Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Investasi yang sangat populer pada saat ini adalah investasi dalam bentuk
fortofolio saham atau indirect investment yaitu seseorang yang memiliki dana berlebih
dan dapat melakukan keputusan investasi dengan tidak terlibat secara langsung atau
pembelian aktiva keuangan cukup hanya dengan memegang dalam bentuk saham yang
diperjual belikan di lantai bursa, yang kemudian investasi tersebut dikelola oleh
perusaahan yang bersangkutan (Fahmi, 2012). Dan pada kenyataannya hal ini akan
menimbulkan adanya dua komunitas pemegang saham yaitu, pemegang saham mayoritas
dan pemegang saham minoritas.

Pemegang saham mayoritas pada prinsipnya memiliki perlindungan hukum yang


terjamin terutama melalui mekanisme RUPS yang jika diambil keputusan secara
musyawarah, maka akan dipastikan kelompok pemilik saham mayoritas cendrung
mempengaruhi keputusan RUPS.

Dalam mengambil keputusan di perusahaan dapat dipastikan pemegang saham


minoritas akan kalah dibanding pemegang saham mayoritas, sebab pola pengambilan
keputusan didasarkan atas besarnya persentase saham yang dimiliki. Keadaan ini akan
semakin parah, jika terrnyata pemegang saham mayoritas menggunakan peluang untuk
mengendalikan perusahaan berdasarkan kepentingannya saja dan tidak melihat
kepentingan pemegang saham minoritas. Dengan adanya benturan kepentingan antara
pemegang saham mayoritas dengam minoritas ini sering kali terjadi. Untuk itu agar
tercapainya unsur keadilan diperlukannya suatu keseimbangan sehingga pihak pemegang
saham minoritas tetap dapat menikmati haknya.

Pemberlakuan prinsip keadilan didalam perseroan terbuka mengharuskan diberikan


kekuasaan tertinggi kepada RUPS dimana suara terbanyak yang akan menentukan arah
kebijakan perusahaan tetapi kepada pihak pemegang saham minoritas seharusnya dijamin
pula keadilanya dengan memberikan kepadanya hak hak yang sesuai dengan asas Good
Corporate Governance.
Eksistensi perusahaan tidak hanya diukur oleh peningkatan keuntungan, performa
keuangan, akan tetapi juga dilihat dari sisi performa internal perusahaan yaitu etika dan
Good Corporate Governance serta performa kepedulian perusahaan terhadap sosial. Etik
bisnis memiliki yang diterapkan secara konsisten dapat mewujudkan iklim usaha yang
sehat, serta transparasi dan efisensi untuk mendorong terwujudnya pasar yang efisen dan
memberikan maanfaat besar bagi para stakeholdernya. Maka sebab itu selakyaknya
perusahaan menerapkan suatu prinsip Good Corporate Governence yang dapat digunakan
sebagai salah satu alat.

Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance sangat penting sehingga


telah menjadi perhatian bagi dunia bisnis di setiap negara. Prinsip- prinsip Good Corporate
Governance yang dikeluarkan oleh OECD menjadi acuan bagi setiap negara dalam
penerapannya. Prinsip-rinsip Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh OECD
pada tahun 2004 sebagai berikut : (1) Ensuring the basic for an Effective Corporate
Governance Framework (2) The Rigt of Shareholders and Key Ownership Functions (3)
The Equitable Treatment of Shareholders (4) The Role of Stakehoders in Corporate
Governance (5) Disclounsior and Transparansi (6) The Responbilities of the Board.

Prinsip GCG pada OECD yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu prinsip ke 3
Perlakuan Yang Setara Terhadap Seluruh Pemegang Saham (The Equitable Treatment of
Shareholder).

Didalam prinsip ke 3 ini ditekankan agar adanya kesetaraan atau perlakuan yang
sama terhadap pemegang saham termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang
saham asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan unruk menuntut hak
atas pelangaran hak-hak mereka.

B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shareholder

Menurut Prof. DR. Sukmawati Sukamulja


“Shareholder adalah individu maupun kelompok yang terlibat dalam optimalisasi
kekayaan perusahaan , baik itu manajemen maupun para pemegang saham.” Seperti
investor dan pemilik saham perusahaan.
Shareholder Theory menyatakan bahwa tanggung jawab yang paling mendasar dari
direksi adalah bertindak untuk kepentingan meningkatkan nilai (value) dari pemegang
saham. Jika perusahaan memperhatikan kepentingan pemasok, pelanggan, karyawan, dan
lingkungannya, maka value yang didapatkan oleh pemegang saham semakin sedikit,
sehingga berjalannya pengurusan oleh direksi harus mempertimbangkan kepentingan
pemegang sahamnya untuk memastikan kesehatan perusahaan dalam jangka panjang,
termasuk peningkatan value pemegang saham (Smerdon dalam Sutedi, 2011).
Teori yang menjelaskan hubungan antara manajemen perusahaan dan pemegang
saham ini, memiliki tujuan membantu manajemen perusahaan dalam meningkatkan
penciptaan nilai sebagai dampak dari aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan dan
meminimalkan kerugian yang mungkin muncul bagi shareholder mereka. Dalam
penciptaan nilai bagi perusahaan, manajemen perusahaan harus dapat mengelola seluruh
sumber daya yang dimiliki perusahaan, baik karyawan (human capital), aset fisik
(physical capital) maupun structural capital. Apabila seluruh sumber daya yang dimiliki
perusahaan dapat dikelola dandimanfaatkan dengan baik maka akan menciptakan value
added bagi perusahaan sehingga dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan.
Segala tindakan tersebut dilakukan demi kepentingan pemegang saham.

