Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dye Sensitized Solar Cell


Sel surya merupakan peralatan yang dapat mengubah energi cahaya
menjadi energi listrik yang telah mengalami banyak perkembangan mulai
dari generasi pertama yaitu silikon dan generasi kedua yaitu sel surya film
tipis (thin film solar cell). Sel surya silikon memiliki efisiensi yang tinggi,
namun biaya produksi yang mahal. Sel surya film tipis memiliki biaya
produksi lebih murah tetapi efisiensi lebih rendah. Generasi keempat yaitu
DSSC (Dye Sensitized Solar Cell) memiliki tujuan penciptaan sel surya
yang menghasilkan energi listrik tinggi dengan biaya yang murah dan
efisiensi yang tinggi (Richhariyaa, 2017). Dye Sensitized Solar Cell (DSSC)
merupakan terobosan pertama dalam teknologi sel surya fotoelektrokimia
yang terdiri dari fotoanoda, elektrolit, dan elektroda. Bahan DSSC yang
banyak dikembangkan adalah dye yang digunakan sebagai bahan
fotoelektrokimia yang terabsorpsi pada permukaan semikonduktor. Sel
surya memiliki 2 komponen elektroda yaitu elektroda kerja dan elektroda
counter. Elektroda kerja terbuat dari kaca TCO yang terdeposisi pada
semikonduktor yang tersensitisasi zat warna yang berfungsi sebagai transpor
pembawa muatan dan zat warna sebagai penyerap cahaya. Sedangkan
elektroda counter terbuat dari kaca TCO yang dilapisi dengan karbon.
Kedua elektroda akan dirangkai mengapit elektrolit. Pasangan elektrolit
yang biasa digunakan adalah iodine/triiodine (Gratzel, 2003).

Gambar 2. 1 Komponen penyusun DSSC (Sumber : Septina


dkk,2017)
6
DSSC terdiri dari nanopori bahan semikonduktor, molekul dye yang
terabsorpsi di permukaan bahan semikonduktor, dan katalis yang semuanya
terdeposisi di antara dua kaca konduktif yang dapat dilihat pada Gambar 2.1
(Septina dkk, 2017).
Kaca yang berfungsi sebagai elektoda dan counter-electrode, terletak
di bagian atas dan alas sel surya yang sudah dilapisi oleh TCO dan
fotoanoda. Pada TCO counter electrode dilapisi oleh katalis yang
berfungsi sebagai pemerrcepat reaksi redoks dengan elektrolit (Septina dkk,
2007). Prinsip kerja dari Dye Sensitized Solar Cell mirip dengan fungsi
klorofil pada proses fotosintesis tumbuhan, pada dasarnya merupakan reaksi
dari transfer elektron (Setiawan dkk, 2015). Ketika foton dari sinar matahari
mengenai elektroda kerja pada DSSC, energi foton akan diserap oleh larutan
dye yang melekat pada permukaan partikel ZnO sehingga elektron
mendapatkan energi untuk dapat tereksitasi dan akan diinjeksikan ke pita
konduksi ZnO yang bertindak sebagai akseptor/kolektor elektron. Molekul
dye yang ditinggalkan dalam keadaan tereksitasi, selanjutnya akan ditransfer
melewati rangkaian luar menuju elektroda counter. Elektrolit bertindak
sebagai mediator elektron sehingga dapat menghasilkan proses siklus dalam
sel. Triiodida dari elektrolit yang terbentuk akan menangkap elektron dari
rangkaian luar dengan bantuan molekul karbon sebagai fotokatalis. Elektron
yang tereksitasi masuk kembali ke dalam sel dan berinteraksi dengan
elektrolit menuju dye teroksidasi, sehingga dye kembali ke keadaaan awal.
Tegangan yang dihasilkan oleh DSSC berasal dari perbedaan tingkat energi
konduksi elektroda semikonduktor ZnO dengan potensial elektrokimia
pasangan elektrolit redoks, sedangkan arus listrik yang dihasilkan dari sel
surya dalam proses konversi bergantung pada intensitas penyinaran serta
kinerja dye yang digunakan (Kumara, 2012).

2.2 Nanomaterial
Nanomaterial adalah suatu landasan nanosains dan nanoteknologi
yang memiliki potensi untuk merevolusi cara membuat bahan dan produk
yang telah mempunyai dampak komersial yang signifikan dan diyakini

7
akan meningkat di masa mendatang yang dapat dilihat pada Gambar 2.2
(Alagarasi, 2011).

