Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Spintronik merupakan bidang baru dalam teknologi modern dewasa ini.

Istilah spintronik (spintronics) berasal dari kata spin-based electronics, yakni

elektronika yang memanfaatkan sifat spin elektron dan sifat muatannya. Devais

spintronik bekerja dengan cara memanfaatkan spin elektron untuk mengendalikan

pergerakan pembawa muatan. Banyak penelitian mengenai semikonduktor yang

difokuskan untuk membuat devais spintronik, yakni suatu devais yang mampu

mengkombinasikan media penyimpanan magnetik dengan pengendali spin

sehingga lebih efisien untuk aplikasi spin-RAM dan spin-injection (Chen et al.,

2010). Untuk mencapai hal tersebut, semikonduktor diharapkan menunjukkan

sifat feromagnetik (FM) yang stabil pada temperatur ruang. Devais spintronik

memiliki banyak keunggulan, diantaranya adalah laju pemrosesan data yang lebih

tinggi, ukuran devais yang lebih kecil dan padat isi (compact), dan konsumsi

energi yang lebih kecil. Keunggulan-keunggulan devais spintronik tersebut

tersebut telah mendorong banyak peneliti (Awschalom et al.,2002 & Pearton et

al.,2003).

Bahan baru yang sangat menjanjikan untuk merealisasikan devais spintronik

adalah Dilute Magnetic Semiconductor (DMS) atau semikonduktor ferromagnetik

(Ohno,1998). DMS merupakan bahan semikonduktor yang memiliki sifat

ferromagnetik. Kebanyakan semikonduktor merupakan bahan yang non-magnetik

(Zunger et al.,2010). DMS memiliki temperatur curie yang rendah, yang

membatasi kegunaannya pada aplikasinya (Jeong et al.,2004). Senyawa


semikonduktor dari golongan III-V dan golongan II-VI memiliki banyak sifat-sifat

yang diinginkan untuk aplikasi optoelektronik, photovoltaics, spintronik dll.

Diantara senyawa semikonduktor ini, GaN dan ZnO telah mendapat perhatian dari

banyak peneliti karena memiliki band gap yang hampir sama (3,5 eV). Baru-baru

ini ZnO cukup banyak menarik perhatian dari pada GaN dan merupakan bahan

yang menjanjikan untuk ultraviolet (UV), LED dan laser dioda, karena memiliki

band gap (3.37 eV). ZnO telah diprediksi dapat mempertahankan sifat

feromagnetik pada suhu kamar dengan cara mendoping material semikonduktor

nonmagnetik dengan sejumlah kecil ion magnetik transision metal (TM).doping

dari berbagai logam transisi (minsalnya Cr, Co, Ni, dan Fe) pada ZnO yang

banyak digunakan DMS sebagai elemen magnet. ZnO:TM Sangat menarik tidak

hanya dari sisi ferromagnetik suhu kamar, tetapi juga sifat transportasinya (

Morkoc & Zgu¨r, 2007.Zinc Oxide book). Karena energy gap yang tinggi,

semikonduktor ZnO sangat efesien dalam mengabsorbsi sinar ultraviolet dan

mengemisi cahaya biru (Lojkowski et al., 2002). Karena karakteristik tersebut

semikonduktor ZnO memiliki potensi ada banyak aplikasi (Pivin et al., 2008).

Beberapa metode telah digunakan untuk pabrikasi ZnO doping logam transisi

Fe dan Cr seperti; sol gel (Zhang et al., 2013; Chand et al., 2014), kopresipitasi

(Sharma et al., 2009), solid state reaction (Meyer et al., 2015; Elilarassi et al.,

2012), sputtering (Chang et al., 2010) dan hydrotermal (Chand et al., 2015).