B. Prinsip Corporate Governance : Prinsip 3 (The Equitable Treatment of


Shareholder)
Seperti yang telah dijelaskan pada bab pendahuluan, menurut OECD tahun
2004 ada 6 prinsip Corporate governance yang mengatur tentang corporate
governance, prinsip dasar dari corporate governnace pada dasarnya prinsip ini
memiliki tujuan untuk memberikan kemajuan kinerja suatu perusahaan. Pada prinsip
yang ke 3 yaitu Perlakuan Yang Setara Terhadap Seluruh Pemegang Saham (The
Equitable Treatment of Shareholder) prinsip tersebut secara garis besar menjelaskan
tentang kerangka kerja corporate governance, perlindungan atas hak-hak pemegang
saham, perlakuan yang adil bagi seluruh pemegang saham, peranan stakeholder dalam
corporate governance, keterbukaan dan transparansi, serta tanggung jawab dewan
komisaris.

Pada prinsip yang ke -3 ini ditekankan perlunya persamaan perlakuan kepada


seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham
asing. Prinsip ini menekankan pentingnya kepercayaan investor di pasar modal. Untuk
itu industri pasar modal harus dapat melindungi investor dari perlakuan yang tidak
benar yang mungkin dilakukan oleh manajer, dewan komisaris, dewan direksi atau
pemegang saham utama perusahaan.
Pada kenyataan dan praktiknya pemegang saham utama perusahaan
mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk memberikan pengaruhnya dalam
kegiatan operasional perusahaan. Dari praktik ini, seringkali transaksi yang terjadi
memberikan manfaat hanya kepada pemegang saham utama atau bahkan untuk
kepentingan direksi dan komisaris.
Dari kemungkinan terjadinya usaha-usaha yang dapat merugikan kepentingan
investor, baik lokal maupun asing, maka prinsip ini menyatakan bahwa untuk
melindungi investor, perlu suatu informasi yang jelas mengenai hak dari pemegang
saham. Seperti hak untuk memesan efek terlebih dahulu dan hak pemegang saham
utama untuk memutuskan suatu keputusan tertetu dan hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum jika suatu saat terjadi pelanggaran atas hak pemegang saham
tersebut.
Menurut OECD 2004, ada 3 sub prinsip utama The Equitable Treatment of
Shareholder
1. Kesamaan perlakuan antara pemegang saham dalam kelas saham yang
sama.
Di dalam struktur pendanaan perusahaan yang berkembang, melahirkan
berbagai jenis dan kelompok pemegang saham. Pada perusahaan keluarga yang go
public terbentuk keleompok pemegang saham pengendali (pemilik keluarga) dan
pemegang saham non-pengendali (publik). Pada perusahaan negara yang go public
terdapat negara sebagai salah satu kelompok pemegang saham selain pemegang
saham publik. Seluruh kelompok pemegang saham (investor) tersebut menanamkan
dana di perusahaan dan berharap dana tersebut dikelola sebaik mungkin sehingga
memberikan mereka optimal return.
Untuk mencapai struktur pendanaan yang optimal, banyak perusahaan yang
menerbitkanmbeberapa jenis saham. Misalnya, perusahaan dapat menerbitkan saham
preferen yang tidak memiliki hak suara namun memiliki hak didahulukan dalam
pembayaran deviden. Perusahaan juga dapat menerbitkan beberapa jenis seri saham
biasa dengan karakteristik yang berbeda-beda. BUMN yang go public memiliki jenis
saham khusus yang merupakan milik pemerintah (misalnya saham Pemerintah
Indonesia di beberapa BUMN yang telah go public). Saham pemerintah tersebut
umumnya memiliki karakteristik hak suara yang berbeda dari kelompok saham
lainnya.
Untuk kepentingan tertentu, ada kemungkinan manajemen dan/atau pemegang
saham pengendali memberikan perlakuan atau hak yang berbeda untuk kelompok
pemegang saham yang sama. Selain itu, manajemen dan/atau pemegang saham
pengendali dapat menyembunyikan informasi profil seri saham tertentu dari calon
investor sehingga keputusan yang diambil oleh calon investor menjadi tidak tepat.
Manajemen dan/atau pemegang saham pengendali juga dapat melakukan keputusan
penerbitan jumlah atau seri saham baru yang dapat merugikan pemegang saham lama.
Bebagai insentif dan keberadaan informasi asimetris memungkinkan manajemen
dan/atau pemegang saham pengendali melakukan tindakan merugikan tersebut. Oleh
sebab itu diperlukan pelaksanaan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama untuk
seluruh pemegang saham yang berasal dari seri yang sama.
Pada sub bab prinsip ini didalamnya terdapat 5 sub bab pelengkap yaitu:
