Tn. ES, 30 tahun dengan Non Vital Manus Dextra et Sinistra e.c Combutio
electric + Hipoalbuminemia
Pembimbing :
Disusun oleh :
Zenia Ladia
1710221101
Tn. ES, 30 tahun dengan Non Vital Manus Dextra et Sinistra e.c Combutio
electric + Hipoalbuminemia
Disusun Oleh:
Zenia Ladia
1710221101
A. Identitas Pasien
1. Nama : Tn. ES
2. Umur : 30 tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. Suku Bangsa : Jawa
6. Pekerjaan : Freelancer
7. Alamat : Parakancanggah RT 002/ RW 009, Banjarnegara
8. Status : Menikah
9. DPJP Anestesi : dr. Wisnu Budi Pramono, SpAn
10. No. CM : 02046555
11. Tanggal masuk RSMS: 21 Maret 2018
12. Tanggal Operasi : 4 April 2018
B. Anamnesis
1. Riwayat enyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSMS pada tanggal 21 maret 2018 pkl 18.15,
rujukan dari RSU Banjar. Pasien mengaku tersengat listrik 2 hari yang
lalu saat sedang bekerja memasang tralis masjid, sengatan terjadi
selama <5 menit, kemudian trafo meledak dan pasien langsung
terpental dan terjatuh dari lantai 2, setelah sengatan pasien sadar dan
terdapat luka bakar pada kedua tangan, kaki kanan, bokong, dan daerah
sekitar kemaluan, kemudian pasien langsung dilarikan ke RSU Banjar.
Di RSU Banjar pasien sempat dilakukan fasciostomi. Saat di IGD
RSMS pasien mengeluh tidak dapat menggerakan jari-jarinya dan
nyeri pada lukanya, kemudian pasien diberikan penanganan terapi
cairan, management nyeri dan antibiotik, dan dirawat di Ruang
Kenanga. Keluarga pasien mengaku bahwa pasien sempat
1
direncanakan untuk operasi sebanyak tiga kali, tetapi selalu gagal
karena protein yang rendah.
2. Riwayat Penyakit Dahulu :
HT (-), DM (-), Alergi (-), Asma (-), GGK (-), Penyakit Jantung (-),
Riwayat Operasi (-)
3. Riwayat Penyakit Keluarga :
HT (-), DM (-), Alergi (-), Asma (-)
4. Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien bekerja sebagai freelancer, merokok (+), minum alkohol (+)
B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Sedang, tampak lemah
2. Kesadaran : compos mentis
3. GCS : E4V5M6
4. Tanda Vital
a. TD : 102/63 mmHg
b. Nadi : 72 x/menit
c. RR : 20 x/menit
d. Suhu : 36,0 C
5. Pemeriksaan antropometri
a. BB : 54 kg
b. TB : 170 cm
c. IMT : 18.7 kg/m2 (Normoweight 18.5 - 22.9)
6. Airway :clear (+), buka mulut 4 jari, TMD 6-7 cm,
Mallampati II, gigi palsu (-), gigi tanggal (-), gigi goyang (-), massa
jalan napas (-), massa di leher (-)
7. Status generalis
a. Kepala : mesocephal
b. Mata : CA (-/-), SI (-/-), RC (+/+), PBI 3/3 mm
c. Hidung : napas cuping hidung (-), discharge (-)
d. Mulut : sianosis (-),
2
e. Leher : deviasi trakea (-), massa (-),
f. Thorax : Simetris (+), Jejas (-)
1. Pulmo : SD vesikuler (+/+), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-)
2. Jantung : S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
g. Abdomen : datar, supel, timpani, nyeri tekan (-), tidak
teraba, BU (+) normal
h. Genitalia Exteran : nampak luka bakar disekitar kemaluan,
i. Ekstremitas :
- Superior : edema (-/-), terbalut kassa (+/+), Akral hangat (tidak
dpata dinilai),
- inferior : edema (-/-), terbalut kasa (+/+), Akral hangat (+/+),
turgor < 2 detik
C. Diagnosis Kerja IGD RSMS : Combusio electric derajat 2-3 dengan luas
luka bakar 30 % hari ke-2, post Fasciostomi H+2
D. Penatalaksanaan
Dari IGD RSMS 21/3/ 18
- Loading NaCl 0,9% 500 cc
- Inj D40% 2 flash IV + Inj Insulin 10 unit IV
- IVFD D5% 20 tpm
- Inj Tramadol 1 amp
- Inj Ceftriaxone 2x1 gram
- Inj Ranitidin 2x50 mg
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik RSUD Margono
Soekarjo tanggal 22 Maret 2017.
