Anda di halaman 1dari 30

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kawasan Bandung Utara (KBU) merupakan sebuah kawasan yang

diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya

sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No.

181/1982 tentang Peruntukkan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian

Utara. Adapun luas wilayah KBU ini sebesar 42.315,321 ha dan ditetapkan

sebesar 68,69% untuk Kawasan Lindung dan 31,31% sebagai Kawasan

Budidaya yang kemudian pada tahun 1998 direvisi melalui Rancangan

Umum Tata Ruang (RUTR) Kawasan Bandung Utara menjadi 72,44% untuk

Kawasan Lindung dan 27,56% untuk Kawasan Budidaya.2 Melihat

peruntukkannya tersebut dapat dilihat bahwa KBU memegang peranan dan

fungsi vital terhadap wilayah di sekitarnya. Kawasan ini sendiri berada di

sebelah utara Kota Bandung dan menjadi menarik karena melintasi empat (4)

wilayah administratif kota dan kabupaten yang berbeda, yaitu Kota Bandung,

Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi. Fungsi

utama KBU terhadap kota dan kabupaten dibawahnya begitu penting karena

KBU merupakan daerah resapan air yang artinya selain berfungsi sebagai

1
Lihat: http://bappeda.jabarprov.go.id/titik-terang-revisi-perda-kbu/
2 Endang Hernawan dkk, Prinsip Pembagian Biaya-Manfaat Menggunakan Model
Pembelian Hak Membangun (PDR) Purchase of Development Rights (PDR) Mechanism
Application on Cost-Benefit Sharing Principles, JMHT Vol. XVI, (2): 73-83, 2010, hlm 73
diunduh dari http://journal.ipb.ac.id/index.php/jmht/article/viewFile/1982/924 pada 4 Januari
2017 pukul 11.36 WIB
2

penghalang terjadinya banjir juga merupakan sumber mata air utama daerah

Bandung Raya bahkan daerah Jawa Barat secara keseluruhan.3

Namun fungsi vital yang dimiliki KBU terhadap daerah-daerah di

sekelilingnya tersebut tetap tidak mengahalangi maraknya pengalihfungsian

lahan di kawasan ini. Pengalihfungsian lahan seperti pembangunan tempat

pemukiman, bisnis perhotelan hingga pembukaan usaha pertambangan tetap

terjadi. Baik yang dilakukan secara legal ataupun illegal dan terjadi baik di

Kawasan Budidaya maupun Kawasan Lindung yang seharusnya sama sekali

tidak diperkenankan adanya pengalihfungsian lahan. Tercatat hingga tahun

2016 telah terjadi pengalihfungsian lahan hingga 80%. Dimana hanya

menyisakan 20% lahan yang minim resapan air yang pada akhirnya dapat

dilihat salah satu dampaknya yakni banjir di daerah Bandung Selatan.4

Hal ini sempat menimbulkan pertanyaan dimana peran dan fungsi

pemerintah baik Pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun Pemerintah

Kota/Kabupaten yang memiliki kepentingan di KBU terhadap masalah

pengalihfungsian KBU yang telah mengakibatkan dampak nyata terhadap

lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Apabila kita telisik lebih lanjut

sebenarnya pemerintah, baik Pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun

Pemerintah Kota/Kabupaten yang memiliki kepentingan di KBU setidaknya

sejak tahun 2008 telah memperketat pengeluaran izin terkait pembangunan

serta pemanfaatan ruang di KBU. Pembangunan yang dilakukan di KBU

3Endang Hermawan, Ibid, hlm 73


4Lihat: http://www.pikiran-rakyat.com/foto/2016/11/14/80-persen-lahan-di-kawasan-
bandung-utara-beralih-fungsi-384781 diakses pada tanggal 5 Januari 2017 pukul 00.49 WIB
3

disyaratkan harus tetap mepertahankan bahkan memperkuat hakikat KBU

sebagai Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya.

Komitmen ini dapat dilihat dari lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Jawa

Barat Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Kawasan Bandung Utara yang kemudian dirubah menjadi Peraturan Daerah

Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016. Dimana pada pasal 20 Perda

2008 terdapat klausul persyaratan dimana dalam hal memperoleh izin

pemanfaatan ruang KBU pihak pembangun atau pemrakarsa harus

menerapkan rekayasa teknik dan/atau eko arsitektur dan/atau rekayasa

vegetatif untuk menghindari penurunan kapasitas penyerapan air ke dalam

tanah dan meminimalkan potensi bencana kelongsoran tanah serta

dilengkapi dokumen analisis dampak lingkungan (amdal).