,Gambar 2. 2 Evolusi sains & teknologi dan masa depan(Sumber :


Alagarasi, 2011)

Nanomaterial didefinisikan sebagai suatu bahan yang memiliki


ukuran kurang dari 100 nm. Setelah riset nanomaterial berkembang,
akhirnya muncul kembali penamaaan suatu bahan berdasarkan skala. Pada
tahun 1980-an, desain suatu bahan hanya berfokus pada ukuran struktur
dalam skala makro dan mikro. Namun, setelah riset mengenai pembuatan
suatu bahan pada skala lebih kecil, akhirnya ditambahkan ukuran tingkat
nano (Manurung,2018). Klasifikasi nanomaterial memiliki ukuran sangat
kecil setidaknya satu dimensi 100 nm atau kurang. Nanomaterial dapat
muncul dalam bentuk tunggal, menyatu, digabung atau diaglomerasi
dengan bentuk bola, tubular, dan tidak beraturan. Nanomaterial memiliki
aplikasi di bidang teknologi nano dan menunjukkan karakteristik kimia
fisik yang berbeda dari bahan kimia normal (misal nano perak, karbon
nanotube, fullerene, fotokatalis, karbon nano, silika). Menurut Siegel,
bahan berstruktur nano diklasifikasikan sebagai nol dimensi, satu dimensi,
dua dimensi, tiga dimensi. Nanomaterial dapat dibuat dengan berbagai
dimensi modulasi seperti yang didefinisikan oleh Richard W. Siegel: nol
dimensi (kluster atom, filamen dan rakitan gugus), satu dimensi

8
(multilayers), dua dimensi (lapisan besar ultrafine atau lapisan terkubur),
dan tiga dimensi (bahan nanofase yang terdiri dari butiran berukuran
nanometer yang sama) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3
(Alagarasi, 2011)

Gambar 2. 3 Klasifikasi Nanomaterial (a) 0D bola dan kluster (b) 1D serat nano,
kabel dan batang (c) 2D film, pelat dan jaringan (d) 3D nanomaterial ( Alagarasi,
2011)

.
2.3 Seng Klorida (ZnCl2)
Seng Klorida adalah nama senyawa kimia dengan rumus ZnCl2 dan
hidratnya. Bentuk kristal dari seng klorida diketahui, tidak berwarna atau
putih, dan sangat larut dalam air. Seng klorida bersifat higroskopis dan
bahkan deliquescent. Sampel dari senyawa ini harus dilindungi dari sumber
kelembapan karena uap air yang hadir di udara lingkungan. Aplikasi seng
klorida sangat luas seperti pengolahan tekstil, fluks metalurgi, dan sintesis
kimia (Wicaksono, 2013). Kelebihan dari ZnCl2 sebagai agen pengaktivasi
adalah waktu dan suhu karbonisasi yang relatif rendah serta ukuran pori dari
karbon aktif mayoritas mikropori (Tanumiharja, 2015).

2.4 Nanopartikel Zink Oksida


Seng oksida atau Zink Oksida merupakan senyawa organik dengan
rumus ZnO, berbentuk bubuk putih, pahit dan tidak bau. ZnO sulit atau
hampir tidak larut dalam air atau alkohol, tetapi larut dalam garam-garam
ammonium, asam atau basa dan tidak beracun (Adi dkk, 2007). ZnO
merupakan salah satu kandidat yang telah banyak dikembangkan dan telah
menarik perhatian karena memiliki celah pita langsung dari kelompok
semikonduktor II-IV (Ozgur, 2005). Zink oksida memiliki celah pita energi
3,37 eV, kemampuan oksidasi yang kuat, stabilitas kimia yang baik,

