Anda di halaman 1dari 124

Pola Pembiayaan Usaha Kecil Menengah

USAHA BUDIDAYA CABAI MERAH

Kata Pengantar
Usaha Mikro, Kecil dan menengah (UMKM) dalam perekonomian nasional
memiliki peran penting dan strategis. Namun demikian, UMKM masih memiliki
kendala, baik untuk mendapatkan pembiayaan maupun untuk mengembangkan
usahanya. Dari sisi pembiayaan, masih banyak pelaku UMKM yang mengalami
kesulitan untuk mendapatkan akses kredit dari bank, baik karena kendala
teknis, misalnya tidak mempunyai/tidak cukup agunan, maupun kendala non
teknis, misalnya keterbatasan akses informasi mengenai pola pembiayaan
untuk komoditas tertentu. Di sisi lain, perbankan juga membutuhkan informasi
tentang komoditas yang potensial untuk dibiayai.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka menyediakan rujukan
bagi perbankan untuk meningkatkan pembiayaan terhadap UMKM serta
menyediakan informasi dan pengetahuan bagi UMKM yang bermaksud
mengembangkan usahanya, maka menjadi kebutuhan untuk penyediaan
informasi pola pembiayaan untuk komoditas potensial tersebut dalam bentuk
model/pola pembiayaan komoditas (lending model). Sampai saat ini, Bank
Indonesia telah telah menghasilkan 124 judul buku pola pembiayaan pola
konvensional dan 34 judul buku pola pembiayaan pola syariah.
Dalam upaya menyebarluaskan hasil penelitian dimaksud kepada
masyarakat, maka buku pola pembiayaan ini akan dimasukkan dalam minisite
Info UMKM yang dapat diakses melalui internet di alamat: http://www.bi.go.id/
id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
bersedia membantu dan bekerjasama serta memberikan informasi dan
masukan selama pelaksanaan kajian. Bagi pembaca yang ingin memberikan
kritik, saran dan, masukan bagi kesempurnaan buku ini atau ingin mengajukan
pertanyaan terkait isi buku ini dapat menghubungi:
BANK INDONESIA
Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
Grup Pengembangan UMKM
Divisi Pengembangan dan Pengaturan UMKM
Jalan M. H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat
Telp. 021 2981-7991 | Faks. 021 351-8951
Besar harapan kami, bahwa buku ini dapat melengkapi informasi tentang
pola pembiayaan komoditas bagi perbankan dan sekaligus memperluas
replikasi pembiayaan terhadap UMKM pada komoditi tersebut. n

Jakarta, november 2013


i

RINGKASAN POLA PEMBIAYAAN


USAHA KECIL MENENGAH
USAHA BUDIDAYA cabai MERAH
No Usaha Pembiayaan

Uraian

Jenis Usaha

Usaha Budidaya Cabai Merah

Lokasi Usaha

Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat

3
Dana Yang Digunakan


4

Investasi
Modal Kerja
Total

: Rp 9.200.000
: Rp 75.274.100
: Rp 84.474.100

Sumber Dana
a. Kredit (60%) Rp 50.684.460
b. Modal Sendiri (40%) Rp 33.789.640

5
Periode Pembayaran Kredit

Pembayaran angsuran pokok dan bunga


dilakukan sejak bulan ke-4 s.d. ke-6
(mulai panen) dari masa musim tanam

6
Kelayakan Usaha

a. Periode proyek

b. Produk utama

c. Skala proyek

d. Pemasaran produk

e. Teknologi

3 tahun
Cabai merah
1 hektar dengan produksi 14 ton/ha per siklus
Lokal/Regional/Nasional
Teknik budidaya cabai merah sistem mulsa
plastik

7
Kriteria Kelayakan Usaha

a. NPV Rp 32.027.167

b. IRR
63,19%
c.
Net B/C Ratio
4,48 kali
d.
Pay Back Period
2,04 tahun

e. Penilaian
Layak dilaksanakan
8 Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 6%
Analisis Profitabilitas

a. NPV Rp 3.367.496

b. IRR
17,76%
ii

No Usaha Pembiayaan

Uraian

c.
Net B/C Ratio
d.
Pay Back Period

e. Penilaian

1,37 kali
2,87 tahun
Layak dilaksanakan

9 Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 7%


Analisis Profitabilitas

a. NPV
- Rp 1.409.115

b. IRR
11,04%
c.
Net B/C Ratio
0,85 kali
d.
Pay Back Period
3,06 tahun

e. Penilaian
Tidak layak dilaksanakan
10 Analisis Sensitivitas : Kenaikan Biaya Variabel 10%
Analisis Profitabilitas

a. NPV Rp 777.737

b. IRR
14,09%
c.
Net B/C Ratio
1,08 kali
d. Pay Back Period
2,97 tahun

e. Penilaian
Layak dilaksanakan
11 Analisis Sensitivitas : Kenaikan Biaya Variabel 11%
Analisis Profitabilitas

a. NPV
- Rp 2.347.206

b. IRR
13,63%
c.
Net B/C Ratio
0,80 kali
d.
Pay Back Period
3,14 tahun

e. Penilaian
Tidak layak dilaksanakan
12 Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 4% dan Biaya Variabel Naik 4%
Analisis Profitabilitas

a. NPV Rp 420.948

b. IRR
13.59%
c.
Net B/C Ratio
1,05 kali
d.
Pay Back Period
2,98 tahun

e. Penilaian
Layak dilaksanakan
13 Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 5% dan Biaya Variabel Naik 5%
Analisis Profitabilitas

a. NPV
- Rp 7.480.607

b. IRR
2,79%
c.
Net B/C Ratio
0,19 kali
d.
Pay Back Period
3,34 tahun

e. Penilaian
Tidak layak dilaksanakan
iii

Daftar Isi
KATA PENGANTAR
RINGKASAN
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

BAB II


PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN


2.1. Profil Usaha
2.2. Profil Pengusaha
2.3. Pola Pembiayaan

i
ii
iv
vi
vi
vii
1
8
9
11
14

BAB III ASPEK TEKNIS PRODUKSI


16

3.1. Lokasi Usaha
17

3.2. Fasilitas Produksi dan Peralatan
19

3.3. Bahan Baku
23

3.4. Tenaga Kerja
23

3.5. Teknologi
24

3.6. Proses Produksi
25

3.7. Jumlah, Jenis, dan Mutu Produksi
35

3.8. Produksi Optimum
37
3.9.
Critical Point 38

iv

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN



4.1. Aspek Pasar

4.1.1. Permintaan

4.1.2. Penawaran

4.1.3. Analisis Persaingan dan Peluang Usaha

4.2. Aspek Pemasaran

4.2.1. Harga

4.2.2. Jalur Pemasaran Produk

4.2.3. Kendala Pemasaran

48
49
49
50
51
52
52
55
55

BAB V ASPEK KEUANGAN



5.1. Pemilihan Pola Usaha

5.2. Asumsi dan Parameter dalam Analisis Keuangan

5.3. Komponen dan Struktur Biaya Investasi dan Biaya Modal Kerja

5.3.1. Biaya Investasi

58
59
59
61
61

Daftar Isi


5.3.2. Biaya Modal Kerja
62

5.4. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja
63

5.5. Produksi dan Pendapatan
65

5.6. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point 68

5.7. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek
68

5.8. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha
70

5.9. Kendala Keuangan
72
BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN

6.1. Aspek Ekonomi dan Sosial

6.2. Dampak Lingkungan

74
75
76

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN



7.1. Kesimpulan

7.2. Saran

80
81
82

DAFTAR PUSTAKA

86

LAMPIRAN

90

Daftar Tabel
Tabel 1.1. Kandungan Gizi Cabai Merah Besar
3
Tabel 1.2. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai Besar Tahun 2008-2012 4
Tabel 3.1. Potensi Lahan Kawasan Cabai di Jawa Barat
19
Tabel 3.2. Kebutuhan Tenaga Kerja Usaha Tani Cabai Merah per Hektar 24
Tabel 3.3. Warna Hunter lab. Pengenceran 20%
36
Tabel 3.4. Persyaratan Mutu Cabai Merah Segar
37
Tabel 4.1. Volume dan Nilai Ekspor Cabai Indonesia
50
Tabel 4.2. Volume dan Nilai Impor Cabai Indonesia
51
Tabel 4.3. Harga Cabai Merah Besar di Beberapa Kabupaten Sentra Produksi

dan Kota Besar di Indonesia Maret-April 2013
54
Tabel 5.1. Asumsi dalam Analisis Keuangan
60
Tabel 5.2. Biaya Investasi Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar
62
Tabel 5.3. Biaya Variabel Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar
62
Tabel 5.4. Biaya Tetap Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar
63
Tabel 5.5. Struktur Kebutuhan Dana Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar 63
Tabel 5.6. Angsuran Kredit Investasi Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar
64
Tabel 5.7. Angsuran Kredit Modal Kerja Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar 65
Tabel 5.8. Proyeksi Produksi dan Pendapatan Budidaya Cabai Merah per Hektar 67
Tabel 5.9. Proyeksi Laba-Rugi Budidaya Cabai Merah per Hektar
69
Tabel 5.10. Proyeksi Arus Kas Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar
70
Tabel 5.11. Kriteria Kelayakan Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar
70
Tabel 5.12. Sensitivitas Pendapatan Turun
71
Tabel 5.13. Sensitivitas Peningkatan Biaya Variabel
72
Tabel 5.14. Sensitivitas Kombinasi
72

Daftar Gambar
Gambar 1.1. Daftar Sepuluh Komoditas Utama Penyebab Inflasi Tahun 2010
Gambar 2.1. Salah Satu Kelompok Tani Responden
Gambar 3.1. Persiapan Lahan
Gambar 3.2. Pengikatan Tanaman Cabai
Gambar 3.3. Tanaman Mulai Berbunga
Gambar 3.4. Tanaman Cabai yang Sudah Berbuah
Gambar 3.5. Cabai Siap untuk Dipetik
Gambar 3.6. Pemetikan Cabai
Gambar 3.7. Nimfa thrips Dewasa
Gambar 3.8. Lalat Buah
Gambar 3.9. Perangkap Lalat Buah
Gambar 3.10. Kutu Kebul
Gambar 3.11. Serangan Layu Fusarium pada Cabai Merah
Gambar 3.12. Layu Bakteri pada Cabai Merah

vi

6
13
27
30
32
33
34
35
39
40
41
41
43
44

Gambar 3.13. Serangan Gemini Virus pada Tanaman Cabai


Gambar 4.1. Perkembangan Harga Cabai Merah Besar di Beberapa Kabupaten

Sentra Produksi dan Kota Besar di Indonesia Tahun 2010 - April 2013
Gambar 4.2. Perbandingan Harga Cabai Domestik dan Harga Internasional

45
53
55

Daftar Lampiran
Lampiran 1. Luas Panen Cabai Besar Menurut Provinsi, 2008 - 2012
Lampiran 2. Produksi Cabai Merah Besar Menurut Provinsi, 2008 - 2012
Lampiran 3. Asumsi Untuk Analisis Keuangan
Lampiran 4. Biaya Investasi
Lampiran 5. Biaya Operasional
Lampiran 6. Sumber Dana
Lampiran 7. Proyeksi Produksi dan Pendapatan
Lampiran 8. Angsuran Kredit Investasi
Lampiran 9. Angsuran Kredit Modal Kerja
Lampiran 10. Proyeksi Rugi Laba Usaha
Lampiran 11. Proyeksi Arus Kas
Lampiran 12. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 6%
Lampiran 13. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 7%
Lampiran 14. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 10%
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 11%
Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 4% dan Biaya
Variabel Naik 4%
Lampiran 17. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 5% dan Biaya
Variabel Naik 5%
Lampiran 18. Rumus dan Cara Perhitungan untuk Analisis Aspek Keuangan

91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108

vii

BAB I
PENDAHULUAN

viii

BAB I PEndahuluan

Subsektor hortikultura memegang peranan penting dalam pertanian


Indonesia secara umum. Salah satu jenis usaha agribisnis hortikultura yang
cukup banyak diusahakan oleh para petani adalah cabai (Capsicum annuum L.).
Saat ini cabai menjadi salah satu komoditas sayuran yang banyak dibutuhkan
masyarakat, baik masyarakat lokal maupun internasional. Setiap harinya
permintaan akan cabai semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
jumlah penduduk di berbagai negara.
Cabai merupakan tanaman sayuran buah semusim yang diperlukan oleh
seluruh lapisan masyarakat sebagai bumbu atau penyedap makanan. Tanaman
cabai memiliki banyak nama populer di berbagai negara. Namun, secara umum
tanaman cabai disebut sebagai pepper atau chili. Nama pepper lebih umum
digunakan untuk menyebut berbagai jenis cabai besar, cabai manis, atau
paprika. Sedangkan chili, biasanya digunakan untuk menyebut cabai pedas,
misalnya cabai rawit. Di Indonesia sendiri, penamaan cabai juga bermacammacam tergantung daerahnya. Cabai sering disebut dengan berbagai nama
lain, misalnya, lombok, mengkreng, rawit, cengis, cengek, sebie dan sebutan
lainnya (Anonim, 2011 a).
Tanaman cabai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri (self
-pollinated crop). Namun demikian, persilangan antar varietas secara alami
sangat mungkin terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai
baru dengansendirinya (Cahyono, 2003). Beberapa sifat tanaman cabai yang
dapat digunakanuntuk membedakan antar varietas di antaranya adalah
percabangan tanaman, perbungaan tanaman, ukuran ruas, dan tipe buahnya
(Prajnanta,1999).
Tanaman cabai berasal dari dunia baru (Meksiko, Amerika Tengah dan,
Pegunungan Andes di Amerika Selatan), kemudian menyebar ke Eropa pada
abad ke-15. Kini tanaman cabai sudah mulai menyebar ke berbagai negara
tropik, terutama di Asia, Afrika Tropika, Amerika Selatan dan Karibia. Di
Indonesia, tanaman cabai tersebar luas di berbagai daerah seperti: Purworejo,
Kebumen, Tegal, Pekalongan, Pati, Padang, Bengkulu, dan lain sebagainya
(Sunaryono, 2003).
Cabai masuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan merupakan
tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah ataupun di dataran
tinggi. Tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta
mengandung minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan
memberikan kehangatan dan panas bila digunakan untuk rempah-rempah
(bumbu dapur). Tanaman cabai cocok ditanam pada tanah yang kaya humus,
gembur dan sarang serta tidak tergenang air.

BAB I PEndahuluan

Berdasarkan bentuk dan ukuran buah, cabai dikelompokkan dalam


4 (empat) tipe, yaitu cabai besar, cabai keriting, cabai rawit, dan paprika.
Cabai besar dicirikan dengan permukaan buah rata atau licin, berdaging dan
berdiameter tebal, relatif tidak tahan simpan, dan kurang pedas. Cabai besar
banyak terdapat di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, dan
Sulawesi. Cabai keriting memiliki ciri permukaan buah bergelombang atau
keriting, buah ramping dan berdaging tipis, umur panen agak lama, relatif
lebih tahan simpan dibanding cabai besar dan lebih pedas. Cabai keriting
banyak terdapat di daerah Jawa Barat dan Sumatera. Cabai rawit memiliki ciri
berukuran kecil, permukaan buah licin dan rasanya pedas.Sedangkan paprika
memiliki ciri berbentuk segi empat panjang atau seperti bel, rasa tidak pedas,
sering digunakan untuk campuran salad (Syukur et al. 2012).
Cabai merah termasuk tanaman semusim (setahun) yang berbentuk perdu,
tingginya bisa mencapai 1,5 m atau lebih. Tanaman cabai memiliki perakaran
yang cukup rumit. Akar tunggangnya dalam dengan susunan akar sampingnya
(serabut) yang baik. Biasanya di akar terdapat bintil-bintil yang merupakan hasil
simbiosis dengan beberapa mikroorganisme.
Daun cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun yang
berbentuk oval, lonjong, bahkan ada yang lanset. Warna permukaan daun
bagian atas biasanya hijau muda, hijau, hijau tua, bahkan hijau kebiruan.
Sedangkan permukaan daun pada bagian bawah umumnya berwarna hijau
muda, hijau pucat, atau hijau. Permukaan daun cabai ada yang halus ada pula
yang berkerut-kerut. Ukuran panjang daun cabai antara 3 - 11 cm, dengan lebar
antara 1 - 5 cm (Sunaryono, 2003).
Batang pada tanaman cabai merah tidak berkayu. Bentuknya bulat sampai
agak persegi dengan posisi yang cenderung agak tegak. Warna batang
kehijauan sampai keunguan dengan ruas berwarna hiaju atau ungu. Pada
batang-batang yang telah tua (batang paling bawah), akan muncul warna coklat
seperti kayu. Ini merupakan kayu semu yang diperoleh dari pengerasan jaringan
parenkim. Biasanya batang akan tumbuh sampai ketinggian tertentu, kemudian
membentuk banyak percabangan (Sunaryono, 2003).
Bunga tanaman cabai merupakan bunga sempurna, artinya dalam satu
tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina. Pemasakan bunga jantan dan
bunga betina dalam waktu yang sama (atau hampir sama), sehingga tanaman
dapat melakukan penyerbukan sendiri. Bunga berbentuk bintang, biasanya
tumbuh pada ketiak daun, dalam keadaan tunggal atau bergerombol dalam
tandan. Dalam satu tandan biasanya terdapat 2 - 3 bunga saja. Mahkota bunga
tanaman cabai warnanya putih, putih kehijauan, dan ungu. Diameter bunga
antara 5 - 20 mm. Tiap bunga memiliki 5 daun buah dan 5 - 6 daun mahkota.

BAB I PEndahuluan

Cabai selain berguna sebagai penyedap masakan, juga mengandung zatzat gizi yang sangat diperlukan untuk kesehatan manusia. Cabai mengandung
protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin-vitamin,
dan mengandung senyawa-senyawa alkaloid, seperti capsaicin, flavenoid, dan
minyak esensial (Tabel 1.1).

Tabel 1.1. Kandungan Gizi Cabai Merah Besar

Cabai mengandung capsaicin yang berfungsi untuk menstimulir detektor


panas dalam kelenjar hypothalmus sehingga mengakibatkan perasaan tetap sejuk
walaupun di udara yang panas. Penelitian lain menunjukkan bahwa capsaicin
dapat menghalangi bahaya pada sel trachea, bronchial, dan bronchoconstriction
yang disebabkan oleh asap rokok dan polutan lainnya. Hal ini berarti cabai sangat
baik bagi penderita asma dan hipersensitif udara. Capsaicin juga dipergunakan
dalam pembuatan krim obat gosok antirematik maupun dalam bentuk Koyo
Cabai. Penggunaan capsaicin di kalangan pecinta burung ocehan konon dapat
membantu merangsang burung-burung ocehan lebih aktif mengoceh. Selain
capsaicin, cabai pun mengandung zat mucokinetik. Zat ini dikenal sebagai zat
yang mampu mengatur, mengurangi, atau mengeluarkan lendir dari paru-paru.
Oleh karena itu, cabai sangat membantu penderita bronchitis, masuk angin,
influenza, sinusitus dan asma dalam pengeluaran lendir (Kahana, 2009).

BAB I PEndahuluan

Cabai selain mengandung zat gizi yang cukup lengkap, juga mengandung
zat-zat fitokimia yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan merupakan zat
yang dapat menetralisir radikal bebas yang mempercepat proses penuaan dan
membuat tubuh menjadi rentan terhadap berbagai gangguan penyakit. Selain itu
berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan akibat kerusakan
seperti ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan warna, dan aroma serta
kerusakan fisik lain pada produk pangan (Trubus, 2003).
Selain dijadikan sebagai bahan penyedap makanan, cabai juga bisa
dimanfaatkan menjadi berbagai macam produk olahan seperti saos cabai, sambel
cabai, pasta cabai, bubuk cabai, cabai kering, dan bumbu instant. Sebagian
produk-produk tersebut sudah berhasil di ekspor ke Singapura, Hongkong, Saudi
Arabia, Brunei Darussalam, dan India.
Luas areal panen cabai merah besar pada tahun 2008-2012 cenderung
fluktuatif. Luas panen tertinggi terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 122.755
ha. Produksi cabai merah secara nasional terus mengalami peningkatan dari tahun
2008 - 2012. Produktivitas cabai (ton/ha) secara nasional cenderung mengalami
peningkatan, kecuali tahun 2010. Pada tahun 2012, produksi cabai besar nasional
mencapai 954.310 ton dengan produktivitas rata-rata 7,93 ton/ha (Tabel 1.2).
Menurut Data BPS (2013), daerah utama sentra penanaman cabai besar adalah
Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Luas areal panen
cabai besar di Jawa Barat pada tahun 2012 mencapai 16.043 ha dengan produksi
201.384 ton. Produktivitas cabai merah di Jawa Barat jauh di atas rata-rata nasional
yaitu mencapai 12,55 ton/ha.

Tabel 1.2. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas


Cabai Merah Besar Tahun 2008-2012

Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura (2013)

BAB I PEndahuluan

Produksi cabai besar Jawa Barat tahun 2012 sebesar 81,63% dihasilkan di
tujuh wilayah sentra yaitu Kabupaten Garut sebanyak 49.592 Ton, Kabupaten
Cianjur 33.991 ton, Kabupaten Tasikmalaya 31.784 ton, Kabupaten Bandung
20.128 ton Kabupaten Sukabumi 12.587 ton, Kabupaten Bandung Barat 8.276
ton, dan Kabupaten Majalengka 8.030 ton. Sisanya sebesar 18,37% tersebar di 19
kabupaten/kota lainnya (BPS Provinsi Jawa Barat, 2013).
Cabai merah termasuk dalam golongan enam besar dari komoditas sayuran
di Indonesia, selain bawang merah, tomat, kentang, kubis, dan kol bunga.
Meskipun telah mengekspor cabai merah segar, sampai saat ini kebutuhan cabai
secara nasional masih belum dapat terpenuhi, untuk menutupi kekurangan
tersebut maka dilakukan impor.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2008 - 2012 menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan konsumsi cabai besar dari 15,486 ons/kapita pada
tahun 2008 menjadi 16,529 ons/kapita di tahun 2012. Hal ini sejalan dengan
peningkatan jumlah penduduk Indonesia setiap tahun dan mencapai 255.587.718
jiwa pada tahun 2012 (Data KPU, 2012). Dengan demikian kebutuhan cabai merah
secara nasional juga mengalami peningkatan.
Budidaya cabai merah menjadi peluang usaha yang masih sangat
menjanjikan, bukan hanya untuk pasar lokal saja namun juga berpeluang untuk
memenuhi pasar ekspor. Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian,
nilai impor cabai secara nasional pada tahun 2012 mencapai US$ 27.935.228
dan nilai ekspor komoditas tersebut mencapai US$ 24.979.192 (http://aplikasi.
deptan.go.id/eksim2012). Data tersebut menunjukkan Indonesia adalah nett
importir komoditas cabai.
Fluktuasi harga cabai merah yang sering terjadi, umumnya disebabkan oleh
ketersediaan pasokan cabai merah yang tidak merata sepanjang tahun. Akibatnya
harga cabai biasanya akan melonjak naik ketika pasokan di pasar sedikit, terutama
saat mendekati hari besar nasional atau keagamaan. Sebaliknya harga komoditas
ini akan menukik turun ketika pasokan dari sentra produksi membanjiri pasar.
Meroketnya harga cabai merah ternyata juga membawa dampak negatif
secara nasional. Cabai merah dinilai sebagai salah satu komoditas utama yang
berkontribusi terhadap terjadinya inflasi. Pada tahun 2010, cabai merah merupakan
komoditas 3 (tiga) besar yang menyebabkan terjadinya inflasi (Gambar 1.1). Oleh
karena itu, perlu ada upaya untuk menjaga kestabilan pasokan dan kestabilan
harga komoditas tersebut.

