Anda di halaman 1dari 37

NASKAH UJIAN

SKIZOFRENIA TIDAK TERINCI BERKELANJUTAN 

Disusun Oleh :

Zenia Ladia

1710221101

Pembimbing:

Dr. Poppy, Sp. KJ
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA 

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU 

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

PERIODE 28 JANUARI 2018 – 2 MARET 2019

LEMBAR PENGESAHAN

NASKAH UJIAN

SKIZOFRENIA TIDAK TERINCI BERKELANJUTAN

Diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa

RSUD Pasar Minggu

Oleh :

Zenia Ladia

1710221101

Jakarta, 27 Januari 2019

Telah dibimbing dan disahkan oleh :

Pembimbing
(dr. Poppy , Sp. KJ)
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang
berjudul “Skizofrenia Tidak Terinci Berkelanjutan”. Laporan kasus ini dibuat untuk
memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa.
Penyusunan tugas ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut
membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Poppy, SpKJ selaku
pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Jiwa atas
kerjasamanya selama penyusunan tugas ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna
perbaikan yang lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Ambarawa, Februari 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Skizofrenia   merupakan   salah   satu   gangguan   jiwa   yang   memiliki   angka

kejadian tertinggi. Berdasarkan data WHO (World Health Organization), skizofrenia

mempengaruhi lebih dari 21 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi pasien skizofrenia

di Indonesia hasil Riskesdas tahun 2013 adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar

400.000 orang, DI Yogyakarta dan Aceh memiliki prevalensi psikosis tertinggi yaitu

2,7 per 1000 dan di daerah DKI Jakarta proporsi gangguan jiwa berat dalam keluarga

sebesar 1,1 per 1000 warga. Data di Poli Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto

Heerjan   pada   tahun   2015   sebanyak   19.000   kunjungan   pasien   skizofrenia   dalam

setahun,   dimana   dalam   sebulan   pasien   dapat   berkunjung   sebanyak   1­2   kali   (Data

Keperawatan   Poli   Rawat   Jalan   RSJ   Dr.   Soeharto   Heerdjan   2015).   Angka­angka

tersebut membuktikan bahwa jumlah pasien skizofrenia cukup besar salah satunya di

kota besar seperti Jakarta, yang diakibatkan oleh berbagai penyebab.

BAB II

STATUS PASIEN

2.1. STATUS PASIEN

Nama : Nn. A. L

Umur : 41 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal Lahir  : 10­04­1977

Alamat : Jl. Swadaya 1, Pejaten Timur, Jakarta Selatan
Pendidikan terakhir : D2

Status Pernikahan : Belum Menikah

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Agama : Islam

Nomor RM : 1162**

Pembiayaan  : BPJS 

2.2. Riwayat Psikiatri

Riwayat   psikiatri   melalui   autoanamnesis   terhadap   diri   pasien   dan

aloanamnesia dengan Ibu dan Ayah pasen pada Februari  2019 di rumah pasien.

Keluhan Utama

Pasien ingin kontrol

Riwayat Penyakit Sekarang

Saat   ini  pasien   mengeluh   pusing,   pusing   dirasa   karena   pasien   masih

mendengar   suara­suara  bisikan   yang  banyak   dan  bising.  Suara  tersebut  seperti

berbicara satu sama lain, tetapi pasien tidak dapat mendengar dengan jelas apa

yang dibicarakan, terkadang pasien juga mendengar suara seorang laki­laki yang

suka mengomentari dan menyuruhnya. Suara tersebut menyuruh kepada kebaikan,

seperti membersihkan rumah, dan terkdang menyuruh kepada kejahatan, seperti

kabur dari rumah. Pasien mengaku suara tersebut mengatakan diri pasien selalu

salah dan bisikan tersebut adalah benar, maka dari itu terkadang pasien masih

tidak dapat menolak bisikan tersebut, tetapi menurut pasien saat ini pasien sudah

agak   bisa   menolak   bisikan,   sehingga   kecenderungan   pasien   untuk   mengamuk,

merusak barang, dan kabur dari rumah sudah tidak ada lagi. Pasien sadar bahwa

suara tersebut lebih baik dihilangkan, tetapi pasien juga mengatakan bila suara

tersebut ingin terus ikut dengannya, maka hal itu tidak jadi masalah.  Selain itu,

pasien   juga   melihat   bangunan   bertembok   tinggi   yang   tak   dapat   dilewati   oleh

dirinya. Menurut pasien, bayangan tersebut hanya dapat dilihat oleh seseorang
yang telah meninggal. Hal ini pasien ketahui dari sang  “mentarian” yang bertuhan

ular.   Pasien   juga   mengaku   mentarian   tersebut   memberikan   ular­ular   kepada

pasien,   dan   pasien   dapat   merasakan   lilitan   ular   tersebut   menjalar   di   kulitnya.

Pasien meyakini bahwa “mentarian” adalah matahari yang memiliki kekuatan dan

sering membuat pesugihan­pesugihan yang dapat menyembuhkan penyakit, dan

mentarian tersebut memiliki jama’ah bernama si bule, sementara pasien sendiri

bukan jama’ah dari mentarian, dan pasien mengaku tidak mendapatkan kekuatan

apapun dari mentarian tersebut. Ditengah percakapan, pasien sering mengatakan

hal yang tidak berkaitan dengan pembicaraan atau pertanyaan, seperti “dia lagi

dipenggal kemudian darahnya kesini (bercucuran ke leher)”, “Ada yang datang

lewat awan, tetapi dalam bentuk zaruan”, “Mau diambil bumi dan matahari lewat

zaruan yang punya hadiningrat”. 

Meskipun   demikian,   saat   ini   pasien   sudah   dapat   membantu   pekerjaan

rumah, seperti mencuci, menyapu, dan mengepel. Pasien juga sudah dapat mandi

dan makan sendiri, tetapi berdasar penuturan Ayah pasien, pasien masih berlaku

aneh seperti sering mandi pada tengah malam, dan ketika mandi lampu selalu

dipadamkan, kemudian pasien enggan untuk menggunakan handuk. Keluhan sulit

tidur dan gemetar sudah berkurang semenjak minum obat. Pasien masih belum

dapat meminum obat sendiri, kesadaran akan keteraturan minum obat masih harus

diingatkan oleh Ayah pasien. Pasien mengatakan bahwa sekarang pasien sudah

tidak   pernah   bersosialisasi   dengan   orang­orang   sekitar   rumah   maupun   teman

lamanya,   hal   ini   diakui   pasien   karena   pasien   sudah   berbeda   dengan   mereka,

sehingga mereka tidak ingin bersosialisasi lagi dengan pasien, kecuali anak­anak

kecil   sekitaran   rumahnya   yang   masih   menyapanya.   Pasienpun   sekarang   hanya

ingin berdiam diri dirumah dan tidak ingin keluar rumah. Keyakinan akan adanya

komplotan   orang/temannya   yang   ingin   menyakiti   atau   mencelakai   dirinya

disangkal oleh pasien. 
Riwayat Gangguan Sebelumnya

1. Riwayat Gangguan Psikiatrik

Berdasarkan penuturan pasien, sebelum pasien mendengar bisikan,

sekitar   tahun   2000an,   pasien   sempat   mengikuti   acara   pesugihan   di   TV

Elshinta di laut pantai selatan, menurut pasien, pesugihan tersebut bertujuan

untuk     menyembuhkan   penyakit.   Pada   saat   itu   pasien   mengidap   peyakit

tumor payudara. 