a. Sub bab prinsip pertama mengenai kemudahan dari investor untuk
mendapatkan informasi mengenai hak yang ada pada setiap seri dan kelas saham
sebelum mereka membeli saham suatu perusahaan. Dalam sub prinsip ini investor
harus mengetahui hak yang melekat pada saham yang mereka beli. Seperti jika
investor membeli saham preferen, maka investor tersebut akan mendapatkan
bagian dari keuntungan perusahaan namun disisi lain biasanya saham itu tidak
mempunyai hak voting.
b. Sub bab prinsip kedua berbicara mengenai perlindungan kepada pemegang
saham minoritas dari tindakan yang merugikan yang dilakukan oleh atau atas
nama pemegang saham utama. Salah satu bentuk perlindungan kepada pemegang
saham minoritas sebenarnya adalah bagaimana direksi menjalankan perusahaan
untuk kepentingan perusahaan bukan untuk kepentingan pemegang saham
tertentu sehingga tidak ada perbedaan manfaat yang diperoleh antara pemegang
saham.
c. Sub bab prinsip ketiga adalah mengenai pihak yang boleh mewakili pemegang
saham dalam RUPS. Pada prinsip ini juga menjelaskan bahwa bank kustodian
tidak secara otomatis menjadi wakil pemegang saham di RUPS. Bank kustodian
mempunyai tugas untuk menyediakan informasi mengenai agenda RUPS
sehingga pemegang saham dapat menentukan suara mereka di RUPS termasuk
apakah mereka akan melimpahkan hak suaranya pada seluruh agenda atau mereka
akan memberikan hak suara pada suatu agenda tertentu.
Bapepam-LK, IV.A.3, juga diatur mengenai hak dan kewajiban pemegang saham
terhadap custodian, termasuk kewajiban kustodian untuk meneruskan informasi
yang relevan bagi pemegang saham.
d. Sub prinsip ke empat adalah penghilangan hambatan pemberian suara oleh
pemegang saham yang berdomisili di di luar wilayah kedudukan Emiten atau
Perusahaan Publik. Hambatan akan terjadi karena biasanya pemegang saham
asing menyimpan saham mereka melalui suatu rantai perantara (intermediaries).
Saham tersebut dicatat atas nama nasabah dalam akun perusahaan sekuritas lalu
akun perusahaan sekuritas tercatat pada lembaga penyelesaian dan penyimpanan.
Dengan demikian maka nama dari pemegang saham yang asli tidak langsung
dapat diketahui, sehingga begitu perusahaan akan meminta keputusan dari
pemegang saham atas suatu transaksi tersebut, informasi yang seharusnya sampai
sebelum keputusan di ambil, penyampaiannya menjadi tidak tepat waktu.
Dampak dari terlambatnya informasi kepada pemegang saham adalah tidak
cukupnya waktu dari pemegang saham untuk menganalisa dan memberikan
masukan kepada perusahaan atas hal tersebut.
Dengan melihat bahwa terdapat kemungkinan perusahaan tidak dapat
memberikan perlakuan yang saham kepada semua pemegang sahamnya, maka
sebaiknya perundang-undangan yang ada harus dapat memberikan kejelasan
mengenai pihak yang dapat diberikan kewenangan oleh pemegang saham asing
sebagai wakilnya sehingga informasi dapat segera diterima oleh pemegang
saham. Selain itu peranturan jika dimungkinkan juga dapat mengatur mengenai
penyerderhanaan rantai perantara.
e. Sub prinsip kelima dari bagian pertama prinsip 3 ini adalah mengenai proses
dan prosedur RUPS yang harus memperhatian perlakuan yang sama bagi seluruh
pemegang saham, termasuk prosedur yang sederhana dan tidak mahal bagi
pemegang saham untuk melakukan hak votingnya. Masih ada beberapa
perusahaan yang mempunyai prosedur rumit dan mahal dalam hubungannya
dengan hak voting pemegang saham. Misalnya penetapan fee bagi pelaksanaan
hak voting pemegang sahamnya dan persyaratan kehadiran bagi pemegang saham
untuk melakukan voting. Untuk itu sub prinsip ini mengusulkan kepada
perusahaan-perusahaan untuk dapat menghilangkan kesulitan pemegang saham
untuk berpartisipasi dalam RUPS dan juga mengusulkan untuk dapat
menggunakan fasilitas elektronik jika pemegang saham tidak dapat hadir dan juga
tidak menujuk wakilnya di RUPS.
Dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan
Bapepam-LK, yaitu sebagai berikut:
a. UU PT Pasal 53 ayat (2) menyatakan bahwa setiap saham dalam klasifikasi yang
sama memberikan kepada pemegangnya hak yang sama. Pasal ini merupakan dasar
hukum perlakuan yang sama pada kelompok saham yang sama.
b. Peraturan Bapepam-LK VIII.G.7 mewajibkan perusahaan mengungkapkan jenis
saham dalam CALK. Ketentuan ini memungkinkan calon investor mengetahui
jenis dan karakteristik saham perusahaan sebelum melakukan pembelian saham.