BAB I PEndahuluan

Sumber : BPS dalam Bisnis Indonesia

Gambar 1.1. Daftar Sepuluh Komoditas Utama Penyebab Inflasi Tahun 2010

Sekalipun cabai merah mempunyai prospek permintaan yang baik, tetapi


sektor budidaya cabai merah dalam skala usaha kecil masih menghadapi berbagai
masalah atau kendala. Permasalahan/kendala utama yang dapat menyebabkan
bisnis usaha kecil budidaya cabai merah sering menghadapi resiko gagal, tidak
adanya kepastian jual, harga yang berfluktuasi, kemungkinan rendahnya margin
usaha, lemahnya akses pasar, dan ketidakmampuan untuk memenuhi persyaratan
teknis bank.
Upaya peningkatan produksi cabai merah dilakukan melalui ekstensifikasi
dan intensifikasi. Penumbuhan sentra produksi cabai merah dilakukan melalui
upaya ekstensifikasi dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan dan
agroklimat, potensi pasar, dan potensi sumber daya manusia. Pemantapan
sentra dilakukan melalui upaya intensifikasi dengan menerapkan Iptek serta
pengembangan pemasaran dan kelembagaan.
Upaya yang ditempuh untuk membantu UKM dalam bidang agribisnis
budidaya cabai merah agar mereka mampu memanfaatkan peluang dan sekaligus
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (kelemahan dalam sistem, penerapan
teknologi, kelemahan dalam distribusi/pemasaran) dilaksanakan melalui
pengembangan kebijakan di sektor-sektor pemerintah, moneter dan di sektor
riil. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membantu pelaku UKM budidaya
cabai merah yaitu menyediakan kredit yang sesuai dan cocok untuk agribisnis
berskala kecil, menciptakan kondisi yang kondusif bagi pengembangan tanaman
hortikultura sayur-sayuran yang tergolong rempah-rempah termasuk komoditas
cabai merah dan memfasilitasi pelaksanaan Program Kemitraan Terpadu (PKT)
6

BAB I PEndahuluan

yang dapat memberikan jaminan keberhasilan proyek budidaya cabai melalui


kemitraan dengan Usaha Besar dan melibatkan bank sebagai pemberi kredit
dalam suatu kesepakatan kerjasama.
Melalui studi pola pembiayaan yang mencakup penilaian kelayakan usaha
budidaya cabai merah dan Program Kemitraan Terpadu (PKT) yang dilaksanakan
di daerah yang menjadi objek penelitian, yaitu Tasikmalaya, diharapkan dapat
direplikasi hampir di seluruh propinsi yang memiliki kesuburan lahan atau
kecocokan lahan, serta iklim yang paling cocok untuk pelaksanaan budidaya
cabai merah.
Sebagai upaya optimalisasi pengembangan cabai merah, pihak Bank
Indonesia Tasikmalaya telah membuat Program Klaster Nasional Cabai Merah
Besar. Dalam rangka pelaksanaan klaster nasional yang digagas oleh Bank
Indonesiatersebut, Provinsi Jawa Barat bersama dengan enam daerah lainnya
terpilih untuk mengembangkan klaster cabai merah. Salah satu definisi
klaster adalah upaya untuk mengelompokkan industri/usaha inti yang saling
berhubungan, baik industri pendukung, industri terkait, jasa penunjang,
infrastruktur ekonomi, penelitian, pelatihan, pendidikan, informasi, teknologi,
sumber daya alam, serta lembaga-lembaga terkait. Klaster juga merupakan cara
untuk mengatur beberapa aktivitas pengembangan ekonomi.
Untuk wilayah Priangan Timur, klaster cabai merah ini dilaksanakan di Kota
Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis yang memiliki kondisi alam dan geografis
yang sesuai bagi pengembangan klaster cabai, terlebih lagi daerah tersebut
saat ini telah menjadi produsen cabai merah dan sayur mayur lainnya. Program
ini merupakan upaya mengoptimalkan potensi sektor pertanian hortikultura,
khususnya cabai merah di wilayah Ciamis dan Tasikmalaya. Dalam klaster cabai
tersebut, koperasi dijadikan sebagai lokomotif perkembangan cabai industri.
Usaha budidaya cabai merah ini telah menciptakan kesempatan bagi
para petani untuk meningkatkan pendapatannya, tetapi pada umumnya
petani jarang memperhitungkan besar kecilnya biaya yang diinvestasikan
dan keuntungan yang diperoleh. Dengan demikian untuk menghindari
kerugian dan meningkatkan keuntungan, petani sebagai pengusaha harus
bisa memperhitungkan dan mengukur biaya yang akan dikeluarkan untuk
kepentingan produksinya sehingga akan diketahui apakah usaha tani cabai
merah itu menguntungkan atau tidak.
Cukup banyak kendala yang dijumpai dalam usaha budidaya cabai merah,
diantaranya adalah masalah teknis produksi dan pengadaan modal usaha.
Menyadari akan hal ini maka perlu dilakukan kajian tentang Pola Pembiayaan atau
Lending Model Usaha Kecil dan Menengah bagi para petani cabai, khususnya
yang ada di wilayah klaster cabai. n
7

BAB II
PROFIL USAHA DAN
POLA PEMBIAYAAN

BAB II Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

2.1. Profil Usaha


Agribisnis merupakan suatu cara lain untuk melihat pertanian sebagai
suatu sistem bisnis yang terdiri dari empat subsistem yang terkait satu sama
lain. Keempat subsistem tersebut adalah: (1) subsistem agribisnis hulu, (2)
subsistem agribisnis usaha tani, (3) subsistem agribisnis hilir dan (4) subsistem
jasa penunjang. Adanya salah satu subsistem tidak berjalan sesuai fungsi dapat
mengakibatkan subsistem lain juga tidak berjalan (Saragih, 2010). Salah satu
usaha yang termasuk dalam bidang ini adalah budidaya cabai merah.
Cabai merah adalah komoditas yang memiliki peluang margin keuntungan
yang menggiurkan tapi juga beresiko tinggi. Budidaya cabai merah adalah
suatu usaha pertanian yang bersifat intensif, padat modal, dan padat tenaga
kerja.Para petani cabai harus memiliki kejelian baik dalam mengamati kondisi
iklim di lapangan maupun kondisi pasar. Para petani juga harus memiliki
informasi tentang pelaksanaan waktu tanam cabai yang dilakukan oleh rekan
mereka yang lain, baik di daerah yang sama maupun di sentra penanaman
cabai di daerah lain.
Para petani cabai Tasikmalaya, Ciamis, dan mungkin juga di daerah lain
biasanya bergabung dalam kelompok tani. Beberapa kelompok tani tersebut
bergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Setiap satu desa hanya
boleh ada satu Gapoktan.
Salah satu upaya yang ditempuh untuk membantu Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) dalam bidang agribisnis budidaya cabai merah yaitu
Program Kemitraan Terpadu (PKT). Secara umum kelembagaan kemitraan
dapat dipilah menjadi dua pola usaha yaitu pola dagang umum dan
kelembagaan kemitraan usaha contract farming dengan berbagai variasinya.
Beberapa keunggulan pola dagang umum antara lain adalah: (1) Kelembagaan
kemitraan pola ini umumnya lebih fleksibel yang didasarkan atas ikatan-ikatan
informal yang tidak mengikat, ikatan langganan, ikatan modal tanpa bunga,
serta ikatan sosial lainnya; (2) Umumnya pedagang memiliki jaringan pasar
yang luas namun tidak mengikat (pasar tradisional, supplier, dan supermarket);
(3) Memiliki fleksibilitas keluar masuk pasar; dan (4) Dapat menampung hasil
produksi sayuran pada hampir semua kelas kualitas dengan perbedaan
harga pembelian. Beberapa kelemahan pola ini adalah : (1) Efisiensi dalam
pengumpulan hasil rendah karena produksi tersebar; (2) Efisiensi dalam
pengangkutan rendah karena seringkali tidak mencapai skala angkut maksimal;
(3) Fluktuasi harga tajam karena mengikuti mekanisme pasar sepenuhnya; dan
(4) Kurang mendorong petani pada peningkatan kualitas hasil karena sistem
pembelian dari pedagang seringkali dilakukan dengan sistem borongan,
tebasan, dan ijon, meskipun terdapat juga petani yang memasarkan dengan
sistem timbang atau kiloan.
9

BAB II Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

Sementara itu beberapa keunggulan pada pola contract farming


(dalam pelaksanaannya berupa kontrak pemasaran) antara lain adalah: (1)
Efisiensi dalam pengumpulan hasil tinggi karena kontrak dilakukan secara
berkelompok dalam hamparan tertentu; (2) Efisiensi dalam pengangkutan
tinggi karena dapat mencapai skala angkut maksimal; (3) Harga relatif
stabil karena ditetapkan dengan sistem kontrak pemasaran di mana harga
ditetapkan sebelum tanam; dan (4) Mampu mendorong petani untuk
menghasilkan produk berkualitas, karena hanya produk-produk yang
memenuhi standar mutu tertentu yang ditampung, produk yang tidak
memenuhi standar mutu akan dikenakan rafaksi oleh perusahaan mitra; serta
(5) Efektif diterapkan pada komoditas atau produk yang memiliki struktur
pasar yang oligopolistik-oligopsonistik, di mana pada sebagian besar
komoditas menghadapi kondisi ini.
Jika dilihat dari tujuan penjualannya, secara umum terdapat dua
pola penanaman cabai merah yaitu penanaman untuk tujuan industridan
penanaman untuk konsumsi. Untuk tujuan industri, perusahaan penampung
yang ada di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis adalah PT Heinz ABC. Untuk
tujuan konsumsi, biasanya cabai merah tersebut ditampung oleh pengumpul
untuk kemudian dikirim ke pasar lokal dan pasar induk yang ada di wilayah
Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Pada usaha budidaya cabai merah untuk industri, kelompok tani tersebut
dibina oleh suatu lembaga pendamping, misalnya koperasi. Salah satu koperasi
yang membina para petani ini adalah Koperasi Jasa Agribisnis (Koja) yang
terletak di Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis. Koja membina 20
kelompok tani dengan luas pertanaman cabai 168 ha.
Koperasi Jasa Agribisnis (Koja) STA Panumbangan adalah koperasi jasa
yang berada di Kecamatan Panumbangan Kabupaten Ciamis yang didirikan
pada tanggal 20 Juni 2003 dengan Badan Hukum No: 11/188.5/BH/KUKM/
VI/2003. Kehadiran Koperasi Jasa Agribisnis (Koja) STA Panumbangan
seharusnya dapat menjadikan gerakan koperasi di Indonesia menjadi lebih
hidup karena mempunyai sumber daya yang baik. Selain itu, binaan Koperasi
Jasa Agribisnis (Koja) STA Panumbangan juga cukup banyak yaitu membina
kelompok tani di Kecamatan Panumbangan dan Sukamantri. Koja mempunyai
wilayah kerja dalam wilayah Kabupaten Ciamis meliputi enam Kecamatan
lainnya yaitu Kecamatan Panjalu, Kecamatan Cihaurbeuti, Kecamatan Kawali,
Kecamatan Lumbung, Kecamatan Sindangkasih, dan Kecamatan Cikoneng.
Namun, pada perjalanannya koperasi ini mengalami mati suri pada tahun
2006 hingga 2009, tetapi pada awal tahun 2010 koperasi dihidupkan kembali
berdasarkan inisiatif para anggota yang merasa bahwa keberadaan koperasi
tersebut sangatlah penting bagi kelangsungan kesejahteraan anggota dan
masyarakat. Koja STA Panumbangan merupakan koperasi yang bergerak
10

BAB II Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

di bidang jasa, unit usaha yang dilakukan yaitu usaha budidaya pertanian
hortikultura, dan usaha simpan pinjam.
Koja berperan dalam pembinaan para petani, menyalurkan kebutuhan
benih dan sarana produksi serta menampung hasil panen cabai yang dihasilkan.
Koja juga bermitra dengan perusahaan industri (PT. Heinz ABC) yang siap
menampung cabai yang memenuhi syarat yang ditentukan. Setiap harinya,
PT. Heinz ABC membutuhkan sekitar 100 ton bahan baku cabai merah untuk
keperluan industri. Pasokan cabai tersebut terutama didatangkan dari Jawa
barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Para petani binaan yang telah dianggap berpengalaman dan mampu
akan direkomendasikan oleh Koja untuk mendapatkan pinjaman kredit dari
Bank. Pada saat ini sebagian kelompok tani tersebut mendapatkan bantuan
pinjaman kredit modal kerja dari Bank BNI. Skim kredit yang diberikan oleh
BNI adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Di Kecamatan Cihaurbeuti, terdapat petani cabai merah didampingi
oleh suatu lembaga yang bernama Kelompok Usaha Karya Unggul Agrotama
(KUAT). Lembaga ini yang membantu mengatur penyaluran sara produksi dan
pengelolaan keuangan mitra binaan kelompok tani. KUAT bermitra dengan PT
AETRA sebagai off taker yang menjamin pembelian hasil produksi. PT AETRA
ini juga mengirim cabai merah tersebut ke PT Heinz ABC.
Dalam kegiatan usaha budidaya cabai merah industri ini, mutlak diperlukan
skim kerjasama kemitraan dengan industi sebagai penampung produksi. Oleh
sebab itu, bentuk kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan dan bersifat
saling membutuhkan (setara) perlu terus dikembangkan.
Harga kontrak pembelian saat ini dari PT Heinz ABC untuk cabai yang
berasal dari sentra produksi di Jawa Barat adalah Rp 10.000/kg. Dari harga
tersebut maka bagian yang diterima petani adalah Rp 7.000/kg. Selisih harga
yang Rp 3000/kg digunakan untuk biaya sortasi, transportasi, dan keuntungan
dari pembina (misal Koja). Jika harga pembelian PT Heinz ABC dari suplier
lebih dari Rp14.000/kg maka akan ada insentif harga bagi petani pemasok
sesuai kontrak yang disepakati. Dari data yang didapat, pada musim tanam
tahun 2012/2013 ini kontrak yang dilakukan oleh Koja dan PT Heinz ABC
adalah 800 ton dengan luas kebun yang disepakati 100 ha.
2.2. Profil Pengusaha
Pada umumnya para pelaku usaha budidaya cabai merah ini adalah para
pengusaha skala mikro dan kecil. Mereka memiliki posisi yang lemah dalam
11

BAB II Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

proses tawar menawar. Menurut Akhmad (2007), upaya yang harus dilakukan
petani untuk menaikkan posisi tawar petani adalah dengan:
1) Konsolidasi petani dalam satu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi
dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran.
Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan kolektifikasi semua
proses dalam rantai pertanian, meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi
produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya
membangun modal secara kolektif dan swadaya, misalnya dengan
gerakan simpan-pinjam produktif yang mewajibkan anggotanya
menyimpan tabungan dan meminjamnya sebagai modal produksi,
bukan kebutuhan konsumtif. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal
kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi
ketergantungan kredit sertajeratan hutang tengkulak.
2) Kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk
menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal
ini perlu dilakukan agar dapat dicapai efisiensi produksi dengan skala
produksi yang besar dari banyak produsen. Efisisensi dapat dicapai
melalui skala usaha yang lebih besar dan terintegrasisehingga tercipta

penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, dan kemudahan
dalam pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan
penyakit. Langkah ini juga dapat menghindari kompetisi yang tidak
sehat di antara produsen yang justru akan merugikan, misalnya dalam
irigasi dan jadwal tanam.
3) Kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan
untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang
besar, dan menaikkan posisi tawar produsen dalam perdagangan
produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan untuk mengkikis
jaring-jaring tengkulak yang menekan posisi tawar petani dalam
penentuan harga secara individual.
4) Upaya kolektifikasi tersebut tidak berarti menghapus peran dan posisi
pedagang distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan utamanya
adalah merubah pola relasi yang merugikan petani produsen dan
membuat pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai tata
niaga yang tidak menguntungkan.
Luas lahan atau skala usaha petani cabai merah sangat bervariasi.
Pada setiap kelompok tani/kelompok usaha, ditunjuk seorang Ketua dan
Sekretaris merangkap Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompok
adalah melakukan koordinasi antarasesama anggota kelompok sertaanggota
kelompok dengan pihak luar seperti koperasi dan instansi lainnya. Ketua
kelompok wajib menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang
waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok.

12

BAB II Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

Pada umumnya, petani cabai memiliki luas lahan rata-rata berkisar antara 0,5
hektar hingga 1,0 hektar. Tanah untuk menanam cabai tersebut umumnya milik
petani sendiri. Petani responden yang didatangi memiliki tingkat pendidikan yang
bervariasi, mulai dari SD hingga tingkat perguruan tinggi. Dalam melakukan budidaya
cabai merah ini para petani bergabung dalam kelompok tani. Meski demikian,
tanggungjawab keberhasilan proses produksi ada di tangan individu petani.
Usaha budidaya cabai merah ini pada umumnya dimiliki oleh perorangan,
serta sebagai usaha keluarga sejak lebih dari 5 tahun yang lalu dan mengalami
perkembangan dari tahun ke tahun. Motivasi usaha budidaya cabai merah yaitu
harga jualnya yang cukup baik dengan adanya kontrak harga minimal dengan PT.
Heinz ABC, sumber daya alam yang mendukung, teknologi tersedia atau adanya
pengalaman dengan keterampilan yang sederhana. Namun, dalam menjalankan
usaha budidaya cabai merah diperlukan keuletan dan ketelatenan yang ekstra.
Pengusaha dapat memperoleh teknik budidaya yang baik dari berbagai
instansi, seperti penyuluhan dari Dinas Pertanian, pembinaan dari balai benih,
pendampingan dari perusahaan mitra atau juga pertukaran informasi dari
pengusaha sejenis yang telah sukses. Pengalaman cara budidaya cabai merah
secara turun-temurun sesungguhnya memberikan tingkat ketrampilan yang
sangat baik untuk petani, namun hal tersebut menyebabkan petani susah
menerima hal-hal baru terkait dengan budidaya cabai merah dalam rangka
perbaikan produksi serta kelestarian alam. Dari pengamatan lapang, tenaga
agronomis yang paling berperan dalam pendampingan petani adalah tenaga
lapang yang berasal dari perusahaan penyalur benih dan saprotan (PT. Tanindo)
serta tenaga agronomis yang berasal dari industri pengguna produk (PT. Heinz
ABC). Untuk itu, perlu adanya bimbingan dan penyuluhan yang lebih intensif
bagi petani dari penyuluh Dinas Pertanian.

Gambar 2.1.Salah Satu Kelompok Tani Responden

13

BAB II Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

Secara teknis, petani memperoleh benih dari perusahaan mitra dan akan
dibayar setelah panen, sedangkan untuk modal kerja lainnya (non benih)
diperoleh daripinjaman ke bank. Hal ini seperti yang dilakukan oleh kelompok
Tani Cinta Mekar, mitra dari Koperasi Jasa Agribisnis (KOJA) dimana kelompok
tani tersebut memperoleh pinjaman dari BNI Cabang Tasikmalaya. Beberapa
petani juga memperoleh pembiayaan dari BRI Cabang Tasikmalaya.
2.3. Pola Pembiayaan
Pola pembiayaan usaha budidaya cabai merah berasal dari petani/pengusaha
sendiri (modal sendiri), kredit bank, ataupun berasal dari lembaga lain yang
non bank (dengan mekanisme pencairan dana dan pembayaran kredit melalui
bank). Proporsi pola pembiayaan ini bervariasi antar petani/pengusaha. Pola
pembiayaan ini juga sangat tergantung pada skala usahanya (luasan lahan
yang dikelola). Beberapa pengusaha/petani menggunakan 100% modal
sendiri dari perputaran usahanya atau dukungan dari usaha lainnya, dan pola
pembiayaannya menggunakan kombinasi antara modal sendiri dan kredit
bank/non bank. Pada umumnya, di awal pendirian usaha, seluruh pendanaan
berasal dari pemilik usaha, baik pribadi maupun dukungan usaha lainnya.
Dalam perkembangannya, beberapa pengusaha berhasil mendapatkan kredit
dari bank, kemitraan, dan bantuan program dari dinas terkait. Beberapa bank
yang memberikan kredit untuk usaha budidaya cabai merah adalah BNI dan BRI.
Selain itu, terdapat juga anggota kelompok tani yang mendapatkan bantuan
pembiayaan dari investor swasta.
Bank pelaksana akan menilai kelayakan usaha sesuai dengan prinsipprinsip bank teknis. Jika proyek layak untuk dikembangkan, perlu dibuat suatu
nota kesepakatan (Memorandum of Understanding = MoU) yang mengikat
hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bermitra (inti, Plasma/Koperasi
dan Bank). Sesuai dengan nota kesepakatan, atas kuasa koperasi atau plasma,
kredit perbankan dapat dialihkan dari rekening koperasi/plasma ke rekening
inti untuk selanjutnya disalurkan ke plasma dalam bentuk sarana produksi,
dana pekerjaan fisik, dan lain-lain. Dengan demikian plasma tidak akan
menerima uang tunai dari perbankan, tetapi yang diterima adalah sarana
produksi pertanian yang penyalurannya dapat melalui inti atau koperasi.
Petani plasma melaksanakan proses produksi. Hasil tanaman plasma dijual
ke inti dengan harga yang telah disepakati dalam MoU. Perusahaan inti akan
memotong sebagian hasil penjualan plasma untuk diserahkan kepada bank
sebagai angsuran pinjaman dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai
pendapatan bersih.
Di samping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek
budidaya/produksi yang diperlukan, kajian Pola Pembiayaan/Lending Model
14