Selain itu terdapat satu hal yang menarik pada peraturan daerah

tersebut, yakni selain syarat-syarat perizinan yang dijelaskan sebelumnya,

izin pemanfaatan ruang di KBU mensyaratkan adanya surat rekomendasi

yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Barat sebelum walikota atau bupati

yang bagian daerahnya di wilayah KBU dijadikan tempat pembangunan

dapat menerbitkan izin pemanfaatan ruang. Perihal perlunya surat

rekomendasi Gubernur Jawa Barat ini dapat dilihat pada Pasal 54 Perda

Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016 yang secara jelas menyatakan “Setiap

orang yang melakukan pemanfaatan ruang KBU wajib memperoleh

rekomendasi Gubernur dan izin pemanfaatan ruang dari Bupati/Wali Kota,

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”. Jadi dapat dilihat bahwa


4

posisi Gubernur Jawa Barat sebagai pihak yang memberikan rekomendasi

untuk kemudian surat rekomendasi diberikan kepada bupati/walikota daerah

terkait sebagai pihak akhir yang memberikan finalisasi atau menerbitkan izin.

Meski demikian surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat dari sisi

bentuknya menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya merupakan izin

karena sifat rekomendasi ini wajib sebagai persyaratan terbitnya izin

pemanfaatan ruang oleh bupati atau walikota terkait namun di sisi lain bentuk

formalnya tidak mencerminkan demikian karena bukan merupakan sebuah

Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang bersifat final melainkan lebih

berupa proses salah satu proses verifikasi untuk mendapatkan izin. Hal ini

dapat dilihat berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 58 Tahun

2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 21

Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa

Barat Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pengendalian Kawasan

Bandung Utara Sebagai Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat,

rekomendasi Gubernur Jawa Barat ini berbentuk sebagai dokumen

pelengkap untuk memverifikasi terhadap pengajuan izin yang telah diproses.

Proses verifikasinya sendiri dilakukan oleh Badan Pelayanan Perizinan

Terpadu (BPPT) dan Dinas Pemukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat

yang kemudian menyerahkannya kepada Badan Koordinasi Penataaan

Ruang Daerah (BKPRD) Jawa Barat untuk dibahas bersama pakar serta

perwakilan masyarakat untuk selanjutnya dokumen tersebut apakah disetujui

atau tidak oleh Gubernur Jawa Barat. Apabila disetujui surat rekomendasi
5

tersebut tidak serta merta dapat menjadi dasar hukum untuk pemanfaatan

lahan layaknya izin, pemohon izin masih harus mendapatkan izin dari wali

kota/atau bupati terkait untuk melakukan kegiatannya hal itulah mengapa

rekomendasi bukan instrumen yang bersifat final layaknya izin.

Jika dilihat fungsi rekomendasi tersebut merupakan bentuk pengawasan

Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap segala bentuk pemanfaatan dan

pembangunan di KBU. Memang benar bahwa sudah ada pengawasan dari

pemerintah kota/kabupaten yang daerahnya termasuk di dalam KBU, namun

mengingat fungsi vital KBU serta apabila terjadi kerusakan dampaknya akan

melintas ke daerah di sekelilingnya, kiranya memang diperlukan perhatian

serta pengawasan yang lebih dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang

memiliki kedudukan serta kewenangan yang lebih dibanding dengan empat

pemerintahan kota dan kabupaten yang daerahnya termasuk di dalam KBU.

Namun, pada tataran pengimplementasian terkait izin KBU ditemukan

banyak ketidaksesuaian terhadap apa yang sudah diatur pada Perda Jabar

Nomor 2 Tahun 2016 khususnya terkait masalah syarat rekomendasi

gubernur yang sebenarnya diwajibkan sebagai persyaratan izin. Beberapa

kali ditemukan kasus dimana pengembang maupun masyarakat melakukan

kegiatan pengalihfungsian lahan di KBU tanpa mengantongi rekomendasi

gubernur. Seperti kasus pembangunan tiga apartemen di Desa Gudang

Kahuripan, Kecamatan Lembang5, pembangunan delapan rumah mantan

5 Lihat di http://bandungekspres.co.id/2015/3-apartemen-belum-kantongi-izin/
6

rektor ITB di sekitaran Taman Hutan Raya Ir. Djuanda6 dan masih banyak

kasus lainnya dimana pembangunan tidak didasari oleh adanya rekomendasi

gubernur.

