Anda di halaman 1dari 100

Pola Pembiayaan Usaha Kecil Menengah

USAHA BUDIDAYA BAWANG MERAH


Kata Pengantar

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam perekonomian nasional


memiliki peran penting dan strategis. Namun demikian, UMKM masih memiliki
kendala, baik untuk mendapatkan pembiayaan maupun untuk mengembangkan
usahanya. Dari sisi pembiayaan, masih banyak pelaku UMKM yang mengalami
kesulitan untuk mendapatkan akses kredit dari bank, baik karena kendala
teknis, misalnya tidak mempunyai/tidak cukup agunan, maupun kendala non
teknis, misalnya keterbatasan akses informasi mengenai pola pembiayaan
untuk komoditas tertentu. Di sisi lain, perbankan juga membutuhkan informasi
tentang komoditas yang potensial untuk dibiayai.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka menyediakan rujukan
bagi perbankan untuk meningkatkan pembiayaan terhadap UMKM serta
menyediakan informasi dan pengetahuan bagi UMKM yang bermaksud
mengembangkan usahanya, maka menjadi kebutuhan untuk penyediaan
informasi pola pembiayaan untuk komoditas potensial tersebut dalam bentuk
model/pola pembiayaan komoditas (lending model). Sampai saat ini, Bank
Indonesia telah telah menghasilkan 124 judul buku pola pembiayaan pola
konvensional dan 34 judul buku pola pembiayaan pola syariah.
Dalam upaya menyebarluaskan hasil penelitian dimaksud kepada
masyarakat, maka buku pola pembiayaan ini akan dimasukkan dalam minisite
Info UMKM yang dapat diakses melalui internet di alamat: http://www.bi.go.id/
id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
bersedia membantu dan berkerjasama serta memberikan informasi dan
masukan selama pelaksanaan kajian. Bagi pembaca yang ingin memberikan
kritik, saran dan masukan bagi kesempurnaan buku ini atau ingin mengajukan
pertanyaan terkait isi buku ini dapat menghubungi:

BANK INDONESIA
Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
Grup Pengembangan UMKM
Divisi Pengembangan dan Pengaturan UMKM
Jalan M. H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat
Telp. 021 2981-7991 l Faks. 021 351-8951

Besar harapan kami, bahwa buku ini dapat melengkapi informasi tentang
pola pembiayaan komoditas bagi perbankan dan sekaligus memperluas
replikasi pembiayaan terhadap UMKM pada komoditi tersebut. n

Jakarta, Desember 2013

i
RINGKASAN POLA PEMBIAYAAN
USAHA KECIL MENENGAH
USAHA BUDIDAYA BAWANG MERAH

No Usaha Pembiayaan Uraian

1 Jenis Usaha Usaha Budidaya Bawang Merah

2 Lokasi Usaha Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah

3 Dana yang digunakan Investasi : Rp 26.323.000


Modal Kerja : Rp 111.130.000
Total : Rp 137.453.000

4 Sumber dana
a. Kredit (60%) Rp 82.471.800
b. Modal Sendiri (40%) Rp 54.981.200

5 Periode pembayaran kredit Pengusaha melakukan angsuran pokok


dan angsuran bunga setiap kali panen
(bulan keempat), selama jangka waktu
kredit (1 tahun)

6 Kelayakan Usaha
a. Periode proyek 3 tahun
b. Produk utama Bawang merah
c. Skala proyek 1 hektar dengan produksi 10 ton/ha per siklus
d. Pemasaran produk Lokal/Regional/Nasional
e. Teknologi Sistem intensifikasi sesuai POS Kementerian
Pertanian RI

7 Kriteria Kelayakan Usaha


a. NPV Rp 103.630.364
b. IRR 118,50%
c. Net B/C Ratio 4,94 kali
d. Pay Back Period 1,51 tahun
e. Penilaian Layak dilaksanakan

8 Analisis Sensitivitas : Penurunan Pendapatan 10%


Analisis Profitabilitas
a. NPV Rp 6.277.294
b. IRR 23,26%

ii
No Usaha Pembiayaan Uraian

c. Net B/C Ratio 1,24 kali


d. Pay Back Period 2,85 tahun
e. Penilaian Layak dilaksanakan

9 Analisis Sensitivitas : Penurunan Pendapatan 11%


Analisis Profitabilitas
a. NPV - Rp 3.458.013
b. IRR 15,14%
c. Net B/C Ratio 0,87 kali
d. Pay Back Period 3,09 tahun
e. Penilaian Tidak layak dilaksanakan

10 Analisis Sensitivitas : Kenaikan Biaya Variabel 15%


Analisis Profitabilitas
a. NPV Rp 1.502.590
b. IRR 19,25%
c. Net B/C Ratio 1,06 kali
d. Pay Back Period 2,96 tahun
e. Penilaian Layak dilaksanakan

11 Analisis Sensitivitas : Kenaikan Biaya Variabel 16%


Analisis Profitabilitas
a. NPV - Rp 5.305.928
b. IRR 13,63%
c. Net B/C Ratio 0,80 kali
d. Pay Back Period 3,14 tahun
e. Penilaian Tidak layak dilaksanakan

12 Analisis Sensitivitas Kombinasi : Variabel Naik 6% dan Pendapatan Turun 6%


Analisis Profitabilitas
a. NPV Rp 4.367.412
b. IRR 21,65%
c. Net B/C Ratio 1,17 kali
d. Pay Back Period 2,89 tahun
e. Penilaian Layak dilaksanakan

13 Analisis Sensitivitas Kombinasi : Variabel Naik 7% dan Pendapatan Turun 7%


Analisis Profitabilitas
a. NPV - Rp 12.176.413
b. IRR 8,06%
c. Net B/C Ratio 0,54 kali
d. Pay Back Period 3,34 tahun
e. Penilaian Tidak layak dilaksanakan

iii
Daftar Isi

KATA PENGANTAR i
RINGKASAN ii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN 4


2.1. Profil Usaha 5
2.2. Profil Pengusaha 6
2.3. Pola Pembiayaan 7

BAB III ASPEK TEKNIS PRODUKSI 10


3.1. Lokasi Usaha 11
3.2. Fasilitas Produksi dan Peralatan 12
3.3. Bahan Baku 13
3.4. Tenaga Kerja 13
3.5. Teknologi 14
3.6. Proses Produksi 15
3.6.1. Pengolahan Tanah 15
3.6.2. Penyiapan Jarak Tanam 17
3.6.3. Penyiapan Benih atau Bibit 17
3.6.4. Penanaman dan Pemupukan 18
3.6.5. Penyiraman dan Pengendalian Gulma 18
3.6.6. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman 20
3.6.7. Panen 22
3.6.8. Pasca Panen 23
3.7. Mutu Produksi 23
3.8. Produksi Optimum 25
3.9. Kendala atau Faktor Kritis Produksi 25

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN 26


4.1. Aspek Pasar 28
4.1.1. Permintaan 27
4.1.2. Penawaran 28
4.1.3. Analisis Persaingan dan Peluang Usaha 28
4.2. Aspek Pemasaran 32
4.2.1. Harga 32

iv
Daftar Isi

4.2.2. Jalur Pemasaran Produk 33


4.2.3. Kendala Pemasaran 34

BAB V ASPEK KEUANGAN 36


5.1. Pemilihan Pola Usaha 37
5.2. Asumsi dan Parameter dalam Analisis Keuangan 38
5.3. Komponen dan Struktur Biaya Investasi dan Biaya Operasional 39
5.3.1. Biaya Investasi 39
5.3.2. Biaya Operasional 39
5.4. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja 40
5.5. Produksi dan Pendapatan 43
5.6. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point 44
5.7. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek 45
5.8. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha 46
5.9. Kendala Keuangan 48

BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN 50


6.1. Aspek Ekonomi dan Sosial 51
6.2. Dampak Lingkungan 51

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 56


7.1. Kesimpulan 57
7.2. Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 64

LAMPIRAN 68

v
Daftar Tabel
Tabel 3.1. Penggolongan Mutu Bawang Merah Berdasarkan SNI 24
Tabel 4.1. Data Proyeksi Kebutuhan Bawang Merah Tahun 2005 – 2025 27
Tabel 4.2. Perkembangan Produksi, Luas Lahan dan Produktivitas Bawang
Merah di Indonesia, Tahun 2009-2012 29
Tabel 4.3. Data Impor dan Ekspor Bawang Merah Tahun 2009-2012 31
Tabel 4.4. Negara Tujuan Ekspor Bawang Merah Indonesia Tahun 2012 32
Tabel 5.1. Asumsi dalam Analisis Keuangan 38
Tabel 5.2. Biaya Investasi Budidaya Bawang Merah per Hektar 40
Tabel 5.3. Biaya Variabel Usaha Budidaya Bawang Merah per Hektar 41
Tabel 5.4. Biaya Tetap Usaha Budidaya Bawang Merah per Hektar 41
Tabel 5.5. Struktur Kebutuhan Dana Usaha Budidaya Bawang Merah
per Hektar 42
Tabel 5.6. Angsuran Kredit Investasi Usaha Budidaya Bawang Merah
per Hektar 42
Tabel 5.7. Angsuran Kredit Modal Kerja Usaha Budidaya Bawang Merah
per Hektar 43
Tabel 5.8. Proyeksi Produksi dan Pendapatan Budidaya Bawang Merah
per Hektar 44
Tabel 5.9. Proyeksi Produksi dan Pendapatan Budidaya Bawang Merah
per Tahun 44
Tabel 5.10. Proyeksi Laba-Rugi Budidaya Bawang Merah per Hektar 44
Tabel 5.11. Proyeksi Arus Kas Usaha Budidaya Bawang Merah per Hektar 45
Tabel 5.12. Kriteria Kelayakan Usaha Budidaya Bawang Merah per Hektar 46
Tabel 5.13. Sensitivitas Penurunan Produksi/Penurunan Pendapatan 47
Tabel 5.14. Sensitivitas Peningkatan Biaya Variabel 47
Tabel 5.15. Sensitivitas Kombinasi 48

Daftar Gambar
Gambar 1.1. Total Produksi dan Konsumsi Bawang Merah di Indonesia 1
Gambar 2.1. Pola Tata Usaha Budidaya Bawang Merah 9
Gambar 3.1. Bibit Bawang Merah 13
Gambar 3.2. Pembuatan Parit (selokan) dan Penggemburan Bedengan 15
Gambar 3.3. Pengolahan Tanah dan Pembuatan Bedengan 16
Gambar 3.4. Jarak Tanam pada Budidaya Bawang Merah 16
Gambar 3.5. Mesin Pompa Diesel dan Air Masuk dalam Saluran Irigasi Lahan
Budidaya 19
Gambar 3.6. Alat Penyiram dan Kegiatan Penyiraman 19
Gambar 3.7. Kegiatan Panen Bawang Merah 22
Gambar 3.8. Penjemuran Bawang Merah 23

vi
Gambar 4.1. Data Impor dan Kebutuhan Bawang Merah 33
Gambar 4.2. Jalur Pemasaran Bawang Merah 35

Daftar Lampiran
Lampiran 1. Asumsi Untuk Analisis Keuangan 69
Lampiran 2. Biaya Investasi 70
Lampiran 3. Biaya Operasional 71
Lampiran 4. Sumber Dana 72
Lampiran 5. Proyeksi Produksi dan Pendapatan 73
Lampiran 6. Angsuran Kredit Investasi 74
Lampiran 7. Angsuran Kredit Modal Kerja 75
Lampiran 8. Proyeksi Rugi Laba Usaha 76
Lampiran 9. Proyeksi Arus Kas 77
Lampiran 10. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 10% 78
Lampiran 11. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 11% 79
Lampiran 12. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 15% 80
Lampiran 13. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 16% 81
Lampiran 14. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Biaya Variabel Naik 6% dan
Pendapatan Turun 6% 82
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Biaya Variabel Naik 7% dan
Pendapatan Turun 7% 83
Lampiran 16. Rumus dan Cara Perhitungan untuk Analisis Aspek Keuangan 84

vii
BAB I
PENDAHULUAN

viii
BAB I – PEndahuluan

Bawang merah merupakan tanaman umbi bernilai ekonomi tinggi ditinjau


dari fungsinya sebagai bumbu penyedap masakan. Hampir semua masakan
Indonesia menggunakan bawang merah dalam pembuatannya. Di samping
itu bawang merah juga bisa dimanfaatkan sebagai obat herbal. Bawang merah
memiliki nama lokal di antaranya: Bawang abang mirah (Aceh), Bawang abang
(Palembang), Dasun merah (Minangkabau), Bawang suluh (Lampung), Bawang
beureum (Sunda), Brambang abang (Jawa), Bhabang merah (Madura), dan
masih banyak nama lokal lainnya.

Prospek agribisnis bawang merah saat ini cukup baik, ditunjukkan oleh
permintaan konsumen yang tinggi. Permintaan dapat melonjak tajam terutama
menjelang hari raya keagamaan, namun karena tidak diimbangi dengan pasokan
yang cukup, harga komoditas ini juga meningkat. Peluang ini dapat digunakan
petani atau pedagang bawang merah untuk meraup laba yang cukup tinggi.

Produksi bawang merah sampai saat ini masih terpusat di beberapa


kabupaten di Jawa yaitu Kuningan, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang,
Bantul, Nganjuk, dan Probolinggo. Berdasarkan data dari Ditjen Hortikultura,
Kementerian Pertanian, permintaan bawang merah secara nasional cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, begitu pula produksi bawang merah. Pada
tahun 2007 misalnya, permintaan bawang merah sebesar 909.853 ton dengan

Ket. *) Data Konsumsi Nasional tidak tersedia

Gambar 1.1. Total Produksi dan Konsumsi Bawang Merah di Indonesia


(Sumber, Kementan, 2013)

1
BAB I – PEndahuluan

produksi 807.000 ton, tahun 2008 permintaan meningkat menjadi 934.301 ton
dengan produksi 855.000 ton. Pada tahun 2009, kebutuhan bawang merah di
Indonesia mencapai 936.103 ton dengan produksi 965.164 ton dan meningkat
pada tahun 2010 menjadi 976.284 ton dengan produksi 1.048.228 ton.
Penurunan produksi terjadi pada tahun 2011 yaitu produksi sebesar 893.124
ton. Peningkatan produksi bawang merah diprediksi terjadi pada tahun 2012
menjadi 960.179 ton.

Bawang merah dihasilkan di 24 dari 30 provinsi di Indonesia. Provinsi


penghasil utama (luas areal panen > 1000 hektar per tahun) bawang merah
diantaranya adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan. Kesembilan provinsi
ini menyumbang 95,8% (Jawa memberikan kontribusi 75%) dari produksi total
bawang merah di Indonesia pada tahun 2013. Konsumsi rata-rata bawang
merah per kapita untuk tahun 2008-2012 berkisar antara 2,36 kg dan 2,74
kg/tahun. Gambar 1.1. menunjukkan perkembangan produksi dan konsumsi
bawang merah tahun 2007-2012.

Profil usaha tani bawang merah terutama dicirikan oleh 80% petani yang
merupakan petani kecil dengan luas lahan usaha kurang dari 1 ha. Berbagai
varietas bawang merah yang diusahakan petani diantaranya adalah Kuning
(Rimpeg, Berawa, Sidapurna, dan Tablet), Bangkok Warso, Bima Timor, Bima
Sawo, Bima Brebes, Engkel, Bangkok, Filipina, dan Thailand. Adapun varietas
bawang merah yang lebih disukai petani untuk ditanam pada musim kemarau
adalah varietas Philippines (impor).

Beberapa komponen teknologi budidaya tanaman bawang merah telah


dihasilkan oleh lembaga penelitian, antara lain: (a) tiga varietas unggul bawang
merah yang sudah dilepas, yaitu varietas Kramat-1, Kramat-2, dan Kuning; (b)
teknik budidaya bawang merah di lahan kering maupun lahan sawah, secara
monokultur atau tumpang sari/gilir; (c) komponen PHT-budidaya tanaman sehat,
pengendalian secara fisik/mekanik, pemasangan perangkap, pengamatan
secara rutin, dan penggunaan pestisida berdasarkan ambang pengendalian;
serta (d) bentuk olahan-tepung dan bubuk. Tujuan pengembangan agribisnis
bawang merah mencakup: (a) menyediakan benih varietas unggul bawang
merah kualitas impor sebagai salah satu upaya substitusi (pengurangan
ketergantungan terhadap pasokan impor), (b) meningkatkan produksi
bawang merah rata-rata 5.24% per tahun selama periode 2005–2010, (c)
mengembangkan industri benih bawang merah dalam rangka menjaga
kontinuitas pasokan benih bermutu, serta (d) mengembangkan diversifikasi
produk bawang merah dalam upaya peningkatan nilai tambah. Substansi
pengembangan agribisnis bawang merah diarahkan pada: (a) pengembangan
ketersediaan benih unggul, (b) pengembangan sentra produksi dan perluasan
areal tanam, serta (c) pengembangan produk olahan.

2
BAB I – PEndahuluan

Puncak panen bawang merah di Indonesia terjadi hampir selama 6-7


bulan setiap tahun, dan terkonsentrasi antara bulan Juni-Desember-Januari,
sedangkan bulan kosong panen terjadi pada bulan Februari-Mei dan November.
Berdasarkan pengamatan tersebut, musim tanam puncak diperkirakan terjadi
pada bulan April-Oktober. Selama ini budidaya bawang merah diusahakan
secara musiman (seasonal), yang pada umumnya dilakukan pada musim
kemarau (April-Oktober), sehingga mengakibatkan produksi dan harganya
berfluktuasi sepanjang tahun. Untuk mencegah terjadinya fluktuasi produksi dan
fluktuasi harga yang sering merugikan petani, maka perlu diupayakan budidaya
yang dapat berlangsung sepanjang tahun, antara lain melalui budidaya di luar
musim (off season). Dengan melakukan budidaya di luar musim dan membatasi
produksi pada saat bertanam normal sesuai dengan permintaan pasar,
diharapkan produksi dan harga bawang merah di pasar akan lebih stabil.

Selama ini usaha budidaya bawang merah dibiayai oleh petani sendiri,
masih belum banyak yang memperoleh pembiayaan dari kredit perbankan.
Kesenjangan informasi (asymmetric information) antara produk perbankan
beserta persyaratan yang ditetapkan dengan pengetahuan yang dimiliki usaha
mikro kecil (UMK) sebagai salah satu dari berbagai penyebab masih belum
optimalnya fungsi intermediasi perbankan pada sektor usaha produktif. Di
satu sisi, pelaku UMK masih mengalami keterbatasan informasi mengenai
pola usaha yang layak dibiayai bank. Ternyata di sisi lain, perbankan juga
masih kekurangan informasi tentang komoditi usaha yang potensial untuk
dibiayai, sehingga aksesibilitas UMK ke perbankan semakin terkendala. Dalam
upaya pengembangan UMK dan peningkatan fungsi intermediasi perbankan,
maka penyediaan informasi mengenai pola pembiayaan untuk komoditas/
usaha potensial dalam bentuk “model/pola pembiayaan komoditas (lending
model)” akan membantu perbankan dalam meningkatkan pembiayaan kepada
komoditas/usaha potensial tersebut sekaligus sebagai rujukan bagi pelaku
usaha dalam rangka pengembangan usahanya.

Menindaklanjuti hal tersebut, Bank Indonesia melakukan penelitian model


pembiayaan (Lending Model) Usaha Budidaya Bawang Merah. Sebagai model
dilakukan penelitian di Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah sebagai
salah satu sentra produksi bawang merah. Penelitian ini dimaksudkan untuk
memperluas pembiayaan terhadap UMKM sekaligus melengkapi informasi
tentang pola pembiayaan komoditas potensial bagi perbankan di daerah.
Pemilihan komoditas/usaha bawang merah ini dilatarbelakangi oleh adanya
fakta bahwa bawang merah merupakan salah satu produk usaha di sektor
industri. Komoditas ini telah banyak diusahakan oleh masyarakat dalam skala
usaha rumah tangga sehingga menjadi salah satu sumber mata pencaharian
yang dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan keluarga, dan
memberikan multiplier effect pada masyarakat di sekitarnya. n

3
BAB II
PROFIL USAHA DAN
POLA PEMBIAYAAN

4
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

2.1. Profil Usaha

Di Indonesia, daerah sentra produksi bawang merah utama adalah Provinsi Jawa
Tengah. Kabupaten Brebes merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa
Tengah yang memiliki total lahan terbesar yang diusahakan untuk komoditas
bawang merah. Kabupaten Brebes memasok sekitar 75% kebutuhan bawang
merah di Provinsi Jawa Tengah dan 23% kebutuhan bawang merah nasional.
Dengan produksi sebesar 267.500 ton pada tahun 2012, pertanian bawang
merah menyumbang PDRB Kabupaten Brebes sebesar 58% (BPS Kabupaten
Brebes). Beberapa varietas bawang merah yang dikembangkan di Kabupaten
Brebes adalah varietas Bima Brebes, Kuning, Timor, Sumenep, dan varietas
bawang merah impor seperti dari Filipina dan Bangkok (ditanam pada musim
kemarau). Namun hanya bawang merah varietas Bima dan varietas Kuning yang
dikembangkan di Kelurahan Brebes karena kedua varietas ini lebih adaptif.

Bawang merah di Kelurahan Brebes ditanam dengan sistem monokultur


dan bergilir, dengan waktu panen raya pada bulan Mei-Juni dan Agustus-
September. Beberapa faktor iklim yang penting dalam budidaya bawang merah
adalah ketinggian tempat, temperatur, cahaya, curah hujan, dan angin. Sebagai
komoditas unggulan yang sekaligus menjadi andalan di Kabupaten Brebes,
bawang merah dikembangkan di 10 wilayah kecamatan yang menjadi sentra
produksi komoditas utama tersebut, yaitu Kecamatan Wanasari, Bulakamba,
Larangan, Tanjung, Losari, Kersana, Ketanggungan, Larangan, Songgom, dan
Brebes.

Usaha budidaya bawang merah di Kabupaten Brebes merupakan usaha


pokok atau sebagai mata pencaharian utama keluarga, dan diusahakan secara
perorangan dengan satu siklus budidaya bawang merah dari mulai persiapan
tanam sampai pemanenan berkisar 60 - 90 hari.