Elilarassi & Chandra Sekaran (2012), telah melakukan penelitian dengan

menggunakan metode ball milling dengan waktu milling yang berbeda dengan

komposisi 1% atom yang menghasilkan struktur hexagonal wurzite, band gap

optik menurun dengan meningkatnya waktu milling dan memiliki sifat


ferromagnetik pada suhu kamar untuk Fe doping ZnO.Selain itu, Fe dan Co

doping ZnO dengan variasi waktu milling 1, 4 dan 16 jam, dan variasi komposisi

5,10 dan 30% atom, dimana Fe dan Co dapat mengganti Zn dalam struktur ZnO,

yang menunjukkan terdapat dua sifat magnetik yang hadir, yaitu ferromagnetik

dan paramagnetik pada suhu tinggi dengan metode Mechanical Milling (Meyer &

Damonte, 2015). Telah berhasil dilakukan Fe doping ZnO dengan metode ball

milling dengan komposisi Fe yang berbeda (x = 1, 2, 3, 5 dan 10% atom), suhu

sinter 9000C selama 16 jam, hasil sampel yang berbentuk bulk dimana dengan

meningkatnya persen doping maka kualitas kristal memburuk dan hadirnya fasa

sekunder, menunjukkan sifat ferromagnetik dengan kontribusi paramagnetik

sedikit dengan bertambahnya komposisi dopan Fe (Karamat et al.,2014).

Hasil penelitian ZnO doping Fe yang dilakukan oleh Xiojuan Wu (2014)

dengan menggunakan metode hydrotermal dengan kosentrasi 1, 5, 10 dan 20%

atom, dari hasil menununjukkan tidak terdapat fasa sekunder untuk ZnO doping

Fe dan memiliki struktur hexagonal wurtzite, dimana ion Fe telah tersubstitusi ke

dalam kisi Zn. Sifat magnet menunjukkan bahwa sample menunjukkan sifat

paramagnetik pada suhu kamar sementara ZnO doping dengan kosentrasi tinggi (x

= 10 dan 20% atom) sample menunjukkan sifat feromagnetik. (Chang et al.,2010)

juga melaporkan sintesis ZnO doping Cr dengan menggunakan magnetron

sputtering dengan kosentrasi 2, 3, 5, 6, 7% atom, dimana Cr doping ZnO films

memiliki kualitas kristal yang baik dengan kosentrasi doping Cr adalah 2% atom.

Cr, Fe doping ZnO dengan menggunakan metode hydrothermal dengan kosentrasi

3% atom dan disintering pada suhu 4000C menghasilkan struktur hexagonal

wurtzite. ukuran kristal rata-rata berkisar antara 13-25 nm, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa suhu sintering memainkan peran penting dalam

menyesuaikan celah pita optik dari struktur Zn0.94Cr0.03Fe0.03O (Chand et al.,

2015).

Richa Bhargava (2010) melaporkan ZnO yang didoping dengan Cr dengan

menggunakan metode sol-gel dengan kosentrasi 5, 10, 15, dan 20% atom, ZnO

doping Cr memiliki struktur hexagonal wurtzite, namun untuk semua kosentrasi

menunjukkan munculnya fasa sekunder, dengan bertambahnya doping Cr. Antara

semua dopan TM, kromium (Cr) dan besi (Fe), memiliki stabilitas kimia yang

unik (Chand et al.,2014). Batas kelarutan Cr doping ZnO berdasarkan hasil

penyelidikan berada pada 3% secara teoritis lebih stabil (Palvunder et al.,2014).

Pada penelitian ini metode yang akan digunakan yaitu metode sol-gel

menggunakan spin-coater untuk menghasilkan film yang berukuran nanometer,

selain murah dan penggunaannya yang mudah, preparasinya sederhana dan

hasilnya bisa diaplikasikan pada metode yang lain (Owens, 2009). Pada studi ini

dilakukan pabrikasi ZnO:(Cr,Fe) dengan menggunakan sol-gel.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. Dilute Magnetic Semiconductor (DMS) dan Perkembanganya

Kemampuan untuk menghasilkan fasa tunggal yang berkualitas sebagai bahan

Delute Magnetic Semiconductor (DMS) adalah faktor utama untuk mempelajari

DMS untuk aplikasi spintronic. Penelitian tentang semikonduktor magnetik

dengan susunan atom-atom secara priodik, seperti semiconducting spinels,

dimulai tahun 1960. Beberapa kemajuan telah dicapai, struktur kristal

semikonduktor tersebut berbeda dengan semikonduktor biasa. (Ohno, 1998). Pada

penelitian selanjutnya difokuskan pada semikonduktor non-magnetik dengan

fraksi kecil dari unsur nonmagnetik diganti oleh ion magnetik, umumnya logam

transisi. Ion magnetik, berperan sebagai pengotor, memberikan momen magnetik

spin dari elektron yang dimilikinya. Campuran (alloy) antara semikonduktor non

magnetik sebagai induk dan ion magnetik ini dikenal dengan istilah Dilute

Magnetic Semiconductor (DMS). Istilah dilute digunakan dalam bahan tersebut

karena kosentrasi ion magnetiknya relatif kecil. Perbedaan atara semikonduktor

biasa, semikonduktor magnetik, dan DMS diperlihatkan pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 (A) Semikonduktor Biasa, (B) Semikonduktor Magnetik,


dan (C) Dilute Magnetic Semiconductor (Ohno, 1998)