2. Bagian kedua prinsip 3 ini berbicara mengenai larangan transaksi orang


dalam (insider trading) dan perdagangan tutup sendiri yang merugikan
pihak lain (abusive self dealing).
Prinsip OECD ke-3, sub-prinsip B melarang perdagangan oleh orang dalam
(insider trading )dan transaksi abusive lainnya yang memanfaatkan hubungan dekat
dengan perusahaan, termasukdengan pemegang saham pengendali, untuk kepentingan
pribadi yang merugikan perusahaan dan investor. Keuntungan yang diperoleh dari
hubungan tersebut misalnya adalah abnormal return dari perubahan harga saham,
menjadi motivasi terjadinya insider trading . Keberadaan informasi asimetris sering
menyulitkan untuk mencegah dan membuktikan transaksi insider trading .
Sementara di sisi lain, dampak transaksi ini selain merugikan perusahaan dan
investor, juga dapat menurunkan kredibilitas pasar modal secara keseluruhan. Oleh
sebab itu, prinsip pelanggaran perdagangan oleh orang dalam sangat penting untuk
dilaksanakan. Praktik insider trading ini tentu dapat merugikan berbagai pihak. Salah
satunya adalah merugikan pasar uang bagi suatu negara. Kepercayaan investor
terhadap pasar tersebut tentu akan berkurang. Bagaimana tidak, jika ada orang-orang
yang memiliki informasi internal yang tak dimiliki sejumlah investor lainnya. Tentu
sejumlah orang dengan informasi internal tersebut dapat memperoleh keuntungan
yang lebih besar dari pada investor lainnya. Belum lagi praktik insider trading ini
melanggar asas paling penting dalam pasar modal, yaitu asas keterbukaan.

Cakupan Insider Trading


Menururt UU PM no 8 Pasal 95, perdagangan orang dalam mencakup: (a)
pembelian atau penjualan atas efek emiten atau perusahaan publik, (b) pembelian atau
penjualan atas efek perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan emiten atau
perusahaan publik; oleh orang dalam dari emiten atau perusahaan publik yang
bersangkutan yang memiliki informasi orang dalam. Sedangkan menururt UU PM Pasal
96, perdagangan orang dalam juga mencakup upaya orang dalam yang: (a)
mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek
dimaksud; atau (b) member informasi orang dalam kepada pihak mana pun yang patut
diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud untuk melakukan pembelian atau
penjualan atas efek.
Dalam Pasal 97 UU PM ditambahkan bahwa perdagangan orang dalam juga
mencakup transaksi yang dilakukan oleh pihak lain yang memperoleh informasi orang
dalam dari orang dalam dengan cara melawan hukum. Transaksi efek emiten dan
perusahaan public tersebut juga termasuk perdagangan oleh orang dalam, kecuali
transaksi tersebut dilakukan atas perintah nasabahnya dan Perusahaan Efek tidak
memberikan rekomendasi kepada nasabahnya mengenai efek yang bersangkutan (Pasal
98 UU PM). Dalam penjelasan atas pasal 95, orang dalam yang dimaksud dalam UU
PM adalah: (a) komisaris, direktur, atau pegawai emiten atau perusahaan publik; (b)
pemegang saham utama emiten atau perusahaan public; (c) orang perseorangan yang
karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan emiten atau
perusahaan public memungkinkan orangtersebut memperoleh informasi orang dalam;
(d) atau pihak yang dalam waktu enam bulan terakhir tidak lagi menjadi pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c di atas.
Penangan Insider Trading
Peraturan Bapepam-LK X.M.1 mengatur tentang keterbukaan informasi
pemegang saham tertentu juga ditujukan untuk mencegah atau mendeteksi mengenai
perdagangan orang dalam.X.M.1 mewajibkan Direktur atau Komisaris Emiten atau
Perusahaan Publik melaporkan kepada OJK atas kepemilikan dan setiap perubahan
kepemilikannya atas saham perusahaan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu
sepuluh hari sejak terjadinya transaksi. Kewajiban tersebut berlaku juga bagi setiap
pihak yang memiliki 5% atau lebih saham yang disetor. Salinan dari laporan tersebut
harus tersedia untuk dilihat umum dan dapat disalin di OJK. Kewajiban pengungkapan
informasi yang sama dalam laporan keuangan dan laporan tahunan perusahaan juga
diatur dalam X.K.6 dan VIII.G.7.
Pencegahan perdagangan oleh orang dalam juga disebutkan dalam Pedoman Umum
GCG Indonesia. Dalam bab V tentang pemegang saham bagian Pedoman Pelaksanaan
2.4, disebutkan bahwa perusahaan tidak boleh memihak pemegang saham lainnya.
Informasi harus diberikan kepada semua pemegang saham tanpa menghiraukan jenis
dan klasifikasi saham yang dimilikinya.
3. Bagian ketiga dari pinsip 3 adalah kewajiban dari komisaris, direksi dan
manajemen kunci untuk mengungkapkan kepentingannya kepada dewan
komisaris jika baik langsung maupun tidak langsung atau atas nama pihak
ketiga mempunyai kepentingan yang material dalam suatu transaksi atau suatu
hal yang mempengaruhi perusahaan. Peungkapan kepentingan para pihak di atas
kepada dewan komisaris juga harus diikuti dengan ketidak-ikut sertaan para pihak
didalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan transaksi yang memuat
kepentingan mereka tersebut.
Direksi sebagai pimpinan puncak perusahaan dan Dewan Komisaris sebagai organ
pengwas tertinggi di perusahaan memiliki pengaruh yang besar terhadap keputusan /
tindakan yang dilaksanakan perusahaan. Tindakan atau keputusan seharusnya
didasarkan pada kepentingan perusahaan dan seluruh pemegang saham. Namun,
Direksi dan Dewan Komisaris dapat memiliki kepentingan pribadi (self-interest) atas
keputusan/tindakan tertentu yang akan dilaksanakan perusahaan.