Jumlah total kebutuhan tenaga kerja untuk usaha budidaya bawang


merah satu musim tanam sekitar 1.400 HOK (Hari Orang Kerja) per ha. Oleh
karena itu, sebagian besar petani bawang merah menggunakan tenaga kerja
tambahan yang berasal dari sekitar lokasi usaha. Sebagian petani bawang
merah mengerjakan usaha budidaya di tanah milik pribadi, baik itu yang
berada di dekat rumah tinggal maupun yang terpisah jauh dari lahan rumah.
Beberapa petani ada yang menyewa tanah milik orang lain sebagai tambahan
untuk budidaya bawang merahnya. Sistem yang dipakai dalam menyewa lahan
dapat berupa bagi hasil panen maupun penentuan nilai sewa dalam bentuk
nominal rupiah.

Petani-petani bawang merah di Kabupaten Brebes umumnya telah


tergabung dalam kelompok tani yang kemudian bergabung membentuk
gabungan kelompok tani (Gapoktan). Kelompok tani ini berfungsi untuk

5
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

mengkoordinir maupun mengusahakan kebutuhan petani dalam budidaya


bawang merah. Namun hanya sedikit kelompok tani yang mengusahakan pasar
bagi anggotanya. Hal ini disebabkan petani-petani bawang merah cenderung
lebih suka menjual kepada pedagang desa/kecamatan yang datang langsung
ke lahan budidaya bawang merah. Pedagang-pedagang ini umumnya
langsung membayar kontan yang lebih disukai petani sehingga uang hasil
panen tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2.2. Profil Pengusaha

Budidaya bawang merah dilakukan oleh petani dengan luasan 1-5 ha dan
termasuk usaha mikro dan kecil (UMK). Diversifikasi usaha budidaya bawang
merah ini terlihat dari jenis/varietas bawang merah, misalnya bawang merah
konsumsi (Varietas Bima Brebes) atau penangkaran bibit/umbi bawang
merah. Walaupun sebagian besar petani sudah tergabung dalam Kelompok
Tani maupun Gapoktan, namun pada prakteknya, agribisnis bawang merah
kebanyakan dilakukan secara individu para petani. Artinya, fungsi kelompok
tani atau gapoktan belum dijalankan secara maksimal.

Usaha budidaya bawang merah di Kabupaten Brebes pada umumnya


adalah usaha keluarga yang telah dilaksanakan secara turun-temurun. Sebagian
besar petani bawang merah sudah melakukan budidaya bawang merah hingga
15-25 tahun. Motivasi pendirian usaha ini diantaranya adalah karena harga jual
bawang merah yang cukup baik dengan pola perubahan yang statis, meneruskan
usaha yang telah ada (usaha keluarga), pemasaran yang terjamin, sumber
daya alam yang mendukung, teknologi tersedia atau adanya pengalaman
dengan keterampilan yang sederhana. Untuk mencapai produktivitas bawang
merah yang maksimal, budidayanya harus dilakukan intensif sehingga perlu
keuletan dan ketelatenan yang ekstra, terutama dalam hal pengendalian hama
dan penyakit bawang merah. Bawang merah termasuk komoditi yang rentan
terhadap serangan hama dan penyakit dan tingkat kerusakan akibat serangan
hama penyakit tersebut bisa menyebabkan gagal panen.

Petani-petani bawang merah di Kabupaten Brebes sudah beberapa kali


mendapat pelatihan mengenai teknik budidaya yang baik. Diantaranya adalah
pelatihan dari dinas pertanian berupa penyuluhan penggunaan pestisida yang
baik dalam bentuk Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT),
pembinaan kelompok tani dan teknologi panen serta pascapanen bawang
merah. Selain itu, Bank Indonesia juga melakukan pelatihan mengenai
manajemen dan pembiayaan/pemodalan usaha bawang merah. Saling
bertukar informasi dan pengalaman juga dilakukan petani-petani bawang
merah dengan pengusaha/petani bawang merah yang telah sukses. Berbagai

6
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

pengalaman dan pelatihan mengindikasikan bahwa petani bawang merah


khususnya di Kabupaten Brebes sudah memiliki tingkat keterampilan yang
sangat baik. Namun hal ini juga menimbulkan sisi negatif terutama perihal
penerimaan teknologi baru menyangkut teknis budidaya maupun perniagaan
bawang merah.

Petani bawang merah di Kabupaten Brebes terbuka terhadap teknologi


dan pengalaman dalam membudidayakan bawang merah. Namun apabila
ada teknologi baru yang diaplikasikan, petani bawang merah umumnya
meminta jaminan apabila terjadi gagal panen. Hal ini karena modal usaha untuk
membudidayakan bawang merah sangat besar dan membutuhkan tenaga kerja
cukup banyak. Oleh karena itu, pada umumnya petani bawang merah sebagian
modal usaha budidayanya diperoleh dengan pembiayaan dari bank komersial
seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Brebes.

2.3. Pola Pembiayaan

Pola pembiayaan usaha budidaya bawang merah berasal dari petani/pengusaha


sendiri (modal sendiri), kredit/pembiayaan bank, ataupun berasal dari lembaga
keuangan non bank (dengan mekanisme pencairan dana dan pembayaran kredit
melalui bank). Proporsi pola pembiayaan ini bervariasi antar petani/pengusaha
untuk pembiayaan komersial, sedangkan untuk pembiayaan khusus atau bantuan
biasanya tetap atau sama. Pola pembiayaan ini juga sangat tergantung pada skala
usaha (luasan lahan yang dikelola). Beberapa pengusaha/petani menggunakan
100% modal sendiri dari perputaran usahanya atau dukungan dari usaha lainnya,
dan pola pembiayaannya menggunakan kombinasi antara modal sendiri dan
kredit bank/non bank.

Pada umumnya, di awal pendirian usaha, seluruh pendanaan berasal


dari pemilik usaha, baik pribadi maupun dukungan usaha lainnya. Dalam
perkembangannya, beberapa pengusaha berhasil mendapatkan kredit dari
bank, kemitraan, dan bantuan program dari Dinas terkait. Beberapa bank yang
memberikan kredit untuk usaha budidaya bawang merah adalah BRI, Bank
Mandiri, BNI, sedangkan kredit yang berasal dari program pemerintah misalnya
KUR, PUAP, dana bergulir maupun dana bantuan program Dinas Pertanian. Pola
bantuan kredit benih oleh mitra usaha (industri) juga merupakan bentuk lain dari
pola pembiayaan budidaya bawang merah.

Skim kredit modal kerja yang diberikan oleh BRI di tingkat unit untuk skim
KUR dengan plafon Rp100 juta, sudah terealisasi lebih dari Rp8,4 miliar di wilayah
Brebes. Untuk pinjaman kredit lebih besar dari Rp100 juta lebih diarahkan kepada
BRI cabang Kabupaten Brebes. Kredit/pembiayaan usaha budidaya bawang

7
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

merah sebagian besar disalurkan kepada nasabah perorangan. Pengajuan


kredit yang dilakukan oleh kelompok tani relatif sedikit namun dengan jumlah
pinjaman yang lebih besar daripada nasabah perorangan.

Ketentuan kredit yang ditetapkan BRI untuk bunga flat dan besarannya
tergantung nilai kredit yang diajukan. BRI memberikan grace period selama 3
bulan untuk setiap musim tanam dengan jangka waktu pengembalian 1 tahun.
Penetapan grace period tersebut berdasarkan pada kondisi usaha budidaya
bawang merah yang dalam satu siklus produksinya memerlukan waktu 4 bulan.
Dengan grace period 3 bulan, debitur dapat mengembalikan pinjaman pada
bulan ke-4 pada saat panen. Mekanisme permohonan kredit di BRI juga relatif
cepat. Dalam jangka waktu 1 minggu setelah pengajuan permohonan, dana
sudah dapat dibayarkan ke debitur. Persyaratan keikutsertaan dana debitur
sendiri sebesar 30-50%, namun bukan persyaratan utama. Syarat utama dari
bank-bank komersial untuk memberikan kredit umumnya lebih kepada karakter
calon debitur.

Sejauh ini, bank-bank komersial yang menyalurkan kredit kepada petani


bawang merah jarang mengalami permasalahan. Masalah umumnya terjadi
apabila terjadi lonjakan harga bawang merah di pasaran dan serangan hama
penyakit yang tinggi. Namun lonjakan harga bawang merah sangat jarang
sekali terjadi dan pengendalian hama penyakit bawang merah sudah dipahami
dengan baik oleh petani bawang merah. Hal ini menunjukkan bahwa usaha
budidaya bawang merah sebetulnya sangat menguntungkan dan potensial
untuk dibiayai perbankan.

Untuk pola usaha budidaya bawang merah dengan sistem kemitraan,


setiap pelaku kemitraan memiliki hak dan kewajiban yang telah dibuat pada
awal kerjasama. Secara umum, pihak industri bawang merah berkewajiban
untuk menyediakan modal dalam bentuk bibit atau uang untuk usaha budidaya
bawang merah. Selain itu, pihak industri olahan bawang merah juga membeli
hasil panen bawang merah yang diusahakan petani mitra. Modal awal yang
diberikan tersebut dikembalikan oleh petani ketika selesai panen (sistem
yarnen=bayar panen) bawang merah. Petani bawang merah yang bermitra juga
diwajibkan untuk mengusahakan hasil panen bawang merah sesuai kriteria
yang dibutuhkan pihak industri olahan bawang merah.

Dalam kerjasama kemitraan ini dilakukan pemantauan secara ketat. Petani


yang menjual bawang merah hasil panen ke pihak selain industri mitra akan
dikenakan sanksi. Kondisi ini seringkali terjadi apabila harga bawang merah di
pasaran lebih tinggi daripada harga kesepakatan awal yang ditetapkan. Pola
kemitraan ini umumnya berlandaskan pada azas saling percaya dan rekam jejak
kelompok tani atau petani. Dalam kerjasama ini petani menginginkan adanya
kontrak resmi secara hukum sehingga dapat digunakan untuk mengajukan

8
BAB II – Profil Usaha dan Pola Pembiayaan

kredit/pembiayaan kepada bank. Pola tata usaha dalam budidaya bawang


merah dapat dilihat pada Gambar 2.1. n

Produk Olahan
Pasar

Lembaga
Pembiayaan
Industri

Pelunasan Kredit
Gapoktan
Kredit modal kerja Penyedia
Kredit Investasi Saprodi

Kelompok Tani

l Penyuluh
Lapang
l Pendampingan
Petani Petani l Dll

Gambar 2.1. Pola Tata Usaha Budidaya Bawang Merah

9
BAB III
ASPEK TEKNIS
PRODUKSI

10
BAB III – Aspek teknis produksi

3.1. Lokasi Usaha

Pemilihan lokasi budidaya bawang merah harus disesuaikan dengan


persyaratan tumbuh bawang merah untuk mencegah kegagalan proses
produksi sehingga dapat menghasilkan bawang merah sesuai dengan standar
mutu yang ditetapkan dan tidak merusak lingkungan. Secara umum lahan yang
digunakan bukan bekas tanaman sejenis atau se-famili. Lahan terbuka dan tidak
ternaungi sehingga matahari dapat langsung menyinari tanaman. Lokasi lahan
diusahakan dekat dengan mata air untuk memenuhi ketersediaan air irigasi.

Bawang merah dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran


rendah sampai dataran tinggi ±1.100 m (ideal 0 - 800 m) di atas permukaan laut,
tetapi produksi terbaik dihasilkan dari dataran rendah yang didukung keadaan
iklim yang meliputi suhu udara antara 25-32ºC dan iklim kering, tempat terbuka
dengan pencahayaan ±70%, karena bawang merah termasuk tanaman yang
memerlukan sinar matahari cukup panjang.

Jenis tanah yang cocok untuk budidaya bawang merah adalah jenis tanah
alluvial dan regosol dengan tipe iklim (klasifikasi Oldeman dan Irsal) C3 = 5 - 6
bulan basah dan 4 - 6 bulan kering; atau D3 = 3 - 4 bulan basah dan 4 - 6 bulan
kering; atau E3 = 3 bulan basah dan 4–6 bulan kering.

Curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman bawang merah adalah
antara 1.300-2.500 mm/tahun. Kelembaban udara (nisbi) untuk dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik serta hasil produksi yang optimal, bawang merah
menghendaki kelembaban udara nisbi antara 80-90%. Intensitas sinar matahari
penuh lebih dari 10 jam/hari, oleh sebab itu tanaman ini tidak memerlukan naung-
an/pohon peneduh.

Tanaman bawang merah sangat rentan terhadap curah hujan tinggi. Bawang
merah tumbuh baik pada tanah subur, gembur, dan banyak mengandung
bahan organik dengan dukungan jenis tanah lempung berpasir atau lempung
berdebu, derajat kemasaman tanah (pH) untuk bawang merah antara 5,5 -
6,5. Tata air (drainase) dan tata udara (aerasi) dalam tanah harus berjalan baik,
tidak boleh ada genangan. Tiupan angin sepoi-sepoi berpengaruh baik bagi
tanaman sehingga laju fotosintesis dan pembentukan umbinya akan tinggi.
Angin merupakan faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman bawang merah. Dengan sistem perakaran yang sangat dangkal, angin
kencang yang berhembus terus-menerus secara langsung dapat menyebabkan
kerusakan tanaman.

Sentra produksi bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah memiliki


ketinggian tempat 500-900 m dpl, suhu udara berkisar 27-28ºC dengan curah
hujan 2.149 mm/tahun. Tipe tanah yang digunakan untuk kegiatan budidaya

11
BAB III – Aspek teknis produksi

tanaman bawang merah adalah alluvial kelabu. Sebelah utara Kabupaten Brebes
dibatasi oleh Laut Jawa, sebelah timur dengan Kota Tegal dan Kabupaten Tegal,
sebelah selatan dengan Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap, dan
sebelah barat dengan Provinsi Jawa Barat.

3.2. Fasilitas Produksi dan peralatan

Pelaksanaan usaha budidaya bawang merah secara umum mengikuti Prosedur


Operasional Standar (POS) yang diterbitkan Kementerian Pertanian diharapkan
dapat mengurangi kehilangan hasil yang masih besar, pencapaian produktivitas
yang maksimal, serta kualitas umbi bawang merah yang sesuai standar. Agar
dapat melaksanakan POS tersebut diperlukan fasilitas dan peralatan produksi
yang sesuai aktivitasnya.

Secara garis besar, peralatan yang digunakan dalam produksi bawang


merah tidak berbeda dengan tanaman sayuran lainnya, yaitu:
a. Parang/arit/golok untuk memotong dan membersihkan semak belukar
yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman muda.
b. Cangkul/kored untuk membersihkan tanah dari rumput dan sisa-sisa semak
belukar/tanaman yang tertinggal, untuk mengolah tanah, mengambil dan
mengangkat pupuk organik, untuk meninggikan bedengan.
c. Keranjang/pikulan/carangka untuk mengangkut hasil pembersihan lahan,
mengangkut pupuk ke lahan.
d. Gacok untuk mengolah tanah.
e. Meteran sebagai alat ukur menentukan ukuran bedengan dan parit.
f. Tali untuk tarikan bedengan dan parit agar diperoleh bedengan dan parit
yang lurus.
g. Keranjang/pikulan/ember untuk menampung benih dan pupuk,
mengangkut umbi yang telah dipanen.
h. Pompa air digunakan untuk memompa air dari sumber air (air tanah,
embung/kolam penampung air hasil pemompaan, sungai).
i. Selang air/sprinkler/drip/emrat untuk mengalirkan air ke areal pertanaman.
j. Power sprayer, mist blower, hand sprayer sebagai alat untuk mengaplikasikan
pestisida.
k. Ember, drum, alat pengaduk untuk mencampur pestisida dengan air.
l. Takaran untuk menakar pestisida dengan air.
m. Terpal digunakan sebagai alas dan naungan dalam pengumpulan hasil
panen di lahan pertanaman.
n. Timbangan untuk menimbang hasil panen.

12
BAB III – Aspek teknis produksi

3.3. Bahan Baku

Bahan baku utama dalam proses produksi bawang merah adalah bibit bermutu
dari varietas unggul. Ada beberapa varietas atau kultivar yang berasal dari daerah-
daerah tertentu, seperti Sumenep, Bima, Lampung, Maja, dan sebagainya, dimana
satu sama lain memiliki perbedaan yang jelas. Balai Penelitian Tanaman Sayuran
Lembang (BALITSA) telah melepas beberapa varietas bawang merah, yaitu
Kuning, Kramat 1, dan Kramat 2. Kualitas umbi bawang merah tersebut ditentukan
oleh beberapa faktor, seperti warna, kepadatan, rasa, aroma, dan bentuk. Bawang
merah yang berwarna merah memiliki umbi padat, rasa pedas, aroma wangi jika
digoreng, dan bentuk lonjong, lebih menarik dan disukai oleh konsumen.

Umbi bibit yang besar dapat menyediakan cadangan makanan yang


banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya di lapangan. Umbi
bibit berukuran besar (>1.8 cm) akan tumbuh lebih vigor, menghasilkan daun-
daun lebih panjang, luas daun lebih besar, sehingga dihasilkan jumlah umbi
per tanaman dan total hasil yang
tinggi. Akan tetapi jika dihitung
berdasarkan beratnya bibit, harga
umbi bibit berukuran besar relatif
mahal, sehingga umumnya petani
menggunakan umbi bibit berukuran
sedang. Umbi bibit berukuran kecil
(<1,5 cm) akan memiliki pertumbuhan
lemah dan hasil rendah. Penggunaan
umbi bibit besar tidak meningkatkan
persentase bobot umbi berukuran
besar yang dihasilkan, tetapi total hasil
Gambar 3.1. Bibit Bawang Merah Siap Ditanam per plot lebih tinggi jika umbi bibit
besar yang ditanam (Gambar 3.1).

Banyaknya umbi bibit yang diperlukan dapat diperhitungkan berdasarkan


jarak tanam dan berat umbi bibit. Sebagai contoh, dari petakan seluas 1 m2
dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm dapat ditanam 40 tanaman, maka untuk
lahan 1 ha dengan efisiensi lahan 90% diperlukan umbi bibit 9.000 x 40 umbi
= 360.000 umbi, seberat 360.000 umbi x 5 g = 1.800 kg bersih. Oleh karena itu
untuk setiap 1 ha areal tanaman bawang merah diperlukan penyediaan umbi
bibit kotor tidak kurang dari 2.000 kg.

3.4. Tenaga Kerja

Tenaga kerja usaha tani bawang merah berasal dari keluarga tani (suami dan
isteri) dan tenaga upah/harian (pria/wanita). Upah harian pria lebih mahal

13
BAB III – Aspek teknis produksi

daripada wanita, yaitu Rp40.000,00/hari untuk pria dan Rp25.000,00/hari untuk


wanita. Banyaknya tenaga upah harian yang digunakan sangat bergantung
jenis pekerjaan dan luas lahan yang diusahakan. Pekerjaan yang cukup berat,
seperti mengolah tanah, mengangkut sarana produksi dan hasil produksi,
menyemprot dan menyiram, lebih dominan dikerjakan oleh pria, sedangkan
wanita lebih dominan untuk pekerjaan yang lebih ringan, seperti menanam,
memupuk, menyulam, menyiangi, dan panen.

3.5. Teknologi

Teknologi yang diterapkan dalam usaha budidaya bawang merah didasarkan


pada pengalaman yang telah dimiliki oleh petani atau pengusaha. Sebagian
petani bawang merah telah memiliki wawasan teknik budidaya yang diwariskan
orang tuanya. Beberapa petani atau pengusaha senantiasa memperbaharui
pengetahuan dan wawasannya dengan mengikuti penyuluhan, pelatihan
teknis, dan manajemen. Usaha budidaya bawang merah masih menerapkan
teknologi sederhana dan pengetahuan lokal yang ditunjang dengan ketelitian
dan pengelolaan yang baik. Teknologi budidaya yang diterapkan pada skala
usaha yang besar (pengelolaan lahan yang luas) mulai dari penyiapan lahan
hingga pemanenan dilakukan secara semi mekanis. Untuk pengolahan tanah
menggunakan gacok, penyemprotan menggunakan mesin semprot, maupun
irigasi dengan teknik siram manual. Secara umum, usaha budidaya bawang
merah menerapkan sistem intensifikasi dengan mengacu pada teknik budidaya
yang baik dan benar sesuai Prosedur Operasional Standar (POS) budidaya
bawang merah yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian.

Berbagai hasil penelitian telah dihasilkan oleh Badan Penelitian dan


Pengembangan Pertanian untuk mendukung pengembangan agribisnis
bawang merah di Indonesia. Beberapa komponen teknologi budidaya tanaman
bawang merah yang telah dihasilkan diantaranya adalah (a) varietas unggul:
Kramat-1, Kramat-2, dan Kuning yang memiliki karakteristik potensi hasil 21-25
ton/ha, cocok ditanam di dataran rendah, cocok ditanam di musim kemarau
karena tahan terhadap kekeringan dan suhu tinggi, toleran terhadap penyakit,
serta cocok untuk processing; (b) teknik budidaya di lahan kering/tegalan,
lahan sawah, sistem pertanaman monokultur atau sistem pertanaman tumpang-
gilir dengan cabai merah; (c) komponen PHT: budidaya tanaman sehat,
pengendalian secara fisik/mekanik, pemasangan perangkap, pengamatan
secara rutin, penggunaan biopestisida, dan penggunaan pestisida berdasarkan
ambang pengendalian; serta (d) teknologi pasca panen: pemanfaatan bawang
merah dalam bentuk olahan tepung/bubuk.

14
BAB III – Aspek teknis produksi

3.6. Proses Produksi

Upaya produksi sesuai dengan norma budidaya yang baik dan benar perlu
dilakukan untuk menghasilkan bawang merah yang berkualitas dengan
produktivitas yang optimal. Oleh karena itu, pelaksanaan Prosedur Operasional
Standar (POS) budidaya bawang merah seperti yang diterbitkan oleh
Kementerian Pertanian harus konsisten dan terdokumentasi dengan baik
oleh setiap pelaku usaha. Pelaksanaan POS yang baik dapat menghasilkan
produktivitas sebesar 15-20 ton/ha (tergantung varietas bawang merah). Agar
dapat melaksanakan POS tersebut, diperlukan proses produksi yang sesuai
tahapan seperti di bawah ini.