BAB II Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

ini juga melakukan analisis terhadap kelayakan keuangan. Pihak bank dalam
mengadakan evaluasi, juga harus memastikan bagaimana pengelolaan kredit
dan pemenuhan persyaratan kredit yang diperlukan sehingga dapat menunjang
keberhasilan budidaya cabai merah. Skim kredit yang akan digunakan untuk
pembiayaan ini bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yang sesuai
dengan bentuk usaha tani ini.
Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma
akan mencairkan kredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional
lapangan, dan bagaimana petani akan membayar angsuran pengembalian
pokok pinjaman beserta bunganya. Untuk itu, bank perlu membuat perjanjian
kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkan kesepakatan pihak
petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil
penjualan petani plasma/UKM sejumlah yang disepakati bersama untuk
dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan
rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh
pihak petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang
hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama
untuk dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan
dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit.
Bank BRI dan BNI cabang Tasikmalaya menyalurkan kredit modal kerja untuk
budidaya cabai merah melalui skim Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE)
dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Lama pengembalian kredit bagi usaha budidaya
cabai merah umumnya 12 bulan, dengan suku bunga 13% per tahun untuk
KUR dan 4% per tahun untuk KKPE. Jangka waktu ini sudah mencakup masa
pengolahan lahan hingga panen petikan terakhir.
Salah satu syarat supaya petani cabai mendapat kredit ini yaitu petani harus
terlebih dahulu memiliki jaminan pasar pascapanen. Misalnya, petani harus
sudah memiliki kontrak kerja sama dengan perusahaan besar yang menerima
hasil pertanian mereka. Hal itu disyaratkan sebagai kehati-hatian perbankan
dalam menyalurkan kredit, mengingat kredit pertanian cukup berisiko bagi dunia
perbankan. Dalam hal ini, seluruh kelompok tani tersebut sudah melakukan
kontrak dengan PT. Heinz ABC yang akan menampung cabai merah yang
dihasilkan.
BNI Cabang Tasikmalaya mencatat realisasi kredit untuk penanaman cabai
merah di Priangan Timur hingga 2012 mencapai Rp3,46 miliar. Kredit tersebut
disalurkan kepada 8 Gapoktan dengan luas lahan penanaman cabai total, yaitu 57
ha. Gapoktan tersebut di atas berasal dari Kabupaten Ciamis tepatnya Kecamatan
Sukamantri, Panumbangan, Panawangan, dan Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya
Kecamatan Gentong. Sementara itu, BRI mencatat realisasi kredit sejumlah Rp 560
juta kepada 11 Gapoktan dengan menggunakan skim KKPE. n
15

BAB III
ASPEK TEKNIS
PRODUKSI

16

BAB III Aspek teknis produksi

3.1. Lokasi Usaha


Pemilihan lokasi budidaya cabai merah harus disesuaikan dengan
persyaratan tumbuh cabai merah untuk mencegah kegagalan proses
produksi dan dapat menghasilkan cabai merah sesuai dengan standar
mutu yang ditetapkan serta tidak merusak lingkungan. Secara umum lahan
yang digunakan bukan bekas tanaman sejenis atau sefamili sehingga
memungkinkan untuk melakukan penanaman2 atau 3 kali musim tanam per
tahun. Lahan untuk penanaman cabai harus terbuka, tidak ternaungi sehingga
matahari dapat langsung menyinari tanaman. Lokasi lahan diusahakan dekat
dengan sumber air untuk memenuhi ketersediaan air untuk penyiraman.
Tanaman cabai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan mempunyai
drainase dan aerasi yang baik. Tanah yang paling ideal untuk tanaman cabai
adalah tanah yang mengandung bahan organik sekurang-kurangnnya 1,5% dan
mempunyai pH antara 6,0 - 6,5. Keadaan pH tanah sangat penting karena erat
kaitannya dengan ketersediaan unsur hara. Apabila ditanam pada tanah yang
mempunyai pH lebih dari tujuh, tanaman cabai akan menunjukkan gejala klorosis,
yakni tanaman kerdil dan daun menguning yang disebabkan kekurangan unsur
hara besi (Fe). Sebaliknya, pada tanah yang mempunyai pH kurang dari lima,
tanaman cabai juga akan kerdil, karena kekurangan unsur hara kalsium (Ca) dan
magnesium (Mg) atau keracunan aluminium (Al) dan mangan (Mn) (Sumarni 1996).
Secara geografis tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian 0 - 1.200 m
di atas permukaan laut.Pada dataran tinggi yang berkabut dan kelembabannya
tinggi, tanaman cabai mudah terserang penyakit. Cabai akan tumbuh optimal
pada daerah yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600 - 1.250 mm pada
tingkat penyinaran matahari lebih dari 45% (Suwandi et al. 1997).
Suhu udara optimal untuk pertumbuhan cabai pada siang hari adalah 18o27oC. Bila suhu udara malam hari di bawah 16oC dan siang hari di atas 32oC,
proses pembungaan dan pembuahan tanaman cabai akan terhambat. Cabai
tidak menghendaki curah hujan yang tinggi atau iklim yang basah, karena pada
keadaan tersebut tanaman akan mudah terserang penyakit, terutama yang
disebabkan cendawan (Sumarni 1996).
Menurut Setiadi (1987), dalam penanaman cabai juga perlu memperhitungkan kandungan air tanah. Jika penanaman cabai dilakukan di sawah, maka
sebaiknya dilakukan pada akhir musim hujan. Penanaman cabai di lahan tegalan
akan lebih baik jika dilakukan pada akhir musim kemarau karenasaat itu tanah
memiliki kelembaban atau kandungan air yang cukup untuk penanaman cabai. Di
tanah sawah, kandungan airnya tidak kelewat banyak,sehingga bisa meminimalkan
tanaman cabai dari serangan cendawan yang menyerang akar. Di tanah tegalan,
siraman air hujan sudah cukup memenuhi kebutuhan tanaman cabai.
17

BAB III Aspek teknis produksi

Salah satu lokasi klaster cabai merah adalah Desa Cibeureum, Kecamatan
Sukamantri, Kabupaten Ciamis. Berdasarkan data monografi desa dalam
Rachma 2008, sekitar 70% wilayah desa ini merupakan lahan pertanian. Sekitar
66% penduduk Desa Cibeureum berprofesi sebagai petani dan buruh tani.
Para petani cabai melakukan penanaman cabai merah baik pada lahan sawah
maupun lahan tegalan.
Desa Cibeureum memiliki iklim relatif agak sejuk dengan suhu rata-rata
harian di desa ini 17-26 oC. Curah hujan rata-rata daerah ini sebesar 2.500 mm/
tahun dengan jumlah bulan basah rata-rata 6 bulan dalam setahun. Sebagian
besar tanah di desa ini berwarna hitam dengan tekstur agak berpasir.
Topografi Wilayah Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten
Ciamis memiliki ketinggian berkisar antara 400-800 meter di atas permukaan
laut (mdpl). Adapun temperatur normal atau suhu rata-rata 20C - 24C.
Keadaan permukaan tanah berbukitan 30%, berombak s/d berbukit 30% dan
datar 40% (http://su.wikipedia.org/wiki/Obrolan: Cibeureum,_Sukamantri,_
Ciamis). Menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, Kabupaten Ciamis pada
umumnya mempunyai tipe iklim C, dengan rata-rata curah hujan sekitar
2.987 mm/tahun dan suhu rata-rata antara 200C-300 C (http://e-slr.blogspot.
com/2012/04/ kabupaten-ciamis.html).
Pada pengamatan lapang, kondisi tanah di lokasi penanaman cabai di
Sukamantri dan Cihaurbeuti relatif gempur dan mengandung cukup banyak
bahan organik. Secara umum dapat disimpulkan bahwa wilayah pertanaman
cabai merah dari responden kelompok tani yang didatangi sudah memenuhi
syarat bagi pertumbuhan dan produksi tanaman cabai.
Daerah sentra penanaman cabai merah di Kabupaten Ciamis adalah di
Kecamatan Sukamantri, Panumbangan, Cihaurbeuti, dan Panjalu. Sentra cabai
di Tasikmalaya adalah Kecamatan Cisayong, Cigalontang, dan Leuwisari.
Pasokan cabai dari wilayah sentra tersebut akan mampu mempengaruhi harga
di pasaran lokal.
Potensi luas areal kawasan cabai di Jawa Barat adalah 10.466 ha. Potensi
areal terluas terdapat di Kabupaten Garut 4.010 ha, disusul dengan Bandung
Barat dan Kabupaten Bandung. Tabel 3.1 menyajikan potensi lahan kawasan
cabai di Jawa Barat.

18

BAB III Aspek teknis produksi

Tabel 3.1. Potensi Lahan Kawasan Cabai di Jawa Barat

Sumber: http://ditsayur.hortikultura.deptan.go.id

3.2. Fasilitas Produksi dan peralatan


Untuk memenuhi permintaan pasar khususnya untuk industri, kontinuitas, dan
kuantitas pasokan dalam jumlah besar yang tepat waktu dan kualitas sesuai
standar maka perlu adanya perbaikan dalam cara bertanam cabai dengan
menerapkan kaidah-kaidah praktek pertanian yang baik (Good Agricultural
Practices disingkat G.A.P). Agar kaidah-kaidah G.A.P dapat diterapkan
dengan benar maka diperlukan suatu panduan standar operasional yang
dikenal dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).
Untuk menghasilkan cabai merah berkualitas dengan produktivitas yang
optimal diperlukan upaya produksi sesuai dengan norma budidaya yang
baik dan benar. Oleh sebab itu pelaksanaan Prosedur Operasional Standar
(POS) harus konsisten dan terdokumentasi dengan baik oleh setiap pelaku
usaha. Pelaksanaan POS dengan baik dapat menghasilkan produktivitas cabai
lebih dari 1 kg/tanaman (tergantung varietas cabai merah), dengan tingkat
kehilangan hasil lebih kecil 10% dan kualitas cabai sesuai standar pasar yang
mencapai 90%. Untuk dapat melaksanakan POS tersebut diperlukan fasilitas
dan peralatan produksi yang sesuai aktivitasnya.
1) Persiapan Lahan
Sebelum penanaman dilakukan perlu pembersihan lahan dari segala sesuatu
yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman agar diperoleh lahan yang
siap ditanami dan terbebas dari gangguan fisik (batu-batuan, sampah, dll)
maupun biologis (gulma atau sisa-sisa tanaman). Peralatan yang digunakan
untuk aktivitas tersebut adalah:
a. Parang/arit/golok untuk memotong dan membersihkan semak belukar
yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman muda,
19

BAB III Aspek teknis produksi

b.
c.

Cangkul/kored untuk membersihkan tanah dari rumput dan sisa-sisa semak


belukar/ tanaman yang tertinggal serta untuk mengolah tanah,
Keranjang/pikulan/carangka untuk mengangkut hasil pembersihan lahan.

2) Pengolahan Tanah dan Pembuatan Bedeng


Suatu upaya pembuatan lahan pertanaman menjadi siap tanam, dengan cara
mengolah tanah sampai gembur dan diratakan, membuat parit dan garitan
dengan bentuk membujur atau disesuaikan dengan denah/ letak lahan (bila
tidak persegi) dan dengan arah datangnya sinar matahari. Tujuannya agar
diperoleh media tanam yang optimal bagi pertumbuhan tanaman cabai merah.
Peralatan yang digunakan untuk pengolahan tanah sangat tergantung pada
skala usaha atau luasan lahan yang dikelola, yaitu:
a. Garpu/cangkul/kored untuk mengolah tanah dan meratakan pupuk
kandang,
b. Meteran sebagai alat ukur menentukan ukuran,
c. Tali untuk tarikan garitan dan parit agar diperoleh garitan dan parit yang
lurus,
d. Bambu untuk pemancang tali pada pembuatan garitan dan par.
3) Penyiapan Jarak Tanam
Setelah selesai pembuatan bedengan, maka akan dilakukan penutupan mulsa
plastik yang kemudian dibolongi sesuai dengan jarak tanam cabai. Alat yang
dibutuhkan adalah mulsa hitam perak,kaleng susu yang sudah dipertajam,
bambu dan alat potong. Penetapan jarak tanam dilakukan dengan membuat
tanda jarak tanam yang memungkinkan untuk pertumbuhan cabai secara normal
dan optimal. Tujuan penetapan jarak tanam yaitu agar diperoleh jarak yang
sama pada seluruh bedengan untuk meletakkan bibit cabai. Dalam penetapan
jarak tanam digunakan seperti peralatan/belahan bambu/tali/tambang serta
meteran. Jarak tanam ini sangat penting karena erat kaitannya dengan jumlah
bibit yang dibutuhkan per satuan luas, serta akan sangat besar pengaruhnya
terhadap ukuran cabai merah yang dihasilkan.
4) Penyiapan Benih dan Persemaian
Penyiapan benih adalah menyiapkan benih bermutu dari varietas unggul yang
bersertifikat. Tujuannya adalah menjamin benih yang ditanam jelas varietasnya,
memiliki tingkat keseragaman yang tinggi, berproduktivitas tinggi dan sehat.
Varietas cabai yang disetujui oleh PT. Heinz ABC adalah Biola, Gada, Adipati,
Imperial, Fantastic, dan TM 99. Dalam proses budidaya cabai merah, benih
tidak langsung ditanam di lapang melainkan harus disemaikan terlebih dahulu.
Peralatan yang digunakan untuk aktivitas tersebut yaitu wadah semai, polibag
kecil, sungkup, ember dan emrat untuk penyiraman. Ciri benih cabai merah
varietas unggul:
a. Produksi tinggi. Potensi hasil cabai besar hibrida 1,2 kg/tanaman/musim,
cabai keriting hibrida 1 kg/tanaman/musim, cabai rawit hibrida 0,6 kg/
20

BAB III Aspek teknis produksi

tanaman/musim dan paprika 3,7 kg/tanaman/musim.


b. Umur panen lebih disukai genjah. Secara umum berkisar 90 sampai 120
hari setelah semai.
c. Tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Saat kemarau panjang,
intensitas serangan hama (thrips, kutu daun, tungau dan kutu kebul)
sangat tinggi, maka perlu varietas yang tahan serangan hama. Pada
saat musim hujan, kelembaban tinggi sehingga intensitas serangan
penyakit (layu bakteri, fusarium, phytopthora dan antraknosa) sangat
tinggi.
d. Daya simpan lebih lama. Umumnya kualitas akan turun setelah
disimpan 2-3 hari pada suhu kamar. Jika pada suhu dingin (5-7oC)
dan kelembaban 90-95% dapat bertahan 10-20 hari. Cabai unggul
dapat disimpan lebih lama sehingga tahan pengangkutan ke lokasi
lebih jauh.
e. Tingkat kepedasan tertentu. Cabai terasa pedas karena adanya zat
capsaicin. Tingkat kepedasan yang diinginkan industri saus tertentu
yaitu mencapai 400x pengenceran setara dengan kandungan
capsaicin 380 ppm.
f. Kualitas buah sesuai konsumen. Contoh, industri saus tertentu
menyukai buah dengan diameter pangakal batang 1,00-1,70 cm,
panjang buah 9,5-14,5 cm, warna buah merah tanpa belang dan
tingkat kepedasan 400 ppm. Menurut Badan Standardisasi Nasional
(1998), panjang buah cabai merah mutu I=12-14 cm, mutu II = 9-11
cm dan mutu III kurang dari 9 cm; diameter buah cabai merah mutu
I=1,5-1,7 cm, mutu II = 1,3-1,5 cm dan mutu III kurang dari 1,3 cm;
5) Penanaman
Penanaman cabai adalah kegiatan meletakkan bibit dengan posisi akar di dalam
lubang tanam yang disiapkan. Tujuannya agar tersedia unsur hara yang dapat
diserap oleh tanaman secara optimal dan benih diletakkan dengan benar.
Peralatan yang digunakan dalam aktivitas ini adalah: wadah tempat angkut bibit,
pisau, dan bambu.
6) Perawatan Tanaman
Perawatan tanaman cabai meliputi penyiraman, peletakkan ajir, penyiangan,
pemupukan, perompesan dan pengendalian hama dan penyakit. Aktivitas
ini disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan dilakukan dengan peralatan
berikut ini.
a. Golok/gergaji digunakan untuk memotong dan membelah bambu,
b. Meteran sebagai pengukur panjang ajir/turus,
c. Bambu digunakan sebagai tiang ajir/ turus,
d. Tali plastik untuk mengikat tanaman pada ajir/ turus,
e. Cangkul digunakan untuk meninggikan guludan,
f. Alas plastik/terpal digunakan sebagai alas untuk mencampur pupuk,
21

BAB III Aspek teknis produksi

g. Sekop untuk mencampur dan memindahkan pupuk,


h. Pompa untu menarik air,
i. Drum dan selang,
j. Ember digunakan untuk mengangkut air dan juga pupuk selama
penaburan.
Penyiangan dan sanitasi adalah melakukan pemeliharaan dan membersihkan
guludan dari gulma, tanaman pengganggu lainnya, dan tanaman yang sakit.
Tujuannya adalah menjaga kebersihan kebun dan kesehatan tanaman dengan
menggunakan cangkul/kored. Pada periode ini juga masih memungkinkan
untuk dilakukan penyulaman, yakni menanam kembali pada bagian cabai
merah yang mati atau tidak tumbuh dengan baik.
Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) adalah tindakan
untuk menekan serangan OPT guna mempertahankan produksi dengan sistem
Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Tujuannya adalah agar OPT terkendali
tanpa merusak lingkungan. Kegiatan ini adalah yang paling kritis dalam
kaitannya dengan keberhasilan produksi cabai merah. Dalam kondisi tertentu,
misalnya saat intensitas curah hujan sangat tinggi, maka pengendalian OPT ini
juga harus lebih sering dilakukan karena OPT akan sangat cepat berkembang.
Peralatan yang biasa digunakan pada aktivitas ini adalah Knapsack Sprayer,
sebagai alat untuk mengaplikasikan pestisida, ember, drum, alat pengaduk
untuk mencampur pestisida dengan air, takaran (skala cc, ml, liter dan gram)
untuk menakar pestisida dengan air, alat/sarana pelindung (sarung tangan,
masker, topi, sepatu boot, baju lengan panjang) untuk melindungi bagian
tubuh dari cemaran bahan kimia.
7) Pemanenan
Panen adalah proses pemetikan cabai merah yang sudah menunjukkan ciri (sifat
khusus) untuk dipetik. Penentuan saat panen yang tepat menjadi sangat penting
karena berkaitan dengan produktivitas dan tujuan penggunaan cabai merah.
Alat yang digunakan untuk aktivitas ini, yaitu:
a. Keranjang/krat/karung/warring/pengki/ember untuk meletakkan dan
mengangkut cabai yang telah dipanen,
b. Pikulan sebagai alat angkut dari kebun ke tempat pengumpulan cabai,
c. Timbangan untuk menimbang hasil panen.
8) Pasca Panen
Kegiatan pasca panen untuk budidaya cabai yang melakukan kontrak dengan
industri dilakukan oleh pengumpul, diantaranya Koperasi Jasa Agribisnis
(Koja). Pihak KOJA inilah yang akan melakukan proses sortasi dan grading.
Beberapa peralatan yang digunakan dalam pasca panen, yaitu: timbangan
untuk menimbang cabai merah yang akan dikemas dan krat/kontainer plastik
digunakan sebagai wadah kemasan
22

BAB III Aspek teknis produksi

Aktivitas pasca panen terakhir adalah distribusi, yaitu proses memindahkan


cabai merah dari produsen ke industri (PT Heinz ABZ). Peralatan penunjangnya
adalah timbangan untuk menimbang cabai merah sebelum dipindahkan ke
alat transportasi serta alat transportasi yang memadai untuk mengangkut krat
cabai tersebut.
3.3. Bahan Baku
Pihak industri memiliki kriteria tertentu untuk varietas yang digunakan. Varietas
cabai yang dikehendaki oleh PT Heinz ABC adalah Biola, Gada, Adipati, Imperial,
Fantastic dan TM 99. Para petani bisa mendapatkan benih dan sarana produksi
lainnya dari pembina yang sekaligus juga menampung hasil panen, contohnya
Koja yang terletak di Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Tasikmalaya.
3.4. Tenaga Kerja
Tenaga kerja usahatani cabai merah berasal dari keluarga tani (suami dan isteri)
dan tenaga upah/harian (pria/wanita). Upah harian pria lebih mahal daripada
wanita, karena tenaga wanita biasanya hanya dihitung sama dengan 0,8 tenaga
kerja setara pria (TKSP). Besarnya upah harian tenaga kerja laki-laki di Ciamis dan
Tasikmalaya adalah Rp 35.000/hari dan upah tenaga kerja wanita Rp 25.000/
hari. Banyaknya tenaga upah harian yang digunakan sangat bergantung jenis
pekerjaan dan luas lahan yang ditangani. Pekerjaan yang cukup berat, seperti
mengolah tanah,membuat bedengan, mengangkut sarana produksi dan hasil
produksi, menyemprot, dan menyiram lebih dominan dikerjakan oleh pria,
sedangkan wanita lebih dominan untuk pekerjaan yang lebih ringan, seperti
memupuk, menyulam, menyiang, dan memanen. Untuk satu siklus musim
tanam cabai merah membutuhkan 947 HOK (Hari Orang Kerja). Jumlah HOK
untuk satu musim tanam cabai merah disajikan pada Tabel 3.2.

23

BAB III Aspek teknis produksi

Tabel 3.2.Kebutuhan Tenaga Kerja Usaha tani Cabai Merah per Hektar

3.5. Teknologi
Teknologi yang diterapkan dalam usaha budidaya cabai merah didasarkan
pada pengalaman yang telah dimiliki oleh petani atau pengusaha. Rata-rata
petani memiliki pengalaman budidaya cabai merah selama lebih dari 5 tahun.
Namun, petani/pengusaha senantiasa memperbarui wawasannya dengan
mengikuti penyuluhan, pelatihan teknis, dan manajemen. Usaha budidaya
cabai merah masih menerapkan teknologi sederhana dan pengetahuan lokal
yang ditunjang dengan ketelitian dan pengelolaan yang baik.
Teknologi budidaya yang diterapkan pada skala usaha mulai dari
penyiapan lahan hingga pemanenan dilakukan secara manual. Misalnya
untuk pengolahan tanah menggunakan cangkul dan garpu, penyemprotan
menggunakan sprayer punggung (knapsack). Secara umum, usaha budidaya
cabai merah menerapkan sistem intensifikasi dengan mengacu pada teknik
budidaya yang baik dan benar sesuai Standar POS budidaya cabai.
24

BAB III Aspek teknis produksi

3.6. Proses Produksi


Usaha budidaya cabai merah secara umum mengikuti POS budidaya cabai
merah. Penerapan POS yang baik dan benar diharapkan dapat mengurangi
kehilangan hasil yang masih besar, pencapaian produktivitas yang maksimal
serta kualitas cabai merah yang sesuai standar lebih dari 90%. Meskipun
demikian, teknologi yang terbaru dapat diterapkan untuk lebih meningkatkan
nilai tambah dan pendapatan usaha. Tahapan proses produksi dalam budidaya
cabai merah sesuai dengan POS adalah sebagai berikut:
1) Pemilihan Lokasi,
2) Penentuan Waktu Tanam,
3) Persiapan Lahan,
4) Persemaian,
5) Penanaman,
6) Pemeliharaan,
7) Panen dan Pengelolaan
POS merupakan acuan dalam pelaksanaan kegiatan produksi cabai merah
yang memuat alur proses budidaya dari on-farm sampai penanganan pasca
panen, sesuai dengan norma budidaya yang baik dan benar (Good Agriculture
Practices/GAP).
1) Pemilihan lokasi
Seperti penjelasan sebelumnya, pemilihan lokasi usaha budidaya cabai merah
dipengaruhi oleh kesesuaian lokasi terhadap persyaratan tumbuh tanaman
cabai merah. Secara ringkas terdapat tiga (3) hal yang harus diperhatikan
dalam pemilihan lokasi, yaitu: (1) lahan yang digunakan bukan bekas tanaman
sejenis atau sefamili sehingga memungkinkan 2-3 kali musim tanam per tahun,
terbuka (tidak ternaungi) sehingga matahari dapat langsung menyinari tanaman
serta dekat dengan mata air; (2) lahan memiliki ketinggian tempat tumbuh <
1.200 m dpl, kemiringan lahan anjuran < 30 derajat, suhu udara optimal untuk
pertumbuhan cabai pada siang hari adalah 18o - 27oC dengan curah hujan
berkisar antara 600 1.250 mm/tahun dan tingkat penyinaran matahari lebih
dari 45% ; serta (3) lahan bukan sumber penyakit tular tanah.
2) Penentuan waktu tanam
Cabai tidak mengenal musim, namun penanaman di musim hujan lebih beresiko
dibanding musim kemarau karena cabai tidak tahan terhadap hujan lebat yang
terus menerus.Genangan air bisa menyebabkan penyakit akar dan kerontokan
daun. Kelembaban udara tinggi menyebabkan tanaman rentan terserang
penyakit. Pada saat awal pertumbuhannya tanaman cabai butuh banyak air.
Jika penanaman dilakukan di sawah, sebaiknya waktu penanaman cabai
pada akhir musim hujan. Penanaman cabai di lahan tegalan akan lebih baik
25

BAB III Aspek teknis produksi

jika dilakukan pada akhir musim kemarau. Hal ini disebabkan pada kondisi
yang demikian situasi dalam tanah cukup memenuhi syarat kelembabannya
atau kandungan airnya cukup. Di tanah sawah, kandungan airnya tidak
kelewat banyak, sehingga bisa meminimalkan tanaman cabai dari serangan
cendawan yang menyerang akar. Di tanah tegalan, siraman air hujan sudah
cukup memenuhi kebutuhan tanaman cabai.
Secara umum tanaman cabai merah dapat ditanam 2 kali dalam satu
tahun. Setelah panen terakhir dimusim tanam pertama, lahan bekas tanaman
cabai tersebut dapat ditanami dengan sayuran berumur pendek seperti timun,
bawang daun, dan caisin. Pemilihan tanaman penyelang tersebut tergantung
lokasi, iklim, situasi pasar dan perkiraan waktu tanam cabai yang kedua.
Tanaman penyelang tersebut ditanam tanpa ada biaya olah tanah dan pupuk.
Setelah tanaman penyelang tersebut selesai dipanen maka dapat segera
dilakukan persiapan lahan untuk musim tanam cabai yang kedua. Sebagian
petani ada juga yang membiarkan tanahnya beberapa minggu (diberakan)
sebelum masuk musim tanam kedua.
Setelah panen terakhir di musim tanam kedua maka lahan tersebut harus
ditanami komoditas lain yang berkerabat jauh dengan cabai. Petani dianjurkan
mencari lokasi lain untuk menanam cabai guna menghindari serangan hama
dan penyakit. Petani bisa kembali menanam di lahan awal setelah satu tahun
kemudian. Pada saat itu diharapkan siklus hama dan penyakit cabai telah terputus.