Apabila diperhatikan memang banyak faktor yang dapat menjadi

penyebab terjadinya hal tersebut. Secara sederhana hal ini bisa disebabkan

oleh ketaatan hukum masyarakat yang masih rendah, juga bisa disebabkan

oleh memang sistem perizinan yang ada saat ini menimbulkan kebingungan

karena seakan terdapat dua jenis rezim perizinan, yakni surat rekomendasi

yang seakan merupakan izin dari gubernur serta izin dari bupati/walikota

untuk melakukan pemanfaatan ruang di KBU. Anggapan bahwa jika sudah

mendapatkan salah satu izin maka sudah dapat melakukan pembangunan di

KBU dapat ditenggarai sebagai penyebab terjadinya masalah tersebut. Selain

itu dari sisi prosedur formal administrasinya pun juga menimbulkan

pertanyaan karena rekomendasi justru datangnya dari atas, yakni Gubernur

menuju ke bawah, yakni Bupati/Walikota terkait, dan apabila demikian

apakah dimungkinkan Bupati/Walikota tersebut dapat menolak rekomendasi

Gubernur tersebut jika ternyata terdapat perbedaan persepsi atau penilaian

antara dua instansi pemerintahan daerah yang mana hal tersebut akan

bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB)

yang salah satunya mencakup kepastian hukum. Menurut penulis masalah

ketidakjelasan perizinan wilayah KBU terutama adanya persyaratan surat

6 Lihat di http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/05/26/328682/bangunan-
milik-mantan-rektor-itb-di-kbu-tidak-kantongi-imb
7

rekomendasi Gubernur Jawa Barat di yang demikian sangat memungkinkan

munculnya masalah lingkungan yang berdampak luas kepada masyarakat

apabila tidak segera diperbaiki.

Berdasarkan pengamatan dan penelitian dokumen yang penulis lakukan

di Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Universitas Padjadjaran, belum

ada tugas akhir yang membahas mengenai kedudukan surat rekomendasi

Gubernur Jawa Barat terkait izin pemanfaatan lahan di daerah Kawasan

Bandung Utara. Atas latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka

penulis mencoba membahasnya didalam bentuk usulan penelitian yang

berjudul ”Kedudukan Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat Terkait

Izin Pemanfaatan Ruang Dalam Pembangunan Kawasasan Bandung

Utara (KBU)”

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimanakah bentuk surat rekomendasi dilihat dalam praktik

administrasi negara terkait ketetapan yang dikeluarkan oleh pejabat

tata usaha negara?

2. Bagaimanakah kedudukan Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat

sebagai syarat izin pemanfaatan ruang dalam pembangunan di

Kawasan Bandung Utara dengan kaitannya dengan kewenangan

pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk


8

menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang diatur dalam undang-

undang?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dari usulan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui dan menganalisis bentuk dan kedudukan surat

rekomendasi gubernur terkait proses perizinan dalam Hukum

Administrasi Negara.

2. Mengetahui dan menganalisis kedudukan Surat Rekomendasi

Gubernur Jawa Barat terhadap pemberian izin pemanfaatan ruang

Kawasan Bandung Utara berdasarkan peraturan perundang-

undangan.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini juga mempunyai manfaat dari segi kegunaan teoritis dan

kegunaan praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini, yaitu:


9

a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha mengembangkan

Ilmu Hukum pada umumnya, khususnya mengenai masalah

kedudukan surat rekomendasi dalam suatu proses perizinan

b. Penelitian ini diharapkan juga dapat digunakan sebagai referensi

bagi penelitian-penelitian lanjutan untuk penelitian berikutnya di

bidang yang sejenis.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini, yaitu:

a. Memberikan saran bagi Pemerintah khususnya Pemerintah

Daerah Provinsi Jawa Barat serta satuan pemerintahan yang

berada dibawahnya yang memiliki kepentingan terhadap Kawasan

Bandung Utara dalam hal tata cara penerbitan izin pemanfaatan

ruang di daerah Kawasan Bandung Utara juga menjelaskan

bagaimana seharusnya kedudukan surat rekomendasi sebagai

syarat perizinan dalam tata cara admnistrasi perizinan. Serta bagi

kalangan akademik, sehingga dapat dijadikan tolak ukur atau

sebagai pembanding.

b. Memberikan informasi serta pertimbangan bagi Gubernur Jawa

Barat dan para kepala daerah yang memiliki kepentingan di KBU


10

mengenai perlu atau tidaknya surat rekomendasi sebagai syarat

penerbitan izin serta bagaimana sepatutnya kedudukan surat

rekomendasi tersebut .

E. Kerangka Pemikiran

Pasal 1 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945 telah secara jelas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara

berkedaulatan rakyat dan berdasarkan hukum (rechstaat). Hal ini berarti

bahwa hukum merupakan penopang utama negara dan tidak ada yang lebih

tinggi dari hukum atau yang kita kenal dengan istilah supremasi hukum.

