalian internnya masih lemah. Untuk itu setiap instansi
pemerintah harus membangun sistem pengendalian intern (SPI) yang
andal, hingga mampu mencegah terjadinya penyimpangan atau
hambatan dalam pencapaian tujuan entitas. Seluruh komponen SPI
pemerintah berdasarkan PP Nomor 60 Tahun 2008, yaitu lingkungan
pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan
komunikasi serta monitoring atas pengelolaan aset negara harus
dibangun secara memadai.
Sebagai pondasi bagi seluruh proses pengelolaan aset negara
yang baik, setiap instansi pemerintah harus menciptakan dan memelihara
lingkungan dalam organisasi (lingkungan pengendalian) yang mendorong
perilaku (behavior) positif dan manajemen yang sehat. Utamanya adalah
mendorong tersedianya seluruh pengelola aset negara yang memiliki
kesadaran (awareness) yang kuat tentang pentingnya penegakan sistem
pengendalian intern. Penciptaan ini dilakukan melalui penegakan

68
integritas dan nilai-nilai etika oleh seluruh pegawai, komitmen terhadap
kompetensi setiap komponen organisasi, adanya kepemimpinan yang
kondusif, tersusunnya struktur organisasi yang mendukung strategi
pencapaian tujuan, adanya pendelegasian wewenang dan tanggung
jawab yang tepat, kebijakan yang sehat dalam pembinaan sumber daya
manusia, adanya peran APIP yang efektif dan hubungan kerja yang baik
antar instansi.
Selain adanya lingkungan pengendalian yang kondusif, setiap
instansi pemerintah perlu melakukan penilaian risiko yang dapat
menghambat pencapaian tujuan instansi. Dengan memperhatikan siklus
hidup dan tujuan manajemen aset negara, risiko yang dapat
diidentifikasikan dalam pengelolaan aset negara, antara lain :
a. Perencanaan dan penganggaran; Rencana pengadaan barang yang
tidak mendukung strategi entitas/instansi dan anggaran pengadaan
aset tidak realistis (terlalu besar/kecil).
b. Pengadaan; Pengadaan aset yang terlalu mahal (inefisiensi)/mark up
dan spesifikasi aset yang diperoleh tidak sesuai kebutuhan.
c. Penggunaan; Aset tidak dapat digunakan, biaya operasional terlalu
tinggi.
d. Pemanfaatan; Pengadaan aset tidak bermanfaat, aset dimanfaatkan
oleh yang tidak berhak dan kerjasama pemanfaatan aset negara
merugikan negara
e. Pengamanan dan pemeliharaan; Aset negara mengalami kerusakan,
masa guna aset lebih rendah dari standar yang berlaku
f. Penilaian; Aset tidak dapat diukur nilainya, nilai aset overstated atau
understated.
g. Penghapusan; Aset masih bermanfaat tapi sudah dihapuskan.
h. Pemindahtanganan; Pelepasan aset dengan harga terlalu rendah.

69
i. Penatausahaan dan pelaporan; Laporan aset tidak sinkron dengan
laporan keuangan.
j. Pengawasan, pembinaan dan pengendalian; Terjadi kegagalan dalam
mitigasi risiko dan kegagalan mencegah penyimpangan.

Selanjutnya, risiko-risiko harus dimitigasi dan dicegah. Jika tidak,


risiko-risiko tersebut dapat membawa konsekuensi yang sangat berat bagi
setiap instansi yaitu timbulnya kerugian negara, bahkan tuntutan pidana
korupsi terhadap pengelolanya. Mitigasi risiko dilakukan melalui aktivitas
pengendalian yang terintegrasi.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah Sistem Pengendalian Intern
(SPI) harus dibangun pada suatu titik yang optimal. SPI yang terlalu
longgar akan meningkatkan probabilitas timbulnya risiko penyimpangan
atau kegagalan. Sebaliknya, SPI yang terlalu ketat akan membuat proses
bisnis menjadi lambat dan mahal. Membangun SPI tetap harus
memperhatikan cost and benefit.
Oleh karena itu, risiko-risiko yang ada harus dinilai dan diranking.
Proses ini pada umumnya menggunakan dua parameter, yaitu semakin
besar kemungkinan timbulnya dan semakin besar dampaknya. Semakin
tinggi nilai parameter tersebut, maka risiko tersebut semakin tinggi dan
harus diprioritaskan untuk dicegah.
Pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan untuk
memastikan berkurangnya risiko yang telah diidentifikasikan. Materi
peraturan-peraturan tersebut mencakup proses reviu kinerja atas
pengelolaan aset negara, pembinaan sumber daya manusia, pengendalian
fisik atas aset, penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja,
pemisahan fungsi, otorisasi atas transaksi dan kejadian penting,
pencatatan yang akurat dan tepat waktu, pembatasan akses atas sumber
daya dan pencatatannya, akuntabilitas terhadap sumber daya dan

70
pencatatannya serta dokumentasi yang baik atas SPI serta transaksi dan
kejadian penting.
Garis besar kebijakan tentang pengelolaan aset negara diatur dalam
PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Untuk tingkat daerah, peraturan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Barang Daerah.
Ketentuan-ketentuan di atas mengatur secara normatif pengelolaan
aset negara dari proses perencanaan kebutuhan hingga pelaporan dan
pengawasannya. Aktivitas Pengendalian tersebut disusun agar seluruh
proses manajemen aset dapat berjalan berdasarkan asas fungsional,
kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas,
dan kepastian nilai.
Visi pengelolaan aset negara kedepan adalah menjadi the best state
asset management on the world. Tidak sekedar bersifat teknis administratif
semata, melainkan sudah bergeser ke arah bagaimana berpikir layaknya
seorang manajer aset yang harus mampu merumuskan kebutuhan barang
milik negara secara nasional dengan akurat dan pasti, serta meningkatkan
faedah dan nilai dari aset negara tersebut. Tantangan untuk mewujudkan
visi tersebut tidaklah ringan, perlu kerja keras dari semua pihak mengingat
problematika di seputar pengelolaan aset negara sekarang ini begitu
kompleks. Oleh karena itu, pengelolaan aset negara harus ditangani oleh
SDM yang profesional dan handal, dan mengerti tata peraturan
perundangan yang mengatur aset negara. Penertiban BMN pada
kementerian/lembaga negara yang sekarang lagi berjalan harus dijadikan
momentum bersama untuk menginventarisir dan menata kembali aset
negara yang selama ini masih belum tertangani dengan baik, agar
penggunaan dan pemanfaatan aset negara sesuai dengan peruntukannya,

71
serta mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

D. Analisis dan Evaluasi Pengelolaan Aset Daerah


Salah satu dasar pemikiran diterbitkannya undang-undang otonomi
daerah adalah agar masing-masing daerah dapat mengatur dan berwenang
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi dimaksudkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dan juga diharapkan
dapat meningkatkan daya saing serta memberdayakan sumber kehidupan
yang terdapat di masing-masing daerah untuk kemakmuran masyarakat.
Namun demikian, ada pembatasan otonomi yang diberikan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam
Pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan diantaranya:
1) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan
asas otonomi dan tugas pembantuan.
3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi: (a) politik luar negeri, (b)pertanahan,
(c) keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiskal nasional, dan (f)
agama.

72
Dalam kaitannya dengan tanah, maka tindakan pendaftaran tanah
harus tetap melibatkan Badan Pertanahan Nasional dan kantor
perwakilannya di daerah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengadministrasian tanah memerlukan
biaya yang tinggi dan membebani pemerintah daerah, mengingat anggaran
yang disediakan jauh dari cukup. Walaupun menurut UUPA bahwa
pendaftaran tanah adalah merupakan kewajiban negara, akan tetapi
ketersediaan keuangan negara tidak mencukupi sehingga tidak dapat
melakukan pendaftaran tanah secara sistimatik (pendaftaran tanah untuk
pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah
suatu desa/kelurahan) . Oleh karena terbatasnya anggaran, maka kegiatan
pendaftaran tanah hanya dapat dilakukan secara sporadik (pendafataran
tanah untuk pertama kali secara individual), yang berdampak pada
banyaknya tanah terlantar. Tanah merupakan salah satu aset pemerintah
daerah yang wajib dikelola dengan baik dan benar guna mendapatkan
manfaat yang dapat menaikkan Pendapatan Asli Daerah.

a. Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD)


Pengelolaan BMD adalah rangkaian kegiatan dan tindakan
terhadap barang milik daerah yang ruang lingkupnya meliputi: (a)
perencanaan kebutuhan dan penganggaran, (b) pengadaan, (c)
penerimaan, penyimpanan dan penyaluran, (d) penggunaan, (e)
penatausahaan, (f) pemanfaatan, (g) pengamanan dan pemeliharaan, (h)
penilaian, (i) penghapusan, (j) pemindahtanganan, (k) pembinaan,
pengawasan dan pengendalian, (l) pembiayaan, dan (m) tuntutan ganti
rugi, demikian menurut bunyi Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam
Negeri tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.

