Anda di halaman 1dari 2

HAN - Meikarta

Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945, Indonesia merupakan Negara


Hukum. Maka segala sesuatu dijalankan berdasarkan Peraturan atau hukum yang berlaku.
Dalam menjalankan fungsinya hukum memerlukan berbagai perangkat dengan tujuan agar
hukum memiliki kinerja yang baik.
Dalam perizinan, izin merupakan perbuatan hukum Administrasi Negara yang
diterapkan dalam peraturan berdasarkan prosedur dan persyaratan sebagaimana ketentuan
perundang-undangan. Hal ini merupakan persoalan dalam kehidupam sehari-hari, dari
masyarakat hingga pejabat berurusan dengan perizinan, karena perizinan berkaitan erat
dengan kepentingan masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya agar mendapat persetujuan
dan legalitas dari pejabat Negara sebagai alat administrasi didalam pemerintahan suatu
Negara.
Maka, dalam hal ini kedudukan izin atau perizinan sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Adanya hubungan timbal balik antara penguasa, satu sisimasyarakat
mempenaruhi penguasa dalam menjalankan tugasnya dan satu sisipenguasa memberi
pengaruh tertentu pada masyarakat.
Pada saat ini, Lippo Group sedang menggarap megaproyek Meikarta. Selain gencar
memasarkan proyek kota baru di Cikarang, Jawa Barat itu kepada masyarakat, pembangunan
fisik proyek tersebut juga tengah berjalan. Padahal, proyek senilai Rp 278 triliun itu masih
terbelit masalah perizinan.
Di balik gegap gempita penawaran dan iklan Meikarta, masih terdapat berbagai
persoalan yang mengganjal proyek tersebut. Pada tulisan ini Penulis berfokus pada telah
terlanggarnya perizinan mengenai tata ruang oleh megaproyek Meikarta.
Puluhan tahun sebelum proyek Meikarta, Lippo Cikarang mengantongi izin
pencadangan tanah untuk kegiatan industri. Izin itu beralaskan Surat Bupati Bekasi Nomor:
593/2684/Bappeda pada 10 Agustus 1994 tentang permohonan konfirmasi pencadangan
tanah. Selanjutnya lewat Surat Gubernur Jawa Barat Nomor: 593.82/SK.576-PEM.UM/94
pada 29 Maret 1994, Lippo mendapat persetujuan lokasi, penggunaan dan izin pembebasan
tanah seluas 3.250 hektare (ha).
Belakangan, Pemerintah Kabupaten Bekasi mengubah rencana tata ruang dan wilayah
(RTRW). Pemkab Bekasi terakhir kali memperbarui RTRW untuk periode 2011-2031 yang
diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 12 Tahun 2011. Dalam RTRW
terbaru itu, Pemkab Bekasi membagi menjadi empat wilayah pengembangan (WP), yakni
kawasan Bekasi bagian tengah (WP I), Bekasi bagian selatan (WP II), Bekasi bagian timur (WP
III), dan Bekasi bagian Utara (WP IV). Tak ada penyebutan kawasan Lippo Cikarang dalam
RTRW tersebut. Setelah enam tahun menyelesaikan RTRW, Pemkab Bekasi menyelesaikan
pembahasan zonasi kawasan dalam rancangan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Rancangan
RDTR ini mulai dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bekasi pada April
2017. Hanya dalam kurun satu bulan, Panitia Khusus DPRD merampungkan RDTR itu. Lewat
sidang paripurna pada 10 Mei 2017, DPRD menyetujui sebagai rancangan peraturan daerah
RDTR.
Berbeda dengan RTRW, rancangan RDTR mengatur wilayah lebih detail. Berdasarkan
dokumen rancangan RDTR yang dimiliki katadata.co.id, Lippo Cikarang sudah masuk di
wilayah pengembangan I di wilayah Cikarang Selatan. Lahan Lippo Cikarang itu berada di tiga
desa: Desa Cibatu, Desa Sukaresmi, dan Desa Serang. Dokumen RDTR Kabupaten Bekasi untuk
Wilayah Pengembangan I Cikarang Selatan, Bekasi yang memuat Kawasan Lippo Cikarang dan
bakal digunakan megaproyek Meikarta.
Dua hari setelah rapat paripurna mengesahkan rancangan RDTR, Lippo Cikarang
mendapat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) seluas 84,6 ha dari pengajuan awalnya
140 ha. Izin itu untuk pembangunan komersial area apartemen, pusat perbelanjaan, rumah
sakit, sekolah, hotel, perumahan dan perkantoran yang terletak di Desa Cibatu, Cikarang
Selatan. Dalam dokumen IPPT yang salinannya diperoleh Katadata disebutkan, Lippo Cikarang
telah menguasai lahan yang dibuktikan dalam sertifikat Hak Guna Bangunan.
Menurut Vice President Eastern Region Organization for Planning and Human
Settlement (EAROPH) Bernardus Djonoputro, IPPT seharusnya tak dikeluarkan sebelum RDTR
selesai dibahas dan disetujui oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hal ini mengacu kepada
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan
Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat.
Pasal 10 huruf f UU Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan
Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat, menyatakan perizinan pembangunan pada bidang-bidang
yang bersifat strategis berskala metropolitan, lintas daerah serta lintas pemerintahan
dan/atau berimplikasi skala metroplitan menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota
setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur. Jadi, IIPT seharusnya menunggu selesainya
rekomendasi dari Pemprov Jawa Barat.
Pejabat pemerintah pun seharusnya mematuhi aturan tata ruang yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 37 ayat 7 pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
menyatakan, setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan
ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pejabat
pemerintah yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang, terancam,pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp 500 juta. Selain sanksi pidana,
pelaku dapat diberhentikan secara tidak hormat.

Anda mungkin juga menyukai