9
piezoelektrik, dan emisi ultraviolet yang kuat dengan energi ikat eksiton 60
meV lebih besar dari energi termal pada temperatur ruang (Goswami, 2018).
Material ZnO ini kebanyakan digunakan pada aplikasi elektronik seperti
LED, sensor, dan juga sel surya ( Shen L, 2006). ZnO memiliki sifat
penghilang bau dan anti bakteri pada ukuran partikel yang halus, dengan
memperkecil ukuran ZnO sampai skala nanometer yang berkaitan dengan
perbaikan rekombinasi eksitonik pada ZnO sendiri dan besarnya energi
fonon yang mencapai 72 meV. Eksiton yang bebas dapat dengan mudah
terionisasi dengan proses penghamburan dari fonon. Kekuatan fonon ini
dapat memperkecil ukuran dari ZnO yang menyerap kuat fonon dengan
energi lebih besar dari celah pita (Cheng, 2008). Salah satu kegunaan pada
konversi energi yang mengubah energi cahaya matahari menjadi listrik
adalah sel surya. Cara kerja sel surya sifatnya berkaitan dengan
semikonduktor dengan energi celah pita yang besar. Diperlukan teknik yang
dapat memaksimalkan ZnO sebagai bahan semikondukor untuk sel surya.
Teknik tersebut merupakan sel surya tersensitisasi pewarna. Semikonduktor
pada sel surya diisyaratkan memiliki struktur nano yang dapat menghasilkan
perubahan energi yang efisien. ZnO memiliki sifat-sifat untuk kegunaan
sebagai semikonduktor, tidak diperlukan doping untuk mempermudah
proses pembuatan ZnO yang sesuai untuk sel surya tersensitisasi pewarna
(Lukas, 2007). Salah satu sifat pada nanopartikel ZnO yang diperhatikan
adalah perlakuan panas, yaitu annealing. Pengaturan temperatur annealing
dibutuhkan guna menghasilkan performa DSSC yang maksimal.
Peningkatan temperatur annealing mempengaruhi jumlah butir, kemampuan
absorbansi pewarna dan kerapatan arus (Syukron, 2013).
Penggunaan ZnO sebagai bahan semikonduktor pada sel surya
tersensitisasi pewarna pada awal dekade 1990-an, didapatkan sel sruya
tersensitisasi pewarna dengan efisiensi yang cukup baik yang berupa oksida
titanium. ZnO sebagai bahan semikonduktor untuk sel surya yang
mempunyai sifat menyerupai TiO2 (Barkschat, 2008).
Material ZnO ini dapat dibentuk menjadi nanorods, nanowires,
nanotube, nanodiscs, nanokristal, dan nanosheet (Primawati, 2016). Oleh

10
karena itu, material ini sering dipelajari sebagai material aktif pada
perangkat optoelectronic, transparent conduct, dan piezoelectric material
(Zhang, 2013). Struktur nano yang dimiliki ZnO satu dimensi (nanorods,
nanowires, dan nanotube) dapat memfasilitasi transport pembawa muatan
yang lebih efisien karena memiliki batas butir yang lebih rapat (Syafinaz,
2011). Struktur nanopartikel ZnO dapat disintesis dengan berbagai metode
seperti evaporasi termal, molecul beam epitaxy (MBE), deposisi
elektrokimia, spray pyrolysis, dan sol-gel. Dari beberapa metode tersebut,
metode sol-gel yang paling relatif sederhana dengan biaya yang relatif
murah diantara metode lainnya (Zhang, 2013).

2.5 Metode Sol-Gel


Metode sol-gel merupakan metode kimia berbasis larutan yang
digunakan untuk pembuatan keramik, hibrida organik-anorganik, dan lain-
lain (Peikani, 2016). Sol sendiri adalah partikel koloid atau polimer yang
terdispersi secara stabil dalam suatu pelarut, sedangkan gel merupakan
bahan semipadat, tembus cahaya, dan mengandung zat aktif. Metode sol-
gel dapat digambarkan dengan pembentukan jaringan oksida melalui reaksi
polikondensasi dari prekursor molekuler dalam cairan (Pooyan, 2005).
Metode sol-gel memiliki berbagai keunggulan yaitu kemudahan
modifikasi komposisi, kemudahan modifikasi ukuran partikel, dapat di
sintesis pada suhu pemanasan yang relatif rendah, dan penggunaan peralatan
yang relatif sederhana dan murah (Jong, 2009). Pemanasan suhu rendah
tersebut berkaitan untuk meningkatkan sifat dispersitas ZnO pada pelarut
organik, sehingga mudah digunakan di berbagai aplikasi, diantaranya adalah
pada sel surya hybrid dan fotokalis (Riza dan Aprilia, 2013). Prekursor yang
digunakan yaitu ZnCl2. ZnCl2 memiliki salah satu kelebihan yaitu waktu dan
suhu karbonasi yang relatif rendah.
Prekursor atau bahan awal dalam pembuatannya adalah alkoksida
logam dan klorida logam, yang kemudian mengalami reaksi hidrolisis dan
reaksi polikondensasi untuk membentuk koloid, yaitu suatu sistem yang
terdiri dari partikel-partikel padat (ukuran partikel antara 1 nm sampai 1
µm) yang terdispersi dalam suatu pelarut. Bahan awal atau prekursor juga