73
Selanjutnya, Pasal 2 menyatakan bahwa Pengelolaan BMD
sebagai bagian dari pengelolaan keuangan daerah yang dilaksanakan
secara terpisah dari pengelolaan BMN. Pasal 3 mengatur mengenai
sumber BMN, yang berasal (a) barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan (b) barang yang
berasal dari perolehan lainnya yang sah, yang meliputi (i)barang yang
diperoleh dari hibah/sumbangan atau sejenis, (ii) barang yang diperoleh
sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak, (iii) barang yang diperoleh
berdasarkan ketentuan undang-undang, atau (iv) barang yang diperoleh
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Untuk mengelola aset daerah, maka harus ada pengelola,
yang dalam peraturan dimaksud adalah Pejabat Pengelola BMN, yaitu
Kepala Daerah sebagai Pemegang kekuasaan. Dalam menjalankan
tugasnya tersebut, Kepala Daerah dibantu oleh Sekretaris Daerah
sebagai Pengelola, Kepala Biro/Bagian Perlengkapan/Pembantu
Pengelola barang, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)-
Kepala Unit Kerja sebagai Pengguna/Kuasa Pengguna, Penyimpan
Barang yang bertugas menerima, menyimpan dan menyalurkan BMD
dan Pengurus Barang yang bertugas mengurus barang dalam
pemakaian.
Sesuai dengan karakter dan kondisi wilayahnya, tiap-tiap daerah
memiliki sumber daya yang berbeda yang dapat dioptimalkan
pendayagunaanya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Macam
aset daerah tersebut diantaranya adalah: tanah, gedung/bangunan,
kendaraan, alat-alat berat, kolam ikan, pasar-pasar tradisional dan
sebagainya. Fokus pembahasan pada sesi ini adalah BMD yang berupa
tanah. Untuk mengetahui secara pasti keberadaan aset daerah berupa
tanah, maka perlu dilakukan pendataan administratif dan fisik secara

74
terus-menerus serta berkesinambungan, yang dalam peraturan dimaksud
disebut sebagai kegiatan penatausahaan.
Penatausahaan BMD meliputi (a) Pembukuan, yaitu kegiatan
pelaksanaan dan pencatatan BMD dalam Daftar Barang Pengguna
(DBP) dan Daftar Barang Kuasa Pengguna (DBKP); (b) Inventarisasi,
yaitu kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan
pelaksanaan pelaporan BMD dalam unit pemakaian; (c) pelaporan,
adalah kegiatan sebagai tindak lanjut inventarisasi dan bentuk suatu
pertanggungjawaban dalam format yang telah ditetapkan oleh Undang-
undang.
Pemanfaatan. Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMD yang
tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD). Jika BMD digunakan oleh pihak ketiga
dengan cara yang benar yang bertujuan menguntungkan daerah, maka
kerjasama dengan pihak ketiga dapat ditempuh dalam empat (4) bentuk
sebagaimana Pasal 32 dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang
maksimal, guna mendukung kelancaran tugas kedinasan dan
memberikan layanan kepada masyarakat.
Bentuk pemanfaatan yang pertama adalah sewa yaitu
pemanfaatan BMD oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan
menerima imbalan uang. Penyewaan tanah dan/atau bangunan
dilakukan oleh pengelola setelah mendapat persetujuan dari Kepala
Daerah, akan tetapi untuk tanah dan/atau bangunan yang masih
digunakan oleh pengguna barang, dilaksanakan oleh pengguna barang
setelah mendapat persetujuan pengelola barang. Jangka waktu sewa
adalah 5 tahun dan dapat diperpanjang. Tata cara sewa wajib dituangkan
dalam surat perjanjian sewa, dengan memuat sekurang-kurangnya (i)
pihak-pihak terkait dalam perjanjian, (ii) luas, jangka waktu dan besaran
sewa, (iii) tanggungjawab penyewa atas biaya operasional dan

75
pemeliharaan; (iv) persyaratan lain yang dianggap perlu. Besaran formula
tarif sewa ditentukan oleh gubernur, bupati/walikota, dan hasil dari sewa
tersebut disetor ke rekening kas daerah. Sewa tidak mengubah status
kepemilikan.
Bentuk pemanfaatan yang kedua adalah pinjam pakai,
dilaksanakan untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintah daerah
dalam jangka waktu tertentu dan tidak menerima imbalan, dan jika jangka
waktu telah berakhir, maka wajib diserahkan kembali kepada pengelola
barang. Jangka waktu pinjam pakai adalah 2 tahun dan dapat
diperpanjang, dituangkan dalam surat perjanjian yang sekurang-
kurangnya memuat: pihak-pihak terkait dalam perjanjian, jenis, luas atau
jumlah barang yang dipinjamkan dan jangka waktunya, tanggungjawab
peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka watu
peminjaman, persyaratan lain yang dianggap perlu dan biaya
pemeliharaan yang ditanggung oleh peminjam.
Bentuk pemanfaatan yang ketiga adalah kerjasama pemanfaatan,
dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan daya guna dan hasil guna
BMD serta meningkatkan penerimaan/pendapatan daerah. Dilaksanakan
dalam jangka waktu maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang.
Kerjasama Pemanfaatan wajib dituangkan dalam perjanjian Kerja Sama
Pemanfaatan (KSP) dan hasilnya disetor ke rekening kas daerah.
Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna (BSG), IMB untuk
BSG/BGS harus atas nama pemerintah daerah. Penetapan mitra
BSG/BGS dilaksanakan melalui tender dengan mengikut sertakan
sekurang-kurangnya 3 peserta. Jangka waktu BSG/ BGS adalah 30
tahun. Hasil dari pelaksanaan BSG/BGS ditetapkan penggunaannya oleh
pengelola barang untuk penyelenggaraan tupoksi. Biaya persiapan dan
pelaksanaan BGS/BSG tidak dapat dibebankan pada APBD.
Pemanfaatan dalam bentuk-bentuk tersebut di atas adalah tidak

76
mengubah status kepemilikan, dan bertujuan menguntungkan daerah
guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Pemanfaatan BMD berupa
tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengelola setelah mendapat
persetujuan kepala daerah.
Pengamanan BMD. Pengamanan BMD merupakan kegiatan/
tindakan pengendalian dan penertiban dalam upaya pengurusan BMD
secara phisik, administratif maupun tindakan hukum agar BMD dapat
dimanfaatkan secara optimal serta terhindar dari penyerobotan,
pengambilalihan dan klaim pihak lain. Pengamanan administrasi untuk
barang tidak bergerak dapat berupa pembukuan, inventarisasi dan
pelaporan. Pengamanan fisik dapat dilakukan dengan pemagaran,
pemasangan tanda pemilikan dan penjagaan. Sedangkan pengamanan
hukum dapat dilakukan dengan cara pendaftaran tanah untuk mendapat
bukti kepemilikan yang sah, dan jika terjadi pelanggaran atau
penyalahgunaan, maka perlu penerapan hukum sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
Pemeliharaan BMD. Definisi pemeliharaan BMD adalah kegiatan
atau tindakan agar semua barang selalu dalam kondisi baik dan siap
digunakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Sasarannya adalah
semua barang inventaris yang tercatat dalam buku inventaris.
Penyelenggaraan pemeliharaan dapat berupa pemeliharaan: ringan,
sedang dan berat. Pemeliharaan ringan: pemeliharaan yang dilakukan
sehari-hari oleh unit pemakai/pengurus barang tanpa membebani
anggaran. Pemeliharaan Sedang: pemeliharaaan dan perawatan yang
dilakukan secara berkala oleh tenaga terlatih yang mengakibatkan
pembebanan anggaran, misalnya: pembayaran PBB secara rutin setiap
tahun. Pemeliharaan Berat pelaksanaannya tidak dapat diduga dan
memerlukan angggaran besar pula, dalam hal tanah, maka untuk