Kondisi tersebut dan kewenangan Direksi atau Dewan Komisaris dapat


menimbulkan benturan kepentingan, karena jika mempengaruhi keputusan/ tindakan
perusahaan yang menguntungkan kepentingan pribadi tapi merugikan perusahaan.
Kepemilikan terkonsentrasi dan struktur perusahaan konglemerasi pada beberapa
negara, meningkatkan potensi benturan kepentingan direktur dan atau komisaris yang,
yang umum ya perwakilan pemegang saham pengendali, dengan kepentingan
perusahaan, khususnya kepentingan pemegang saham non pengendali. Oleh sebab itu
diperluan upaya untuk menangani kemungkinan benturan kepentingan direktur dan
atau komisaris dengan kepentingan perusahaan.

Prinsip OECD ke 3, sub prinsip C, kewajiban komisaris dan direktur untuk


mengungkapkan kepada Dewan Komisaris, jika mereka secara langsung, tidak
langsung atau atas nama pihak ketiga, memiliki kepentingan material terhadap
transaksi atau kegiatan yang secara langsung mempengaruhi perusahaan. Benturan
kepentingan tersebut dapat disebabkan oleh hubungan bisnis, hubungan keluarga atau
hubungan khusus lainnya di luar perusahaan, yang dapat mempengaruhi objektivitas
penialaian direktur dan atau komisaris terhadap transaksi atau aspek tertentu yang
berpengaruh terhadap perusahaan. Hubungan khusus tersebut mencakup situasi
dimana direktur dan atau komisaris memiliki hubungan melalui hubungannya dengan
pemegang saham yang memiliki pengendalian atas perusahaan tersebut. Sub- prinsip
C juga menganjurkan agar pihak-pihak yang memilki benturan kepentingan tidak
terlibat dalam pengambilan keputusan atas transaksi atau aspek yang mengandung
benturan kepentingan tersebut.

Kewajiban pengungkapan informasi benturan kepentingan direktur dan komisaris


tersebut diatur secara tidak langsung pada beberapa peraturan perundang-undangan di
Indonesia. UU PT Pasal 99 ayat (1) melarang Direksi mewakili Perseroan jika
terdapat Benturan kepentingan antara Direksi dan Perseroan. Pasal 101 mewajibkan
anggota direksi melaporkan kepada perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota
Direksi bersangkutan dan atau keluarganya dalam Perseroan dan lain untuk
selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.

Pedoman umum GCG Indoneisa juga mengatur secara tidak langsung


kewajiban pengungkapan informasi benturan kepentingan direktur dan komisaris ,
yaitu sebagai berikut :

a. Benturan kepentingan adalah keadaan dimana terdapat konflik antara


kepentungan ekonomis perusahaan dan kepentingan ekonomis pribadi pemegang
saham, komisaris dan direktur serta karyawan perusahaan.
b. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, komisaris dan direktur serta
karyawan perusahaan harus senantiasa mendahulukan kepentingan ekonomis
pribadi atau keluarga maupun pihak lainnya.
c. Komisaris dan direktur serta karyawan perusahaan dilarang menyalahgunakan
jabatan untuk kepentingan dan keuntungan pribdai, keluarga dan pihak-pihak
lainnya.
d. Dalam hal pembahasan dan pengambilan keputusan yang mengandung unsur
benturan kepentingan, pihak yang bersangkutan tidak diperkenankan ikut serta.
e. Pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan harus mengeluarjan
suaranya dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai dengan keputusan
yang diambil oleh pemegang saham yang tidak mempunyai beneturan
kepentingan
f. Setiap komisaris dan direktur serta karwayan perusahaan yang memiliki wewenang
pengambilan keputusan diaharuskan setiap tahun membuar pernyataan tidak
memiliki benturan kepentingan terhadap setiap keputusan yang telah dibuat
olehnya dan telah melaksanakan pedoman perilaku yang ditetapkan oleh
perusahaan.
C. Transaksi dengan pihak berelasi