11
dapat disimpan pada suatu substrat untuk membentuk film (seperti melalui
dip-coating atau spin-coating), yang kemudian dimasukkan kedalam suatu
kontainer yang sesuai dengan bentuk yang diinginkan contohnya untuk
menghasilkan suatu keramik monolitik, gelas, fiber atau serat, membran,
aerogel, atau juga untuk mensintesis bubuk baik butiran mikro maupun
nano. Dari beberapa tahapan proses sol-gel, terdapat dua tahapan umum
dalam pembuatan metal oksida melalui proses sol-gel, yaitu hidrolisis dan
polikondensasi. Pada tahap hidrólisis terjadi penyerangan molekul air
(Widodo, 2010).
Metode sol-gel banyak dimanfaatkan khususnya pada proses sintesis
material yang dapat memperlihatkan kemurnian, homogenitas dan
modifikasi sifat material dengan mengubah parameter kisinya (Zawrah,
2009). Metode sol-gel telah menunjukkan bahwa pada proses sol-gel tidak
hanya memperlihatkan material yang homogen, tetapi dapat digunakan
untuk sintesis berbagai macam material campuran antara organik dan
anorganik (Bandyopadhyay, 2005).

2.6 Molaritas
Molaritas merupakan besaran untuk menyatakan konsentrasi atau
kepekatan dalam suatu larutan (Ardianto, 2016). Larutan terdiri dari zat
terlarut (solute) dan zat pelarut (solvent), larutan tidak hanya berbentuk
cair tetapi berbentuk gas atau padat. Secara sistematis perhitungan yang
berkaitan dengan konsentrasi larutan dibagi menjadi dua, yaitu molaritas
(M) dan molalitas (m) suatu larutan (Azizah, 2017) .
Molaritas dapat dihitung dengan Persamaan (2.1).

(2.1)

Mol zat terlarut dapat dihitung dengan Persamaan (2.2).

(2.2)

Sehingga didapatkan Persamaan (2. 3) dengan menggunakan Persamaan


(2.1) dan Persamaan (2.2).

12
(2.3)

Dari persamaan yang didapatkan M adalah molaritas, G adalah


massa zat terlarut, Mr adalah massa relatif zat terlarut dan V (mL) adalah
volume larutan (Azizah, 2017).

2.7 X-Ray Diffraction (XRD)


X-Ray Diffraction (XRD) merupakan salah satu metode
karakteristik material yang paling tua dan paling sering digunakan hingga
sekarang. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalit dalam
material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk
mendapatkan ukuran partikel. Bahan yang dianalisis dapat berupa padatan,
serbuk yang berbutir halus seperti tanah liat (Ratnasari, 2009: 3).
Ketika suatu material dikenai sinar-X, maka intensitas sinar yang
ditransmisikan lebih rendah dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan
adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-atom
dalam material tersebut. Berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut ada
yang saling menghilangkan karena fasanya berbeda dan ada juga yang
saling menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar-X yang saling
menguatkan disebut sebagai berkas difraksi (Ratnasari, 2009: 2).
Hasil dari penembakan logam dengan elektron energi tertinggi
dengan karakterisasi tersebut sinar-X mampu menembus zat padat
sehingga dapat digunakan untuk menentukan struktur kristal. Hamburan
sinar ini dihasilkan bila suatu elektron logam ditembak dengan elektron-
elektron berkecepatan tinggi dalam tabung hampa udara (Beiser, 1992:
48). Eksperimen difraksi sinar-X pertama kali dilakukan pada tahun 1921
oleh Friederich, Kniping dan Von Laue, dengan menggunakan susunan
eksperimental. Sinar-X yang dihamburkan membentuk sebuah pola
interferensi pada film fotografik berupa sebuah potret dan pola.
Eksperimen ini membuktikan bahwa sinar-X adalah gelombang atau
setidak-tidaknya bersifat menyerupai gelombang dan juga bahwa atom-
atom adalah sebuah kristal yang disusun dalam sebuah pola yang teratur.
Sejak itu, difraksi sinar-X telah terbukti sebagai sebuah alat penelitian

13
yang sangat penting untuk mengukur panjang gelombang sinar-X dan
untuk mengukur struktur kristal (Young, 2004).
Prinsip kerja XRD secara umum adalah XRD terdiri dari tiga
bagian utama, yaitu tabung sinar-X, tempat obyek sampel dan detektor
sinar-X yang berisi katoda yang memanaskan filamen, sehingga
menghasilkan elektron. Perbedaan tegangan menyebabkan percepatan
elektron akan menembaki objek. Ketika elektron mempunyai tingkat
energi yang tinggi dan menabrak elektron dalam objek akan dihasilkan
pancaran sinar-X. Objek dan detektor berputar untuk menangkap dan
merekam intensitas refleksi sinar-X. Detektor merekam dan memproses
sinyal sinar-X dan mengolahnya dalam bentuk grafik (Ratnasari, 2009: 3).