3.6.1. Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah dilakukan pada saat tidak hujan 2-4 minggu sebelum tanam.
Tujuannya untuk menggemburkan tanah, memperbaiki drainase dan aerasi tanah,
meratakan permukaan tanah, dan membasmi sisa-sisa gulma. Pengolahan tanah
diawali dengan pembuatan parit sebagai jarak antar bedengan dengan lebar
40-50 cm (Gambar 3.2.), kemudian tanah dicangkul sedalam 40 cm. Budidaya
dilakukan pada bedengan yang telah disiapkan dengan ukuran yang dikehendaki
serta arah bedengan yang benar. Ukuran lebar bedengan 100-200 cm dengan
ketinggian 30-50 cm, dan panjangnya sesuai kebutuhan (Gambar 3.3.).

Pengolahan lahan dimulai dengan pembuatan bedengan. Proses ini


membutuhkan 10 orang tenaga laki-laki dengan lama waktu pengerjaan
selama 2 hari (20 HOK). Arah bedengan adalah timur-barat dengan lebar 1-2 m

Gambar 3.2. Pembuatan Parit dan Penggemburan Bedengan

15
BAB III – Aspek teknis produksi

Gambar 3.3. Pengolahan Tanah dan Pembuatan Bedengan

dengan panjang disesuaikan keadaan lahan. Seminggu kemudian, bedengan


digemburkan yang membutuhkan tenaga kerja 40 HOK laki-laki. Bedengan
kemudian dibiarkan selama 1-2 minggu agar hama dan penyakit tanah dapat
diminimalkan, serta benih-benih gulma yang ada dalam tanah juga mengalami
kematian. Setelah 2 minggu, dilakukan pembersihan rumput-rumput yang ada
di lahan dan pembuatan parit di antara bedengan dengan membutuhkan 20
HOK laki-laki. Air kemudian dialirkan ke lahan sampai batas permukaan tanah,
sehingga tanah mendapat kandungan air yang cukup. Seminggu kemudian
dilakukan pemberian pupuk kandang dan penggemburan tanah kembali yang
membutuhkan 20 HOK laki-laki. Setelah seminggu didiamkan, tanah siap untuk
ditanami bawang merah. Total waktu pengerjaan pengolahan lahan adalah 4
minggu dengan jumlah tenaga kerja 100 HOK laki-laki.

Gambar 3.4. Jarak Tanam pada Budidaya Bawang Merah

16
BAB III – Aspek teknis produksi

3.6.2. Penyiapan Jarak Tanam

Pengaturan jarak tanam pada dasarnya bertujuan memberi kemungkinan


tanaman untuk tumbuh dengan baik tanpa mengalami persaingan dalam
hal pengambilan air, unsur hara dan cahaya matahari, serta memudahkan
pemeliharaan tanaman. Jarak tanam yang kurang tepat dapat merangsang
pertumbuhan gulma, sehingga dapat menurunkan hasil.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil bawang merah tertinggi


diperoleh pada penggunaan umbi bibit besar (>10 g) dengan jarak tanam 20
cm x 15 cm, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan penggunaan
umbi bibit sedang (5-10 g) dan jarak tanam yang sama. Penanaman umbi
bawang merah dilakukan oleh pekerja wanita sebanyak 25 orang selama 2 hari
atau 50 HOK wanita.

3.6.3. Penyiapan Benih atau Bibit

Penggunaan benih bermutu merupakan syarat mutlak dalam budidaya bawang


merah. Varietas bawang merah yang dapat digunakan adalah Bima, Brebes,
Ampenan, Medan, Keling, Maja Cipanas, Sumenep, Kuning, Timor, Lampung,
Banteng dan varietas lokal lainnya. Perbedaan produktivitas dari setiap
varietas/kultivar tidak hanya bergantung pada sifatnya, namun juga banyak
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi daerah. Iklim, pemupukan, pengairan, dan
tanah merupakan faktor penentu dalam produktivitas maupun kualitas umbi
bawang merah.

Tanaman biasanya dipanen cukup tua antara 60-80 hari, telah diseleksi
di lapangan dan di tempat penyimpanan. Umbi yang akan digunakan untuk
bibit harus berasal dari tanaman yang sudah cukup tua umurnya, yaitu sekitar
70-80 hari setelah tanam. Umbi untuk bibit sebaiknya berukuran sedang (5-10
g). penampilan umbi bibit harus segar dan sehat, bernas (padat, tidak keriput),
dan warnanya cerah (tidak kusam). Umbi bibit sudah siap ditanam apabila
telah disimpan selama 2-4 bulan sejak panen dan tunasnya sudah sampai ke
ujung umbi.

Faktor yang cukup menentukan kualitas umbi bibit bawang merah adalah
ukuran umbi. Berdasarkan ukuran umbi, umbi bibit digolongkan menjadi tiga
kelas, yaitu:
l Umbi bibit besar (ø = > 1,8 cm atau > 10 g)
l Umbi bibit sedang (ø = 1,5-1,8 cm atau 5-10 g)
l Umbi bibit kecil (ø = < 1,5 cm atau < 5 g)

17
BAB III – Aspek teknis produksi

3.6.4. Penanaman dan Pemupukan

Penanaman dilakukan pada akhir musim hujan. Dengan alat penugal, lubang
tanam dibuat sedalam rata-rata setinggi umbi. Cara penanamannya, yaitu:
kulit pembalut umbi dikupas terlebih dahulu dan dipisahkan siung-siungnya.
Sebagai catatan, untuk umbi bawang merah yang telah disimpan lebih dari 40
hari, pada saat penanaman tidak perlu dilakukan pemotongan ujung umbi. Hal
ini disebabkan umbi tersebut sudah cukup masa dorman, tingkat pertumbuhan
cukup baik dan tingkat kematian umbi juga rendah. Sedangkan untuk umbi
yang disimpan kurang dari 40 hari, perlu dilakukan pemotongan ujung umbi
untuk mempercepat keluarnya tunas dengan memotong ujung bibit hingga
1/3 bagian. Bibit ditanam berdiri di atas bedengan sampai permukaan irisan
tertutup oleh lapisan tanah yang tipis.

Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk organik yang sudah matang
seperti pupuk kandang ayam dengan dosis 5-6 ton/ha, atau kompos dengan
dosis 4-5 ton/ha khususnya pada lahan kering. Pemberian pupuk kandang
dilakukan bersamaan dengan pengolahan tanah. Pupuk lainnya yaitu pupuk
buatan dengan dosis pupuk Urea 200 kg/ha, ZA 300 kg/ha, SP-36 250 kg/ha,
KCl 200 kg/ha, dan TSP 250 kg/ha. Pemupukan dilakukan 3 kali dalam 1 musim
tanam. Pemupukan pertama dilakukan seminggu setelah tanam, yaitu Urea
100 kg/ha, ZA 150 kg/ha, SP-36 150 kg/ha, TSP 100 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha.
Pemupukan kedua dilakukan 3 minggu setelah tanam yaitu Urea 50 kg/ha, ZA
75 kg/ha, SP-36 50 kg/ha, TSP 75 kg/ha, dan KCl 50 kg/ha. Pemupukan terakhir
dilakukan pada saat bawang merah berumur 6 minggu setelah tanam yaitu
Urea 50 kg/ha, ZA 75 kg/ha, SP-36 50 kg/ha, TSP 75 kg/ha, dan KCl 50 kg/ha.
Kegiatan pemupukan dilakukan oleh 10 orang dengan waktu 2 hari (20 HOK).
Jadi, dalam satu musim tanam bawang merah untuk kegiatan pemupukan
membutuhkan 60 HOK wanita.

3.6.5. Penyiraman dan Pengendalian Gulma

Walaupun tidak memerlukan banyak hujan, tetapi tanaman bawang merah


memerlukan air yang cukup selama pertumbuhannya melalui penyiraman.
Pertanaman di lahan bekas sawah dalam keadaan terik di musim kemarau
memerlukan penyiraman yang cukup, biasanya 1 kali dalam sehari pada
pagi atau sore hari, sejak tanam sampai menjelang panen. Penyiraman yang
dilakukan pada musim hujan umumnya ditujukan untuk membilas daun
tanaman, yaitu untuk menurunkan percikan tanah yang menempel pada daun
bawang merah. Penyiraman dapat menggunakan gembor atau sprinkler,
atau dengan cara menggenangi air di sekitar bedengan yang disebut sistem
leb (Gambar 3.5).

18
BAB III – Aspek teknis produksi

Penyiraman dilakukan dengan terlebih dahulu memompa air tanah


dengan menggunakan mesin pompa diesel. Dengan menggunakan mesin
pompa tersebut, air akan keluar kemudian dialirkan masuk ke dalam lahan
budidaya bawang merah. Air yang menggenangi/memenuhi parit tersebut
kemudian digunakan untuk mengairi bawang merah. Cara penyiraman bawang
merah adalah dengan menggunakan ember atau gembor kecil (Gambar 3.6).
Dengan gembor/ember kecil tersebut, petani akan berjalan sepanjang parit
sambil menyiram bawang merah yang airnya berasal dari air tanah hasil dari
pompa diesel.

Pertumbuhan gulma pada pertanaman bawang merah yang masih


muda sampai umur 2 minggu sangat cepat. Oleh karena itu, penyiangan
merupakan keharusan dan dilakukan secara intensif untuk luasan yang
terbatas. Penyiangan dapat dilakukan bersamaan dengan penyiraman. Untuk
penyiraman dan pengendalian gulma membutuhkan sekitar 800 HOK tenaga
wanita. Upah tenaga wanita adalah Rp25.000,00 per HOK. Penyiraman dan
pengendalian gulma memakai sistem pekerjaan borongan sehingga biaya
HOK lebih murah/rendah.

Gambar 3.5. Mesin Pompa Diesel dan Air Masuk dalam Saluran Irigasi Lahan Budidaya

Gambar 3.6. Alat Penyiram dan Kegiatan Penyiraman

19
BAB III – Aspek teknis produksi

3.6.6. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)

Hama yang biasa menyerang tanaman bawang merah adalah ulat tanah,
ulat daun, ulat grayak, kutu daun, dan nematoda akar. Pengendalian hama
dilakukan dengan cara sanitasi dan pembuangan gulma, pengumpulan dan
memusnahkan larva, pengolahan lahan untuk membongkar persembunyian
ulat, penggunaan insektisida, serta rotasi tanaman.

Hama utama pada tanaman bawang merah yang perlu diwaspadai adalah
ulat daun bawang (Spodoptera exigua). Pengendalian S. exigua dapat dilakukan
sebagai berikut:

1. Penggunaan lampu perangkap.


Lampu perangkap dipasang pada tiang kayu dengan ketinggian antara 10-
15 cm di atas bak air. Mulut bak air tidak boleh lebih dari 40 cm di atas
ujung daun tanaman bawang merah. Jenis lampu yang digunakan adalah
neon, dengan jarak antara satu lampu perangkap (titik) dengan titik yang
lain adalah 20 m x 20 m atau 25 titik/ha.

2. Penggunaan se-NPV.
Se-NPV dapat diminta dari Balitsa Lembang atau IPB untuk selanjutnya
diperbanyak melalui ulat S. exigua yang terinfeksi. Ulat yang terinfeksi
diambil, digerus lalu disaring dan disemprotkan ke tanaman bawang merah.
Dengan se-NPV ini dapat mematikan ulat 4 hari setelah aplikasi.

3. Pengendalian secara kimia.


Cara ini merupakan anjuran paling terakhir, yaitu apabila kedua cara di atas
tidak efektif atau tidak bisa dilakukan dan populasi hama sudah mencapai
ambang pengendalian, yaitu kerusakan daun > 5% per rumpun.

Penyakit yang sering menyerang bawang merah adalah bercak ungu,


embun tepung, busuk leher batang, antraknosa, busuk umbi, layu fusarium,
dan busuk basah. Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan cara kuratif
maupun preventif.

Secara kuratif adalah:

1. Sanitasi, yaitu segera mencabut tanaman yang sudah terserang parah atau
mati dan memetik daun-daun yang kering, dikumpulkan lalu dikeluarkan
dari kebun dan dibakar. Cara ini merupakan upaya untuk mengurangi
sumber infeksi.

2. Penyiraman, yaitu menyiram tanaman jika hujan turun dengan menggunakan


gembor agar butiran-butiran tanah yang menempel pada daun akibat

20
BAB III – Aspek teknis produksi

percikan air hujan tidak lama menempel, karena dapat menjadi sumber
infeksi (mengandung inokulum patogen).

3. Pengendalian kimia dengan menggunakan fungisida kimia, harus dilakukan


apabila intensitas serangan sudah mencapai ambang pengendalian, yaitu
rata-rata intensitas serangan di atas 10%.

Secara preventif adalah:


1. Sanitasi, khusus terhadap tanaman dan sisa tanaman yang terinfeksi.
2. Penanaman umbi bebas penyakit.
3. Perlakuan umbi dengan fungisida efektif.
4. Rotasi tanaman dengan tanaman bukan bawang-bawangan, kacang-
kacangan, labu-labuan, atau terong-terongan.
5. Mengatur waktu tanam, yaitu pada musim kemarau.
6. Perbaikan sistem drainase lahan.
7. Menanam kultivar tahan, misalnya kultivar Sumenep.
8. Penggunaan agens antagonis, cendawan, atau bakteri.

Petani-petani bawang merah di Kabupaten Brebes sebagian besar


menggunakan pestisida kimia dalam mengendalikan serangan hama dan
penyakit. Penyemprotan pestisida berlangsung setiap hari sampai dengan
masa panen. Hal ini dilakukan petani sebagai tindakan preventif karena dalam
budidaya bawang merah membutuhkan dana yang tidak sedikit sehingga
petani merasa takut mengalami kerugian jika terjadi serangan hama dan
penyakit yang mendadak akibat tidak dilakukan penyemprotan pestisida.

Ada bermacam-macam pestisida yang digunakan petani bawang merah


dalam mengendalikan hama penyakit bawang merah. Namun sebagian besar
petani menggunakan insektisida dan fungisida sampai 9 merk dagang yaitu
Ludo, Tumagon, Demolish, Antracol, Dithane, Marshal, Metindo, Borer, dan
Arjuna. Untuk penggunaan Demolish dilakukan pada 1, 5, 10, 15, 20, 25, 30,
35, 40, 45, 50, 55, dan 60 HST. Aplikasi Ludo dapat digabung dengan Tumagon
yang diberikan pada 1, 3, 5, 7, 10, 12, 15, 17, 20, 22, 25, 27, 30, 32, 35, 37, 40, 42,
45, 47, 50, 52, 55, 57, dan 60 HST bawang merah. Antracol dan Dithane dapat
diaplikasikan pada 2, 6, 11, 16, 21, 26, 31, 36, 41, 46, 51, dan 56 HST. Borer dan
Arjuna dapat diaplikasikan pada 4, 9, 14, 19, 24, 29, 34, 39, 44, 49, 54, dan 59.

Semua pengaplikasian pestisida membutuhkan perekat Apsa. Setiap


jadwal aplikasi penyemprotan pestisida memerlukan 77 ml Demolish, 400 ml
Ludo, 400 ml Tumagon, 400 g Antracol, 580 g Dithane, 270 ml Marshal, 270
g Metindo, 400 ml Borer, 400 ml Arjuna dan 330 ml Apsa. Setiap kali aplikasi
pengendalian hama dan penyakit tanaman bawang merah, pestisida, dan
perekat yang digunakan dicampur dengan 600 liter air (volume semprot 600
liter/ha).

21
BAB III – Aspek teknis produksi

Untuk wilayah-wilayah pengembangan baru, di mana belum ada sumber


hama dan penyakit yang melimpah serta terus menerus seperti di Kabupaten
Brebes, penggunaan pestisida dapat dikurangi. Rekomendasi yang tertera di
setiap merk dagang pestisida, yang merupakan rekomendasi aman, dapat
diikuti dan hanya diaplikasikan apabila hama penyakit telah mencapai ambang
ekonomi. Sebagai contoh fungisida berbahan aktif Pyraclostrobin hanya
direkomendasikan diaplikasikan 5 kali dalam satu musim tanam bawang merah
dengan dosis 1.0-1.5 kg per hektar. Tidak seperti fungisida dengan merk
dagang Dithane dan Marshall yang diaplikasikan sebanyak 12 kali dalam satu
musim tanam bawang merah oleh petani Brebes. Aplikasi insektisida biasanya
dengan dosis yang direkomendasikan berkisar antara 2.0-4.0 kg per hektar.

3.6.7. Panen

Panen bawang merah dilakukan bila umbi sudah cukup umur sekitar 60 - 70
HST. Tanaman bawang merah mulai dipanen setelah terlihat tanda-tanda 60%
leher batang lunak, tanaman rebah, dan daun mulai menguning (Gambar 3.7.).
Caranya dengan mencabut seluruh tanaman dengan hati-hati supaya tidak
ada umbi yang tertinggal atau lecet. Pemanenan sebaiknya dilaksanakan pada
keadaan tanah kering dan cuaca yang cerah untuk mencegah serangan penyakit
busuk umbi di gudang penyimpanan. Untuk 1 ha pertanaman bawang merah
yang diusahakan secara baik dapat dihasilkan 10 - 20 ton.

Gambar 3.7. Kegiatan Panen Bawang Merah

22
BAB III – Aspek teknis produksi

3.6.8. Pasca panen


Demi mempertahankan kualitas yang baik, penanganan pasca panen perlu
mendapat perhatian karena sifatnya yang mudah rusak. Kerusakan dapat
disebabkan antara lain terjadinya penurunan kandungan air, pertumbuhan
tunas, pertumbuhan akar, kebusukan, dan pelunakan umbi. Kerusakan tersebut
menurunkan kualitas bawang merah baik nilai gizi, warna, bau, maupun rasa.

Penanganan pasca panen yang penting untuk menghindari kerusakan dan


penurunan kualitas, meliputi:

1. Pengeringan umbi dilakukan dengan cara dihamparkan merata di atas tikar


atau digantung di atas para-para. Dalam keadaan cukup panas biasanya
memakan waktu 4-7 hari. Bawang merah yang sudah agak kering diikat
dalam bentuk ikatan. Proses pengeringan dihentikan apabila umbi telah
mengkilap, lebih merah, leher umbi tampak keras dan bila terkena sentuhan
terdengar gemerisik. (Gambar 3.8.).
2. Sortasi dilakukan setelah proses pengeringan.
3. Ikatan bawang merah dapat disimpan dalam rak penyimpanan atau digantung
dengan kadar air 80 - 85%, ruang penyimpanan harus bersih, aerasi cukup
baik, dan harus khusus tidak dicampur dengan komoditas lain.

Gambar 3.8. Penjemuran Bawang Merah

3.7. Mutu Produksi

Bawang merah yang telah dipanen, langsung dijemur atau langsung dijual.
Setelah bawang merah cukup kering, dapat langsung dibawa ke gudang
penyimpanan untuk dijadikan benih atau dapat dijual. Gudang penyimpanan

23
BAB III – Aspek teknis produksi

berfungsi untuk melindungi bawang merah dari kerusakan akibat faktor luar.
Gudang harus memenuhi persyaratan seperti ventilasi udara dan penyebaran
cahaya yang baik, serta kebersihan gudang tetap terjaga, yaitu bersih dari sisa-
sisa kotoran umbi yang busuk, saat penyimpanan sebaiknya tidak dicampur
dengan komoditas lain.

Standar mutu bawang merah yang telah ada, berdasarkan survei di daerah
penghasil bawang merah, yaitu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, studi pustaka
serta wawancara dengan Dinas Pertanian setempat dan Lembaga Penelitian
Hortikultura. Saat ini, bawang merah digolongkan dalam dua jenis mutu, yaitu
Mutu I dan Mutu II.

Tabel
Tabel 3.1.3.1. Penggolongan
Penggolongan Mutu
Mutu Bawang
Bawang Merah
Merah Berdasarkan
Berdasarkan SNI SNI 01-3159-1992
01-3159-1992
Syarat
Karakteristik
Mutu I Mutu II
Kesamaan sifat varietas Seragam Seragam
Ketuaan Tua Cukup tua
Kekerasan Keras Cukup keras kompak
Diameter (cm) min. 1,7 1,3
Kerusakan, % (bobot/-bobot) maks. 5 8
Busuk, % (bobot/-bobot) maks. 1 2
Kotoran, % (bobot/-bobot) maks. Tidak ada Tidak ada
Sumber: BSN

Keterangan :
Kesamaan sifat varietas : kesamaan sifat varietas dinyatakan seragam apabila bawang merah

dalam satu slot seragam dalam bentuk umum umbi.


Ketuaan : bawang merah dinyatakan tua apabila telah mencapai tingkat per-
tumbuhan fisiologis yang cukup tua, terlihat dari tingkat kekerasan.
Kekerasan : bawang merah dinyatakan keras apabila setelah mengalami pe-
ngeringan dengan baik, umbi bawang merah cukup keras dan ti-
dak lunak bila ditekan dengan jari.
Diameter : dimensi terbesar diukur tegak lurus pada garis lurus sepanjang
batang sampai akar.
Kerusakan : bawang merah dinyatakan rusak apabila mengalami kerusakan
atau cacat secara fisiologis, mekanis, dan lainnya yang terlihat pada
permukaan.
Busuk : bawang merah dinyatakan busuk apabila mengalami pembusukan
akibat kerusakan biologis.
Kotoran : semua bahan bukan bawang merah atau benda asing lainnya (se-
perti tanah bahan tanaman dan lain-lain) yang menempel atau ber-
ada dalam kemasan, yang mempengaruhi penampakannya, bahan
penyekat/pembungkus tidak dianggap sebagai kotoran (SNI, 1992).

24
BAB III – Aspek teknis produksi

Sortasi dan pemutuan biasanya dilakukan di lapangan (lahan) ketika proses


penjemuran selesai. Umbi bawang merah yang telah dipanen dan kering,
dipilih berdasarkan ukuran dan dipisahkan antara umbi yang baik, afkir, dan
busuk. Biasanya yang melakukan sortasi bukanlah petani, tetapi para pembeli.

3.8. Produksi Optimum

Usaha budidaya bawang merah yang dilakukan sesuai dengan Prosedur


Operasional Standar (POS) dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi
hingga 10-20 ton/ha. Pada tahun 2012 secara nasional rata-rata produktivitas
bawang merah sebesar 9,67 ton/ha, dimana sentra produksi bawang merah
di wilayah Jawa Tengah menghasilkan produksi kedua tertinggi, yaitu sebesar
10,66 ton/ha. Produksi optimum usaha budidaya bawang merah juga sangat
tergantung pada kondisi lokasi, musim, dan penggunaan benih.