77
mengambil alih tanah yang diduduki/diserobot oleh pihak lain
memerlukan biaya yang tinggi.
Tuntutan ganti rugi dikenakan terhadap pihak-pihak yang
menyebabkan timbulnya kerugian negara/daerah dengan memberikan
sanksi hukum seusai dengan perbuatannya. Tuntutan ganti rugi tidak
didasarkan pada persangkaan, tetapi dengan fakta dan data yang jelas.
Landasan hukum untuk melaksanakan Pengelolaan BMN
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
2) PP Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntasi Pemerintahan.
3) PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan daerah.
4) PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan barang milik daerah jo
PP Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP Nomor 6
Tahun 2006.
5) Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman dan tata cara Pengadaan
barang dan jasa.
6) Kepmendagri Nomor 12 tahun 2003 tentang Pedoman Penilaian
Barang Daerah.
7) Kepmendagri Nomor 153 tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan
barang Daerah yang dipisahkan.
8) Kepmendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
9) PerMendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah dan lain-lain yang berkaitan.
Jika melihat dan menyimak peraturan yang ada, sepertinya semua
hal tentang pengelolaan aset daerah sudah tertata rapi dari dulu hingga
hilir dan tampaknya sudah dimengerti dan dilaksanakan oleh pemerintah
daerah. Hal tersebut dapat dilihat dari hampir semua website
pemerintahan daerah yang menampilkan Bagan Pengelolaan Aset

78
Daerah lengkap dengan visi, misi, strategi dan program kegiatan
pengelolaan yang memadai. Akan tetapi dalam kenyataannya masih
terjadi banyak masalah terutama mengenai pengelolaan aset daerah
berupa tanah.
Mengenai masalah pengelolaan aset daerah berupa tanah, perlu
diteliti lebih seksama faktor penyebabnya, apakah peraturan yang ada
belum cukup, atau sumber daya manusianya yang belum mampu
melaksanakan kegiatan pengelolaan, atau barangkali faktor lain, seperti
minimnya anggaran yang tersedia. Masalah krusial terutama adalah
dalam hal pengadministrasian dan pemanfaatan aset daerah berupa
tanah, yang tercermin dengan seringnya terjadi berita tentang
permasalahan aset pemerintah daerah yang berupa tanah di berbagai
media cetak maupun elektronik, misalnya: adanya sertifikat ganda,
penyerobotan, pendudukan illegal, aset hilang, dan lain-lain.

b. Perbaikan dalam waktu dekat


Setelah melihat uraian tersebut diatas, sebetulnya kegiatan
pengelolaan BMD sebagaimana dinyatakan dalam Permendagri Nomor
17 tahun 2007 mempunyai kegiatan yang lengkap, dan tetap memiliki
nuansa seperti manajemen aset pada umumnya, yang juga mencakup
perencanaan, pengadaan, pengendalian, pengamanan dan seterusnya.
Jika berbicara mengenai manjemen aset, maka tidak terlepas dari
manajemen keuangan dan sangat terkait dengan administrasi
pembangunan daerah, baik dari segi nilai aset, pemanfaatannya,
pencatatannya dalam neraca tahunan daerah yang akan menjadi
prioritas dalam pembangunan. Apabila peraturan sudah baik tetapi
masih terdapat masalah, maka perlu diperhatikan sumberdaya
manusianya karena tampaknya pengelolaan aset daerah yang begitu

79
besar dan bervariasi memerlukan keahlian tersendiri, dan barangkali
kemampuan tersebut belum dimiliki oleh pemerintah daerah.
Untuk itu maka perlu ada pembenahan secara berkesinambungan dalam
beberapa aspek sebagai berikut:
1. Sumber Daya Manusia. Sebaik dan sesempurna apapun peraturan
perundang-undangan yang telah dibuat, efektivitasnya akan kembali
kepada kemampuan dan kesiapan sumber daya manusia di dalam
penerapannya. Dalam kaitannya dengan aset daerah berupa tanah,
maka dituntut sumber daya manusia sebagai pengelola yang
berkemampuan khusus, dari aparat penegak hukum dibutuhkan
kewibawaan dan ketegasan dalam menegakkan hukum agar
peraturan yang ada menjadi efektif. Dengan demikian dapat
diminimalisir terjadinya penyalahgunaan aset daerah. Bagi
pemerintah daerah kiranya harus peka terhadap kondisi sumber daya
manusia yang dimilikinya dan oleh karena itu perlu untuk
meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya secara lebih
profesional sehingga dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan
lebih cepat, efektif dan efisien.

2. Anggaran. Mengingat terbatasnya keuangan negara, diharapkan


masing-masing pemerintah daerah dapat mengoptimalkan
pendayagunaan dan pemanfaatan aset daerah yang berasal dari luar
APBD atau pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh masing-masing
daerah, sehingga mempunyai sumber keuangan yang memadai dan
dapat digunakan untuk mendaftarkan aset tanah dan sekaligus
memelihara, memanfaatkan dan mengamankannya. Lebih lanjut perlu
ada perubahan dalam hal sistem penganggaran agar apa yang
direncanakan harus betul-betul merupakan kebutuhan yang

80
diperlukan daerah sehingga anggaran dapat dimanfaatkan secara
efektif dan bukan sebaliknya.

3. Evaluasi. Pemerintah daerah perlu secara berkala untuk


mengadakan evaluasi terhadap kinerja aparatnya dan program kerja
yang telah ditetapkannya. Dalam kaitannya dengan aset tanah, perlu
dicermati adanya sertifikat ganda karena telah terjadi penyerobotan
oleh pihak lain yang disebabkan tidak dapat menunjukkan bukti
kepemilikan tanah yang sah, tanah yang hilang karena tidak ada
inventarisasi dan tidak diberi papan petunjuk atau sulit menentukan
batas-batas tanah, atau pendudukan illegal yang terlalu lama
didiamkan, yang semuanya diakibatkan oleh karena tidak dilakukan
pengelolaan dengan baik.

c. Perbaikan dimasa mendatang:


Agar peraturan yang belum memadai dapat diperbaiki dan dapat
diterapkan dengan maksimal, maka perlu mengkaji hasil evaluasi
peraturan dan permasalahan serta hasil kinerja sebelumnya untuk
dijadikan dasar membuat perbaikan regulasi dan perbaikan dalam
pengelolaan di masa mendatang. Untuk itu perlu kiranya
mempraktekkan dengan mengadopsi apa yang dikemukakan oleh pakar
manajemen aset Doli D. Siregar yang disunting oleh Hemat Dwi
Nuryanto28, yang menyatakan bahwa manajemen aset merupakan salah
satu profesi atau keahlian yang belum sepenuhnya berkembang di
lingkungan pemerintahan maupun di satuan kerja atau instansi.
Manajemen aset mempunyai lima (5) tahapan kerja yang satu sama lain
saling terkait, yaitu:

28
Hemat Dwi Nuryanto, Mengatasi Rabun Dekat Aset Daerah, Artikel: September 2008

81
(1) Inventarisasi aset, meliputi inventarisasi fisik dan yuridis. Aspek fisik
meliputi bentuk, luas, lokasi, alamat dan lain-lain. Aspek yuridis
meliputi status penguasaan, masalah legal yang dimiliki, batas akhir
penguasaan dan lain-lain. Pada tahap ini harus dilakukan pendataan,
kodifikasi atau labeling, pengelompokan dan pembukuan.
(2) Legal audit. Ruang lingkup kerja manajemen aset yang berupa
inventarisasi status penguasaan aset, sistem dan prosedur
penguasaan atau pengalihan aset, identifikasi dan solusi masalah
legal.
(3) Penilaian aset. Proses kerja untuk melakukan penilaian aset yang
dikuasai, yang pada umumnya dikerjakan oleh konsultan Hasil
penilaian dapt dimanfaatkan untuk mengetahui nilai kekayaan dan
informasi untuk penetapan harga bagi aset yang ingin dijual.
(4) Optimalisasi Aset. Proses kerja manajemen aset yang bertujuan untuk
mengoptimalkan aset dimaksud. Dalam tahapan ini aset-aset
diidentifikasi dan dikelompokkan atas aset yang memiliki potensi dan
yang tidak.
(5) Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Aset, Sebagai wahana
untuk pengawasan dan pengendalian aset diupayakan transparansi
dalam pengelolaan aset dapat terjamin, sehingga setiap penanganan
terhadap suatu aset bisa termonitor dengan baik.
Tahapan-tahapan tersebut di atas telah sejalan dengan apa yang
dikemukakan dalam Permendagri Nomor 17 tahun 2007 yang
menyatakan bahwa pengelolaan BMN dilaksanakan berdasarkan asas-
asas sebagai berikut:
a) Asas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan
masalah di bidang pengelolaan BMN yang dilaksanakan oleh kuasa
pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang dan Kepala
Daerah sesuai fungsi, wewenang dan tanggungjawab masing-masing.