Jika penanaman cabai akan dilakukan pada lahan seluas satu hektar, sangat
disarankan waktu penanaman tidak dilakukan secara serempak. Sebaiknya areal
tersebut di bagi menjadi 2 atau 4 bagian dengan selisih waktu tanam antara
areal satu dengan lainnya 1-2 minggu.
3) Persiapan lahan
Penyiapan lahan terpilih diawali dengan pembersihan lahan dari batu-batuan,
gulma, semak belukar yang dapat menghalangi pertumbuhan tanaman muda.
Kotoran dan sisa-sisa bahan yang telah dibersihkan ditampung pada tempat
yang aman atau dapat dikubur dalam tanah. Selain itu, dibuang tanaman atau
bagian tanaman lain yang dapat menjadi sumber penyakit.

26

BAB III Aspek teknis produksi

Gambar 3.1. Persiapan Lahan

Lahan penanaman seluruhnya harus dibajakan/dicangkul/digarpu.


Pengapuran disesuaikan dengan pH tanah, pemberian kapur ditebar di lahan
secara merata dengan dosis standar 2 ton/ha. Pekerjaan ini dilakukan 30 hari
sebelum tanam (H-30).
Pada H-23 dilakukan pebuatan bedengan berukuran 110 cm x12 m
atau 120 cm x12 m (sesuai kontur). Tinggi bedengan 40 - 60 cm dengan jarak
antar bedengan 70 cm. Di sekeliling lahan dibuat saluran drainase dengan
kedalaman 70 cm.
Pemberian pupuk kandang sebanyak 30 ton/ha dilakukan dengan cara
diaduk rata dan ditebarkan dalam bedengan sedalam mata cangkul. Pupuk
kandang yang diaplikasikan harus sudah matang dan diperkaya dengan agen
hayati seperti Tricoderma sp dan Glicodium sp.
Tanaman cabai pada dasarnya bisa ditanam pada berbagai jenis tanah asal
tanahnya sudah diolah terlebih dahulu agar menjadi gembur dan layak untuk
ditanami sebab kalau tidak begitu maka pertumbuhan akar dan perkembangan
tanaman akan terganggu. Penggunaan bedengan dalam budidaya cabai adalah
salah satu cara yang tepat untuk membantu pertumbuhan akar agar mampu
menyokong perkembangan tanaman cabai menjadi lebih maksimal. Selain itu,
penggunaan bedengan dalam budidaya tanaman cabai dapat membantu akar
tanaman tidak tergenang air dan menurut beberapa ahli penggunaan bedengan
27

BAB III Aspek teknis produksi

dalam budidaya tanaman mampu meningkatkan hasil produksi tanaman cabai.


Keuntungan lain dari penggunaan bedengan dalam budidaya cabai ini antara lain
mempermudah perawatan, memaksimalkan dan mengefisiensikan penyerapan
pupuk yang diberikan pada tanaman, meminimalisir persaingan tanaman cabai
dengan gulma dalam mendapatkan unsur hara.
Pada H-15 dilakukan penanaman tanaman perangkap (jagung) untuk
daerah endemik virus. Jarak tanam yang digunakan 3 baris x 30 cm dengan 2
benih per lubang. Penanaman dilakukan pada lokasi yang tidak mengganggu
tanaman cabai.
Penaburan pupuk dasar SP-36 dengan dosis 1.000 kg/ha dilakukan pada
pada H-9. Pupuk ditebar di atas guludan. Pemberian pupuk dasar kimia dengan
waktu pengapuran harus berjarak 3 minggu.
Pada 7 hari sebelum tanam (H-7) dilakukan pemasangan mulsa plastik
hitam perak, yang diikuti dengan pembuatan lubang tanam dan pemasangan
ajir dengan jarak tanam 60 cm x 60 cm (musim kemarau) atau 60 cm x 70 cm
(musim hujan). Lubang dibuat dari kaleng susu atau plat besi pemanas berbentuk
tabung dengan diameter 10 cm dan tinggi 20 cm dengan menggunakan tali
rafia yang telah diberi tanda sesuai dengan jarak tanam dalam barisan. Sistem
tanam yang digunakan segi tiga (zig-zag) atau segi empat. Populasi tanaman
efektif sekitar 17.500 batang/ha.
Penggunaan mulsa mutlak diperlukan apalagi jika kita melakukan
budidaya cabai pada musim hujan. Salah satu keuntungan pemakain mulsa
plastik ini adalah bisa menekan serangan hama dan penyakit. Keuntungan ini
muncul karena warna perak akan memantulkan sinar ultra violet ke permukaan
bawah daun yang banyak dihuni oleh hama aphid, thrips, tungau, ulat dan
cendawan. Keuntungan lain dari penggunaan mulsa ini adalah: mengurangi
penguapan air dan pupuk oleh sinar matahari sehingga mampu menekan
biaya pemupukan, penyiraman bahkan penyiangan gulma, mencegah erosi
bedengan pada musim hujan, menjaga kelembaban, suhu dan kegemburan
tanah; mengoptimalkan sinar matahari untuk fotosintesis dengan pantulan sinar
matahari dari lapisan warna perak pada mulsa; menekan pertumbuhan gulma;
membantu merangsang pertumbuhan akar tanaman akibat suhu hangat dalam
bedengan; mencegah hilangnya pupuk akibat siraman air hujan dan mencegah
kelebihan air pada media tanam.
Sehari sebelum tanam (H-1) dilakukan pengairan (leb) dan penugalan
lubang tanam. Pada daerah endemik Phytopthora sp. dan Fusarium sp. dilakukan
pemberian agen hayati pada lubang tanam. Agen hayati yang digunakan adalah
Tricoderma sp. misal Trico-G sebanyak 1,2 g/lubang dan atau bakteri pemacu
pertumbuhan (PGPR).
28

BAB III Aspek teknis produksi

4) Persemaian
Pada H-30 dilakukan pembuatan bedeng persemaian, persiapan polibag,
membuat media semai yang terdiri dari tanah gembur, kompos, dan NPK
16:16:16 dengan perbandingan (4:1:1) di tambah Tricoderma sp. dan Furadan
(bahan aktif karbofuran). Semua bahan tersebut diaduk rata dan dimasukkan ke
polibag ukuran 6 x 8 atau 8 x 10 cm. Pengisian media semai sampai 90% dari
volume polibag, lahan, luas pembibitan 0,5% dari luas areal tanam.
Pada H-25 dilakukan perendaman benih cabai. Benih cabai merah
direndam dalam air dingin atau air hangat atau dalam larutan fungisida sistemik
selama 12 jam. Benih yang mengambang dalam perendaman segera dibuang.
Benih tersebut kemudian diperam 3-5 hari.
Pada H-21, setelah benih cabai keluar calon akar, dilakukan pemindahan
ke media menggunakan lidi atau pinset. Kedalaman penyemaian 0,5 cm dan
ditutup tanah. Bibit dimasukkan ke dalam sungkup plastik, dilakukan penyiraman
setiap pagi dan sore dengan gembor halus. Umur bibit cabai 10 hari sungkup
plastik dibuka penuh.
Pada H-5 dilakukan pemberian pupuk daun dengan konsentrasi 1 g/l.
Pupuk daun tersebut untuk mempercepat pertumbuhan bibit.
Pada H-1 bibit cabai yang akan ditanam disemprot dengan Previcur
N dengan konsentrasi 2,5 cc/l dan Agrept/Bactocyn/Plantomicyn 1,2 g/l.
Penyemprotan berfungsi mencegah serangan penyakit pada bibit.
5) Penanaman
Pada hari H (H+0), setelah bibit cabai muncul 4-5 daun, dilakukan seleksi bibit.
Bibit yang ditanam adalah yang sehat, normal, dan berukuran seragam. Bibit
yang sudah diseleksi segera dibawa ke lahan dengan menggunakan nampan/
wadah dan diletakkan di lubang tanam pada setiap bedengan. Sebelum
polibag disobek, dilakukan pemadatan media semai dengan cara dikepal. Hal
ini bertujuan agar tanah tidak pecah dan akar tidak putus. Jangan sampai ada
rongga antara mulsa dengan tanah di lubang tanam. Penanaman bibit sebaiknya
dilakukan pada sore hari, kedalaman penanaman bibit setinggi ukuran polibag.
6) Pemeliharaan
Pada H+1 hingga H+7 dilakukan penyulaman. Penyulaman dilakukan terhadap
tanaman yang mati atau tidak tumbuh normal. Setelah itu dilakukan pemasangan
ajir bambu berukuran panjang 120 cm. Pemasangan ajir jangan terlalu dekat
perakaran karena bisa merusak akar.
Pada H+8 hingga H+14 dilakukan perompesan tunas air (rempelan).
Perompesan sebaiknya dilakukan pada pagi hari di bawah jam 10.00. Pekerja
29

BAB III Aspek teknis produksi

harus mencuci tangan sebelum perompesan dimulai. Interval perompesan


tunas air tergantung pada kondisi tanaman.
Pada H+10 hingga H+15 dilakukan pemberian pupuk susulan KNO3 Merah
sebanyak 2 kg per 150 liter air (kebutuhan per hektar 16 kg). Dosis pengocoran
250 cc per tanaman, dikocor di lubang tanaman. Pada saat pemupukan
diharapkan tidak kena langsung bagian tanaman. Jika dilakukan pemupukan
kocor maka harus segera diikuti penyiramanan tanaman. Interval pemberian
pupuk tergantung kondisi pertumbuhan tanaman, jika pertumbuhan tanaman
sudah bagus maka waktu interval bisa diperpanjang. Jika masih ada tunas air
yang tersisa atau tumbuh kembali, dilakukan perompesan lagi.
Pada fase ini juga dilakukan pengikatan tanaman pada ajir dengan cara
mengikat bagian batang di bawah batang utama tanaman dengan tali plastik pada
batang ajir. Ikatan membentuk simpul 8, harus longgar, tidak mencekik tanaman.
Tanaman cabai perlu ditopang pertumbuhannya agar kokoh dan mampu
menopang tajuknya yang rimbun. Pemasangan ajir diusahakan sedini mungkin,
maksimal satu bulan setelah tanam. Ajir biasa dipasang miring membentuk
sudut 45o dengan batang tanaman cabai atau tegak lurus dengan batang
tanaman. Beberapa fungsi dari ajir ini adalah: membantu tegaknya tanaman
dari buahnya yang rimbun, tiupan angin, mengoptimalkan sinar matahari pada
tanaman sehingga fotosintesis berlangsung maksimal, membantu penyebaran
daun dan ranting supaya teratur sehingga mempermudah penyiangan dan
pemupukan. Menurut Prajanata (2006) penanaman cabai dengan ajir dapat
menaikkan produksi buah cabai sampai 48% dan dapat mengurangi serangan
hama dan penyakit.

Gambar 3.2. Pengikatan Tanaman Cabai

30

BAB III Aspek teknis produksi

Pada H+20 hingga H+25 dilakukan pengocoran dengan NPK (16;16:16)


sebanyak 3 kg per 150 liter air (kebutuhan per hektar 25 kg). Dosis pengocoran
sebanyak 250 cc per tanaman yang diberikan di lubang pupuk dengan jarak
20 cm dari tanaman. Pada saat tersebut juga dilakukan pemeliharaan rutin
(penyiraman, penyiangan gulma, drainase, perompesan cabang air atau
tunas samping. Dilakukan juga sanitasi tanaman sakit dan penyemprotan rutin
pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit.
Pada H+25 sampai H+30 dilakukan penyemprotan Calcium (Ca) murni.
Pemberian Ca dilakukan dengan cara penyemprotan secara merata dengan
interval 1 minggu sekali (6-7 kali pemberian). Pada saat tersebut juga dilakukan
pengamatan hama dan penyakit tanaman. Dilakukan juga pengamatan
musuh alami dan inangnya serta melakukan konservasi terhadap keduanya.
Pengendalian trips dilakukan dengan penyemprotan insektisida berbahan
aktif Imidakloprid dan Profenofos secara bergantian. Konsentrasi insektisida
yang digunakan 1 2 ml/l air dengan volume semprot minimal 200 l/ha. Jika
hama trips sudah parah bisa ditambah dengan insektisida dengan bahan aktif
Kartap Hidroklorida. Jika tanaman terserang tungau maka tanaman dapat
disemprot dengan Akarisida berbahan aktif Pridaben.
Pengendalian penyakit bisa menggunakan fungisida dengan bahan aktif
Propineb atau Mankozeb. Konsentrasi fungisida yang digunakan 1 2 gr/l air
dengan volume semprot minimal 200 l/ha. Penyakit layu dicegah dengan
pemberian Agrept atau Bactocyn sebanyak 1,2 gr/l ditambah Trico G 1,2 gr/l.
Larutan dikocorkan pada lubang tanam sebanyak 250 cc (satu gelas aqua).
Untuk menghemat biaya, biasanya penyemprotan insektisida dan fungisida
dilakukan secara bersamaan. Sistem penyemprotan pestisida tersebut dikenal
dengan istilah tank mixture. Pencampuran kedua jenis pestisida yang berbeda
tersebut dapat dilakukan jika keduanya bersifat kompatibel.
Pada H+35 hingga H+40 dilakukan pemupukan dengan cara tugal.
Pupuk yang diberikan adalah SP-36+KCl+Boron (100 kg + 100 kg + 10
kg) yang dicampur merata. Jarak pemupukan sekitar 20 cm dari batang
tanaman. Dilakukan juga penyemprotan Ca dan aplikasi agen hayati bakteri
pemacu pertumbuhan (PGPR) dan pengamatan Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT).
Dilakukan pengendalian hama secara mekanis dengan memasang
perangkap lampu (untuk ngengat/induk ulat), perangkap biru (untuk trips),
perangkap pheromon (lalat buah). Perangkap sebaiknya diletakkan di luar
kebun. Setelah hujan turun, sebaiknya dilakukan penyiraman tanaman untuk
mengantisipasi sumber inokulum penyakit yang berada di tanah terciprat ke
daun atau batang tanaman. Jika ada buah atau bagian tanaman yang terserang
31

BAB III Aspek teknis produksi

penyakit harus diambil/dicabut.Jika ada tanaman yang mati pucuk maka segera
dilakukan pemangkasan. Pada fase tersebut tanaman cabai masuk pada fase
generatif.

Gambar 3.3. Tanaman Mulai Berbunga

Pada H+40 sampai H+45 dilakukan pemberian pupuk Multi KP (Kalium


Phosfat) 20 gr/L (setara dengan 5 sendok makan/tangki). Kebutuhan pupuk
Multi KP untuk sekali semprot atau sekali kocor adalah sebanyak 7 L. Aplikasi
dilakukan 7-10 hari sekali sampai mulai panen. Pada umur tersebut juga
diberikan Ca murni.
Dilakukan juga pemberian Agrept atau Bactocyn sebanyak 1,2 gr/l
ditambah Trico G 1,2 g/l. Aplikasi dilakukan dengan cara dikocorkan pada
lubang tanam dengan dosis 250 cc/tanaman.
Pada H+50 sampai H+55 dilakukan pemberian pupuk SP-36 + KCl + Boron
(100 kg + 100 kg+ 10 kg) yang telah dicampur rata. Pemupukan dilakukan
dengan cara ditugal dengan jarak 20 cm dari lubang tanam, selain itu juga
dilakukan pemberian Ca murni dan Multi KP.
Jika serangan trips masih belum teratasi maka bisa menggunakan
insektisida berbahan aktif Abamektin bergantian dengan Imidakloprid. Untuk
mengatasi lalat buah bisa memasang kapur barus/kamper di sekitar tanaman
atau tanaman disemprot dengan insektisida berbahan aktif Dimetoat.
32

BAB III Aspek teknis produksi

Pada umur H+60 sampai H+65 dilakukan pemberian Kalsium (Ca) murni
dan Multi KP. Pada saat tersebut juga dilakukan pengambilan daun pada batang
bawah yang terserang penyakit kemudian dibakar. Dilakukan juga penyiangan
gulma di sekitar lubang tanaman dan selokan antar bedengan serta digunakan
agen hayati (PGPR) pada saat tersebut. Pada tahap ini, karena tanaman sudah
menghasilkan buah maka pengamatan terhadap kemungkinan serangan hama
dan penyakit buah harus dilakukan dengan lebih intensif.

Gambar 3.4. Tanaman Cabai yang Sudah Berbuah

Bagian tanaman yang sakit atau terserang hama diambil dan dimusnahkan.
Dilakukan juga penyemprotan pestisida secara rutin dengan interval 2-3 hari
sekali dengan penambahan perekat jika kondisi hujan terus menerus.
Umur H+68 sampai H+75 dilakukan pemupukan Multi KP sebanyak 20 g/l
dan penyemprotan Ca murni. Daun pada batang bawah yang terserang penyakit
diambil kemudian dibakar. Dilakukan juga penyiangan gulma di sekitar lubang
tanaman dan selokan antar bedengan serta penggunaan agen hayati (PGPR).
Pada umur tersebut bunga sudah menjadi buah.
Pada saat H+76 sampai H+81 dilakukan pemupukan Multi KP sebanyak 20
gr/l. Pada saat tersebut juga dilakukan pengamatan Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT) dan dilakukan pekerjaan sanitasi tanaman atau buah yang kena
hama penyakit.
33

BAB III Aspek teknis produksi

Pada H+84 sampai H+90 dilakukan pemupukan Multi KP sebanyak 20


g/l. Pada saat tersebut juga dilakukan pengamatan Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT) dan dilakukan pekerjaan sanitasi tanaman atau buah yang kena
hama penyakit. Pada umur tersebut, cabai sudah sudah siap untuk dipetik.

