Anda di halaman 1dari 92

Pola Pembiayaan Usaha Kecil Menengah

USAHA BUDIDAYA PENGGEMUKAN SAPI POTONG


Kata Pengantar

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam perekonomian nasional


memiliki peran penting dan strategis. Namun demikian, UMKM masih memiliki
kendala, baik untuk mendapatkan pembiayaan maupun untuk mengembangkan
usahanya. Dari sisi pembiayaan, masih banyak pelaku UMKM yang mengalami
kesulitan untuk mendapatkan akses kredit dari bank, baik karena kendala
teknis, misalnya tidak mempunyai/tidak cukup agunan, maupun kendala non
teknis, misalnya keterbatasan akses informasi mengenai pola pembiayaan
untuk komoditas tertentu. Disisi lain, perbankan juga membutuhkan informasi
tentang komoditas yang potensial untuk dibiayai.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka menyediakan rujukan
bagi perbankan untuk meningkatkan pembiayaan terhadap UMKM serta
menyediakan informasi dan pengetahuan bagi UMKM yang bermaksud
mengembangkan usahanya, maka menjadi kebutuhan untuk penyediaan
informasi pola pembiayaan untuk komoditas potensial tersebut dalam bentuk
model/pola pembiayaan komoditas (lending model). Sampai saat ini, Bank
Indonesia telah telah menghasilkan 124 judul buku pola pembiayaan pola
konvensional dan 34 judul buku pola pembiayaan pola syariah.
Dalam upaya menyebarluaskan hasil penelitian dimaksud kepada
masyarakat, maka buku pola pembiayaan ini akan dimasukkan dalam minisite
Info UMKM yang dapat diakses melalui internet di alamat: http://www.bi.go.id/
id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
bersedia membantu dan bekerjasama serta memberikan informasi dan
masukan selama pelaksanaan kajian. Bagi pembaca yang ingin memberikan
kritik, saran dan masukan bagi kesempurnaan buku ini atau ingin mengajukan
pertanyaan terkait isi buku ini dapat menghubungi:

BANK INDONESIA
Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
Divisi Pengembangan dan Pengaturan UMKM
Grup Pengembangan UMKM
Jalan M. H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat
Telp. 021 2981-7991 | Faks. 021 351-8951

Besar harapan kami, bahwa buku ini dapat melengkapi informasi tentang
pola pembiayaan komoditas bagi perbankan dan sekaligus memperluas
replikasi pembiayaan terhadap UMKM pada komoditas tersebut. n

Jakarta, november 2013

i
RINGKASAN POLA PEMBIAYAAN
USAHA KECIL MENENGAH
USAHA PENGGEMUKAN SAPI POTONG

No Usaha Pembiayaan Uraian

1 Jenis Usaha Usaha Budidaya Penggemukan Sapi Potong

2 Lokasi Usaha Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur

3 Dana Yang Digunakan Investasi : Rp92.600.000


Modal Kerja : Rp532.200.000
Total : Rp624.800.000

4 Sumber Dana
a. Kredit (60%) Rp374.880.000
b. Modal Sendiri (40%) Rp249.920.000

5 Periode pembayaran kredit Pengusaha melakukan angsuran pokok dan


angsuran bunga setiap bulan selama jangka
waktu kredit

6 Kelayakan Usaha
a. Periode Proyek 3 tahun
b. Produk Utama Sapi siap potong
c. Skala Proyek 40 ekor per siklus usaha
d. Pemasaran Produk Lokal/Regional/Nasional
e. Teknologi Penggemukan sapi potong secara
berkelompok

7 Kriteria Kelayakan Usaha


a. NPV Rp 266.394.213
b. IRR 66,23%
c. Net B/C Ratio 3,88 kali
d. Pay Back Period 2,01 tahun
e. Penilaian Layak dilaksanakan

8 Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 5%


Analisis Profitabilitas
a. NPV Rp 35.716.854
b. IRR 20,38%
c. Net B/C Ratio 1,39 kali

ii
No Usaha Pembiayaan Uraian

d. Pay Back Period 2,82 tahun


e. Penilaian Layak dilaksanakan

9 Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 6%


Analisis Profitabilitas
a. NPV - Rp10.418.617
b. IRR 12,17%
c. Net B/C Ratio 0,89 kali
d. Pay Back Period 3,06 tahun
e. Penilaian Tidak layak dilaksanakan

10 Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 7%


Analisis Profitabilitas
a. NPV Rp 9.166.671
b. IRR 15,62%
c. Net B/C Ratio 1,10 kali
d. Pay Back Period 2,95 tahun
e. Penilaian Layak dilaksanakan

11 Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 8%


Analisis Profitabilitas
a. NPV - Rp 27.580.121
b. IRR 9,19%
c. Net B/C Ratio 0,70kali
d. Pay Back Period 3,15 tahun
e. Penilaian Tidak layak dilaksanakan

12 Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 3% dan Biaya Variabel Naik 3%


Analisis Profitabilitas
a. NPV Rp 17.747.423
b. IRR 17,15%
c. Net B/C Ratio 1,19 kali
d. Pay Back Period 2,91 tahun
e. Penilaian Layak dilaksanakan

13 Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 4% dan Biaya Variabel Naik 4%


Analisis Profitabilitas
a. NPV - Rp 65.134.841
b. IRR 2,78%
c. Net B/C Ratio 0,30 kali
d. Pay Back Period 3,38 tahun
e. Penilaian Tidak layak dilaksanakan

iii
Daftar Isi

KATA PENGANTAR i
RINGKASAN ii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud dan Tujuan 2

BAB II PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN 4


2.1. Perkembangan Peternakan di Kabupaten Lamongan 5
2.2. Profil dan Keragaan Usaha Peternakan di Kabupaten Lamongan 8
2.2.1 Kelompok Sumber Jaya 9
2.2.2. UD Alam Raya 10
2.2.3. Kelompok Usaha Sapi Penggemukan 13
2.3. Skema Pembiayaan Usaha Peternakan di Kabupaten Lamongan 15
2.3.1. Pembiayaan Usaha Peternakan Yang Disalurkan oleh
Bank Jatim 15
2.3.2. Pembiayaan Usaha Peternakan Yang Disalurkan oleh
Bank BRI 16

BAB III ASPEK TEKNIS PRODUKSI 18


3.1. Deskripsi Usaha 19
3.2. Lokasi Usaha 19
3.3. Fasilitas Produksi dan Peralatan 19
3.3.1. Perkandangan 19
3.3.2. Peralatan 20
3.3.3. Bahan Baku 21
3.3.4. Tenaga Kerja 21
3.4. Sistem Produksi 22
3.5. Kendala Produksi 22

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN 24


4.1. Aspek Pasar 25
4.1.1. Permintaan 25
4.1.2. Penawaran 26
4.1.3. Analisis Persaingan dan Peluang Pasar 26
4.2. Aspek Pemasaran 27

iv
Daftar Isi

4.2.1. Harga 27
4.2.2. Jalur Pemasaran Produk 28
4.2.3. Kendala Pemasaran 28

BAB V ASPEK KEUANGAN 30


5.1. Pemilihan Pola Usaha 31
5.2. Asumsi dan Parameter dalam Analisis Keuangan 31
5.3. Komponen dan Struktur Biaya Investasi dan Biaya Modal Kerja 32
5.3.1. Biaya Investasi 32
5.3.2. Biaya Operasional 32
5.4. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja 33
5.5. Produksi dan Pendapatan 34
5.6. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point 35
5.7. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek 36
5.8. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha 36

BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN 40


6.1. Aspek Ekonomi dan Sosial 41
6.2. Dampak Lingkungan 41

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 44


7.1. Kesimpulan 45
7.2. Saran 46

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 52

v
Daftar Tabel
Tabel 2.1. Jumlah Sapi Potong Tahun 2010-2012 5
Tabel 2.2. Perkembangan Usaha Sapi Potong Selama 4 Tahun Terakhir 5
Tabel 2.3. Harga Sapi dan Produk Turunannya pada Tahun 2013 7
Tabel 2.4. Rincian Bentuk Pembinaan dan Kebijakan Progam 8
Tabel 2.5. Bentuk Kontribusi Usaha di Daerah 8
Tabel 2.6. Rincian Biaya Perkandangan dan Pengolahan Limbah 12
Tabel 4.1. Perkembangan Impor dan Ekspor (Sapi dan Daging Sapi) serta
Populasi Sapi 25
Tabel 4.2. Produksi Daging (Indonesia) Tahun 2008-2012 26
Tabel 4.3. Konsumsi Daging Dalam Negeri (2008-2012) 26
Tabel 5.1. Asumsi dalam Analisis Keuangan 31
Tabel 5.2. Komponen dan Stuktur Biaya Investasi 32
Tabel 5.3. Kebutuhan Biaya Variabel Operasional Usaha 32
Tabel 5.4. Kebutuhan Biaya Tetap 33
Tabel 5.5. Struktur Kebutuhan Dana 33
Tabel 5.6. Angsuran Kredit Investasi 34
Tabel 5.7. Angsuran Kredit Modal Kerja 34
Tabel 5.8. Variasi Pendapatan pada Berbagai Tipe Penggemukan 35
Tabel 5.9. Proyeksi Produksi dan Pendapatan Usaha Rata-rata 35
Tabel 5.10. Analisa Laba-Rugi Usaha 36
Tabel 5.11. Proyeksi Arus Kas 37
Tabel 5.12. Kelayakan Usaha Budidaya Sapi Potong 38
Tabel 5.13. Sensitivitas Penurunan Pendapatan 38
Tabel 5.14. Sensitivitas Kenaikan Variabel 38
Tabel 5.15. Sensitivitas Kombinasi 38

Daftar Gambar
Gambar 2.1. Skema Perdagangan Tataniaga Sapi di Kabupaten Lamongan 6
Gambar 2.2. Perkembangan Harga Jual Sapi Potong Selama 5 Tahun Terakhir 7
Gambar 4.1. Konstruksi Kandang Penggemukan Sapi Berlantai Semen dan
Atap Asbes 20
Gambar 4.2. Sapi Potong yang Digemukkan 23
Gambar 4.3. Bahan Baku Pakan Lokal (jerami padi dan limbah daun
kangkung) 23

vi
Daftar Lampiran
Lampiran 1. Asumsi Untuk Analisis Keuangan 53
Lampiran 2. Biaya Investasi 54
Lampiran 3. Biaya Operasional 55
Lampiran 4. Sumber Dana 56
Lampiran 5. Proyeksi Produksi dan Pendapatan 57
Lampiran 6. Angsuran Kredit Investasi 58
Lampiran 7. Angsuran Kredit Modal Kerja 58
Lampiran 8. Proyeksi Rugi Laba Usaha 59
Lampiran 9. Proyeksi Arus Kas 61
Lampiran 10. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 5% 63
Lampiran 11. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 6% 65
Lampiran 12. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 7% 67
Lampiran 13. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 8% 69
Lampiran 14. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Biaya Variabel Naik 3% dan
Pendapatan Turun 3% 71
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Biaya Variabel Naik 4% dan
Pendapatan Turun 4% 73
Lampiran 16. Rumus dan Cara Perhitungan untuk Analisis Aspek Keuangan 75

vii
BAB I
PENDAHULUAN

viii
BAB I – PEndahuluan

1.1. LATAR BELAKANG

Untuk mendukung progam berkelanjutan swasembada daging, pemerintah


menerapkan kebijakan mengurangi impor sapi, sehingga pasokan di dalam
negeri berkurang dan akibatnya harga daging meningkat. Kebutuhan
daging konsumsi tingkat nasional mencapai 500.000 ton per tahun, namun
dengan tingkat konsumsi per kapita masyarakat masih tergolong rendah,
yaitu sekitar 2,2 kg per kapita per tahun. Fenomena tersebut disebabkan
karena pasokan daging sapi dalam negeri masih rendah. Untuk kebutuhan
konsumsi baru mencapai sekitar 60% dari produksi dalam negeri. Hal ini
dikarenakan ketersediaan sapi siap potong masih belum tercukupi. Untuk
mencukupi kebutuhan daging nasional pemerintah masih bergantung
pada impor daging dan bakalan sapi potong. Oleh karena itu, pemerintah
berencana mengimpor 267.000 ekor bakalan pada tahun 2013 (Ditjennak,
2013).

Impor daging dan bakalan yang terus dilakukan akan menghambat


upaya pemenuhan permintaan pasar dari pasokan dalam negeri. Salah satu
solusi untuk memenuhi kebutuhan daging serta menjaga harga daging
nasional tetap stabil adalah dengan usaha mendorong budidaya sapi potong,
khususnya usaha penggemukan sapi potong. Usaha sapi potong merupakan
usaha yang prospektif karena: (1) Indonesia memiliki sumber daya alam
yang cukup, (2) Usaha ini sudah banyak dilaksanakan sebagai upaya
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, dan (3) Usaha sapi potong
juga sejalan dengan upaya pelestarian sumber daya lahan. Peternakan
sebagai subsektor pertanian, sangat strategis dan dapat diandalkan untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi, menekan pengangguran serta sumber
tambahan pendapatan bagi masyarakat.