Pada umumnya semikonduktor akan mengalami perubahan sifat jika

ditambah dengan pengotor, yaitu menjadi semikonduktor tipe-n atau tipe-p.

Penambahan ion magnetik ke dalam semikonduktor non magnetik diharapkan

dapat mengubah semikonduktor menjadi bersifat magnetik (paramagnetik,

antiferromagnetik, dan ferromagnetik). Sifat-sifat magnetik ini tidak dimiliki oleh

bahan semikonduktor biasa (Pearton et al., 2003).


2.1. Senyawa ZnO

Seng oksida merupakan senyawa anorganik dengan rumus ZnO (Zinc oxide).

Gambar 2.2 menampilkan serbuk ZnO murni yang sudah ZnO merupakan bubuk

putih yang tidak larut dalam air, dan secara luas digunakan sebagai aditif dalam

berbagai bahan.

Gambar 2.2 Serbuk ZnO Murni

Dalam ilmu material Zinc oxide (ZnO) merupakan bahan semikonduktor

paduan golongan II-VI antara logam oksida. Selain sebagai bahan semikonduktor

Zinc oxide juga merupakan bahan piezoelektrik, fotokonduktif, dan bahan

pemandu gelombang optik. Zinc oxide mempunyai energi gap minimum 3,37 eV

pada suhu ruang (Gao et al., 2004). Zinc oxide juga mempunyai struktur kristal

heksagonal dengan tipe kristal wurtize, Struktur kristal ZnO ditunjukkan pada

Gambar 2.3. ZnO telah diprediksi dapat mempertahankan sifat feromagnetik pada

suhu kamar dengan doping dari berbagai logam transisi (minsalnya Cr, Co, Ni,

dan Fe) yang banyak digunakan untuk bahan DMS sebagai elemen magnet.

Tabel 2.1 Karakterisasi ZnO

Karakterisasi Rumus
molekul ZnO Penampilan
Putih solid Bau
Tanpa bau
Titik lebur(melting point) 19750C (terurai)
Titik didih (boiling point) 23600C
Band gap 3,37 eV
2.2.1 Struktur kristal

Struktur wurtzite memiliki unit sel heksagonal dengan 2 parameter kisi a dan

c dengan rasio c/a = 8/3 = 1,633 ditampilkan pada Gambar 2.3 yang terdiri dari

dua struktur heksagonal yang saling upsepacked (hcp) sublattices masing-masing

terdiri dari 2 jenis atom kehilangan tempat terhadap satu sama lain sepanjang tiga

kali lipat c-axis dengan jumlah V= 3/8 = 0,375 (dalam struktur wurtzite yang

cocok) dalam koordinat bertingkat. Parameter kisi ZnO untuk struktur wurtzite

pada temperatur 300 K adalah a = 3,2495 Å dan c = 5,2069 Å. ZnO murni tanpa

doping adalah semikonduktor tipe-n.

Gambar 2.3 Struktur ZnO, bola abu-abu dan hitam menunjukkan Zn


dan O (Verlag & Weinheim, 2009)

Gambar 2.3 memperlihatkan struktur kristal wurtzite ZnO dimana atom O

digambarkan sebagai bola abu-abu besar dan atom Zn digambarkan sebagai bola

hitam yang lebih kecil dan garis hitam menggambarkan unit sel.
2.3. Doping logam besi (Fe)

Doping logam adalah salah satu teknik yang digunakan untuk menambahkan

sejumlah kecil atom pengotor ke dalam struktur kristal semikonduktor.

Penambahan atom pengotor ke dalam semikonduktor merupakan salah satu

metode yang digunakan untuk mengontrol sifat dari semikonduktor. Besi adalah

logam yang berasal dari biji besi (tambang) yang banyak digunakan dalam

kehidupan manusia sehari-hari. Dalam tabel priodik, besi mempunyai simbol Fe

dan nomor atom 26. Besi (Fe) merupakan logam feromagnetik karena memilki

empat elektron tidak berpasangan pada orbital d dan penghantar panas yang baik.