Gambar 3.5. Cabai Siap untuk Dipetik (sumber: kliniktaniorganik.com)

7) Panen dan pengelolaan pasca panen


Pada saat H+91 hingga H+100 dilakukan pemanenan buah cabai yang
pertama. Buah yang dipanen adalah yang sudah matang sempurna (warna
merah) dan tidak belang. Cara pemetikan buah dilakukan dengan menarik
tangkai ke atas. Buah yang rusak, misal terkena patek dipisahkan dengan
buah yang bagus pada wadah yang berbeda.Interval pemanenan dilakukan
5-7 hari sekali, jika perawatan dilakukan dengan baik dapat mencapai 15-20
kali panen. Setelah pemanenan sebaiknya pada hari berikutnya disemprot
dengan pestisida/agen hayati.
34

BAB III Aspek teknis produksi

Gambar 3.6. Pemetikan Cabai (sumber:metrosiantar.com)

Kegiatan pasca panen untuk cabai keperluan industri tidak dilakukan oleh
petani tapi dilaksanakan oleh pengumpul, misalnya Koja. Koperasi tersebut
yang melakukan proses sortasi dan grading sehingga cabai yang memenuhi
syarat dikirim ke industri (PT Heinz ABC) dan yang tidak memenuhi syarat di
jual ke pasaran lokal. Cabai yang dikirim ke industri adalah cabai merah yang
telah dipetik tangkainya.
3.7. Jumlah, Jenis, dan Mutu Produksi
Dari setiap pengiriman, PT. Heinz ABC secara acak mengambil contoh dengan
berat berkisar antara 15-25 kg dari setiap 12 ton kontainer (atau bagian darinya
yang dikirimkan). Contoh-contoh yang diambil dari pengiriman cabai untuk
menentukan kualitas cabai sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, dilakukan
secara acak dengan suatu proses mekanik sehingga setiap contoh mewakili
kontainer cabai dari manja contoh tersebut diambil. Persyaratan cabai yang
dikehendaki oleh PT Heinz ABC harus memenuhi persyaratan berikut:
1) Deskripsi: Cabai besar merah adalah buah cabai berwarna merah
memiliki kelopak dan tangkai berwarna hijau dan mempunyai rasa
pedas,
2) Persyaratan Kemasan: Krat plastik bersih, utuh/tidak rusak, kapasitas
22-25 kg,
3) Persyaratan Transportasi: bak truk bersih, kering, tidak terkontaminasi
bahan kimia/bahan bukan makanan,
35

BAB III Aspek teknis produksi

4)

5)
6)




Kondisi Penyimpanan: Ruangan bersih, bebas: bau, panas, serangga


dan hewan pengerat. Suhu 5 - 20 oC,
Umur simpan: maksimum 48 jam suhu 5-20 oC,
Persyaratan Fisika-kimia: Standar: Bersih, segar, warna merah cerah,
bersih dari tangkai/kelopak, rasa pedas, tidak langu/pahit/sepat. Pedas
masih terdeteksi pada pengenceran 400x. Diameter pangkal cabai
maksimal 20mm. Bebas dari bahan/benda asing. Berbiji padat dan
tidak hitam. Warna cabai Hunter Lab pada pengenceran 20% tercantum
pada Tabel 3.3,

Tabel 3.3. Warna Hunter lab. Pengenceran 20%

7) Tidak Standar
Cacat
: Busuk dan pecah-pecah maksimal 10%;

bolong/berulat maksimal 10% dan terkena

patek maksimal 5%.
Penyimpangan warna
: Belang, hitam/kehijauan maksimal 4%;

Orange, pemakaian campurtergantung

hasil test warna.
Ukuran
: Ukuran terlalu besar maksimal 25%. Cabai

terlalu besar, biji cenderung tidak padat.
Visual kusam dan kisut maksimum 20%; masih berkelopak maksimum 15%,
8) Persyaratan lain: aman untuk dikonsumsi,
9) Persyaratan Pemerintah: sesuai dengan peraturan Departemen
Kesehatan dan SNI,
10) Standar Penolakan: Cabai ditolak jika:
a. Busuk, pecah-pecah dan bolong berulat > 10%
b. Patek > 5%
c. Warna belang hitam/hijau > 4%
d. Warna orange dan tidak ada stok cabai merah untuk campuran
e. Ukuran tidak memenuhi spesifikasi
f. Aroma tidak normal
g. Rasa langu/pahit/sepat
36

BAB III Aspek teknis produksi

h. Pengenceran 400x tidak terdeteksi rasa pedas


i. Jumlah cabai kusam/kisut/kelopak/masih ada tangkainya > spek
maksimum

Adapun grading atau pengelompokan buah cabai menurut Standar


Nasional Indonesia (SNI) mencakup 3 kelas mutu yaitu mutu I, mutu II dan mutu
III. Persyaratan masing-masing kelas mutu disajikan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Persyaratan Mutu Cabai Merah Segar

Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI No. 01-4480-1998)

Berdasarkan persyaratan mutu di atas dalam usaha budidaya cabai merah


biasanya diperoleh cabai merah yang bermutu baik (kualitas industri) sebesar
95%, sedangkan off-grade sekitar 5%. Oleh karena itu dengan produktivitas 15
ton/ha dapat dihasilkan cabai merah berkualitas sebanyak 13.300 kg dan offgrade sekitar 700 kg.
3.8. Produksi Optimum
Jarak tanam cabai yang diterapkan biasanya menggunakan jarak tanam 60
cm x 70 cm. Secara teoritis, populasi tanaman cabai per hektar adalah 23.800
tanaman. Biasanya populasi efektif tanaman cabai di lapang adalah 17.500
tanaman/ha, sisa luas lahan digunakan untuk drainase, jalan kontrol, dan
lain-lain. Dari populasi tersebut, jumlah tanaman cabai yang dapat tumbuh
baik dan menghasilkan cabai yaitu sekitar 14.000 tanaman/ha atau 80% dari
total tanaman. Dengan produktivitas rata-rata1 kg/tanaman maka hasil yang
37

BAB III Aspek teknis produksi

dicapai adalah 14 ton/ha, dengan pengelompokan cabai yang berkualitas


industri sekitar 95% (13.300 kg) dan sisanya masuk dalam katagori off grade
(5%). Jika pemeliharaan dilakukan dengan baik dan tidak terjadi fluktuasi
iklim yang ekstrim maka jumlah tanaman yang tumbuh dan menghasilkan
dapat ditingkatkan.
3.9. Critical Point
Dari pengamatan di lapang, yang menjadi critical point adalah serangan
organisme pengganggu pada tanaman cabai merah. Pada fase vegetatif,
serangan penyakit yang paling ditakuti oleh para petani adalah penyakit layu.
Petani sering menamakan penyakit layu ini dengan istilah mati bujang. Akibat
serangan penyakit layu ini maka tanaman cabai akan mati sebelum masa
panen. Terdapat dua jenis penyakit layu yaitu layu fusarium dan layu bakteri.
Ketika masa generatif, penyakit yang ditakuti oleh para petani adalah
serangan patek (antraknosa) yang disebabkan oleh Collectrotichum
gloeospoiroides. Penyakit ini menyerang buah cabai sehingga kualitas
cabai akan rusak dan tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke industri.
Demikian hebatnya serangan penyakit tersebut sehingga beberapa petani
yang menerima kucuran kredit mengalami penurunan panen yang sangat
signifikan sehingga mereka tidak mampu melunasi hutang dari bank. Salah
satu solusi yang dilakukan oleh Bank adalah melakukan penjadwalan kembali
terhadap pembayaran kredit tersebut.
Menyadari tingginya kemungkinan serangan hama penyakit terhadap
tanaman cabai maka sudah sepatutnya para petani cabai mengenali
berbagai jenis Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang ada sehingga
dapat segera dilakukan tindakan pengendalian yang efektif. Tindakan
pencegahan dan pengendalian yang efektif akan mampu menyelamatkan
hasil secara signifikan. Beberapa langkah antisipasi untuk mengatasi critical
point tersebut adalah:
l

l
l
l

Lokasi penanaman yang dipilih hendaknya bukan bekas lokasi serangan


endemik patogen tersebut,
Petani menerapkan rotasi tanaman secara disiplin,
Pemilihan varietas cabai yang tahan terhadap serangan patogen,
Penerapan manajemen Pengelolaan Hama secara Terpadu (PHT).

Secara umum serangan OPT terdiri atas serangan hama dan penyakit.
Berikut ini adalah beberapa jenis hama dan penyakit penting yang menyerang
tanaman cabai merah beserta teknik pengendaliannya (Dinas Pertanian D.I
Yogyakarta, 2009):
38

BAB III Aspek teknis produksi

Hama-hama penting pada cabai merah


1) Thrips (Thrips parvispinus Karny)

Gambar 3.7. Nimfa Thrips Dewasa

a. Gejala serangan :
Hama ini merupakan vektor penyakit virus mosaik dan virus keriting.
Pada musim kemarau perkembangan hama sangat cepat, sehingga populasi
lebih tinggi sedangkan pada musim penghujan populasinya akan berkurang
karena banyak thrips yang mati akibat tercuci oleh air hujan. Hama ini
menyerang tanaman dengan menghisap cairan permukaan bawah daun
(terutama daun-daun muda). Serangan ditandai dengan adanya bercakbercak keperak-perakkan. Daun yang terserang berubah warna menjadi coklat
perak, mengeriting atau keriput dan akhirnya kerdil. Pada serangan berat
menyebabkan daun, tunas atau pucuk menggulung ke dalam dan muncul
benjolan seperti tumor, pertumbuhan tanaman terhambat dan kerdil.
b. Cara Pengendalian :
(1) Menggunakan tanaman perangkap seperti kenikir kuning.
(2) Sanitasi lingkungan dan pemotongan bagian tanaman yang terserang
thrips.
(3) Penggunaan perangkap likat warna kuning sebanyak 40 buah per ha
atau 2 buah per 500 m2 yang dipasang sejak tanaman berumur 2
minggu. Dapat dibuat dari botol/pralon yang berwarna putih. Plastik
diolesi dengan lem agar thrips yang tertarik menempel. Apabila botol /
plastik sudah penuh dengan thrips maka plastik perlu diganti (2 minggu
sekali).
(4) Pemanfaatan musuh alami yang potensial untuk mengendalikan hama
thrips, antara lain predator kumbang Coccinellidae, tungau, predator
larva Chrysopidae, kepik Anthocoridae, dan patogen Entomophthora sp.
39

BAB III Aspek teknis produksi

(5)


Pestisida digunakan apabila populasi hama atau kerusakan tanaman telah


mencapai ambang pengendalian (serangan mencapai lebih atau sama
dengan 15% per tanaman contoh) atau cara-cara pengendalian lainnya
tidak dapat menekan populasi hama.

Lalat Buah (Bactrocera sp)


a. Gejala serangan :
Buah cabai yang terserang ditandai dengan adanya lubang titik hitam pada
bagian pangkal buah, tempat serangga betina meletakkan telurnya. Telur-telur
diletakkan pada buah yang agak tersembunyi dan terhindar dari cahaya matahari
langsung. Jika buah cabai dibelah, di dalamnya terdapat larva lalat buah.
2)

Larva tersebut membuat saluran di dalam buah dengan memakan daging


buah serta menghisap cairan buah menyebabkan terjadi infeksi oleh OPT lain
sehingga buah menjadi busuk dan gugur sebelum larva berubah menjadi
pupa. Serangan berat terjadi pada musim hujan disebabkan oleh bekas tusukan
ovipositor serangga betina terkontaminasi oleh cendawan/penyakit sehingga
buah yang terserang menjadi busuk dan jatuh ke tanah.

Gambar 3.8. Lalat Buah

b. Pengendalian:
(1) Mengumpulkan buah yang terserang kemudian dimusnahkan dengan
cara di bakar atau dibenamkan.
(2) Pemanfaatan musuh alami antara lain parasitoid larva dan pupa (Biosteres
40

BAB III Aspek teknis produksi

sp. Opius sp.), predator semut, Arachnidae (laba-laba), Staphylinidae


(kumbang) dan Dermatera (Cecopet).
(3) Pengendalian pasang sekperamon dan kombinasikan dengan pelikat
kuning pada hamparan 40 buah per ha
(4) Pengendalian secara kimiawi dilakukan apabila cara-cara pengendalian
lainnya tidak dapat menekan populasi hama. Pestisida yang digunakan
harus efektif, terdaftar dan sesuai anjuran.

Gambar 3.9. Perangkap Lalat Buah

3)

Kutu Kebul (Bemisia tabaci)

Gambar 3.10. Kutu Kebul

41

BAB III Aspek teknis produksi

a. Gejala serangan :
Gejala serangan pada daun berupa bercak nekrotik, disebabkan oleh
rusaknya sel-sel dan jaringan daun akibat serangan nimfa dan serangga
dewasa. Pada saat populasi tinggi, serangan kutu kebul dapat menghambat
pertumbuhan tanaman. Embun muda yang dikeluarkan oleh kutu kebul dapat
menimbulkan serangan jamur jelaga yang berwarna hitam, menyerang berbagai
bagian tanaman.
b. Pengendalian :
(1) Pemanfaatan musuh alami, seperti predator, parasitoid, dan patogen
serangga. Predator yang diketahui efektif melawan kutu kebul, antara
lain Menochilus sexmaculatus (mampu memangsa larva Bemisia Tabaci
sebanyak 200-400 larva/hari), Coccinella Septempunctata, Scymus
Syriacus, Chrysoperla Carnea, Scrangium Parcesetosum, Orius
Albidipennis, dll. Parasitoid yang diketahui efektif menyerang B. tabaci
adalah Encarcia Adrianae (15 spesies), E. Tricolor, Eretmocerus corni (4
spesies), sedangkan jenis patogen yang menyerang B. Tabaci, antara
lain Bacillus thuringiensis, Paecilomyces farinorus, dan Eretmocerus.
(2) Penggunaan perangkap likat kuning dapat dipadukan dengan
pengendalian secara fisik/mekanik dan penggunaan insektisida secara
selektif. Dengan cara tersebut populasi hama dapat ditekan dan
kerusakan yang ditimbulkannya dapat dicapai dalam waktu yang relatif
lebih cepat.
(3) Sanitasi lingkungan.
(4) Tumpangsari antara cabai dengan tagetes (nikir kuning).
(5) Penggunaan pestisida selektif sebagai alternatif terakhir antara lain
Permethrin, Amitraz, Fenoxycarb, Imidacloprid, Bifenthrin, Deltamethrin,
Buprofezin, Endosulphan dan asefat.
4)

Uret
Pada musim hujan muncul hama uret. Pengendalian dilakukan dengan
lampu perangkap dan pestisida.
Penyakit-Penyakit Penting pada Cabai Merah
Pada umumnya penyakit yang sering menyerang tanaman cabai merah
disebabkan oleh cendawan, terutama disebabkan oleh lahan yang selalu lembab
sehingga memungkinkan cendawan berkembang dengan baik. Beberapa jenis
penyakit penting yang menyerang tanaman cabai merah, antara lain :
1)

42

Layu Fusarium (Fusarium oxysporum f.sp)

BAB III Aspek teknis produksi

Gambar 3.11. Serangan Layu Fusarium pada Cabai Merah

a. Gejala Serangan :
Daun yang terserang mengalami kelayuan mulai dari bagian bawah,
menguning dan menjalar ke atas ke ranting muda. Bila infeksi berkembang
tanaman menjadi layu. Warna jaringan akar dan batang menjadi coklat.
Tempat luka infeksi tertutup hifa putih seperti kapas. Bila serangan terjadi
pada saat pertumbuhan tanaman maksimum, maka tanaman masih dapat
menghasilkan buah. Namun, bila serangan sudah sampai pada batang, maka
buah kecil akan gugur.
b. Pengendalian:
(1) Sanitasi dengan mencabut dan memusnahkan tanaman terserang.
(2) Dianjurkan memnafaatkan agen antagonis Trichoderma spp. atau
Gliocladium spp yang diaplikasikan bersamaan dengan pemupukan
dasar dan pupuk susulan.
2)

Penyakit Layu Bakteri Ralstonia (Pseudomonas solanacearum)

a. Gejala Serangan :
Pada tanaman tua, layu pertama biasanya terjadi pada daun yang terletak
pada bagian bawah tanaman. Pada tanaman muda, gejala layu mulai tampak
43

BAB III Aspek teknis produksi

pada daun bagian atas tanaman. Setelah beberapa hari, gejala layu diikuti
oleh layu yang tiba-tiba dan seluruh daun tanaman menjadi layu permanen,
sedangkan warna daun tetap hijau, kadang-kadang sedikit kekuningan.
Jaringan vaskuler dari batang bagian bawah dan akar menjadi kecoklatan.
Bila batang atau akar dipotong melintang dan dicelupkanke dalam air yang
jernih, maka akan keluar cairan keruh koloni bakteri yang melayang dalam air
menyerupai kepulan asap. Serangan pada buah menyebabkan warna buah
menjadi kekuningan dan busuk. Infeksi terjadi melalui lentisel dan akan lebih
cepat berkembang bila ada luka mekanis. Penyakit berkembang dengan
cepat pada musim hujan.

Gambar 3.12. Layu Bakteri pada Cabai Merah

b. Pengendalian :
(1) Kultur teknis dengan pergiliran tanaman, penggunaan benih sehat,
dan sanitasi dengan mencabut dan memusnahkan tanaman sakit.
(2) Dianjurkan memanfaatkan agen antagonis Trichoderma spp dan
Glicladium spp. yang diaplikasikan bersamaan dengan pemupukan
dasar.
(3) Penggunaan bakterisida sesuai anjuran sebagai alternatif terakhir.
3)

Penyakit Busuk Buah Antraknosa (Collectrotichum gloeospoiroides)


a. Gejala Serangan :
Gejala awal adalah bercak kecil seperti tersiram air dengan bercak

44

BAB III Aspek teknis produksi

berwarna coklat kehitaman pada permukaan buah yang terinfeksi kemudian


menjadi busuk lunak. Ekspansi bercak yang maksimal membentuk lekukan
dengan warna merah tua ke coklat muda, dengan berbagai bentuk konsentrik
dari jaringan stromati cendawan/garis yang berwarna gelap. Pada bagian
tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang merupakan kelompok
spora. Serangan yang berat meyebabkan seluruh buah keriput dan mengering.
Warna kulit buah menjadi menyerupai jerami padi.
b. Pengendalian :
(1) Kultur teknis dengan pergiliran tanaman, penggunaan benih sehat dan
sanitasi dengan memotong dan memusnahkan buah yang sakit.
(2) Dianjurkan memanfaatkan agen antagonis Trichoderma spp. dan
Gliocladium spp. yang diaplikasikan bersamaan dengan pemupukan
dasar.
(3) Penggunaan fungisida sesuai anjuran sebagai alternatif terakhir.
4)

Penyakit Virus Kuning (Gemini Virus)

Gambar 3.13. Serangan Gemini Virus pada Tanaman Cabai

a. Gejala Serangan :
Helai daun mengalami vein clearing dimulai dari daun pucuk berkembang
menjadi warna kuning jelas, tulang daun menebal dan daun menggulung ke
atas. Infeksi lanjut dari gemini virus menyebabkan daun mengecil dan berwarna
kuning terang, tanaman kerdil, dan tidak berbuah.
45

BAB III Aspek teknis produksi

b. Pengendalian :
(1) Mengendalikan serangga vektor virus kuning yaitu kutu kebul (Bemisia
tabaci).
(2) Melakukan sanitasi lingkungan terutama tanaman inang seperti ciplukan,
terong, gulma bunga kancing, dan wedusan.
(3) Membuat benih/pesemaian dengan sungkup untuk membantu
mengurangi berkembangnya penyakit.
(4) Melakukan pemupukan tambahan untuk meningkatkan daya tahan
tanaman agar tanaman tetap berproduksi walaupun terserang virus
kuning.
5)

Penyakit Pucuk Kering (Choanophora cucurbitarum)

Gejala serangan cabang terserang layu dan akhirnya mengering daun dan
buah ikut mengering. Pengendalian: sanitasi bagian yang terserang dengan
memotong (cabang yang terserang) dan dibakar/musnahkan. Penggunaan
fungisida yang efektif sesuai anjuran. n

46

BAB III Aspek teknis produksi

47

BAB IV
ASPEK PASAR DAN
PEMASARAN

48

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

4.1. Aspek Pasar


4.1.1. Permintaan
Penyediaan pangan merupakan serangkaian kegiatan yang mencakup
aspek produksi, ekspor, impor, dan stok. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan
ini perlu dilakukan secara komprehensif dimulai sejak perencanaan produksi,
perkiraan ketersediaan, dan kebutuhan pangan pokok yang dapat menjadi
acuan untuk instansi terkait dalam menentukan target produksi, rencana
penyaluran pangan, dan pemasukan bahan pangan pokok melalui distributor.
Cabai merupakan salah satu komoditas yang sangat dicari masyarakat
Indonesia dan ketersediaannya sangat bergejolak. Secara garis besar,
permintaan cabai besar adalah untuk keperluan konsumsi rumah tangga, usaha
rumah makan, dan pemenuhan bahan baku industri. Konsumsi cabai dalam
bentuk tepung atau bubuk semakin meningkat dengan berubahnya selera
masyarakat yang semakin menghendaki bentuk makanan siap hidang.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2008-2012 menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan konsumsi cabai besar dari 15,486 ons/kapita pada
tahun 2008 menjadi 16,529 ons/kapita di tahun 2012. Hal ini sejalan dengan
jumlah penduduk Indonesia yang juga terus meningkat setiap tahunnya
dan mencapai 255.587.718 jiwa pada tahun 2012 (Data KPU, 2012). Dengan
denikian kebutuhan cabai merah secara nasional juga mengalami peningkatan.
Menjelang Hari-Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) umumnya
permintaan akan pangan meningkat, hal ini akan menyebabkan harga pangan
meningkat pula bila ketersediaan pangan (penawaran) di pasaran rendah.
Untuk menjaga kestabilan harga pangan pada saat hari-hari besar keagamaan
diusahakan permintaan seimbang dengan penawaran.
Secara total, pada Juli 2013 terdapat 15,4 ton cabai segar yang masuk
ke dalam negeri atau senilai US$12 ribu. Impor dilakukan keseluruhan dari
negara Vietnam (www.finance.detik.com). Dalam rencana impor cabai
pada Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) mencapai 10 ribu ton
cabai. Impor ini nantinya dipastikan tidak akan mengganggu petani cabai.
Jumlah yang diimpor sesuai RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura),
merupakan jumlah yang normal untuk memenuhi sedikit kekurangan atas
kebutuhanakan produk hortikultura.
Untuk keperluan industri, PT Heinz ABC membutuhkan pasokan cabai
merah secara continue sebagai salah satu bahan dasar utama pembuatan saus
dan sambal. Kebutuhan perusahaan tersebut akan komoditas ini sebanyak 100
ton per hari. Daerah pemasok utama berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur.
49

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

Indonesia adalah negara pengekspor cabai tapi juga sekaligus sebagai


pengimpor komoditas tersebut. Pada tahun 2012, ekspor cabai asal Indonesia
tercatat 9.986.222 kg dengan nilai US$24.979.292 (Tabel 4.1). Tujuan utama
ekspor cabai Indonesia adalah Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Indonesia
juga tercatat sebagai negara pengekspor benih cabai yang pada tahun 2012
mencapai US$24.112.285.