a. Darah Lengkap
3
1) Hemoglobin : 13,1 g/dL
2) Leukosit : 25830 U/L (H)
3) Hematokrit : 37 % (L)
4) Eritrosit : 4,2 x 106 u/L (L)
5) Trombosit : 188.000 u/L
6) MCV : 86,9 fL
7) MCH : 31,1 pg/cell
8) MCHC : 35,8 %
9) RDW : 12,7 % (H)
10) MPV : 10,3 fL
11) Hitung Jenis
Basofil : 0,1 %
Eosinofil : 0,0 % (L)
Batang : 1,4 % (L)
Segmen : 83,4 % (H)
Limfosit : 10,4 % (L)
Monosit : 4,7 %
b. Kimia Klinik
1) Ureum Darah : 34,4 mg/dL
2) Kreatinin Darah : 0,75 mg.dL
3) GDS : 133 mg/dL
4) Natrium : 142 mmol/L
5) Kalium : 6,1 mmol/L (HH)
6) Klorida : 95 mmol/L (L)
4
Hasil pemeriksaan darah lengkap RSMS tanggal 25/3/2018 pukul 13.00
Albumin : 1.25 g/dL (L)
Natrium : 125 mmo/L (L)
5
F. Diagnosis dan Rencana Operasi
1. Diagnosis : Non Vital Manus dextra et sinistra e.c Combutio
electric + SIRS + Hipoalbuminemia
2. ASA : III E
3. Rencana Operasi : Amputasi manus dextra et sinistra above elbow
4. Rencana Anestesi : General Anestesi
H. Teknik Anestesi
General anestesi
Premedikasi : Ondansntron 4 mg
Preemptive analgesia : Ketamin 100mg
Induksi : Ketamin 100 mg
Relaksan : Roculax 30 mg
Maintenance : Inhalasi sevofluran
Intubasi : ET Kinking No. 7.5, Laringoskop Mancintosh,
Goedel no.3
Breathing System : Semi-Closed
Respirasi : Control
Posisi : Terlentang
6
I. Monitoring Durante Operasi
1. Tekanan darah, SpO2 dan HR
Tabel 1.1. Monitoring TD, SpO2 dan HR
Waktu TD (mmHg) SpO2 HR (x/min)
20.15 150/80 100% 110
20.30 140/80 100% 100
20.45 120/70 100% 95
21.00 120/70 100% 95
21.15 130/80 100% 90
21.30 120/70 100% 90
21.45 120/80 100% 90
22.00 120/80 100% 80
22.15 120/75 100% 90
22.30 140/80 100% 95
22.45 120/75 100% 85
23.00 120/80 100% 85
23.15 120/80 100% 85
23.30 120/80 100% 85
7
4. Perdarahan
500 ml
5. Urine Output
200 ml
8
Jam IV = M + SO
= 108+324
= 432 cc /2
= 206 cc
Total = 2144 cc
Output durante operasi
Jumlah perdarahan = 500 cc (EBV 13.2%%)
Urin output = 200 cc
Total output durante operasi = 700 cc
9
Kamis, 5 KU : Lemah/CM Post amputasi - Inj Fentanyl 10 mcg/ jam
April 2018, TD : 160/100 mmHg below elbow SP
pkl 10.00 Nadi : 106x/mnt bilateral H+1 - Inf Paracetamol 3x1 gr
RR : 24x/mnt - Inj Ceftriaxone 2x1 gr
S : 36.5
SpO2 : 100%
Intake /6 jam : 610 cc
Urine output /6 jam 250cc
IWL/6 jam : 150 cc
Hasil Lab 5/4/18
Hb : 8.1 L
Leukosit : 23430 H
Hematokrit : 24 L
Eritrosit : 2.7 L
Trombosit : 617 .000 H
Total Protein : 4.32 L
Albumin : 1.26 L
Globulin : 3.06
Ureum : 43.3 H
Kreatinin : 0.92
GDS : 101
Natrium : 131 L
Kalium : 4.6 H
Chlorida : 104
Calsium : 7.5 L
Kembali ke Subj : Pasien mengeluh nyeri Post amputasi - Ca Glukonas 1x1 amp
Bangsal post op below elbow - Albumin 20 % 100 ml
6 April 2018 KU : Lemah/CM bilateral H+2 - Ceftriaxone 2x1 mg
TD : 140/90 mmHg - Ranitidin 2x 50 mg
Nadi : 82x/mnt - Usul trf darah 2 kolf
RR : 20x/mnt - Latihan mobilisasi duduk
T : 36.5 - Cek darah lengkap
7 April 2018 KU : Lemah/CM Post amputasi - Ceftriaxone 3x1 mg
TD : 110/80 mmHg below elbow - Vit K 3x1
Nadi : 88x/mnt bilateral H+3 - Ketorolac 3x1
RR : 20x/mnt - Asam Mefenamat 3x1
S : 36.5 - Ranitidin 2x1
Hasil Lab 7/4/18 - Fe Asam Folat 2x1
Hb : 9.4 L
Leukosit : 13040 H
Hematokrit : 28 L
Eritrosit : 3.1 jt L
10
Trombosit : 505.000 H
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Etiologi
Luka bakar listrik bisa terjadi akibat tersambar petir atau menyentuh kabel
maupun sesuatu yang menghantarkan listrik dari kabel yang terpasang.