3.9. Kendala atau Faktor Kritis Produksi

Secara umum, kendala teknis sekaligus sebagai faktor kritis yang dihadapi dalam
budidaya bawang merah di Indonesia, secara berturut-turut adalah sebagai berikut:

(1) Bibit, yaitu harga bibit yang lebih mahal dibandingkan harga jual ketika
musim panen. Misalnya harga bibit mencapai Rp25 000/kg sedangkan ketika
panen, harga jualnya hanya Rp10.000/kg. Selain itu, kualitas bibit yang dibeli
terkadang buruk karena tidak diketahui dengan pasti berapa lama waktu
jemurnya, karena dapat terjadi petani tidak mengatakan waktu jemur yang
sebenarnya (seharusnya 2 bulan, ternyata baru 40 hari).

(2) Air, tanaman bawang merah perlu disiram setiap hari sehingga
membutuhkan banyak air.

(3) Angin, merupakan faktor iklim yang cukup berpengaruh terhadap


pertumbuhan tanaman bawang merah. Tiupan angin sepoi-sepoi “angin
kumbang” berpengaruh baik terhadap laju fotosintesis tanaman dan tingkat
pembentukan umbinya akan tinggi.

(4) Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), pengendalian


hama dan penyakit dengan pemberian bahan kimia (pestisida/fungisida)
masih menjadi hal yang sangat lumrah di lapangan, khususnya pada saat
serangan sangat intensif di musim peng-hujan. Terkadang ketersediaan bahan
pengendali hama dan penyakit di lapangan menjadi kendala, yaitu tidak ada
saat dibutuhkan atau banyak beredar pestisida/fungisida palsu sehingga
kurang efektif dalam membasmi hama dan penyakit. n

25
BAB IV
ASPEK PASAR DAN
PEMASARAN

26
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

4.1. Aspek Pasar

4.1.1. Permintaan
Bawang merah merupakan bahan utama bumbu masakan Indonesia. Selain
sebagai bumbu dasar masakan, bawang merah dapat digunakan sebagai
obat herbal karena kandungan gizi yang cukup lengkap. Bawang merah
mengandung flavo glikosida yang dapat menyembuhkan radang, sedangkan
kandungan saponinnya dapat mengencerkan dahak. Menurut penelitian,
bawang merah juga dapat mencegah kanker karena kandungan sulfurnya.
Dalam 100 gram bawang merah terkandung karbohidrat (9,34 gr), gula (4,24
gr), serat (1,7 gr), lemak jenuh (0,042 gr), protein (1,1 gr), air (89,11 gr), thiamine
(0,046 mg), riboflavin (0,027 mg), niacin (0,116 mg), vitamin B6 (0,12 mg), folat
(19 mg), vitamin C (7,4 mg), vitamin E (0,02 mg), vitamin K (0,4 mg), kalsium (23
mg), besi (0,21 mg), magnesium (0,129 mg), fosfor (29 mg), kalium (146 mg),
sodium (4 mg), dan seng (0,17 mg).

Permintaan bawang merah dalam negeri cenderung meningkat setiap


tahunnya. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah penduduk Indonesia yang
terus bertambah. Semakin banyak penduduk Indonesia, maka kebutuhan bawang
merah juga meningkat karena bawang merah merupakan bumbu dasar masakan-
masakan Indonesia. Kebutuhan bawang merah yang meningkat juga dipengaruhi
oleh tumbuhnya industri olahan bawang merah seperti di daerah Brebes, Jawa
Tengah dan Palu, Sulawesi Tengah.

Umbi bawang merah, khususnya yang memiliki karakteristik kualitas seperti


bawang impor (super), yaitu: umbi besar (diameter 2,5 - 3 cm), bentuk bulat dan
warna merah, mempunyai prospek pasar yang sangat baik di pasar domestik
maupun ekspor. Permintaan pasar dalam negeri terus meningkat dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2015, kebutuhan bawang merah diproyeksikan mencapai
1.195.235 ton. Jika produktivitas bawang merah diproyeksikan mencapai 10,22
ton/ha, maka dibutuhkan sekitar 116.950 ha areal panen. Mengacu pada areal
panen tahun 2012, yaitu sebesar 99.519 ha, maka pemenuhan kebutuhan bawang
merah tahun 2015 memerlukan perluasan areal panen sekitar 17.432 ha atau
sekitar 6 000 ha per tahun. Sasaran produksi sebesar 1.195.235 ton tersebut pada
tahun 2015 termasuk untuk benih bawang merah sekitar 102.900 ton. Proyeksi
kebutuhan bawang merah sampai dengan tahun 2025 tertera pada Tabel 4.1.
Tabel
Tabel 4.1.
4.1. DataProyeksi
Data ProyeksiKebutuhan
Kebutuhan Bawang
BawangMerah
MerahTahun 2015-2025
Tahun 2015–2025
Kebutuhan (Ton)
Tahun
Konsumsi Benih Industri Ekspor Total
2015 952.335 102.900 40.000 100.000 1.195.235
2020 1.067.527 107.000 50.000 110.000 1.335.427
2025 1.194.837 116.900 80.000 150.000 1.541.737
Sumber: Ditjen Bina Produksi Hortikultura, Kementerian Pertanian RI.

27
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

4.1.2. Penawaran

Sampai saat ini, ekspor bawang merah relatif sedikit mengingat kebutuhan
dalam negeri yang begitu tinggi. Prospek untuk peningkatan ekspor sebenarnya
cukup tinggi, terutama jika dikaitkan dengan fakta-fakta sebagai berikut: (a) di
pasar Taiwan, walaupun ada persaingan dari Thailand, Filipina, dan Vietnam,
bawang merah dari Indonesia mampu menguasai 86% dari kebutuhan pasar,
(b) permintaan bawang merah di Hongkong diperkirakan sebesar 200 ribu
ton per tahun dan dipasok oleh Filipina, Thailand, Vietnam, Taiwan, Malaysia,
dan Singapura, tidak termasuk Indonesia, dan (c) ekspor ke negara-negara
pelanggan seperti Malaysia, Singapura, dan Taiwan masih terbuka untuk
ditingkatkan, jika produksi bawang merah dapat ditingkatkan (Kementan, 2013).

Pengembangan agribisnis bawang merah pada masa mendatang diarahkan


untuk: (a) pengembangan varietas bawang merah setara kualitas impor sebagai
salah satu upaya substitusi (pengurangan ketergantungan terhadap pasokan
impor), (b) pengembangan industri benih bawang merah dalam rangka menjaga
kesinambungan pasokan benih bermutu, (c) perluasan areal tanam bawang
merah sebagai upaya antisipasi peningkatan konsumsi, dan (d) pengembangan
diversifikasi produk bawang merah dalam upaya peningkatan nilai tambah.
Perkembangan usaha budidaya bawang merah di Indonesia tahun 2009-2012
dapat dilihat pada Tabel 4.2.

4.1.3. Analisis Persaingan dan Peluang Pasar

Berdasarkan data pada Tabel 4.2. di atas, bawang merah dihasilkan di 24 dari 33
provinsi di Indonesia. Provinsi penghasil utama bawang merah dengan luas areal
panen di atas 1.000 ha per tahun adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara
Barat, dan Sulawesi Selatan. Sembilan provinsi ini menyumbang 96,5% (Jawa
= 79%) dari produksi total bawang merah di Indonesia. Provinsi Jawa Tengah
khususnya Kabupaten Brebes merupakan penyumbang terbesar produksi
bawang merah di Indonesia (sekitar 33% dari total produksi). Rata-rata produksi
di Kabupaten Brebes sebesar 204.347 ton/bulan. Kondisi ini menunjukkan bahwa
secara nasional persaingan usaha budidaya dari aspek bisnis sangat besar,
dimana setiap sentra produksi memiliki tingkat produktivitas rata-rata 9 ton/ha.

Di setiap sentra budidaya bawang merah pada umumnya merupakan usaha


turun-temurun sehingga teknologi budidayanya bersifat lokal. Sebagai contoh,
penerapan teknik budidaya bawang merah di daerah Brebes berbeda dengan
teknik budidaya di daerah Nganjuk, Cirebon, Bali, atau Palu. Kondisi lahan di
Brebes yang sebagian besar merupakan lahan dengan luasan yang sempit
tidak memungkinkan penggunaan alat mekanisasi. Selain itu, terdapatnya angin

28
Tabel 4.2. Perkembangan Produksi, Luas Lahan dan Produktivitas Bawang Merah di Indonesia, Tahun 2009-2012
Tabel 4.2. Perkembangan Produksi, Luas Lahan dan Produktivitas Bawang Merah di Indonesia, Tahun 2009-2012
*)
2009 2010 2011 2012
Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk-
Provinsi Prod Prod Prod Prod
Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas
(Ton) (Ton) (Ton) (Ton)
(Ha) (Ton/Ha) (Ha) (Ton/Ha) (Ha) (Ton/Ha) (Ha) (Ton/Ha)
1. Aceh 604 2.868 4,75 666 3.615 5,43 788 2.600 3,30 808 43.846 5,43
2. Sumatera Utara 1.379 12.655 9,18 1.360 9.413 6,92 1.384 12.449 8,99 1.581 141.559 8,95
3. Sumatera Barat 2.416 21.985 9,10 2.699 25.058 9,28 3.340 32.442 9,71 3.670 358.376 9,76
4. R i a u - - - - - - - - - 1 60 6,00
5. J a m b i 224 1.813 8,09 174 1.492 8,57 803 7.994 9,96 769 68.502 8,91
6.Sumatera Selatan 7 17 2,43 31 74 2,39 8 37 4,63 5 176 3,52
7.Bengkulu 158 938 5,94 109 602 5,52 82 506 6,17 116 6.959 5,99
8.Lampung 62 300 4,84 69 369 5,35 55 705 12,82 39 3.150 8,08
9.Bangka Belitung - - - - - - - - - 6 210 3,50
10.Kep. Riau - - - - - - 1 1 1,00 - - -
11.DKI Jakarta - - - - - - - - - - - -
12.Jawa Barat 10.837 123.587 11,40 12.168 116.396 9,57 10.009 101.273 10,12 11.438 1.158.964 10,13
13.Jawa Tengah 38.280 406.725 10,63 45.538 506.357 11,12 35.711 372.256 10,42 35.828 3.818.131 10,65
14.DI Yogyakarta 1.628 19.763 12,14 2.027 19.950 9,84 1.271 14.407 11,34 1.180 118.550 10,05
15.Jawa Timur 26.358 181.490 6,89 26.507 203.739 7,69 20.940 198.388 9,47 22.200 2.211.685 9,96
16.Banten 85 668 7,86 69 351 5,09 102 421 4,13 157 11.263 7,17
17.B a l i 1.043 11.554 11,08 1.013 10.981 10,84 817 9.319 11,41 766 86.658 11,31
18.Nusa Tenggara Barat 13.105 133.945 10,22 10.159 104.324 10,27 9.988 78.300 7,84 12.333 1.009.887 8,18
19.Nusa Tenggara Timur 2.268 16.602 7,32 923 3.879 4,20 917 2.436 2,66 725 20.609 2,84
20. Kalimantan Barat - - - - - - - - - - - -
21. Kalimantan Tengah - - - - - - - - - 3 6 2,00
22. Kalimantan Selatan 5 17 3,40 - - - 1 7 7,00 - - -
23. Kalimantan Timur 29 122 4,21 11 35 3,18 5 15 3,00 11 753 6,85

29
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN
30
*)
2009 2010 2011 2012
Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk-
Provinsi Prod Prod Prod Prod
Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas
(Ton) (Ton) (Ton) (Ton)
(Ha) (Ton/Ha) (Ha) (Ton/Ha) (Ha) (Ton/Ha) (Ha) (Ton/Ha)
24.Sulawesi Utara 762 6.918 9,08 720 5.963 8,28 654 5.005 7,65 699 48.566 6,95
25.Sulawesi Tengah 1.051 6.490 6,18 1.280 10.301 8,05 1.381 10.824 7,84 1.716 57.263 3,34
26.Sulawesi Selatan 2.629 13.246 5,04 3.180 23.276 7,32 4.633 41.710 9,00 4.518 412.380 9,13
27.Sulawesi Tenggara 180 657 3,65 213 646 3,03 98 121 1,23 76 1.999 2,63
28.Gorontalo 134 405 3,02 119 240 2,02 69 172 2,49 73 1.638 2,24
29.Sulawesi Barat 350 881 2,52 131 348 2,66 133 280 2,11 86 3.833 4,46
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

30.Maluku 73 167 2,29 170 398 2,34 135 484 3,59 167 3.831 2,29
31.Maluku Utara 82 237 2,89 93 151 1,62 122 185 1,52 129 1.437 1,11
32.Papua Barat 66 327 4,95 77 477 6,19 77 107 1,39 62 1.886 3,04
33.Papua 194 787 4,06 128 499 3,90 143 680 4,76 153 8.542 5,58
Indonesia 104.009 965.164 9,28 109.634 1.048.934 9,57 93.667 893.124 9,54 99.315 9.600.719 9,67
Sumber: Basis Data Kementerian Pertanian RI
Ket. *) Angka Sementara
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

“kumbang” yang merupakan angin lokal dipercaya oleh petani bawang merah
di Kabupaten Brebes dapat meningkatkan produksi bawang merah. Periode
panen di empat provinsi penghasil utama bawang merah (Jatim, Jateng, Jabar,
dan Sulsel) menunjukkan bahwa bulan panen cukup bervariasi. Tidak saja antar
provinsi, tetapi juga dari tahun ke tahun.

Pengamatan lebih lanjut memberikan gambaran bahwa puncak panen


terjadi hampir selama 6-7 bulan setiap tahun yaitu pada bulan Juni, Juli,
Agustus, September, Oktober, Desember dan Januari. Sedangkan bulan kosong
panen terjadi pada bulan Februari sampai Mei dan November. Berdasarkan
pengamatan tersebut, musim tanam puncak diperkirakan terjadi pada bulan
April sampai Oktober. Kondisi ini menyebabkan terjadi persaingan antar daerah
di Indonesia yang dapat mengganggu rantai produksi dan pemasaran bawang
merah konsumsi dan benih sehingga harga dapat berfluktuasi.

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2011-2013), seperti terlihat pada
Tabel 4.3, terdapat indikasi kuat bahwa daya saing bawang merah nasional terus
menurun dibandingkan bawang merah impor. Kondisi ini diperparah dengan
semakin tingginya selisih harga satuan bawang merah ekspor dan impor terkait
dengan penurunan nilai rupiah terhadap dollar Amerika. Jika kondisi perbedaan
harga ini semakin tajam, maka diperkirakan pada tahun-tahun mendatangpun
impor bawang merah akan terus menekan produksi dan harga bawang merah
nasional. Pada akhirnya, hal ini dapat menurunkan motivasi petani untuk
menanam bawang merah dan produksi nasional bawang merah sehingga akan
meningkatkan ketergantungan terhadap bawang impor.

Bawang merah yang banyak diekspor oleh Indonesia adalah bawang merah
konsumsi. Pada tahun 2012, total Ekspor bawang merah baik konsumsi atau

Tabel
Tabel 4.3.
4.3. DataImpor
Data Impordan
danEkspor
Ekspor Bawang
Bawang Merah
Merah2009-2013
2009-2013(ton)
(ton)
2011 2012 2013*)
Bulan Impor Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor
1 20.000 2.500 6.500 0 3.000 0
2 25.000 500 28.000 0 3.500 0
3 43.000 1.000 25.000 0 6.000 0
4 20.000 0 12.500 0 15.000 0
5 18.000 900 12.000 0 22.500 0
6 16.000 0 5.000 900 15.000 0
7 5.000 700 2.500 27.000 - -
8 3.000 5.000 300 17.000
9 2.500 26.000 2.500 27.000
10 3.500 35.000 1.500 32.000
11 2.500 7.500 100 5.000
12 3.000 900 2.000 1.000
Ket. *) Data sampai dengan Juni 2013
Sumber: Kementan RI (2013)

31
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

benih dari Indonesia yang terbesar adalah ke Thailand sebesar 11.160,53 ton
atau mencapai 60,24% dari total nilai ekspor bawang merah Indonesia. Negara
kedua terbesar adalah Vietnam sebesar 4.667,80 ton atau 21,52% dari total
nilai ekspor bawang merah Indonesia. Negara selanjutnya adalah ke Malaysia
(8,28%) dan Singapura (6,97%) dengan nilai ekspor masing-masing sebesar
US$729 ribu dan US$614 ribu. Selanjutnya, ekspor bawang merah Indonesia
ditujukan ke Taiwan dengan total ekspor mencapai 2,34% atau sebesar US$206
ribu (Gambar 5.6). Negara tujuan ekspor lainnya untuk bawang merah dari
Indonesia memiliki total ekspor dibawah 1% saja. Ekspor bawang merah tahun
2012 menurut negara tujuan secara rinci disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4.Tujuan
Tabel 4.4. Negara Negara Ekspor
Tujuan Ekspor
BawangBawang Merah
Merah Tahun 2012
Indonesia Tahun 2012
Ekspor 2013 % thd Total Ekspor
Negara Tujuan
Volume Nilai (000
Ekspor Volume Nilai
(Ton) US$)
Thailand 11.160,53 5.308,63 58,48 60,24
Vietnam 4.667,80 1.896,30 24,46 21,52
Malaysia 1.407,83 729,20 7,38 8,28
Singapura 974,60 614,56 5,11 6,97
Taiwan 708,04 206,51 3,71 2,34
Cina 58,00 14,21 0,30 0,16
Timor Leste 48,00 7,94 0,25 0,09
Filipina 47,41 6,43 0,25 0,07
Benin 9,55 23,88 0,05 0,27
Australia 2,40 3,6 0,01 0,04
Hongkong 0,28 0,51 0 0,01
Papua New
0,25 0,12 0 0
Guenea
Arab Saudi 0,09 0,14 0 0
Total Ekspor 19.084,78 8.812,03 100 100
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Pusdatin 2013

4.2. Aspek Pemasaran

4.2.1. Harga
Dalam kurun waktu 2 tahun terakhir (2012 sampai Agustus 2013), usaha
budidaya bawang merah mengalami gejolak pasar yang cukup kuat. Pada bulan
Agustus 2013, harga bawang merah di tingkat petani Brebes Rp 35.000 - Rp
38.000, di tingkat pedagang Rp 40.000 - Rp 45.000 dan di tingkat konsumen
Rp 50.000,00 - Rp 55.000 per kg. Pada bulan Agustus -September 2013, terjadi
panen di beberapa sentra bawang merah di Brebes sehingga stok bawang
relatif tersedia. Namun, total hasil produksi di Brebes tahun 2013 diperkirakan
jauh lebih sedikit dibandingkan hasil panen tahun-tahun sebelumnya pada

32
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

Gambar 4.1. Data Impor Dan Kebutuhan Bawang Merah

periode yang sama. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah luasan panen
akibat sedikitnya jumlah petani yang mampu menanam bawang merah akibat
tidak tersedianya bibit bawang merah.

4.2.2. Jalur Pemasaran Produk


Jalur pemasaran bawang merah secara umum ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Petani umumnya menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul yang
datang kepada mereka. Hubungan ini didasarkan atas asas saling percaya dan
sudah berlangsung beberapa tahun. Petani yang memiliki lahan cukup luas dan
keuangan kuat menjual hasil panen ke padagang besar yang sudah memiliki
jaringan pemasaran yang baik dan penawaran harga lebih tinggi.

Beberapa petani ada yang memiliki kontrak dengan industri pengolahan


bawang merah. Kesepakatan harga ditetapkan di awal dan kedua belah pihak
wajib menaati peraturan yang telah dibuat. Kondisi ini memberikan jaminan
harga dan terjualnya produk bawang merah yang dihasilkan petani. Tapi di sisi
lain, apabila harga bawang merah sedang tinggi, petani tidak mendapat untung
dengan meningkatnya harga bawang merah tersebut.

Pedagang-pedagang pengumpul yang mendatangi petani bawang merah


adalah pedagang pengumpul tingkat desa yang menjual bawang merah yang
dibeli dari petani kepada pedagang pengumpul tingkat kecamatan. Pedagang
pengumpul tingkat kecamatan kemudian bergabung menjadi beberapa
pedagang yang kemudian menjual ke pedagang-pedagang besar di pasar
induk atau pasar tradisional yang berada di kota-kota besar seperti Jakarta,

33
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

Medan, Semarang, dan Surabaya. Dari pedagang besar tersebut, bawang


merah kemudian didistribusikan kepada pedagang-pedagang kecil yang
berada di sekitar kota-kota besar tersebut. Dari pedagang kecil yang berada
di pasar tradisional, bawang merah kemudian dijual kepada pedagang keliling
atau pedagang di kampung-kampung.

Untuk jalur perdagangan bawang merah, industri pengolahan bawang


merah sudah memiliki kontrak/perjanjian dengan petani bawang merah secara
langsung. Sedangkan untuk supermarket, jalur perdagangan bawang merah
masuk melalui supplier yang ditunjuk. Supplier ini juga berdasarkan kontrak
yang dibuat dengan pihak supermarket.

Target akhir dari jalur perdagangan bawang merah adalah konsumen rumah
tangga. Sebagian besar konsumen membeli bawang merah di pasar-pasar
tradisional atau pedagang keliling. Ada juga konsumen yang membeli di pasar
modern atau supermarket. Beberapa konsumen membeli langsung ke pasar
induk atau pada saat ada pasar lelang bawang merah apabila membutuhkan
bawang merah dalam jumlah besar. Untuk pembelian di tingkat pasar induk,
harga bawang merah cenderung lebih murah dibandingkan pasar tradisional,
namun pembelian harus dalam jumlah yang besar.

Jalur pemasaran bawang merah dengan tujuan akhir konsumen rumah


tangga di Kabupaten Brebes dapat dikelompokkan menjadi 3 jalur utama,
yaitu pasar tradisional, pasar modern, dan industri pengolahan. Pemasaran
ke pasar tradisional mengikuti jalur dari petani-pedagang pengumpul (desa-
kecamatan)-pedagang besar/pasar induk. Untuk pemasaran ke pasar modern
(supermarket), bawang merah dipasok dari pedagang besar ke supplier dan
selanjutnya ke supermarket. Sedangkan untuk industri pengolahan, pemasaran
dilakukan dengan terlebih dahulu membuat perjanjian antara petani/kelompok
tani dengan pihak industri pengolahan. Dalam perjanjian tersebut, umumnya
juga tercakup harga pembelian, banyaknya bawang merah yang disuplai dan
kualitas yang diperjualbelikan.