82
b) Asas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus
dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundangp-
undangan.
c) Asas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik
daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam
memperoleh informasi yang benar.
d) Asas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar
barang milik daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar
kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara
optimal.
e) Asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik
daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
f) Asas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus
didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam
rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik
daerah serta penyusunan neraca Pemerintah Daerah.
Pada butir (c) Asas transparansi perlu pembenahan lebih lanjut yaitu
dengan ditambah dukungan adanya informasi yang dapat diakses
masyarakat secara elektronik dan hal tersebut perlu waktu dan
anggaran yang tidak sedikit serta sumber daya manusia yang
kapabel.

E. Struktur dan Komposisi Aset Negara (Khususnya Aset Tetap Berupa


Tanah) dalam Mewujudkan Sistem Pengelolaan Kekayaan Negara
yang Terintegrasi.

1. Struktur dan Komposisi Aset Negara pada LBMN TA 2009 (audited)


Terkait dengan kegiatan pengelolaan BMN tersebut, dalam PP
Nomor 6 Tahun 2006 telah ditetapkan bahwa Menteri Keuangan cq.

83
Direktur Jenderal Kekayaan Negara selaku Pengelola barang diharuskan
secara periodik menyusun Laporan Barang Milik Negara Tahunan
(LBMNT) dan Laporan Barang Milik Negara Semesteran (LBMNS).
Laporan Barang Milik Negara (LBMN) dimaksud merupakan gabungan
dari data seluruh BMN yang dihimpun berdasarkan data yang
disampaikan oleh Kementerian Negara/Lembaga (K/L) selaku Pengguna
barang. Pasal 71 PP Nomor 6 Tahun 2006 menyatakan bahwa Pengelola
barang harus menyusun LBMN berdasarkan hasil penghimpunan
Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang
Pengguna Tahunan (LBPT) dari Pengguna barang. Selanjutnya, dalam
Pasal 72 diatur bahwa LBMN dimaksud digunakan sebagai bahan untuk
menyusun neraca pemerintah pusat.

Berdasarkan LBMN, BMN diklasifikasikan ke dalam 9 (sembilan)


golongan barang, yaitu barang bergerak, barang tidak bergerak, hewan,
ikan dan tanaman, persediaan, konstruksi dalam pengerjaan, aset tak
berwujud, dua golongan yang masih belum ditetapkan, dan Lain-lain.
Masing-masing golongan barang tersebut terbagi atas bidang barang,
yang kemudian terbagi lagi atas kelompok barang. Kelompok barang
terbagi atas sub kelompok barang yang kemudian terbagi lagi atas sub-
sub kelompok barang.

LBMNT TA 2009 (audited) disusun berdasarkan data BMN yang


dihimpun dari LBPT pada 80 (delapan puluh) pengguna barang, yang
terdiri atas LBPT TA 2009 (audited) dari 70 (tujuh puluh) K/L, LBPT TA
2009 (unaudited) dari 3 K/L dan 6 pengguna barang lainnya, yakni :
Departemen Keuangan, Badan Pertanahan Nasional, Departemen
Pekerjaan Umum, Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan, LPP-
TVRI, LPP-RRI, Badan Pengusahaan Kawasan Sabang, Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, dan Otorita Asahan, dan
LBPT TA 2008 dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD–Nias yang

84
masa tugasnya telah berakhir pada tanggal 16 April 2009, sehingga nilai
yang disajikan dalam LBMN adalah LBPT terakhir yang disampaikan ke
DJKN.

LBPT tersebut di atas dihimpun oleh masing-masing pengguna


barang berdasarkan jenjang pelaporan, yaitu jenjang struktural di
bawahnya seperti eselon I, kantor wilayah, dan satuan kerja, termasuk
satuan kerja Badan Layanan Umum (BLU), dan satuan kerja dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan. LBMNT TA 2009 (audited) ini
disusun dari LBPT (audited) yang dihasilkan melalui aplikasi SIMAK-
BMN, kecuali untuk Departemen Pertahanan dan Otorita Asahan yang
sampai saat ini masih menggunakan aplikasi yang berbeda dan belum
mengimplementasikan aplikasi SIMAK BMN.

Nilai BMN per 31 Desember 2009 yang merupakan penjumlahan


nilai BMN per 1 Januari 2009 (saldo awal) dan nilai mutasi BMN selama
kurun waktu 1 Januari 2009 sampai dengan 31 Desember 2009. Nilai
BMN per 31 Desember 2009 pada LBMNT TA 2009 (audited) adalah
sebesar Rp1.059.370.191.002 terdiri dari nilai BMN intrakomptabel
sebesar Rp1.057.484.185.267.150 dan ektrakomptabel sebesar
Rp1.886.005.735.083. BMN intrakomptabel ini disajikan pada LKPP
sebagai persediaan, aset tetap, dan sebagian dari aset lainnya.

Sebaran nilai BMN gabungan (intrakomptabel dan


ekstrakomptabel) TA 2009 jika diklasifikasikan ke dalam pos-pos
perkiraan Neraca Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat, sebagian besar berada:

a) tanah sebesar Rp467.517.823.745.021 (44,13%);

b) jalan, irigasi, dan jaringan sebesar Rp205.207.614.630.325 (19,37%);

c) peralatan dan mesin sebesar Rp150.108.322.101.992 (14,17%);

85
d) gedung dan bangunan sebesar Rp125.954.108.006.491 (11,89%);

e) Sisanya pada konstruksi dalam pengerjaan, persediaan, aset tetap


lainnya, aset tak berwujud, aset tetap yang dihentikan dari
penggunaan operasional pemerintah, dan BMN tidak teridentifikasi,
sebagaimana tabel terlampir.

Nilai BMN Tahun Anggaran 2009 Per Perkiraan Neraca

Intrakomptabel Ekstrakomptabel Gabungan


No Uraian Neraca
Rp % Rp % Rp %
I Aset Lancar
1 Persediaan 33.109.788.199.586 3,13 - - 33.109.788.199.586 3,13
Sub Jumlah ( 1 ) 33.109.788.199.586 3,13 - - 33.109.788.199.586 3,13

II Aset Tetap
1 Tanah 467,517,685,030,976 44,21 138,714,045 0,01 467,517,823,745,021 44,13
2 Peralatan dan Mesin 149,412,996,782,975 14,13 695,325,319,017 36,87 150,108,322,101,992 14,17
Gedung dan
3 Bangunan 125,166,163,865,277 11,84 787,944,141,214 41.78 125,954,108,006,491 11,89
Jalan, Irigasi dan
4 Jaringan 205,019,759,541,549 19,39 187,855,088,776 9,96 205,207,614,630,325 19,37
5 Aset Tetap Lainnya 6,327,251,943,415 0,60 200,268,985,989 10,62 6,527,520,929,404 0,62
6 KDP 51,950,874,563,747 4,91 - - 51,950,874,563,747 4,90

1.005.394.731.727.94 1.871.532.249.0 1.007.266.263.976.9


Sub Jumlah ( 2 ) 0 95,07 41 99,23 80 95,08

86
III Aset Lainnya
1 Aset Tak Berwujud 6,599,159,546,099 0,62 984,468,970 0,05 6.600.144.015.069 0,62
2 Aset yang dihentikan
dari penggunaan ops 1,14 0,71 12.034.307.218.480 1,14
Pem 12,020,940,160,063 13,367,058,417
Sub Jumlah ( 3 ) 18.620.099.706.162 1,76 14.351.527.387 0,76 18.634.451.233.549 1,76