Gambar 2. 4 Prinsip kerja X-Ray Diffraction (XRD) (Beiser,


1992)
Gambar 2.4 merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk
menentukan struktur pada suatu padatan kristalin dengan menggunakan
metode difraksi sinar-X. Pada Gmbar 2.4 dapat dijelaskan bahwa pada
XRD, pola difraksi dinyatakan dengan besar sudut-sudut yang terbentuk
sebagai hasil dari difraksi berkas cahaya oleh kristal pada material. Nilai
sudut tersebut dinyatakan dalam 2θ, θ merepresentasikan sudut datang
cahaya. Sedangkan nilai 2θ merupakan besar sudut datang dengan sudut
difraksi yang terdeteksi oleh detektor. Hukum Bragg merupakan
perumusan matematik mengenai proses difraksi yang terjadi sebagai hasil
interaksi antara sinar-X yang dipantulkan oleh material. Pantulan tersebut
terjadi tanpa mengalami kehilangan energi sehingga menghasilkan
pantulan elastis atau elastic scattering. Bragg menunjukan bahwa bidang
yang berisi atom-atom di dalam kristal akan memantulkan radiasi dengan

14
cara yang sama persis dengan peristiwa pemantulan cahaya di bidang
cermin (Agus,2012).

Gambar 2. 5 pemantulan cahaya pada bidang kristal (bidang bragg)(Agus, 2012)

Jika sinar datang mengenai bidang yang tersusun secara paralel


dan berjarak d satu sama lain maka terdapat kemungkinan bahwa sinar-
sinar datang akan dipantulkan kembali oleh bidang dan saling
berinterferensi secara konstruktif sehingga menghasilkan penguatan
terhadap sinar pantul dan menyebabkan terjadinya difraksi seperti terlihat
pada Gambar 2.6(Agus, 2012).

Gambar 2. 6 Proses difraksi sebagai akibat interferensi konstruktif (Agus, 2012)

Pada panjang gelombang lintasan berkas cahaya yang


menggunakan persamaan Hukum Bragg :
2.4
dengan adalah panjang gelombang dan d adalah jarak antara bidang
kristal (Agus, 2012)

2.8 Metode difraksi


Berdasarkan hukum Bragg ( λ = 2dsinθ), terdapat dua variabel
yang dapat divariasikan untuk menghasilkan pola difraksi, yakni panjang
gelombang dan sudut difraksi. Nilai d tidak dapat divariasikan karena
merupakan rusuk yang menghubungkan antara bidang kristal dan bernilai

15
tetap bagi suatu sistem kristal tertentu, kecuali jika struktur kristal tersebut
mengalami perubahan (misalnya karena proses interstisi/penyusupan pada
material). Oleh karena itu, metode difraksi dapat dibagi menjadi dua jenis,
yakni berdasarkan perubahan panjang gelombang (metode Laue) dan
berdasarkan perubahan sudut difraksi (Metode Debye-Scherrer) (Agus,
2012).

2.8.1 Metode Laue


Pada metode Laue, sudut θ dibuat tetap sedangkan panjang
gelombang sinar-X dibuat berubah. Hal ini dapat dilakukan dengan
menetapkan arah sudut datang sinar-X tetapi memvariasikan dengan cara
mengubah-ubah plat logam yang menjadi sasaran tembak pada tabung
sinar-X. Logam yang berbeda akan menghasilkan panjang gelombang
yang berbeda ketika berinteraksi dengan sinar-X, misalnya CuKα1
memiliki panjang gelombang 0,1541 nm, NiKα1 memiliki panjang
gelombang 0,1658 nm, dan ZnKα1 memiliki panjang gelombang 0,1435
nm. Difraksi hanya akan terjadi jika terbentuk interferensi gelombang yang
konstruktif pada saat berkas cahaya dipantulkan oleh material sampel.
Sementara itu, interferensi konstruktif hanya dapat terjadi pada panjang
gelombang tertentu yang datang dengan sudut tertentu pula. Artinya, tidak
semua panjang gelombang yang datang pada sudut tertentu akan
menghasilkan interferensi konstruktif.