Tabel 4.1. Volume dan Nilai Ekspor Cabai Indonesia

Sumber: aplikasi.deptan.go.id

4.1.2. Penawaran
Menurut data Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, luas
areal pertanaman cabai merah cenderung berfluktuasi. Selama tahun 2012,
luas panen cabai merah besar adalah 120.275 ha, mengalami penurunan
1,38% dibanding tahun 2011 yang luas areal panennya mencapai 121.063
ha. Produksi cabai merah besar secara nasional pada tahun 2012 adalah
954.310 ton, meningkat sebanyak 7,36%, dibanding tahun tahun 2011 yang
mencapai 888.852 ton. Luas areal panen untuk komoditas cabai merah
secara nasional tercantum pada Lampiran 1.
Pada tahun 2012 tercatat beberapa daerah sentra yang memasok cabai
merah ke pasaran. Sentra penghasil cabai merah besar secara nasional adalah
Jawa Barat (201.384 ton), Sumatera utara (197.409 ton), Jawa Tengah (130.127
ton), Jawa Timur (99.670 ton), Sumatera Barat (57.671 ton), Aceh (51.411 ton),
dan Lampung (42.437 ton). Pasokan cabai dari 7 provinsi tersebut mencapai
81,7% dari produksi cabai merah secara nasional. Produksi cabai merah pada
tahun 2008-2012 tercantum pada Lampiran 2.
Selain pasokan dari sentra produksi di dalam negeri, dalam waktuwaktu tertentu Indonesia juga mengimpor komoditas ini dari negara lain.
Pada tahun 2012, volume impor cabai mencapai 26.838.681 kg dengan nilai
US$27.935.228 (Tabel 4.2). Secara netto, nilai impor cabai Indonesia lebih
besar dari ekspornya. Impor cabai tersebut terutama berasal dari India, Japan,
Korea, dan China. Selain itu, Indonesia juga mengimpor benih cabai pada
tahun 2012 yang nilainya mencapai US$3.857.890.
50

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

Tabel 4.2. Volume dan Nilai Impor Cabai Indonesia

Sumber: http://aplikasi.deptan.go.id/eksim2012

Sekalipun ada kecenderungan peningkatan kebutuhan, tetapi permintaan


terhadap cabai merah untuk kebutuhan sehari-hari dapat berfluktuasi, yang
disebabkan karena tingkat harga yang terjadi di pasar eceran. Fluktuasi harga yang
terjadi di pasar eceran, selain disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi
sisi permintaan juga disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi sisi
penawaran. Dapat dijelaskan bahwa kadang-kadang keseimbangan harga terjadi
pada kondisi jumlah yang ditawarkan relatif jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah yang diminta. Hal inilah mengakibatkan harga akan sangat tinggi
begitu juga sebaliknya sehingga harga sangat rendah.
Dari sisi penawaran menunjukkan bahwa proses penyediaan (produksi dan
distribusinya) cabai merah belum sepenuhnya dikuasai para petani. Faktor
utama yang menjadi penyebab hal tersebut adalah bahwa petani cabai merah
adalah petani kecil-kecil yang proses pengambilan keputusan produksinya
diduga tidak ditangani dan ditunjang dengan suatu peramalan produksi dan
harga yang baik.
4.1.3. Analisis Persaingan dan Peluang Usaha
Sentra produksi cabai merah hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia
dengan proporsi utama ada di 7 provinsi. Data BPS dan Ditjen Hortikultura
menyebutkan bahwa pada tahun 2012 total produksi cabai merah nasional
adalah 954.310 ton. Jawa Barat merupakan penghasil cabai merah terbesar
dengan produksi 201.384 ton (21,10%). Daerah lain yang juga dikenal sebagai
sentra produksi cabai merah yaitu Sumatera Utara memproduksi sebanyak
197.409 ton (20,69%), Jawa Tengah memproduksi 130.127 ton (13,64%),
Jawa Timur memproduksi 99.670 ton (10,44%), Sumatera Barat memproduksi
57.671 ton (6,04%), Aceh memproduksi 51.411 ton (5,39%), dan Lampung
memproduksi 42.437 ton (4,45%).
Komoditas cabai merah memiliki tingkat fluktuasi harga yang tinggi
sehingga ketika pasokan cabai sedikit maka harga akan segera melambung
tinggi jauh di atas harga normal. Kondisi sebaliknya juga terjadi, jika pasokan
membanjiri pasar maka harga komoditas tersebut akan jatuh sangat jauh.
51

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

Untuk mengatasi hal ini maka beberapa kelompok yang tergabung dalam
asosiasi cabai merah melakukan koordinasi dengan rekan-rekan sesama petani/
pengusaha cabai di kabupaten dan provinsi lain untuk berusaha bekerjasama
menjaga stabilitas pasokan cabai. Dengan adanya kerjasama dan pertukaran
informasi tersebut maka mereka berusaha menjaga agar harga cabai tidak
melambung terlalu tinggi tapi juga jangan sampai jatuh terlalu rendah.
Bagi petani yang bekerjasama dengan industri, stabilitas harga lebih
terjaga karena adanya sistem kontrak yang disepakati. Meski demikian masih
sering terdengar keluhan bahwa harga kontrak tersebut secara rata-rata masih
berada di bawah harga pasar.
Dalam menyiasati persaingan yang terjadi, biasanya para petani melakukan
kiat-kiat tertentu baik secara individu maupun berkelompok. Sedapat mungkin
mereka akan menekan biaya produksi, misal mengurangi penggunaan input
pupuk dan pestisida sehingga mendapatkan margin keuntungan yang lebih
besar. Pengurangan pestisida dapat menjadi peluang ke arah budidaya cabai
secara organik.
Biasanya harga cabai merah akan melonjak ketika mendekati hari besar
keagamaan dan hari besar nasional (khususnya Idul Fitri dan Tahun Baru).
Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh petani, dengan melihat fase pertumbuhan
cabai maka mereka akan menghitung mundur jadwal tersebut sehingga jadwal
panen jatuh pada bulan puasa atau mendekati natal dan tahun baru.
4.2. Aspek Pemasaran
4.2.1. Harga
Kebutuhan akan cabai merah, diduga masih dapat ditingkatkan dengan pesat
sejalan dengan kenaikan tingkat konsumsi per kapita, kenaikan pendapatan dan
pertambahan jumlah penduduk. Sekalipun ada kecenderungan peningkatan
kebutuhan, tetapi permintaan terhadap cabai merah untuk kebutuhan seharihari dapat berfluktuasi, yang disebabkan karena tingkat harga yang terjadi di
pasar eceran. Fluktuasi harga yang terjadi di pasar eceran, selain disebabkan oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi sisi permintaan juga disebabkan oleh faktorfaktor yang mempengaruhi sisi penawaran. Dapat dijelaskan bahwa kadangkadang keseimbangan harga terjadi pada kondisi jumlah yang ditawarkan
relatif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang diminta. Hal inilah
yang mengakibatkan harga akan sangat tinggi demikian pula sebaliknya.
Dari kegiatan pemasaran cabai di Jawa terutama yang berasal dari Jawa
Barat dan Jawa Tengah dapat di jumpai 4 pengendali harga (price leader) yang
berperan, yakni :
52

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

1)



2)
3)

4)

Pasar Induk Kramat Jati sebagai pemasok cabai untuk wilayah Jabotabek
dan sekitarnya. Harga cabai di Pasar Induk Kramat Jati dapat digunakan
sebagai patokan harga cabai. Demikian pula pasar induk di kota-kota
besar seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta dan kota besar lainnya,
Pedagang pengumpul yang terdekat dengan para produsen,
Pedagang pengumpul yang mampu memasarkan lebih lanjut ke pasar
yang terdekat dengan konsumen,
Industri pengolahan cabai yang menetapkan harga beli cabai sebagai
bahan baku kepada petani (misal PT. Heinz ABC).

Tren perkembangan harga cabai merah mulai bulan Januari 2010 - April
2013 (Minggu III), cenderung menurun 0,02% di kabupaten sentra produksi. Di
beberapa kota besar di Indonesia, trend harga komoditas ini meningkat 0,25%
Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Perkembangan Harga cabai Merah Besar di Beberapa Kabupaten


Sentra Produksi dan Kota Besar di Indonesia, April 2010 - April 2013

Harga rata-rata cabai pada bulan April 2013 dibandingkan dengan harga
rata-rata cabai pada bulan Maret 2013 di kabupaten sentra produksi dan kota
besar menurun masing-masing sebesar 10,50% dan 11,93%. Harga rata-rata
cabai pada bulan April 2013 dibandingkan dengan April 2012 di kabupaten
sentra produksi dan kota besar meningkat masing-masing sebesar 20,13% dan
16,69%. Harga rata-rata cabai pada Minggu III April 2013 dibandingkan dengan
Minggu II April 2013 di kabupaten sentra produksi dan kota besar meningkat
masing-masing sebesar 5,82% dan 3,48% (Tabel 4.3).
53

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

Di daerah Ciamis, pada periode tersebut harga cabai merah terendah


di tingkat petani adalah Rp9.500/kg (April Minggu I 2013) dan tertinggi
mencapai Rp13.250/kg (Maret Minggu II 2013). Harga cabai merah rata-rata
di kabupaten ini pada bulan Maret 2013 adalah sebesar Rp12.050/kg dan di
bulan April 2013 Rp11.433/kg. Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa harga
cabai merah tingkat petani di Kabupaten Tasikmalaya pada bulan Maret - April
2013 berkisar Rp7.400/kg (Maret Minggu III 2013) hingga Rp12.000/kg (April
Minggu III 2013). Harga cabai merah rata-rata di Tasikmalaya pada bulan Maret
2013 adalah Rp9.288/kg dan di bulan April 2013 Rp11.267/kg.
Harga terendah di Ciamis dan Tasikmalaya tersebut ternyata masih lebih
tinggi dari harga yang diterima petani jika penjualan dengan sistem kontrak.
Harga beli dari PT. Heinz ABC di daerah Tasikmalaya dan Ciamis adalah
Rp10.000/kg s.d. Rp11.000/kg, tapi yang diterima petani sebesar Rp7.000/kg
s.d. Rp8.000/kg.

Tabel 4.3. Harga Cabai Merah Besar di Beberapa Kabupaten Sentra Produksi dan
Kota Besar di Indonesia Maret-April 2013 (Rp)

Sumber: http://pphp.deptan.go.id

Harga tingkat konsumsi di Jakarta pada periode Maret-April tersebut


berkisar Rp12.000/kg hingga Rp20.400/kg. Di Bandung, kisaran harga cabai
merah pada periode yang sama berkisar Rp13.200/kg hingga Rp27.500/kg.
54

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

Periode bulan Agustus 2012, fluktusi harga cabai domestik dengan harga
internasional terlihat pada Gambar 4.2. Gambar tersebut menunjukkan harga
cabai domestik mengalami fluktuasi kenaikan lebih tajam dibandingkan harga
internasional. Secara umum, harga cabai merah di internasional lebih rendah
dari harga domestik.

Sumber: PDN Kemendag 2010 - 2012

Gambar 4.2. Perbandingan Harga Cabai Domestik dan Harga Internasional

4.2.2. Jalur Pemasaran Produk


Rantai pemasaran cabai merah untuk keperluan industri (sistem kontrak) relatif
sederhana. Dari pengamatan di lapang, petani bertanggungjawab hanya
sampai kegiatan panen. Dalam pemanenan tersebut, dilakukan dengan cara
petik tangkai. Hasil cabai merah yang sudah dipetik ini kemudian diangkut ke
STA Koja. Koja inilah yang bertanggungjawab terhadap proses grading dan
sortasi. Cabai yang memenuhi syarat yang telah ditentukan akan segera dikirim
ke PT. Heinz ABC di Cikarang.
Setelah sampai di lokasi, PT. Heinz ABC juga akan melakukan pemeriksaan
kembali terhadap produk yang dikirim. Hanya produk yang memenuhi syarat
saja yang akan dibayar. Seluruh persyaratan yang dikehendaki tercantum pada
surat perjanjian jual-beli cabai yang ditandatangani oleh Direktur PT. Heinz ABC
dan Ketua Koperasi (diantaranya Koja).
4.2.3. Kendala Pemasaran
Dari sisi teknis pemasaran, sebenarnya tidak ada kendala yang berarti, karena
secara teknis, dengan adanya kontrak jual beli cabai antara koperasi dengan
industri maka sudah ada jaminan bahwa cabai yang dihasilkan akan terserap
55

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

oleh pasar. Meski demikian masih ada beberapa hal yang dirasakan menjadi
kendala seperti :
1)








2)










3)




56

Lemahnya posisi tawar petani dalam penentuan harga cabai karena


hampir sepenuhnya ditentukan oleh pihak industri. Dari uraian
sebelumnya terlihat bahwa harga cabai yang diterima petani (Rp7.000/
kg s.d. Rp8.000/kg). Secara umum harga tersebut masih lebih rendah
dari harga di pasaran bebas. Solusi yang bisa dilakukan terkait
lemahnya kemampuan tawar petani yaitu melibatkan instansi terkait
(Dinas Pertanian) dan perbankan sebagai mediator pada saat
penandatanganan kontrak harga minimal antara perusahaan cabai
(PT. Heinz ABC) dengan pihak petani atau koperasi (Koja).
Keluhan dari sebagian kecil petani yang merasa bahwa jika harga di
pasar sedang turun, sortasi yang dilakukan oleh industri terasa lebih
ketat sehingga relatif banyak cabai yang ditolak untuk dibeli (tidak
masuk standar industri). Namun keluhan ini lebih bersifat subjektif
sehingga perlu penelusuran lebih lanjut. Cabai-cabai yang ditolak
oleh pabrik akan relatif sulit di jual di pasar bebas karena kondisi cabai
tersebut sudah tidak memiliki tangkai lagi. Pada saat sortasi sedapat
mungkin tenaga ahli yang mewakili pabrikan hadir di lokasi sehingga
jika ada cabai yang tidak lolos sortasi, bisa dilakukan sedini mungkin
sehingga cabai yang sampai di lokasi industri adalah cabai yang
sudah lolos sortasi.
Kendala selanjutnya yaitu iklim yang ekstrim yang dapat memacu
serangan hama dan penyakit sehingga mengakibatkan produksi cabai
yang dihasilkan jauh di bawah target yang diharapkan. Hal ini
menyebabkan petani tidak dapat memenuhi kuota perjanjian pasokan
cabai ke industri. Jika terjadi hal ini terjadi maka terpaksa dilakukan
revisi dalam kontrak tersebut. n

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

Halaman ini
sengaja dikosongkan

57

BAB V
ASPEK KEUANGAN

58

BAB V ASPEK Keuangan

5.1. Pemilihan Pola Usaha


Melihat sebaran sentra produksi cabai merah yang luas, usaha budidaya
cabai merah berkembang sebagai unit bisnis yang prospektif, terlebih adanya
permintaan pasar yang semakin meningkat. Oleh karena itu, budidaya cabai
merah tidak saja menjadi tradisi masyarakat di sentra produksi tetapi sudah
merupakan usaha yang berorientasi pada peningkatan pendapatan dan nilai
tambah.
Dalam upaya meningkatkan nilai tambah usaha budidaya cabai merah dan
mengatasi permasalahan yang ada, maka ada beberapa pola usaha budidaya
cabai merah yaitu usaha cabai merah konsumsi, cabai merah industri, penangkar
benih hingga usaha lepas panen seperti pengolahan lanjut produk berbasis
cabai merah. Dengan diversifikasi usaha tersebut, maka kegiatan usaha dapat
dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu usaha on-farm dan off-farm. Usaha
yang tergolong dalam on-farm adalah budidaya cabai merah dengan produk
cabai merah konsumsi, yaitu cabai merah yang digunakan sebagai sayuran,
kemudian cabai merah produksi adalah cabai merah segar yang digunakan
sebagai bahan baku industri pangan. Usaha off-farm adalah seluruh kegiatan
lain yang berhubungan dengan budidaya cabai merah.
Dari sisi teknik budidaya, tidak ada perbedaan untuk memproduksi cabai
merah sebagai bahan baku industri pangan dengan cabai untuk konsumsi,
hanya penggunaan varietas cabai untuk bahan baku industri tidak boleh
sembarangan tapi harus dikonsultasikan dulu dengan pabrik pengolah. Tidak
semua jenis varietas cabai mau diterima oleh pabrik.
Untuk itu, dalam pemilihan pola usaha ini digunakan kriteria minimal bahwa
usaha tersebut bersifat ekonomis dan bankable. Kriteria yang digunakan dalam
pemilihan pola usaha adalah produktivitas yang optimal, baik dari segi jumlah
dan mutu maupun kepastian harga jual dan pasar melalui pola kemitraan
dengan industri pengolahan. Berdasarkan kriteria tersebut, pola usaha yang
dilakukan adalah usaha budidaya cabai merah industri dengan kemitraan
usaha. Skala usaha budidaya cabai merah sangat tergantung pada ketersediaan
lahan, musim, ketersediaan bibit, serta fasilitas dan teknologi produksi yang
diterapkan oleh petani/pengusaha yang umumnya berbasis pada pengalaman
budidaya cabai merah sesuai POS (Prosedur Operasional Standar).
5.2. Asumsi dan Parameter Dalam Analisis Keuangan
Dari pemilihan pola usaha di atas, ditetapkan asumsi dan parameter yang
akan digunakan untuk analisis kelayakan usaha dari sisi keuangan. Asumsi dan
parameter ini diperoleh berdasarkan kajian terhadap usaha budidaya cabai
59

BAB V ASPEK Keuangan

merah di sentra produksi Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya serta informasi


yang diperoleh dari pengusaha, pustaka, dan kajian komparasi dengan sentra
produksi yang lainnya. Asumsi untuk analisis keuangan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Asumsi Dalam Analisis Keuangan

Diasumsikan bahwa musim tanam cabai merah dapat dilakukan 2 kali


dalam satu tahun dengan catatan antara musim tanam pertama dan kedua
dilakukan di lokasi berbeda. Populasi efektif yang digunakan adalah 17.500
tanaman/ha, dari populasi tersebut terdapat 14.000 atau 80% tanaman yang
dapat tumbuh dan menghasilkan. Hasil rata-rata cabai merah sebanyak 1 kg/
tanaman. Harga cabai merah industri di tingkat petani adalah Rp 7.500/kg dan
yang off grade Rp 2.000/kg.
60

BAB V ASPEK Keuangan

Periode proyeksi dalam analisis ini selama 3 tahun dengan penyusunan


aliran kas selama 12 bulan. Periode proyeksi tersebut tidak menggambarkan
pola investasi, sebab siklus produknya yang singkat, yaitu 6 bulan dengan 2
musim tanam per tahun. Suku bunga yang berlaku diasumsikan 13% per tahun
(Skim KUR).
Asumsi proporsi modal investasi adalah 40% milik petani sendiri dan 60%
kredit dari bank (walau dalam kenyataannya pada skim KUR, seluruh modal
investasi berasal dari petani). Proporsi modal kerja juga diasumsikan 40%
milik petani sendiri (equity) dan 60% dari kredit bank. Berdasarkan informasi
lembaga pembiayaan di wilayah sentra produksi cabai merah, pinjaman
sebagian besar digunakan untuk modal kerja dengan jangka waktu kredit
diasumsikan 1 tahun. Pola pembayaran kredit dilakukan setiap selesai panen
terakhir, yaitu 6 bulan per musim.
5.3. Komponen dan Struktur Biaya Investasi dan Biaya Modal
Kerja
Komponen biaya dalam analisis kelayakan usaha budidaya cabai merah dibedakan
menjadi dua yaitu biaya investasi dan dan biaya modal kerja. Biaya investasi adalah
komponen biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan peralatan dan
mesin budidaya cabai merah. Adapun biaya modal kerja merupakan gabungan
dari biaya tetap (yang diperhitungkan setiap musim tanam) dan biaya variabel.
Biaya modal kerja atau biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk memulai
usaha budidaya cabai merah industri akandipersiapkan pada awal pelaksanaan
budidaya.
5.3.1. Biaya Investasi
Biaya investasi yang dibutuhkan pada tahap awal usaha budidaya cabai merah
per hektar berupa biaya untuk pengadaan peralatan dan mesin budidaya.
Kebutuhannya tergantung pada skala usaha (luas lahan usaha) budidaya.
Kebutuhan biaya investasi untuk usaha budidaya cabai merah per hektar adalah
sebesar Rp9.200.000 dengan kondisi sesuai asumsi dengan nilai penyusutan alat
dan mesin per tahun sebesar Rp2.230.000, seperti ditunjukkan pada Tabel 5.2

61

BAB V ASPEK Keuangan

Tabel 5.2. Biaya Investasi Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar

5.3.2. Biaya Operasional


Biaya modal kerja dalam usaha budidaya cabai merah industri, seperti dijelaskan
sebelumnya terdiri dari biaya variabel (yang tergantung pada skala usaha atau
luas lahan yang dikelola) dengan biaya tetap (yang sebagian tergantung pada
skala usaha). Total biaya variabel yang digunakan sebagai biaya modal kerja usaha
budidaya cabai merah industri sebesar Rp66.174.100 per musim tanam atau
Rp132.348.200 per tahun dengan asumsi 2 kali musim tanam. Komposisi biaya
variabel terbesar adalah untuk upah tenaga kerja yaitu sebesar Rp33.145.000
(50,09%). Besaran biaya variabel tersebut tercantum pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3. Biaya Variabel Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar

Besarnya biaya tetap untuk budidaya cabai merah adalah Rp9.100.000 per
musim tanam atau Rp18.200.000 per tahun. Komponen biaya tetap terbesar
digunakan untuk sewa lahan yaitu sebesar 57,69%.
62

BAB V ASPEK Keuangan

Tabel 5.4. Biaya Tetap Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar

5.4. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja


Biaya investasi yang diperlukan untuk budidaya cabai merah adalah
Rp9.200.000. per hektarnya. Diasumsikan bahwa sebanyak 40% dana berasal
dari modal sendiri (Rp3.680.000) dan 60% (Rp5.520.000) merupakan pinjaman
dari Bank. Biaya modal kerja yang diperlukan untuk per hektar per musim
adalah sebesar Rp75.274.100. Struktur kebutuhan dana untuk budidaya cabai
merah tercantum pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5. Struktur Kebutuhan Dana Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar

63

BAB V ASPEK Keuangan

Kredit investasi ini berjangka waktu 1 tahun dengan pembayaran bunga


setiap bulan dan pembayaran angsuran pokok mulai panen musim pertama
(bulan ke-4 pada setiap musim tanam) dengan suku bunga 13% per tahun.
Estimasi pengembalian pinjaman ditunjukkan pada Tabel 5.6. Total Angsuran
pembayaran kredit investasi cabai merah adalah sebesar Rp6.237.600 untuk 2
kali musim tanam dengan sistem pembayaran dilakukan pada saat mulai panen
(akhir bulan ke-4) atau bayar saat panen (yarnen).

Tabel 5.6. Angsuran Kredit Investasi Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar (Rp)

Catatan : Pembayaran angsuran pokok dan bunga dilakukan sejak bulan ke-4 s.d. ke-6 (mulai

panen) dari masa musim tanam

Dalam kegiatan usaha budidaya cabai merah diperlukan biaya modal


kerja sebesar Rp75.274.100 untuk satu hektar. Dalam pelaksanaannya petani
memperoleh pinjaman kredit untuk modal kerja untuk satu kali musim
tanam dengan proporsi pinjaman 60% atau sebesar Rp45.164.460 dan
sisanya menggunakan modal sendiri sebesar Rp30.109.640. Kredit tersebut
menggunakan skim KUR dengan bunga 13% per tahun. Angsuran pokok dan
bunganya dibayar pada saat panen dengan estimasi pengembalian seperti
pada Tabel 5.7

64

BAB V ASPEK Keuangan

Tabel 5.7. Angsuran Kredit Modal Kerja Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar (Rp)

Dari tabel tersebut terlihat bahwa setiap musim panen maka petani
akan membayar angsuran pokok dan bunganya sebesar Rp25.517.920 atau
Rp51.035.840 untuk satu tahun (2 kali musim tanam). Angsuran kredit tersebut
diprediksikan akan lunas pada akhir musim ke-2 pada tahun pertama, kemudian
mendapatkan pinjaman kredit lagi untuk 2 musim tanam lagi dengan pelunasan
pada akhir musim ke-4 di tahun kedua.
5.5. Produksi dan pendapatan
Produksi budidaya cabai merah industri sesuai dengan asumsi produktivitas
sebesar 1 kg/tanaman, dalam satu ha terdapat populasi eferktif 17.500 tanaman.
Dari populasi tersebut, diasumsikan hanya 14.000 tanaman yang dapat tumbuh
baik dan menghasilkan. Dengan demikian, produktivitas tanaman per ha adalah
14.000 kg, di mana 5% diantaranya off grade (700 kg). Dengan demikian, cabai
yang layak masuk ke industri sebanyak 13.300 kg untuk setiap musim. Harga
65

BAB V ASPEK Keuangan

cabai merah untuk industri di tingkat petani adalah Rp7.500/kg dan yang off
grade Rp2.000/kg.
Proyeksi produksi dan pendapatan budidaya cabai merah per hektar
disajikan pada Tabel 5.8. Perkiraan pendapatan usaha per hektar untuk satu
musim tanam sebesar Rp101.150.000 sehingga pendapatan usaha dalam satu
tahun mencapai Rp202.300.000.