Dampaknya bisa berupa luka bakar ringan sampai kematian, tergantung kepada4:
Kejadian kecelakaan karena tersengat arus listrik pada manusia lebih sering
dikarenakan arus bolak-balik (AC) dibandingkan arus searah (DC). Manusia lebih
sensitif terhadap arus AC dibandingkan arus DC (sekitar 4-6 kali). Arus DC
menyebabkan satu kontraksi otot. Sedangkan arus AC menyebabkan kontraksi
yang kontinyu (tetani) dapat mencapai 40-110 kali/detik, sehingga menyebabkan
luka yang lebih parah. Pada tegangan rendah, arus searah tidak berbahaya
dibanding arus bolak-balik dengan ampere yang sama. Sebaliknya, pada tegangan
tinggi, arus searah lebih berbahaya. Efek AC pada tubuh manusia sangat
tergantung kepada kecepatan berubahnya arus (frekuensi), yang diukur dalam
satuan siklus/detik (hertz). Arus frekuensi rendah (50-60 hertz) lebih berbahaya
12
dari arus frekuensi tinggi dan 3-5 kali lebih berbahaya dari DC pada tegangan dan
kekuatan yang sama. AC sebesar 60 hertz menyebabkan otot terpaku pada
posisinya, sehingga korban tidak dapat melepaskan genggamannya dari sumber
listrik. Akibatnya korban terkena sengatan listrik lebih lama sehingga terjadi luka
bakar yang berat. Arus DC dipakai dalam industri yang menggunakan proses
elektrolisa, misalnya pada pemurnian dan pelapisan atau penyepuhan logam. Juga
digunakan pada telepon (30-50 volt) dan kereta listrik (600-1500 volt). Arus AC
digunakan di rumah-rumah dan pabrik, biasanya menggunakan tegangan 110 volt
atau 220 volt.
2. Tegangan (Voltage)
Kekuatan arus listrik diukur dalam ampere. 1 miliampere (mA) sama dengan
1/1,000 ampere. Kuat arus dapat dihitung dari tegangan (volt) dibagi dengan
tahanan (Ohm). 10 mA dapat menimbulkan rasa tidak enak (unpleasant
sensation). 10-60 mA dapat menghilangkan kontrol otot-otot dan dapat
menyebabkan asfiksia. Kuat arus lebih dari 60 mA dan berlangsung lebih dari 1
detik dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel. Arus 60-80 mA atau 200-250 mA
pada DC adalah berbahaya bagi manusia. Jika arus langsung mengalir ke jantung,
misalnya melalui sebuah pacemaker, maka bisa terjadi gangguan irama jantung
meskipun arus listriknya jauh lebih rendah (kurang dari 1 mA). Lobl O
mengatakan bahwa kuat arus sebesar 30 mA adalah batas atas ketahanan
13
seseorang, pada 40 mA dapat menimbulkan hilangnya kesadaran. Kematian akan
terjadi pada kuat arus sebesar 100 mA atau lebih.
Arus listrik banyak yang melewati kulit, karena itu energinya banyak yang
dilepaskan di permukaan. Jika resistensi kulit tinggi, maka permukaan luka bakar
yang luas dapat terjadi pada titik masuk dan keluarnya arus, disertai dengan
hangusnya jaringan diantara titik masuk dan titik keluarnya arus listrik.
Tergantung kepada resistensinya, jaringan dalam juga bisa mengalami luka bakar.
Aliran arus listrik adalah tempat-tempat pada tubuh yang dilalui oleh arus
listrik sejak masuk sampai meninggalkan tubuh. Letak titik masuk arus listrik
(point of entry) dapat pada setiap titik dari tubuh korban, tetapi karena adanya titik
keluar yangg juga dapat berbeda-beda, maka efek dari arus listrik tersebut
bervariasi dari yang ringan sampai berat. Jaffe (1928) mengatakan bahwa apabila
arus listrik masuk dari sebelah kiri bagian tubuh lebih berbahaya daripada apabila
masuk dari sebelah kanan. Schridde (1936) mendapatkan 88% kematian setelah
adanya kontak antara konduktor dengan tangan kiri. Bahaya terbesar bisa timbul
apabila jantung atau otak berada dalam posisi aliran dari arus listrik tersebut .