IV Lainnya
BMN Tidak
1 Teridentifikasi 359.565.633.466 0,01 121.958.655 0,01 359.687.592.121 0,03
Sub Jumlah ( 4 ) 359.565.633.466 0,01 121.958.655 0,01 359.687.592.121 0,03

1.057.484.185.267.15 1.886.005.735.0 1.059.370.191.002.2


Total 100 100 100
0 83 40

Sumber data: Ikhtisar Laporan Barang Milik Negara Tahunan 2009 (audited)

Lebih lanjut digambarkan dengan grafik berikut:

Grafik 1
BMN Gabungan (intrakomptabel dan ekstrakomptabel) per Perkiraan Neraca

87
Sumber data: Ikhtisar Laporan Barang Milik Negara Tahunan 2009 (audited)

Salah satu tujuan penyusunan laporan BMN adalah sebagai bahan


untuk penyusunan neraca pemerintah pusat. Oleh karena itu, agar relevan
dengan tujuannya, maka pelaporan BMN, harus disajikan sesuai dengan
kaidah-kaidah penyusunan neraca, yang antara lain dengan menyesuaikan
penggolongan dan kodefikasi BMN berdasarkan PMK Nomor
97/PMK.06/2007 sebagaimana telah diuraikan di atas menjadi
penggolongan sesuai dengan akun neraca sebagaimana diatur dalam
PMK Nomor 91/PMK.05/2007 tentang Bagan Akun Standar.

2. Nilai BMN Per Kementerian/Lembaga (K/L) pada LBMN TA 2009


(audited)

88
Sebaran nilai BMN pada masing-masing K/L per 31 Desember 2009
untuk K/L dengan nilai BMN di atas Rp40 triliun, dari yang terbesar adalah
sebagai berikut :

Grafik 7

BMN Gabungan (intrakomptabel dan ekstrakomptabel) per K/L

Sumber data: Ikhtisar Laporan Barang Milik Negara Tahunan 2009 (audited)

Tabel 5

89
K/L dengan Nilai BMN di atas Rp40 Triliun
(dalam miliar rupiah)
N Intrakomptabel Ekstrakomptabel Gabungan
Kementerian/
o Lembaga Rp % Rp % Rp %
Departemen
1 Pertahanan 233.444,70 22,08 - - 233.444,70 22,04
Departemen
2 Pekerjaan Umum 209.406,44 19,80 229,15 12,15 209.635,60 19,79
3 Sekretariat Negara 86.528,29 8,18 2,06 0,11 86.530,344 8,17
Departemen
4 Pendidikan Nas 75.418,50 7,13 189,15 10,03 75.607,64 7,14
5 Kepolisian Negara RI 71.372,31 6,75 124,11 6,58 71.496,41 6,75
Departemen
6 Perhubungan 63.983,92 6,06 38,54 2,04 64.022,45 6,04
7 Departemen ESDM 43.971,64 4,16 5,52 0,29 43.977,16 4,15
8 Lainnya 273.358,40 25,85 1.297,47 68,79 274.655,88 25,93

Total 1.057.484,18 100 1.886.005,73 100 1.059.370,19 100

Sumber data: Ikhtisar Laporan Barang Milik Negara Tahunan 2009 (audited)

3. Aset tetap berupa BMN golongan tanah pada LBMN TA 2009


(audited)

Jika diperhatikan struktur dan komposisi aset negara khususnya aset


tetap berupa BMN golongan tanah, diperoleh gambaran sebagaimana tabel
berikut:

Aset Tetap Berupa BMN Golongan Tanah pada LBMN TA 2009 (Audited)

90
Intrakomptabel Ekstrakomptabel Gabungan
Satu Kuan
Uraian an Kuantitas Nilai kuantitas Nilai titas Nilai

321.086.2
Tanah
70.936.71 5.972.978.9 321.086.409
Persil M2 5.972.978.668 7 302 138.714.045 70 .650.762

Tanah
19.318.60 19.318.609.
Non Persil M2 787.316.810 9.256.751 787.316.810 256.751

53.793.70 4.871.402.0 53.793.701.


Lapangan M2 4.871.402.005 1.950.899 05 950.899

Tanah 73.319.10 73.319.102.


(manual) 2.886.609 886.609

Sumber data: Ikhtisar Laporan Barang Milik Negara Tahunan 2009 (audited)

Berdasarkan tabel di atas, jenis tanah persil mempunyai luas


meter persegi terbanyak dibandingkan tanah non persil, tanah
lapangan, dan tanah (manual) yaitu sebanyak 5.972.978.970 m2
dengan nilai Rp 321.086.409.650.762.

Dari pelaksanaan inventarisasi dan penilaian BMN di daerah


maupun satker pada perwakilan RI di luar negeri, memang ditemukan
permasalahan terkait pengelolaan aset Nnegara berupa tanah, sebagai
berikut:

a) masih terdapat banyak sekali yang belum disertifikatkan;,


b) pelaksanaan sertifikasi a.n. Pemerintah RI c.q. K/L atas BMN
berupa tanah harus terus dilaksanakan. Dalam hal ini telah
diterbitkan Peraturan Bersama Menteri Keuangan Nomor:
186/PMK.06/2009 dan Kepala Badan Pertanahan Nomor 24
Tahun 2009 tentang Pensertipikatan Barang Milik Negara Berupa
Tanah; dan

91
c) sedang dalam sengketa;,
d) pemanfaatannya belum mengikuti ketentuan yang berlaku.

4. Upaya mewujudkan sistem pengelolaan kekayaan negara yang


terintegrasi BMN

a. Terkait dengan penatausahaan.

Untuk saat ini lebih prioritas dalam rangka penyelesaian


masalah terkait pelaksanaan penatausahaan BMN pada K/L,
langkah strategis ini termasuk juga untuk BMN berupa tanah.
Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan sebagai berikut :

1) Pelaksanaan rekonsiliasi hasil penertiban dan rekonsiliasi


penyusunan LBMN

Langkah yang dilakukan oleh pengelola barang dalam rangka


meminimalisir perbedaan dan meningkatkan keakuratan dan
keandalan data BMN K/L dalam penyusunan LBMN antara lain
melalui pelaksanaan rekonsiliasi laporan BMN,

2) Pertemuan tripartit antara BPK, K/L, dan Kementerian


Keuangan
Pelaksanaan pertemuan Tripartit antara BPK, K/L, dan
Kementerian Keuangan (DJKN dan DJPB) dilakukan untuk
membahas temuan-temuan yang terjadi terkait aset (termasuk
BMN golongan tanah) dalam pelaksanaan pemeriksaan atas
laporan keuangan K/L yang dilakukan oleh BPK, dan
memastikan bahwa koreksi audit yang berpengaruh terhadap
nilai BMN dapat ditindaklanjuti secara tepat melalui aplikasi
SIMAK-BMN.

92
3) Penyediaan infrastruktur yang memadai dalam rangka
pengelolaan dan penatausahaan BMN

Salah satu permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan


penatausahaan BMN antara lain dikarenakan kurangnya
infrastruktur yang memadai. Oleh karena itu, diperlukan
peningkatan infrastruktur berupa hardware di tingkat pengelola
barang maupun pengguna barang serta pembangunan aplikasi
rekonsiliasi dan aplikasi penyusunan LBMN di semua level
penatausahaan BMN.

4) Pengembangan kapasitas dan kapabilitas SDM

Pengembangan kapabilitas SDM perlu dilakukan terus


menerus, hal ini antara lain dilakukan melalui :

 Sosialisasi atas peraturan-peraturan terkait pengelolaan


dan penatausahaan BMN, kebijakan akuntansi BMN, serta
pelatihan atas aplikasi SIMAK BMN dan aplikasi
persediaan, baik di lingkungan internal pengelola barang
maupun di lingkungan K/L selaku pengguna barang.
 Mengintensifkan pelaksanaan pembinaan dan bimbingan
teknis oleh DJKN selaku pengelola barang terkait dengan
seluruh aspek penatausahaan BMN mulai tingkat satuan
kerja/Koordinator Wilayah/Kantor Pusat K/L
 Membangun komunikasi dengan K/L pada tataran
pengambil kebijakan.