Dalam upaya mendorong usaha di bidang penggemukan sapi potong,


khususnya bagi UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), maka dipandang
perlu bagi pemerintah untuk memperbanyak dan mempermudah pemanfaatan
sumber-sumber pendanaan. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/Permentan/PD.400/9/2009 tentang
penyediaan kredit usaha budidaya/pembibitan sapi dan Peraturan Pemerintah
No. 6 tahun 2013 tentang akses sumber pembiayaan dan permodalan. Sebagai
tindak lanjut kebijakan pemerintah, diperlukan model-model pembiayaan
yang dapat diterima/dimanfaatkan oleh masyarakat dengan cara yang lebih
efektif guna meningkatkan pendapatan. Pada tahun 2012, Bank Indonesia telah
menerbitkan pola pembiayaan usaha kecil dari usaha pengembangbiakan
sapi pedaging. Pada Tahun 2013 informasi serupa telah dikaji sebagaimana
dalam laporan ini berupa pola pembiayaan usaha budidaya (penggemukan)
sapi potong. Kedepan akan sangat tepat kalau informasi serupa dihasilkan
dari usaha budidaya (pembesaran) sapi potong. Dengan demikian didapatkan

1
BAB I – PEndahuluan

informasi lengkap mengenai pola pembiayaan usaha sapi potong secara


segmentatif.

Peluang pengembangan usaha secara segmentatif akan sangat tepat bagi


usaha UMKM karena memerlukan biaya investasi yang relatif kecil dibandingkan
usaha budidaya sapi secara menyeluruh. Model-model pembiayaaan tersebut
selain bermanfaat bagi masyarakat pengguna, juga bermanfaat untuk
memenuhi persyaratan kelayakan pembiayaan baik dari pihak bank maupun
pihak-pihak penyandang dana lainnya. Oleh karena itu, Bank Indonesia
melakukan studi dan menyusun pola pembiayaan usaha penggemukan sapi
potong yang dapat diterapkan oleh UMKM.

1.2. Maksud dan Tujuan

Penyusunan Model Pembiayaan (Lending Model) usaha budidaya


penggemukan sapi potong dimaksudkan dapat dijadikan referensi dalam
penyediaan pembiayaan untuk usaha penggemukan sapi potong/pedaging.
Model tersebut diharapkan berguna bagi: (1) Pengusaha UMKM baik
untuk memulai usaha maupun untuk mengembangkan usaha yang sudah
ada, dan (2) sebagai referensi bagi lembaga-lembaga pembiayaan dalam
mengevaluasi kelayakan usaha penggemukan sapi potong. n

2
Halaman ini
sengaja dikosongkan

3
BAB II
PROFIL USAHA DAN
POLA PEMBIAYAAN

4
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

2.1. Perkembangan Peternakan di Kabupaten Lamongan

Berdasarkan jumlah dan perkembangan Usaha Kecil Menengah (UKM),


Kabupaten Lamongan sangat potensial untuk pengembangan usaha
penggemukan sapi potong. Pada tahun 2011 populasi sapi mencapai 106.000
ekor, sehingga banyak masyarakat yang memilih peternakan sebagai usaha
utama. Peternak di wilayah ini umumnya tergabung dalam kelompok-kelompok
tani, dengan pola pembudidayaannya menerapkan kandang koloni. Tabel 2.1
menampilkan informasi populasi ternak dan jumlah kepemilikan sapi, dan Tabel
2.2 menampilkan perkembangan populasi dan pemotongan sapi potong.

Tabel 2.1. Jumlah Sapi Potong Kabupaten Lamongan Tahun 2010-2012

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab.Lamongan, 2013

Tabel 2.2. Perkembangan Populasi dan Pemotongan Sapi Potong


Kabupaten Lamongan Selama 4 Tahun Terakhir

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab.Lamongan, 2013

Perkembangan peternakan sapi potong Nasional sangat pesat dikarenakan:


(1) harga sapi yang stabil, (2) pasar dan pemasaran yang baik, (3) tersedia
kredit/pembiayaan usaha, (4) kegiatan yang turun temurun (tradisi keluarga), (5)
penanganan mudah, (6) SDM dan sumber daya alam mendukung. Di Kabupaten
Lamongan kegiatan usaha peternakan rakyat sudah terbina dengan baik dengan
satu koperasi dan 139 kelompok peternak. Kepedulian instansi pemerintah dan
perusahaan-perusahaan swasta sangat tinggi dalam pengembangan peternakan,
hal ini ditandai dengan adanya CSR (corporate social responsibility) dalam bidang
peternakan sebagaimana yang telah dilakukan oleh PT. Petrokimia Gresik.

Dalam rangka mendukung pencapaian swasembada daging sapi dan


kerbau, terdapat dukungan dari Kementrian Negara BUMN dalam hal: 1) Menteri

5
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

BUMN akan ikut dalam menekan impor sapi untuk memenuhi kebutuhan daging,
yakni dengan menginstruksikan semua PT Perkebunan Nusantara membuat
action plan integrasi sapi-sawit dengan target 100.000 ekor menuju green
company; 2) memfasilitasi kemudahan transportasi ternak dari daerah Indonesia
Timur sebagai wilayah padat ternak ke wilayah konsumen; 3) menggerakkan
Perhutani untuk berperan dengan memanfaatkan silvopasture sebagai kawasan
integrasi hutan dengan ternak sapi; dan 4) Pemanfaatan dana CSR dan Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dari perusahaan-perusahaan BUMN
untuk pengembangan ternak sapi. Pencapaian swasembada daging sapi dan
kerbau ini juga di dukungan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Perhubungan,
Kementerian Dalam Negeri dan BPN.

Sebagian besar petani di Kabupaten Lamongan bekerja dengan sistem


polikultur, sehingga risiko usaha dapat ditekan dan setiap usaha saling
mendukung (sinergis dan komplementer) antara satu dengan yang lainnya.
Agroklimat Kabupaten Lamongan juga dipandang mampu mendukung
pengembangan peternakan dengan adanya dua musim yaitu musim
penghujan dan musim kering. Namun demikian problem kekeringan masih
sering dijumpai, sehingga ketersediaan air seringkali menjadi kendala.

Tata niaga sapi di Kabupaten Lamongan cukup baik, hal ini didukung
oleh mekanisme pasar yang sudah berjalan dengan baik dan harga jual yang
relatif stabil. Gambar 2.1 memperlihatkan jalur tataniaga sapi di Kabupaten
Lamongan. Situasi harga produk sapi diperlihatkan dalam Tabel 2.3, dimana
dengan penerapan harga seperti itu maka peternak mudah menjual sapi dan
tergolong laris.

Gambar 2.1. Skema Perdagangan Tataniaga Sapi di Kabupaten Lamongan

6
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

Tabel 2.3. Harga Sapi dan Produk Turunannya Pada Tahun 2013

Sumber : Penelitian lapang, 2013

Berdasarkan pengamatan lapangan, produk yang paling laris terjual adalah


ternak sapi hidup, kemudian perdagangan kulit, daging, dan jeroan. Adapun
perkembangan harga (Gambar 2.2) dari semua komoditas ternak tersebut
terlihat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi ini membuat
Kabupaten Lamongan termasuk wilayah yang mampu memasok produk-
produk sapi potong secara mandiri bagi kabupaten-kabupaten lainnyadi Jawa
Timur khususnya.

Gambar 2.2. Perkembangan Harga Jual Sapi Potong Selama 5 Tahun Terakhir

Berdasarkan wilayah pemasarannya, sapi potong lebih banyak dijual antar


kecamatan di wilayah Kabupaten Lamongan (sebesar 70%), kemudian penjualan
sapi potong ke luar kabupaten (Gresik, Bojonegoro, Tuban dan lainnya) sebesar
20%, dan antar provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan)
mencapai 10%.

7
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

Kemajuan di bidang peternakan di Kabupaten Lamongan dinilai cukup


pesat berkat adanya bantuan pembinaan dan kebijakan seperti: (1) bantuan
sarana dan prasarana produksi, (2) pembinaan manajemen usaha, (3) pemasaran,
(4) administrasi, (5) pembinaan dalam bantuan kredit dan permodalan, (6)
serta bantuan teknis produksi. Tabel 2.4 memperlihatkan secara rinci bentuk
pembinaan dan kebijakan program yang sudah dilaksanakan.

Tabel 2.4. Rincian Bentuk Pembinaan dan Kebijakan Program

Sumber : Hasil Penelitian Lapang, 2013

Pembinaan yang sistematis dan berkelanjutan mampu mendorong


perkembangan peternakan. Perkembangan peternakan telah dan akan terus
memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah. Tabel 2.5 menyajikan informasi
tentangbentuk kontribusi usaha di daerah.

Tabel 2.5. Bentuk Kontribusi Usaha di Daerah

Sumber : Hasil Penelitian Lapang, 2013

Usaha sapi potong merupakan usaha unggulan di daerah Kabupaten


Lamongan. Hal ini dikarenakan adanya daya dukung, sumber daya alam, sumber
daya mahasiswa dan cuaca yang cocok, serta tersedianya lahan untuk sumber
pakan. Upah minimum rata-rata (UMR) untuk daerah tersebut relatif tinggi yaitu
sebesar Rp1.075.700 per bulan.

2.2. Profil dan Keragaan Usaha Peternakan Di Kabupaten


Lamongan

Profil dan karagaan usaha peternakan yang dipaparkan berikut ini adalah

8
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

berdasarkan survey dan pengamatan di Kabupaten Lamongan pada ketiga


usaha penggemukan sapi potong, yaitu Sumber Jaya, UD Alam Raya,
Peternak (Bapak Hartono).

2.2.1 Kelompok sumber jaya


Kelompok Tani Sumber Jaya merupakan salah satu kelompok ternak
yang bergelut di segmen penggemukan sapi potong, terletak di wilayah
Wonokromo Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan. Anggota kelompok
memiliki pengalaman beternak ±8 tahun. Anggota peternak semula berprofesi
sebagai petani palawija dan beberapa anggota sebelumnya memiliki usaha
penggilingan beras (rice mailing), kini mereka juga mengembangkan usaha
bidang peternakan sapi potong.

Kelompok Sumber Jaya yang diketuai Bapak Hj. Djuri terus menerus
melakukan pembinaan peternak baik secara teknis maupun permodalan. Selain
melakukan usaha penggemukan, peternak juga melakukan usaha pembibitan.
Jumlah induk yang dipelihara adalah 40 ekor dan perkawinan dilakukan dengan
sistem inseminasi buatan (IB). Produksi anak rata-rata satu ekor dalam 1,5 tahun
per induk. Kepemilikan sapi adalah 250 ekor yang terbagi menjadi menjadi 40
ekor sapi kelompok ternak dan 210 ekor milik sendiri. Jumlah anggota kelompok
adalah 20 orang. Kerjasama dengan peternak yakni dengan sistem bagi hasil.
Peternak di Kabupaten Lamongan telah banyak yang memanfaatkan sumber-
sumber dana perkreditan. Total pinjaman (kredit) sebanyak Rp 750.000.000
untuk pinjaman konvensional dan Rp500.000.000 dari Kredit Ketahanan
Pangan dan Energi atau dikenal dengan istilah KKPE. KKPE dipandang lebih
memberikan harapan karena jangka waktu pengembalian cukup leluasa hingga
3 tahun. Keuntungan yang diperoleh dari hasil beternak adalah 20% untuk
peternak dan sisanya 80% dipergunakan untuk pengembangan modal.

Gambaran umum manfaat peternakan adalah sebagai berikut : (1) membeli


bakalan Rp11,5 juta dan dijual menjadi Rp16 juta selama 4 bulan. (2) Dapat
menghasilkan aneka produk, selain itu juga melakukan pemotongan hewan
dengan presentase karkas 40-45% berat badan (BB) hidup, (3) Sistem Produksi
yang fleksibel dimana anggota kelompok peternak selain bergabung dalam
kandang bersama juga memelihara ternak secara individual di sekitar rumah
penduduk, (4) relatif mudah melakukan inovasi seperti menggunakan probiotik/
teknologi.

Sapi bakalan diperoleh dari Kabupaten Bojonegoro, Tuban dan Lamongan,


namun kendala yang dihadapi masih belum tersedianya pasar hewan yang
memadai. Pasar hewan saat ini masih tradisional, dimana transaksi jual beli
belum berdasarkan penimbangan bobot badan (masih menggunakan taksiran),
dan masih terpengaruh adanya belantik. Ketersediaan bakalan kadang-kadang

9
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

sulit, kadang-kadang mudah, sangat fluktuatif, mengikuti pasokan di pasar


hewan.

Pembelian calon induk diperoleh dari pasar atau masyarakat lainnya.


Rataan umur induk 2-3 tahun dengan harga Rp10-15 juta. Pemeliharaan anak
menjadi calon induk untuk digemukkan bersifat fleksibel bergantung situasi
pasar. Seandainya selama pembibitan anak sapi tersebut gemuk, maka ternak
betina tersebut dijual dengan harga rata-rata Rp7.000.000 untuk umur 7 bulan.
Untuk penggemukan jumlah pemilikan 200 ekor dan merupakan anak sapi
persilangan. Rataan penjualan adalah 10 ekor per bulan baik ke Jakarta, Bogor,
maupun Cirebon. Selain itu, pemasaran juga dilakukan ke Kalimantan. Rataan
bobot jual lebih besar dari 450 kg dengan harga Rp37.000/kg bobot hidup,
ditimbang di tempat. Jumlah bakalan yang dipelihara dapat mencapai 50 ekor
per bulan, terbagi untuk penggemukan dan pembibitan. Bobot bakalan yang
dipakai adalah 300-350 kg dengan harga Rp37.000/kg bobot hidup.