4.2.3. Kendala Pemasaran

Permasalahan utama dalam pemasaran bawang merah adalah kepastian pasar


dan harga jual. Harga, seperti telah dijelaskan sebelumnya, menjadi faktor
penentu dalam pemasaran bawang merah. Ketika pasokan bawang merah
melimpah maka harga akan terkoreksi, dan begitu juga sebaliknya. Problem
kedua yang harus dihadapi petani adalah belum terjaminnya pasar akibat
masuknya bawang merah impor yang berharga murah. Petani juga tidak
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga jual di pasar karena sangat
tergantung oleh mekanisme pasar yang sebagian besar diperankan oleh suplier.

34
BAB IV – ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

Pemasaran bawang merah juga tidak terlepas dari kondisi sistem


produksi dan rantai jual bawang merah. Sistem produksi yang dapat
menghasilkan bawang merah dengan mutu terbaik tentulah mudah dalam
pemasarannya. Untuk petani yang bermitra, baik dengan industri pengolahan
maupun pedagang pengumpul, kurangnya keterbukaan terhadap
perkembangan harga dan pasar menjadi kendala. Hal ini menyebabkan
petani tidak memperoleh market share atau added value yang lebih adil
dan transparan. Dalam kesepakatan atau perjanjian yang dibuat, penentuan
harga cenderung dilakukan oleh pihak mitra atau pengelola industri bawang
merah sehingga petani tidak memiliki kekuatan tawar terhadap produknya.
Dengan memperhatikan perkembangan budidaya bawang merah saat ini,
peran pemerintah dalam sistem tataniaga bawang merah sangat penting.
Regulasi atau kebijakan yang ditetapkan sebaiknya melindungi petani
maupun konsumen dalam negeri, termasuk kebijakan impor dan ekspor yang
tepat untuk menstabilkan harga. Penentuan harga pokok minimum atau harga
pokok pemerintah (HPP) juga diharapkan dapat diimplementasikan pada
produk bawang merah. n

  PETANI  

PEDAGANG  
PENGUMPUL  DESA   INDUSTRI  OLAHAN  
BAWANG  MERAH  

PEDAGANG  
PENGUMPUL  
KECAMATAN  

PEDAGANG  PASAR   SUPLIER  


INDUK  

PEDAGANG  
KECIL/PASAR  
LOKAL   SUPERMARKET  

PEDAGANG  
KELILING/PASAR  
TRADISIONAL  

KONSUMEN  
RUMAH  TANGGA  

Gambar 4.2. Jalur Pemasaran Bawang Merah

35
BAB V
ASPEK KEUANGAN

36
BAB V – ASPEK Keuangan

5.1. Pemilihan Pola Usaha

Budidaya bawang merah dilakukan hampir di seluruh wilayah Indonesia,


kecuali provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan Barat. Melihat sebaran sentra
produksi bawang merah yang luas, usaha budidaya bawang merah
berkembang sebagai unit bisnis yang prospektif. Beberapa tahun terakhir,
permintaan terhadap bawang merah meningkat. Peningkatan ini selain
disebabkan bawang merah merupakan bumbu dasar aneka masakan
Indonesia, juga karena komoditas tersebut mulai diproduksi dalam bentuk
olahan seperti bawang goreng dan beberapa obat herbal. Oleh karena itu,
budidaya bawang merah tidak saja menjadi tradisi tetapi sudah merupakan
usaha yang berorientasi pada peningkatan pendapatan dan nilai tambah.
Usaha budidaya bawang merah pada daerah-daerah sentra produksi
merupakan mata pencaharian pokok sehingga pengelolaan dan budidayanya
berlangsung intensif.

Pola usaha budidaya bawang merah bervariasi dari hulu hingga hilir,
antara lain budidaya bawang merah konsumsi, budidaya bawang merah,
penangkar benih, hingga usaha lepas panen seperti pengolahan berbasis
bawang merah. Pola usaha bawang merah dapat dikelompokkan menjadi 2
kategori, yaitu pola usaha on-farm dan off-farm. Usaha yang termasuk dalam
kategori on-farm yaitu budidaya bawang merah untuk konsumsi rumah
tangga, budidaya bawang merah untuk bahan baku industri pangan olahan,
dan usaha budidaya benih bawang merah yang menghasilkan bawang merah
bersertifikasi. Hasil benih/bibit digunakan sebagai bahan tanam budidaya
bawang merah konsumsi dan industri. Sementara itu, pola usaha bawang
merah off-farm antara lain perdagangan bawang merah konsumsi dan industri,
pengepul hasil panen dari petani/kelompok tani, dan usaha penjualan sarana
produksi (saprodi) usaha budidaya bawang merah.

Dalam pemilihan pola usaha ini digunakan kriteria minimal bahwa


usaha tersebut bersifat ekonomis dan bankable. Kriteria lain yang menjadi
acuan dalam menentukan pola usaha adalah produktivitas yang optimal
(jumlah dan mutu) serta kepastian pasar dan harga jual (pola kemitraan atau
kesepakatan dengan pedagang besar). Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut,
pola usaha yang dilakukan adalah usaha budidaya bawang merah konsumsi
dengan pembudidaya (petani) yang minimal tergabung dalam kelompok
tani. Skala usaha bawang merah sangat tergantung pada ketersediaan
lahan, musim, kesepakatan harga, dan ketersediaan bibit bawang merah.
Fasilitas dan teknologi produksi yang diterapkan oleh petani/pengusaha
berbasis pengalaman budidaya bawang merah sesuai dengan POS (Prosedur
Operasional Standar) yang sebagian besar bukan merupakan usaha baru
sehingga dalam prakteknya petani tidak mengalami kesulitan dalam proses
produksi bawang merah.

37
BAB V – ASPEK Keuangan

5.2. Asumsi dan Parameter Dalam Analisis Keuangan

Setelah mengetahui pola usaha dan pemilihannya, ditetapkan asumsi dan


parameter yang akan digunakan untuk analisis kelayakan usaha dari sisi keuangan.
Asumsi dan parameter ini diperoleh berdasarkan kajian terhadap usaha budidaya
bawang merah di sentra produksi di Kabupaten Brebes serta informasi yang
diperoleh dari pengusaha yang bergerak di bidang bawang merah, pustaka dan
kajian komparasi dengan sentra produksi lainnya. Asumsi dan parameter untuk
analisis keuangan dapat dilihat pada Tabel 5.1.

TabelTabel
5.1.5.1. Asumsidalam
Asumsi dalam Analisis
AnalisisKeuangan
Keuangan
No. Asumsi Satuan Nilai
1 Periode produksi bulan 12
2 Periode proyeksi tahun 3
3 Musim tanam kali/tahun 3
4 Lama per musim tanam bulan 4
5 Luas lahan ha 1
6 Produktivitas kg/ha 10.000
7 Harga tetap
a Bibit bawang merah Rp/kg 25.000
b Jual bawang merah Rp/kg 15.000
c Jual bawang merah (off-grade) Rp/kg 12.000
d Kenaikan harga jual bawang merah Persen/th 0%
8 Off Grade Persen 2,5%
9 Suku bunga per tahun (flat) Persen 18%
10 Jangka waktu kredit
a Kredit investasi bulan 12
b. Kredit modal kerja bulan 12
11 Proporsi modal kerja
a Modal sendiri Persen 40%
b Kredit Persen 60%
12 Proporsi modal usaha
a Modal sendiri Persen 40%
b Kredit Persen 60%
13 Discount Factor Persen 18%
14 Pembayaran pinjaman setiap bulan 4

Dalam asumsi dan parameter keuangan yang tersusun, periode proyeksi


adalah selama 3 tahun dengan penyusunan aliran kas selama 12 bulan. Periode
proyeksi tersebut tidak menggambarkan pola investasi sebab siklus produk
(bawang merah) relatif singkat, yaitu 4 bulan dengan 3 kali musim tanam per

38
BAB V – ASPEK Keuangan

tahun. Tiap musim tanam harus diusahakan penanaman pada lahan baru yang
bukan bekas tanaman sejenis atau sefamili untuk memutus siklus hama dan
penyakit. Lahan yang digunakan merupakan lahan sewa yang masuk dalam biaya
tetap. Suku bunga yang berlaku diasumsikan 18% per tahun dengan proporsi
modal adalah sebesar 40% berasal dari petani/kelompok tani dan 60% berasal
dari kredit bank. Berdasarkan informasi dari lembaga keuangan/perbankan di
sekitar wilayah sentra produksi bawang merah, pinjaman atau kredit sebagian
besar digunakan untuk modal kerja dengan jangka waktu kredit diasumsikan
1 tahun. Selain sebagai modal kerja, beberapa debitur mempergunakan
kredit yang didapat sebagai biaya investasi dengan pembayaran bunga setiap
bulan dan pokok pinjaman saat panen. Satu siklus budidaya bawang merah
membutuhkan waktu selama 4 bulan, dan jangka waktu tersebut digunakan
untuk acuan pembayaran kredit oleh petani/kelompok tani.

5.3. Komponen dan Struktur Biaya Investasi dan Biaya


Operasional

Komponen biaya dalam analisis kelayakan usaha budidaya bawang merah


dibedakan menjadi dua yaitu biaya investasi dan dan biaya modal kerja. Biaya
investasi adalah komponen biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi keperluan
peralatan dan mesin-mesin yang digunakan saat usaha budidaya bawang
merah. Adapun biaya modal kerja merupakan gabungan dari biaya tetap (yang
diperhitungkan setiap musim tanam) dan biaya variabel. Biaya modal kerja
atau biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk memulai usaha budidaya
bawang merah akan dipersiapkan pada awal pelaksanaan budidaya. Sedangkan
kendaraan/sarana transportasi dihitung sebagai sewa yang tergantung pada
aktivitas usaha sehingga masuk ke dalam biaya variabel. Biaya operasional atau
biaya modal kerja adalah keseluruhan biaya yang harus dipersiapkan untuk
memulai usaha budidaya bawang merah.

5.3.1. Biaya Investasi

Budidaya bawang merah membutuhkan biaya investasi pada tahap awal usaha
berupa biaya pengadaan peralatan dan mesin budidaya. Besarnya biaya investasi
ini dipengaruhi oleh skala usaha (luas lahan budidaya bawang merah). Semakin
luas lahan budidayanya, maka semakin besar biaya investasinya. Namun dalam
penyusunan biaya investasi ini, asumsi lahan yang digunakan adalah 1 ha
dengan 3 musim tanam. Biaya investasi budidaya bawang merah adalah sebesar
Rp26.323.000 seperti tertera dalam Tabel 5.2.

5.3.2. Biaya Operasional

Seperti dijelaskan sebelumnya, biaya operasional dalam usaha budidaya bawang

39
BAB V – ASPEK Keuangan

Tabel Tabel 5.2. Biaya


5.2. Biaya Invwstasi
Investasi Budidaya
Budidaya BawangMerah
Bawang Merah per
perHektar
Hektar.
Harga Satuan
No. Komponen Biaya Jumlah Total (Rp)
(Rp)
A Alsintan
1 Pompa air mesin diesel 1 unit 10.000.000 10.000.000
2 Terpal (hasil panen) 42 m2 238.000 9.996.000

B Peralatan produksi
1 Parang 10 unit 50.000 500.000
2 Cangkul 10 unit 95.000 950.000
3 Selang air 21 m2 25.000 525.000
4 Sumur bor 8 m 50.000 400.000
5 Keranjang bambu pikulan 120 unit 30.000 360.000
6 Kored 40 unit 15.000 600.000
7 Ember 10 unit 5.000 50.000
8 Hand sprayer 5 unit 550.000 2.750.000
9 Terpal (saung) 12 m2 16.000 192.000
Jumlah Biaya Investasi 26.323.000

merah terdiri dari biaya variabel dan biaya tetap yang tergantung pada skala usaha
atau luas lahan yang dikelola. Total biaya variabel dalam usaha budidaya bawang
merah sebesar Rp104.380.000 per musim tanam atau sebesar Rp313.140.000
per tahun dengan pembagian komposisi biaya antara lain untuk bibit 47,90%,
pupuk 4,01%, bahan penunjang 7,38%, pestisida 4,83%, dan upah tenaga kerja
35,88%. Untuk komponen biaya tetap sebesar Rp6.750.000 per musim tanam
dengan komponen terbesar biaya sewa lahan sebesar 74,07%, perbaikan alat
22,22% dan sisanya untuk kegiatan administrasi, sumbangan dan komunikasi.
Total biaya tetap dalam setahun sebesar Rp20.250.000,-.

5.4. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja

Total biaya yang diperlukan dalam usaha budidaya bawang merah per hektar
per musim tanam adalah sebesar Rp137.453.000,-. Dari total biaya tersebut,
sesuai dengan asumsi awal yang ditetapkan, 40% dari biaya tersebut
diperoleh dari modal sendiri dan 60% sisanya diperoleh dari kredit lembaga
keuangan/perbankan dengan suku bunga 18% per tahun seperti ditunjukkan
pada Tabel 5.5.

Biaya investasi yang diperlukan untuk usaha budidaya bawang merah


berasal dari kredit dan dana pribadi dengan persentase sama dengan biaya
modal kerja. Kredit investasi budidaya bawang merah ini berjangka waktu 1

40
BAB V – ASPEK Keuangan

Tabel5.3.
Tabel 5.3.Biaya
BiayaVariabel
Variabel Usaha
Usaha Budidaya
Budidaya Bawang
BawangMerah
Merahper
perHektar
Hektar

Total Biaya Total Biaya


Harga
No. Komponen Biaya Volume Per Musim per Tahun
Satuan (Rp)
Tanam (Rp) (Rp)
1 BIBIT
Bibit bawang merah 2.000 kg 25.000 50.000.000 150.000.000
Jumlah (1) 50.000.000 150.000.000
2 PUPUK
Pupuk kandang 5.000 kg 200 1.000.000 3.000.000
Urea 200 kg 1.900 380.000 1.140.000
SP-36 250 kg 3.200 800.000 2.400.000
KCl 200 kg 5.000 1.000.000 3.000.000
ZA 300 kg 1.700 510.000 1.530.000
TSP 250 kg 2.000 500.000 1.500.000
Jumlah (2) 4.190.000 12.570.000
3 BAHAN PENUNJANG
BBM pompa air (solar) 1.400 liter 5.500 7.700.000 23.100.000
Jumlah (3) 7.700.000 23.100.000
4 PESTISIDA
Fungisida 16 liter 125.000 2.000.000 3.000.000
Insektisida 16 liter 190.000 3.040.000 4.560.000
Jumlah (4) 5.040.000 15.120.000
5 UPAH TENAGA KERJA
a. Pengolahan tanah 100 HOK 40.000 4.000.000 12.000.000
b. Penanaman 50 HOK 25.000 1.250.000 3.750.000
c. Penyiraman 800 HOK 20.000 16.000.000 48.000.000
d. Pemupukan 60 HOK 25.000 1.500.000 4.500.000
e. Pengendalian hama penyakit 300 HOK 40.000 12.000.000 36.000.000
f. Pemanenan 60 HOK 25.000 1.500.000 4.500.000
g. Pengangkutan 30 HOK 40.000 1.200.000 3.600.000
Jumlah (5) 37.450.000 112.350.000
Jumlah Biaya Variabel 104.380.000 313.140.000

Tabel5.4.
Tabel 5.4.Biaya
BiayaTetap
TetapUsaha
UsahaBudidaya
BudidayaBawang
BawangMerah
Merahper
per Hektar
Hektar
Harga Biaya Per Total Biaya
No. Komponen Biaya Jumlah satuan Musim per Tahun
(Rp) Tanam(Rp) (Rp)
1 Sewa lahan 1 musim 5.000.000 5.000.000 15.000.000
2 Perbaikan peralatan 1 musim 1.500.000 1.500.000 4.500.000
3 Administrasi 1 musim 250.000 250.000 750.000
Jumlah Biaya Tetap 6.750.000 20.250.000

tahun dengan pembayaran angsuran setiap akhir masa tanam atau paska panen.
Usaha budidaya bawang merah per hektar memerlukan biaya modal
kerja sebesar Rp111.130.000 per musim tanam. Proporsi pinjaman (kredit)
adalah 60% atau sebesar Rp 66.678.000 dan 40% modal sendiri, atau sebesar
Rp44.452.000,-. Bunga kredit yang ditetapkan adalah 18% per tahun atau 6%

41
BAB V – ASPEK Keuangan

Tabel 5.5.Tabel 5.5. Struktur


Struktur Kebutuhan
Kebutuhan Dana
Dana Usaha Budidaya
Usaha Budidaya Bawang Merah
Bawang per Hektar
Merah per Hektar

No Komponen Biaya Proyek % Total Biaya


1 Biaya Investasi
- Bersumber dari kredit 60% 15.793.800
- Dari dana sendiri 40% 10.529.200
Total Biaya Investasi 26.323.000

2 Biaya Modal Kerja


- Bersumber dari kredit 60% 66.678.000
- Dari dana sendiri 40% 44.452.000
Total Biaya Modal Kerja 111.130.000

3 Total Dana Proyek


- Bersumber dari kredit 60% 82.471.800
- Dari dana sendiri 40% 54.981.200
Jumlah Dana Proyek 137.453.000

per musim tanam dibayarkan angsuran pokok dan bunganya pada saat panen.
Dalam pelaksanaan usaha budidaya bawang merah, petani akan mengambil
kredit modal kerja sebanyak 2 kali, yaitu pada awal musim tanam ke-1 dan
awal musim tanam ke-4. Jangka waktu untuk masing-masing pinjaman adalah
1 tahun dengan angsuran masing-masing dilakukan sebanyak 3 kali yang
dibayarkan setiap panen (bayar panen). Estimasi pengembalian kredit modal

Tabel
Tabel 5.6.
5.6. AngsuranKredit
Angsuran KreditInvestasi
Investasi Usaha
Usaha Budidaya
BudidayaBawang
BawangMerah
Merahperper
Hektar
Hektar

Angsuran
Periode Kredit Bunga Total Saldo Awal Saldo Akhir
Tetap
Tahun 0 15.793.800 15.793.800 15.793.800
MT ke-1
Bulan ke-1 0 0 0
Bulan ke-2 0 0 0
Bulan ke-3 0 0 0
Bulan ke-4 5.264.600 947.628 6.212.228 15.793.800 10.529.200
MT ke-2
Bulan ke-5 0 0 0
Bulan ke-6 0 0 0
Bulan ke-7 0 0 0
Bulan ke-8 5.264.600 947.628 6.212.228 10.529.200 5.264.600
MT ke-3
Bulan ke-9 0 0 0
Bulan ke-10 0 0 0
Bulan ke-11 0 0 0
Bulan ke-12 5.264.600 947.628 6.212.228 0
Tahun 1 15.793.800 2.842.884 18.636.684

42
BAB V – ASPEK Keuangan

Tabel 5.7. Angsuran Kredit Modal Kerja Usaha Budidaya Bawang Merah per Hektar
Tabel 5.7. Angsuran Kredit Modal Kerja Usaha Budidaya Bawang Merah per Hektar

Angsuran
Periode Kredit Bunga Total Saldo Awal Saldo Akhir
Tetap
Tahun 0 66.678.000 66.678.000 66.678.000
MT ke-1
Bulan ke-1 0 0 0
Bulan ke-2 0 0 0
Bulan ke-3 0 0 0
Bulan ke-4 22.226.000 4.000.680 26.226.680 66.678.000 44.452.000
MT ke-2
Bulan ke-5 0 0 0
Bulan ke-6 0 0 0
Bulan ke-7 0 0 0
Bulan ke-8 22.226.000 4.000.680 26.226.680 44.452.000 22.226.000
MT ke-3
Bulan ke-9 0 0 0
Bulan ke-10 0 0 0
Bulan ke-11 0 0 0
Bulan ke-12 22.226.000 4.000.680 26.226.680 0
Tahun 1 66.678.000 12.002.040 78.680.040

Tahun 2 66.678.000 66.678.000 66.678.000


MT ke-4
Bulan ke-1 0 0 0
Bulan ke-2 0 0 0
Bulan ke-3 0 0 0
Bulan ke-4 22.226.000 4.000.680 26.226.680 66.678.000 44.452.000
MT ke-5
Bulan ke-5 0 0 0
Bulan ke-6 0 0 0
Bulan ke-7 0 0 0
Bulan ke-8 22.226.000 4.000.680 26.226.680 44.452.000 22.226.000
MT ke-6
Bulan ke-9 0 0 0
Bulan ke-10 0 0 0
Bulan ke-11 0 0 0
Bulan ke-12 22.226.000 4.000.680 26.226.680 0
Tahun 1 66.678.000 12.002.040 78.680.040

investasi dan kredit modal kerja ditampilkan pada Tabel 5.6 dan 5.7.
5.5. Produksi dan pendapatan

Pada asumsi yang telah disebutkan sebelumnya, produksi budidaya bawang


merah adalah sebesar 10 ton/ha per musim tanam dengan tingkat off grade
sebesar 2,5% atau 250 kg. Dengan demikian petani memanen 9.750 kg bawang
merah sesuai standar pasar. Harga untuk bawang merah sesuai standar pasar
adalah Rp15.000,00/kg, sedangkan bawang merah off grade dijual sebesar
Rp12.000/kg. Dari hasil panen, seluruhannya terserap oleh pasar lokal maupun
luar daerah sentra. Perkiraan pendapatan usaha per hektar untuk satu musim
tanam sebesar Rp149.250.000,- sehingga dalam setahun pendapatan usaha

43
BAB V – ASPEK Keuangan

Tabel
Tabel 5.8.5.8. Proyeksi
Proyeksi Produksidan
Produksi danPendapatan
Pendapatan Budidaya
BudidayaBawang
BawangMerah perper
Merah Hektar
Hektar
Penjualan per Penjualan
Produksi Bawang Harga Jual
No. Jumlah Musim Tanam per Tahun
Merah (Rp)
(Rp) (Rp)
1 Grade super 9.750 kg 15.000 146.250.000 438.750.000
2 Off-grade 250 kg 12.000 3.000.000 9.000.000
Jumlah Pendapatan 149.250.000 447.750.000

TabelProyeksi
Tabel 5.9. 5.9. Proyeksi Produksi
Produksi dandanPendapatan
Pendapatan Budidaya
BudidayaBawang MerahMerah
Bawang per Tahun
Per Tahun
Produk 1 2 3
Produk : Bawang Merah
- Jumlah Produksi (kg)
a. Bawang merah on grade 29.250 29.250 29.250
b. Bawang merah off grade 750 750 750
- Harga (Rp/kg)
a. Bawang merah on grade 15.000 15.000 15.000
b. Bawang merah off grade 12.000 12.000 12.000
- Nilai Penjualan (Rp)
a. Bawang merah on grade 438.750.000 438.750.000 438.750.000
b. Bawang merah off grade 9.000.000 9.000.000 9.000.000
TOTAL 447.750.000 447.750.000 447.750.000

mencapai Rp 447.750.000.
5.6. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point

Pada tahun pertama, usaha budidaya bawang merah diproyeksikan dapat


menghasilkan laba bersih (setelah pajak) sebesar Rp81.022.235,- dengan asumsi
seluruh produk atau hasil panen laku terjual. Dengan asumsi yang telah ditetapkan

Tabel
Tabel 5.10.
5.10. ProyeksiLaba-Rugi
Proyeksi Laba-Rugi Budidaya
BudidayaBawang
BawangMerah
Merahperper
Hektar
Hektar
Tahun
No Uraian Rata-rata (Rp)
1 2 3
A Total Penerimaan 447.750.000 447.750.000 447.750.000 447.750.000
B Pengeluaran
i. Biaya Variabel 313.140.000 313.140.000 313.140.000 313.140.000
ii. Biaya Tetap 20.250.000 20.250.000 20.250.000 20.250.000
iii. Depresiasi 4.194.800 4.194.800 4.194.800 4.194.800
iv. Angsuran Bunga 14.844.924 12.002.040 13.423.482
Total Pengeluaran 352.429.724 349.586.840 337.584.800 346.533.788

C R/L Sebelum Pajak 95.320.276 98.163.160 110.165.200 101.216.212


D Pajak (15%) 14.298.041 14.724.474 16.524.780 15.182.432
E Laba Setelah Pajak 81.022.235 83.438.686 93.640.420 86.033.780
F Profit on Sales 18,10% 18,64% 20,91% 19,21%
G BEP :
- Nilai Penjualan (Rp) 130.688.462 121.232.246 81.310.149 111.076.953
- Volume Produksi (Kg) 8.767 8.133 5.455 7.451

44
BAB V – ASPEK Keuangan

sebelumnya yaitu adanya kepastian pasar, harga yang konstan, dan produk
habis terjual maka pada tahun berikutnya hasil penjualan sama dengan tahun
sebelumnya. Net profit margin usaha budidaya bawang merah mencapai 18,10%
dengan asumsi selama masa proyeksi tidak terjadi perubahan produktivitas
maupun tingkat harga jual. Selain Net Profit Margin, pencapaian titik impas (BEP)
usaha budidaya bawang merah pada tahun pertama sebesar Rp130.688.462,-
dan tahun-tahun berikutnya berubah menjadi Rp121.232.246,- pada tahun ke-2
dan Rp81.310.149,- pada tahun ke-3.