Supremasi hukum berarti bahwa tidak ada arbitrary power, kekuasaan yang

sewenang-wenang. Baik rakyat (yang diperintah) maupun raja (yang

memerintah) kedua-duanya tunduk pada hukum.7

Hal tersebut dalam konteks negara saat ini, termasuk kepada segala

tindakan dan kebijakan yang dibuat pemerintah sebagai alat negara harus

mengacu kepada hukum yang berlaku supaya terhindar dari perbuatan yang

sewenang-wenang. Maka dari itu diperlukan legalitas atas segala tindakan

penguasa sebagai tanda persetujuan rakyat sebagai pemegang kedaulatan

tertinggi. Hal yang sama juga berlaku kepada masyarakat sebagai salah satu

unsur negara. Pada sudut pandang masyarakat, hukum adalah persetujuan

diantara mereka dan oleh karena itu harus ditaati ataupun dipatuhi. Oleh

karena itu dalam segala tingkah laku dalam pergaulan hidup bermasyarakat

7 Prof. Mr. Djokosoetono, Kuliah Ilmu Negara, Penerbit In Hill Co, 2006, hlm 106
11

harus memperhatikan hukum sebagai pedoman bermasyarakat demi

terciptanya keteraturan dan ketertiban dalam praktik bernegara.

Selanjutnya apabila dilihat pada konteks ketatanegaraan, seperti telah

dikatakan sebelumnya bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasaan

tertinggi, hubungan antara pemerintah dan rakyat adalah hubungan melayani

dan dilayani. Sebagaimana pendapat Prof. Sondang Siagian8, pemerintah

merupakan abdi negara juga abdi masyarakat. Adapun dengan sudut

pandang yang demikian negara mendapat predikat sebagai negara

administratif (Administrative State). Arti negara sebagai administrative state

adalah dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan sebagai pemegang

kekuasaan yang didelegasikan oleh rakyat, pemerintah memiliki fungsi-fungsi

seperti fungsi politik, diplomasi, fungsi penegakan hukum dan lainnya. Dalam

perkembangannya kini terdapat dua fungsi baru dan juga menonjol yakni

fungsi pengaturan (regulatory functions) dan fungsi pelayanan kepada

masyarakat atau pelayanan publik (public service functions).9

Salah satu bentuk fungsi pengaturan pemerintah sebagai pelaksana

tugas administratif guna terciptanya keteraturan dan ketertiban adalah

melalui fungsi penerbitan izin. Perizinan diperlukan sebagai peraturan yang

berada di tingkat akhir yang merupakan pemberian dan perluasan

kesempatan bagi warga masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan tertentu

sekaligus terdapat pembatasan-pembatasan yang dibutuhkan demi

8 Prof. Dr. Sondang Siagian, Administrasi dan Pembangunan Konsep, Dimensi, dan
Strateginya, PT Bumi Aksara, 2009, hlm 139
9 Prof.Sondang Siagian Ibid
12

kepentingan rakyat sebagai keseluruhan.10 Menurut Sjachran Basah izin

adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang

mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan

prosedur sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.11

Lebih lanjut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge membagi izin dalam arti luas

dan arti sempit. Berdasarkan pendapat keduanya, secara luas izin ialah suatu

persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan

pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-

ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa

memperkenalkan orang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan

tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenaan bagi suatu

tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus

atasnya.12 Sedangkan secara sempit izin adalah pengikatan-pengikatan pada

suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat

undang-undang untuk dapat mencapai suatu tatanan tertentu atau

menghalangi keadaan-keadaan yang buruk.13 Hal ini selaras dari fungsi izin

itu sendiri. Dimana menurut Adrian Sutedi, dalam bukunya dikatakan bahwa

izin memiliki tiga fungsi utama yakni sebagai instrumen rekayasa

pembangunan, fungsi keuangan (budgetering), dan fungsi pengaturan

(reguleren).

10 Ibid
11 Dr. Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, 2014,
hlm 198
12 Ridwan HR, Ibid
13 Ridwan HR Ibid
13

Izin sendiri merupakan salah satu jenis Ketetapan Tata Usaha Negara

(KTUN) atau beschikking. Izin termasuk sebagai ketetapan yang bersifat

konstitutif, yakni ketetapan yang menimbulkan hak baru yang sebelumnya

tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam ketetapan itu,

atau “beschikkingen welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd was”

(ketetapan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak

dibolehkan).14 Dengan demikian izin merupakan instrumen yuridis dalam

bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh

pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Adapun di

dalam suirat izin berisi:15

1) Organ yang Berwenang

2) Yang Dialamatkan

3) Diktum

4) Ketentuan-Ketentuan, Pembatasan-Pembatasan, dan Syarat-Syarat

5) Pemberian Alasan

6) Pemberitahuan-Pemberitahuan Tambahan.