Gambar 2.4 Serbuk Besi (Fe)

Tabel 2.2 Karakterisasi Logam Fe (besi)

Karakterisasi
Lambang Fe
Penampilan Metalik mengkilap keabu-abuan
Nomor atom 26
Titik lebur(melting point) 15380C
Titik didih (boiling point) 28610C

2.4. Chromium (Cr)

Krom (Cr) pertama kali ditemukan pada tahun 1797 oleh Vauquelin. Logam

krom berwarna abu-abu, Chrom dilambangkan dengan Cr, yang termasuk dalam

golongan VIB periode 4. Khromium berasal dari bahasa yunani berarti warna.

Khrom mempunyai nomor atom 24 dan berat atom 51,996. Di alam logam khrom
tidak pernah ditemukan dalam bentuk persenyawaan padat atau mineral dengan

unsur-unsur lain. Logam ini tidak dapat teroksidasi oleh udara yang lembab

Tabel 2.3 Karakterisasi Logam Cr (Crom)

Karakterisasi
Lambang Cr
Penampilan Metalik mengkilap keabu-abuan
Nomor atom 24
Titik lebur(melting point) 19070C
Titik didih (boiling point) 26710C

2.5. Sifat Kemagnetan Bahan

Bahan magnetik adalah suatu bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam

komponen pembentuknya. Berdasarkan sifat kemagnetan bahan dapat

digolongkan menjadi 4 yaitu :

2.5.1. Bahan diamagnetik

Bahan diamagnetik merupakan bahan yang tidak memiliki momen dipol

magnet permanen. Jika bahan diamagnetik diberi medan magnet luar, maka

elektron-elektron dalam atom akan mengubah gerakannya sehingga menghasilkan

resultan medan magnet atomis yang arahnya berlawanan dengan medan magnet

luar tersebut, seperti terlihat pada Gambar (2.5). Contoh bahan diamagnetik yaitu

perak, bismut, emas, seng, dan tembaga

Gambar 2.5 Arah domain dan kurva bahan diamagnetik


2.5.2. Bahan paramagnetik

Bahan paramagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomik

masing-masing atomnya tidak nol, tetapi resultan medan magnet atomik total

seluruh atomnya dalam bahan nol. Hal ini disebabkan karena gerakan atomya

acak, sehingga resultan medan magnet atomik masing-masing atom saling

meniadakan. Dibawah pengaruh medan eksternal, bahan tersebut akan

mensejajarkan diri karena adanya torsi yang dihasilkan, seperti terlihat pada

Gambar (2.6). sifat paramagnet ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang

menjadi terarah oleh medan magnet luar.

(a) (b)

Gambar 2.6 Arah domain dan kurva bahan paramagnetik (a). sebelum
diberi medan magnet luar, (b). setelah diberi medan
magnet luar.

Sifat paramagnetik muncul karena adanya atom, molekul, dan cacat kisi yang

memiliki jumlah elektron yang ganjil (adanya elektron yang tidak berpasangan)

sehingga menyebabkan jumlah spin tidak sama dengan nol. Atom dan ion bebas

dengan orbital yang terisi sebagian, seperti unsur transisi, unsur tanah jarang, dan

unsur-unsur aktinida memiliki elektron tidak berpasangan. Contohnya V2+, Cr2+,

Mn2+, Fe2+, Co2+, dan Ni2+ untuk logam transisi dan Gd3+ untuk logam tanah

jarang. Kurva magnetisasi M terhadap medan magnet H dalam bahan

paramagnetik menunjukkan hubungan yang linear dengan kemiringan positif dan

suseptibilitas positif, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7 (b). Kurva
magnetisasi mengalami satruasi karena semua ion magnet akan memiliki momen

magnetik yang searah dengan medan magnet luar.

(a) Diamagnetik (b) Paramagnetik (c) Ferromagnetik

Gambar 2.7 Grafik M vs H yang menunjukkan sifat diamagnetik,


paramagnetik, dan ferromagnetik pada bahan (Morkoc &
Ozgur, 2009).

