Anda di halaman 1dari 3

Hingga semester I-2017, ada 24 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengalami

kerugian. Meski demikian, angka tersebut lebih sedikit dari periode yang sama tahun
lalu, sebanyak 27 BUMN.

Sekretaris Kementerian BUMN, Imam A. Putro, mengungkapkan pihaknya menargetkan


hanya tinggal satu BUMN yang mengalami kerugian, yaitu PT Merpati Nusantara
Airlines yang sudah tidak beroperasi lagi.

BUMN yang mengalami kerugian berbeda dengan BUMN yang 'sakit'. BUMN yang
mengalami kerugian belum tentu masuk ke dalam BUMN 'sakit' yang susah untuk
direstrukturisasi.

"Semester I-2017 ada 24 BUMN rugi dan ini masih komitmen kami dari Kementerian
BUMN punya target tinggal Merpati saja yang mengalami kerugian di tahun ini," tutur
Imam dalam jumpa pers kinerja semester I-2017 BUMN di Kementerian BUMN, Jakarta
Pusat, Selasa (29/8/2017).

Sebanyak 3 BUMN yang berhasil bangkit dari kerugian, antara lain PT Djakarta Lloyd
(Persero), PT Nindya Karya (Persero), dan PT Varuna Tirta Prakasya (Persero).

Djakarta Lloyd berhasil bangkit karena adanya sinergi dengan PLN dalam jasa
angkutan kapal. Nindya Karya juga perlahan mendapatkan kontrak baru, sedangkan
Varuna Tirta Prakasya melakukan sinergi dengan BUMN lain.

"Restrukturisasi dilakukan untuk bisa menghilangkan BUMN rugi," tutur Imam.

Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN,


Aloysius Kiik Ro, menambahkan, dari 24 BUMN yang mengalami kerugian ada 9 di
antaranya yang termasuk 'sakit'. Beberapa di antaranya adalah PT Merpati Nusantara
Airlines (Persero), PT Kertas Leces (Persero), PT Pengembangan Armada Niaga
Nasional (Persero), dan PT Iglas (Persero).

"Rugi sama sakit beda. Ada sekitar 9 BUMN yang sakit," tutur Aloy.

Adapun 24 BUMN rugi, antara lain:

1. PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero)


2. Perum Bulog
3. PT Berdikari (Persero)
4. PT Indofarma (Persero) Tbk
5. PT Energy Management Indonesia (Persero)
6. PT Hotel Indonesia Natour (Persero)
7. PT Pos Indonesia (Persero)
8. Perum PFN
9. PT Aneka Tambang (Persero) Tbk
10. PT Balai Pustaka (Persero)
11. PT PAL Indonesia (Persero)
12. PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero)
13. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
14. PT Boma Bisma Indra (Persero)
15. PT INTI (Persero)
16. PT Dirgantara Indonesia (Persero)
17. PT Amarta Karya (Persero)
18. PT PDI Pulau Batam (Persero)
19. Perum Damri
20. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
21. PT Danareksa (Persero)
22. PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (Persero)
23. PT Iglas (Persero)
24. PT Istaka Karya (Persero)

(ara/wdl)
bumn kementerian bumn
Akhir -- akhir ini masyarakat Indonesia terus dijejali informasi bahwa perekonomian saat ini
berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Isu yang paling santer terdengar misalnya, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) pemerintah Indonesia terus mengalami kerugian, khususnya
BUMN besar seperti Pertamina, PLN, dan Garuda Indonesia. Jika itu benar, tentu sebagai
seseorang yang hampir setiap hari berjibaku dengan ilmu ekonomi merasa sedih. Namun
demikian, apakah semua informasi itu benar?

Pertama, jumlah BUMN yang merugi hanya 24 BUMN, jumlah itu hanya 20 persen dari total
118 BUMN yang ada di Indonesia. Jumlah BUMN yang merugi pun lebih sedikit dibandingkan
tahun 2013 di mana ada 30 BUMN yang merugi dengan total kerugian sebesar Rp 32,6 triliun.
Sementara itu, pada 2017, Kementerian BUMN mencatat total kerugian yang dialami hanya Rp
5,2 triliun. Artinya, justru jumlah kerugian turun hingga enam kali lipat (84 persen).