14
Arus listrik paling sering masuk melalui tangan, kemudian kepala dan
paling sering keluar dari kaki. Arus yang melewati kepala bisa menyebabkan:
a. Kejang.
b. Pendarahan otak.
c. Kelumpuhan pernapasan.
d. Perubahan psikis (misalnya gangguan ingatan jangka pendek,
perubahan kepribadian, mudah tersinggung dan gangguan tidur)
e. Irama jantung yang tidak beraturan.
f. Kerusakan pada mata bisa menyebabkan katarak.
Semakin lama terkena listrik maka semakin banyak jumlah jaringan yang
mengalami kerusakan. Seseorang yang terkena arus listrik bisa mengalami luka
bakar yang berat. Pada tegangan yang rendah, arus listrik dapat menimbulkan
spasme otot-otot dan menyebabkan korban menggenggam konduktor, sehingga
arus listrik akan mengalir dalam beberapa saat. Pada keadaan ini dapat
menjadikan korban berada dalam keadaan syok yang mematikan. Sedangkan
tegangan tinggi, seseorang mungkin dapat segera terlempar/melepaskan
konduktor atau sumber listrik yang tersentuh, oleh karena arus listrik dengan
tegangan tinggi tersebut dapat menyebabkan timbulnya kontraksi otot, termasuk
otot yang tersentuh aliran listrik tersebut.
2.3. KLASIFIKASI
15
Derajat Luka Bakar
Luka bakar dibedakan menjadi:
1. Derajat satu
Luka derajat satu hanya mengenai epidermis luar, kulit kering dan secara
klinis tampak sebagai daerah hiperemia dan eritema. Biasanya sembuh dalam
3–7 hari dan tidak ada jaringan parut.
2. Derajat Dua
Luka derajat dua mengenai lapisan epidermis yang lebih dalam dan
mencapai kedalaman dermis tetapi masih ada elemen epitel yang tersisa,
seperti sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan folikel rambut.
Luka dapat sembuh 10–21 hari. Luka derajat ini tampak lebih pucat, terdapat
vesikel, edema dan lebih nyeri dibandingkan luka bakar superfisial, karena
adanya kerusakan kapiler dan ujung syaraf di dermis. Juga timbul berisi
cairan eksudat yang keluar dari pembuluh karena permeabilitas dindingnya
meninggi. Derajat dua ini dibedakan menjadi:
a. Derajat 2 dangkal, dimana kerusakan mengenai bagian superfisial
dari dermis dan penyembuhan terjadi secara spontan dalam 10–14
hari.
b. Derajat 2 dalam, dimana kerusakan mengenai hampir seluruh
bagian dermis, terdapat bula. Bila kerusakan lebih dalam mengenai
dermis, subyektif dirasakan nyeri. Penyembuhan terjadi lebih lama
dengan waktu lebih dari 1 bulan.
3. Derajat Tiga
Luka derajat tiga mengenai semua lapisan epidermis dan dermis serta
biasanya secara klinis tampak sebagai luka kering, luka merah keputih-
putihan, dan hitam keabu-abuan, tidak ada bula, lapisan yang rusak tidak
sembuh sendiri maka perlu Skin graff. Seringkali vena mengalami koagulasi
dan dapat terlihat dari permukaan kulit
4. Derajat Empat
16
Berdasarkan American Burn Association luka bakar diklasifikasikan
berdasarkan kedalaman, luas permukaan, dan derajat ringan luka bakar.
17
iii. Luka bakar derajat III 10% atau lebih
iv. Luka bakar mengenai tangan, telinga, mata, kaki, dan
genitalia/perineum.
v. Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain
Gejalanya tergantung kepada interaksi yang rumit dari semua sifat arus
listrik. Suatu kejutan dari sebuah arus listrik bisa mengejutkan korbannya
sehingga dia terjatuh atau menyebabkan terjadinya kontraksi otot yang kuat.
Kedua hal tersebut bisa mengakibatkan dislokasi, patah tulang dan cedera tumpul.
Kesadaran bisa menurun, pernafasan dan denyut jantung bisa lumpuh. Luka bakar
listrik bisa terlihat dengan jelas di kulit dan bisa meluas ke jaringan yang lebih
dalam.
Kepala adalah titik kontak utama untuk cedera tegangan tinggi, dan
pasienmungkin menunjukkan luka bakar serta kerusakan neurologis. Katarak
timbul di sekitar 6 % kasus cedera tegangan tinggi, terutama bila tersengat
listrikdi sekitar kepala. Meskipun katarak mungkin hadirlebih cepat atau lambat
setelah kecelakaan itu, katarak biasanya muncul beberapa bulansetelah kejadian.
Ketajaman visual dan pemeriksaan funduskopi harus dilakukanpada kemudian
hari. Pasien harus segera dirujuk ke dokter mata untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya katarak ini6.