2.5.3. Bahan Ferromagnetik

Bahan ferromagnetik mempunyai resultan medan magnet atomik besar, hal

ini disebabkan oleh momen magnetik spin elektron. Pada bahan ini banyak spin

elektron yang tidak berpasangan, masing-masing spin elektron yang tidak

berpasangan ini akan menimbulkan medan magnet, sehingga medan magnet total

yang dihasilkan oleh satu atom menjadi lebih besar. Medan magnet dari masing-

masing atom dalam bahan ferromagnetik sangat kuat, sehingga interaksi diantar

atom-atom tetangganya menyebabkan sebagian besar atom akan mensejajarkan

diri membentuk kelompok-kelompok, kelompok inilah yang dikenal dengan

domain, yang diperlihatkan pada Gambar (2.8)

Gambar 2.8 Arah domain dan kurva bahan Ferromagnetik


Bahan ini mempunyai sifat remanensi, artinya bahwa setelah medan magnet

luar dihilangkan, akan tetap memiliki medan magnet, karena itu bahan ini sangat

baik sebagai sumber magnet permanen. Contoh bahan ferromagnetik : besi, baja.

Sifat kemagnetan bahan ferromagnetik akan hilang pada temperatur Curie.

Temperatur Curie untuk besi lemah adalah 7700C dan untuk baja adalah 10430C.

2.5.4. Bahan Anti Ferromagnetik

Bahan anti ferromagnetik adalah suatu bahan yang memiliki suseptibilitas

positif yang kecil pada segala temperatur, tetapi perubahan suseptibilitas karena

temperatur adalah keadaan yang sangat khusus. Susunan dwi kutubnya adalah

sejajar tetapi berlawanan arah, diperlihatkan pada Gambar (2.9)

Gambar 2.9 Arah domain dan kurva bahan anti ferromagnetik, (a)
sebelum diberi medan magnet luar, (b) setelah diberi
medan magnet luar.
2.6. Metode Sol-Gel
Metode sol-gel merupakan salah satu metode yang paling sukses dalam

mempreparasi material oksida logam berukuran nano. Sol adalah suspensi koloid

yang fasa terdispersinya berbentuk padat dan fasa pendispersinya berbentuk

cairan. Suspensi dari partikel padat atau molekul-molekul koloid dalam larutan,

dibuat dengan metal alkoksi dan dihidrolisis dengan air, menghasilkan partikel

padatan metal hidroksida dalam larutan, dan reaksinya adalah reaksi hidrolisis

(Paveena et al., 2010).

Gel (gelation) adalah jaringan partikel atau molekul, baik padatan dan cairan,

dimana polimer yang terjadi di dalam larutan digunakan sebagai tempat

pertumbuhan zat anorganik. Pertumbuhan anorganik terjadi di gel point, dimana

energi ikat lebih rendah. Reaksinya adalah reaksi kondensasi, baik alkohol atau

air, yang menghasilkan oxygen bridge (jembatan oksigen) untuk mendapatkan

metal oksida (Paveena et al., 2010).

Metode sintesis menggunakan sol-gel untuk material berbasis oksida berbeda-

beda bergantung prekursor dan bentuk produk akhir, baik itu berupa powder, film,

aerogel, atau serat. Struktur dan sifat fisik gel sangat bergantung pada beberapa

hal, diantaranya:

a) Pemilihan bahan baku material

b) Laju hidrolisis dan kondensasi

c) Modifikasi kimiawi dari sistem sol-gel.


Metode sol-gel dikenal sebagai salah satu metode sintesis nanopartikel

yang cukup sederhana dan mudah. Metode ini merupakan salah satu “wet method”

atau metode basah karena pada prosesnya melibatkan larutan sebagai medianya.

Pada metode sol-gel, sesuai dengan namanya larutan mengalami perubahan

fase menjadi sol (koloid yang mempunyai padatan tersuspensi dalam larutannya)

dan kemudian menjadi gel (koloid tetapi mempunyai fraksi solid yang lebih besar

daripada sol (Phumying et al., 2010).