Kemudian   pada   pertengahan   akhir   tahun   2015   pasien   mulai

mendengar   bisikan   –bisikan.   Menurut   pasien,   bisikan   tersebut   muncul

secara tiba­tiba. Menurut Ayah pasien, saat itu pasien sering megurung diri

di   kamarnya   dan   tatapan   matanya   kosong,   kemudian   pasien   juga   sering

melakukan   perusakan   pada   sepeda,   membakar   kasur,   dan   membalikan

semua cermin tanpa tujuan yang jelas. Melihat hal itu, ayah pasien mengajak

pasien untuk berobat, tetapi pasien menolak. Sehingga, saat berobat untuk

pertama   kalinya   di   RSUD   Pasar   Rebo,   hanya   ayah   pasien   yang   datang

berobat.   Kemudian   pasien   diberikan   2   jenis   obat.   Kemudian   saat   RSUD

Pasar Minggu telah dibuka, maka pengobatan pasin berpindah dari RSUD

Pasar   Rebo   ke   RSUD   Pasar   Minggu.   Saat   itu   pasien   masih   mendengar

bisikan­bisikan,   bersifat   aneh,   dan   belum   dapat   meminum   obat   sendiri.

Sehingga obat dipegang oleh Ayah pasien. Ayah pasien mengaku bahwa

kepatuhan   dan   keteraturan   ayah   dalam   memberikan   obat   kepada   pasien

kurang, suka bolong­bolong. Hal ini ia akui karena ia sempat down, dan

lelah   jika   harus   memberikan   obat   setiap   hari   kepada   pasien   dan   juga

istrinya,   sehingga   ia   ingin   mencoba   pengobatan   herbal   yang   menurutnya

pada saat itu menjajjikan efek yang cepat. Setelah berobat herbal selama

berbulan­bulan,   pasien   tidak   kunjung   mendapati   perbaikan,   bahkan


nampaknya pasien malah mengalami perburukan. Pasien terlihat gelisah dan

selalu ingin keluar dari rumah, bisikan yang dialami pasien juga semakin

kencang   dan   tidak   dapat   pasien   tolak.   Sehingga   puncaknya   pada   bulan

september 2018 pasien pergi berjalan kaki tanpa izin dari rumah menuju

depok,   sendirian,   kemudian   keesokan   harinya   pasien   pulang   sendiri

kerumah.   Pasien   mengaku   bahwa   bisikanlah   yang   menyuruhnya   untuk

kabur   dan   keluar   dari   rumah.   Maka   dari   itu,   ayah   pasien   mulai   sadar

kembali untuk melakukan pengobatan ke dokter.  

2. Riwayat Gangguan Medik

Pasien mengaku pernah melakukan operasi tumor jnak di payudara sebelah

kanannya pada tahun 2000an. Riwayat trauma kepala, penurunan kesadaran,

penyakit   infeksi   pada   otak,   dan   kejang   disangkal   oleh   pasien   dan

keluarganya. 

3. Riwayat Penggunaan Obat

Pasien   tidak   konsumsi   obat   jangka   panjang   selain   obat   psikiatri   seperti

risperidon 3 mg dan THP 2mg yang digunakan 2x sehari, merlopam 0.5 mg

1xsehari. Pemberian obat di kelola oleh ayah pasien, tetapi kesadaran dan

kepatuhan Ayah pasien terhadap kebutuhan obat pasien kurang, sehingga

pasien sering putus­sambung obat. 

4. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif

Tidak pernah
Grafik Perjalanan Penyakit

2000 2015 2016 2017 2018 2019

Tahun 2000an, Tahun 2000-2015 Tahun2015 Tahun 2016 September 2018 Februari 2019
Pasien mengaku Pasie masih dapatPasien mulai mendengar  Pengobatan Pindah ke Pasien kabur keluar Pasien sudah dapat
memiliki tumor beraktivitas, spertibisikan –bisikan. Pasien  RSUD Pasar Minggu rumah ke Depok, menolak bisikan yang
payudara dan bergaul, kuliah danlebih senang Mengurung  Masih mendengar berjalan kaki, sendirian bersifat keburukan,
sempat bekerja diri di kamar, tatapan  bisikan Keesokan harinya baru masih mendenga
mengikuti acara Putus obat (krn ayah kembali ke rumah, bisikan
mata  kosong, merusak 
pesugihan di TV down, pesimis coba pulang sendiri Pasien sudah dapat
barang ((sepeda, kasur)
Elshinta di laut obat herbal ) Melanjutkan membantu kegiatan
pantai payudara Berobat ke RSUD Pasar  pengobatan medis rumah tangga
Rebo diberi 2 jenis obat  kembali
(tanpa pasien)
Minum obat tidak teratur
Riwayat Kehidupan Pribadi

1. Riwayat Prenatal dan Perinatal

Pasien merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pasien lahir spontan di

bidan. Proeses kelahiran normal tanpa adanya penyulit. Riwayat komplikasi

kelahiran dan trauma lahir tidak ada. Cacat bawaan disangkal.

2. Riwayat Perkembangan Kepribadian
 Masa Kanak Awal (0–3 tahun)

Berdasarkan   alloanamnesa   dengan   ibu   dan  ayah  pasien,   proses   tumbuh

kembang   pasien   berlangsung   normal   seperti   anak­anak   seusianya.   Pasien

tidak mengalami keterlambatan apapun baik itu berbicara maupun berjalan.

 Masa Kanak Pertengahan (3–11 tahun)
Tidak ada keterlambatan tumbuh kembang pada pasien. Saat sekolah
dasar pasien dapat mengikuti pelajaran dikelas, tidak ada gangguan
konsenterasi maupun perilaku. Pasien merupakan anak yang periang,
punya banyak teman di sekolah maupun dengan teman-teman di dekat
rumahnya.
 Masa Kanak Akhir (Pubertas dan Remaja)
Pasien mampu bergaul dan bersosialisasi dengan teman-temannya
sewaktu pasien masih sekolah, di lingkungan rumahnnya, dan pasien
mempunyai banyak teman. Pasien dapat mengikuti pelajaran dengan
baik selama masa sekolah
3. Riwayat Pendidikan
Pasien bersekolah SD  di SDN 12 Tanjung Barat, kemudian pasien lulus

sekolah SD dan melanjutkan sekolah di SMPN 98 Lenteng Agung, pasien

lulus dan melanjutkan ke SMEA 4 Jakarta. Ayah dan ibu pasien mengatakan

bahwa   saat   sekolah   pasien   cenderung   tekun   dan   pintar,   pasien   sering

mendapatkan ranking 15 besar dari 40 murid. Kemudian pasien melanjutkan

kuliah di Kampus Daarul Qolam dengan jurusan Guru SD dan lulus sampai

D2. 
4. Riwayat Pekerjaan
Pasien pernah bekerja sebagai SPG (Sales Promotion Girl) di SOGO dan

PIM   selama   4   Tahun   pada   tahun   1995.   Kemudian,   setelah   lulus   kuliah

pasien   bekerja   sebagai   Guru   SD   &   TPA   selama   6­7   bulan.   Pasien   juga

pernah bekerja di Pabrik Jepang selama 1 tahun. 