5.7. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek

Pada usaha budidaya bawang merah, aliran kas (cash flow) dalam perhitungannya
dibagi dua, yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Aliran
arus masuk didapatkan dari total penjualan setiap panen bawang merah selama
musim tanam. Pada usaha budidaya bawang merah, setiap tahun dilakukan 3
kali musim tanam dengan tetap memperhatikan kondisi dan kesesuaian lahan.
Idealnya lahan tidak dapat dilakukan penanaman secara terus menerus untuk
tanaman sejenis. Lahan perlu diberi waktu untuk beberapa saat tidak ditanami

Tabel
Tabel 5.11.
5.11. ProyeksiArus
Proyeksi ArusKas
KasUsaha
Usaha Budidaya
BudidayaBawang
BawangMerah
Merahperper
Hektar
Hektar
Tahun
No Uraian
0 1 2 3
A Arus Masuk
1. Total Penjualan 447.750.000 447.750.000 447.750.000
2. Kredit
a. Investasi 15.793.800
b. Modal Kerja 66.678.000 66.678.000
3. Modal Sendiri
a. Investasi 10.529.200
b. Modal Kerja 44.452.000
4. Nilai Sisa Proyek 14.508.600
Total Arus Masuk 137.453.000 447.750.000 514.428.000 462.258.600
Arus Masuk unt IRR 336.620.000 447.750.000 462.258.600
B Arus Keluar
1. Biaya Investasi 26.323.000 360.000 410.000
2. Biaya Variabel 313.140.000 313.140.000 313.140.000
3. Biaya Tetap 20.250.000 20.250.000 20.250.000
4. Angsuran Pokok 82.471.800 66.678.000
5. Angsuran Bunga 14.844.924 12.002.040
6. Pajak 14.298.041 14.724.474 16.524.780
Total Arus Keluar 26.323.000 445.364.765 427.204.514 349.914.780
Arus Keluar untuk IRR 26.323.000 348.048.041 348.524.474 349.914.780
C Arus Bersih (NCF) 111.130.000 2.385.235 87.223.486 112.343.820
D Cash Flow untuk IRR -26.323.000 (11.428.041) 99.225.526 112.343.820
Discount Factor (18%) 1,0000 0,8475 0,7182 0,6086
Present Value -26.323.000 (9.684.781) 71.262.228 68.375.917
E Cummulative -26.323.000 (36.007.781) 35.254.447 103.630.364

45
BAB V – ASPEK Keuangan

bawang merah atau melakukan rotasi tanaman dengan tanaman lain seperti
padi, jagung, atau kedelai. Mengingat umur bawang merah hanya 60 hari (2
bulan) dalam satu siklus, maka 2 bulan sisanya digunakan untuk persiapan lahan
dan peristirahatan lahan dari kegiatan budidaya. Oleh karena itu, proyeksi arus
kas disusun per tahun dengan 3 kali musim tanam. Proyeksi arus kas budidaya
bawang merah per musim tanam disajikan pada Lampiran 10 sedangkan untuk
proyeksi per tahun selama 3 tahun ditunjukkan pada Tabel 5.11.

Pada usaha budidaya bawang merah, evaluasi profitabilitas rencana


investasi dilakukan dengan menilai kriteria investasi untuk mengukur kelayakan
usaha budidaya bawang merah yaitu NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate
of Return), dan Net B/C Ratio (Net Benefit-Cost Ratio). Sesuai asumsi, usaha
budidaya bawang merah per hektar menghasilkan NPV Rp103.630.364,- pada
tingkat bunga 18% dengan nilai IRR 118,50% dan Net B/C Ratio sebesar 4,94
(Tabel 5.12). Usaha budidaya bawang merah per hektar selama masa proyeksi
sudah layak untuk dilaksanakan dengan Pay Back Period (PBP) selama 1,51
tahun. Selama semua faktor biaya variabel tergantung pada luas lahan yang
dikelola, maka dalam analisis yang diperlukan adalah luas lahan minimal yang
masih layak yaitu seluas 4,76 ha. Untuk skala yang lebih besar, dengan asumsi

Tabel Tabel
5.12.5.12. Kriteria
Kriteria KelayakanUsaha
Kelayakan Usaha Budidaya
Budidaya Bawang Merah
Bawang per Hektar
Merah per Hektar

Kriteria Kelayakan Nilai Justifikasi Kelayakan


NPV (Rp) Rp103.630.364 > 0
IRR 118,50% > suku bunga (18%)
Net B/C 4,94 > 1
PBP (tahun) 1,51 < periode proyeksi (3 tahun)

yang sama maka usaha budidaya bawang merah masih layak untuk diusahakan.
5.8. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha

Secara umum, biaya produksi dan pendapatan dijadikan patokan untuk mengukur
kelayakan usaha dalam analisis kelayakan proyek karena merupakan komponen inti
dalam suatu kegiatan usaha. Selain itu, komponen biaya produksi dan pendapatan
didasarkan pada asumsi dan proyeksi sehingga memiliki tingkat ketidakpastian
yang cukup tinggi. Dalam rangka mengurangi dan mengantisipasi resiko,
diperlukan analisis sensitivitas untuk menguji tingkat sensitivitas proyek terhadap
perubahan input maupun output. Dalam pola pembiayaan usaha budidaya bawang
merah digunakan tiga skenario sensitivitas yang didasarkan pada perubahan harga
produk yang menyebabkan penurunan pendapatan, kenaikan biaya variabel, dan
kombinasi keduanya.

a. Skenario 1

46
BAB V – ASPEK Keuangan

Usaha budidaya bawang merah memiliki ketergantungan tinggi terhadap


(umbi bawang merah). Akibatnya, produktivitas akan menurun apabila umbi
yang ditanam berkualitas kurang baik. Selain itu, musim juga mempengaruhi
produktivitas budidaya bawang merah. Apabila musim hujan, usaha budidaya
bawang merah sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Oleh
karena itu, pengetahuan yang cukup luas dalam pengendalian hama penyakit
bawang merah mutlak diperlukan. Dalam struktur aliran kas, penurunan produksi
mengakibatkan penurunan pendapatan. Penurunan pendapatan sebesar 10%
menyebabkan usaha budidaya bawang merah masih layak diusahakan, tetapi
penurunan pendapatan di atas 10% menyebabkan usaha tidak layak.

TabelTabel 5.13.
5.13. SensitivitasPenurunan
Sensitivitas Penurunan Produksi/Penurunan
Produksi/Penurunan Pendapatan
Pendapatan
Pendapatan
Kriteria Kelayakan Justifikasi Kelayakan
Turun 10% Turun 11%
NPV (Rp) Rp6.277.294 - Rp3.458.013 >0
IRR 23,26% 15,14% > suku bunga (18%)
Net B/C 1,24 0,87 >1
PBP (tahun) 2,85 3,09 <periode proyeksi (3 tahun)
Penilaian Layak Tidak Layak

b. Skenario 2
Sensitivitas kenaikan biaya produksi, terutama biaya variabel, sangat
mungkin terjadi melihat perkembangan pasar bebas yang sulit dibendung
sehingga memunculkan asumsi peningkatan biaya produksi/variabel sedangkan
pendapatan dianggap tetap/konstan. Pada usaha budidaya bawang merah,
47,9% dari total biaya variabel digunakan untuk biaya benih/umbi bawang
merah. Sedangkan sisanya digunakan untuk komponen biaya tenaga kerja,
biaya pupuk, dan obat-obatan serta biaya penunjang lainnya. Apabila terjadi
peningkatan biaya produksi hingga 15% maka usaha budidaya bawang merah
masih layak dilakukan. Namun apabila peningkatan biaya produksi mencapai
16%, maka usaha budidaya bawang merah menjadi tidak layak dilakukan karena
nilai NPV negatif, IRR lebih kecil dari suku bunga dan net B/C ratio lebih rendah

TabelTabel
5.14.5.14. SensitivitasPeningkatan
Sensitivitas Peningkatan Biaya Variabel
Biaya Variabel
Biaya Variabel
Kriteria Kelayakan Justifikasi Kelayakan
Naik 15% Naik 16%
NPV (Rp) Rp1.502.590 - Rp5.305.928 >0
IRR 19,25% 13,63% > suku bunga (18%)
Net B/C 1,06 0,80 >1
PBP (tahun) 2,96 3,14 <periode proyeksi (3 tahun)
Penilaian Layak Tidak Layak

47
BAB V – ASPEK Keuangan

dari 1.
c. Skenario 3
Penurunan harga bawang merah dapat terjadi karena kenaikan biaya produksi
seiring dengan peningkatan harga sarana produksi dapat juga terkombinasi
dengan turunnya jumlah produk yang terjual ataupun turunnya nilai jual produk
bawang merah. Sensitivitas kombinasi tersebut memperlihatkan bahwa pada
saat terjadinya kenaikan biaya variabel sebesar 6% dan secara bersamaan
terjadinya penurunan pendapatan sebesar 6%, maka usaha budidaya bawang
merah masih dinilai layak, namun lebih dari nilai tersebut akan menyebabkan

Tabel 5.15.
Tabel 5.15. Sensitivitas
SensitivitasKombinasi
Kombinasi
Kombinasi
Biaya Variabel Naik Biaya Variabel Naik
Kriteria Kelayakan 6% dan 7% dan Justifikasi Kelayakan
Pendapatan Turun Pendapatan Turun
6% 7%
NPV (Rp) Rp4.367.412 - Rp12.176.413 >0
IRR 21,65% 8,06% > suku bunga (18%)
Net B/C 1,17 0,54 >1
PBP (tahun) 2,89 3,34 <periode proyeksi (3 tahun)
Penilaian Layak Tidak Layak

usaha tidak layak.

Dari ketiga skenario tersebut, meskipun harga bibit dan upah tenaga kerja
memiliki proporsi pengeluaran yang cukup besar, namun usaha budidaya
bawang merah masih layak. Hal-hal yang perlu dicermati dalam usaha budidaya
bawang merah adalah ketersediaan lahan dan musim yang dapat berakibat pada
produktivitas. Apabila produktivitas menurun maka dapat terjadi penurunan
faktor kelayakan yang cukup signifikan. Selain itu, kebijakan pemerintah
khususnya terhadap impor bawang merah juga dapat membuat harga bawang
merah lokal terkoreksi.

5.9. Kendala Keuangan

Permodalan tetap menjadi kendala yang harus diperhatikan dalam usaha


berbasis komoditas pertanian seperti budidaya bawang merah. Berbagai skim
pembiayaan telah diterapkan dan diterima oleh petani/pengusaha bawang
merah, namun usaha ini belum berkembang secara maksimal dan profesional
sehingga kurang menarik bagi lembaga keuangan untuk membiayainya.
Program pembiayaan yang saat ini sudah ada lebih diarahkan untuk penguatan
produksi dalam bentuk pembiayaan modal kerja sementara untuk investasi

48
BAB V – ASPEK Keuangan

usaha rata-rata sudah dimiliki oleh petani/pengusaha bawang merah. Hal ini
disebabkan dalam skala produksi satu hektar, biaya investasi yang dikeluarkan
relatif kecil dibandingkan dengan biaya modal kerja. Namun pada skala usaha
yang lebih luas, biaya investasi berpengaruh terhadap kelayakan usaha. Untuk
itu, pihak lembaga keuangan perlu memberikan porsi yang cukup untuk
pembiayaan investasi budidaya bawang merah. Selain itu, perlunya agunan
dalam persyaratan pengajuan kredit juga dirasa berat oleh petani bawang
merah. Petani/pengusaha pada umumnya takut menjaminkan agunan ke pihak
bank karena usaha bawang merah sangat rentan terhadap perubahan harga
atau produktivitas hasil panen.

Pemerintah belum mampu menguatkan daya jual produk bawang merah


karena pembiayaan untuk penguatan pasar belum langsung menjangkau pada
pelayanan di tingkat petani. Pasar lelang yang diselenggarakan oleh pihak
pemerintah hanya diikuti oleh pedagang besar bawang merah. Pasar lelang
tersebut juga belum kontinyu padahal jual beli bawang merah di masyarakat
terjadi setiap hari. Program seperti PUAP juga belum maksimal dalam
memperkuat pasar karena jumlah dana yang dialokasikan masih tergolong kecil
untuk menampung hasil kelompok tani bawang merah. Dalam pola kemitraan
yang dilakukan beberapa petani/kelompok tani dengan pihak industri
pengolahan bawang merah, pihak petani/kelompok tani belum memiliki
kekuatan untuk akses pembiayaan. Dokumen kontrak yang dibuat masih perlu
disesuaikan dengan persyaratan dari perbankan agar dapat digunakan sebagai
jaminan atas usaha yang dilakukan. Hal ini menyebabkan terbatasnya kredit
yang diberikan kepada petani sehingga ketika petani membutuhkan modal
besar untuk investasi sewa lahan bagi pengembangan usaha budidaya bawang
merah yang dilakukannya menemui kesulitan. n

49
BAB VI
ASPEK EKONOMI,
SOSIAL DAN DAMPAK
LINGKUNGAN

50
BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN

6.1. Aspek Ekonomi dan Sosial

Usaha budidaya bawang merah merupakan mata pencaharian pokok yang


dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Brebes. Usaha ini
sudah dilakukan secara turun temurun sehingga pengetahuan mengenai
teknik bercocok tanam bawang merah juga dilakukan melalui garis keturunan.
Apabila dilakukan dengan profesional, usaha budidaya bawang merah dapat
meningkatkan pendapatan petani/pengusaha bawang merah sehingga
penjualan hasil panen bawang merah dapat digunakan untuk kebutuhan primer,
biaya pendidikan keluarga, kebutuhan sekunder, dan tersier.

Usaha budidaya bawang merah juga menyerap banyak tenaga kerja


sehingga dampak ekonomi yang dirasakan juga cukup besar. Hal ini dapat
berdampak pada menurunnya arus urbanisasi ke kota besar dan mengurangi
tingkat pengangguran di Kabupaten Brebes. Mengingat masyarakat Brebes
sebagian besar beragama Islam, petani bawang merah sebagian besar
memberikan sedekah dan sumbangan kepada pondok pesantren, masjid,
masyarakat yang kurang mampu, atau kegiatan-kegiatan sosial yang terjadi di
sekitar lingkungannya. Hasil panen bawang merah juga dapat disisihkan untuk
menunaikan ibadah haji yang memang membutuhkan dana yang cukup besar.
Hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya bawang merah ini memberikan
dampak sosial yang positif terhadap masyarakat. Perekonomian di Kabupaten
Brebes sangat terpengaruh juga oleh harga dan permintaan bawang merah.
Bila harga bawang merah tinggi dan petani memperoleh untung yang cukup
besar, maka penjualan barang-barang kebutuhan seperti baju, sepeda motor,
perhiasan, dan mesin sarana produksi pertanian juga meningkat, begitu juga
apabila terjadi hal sebaliknya.

Usaha budidaya bawang merah juga dapat mensinergikan kebijakan


pemerintah, pengabdian masyarakat oleh lembaga pendidikan tinggi,
pengembangan IPTEK serta kemitraan dengan usaha sektor lain. Namun
koordinasi sangat diperlukan agar sinergi antar berbagai pihak tersebut dapat
lebih maksimal. Seiring berjalannya waktu, kemitraan pemasaran tidak hanya
melibatkan petani, lembaga penelitian dan perusahaan pengolahan tetapi
juga mampu menarik pihak lain seperti lembaga pembiayaan dan usaha
sektor lain (pedagang-pedagang sarana produksi pertanian) sehingga mampu
memberikan dampak yang cukup besar bagi perputaran roda perekonomian
masyarakat.

6.2. Dampak Lingkungan

Kabupaten Brebes sangat tergantung dengan usaha budidaya bawang merah


mengingat lebih dari 70% perekonomian Kabupaten Brebes berasal dari

51
BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN

budidaya komoditas tersebut. Usaha budidaya bawang merah di sini juga


sudah berlangsung sangat lama, rata-rata sekitar 25 tahun. Selain karena faktor
sumberdaya manusia yang mencukupi, usaha budidaya bawang merah di Brebes
berkembang karena lingkungan yang mendukung. Adanya peningkatan harga
dari tahun ke tahun membawa perubahan terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat Brebes. Perubahan ini ditunjukkan dengan semakin tingginya daya
beli masyarakat terhadap barang kebutuhan primer, sekunder bahkan barang
pelengkap yang bersifat tersier (sepeda motor atau mobil). Peningkatan taraf
hidup masyarakat membuktikan bahwa usaha budidaya bawang merah sangat
bermanfaat jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi.

Peningkatan taraf hidup tersebut membuka peluang untuk meningkatkan


derajat kesehatan dan pendidikan masyarakat. Meningkatnya derajat kesehatan
dan pendidikan dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Beberapa indikator Indeks Pembangunan Manusia antara lain daya beli, derajat
kesehatan, dan tingkat pendidikan masyarakat. Keberhasilan pembangunan
juga ditentukan oleh pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan agar
tercapai program pembangunan berkelanjutan yang merupakan keseimbangan
antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya alam.

Di sisi lain, pengelolaan usaha budidaya bawang merah secara intensif


memberikan potensi kerusakan lahan di Kabupaten Brebes. Penggunaan
bahan kimia berupa pupuk dan pestisida yang tidak terkontrol juga dapat
memberikan ancaman kepada lingkungan di sekitar lahan budidaya. Dengan
demikian, hasil yang didapat dari usaha budidaya bawang merah di Kabupaten
Brebes memberi manfaat secara ekonomi dan sosial namun cenderung
memberi risiko yang cukup tinggi bagi terjadinya kerusakan lingkungan.

Lahan-lahan di Kabupaten Brebes sebagian besar merupakan lahan tadah


hujan yang sumber pengairannya dari curah hujan. Pemenuhan kebutuhan
air pada usaha bawang merah dilakukan dengan membuat sumur bor yang
kemudian dipompa dengan menggunakan mesin pompa diesel. Penggunaan
air tanah yang berlebihan pada usaha budidaya bawang merah mengakibatkan
keringnya sumur-sumur yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari manusia.
Tanah di lahan yang digunakan untuk budidaya bawang merah juga mengeras
karena proposi tanah yang seharusnya berisi air menjadi kosong, sehingga
pengelolaan tanah dalam budidaya bawang merah semakin sulit untuk
dilakukan.

Pola tanam monokultur dan sepanjang tahun dapat menyebabkan


terjadinya erosi tanah yang cukup tinggi. Kondisi ini menjadi faktor pemicu
semakin menurunnya tingkat kesuburan tanah yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan degradasi lahan. Penggunaan pola tanam polikultur, adanya
tanaman pohon, atau memberikan tanah masa istirahat merupakan cara-cara

52
BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN

yang dapat mengembalikan kemampuan tanah dalam mendukung siklus


hidup tanaman bawang merah. Namun cara-cara ini tidak dilakukan oleh petani
karena usaha budidaya bawang merah merupakan mata pencaharian pokok
petani di Brebes.