Lama penggemukan adalah 3-4 bulan. Bahan makanan yang diberikan


adalah dedak padi 5 kg/ekor/hari (dengan harga Rp2.000/kg), gamblong/
onggok 2 kg/ekor/hari (dengan harga Rp300/kg basah), campuran limbah
kangkung dan jerami sebanyak 10 kg/ekor/hari (harga limbah kangkung
Rp850/kg, sedangkan jerami Rp200/kg). Rumput gajah diberikan 3 kg/ekor/hari
diperoleh dari lahan sekitar kandang.Kendala beternak adalah ketersediaanair
yang terbatas, sehingga dilakukan upaya dengan membuat sumur pantek atau
dengan menggunakan mesin pompa air.

Jumlah tenaga anak kandang yang dibutuhkan adalah satu orang untuk
40 ekor sapi. Biaya tenaga kerja tersebut dibebankan kepada peternak
anggota sebesar Rp14.000/ekor/hari yang digunakan untuk biaya pakan,
tenaga, dan listrik. Biaya upah tenaga kerja dihitung sebesar Rp1.500/ekor/
hari atau Rp45.000/ekor/bulan atau Rp180.000/bulan/4 ekor sapi. Keuntungan
penggemukan diperoleh diperkirakan sebesar 3-5% per bulan dari nilai
pembelian setelah dikurangi biaya operasional dan pakan.

2.2.2. UD Alam Raya


UD Alam Raya merupakan usaha yang bergerak di bidang penggemukan
sapi potong, terletak di Dusun Pule, Desa Bakalan, Kecamatan Tikung. Pemilik
bernama H. Sutarjo berumur 46 tahun dengan pendidikan terakhir SMU,
memiliki anak 2 orang dengan tangggungan keluarga keseluruhan 6 orang.
Bertani merupakan pekerjaan utama, sedangkan peternakan merupakan
pekerjaan tambahan atau sampingan.

Lahan yang dimiliki terdiri dari: (1) sawah irigasi (4 ha), (2) sawah tadah hujan
(2 ha) dan (3) halaman pekarangan dan rumah (0,5 ha). Dari lahan tersebut seluas

10
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

3600 m2 digunakan sebagai kandang ternak. Alasan Bapak H. Sutarjo bergerak


di bidang peternakan sapi karena usaha penggemukan sapi diyakini usaha yang
dapat maju cepat. Saat ini pendapatan per bulan sebesar Rp5.000.000 dari
usaha peternakan. Bapak H. Sutarjo beternak secara perorangan yang sudah
dijalankan selama lebih dari 5 tahun.

Sapi yang dipelihara merupakan milik sendiri, dengan struktur kepemilikan


adalah Sapi persilangan BX dan Simental dengan komposisi 15 ekor jantan,
45 ekor betina, 8 ekor pedet jantan, dan 7 ekor pedet betina. Untuk sumber
bakalan adalah produksi anakan atau pengembangbiakan internal, pembelian
di pasar ternak, dan pembelian dari blantik.

Sistem pemeliharaan yang diterapkan di dalam kelompok adalah


pemeliharaan intensif (dikandangkan sepanjang hari) dengan pemberian pakan
tiga kali sehari. Pakan yang diberikan berupa ransum yang terbuat dari bahan
pakan lokal yang cukup tersedia, dan mudah didapat serta tersedia sepanjang
tahun. Jenis pakan tersebut adalah jerami, limbah kangkung, dedak, ampas
kecap (rutin). Pakan-pakan tersebut diperoleh dari lingkungan kampung sendiri,
dan sebagian diperoleh dari luar kampung yang masih satu kecamatan. Adapun
ransum yang akan diberikan ke ternak sapi potong akan diformulasikan dan
diramu sendiri oleh peternak.

Pakan tambahan yang diberikan untuk meningkatkan produktivitas adalah


ampas kecap (0.5kg/ekor), kangkung (5 kg/ekor), dan dedak (2 kg/ekor). Dedak
merupakan komponen konsentrat terpenting dan cukup tersedia di wilayah
tersebut, karena wilayah tersebut merupakan sentra pertanian dan memiliki
banyak tempat penggilingan beras.

Selain pemberian pakan, manajemen pemeliharaan ternak yang perlu


diperhatikan adalah kesehatan ternak. Pengobatan dilakukan secara rutin
setiap 3 bulan sekali berupa vaksinasi maupun pemberian obat anti cacing.
Biaya pengobatan rata-rata khususnya untuk obat anti cacing yaitu Rp120.000/
ekor/3bulan. Tenaga kerja yang terserap dari usaha peternakan ini ada 4
(empat) orang yang berasal dari warga sekitar.

Bentuk kandang dari peternakan UD. Alam Raya adalah head to head
dengan bentuk atap monitor sehingga pergerakan angin cukup memadai.
Bahan dinding dibuat dari tembok dengan lantai semen. Ukuran luasan kandang
dewasa adalah 22x9x3 m untuk 16 ekor sapi. Luasan kandang sapi muda adalah
22x9x3 m untuk 16 ekor sapi. Luas kandang anak adalah 22x9x4 m.

Harga pembelian sapi bervariasi menurut jenis kelamin, umur, dan jenis/
bangsa sapi. Bakalan betina (umur 4-6 bulan) dibeli dengan harga Rp7.000.000-
Rp8.000.000/ekor dan digemukkan selama 3-4 bulan selanjutnya dijual dengan

11
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

harga Rp12.000.000-Rp15.000.000/ekor. Bakalan jantan (umur 1 tahun) dibeli


dengan harga Rp12.000.000/ekor digemukkan selama 12 bulan dijual dengan
harga Rp22.000.000/ekor kalau sapi tersebut dapat digunakan sebagai calon
pejantan bibit. Volume penjualan ternak dalam satu tahun terakhir adalah
sebagai berikut: sapi jantan umur 2 tahun sebanyak 15 ekor, sapi betina umur 2
tahun sebanyak 5 ekor, sapi betina umur 5 tahun 8 ekor, dan 7 ekor sapi jantan.

Sistem pembayaran ternak adalah pembayaran secara langsung dan tunai.


Berdasarkan jenis pembelinya, ternak sapi potong akan dibeli oleh pedagang
perantara atau blantik yang berasal dari luar daerah (Lamongan), atau Peternak
pengumpul (peternak lokal tetapi berperan sebagai pedagang pengumpul).
Dalam proses jual beli ternak tersebut, harga masih lebih ditentukan oleh blantik
atau pembeli lainnya, sehingga saat ini peran dari koperasi masih sangat perlu
ditingkatkan.

Sistem perkawinan yang diterapkan adalah dengan menggunakan


Inseminasi Buatan (IB). IB dilakukan sendiri, sehingga mudah terkontrol dan
diperoleh calving interval (jarak beranak) 14 bulan. Permasalahan yang sering
dihadapi adalah distokia (kondisi dimana ternak betina mengalami kesulitan
saat melahirkan anak), dimana jumlah ternak yang mengalami distokia adalah
1-2 ekor/tahun.

Tabel 2.6. Rincian Biaya Perkandangan dan Pengolahan Limbah

Sumber : Hasil Penelitian Lapang, 2013

Kotoran ternak yang dihasilkan selama 1 bulan sebanyak ± 6-10 ton,


diproses dengan menggunakan EM4 dan dijual dengan harga Rp300/kg. Dalam
usaha peternakan ini limbah yang dihasilkan diolah menjadi pupuk, sehingga
tidak menimbulkan bau dan menyebabkan protes dari masyarakat.

Kendala beternak yang dialami adalah pengadaan modal usaha yang


meliputi modal investasi dan modal kerja. Selama ini, modal diperoleh melalui
kredit perbankan. Model kredit KKPE dinilai baik oleh peternak sebagai model
permodalan yang efektif. Untuk memperoleh kredit tersebut maka UD Alam
Raya mengajukan jaminan sertifikat kandang seluas 3.600 m2. Kendala lainnya
yang dijumpai adalah keterbatasan sumber air, sehingga kebutuhan air bersih
masih harus diangkut dengan kendaraan tangki air.

12
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

UD Alam Raya telah menerima pembiayaan usaha dengan jangka


waktu kredit selama 3 tahun, dengan jumlah kredit yang diperoleh sebesar
Rp300.000.000 dengan angsuran setiap 6 bulan sekali masing-masing sebesar
Rp25.000.000, bunga sebesar 0,14% perbulan. Dana kredit tersebut digunakan
untuk membeli sapi, meskipun menurut responden peternak kebutuhan minimal
untuk usaha peternakan ini sebesar Rp500.000.000 dengan dalam jangka kredit
minimal 5 tahun, dan sistem pengembalian secara periodik yaitu 6 bulan sekali.
Hal ini mempertimbangkan usaha penggemukan sapi potong yang dimulai dari
pengembangbiakan (dipelihara dari lahir) yang memerlukan waktu (3 tahun).
Selain itu, diperlukan peningkatan populasi (pengembangbiakan) untuk bibit.

Efek usaha setelah mendapat dana kredit bank meningkat pesat dengan
ditandai populasi sapi yang meningkat. Peranan kredit bank dianggap sangat
bermanfaat dalam memajukan usaha. Selain itu, tidak ada kesulitan atau kendala
yang dihadapi dalam mengajukan kredit bank. Saran peternak seharusnya
kredit KKPE diperpanjang ditingkatkan menjadi 5 tahun. Selain itu, dari pihak
bank perlu memberikan pendampingan (money).

2.2.3. Kelompok Usaha Sapi Penggemukan


Kelompok Usaha Sapi Penggemukan yang diketuai oleh Bapak Hartono terletak
di Mening Rejo Kelurahan Sumber Tani, Lamongan. Bapak Hartono berumur 34
tahun, pendidikan terakhir SMU, memiliki jumlah anak 2 orang, dan tanggungan
keluarga keseluruhan berjumlah 6 orang. Pekerjaan utama sebagai petani-
peternak, dan ternak yang dibudidayakan adalah sapi potong. Pekerjaan
sampingan adalah pendiri/pengelola penyuluhan ibu-ibu. Pendapatan sebagai
tenaga penyuluh adalah Rp 2.000.000/bulan. Lahan yang dimiliki terdiri dari: (1)
sawah tadah hujan (0.5 ha) dan kandang sapi (15m2). Kandang tidak terpisah
dengan rumah. Jenis sapi yang dimiliki adalah persilangan Simental dengan
jumlah sapi betina 2 ekor dan anak 1 ekor. Total sapi yang dipelihara ada 5 ekor,
terbagi menjadi 2 ekor maparoh (gaduh) dan 3 ekor milik sendiri.

Tenaga kerja (Peternak) bekerja 6 jam/hari, dengan rincian waktu untuk cari
rumput 3 jam/hari dan selebihnya untuk membersihkan kandang serta merawat
ternak. Usaha beternak dipilih dengan alasan memiliki prospek yang cukup
bagus, dan sapi mudah dijual, serta merupakan usaha turun-temurun.

Petani-peternak seperti Bapak Hartono, merupakan anggota kelompok tani


ternak. Alasan para petani membentuk kelompok adalah memudahkan dalam
peminjaman kredit dan adanya saling tukar (sharing) informasi. Selain itu, kelompok
juga berperan dalam pembelian bakalan dan penjualan sapi yang sudah digemukkan.

Sapi bakalan (umur 6-7 bulan) diperoleh dengan cara membeli di pasar
dan di pengepul sapi (blantik). Sapi muda jantan bakalan dibeli dengan harga

13
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

Rp7.500.000-Rp8.000.000/ekor dan digemukkan selama 4 bulan. Sapi betina


dibeli dengan harga Rp9.000.000/ekor digemukkan selama 3-4 bulan. Harga
jual sapi yang telah digemukkan untuk sapi jantan Rp10.000.000-Rp12.000.000/
ekor dan untuk sapi betina kurang lebih Rp11.500.000/ekor.

Penjualan ternak dilakukan dengan pembeli/tengkulak yang datang langsung


ke lokasi/kandang peternak. Setiap transaksi penjualan, peternak melaporkan
ke kelompok. Frekuensi/ volume penjualan ternak adalah sebagai berikut: (1)
3 periode dalam satu tahun, (2) jumlah penjualan per periode adalah 3-4 ekor
ternak. Dengan demikian penjualan ternak dalam satu tahun kurang lebih 12 ekor.

Peternak umumnya memperoleh pinjaman kredit sebesar Rp10.000.000


dengan suku bunga 1%/bulan. Pinjaman tersebut digunakan untuk menambah
biaya pembelian tiga ekor sapi (Rp15.000.000). Dengan demikian selain
pinjaman peternak juga menggunakan modal sendiri.

Keadaan sistem perkandangan bervariasi. Kandang yang terbuat dari


bambu untuk kapasitas 3 ekor ternak sapi (luasan 3 x 5 m2) membutuhkan biaya
konstruksi sebesar Rp10.000.000. Pada sistem gaduhan maka biaya kontruksi
kandang berasal dari pemilik modal (40%) dan pemelihara ternak (60%). Banyak
peternak yang memilih sistem gaduhan. Sekitar 50-80 ekor sapi yang dipelihara
kelompok merupakan sapi gaduhan.

Sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara diikat di kandang (intensif)


dan diberikan makanan. Pakan diberikan dalam bentuk pakan basah dan
kering. Pakan terdiri dari rumput, dedak padi, limbah kangkung, dan ampas
kedele. Bahan baku pakan lokal yang mudah didapat adalah dedak padi dan
limbah sayuran. Dedak padi dibeli dengan harga Rp 2.000/kg di tingkat penjual
eceran. Sedangkan jika dibeli di lokasi penggilingan padi harga maka dedak
padi menjadi lebih rendah, yaitu Rp 1000/kg. Pemberian pakan dedak sebagai
pakan tambahan adalah 2 kg/ekor/hari, ditambah tetes ± 10ml/ekor.