Oleh karena bentuknya yang berupa KTUN yang bersifat individual, kongkret

dan final maka izin yang dikeluarkan pejabat administratif termasuk objek

sengketa PTUN.

14 Makalah dari Agus Ngadino, S.H., M.H., Perizinan dalam Rangka Negara Hukum
Demokratis, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya diunduh dari
http://eprints.unsri.ac.id/4012/1/Perizinan_Dalam_Kerangka_Negara_Hukum_Demokratis.pdf
15
Ridwan HR, Op.cit (Note 13), hlm 219-222
14

Adapun dari segi unsurnya menurut Ridwan HR dalam Adrian Sutedi,

izin memiliki beberapa unsur:16

1) Wewenang;

2) Izin sebagai bentuk Ketetapan;

3) Lembaga Pemerintah;

4) Peristiwa Konkret;

5) Proses dan Prosedur;

6) Persyaratan;

7) Waktu Penyelesaian Izin;

8) Biaya Perizinan;

9) Pengawasan Penyelenggaraan Izin;

10) Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa;

11) Sanksi; dan

12) Hak dan Kewajiban.

Terkait unsur dasar kewenangan dan siapa lembaga pemerintahah

yang menerbitkan izin oleh pejabat administrasi dalam hal ini eksekutif, tidak

ada undang-undang yang secara komprehensif atau spesifik mengatur

mengenai izin secara keseluruhan. Masing-masing izin bersifat sektoral atau

diatur berdasarkan peraturan yang terkait masing-masing bidang yang diatur.

Seperti izin mendirikan perseroan diatur sendiri dalam undang-undang

perseroan terbatas, izin usaha pertambangan diatur dalam undang-undang

16
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, hlm
179-192
15

mineral dan batu bara dan sebagainya. Adapun terkait pemanfaatan wilayah

atau ruang khususnya di wilayah administratif provinsi atau kabupaten/kota

saat ini kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi

dan kabupaten/kota secara garis besar diatur secara khusus pada Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda).

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia yang berbentuk negara

kesatuan telah memilih asas desentralisasi sebagai asas utama dalam

menjalankan moda pemerintahan. Artinya dalam beberapa hal tertentu

pemerintah daerah memiliki hak otonom untuk wilayahnya termasuk dalam

hal izin pemanfaatan ruang pemerintah daerah diberikan wewenang yang

lebih untuk mengatur daerahnya sendiri. Pemerintah daerah sendiri

setidaknya terbagi dalam dua jenis pemerintahan, yakni pemerintahan

daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten atau kota, meskipun

kini tidak dapat dipungkiri terdapat entitas pemerintahan yang baru diakui di

dalam perundang-undangan yakni pemerintahan desa. Namun berdasarkan

Undang-Undang Pemda mengenai kewenangan terhadap izin terkait

pemanfaatan ruang tidak terdapat pada tangan pemerintah desa.

Pemerintah provinsi dikepalai oleh seorang gubernur dan pemerintah

kabupaten/kota dikepalai oleh bupati/walikota. Secara sederhana pola

hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota

ialah vertikal. Meskipun tidak dapat dikatakan sepenuhnya vertikal karena

meskipun pada konsepnya pemerintah daerah memang merupakan

subordinat dari pemerintahan provinsi yang merupakan wakil pemerintah


16

pusat di daerah akan tetapi kepala daerah kabupaten/kota memiliki mandat

dan legitimasi langsung dari rakyat di daerah. Namun, demikian Pemerintah

Provinsi dapat dikatakan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding

Pemerintah Kabupaten/Kota, namun terkait kewenangan dapat dikatakan

bahwa pemerintah kapupaten/kota memiliki kewenangan yang hampir setara

dan lebih spesifik. Mengenai hal tersebut dapat dipahami merupakan

pengejawantahan dari semangat asas desentralisasi dan juga tugas

pembantuan yang diamanatkan pada UU Pemda.