2.6.1. Proses sol-gel

Prekursor atau bahan awal dalam pembuatannya adalah alkoksida logam dan

klorida logam, yang kemudian mengalami reaksi hidrolisis dan reaksi

polikondensasi untuk membentuk koloid, yaitu suatu sistem yang terdiri dari

partikel-partikel padat (ukuran partikel antara 1 nm sampai 1 μm) yang terdispersi

dalam suatu pelarut. Bahan awal atau prekursor juga dapat disimpan pada suatu

substrat untuk membentuk film (seperti melalui dip-coating atau spin-coating),

yang kemudian dimasukkan ke dalam suatu container yang sesuai dengan bentuk

yang diinginkan contohnya untuk menghasilkan suatu keramik monolitik, gelas,

fiber atau serat, membrane, aerogel, atau juga untuk mensitesis bubuk baik butiran

mikro maupun nano (Paveena et al., 2010)

Dari beberapa tahapan proses sol-gel, terdapat dua tahapan umum dalam

pembuatan metaloksida melalui proses sol-gel, yaitu hidrolisis dan polikondensasi

seperti terlihat pada Gambar 2.10 berikut ini.


Gambar 2.10 Skema Umum Proses Pembuatan Sol-gel

2.6.2. Kimia Sol Gel

Kimia sol gel adalah didasarkan pada hidrolisis dan kondensasi dari

prekursor. Umumnya pada sol gel ditujukan pada penggunaan alkoksida sebagai

prekursor. Alkoksida memberikan suatu monomer yang dalam beberapa kasus

yang terlarut dalam bermacam-macam pelarut khususnya alkohol. Alkohol

membolehkan penambahan air untuk mulai reaksi, keuntungan lain alkoksida

adalah untuk mengontrol hidrolisis dan kondensasi. Dengan alkoksida sebagai

prekursor, kimia sol gel dapat disederhanakan dengan persamaan reaksi berikut.

(1) Hidrolisis metal alkoksida

(2) Kondensasi
Polimerisasi sol-gel terjadi dalam tiga tahap:

1. Polimersasi monomer-monomer membentuk partikel


2. Penumbuhan partikel
3. Pengikatan partikel membentuk rantai, kemudian jaringan yang terbentuk
diperpanjang dalam medium cairan, mengental menjadi suatu gel, seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11 (a) Tahapan Pembuatan Sol dan (b) Tahapan Pembuatan Gel.

2.6.3. Pematangan (Ageing)


Setelah reaksi hidrolisis dan kondensasi, dilanjutkan dengan proses

pematangan gel yang terbentuk. Proses ini lebih dikenal dengan proses ageing.

Pada proses pematangan ini, terjadi reaksi pembentukan jaringan gel yang lebih

kaku, kuat, dan menyusut di dalam larutan.

2.6.4. Pengeringan
Tahapan terakhir adalah proses penguapan larutan dan cairan yang

tidak diinginkan untuk mendapatkan struktur sol gel yang memiliki luas

permukaan yang tinggi.


2.7. X-Ray Difraction (XRD)

Tujuan pengujian difraksi sinar-X (XRD) dilakukan adalah untuk

menentukan fasa yang terbentuk setelah serbuk mengalami proses sintering. Dari

data yang dihasilkan dapat diprediksi ukuran kristal serbuk. Ukuran kristalin

ditentukan berdasarkan pelebaran puncak difraksi sinar-X yang muncul. Makin

lebar puncak yang dihasilkan, maka makin kecil ukuran kristal serbuk. Hubungan

antara ukuran kristal dengan lebar puncak difraksi sinar-X dapat dihitung dengan

menggunakan formula Debye-Schrerer pada persamaan 2.1:

[2.1]

dengan D adalah ukuran (Diameter) kristal, λ adalah panjang gelombang sinar-X

yang digunakan (λ = 1,5406 Å), θ adalah sudut Bragg, β adalah FWHM (full

width at half maximum) satu puncak yang dipilih (Aryanto et al., 2016),

dan d-spacing dari perbedaan daerah kristal (h k l) dihitung menggunakan

persamaan 2.2,

[2.2]

Untuk menghitung nilai dari konstanta kisi diperoleh dari persamaan 2.3 berikut:

[2.3]

Prinsip XDR adalah pada saat suatu material dikenai sinar- X, maka intensitas

sinar yang ditransmisikan lebih rendah dari intensitas sinar datang. Hal ini

disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-

atom dalam material tersebut. Berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut ada

yang saling menghilangkan karena fasanya berbeda dan ada juga yang saling

menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar-X yang saling menguatkan itulah

yang disebut sebagai berkas difraksi.