Gambar 2. 7 (a) Interferensi Konstruktif, (b) Interferensi


Destruktif (Agus,2012)
Gambar 2.7 menunjukkan bahwa walaupun berkas cahaya datang dari
sudut yang sama, namun jika panjang gelombangnya berbeda maka dapat
menghasilkan pola interferensi yang berbeda. Kelemahan metode ini
adalah kurang praktis karena harus mengubah-ubah plat logam pada

16
tabung sumber sinar-X. Oleh karena itu, dikembangkan metode yang lebih
baru oleh Debye-Scherrer, yakni metode serbuk.

2.8.2 Metode Debye-Scherrer


Pada metode serbuk, sudut θ yang diubah-ubah sedangkan panjang
gelombang λ dibuat tetap. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dengan
mengubah-ubah arah datangnya berkas sinar-X tanpa mengganti plat
logam sumber sinar-X agar dihasilkan λ yang tetap. Pola interferensi juga
dapat dipengaruhi oleh arah datangnya gelombang. Walaupun berkas
cahaya yang datang memiliki panjang gelombang yang sama namun jika
arah datangnya berbeda maka pola interferensinya akan berbeda. Gambar
2.8 memperlihatkan berkas cahaya yang memiliki panjang gelombang
yang sama, namun arah datangnya berbeda sehingga menimbulkan
perbedaan pola interferensi (Agus, 2012).

Gambar 2. 8 (a) Interferensi Konstruktif, (b) Interferensi Destruktif (Agus, 2012)


Berdasarkan Hukum Bragg, jika panjang gelombang dari sinar
yang membentur diketahui, kemudian kita bisa mengontrol sudut dari
benturan maka dapat ditentukan jarak antar atom/geometri dari kisi ( d-
spacing ). Dengan menghitung d-spacing yang diperoleh dari rumus Bragg
serta mengetahui nilai indeks miller (hkl) yang menyatakan posisi atom
dalam kristal, maka dapat ditentukan parameter kisi (a, b dan c) sesuai
dengan bentuk kristalnya (Agus, 2012).

2.9 Struktur Kristal


Susunan khas atom-atom dalam kristal disebut struktur kristal.
Struktur kristal dibangun oleh sel satuan (unit cell). Sel satuan adalah
bagian terkecil dari unit struktur yang dapat menjelaskan tentang struktur

17
suatu kristal. Dalam mengenai geometri kristal setiap dalam kristal
sempurna dianggap sebagai suatu titik, tepat pada kedudukan setimbang
setiap atom dalam ruang. Pola geometrik yang diperoleh dinamakan kisi
kristal, seperti Gambar 2.9.

Gambar 2. 9 Struktur kristal menunjukkan sudut hkl (Suwitra, 2011)

Sumbu-sumbu a, b dan c adalah sumbu-sumbu yang dikaitkan


dengan parameter kisi kristal. Sedangkan α, 𝛽, dan γ merupakan sudut
antar sumbu-sumbu referensi kristal. Berdasarkan sumbu-sumbu a, b, dan
c (kisi bidang) dan sudut α, 𝛽, dan γ (kisi ruang), kristal dikelompokkan
menjadi 7 sistem kristal (hubungan sudut satu dengan sudut yang lain)
seperti pada Tabel 2.1:
Tabel 2. 1 Tujuh Sistem Kristal (kittel, 1976)

Sistem Kristal Parameter Kisi Simbol


P
a  b =c
Kubik I
𝛼= 𝛽 = γ = 90o
F
ab≠c P
Monoklinik o
𝛼 = 𝛽 = 90 ≠ γ C
a≠b≠c
Triklinik P
𝛼 = 𝛽 = γ ≠ 90o
ab≠c P
Tetragonal
𝛼 = 𝛽 = γ = 90o I
P
a≠b≠c
Orthorombik C
𝛼 = 𝛽 = γ = 90o
I