Di wilayah sekitar peternakan mudah diperoleh limbah kangkung yang


dapat dijadikan sumber pakan hijauan. Saat panen raya kangkung, limbah
kangkung menjadi pakan utama, sebaliknya bila tidak tersedia, maka limbah
kangkung tersebut dapat digantikan dengan jerami (jerami diberikan secara
langsung yang diolah dengan penambahan garam serta urea). Pemberian
jerami padi meningkat khususnya pada saat musim kemarau.

Penyakit yang sering dialami peternak sapi adalah diare yang kebanyakan
disebabkan oleh parasit cacing. Peternak telah melakukan pencegahan dengan
cara pemberian obat cacing sebanyak 3 kali per tiga bulan. Biaya pemberian
anti cacing adalah Rp 500/ekor/3 bulan. Kematian ternak selama kurun waktu
satu tahun belum pernah terjadi.

14
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

Kendala pengembangan yang sering dialami oleh peternak yakni: (1)


keterbatasan modal, (2) harga sapi yang lebih banyak ditentukan oleh tengkulak,
dan (3) ketersediaan air. Kendala modal usaha biasanya diatasi dengan
penggunaan sistem gaduh atau dengan peminjaman perbankan (kredit).
Peternak berharap adanya bantuan biaya modal yang mudah dan lancar.
Selama ini peternak mendapatkan modal dari tengkulak tetapi tidak mampu
menutupi biaya usaha peternakan, peternak juga memperoleh permodalan dari
kemitraan berupa dana CSR dari BUMN.

Ketersediaan air juga merupakan kendala yang dihadapi oleh peternak.


Hal ini dapat diatasi dengan sumur bor, dalam hal ini peternak membutuhkan
bantuan pengadaan pompa air.

2.3. Skema Pembiayaan Usaha Peternakan di Kabupaten


Lamongan

Keragaan pembiayaan usaha peternakan di Kabupaten Lamongan dipaparkan


atas dasar informasi dan ataupun wawancara ke lembaga pembiayaan yang
telah menyalurkan kredit pada peternakan. Kedua lembaga tersebut adalah
Bank Jatim dan BRI Cabang Lamongan.

2.3.1. Pembiayaan usaha peternakan yang disalurkan oleh Bank Jatim


Bank Jatim cabang Lamongan telah memberikan kredit usaha budidaya
sapi potong sejak tahun 2008. Dengan debitur keseluruhannya tersebarkan
di seluruh wilayah Kabupaten Lamongan. Informasi tentang keberadaan
skim kredit tersebut berasal dari internal perbankan dan pemerintah daerah
setempat. Motivasi perbankan untuk membiayai usaha sapi potong dalam
rangka melaksanakan progam pemerintah. Bentuk-bentuk skim kredit yang
ditawarkan oleh bank Jatim adalah: (1) KUR, (2) KUPS, dan (3) KKPE. Adapun
jenis kredit yang disediakan hanya berupa kredit modal kerja saja. Untuk kredit
investasi dan atau kombinasinya dengan modal kerja belum terwujud.

Sumber pendanaan penyaluran kredit berasal dari internal Bank Jatim


sendiri. Realisasi penyaluran kredit modal kerja di Kabupaten Lamongan
oleh bank Jatim dengan skim KUR, KUPS, dan KKPE tercatat sebesar
Rp92.448.500.000 dan telah mencapai plafond penyaluran KUK. Prosedur
penyaluran kredit adalah sebagai berikut: a) KUR dapat disalurkan melalui
perorangan atau kelompok; b) KKPE disalurkan ke kelompok dengan
rekomendasi dinas terkait; c) KUPS dapat disalurkan ke kelompok/gapoktan/
koperasi dengan rekomendasi dinas terkait. Adapun persyaratan kreditnya
adalah sebagai berikut: bunga menurut masing-masing tipe kredit secara
berturut-turut 12%, 11,5%, 11,5% untuk KUR, KKPE, dan KUPS. Bentuk jaminan

15
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

yang harus disediakan oleh debitur pada umumnya berupa sertifikat tanah/
bangunan tempat usaha dan tabungan/deposito.

Kondisi saat ini pengajuan kredit hampir seluruhnya berasal dari


pengusaha, dimana dari setiap pengajuan kredit, nasabah diharuskan
menanggung biaya administrasi. Proses realisasi kredit maksimal 14 hari
kerja setelah persyaratan perkreditan disetujui pihak perbankan, dengan
mempersyaratkan rekomendasi dari dinas terkait. Pihak bank juga memberikan
bantuan pengawasan kepada nasabah terutama dilakukan untuk memonitor
kegiatan usaha peternakannya.

Sebelum penyaluran kredit pihak perbankan selalu melakukan studi


kelayakan usaha tersebut. Dengan tolok ukur adalah: (1) IRR, (2) IMRR, (3) BEP,
(4) Pay back period, (5) Benefit cost ratio, dan (6) DER. Secara umum Bank Jatim
menilai tidak seluruh nasabah dapat mengembalikan kredit, walaupun pihak
perbankan memandang usaha peternakan sapi tersebut feasible.

Keberhasilan usaha sapi potong sangat ditentukan oleh faktor-faktor


pendukung: (1) pengusaha (SDM), (2) kelompok tani atau industri, (3) kebijakan
pemerintah baik pusat maupun daerah, (4) sarana transportasi atau perhubungan,
(5) pemasaran, (6) petugas bank, (7) bahan baku, dan (8) bahan penolong.

Faktor hambatan yang sering terjadi adalah: (1) kebijakan pemerintah


pusat maupun daerah, (2) aspek kemitraan, (3) infrastruktur, dan (4)
ketersediaan teknologi.

2.3.2. Pembiayaan usaha peternakan yang disalurkan oleh Bank BRI


Berdasarkan informasi yang diperoleh dari BRI Cabang Lamongan, bahwa
bank tersebut telah memberikan kredit untuk usaha budidaya sapi potong
sejak tahun 2011. BRI memberikan pinjaman kepada sembilan nasabah (23%
perorangan dan 77% kelompok), dengan debitur yang tersebar di wilayah
dalam kabupaten (100%). Informasi tentang skim kredit tersebut berasal dari
internal bank dan pemerintah daerah setempat (Dinas terkait).

Motivasi bank BRI memberikan pinjaman pada usaha peternakan


dikarenakan usaha peternakan dianggap menguntungkan dan layak dibiayai,
selain karena progam dari pemerintah. Bentuk-bentuk skim kredit yang
ditawarkan oleh BRI adalah: (1) KUPEDES, (2) KUR (3) KKPE, (4) Kredit Ketahanan
Pangan, dan (5) KMK. Adapun jenis kredit yang diberikan adalah kredit modal
kerja saja. Sumber dana untuk penyaluran kredit usaha ini adalah modal dari
bank BRI.

Realisasi penyaluran kredit modal kerja di Kabupaten Lamongan oleh Bank

16
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

BRI untuk KMK (skim kredit komersial) sebesar Rp1,4 miliar dan KKPE (skim
kredit program) sebesar Rp2,9 miliar.

Skema kredit yang diberikan: (1) KKPE bunga 4%, grace periode 6 bulan
dan jangka waktu pengembalian 3 tahun; dan (2) KMK bunga 13% dan jangka
waktu pengembalian 3 tahun. Disamping itu, sebagai jaminan tambahan,
pemohon kredit diminta untuk menyediakan sertifikat tanah/bangunan atau
tabungan/deposito.

Setiap nasabah dikenai biaya administrasi untuk kredit KMK, biaya tersebut
adalah biaya provisi sebesar 1% dan biaya administrasi Rp50.000 - Rp7.500.000
(bergantung plafond kredit). Selain itu, persyaratan lain yang harus dipenuhi
oleh calon debitur kredit KMK maupun KKPE adalah harus memenuhi kriteria
5C (character, capacity, capital, condition dan collateral). Pencairan dana kredit
KMK dan KKPE melalui rekening koran selama kurun waktu kurang lebih 14 hari
kerja (maksimal) setelah memenuhi persyaratan pengajuan kredit.

Bantuan lain yang diberikan bank BRI kepada peternak berupa bantuan
teknis administrasi kredit dan monitoring usaha. Pihak perbankan selalu
mensyaratkan perlu adanya rekomendasi dinas terkait untuk KKPE dikarenakan
fasilitas pinjaman kredit program ada subsidi bunga dari pemerintah,
sedangkan untuk KMK tidak harus ada rekomendasi dari dinas terkait karena
merupakan fasilitas pinjaman komersil. Pengajuan kredit hampir seluruhnya
oleh kelompok (77%) dan pengusaha sendiri (23%). Sebelum penyaluran kredit
pihak perbankan selalu melakukan studi kelayakan usaha tersebut.

Secara umum bank BRI menilai seluruh nasabah dapat mengembalikan


kredit. Pihak perbankan memandang usaha peternakan sapi tersebut feasible
dan bankable, hal ini dilihat berdasarkan aspek pasar/pemasaran, teknis
produksi, dan pengembalian kredit. Kebijakan pemerintah/pemda melalui
pengadaan program “Gemerlap” di Kabupaten Lamongan yang mencakup
sektor peternakan dirasakan cukup menentukan perkembangan usaha kecil ini.
Usaha penggemukan sapi potong termasuk jenis usaha yang paling baik kinerja
usaha/pengembalian kreditnya.

Risiko atau faktor kritis yang menentukan kelancaran jalannya usaha ialah
pengalaman usaha debitur di sektor yang dibiayai. Kinerja pengembalian kredit,
penjadwalan pengembalian kredit sesuai cash flow usaha. Keberhasilan usaha
sapi potong sangat ditentukan oleh faktor-faktor pendukung: (1) pengusaha
(SDM), (2) kelompok tani atau industri, (3) kebijakan pemerintah baik pusat
maupun daerah, (4) kemitraan, (5) pemasaran, (6) petugas bank, (7) infrastruktur,
(8) bahan baku, (9) bahan penolong, dan (10) teknologi. Faktor hambatan yang
sering terjadi adalah sarana transportasi atau perhubungan. n

17
BAB III
ASPEK TEKNIS
PRODUKSI

18
BAB III – Aspek teknis produksi

3.1. Deskripsi Usaha

Model usaha penggemukan sapi potong yang dikaji adalah usaha


penggemukan sapi yang banyak dilaksanakan di Kabupaten Lamongan.
Model usaha ini memiliki peluang pasar yang baik karena usaha penggemukan
selama + 4 bulan akan menghasilkan bobot akhir sapi potong sekitar 450 kg
dengan umur sapi sekitar 24 bulan. Untuk menurunkan tingkat kematian, maka
sapi bakalan yang digunakan umumnya berumur diatas 18 bulan. Sapi bakalan
tersebut berupa sapi persilangan dengan bobot badan awal 300kg - 350kg.
Usaha penggemukan tersebut dilaksanakan secara berkelompok dan ternak
dipelihara di kandang koloni. Setiap kelompok terdiri dari 10 orang peternak
dan masing-masing peternak mampu memelihara sapi sebanyak 4 ekor.

Pemasaran sapi hasil penggemukan dikoordinir langsung oleh kelompok


ternak. Target pemasaran adalah konsumen lokal, regional, maupun nasional.

3.2. LOKASI USAHA

Persyaratan-persyaratan lokasi usaha adalah: (1) merupakan lokasi yang


berpotensi untuk dikembangkan menjadi usaha penggemukan sapi potong,
(2) topografi relatif datar, (3) kondisi agroekosistem sesuai untuk usaha
penggemukan sapi potong, antara lain didukung oleh ketersediaan sumber
pakan dan air (kebutuhan air 70 liter per ekor per hari), (4) kesuburan tanah
cukup untuk penanaman hijauan, (5) sarana dan prasarana memadai, (6)
mudah dijangkau oleh truk (mobil angkutan), (7) tenaga kerja terampil.

Hal yang menentukan dalam pemilihan lokasi adalah ketersediaan pakan


agar sistem produksi berjalan secara berkelanjutan. Sebagai pedoman jumlah
ternak yang akan dipelihara haruslah sesuai dengan kapasitas tampung
di wilayah tersebut. Dengan demikian diperlukan upaya identifikasi atau
penentuan kapasitas tampung berdasarkan produksi bahan pakan di wilayah
tersebut. Bila terjadi ketidakcukupan, maka diperlukan perkiraan tentang
jumlah pakan yang dapat diperoleh dari luar daerah.

3.3. fasilitas Produksi dan Peralatan

3.3.1. Perkandangan
Pemeliharaan dimulai dengan pembuatan kandang dengan konstruksi yang baik
dan memenuhi persyaratan teknis serta kesehatan hewan untuk menghindari
kematian sapi yang tinggi. Secara lebih detail, persyaratan kandang yang
baik antara lain (1) konstruksi kandang harus kuat, (2) terbuat dari bahan yang
ekonomis dan mudah diperoleh, (3) sirkulasi udara dan sinar matahari cukup,

19
BAB III – Aspek teknis produksi

drainase dan saluran pembuangan limbah baik dan mudah dibersihkan, (4)
kandang mudah diakses terhadap transportasi, dekat dengan sumber air, (5)
tidak menggangu sumber air, (6) tidak menggangu lingkungan, (7) serta lokasi
yang kering dan tidak tergenang saat hujan. Contoh kandang yang digunakan
sapi penggemukan diperlihatkan dalam Gambar 4.1. dengan ukuran 9x22 m2
dengan atap asbes dan lantai semen.