Transaksi dengan Pihak Berelasi/Mengandung Benturan Kepentingan Salah satu


yang mengandung potensi tindakan yang bersifat abusive dari suatu kelompok
pemegang saham-saham tertentu (yaitu pemegang saham pengendali) kepada kelompok
pemegang saham lainnya (yaitu pemegang saham non-pengendali) adalah transaksi pihak
berelasi/mengandung benturan kepentingan. Dalam PSAK 7 disebutkan bahwa transaksi
pihak berelasi adalah suatu pengalihan sumber daya, jasa atau kewajiban antara entitas
pelapor dengan pihak-pihak yang berelasi, terlepas apakah ada harga yang dibebankan.
Pihak-pihak berelasi didefinisikan sebagai orang atau entitas yang terkait dengan entitas
tertentu dalam meyiapkan laporan keuangannya. Transaksi antar pihak
berelasi/mengandung benturan kepentingan dapat mencakup transaksi yang bersifat
operasional dan rutin, seperti transaksi penjualan dan pembelian barang dan jasa, serta
dapat berupa transaksi strategis seperti pendanaan, investasi, merger, dan lainnya.
Transaksi antar pihak berelasi dapat dilakukan dengan tujuan efisiensi, misalnya seperti
penghematan biaya penjualan dan pemasaran, menjaga kemandirian ketersediaan dan
kualitas bahan baku, dan lainnya. Namun demikian, transaksi berelasi/mengandung
benturan kepentingan juga berpotensi menjadi abusive terhadap pihak tertentu. Transaksi
abusive tersebut terjadi ketika manajemen dan/atau pemegang saham pengendali dapat
mengarahkan transaksi yang hanya menguntungkan perusahaan yang dikendalikannya
dan menyebabkan kerugian di perusahaan tersebut.

Penangaan Transaksi dengan pihak berelasi


Menurut peraturan Bapepam-LK (OJK) telah dijelaskan mengenai ketentuan
pengungkapan dan persetujuan transaksi pihak berelasi/mengandung benturan
kepentingan, yaitu:
1. IX.E.1, mengatur secara khusus transaksi afiliasi (transaksi pihak berelasi) dan
transaksi yang mengandung benturan kepentingan.peraturan ini mengarahkan
perusahaan pada pelaksanaan transaksi yang bersifat wajar dan arm’s length. IX.E.1
mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan transaksi pihak berelasi kepada
publik dan melaporkannya kepada regulator (OJK), serta mewajibkan transaksi
dengan benturan kepentinganuntuk disetujui terlebih dahulu oleh RUPS pemegang
saham independen. Ketentuan ini adalah upaya pencegahan transaksi dengan pihak
berelasi yang berpotensi merugikan pemegang saham nonpengendali.
2. X.K.6, mewajibkan pengungkapan transaksi pihak berelasi dan transaksi benturan
kepentingan dalam laporan tahunan perusahaan.
3. VIII.G.7, mewajibkan penyajian terpisah dan pengungkapan pos-pos laporan
keuangan dengan pihak berelasi, serta pengungkapan transaksi pihak berelasi dalam
catatan atas laporan keuangan

Kasus

PT. Sumalindo Lestari Jaya (SULI) Tbk


Sejarah Perseroan
Sebelum kita membahas kasus yang terjadi pada PT. Sumalindo Lestari Jaya, Tbk
terlebih dahulu kelompok kami akan memperkenalkan perusahaan ini dikarenakan mungkin
masih banyak yang tidak tahu dengan perusahaan atau PT. Sumalindo Lestari Jaya, Tbk.
Menurut informasi yang dikutip pada merdeka.com, mengenai biografi dari PT. Sumalindo
Lestari Jaya, Tbk1 itu sendiri adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang kayu dimana
memiliki basis di Indonesia. PT. Sumalindo Lestari Jaya, Tbk itu sendiri mulai berdiri pada
tanggal 14 April 1980. Yang dimana PT. Sumalindo Lestari Jaya, Tbk merupakan perusahaan
bergerak sebagai pabrik kayu yang terbesar di Indonesia, yang berlokasi tepatnya berada di
Kalimantan Timur. Perusahaan ini juga telah mampu menyerap tenaga kerja, dengan bukti
telah memperkerjakan sebanyak 3.700 staf pekerja. Adapun kegiatan utama dari PT.
Sumalindo Lestari Jaya, Tbk adalah merupakan perusahaan yang beraktivitas pada kegiatan
dari pengelolaan kayu, kegiatan penebangan, operasi hutan tanaman industri, serta juga
bergerak dalam aktivitas perdangan ekspor, impor dan lokal. Sebagai perusahaan yang
bergerak dalam aktivitas yang berhubungan dengan kayu, PT. Sumalindo Lestari Jaya, Tbk
ini memiliki sejumlah konsensi berupa hutan alam dan juga konsesnsi hutan tanaman yang
dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan sebagai mana mengelola hutan yang
lestari.
Pada tahun 1985 melakukan penggabungan usaha dengan 4 (empat) perusahaan
perkayuan yakni PT. Rimba Nusantara, PT. Emporium Lumber, PT. Rimba Lapis Permai dan
PT. Gonpu Indonesia Limited. Melalui penggabungan usaha tersebut Perseroan mendapat
tambahan areal hutan alam seluas 150.000 ha dan kapasitas produksi kayu lapis dan kayu
lapis olahan menjadi 120.000 m3/tahun.
Selanjutnya tahun 1986 sampai 1987 perusahaan ini memasang tambahan atas
fasilitas jalur produksi kedua untuk pembuatan produk kayu lapis yang bernilai tinggi,
sehingga kapasitas produksi kayu lapis Perseroan bertambah menjadi 190.000 m3/tahun.
Tahun 1989 perusahaan ini melakukan penggabungan usaha dengan PT. Rimba Abadi, dari
penggabungan usaha tersebut Perseroan mendapatkan tambahan areal hutan alam seluas
110.000 ha. Pada tahun ini juga Perseroan mulai melakukan diversifikasi usahanya dengan
mengembangkan bidang hutan tanaman industri.
Di tahun 1992, bekerja sama dengan pemerintah melalui PT. Inhutani I membentuk
usaha patungan di bidang hutan tanaman yaitu PT. Sumalindo Hutani Jaya dengan luas areal
total 83.000 ha. Perseroan memiliki 60% dari saham perusahaan patungan tersebut.
Dan barulah tahun 1994 perusahaan ini menjadi perseroan terbuka (go public) melalui
Penawaran Umum 25.000.000 saham biasa atas nama kepada masyarakat dan mencatatkan
seluruh saham yang telah dikeluarkan di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Dana yang dihasilkan
dari penawaran umum ini membiayai investasi pembangunan industri MDF dengan kapasitas
produksi 100.000/ m3 per tahun serta untuk membiayai pengembangan hutan tanaman
Perseroan dan anak perusahaan. Hingga ditahun 2009 s/d tahun 2010 komposisi kepemilikan
saham dari PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk dapat dilihat dari tabel deviden persahre di
perusahaan pada tahun 2009 s/d 2010 adalah sebagai berikut:

Pada tahun 2002, PT. Astra International Tbk selaku pemegang saham mayoritas PT. SLJ
sebesar 75% menjual seluruh kepemilikan sahamnya kepada PT. Sumber Graha Sejahtera
(PT.SGS). PT. SGS merupakan sebuah perseroan telah cukup lama berkecimpung di bidang
Perkayuan Indonesia. Pada bulan Juli 2006, PT. SLJ melakukan Penawaran Umum Terbatas
II dengan menawarkan 155.713.448 saham dan sebanyak 155.713.488 waran seri I.

Tahun 2008, PT. SLJ mengambil alih areal IUPHHK Hutan Alam PT. Essam Timber yang
berlokasi di Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur dengan luas 355.800 hektar.
Melalui anak perusahaan mereka yaitu PT. Sumalindo Alam Lestari, mereka mengambil alih
99.2 % saham PT. Wana Kaltim Lestari berupa suatu unit usaha hutan tanaman industri
dengan luas 16.280 hektar di propinsi Kalimantan Timur.

Pada tahun 2009, PT. SLJ kembali mendapatkan kepercayaan dari pemerintah dengan
memberikan 1(satu) ijin pengelolaan hutan alam seluas 69.765 ha yakni PT. Sumalindo
Lestari Jaya Tbk (PT. SLJ) sesuai SK 438/Menhut-II/2009 tanggal 27 Juli 2009. Areal baru
ini berlokasi di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, berdampingan dengan areal hutan
alam PT. SLJ dan anak perusahaan lainnya yakni IUPHHK-HA PT. SLJ-Unit- II Long Bagun
dan areal IUPHHKHA PT. Essam Timber.

Akhirnya pada tahun 2010, PT. SLJ melaksanakan Penawaran Umum Terbatas (PUT) III
pada 24 Maret sampai 30 Maret 2010 dengan melepas saham sejumlah 1.236.022.311 lembar
saham. Diakhir tahun tersebut, PT. SLJ melakukan divestasi sebagian saham pada anak
perusahaan mereka yaitu PT. Sumalindo Mitra Resindo.

Gugatan Pemegang Saham terhadap PT SLJ

Konflik antar pemegang saham ini juga dipicu ketika Direktur PT. SLJ
mengumumkan bahwa PT. Sumalindo Hutani Jaya (salah satu Pemegang Saham Publik
Minoritas PT. SLJ) telah dijual kepada PT. Tjiwi Kimia Tbk. Berbagai pihak beranggapan
bahwa selain penjualan tersebut tidak memiliki manfaat sama sekali bagi PT SLJ dan
penjualan tersebut dinilai sangat merugikan. Hal tersebut dianggap merugikan karena pada
tanggal 1 Juli 2009, PT. Sumalindo Hutani Jaya telah menerbitkan Zero Coupon Bond (surat
utang tanpa bunga) atas utangnya kepada PT. SLJ sebesar lebih dari Rp 140 Miliar Rupiah,
untuk jangka waktu satu tahun.
Deddy Hartawan Jamin dalam gugatannya mengklaim bahwa tindakan PT. SLJ dalam
menjual PT. SHJ telah mengabaikan asas good corporate governance, dan banyak
mengabaikan keputusan hukum yang sudah berlaku, sehingga merugikan banyak pihak.
Dalam gugatan tersebut PT. SLJ juga dianggap melakukan kesalahan prosedur dalam
mengajukan permohonan persetujuan pengalihan saham kepada Menteri kehutanan tanpa
didahului persetujuan RUPS PT. SLJ dan atas dasar dokumen palsu yang mengakibatkan
kerugian bagi Deddy Hartawan Jamin sebagai penggugat.
Atas gugatan tersebut, Deddy Hartawan Jamin melibatkan 11 pihak sebagai tergugat
yang merupakan pemegang saham mayoritas PT. SLJ, antara lain PT. Sumalindo Lestari Jaya
(SLJ), Amir Sunarko, David, Lee Yuen Chak, Ambran Sunarko, Setiawan Herliantosaputro,
Kadaryanto, Harbrinderjit Singh Dillon, Husni Heron, Sumber Graha Sejahtera, Kantor Jasa
Penilai Publik Benny, Desmar dan Rekan. Dalam gugatan tersebut, Deddy Hartawan Jamin
menuntut ganti rugi materiil maupun immateriil, senilai Rp 18,7 triliun rupiah, karena dana
sebesar itu sesungguhnya adalah bersumber dari PT. SLJ. Jika gugatan Deddy Hartawan
Jamin dikabulkan, ganti rugi tersebut selanjutnya akan dikembalikan ke rekening PT. SLJ
untuk memperbaiki kinerja dan manajemen mereka.