5) Meningkatkan koordinasi antara K/L dan Kanwil/KPKNL terkait


pelaksanaan pengelolaan dan penatausahaan BMN

Sebagai upaya dalam memperbaiki dan menyempurnakan


pelaksanaan penatausahaan BMN oleh K/L, maka perlu

93
diselenggarakan rapat koordinasi BMN baik dengan K/L
maupun dengan Kanwil/KPKNL untuk membahas
permasalahan-permasalahan yang dihadapi, serta penyamaan
persepsi terkait dengan pelaksanaan aturan terkait dengan
BMN.

6) Pembentukan help-desk penatausahaan BMN

Guna membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi


oleh K/L terkait pelaksanaan penatausahaan BMN secara
cepat, maka perlu dibentuk help-desk penatausahaan BMN
yang dapat membantu K/L setiap saat, hal ini dapat dilakukan
baik melalui telepon, faksimili, dan surat elektronik, maupun
konsultasi langsung.

7) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penatausahaan BMN

Guna menjaga dan meningkatkan kualitas laporan BMN yang


disampaikan oleh K/L, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi
secara konsisten dan terus-menerus, sehingga data ketaatan
pada aturan pelaksanaan terkait BMN dapat terus meningkat.
Disamping itu, perlu dilakukan langkah-langkah lain sebagai
penunjang keberhasilan pelaksanaan penatausahaan BMN,
antara lain dengan dilakukannya pemeringkatan atas laporan
BMN yang disampaikan oleh K/L serta adanya sistem reward
and punishment.

8) Pelaksanaan penatausahaan BMN pada pengguna barang


didukung dengan aplikasi SIMAK-BMN pada setiap tingkat unit
penatausahaan (Unit Akuntansi Pengguna barang/UAPB, Unit
Akuntansi Pengguna barang Eselon 1 (UAPB-E1), Unit
Akuntansi Pengguna Barang –Wilayah (UAKPB-W) dan Unit
Akuntansi Kuasa Pengguna Barang (UAKPB). Akan tetapi,

94
dalam pelaksanaannya, belum semua K/L menggunakan
aplikasi SIMAK-BMN dalam melakukan penatausahaan BMN.

b. Terkait pengintegrasian sistem perencanaan kebutuhan BMN


dengan penganggaran.
Dalam rangka efisien, efektivitas dan optimalisasi APBN
diperlukan perencanaan kebutuhan BMN yang terintegrasi
dengan sistem penganggaran, sehingga mencerminkan
kebutuhan riil BMN (Pasal 9, 10 PP Nomor 6 Tahun 2006). Upaya
dimaksud juga menjadikan sistem pengelolaan kekayaan negara
yang terintegrasi, yaitu dengan mengintegrasikan perencanaan
kebutuhan BMN dengan sistem penganggaran, khususnya terkait
dengan pembelanjaan BMN yang dilakukan oleh K/L.

c. Terkait dengan sertifikasi

Penertiban BMN yang dilakukan DJKN sesuai amanat PP 6


Tahun 2006 tujuannya tertib administrasi, tertib hukum dan tertib
fisik.

Terkait dengan tertib hukum, DJKN sudah menerbitkan aturan


terkait dengan sertifikasi BMN, menerbitkan Peraturan Bersama
Menteri Keuangan dan Kepala BPN Nomor 186/PMK.06/2009 dan
Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pensertipikatan Barang Milik
Negara Berupa Tanah serta mengadakan sosialisasi. Semua BMN
golongan tanah diharapkan memiliki sertifikat atas nama
Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian/Lembaga, dan
penyimpanan seluruh sertifikat dilakukan oleh pengelola barang.
Dengan demikian terjadi pengamanan sekaligus tertib hukum
dalam pengelolaan BMN golongan tanah.

95
F. Relevansi UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 Guna Mewujudkan
Pengelolaaan Aset Negara yang Baik dan Terintegrasi

Wewenang yang diberikan negara untuk melakukan pengaturan


aset negara, khususnya tanah sebenarnya lebih diarahkan untuk
menguatkan kembali posisi kolektivitas perekonomian yang dipegang
negara. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang
memberikan jalan kepada negara untuk mengambil peran dalam
penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam lainnya dengan jalan
tindakan hukum menguasai. Secara yuridis-historis, tafsiran tindakan
hukum penguasaan negara terhadap bumi, air, dan kekayaan alam
bukan dimaksudkan sebagai pemilikan negara, melainkan sebagai
wujud pengaturan agar bumi, air, dan kekayaan alam lainnya dapat
didayagunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam perspektif yuridis, perbuatan hukum penguasaan sangat


berbeda dengan pemilikan, kepunyaan, maupun penyerahan. Dalam
konsep yuridis, penguasaan memiliki dimensi tertinggi tidak sekadar
dan sebatas pada wujud milik, tetapi lebih daripada itu penguasaan
adalah konsep publik di mana penguasaan tersebut melahirkan
wewenang mengatur dan menentukan.29 Perbuatan hukum
penguasaan dalam segi hukum administrasi negara adalah perbuatan
bersegi satu dari negara, di mana perbuatan ini tidak membutuhkan
persetujuan lembaga manapun karena tercipta atribusi dalam peraturan
perundang-undangan. Sementara itu, pemilikan memiliki dimensi
hubungan keperdataan yang tidak mempunyai makna perbuatan
hukum publik. Sebagai suatu bagian dari aturan hukum perdata, hak

29
Lihat Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2001), hal. 67.

96
milik tidak melahirkan wewenang publik karena sifatnya yang lahir
karena status hukum seseorang yang otonom.

Berbeda dengan penguasaan dan pemilikan yang berada pada


dimensi publik dan privat, kepunyaan berada pada dimensi representasi
atau perwakilan di mana seseorang diserahi tugas atau tanggung jawab
dalam melakukan sesuatu. Misalnya, keuangan dan kekayaan negara
merupakan kepemilikan rakyat, sedangkan kepunyaannya atau
penggunaannya dilakukan oleh negara melalui pemerintah.
Konsekuensinya, negara sebagai pihak yang diserahkan tugas
pengelola keuangan dan kekayaan negara harus melaporkan
penggunaannya kepada pemiliknya, yaitu rakyat.

Di sisi lain, penyerahan merupakan bentuk perbuatan hukum


yang berdimensi publik dalam kaitannya dengan penyerahan
wewenang, dan berdimensi privat dalam kaitannya dengan penyerahan
hak. Kedua penyerahan tersebut memiliki konsekuensi hukum dan
tanggung jawab yang berbeda menyangkut subyek hukum dan aturan
yang mengaturnya. Contoh pemahaman yang paling tepat untuk
menggambarkan penyerahan dalam perbuatan publik adalah
desentralisasi yang menciptakan otonomi daerah. Dalam konsep
penyerahan wewenang dan urusan ini, daerah menjadi badan hukum
publik yang menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya sesuai
dengan batasan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan wewenang publik negara untuk melakukan


pengaturan aset negara, khususnya tanah pada dasarnya merupakan
wewenang jangka panjang mengingat dasar rujukan yuridis-filosofisnya
pada ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Monopoli dan/atau pemusatan
kegiatan usaha itu sendiri oleh negara dalam proses implementasinya

97
memerlukan tahap-tahap pelaksanaan yang berjenjang dan diatur
dengan undang-undang.

Selain itu, pengaturan aset negara, khususnya tanah yang


dilakukan negara juga lebih merupakan terapi ekonomi menyeluruh
terhadap adanya penyimpangan dalam penguasaan tanah tanpa hak.
Dengan kata lain, pengaturan aset negara, khususnya tanah lebih
bersifat “necessary, but not sufficient. Artinya, ketika negara melakukan
pengaturan aset negara, khususnya tanah sebagai langkah pendukung
agar tindakan tersebut dapat dilakukan untuk mendukung tertatanya
pengelolaan aset negara secara baik dan terintegrasi.

Sebenarnya, upaya negara untuk pengaturan aset negara,


khususnya tanah perlu diberikan kekuatan yuridis yang jelas dan pasti
dalam produk peraturan perundang-undangan secara khusus, sehingga
tidak parsial berada pada beberapa peraturan perundang-undangan
yang ada. Oleh sebab itu, tidak ada norma hukum yang menjabarkan
secara konseptual yuridis mengenai pengaturan aset negara,
khususnya tanah atas dasar melaksanakan Pasal 33 UUD 1945.
Padahal, sudah menjadi seharusnya jika ketentuan tersebut diberikan
pedoman untuk menghindari seminimal mungkin penafsiran dan
pemaknaan ganda terhadapnya.