Penggunaan pupuk organik yang masih minim juga meningkatkan laju


kerusakan tanah. Bahan organik tanah mempunyai pengaruh langsung dan
tidak langsung terhadap ketersediaan hara bagi tanaman dan merupakan pakan
yang sangat penting bagi organisme tanah. Ketika bahan organik mengalami
dekomposisi, unsur-unsur hara akan dibebaskan ke tanah dalam bentuk
yang dapat digunakan tanaman. Proses pelepasan ini disebut mineralisasi,
membebaskan unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Untuk
menjaga daur tersebut, maka laju penambahan bahan organik harus sama
dengan laju dekomposisi, laju penyerapan hara oleh tanaman dan kehilangan
hara melalui pencucian dan erosi. Bahan organik tanah juga dapat mengatur
pasokan hara tanaman melalui kemampuannya berinteraksi dengan ion-ion
logam dengan membentuk kompleks bahan organik-logam. Kompleks bahan
organik logam merupakan bentuk yang sangat efektif mengikat unsur-unsur
hara mikro seperti Fe, Cu, Mn, dan Zn. Ikatan semacam itu disebut kelat dan
merupakan bentuk yang mudah tersedia bagi tanaman. Fungsi lainnya yaitu
menghalangi pengaruh perubahan yang dapat membuat unsur-unsur tersebut
tidak tersedia bagi tanaman misalnya pH tinggi dan menghalangi pencucian
unsur-unsur tersebut. Pembentukan bahan organik-logam juga dapat
mengurangi toksisitas logam seperti Al dan Mn pada tanah-tanah masam atau
karena penggunaan herbisida.

Penggunaan pupuk kimia berlebihan juga berbahaya bagi lingkungan.


Petani bawang merah di Brebes umumnya hanya melihat gejala pada tanaman
seperti tanaman pertumbuhannya lambat dan kerdil. Akibatnya, petani
cenderung meningkatkan penggunaan pupuk kimia untuk memperoleh
hasil yang maksimal. Metode paling baik untuk membuat rekomendasi
jumlah pupuk optimal didasarkan serangkaian percobaan lapang yang
dilaksanakan di lahan percobaan dan tanah petani. Percobaan ini meliputi
tentang perlakuan pupuk untuk mendapatkan dosis optimum, waktu
pemupukan, dan cara pemupukan. Setiap percobaan akan memberikan
hasil pasti untuk tanah dan tanaman tertentu. Dengan melakukan percobaan
memungkinkan untuk penetapan keragaman kebutuhan pupuk dan
mengorelasikan keragaman ini dengan sifat-sifat tanah. Jumlah kebutuhan
pupuk dapat dihubungkan dengan status hara yang ditunjukkan oleh hasil
analisis tanah, tipe tanah, penanaman sebelumnya, pupuk organik yang
digunakan dan sifat-sifat tanaman. Jumlah hara yang diambil pada saat panen
sangat beragam antar tanaman dan mempengaruhi tingkat hasil tanaman.
Perhitungan hara yang terambil atau terangkut saat panen diperlukan agar
rekomendasi pemupukan menjaga status hara.

53
BAB VI – ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Bawang merah merupakan salah satu jenis tanaman yang tingkat serangan
hama dan penyakitnya tinggi. Hama utama adalah ulat grayak, sedangkan
penyakit utama adalah embun upas yang dapat mengakibatkan gagal panen.
Hal ini membuat petani bawang merah cenderung menggunakan pestisida
secara berlebihan untuk mengendalikan dan mengantisipasi serangan
hama dan penyakit tersebut, meskipun dapat mengancam lingkungan serta
meninggalkan residu pada bawang merah yang mempengaruhi mutu produk
tersebut. Tak heran bila kendala utama dalam produksi dan pemasaran untuk
komoditas bawang merah pada perdagangan regional maupun internasional
saat ini adalah pada aspek mutu dan keamanan pangan.

Usaha peningkatan keamanan pangan produk pertanian, khususnya


bawang merah, telah dilakukan. Melalui program pengendalian hama-penyakit
terpadu (PHT) membuktikan bahwa produksi hasil pertanian dilakukan tidak
hanya mempertimbangkan aspek tingginya tingkat produksi, tetapi juga aspek
keberlanjutan produksi, kelestarian lingkungan, dan keamanan pangan. Namun
sejauh ini belum mampu menjawab berbagai persoalan keamanan pangan
disebabkan praktik produksi yang menyimpang dari anjuran.

Adanya kasus penolakan produk ekspor Indonesia oleh beberapa negara


juga menunjukkan bahwa penanganan aspek keamanan pangan di Indonesia
masih belum optimal. Aspek mutu dan keamanan pangan merupakan masalah
utama dalam produksi dan pemasaran bawang merah. Hal ini juga terkait
dengan semakin meningkatnya kepedulian konsumen terhadap mutu dan
kesehatan. Bawang merah Indonesia umumnya mempunyai masalah mutu yang
tidak konsisten dan tingkat kontaminan yang cukup tinggi. Penerapan teknologi
produksi dan penanganan pasca panen yang seadanya mengakibatkan
inkonsistensi mutu tersebut. Kedua faktor ini dan faktor penggunaan pupuk
serta pestisida yang tidak proporsional telah membawa produk bawang merah
Indonesia pada status jaminan keamanan pangan yang rendah dan tingkat
kontaminasi yang tinggi. n

54
55
BAB VII
KESIMPULAN DAN
SARAN

56
Komoditi PAdi | Peningkatan
BAB VII – Kesimpulan
Akses Pemasaran
dan saran

7.1. Kesimpulan

Bawang merah merupakan bahan bumbu/rempah utama berbagai masakan


Indonesia. Karena itu permintaan terhadap komoditi ini cenderung stabil
dan meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Nilai ekonomi
tinggi yang dimiliki bawang merah menjadi magnet penggerak bagi petani
untuk menanam bawang merah. Prospek dan peluang usaha yang tinggi
dapat diarahkan sebagai unit bisnis yang mampu meningkatkan pendapatan
dan memberikan nilai tambah produk bawang merah. Melalui kajian pola
pembiayaan usaha budidaya bawang merah ini, dapat disimpulkan beberapa
poin penting antara lain:

1. Usaha budidaya bawang merah memiliki prospek dan peluang usaha yang
cukup baik di masa yang akan datang. Hal ini menjadi salah satu faktor pihak
lembaga keuangan baik perbankan maupun lembaga pembiayaan non-
bank untuk memberikan kredit kepada petani bawang merah. Kredit yang
dikucurkan dapat berupa kredit investasi ataupun kredit modal kerja. Namun
sebagian besar petani bawang merah yang mengajukan permohonan
bantuan pembiayaan untuk modal kerja karena modal investasi untuk
budidaya bawang merah sudah diadakan sendiri oleh petani.

2. Beberapa hal yang penting diperhatikan dalam budidaya bawang merah


antara lain pemilihan lokasi tanam, penentuan musim tanam, pengetahuan
mengenai cara budidaya bawang merah, pengadaan bibit dan pengendalian
hama penyakit bawang merah. Lokasi yang ideal bagi budidaya bawang
merah adalah dataran rendah dengan bulan basah yang cenderung
pendek namun kebutuhan air tanaman dapat tercukupi. Faktor angin juga
menjadi penentu dalam keberhasilan budidaya bawang merah. Daerah
sentra bawang merah pada umumnya mempunyai angin lokal yang dapat
menunjang pertumbuhan tanaman bawang merah. Faktor-faktor tersebut
bisa ditemui di daerah Brebes yang merupakan sentra bawang merah
terbesar di Indonesia.

3. Keterbatasan lahan perlu diperhatikan dalam pengembangan usaha


budidaya bawang merah dengan mempertimbangkan ketersediaan air
tanah, jenis tanah, dan cuaca. Budidaya bawang merah juga tidak dapat
dilakukan secara kontinyu pada lahan yang sama karena lahan membutuhkan
fase istirahat. Apabila dipaksakan penanaman pada lahan yang sama selama
satu tahun penuh maka mengancam keseimbangan hara tanah yang
mengakibatkan penurunan hasil produksi.

4. Dalam praktik budidaya bawang merah, bibit merupakan faktor penentu


terutama dalam hal ketersediaannya, mutu dan harga bibit. Bibit
menyumbang hampir separuh dari total dana modal kerja, sehingga

57
BAB VII – Kesimpulan dan saran

pemilihan bibit yang bermutu tinggi merupakan syarat mutlak agar produksi
dan budidaya bawang merah bisa optimal.

5. Usaha budidaya bawang merah membutuhkan dana yang besarannya


tergantung pada penggunaan lahan (luasan dan kepemilikan). Total modal
kerja yang digunakan untuk budidaya bawang merah per hektar per tahun
(dengan asumsi 3 musim tanam) adalah sebesar Rp111.130.000,- dengan
biaya investasi sebesar Rp26.323.000,-. Biaya investasi pada umumnya
menggunakan dana pribadi dari petani bawang merah dan kredit perbankan.
Dengan asumsi bahwa 60% modal kerja bersumber dari kredit dari lembaga
keuangan/perbankan, maka kredit modal kerja yang diperlukan adalah
sebesar Rp66.678.000,-, sedangkan selebihnya Rp44.452.000,- merupakan
dana milik petani. Bunga untuk kredit sebesar 18% per tahun dengan grace
period 3 bulan untuk setiap musim tanamnya dengan jangka pinjaman
selama 1 tahun.

6. Usaha budidaya bawang merah per hektar sesuai dengan asumsi yang ada
menghasilkan NPV Rp103.630.364,- pada tingkat suku bunga 18% dengan
nilai IRR adalah 118,50% dan net B/C Ratio 4,94. Berdasarkan kriteria dan
asumsi yang ada menunjukkan bahwa usaha budidaya bawang merah per
hektar selama masa proyeksi sudah layak untuk dilakukan dengan Pay Back
Period (PBP) selama 1,51 tahun.

7. Dari hasil budidaya bawang merah, petani-petani di Brebes dapat


meningkatkan pendapatan dan status sosial di masyarakat. Laba yang
cukup besar dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan dasar
rumah tangga serta untuk membeli barang-barang kebutuhan sekunder
dan tersier. Petani dan pengusaha bawang merah yang bekerja secara
profesional mampu menjalankan ibadah haji dan memiliki pendapatan
yang cenderung stabil. Untuk petani dan pengusaha yang memiliki
rencana pengembangan lahan, keuntungan yang didapat dari usaha
budidaya bawang merah digunakan untuk membeli tanah atau perluasan
areal tanam. Namun usaha budidaya bawang merah yang intensif juga
memiliki resiko terutama berkaitan dengan lingkungan. Pengembangan
budidaya bawang merah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan perlu
dipertimbangkan dan ditindaklanjuti.

7.2. Saran

Berdasarkan profil agribisnis bawang merah saat ini dan mengacu pada profil
agribisnis bawang merah yang ingin diwujudkan pada masa yang akan datang,
maka program revitalisasi agribisnis dan budidaya bawang merah dapat
dirancang mencakup beberapa kegiatan utama, yaitu:

58
BAB VII – Kesimpulan dan saran

1. Pengembangan sarana dan prasarana agribisnis bawang merah. Sarana dan


prasarana yang perlu dikembangkan mencakup: pengadaan dan perbaikan
jaringan irigasi, perbaikan dan penambahan jalan desa, penyediaan sarana
produksi, pembangunan gudang-gudang penyimpanan, perbaikan dan
penyediaan fasilitas pasar, pembangunan jaringan informasi (periode
panen, prediksi pasokan, kelas/varietas, dan harga), serta sarana diseminasi
dan transfer teknologi (sumberdaya manusia dan fisik).

2. Pengembangan industri benih bawang merah. Pembenahan sistem


perbenihan bawang merah perlu dimulai dari fase perakitan varietas. Pada
saat ini, rangkaian kegiatan pemuliaan dilakukan berdasarkan pendekatan
program pemuliaan yang disusun oleh lembaga penyelenggara
pemuliaan. Di masa depan, semua tahapan tersebut di atas dilakukan
dengan pendekatan industri, yang pelaksanaannya dapat distandarisasikan
mengacu pada sistem mutu. Mekanisme baru ini membutuhkan
transformasi sistem perakitan varietas dari pendekatan program pemuliaan
ke industri pemuliaan. Transformasi ini membawa konsekuensi perubahan
penyelenggaraan kegiatan pemuliaan yang semula didominasi oleh
lembaga pemerintah selanjutnya secara bertahap diserahkan kepada
pihak swasta.

3. Pemberdayaan sentra produksi bawang merah. Sentra produksi bawang


merah secara bertahap direvitalisasi menjadi sentra agribisnis bawang
merah yang dicirikan oleh: (a) pengusahaan bawang merah yang memiliki
economies of scale melalui penerapan konsolidasi pengelolaan lahan
usaha, (b) kelembagaan petani yang tangguh, tidak saja dalam menangani
aspek produksi, tetapi juga aspek pemasaran hasil dan pendanaan
usahatani, (c) penerapan SPO (Standar Prosedur Operasional) bawang
merah spesifik lokasi yang berbasis GAP (Good Agricultural Practices), dan
(d) terintegrasi dengan pelayanan pasar input serta industri pengolahan.

4. Penambahan sentra produksi baru bawang merah. Perluasan sentra produksi/


agribisnis baru terutama ditempuh dengan mengacu pada kesesuaian
agroklimat bawang merah, bukan pada pemanfaatan lahan marjinal.

5. Pembangunan pabrik pengolahan produk bawang merah. Pengolahan


produk bawang merah harus dirancang tidak hanya untuk mengatasi
masalah surplus produksi saja. Pengembangan pabrik pengolahan harus
diarahkan sebagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah melalui
diversifikasi produk, dengan menggunakan bahan baku berkualitas prima
(sesuai persyaratan olah).

Beberapa strategi untuk menunjang program-program sesuai saran di atas


adalah:

59
BAB VII – Kesimpulan dan saran

1. Strategi pengembangan di lini on-farm mencakup: perakitan varietas


unggul, penguatan sistem produksi benih sumber, pengelolaan hara dan air
terpadu, pengendalian hama penyakit terpadu, serta perbaikan mutu dan
daya simpan produk. Langkah-langkah strategis tersebut diarahkan untuk
meningkatkan efisiensi usahatani bawang merah dan daya saing produk.

2. Strategi pengembangan di lini off-farm diawali dengan perbaikan teknologi


pengolahan untuk mendukung pengembangan industri hilir bawang merah
(skala rumah tangga maupun industri), misalnya industri irisan kering, irisan
basah/utuh, pickles/acar, bawang goreng, bubuk bawang merah, tepung
bawang merah, oleoresin, minyak bawang merah, dan pasta. Pengembangan
industri hilir diarahkan untuk meningkatkan efisiensi pengolahan bawang
merah.

3. Strategi pengembangan di lini kebijakan pemerintah mencakup: (a)


dukungan kebijakan perlindungan harga produsen termasuk proteksi bea
masuk atas membanjirnya bawang merah dari luar negeri, (b) pengendalian
harga untuk mengurangi fluktuasi harga, (c) permodalan skim kredit
lunak dan mudah bagi petani, (d) pengawasan karantina atas lalu lintas
komoditas antar negara, (e) penyediaan sarana pengairan/irigasi sederhana,
(f) pengembangan sarana dan prasarana pendukung operasionalisasi
kelembagaan usahatani dan pemasaran, serta (g) jaminan keamanan dan
insentif bagi calon investor. Berbagai dukungan kebijakan tersebut terutama
diarahkan untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi peningkatan
investasi dan perbaikan distribusi.

4. Strategi pengembangan di lini pemasaran dan perdagangan mencakup


pengembangan unit usaha bersama (koperasi atau usaha berbadan
hukum lain) serta pengembangan sistem informasi (harga, penawaran dan
permintaan produk) untuk mendukung upaya menangkap peluang pasar.
Pengembangan pasar bawang merah harus dilakukan sejalan dengan
perkembangan di sisi on-farm, sehingga manfaat penuh bagi produsen dan
konsumen dapat tercapai. Langkah strategis pengembangan pasar yang
didukung kebijakan pemerintah, terutama pemberian skim kredit usaha
mikro, kecil dan menengah dapat mengarah pada peningkatan efisiensi
pemasaran bawang merah.

Langkah-langkah strategis di atas, pada dasarnya diarahkan untuk


meningkatkan efisiensi produksi, pengolahan, distribusi dan pemasaran bawang
merah. Hal ini perlu ditempuh dalam upaya mencapai kondisi ideal profil agribisnis
bawang merah masa depan yang memiliki karakteristik: (a) sebagai produsen dan
eksportir terbesar di Asia Tenggara, (b) sebagai sumber pendapatan tinggi bagi
semua partisipan di sepanjang rantai pasokan, (c) tingkat produktivitas tinggi,
serta (d) daya saing produk tinggi. n

60
61
INFO UMKM

INFO INF
UMKM PADA
FO UMKM WEBSITE
M PADA BANK INDONESIA
 WEBSITTE BANK INDONESIA 
htttp://jktbiwffe/id/umkm
http://jktbiwfe/id/umkm/Default.aspx m/Default.asspx 
INFFO UMKMM PADA WEBSITTE BANK INDONESIA 
 
htttp://jktbiwffe/id/umkm
m/Default.asspx 
pada website Bank Indonesia www.bi.go.id terdapat minisite Info UMKM yang
Padawebbsite Baank informasi
Ind
donesia   o.idterdapa
www.bi.go atminisite Inffo simulasi
UM
MKM yang
menyediakan terkait pengembangan UMKM, termasuk pola
menyediaakaninforma
bsite asiterkaitpe
pembiayaan
Padaweb ank engembanga
(lending
Ba model)
Ind an www.bi.go
usaha
donesia UMKM, ,termasuksim
kecil menengah
o.idterdapamulasipolapInffo embiayaan
sebagaimana
atminisite UM
MKMyang (lending
dicantumkan
model)usa
aha kecil
menyedia
dalam meenengahseb
akaninforma
buku bagaimanad
ini. asiterkaitpe dicantumkan
engembanga an UMKM, ndalambuku
,termasuksimuini.
mulasipolap embiayaan (lending
model)usa
aha kecil meenengahseb
bagaimanad
dicantumkanndalambukuuini.

asi yang terssediapadaInfo


I UMKM
M
Beberapa menuBeeberapa meenu informa
informasi yang tersedia pada Info UMKM

asi yang terssediapadaInfo


Beeberapa meenu informa I UMKMM UMKKM
Info
TenttangLayananIIni
> KoordinasidanKe
erjasama
Info UMK
> Konssultasi Usaha
KM
Tent
∨ Kela tangLayananI
ayakan a Ini
Usaha
> KooKomoditiUng
rdinasidanKeerjasama
ggulan
> Kons
sultasi Usaha
PolaPembiaayaan
∨ Kela
ayakan Usaha
SistemPenun a
njangKeputu
sanUntukInve
estasi
KomoditiUng
ggulan
PolaPembia
> Dattabase ayaan
Profil UMKM
> Kre SistemPenunnjangKeputu
edit UMKM
> Kisa sanUntukInve
ahSuksesPemb estasi
biayaan
> Pennelitian
>> Dat
ta tabase
Dat KomoditiProfil UMKM
> Link
 
k Web
Kre UMKM
M
edit UMKM
> Kisa
ahSuksesPemb
biayaan

62 > Pennelitian
> Datta Komoditi
INFO UMKM

POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA KECIL MENENGAH 
 
POLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA KECIL MENENGAH
PenelitianlengkapPOLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA KECIL
Penelitian
MENENGAHlengkap
oleh POLA PEMBIAYAAN
Bank Indonesia (LENDING MODEL)
dapatdiunduhpada Info USAHAUMKM:KECIL
MENENGAH oleh Bank Indonesia dapat diunduh pada Info UMKM: http://www.
http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx
(Menu: P OLA PEMBIAYAAN ( LENDING  MODEL) USAHA KECIL MENENGAH 
bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx
Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan)
(Menu: Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan).  
PenelitianlengkapPOLA PEMBIAYAAN (LENDING MODEL) USAHA KECIL
MENENGAHoleh Bank Indonesia dapatdiunduhpada Info UMKM:
SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN UNTUK INVESTASI (SPKUI)
SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN UNTUK INVESTASI (SPKUI) 
http://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perikanan/Default.aspx
(Menu: Kelayakan Usaha > Pola Pembiayaan)
Beberapa
Beberapa polapola pembiayaan
pembiayaan (lending model)model)
(lending usaha usaha kecil menengah
kecil menengah tersebut
tersebut dapat
dapat disimulasikan
disimulasikansecara secaradan
interaktif interaktif
dinamisdan dinamis dengan
denganaplikasi SPKUIpadaaplikasi
Info SPKUI
UMKM:pada
Info UMKM: http://www.bi.go.id/spkui
http://www.bi.go.id/spkui
SISTEM  PENUNJANG KEPUTUSAN UNTUK INVESTASI (SPKUI) 
(Menu: Kelayakan
(Menu: Kelayakan Usaha
Usaha > Sistem
> Sistem Penunjang
Penunjang Keputusan Keputusan
Untuk Investasi)Untuk Investasi).
Beberapa pola pembiayaan (lending model) usaha kecil menengah tersebut dapat
disimulasikansecara interaktif dan dinamis denganaplikasiSPKUIpada Info UMKM:
http://www.bi.go.id/spkui
(Menu: Kelayakan Usaha > Sistem Penunjang Keputusan Untuk Investasi)

ƒ n Simulasi
Simulasi SPKUI SPKUI dilakukan
dilakukan dengansub
dengan mengakses mengakses sub menu
menu yang tersedia yang
secara tersedia
bertahap, yaitusecara
Home ƒ bertahap,
Komoditi  yaitu
Simulasi Asumsi  dengan
SPKUI dilakukan BiayaInv 
mengaksesBiaya Ops  Sumber Dana 
sub menu yang bertahap,ArusKas 
tersedia secaraR/L  yaitu Kelayakan 

Home  Komoditi  Asumsi  BiayaInv  Biaya Ops  Sumber Dana  R/L  ArusKas  Kelayakan 

ƒ Setiap pengguna SPKUI dapat melakukan simulasi perhitungan analisis kelayakan


usaha/proyek dengan melakukan perubahan
n Setiap pengguna (editing) terhadap variabel/parameter yang
ƒ Setiap pengguna SPKUISPKUI dapat dapat
melakukanmelakukan simulasi
simulasi perhitungan perhitungan
analisis kelayakan analisis
terdapat pada Tabel Asumsi Usaha,perubahan
Tabel Biaya Investasi Usahavariabel/parameter
dan Tabel Biayayang Operasi
kelayakan
Usaha, usaha/proyek
usaha/proyek
untuk pada
dengan
disesuaikan dengan melakukan
melakukan
dengan
(editing) perubahan
terhadap (editing) terhadap
terdapat Tabel Asumsi Usaha,situasi dan kondisi
Tabel Biaya daerah
Investasi Usaha dandimana pengguna
Tabel Biaya Operasiakan
variabel/parameter
melaksanakan usahanya.
Usaha, untuk yang
disesuaikan terdapat
dengan pada
situasi dan Tabel
kondisi daerahAsumsi
dimana Usaha,
pengguna Tabel
akan Biaya
ƒ
Investasi Usaha
melaksanakan dan Tabel Biaya Operasi Usaha, untuk disesuaikan dengan
usahanya.
Berdasarkan simulasi perhitungan akan diperoleh informasi utama dalam penentuan kelayakan
situasi dan
ƒ Berdasarkan
suatu usaha kondisi
dalam simulasi
SPKUI,daerah
yaitu: dimana
perhitungan pengguna
akan diperoleh informasi akan melaksanakan
utama dalam usahanya.
penentuan kelayakan
- suatu
Net usaha
Present
n Berdasarkan dalam
ValueSPKUI,
simulasi yaitu:
(NPV), perhitungan akan diperoleh informasi utama dalam
- Net Rate
- Interest Present
of Value
Return(NPV),
(IRR),
penentuan
- Net kelayakan
- Interest
B/C, dan suatu
Rate of Return (IRR), usaha dalam SPKUI, yaitu:
- Net B/C, dan
- Net Present
- Payback Value
Period
- Payback (NPV),
(PBP).
Period (PBP).
- Interest Rate of Return (IRR),
- Net B/C, dan
- Payback Period (PBP).