66

Tabel 5.8. Proyeksi Produksi dan Pendapatan Budidaya Cabai Merah Per Hektar

BAB V ASPEK Keuangan

67

BAB V ASPEK Keuangan

5.6. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point


Keuntungan dari usaha budidaya cabai merah industri diproyeksikan pada
setiap musim tanam di tahun pertama dapat menghasilkan laba bersih
(setelah pajak) sebesar Rp18.246.449 atau dalam satu tahun mencapai
Rp36.492.897. Dengan asumsi pada tahun tersebut seluruh produk terjual.
Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa adanya kepastian pasar, kesepakatan
harga, dan semua produk yang dihasilkan dapat terjual. Dalam proyeksi ini
juga diasumsikan bahwa selama masa proyeksi tidak terjadi perubahan
produktivitas, sehingga Profit on Sales usaha mencapai 18,0% pada tahun
pertama (Tabel 5.9).
Disamping itu, terlihat gambaran yang jelas pencapaian titik impas (BEP)
nilai penjualan usaha budidaya cabai pada setiap musim tanam di tahun
pertama sebesar Rp 39.069.328 dan tahun berikut menjadi Rp38.031.681
untuk setiap musim tanam. Pencapaian BEP volume produksi untuk setiap
musim tanam pada tahun pertama sebesar 5.926 kg dan pada musim tanam
tahun berikutnya 5.768 kg dan 4.480 kg.
5.7. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek
Secara umum aliran kas (cash flow) dalam perhitungan ini dibagi dalam dua
aliran, yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Arus masuk
diperoleh dari penjualan cabai merah setiap panen selama musim tanam.
Dalam usaha budidaya cabai merah industri setiap tahun dapat dilakukan 2
kali musim tanam dengan tetap memperhatikan kondisi dan kesesuaian lahan.
Idealnya lahan tidak dapat dilakukan penanaman secara terus-menerus untuk
tanaman sejenis, sehingga perlu dilakukan rotasi tanam dengan tanaman
lainnya, seperti timun, bawang daun dan caisin. Untuk analisis ini diasumsikan
musim tanam per tahun 2 kali. Oleh karena itu, proyeksi arus kas disusun per
tahun dengan 2 kali musim tanam dan analisis dilakukan per tahun. Proyeksi
arus kas budidaya cabai merah industri per tahun selama 3 tahun ditunjukkan
pada Tabel 5.10.
Evaluasi profitabilitas rencana investasi dilakukan dengan menilai kriteria
investasi untuk mengukur kelayakan usaha budidaya cabai merah industri,
yaitu meliputi NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C
Ratio (Net Benefit-Cost Ratio). Usaha budidaya cabai merah skala usaha 1
hektar sesuai dengan asumsi yang ada menghasilkan NPV Rp32.027.167
pada tingkat bunga 13% dengan nilai IRR adalah 63,19% dan Net B/C Ratio
4,48 (Tabel 5.11). Berdasarkan kriteria dan asumsi yang ada menunjukkan
bahwa usaha budidaya cabai merah per hektar selama masa proyeksi sudah
layak untuk dilaksanakan dengan Pay Back Period (PBP) selama 2,04 tahun.
68

Provit on sales

Tabel 5.9. Proyeksi Laba-Rugi Budidaya Cabai Merah Per Hektar

BAB V ASPEK Keuangan

69

BAB V ASPEK Keuangan

Tabel 5.10. Proyeksi Arus Kas Usaha Budidaya Cabai Merah per Hektar

untuk

Discount Factor
Present Value

Tabel 5.11. Kriteria Kelayakan Usaha Budidaya Cabai Merah Per Hektar

5.8. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha


Biaya produksi dan pendapatan secara umum dijadikan patokan dalam mengukur
kelayakan usaha dalam suatu analisis kelayakan suatu proyek. Hal ini dikarenakan
kedua hal tersebut merupakan komponen inti dalam suatu kegiatan usaha.
Terlebih lagi bahwa komponen biaya produksi/variabel dan pendapatan juga
didasarkan pada asumsi dan proyeksi sehingga memiliki tingkat ketidakpastian
yang cukup tinggi. Untuk mengurangi dan mengantisipasi resiko, diperlukan
70

BAB V ASPEK Keuangan

analisis sensitivitas yang menguji tingkat sensitivitas proyek terhadap perubahan


input maupun output. Dalam pola pembiayaan usaha budidaya cabai merah
digunakan tiga skenario sensitivitas yang didasarkan pada perubahan harga
produk yang menyebabkan penurunan pendapatan, kenaikan biaya variabel, dan
kombinasi keduanya.
4) Skenario 1 : Pendapatan Turun
Dalam struktur aliran kas, penurunan pendapatan bisa disebabkan oleh
penurunan produksi maupun penurunan harga jual. Terjadinya penurunan
pendapatan sebesar 6% menyebabkan usaha budidaya cabai merah masih
dinilai layak diusahakan.

Tabel 5.12. Sensitivitas Pendapatan Turun

5) Skenario 2 : Biaya Variabel Naik


Sensitivitas kenaikan biaya produksi terutama biaya variabel kemungkinan
terjadi dengan melihat perkembangan ekonomi saat ini dengan
perkembangan pasar bebas yang sulit dibendung. Sehingga memunculkan
asumsi peningkatan biaya produksi/variabel sedangkan pendapatan dianggap
tetap/konstan. Pada usaha budidaya cabai merah, komponen biaya variabel
mencapai 88% total biaya operasional yang sebagian besar dialokasikan untuk
pupuk dan tenaga kerja. Apabila terjadi peningkatan biaya variabel 10% maka
usaha budidaya cabai merah juga layak dilakukan, tapi hampir mendekati titik
impas (Net B/C hanya 1,08). Hal ini karena nilai NPV positif, IRR lebih besar dari
suku bunga dan net B/C ratio lebih besar dari 1. Oleh karena itu, perubahan
biaya produksi harus dipikirkan dengan baik agar usaha budidaya cabai merah
walaupun pada seperti kondisi ini tidak mempengaruhi kelayakan usaha.

71

BAB V ASPEK Keuangan

Tabel 5.13. Sensitivitas Peningkatan Biaya Variabel

6) Skenario 3 : Kombinasi
Penurunan harga cabai merah dapat terjadi karena kenaikan biaya produksi
seiring dengan peningkatan harga saprotan dapat juga terkombinasi dengan
turunnya produk yang terjual ataupun turunnya nilai jual produk cabai merah.
Sensivitivitas kombinasi tersebut memperlihatkan bahwa pada saat terjadinya
kenaikan biaya variabel sebesar 4% dengan terjadinya penurunan pendapatan
sebesar 4% maka usaha budidaya cabai merah masih dinilai layak.

Tabel 5.14. Sensitivitas Kombinasi

Dari ketiga skenario tersebut, meskipun harga pupuk dan upah tenaga kerja
memiliki proporsi pengeluaran yang cukup besar, namun usaha budidaya cabai
merah masih layak untuk dijalankan. Hal-hal yang perlu dicermati dalam usaha
budidaya cabai merah ini adalah ketersediaan lahan dan musim yang dapat
berakibat pada produktivitas. Apabila produktivitas mengalami penurunan
maka dapat terjadi penurunan faktor kelayakan yang cukup signifikan.
5.9. Kendala Keuangan
Kegiatan pemasaran dan teknologi produksi cabai merah dapat diatasi
dengan melakukan pola kemitraan, namun usaha budidaya cabai merah tetap
72

BAB V ASPEK Keuangan

memiliki kendala pembiayaan. Berbagai skim pembiayaan telah diterapkan


dan diterima oleh petani/pengusaha budidaya cabai merah, tetapi usaha ini
belum berkembang secara maksimal sehingga kurang menarik bagi lembaga
keuangan untuk dibiayai. Adanya kebijakan penggunaan lahan yang terkendali
dan ramah lingkungan semakin mempersempit kesempatan usaha budidaya
cabai merah di daerah-daerah yang memiliki potensi yang besar, seperti di
Pangalengan, Kabupaten Bandung. Oleh karena itu, pembiayaan tidak saja
diberikan untuk peningkatan produksi, tetapi juga diarahkan untuk penguatan
pasar.
Program pembiayaan yang ada saat ini lebih diarahkan untuk penguatan
produksi dalam bentuk pembiayaan modal kerja, sementara untuk investasi
usaha ini masih relatif belum berkembang. Jika dilihat per hektar, kebutuhan
pembiayaan untuk investasi relatif kecil, namun pada skala usaha yang lebih luas,
biaya investasi berpengaruh terhadap kelayakan usaha. Untuk itu, perbankan
juga harus memberikan porsi yang cukup untuk pembiayaan investasi ini.
Pola pembiayaan pemerintah belum mampu menguatkan daya jual produk
cabai merah, karena pembiayaan untuk penguatan pasar tidak diberikan
pada tingkat petani. Meskipun dalam beberapa program seperti PUAP dapat
dialokasikan untuk penguatan pasar, namun belum optimal. Selain itu, dalam
pola kemitraan yang ada saat ini, petani secara individu belum memiliki
kekuatan untuk akses pembiayaan, karena tidak memiliki dokumen kontrak
yang diperlukan oleh perbankan sebagai jaminan atas usaha yang dilakukan.
Disinilah sebetulnya peran mitra industri sebagai avalis atau off-taker menjadi
sangat vital dalam usaha budidaya cabai merah industri. Hingga saat ini mitra
industri belum bersedia menjadi avails/penjamin dalam kaitannya peminjaman
modal kerja ke bank, namun mitra ini hanya memberikan jaminan pasar bagi
produk cabai merah yang dihasilkan oleh petani. n

73

BAB VI
ASPEK EKONOMI,
SOSIAL, DAN DAMPAK
LINGKUNGAN

74

BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN

6.1. Aspek Ekonomi dan Sosial


Usaha budidaya cabai merah pada awalnya merupakan mata pencaharian
yang bersifat sub-sistence masyarakat di daerah dataran tinggi. Namun dengan
potensi dan peluang yang ada, usaha ini mampu diarahkan sebagai unit bisnis
usaha kecil. Usaha yang dikelola secara profesional dapat meningkatkan
pendapatan dan kepastian pendapatan. Pengusaha dapat mengandalkan
pendapatannya secara rutin dan menyisihkan hasilkan untuk kebutuhan
pendidikan keluarga, kebutuhan sekunder dan tertier, misalnya untuk ibadah.
Usaha budidaya cabai merah adalah suatu bentuk usaha yang bersifat
padat modal dan padat karya. Bagi masyarakat sekitar, dampak ekonomi yang
dirasakan dengan adanya usaha budidaya cabai merah ini adalah penyerapan
tenaga kerja karena kebutuhan tenaga kerjanya cukup banyak. Dampaknya
mampu mengurangi pengangguran di wilayah produksi dan tentu saja
mengurangi urbanisasi ke perkotaan. Di sektor on farm, setiap hektar usaha
budidaya cabai merah membutuhkan tenaga kerja sebanyak 947 HOK
untuk satu siklus musim tanam. Selain itu, usaha budidaya komoditas ini juga
memberikan lapang kerja untuk sektor penunjang, misalnya koperasi dan
penyediaan sarana produksi.
Di daerah sentra produksi, banyaknya petani yang menanam komoditas
ini akan mampu berkontribusi secara signifikan terhadap Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) daerah. Dengan demikian, keberadaan usaha budidaya
cabai merah berperan positif dalam pembangunan ekonomi daerah.
Para petani budidaya cabai merah umumnya bekerja dalam kelompok
dan bergotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Sifat gotong
royong tersebut tidak hanya mencakup urusan budidaya cabai tapi juga
mencakup kegiatan sosial lainnya. Dengan demikian keberadaan usaha ini
memberikan dampak sosial yang positif kepada masyarakat dan lingkungan
sekitarnya.
Untuk jangka panjang, pembentukan klaster cabai di Kabupaten
Tasikmalaya dan Ciamis dapat mendorong kedua daerah tersebut sebagai
agropolitan dengan komoditas hortikultura, khususnya cabai merah sebagai
andalan. Agropolitan merupakan kawasan terpilih dari kawasan agribisnis
atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut
terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan
agribisnis yang melayani, mendorong dan memacu pembangunan
pertanian kawasan dan wilayah-wilayah sekitarnya. Kawasan agropolitan
terdiri dari kota pertanian dan desa sentra produksi pertanian dan didukung
dengan berbagai infrastruktur yang mendukung kegiatan pertanian dan
industri pengolahnya. Pengembangan kawasan agropolitan dirancang untuk
75

BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN

mendorong berkembangnya sistem dan usaha agrobisnis yang berdaya


saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi yang
difasilitasi oleh pemerintah.
Usaha ini juga dapat mensinergikan kebijakan pemerintah, pengabdian
masyarakat lembaga pendidikan tinggi, pengembangan IPTEK serta kemitraan
dengan dunia usaha lainnya. Dalam perkembangannya, kemitraan pemasaran
tidak hanya melibatkan petani, lembaga penelitian, dan perusahaan pengolahan,
tetapi juga mampu menarik pihak lain seperti lembaga pembiayaan dan
pedagang saprodi untuk berpartisipasi dalam kemitraan. Dengan demikian,
kemitraan pemasaran mampu memberikan dampak yang cukup besar bagi
perputaran roda perekonomian masyarakat di pedesaan. Oleh karena itu,
model ini patut didorong dan dijaga keberlanjutannya.
6.2. Dampak Lingkungan
Kondisi wilayah Ciamis dan Tasikmalaya saat ini menunjukkan adanya
ketergantungan masyarakat yang sangat tinggi terhadap lahan khususnya lahan
pertanian. Lebih ekstrim lagi adalah tingginya ketergantungan masyarakat
terhadap hasil produksi tanaman cabai merah. Hal ini disebabkan hasil produksi
tanaman cabai merah telah nyata-nyata membawa perubahan yang signifikan
terhadap tingkat sosial ekonomi masyarakat. Perubahan ini ditunjukkan dengan
semakin tingginya daya beli masyarakat terhadap barang-barang kebutuhan
primer, sekunder bahkan barang-barang yang bersifat pelengkap.
Adanya peningkatan taraf hidup masyarakat menunjukkan bahwa
hasil yang ada sekarang ini sangatlah bermanfaat bila ditinjau dari sudut
pandang ekonomi. Peluang untuk meningkatkan derajat kesehatan dan
pendidikan pada level yang lebih baik sangatlah terbuka. Hal ini berarti dapat
mendukung peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang indikator
pencapaiannya adalah daya beli, derajat kesehatan, dan tingkat pendidikan
masyarakat. Namun keberhasilan pembangunan tidak hanya pada peningkatan
sumber daya manusianya tetapi juga pada pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungannya. Adanya keseimbangan antara kesejahteraan masyarakat
dan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan merupakan syarat mutlak
yang harus dicapai dalam suatu program pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development program). Sehingga dapat dikatakan bahwa dari
segi ketepatan, hasil yang dicapai di daerah Pangalengan saat ini memberi
manfaat secara ekonomi dan sosial, namun bagi lingkungan cenderung
memberi resiko yang tinggi bagi terjadinya kerusakan dan bencana alam.
Secara visual nampak bahwa lahan yang diusahakan untuk budidaya
cabai merah berada pada daerah dengan kemiringan lebih dari 10%. Pada
76

BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN

daerah yang relatif miring tersebut, usaha budidaya harus dilakukan secara
hati-hati terutama dalam pengolahan tanah. Pembuatan terasering, bedengan,
dan saluran drainase harus dikerjakan dengan benar agar tidak menyebabkan
terjadinya erosi.
Disamping itu, tanaman cabai merah adalah jenis tanaman hortikultura
yang sangat intensif dalam penggunaan pestisida kimiawi, karena sifat
tanamannya yang memang sangat rentan terhadap serangan organisme
pengganggu tanaman OPT. Sudah umum diketahui bahwa daerahdaerah penghasil komoditas hortikultura, seperti cabai merah di Indonesia
menggunakan bahan kimiawi yang sangat tinggi, sehingga menimbulkan
permasalahan tingkat keamanan konsumsi komoditas tersebut mengingat ada
residu yang ditinggalkan melalui penggunaan pestisida. Jika mengacu pada
masalah keamanan pangan serta pertanian berkelanjutan, maka sebaiknya
secara bertahap dilakukan perbaikan cara bertani menuju pertanian yang
rendah penggunaan bahan kimia, walaupun mungkin tidak nol sama sekali.
Berdasarkan konsepsi PHT, pestisida hanya digunakan kalau memang
benar-benar diperlukan (sesuai dengan hasil pengamatan agroekosistem).
Selain itu, penggunaannya harus berhati-hati dan sekecil mungkin gangguannya
terhadap lingkungan. Secara umum, penggunaan pestisida harus mengikuti
lima kaidah, yaitu:
1) Tepat sasaran
2) Tepat jenis
3) Tepat waktu
4) Tepat dosis/konsentrasi
5) Tepat cara penggunaan
Pertanian organik saat ini sudah banyak dipraktekkan untuk tanaman
pangan lain, misalnya beras, dan tampaknya permintaan pasar untuk produk
jenis ini juga sudah sangat tinggi. Di sisi lain juga ternyata penghasilan petani
bukannya menurun, tapi justru naik secara signifikan, maka mungkin dalam
jangka menengah-panjang perlu dilakukan secara bertahap cara budidaya
cabai merah ini di masa mendatang.
Masih terdapatnya petani yang menerapkan sistem tanam cabai merah
secara monokultur secara terus-menerus dapat membawa dampak yang
serius yaitu kemungkinan terjadinya ledakan hama dan penyakit cabai seperti
serangan layu dan antraknosa. Akibat yang lebih jauh lagi, serangan tersebut
bisa menyebar tidak hanya menyerang tanaman cabai saja tapi juga dapat
menyerang komoditas lain yang berkerabat dekat dengan cabai. Kondisi ini
dapat diminimalkan antara lain dengan menerapkan sistem tanam tumpang
sari antara cabai dengan komoditas lain yang relatif kompatibel, misalnya
bawang daun. Selain itu, setelah siklus musim tanam cabai berakhir, segera
77

BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN

ditanam komoditas lain yang berumur pendek (kurang dari 40 hari) dengan
memanfaatkan bedengan dan sisa hara dari tanaman cabai tersebut sehingga
tidak ada biaya pengolahan tanah dan pemupukan bagi tanaman antar waktu
tersebut. Beberapa komoditas yang dapat ditanam antara lain adalah timun,
bawang daun dan caisin.
Adanya perubahan cuaca yang ekstrim dalam satu tahun terakhir
(tahun 2012-2013) sangat berpengaruh terhadap kesinambungan budidaya
cabai merah di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis. Kondisi cuaca tersebut
berakibat terhadap meningkatnya serangan OPT, khususnya serangan
penyakit layu dan patek. Akibatnya produktivitas rata-rata cabai merah yang
seharusnya mencapai 1 kg/tanaman menurun drastis hingga hanya mencapai
0,2-0,3 kg/tanaman. Akibat kondisi tersebut maka ditemui cukup banyak
para petani cabai yang mengalami kesulitan dalam mengembalikan kredit
sehingga perlu penjadwalan kembali. Mengantisipasi hal ini maka sangat
diperlukan pemilihan benih cabai dari varietas yang mampu toleran terhadap
kondisi cuaca yang ekstrim tersebut. Sangat diperlukan peranan lembaga
penelitian dan perguruan tinggi untuk terus menghasilkan varietas cabai yang
mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap kondisi cuaca ekstrim dan toleran
terhadap serangan OPT. n

78

BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL, DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Halaman ini
sengaja dikosongkan

79

BAB VII
KESIMPULAN DAN
SARAN

80

Komoditi PAdi | Peningkatan


BAB VII Kesimpulan
Akses Pemasaran
dan saran

7.1. Kesimpulan
Usaha budidaya cabai merah atau usaha tani cabai merah yang memiliki
prospek dan peluang usaha yang tinggi dapat diarahkan sebagai unit bisnis
yang mampu meningkatkan pendapatan dan memberikan nilai tambah produk
cabai merah. Dengan kajian pola pembiayaan usaha budidaya cabai merah ini,
dapat disimpulkan beberapa poin penting, yaitu:
1. Usaha budidaya cabai merah industri dengan pola kemitraan usaha
mampu menarik minat lembaga pembiayaan, baik perbankan maupun
lembaga pembiayaan non-bank untuk memberikan bantuan modal usaha,
terutama untuk pembiayaan modal kerja. Dalam pola tersebut, mitra usaha
menyediakan bantuan dalam bentuk kredit bibit yang berkualitas dengan
pembayaran pada saat panen. Selain itu, mitra membeli semua produk cabai
merah yang dihasilkan dengan harga sesuai kesepakatan, sehingga bagi
petani/pengusaha ada jaminan kepastian pasar dan harga.
2. Pemilihan lokasi dan penentuan musim tanam yang tepat pada budidaya cabai
merah sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas cabai merah. Daerah
yang selama ini dijadikan klaster Cabai di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis
(Seperti Panumbangan, Sukamantri dan Cihaurbeut) merupakan lokasi yang
sangat sesuai untuk usaha ini. Namun keterbatasan lahan perlu mendapatkan
perhatian sebab usaha budidaya cabai merah pada lahan yang sama tidak
dapat dilakukan penanaman secara continue, sehingga pengembangan
usaha bisnis cabai merah ini juga selayaknya masih menganut pengembangan
pertanian berkelanjutan. Faktor penting yang harus diperhatikan dalam
usaha budidaya cabai merah selain lokasi, adalah penggunaan benih yang
baik, sesuai yang dikehendaki industri dan bersertifikasi.
3. Pola usaha dalam budidaya cabai merah dapat bervariasi tergantung pada
kondisi lahan, musim dan ketersediaan benih. Pola usaha budidaya cabai
merah yang dapat dikembangkan diantaranya adalah usaha budidaya cabai
merah industri dan cabai merah konsumsi.
4. Kebutuhan dana usaha budidaya cabai merah sangat tergantung
pada ketersediaan lahan (luasan lahan) dan jenis cabai merah yang
dibudidayakan. Total modal yang diperlukan untuk budidaya cabai
merah industri per hektar per musim tanam di tahun pertama sebesar
Rp84.474.100 yang terdiri dari biaya investasi sebesar Rp9.200.000 dan
modal Kerja sebesar Rp75.274.100. Dana yang dibiayai dari kredit bank
dengan proporsi 60% dengan Skim kredit yang diberikan berupa KUR
pada tingkat bunga 13% per tahun dengan jangka pinjaman selama 1
tahun. Untuk usaha yang sudah berjalan biaya investasi yang diperlukan
biasanya diperoleh dari modal sendiri.
81

BAB VII Kesimpulan dan saran

5. Usaha budidaya cabai merah untuk industri per hektar sesuai dengan asumsi
yang ada menghasilkan NPV Rp32.027.167 pada tingkat bunga 13% dengan
nilai IRR adalah 63,19% dan Net B/C Ratio 4,48. Berdasarkan kriteria dan
asumsi yang ada menunjukkan bahwa usaha budidaya cabai merah industri
per hektar selama masa proyeksi sudah layak untuk dilaksanakan dengan
Pay Back Period (PBP) selama 2,04 tahun.
6. Peningkatan biaya produksi sangat berpengaruh terhadap tingkat kelayakan
usahanya. Komponen biaya variabel seperti upah tenaga kerja dan harga
pupuk kandang memiliki proporsi pengeluaran yang besar.
7.2. Saran
1. Pola pembayaran pinjaman setiap musim panen dapat diterapkan di sentra
produksi lainnya.
2. Untuk usaha yang baru perlu diperhitungkan jenis investasinya berdasarkan
skala usaha dan jenis usahanya.
3. Diperlukan pembiayaan untuk pengembangan pemasaran cabai merah
agar dapat membentuk sistem rantai pasok yang kuat dan petani/pengusaha
memiliki kekuatan untuk membangun harga jual dengan sumber daya yang
dimilikinya.
4. Petani/pengusaha juga harus berwawasan lingkungan dengan tetap
memperhatikan kelestarian lahan dan penggunaan bahan kimia yang
terkendali dan bertanggung jawab.
5. Perlu dilakukan penelitian yang intensif agar dapat dihasikan varietas cabai
merah yang mampu beradaptasi terhadap kondisi cuaca yang ekstrim
sehingga toleran terhadap serangan hama dan penyakit. n