Kondisi kerugian yang diderita BUMN terus berkurang didukung fakta bahwa laba yang dihitung
dari seluruh BUMN yang ada terus meningkat. Pada 2014 laba BUMN tercatat Rp 159 triliun
sementara pada 2017 laba tercatat sebesar Rp 173 triliun atau meningkat 8,8 persen.

Kedua, Pertamina tidak merugi, hanya mengalami penurunan laba. Hari -- hari ini kita selalu
disuguhkan pemberitaan bahwa Pertamina bangkrut. Perlu diketahui, bangkrut merupakan kata
yang berarti perusahaan dinyatakan pailit atau tidak dapat melanjutkan usahanya lagi. Hal itu
jauh berbeda dengan rugi. Rugi adalah hal biasa dalam bisnis, rugi belum tentu bankrut. Akan
tetapi, bankrut sudah pasti berawal dari kerugian terus-terus menerus.

Faktanya, Pertamina sebagai BUMN di bidang perminyakan bahkan tidak mengalami kerugian,
melainkan hanya penurunan laba. Laba bersih Pertamina tahun 2017 sebesar 2,5 juta US Dollar
atau Rp 36,2 miliar. Jumlah itu lebih rendah dibanding laba bersih Pertamina tahun 2016 yang
mencapai 3.1 juta US dollar atau Rp 45,6 miliar.
Penurunan laba disebabkan oleh beberapa hal antara lain, karena Pertamina mensubsidi harga
BBM satu harga di seluruh wilayah Indonesia (termasuk Papua) dan melesetnya asumsi harga
minyak dunia pada 2018. Dalam APBN 2018 misalnya, harga minyak mentah dunia (90 persen
bahan baku BBM di Indonesia) diperkirakan sekitar 40 Dollar AS per barrel, namun
kenyataannya harganya melambung hingga mencapai 75 Dollar AS per barrel.

Kenaikan harga minyak dikeluhkan oleh banyak negara, artinya penurunan laba hampir juga
dialami oleh seluruh perusahaan minyak dunia, tidak hanya Pertamina. Hal itu terlihat dari Shell
(perusahaan minyak AS) dan Total (perusahaan minyak Perancis) yang menaikan harga BBM
nya. Pertamina tidak menaikan harga BBM bersubsidi untuk menghindari inflasi serta mencegah
melemahnya daya beli masyarakat.

Meski begitu, jika dilihat dalam kurun waktu 2014-2017, laba bersih pertamina justru tumbuh
rata-rata 10,03 persen. Bahkan dibandingkan tahun 2014, laba bersih pertamina pada 2017
melonjak 75,5 persen. Pada 2014 Pertamina membukukkan laba bersih 1,4 juta Dollar AS,
sementara tahun 2017 laba bersihnya sebesar 2,5 juta Dollar AS.

Ketiga, sama halnya dengan Pertamina, PLN pun hanya mengalami penurunan laba. Pada 2017,
laba PLN sebesar Rp 4,42 triliun. Jumlah itu turun 45,7 persen dari tahun 2016 yang labanya
tercatat sebesar Rp 8,15 triliun. Salah satu penyebab penurunan laba ialah naiknya biaya
produksi seiring naiknya harga bahan bakar dan pelumas.

Terakhir, tentang Garuda Indonesia, kerugian pada 2017 disebabkan oleh peningkatan beban
operasional. Selain karena kenaikan harga bahan bakar pesawat (avtur), GI membayarkan denda
terkait pelanggaran persaingan usaha di Australia, serta GI mengikuti program pengampunan
pajak (tax amnesty) agar pajak yang menunggak puluhan tahun sebelumnya dapat dibersihkan
pada 2017.

Menjadi wajar jika pengeluaran GI tahun 2017 membengkak. Adapun kerugian yang dialami
sebesar 213,39 juta US dollar.

Dengan fakta yang demikian, wacana BUMN terus mengalami kerugian bahkan terancam
bangkrut bagi saya terlalu berlebihan. Saya pun memaklumi wacana berlebihan tentang
perekonomian Indonesia terus bermunculan, karena saat ini Indonesia telah memasuki "tahun
politik". Jadi jangan kaget bila banyak pihak, khususnya elit politik yang mendramatisir situasi.

Anda mungkin juga menyukai