Lebih jauh mengenai hubungan yang bersifat vertikal antara pemerintah

daerah provinsi dapat dilihat melalui Pasal 373 UU Pemda mengenai

pembinaan dan pengawasan pemerintah daerah. Dalam pasal 373 ayat (1)

disebutkan ”Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan

terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi.”Kemudian pada

ayat (2) dijelaskan “Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan

pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah kabupaten/kota.” Hal ini dapat dikatakan bahwa Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 memiliki desain bahwa sejatinya hubungan

pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah

kota/kabupaten bersifat satu garis lurus berbentuk vertikal dan saling

berhubungan. Bentuk yang demikian dipandang penting agar otonomi daerah

tetap berjalan sesuai dengan arah kebijakan nasional yang disusun oleh

pemerintah pusat. Adapun kedudukan pemerintah daerah kabupaten/kota

berada pada bagian terbawah dari hirarki. Kedudukan hirarkis ini semakin
17

diperkuat dengan fungsi pemerintah daerah provinsi yang dapat

membatalkan keputusan pemerintah daerah kota/kabupaten serta

pemerintah pusat dapat membatalkan pemerintah provinsi apabila dinilai

bertentangan.17

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa pada praktik

pemerintahan daerah saat ini mengedepankan asas desentralisasi yang

berarti pemerintah daerah memliki kewenangan untuk mengatur daerah

sendiri atau yang dikenal dengan otonomi daerah. Daerah memiliki

kewenangan terhadap urusan konkuren juga urusan absolut pemerintah

pusat yang didelegasikan ke pemerintah daerah melalui prinsip pembantuan.

Adapun beberapa kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah baik

pemerintah provinsi atau kabupaten/kota yang bersifat strategis adalah

mengenai pengelolaan pembangunan di daerah masing-masing. Wewenang

yang dimaksud yang bersifat vital antara lain adalah mengenai penataan

ruang, lingkungan hidup dan kawasan strategis daerah serta yang bersifat

fundamental dalam suatu proses pembangunan yakni menerbitkan izin

pemanfaatan ruang. Izin pemanfaatan ruang merupakan pangkal atas segala

sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan. Adapun menurut Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Pemanfaatan Ruang, izin

pemanfaatan adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan

ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Dalam

17Lihat Pasal 251 dan 252 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintah Daerah
18

lampiran mengenai pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan

daerah perihal kewenangan-kewenangan tersebut dapat dilihat pada:

1) Huruf C mengenai Bidang Pekerjaan Umum dan dan Penataan Ruang

angka 8 mengenai sub urusan penataan bagunan dan lingkungan,

sebagai berikut:

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota

8. Penataan a. Penetapan Penyelenggaraan Penyelenggaraan

Bangunan dan pengembangan penataan penataan bangunan

Lingkungannya sistem penataan bangunan dan dan lingkungannya

bangunan dan lingkungannya di di daerah

lingkungannya kawasan kabupaten/kota

secara strategis daerah

nasional. provinsi dan

b. Penyelenggaraan penataan

penataan bangunan dan

bangunan dan lingkungannya

lingkungannya di lintas daerah

kawasan strategis kabupaten/kota

nasional
19

2) Huruf J mengenai Bidang Pertanahan angka 1 mengenai sub urusan

Izin Lokasi, sebagai berikut:

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota

1 Izin Lokasi Pemberian izin Pemberian izin Pemberian izin lokasi

lokasi lintas lokasi lintas dalam 1 (satu)

Daerah provinsi Daerah daerah

kabupaten/kota kabupaten/kota

dalam 1 (satu)

Daerah

provinsi

3) Huruf K mengenai Bidang Lingkungan Hidup angka 3 mengenai

Pengendalian Pencemaran dan/atau kerusakan lingkngan lingkungan

hidup

No Sub Urusan Pemerintah Pusat Daerah Provinsi Daerah

Kabupaten/Kota

3 Pengendalian Pencegahan, Pencegahan, Pencegahan,

Pencemaran penangguhan dan penanggulangan penanggulangan dan

dan/atau pemulihan dan/atau pemulihan

Kerusakan pencemaran kerusakan pencemaran


20

Lingkungan dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan/atau kerusakan

Hidup lingkungan hidup lintas Daerah lingkungan hidup

lintas Daerah kabupaten/kota dalam daerah

provinsi dan/atau dalam 1 (satu) kabupaten kota.

lintas batas negara. Daerah

provinsi.

Dari tabel pembagian tugas tersebut dapat dilihat bahwa Daerah

Provinsi dan Daerah Kabupaten/kota memiliki otonomi pada daerahnya

masing-masing. Batas kewenangan diantara keduanya adalah bahwa

pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan selama itu masih ada di

daerah mereka. Sedangkan kewenangan pemerintah provinsi masuk sesuai

perannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dengan fungsi

pengawasan dan pembina kota/kabupaten ketika terdapat persinggungan

antara masing-masing kabupaten/kota di masing-masing wilayah.