Gambar 2.12 Difraksi Bidang Atom

Gambar 2.12 menunjukkan suatu berkas sinar-X dengan panjang gelombang

λ, jatuh pada sudut θ pada sekumpulan bidang atom berjarak d, sinar yang

dipantulkan dengan sudut θ hanya dapat terlihat jika berkas dari setiap bidang

yang berdekatan saling menguatkan. Oleh sebab itu, jarak tambahan satu berkas

dihamburkan dari setiap bidang berdekatan, dan menempuh jarak sesuai dengan

perbedaan kisi yaitu sama dengan panjang gelombang n λ.

2.8. VSM ( Vibrating Sampel Magnetometer)

Karakterisasi sifat magnet menggunakan alat Vibrating Sampel

Magnetometer (VSM) yang merupakan salah satu jenis peralatan untuk

mempelajari sifat magnet bahan. Dengan alat ini akan dapat diperoleh informasi

mengenai besaran-besaran sifat magnet sebagai akibat perubahan medan magnet

luar yang digambarkan dalam kurva histereis. Momen magnet sampel dideteksi

dengan menempatkan koil didekat sampel yang bervibrasi didalam medan magnet

yang diatur. Medan magnet dapat dihasilkan dengan menggunakan bahan

elektromagnetik, magnet super konduktor atau bitter magnet.


2.9. Sifat listrik

2.9.1 Resisitivitas dan Konduktivitas

Arus yang mengalir pada penghantar selalu mengalami hambatan dari

penghantar itu sendiri. Besarnya hambatan tergantung dari beberapa faktor, yang

antara lain ditentukan oleh jenis bahan. Karakteristik listrik dari komponen-

komponen elektronika dapat ditentukan dengan menggunakan sistem pengukur

arus dan tegangan (I-V meter), yang merupakan sebuah piranti ukur utama yang

digunakan dalam penelitian tentang semikonduktor dan divais semikonduktor.

Setiap material atau bahan memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Setiap bahan memiliki sifat yang berbeda-beda mulai dari sifat fisis, sifat

mekanis dan sifat kimiawi. Sifat fisis yaitu sifat yang dimiliki suatu bahan yang

dapat kita amati secara langsung, sedangkan untuk mengetahui sifat mekanik dan

kimiawinya itu tidak bisa dilihat secara langsung, maka haruslah dilakukan

percobaan untuk mengetahui sifat mekanik dan kimiawinya.

Untuk mengetahui seberapa cepat dan seberapa besar suhu yang dapat

berubah pada sebuah benda dapat menghantarkan panas seberapa besar suhu yang

dapat berubah pada bahan itu maka kita harus mengetahui konduktivitas listrik

dan resistivitas bahan tersebut. Konduktivitas listrik (s) adalah ukuran dari

kemampuan suatu bahan untuk menghantarkan arus listrik. Jika suatu beda

potensial listrik ditempatkan pada ujung-ujung sebuah konduktor, muatan-muatan

akan bergerak berpindah dan kemudian menghasilkan arus listrik.

Konduktivitas listrik didefinisikan sebagai rasio dari rapat arus terhadap kuat

medan listrik. Konduktivitas suatu bahan adalah kemampuan suatu bahan untuk

menghantarkan arus listrik. Sedangkan resistivitas adalah kebalikan dari

konduktivitas, yakni kemampuan suatu bahan untuk menahan arus listrik.

Resistansi (R) adalah kemampuan bahan listrik menghambat arus listrik,


Resistivitas (ρ) adalah nilai resistansi bahan listrik pada satuan panjang (l)

dan luas penampang (A). Besarnya tahanan dapat dihitung dengan rumus :

[2.4]

Dimana:

R : besarnya tahanan (hambatan) (Ω)

ρ : resistivitas (Ω cm)

l : dimensi tebal sample (cm)

A : luas penampang sampel (cm)

Konduktivitas listrik σ. Secara sisitematis yaitu:

[2.5]

Bedasarkan nilai konduktivitas, suatu material dapat dibedakan menjadi tiga

bagian yaitu konduktor, semikonduktor dan isolator (Fairchild, 2003), kisaran

konduktor, semikonduktor dan isolator ditampilkan pada Gambar 2.13.

Gambar 2.13 Kisaran konduktivitas untuk isolator, semikonduktor, dan


konduktor. (SZE & LEE, 2012)

Anda mungkin juga menyukai