5. Kehidupan Beragama

Pasien beragama Islam. Pasien pernah bersekolah di kampus yang berbasis

Islam.   Menurut   ayah   pasien,   pasien   sempat   ikut   serta   dalam   beberapa

pegajian dan ikut acara keagamaan anggota PKS sebelum sakit. 

6. Kehidupan Perkawinan/ Psikoseksual

Pasien  belum pernah menikah. Pasien juga mengaku belum pernah kawin

atau menjalin kasih sebelumnya. Berdasarka penuturan ayah pasien, pasien

sempat ingin dijodohkan oleh seorang murid dari guru pengajiannya, tetapi

keluarga  melarang   karena   yang  bersangkutan   adalah   seorang  tuna  daksa.

Dan menurut ibu pasien, keadaan pasien sekarang kemungkinan dari guna­

guna akibat putus cinta. 

7. Riwayat Pelanggaran Hukum

Pasien tidak pernah punya riwayat masalah dengan aparat penegak hukum,

dan tidak pernah terlibat dalam proses peradilan yang terkait dengan hukum.

8. Riwayat Sosial

Pasien sebelumnya merupakan seseorang yang dapat bergaul dan memiliki

banyak   teman,   pasien   juga   sempat   mengikuti   keanggotan   PKS   sebelum

sakit. Namun sekarang, pasien hanya bersosialisasi dengan keluarganya saja.

Riwayat Keluarga

Pasien dilahirkan di Solo dan dibesarkan di Jakarta. Pasien beragama Islam

sejak   lahir.   Pasien   merupakan   anak  pertama   dari   tiga   bersaudara.  Ayah

pasien  seorang pensiunan dan  Ibu pasien seorang ibu  rumah tangga.  Ibu

pasien   merupakan   penderita   Skizofrenia   paranoid   sejak   tahun   2001.

Sementara   pada   saat   itu,   pasien   masih   dalam   keadaan   sehat   dan   harus
megurus ibunya yang sakit. Ayah pasienpun mengaku bahawa ia memiliki

adik   yang   mengalami   hal   serupa   dengan   istrinya   dan   pasien.   Adik­Adik

pasien   tidak   memiliki   riwayat   keluhan   serupa   denga   pasien.   Saat   ini,

menurut   penuturan   Ayah   pasien,   adik­adik   pasien   merasa   sangat   jengkel

dengan pasien, dan sering memarahi pasien. 

Genogram 

Paman
Ibu
Pasien dari ayah

Pasien

Sumber : Ayah Pasien  

Keterangan :
Laki-laki

Perempuan

Tinggal dalam satu rumah

Arsir Putih  : Sehat 

Arsir Hitam : Sakit 
Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya

Pasien menyadari bahwa dirinya sakit dan menganggap bahwa ia sekarang

berbeda dan tidak dapat berkomunikasi dengan orang­orang dewasa seperti

tetangga ataupun teman lamanya, sehingga ia lebih senang dirumah. Pasien

menyesali   sekolahnya   yang   sampai   tingkat   universitas,   ia   mengatakan

sebenarnya hanya ingin sekolah sampai kelas 2 SD saja. Iapun menuturkan

jika sembuh nanti tak ada yang ingin dilakukannya kecuali berdiam diri saja

dirumah.   Pasien   merasa   sangat   takut   jika   karena   sakitnya   ini,   ia   harus

dirawat di rumah sakit. 

2.3. Status Mental
a. Deskripsi Umum
1. Penampilan

Pasien   perempuan,   usia   36   tahun,   tampak   sesuai   dengan   usianya,

berpakaian   rapih,   tampak   bersih,  berambut   panjang   setelah   berkeramas,

perawatan diri baik.

2. Kesadaran
a. Kesadaran neurologik: compos mentis
b. Kesadaran   psikiatrik:   pada   saat   ini  ekspresi   wajah  pasien  sesuai

dengan apa yang diceritakan tetapi megalami sedikit penurunan afek.
3. Perilaku dan Aktivitas Motorik
a. Sebelum   wawancara:   pasien   menyambut   kehadiran   pemeriksa   dan

menemani ke ruang tamu
b. Selama wawancara : pasien tampak dalam keadaan normoaktif, kontak

mata antara pasien dengan pemeriksa baik. Pasien dalam menjawab

pertanyaan   spontan   dan   antusias,  jawaban   sesuai   pertanyaan,   tetapi

terkadang   ada   sisipan   pernyataan   yang   tidak   berkesinambungan

dengan pertanyaan, dan timbul kata­kata baru yang dibuat oleh pasien

dan   terdengar   asing   oleh   pemeriksa.  Pasien   hanya   menjawab

pertanyaan   yang   diberikan,   tidak   terlalu   banyak     bercerita,   pasien


sempat berbicara tentang perasaan yang dirasakan saat itu dengan afek

sesuai dengan emosi.
c. Sesudah   wawancara:   saat   selesai   wawancara,   pasien   menyalami

pemeriksa dan mengantarkan pemeriksa ke depan pintu rumah. 
d. Bentuk kelainan psikomotor : Tidak ada 
4. Sikap Terhadap Pemeriksa

Pasien bersikap kooperatif terhadap pemeriksa.

5. Pembicaraan

Pasien   berbicara   spontan,   lancar,   volume   suara   cukup,   intonasi   dan

artikulasi baik.

b. Alam Perasaan (Emosi)
 Mood : Eutimia
 Afek : menyempit
 Keserasian : Serasi

c. Gangguan Pikiran 
1. Proses Pikir 
 Tidak logis, berorientasi pada hal magis 
2. Arus Pikir
 Produktivitas : Baik
 Kontuinitas : Asosiasi longgar, neologisme 
 Hendaya bahasa : Tidak ada
3. Isi Pikir
 Preokupasi : Ada, ingin mengikut pesugihan 
 Waham : Ada, waham bizzare 
 Obsesi : Tidak ada  
 Fobia : Tidak ada
 Rendah diri : Ada 
 Pikiran isolasi sosial : Ada 

d. Gangguan Persepsi
 Halusinasi : Ada, halusinasi auditorik, visual, dan taktil 
 Ilusi : Tidak ada
 Depersonalisasi : Tidak ada
 Derealisasi : Tidak ada

e. Fungsi Intelektual dan Kognitif

Taraf Pendidikan D2
Pengetahuan umum Baik
Kecerdasan Baik
Konsentrasi dan perhatian Perhatian baik, saat berbicara dengan pemeriksa, pasien

tidak   mengalihkan   pandangan   ke   hal   atau   benda   yang

lain.

Konsentrasi baik
Orientasi

 Waktu  Baik
 Tempat  Baik
 Orang  Baik 
Daya ingat

 Jangka panjang  Baik
 Jangka pendek  Baik
 Segera   Baik 
Kemampuan   membaca   dan
Baik

menulis
Pikiran Abstrak Baik 
Visuospasial Tidak dilakukan penilaian
Kemampuan   menolong Baik 

diri

f. Pengendalian Impuls

Baik 

g. Daya Nilai
 Daya nilai sosial

Cukup, pasien menghampiri pemeriksa untuk bersalaman dan mempersilahkan 

masuk ke rumah

 Uji Daya Nilai
Terganggu 

 Daya Nilai Realita

Terganggu 

h. Tilikan (insight)

Pasien memiliki sedikit pemahaman tentang penyakitnya, dan secara 

bersamaan menyangkal pada waktu yang bersamaan. Nilai tilikan 2

i. Reabiliatas

Pemeriksa memperoleh kesan secara menyeluruh bahwa jawaban pasien dapat

dipercaya karena pasien menjawab dengan konsisten terhadap pertanyaan yang

diberikan.