Pengaturan aset negara, khususnya tanah pada prinsipnya


berarti negara melakukan perbuatan langsung terhadap pengamanan
aset negara secara keseluruhan dengan maksud agar aset negara
dapat diatur sedemikian sempurna. Oleh sebab itu, pengaturan aset
negara, khususnya tanah negara tetap membutuhkan syarat-syarat
legalitasnya yang ditetapkan dalam undang-undang yang lebih
komprehensif dan faktual, dan parsial diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berserakan. Dengan kata lain, undang-

98
undang menjadi pendukung penting pengaturan aset negara,
khususnya tanah yang baik dan terintegrasi.

Dengan lahirnya UU Nomor 51 Prp. Tahun 1960 adanya upaya


negara untuk melakukan pengaturan mengenai aset negara khususnya
dalam bidang pertanahan. UU Nomor 51 Prp. Tahun 1960 menyatakan
bahwa pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang
sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman
pidana (Pasal 2 dan 6), tetapi tidaklah selalu harus dilakukan tuntutan
pidana. Menurut Pasal 3 dan 5 dapat diadakan penyelesaian secara
lain dengan mengingat kepentingan pihak-pihak bersangkutan dan
rencana peruntukan serta penggunaan tanah bersangkutan. Misalnya,
rakyat yang mendudukinya dapat dipindahkan ke tempat lain. Jika
dipandang perlu, dapat perlu diadakan pengosongan dengan paksa.
Perintah mengosongkan tanah bersangkutan, jika mengenai tanah
perkebunan dan diberikan oleh Menteri Agraria/kepala BPN atau
instansi yang ditunjuknya dan jika mengenai tanah-tanah lainnya,
perintah tersebut diberikan oleh apa yang di dalam UU itu disebut
“Penguasaan Daerah”.

Pengosongan tanah yang bersangkutan tidak diperlukan


perantaraan dan keputusan pengadilan (Pasal 4 dan Pasal 5 ayat 3).
Sudah barang tentu jika memang perlu, selain perintah pengosongan
dapat pula dilakukan tuntutan pidana. Dengan demikian, tindakan untuk
mengatasi dan menyelesaikan soal pemakaian tanah secara tidak sah
tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan dan keperluannya, dengan
mengingat faktor tempat, waktu, keadaan tanah, dan kepentingan
pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam undang-undang tersebut
dinyatakan, bahwa pemecahan masalah pemakaian tanah secara tidak
sah memerlukan tindakan-tindakan dalam cakupan luas, dengan
bermacam-macam aspek, yang tidak saja terbatas pada bidang agraria

99
dan pidana melainkan juga bidang sosial, perindustrian, transmigrasi,
dan lain-lainnya. Karena persoalannya tidak sama di semua daerah,
maka titik berat kebijaksanaannya diserahkan kepada penguasa
daerah, hingga dapat lebih diperhatikan segi-segi dan coraknya yang
khusus, sesuai situasi dan kondisi daerah.

Adanya upaya pemerintah dalam pengelolaan aset negara harus


berdasarkan adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam beberapa peraturan, pengaturan mengenai pengelolaan aset
negara sudah disebutkan secara jelas. Salah satu contohnya dengan
lahirnya UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Izin. Selain itu dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 adanya
pasal yang menyebutkan bahwa BMN/D diperlukan bagi tugas
pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan. Dalam
pasal selanjutnya menyatakan bahwa pemindahtanganan tanah
dan/atau bangunan harus mendapatkan persetujuan DPR dan/atau
DPRD. Ini menandakan bahwa pengelolaan aset negara khususnya di
bidang pertanahan menjadi suatu hal yang penting bagi penguasaan
tanah oleh negara dalam rangka pemanfaatan bagi kehidupan rakyat.

Larangan pemakaian tanah izin sesuai ketentuan UU Nomor 51


Prp Tahun 1960 menjelaskan bahwa negara wajib melindungi aset-aset
negara baik yang terlantar atau yang berada di tangan pihak lain untuk
dapat digunakan untuk kemakmuran rakyat. Implikasi dari ketentuan
tersebut bahwa apabila adanya seseorang/badan hukum yang
memakai tanah tanpa izin dikenakan sanksi pidana. Satu hal yang
menjadi permasalahan yaitu apa yang dimaksud dengan tanah negara.
UUD 1945 Pasal 33 menjelaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam
lainnya dikuasai oleh dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa negara

100
yang mengusai seluruh tanah yang ada di Indonesia ini. Namun, rakyat
dalam hal ini boleh mempergunakan sesuai dengan peruntukannya.

Selain itu, pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria belum


secara tuntas bisa mengatasi persoalan yuridis pertanahan. Dinamika
yang terjadi di masyarakat, dan juga masih adanya kelemahan dalam
implementasinya, menjadi sebab belum dapat diwujudkannya tujuan
hukum agraria nasional. Menurut Aristoteles dan Aguinas Grotius
tujuan hukum adalah mewujudkan kepastian hukum sekaligus keadilan
bagi masyarakat. Diperkuat oleh Caputo dalam teori The
Phenomenologi of Non-Appearing, yang mengatakan bahwa apa yang
tidak muncul ke permukaan, bukanlah kekosongan, tapi harus dimaknai
sebagai bayang-bayang yang menggugah. Dalam konteks ini,
kepastian hukum diartikan sebagai kerinduan yang tidak terkira, yang
mesti diwujudkan dengan sepenuh hati.

Adanya pajak bumi dan bangunan yang dibayarkan rakyat


kepada negara sebagai bentuk dari penguasaan negara atas tanah.
Monopoli tersebut dimaksudkan agar seluruh rakyat dapat merasakan
atau memanfaatkan tanah-tanah yang ada di Indonesia dalam rangka
menghindari penguasaan tanah oleh satu orang atau beberapa orang
yang menimbulkan ketimpangan di kalangan masyarakat.

Larangan penguasaan tanah tanpa izin merupakan suatu hal


yang harus dilakukan oleh negara dalam rangka melindungi aset
negara. Namun, keberadaan UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang
Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin sudah tidak sesuai dengan
kondisi zaman. Adanya beberapa peraturan yang mengatur mengenai
pengelolaan aset negara khususnya tanah merupakan suatu hal yang
tidak efektif. Apalagi dilihat bahwa keberadaan UU Nomor 51 Prp
Tahun 1960 tidak lagi mendukung kehidupan berbangsa dan bernegara

101
saat ini. Selain itu, meskipun di dukung dengan UU lain yang mengatur
mengenai pengelolaan aset negera, namun keberadaan UU yang
khusus yang mengatur mengenai pengelolaan aset negara sangat
dibutuhkan bagi keberlangsungan kehidupan bernegara.

Adanya gagasan pemerintah dalam rangka pengelolaan aset


negara merupakan sebuah hal yang memang perlu dilakukan. Namun,
dasar hukum atas pengelolaan aset negara masih parsial dan berada di
beberapa peraturan perundang-undangan. Hal yang menjadi kesulitan
khususnya bagi pemerintah dalam upaya melakukan pengelolaan aset
negara. Oleh karena itu, adanya suatu undang-undang khusus
mengenai aset negara merupakan suatu kepentingan saat ini. Apalagi
Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 sudah tidak relevan lagi
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemerintah saat ini telah mempersiapkan Rancangan Undang-


Undang Pengelolaan Kekayaan Negara, yang substansinya mengatur
mengenai aset negara atau kekayaan negara yang meliputi:
a. Kekayaan Negara yang Dikuasai, yaitu kekayaan negara yang
dikuasai adalah kekayaan dimana melekat mandat hukum atau
kewenangan negara untuk mengatur pengelolaannya bagi sebesar-
besar kemakmuran rakyat atas darat, laut, udara, termasuk ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
b. Kekayaan Negara yang dimiliki Kekayaan negara yang dimiliki
adalah kekayaan dimana melekat kepemilikan negara dalam bentuk
barang milik negara dan kekayaan negara yang dipisahkan (domain
privat). Kekayaan Negara Dimiliki terdiri dari Barang Milik
Negara/Daerah, dan Kekayaan Negara yang Dipisahkan.30

30
Naskah Akademik RUU Pengelolaan Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara,
Departemen Keuangan , disampaikan pada Focus Group Discussion Naskah Akademik RUU Pengelolaan
Kekayaan Negara, Jakarta 15 Desember 2009.