Analisis Penerapan Prinsip III OECD The Equitable Treatment of Shareholder) PT


Sumalindo Jaya Lestari, Tbk
Pada prinsip ketiga ini ditekankan perlunya persamaan perlakuan kepada seluruh pemegang
saham termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Prinsip ini
menekankan pentingnya kepercayaan investor di pasar modal. Pada praktiknya pemegang
saham utama perusahaan mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk memberikan
pengaruhnya dalam kegiatan operasional perusahaan. Berdasarkan praktik tersebut, seringkali
transaksi yang terjadi hanya memberikan manfaat hanya kepada pihak-pihak tertentu yang
berkepentingan seperti pemegang saham utama, komisaris, atau bahkan dewan direksi.
Berikut adalah hasil analisis prinsip ketiga OECD pada PT. Sumalindo Jaya Lestari, Tbk
setelah dilakukannya reorganisasi tahun 2013:
1. Analisis 1 (terkait dengan investor asing harus mendapatkan informasi mengenai
perusahaandengan lengkap dan terperinci) Pasal 13 No 8 - Pengumuman RUPS wajib
diumumkan menggunakan bahasa Inggris dan harus memuat informasi yang sama
dengan informasi dalam pengumuman RUPS yang menggunakan bahasa Indonesia.
2. Analisis 2 [insider trading dan perlakuan kasar harus dilarang dalam kegiatan
perusahaan] Dalam kasus PT. SLJ Global Tbk tidak terdapat informasi yang
mengindikasikan adanya pelanggaran dalam prinsip ini.
3. Analisis 3 [anggota dewan dan eksekutif harus mengungkapkan kepada dewan apakah
mereka secara langsung, tidak langsung atau atas nama pihak ketiga memiliki
kepentingan material dlm suatu transaksi yang berpengaruh besar thd perusahaan.
Mereka wajib memberitahukan bisnis-bisnis apa saja yang sedang mereka kelola] CALK
No. 27 menjelaskan kasus hukum yang sedang dihadapi oleh perusahaan yakni “Deddy
Hartawan, pemegang saham perusahaan, mengajukan gugatan perdata terkait dg
transaksi pengalihan saham perusahaan di PT. Sumalindo Hutani Jaya kepada PT. Tjiwi
Kimia selaku pihak ke 3 dan pengalihan tagihan perusahaan SHJ berupa zero coupon
bond kepada Marshall Enterprise Ltd”.
4. Analisis 4 [terkait dengan setiap hambatan untuk memberikan suara dalam RUPS harus
dihapuskan]
Pasal 15 No. 4-5 “Akta berita acara RUPS harus disampaikan ke Otoritas Jasa
Keuangan maksimal 30 hari setelah RUPS diselenggarakan dan wajib memuat informasi
mengenai:
 Tanggal, waktu, tempat dan mata acara RUPS.
 Anggota direksi dan dewan komisaris yang hadir.
 Jumlah saham dengan hak suara yg sah yg hadir pada saat RUPS dan
persentasenya dari jumlah seluruh saham yang mempunyai hak suara yg sah.
 Ada tidaknya pemberian kesempatan kepada pemegang saham utk mengajukan
pertanyaan dan/atau memberi pendapat tentang mata acara rapat.
 Mekanisme pengambilan keputusan RUPS.
 Hasil pemungutan suara yg meliputi jumlah yang setuju, tidak setuju, dan
abstain.

Daftar pustaka

Fahmi,Irham. 2012. Pengantar pasar modal. Bandung:alfabeta

Sukamulja, Sukmawati. 2004,”Good Corporate Governance di Sektor Keuangan: Dampak


Good Corporate Governance Terhadap Kinerja Keuangan”. Vol.8.No.1. Juni 2004.

Sutedi, Andrian. 2011. Good Corporate Governance. Jakarta: Sinar Grafika

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas


Dalam Pasal 99 ayat(1)

Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) telah melarang
kejahatan insider trading melalui Pasal 95

Pedoman GCG Indonesia tahun 2006 – Komite Kebijakan Nasional Governance (KNKG)
PSAK 7 tentang Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi

Peraturan IV.A.3 - Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-13/PM/2002 Tentang Pedoman


Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan
Peraturan X.M.1 - Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-82/PM/1996 Tentang Keterbukaan
Informasi Pemegang Saham Tertentu
Peraturan No. IX.E.1 - Keputusan Ketua Bapepam-LK No. KEP-412/BL/2009 Tahun 2009
Tentang Transaksi Afiliasi Dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu

Peraturan Bapepam X. K6. Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik
Berdasarkan keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Peraturan BapepamVIII.G.7 PEDOMAN PENYAJIAN LAPORAN KEUANGAN

Organization for Economic Cooperation and Development. (2004). OECD Principles of


Corporate Governance 2004. The OECD Paris.

Anda mungkin juga menyukai