Sumber : shd.doc. 2013

Gambar 4.1. Konstruksi Kandang Penggemukan Sapi


Berlantai Semen dan Atap Asbes

Kebutuhan kandang untuk setiap ekor sapi adalah seluas 2 m2 untuk anak
sapi (0-4 bulan), 3,5 m2 untuk sapi umur 4-18 bulan dan 4 m2 untuk sapi umur
lebih 18 bulan. Kandang bersama/koloni dimaksudkan untuk memudahkan
manajemen pemeliharaan, mengumpulkan kotoran ternak yang dapat diolah
menjadi pupuk organik dan/atau biogas. Tersedia tempat pakan dan minum,
menerapkan sistem biosecurity, melakukan pengobatan atau vaksinasi, dan
pemberian vitamin.

3.3.2. Peralatan
Peralatan yang digunakan oleh kelompok tani pada umumnya terdiri dari:
ember, sabit, sekop, dan kereta dorong. Semua peralatan tersebut dapat

20
BAB III – Aspek teknis produksi

diperoleh di toko pertanian setempat. Sementara peralatan yang dibutuhkan


di tingkat kelompok tani dan atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) adalah
investasi dalam bentuk: (1) mesin-mesin pengolahan pakan konsentrat, (2)
peralatan pengobatan dan Inseminasi Buatan (IB).

3.3.3. Bahan Baku


1) Bakalan, diperoleh dari pembelian di pasar hewan atau dari peternak
lainnya yang melakukan usaha pembesaran anak sapi. Bakalan dapat
berupa sapi lokal (Bali, Peranakan Ongole (PO), atau Madura) dan
juga sapi hasil persilangan (Brahman, Limousin, Simental, atau
Brangus). Bobot bakalan dapat bervariasi bergantung pada lama
penggemukan yang diinginkan. Pada umumnya bobot bakalan
adalah 300 kg -350 kg bobot hidup, dan bobot akhir mencapai 425
kg -475 kg bobot hidup, dan dicapai dengan lama penggemukan
4 bulan.
2) Pakan Hijauan. Pengadaan pakan hijauan dilaksanakan oleh peternak
sendiri dengan cara mengarit atau mengumpulkan limbah-limbah
hasil pertanian, seperti jerami padi, jagung, ubi kayu. Jumlah pakan
hijauan yang diberikan umumnya ad libitum (bebas konsumsi). Pada
umumnya jumlah pemberian yang diberikan sekitar 20 kg/ekor/
hari segar.
3) Pakan konsentrat dapat diperoleh melalui pengadaan oleh kelompok
tani atau peternak memproduksi sendiri. Konsentrat tersebut berbahan
baku utama dedak padi yang merupakan bahan baku yang sangat
tersedia di wilayah Lamongan. Jumlah pakan konsentrat yang diberikan
sebanyak 6 kg/ekor/hari.
4) Obat-obatan, vitamin, feed aditive. Berdasarkan hasil pemantauan
di lapangan khususnya didaerah Lamongan jenis obat-obatan yang
banyak digunakan adalah obat cacing dan vitamin. Rata-rata pemberian
obat cacing adalah 3 kali dalam setahun.

3.3.4. Tenaga Kerja


Pada umumnya tenaga kerja berupa tenaga kerja keluarga, terdiri dari suami
dan istri serta kadang-kadang dibantu oleh anaknya. Kemampuan peternak
dalam memelihara sapi bergantung dari kemampuan peternak mencari
rumput. Pada umumnya satu keluarga mampu memelihara 4-6 ekor sapi
penggemukan. Kendala utama adalah keterbatasan waktu untuk mencari
pakan. Dalam analisis usaha tani sering diambil asumsi bahwa upah mencari
pakan disetarakan dengan biaya pengadaan pakan hijauan. Dari hasil studi
bahwa biaya operasional (tenaga mencari rumput, pakan, listrik, tenaga
mengelola kandang) adalah Rp14.000/ekor/hari atau bila memelihara 4 ekor
per periode Rp56.000/hari.

21
BAB III – Aspek teknis produksi

3.4. Sistem Produksi

Pada umumnya dalam usaha budidaya penggemukan sapi potong,


pemeliharaan dilakukan menjadi tiga tahap: (1) umur 0-4 bulan; (2) 4-18 bulan;
dan (3) 18-24 bulan. Pemeliharaan yang paling banyak dijumpai di masyarakat
Kabupaten Lamongan adalah pemeliharaan periode 18-24 bulan. Ternak
dipelihara pada umumnya 3-4 bulan, dengan bobot bakalan 300 kg-350 kg
dan bobot potong 450 kg. Bakalan adalah sapi persilangan dengan potensi
pertambahan bobot badan 0,8-1,2 kg/ekor/hari. Perkiraan pertambahan
bobot badan sapi di Lamongan pada kondisi penggemukan yang ada adalah
sekitar 1,04 kg/ekor/hari. Sistem produksi yang dilaksanakan adalah sistem
pemeliharaan intensif (dikandangkan dan diberi makan konsentrat) di kandang
bersama namun ternak ditempatkan secara individual. Pada umumnya selama
setahun peternak mampu melaksanakan penggemukan sebanyak 3 kali periode
penggemukan, dengan lama penggemukan setiap periode adalah 3-4 bulan.

Berdasarkan kemampuan mencari rumput, kesanggupan peternak


memelihara ternak penggemukan adalah 4 ekor per peternak. Jenis pakan
yang dibutuhkan untuk progam penggemukan akhir (> 18 bulan) adalah terdiri
dari pakan hijauan dan konsentrat. Jenis-jenis hijauan yang sering diberikan
oleh peternak adalah: (1) rumput lapang, (2) limbah pertanian (jerami padi,
jerami jagung, jerami kacang-kacangan, daun kangkung dan sebagainya).
Jenis pakan lainnya adalah konsentrat, baik dalam bentuk campuran maupun
konsentrat tunggal.

Pada umumnya kebutuhan hijauan per hari sekitar 10% dari bobot sapi,
sedangkan konsentrat sekitar 4-6 kg/ekor/hari. Hijauan pakan untuk sapi dapat
disediakan dengan menanam rumput gajah atau king grass. Peternak dianjurkan
memanfaatkan lahan usaha pertaniannya untuk menanam rumput. Perkiraan
kebutuhan lahan untuk memenuhi pasokan hijauan adalah 0,4 ha untuk 4 ekor
sapi. Hal ini dapat dipakai sebagai patokan dalam pengembangan/perencanaan
usaha sapi potong.

3.5. Kendala Produksi

Beberapa kendala yang sering dijumpai pada usaha pengembangan usaha sapi
penggemukan adalah :
1) Kendala Pembiayaan. Kebanyakan peternak ingin menambah populasi
ternaknya, namun masih terkendala minimnya modal yang dimiliki.
Ketersediaan sumber-sumber pendanaan dengan persyaratan yang
dapat dipenuhi oleh peternak akan dapat membantu peternak dalam
menambah usaha atau memulai usaha penggemukan baru.
2) Kendala pakan. Walaupun secara potensial tersedia jumlah pakan dalam

22
BAB III – Aspek teknis produksi

bentuk limbah pertanian, tetapi hal ini membutuhkan waktu, dan


tenaga kerja untuk mengumpulkannya, sehingga peternak sulit
mengembangkan skala usahanya. Salah satu cara untuk mengatasinya
adalah kelompok tani atau Gapoktan mengadakan/memproduksi/
mengelola unit bisnis pakan untuk membantu pengadaan pakan bagi
peternak setempat. Jika unit pakan berfungsi maka para peternak akan
mampu meningkatkan skala usahanya.

Sumber : shd.doc 2013

Gambar 4.2. Sapi Potong yang Digemukkan

Sumber : shd.doc 2013

Gambar 4.3. Bahan Baku Pakan Lokal (jerami padi dan limbah daun kangkung)

23
BAB IV
ASPEK PASAR DAN
PEMASARAN

24
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

4.1. Aspek Pasar

4.1.1. Permintaan

Daging sapi merupakan salah satu komoditas utama hasil peternakan dengan
tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi. Permintaan daging sapi relatif stabil
dari waktu ke waktu dengan tingkat fluktuasi yang rendah. Segmen permintaan
daging sapi dari masyarakat pedesaan pendapatan relatif rendah hingga
masyarakat perkotaan dengan pendapatan tinggi. Konsumsi daging sapi
nasional tahun 2008 sebesar 266,8 ribu ton dan pada tahun 2010 sebesar
312,4 ribu ton atau meningkat sebesar 17,09% pertahun. Perkembangan
konsumsi lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk dibandingkan
dengan tingkat pendapatan. Elastisitas permintaan terhadap pendapatan relatif
rendah, sehingga tingkat konsumsi perkapita selama lima tahun terakhir tidak
mengalami peningkatan yang signifikan.

Selama kurun waktu tahun 2006-2010 terjadi peningkatan jumlah pemotongan


sapi sebesar 4,44%, namun kenaikan produksi sapi jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kenaikan pemotongan. Peningkatan produksi daging sapi nasional hanya
2,4% pertahun. Hal ini memperlihatkan bahwa tingkat permintaan sapi hidup (siap
potong) lebih tinggi dibandingkan kemampuan penyediaan.

Konsumsi daging sapi terus mengalami peningkatan cukup pesat sejak sepuluh
tahun terakhir. Secara nasional tingkat konsumsi daging saat ini telah mencapai
sekitar 7,7 kg/kapita/tahun atau meningkat rata-rata 7% per tahun. Permintaan
daging sapi memilki karakteristik tersendiri, dimana dengan keunggulan dalam
cita rasa prestise, elastisitas permintaan daging sapi terhadap pendapatan dan
pertambahan penduduk relative tinggi (>1). Selain sebagai konsumsi rumah
tangga sehari-hari untuk kelompok menengah ke atas, daging sapi telah menjadi
komoditas hidangan selera tinggi. Oleh karenanya permintaaan daging sapi
hampir tidak terpengaruh oleh kenaikan harga sapi. Tingginya permintaan daging
sapi menyebabkan ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran
karena sisi produksi pada kenyataannya belum dapat mengimbangi. Tabel 4.1
memperlihatkan tren impor daging tetap meningkat hingga tahun 2012.

Tabel 4.1. Perkembangan Impor dan Ekspor (Sapi dan Daging Sapi) serta Populasi Sapi

Sumber : Ditjen Peternakan, 2012

25
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

4.1.2. Penawaran
Daging sapi adalah sumber protein hewani paling utama. Konsumsi daging sapi
di Indonesia telah berkembang dengan pesat dan oleh karena tidak diimbangi
dengan perkembangan produksi menjadikan Indonesia sebagai negara
pengimpor daging sapi hingga saat ini.

Tabel 4.2. Produksi Daging (Indonesia) Tahun 2008-2012 (ribu ton)

Sumber : Ditjen Peternakan, 2012

Kemampuan memasok ternak sapi dalam negeri baru mencapai 70% dari
total kebutuhan. Hingga saat ini kebutuhan daging sapi nasional sebagian masih
harus dipenuhi dari impor.

Tabel 4.3. Konsumsi Daging Dalam Negeri (2008-2012)

Sumber : Badan Ketahanan Pangan - Kementrian Pertanian (2012)

4.1.3. Analisis Persaingan dan Peluang Pasar


Dalam hal daya saing, produk daging sapi lokal masih lebih rendah dibandingkan
daging impor. Produk daging dalam negeri belum sepenuhnya mampu
menggeser daging impor secara wajar. Meskipun impor ternak dan daging
sapi sudah mulai dapat ditekan (melalui kebijakan kementerian pertanian),
namun kesenjangan supply-demand daging sapi masih terjadi. Produk sapi
lokal masih belum bisa memenuhi permintaan nasional baik dari segi kualitas
maupun kontinuitas ketersediaan. Selain itu, kelangkaan sapi di masyarakat
mengakibatkan kenaikan harga sapi bakalan lokal sehingga minat peternak
dalam usaha penggemukan menurun.

Daya saing daging sapi yang diimpor dari negara pengekspor masih sangat
tinggi. Keunggulan sistem peternakan di negara pengekspor terletak pada
efisiensi produksi dan distribusi dalam model industri peternakan skala besar,
baik secara intensif maupun ekstensif yang didukung dengan bibit berkualitas,

26
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

ketersediaan pakan yang mencukupi dan murah, serta mendapat proteksi dari
negara masing-masing.

Industri peternakan di Amerika dan Eropa berbasis pada ketersediaan


pakan dan biji-bijian yang cukup melimpah sedangkan di Australia berbasis
padang penggembalaan. Sementara pengembangan peternakan nasional
lebih dicirikan dengan model skala kecil berbasis rumah tangga, dimana
peran ternak hanya sebagai instrumen pemberdayaan, penyelamatan krisis
ekonomi rumah tangga atau aspek pemerataan.

Pengelolaan sumber daya ternak belum berorientasi pada model


industrisehingga kemampuan supply produk sangat lemah karena produksi
dilakukan di lokasi yang tersebar jauh dari wilayah konsumen dengan skala
usaha kecil. Dengan kata lain, peternakan dalam negeri kurang mampu
mengantispasi tuntutan pasar karena sistem produksi yang tidak efisien dan
kualitas produk yang rendah.