II.1 PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

- Kesadaran : Tampak baik
- Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
- Tanda Vital :
 Tekanan darah: 120/70 mmHg
 Nadi : 82 x/menit
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,7 C
- Kepala : normocephal
- Mata  : isokor, reflek cahaya (+), reflek kornea (+), konjungtiva anemis 

(­/­)
- Hidung : sekret (­), darah (­), deviasi (­)
- Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak ada gusi berdarah
- Leher : tidak terabanya pembesaran KGB
- Paru : Bentuk dada normal, simetris, retraksi (­), Suara napas vesicular, 

rhonki ­/­, wheezing ­/­
- Jantung  : BJ I­II murni regular, murmur (­), gallop (­)
- Abdomen  : Datar, supel, NT (­), BU (+) normal
- Ekstremitas  : Akral hangat, tidak ada edema, CRT <= 2 detik
Status Neurologis

- Saraf kranial : kesan dalam batas normal
- Refleks fisiologis : kesan dalam batas normal
- Refleks patologis : tidak ada
- Motorik : kesan dalam batas normal
- Sensibilitas : kesan dalam batas normal
- Fungsi Luhur : tidak ada kelainan

III.1 RESUME

Pasien perempuan, usia 41 tahun, tampak sesuai dengan usianya, berpakaian rapih,

tampak bersih, rambut basah tersisir rapih, pasien tampak habis mandi setelah bangun dari

tidur siang. 

Pasien mengatakan keluhan bisikan di telinganya masih sering dirasakan, tetapi ia

sudah   dapat   sedikit   mengabaikan   bisikan­bisikan   yang   menyuruh   pada   ketidakbaikan,

sehingga pasien sudah tidak mengamuk, kabur dan kecenderungan merusak barang lagi.

Pasienpun masih merasa bahwa aktivitas yang ia lakukan masih dikontrol oleh bisiskan­

bisikan   tersebut,   akibatnya   ia   masih   merasa   rendah   diri.   Penglihatan   tentang   tembok­

tembok yang tidak dapat diembus olehnyapun masih dialami oleh pasien. Pasienpun masih

merasa terkadang ada ular yang melilit tubuhnya dan hal itu terasa dikulit pasien. Pasien

masih sulit untuk membedakan kenyataan dan khayalannya. Pasien masih mempercayai

dan   meyakini   sang   “mentarian”   yang   memiliki   kekuatan   dan   percaya   soal   pesugihan­

pesugihan   yang   dilakukan   mentarian.   Gangguan   tidur   dan   tubuh   gemetar   pada   pasien

sudah tidak dirasakan setelah minum obat. Pasien sudah dapat mememuhi kebutuhannnya

sendiri, dan saat ini berkegiatan membantu pekerjaan rumah. Saat ini pasien masih sulit

dan tidak berkeinginan untuk bersosialisasi dengan orang lain, kecuali keluarganya. 

Dari   pemeriksaan   psikiatri   didapatkan   kesadaran   neurologisnya   compos   mentis,

perilaku   dan   aktivitas   motorik   normoaktif,  pasien   kooperatif,   tidak   ditemukan   bentuk

kelainan psikomotor, suasana perasaan (mood) eutim, afek  menyempit, keserasian serasi,

pembicaraan   spontan,   kuantitas   dan   kualitasnya   cukup,   terdapat   gagguan   proses   pikir
dereistic   dan   tidak   logis   berbetuk   magis,   produktivitas   pembicaraan   baik,   kontunuitas

pembicaraan asosiasi longgar, terdapat gangguan isi pikiran berupa waham bizzare, dan

kecenderungan   antisosial,  terdapat   gangguan   persepsi   seperti   halusinasi   auditorik,

halusinasi visual, dan halusinasi taktil,  fungsi intelektual  dan kognitif baik,  pengendalian

impuls baik,  daya nilai sosial  cukup, daya nilai realitas terganggu, Tilikan pada pasien

derajat 2. Pemeriksaan status generalis dan neurologis dalam batas normal.

IV.1 DIAGNOSIS MULTIAKSIAL

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan pada pasien ini

terdapat gangguan persepsi (halusinasi auditorik, halusinasi visual, dan halusinasi taktil)

dan gangguan isi pikir (waham)

Diagnosis Aksis I

 Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan, pasien tidak pernah memiliki riwayat

cedera kepala, kejang, tindakan operasi dan riwayat penyakit fisik lainnya yang dapat

mempengaruhi   Sistem   Saraf   Pusat.   Berdasarkan   hasil   pemeriksaan   fisik,   secara

keseluruhan   dalam   batas   normal,   pada   pasien   tidak   ditemukan   adanya   penurunan

kesadaran   secara   biologis,   tanda­tanda   peningkatan   tekanan   intrakranial   tidak

ditemukan, dan tanda rangsang meningeal negatif. Hal ini dapat dinilai dari tingkat

kesadaran, fungsi kognitif, daya ingat, dan orientasi yang 15 tergolong baik, sehingga

pasien   ini   bukan   penderita   Gangguan   Mental   Organik   (F.0).   Dari   hasil   anamnesis

pasien dan alloanamnesis, pasien tidak pernah mengonsumsi NAPZA maka dari itu

dapat   disimpulkan   bahwa   pasien   ini  bukan   penderita   Gangguan   Mental   dan

Perilaku Akibat Zat Psikoaktif atau Alkohol (F.1).
 Dari  hasil anamnesis  pasien dan  alloanamnesis, pasien  memiliki riwayat  gangguan

dalam menilai realitas, baik halusinasi maupun waham, pasien cenderung mengamuk

dan sering kabur dari rumah karena merasa ada yang menyuruh pasien. Pasien sudah

lebih dari dua kali mengalami kekambuhan, dan diantaranya pernah terjadi remisi, dan

berdasarkan   PPDGJ­III   saat   ini   pasien   dinyatakan  memiliki   gangguan   psikotik

(F.20.30) yaitu Skizofrenia Tidak Terinci Berkelanjutan   
Diagnosis Aksis II

 Dari hasil anamnesis pasien dan alloanamnesis, pasien dapat bergaul dengan baik dan

dikenal   oleh   warga   sekitar,   tidak   terdapat   keterlambatan   dalam   berbahasa,   dapat

merawat   diri   dan   melakukan   pekerjaan   rumah   tangga   walaupun   tidak   sepenuhnya,

tidak memiliki gangguan  dalam hal akademik.  Tidak terdapat gangguan kepribadian

dan tidak terdapat gangguan retardasi mental. Aksis II adalah tidak ada diagnosis 

Diagnosis Aksis III

 Dari hasil anamnesis pasien, alloanamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak ditemukan

kondisi medik lainnya. Aksis III tidak ada diagnosis

Diagnosis Aksis IV

 Masalah dengan keluarga  : ada, kurangnya pemahaman keluarga

tentang penyakit dan kebutuhan obat pasien. Ibu skizofrenia dan kedua adiknya

merasa jengkel terhadap pasien karena sering bersikap aneh 
 Masalah ekonomi : ada, belum berkecukupan
 Masalah akses ke pelayanan kesehatan : ada, pasien sedikit tidak patuh dalam 

meminum obat

Diagnosis Aksis V

 Pada   pasien   ini   didapatkan   gejala   dan   diabilitas   sedang.   Maka   pada  aksis   V

didapatkan GAF scale 30­21

V.1 EVALUASI MULTIAKSIAL

Aksis I : (F.20) yaitu Skizofrenia Tidak terinci berkelanjutan 

Aksis II : Tidak ada diagnosis 

Aksis III : Tidak ada diagnosis

Aksis IV : Masalah keluarga, ekonomi, & ketidakpatuhan dalam minum obat

Aksis V : GAF scale 30­21

VI.1 PENATALAKSANAAN
a) Farmakologi
- Risperidone  2 x 3 mg/hari
- Triheksiphenidyl 2 x 2 mg/hari
- Merlopam 1x 0.5 mg/hari (malam)
b) Non Farmakologi
- Psikoterapi 

VII.1 PROGNOSIS
 Quo Ad Vitam : ad bonam
 Quo Ad Functionam : dubia ad bonam 
 Quo Ad Sanationam : dubia ad malam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

SKIZOFRENIA

Definisi

Skizofrenia   merupakan   gangguan   jiwa   dimana   penderitanya   mengalami

disorientasi dalam membedakan hal yang nyata dan tidak mampu memahami dirinya

dengan  baik  (Hawari  2007).  Pengertian  lain  menurut  Mark Durand  dan  David H.

Barlow   (2007),   skizofrenia   adalah   gangguan   psikotik   yang   bersifat   merusak   yang

melibatkan gangguan berpikir (delusi), persepsi (halusinasi), pembicaraan, emosi dan

perilaku.

Menurut   DSM­V,   Skizofrenia   dan   gangguan   psikotik   lainnya   didefinisikan

sebagai suatu keabnormalitasan yang terdiri dari satu atau lebih dari lima domain

yang ada seperti delusi, halusinasi, pikiran yang kacau (berbicara) atau gerakan yang

berlebihan (termasuk katatonia) dan gejala negatif.

Terdapat klasifikasi simtom skizofrenia, dibagi dalam empat ranah utama:

a) Simtom   positif,   yaitu   sangat   berlebihannya   fungsi   normal,   misalnya

halusinasi, waham, pembicaraan dan perilaku disorganisasi
b) Simtom   negatif,   yaitu   berkurangnya  ekspresi   emosi  &   fungsi   mental,

misalnyaafek   tumpul,  avolisi,   alogia,   anhedonia   &   defisit   interaksi   social.


Simtom negatif lebih dikaitkan dengan skizofrenia bila dibandingkan dengan

gangguan psikotik lainnya.
c) Simtom afektif, misalnya mood depresi dan ansietas
d) Simtom kognitif, misalnya deficit memori kerja, episodikatensi, verbalisasi,

dan fungsi eksekutif. Deficit memori kerja berhubungan kuat dengan fungsi

pekerjaan.

Epidemiologi
Berdasarkan data WHO (World Health Organization), skizofrenia
mempengaruhi lebih dari 21 juta orang di seluruh dunia. Untuk di Indonesia,
Prevalensi pasien skizofrenia menurut hasil Riskesdas tahun 2013 adalah 1,7 per 1000
penduduk atau sekitar 400.000 orang dan di daerah DKI Jakartaproporsi gangguan
jiwa berat dalam keluarga sebesar 1,1 per 1000 warga. Data di Poli Rawat Jalan
Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerjan pada tahun 2015 sebanyak 19.000 kunjungan
pasien skizofrenia dalam setahun, dimana dalam sebulan pasien dapat berkunjung
sebanyak 1-2 kali (Data Keperawatan Poli Rawat Jalan RSJ Dr. Soeharto Heerdjan
2015). Studi lain menyatakan bahwa jumlah pasien skizofrenia pria lebih banyak
dibandingkan wanita dan usia terbanyak, hampir 90 %, terjadi antara 15 dan 55 tahun
(Kaplan &amp; Sadock 2010, hlm. 148).

Etiologi
Penyebab terjadinya skizofrenia masih belum dapat ditentukan dengan pasti,
namun erdapat beberapa hipotesis mengenai gangguan perkembangan otak dan deficit
neuropsikologi yang dikaitkan dengan gangguan region otak dan sirkuit fungsional
neuron (Elvira dkk, 2010). Menurut Kaplan (2010, hlm. 150), model diatesis-stres
yang paling umum penyebab skizofrenia. Diatesis atau stres dapat berupa stres
biologis, lingkungan atau keduanya. Contoh stres biologis adalah infeksi atau
psikologis (contohnya, situasi keluarga yang penuh tekanan) dan dapat terbentuk lebih
lanjut oleh pengaruh epigenetik seperti penyalahgunan zat, stres psikososial dan
trauma.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya skizofrenia:
a) Faktor Genetik
Merupakan resiko terbesar untuk terjadinya skizofrenia. Namun, tak jarang
pasien yang didiagnosa skizofrenia tidak memiliki riwayat skizofrenia dalam
keluarganya. Komplikasi hipoksia saat hamil dan melahirkan, hamil usia tua
dan keadaan hamil lainnya seperti stress, malnutrisi, obesitas dihubungkan
dengan terjadinya skizofrenia tetapi belum dapat dikembangkan lebih lanjut.
b) Gangguan neurotransmitter
- Hipotesis dopamine, disebutkan adanya peningkatan aktivitas dopamine
sentral. Hipotesis ini dibuat berdasarkan berbagai penemuan utama yaitu:
1. efektivitas obat-obat neuroleptic pada skizofrenia. Fenotiazin bekerja
memblok reseptor dopamine pasca sinaps (tipe D2).
2. penggunaan amfetamin, menyebabkan pelepasan dopamine sentral.
3. adanya peningkatan jumlah reseptor D2 di nucleus kaudatus, nucleus
akumben, dan putamen pada skizofrenia.
- Hipotesis glutamate, fensiklidin dan ketamine bekerja menghambat kanal
ion reseptor NMDA yang dapat menyebabkan hipofungsi NMDA dan
menyetuskan psikosis. Fensiklidin dan ketamine dapat menginduksi
simtom positif dan negatif. Peningkatan kadar dopamine pada ganglia
basalis pada pasien skizofrenia merupakan akibat rendahnya glutamate
neuron kortiko-striatal.
- Hipotesis serotonin dan norepinefrin, adanya peningkatan serotonin di
susunan saraf pusat (terutama 5-HT2A) dan kelebihan norepinefrin di
forebrain dapat menyebabkan gejala pada skizofrenia.
c) Gangguan Morfologi dan Fungsional
Gangguan yang paling banyak dijumpai adalah pelebaran ventrikel tiga dan
lateral, yang kadanag sudah terlihat sebelum awitan penyakit dan atropi
bilateral lobus temporal medial, serta yang lebih spesifik yaitu gangguan girus
parahipokampus, hipokampus dan amigdala dan disorientasi spasial sel
pyramid hipokampus.
d) Gangguan Imunitas
Perubahan morfologi limfosit, gangguan kadar CD4, sel T, CD8, peningkatan
sitokin, peningkatan kadar antibody virus, antibody sitomegalovirus di CSS
yang ditemukan dari hasil penelitian berperan dalam terjadinya skizofrenia.
e) Faktor kehamilan
Pada individu yang mengalami komplikasi saat kehamilan (BBLR,
premature). Namun, kemaknaan penemuan ii belum diketahui pasti.
f) Faktor Keluarga
Pasien yang berisiko adalah pasien yang tinggal bersama keluarga yang
hostilitas tinggi, memperlihatkan kecemasan berlebihan, sangat protektif,
terlalu ikut campur, sangat pengeritik. Penelitian terbaru menyatakan bahwa
buruknya pola komunikasi keluarga tersebut mungkin disebabkan oleh
dampak memiliki anak dengan skizofrenia.

Klasifikasi
Menurut PPDGJ III dan DSM-V skizofrenia dibagi menjadi 9 klasifikasi,
diantaranya:
1. Skizofrenia paranoid
2. Skizofrenia hebefrenik/disorganisasi
3. Skizofrenia katatonik
4. Skizofreniatak terinci (undifferentiated)
5. Depresi pasca-skizofrenia
6. Skizofrenia residual
7. Skizofrenia simpleks
8. Skizofrenia lainnya
9. Skizofrenia YTT (Yang Tidak Tergolongkan)

Diagnosis
Pedoman Diagnostik Skizofrenia berdasarkan PPDGJ III
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut dengan amat jelas (dua atau lebih
bila gejala-gejala kurang jelas):
a. - Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras) ; atau
- Thought insertion or withdrawal = isi pikiran dari luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal) ; dan
- Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar ke luar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya.
b. - Delusion of control = waham dirinya dikendalikan sesuatu; atau
- Delusion of influence = waham dirinya dipengaruhi sesuatu; atau
- Delusion of passivity = waham dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
sesuatu;
- Delusion perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik
- suara yang berkomentar terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
- mendiskusikan pasien, atau suara yang berasal dari salah satu bagian
tubuhnya.
d. Waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan mustahil (misal: keyakinan agama atau politik tertentu, atau
kekuatan dan kemampuan mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
makhluk dari dunia lain).
 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e. Halusinasi menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan yang menetap atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus.
f. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat
inkoherensi atau tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik seperti keadaaan gaduh-gelisah, posisi tubuh tertentu atau
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tudak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi
harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika.

 Pedoman Diagnostik Skizofrenia Paranoid  berdasarkan PPDGJ III

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Sebagai tambahan:
- Halusinasi dan/atau waham menonjol;
a) Suara­suara   halusinasi   yang   mengancam   pasien   atau   membari

perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi

pluit   (whistling),   mendengung   (humming),   atau   bunyi   tawa

(laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau

lain­lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang

menonjol;
c) Waham dapat berupa hamper setiap jenis, tetapi waham dikendalikan

(delusion   of   control),   dipengaruhi   (delusion   of   passivity),   dan

keyakinan   dikejar­kejar   yang   beraneka   ragam   adalah   yang   paling

khas;
- Gangguan   afektif,   dorongan   kehendak   dan   pembicaraan,   serta   gejala

katatonik secara relative tidak nyata/tidak menonjol

• Merupakan tipe yang paling stabil & paling sering


• Gejala terlihat sangat konsisten
• Pasien jarang memperlihatkan perilaku disorganisasi
• Waham & halusinasi menonjol, tapi afek & pembicaraan tdk terpengaruh
• Gejala:
o Waham kejar, rujukan, kebesaran, dikendalikan, dipengaruhi, cemburu
o Halusinasi akustik berupa ancaman, perintah / menghina

Terapi Skizofrenia

Terdapat 3 fase terapi skizofrenia:

1) Fase Akut
 Bila   seseorang   mengalami   episode   pertama   atau   eksaserbasi,   biasanya

berlangs selama empat sampai delapan minggu.
 Tujuan: mengontrol simtom psikotik yang berat (halusinasi, waham, perilaku

gaduh   dan   gelisah),   mencegah   ODS   meluaki   dirinya   atau   orang   lain   serta

mengurangi beratnya gejala psikotik.
 Gejala: agitasi, gaduh, gelisah, agresif.
 Terdapat 2 macam obat antipsikotik, APG I dan APG II. Injeksi APG I sering

digunakan untuk mengatasi agitasi akut. Bekerja sebagai antagonis reseptor

dopamine. Kerja obat sangat cepat, namun memiliki efek samping gangguan

ekstrapiramdal seperti distoni akut, akatsia, parkinsonisme. Sedangkan, APG

II   sangat   sedikit   efek   samping   gagngguan   ekstrapiramidalnya.   Sehingga,

dipertimbangkan sebagai obat lini pertama untuk fase akut skizofrenia.

Tabel 1. Obat Antipsikotik yang sering digunakan

Obat Antipsikotik Rentang Dosis Ekivalen Waktu Paruh (jam)

Anjuran (mg/hari) Klorpromazin

(mg/hari)
APG I
Fenotiazin
klorpromazin 300­1000 100 6
Flufenazin 5­20 2 33
Perfenazin 16­64 10 10
Thirodazin 300­800 100 24
trifluoperazin 15­50 5 24
Butiroferon
Haloperidol 5­20 2 21
Lainnya 
Loksapin  30­100 10 4
APG II
Aripripazol  10­30 75
klozapin 150­600 12
olanzapin 10­30 33
Quetiapin  300­800 6
Risperidon  2­8 24

2) Fase Stabilisasi
 Tujuan: mengurangi stress pada ODS dan memberikan dukungan untuk 

mengurangi kekambuhan, meningkatkan adaptasi ODS terhadap kehidupan 

dalam masyarakat.
 Dosis dan jenis obat yang sama dilanjutkan dan dipertahankan selama 6 bulan.
 Edukasi tentang perjalanan dan outcome penyakit, misalnya kepatuhan 

terhadap pengobatan dapat dimulai pada fase ini.
 Edukasi tentang manfaat obat, efek samping dan perlunya tambahan 

kepatuhan terhadap obat juga harus diberikan kepada keluarga.

3) Fase Rumatan
 Tujuan:   untuk   mempertahankan   remisi   gejala   atau   untuk   menontrol,

meminimalisasi   resiko   atau   konsekuensi   kekambuhan   dan   mengoptimalkan

fungsi dan proses kesembuhan.
 Penilaian   pada   fase   stabil,   penting   untuk   menentukan   manfaat   obat   yang

didapat ODS. Penilaian dapat dengan mengajukan pertanyaan mengenai gejala

dan efek samping obat serta masyarakat yang berinteraksi dengan ODS dapat

menilai perubahannya.
 Obat   Antipsikotik,   dapat   mengurangi   kekambuhan   hingga   30%   per   tahun.

Penggunaan antipsikotik yang efek sampingnya minimal tetapi masih dalam

kisaran  dosis  efektif.  Apabila  menggunakan  APG   I, disarankan  dosis   yang

lebih   rendah   dikaitkan   dengan   perbaikan   kepatuhan   dan   baiknya   perasaan

subjektif   serta   baiknya   fungsi.   Penggunaan   APG   II   dapat   digunakan   dosis

terapetik karena tidak menimbulkan efek samping ekstrapiramidal.
 Terapi Elektrokonvulsif (TEK/ECT)
 Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (RTMS)
OBAT ANTIPSIKOTIK

Berdasarkan   rumus   kimianya,   obat   ­   obat   antipsikotik   dibagi   menjadi   golongan

fenotiazine   misalnya   chlorpromazine,   dan   golongan   non­fenotiazine   contohnya

haloperidol. Sedangkan menurut menurut cara kerjanya terhadap reseptor dopamin

dibagi   menjadi  Dopamine   receptor   Antagonist  (DA)  dan  Serotonine   Dopamine

Antagonist (SDA). Obat­obat DA juga sering disebut sebaga anti­psikotik tipikal, dan

obat­obat SDA disebut sebagai anti­psikotik atipikal. Golongan fenotiazine disebut

juga obat­obat berpotensi rendah (low potency), sedangkan golongan non­fenotiazine

disebut obat­obat potensi tinggi (high potency) karena hanya memerlukan dosis kecil

untuk memperoleh efek yang setara dengan Chlorpromazine 100mg. Obat­obat SDA

makin   berkembang   dan   makin   menjadi   pilihan   karena   efek   klinis   yang   diperoleh

setara dengan obat­obat konvensional disertai efek samping yang jauh lebih ringan.

Obat­obat   jenis   ini   antara   lain   risperidone,   clozapine,   olanzapine,   quetiapin,

ziprazidone   dan   aripirazole.   Klasifikasi   kemudian   dibuat   lebih   sederhana   dengan

membaginya   menjadi   anti­psikotik   generasi   1   (APG­I)   untuk   obat­obat   golongan


antagonis   dopamin   (DA)   dan   anti­psikotik   generasi   2   (APG­II)   untuk   obat­obat

golongan serotonin dopamin antagonis (SDA).

1. Farmakokinetik

Metabolisme obat­obat anti­psikotik secara farmakokinetik dipengaruhi oleh

beberapa   hal,   antara   lain   pemakaian   bersama   enzyme   inducer   seperti

carbamazepine, phenytoin, ethambutol, dan barbiturate. Kombinasi dengan obat­

obat   tersebut   akan   mempercepat   pemecahan   anti­psikotik   sehingga   diperlukan

dosis yang lebih tinggi. Clearance Inhibitors seperti SSRI (Selective serotonin Re­

uptake   Inhibitor),   TCA   (Tricyclic   Antidepressant),  beta   blocker;  akan

menghambat   eksresi   obat­obat   anti­psikotik   sehingga   perlu   ditambahkan   dosis

pemberiannya bila diberikan bersama­sama. Kondisi stress, hipoalbumin karena

malnutrisi atau gagal ginjal dan gagal hati (hepar) dapat mempengaruhi ikatan

protein obat­obatan anti­psikotik tersebut.

2. Farmakodinamik

Obat­obat anti­psikotik terutama bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin

dan   serotonin   di   otak,   dengan   target   untuk   menurunkan   gejala­gejala   psikotik

seperti waham, halusinasi dan lain­lain. Sistem Dopamin yang terlibat yaitu sistem

nigrostriatal,   sistem   mesolimbokortikal,   dan   sistem   tuberoinfundibuler.   Karena

kerja   yang   spesifik   ini   maka   dapat   diperkirakan   efek   samping   yang   mungkin

timbul  yaitu  bila  sistem­sistem  tersebut  mengalami  hambatan  yang  berlebihan.

Bila hambatan pada sistem nigrostriatal berlebihan maka akan terjadi gangguan

terutama   pada   aktivitas   motorik,   sedangkan   sistem   mesolimbikortial

mempengaruhi fungsi kognitif, dan fungsi endokrin akan terganggu apabila sistem

tuberoinfundibuler terhambat secara berlebihan.

3. Efek Samping Obat
Efek   samping   dapat   dikelompokkan   menjadi   efek   samping   neurologis   dan

non­neurologis. Efek samping neurologis akut berupa akatisia, distonia akut, dan

parkinsonism (acute extrapyramidal syndrome). Bisa juga terjadi efek samping

akut berupa SNM (Sindroma Neuroleptik Maligna) yang merupakan emergensi

karena dapat mengancam kelangsungan hidup pasien. Pada kondisi kronis atau

efek   samping   jangka   panjang   dapat   dilihat   kemungkinan   terjadinya   tardive

dyskinesia.

- Akatisia

Kondisi   yang   secara   subyektif   dirasakan   oleh   penderita   berupa

perasaan tidak nyaman, gelisah, dan merasa harus selalu menggerak­gerakkan

tungkai.   Pasien   seering   menunjukkan   kegelisahan   dengan   gejala­gejala

kecemasan,   dan   atau   agitasi.   Sering   sulit   dibedakan   dari   rasa   cemas   yang

berhubungan dengan gejala psikotiknya. Bila terjadi peningkatan kegelisahan

setelah   pemberian   anti­psikotik   tipikal,   kita   harus   selalu   memperhitungkan

kemungkinan akatisia.

- Distonia akut

Terjadi kekauan dan kontraksi otot secara tiba­tiba, biasanya mengenai

otot  leher,  lidah,  wajah, dan punggung. Kadang­kadang pasien  melaporkan

kejadian   subakut   rasa   tebal   di   lidah   atau   kesulitan   menelan.   Mungin   juga

terjadi   krisis   occulogyric   atau   opisthotonus.   Kondisi   ini   dapat   sangat

menakutkan   dan   tidak   nyaman   bagi   pasien.   Biasanya   terjadi   pada   minggu

pertama pengobatan dengan anti­psikotik tipikal.

- Parkinsonism

adanya   kumpulan   gejalamyang   terdiri   atas   bradikinesia,   rigiditas,

fenomena roda gerigi, termor, muka topeng, postur tubuh kaku, dan tremor

kasar pada tangan seperti sedang membuat pil.
- Sindroma Neuroleptik Maligna

Merupakan reaksi idiosinkrasi yang sangat serius dengan gejala utama

berupa   rigiditas,   hiperpiretik,   gangguan   sistem   saraf   otonom   dan   delirium.

Gejala   biasanya   berkembang   dalam   periode   waktu   beberapa   jam   sampai

beberapa hari setelah pemberian anti­psikotik. Febris tinggi dapat mencapai

41˚C atau lebih, rigiditas dengan ciri kaku seperti pipa disertai peningkatan

tonus otot kadang­kadang sampai terjadi myonecrosis. Bila pasien dehidrasi,

myoglobinuria bisa sangat parah sampai terjadi gagal ginjal. Ketidakstabilan

sistem   otonom   dapat   tampak   sebagai   hipertensi   atau   hipotensi,   takikardi,

diaporesis, dan pallor. Kemungkinan bisa terjadi cardiac arrythmia. Kesadaran

berfluktuasi dapat sampai delirium, bahkan kejang dan koma.