102
Dengan demikian, RUU Pengelolaan Kekayaan Negara mengatur
seluruh jenis aset negara
Adanya gagasan pemerintah dalam rangka pengelolaan aset
negara merupakan sebuah hal yang memang perlu dilakukan. Namun,
dasar hukum atas pengelolaan aset negara masih parsial dan berada di
beberapa peraturan perundang-undangan. Hal yang menjadi kesulitan
khususnya bagi pemerintah dalam upaya melakukan pengelolaan aset
negara. Oleh karena itu, adanya suatu Undang-undang khusus
mengenai aset negara merupakan suatu kepentingan saat ini. Apalagi
Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 sudah tidak relevan lagi
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

103
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

1 Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan


Pemakaian Tanah Tanpa Izin substansinya sudah tidak relevan lagi
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal ini
dikarenakan pengaturan pelaksanaan pengelolaan aset negara
(tanah) dalam Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 sangat
tidak memadai dan belum mengikuti perkembangan jaman.
Pengaturan pengelolaan aset negara (tanah) lebih memadai diatur
dalam: PP Nomor 26 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional
serta peraturan lain yang mengikutinya, UU Nomor 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara , UU Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan PP Nomor 6 tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
2 Konsep pengaturan untuk melindungi aset negara adalah dengan
adanya UU yang terintegrasi dan harmonis. Maksud dari integrasi dan
harmonis disini adalah dengan adanya UU yang khusus mengatur
mengenai aset negara. Sebagaimana diketahui bahwa pengaturan
mengenai pengelolaan aset negara yang saat ini masih berlaku
terdapat di dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Selain
itu, UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan jaman dan adanya peraturan perundang-undangan
yang lain yang membahas mengenai aset negara tidak secara khusus
mengatur mengenai aset negara.

104
3 Setiap ada pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang atau badan
hukum harus ada ganti rugi atau sanksi. Begitu juga, apabila terjadi
pengambilan dan penggunaan aset negara secara melawan hukum
perlu diberikan sanksi yang berat. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/ Daerah. Dalam Pasal 82 PP tersebut menyatakan bahwa
setiap kerugian negara/daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan/
pelanggaran hukum atas pengelolaan BMN/D diselesaikan melalui
tuntutan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam ayat selanjutnya dijelaskan bahwa setiap pihak yang
mengakibatkan kerugian negara atau daerah dapat dikenai sanksi
administratif dan pidana.

B. Rekomendasi

Dari beberapa uraian di atas, Tim memberikan rekomendasi atas


analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan tentang aset
negara ( UU Nomor 51 Prp Tahun 1960) yakni:

1. Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan


Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang berhak atau kuasanya, karena
tidak relevan lagi dengan perkembangan dewasa ini dan peraturan
perundang-undangan selayaknya dicabut melalui undang-undang.

2. Pengaturan aset negara secara terintegrasi dan harmonis diwujudkan


dengan membentuk undang-undang tetang Pengelolaan Kekayaan
Negara yang merumuskan :

(1) pengaturan, asas, dan tujuan.

(2) Perencanaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban.

(3) Pemanfaatan.

105
(4) Ruang lingkup Kekayaan Negara.

(5) Institusi yang mengelola.

3. Sanksi pidana dan sanksi administrasi negara layak ditetapkan


kepada pihak-pihak yang melalaikan kewajiban dalam pengelolaan
kekayaan negara dan pihak yang menyebabkan kerugian negara
dalam pengelolaan kekayaan negara.

4. Perlu ada penelitian dan penyusunan Naskah Akademis tentang


Pengelolaan kekayaan Negara dalam rangka harmonisasi dan sinergi
tentang pengaturan kekayaan negara di Indonesia.

106
DAFTAR PUSTAKA

BUKU DAN MAKALAH

Chomzah, Ali Achmad. Hukum Agraria Pertanahan Indonesia. Jilid 2 (Jakarta:


Prestasi Pustaka Karya, 2004).
Cooter, Robert and Thomas Ulen. Law and Economics (Masscahusetts:
Addison-Wesley. 1997).
Freeman, M.D.A. Interoduction to Jurisprudence (London: Sweet & Maxwell
Ltd., 2001)
Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas (Jakarta: Kanisius,
2003)
Dicey, A.V. Introduction to the Study of the Law and the Constitution (London:
McMillan and Co., 1952).
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia. Edisi 2008. Cetakan keduabelas
(Jakarta: Djambatan. 2008)
Held,David. Models of Democracy (Oxford: Blackwell Publisher Ltd., 1997).
Raharjo, R. Himpunan Istilah Pertanahan dan Yang Terkait. (Jakarta: Penerbit
Djambatan 2008).
Sihombing, B.F. Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia.
Cetakan Kedua (Jakarta: Penerbit Djambatan. 2005).
_____________ Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia.
Cetakan kedua, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, Tbk, 2005)
Simatupang, Dian Puji. “Paradoks Rasionalitas Perluasan Ruang Lingkup
Keuangan Negara dan Implikasinya terhadap Kinerja Keuangan
Pemerintah.” (Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum di Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010).
Soepardi,Eddy Mulyadi. “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah
Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”. Makalah pada ceramah ilmiah FH
Universitas Pakuan, 24 Januari 2009.

107
Sutedi, Adrian. Tinjauan Hukum Pertanahan. Cetakan Pertama. (Jakarta:
Pradnya Paramita. 2009)
Nuryanto, Hemat Dwi, Mengatasi Rabun Dekat Aset Daerah, Artikel: September
2008
Naskah Akademik RUU Pengelolaan Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara, Departemen keuangan, Jakarta 15 Desember 2009.

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945


Indonesia. Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan
Pemakaian Tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara.
Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah.

108
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ............................................................................... i


Daftar Isi .......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................... ........... 1


A Latar Belakang .............................................................. 1
B Pokok Permasalahan .................................................... 7
C Maksud dan Tujuan ....................................................... 7
D Ruang Lingkup ............................................................... 8
E Metode .......................................................................... 8
F Jadwal Kegiatan ........................................................... 8
G Sistematika Penulisan ................................................... 9
H Susunan Personalia. ....................................................... 10

BAB II PENGATURAN ASET NEGARA DALAM PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN ............................................... 11

A Pengertian Aset Negara ................................................ 11


B Tata Kelola Aset Negara (Tanah) .................................... 15
C Peraturan Perundang-undangan ................................... 36

BAB III ANALISIS DAN EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN TENTANG ASET NEGARA .......................... 40

A Analisis dan Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Aset


Negara yang meliputi Benda Tidak Bergerak dan Benda
Bergerak ...................................................................... 40

B Analisis dan Evaluasi Kebijakan Praktek Penatausahaan,


Penilaian, Penggunaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan,
Penghapusan, dan Pemindahtanganan Aset Negara
Benda Tak Bergerak dan Benda Bergerak. ................... 49

C Analisis dan Evaluasi atas Akuntabilitas Pengelolaan


Aset Negara ................................................................ 63

D Analisis dan Evaluasi Pengelolaan Aset Daerah ....... 71

109
E Struktur dan Komposisi Aset Negara (Khususnya ......... 83
Aset Tetap berupa Tanah) dalam Mewujudkan
Sistem Pengelolaan Kekayaan Negara yang
Terintegrasi.

F Relevansi UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 Guna


Mewujudkan Pengelolaan Aset Negara yang Baik
dan Terintegrasi. ....................................................... 95

BAB IV PENUTUP .................................................................... 103


A Kesimpulan ................................................................ 103
B Rekomendasi. ............................................................ 104

Daftar Pustaka
Lampiran

110
LAPORAN AKHIR
TIM ANALISA DAN EVALUASI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG ASET NEGARA
(UU No. 51 Prp TAHUN 1960)

Disusun oleh Tim Kerja


Di Bawah Pimpinan

Dr. DIAN PUJI N SIMATUPANG, S.H.,MH.

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI


BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
TAHUN 2010

111
112

Anda mungkin juga menyukai