2. Sistem kardiovaskular
Serangan jantung, baik dari detak jantung atau fibrilasi ventrikel, adalah
kondisi umum yang akan terjadi dalam kecelakaan listrik. Pada Elektrokardiografi
(EKG) ditemukan sinus takikardi, sementara elevasi segmen ST, QT
reversibelsegmen perpanjangan, kontraksi ventrikel prematur, fibrilasi atrium,
danbundel branch block. Infark miokard akut dilaporkan tetapi relatif jarang.
Kerusakan otot rangka dapat menghasilkan peningkatan fraksi CPK-MB,
mengarah pada diagnosis palsu infark miokard dalam beberapa pengaturan6.
18
3. Kulit
Selain serangan jantung, luka yang paling dahsyat yang terjadi saat cedera
listrik adalah kulit terbakar, yang paling parah pada luka masuk dan tubuh yang
kontak dengan tanah. Bagian tubuh yang paling sering dari terkena kontak dengan
sumber listrik ialah tangan dan tengkorak. Daerah yang paling sering dari tanah
adalah tumit. Seorang pasien mungkin memiliki beberapa luka masuk dan titik
kontak dengan tanah. Luka bakar di listrik yang parah sering muncul keluhan
seperti rasa sakit, depresi, kuning abu-abu, belang-belang daerah dengan pusat
nekrosis, atau daerah yang mengeras seperti mumi. Arus tegangan tinggi
seringmengalir pada internal tubuh dan dapat membuat kerusakan otot besar. Jika
kontak dalam singkat. Namun, arus minimal mungkin terjadi dan kerusakan kulit
terlihat mungkin mewakili hampir semua kerusakan. Seseorang sebaiknya tidak
mencoba untuk memprediksi jumlah kerusakan jaringan di bawahnya dari jumlah
keterlibatan kulit. Cedera listrik yang paling umum terlihat pada anak-anak kurang
dari 4 tahun adalah mulut luka bakar yang terjadi dari mengisap pada kabel
ekstensi listrik rumah tangga. Luka-luka bakar biasanya merupakan luka bakar
busur lokal, mungkin melibatkan orbicularis oris otot, dan sangat
mengkhawatirkan ketika komisura yang terlibat karena dari kemungkinan
deformitas kosmetik. Sebuah risiko yang signifikan pendarahan tertunda dari
arteri labial ada ketika memisahkan escar . Kerusakan pertumbuhan dilaporkan ,
dan biasanya dirujuk ke bedah mulut.
Pain : nyeri pada saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena
Pallor: kulit terasa dingin jika dipalpasi, warna kulit biasanya pucat
19
Parastesia: biasanya terasa panas dan gatal pada daerah lesi
Paralisi: diawali dengan ketidak mampuan untuk menggerakkan sendi
Pulselesness: berkurang atau hilangnya denyut nadi akibat adanya
gangguan perfusi arterial.
Dalam cedera tegangan tinggi, nekrosis otot dapat meluas ke tempat yang
jauh dari luka kulit yang terlihat, dan kompartemen sindrom terjadi sebagai akibat
dari pembuluh darah iskemia dan edema otot. Dekompresi fasciotomy atau
amputasi sering diperlukan karena kerusakan jaringan yang luas.
4. Ekstrimitas
2.5. Diagnosa
20
Jika korban tidak sadar atau telah mengalami cedera kepala, dilakukanCT
scan untuk memeriksa adanya kerusakan pada otak.
2.6. Penatalaksanaan
1. Prehospital
Hal pertama yang harus dilakukan jika menemukan pasien luka bakar di
tempat kejadian adalah menghentikan proses kebakaran. Maksudnya adalah
membebaskan pasien dari pajanan atau sumber dengan memperhatikan
keselamatan diri sendiri. Bahan yang meleleh atau menempel pada kulit tidak bisa
dilepaskan. Air suhu kamar dapat disiramkan ke atas luka dalam waktu 15 menit
sejak kejadian, namun air dingin tidak dapat diberikan untuk mencegah terjadinya
hipotermia dan vasokonstriksi.
2. Burn Resusitasi
21
melalui pipa endotracheal. Terapi inhalasi mengupayakan suasana udara yang
lebih baik disaluran napas dengan cara uap air menurunkan suhu yang meningkat
pada proses inflamasi dan mencairkan sekret yang kental sehingga lebih mudah
dikeluarkan. Pada cedera inhalasi perlu dilakukan pemantauan gejala dan distres
pernapasan. Gejala dan tanda berupa sesak, gelisah,takipneu, pernapasan dangkal,
bekerjanya otot-otot bantu pernapasan dan stridor. Pemeriksaan penunjang yang
perlu dilakukan adalah analisa gas darah serial dan foto thorax.