Persaingan usaha secara spesifik dapat juga dilihat dalam penerapan


teknik budidaya yang khas untuk setiap pelaku usaha disetiap lokasi sentra.
Karena sifatnya yang masih manual atau semi-mekanis ini, maka secara umum
sistem produksinya masih belum efisien, dan ini yang menyebabkan harga
produksinya masih belum dapat bersaing, relatif mahal dibandingkan dengan
negara-negara lain yang sudah bisa berproduksi secara masal dengan
penerapan mekanisasi secara penuh (full mechanized).

4.2. Aspek Pemasaran

4.2.1. Harga
Selama beberapa tahun usaha budidaya sapi potong dengan produk utama
daging sapi mengalami gejolak pasar yang cukup kuat. Pengaruh masuknya
produk daging sapi impor mengakibatkan harga daging sapi lokal turun
drastis. Kebijakan impor daging sapi sangat dirasakan oleh pengusaha
daging sapi, baik level on farm maupun off farm. Kondisi ini juga semakin
diperparah saat produksi daging sapi nasional mengalami penurunan,
sehingga kebutuhan nasional untuk konsumsi rumah tangga maupun industri
mengalami kekurangan. Oleh karena itu, perlu penguatan pasar yang dapat
meningkatkan harga jual daging sapi lokal secara kompetitif dan keberpihakan
pada sistem pasokan daging sapi lokal. Perkembangan harga daging dalam
tahun terakhir adalah berkisar Rp75.000 - Rp80.000/kg dengan harga bobot
hidup sapi potong adalah Rp32.000 - Rp34.000/kg dibeberapa wilayah.
Untuk wilayah Lamongan harga sapihidup relatif baik dan stabil yaitu rata-
rata Rp36.000 - Rp37.000 per kg berat bobot badan. Hal ini diharapkan dapat
memotivasi masyarakat untuk beternak.

27
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

4.2.2. Jalur Pemasaran Produk


Jalur-jalur pemasaran relatif telah terbentuk dengan fasilitas yang menunjang,
baik usaha penggemukan yang dilakukan oleh peternak maupun yang dikelola
koperasi. Peternak secara individu dapat berhubungan secara langsung dengan
pedagang yang pada umumnya selalu beroperasi di wilayah-wilayah produksi
atau melakukan penjualan sapi secara langsung di pasar hewan yang tersedia.

Di pasar hewan tradisional, sistem jual beli ternak dilakukan atas dasar
kepercayaan. Penetapan harga dilakukan dengan terlebih menentukan berat/
bobot ternak dengan cara menaksir, bukan berdasarkan kriteria tertentu.
Dominasi blantik dalam pemasaran ternak sangat nyatadimana sebagian besar
margin keuntungan pada umumnya berada pada pedagang, baik pengumpul/
blantik maupun pedagang besar di sentra konsumen.

4.2.3. Kendala Pemasaran


Kendala umum yang biasa dihadapi oleh peternak sapi dalam pemasaran
adalah fluktuasi harga yang bisa terjadi setiap saat. Situasi supply-demand selalu
berubah karena dipengaruhi oleh kondisi internasional sebagai dampak dari
penerapan pasar bebas. Pada era perdagangan bebas saat ini, peternak sapi
potong sering mengalami dilema yang tak mudah diatasi, dimana pada saat
produksi meningkat karena masuknya produk impor sementara permintaan
tidak mengalami perkembangan yang berarti maka akibatnya harga jual ternak
dari peternak mengalami penurunan. Dengan kata lain ketidakpastian pasar
merupakan problem utama, dalam usaha budidaya sapi pedaging. Selain itu,
sebagian besar peternak mengalami kesulitan mendapatkan modal untuk
pengembangan pasar. Kedudukan peternak yang lemah terhadap pedagang
menyebabkan peternak tidak memiliki kekuatan untuk ikut menentukan harga
di pasar. Harga yang diterima peternak secara umum masih sangat rendah
dibandingkan dengan yang diterima pedagang.

Pola kemitraan yang dikembangkan juga belum dilakukan secara


transparan, sehingga peternak tidak memperoleh informasi harga yang
sesunggguhnya dengan baik. Market share atau added value share yang
dinikmati peternak masih sangat rendah, dan bahkan ketika terjadi penurunan
harga jual akibat masuknya daging impor hal ini akan berlanjut pada periode
penjualan berikutnya. Peran pemerintah dalam mengatur tata niaga ternak
dan daging sapi perlu diintensifkan untuk melindungi peternak lokal termasuk
pengusaha sapi potong. Selain upaya pengurangan volume impor secara
bertahap, pemerintah juga perlu merancang sistem subsidi yang diperlukan
bagi peternak pembibit sapi potong mengingat nilai tambah usaha pembibitan
masih sangat rendah. n

28
Halaman ini
sengaja dikosongkan

29
BAB V
ASPEK KEUANGAN

30
BAB V – ASPEK Keuangan

5.1. Pemilihan Pola Usaha

Sentra produksi sapi pedaging di Indonesia relatif luas dan usaha ternak
sapi pedaging telah berkembang sebagai unit bisnis yang prospektif,
terlebih dengan adanya permintaan pasar yang semakin meningkat. Oleh
karena itu, budidaya sapi potong tidak saja menjadi tradisi masyarakat sentra
produksi tetapi sudah merupakan usaha yang berorientasi pada peningkatan
pendapatan dan nilai tambah.

Salah satu pola usaha yang prospektif untuk dikembangkan sebagaimana


yang ditunjukkan oleh peternak maupun kelompok peternak di Kabupaten
Lamongan adalah usaha penggemukkan periode akhir dengan menggunakan sapi
persilangan dengan bobot bakalan 300 kg-350 kg dan dipelihara atau digemukkan
selama 4 bulan sehingga mencapai bobot potong 450 kg. Di bawah ini disampaikan
analisis keuangan dan kelayakan finansial dari usaha yang dikembangkan.

5.2. Asumsi dan Parameter dalam Analisis Keuangan

Dalam kajian ini akan difokuskan pada usaha penggemukkan, dengan produk
yang dijual berupa sapi siap potong. Dari pola usaha diatas, ditetapkan asumsi
parameter yang akan digunakan untuk analisis kelayakan usaha dari sisi
keuangan. Asumsi dan parameter ini diperoleh berdasarkan kondisi di lapangan
penggemukan sapi potong di beberapa kelompok peternak sapi potong di
Lamongan, dari dinas setempat, pihak perbankan, dan pustaka lainnya.

Tabel 5.1. Asumsi Dalam Analisis Keuangan

31
BAB V – ASPEK Keuangan

Pertambahan bobot badan harian (pbbh) akan menentukan tingkat


keuntungan dari usaha penggemukan sapi potong. Untuk sapi bakalan hasil
persilangan berkisar antara 0,8-1,2 kg/ekor/hari. Pertambahan bobot badan
sapi di Lamongan sangat baik sesuai dengan hasil observasi yaitu 1,04 kg/ekor/
hari. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan pakan yang relatif baik serta sistem
pemeliharaan intensif (intensitas pengawasan oleh peternak dilaksanakan secara
maksimal).

5.3. Komponen dan Struktur Biaya Investasi dan Biaya


Operasional

5.3.1. Biaya Investasi


Biaya Investasi yang dibutuhkan pada tahap awal usaha penggemukkan
sapi potong adalah pembuatan kandang, peralatan dan pembelian bakalan.
Kebutuhan biaya investasi untuk usaha penggemukan sapi potong seperti
ditunjukkan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2. Komponen dan Struktur Biaya Investasi

5.3.2. Biaya Operasional


Biaya operasional terdiri dari upah mencari pakan dan memelihara sapi, pakan
konsentrat untuk penggemukan.

Tabel 5.3. Kebutuhan Biaya Variabel Operasional Usaha

32
BAB V – ASPEK Keuangan

Biaya tetap terdiri dari biaya pengelolaan di tingkat kelompok, seperti biaya
staf pengelola, listrik, perbaikan kandang, serta pengeluaran lainnya sebagaimana
yang diperlihatkan pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4. Kebutuhan Biaya Tetap (Rp)

5.4. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja

Total biaya yang diperlukan dalam usaha budidaya sapi potong dengan jumlah
ternak sebanyak 40 ekor untuk setiap siklusnya adalah Rp 624.800.000. Dengan
asumsi awal yang ditetapkan 40% dari biaya tersebut diperoleh dari modal
sendiri dan 60% sisanya diperoleh dari kredit lembaga keuangan/perbankan
dengan suku bunga 14% per tahun, maka komposisi kebutuhan pembiayaan
usaha ini seperti ditunjukkan pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5. Struktur Kebutuhan Dana (Rp)

(Rp)

Biaya investasi yang diperlukan untuk usaha budidaya sapi potong meliputi
pembuatan bangunan kandang seluas 200m2 beserta peralatan-peralatan
penunjangnya. Jika dilihat proporsinya maka sebagian besar dana diperlukan
untuk pembuatan kandang yang mencapai 97,19% dari total inventasi yang
dibutuhkan.

33
BAB V – ASPEK Keuangan

Usaha budidaya sapi potong memerlukan biaya modal kerja sebesar


Rp532.200.000 per siklus penggemukan. Proporsi pinjaman (kredit) adalah
60% atau sebesar Rp319.320.000 dan 40% merupakan modal sendiri atau
sebesar Rp212.880.000. Bunga kredit yang ditetapkan adalah 14% per tahun
dengan sistem pembayaran angsuran setiap bukan ke-4 atau pada akhir siklus
penggemukan.

Dalam pelaksanaannya peternak akan mengambil kredit modal kerja


sebanyak 2 kali, yaitu pada awal tahun pertama (siklus ke-1) dan awal tahun
kedua (siklus ke-4). Jangka waktu untuk masing-masing pinjaman adalah 1
tahun dengan angsuran dilakukan sebanyak 3 kali pertahun atau pada setiap
akhir siklus penggemukan (4 bulan). Estimasi pengembalian kredit modal
investasi dan kredit modal kerja ditampilkan pada Tabel 5.6 dan 5.7.

Tabel 5.6. Angsuran Kredit Investasi

Tabel 5.7. Angsuran Kredit Modal Kerja

5.5. Produksi dan pendapatan

Produksi dan pendapatan usaha peternakan bergantung kepada (1) bobot dan
harga bakalan, (2) lama penggemukan, (3) pertambahan bobot badan, serta
(4) bobot dan harga sapi penggemukan/produk. Gambaran pendapatan yang
terjadi di lokasi studi adalah sebagaimana yang diperlihatkan pada Tabel 5.8.

34
BAB V – ASPEK Keuangan

Tabel 5.8. Variasi Pendapatan pada Berbagai Tipe Penggemukan

Berdasarkan Tabel 5.8 tersebut paling tidak terdapat 5 tipe penggemukan


sapi potong, dan sesuai kondisi di lokasi kajian maka penggemukan sapi
potong yang paling banyak diterapkan adalah Tipe 1, sehingga dalam analisis
finansial usaha penggemukan sapi potong dengan Tipe 1 yang akan dianalisis
secara lebih rinci. Selain ternak sapi hasil penggemukan, sumber penerimaan
lainnya adalah dari penjualan pupuk yang diolah menggunakan EM4 yang
dijual dengan harga Rp300/kg. Proyeksi produksi dan pendapatan usaha
penggemukan dengan Tipe 1 ditampilkan dalam Tabel 5.9.

Tabel 5.9. Proyeksi Produksi dan Pendapatan Usaha Rata-rata

5.6. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point

Pada tahun pertama, usaha penggemukan sapi potong diproyeksikan


dapat menghasilkan laba bersih (setelah pajak) sebesar Rp293.514.520,-
dengan asumsi seluruh ternak hasil penggemukan dapat terjual. Dengan asumsi
yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu adanya kepastian pasar, harga yang
konstan, dan produk habis terjual maka pada tahun kedua akan menghasilkan
laba sebesar Rp297.922.280,- dan Rp323.255.000,- pada tahun ketiga. Rataan
Net profit margin usaha penggemukan sapi potong mencapai 15,34% dengan
asumsi selama masa proyeksi tidak terjadi perubahan pola budidaya dan
produktivitasnya. Selain Net profit margin, pencapaian titik impas (BEP) usaha
penggemukan sapi potong pada tahun pertama sebesar Rp290.359.207,- dan
tahun-tahun berikutnya berubah menjadi Rp264.877.446 pada tahun ke-2 dan
selanjutnya menurun pada tahun ke-3 menjadi Rp118.426.113,-.

35
BAB V – ASPEK Keuangan

Tabel 5.10. Analisa Laba-Rugi Usaha (Rp)

5.7. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek

Pada usaha penggemukan sapi potong, aliran cash (cash flow) dalam
perhitungannya dibagi dalam dua aliran yaitu arus masuk (cash inflow)
dan arus keluar (cash outflow). Aliran arus masuk didapatkan dari total
penjualan ternak sapi potong yang telah dirawat selama 4 bulan, dimana
siklus usaha dilakukan selama 4 bulan sekali atau 3 kali siklus per tahun.
Dengan kemampuan pengembalian kredit selama 1 tahun maka proyeksi
arus kas disusun selama 3 tahun atau 9 siklus usaha. Proyeksi arus kas usaha
penggemukan sapi potong per tahun ditampilkan pada Tabel 5.11.