18
F
a≠b≠c
Trigonal/Rhombohedral P
𝛼 = 𝛽 = γ = 90o
ab≠c
Heksagonal P
𝛼 = 𝛽 = 90o , γ = 120o
Pada struktur kristal ZnO memiliki beberapa jenis struktur
diantaranya rocksalt kubik, zincblende kubik , dan wurtzite heksagonal.
ZnO dengan struktur heksagonal wurtzite merupakan struktur yang paling
stabil dalam suhu ruang dibandingkan struktur lainnya karena strukturnya
yang unik, berupa non-sentrosimetri dengan atom Zn dikelilingi oleh
empat atom oksigen, dan sebaliknya (ichwan, 2017). Zincblende kubik
stabil jika tumbuh pada substrat dengan struktur kisi kubik, sedangkan
kubik rocksalt merupakan struktur yang jarang diamati. Dalam kondisi
ruang, fase ZnO yang stabil secara termodinamika adalah fase wurtzite.
Kristal ZnO dengan struktur zink blende dapat menjadi stabil hanya
dengan penumbuhan pada substrat-substrat struktur kubik. Kombinasi
ZnO dengan material ini mampu membentuk sambungan heterogen
metalik/semikonduktor yang dapat meningkatkan performa material
(alfarisa, 2018).

2.10 Ukuran Kristal


Untuk dapat mengetahui pengaruh ukuran butir pada suatu struktur
kristal maka dilakukan cara promissing. Cara ini memiliki berbagai jarak
tertentu yang dapat menangkap suatu efek ukuran nyata atau sebenarnya
dalam butir kristal (Smith, 2006). Pada fasa tunggal bahan terdiri atas
sejumlah kristal tunggal atau butir yang semua butirnya memiliki struktur
kristal dan komposisi kimia yang sama, perbedaannya terletak pada
orientasi yang mengakibatkan terjadinya batas kristal lebih yang disebut
dengan batas antar kristal atau batas butir. Pada batas butir terdapat
susunan atom yang sangat tidak beraturan bila dibandingkan dengan
sejumlah garis, tetapi batas butir pada kenyataannya merupakan
permukaan antar kristal. Pergerakan atom pada sepanjang batas butir lebih

19
capat dibandingkan melalui susunan kristal (French, 1983). Besar butir
tergantung pada laju pendinginan, pendinginan lambat menghasilkan butir
halus (banyak) sedangkan pendinginan cepat menghasilkan butir kasar
(sedikit) karena batas butir berpengaruh atas material (Bransden, 1991).
Ukuran kristal dihitung dengan menggunakan persaamaan Debye
Scherrer (Calvalcante dkk, 2008) :
2.6

Keterangan :
D = Ukuran Kristal (nm)
K = Konstanta (0.9)
λ = Panjang gelombang (nm)
β = FWHM (Full Width Halft Maximum, radian)

θ=

2θ = Posisi puncak difaktogram


Pada struktur nano akan memperbaiki kinerja DSSC, faktor
berikutnya adalah faktor ukuran optimum. Ukuran partikel yang terlalu
besar dan terlalu kecil dapat menyebabkan kinerja menurun drastis.
Ukuran partikel yang besar memungkinkan banyaknya bahan pewarna
yang melekat, akan tetapi jarak tempuh elektron menjadi jauh lebih
panjang. Sedangkan untuk ukuran partikel yang kecil dapat mengurangi
serapan bahan pewarna , sehinga konversi energi cahaya matahari menjadi
kurang efisien (Rahman, 2011).

2.11 Derajat Kristalinitas


Derajat kristalinitas yaitu besaran yang menyatakan banyaknya
kandungan kristal dalam suatu material dengan membandingkan luasan
kurva kristal dengan total luasan amorf dan kristal. Derajat kristalinitas
dihitung menggunakan parameter FWHM (Full Width at Half Maximum).
Fraksi luas kristal atau amorf dihitung dengan mengkalikan FWHM dengan
intensitas. FWHM dianggap setengah alas dan intensitas sebagai tingginya
(Purnama, 2006).

20
% (2.7)

2.12 Penelitian Terdahulu


Berikut adalah rangkuman hasil penelitian terdahulu yang memiliki
keterkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan

Tabel 2. 2 Penelitian terdahulu yang berkaitan

Nama dan Hasil


No Tahun
Publikasi

Metode : Fabrikasi dan Karakterisasi Nanopartikel Seng


Oksida (ZnO) dengan Metode Sol-Gel. Bahan yang
digunakan untuk membuat ZnO yaitu Zn (CH3COOH)2
dan NaOH, metanol dan aquades dengan NaOH 1.0 M dan
Zn (CH3COOH)2 0.2 M.

Hasil : Campuran (CH3COO) 2Zn.2H20 dan NaOH.H20


menggunakan titrasi. Optimasi titrasi digunakan
diketentuan waktu penetasan, suhu, dan kecepatan
pengaduk. sampai pH larutan berubah. ZnO koloid adalah
yang tercepat dan paling lama untuk diselesaikan pada pH
1. Siswanto, 2017 7 dan pH 12 dengan waktu pengendapan pH 4320 menit
dan 120 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di
antara variasi deposit seng oksida, satu dari solusi pH 12
diperoleh waktu pengendapan tercepat, kuran partikel rata-
rata ZnO dari pH 12 adalah 73.8 nm. Semakin besar pH
larutan, semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikannya solusi dari ukuran partikel yang
dihasilkan meningkat. Sebaliknya, semakin kecil pH
larutan, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mengendap dan semakin kecil ukuran partikel yang
dihasilkannya.

21
Metode : pengaruh variasi pH pada sintesis nanopartikel
ZnO dengan metode sol-gel. Bahan yang digunakan
Serbuk (CH3 COOH)2 Zn.2H2O dilarutkan dalam metanol
diaduk dengan sonikator 750 Watt selama 30 menit dan
1,0 M NaOH yang dilarutkan dalam 500 mL aquabidest.
mentitrasi NaOH diteteskan ke dalam larutan (CH3
COOH)2 Zn.2H2O sehingga mengubah nilai pH
7,8,9,10,11 dan 12.

Hasil : Setelah terbentuk larutan seperti susu putih diaduk


kembali dengan menggunakan sonikator selama 30 menit.
Endapan tersebut dipanaskan agar H2O dan prekursor
2. Nugroho, 2012 senyawa lain dapat hilang dengan menggunakan oven

pemanas pada 80 oC selama 1 jam. Selanjutnya padatan


ZnO digerus menggunakan mortar dan diperoleh serbuk
ZnO nanopartikel. Kemudian sampel larutan ZnO
dianalisis dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD)
untuk mengetahui komposisi dari sampel hasil sintesis.
Ukuran partikel ZnO dari hasil karakterisasi PSA diperoleh
yaitu pada pH 7 dan pH 12 adalah 1,3 nm dan 73,8 nm.
Hasil analisis XRD dengan program diperoleh tingkat
kemurnian dari ZnO yang dihasilkan pada pH 7, pH 8, pH
10 dan pH 12 masing-masing sebanyak 42,9%, 62,2%,
64,7%, dan 100 %.

Metode : Pengaruh pH pada sifat nanopartikel ZnO


disintesis oleh sentrifugasi sol-gel. Dimana 0.2 M
Zn(CH3COO)2·2H2O dicampurkan dengan 1.0 M NaOH.
3. Alias, 2010
ZnO disintesis dengan pH 9 dipanaskan pada suhu 80oC
selama 1 jam dan terbentuk koloid ZnO dengan fase
padatan putih.

22
Hasil : struktur kristal berbentuk heksagonal dan ukuran
partikel 48,31 nm.

Metode : Sintesis nanopartikel ZnO menggunakan


beberapa metode seperti metode hidrotermal, metode sol –
gel, metode mechanochemical, dan metode vapour phase.

Hasil : Hasil menunjukkan bhawa aktivitas antibakteri

4. Shi dkk, 2014 nanopartikel ZnO tergantung pada ukuran dan konsentrasi.
Aktivitas antibakteri nanopartikel ZnO dapat ditingkatkan
dengan doping ZnO dengan logam lain. Hasil sampai saat
ini menunjukkan bahwa nanopartikel ZnO aman hingga
tingkat tertentu, tetapi dapat menjadi racun pada
konsentrasi yang lebih tinggi.
Metode : Bahan yang digunakan untuk sintesis
nanopartikel ZnO yaitu Zinc Acetate Dyhidrate, Zinc
Nitrate, ZnCl2, dan NaOH dengan menggunakan 2 metode
: metode hidrotermal dan metode sol-gel.
Preethi dkk,
5.
2016
Hasil : Hasil menunjukkan bahwa sintesis ZnO dengan
metode hidrotermal dan sol-gel pada suhu yang berbeda.
dalam kedua metode rata-rata ukuran kristal dihitung dari
ola XRD ditemukan berada dalam kisaran 20-30 nm.

Metode : menggunakan metode sol-gel dengan bahan yang


digunakan asam hidroklorat, natrium hidroksida, seng
klorida dan air suling.
Nath dkk,
6.
2018
Hasil : hasil difraksi sinar-x menunjukkan bahwa
pembentukan struktur heksagonal dengan tingkat
kristalinitas tinggi. Hasil pemindaian elektron bahwa
morfologi pada konsentrasi NaOH tidak teratur dan

23
mengalami kenaikan ukuran partikel.

24

Anda mungkin juga menyukai