63
DAFTAR
PUSTAKA

64
Daftar Pustaka

Aak. 2004. Pedoman Bertanam Bawang. Kanisius. Yogyakarta.

Agustina, L. 2004. Nutrisi Tanaman. UB Press. Malang.

Anonymous. 2008. Pedoman Bertanam Bawang Merah. CV. Yrama Widya.


Bandung. p. 24 – 59.

Ashari, S. 2006. Hortikultura Aspek Budidaya Edisi Revisi. UI Press. Jakarta. p. 199
– 206.

BPPT. 2013. Teknologi Budidaya Tanaman Pangan. htpp//www.iptek.net.id/ind/


teknologi-pangan/index.php id=244.

Chiu, C. dan Sudjiman. 1993. Tanah dan Pupuk. Agriculture technical mission
Republic of China. p. 24 – 113.

Deptan. 2013a. Pengenalan dan Pengendalian Beberapa OPT Benih Hortikultura.

______, 2013b. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah.

Gunadi, N dan Suwandi. 1989. Dosis dan Waktu Aplikasi Pemupukan Fosfat pada
Tanaman Bawang Merah. Bulletin Penelitian Hortikultura Vol. XVIII. 1.

Hairiah, K, Widianto, S. R. Utami, D. Suprayono, Sunaryo, S. M. Sitompul, B.


Lusiana, R. Mulia, Meine van Noordwijk, dan G. Cadish. 2002. Pengelolaan
Tanah Masam Secara Biologi (refleksi pengalaman Lampung Selatan). SM
Grafika Desa Petera. Jakarta. p. 63 -91.

Handayanto, E. 1996. Dekomposisi dan Mineralisasi Bahan Organik. Habitat 7


(96): 26 – 30.

Haryati, Y. dan A. Nurawan. 2009. Peluang Pengembangan Feromon Sex dalam


Pengendalian Hama Ulat Bawang (Spodoptera exigua) pada Bawang
Merah. Jurnal Litbang Pertanian 28 (2): 72 – 73.

Irwan. 2007. Bawang Merah dan Pestisida. http://www.waspada.co.id/serba-


serbi/kesehatan/artikel php article-id=7849811.

Lingga, P. dan Marsono. 2000. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya.


Jakarta. p. 58 – 85.

Nugraha, Sigit. 2009. Teknologi Pengeringan-Penyimpanan Bawang Merah 2 (1):


1 – 3.

65
Daftar Pustaka

Miskiyah dan S. J. Munarso. 2009. Kontaminasi Residu Pestisida pada Cabai


Merah, Selada dan Bawang Merah (Studi Kasus di Bandungan dan Brebes
Jawa Tengah dan Cianjur Jawa Barat). J. Hort. 19(1):101-111.

Moekesan, T. K., Prabaningrum, L. dan Meitha, L. R. 2000. Penerapan PHT pada


Sistem Tanaman Tumpang Gilir Bawang Merah dan Cabai. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hortikultura Badan
Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Prihmantoro, H. 1996. Memupuk Tanaman Sayuran. Penebar Swadaya. Jakarta.


p. 14-15.

Rahayu, E. dan Berlian, N. V. A. 1999. Bawang Merah. Penebar swadaya. Jakarta.

Rinsema, W. T. 1986. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bhanrantar Karya Aksara.


Jakarta. p. 4 - 29.

Rukmana, R. 1995. Bawang Merah Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen.


Kanisius. Jakarta.

Sarief, E. S. 1986. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana.


Bandung. p. 30-41.

Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia.


Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sitompul, S. M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah


Mada University Press. Yogyakarta. p. 81 - 104.

Sudiarso. 2007. Pupuk Organik dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan. UB Press.


Malang. p. 104 - 197.

Sugito, Y., Y. Nuraini dan E. Nihayati. 1995. Sistem Pertanian Organik. Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. pp. 83.

Suhardi. 1998. Jurnal Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan


Hortikultura. Jakarta.

Suwandi dan Hilman. 1990. Pengaruh Pemupukan N dan Dosis P Terhadap


Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bawang Merah. Bulletin Pertanian (1) :
30 – 39.

66
Daftar Pustaka

Wibowo, S. 1994. Budidaya Bawang Putih, Bawang Merah, Bawang Bombay.


Penebar Swadaya. Jakarta.

Yunus, A. 2007. Pengaruh IAA dan Kinetin Terhadap Pertumbuhan Eksplan


Bawang Merah secara in vitro. Jurnal Akta Agrosia Edisi Khusus (1): 53 - 58.

67
Lampiran

68
Lampiran

Lampiran 1 : Asumsi Untuk Analisis Keuangan


Lampiran 1 : Asumsi Untuk Analisis Keuangan
No. Asumsi Satuan Nilai
1 Periode produksi bulan 12
Periode proyeksi tahun 3
2 Musim tanam kali/tahun 3
Lama per musim tanam bulan 4
3 Luas lahan ha 1
Produktivitas kg/ha 10.000
4 Harga tetap
a Bibit bawang merah Rp/kg 25.000
b Jual bawang merah Rp/kg 15.000
c Jual bawang merah (off-grade) Rp/kg 12.000
d Kenaikan harga jual bawang merah %/th 0%
5 Off Grade % 2,5%
6 Suku bunga per tahun (flat) % 18%
7 Jangka waktu kredit
a Modal kerja bulan 12
b Investasi bulan 12
8 Proporsi modal kerja
a Modal sendiri % 40%
b Kredit % 60%
9 Proporsi modal usaha
a Modal sendiri % 40%
b Kredit % 60%
10 Discount Factor % 18%
11 Pembayaran pinjaman setiap Bulan ke 4

69
70
Lampiran

Lampiran 2. Biaya Investasi


Lampiran 2. Biaya Investasi

Nilai Nilai Sisa


Harga Umur
Penyusutan pada Akhir
No. Komponen Biaya Jumlah Satuan Total (Rp) Ekonomis
Per Tahun Tahun ke-3
(Rp) (th)
(Rp) (Rp)
A Alsintan
1 Pompa air mesin diesel 1 unit 10.000.000 10.000.000 5 2.000.000 4.000.000
2 Terpal (hasil panen) 42 m2 238.000 9.996.000 15 666.400 7.996.800

B. Peralatan Penunjang
1 Parang 10 unit 50.000 500.000 5 100.000 200.000
2 Cangkul 10 unit 95.000 950.000 5 190.000 380.000
3 Selang air 21 m2 25.000 525.000 5 105.000 210.000
4 Sumur bor 8 m 50.000 400.000 10 40.000 280.000
5 Keranjang bambu pikulan 120 unit 3.000 360.000 1 360.000 0
6 Kored 40 unit 15.000 600.000 5 120.000 240.000
7 Ember 10 unit 5.000 50.000 2 25.000 25.000
8 Hand sprayer 5 unit 550.000 2.750.000 5 550.000 1.100.000
9 Terpal (saung) 12 m2 16.000 192.000 5 38.400 76.800
Jumlah Biaya Investasi 26.323.000 4.194.800 14.508.600
Lampiran

Lampiran 2. Biaya Investasi

71
Lampiran

Lampiran
Lampiran4.4.Sumber
SumberDana
Dana

No Komponen Biaya Proyek % Total Biaya


1 Biaya Investasi
- Bersumber dari kredit 60% 15.793.800
- Dari dana sendiri 40% 10.529.200
Total Biaya Investasi 26.323.000

2 Biaya Modal Kerja


- Bersumber dari kredit 60% 66.678.000
- Dari dana sendiri 40% 44.452.000
Total Biaya Modal Kerja 111.130.000

3 Total Dana Proyek


- Bersumber dari kredit 60% 82.471.800
- Dari dana sendiri 40% 54.981.200
Jumlah Dana Proyek 137.453.000

72
Lampiran 5. Proyeksi Produksidan Pendapatan
Lampiran 5. Proyeksi Produksi dan Pendapatan
Tahun ke-1 Tahun ke-2
Produk Musim Musim Musim Tahun ke-1 Musim Musim Musim Tahun ke-2
Tanam ke-1 Tanam ke-2 Tanam ke-3 Tanam ke-1 Tanam ke-2 Tanam ke-3
Produk : Bawang Merah
- Jumlah Produksi (kg)
a. Bawang merah on grade 9.750 9.750 9.750 29.250 9.750 9.750 9.750 29.250
b. Bawang merah off grade 250 250 250 750 250 250 250 750
- Harga (Rp/kg)
a. Bawang merah on grade 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000
b. Bawang merah off grade 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000 12.000
- Nilai Penjualan (Rp)
a. Bawang merah on grade 146.250.000 146.250.000 146.250.000 438.750.000 146.250.000 146.250.000 146.250.000 438.750.000
b. Bawang merah off grade 3.000.000 3.000.000 3.000.000 9.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 9.000.000

TOTAL 149.250.000 149.250.000 149.250.000 447.750.000 149.250.000 149.250.000 149.250.000 447.750.000

Tahun ke-3
Produk Musim Musim Musim Tahun ke-3
Tanam ke-1 Tanam ke-2 Tanam ke-3
Produk : Bawang Merah
- Jumlah Produksi (kg)
a. Bawang merah on grade 9.750 9.750 9.750 29.250
b. Bawang merah off grade 250 250 250 750
- Harga (Rp/kg)
a. Bawang merah on grade 15.000 15.000 15.000 15.000
b. Bawang merah off grade 12.000 12.000 12.000 12.000
- Nilai Penjualan (Rp)
a. Bawang merah on grade 146.250.000 146.250.000 146.250.000 438.750.000
b. Bawang merah off grade 3.000.000 3.000.000 3.000.000 9.000.000

TOTAL 149.250.000 149.250.000 149.250.000 447.750.000

73
Lampiran
Lampiran

Lampiran 6. Angsuran
Lampiran Kredit
6. Angsuran KreditInvestasi
Investasi

Suku Bunga 18%


Angsuran
Periode Kredit Bunga Total Saldo Awal Saldo Akhir
Pokok
15.793.80
Tahun 0 15.793.800 15.793.800 0
MT ke-1
Bulan ke-1 0 0 0
Bulan ke-2 0 0 0
Bulan ke-3 0 0 0
Bulan ke-4 5.264.600 947.628 6.212.228 15.793.800 10.529.200
MT ke-2
Bulan ke-5 0 0 0
Bulan ke-6 0 0 0
Bulan ke-7 0 0 0
Bulan ke-8 5.264.600 947.628 6.212.228 10.529.200 5.264.600
MT ke-3
Bulan ke-9 0 0 0
Bulan ke-10 0 0 0
Bulan ke-11 0 0 0
Bulan ke-12 5.264.600 947.628 6.212.228 0
Tahun 1 15.793.800 2.842.884 18.636.684

74
Lampiran

Lampiran
Lampiran7.7.Angsuran KreditModal
Angsuran Kredit Modal Kerja
Kerja

Suku Bunga 18%


Angsuran
Periode Kredit Bunga Total Saldo Awal Saldo Akhir
Pokok
Tahun 0 66.678.000 66.678.000 66.678.000
MT ke-1
Bulan ke-1 0 0 0
Bulan ke-2 0 0 0
Bulan ke-3 0 0 0
Bulan ke-4 22.226.000 4.000.680 26.226.680 66.678.000 44.452.000
MT ke-2
Bulan ke-5 0 0 0
Bulan ke-6 0 0 0
Bulan ke-7 0 0 0
Bulan ke-8 22.226.000 4.000.680 26.226.680 44.452.000 22.226.000
MT ke-3
Bulan ke-9 0 0 0
Bulan ke-10 0 0 0
Bulan ke-11 0 0 0
Bulan ke-12 22.226.000 4.000.680 26.226.680 0
Tahun 1 66.678.000 12.002.040 78.680.040

Tahun 2 66.678.000 66.678.000 66.678.000


MT ke-4
Bulan ke-1 0 0 0
Bulan ke-2 0 0 0
Bulan ke-3 0 0 0
Bulan ke-4 22.226.000 4.000.680 26.226.680 66.678.000 44.452.000
MT ke-5
Bulan ke-5 0 0 0
Bulan ke-6 0 0 0
Bulan ke-7 0 0 0
Bulan ke-8 22.226.000 4.000.680 26.226.680 44.452.000 22.226.000
MT ke-6
Bulan ke-9 0 0 0
Bulan ke-10 0 0 0
Bulan ke-11 0 0 0
Bulan ke-12 22.226.000 4.000.680 26.226.680 0
Tahun 2 66.678.000 12.002.040 78.680.040

Catatan. ¥ Pembayaran angsuran (pokok dan bunga) dilakukan setiap bulan ke-4 dari setiap
musim tanam (bayar panen)
¥ Pada awal tahun ke-2 (musim tanam ke-3) memperoleh kembali pinjaman modal
kerja untuk 1 musim tanam

75
76
Lampiran

Lampiran 8. Proyeksi Rugi Laba Usaha (Rp)


Lampiran 9. Proyeksi Arus Kas

77
Lampiran
78
Lampiran

Lampiran 10. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 10%


Lampiran 11. Analisis Sensitivitas : Pendapatan Turun 11%

79
Lampiran
80
Lampiran

Lampiran 12. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 15%


Lampiran 13. Analisis Sensitivitas : Biaya Variabel Naik 16%

81
Lampiran
82
Lampiran

Lampiran 14. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Biaya Variabel Naik 6% dan Pendapatan Turun 6%
Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Kombinasi : Biaya Variabel Naik 7% dan Pendapatan Turun 7%

83
Lampiran
Lampiran

Lampiran 16. Rumus dan Cara Perhitungan untuk Analisis Aspek Keuangan

1. Menghitung Jumlah Angsuran.


Angsuran kredit terdiri dari angsuran pokok ditambah dengan pembayaran
bunga pada periode angsuran. Jumlah angsuran pokok tetap setiap
bulannya. Periode angsuran (n) adalah selama 36 bulan untuk kredit investasi
dan 12 bulan untuk kredit modal kerja.
Cicilan pokok = Jumlah Pinjaman dibagi periode angsuran (n).
Bunga = i% x jumlah (sisa) pinjaman.
Jumlah angsuran = Cicilan Pokok + Bunga.

2. Menghitung Jumlah Penyusutan/Depresiasi dengan Metode Garis Lurus


dengan Nilai Sisa 0 (nol).
Penyusutan = Nilai Investasi /Umur Ekonomis.

3. Menghitung Net Present Value (NPV).


NPV merupakan selisih antara present value dari benefit dan present value
dari biaya. Adapun rumus untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut:

n B1 – Ct
NPV = ∑ ––––-----------–––––
t = 1 (1 + i)t

Keterangan :
Bt = Benefit atau manfaat (keuntungan) proyek yang diperoleh pada
tahun ke-t.
Ct = Biaya atau ongkos yang dikeluarkan dari adanya proyek pada
tahun ke-t, tidak dilihat apakah biaya tersebut dianggap
merupakan modal atau dana rutin/operasional.
i = Tingkat suku bunga atau merupakan social opportunity cost of
capital.
n = Umur Proyek.

Untuk menginterpretasikan kelayakan suatu proyek, dapat dilihat dari hasil
perhitungan NPV sebagai berikut:
a. Apabila NPV > 0 berarti proyek layak untuk dilaksanakan secara finansial;
b. Apabila NPV = nol, berarti proyek mengembalikan dananya persis sama
besar dengan tingkat suku bunganya (Social Opportunity of Capital-nya).
c. Apabila NPV < 0, berarti proyek tidak layak untuk dilanjutkan karena
proyek tidak dapat menutupi social opportunity cost of capital yang
digunakan.

4. Menghitung Internal Rate of Return (IRR).


IRR merupakan nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek sama

84
Lampiran

dengan 0 (nol). IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas
investasi bersih dari suatu proyek, sepanjang setiap benefit bersih yang
diperoleh secara otomatis ditanamkan kembali pada tahun berikutnya dan
mendapatkan tingkat keuntungan i yang sama dan diberi bunga selama sisa
umur proyek. Cara perhitungan IRR dapat didekati dengan rumus dibawah ini:

NPV1
IRR = i1 + (i2 – i1) X –––-------––––––––––
(NPV1 – NPV2)

Keterangan :
IRR = Nilai Internal Rate of Return, dinyatakan dalam %.
NPV1 = Net Present Value pertama pada DF terkecil
NPV2 = Net Present Value kedua pada DF terbesar
i1 = Tingkat suku bunga /discount rate pertama.
i2 = Tingkat suku bunga /discount rate kedua.

Kelayakan suatu proyek dapat didekati dengan mempertimbangkan nilai IRR
sebagai berikut:
a. Apabila nilai IRR sama atau lebih besar dari nilai tingkat suku bunganya
maka proyek tersebut layak untuk dikerjakan.
b. Apabila nilai IRR lebih kecil atau kurang dari tingkat suku bunganya maka
proyek tersebut dinyatakan tidak layak untuk dikerjakan.

5. Menghitung Net B/C.


Net benefit-cost ratio atau perbandingan manfaat dan biaya bersih suatu
proyek adalah perbandingan sedemikian rupa sehingga pembilangnya
terdiri atas present value total dari benefit bersih dalam tahun di mana benefit
bersih itu bersifat positif, sedangkan penyebut terdiri atas present value total
dari benefit bersih dalam tahun di mana benefit itu bersifat negatif.

Cara menghitung Net B/C dapat menggunakan rumus dibawah ini:

NPV B-C Positif


Net B/C = ––––––––------------––
NPV B-C Negatif

Keterangan :
Net BC = Nilai benefit-cost ratio.
NPV B-C Positif. = Net present value positif.
NPV B-C Negatif. = Net present value negatif.

85
Lampiran

Hasil perhitungan Net B/C dapat diterjemahkan sebagai berikut:


a. Apabila nilai Net B/C > 1, maka proyek layak dilaksanakan.
b. Apabila nilai Net B/C < 1, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan.

6. Menghitung Titik Impas (Break Even Point).


Titik impas atau titik pulang pokok atau Break Even Point (BEP) adalah suatu
keadaan dimana tingkat produksi atau besarnya pendapatan sama dengan
besarnya pengeluaran pada suatu proyek, sehingga pada keadaan tersebut
proyek tidak mendapatkan keuntungan dan tidak mengalami kerugian.

Terdapat beberapa rumus untuk menghitung titik impas yang dapat dipilih,
namun dalam buku ini digunakan rumus pada huruf a, b dan c di bawah ini :

Biaya Tetap
a. Titik Impas (Rp.) = ————————————————
Total Biaya Variabel
1 - ————————————————
Hasil Penjualan

Titik Impas (Rp)


b. Titik Impas (satuan) = ————————————————
Harga satuan Produk

c. Jika biaya variabel dan biaya tetap tidak dipisahkan maka pencarian titik
impas dapat menggunakan prinsip total pendapatan = total pengeluaran.
Total Pendapatan = Harga x Jumlah produk yang dihasilkan.
Total Pengeluaran = Jumlah semua biaya yang diperlukan proyek.
Jadi harga produk x jumlah produk yang dihasilkan = Total Pengeluaran.

Titik Impas (Rp.)


d. Titik Impas (n) = ————------------—————— x Total Produksi.
Hasil Penjualan (Rp.)

7. Menghitung PBP (Pay Back Period atau Lama Pengembalian Modal).


PBP digunakan untuk memperkirakan lama waktu yang dibutuhkan proyek
untuk mengembalikan investasi dan modal kerja yang ditanam.

Cara menterjemahkan PBP untuk menetapkan kelayakan suatu proyek


adalah sebagai berikut:
a. Apabila nilai PBP lebih pendek dari jangka waktu proyek yang ditetapkan
maka suatu proyek dinyatakan layak.
b. Apabila nilai PBP lebih lama dari jangka waktu proyek maka suatu proyek
dinyatakan tidak layak.

86
Lampiran

8. Menghitung Discount Factor (DF).


DF dapat didefinisikan sebagai: Faktor yang dipergunakan untuk
memperhitungkan nilai sekarang dari suatu jumlah yang diterima di masa
dengan mempertimbangkan tingkat bunga yang berlaku atau disebut juga
“faktor nilai sekarang (present worth factors)” DF diperhitungkan apabila
suatu proyek bersifat multi-period atau periode lebih dari satu kali. Dalam
hal ini periode lazim diperhitungkan dengan semester atau tahun. Nilai dari
DF berkisar dari 0 sampai dengan 1.

Cara memperhitungkan DF adalah dengan rumus sebagai berikut :

1
Rumus DF per tahun = —------——— , dimana
(1+ r) n
r = suku bunga
n = tahun 0, 1, ……….. n ; sesuai dengan tahun proyek

87
88
89
90

Anda mungkin juga menyukai