Pengawasan dan pembinaan yang oleh pemerintah provinsi terhadap

pemerintah kabupaten/kota dapat dilakukan dengan berbagai tindakan. Oleh

karena setiap tindakan hukum itu harus didasarkan pada peraturan

perundang – undangan yang berlaku,18 maka instrumen yuridis yang

digunakan adalah berupa ketetapan tata usaha negara (KTUN), yaitu

berbentuk lisensi, konsesi, atau izin. Adapun pada praktik tata usaha negara

saat ini dikenal terdapat instrumen selain ketiganya yakni surat rekomendasi.

18 Ridwan HR, Op.cit (Note 14), hlm.111.


21

Instrumen Surat Rekomendasi sendiri dalam tata usaha negara dikenal

sebagai salah satu syarat untuk membuat keputusan. Seperti dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Bahwa

sebelum Gubernur menetapkan Upah Minimum Provinsi harus

memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi (DPP)

sebelum menerbitkan Upah Minimum Provinsi. Begitu pun untuk menerbitkan

keputusan mengenai Upah Minimum Kota/Kabupaten, Gubernur harus

memperhatikan rekomendasi Bupati/Walikota sebelum pada tahap akhirnya

membuat suatu keputusan tata usaha negara. Dari bentuk nomenklaturnya

rekomendasi adalah sebatas saran. Seperti dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) rekomendasi berarti: hal minta perhatian bahwa orang yang

disebut dapat dipercaya dengan baik (biasa dinyatakan dengan surat) atau

penyungguhan saran yang menganjurkan (membenarkan, menguatkan) 19.

Dikarenakan sifatnya yang menguatkan ini pada umumnya rekomendasi

datang dari jabatan yang lebih rendah kepada jabatan yang lebih tinggi

(hirarkis) yang memiliki kewenangan menyetujui. Sehingga sejatinya

rekomendasi tidak bersifat final dan mengikat.

Namun demikian pada praktik penerbitan perizinan pemanfaatan

ruang di wilayah Kawasan Bandung Utara terdapat anomali dimana justru

rekomendasi datang dari atas yakni Gubernur Jawa Barat kepada kepala

daerah kabupaten/kota serta sifatnya yang mengikat untuk ditindaklanjuti

oleh bupati/walikota terkait. Hal inilah yang akan dikaji lebih jauh dalam

19
Lihat: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/rekomendasi
22

penelitian ilmiah ini dan menjadi objek penelitian dalam skripsi berjudul

“Kedudukan Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat Terkait Izin

Pemanfaatan Ruang Dalam Pembangunan Kawasasan Bandung Utara

(KBU)”.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan usulan

penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif (Yuridis Normatif),

yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau disebut juga penelitian kepustakaan, penelitian ini bertujuan

untuk memahami adanya hubungan antara hukum positif serta norma-

norma yang berlaku dalam masyarakat.20 Untuk itu, penulisan usulan

penelitian ini didasari oleh peraturan Perundang-undangangan yang

berlaku. Selain itu, penelitian ini terkategori sebagai penelitian hukum

normatif karena penelitian ini secara akademik melakukan kajian

terhadap masalah hukum dan penerapan hukum mengenai

20 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat)., Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 13.
23

Keududukan Surat Rekomendasi Gubernur dalam suatu proses

perizinan.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis, dengan

menggambarkan fakta-fakta, situasi dan kondisi objek penelitian yang

diteliti dalam hal ini mengenai kedudukan surat rekomendasi gubernur

dalam praktik pemberian izin pemanfaatan ruang.21 Penelitian bersifat

deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu

individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk

menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi

adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain

dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin adanya hipotesis-hipotesis,

mungkin belum. Tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan

tentang masalah yang bersangkutan.22

3. Tahap Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini, diperoleh melalui

cara-cara sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

21Ibid., hlm. 62
22 Soejono Soekanto dan Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan
Penerapan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1999, hlm. 22.
24

Penelitian kepustakaan adalah suatu upaya pengumpulan data

sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder

dan tersier. Data sekunder terdiri dari:23

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya

mengikat di Indonesia yang berupa peraturan Perundang-

undangangan, antara lain:

a. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

b. Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang

Administrasi Pemerintahan

c. Undang - Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah.

e. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan

Ruang.

f. .Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang

Penyelenggaraan Pemanfaatan Ruang.

g. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun

2016 Tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung

Utara Sebagai Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat.

23 Ibid, hlm. 14
25

h. Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa

Barat Tahun 2009-2029.

i. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 21 Tahun 2009

Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi

Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian

Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.

j. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 58 Tahun 2011

Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa Barat

Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun

2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Kawasan Bandung Utara.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu merupakan bahan-bahan

yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan

dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum

primer24, yang berbentuk buku bacaan/literatur yang

berkaitan/membahas tentang hukum administrasi negara

secara umum, kedudukan pejabat pemerintahan daerah,

ketetapan tata usaha negara (KTUN), perizinan serta

pendapat para ahli hukum dan berbagai bahan yang di dapat

24 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan


Ketiga, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, hlm. 12.
26

dari karya ilmiah, hasil penelitian, jurnal, media massa, dan

internet akan mendukung pembahasan yang berkaitan

dengan masalah yang ada dalam usulan penelitian ini.