4. Resusitasi cairan
Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah:
Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang diseluruh pembuluh vaskuler
regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan
Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan.
Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin
survival seluruh sel
Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan
stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.
a. Jenis cairan
Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid, cairan hipertonik
dan koloid:
Larutan kristaloid
Larutan ini terdiri atas cairan dan elektrolit. Contoh larutan ini adalah Ringer
Laktat dan NaCl 0,9%. Komposisi elektrolit mendekati kadarnya dalam plasma
atau memiliki osmolalitas hampir sama dengan plasma. Pada keadaan normal,
cairan ini tidak hanya dipertahankan di ruang intravaskular karena cairan ini
banyak keluar ke ruang interstisial. Pemberian 1 L Ringer Laktat (RL) akan
meningkatkan volume intravaskuer 300 ml.
Larutan hipertonik
22
Larutan ini dapat meningkatkan volume intravaskuler 2,5 kali dan
penggunaannya dapat mengurangi kebutuhan cairan kristaloid. Larutan garam
hiperonik tersedia dalam beberapa konsentrasi, yaitu NaCl 1,8%, 3%, 5 %, 7,5%
dan 10%. Osmolalitas cairan ini melebihi cairan intraseluler sehingga cairan akan
berpindah dari intraseluler ke ekstraseluler. Larutan garam hipertonik
meningkatkan volume intravaskuler melalui mekanisme penarikan cairan dari
intraseluler.
Larutan koloid
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan cairan adalah efek
hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan permeabilitas kapiler,
oksigen, PH buffering, efek hemostasis, modulasi respon inflamasi, faktor
23
keamanan, eliminasi praktis dan efisien. Jenis cairan terbaik untuk resusitasi
dalam berbagai kondisi klinis masih menjadi perdebatan terus diteliti. Sebagian
orang berpendapat bahwa kristaloid adalah cairan yang paling aman digunakan
untuk tujuan resusitasi awal pada kondisi klinis tertentu. Sebagian pendapat
koloid bermanfaat untuk entitas klinik lain. Hal ini dihubungkan dengan
karakteristik masing-masing cairan yang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan ciran di kompartemen interstisial secara
masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi dilakukan dengan
pemberian cairan kristaloid.
24
Pemberian cairan menurut formula Parkland adalah sebagai berikut:
Pada 24 jam pertama: separuh jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada bayi, anak dan orang tua,
kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan
cairan 4 ml ditambah 1% dari kebutuhan.
Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat jenis dan
sedimen).
25
Penatalaksanaan setelah 48 jam
Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintanance
Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin (3-4 ml/kgBB),
hemoglobin dan hematokrit.
Rumus Baxter:
Pada dewasa:
Hari I: 3-4 ml x kgBB x % luas luka bakar
Pemberian cairan ½ volume pada 8 jam pertama dan ½ volume diberikan 16 jam
berikutnya.
Pada anak:
Hari I: RL:dex 5% = 17:3
(2cc x kgBB x % luas luka bakar) + keb. faal
Kebutuhan Faal:
<1 thn = kgBB X 100cc
5-15 thn = kgBB X 75cc
>15 thn = kgBB X 50cc
Hari II: sesuai kebutuhan faal
Formula Parkland:
Hari I (24jam pertama):
8 jam pertama: [0,5 x (4 cc x kgBB x % TBSA )] / 8 jam =cc/jam
16 jam kedua: [0,5 X (4 cc x kg BB x % TBSA)] / 16 jam = cc/jam
26
Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan cairan 4 ml ditambah 1%
dari kebutuhan.Pengawasan kecukupan cairan yang diberikan dapat dilihat dari
produksi urin yaitu pada dewasa 0,5-1,0 cc/kg/jam dan pada anak 1,0-1,5
cc/kg/jam.
2. Perawatan luka
27
memfasilitasi drainage dan epitelisasi. Sedangkan krim antibiotik diperlukan
untuk mengatasi infeksi pada luka.
1) Evaluasi Nyeri
Sangat penting untuk melakukan evaluasi secara terus-menerus dan
berkesinambungan terhadap pasien luka bakar khususnya terhadap perasaan nyeri
yang dialami untuk membantu memandu dalam memberikan jenis tatalaksana
analgetik yang tepat dan respon terhadap obat yang telah tercapai. Hal-hal yang
perlu dievaluasi seperti lokasi nyeri, nyeri membaik atau memberat, tipe serta
intensitas nyeri.
Intensitas nyeri pada pasien biasanya digambarkan dengan menggunakan
skala numerik (0-10). Semakin tinggi angkanya menunjukkan semakin berat
intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Selain menggunakan skala numerik
tersebut, untuk mengevaluasi intensitas nyeri juga dapat dilakukan dengan
menggunakan skala analog visual, skala deskriptif verbal, dan skala wajah dan
warna. Terdapat empat pola nyeri yang dapat diamati pada pasien luka bakar.
28
2) Tatalaksana Farmakologi
Sebelum memberikan obat-obatan kepada pasien luka bakar, seorang
klinisi terlebih dahulu harus memahami perubahan status farmakokinetik obat
yang terjadi sebagai akibat adanya perubahan proses patofisiologi pada pasein.
Selama 48 jam pertama, terjadi penurunan perfusi darah ke organ yang akan
mengurangi pembersihan obat, tetapi pada fase hipermetabolik berikutnya (48 jam
setelah cedera) terjadi peningkatan pembersihan obat dari dalam sirkulasi. Adanya
variasi kadar protein plasma pada fase akut memicu terjadinya perubahan pada
daya ikat dan fraksi bebas obat. Oleh karena itu dosis obat akan sangat bervariasi
pada masing-masing individu dan dapat berubah setiap waktu pada individu yang
sama.
Analgetik Opioid
Opioid merupakan fondasi utama dalam upaya mengontrol nyeri pada luka
bakar. Opiod sangat efektif dan variasi obatnya yang banyak tersedia memberikan
berbagai jenis pilihan potensi, metode pemberian dan lamanya kerja. Efek positif
dari obat ini adalah dapat memberikan rasa nyaman melebihi batas undividu untuk
merasakan perasaan bebas nyeri. Morfin telah terbukti berkorelasi positif dengan
menurunkan gejala sindrom stres pasca-trauma. Efek opioid sangat luas dan
berkorelasi dengan efek samping yang ditimbulkan seperti depresi pernapasan,
gatal, mual, dan muntah.
Dosis obat dapat sangat bervariasi dan bertambah selama proses
pengobatan luka bakar. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan penyembuhan luka
dan modulasi nyeri, tetapi juga berhubungan dengan berkembangnya status
toleransi terhadap opioid atau yang baru-baru ini dikenal dengan opiate-induced
hyperalgesia (OIH). Toleransi didefinisikan sebagai peningkatan dosis opioid
tertentu yang diperlukan untuk mencapai efek analgesik yang sama dan berlaku
sama untuk efek sampingnya. Hal ini lebih sering terjadi setelah penggunaan
opioid kerja pendek, terutama bila diberikan sebagai infus.
29
Rasa nyeri pada saat istirahat (background pain) pada pasien luka bakar
bersifat sedang dan dapat ditangani dengan opiat potensi sedang yang konsentrasi
plasmanya relatif tetap konstan sepanjang hari. Contoh yang paling umum adalah:
infus intravena opioid, opioid kerja panjang (metadon) diberikan secara oral, atau
pemberian opoid enteral jangka panjang (morfin atau oksikodon pelepasan
terkendali). Tramadol dan opioid juga memberikan efek yang menguntungkan
pada nyeri neuropatik. Tidak ada bukti dalam literatur yang menunjukkan
mengenai keunggulan suatu opioid tertentu pada pengobatan nyeri neuropatik.
Remifentanil, opioid dengan onset kerja dan metabolism plasma yang ultra cepat,
merupakan pilihan obat untuk memberikan efek analgesia selama prosedur atau
tindakan terapi lainnya pada pasien luka bakar dengan cara diberikan melalui
infus kontinu. Selain itu juga dapat digunakan opiat jenis lain seperti fentanyl atau
alfentanyl.
Antikonvulsan
Gabapentin dan pregabalin sering digunakan untuk mengobati nyeri
neuropatik pada pasien luka bakar. Obat ini mengurangi rasa nyeri dengan bekerja
secara langsung dan tidak langsung pada pusat nyeri. Secara langsung obat ini
mengurangi sensitisasi pusat nyeri dengan cara mengikat saluran kalsium dan
30
secara tidak langsung bekerja dengan menghambat reseptor presinaptik N-methyl-
D-aspartat (NMDA). Dosis gabapentin yang direkomendasikan pada
penatalaksanaan nyeri neuropatik adalah 300 mg dosis terbagi dengan titrasi yang
jika diperlukan dapat dinaikkan hingga 3600 mg/hari. Untuk anak-anak dapat
dimulai dengan dosis 10mg/kgBB dengan titrasi sebesar 40-50 mg/kgBB.
Pregablin merupakan senyawa yang sama dengan gabapentin dan diberikan
sebanyak dua kali sehari.
Antidepresan
Antidepresan adalah obat yang efektif dan karena itu memiliki peran
penting dalam konsep pengobatan multimodal terhadap rasa sakit yang terkait
dengan luka bakar. Amitriptyline, yang digunakan dalam dosis rendah, memiliki
peran yang cukup signifikan dalam pengelolaan nyeri neuropatik. Kerjanya adalah
dengan mengaktifkan jalur penghambatan di sumsum tulang belakang. Dosis yang
dibutuhkan biasanya tidak lebih dari 75 mg per hari. Selective serotonin reuptake
inhibitor (SNRTI) juga dapat digunakan dalam kasus intoleransi terhadap efek
samping dari trisiklik. Efek analgesik dari antidepresan biasanya terjadi dalam
beberapa hari atau minggu.
Ketamine
Ketamine merupakan antagonis non-kompetitif reseptor NMDA dan dapat
digunakan untuk sedasi sadar selama tindakan mengganti pakaian pada pasien
luka bakar. Obat ini menginduksi keadaan anestesi disosiatif dengan dosis
intravena sebesar 1 mg/kgBB. Keuntungan penggunaan ketamine adalah obat ini
tetap mempertahankan refleks jalan napas, tekanan darah, dan detak jantung
dengan pelepasan norepinefrin secara langsung. Terjadinya halusinasi yang efek
samping yang signifikan, dapat dilemahkan dengan pemberian bersamaan dengan
benzodiazepin atau propofol.
Benzodiazepine
Karena gangguan kecemasan dapat memperburuk keluhan nyeri,
penggunaan obat anti cemas terkait dengan obat analgesik merupakan tindakan
31
yang sering dilakukan di banyak pusat pelayanan kesehatan. Ketakutan dan
ketegangan dapat menurunkan toleransi terhadap rasa sakit. Pasien luka bakar
yang paling diuntungkan dari penggunaan terapi benzodiazepin adalah pasien-
pasien dengan tingkat kecemasan dan rasa sakit yang tinggi. Ketika dibutuhkan
obat dengan onset kerja yang cepat, midazolam merupakan pilihan yang tepat
untuj tujuan tersebut. Lorazepam lebih cocok daripada diazepam pada kelompok
pasien luka bakar karena sering terjadi penurunan metabolisme hepatik pada
pasien ini, yang dapat memperpanjang metabolism obat dari dalam tubuh8,9.
Alpha-2 agonist
Alpha-2 agonist memiliki sifat menarik yang memudahkan
penggunaannya dalam manajemen analgesik pasien luka bakar. Clonidine dapat
digunakan secara aman dalam pengelolaan analgesik korban luka bakar anak.
Pada beberapa pusat luka bakar, obat tersebut rutin diberikan untuk anak-anak dan
orang dewasa. Dexmedetomidine memiliki durasi kerja yang lebih dari dari
clonidine dan kerjanya lebih selektif terhadap alpha-2 reseptor8,9.
2.7. Komplikasi
Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat
perawatan kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi dan
grafting. Kompilkasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah SIRS, sepsis dan
MODS. Selain itu komplikasi pada gastrointestinal juga dapat terjadi, yaitu atrofi
mukosa, ulserasi dan perdarahan mukosa, motilitas usus menurun dan ileus. Pada
ginjal dapat terjadi acute tubular necrosis karena perfusi ke renal menurun. Skin
graft loss merupakan komplikasi yang sering terjadi, hal ini disebabkan oleh
hematoma, infeksi dan robeknya graft. Pada fase lanjut suatu luka bakar, dapat
terjadi jaringan parut pada kulit berupa jaringan parut hipertrofik., keloid dan
kontraktur.Kontraktur kulit dapat menganggu fungsi dan menyebabkan kekeauan
sendi. Kekakuan sendi memerlukan program fisioterapi yang intensif dan
kontraktur memerlukan tindakan bedah.
32
2.8. Prognosis
Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas
permukaan badan yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi, dan
kecepatan pengobatan medikamentosa. Luka bakar minor ini dapat sembuh 5-10
hari tanpa adanya jaringan parut. Luka bakar moderat dapat sembuh dalam 10-14
hari dan mugkin dapat menimbulkan luka parut. Jaringan parut akan membatasi
gerakan dan fungsi. Dalam beberapa kasus, pembedahan dapat diperlukan untuk
membuang jaringan parut.
33
III. KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R & Jong W.D., 2005. Luka Bakar dalam Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 2. Penerbit : EGC. Jakarta.
2. Gerard & Doherty M.,2006. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Edisi
12. Penerbit : McGraw Hill Companies.New York.
5. Mayo clinic staff . Burns First Aids.. [Internet]. Mayo clinic.com. 2008 [cited
5 July 2015]. Available from : http://www.mayoclinic.org/first-aid/first-aid-
burns/basics/art-20056649
8. de Castro RJA, Leal P. C. & Sakata R.K. Pain Management in Burn Patients.
Rev Bras Anestesiol. 2013;63(1):149-58.
35