Efek   terhadap   sistem   kardiovaskuler   yang   sering   terjadi   adalah

orthostatic   hipotension   yaitu   turunnya   tekanan   darah   saat   perubahan   posisi

tubuh terutama dari posisi tidur ke posisi berdiri secara tiba­tiba. Dapat juga

terjadi sudden unexplained death walaupun sangat jarang.

Kemungkinan efek samping juga bisa terjadi pada fungsi hepar, ginjal,

kulit   dan   mata.   Fungsi   endokrin   juga   dapat   terganggu   terutama   terjadinya

kadar prolaktin dalam darah. Disfungsi seksual kadang­kadang juga dialami

oleh pasien dan menimbulkan keluhan yang cukup menganggu.

4. Prinsip pengobatan

Pengobatan   biasanya   dimulai   dari   terapi   inisiasi,   dilanjutkan   ke   terapi

pengawasan dan kemudian terapi pemeliharan. Beberapa obat anti­psikotik yang

sering digunakan yaitu:
 
5. Terapi inisial

Diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan, dan dosis dimulai dari dosis

anjuran dinaikkan secara perlahan secara bergtahap dalam waktu 1 ­ 3 minggu,

hingga dicapai dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala. Setelah diperoleh

dosis   optimal,   maka   dosis   tersebut   dipertahankan   selama   kurang   lebih   8   ­   10

minggu sebelum masuk ke tahap pemeliharaan.

6. Tatalaksana efek samping

Bila   terjadi   efek   samping   sindroma   ekstrapiramidal   seperti   distonia   akut,

akathisia, atau parkinsonism, biasanya terlebih dahulu dilakukan penurunan dosis

dan   bila   tidak   dapat   ditanggulangi   diberikan   obat­obat   antikolinergik   seperti

triheksifenidil,   benztropin,   sulfas   atropin,   atau   dypenydramine   injeksi     dengan

dosis   10   ­50   mg/ml.   Obat   yang   paling   sering   diberikan   adalah   Triheksifenidil

dengan dosis 3 kali 2 mg/hari. Bila tetap tidak berhasil mengatasi efek samping

tersebut   disarankan   untuk   mengganti   jenis   anti­psikotik   yang   digunakan   ke

golongan   APG­II   yang   lebih   sedikit   kemungkinannya   mengakibatkan   efek

samping ekstrapiramidal. 
Obat­obat antikolinergik tersebut tidak perlu diberikan secara rutin atau untuk

tujuan pencegahan efek samping ekstrapiramidal, karena munculnya efek samping

bersifat individual dan obat anikolinergik tersebut baru perlu diberikan hanya bila

terjadi efek samping EPS (Ekstrapiramidal Sindroma).  

BAB IV

PEMBAHASAN

Skizofrenia   merupakan  gangguan   jiwa   dimana   penderitanya   mengalami

disorientasi dalam membedakan hal yang nyata dan tidak mampu memahami dirinya

dengan baik. Pada pasien ini ditemukan adanya kesulitan dalam menilai kenyataan

yaitu  terdapat  gangguan  persepsi  seperti  halusinasi  auditorik  seperti  bisikan  orang

yang   berkomentar   tentang   ditinya   dan  menyuruh   pasien   untuk  berbuat   kebaikan

maupun   kejahatan   seperti   bersih­bersih   rumha,   kabur   dari   rumah   dan   merusak

barang.halusinasi visual berupa melihat bayangan tembok­tembok yang tinggi, dan

halusinasi   taktil   seperti   dapat   merasakan   lilitan   ular   menjalar   pada   kulitnya.   Pada

pasien ini juga   terdapat gangguan isi pikiran berupa waham yang aneh dan tidak

masuk akal, tentang kepercayaan­kepercayaan magis yang aneh. Gangguan arus pikir

juga   dapat   ditemukan   pada   pasien   ini   berupa   asosiasi   longgar   dan   neologisme.

Kemudian semua hal ini berpengaruh pada aspek perilaku pasien, berupa tindakan
tidak   bertujuan,   berdiam   diri   dan   penarikan   diri   secara   sosial.   Berdasarkan   hasil

wawancara, pemeriksaan status mental dan status generalis, tanda dan gejala yang

terdapat   pada   pasien   mengarah   kepada   diagnosis   skizofrenia   Tidak   terinci

(F20.1)Menurut   PPDGJ   III,  diagnosis   skizofrenia   dapat   ditegakan   dengan   adanya

paling sedikit satu atau lebih gejala­gejala tersebut (mengacu pada PPDGJ III) selama

kurung waktu satu bulan atau lebih. Pada pasien ini diketahui bahwa pasien telah

memilik tanda dan gejala seperti diatas sejak tahun 2015. Fakto resiko skizofrenia dari

pasien ini adalah genetik, dimana ibu dan paman pasien menderita skizofrenia. Pasien

memiliki keteratura minum obat yang jelek, sehingga pasien tidak pernah mencapai

keadaa   remisi   ataupun   keadaan   dimana   halusinasi   dan   wahamnya   menghilang,

sehingga   dapat   dikatakan   perjalan   penyakit   skizofrenia   dari   pasien   ini   adalah

berkelanjutan (F20.10) 

Terapi pada pasien ini menggunakan risperidon (APG II) dengan dosis 2x3

mg/hari.   Penggunaan   risperidon   pada   pasien   ini   mengikuti   lini   pertama   pada

algoritma  penatalaksanaan  skizofrenia.  Terdapat   3  fase  terapi  skizofrenia,  pertama

fase akut yang berlangsung selama 4­8 minggu menggunakan lini pertama APG II

dengan   dosis   awal   2mg   yang   akan   dinaikkan   perminggunya   sampai   dengan   dosis

efektif setelah 4­8 minggu, dilanjutkan ke fase stabilisasi dengan menggunakan obat

yang   sama   dosisnya   lalu   dipertahankan   selama   6   bulan.   Fase   ketiga   adalah   fase

rumatan. Pasien ini masih dalam fase stabilisasi sehingga dosis yang digunakan saat

ini adalah 2x3 mg/hari dosis lanjutan dari fase akut dan pada fase ini dapat dilakukan

terapi non farmakologi berupa psikoterapi suportif. Selain itu pasien ini juga diberikan

obat Triheksiphenidyl 2x2 mg/hari untuk mengurangi gejala tremor akibat efek dari

obat risperidon dan Merlopam 1x0.5 mg/hari pada malam hari agar pasien dapat tidur

pada malam hai. 
DAFTAR PUSTAKA

Data Primer Keperawatan Poli Rawat Jalan RSJ Soeharto Heerdjan tahun 2015

Departemen Kesehatan RI 2013, Riset Kesehatan Dasar: Riskesdas 2013,

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas

%202013.pdf

Elvira, SD, Hadisukanto, Gitayanti, 2017. Buku Ajar Psikiatri Edisi ke­3 cetakan ke­

1. Badan Penerbit FK UI. Jakarta.Hal 289−295

Perhimpunan   Dokter   Spesialis   Kedokteran   jiwa   Indonesia   (PDSKJI),   2011,  

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Jakarta.

Sadock ,Benjamin james dan Sadock, Virginia Alcott. 2010. Skizofrenia.  Dalam   :  

Kaplan &amp; Sadock buku ajar psikiatri klinis. Ed Ke­ 2. EGC :  Jakarta. 

Anda mungkin juga menyukai