Pada usaha penggemukan sapi potong dengan asumsi usaha yang


ada, evaluasi profitabilitas rencana investasi dilakukan dengan menilai
kriteria investasi untuk mengukur kelayakan usaha penggemukan sapi
potong yaitu NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), dan Net
B/C Ratio (Net Benefit-Cost Ratio). Usaha penggemukan sapi potong sesuai
dengan asumsi yang ada menghasilkan NPV Rp266.394.213 pada tingkat
bunga 14% dengan nilai IRR adalah 66,23% dan Net B/C Ratio sebesar 3,88
(Tabel 5.12). Berdasarkan kriteria dan asumsi yang ada menunjukkan bahwa
usaha penggemukan sapi potong selama masa proyeksi sudah layak untuk
dilaksanakan dengan Pay Back Period (PBP) selama 2,01 tahun. Untuk skala
yang lebih besar sesuai dengan asumsi yang sama maka usaha penggemukan
sapi potong masih dalam kondisi layak untuk dijalankan.

5.8. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha

Analisis sensitifitas dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha jika ada


perubahan terhadap komponen usaha seperti perubahan suku bunga, harga

36
BAB V – ASPEK Keuangan

sapronak, dan harga jual hasil produksi. Dalam kasus ini analisis sensitivitas
dilakukan jika terjadi penurunan pendapatan sebesar 5%, atau terdapat kenaikan
biaya variabel sebesar 7%, serta analisis sensitivitas kombinasi dimana terdapat
penurunan pendapatan sebesar 3% dan secara bersamaan terjadi peningkatan
biaya variabel sebesar 3% maka usaha ini masih dinilai layak dilaksanakan.

Analisis sensitivitas dapat dilihat pada Lampiran 9 hingga 14. Hasil analisis
sensitivitas menunjukkan bahwa penurunan pendapatan sebesar 5% dan 6%
(Tabel 5.13), kenaikan biaya variabel sebesar 7% dan 8% (Tabel 5.14), serta
sensitivitas kombinasi (Tabel 5.15) memberikan informasi bahwa kegiatan usaha
penggemukan sapi potong sensitif terhadap perubahan nilai dari komponen-
komponen biaya yang ada.

Tabel 5.11. Proyeksi Arus Kas

37
BAB V – ASPEK Keuangan

Tabel 5.12. Kelayakan Usaha Budidaya Sapi Potong

Tabel 5.13. Sensitivitas Penurunan Pendapatan

Tabel 5.14. Sensitivitas Kenaikan Biaya Variabel

Tabel 5.15. Sensitivitas Kombinasi

38
BAB V – ASPEK Keuangan

Halaman ini
sengaja dikosongkan

39
BAB VI
ASPEK EKONOMI,
SOSIAL DAN DAMPAK
LINGKUNGAN

40
BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN

6.1. Aspek Ekonomi dan Sosial

Usaha budidaya penggemukan sapi potong pada awalnya merupakan mata


pencaharian yang bersifat sub-sistence. Namun dengan potensi dan peluang
yang ada, usaha ini mampu diarahkan sebagai unit bisnis usaha kecil. Dengan
usaha yang dikelola secara profesional, dapat meningkatkan pendapatan dan
kepastian pendapatan. Peternak kecil maupun pengusaha dapat mengandalkan
pendapatannya secara rutin dan meniyisihkan hasil untuk kebutuhan
pendidikan keluarga, kebutuhan sekunder dan tersier, misalnya untuk ibadah
atau menyekolahkan anak.

Bagi masyarakat sekitar, dampak ekonomi yang dirasakan dengan


adanya usaha budidaya penggemukan sapi potong adalah penyerapan
tenaga kerja karena kebutuhan tenaga kerjanya cukup banyak. Dampaknya
mampu mengurangi pengangguran di wilayah produksi dan tentu saja
mengurangi urbanisasi ke perkotaan. Dengan demikian keberadaan usaha ini
memberikan dampak sosial yang positif kepada masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.

Orientasi bisnis dalam usaha peternakan sudah mulai berkembang


tercermin dengan adanya permintaan kredit investasi KKPE yang dapat
mencapai Rp 12,25 miliar yang dapat diserap oleh kelompok peternak.
Bidang peternakan dipandang sebagai penggerak perekonomian daerah.
Namun penyaluran khusus untuk kredit ternak kearah penggemukan usaha
belum banyak dilakukan karena kurangnya sosialisasi fasilitas kredit tersebut.
Sebagai contoh, kredit serupa (KUPS) yang disalurkan Bank Jatim juga belum
dimanfaatkan dengan baik oleh para peternak.

6.2. Dampak Lingkungan

Kegiatan usaha penggemukan sapi potong secara nyata menyebabkan


peningkatan pendapatan. Peningkatan pendapatan merupakan bentuk
dampak lingkungan yang diciptakan dalam aspek ekonomi. Meningkatnya
pendapatan masyarakat peternak pada gilirannya akan memberikan dampak
pada meningkatkan derajat kesehatan dan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, yang berarti akan mendongkrak Indeks Pembangunan manusia (IPM)
dengan indikatornya meliputi daya beli, derajat kesehatan dan pendidikan.
Dampak terhadap lingkungan juga sangat positif. Pengelolaan sumberdaya
secara lebih optimal dengan melalui integrasi tanaman (padi) dengan peternak
sapi akan mengurangi penggunaan pupuk kimia serta mengoptimalkan
limbah pertanian sebagai pakan ternak. Dalam analisis finansial terlihat
bahwa pemanfaatan pupuk dari kotoran ternak dapat memberikan manfaat
bagi petani maupun peternak. Melalui model integrasi tersebut akan terjadi

41
BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN

perbaikan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan


sehingga tercipta lingkungan yang lebih sehat dan bersih yang dapat
mendukung terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan (suistanable
development progam). n

42
Halaman ini
sengaja dikosongkan

43
BAB VII
KESIMPULAN DAN
SARAN

44
Komoditi PAdi | Peningkatan
BAB VII – Kesimpulan
Akses Pemasaran
dan saran

7.1. Kesimpulan

Usaha budidaya penggemukan sapi potong dengan produk utama sapi siap
potong, memiliki prospek atau peluang usaha yang tinggi. Usaha tersebut dapat
diarahkan sebagai unit bisnis secara berkelompok yang mampu meningkatkan
pendapatan dan memberikan nilai tambah bagi peternak sapi potong ini. Dari
hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal penting, yaitu:

1. Usaha budidaya penggemukan sapi potong skala 40 ekor yang dilaksanakan


kelompok peternak dengan jumlah anggota berkisar 10 orang merupakan
usaha yang layak secara teknis dan finansial serta layak diberikan skema
pembiayaan dari lembaga pembiayaan, baik perbankan maupun lembaga
pembiayaan non bank untuk memberikan bantuan modal usaha, terutama
untuk pembiayaan modal usaha baik investasi maupun modal kerja,

2. Total kebutuhan dana usaha untuk budidaya penggemukan sapi potong


dengan skala 40 ekor pada tahun pertama sebesar Rp1.689.200.000,- yang
terdiri dari biaya investasi sebesar Rp92.600.000,- dan modal kerja sebesar
Rp1.596.600.000,- (3 siklus), dimana kebutuhan dana dipenuhi dari modal
sendiri (40%) dan pinjaman kredit (60%). Pinjaman kredit sebesar 60% dari
nilai operasional per siklus diajukan untuk sebanyak 2 kali, yaitu pada awal
tahun ke-1 sebesar Rp374.880.000,- (termasuk kredit investasi) dan awal
tahun ke-2 sebesar Rp319.320.000,-.

3. Skim kredit diberikan dengan tingkat bunga 14% per tahun, tanpa grace
period dengan jangka waktu pinjaman selama 1 tahun, baik untuk kredit
investasi maupun kredit modal kerja. Pengembalian pinjaman (angsuran)
dilakukan setiap 4 bulan sekali atau setiap akhir masa siklus penggemukkan.

4. Usaha budidaya penggemukan sapi potong dengan jumlah ternak 40 ekor


untuk setiap siklus atau 120 ekor per tahun dengan jangka waktu proyek
selama 3 tahun menghasilkan NPV Rp266.394.213,- pada tingkat suku
bunga 14% dengan nilai IRR 66,23% dan Net B/C Ratio 3,88 dan PBP selama
2,01 tahun. Berdasarkan kriteria dan asumsi yang ada menunjukkan bahwa
usaha penggemukkan sapi potong layak untuk dilaksanakan.

5. Peningkatan biaya produksi sangat berpengaruh terhadap tingkat kelayakan


usahanya. Komponen biaya variabel seperti harga bakalan memiliki proporsi
pengeluaran yang besar. Kenaikan biaya variabel maksimum 7% masih layak
dilaksanakan. Sedangkan penurunan pendapatan hingga 5% masih dapat
diterima secara layak untuk dilaksanakan. Sedangkan sensitivitas kombinasi
berada pada batas penurunan pendapatan dan kenaikan biaya variabel
masing-masing sebesar 3%.

45
BAB VII – Kesimpulan dan saran

6. Usaha budidaya penggemukan sapi potong berdampak pada peningkatan


pendapatan dan status sosial masyarakat. Selain itu dapat terwujud sistem
usaha yang berwawasan lingkungan dengan tetap memperhatikan
kelestarian lahan dan penggunaan bahan kimia yang terkendali dan
bertanggung jawab.

7.2. Saran

Dalam upaya pengembangan usaha penggemukan sapi potong, maka perlu


diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Pembinaan SDM (petani ternak) baik menyangkut teknis produksi,


manajemen finansial dan orientasi bisnis,

2. Peningkatan investasi dan modal kerja baik dalam bentuk natura (sapi)
maupun finansial,

3. Fasilitasi oleh pemangku kepentingan baik berupa sarana dan prasarana,

4. Pemerintah dan lembaga pembiayaan diharapkan dapat menciptakan skema-


skema pembiayaan yang disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan
peternak. n

46
Halaman ini
sengaja dikosongkan

47
INFO UMKM

INFO INF
UMKM PADA
FO UMKM WEBSITE
M PADA BANK INDONESIA
 WEBSITTE BANK INDONESIA 
htttp://jktbiwffe/id/umkm
http://jktbiwfe/id/umkm/Default.aspx m/Default.asspx 
INFFO UMKMM PADA WEBSITTE BANK INDONESIA 
 
htttp://jktbiwffe/id/umkm
m/Default.asspx 
pada website Bank Indonesia www.bi.go.id terdapat minisite Info UMKM yang
Padawebbsite Baank informasi
Ind
donesia   o.idterdapa
www.bi.go atminisite Inffo simulasi
UM
MKM yang
menyediakan terkait pengembangan UMKM, termasuk pola
menyediaakaninforma
bsite asiterkaitpe
pembiayaan
Padaweb ank engembanga
(lending
Ba model)
Ind an www.bi.go
usaha
donesia UMKM, ,termasuksim
kecil menengah
o.idterdapamulasipolapInffo embiayaan
sebagaimana
atminisite UM
MKMyang (lending
dicantumkan
model)usa
aha kecil
menyedia
dalam meenengahseb
akaninforma
buku bagaimanad
ini. asiterkaitpe dicantumkan
engembanga an UMKM, ndalambuku
,termasuksimuini.
mulasipolap embiayaan (lending
model)usa
aha kecil meenengahseb
bagaimanad
dicantumkanndalambukuuini.

asi yang terssediapadaInfo


I UMKM
M
Beberapa menuBeeberapa meenu informa
informasi yang tersedia pada Info UMKM

asi yang terssediapadaInfo


Beeberapa meenu informa I UMKMM UMKKM
Info
TenttangLayananIIni
> KoordinasidanKe
erjasama
Info UMK
> Konssultasi Usaha
KM
Tent
∨ Kela tangLayananI
ayakan a Ini
Usaha
> KooKomoditiUng
rdinasidanKeerjasama
ggulan
> Kons
sultasi Usaha
PolaPembiaayaan
∨ Kela
ayakan Usaha
SistemPenun a
njangKeputu
sanUntukInve
estasi
KomoditiUng
ggulan
PolaPembia
> Dattabase ayaan
Profil UMKM
> Kre SistemPenunnjangKeputu
edit UMKM
> Kisa sanUntukInve
ahSuksesPemb estasi
biayaan
> Pennelitian
>> Dat
ta tabase
Dat KomoditiProfil UMKM
> Link
 
k Web
Kre UMKM
M
edit UMKM
> Kisa
ahSuksesPemb
biayaan

48 > Pennelitian
> Datta Komoditi
INFO UMKM

POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA KECIL MENENGAH 
 
POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA KECIL MENENGAH
PenelitianlengkapPOLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA KECIL
Penelitian
MENENGAHlengkap
oleh POLA PEMBIAYAAN
Bank Indonesia (LENDING MODEL)
dapatdiunduhpada Info USAHAUMKM:KECIL
MENENGAH oleh Bank Indonesia dapat diunduh pada Info UMKM: http://www.
http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx
(Menu: P OLA PEMBIAYAAN ( LENDING  MODEL) USAHA KECIL MENENGAH 
bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx
Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan)
(Menu: Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan).  
PenelitianlengkapPOLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA KECIL
MENENGAHoleh Bank Indonesia dapatdiunduhpada Info UMKM:
SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN UNTUK INVESTASI (SPKUI)
SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN UNTUK INVESTASI (SPKUI) 
http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx
(Menu: Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan)
Beberapa
Beberapa polapola pembiayaan
pembiayaan (lending model)model)
(lending usaha usaha kecil menengah
kecil menengah tersebut
tersebut dapat
dapat disimulasikan
disimulasikansecara secaradan
interaktif interaktif
dinamisdan dinamis dengan
denganaplikasi SPKUIpadaaplikasi
Info SPKUI
UMKM:pada
Info UMKM: http://www.bi.go.id/spkui
http://www.bi.go.id/spkui
SISTEM  PENUNJANG KEPUTUSAN UNTUK INVESTASI (SPKUI) 
(Menu: Kelayakan
(Menu: Kelayakan Usaha
Usaha > Sistem
> Sistem Penunjang
Penunjang Keputusan Keputusan
Untuk Investasi)Untuk Investasi).
Beberapa pola pembiayaan (lending model) usaha kecil menengah tersebut dapat
disimulasikansecara interaktif dan dinamis denganaplikasiSPKUIpada Info UMKM:
http://www.bi.go.id/spkui
(Menu: Kelayakan Usaha > Sistem Penunjang Keputusan Untuk Investasi)