82

BAB VII Kesimpulan dan saran

Halaman ini
sengaja dikosongkan

83

INFO UMKM

INFO INF
UMKM
PADA
WEBSITE
BANK INDONESIA
FOUMKM
MPADA
WEBSITTEBANK
INDONESIA
http://jktbiwfe/id/umkm/Default.aspx
htttp://jktbiwffe/id/umkm
m/Default.asspx

INFFOUMKM
MPADAWEBSITTEBANKINDONESIA

htttp://jktbiwffe/id/umkm
m/Default.asspx

pada website Bank Indonesia www.bi.go.id terdapat minisite Info UMKM yang
o.idterdapa
Padaweb
bsite
Ba
ank informasi
Ind
donesia
www.bi.go
atminisite
Inffo simulasi
UM
MKM
yang
menyediakan
terkait pengembangan
UMKM,
termasuk
pola
menyedia
akaninforma
an www.bi.go
UMKM,
,termasuksim
mulasipolap
(lending
Padaweb
bsite asiterkaitpe
Ba
ank engembanga
Ind
donesia
o.idterdapa
atminisite
Inffo embiayaan
UM
MKMyang
pembiayaan
(lending
model)
usaha
kecil menengah
sebagaimana
dicantumkan
model)usa
aha kecil
meenengahseb
bagaimanad
dicantumkan
ndalambuku
uini.
menyedia
akaninforma
engembanga
an UMKM,
,termasuksim
mulasipolap
embiayaan (lending
dalam
buku
ini. asiterkaitpe
model)usa
aha kecil meenengahseb
bagaimanad
dicantumkanndalambukuuini.

meenu informa
asi yang terssediapadaInfo
I
UMKM
M
Beberapa menuBeeberapa
informasi
yang tersedia
pada Info UMKM

Info
Beeberapa meenu informa
asi yang terssediapadaInfo
I
UMKM
M UMKKM
TenttangLayananIIni
> KoordinasidanKe
erjasama

Info UMK
KM

> Konssultasi Usaha

Tent
tangLayananI
Kela
ayakan
Usaha
a Ini
> KooKomoditiUng
rdinasidanKe
erjasama
ggulan
> Kons
sultasi Usaha
PolaPembia
ayaan
Kela
ayakan Usaha
a
SistemPenun
njangKeputu
sanUntukInve
estasi

KomoditiUng
ggulan

PolaPembia
ayaan
> Dattabase
Profil UMKM
> Kre
edit UMKM
SistemPenunnjangKeputu

sanUntukInve
estasi
> Kisa
ahSuksesPemb
biayaan
> Pennelitian
>> Dat
ta tabase
KomoditiProfil
Dat

UMKM

k Web
UMKM
M
> Link
Kre
edit UMKM

> Kisa
ahSuksesPemb
biayaan

84

> Pennelitian
> Datta Komoditi

INFO UMKM

POLAPEMBIAYAAN(LENDINGMODEL)USAHAKECILMENENGAH

POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL)


USAHA KECIL MENENGAH
PenelitianlengkapPOLA

PEMBIAYAAN

(LENDING

MODEL)

USAHA

KECIL

Penelitian
POLA PEMBIAYAAN
(LENDING MODEL)
oleh
Bank
Indonesia
dapatdiunduhpada
Info USAHA
UMKM:KECIL
MENENGAHlengkap
MENENGAH
oleh Bank Indonesia dapat diunduh pada Info UMKM: http://www.
http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx
OLAPEMBIAYAAN(
LENDING
MODEL)USAHAKECILMENENGAH
bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx
(Menu: P
Kelayakan
Usaha > Pola
Pembiayaan)

(Menu: Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan).


PenelitianlengkapPOLA

PEMBIAYAAN

(LENDING

MODEL)

USAHA

KECIL

Bank
Indonesia
dapatdiunduhpada
Info
UMKM:
MENENGAHoleh
SISTEM
PENUNJANG
KEPUTUSAN
UNTUK
INVESTASI (SPKUI)
http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx
SISTEMPENUNJANGKEPUTUSANUNTUKINVESTASI(SPKUI)
(Menu: Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan)

Beberapa
pola pembiayaan
pembiayaan
(lending
kecil menengah
tersebut
Beberapa pola
(lending
model)model)
usaha usaha
kecil menengah
tersebut dapat
dapat
disimulasikan
secaradan
interaktif
dinamis dengan
aplikasi
SPKUIpada
Info SPKUI
UMKM:pada
disimulasikansecara
interaktif
dinamisdan
denganaplikasi
Info
UMKM:
http://www.bi.go.id/spkui
http://www.bi.go.id/spkui
SISTEM
PENUNJANGKEPUTUSANUNTUKINVESTASI(SPKUI)
(Menu:
Kelayakan
Usaha
> Sistem
Penunjang
(Menu: Kelayakan
Usaha
> Sistem
Penunjang
Keputusan Keputusan
Untuk Investasi)Untuk Investasi).
Beberapa pola pembiayaan (lending model) usaha kecil menengah tersebut dapat
disimulasikansecara interaktif dan dinamis denganaplikasiSPKUIpada Info UMKM:
http://www.bi.go.id/spkui
(Menu: Kelayakan Usaha > Sistem Penunjang Keputusan Untuk Investasi)

n Simulasi
Simulasi
SPKUI SPKUI
dilakukan
dengan mengakses
menu yang tersedia
secara
bertahap,
yaitusecara
dilakukan
dengansub
mengakses
sub menu
yang
tersedia

Home

bertahap,
Komoditi yaitu
SumberDana
Asumsi dengan
BiayaInv
Simulasi
SPKUI dilakukan
mengaksesBiayaOps
sub menu yang
tersedia secaraR/L
bertahap,ArusKas
yaitu

Home

Komoditi

Asumsi

BiayaInv

BiayaOps

SumberDana

R/L

ArusKas

Kelayakan

Kelayakan

Setiap pengguna SPKUI dapat melakukan simulasi perhitungan analisis kelayakan


n Setiap pengguna
usaha/proyek
dengan melakukan perubahan
(editing) terhadap
variabel/parameter
yang
melakukan
simulasi
perhitungan
Setiap pengguna SPKUISPKUI
dapat dapat
melakukan
simulasi perhitungan
analisis
kelayakan analisis
terdapat
pada Tabel
Asumsi
Usaha,perubahan
Tabel Biaya
Investasi
Usahavariabel/parameter
dan Tabel Biayayang
Operasi
usaha/proyek
dengan
melakukan
(editing)
terhadap
kelayakan
usaha/proyek
dengan melakukan
perubahan
(editing)
terhadap
Usaha,
untuk pada
disesuaikan
dengan
dan kondisi
daerah
pengguna
terdapat
Tabel Asumsi
Usaha,situasi
Tabel Biaya
Investasi Usaha
dandimana
Tabel Biaya
Operasiakan
variabel/parameter
yang
terdapat
pada
Tabel
Asumsi
Biaya
melaksanakan
usahanya.
Usaha, untuk
disesuaikan
dengan
situasi dan
kondisi
daerah
dimana Usaha,
pengguna Tabel
akan

Berdasarkan simulasi perhitungan akan diperoleh informasi utama dalam penentuan kelayakan
Berdasarkan
simulasi
perhitungan
akan diperoleh
informasi akan
utama dalam
penentuan kelayakan
situasi
dan
kondisi
daerah
pengguna
melaksanakan
usahanya.
suatu
usaha
dalam
SPKUI,
yaitu: dimana
dalam
SPKUI,
yaitu:
- suatu
Net usaha
Present
Value
(NPV),
n Berdasarkan
simulasi
perhitungan
akan
diperoleh
informasi
utama
dalam
- Net Rate
Present
- Interest
of Value
Return(NPV),
(IRR),
- Interest
Rate of Return
(IRR), usaha dalam SPKUI, yaitu:
penentuan
kelayakan
suatu
- Net
B/C, dan
- Net B/C, dan
- Net
Present
Value
(NPV),
- Payback
Period
(PBP).
- Payback
Period
(PBP).

melaksanakan
usahanya.
Investasi
Usaha
dan Tabel Biaya Operasi Usaha, untuk disesuaikan dengan

- Interest Rate of Return (IRR),


- Net B/C, dan
- Payback Period (PBP).

85

DAFTAR
PUSTAKA

86

Daftar Pustaka

Akhmad, S., 2007. Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian


Berkelanjutan; Perlawanan Terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar
Produk Pertanian. Tegalan Diterbitkan oleh BABAD. Purwokerto. Jawa
Tengah.
Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Jawa Barat No.3 9/08/32/Th.XV, 1 Agustus
2013.
Cahyono, B. 2003. Teknik Budidaya Cabai Rawit dan Analisis Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta.
Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2009. Standard Operating Procedure (SOP) Budidaya Cabai Merah Gunungkidul. Yogyakarta.
Kahana, BP. 2009. Strategi Pengembangan Agribisnis Cabai Merah di Kawasan
Agropolitan Kabupaten Magelang. Tesis Program Magister Agribisnis Universitas Diponegoro. Semarang.
Prajnanta, F. 1999. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Cetakan ke 4. Penebar Swadaya. Jakarta.
Saptana K., S. Indraningsih dan E. L Hastuti. Analisis Kelembagaan Kemitraan
Usaha di Sentra Produksi Sayuran. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Sunaryono H dan Rismunandar. (1981). Pengantar Pengetahuan Dasar Hortikultura. Bandung : CV Sinar Baru.
Saragih, B. 2010. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis
Pertanian. IPB Press. Bogor. 287 hal.
Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Ed
ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 850 hal.
Setiadi. 1987. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. 120 hal.
Sunaryono, H H. 2003. Budidaya Cabai Merah. Sianar Baru Algensindo.Cetakan
Ke V. Bandung. 46 h.
Suryaningsih ER, Sutarya, Duriat AS. 1996. Penyakit tanaman cabai merah dan pengendaliannya. dalam: Duriat AS, Widjaja A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA,
Prabaningrum L. Editor. Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. hlm 64-83.

87

Daftar Pustaka

Sumarni N. 1996. Budidaya Tanaman Cabai Merah. Di dalam: Duriat AS, Widjaja
A, Hadisoeganda W, Soetiarso TA, Prabaningrum L. Editor. Teknologi Produksi Cabai Merah. Lembang: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. hlm 36-47.
Suwandi N, Nurtika, Sahat S. 1989. Bercocok Tanam Sayuran Dataran Rendah.
Balai Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395. Lembang.pp:
3.1-3.6.
Syukur, M. R. Yunianti dan R. Dermawan. 2012. Sukses Panen Cabai Tiap Hari. Penebar Swadaya. Jakarta 148 hal.
Trubus. 2003. Menguak Pasar Cabai Paprika. Trubus no. 399. Jakarta.

88

Daftar Pustaka

Halaman ini
sengaja dikosongkan

89

Lampiran

90

Lampiran

Lampiran 1. Luas Panen Cabai Besar Menurut Provinsi, 2008 - 2012

91

Lampiran

Lampiran 2. Produksi Cabai Besar Menurut Provisi, 2008 - 2012 (Rp)


Lampiran 2. Produksi Cabe Besar Menurut Provinsi, 2008 - 2012

92

Lampiran

Lampiran 3. Asumsi Untuk Analisis Keuangan

(off-grade)
Off-grade
(Flat)

93

Lampiran 4. Biaya Investasi

Lampiran

94

Lampiran

Lampiran 5. Biaya Operasional

Polybag

polybag

95

Lampiran

Lampiran 6. Sumber Dana

96

(Rp)

(Rp)

(Rp)

on grade
off grade

on grade
off grade

Lampiran 7. Proyeksi Produksi dan Pendapatan

Lampiran

97

Lampiran 8. Angsuran Kredit Investasi (Rp)

Lampiran

98

Lampiran

Lampiran 9. Angsuran Kredit Modal Kerja (Rp)


Suku Bunga
Periode

13%
Kredit

Tahun 0
Bulan ke-1
Bulan ke-2
Bulan ke-3
Bulan ke-4
Bulan ke-5
Bulan ke-6
Akhir Musim
Tanam ke-1
Bulan ke-7
Bulan ke-8
Bulan ke-9
Bulan ke-10
Bulan ke-11
Bulan ke-12
Akhir Musim
Tanam ke-2
Total Tahun 1

45.164.460

Tahun 2
Bulan ke-1
Bulan ke-2
Bulan ke-3
Bulan ke-4
Bulan ke-5
Bulan ke-6
Akhir Musim
Tanam ke-3
Bulan ke-7
Bulan ke-8
Bulan ke-9
Bulan ke-10
Bulan ke-11
Bulan ke-12
Akhir Musim
Tanam ke-4
Total Tahun 2

45.164.460

Angsuran
Tetap

Bunga

Total

Saldo Awal

Saldo Akhir

45.164.460

45.164.460

37.637.050
30.109.640
22.582.230

0
0
0
7.527.410
7.527.410
7.527.410

0
0
0
978.563
978.563
978.563

0
0
0
8.505.973
8.505.973
8.505.973

45.164.460
37.637.050
30.109.640

22.582.230

2.935.690

25.517.920

22.582.230

0
0
0
7.527.410
7.527.410
7.527.410

0
0
0
978.563
978.563
978.563

0
0
0
8.505.973
8.505.973
8.505.973

22.582.230
15.054.820
7.527.410
0

15.054.820
7.527.410
0

22.582.230

2.935.690

25.517.920

45.164.460

5.871.380

51.035.840
45.164.460

45.164.460

0
0
0
7.527.410
7.527.410
7.527.410

0
0
0
978.563
978.563
978.563

0
0
0
8.505.973
8.505.973
8.505.973

45.164.460
37.637.050
30.109.640

37.637.050
30.109.640
22.582.230

22.582.230

2.935.690

25.517.920

22.582.230

0
0
0
7.527.410
7.527.410
7.527.410

0
0
0
978.563
978.563
978.563

0
0
0
8.505.973
8.505.973
8.505.973

22.582.230
15.054.820
7.527.410
0

22.582.230

2.935.690

25.517.920

45.164.460

5.871.380

51.035.840

15.054.820
7.527.410
0

Catatan
Pembayaran angsuran (pokok dan bunga) dilakukan mulai bulan ke-4 dari
setiap musim tanam (bayar panen).
Pada awal tahun ke-2 (musim tanam ke-3) memperoleh kembali pinjaman
modal kerja untuk 1 musim tanam.

99

Prot on Sales

Lampiran 10. Proyeksi Rugi Laba Usaha (Rp)

Lampiran

100

Discount Factor (13%)


Present Value

untuk IRR

Lampiran 11. Proyeksi Arus Kas

Lampiran

101

102

Discount Factor (13%)


Present Value

untuk IRR

untuk IRR

Lampiran 12. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 6%

Lampiran

Discount Factor (13%)


Present Value

untuk IRR

untuk IRR

Lampiran 13. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 7%

Lampiran

103

104

Discount Factor (13%)


Present Value

untuk IRR

untuk IRR

Lampiran 14. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 10%

Lampiran

Discount Factor (13%)


Present Value

untuk IRR

untuk IRR

Lampiran 15. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 11%

Lampiran

105

106

Discount Factor (13%)


Present Value

untuk IRR

untuk IRR

Lampiran 16. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 4% dan Biaya Variabel Naik 4%

Lampiran

Discount Factor (13%)


Present Value

untuk IRR

untuk IRR

Lampiran 17. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Pendapatan Turun 5% dan Biaya Variabel Naik 5%

Lampiran

107

Lampiran

Lampiran 18. Rumus dan Cara Perhitungan untuk Analisis Aspek Keuangan
1 Menghitung Jumlah Angsuran.
Angsuran kredit terdiri dari angsuran pokok ditambah dengan pembayaran
bunga pada periode angsuran. Jumlah angsuran pokok tetap setiap
bulannya. Periode angsuran (n) adalah selama 36 bulan untuk kredit investasi
dan 12 bulan untuk kredit modal kerja.


Cicilan pokok
Bunga
Jumlah angsuran

= Jumlah Pinjaman dibagi periode angsuran (n).


= i% x jumlah (sisa) pinjaman.
= Cicilan Pokok + Bunga.

2. Menghitung Jumlah Penyusutan/Depresiasi dengan Metode Garis Lurus


dengan Nilai Sisa 0 (nol).
Penyusutan = Nilai Investasi /Umur Ekonomis.
3. Menghitung Net Present Value (NPV).
NPV merupakan selisih antara present value dari benefit dan present value
dari biaya. Adapun rumus untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut:


n
NPV =
t

= 1

108

Bt Ct
(1 + i)t

Keterangan :
Bt
=
Benefit atau manfaat (keuntungan) proyek yang diperoleh pada
tahun ke-t.
Ct
=
Biaya atau ongkos yang dikeluarkan dari adanya proyek pada
tahun ke-t, tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap
merupakan modal atau dana rutin/operasional.
i
=
Tingkat suku bunga atau merupakan social opportunity cost of
capital.
n
=
Umur Proyek.
Untuk menginterpretasikan kelayakan suatu proyek, dapat dilihat dari hasil
perhitungan NPV sebagai berikut:
a. Apabila NPV > 0 berarti proyek layak untuk dilaksanakan secara finansial;
b. Apabila NPV = nol, berarti proyek mengembalikan dananya persis sama
besar dengan tingkat suku bunganya (Social Opportunity of Capital-nya).
c. Apabila NPV < 0, berarti proyek tidak layak untuk dilanjutkan karena
proyek tidak dapat menutupi social opportunity cost of capital yang
digunakan.

Lampiran

4. Menghitung Internal Rate of Return (IRR).


IRR merupakan nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek sama
dengan 0 (nol). IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas
investasi bersih dari suatu proyek, sepanjang setiap benefit bersih yang
diperoleh secara otomatis ditanamkan kembali pada tahun berikutnya dan
mendapatkan tingkat keuntungan i yang sama dan diberi bunga selama sisa
umur proyek. Cara perhitungan IRR dapat didekati dengan rumus dibawah ini:




NPV1
IRR =
i1 + (i2 i1) X


(NPV1 NPV2)
Keterangan :
IRR
= Nilai Internal Rate of Return, dinyatakan dalam %.
NPV1
= Net Present Value pertama pada DF terkecil
NPV2
= Net Present Value kedua pada DF terbesar
i1
= Tingkat suku bunga /discount rate pertama.
i2
= Tingkat suku bunga /discount rate kedua.

Kelayakan suatu proyek dapat didekati dengan mempertimbangkan nilai IRR
sebagai berikut:
a. Apabila nilai IRR sama atau lebih besar dari nilai tingkat suku bunganya
maka proyek tersebut layak untuk dikerjakan.
b. Apabila nilai IRR lebih kecil atau kurang dari tingkat suku bunganya maka
proyek tersebut dinyatakan tidak layak untuk dikerjakan.
5. Menghitung Net B/C.
Net benefit-cost ratio atau perbandingan manfaat dan biaya bersih suatu
proyek adalah perbandingan sedemikian rupa sehingga pembilangnya
terdiri atas present value total dari benefit bersih dalam tahun di mana benefit
bersih itu bersifat positif, sedangkan penyebut terdiri atas present value total
dari benefit bersih dalam tahun di mana benefit itu bersifat negatif.
Cara menghitung Net B/C dapat menggunakan rumus dibawah ini:


NPV B-C Positif
Net B/C
=


NPV B-C Negatif

Keterangan :
Net BC
= Nilai benefit-cost ratio.
NPV B-C Positif.
= Net present value positif.
NPV B-C Negatif.
= Net present value negatif.
109

Lampiran

Hasil perhitungan Net B/C dapat diterjemahkan sebagai berikut:


a. Apabila nilai Net B/C > 1, maka proyek layak dilaksanakan.
b. Apabila nilai Net B/C < 1, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan.

6. Menghitung Titik Impas (Break Even Point).


Titik impas atau titik pulang pokok atau Break Even Point (BEP) adalah suatu
keadaan dimana tingkat produksi atau besarnya pendapatan sama dengan
besarnya pengeluaran pada suatu proyek, sehingga pada keadaan tersebut
proyek tidak mendapatkan keuntungan dan tidak mengalami kerugian.
Terdapat beberapa rumus untuk menghitung titik impas yang dapat dipilih,
namun dalam buku ini digunakan rumus pada huruf a, b dan c di bawah ini :

a. Titik Impas (Rp.) =


1


b. Titik Impas (satuan) =

c.




Biaya Tetap
Total Biaya Variabel
Hasil Penjualan

Titik Impas (Rp)


Harga satuan Produk

Jika biaya variabel dan biaya tetap tidak dipisahkan maka pencarian
titik impas dapat menggunakan prinsip total pendapatan = total
pengeluaran.
Total Pendapatan = Harga x Jumlah produk yang dihasilkan.
Total Pengeluaran = Jumlah semua biaya yang diperlukan proyek.
Jadi harga produk x jumlah produk yang dihasilkan = Total Pengeluaran.


d. Titik Impas (n)

Titik Impas (Rp.)


=
Hasil Penjualan (Rp.)

x Total Produksi.

7. Menghitung PBP (Pay Back Period atau Lama Pengembalian Modal)


PBP digunakan untuk memperkirakan lama waktu yang dibutuhkan proyek
untuk mengembalikan investasi dan modal kerja yang ditanam. Cara
menterjemahkan PBP untuk menetapkan kelayakan suatu proyek adalah
sebagai berikut:
a. Apabila nilai PBP lebih pendek dari jangka waktu proyek yang ditetapkan
maka suatu proyek dinyatakan layak.
b. Apabila nilai PBP lebih lama dari jangka waktu proyek maka suatu proyek
dinyatakan tidak layak.
110

Lampiran

8. Menghitung Discount Factor (DF).


DF dapat didefinisikan sebagai: Faktor yang dipergunakan untuk
memperhitungkan nilai sekarang dari suatu jumlah yang diterima di masa
dengan mempertimbangkan tingkat bunga yang berlaku atau disebut
juga faktor nilai sekarang (present worth factors) DF diperhitungkan
apabila suatu proyek bersifat multi-period atau periode lebih dari satu kali.
Dalam hal ini periode lazim diperhitungkan dengan semester atau tahun.
Nilai dari DF berkisar dari 0 sampai dengan 1.

Cara memperhitungkan DF adalah dengan rumus sebagai berikut :



1
Rumus DF per tahun =
, dimana


(1+ r) n


r = suku bunga

n = tahun 0, 1, .. n ; sesuai dengan tahun proyek

111

Halaman ini
sengaja dikosongkan

112

113

114

Anda mungkin juga menyukai