Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Material Ferroelektrik

Suatu material memiliki sifat ferroelektrik jika didalam suatu bahan

material tersebut mengalami peristiwa perubahan polarisasi listrik secara spontan

pada material tanpa adanyan gangguan medan listrik luar. Ferroelektrifitas adalah

peristiwa yang diperlihatkan oleh kristal dengan polarisasi spontan dan efek

histerisis yang berkaitan dengan perubahan dielektrik dalam merespon penerapan

medan listrik. Ferroelektrik adalah kelompok material dielektrik dengan

menggunakan medan listrik yang sesuai untuk mengubah polarisasi listrik internal

yang lebar. Polarisasi sendiri merupakan jumlah seluruh momen dipol tiap sel

satuan volume. Momen dipol dalam hal ini didefinisikan sebagai jarak yang

memisahkan antara pusat muatan positif dengan negatif (O’Brien, 2001).

Struktur kristal dikatakan feroelektrik memiliki dua atau lebih orientasi

keadaan tanpa gangguan medan listrik dan orientasi itu bergeser dari suatu

keadaan ke keadaan lainnya dalam suatu medan listrik (Lines et al, 1979),

polarisasi spontan ini berharga nol (0), disebabkan oleh orientasi dipol yang acak.

Tanpa kehadiran medan listrik, konfigurasi dari kristal ini stabil dengan orientasi

bersifat polar. Material ferroelektrik dicirikan oleh kemampuan untuk

membentuk kurva histerisis yaitu kurva yang menghubungkan antara medan

listrik dan polarisasi (How, 2007).

6
2.2 Struktur Perovskite

Struktur perovskite memiliki rumus umum ABO3, di mana A adalah logam

monovalen atau divalen dan B adalah tetra atau pentavalent. Struktur tersebut

merupakan sebuah kubus, dengan atom A di sudut-sudut kubus, atom B di

diagonal ruang kubus, dan oksigen oktahedra diatur menempati tiap diagonal

bidang kubus. Istilah perovskite mengandung dua arti, pertama perovskite adalah

mineral partikular yang disebut disebut juga Calcium Titanium Oxide dengan

rumus kimia CaTiO3. Mineral ini ditemukan di pegunungan Ural Rusial pada

tahun 1839 oleh Gustav Rose dan kemudian diberikan nama oleh mineralogist

Rusia, L.A Perovski (1792-1856). Kedua, umumnya mineral-mineral dengan

struktur kristal yang sama sebagai CaTiO3 disebut juga struktur perovskite.

Oksida perovskite memiliki kelebihan yaitu sebagian dari ion-ion oksigen

penyusun strukturnya dapat mengalami peristiwa reduksi tanpa dirinya mengalami

perubahan struktur yang berarti. Kekosongan ion oksigen ini kemudian diisi

kembali oleh ion oksigen lain dengan reaksi reoksidasi. Selain itu, perovskite juga

memiliki tingkat kestabilan struktur yang relatif tinggi maka sangat mungkin

dilakukan substitusi isomorfis dengan menggunakan kation-kation sejenis atau

yang berukuran sama (Lines et al, 1979).

Barium Titanat merupakan suatu bahan yang bersifat ferroelektrik dan

memiliki struktur kristal perovskite (ABO3) yang sampai saat ini banyak diteliti

secara luas. Hal ini sangat menarik karena struktur kristal perovskite yang dimiliki

oleh Barium Titanat sangat sederhana, sehingga pemahaman tentang material

ferroelektrik tersebut mudah dipahami. BaTiO3 memiliki struktur kristal yang

7
lebih sederhana jika dibanding dengan bahan ferroelektrik lainnya. Bahan ini

ditinjau dari segi penggunaannya sangat praktis karena memiliki sifat kimia dan

mekanik yang sangat stabil, mempunyai sifat ferroelektrik pada suhu ruang

sampai diatas suhu ruang karena mempunyai suhu Curie pada 1200C, sementara

penggunaan dalam aplikasi elektronik suhu Curienya berkisar 600C dan

dibutuhkan permitivitas yang lebar terhadap suhu, oleh karena itu suhu Curie

diturunkan dan permitivitas perlu ditingkatkan (Yunasfi, 2001).

Struktur perovskite BaTiO3 memiliki ion Oksigen (O2-) yang berada pada

diagonal bidang dari unit sel, ion Titan (Ti4+) yang berada pada diagonal ruang

dari unit sel dan ion Barium (Ba 2+) yang berada diujung setiap rusuk dari unit sel.

Material ini sangat responsif terhadap medan listrik karena polarisabilitas yang

sangat besar dari divalen oksigennya. Beberapa material seperti LZT (Lead

Zirconate Titanite), BST (Barium Stronsium Titanat) dan BZT (Barium

Zirkonium Titanat) merupakan kelompok Barium Titanat dan memiliki struktur

perovskite dari BaTiO3 (Jona and Shirane, 1993).

Barium Titanat memiliki struktur yang berbeda–beda ketika suhunya

berbeda. Perubahan struktur Barium Titanat dengan suhu di atas 1200C memiliki

struktur kristal kubik tanpa memiliki polarisasi spontan. Suhu dari 1200C sampai

dengan 50C memiliki struktur kristal tetragonal dan mimiliki polarisasi spontan.

Dari suhu 50C sampai dengan 900C memiliki struktur kristal orthorhombic dan

memiliki polarisasi spontan, dan dibawah 900C memiliki struktur kristal

rhombohedral dan memiliki polarisasi spontan. Barium Titanat memiliki struktur

8
kristal hexagonal dan struktur kristal kubik yang bersifat paraelektrik, sedangkan

pada struktur kristal tetragonal, orthorhombik dan rhombohedral dari Barium

Titanat bersifat sebagai material ferroelektrik (Kenji, 2000).

2.3 Barium Stronsium Titanat

Barium Stronsium Titanant (BST) merupakan salah satu material

ferroelektrik yang banyak diaplikasikan untuk media penyimpan, dan memiliki

struktur kristal perovskite (Jamluddin, 2008). Beberapa peneliti berpendapat

bahwa BST memiliki potensi untuk mengganti lapisan tipis SiO2 pada sirkuit

Metal Oxide Semiconductor (MOS). Sampai saat ini hasil penelitian pada film

BST biasanya memiliki konstanta dielektrik yang jauh lebih rendah dibandingkan

dengan bentuk bulk-nya. Struktur mikro butir yang baik, kekosongan oksigen,

formasi lapisan interfasial, dan oksidasi pada bottom electrode atau Si, dipercaya

menjadi faktor pada penurunan sifat listriknya (Huriawati, 2009).

Berdasarkan ICDD (International Center for Difraction Data), BST

memiliki parameter kisi berkisar 3.947 Å. Temperatur curie (temperatur untuk

mengubah fase ferroelektrik ke paraelektrik) barium titanat (BT) murni sebesar

1300C. Adanya penambahan stronsium kedalam barium titanat menyebabkan

temperatur curie BST menurun dari 1300C menjadi 250C yang berguna untuk

spesifikasi alat sensor, serta digunakan sebagai sel surya (Saputra, 2014).

Perpindahan ion Ti dari pusat oktahedron oksigen menghasilkan konstanta

dielektrik yang tinggi. Ba1-xSrxTiO3 menunjukkan kelarutan padat atas semua

komposisi, dengan struktur kubik pada suhu ruang untuk 0.3 ≤ x ≤ 1, dan untuk

9
0 ≤ x ≤ 0.3 menjadi tetragonal (Remmel et al, 1999). Gambar 2.1 menunjukkan

struktur simetris bahan BST berstruktur kubus.

Gambar 2.1 Struktur Kristal Ba1-xSrxTiO3

2.4 Metode Sol-gel

Metode preparasi yang biasanya dipakai pada sintesis nanomaterial berpori

dan berlapis yaitu metode sol-gel, interkalasi dan inklusi. Metode sol-gel

merupakan metode preparasi padatan dengan proses memakai temperatur rendah

dengan partikel-partikel mikroskopik yang terdispersi dalam suatu cairan (sol)

menjadi material makroskopik (gel) yang mengandung cairan. Cairan menguap

maka yang tersisa adalah material keras seperti gelas. Sol-gel ialah material amorf

yang tidak mempunyai dimensi pori yang seragam. Sintesis sol-gel umumnya

melalui tahap-tahap hidrolisis dan kondensasi (Widyawati, 2012).

10
Metode sintesis memakai metode sol-gel untuk material berbasis oksida

berbeda-beda berkaitan dengan prekursor dan bentuk produk akhir, baik itu

berupa bubuk, film, aerogel, atau serat. Struktur dan sifat fisik dari gel

dipengaruhui oleh proses kimiawi dari sistem sol-gel, pemilihan bahan baku

material, serta laju hidrolisis dan kondensasi. Metode sol gel sangat sesuai untuk

preparasi film tipis dan material berbentuk bubuk. Tujuan preparasi ini supaya

suatu material keramik memiliki fungsional khusus (elektrik, optik, magnetik, dan

lain-lain). Kelebihan dari metode ini yaitu temperatur proses rendah, mudah

dalam kontrol komposisi (kehomogenan komposisi kimia baik) dan biayanya

murah (Phumying et al, 2010).

Penumbuhan lapisan tipis BST dibuat dengan memakai metode sol-gel

menggunakan spin coater dengan kecepatan tertentu. Kecepatan putar pada spin

coating akan mempengaruhi kualitas kristal dari material. Semakin cepat putaran

akan diperoleh lapisan tipis yang semakin homogen dan tipis. Proses spin coating

merupakan proses yang paling sederhana dan cepat dalam penumbuhan lapisan

tipis. Lapisan tipis yang dihasilkan dengan bantuan spin coater ini memiliki

tingkat kehomogenan yang cukup tinggi (Naat, 2014).

Secara umum proses spin coating dapat dikelompokkan kedalam empat

tahap seperti ditunjukkan Gambar 2.2 deposisi, spin up (kecepatan putar), spin off

(perataan) dan evaporasi. Proses deposisi mencakup penuangan sejumlah besar

cairan ke substrat diam atau substrat yang diputar dengan kecepatan rendah.

11
Cairan ditahan ditengah dan cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah

diskontinuitas pelapisan yang disebabkan mengeringnya cairan sebelum mencapai

bagian pinggir lapisan. Tahapan spin up, substrat dipercepat hingga kecepatan

spin terakhir. Gaya rotasi ditransfer ke seluruh cairan, mengalir ketepi substrat

karena adanya gaya sentrifugal. Tahapan spin off adalah tahap spin coating

dimana sejumlah besar larutan berputar bebas diatas substrat pada rentang

kecepatan antara 1500-6000 rpm dan tergantung pada sifat cairan terhadap

substrat yang digunakan. Tahapan spin off memerlukan waktu sekitar 10 detik

setelah proses spin up. Tahap evaporasi merupakan tahapan terakhir dari proses

spin coating dimana sejumlah larutan terserap ke atmosfer (Purwanto dkk,

2013).

Gambar 2.2 Empat Tahapan dalam Spin Coating

2.5 Spektroskopi Ultraviolet-Visible

Spektroskopi sinar ultraviolet dan cahaya tampak (UV-Vis) pada

umumnya dibahas bersamaan karena kedua pengukuran dilakukan pada waktu

12
yang sama. Inti dari spektroskopi UV-Vis adalah sinar, di mana sinar berasal dari

dua lampu yang berbeda, yaitu lampu deuterium untuk sinar Ultraviolet (180

sampai dengan 380 nm) dan lampu wolfram untuk sinar Visible (380 sampai

dengan 780 nm). Pada spektroskopi UV-Vis, ketika cahaya jatuh pada sampel

maka sebagian cahaya diserap oleh molekul-molekul senyawa tersebut. Besarnya

kuantitas energi yang diserap oleh suatu senyawa dirumuskan sebagai berikut:

hc
E= (2.1)
λ

Benda yang menyerap ultraviolet dan visible maka elektron akan

berpindah dari keadaan dasar menuju keadaan tereksitasi. Peristiwa perpindahan

elektron ini disebut transisi elektronik. Cahaya yang ditangkap oleh mata manusia

berbeda dengan cahaya yang diserap oleh suatu zat. Cahaya yang diserap benda

berwarna biru tetapi yang terlihat oleh mata berwarna orange dan benda akan

terlihat berwarna hitam apabila benda tersebut menyerap seluruh warna yang

terdapat pada spektrum sinar tampak (Hardjono, 1991). Tabel 2.1 merupakan

skala spektrum sinar tampak sebagai berikut :

Tabel 2.1 Skala Spektrum Sinar Tampak (Hardjono, 1991).


Panjang Gelombang Warna- warna yang Warna Komplementer
(nm) Diserap (Warna yang Terlihat)
400 – 435 Ungu Hijau Kekuningan
435 – 480 Biru Kuning
480 – 490 Biru Kehijauan Jingga
490 – 500 Hijau Kebiruan Merah
500 – 560 Hijau Ungu Kemerahan
560 – 580 Hijau Kekuningan Ungu
580 – 595 Kuning Biru
595 – 610 Jingga Biru Kehijaun
610 - 800 Merah Hijau Kebiruan

13
Absorbansi merupakan banyaknya cahaya yang diserap oleh partikel-

partikel didalam suatu benda, sedangkan transmitansi merupakan bagian cahaya

yang diteruskan oleh suatu benda. Lambert (1760), Beer (1852) dan Bouger

menunjukkan hubungan absorbansi dengan transmitansi sebagai berikut:

A=−log T (2.2)
1
A=log =log 1−log T (2.3)
T

Persamaan (2.2) merupakan persamaan hukum Lambert-Beer yang

menyatakan bahwa proporsi berkas cahaya datang yang diserap oleh suatu zat

tidak dipengaruhi oleh intensitas ahaya yang datang. Hukum ini berlaku jika tidak

ada reaksi kimia maupun peristiwa fisis didalam material tersebut yang dapat

dipengaruhi oleh berkas cahaya yang datang tersebut (Andria, 2012).

Spektroskopi Ultraviolet-Visible (UV-Vis) merupakan teknik spektroskopi

pada daerah panjang gelombang ultraviolet dan sinar tampak. Spektrofotometri ini

adalah perpaduan antara spektrofotometri Ultraviolet dan Visible. Alat yang

digunakan dalam teknik spektroskopi pada rentang daerah panjang gelombang

ultraviolet dan sinar tampak disebut spektrofotometer UV-Vis. Alat ini

mempunyai kegunaan untuk mengukur banyaknya sinar ultraviolet atau sinar

tampak yang diserap oleh suatu materi. Spektrometri adalah Metode pengukuran

dan analisa dengan memanfaatkan bantuan spektrometer. Spektrometer pada

sekarang ini, sinar yang datang dari alat pada suatu materi diubah panjang

gelombangnya secara kontinu. Hasil dari percobaan akan dinyatakan dalam

14
spektrum dengan absisnya menampilkan panjang gelombang (bilangan

gelombang) sinar yang datang dan ordinatnya menyatakan banyaknya energi yang

diserap oleh materi tersebut (Kusnanto, 2013).

Gambar 2.3 Instrumen Ultraviolet-Visible


Spektrofotometer merupakan alat dari gabungan antara spektrometer dan

fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang

gelombang tertentu dan fotometer merupakan alat untuk mengukur intensitas

cahaya yang diteruskan atau yang diarbsorbsi. Jadi spektrofotometer berguna

untuk mengetahui banyaknya energi secara relatif jika energi tersebut diteruskan,

dipantulkan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Khopkar,

1990). Spektrofotometer mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan

fotometer seperti dapat lebih terseleksinya panjang gelombang dari sinar putih

menggunakan prisma sebagai alat pengurai. Seperti terlihat pada Gambar 2.3

spektrofotometer terdiri dari (Larry, 1988) :

1. Sumber Cahaya, lampu pijar dengan kawat rambut terbuat dari wolfram

(tungsten) merupakan sumber energi cahaya yang biasa dugunakan untuk

15
daerah tampak, ultraviolet, dan inframerah. Sedangkan untuk sumber

cahaya pada daerah ultraviolet (UV) sering digunakan lampu hidrogen

atau lampu deuterium dalam percobaan tersebut.

2. Monokromator yang berfungsi untuk menguraikan cahaya polikromatis

menjadi beberapa komponen panjang gelombang tertentu (monokromatis)

yang berbeda (terdispersi). Cahaya monokromatis ini dapat dipilih panjang

gelombang tertentu yang sesuai untuk kemudian dilewatkan melalui celah

sempit yang disebut slit. Ketelitian dari monokromator dipengaruhi juga

oleh lebar celah (slit width) yang dipakai.

3. Sel sampel yang berfungsi sebagai tempat meletakan sampel yang disebut

kuvet. Kuvet biasanya terbuat dari kuarsa atau gelas, namun kuvet dari

kuarsa yang terbuat dari silika memiliki kualitas yang lebih baik. Kuvet

biasanya berbentuk persegi panjang dengan lebar 1 cm.

4. Detektor yang berfungsi menangkap cahaya yang diteruskan dari sampel

dan mengubahnya menjadi arus listrik.

2.6 Celah Pita Energi

16
Celah pita energi adalah celah yang terletak diantara pita valensi dan pita

konduksi, dimana elektron akan melompat dari pita yang satu ke pita yang

lainnya. Celah ini akan menunjukkan sifat yang dimilki suatu zat padat, apakah

zat padat tersebut bersifat konduktor, isolator, atau semikonduktor. Energi gap

adalah energi minimum yang diperlukan untuk membuat elektron berpindah dari

pita valensi ke pita konduksi. Ketika suatu semikonduktor diberi energi yang

cocok dengan energi celah pita, maka elektron akan tereksitasi (berpindah) ke pita

konduksi sehingga meninggalkan muatan positif yang disebut hole. Pengendalian

celah pita energi (energi gap) dilakukan guna memperoleh energi yang diperlukan

untuk mengeksitasi elektron atau hole dalam material atau energi yang

dipancarkan elektron atau hole ketika kembali ke keadaan dasar dapat dapat

diubah-ubah sesuai yang diharapkan (Lestari, 2012).

Gambar 2.4 Struktur Pita Energi (a) Isolator, (b) Semikonduktor, (c) Konduktor
(Suwitra, 1989).

Gambar 2.4 (a) memperlihatkan struktur pita energi isolator, antara pita

valensi dan pita konduksi memiliki celah yang jauh sehingga isolator memiliki

17
energi gap yang sangat besar sekitar 6 eV. Sehingga medan listrik luar terlalu

kecil untuk memindahkan elektron melewati energi gap tersebut, sehingga

penghantaran listrik tidak dapat berlangsung. Pita konduksi pada isolator kosong

sedangkan elektron memenuhi pita valensinya.

Gambar 2.4 (b) memperlihatkan struktur pita semikonduktor.

Semikonduktor merupakan bahan yang memiliki konduktivitas listriknya terletak

antara konduktor dan isolator, atau bahan yang memiliki resistivitas antara

konduktor dan isolator yaitu sebesar 10-2 – 10-9 Ωm. Bahan semikonduktor seperti

germanium, silikon, karbon, dan selenium. Semikonduktor memiliki struktur pita

energi yang sama dengan isolator, celah energi terlarang atau energi gap (Eg)

pada semikonduktor jauh lebih kecil daripada isolator. Celah energi yang tidak

terlalu besar ini menyebabkan semikonduktor memiliki perilaku yang berbeda

dari bahan isolator.

Gambar 2.4 (c) memperlihatkan struktur pita energi konduktor, antara pita

valensi dan pita konduksi saling tumpang tindih (overlap) sehingga konduktor

memiliki energi gap yang sangat kecil. Pita konduksi diisi elektron hanya

sebagian saja. Apabila ada medan listrik luar, maka elektron akan mendapat

tambahan energi dan memasuki tingkat energi yang lebih tinggi. Elektron akan

berpindah dari pita valensi ke pita konduksi, elektron tersebut ialah elektron

bebas. Hail inilah yang akan menyebabkan timbulnya arus listrik. Contoh dari

bahan konduktor adalah tembaga, alumunium, besi, dan sebagainya.

18
Semikonduktor merupakan bahan yang pita valensinya hampir penuh dan

pita konduksinya hampir kosong dengan lebar pita terlarang (Eg) sangat kecil (±1

eV hingga 2 eV). Pada suhu 0 K, bahan semikonduktor akan berlaku sebagai

isolator dengan pita valensinya terisi penuh dan pita konduksi kosong. Namun

pada suhu kamar, bahan semikonduktor akan mempunyai sifat konduktor. Energi

termal diterima oleh elektron-elektron pada pita valensi. Jika energi termal lebih

besar atau sama dengan Eg-nya maka elektron-elektron tersebut mampu melewati

celah energi terlarang dan berpindah ke pita konduksi sebagai elektron hampir

bebas. Elektron-elektron tersebut meninggalkan kekosongan pada pita valensi

yang disebut dengan lubang (hole). Hole pada pita valensi dan elektron hampir

bebas pada pita konduksi itulah yang berperan sebagai penghantar arus pada

semikonduktor, dimana elektron pembawa muatan negatif dan hole merupakan

pembawa muatan positif. Jadi, hantaran listrik pada semikonduktor sangat

bergantung pada suhu dibandingkan dengan hantaran listrik pada konduktor dan

isolator (Suwitra, 1989).

Penentuan celah pita optik pada lapisan tipis dapat dilakukan dengan

mengolah data transmitansi yang diperoleh dari karakterisasi menggunakan

spektroskopi Ultraviolet-Visible . Panjang gelombang yang digunakan untuk

pengukuran transmitansi yaitu dimulai dari cahaya ultraviolet sampai cahaya

tampak (300 nm sampai 800 nm). Nilai indeks bias dan ketebalan lapisan tipis

ditentukan dengan menggunakan persamaan (Swanepoel, 1983) :

T M −T m n2s + 1
N=2n s + (2.4)
T M Tm 2

19

n= N + √ N −ns
2 2
(2.5)

Nilai ketebalan lapisan tipis dapat ditentukan dari hasil perhitungan nilai

indeks bias menggunakan persamaan berikut:

λ1 λ2
d= (2.6)
2(λ 1 n 2−λ2 n1 )

Hasil perhitungan ketebalan lapisan tipis kemudian digunakan untuk

menentukan koefisien serap lapisan tipis untuk masing-masing panjang

gelombang menggunakan persamaan berikut:

−1
α= ln ⁡(T ) (2.7)
d

Koefisien serap dari lapisan tipis telah diperoleh, selanjutnya menentukan

c
hν dimana hν=h . Kemudian menentukan celah pita optik menggunakan
λ

metode Tauc plot yaitu metode penentuan celah pita optik dengan cara melakukan

ekstrapolasi dari grafik hubungan (hν) sebagai absis dan (αhν)n sebagai kordinat

hingga memotong sumbu energi dan dari kurva dapat ditentukan nilai energi gap

dari masing-masing bahan Ba1-xSrxTiO3 yang ingin diketahui (Tauc et al, 1966).

20

Anda mungkin juga menyukai