ƒ n Simulasi
Simulasi SPKUI SPKUI dilakukan
dilakukan dengansub
dengan mengakses mengakses sub menu
menu yang tersedia yang
secara tersedia
bertahap, yaitusecara
Home ƒ bertahap,
Komoditi  yaitu
Simulasi Asumsi  dengan
SPKUI dilakukan BiayaInv 
mengaksesBiaya Ops  Sumber Dana 
sub menu yang bertahap,ArusKas 
tersedia secaraR/L  yaitu Kelayakan 

Home  Komoditi  Asumsi  BiayaInv  Biaya Ops  Sumber Dana  R/L  ArusKas  Kelayakan 

ƒ Setiap pengguna SPKUI dapat melakukan simulasi perhitungan analisis kelayakan


usaha/proyek dengan melakukan perubahan
n Setiap pengguna (editing) terhadap variabel/parameter yang
ƒ Setiap pengguna SPKUISPKUI dapat dapat
melakukanmelakukan simulasi
simulasi perhitungan perhitungan
analisis kelayakan analisis
terdapat pada Tabel Asumsi Usaha,perubahan
Tabel Biaya Investasi Usahavariabel/parameter
dan Tabel Biayayang Operasi
kelayakan
Usaha, usaha/proyek
usaha/proyek
untuk pada
dengan
disesuaikan dengan melakukan
melakukan
dengan
(editing) perubahan
terhadap (editing) terhadap
terdapat Tabel Asumsi Usaha,situasi dan kondisi
Tabel Biaya daerah
Investasi Usaha dandimana pengguna
Tabel Biaya Operasiakan
variabel/parameter
melaksanakan usahanya.
Usaha, untuk yang
disesuaikan terdapat
dengan pada
situasi dan Tabel
kondisi daerahAsumsi
dimana Usaha,
pengguna Tabel
akan Biaya
ƒ
Investasi Usaha
melaksanakan dan Tabel Biaya Operasi Usaha, untuk disesuaikan dengan
usahanya.
Berdasarkan simulasi perhitungan akan diperoleh informasi utama dalam penentuan kelayakan
situasi dan
ƒ Berdasarkan
suatu usaha kondisi
dalam simulasi
SPKUI,daerah
yaitu: dimana
perhitungan pengguna
akan diperoleh informasi akan melaksanakan
utama dalam usahanya.
penentuan kelayakan
- suatu
Net usaha
Present
n Berdasarkan dalam
ValueSPKUI,
simulasi yaitu:
(NPV), perhitungan akan diperoleh informasi utama dalam
- Net Rate
- Interest Present
of Value
Return(NPV),
(IRR),
penentuan
- Net kelayakan
- Interest
B/C, dan suatu
Rate of Return (IRR), usaha dalam SPKUI, yaitu:
- Net B/C, dan
- Net Present
- Payback Value
Period
- Payback (NPV),
(PBP).
Period (PBP).
- Interest Rate of Return (IRR),
- Net B/C, dan
- Payback Period (PBP).

49
DAFTAR
PUSTAKA

50
Daftar Pustaka

Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian.


2012. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jendral
Peternakan, Jakarta.

Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Japan International


Cooperation Agency. 2011. Himpunan Pedoman Teknis Pengembangan
Ternak Sapi Potong di Indonesia. Direktorat Jendral Peternakan JICA,
Jakarta.

Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian. 2009. Pedoman


Pelaksanaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi. Direktorat Jendral Peternakan,
Jakarta.

Kementrian Pertanian Direktorat Jendral Peternakan. 2010. Pedoman Teknis


Kegiatan Operasional PSDS 2014. Kementrian Pertanian, Jakarta.

Kementrian Pertanian Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan


Direktorat Pembibitan Ternak. 2012. Pedoman Teknis Pembibitan Sapi
Potong Tahun 2012. Kementerian Pertanian, Jakarta.

51
Lampiran

52
Lampiran

Lampiran 1. Asumsi Untuk Analisis Keuangan

53
54
Lampiran

Lampiran 2. Biaya Investasi

B
Lampiran

Lampiran 3. Biaya Operasional

55
Lampiran

Lampiran 4. Sumber Dana

56
Lampiran

Lampiran 5. Proyeksi Produksi dan Pendapatan Rata-rata

57
Lampiran

Lampiran 6. Angsuran Kredit Investasi (Rp)

Lampiran 7. Angsuran Kredit Modal Kerja (Rp)

58
Lampiran 8. Proyeksi Rugi Laba Usaha (Rp)

59
Lampiran
60
Lampiran

Lampiran 8. Proyeksi Rugi Laba Usaha (Lanjutan)


Lampiran

Lampiran 9. Proyeksi Arus Kas

61
Lampiran

Lampiran 9. Proyeksi Arus Kas (Lanjutan)

62
Lampiran

Lampiran 10. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 5%

63
Lampiran

Lampiran 10. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 5% (Lanjutan)

64
Lampiran

Lampiran 11. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 6%

65
Lampiran

Lampiran 11. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 6% (Lanjutan)

66
Lampiran

Lampiran 12. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 7%

67
Lampiran

Lampiran 12. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 7% (Lanjutan)

68
Lampiran 13. Analisis Sensitivitas :Biaya Variabel Naik 8%

69
Lampiran
70
Lampiran

Lampiran 13. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 8% (Lanjutan)


Lampiran 14. Analisis Sensitivitas Kombinasi :Biaya Variabel Naik 3% dan Pendapatan Turun 3%

71
Lampiran
Lampiran

Lampiran 14. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Biaya Variabel Naik 3% dan


Pendapatan Turun 3% (Lanjutan)

Rupiah

72
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Kombinasi :Biaya Variabel Naik4% dan Pendapatan Turun 4%

73
Lampiran
74
Lampiran

Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Biaya Variabel Naik 4% dan Pendapatan Turun 4% (lanjutan)
Lampiran

Lampiran 16. Rumus dan Cara Perhitungan untuk Analisis Aspek Keuangan

1 Menghitung Jumlah Angsuran.


Angsuran kredit terdiri dari angsuran pokok ditambah dengan pembayaran
bunga pada periode angsuran. Jumlah angsuran pokok tetap setiap
bulannya. Periode angsuran (n) adalah selama 36 bulan untuk kredit investasi
dan 12 bulan untuk kredit modal kerja.

Cicilan pokok = Jumlah Pinjaman dibagi periode angsuran (n).


Bunga = i% x jumlah (sisa) pinjaman.
Jumlah angsuran = Cicilan Pokok + Bunga.

2. Menghitung Jumlah Penyusutan/Depresiasi dengan Metode Garis Lurus


dengan Nilai Sisa 0 (nol).
Penyusutan = Nilai Investasi /Umur Ekonomis.

3. Menghitung Net Present Value (NPV).


NPV merupakan selisih antara present value dari benefit dan present value
dari biaya. Adapun rumus untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut:

n Bt – Ct
NPV = ∑
t
= 1 (1 + i)t

Keterangan :
Bt = Benefit atau manfaat (keuntungan) proyek yang diperoleh pada
tahun ke-t.
Ct = Biaya atau ongkos yang dikeluarkan dari adanya proyek pada
tahun ke-t, tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap
merupakan modal atau dana rutin/operasional.
i = Tingkat suku bunga atau merupakan social opportunity cost of
capital.
n = Umur Proyek.

Untuk menginterpretasikan kelayakan suatu proyek, dapat dilihat dari hasil
perhitungan NPV sebagai berikut:
a. Apabila NPV > 0 berarti proyek layak untuk dilaksanakan secara finansial;
b. Apabila NPV = nol, berarti proyek mengembalikan dananya persis sama
besar dengan tingkat suku bunganya (Social Opportunity of Capital-nya).
c. Apabila NPV < 0, berarti proyek tidak layak untuk dilanjutkan karena
proyek tidak dapat menutupi social opportunity cost of capital yang
digunakan.

75
Lampiran

4. Menghitung Internal Rate of Return (IRR).


IRR merupakan nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek sama
dengan 0 (nol). IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas
investasi bersih dari suatu proyek, sepanjang setiap benefit bersih yang
diperoleh secara otomatis ditanamkan kembali pada tahun berikutnya dan
mendapatkan tingkat keuntungan i yang sama dan diberi bunga selama sisa
umur proyek. Cara perhitungan IRR dapat didekati dengan rumus dibawah ini:


NPV1
IRR = i1 + (i2 – i1) X
(NPV1 – NPV2)

Keterangan :
IRR = Nilai Internal Rate of Return, dinyatakan dalam %.
NPV1 = Net Present Value pertama pada DF terkecil
NPV2 = Net Present Value kedua pada DF terbesar
i1 = Tingkat suku bunga /discount rate pertama.
i2 = Tingkat suku bunga /discount rate kedua.

Kelayakan suatu proyek dapat didekati dengan mempertimbangkan nilai IRR
sebagai berikut:
a. Apabila nilai IRR sama atau lebih besar dari nilai tingkat suku bunganya
maka proyek tersebut layak untuk dikerjakan.
b. Apabila nilai IRR lebih kecil atau kurang dari tingkat suku bunganya maka
proyek tersebut dinyatakan tidak layak untuk dikerjakan.

5. Menghitung Net B/C.


Net benefit-cost ratio atau perbandingan manfaat dan biaya bersih suatu
proyek adalah perbandingan sedemikian rupa sehingga pembilangnya
terdiri atas present value total dari benefit bersih dalam tahun di mana benefit
bersih itu bersifat positif, sedangkan penyebut terdiri atas present value total
dari benefit bersih dalam tahun di mana benefit itu bersifat negatif.
Cara menghitung Net B/C dapat menggunakan rumus dibawah ini:

NPV B-C Positif


Net B/C =
NPV B-C Negatif

Keterangan :
Net BC = Nilai benefit-cost ratio.
NPV B-C Positif. = Net present value positif.
NPV B-C Negatif. = Net present value negatif.

76
Lampiran

Hasil perhitungan Net B/C dapat diterjemahkan sebagai berikut:


a. Apabila nilai Net B/C > 1, maka proyek layak dilaksanakan.
b. Apabila nilai Net B/C < 1, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan.

6. Menghitung Titik Impas (Break Even Point).


Titik impas atau titik pulang pokok atau Break Even Point (BEP) adalah suatu
keadaan dimana tingkat produksi atau besarnya pendapatan sama dengan
besarnya pengeluaran pada suatu proyek, sehingga pada keadaan tersebut
proyek tidak mendapatkan keuntungan dan tidak mengalami kerugian.

Terdapat beberapa rumus untuk menghitung titik impas yang dapat dipilih,
namun dalam buku ini digunakan rumus pada huruf a, b dan c di bawah ini :

Biaya Tetap
a. Titik Impas (Rp.) =
Total Biaya Variabel
1-
Hasil Penjualan

Titik Impas (Rp)


b. Titik Impas (satuan) =
Harga satuan Produk

c. Jika biaya variabel dan biaya tetap tidak dipisahkan maka pencarian
titik impas dapat menggunakan prinsip total pendapatan = total
pengeluaran.
Total Pendapatan = Harga x Jumlah produk yang dihasilkan.
Total Pengeluaran = Jumlah semua biaya yang diperlukan proyek.
Jadi harga produk x jumlah produk yang dihasilkan = Total Pengeluaran.

Titik Impas (Rp.)


d. Titik Impas (n) = x Total Produksi.
Hasil Penjualan (Rp.)

7. Menghitung PBP (Pay Back Period atau Lama Pengembalian Modal).


PBP digunakan untuk memperkirakan lama waktu yang dibutuhkan proyek
untuk mengembalikan investasi dan modal kerja yang ditanam.
Cara menterjemahkan PBP untuk menetapkan kelayakan suatu proyek
adalah sebagai berikut:
a. Apabila nilai PBP lebih pendek dari jangka waktu proyek yang ditetapkan
maka suatu proyek dinyatakan layak.
b. Apabila nilai PBP lebih lama dari jangka waktu proyek maka suatu proyek
dinyatakan tidak layak.

77
Lampiran

8. Menghitung Discount Factor (DF).


DF dapat didefinisikan sebagai: “Faktor yang dipergunakan untuk
memperhitungkan nilai sekarang dari suatu jumlah yang diterima di masa
dengan mempertimbangkan tingkat bunga yang berlaku atau disebut juga
“faktor nilai sekarang (present worth factors)”. DF diperhitungkan apabila
suatu proyek bersifat multi-period atau periode lebih dari satu kali. Dalam
hal ini periode lazim diperhitungkan dengan semester atau tahun. Nilai dari
DF berkisar dari 0 sampai dengan 1.

Cara memperhitungkan DF adalah dengan rumus sebagai berikut :

1
Rumus DF per tahun = , dimana
(1+ r) n

r = suku bunga
n = tahun 0, 1, ……….. n ; sesuai dengan tahun proyek

78
Lampiran

Halaman ini
sengaja dikosongkan

79
Halaman ini
sengaja dikosongkan

80
81
82

Anda mungkin juga menyukai