3) Bahan Hukum Tersier merupakan bahan-bahan yang

memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder25, yang berupa Kamus Hukum dan

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

b. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan ini dilakukan untuk memperoleh data

primer. Data primer ini digunakan sebagai dari penunjang data

sekunder yang telah diperoleh oleh peneliti. Penelitian lapangan ini

dilakukan terhadap pejabat pemerintahan dalam aspek perizinan

pemanfaatan ruang khususnya pada Kawasan Bandung Utara

untuk mengisi kekurangan data sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data lapangan digunakan teknik studi dokumen

dan teknik wawancara.

a. Teknik Studi Dokumen melalui kepustakaan, yaitu dengan cara

mengumpulkan data-data yang relevan dengan permasalahan

penelitian, melalui penelusuran literatur-literatur terkait dan

melakukan pencatatan bahan-bahan hukum.

25 Ibid., hlm. 12.


27

b. Teknik Wawancara, yaitu teknik dengan mewawancari informan

dengan memberikan beberapa pertanyaaan secara sistematis dan

telah disiapkan sebelumnya yang berupa pedoman wawancara

yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis normatif

kualitatif. Dalam penelitian hukum normatif, penelitian terhadap asas-

asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang

merupakan patokan-patokan untuk bertingkah laku atau melakukan

perbuatan yang pantas.26 Analisis secara kualitatif (analisis normatif-

kualitatif) karena datanya bersifat kualitatif.27 Jadi, analisis normatif

kualitatif, yaitu metode penelitian yang bertitik tolak dari norma-norma,

asas-asas dan peraturan Perundang-undangangan yang ada

dijadikan sebagai norma hukum positif yang kemudian dianalisis

secara kualitatif.

6. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Mochtar

Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

26 Ibid., hlm. 15.


27 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004, hlm. 92.
28

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan usulan penelitian ini, Peneliti akan membahas

mengenai Kedukan Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat sebagai

syarat penerbitan izin pemanfaatan ruang Kawasan Bandung Utara.

Untuk itu, agar Peneliti dapat membahas hal tersebut lebih rinci dan

mendalam maka usulan penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa bab

dengan sistematika sebagai berikut.

BAB I Pendahuluan

Bab ini memuat hal-hal yang melatarbelakangi pemilihan topik

dari penulisan usulan penelitian dan sekaligus menjadi

pengantar umum di dalam memahami penulisan secara

keseluruhan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka

pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi

ini.

BAB II Tinjauan Tentang Instrumen Perizinan dan Kewenangan

Pemerintah Daerah Dalam Penerbitan Izin Pemanfaatan

Ruang

Bab ini memaparkan tinjauan pustaka yang akan membahas

hal-hal yang berkaitan dengan instrumen perizinan serta


29

kewenangan pemerintah daerah dalam sudut pandang Hukum

Administrasi Negara.

BAB III Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat Sebagai

Persyaratan Penerbitan Izin Pemanfaatan Ruang di Wilayah

Kawasan Bandung Utara.

Bab ini memaparkan objek dari penelitian ini, yaitu Surat

Rekomendasi Gubernur Jawa Barat sebagai persyaratan awal

untuk diterbitkannya izin pemanfaatan ruang oleh bupati atau

walikota yang wilayahnya termasuk kedalam bagian Kawasan

Bandung Utara . Pada bab ini juga akan dijelaskan mengenai

beberapa kasus pelanggaran prosedural terkait izin

pemanfaatan ruang di wilayah KBU yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan terkait.

BAB IV Analisis Kedudukan Surat Rekomendasi Gubernur Jawa

Barat Terkait Izin Pemanfaatan Ruang Dalam Pembangunan

Kawasasan Bandung Utara (KBU)

Bab ini berisi uraian hasil analisis dari penelitian terhadap

sumber wewenang yang dimiliki oleh Gubernur Jawa Barat

dalam mengeluarkan surat rekomendasi sebagai persyaratan

penerbitan izin pemanfaatan ruang di wilayah Kawasan


30

Bandung Utara berdasarkan hukum administrasi negara serta

ditinjau dari peraturan perundang – undangan terkait dan

kedudukan hukum surat rekomendasi dalam praktik tata usaha

negara jika ditinjau dari peraturan perundang – undangan

terkait.

BAB V Penutup

Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai