Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan uji penetapan bilangan peroksida dalam lemak yang
terkandung dalam minyak goreng. Sampel minyak goreng yang digunakan merupakan sampel
minyak goreng baru, minyak goreng bekas satu hingga lima kali penggorengan. Tujuan dari
praktikum ini yaitu agar dapat menentukan bilangan peroksida yang ada dalam lemak, dalam hal
ini pada sampel minyak goreng.

Bilangan peroksida sendiri merupakan indeks jumlah lemak atau minyak yang sudah
teroksidasi. Penetapan bilangan peroksida ini dapat menentukan mutu dari suatu minyak tersebut
dengan mengetahui derajat kerusakan dari minyak. Minyak yang memiliki senyawa-senyawa asam
lemak tak jenuh akan mengalami oksidasi sehingga menghasilkan suatu senyawa baru yakni
senyawa peroksida. Oksidasi asam lemak tak jenuh oleh oksigen dapat terjadi akibat beberapa
factor salah satunya akibat peningkatan suhu (Ferdinan, et al., 2017). Sehingga penggunaan suhu
tinggi pada saat penggorengan dan juga ketika dilakukan penggorengan yang berulang dapat
memicu terjadinya oksidasi pada minyak. Selain itu kenaikan suhu juga dapat mempercepat
terjadinya oksidasi pada minyak. Maka dari itu, bilangan peroksida bisa dijadikan sebagai
parameter turunnya mutu dari minyak goreng.

Pada dasarnya peroksida terbentuk pada tahap inisiasi oksidasi. Atom hydrogen yang
terikat dengan suatu atom karbon yang berada di sebelah atom karbon lain yang memiliki ikatan
rangkap, dapat dihilangkan yang akhirnya akan membentuk senyawa radikal bebas. Pada tahap
inisiasi oksidasi ini, hydrogen diambil dari senyawa asam lemak tak jenuk sehingga menghasilkan
radikal bebas. Radikal bebas yang terbentuk ini selanjutnya bereaksi dengan oksigen membentuk
radikal peroksi atau peroksida aktif, yang kemudian dapat membentuk hidroperoksida yang
berisfat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi rantai yang lebih pendek. Sehingga kejadian
ini mengakibatkan hydrogen dari molekul tak jenuh yang lain terambil dan menghasilkan
peroksida dan radikal bebas baru. Paparan oksigen, energi panas, suhu yang tinggi, serta katalis
logam dapat mempercepat proses ini. (Winarno, 1997)

Metode yang dilakukan pada praktikum kali ini untuk menetapkan bilangan peroksida
dalam minyak adalah menggunakan titrasi iodometri. Titrasi iodometri merupakan titrasi tidak
langsung. Titrasi ini digunakan untuk untuk menetapkan senyawa-senyawa yang memiliki
potensial oksidasi lebih besar dari sistem iodium-iodida atau senyawa dengan sifat oksidator.
Tahap awal yang dilakukan adalah penimbangan sampel minyak baru beberapa gram
sebanyak 3 kali untuk dimasukkan ke dalam masing-masing Erlenmeyer 250 ml yang berbeda
yang digunakan untuk titrasi yang dilakukan sebanyak triplo. Selanjutnya ke dalam tiap
erlenmeyer tersebut ditambahkan masing-masing 30 ml pelarut yaitu asam asetat glasial:kloroform
dengan perbandingan 3:2 yang kemudian dikocok hingga larut. Penggunaan kedua pelarut ini
dikarenakan minyak masuk ke dalam golongan lemak yang tidak larut dalam pelarut polar seperti
air tetapi larut dalam pelarut non-polar, maka digunakan kloroform sebagai pelarutnya.
Dikarenakan kloroform memiliki kepolaran yang tidak jauh berbeda dengan minyak. Kemudian
digunakan asam asetat glasial karena alkali iodide akan bereaksi sempurna jika berada dalam
suasana asam. Perbandingan yang digunakan bertujuan agar selama reaksi tetap dalam keadaan
asam yang stabil tidak berubah dan dalam pelarut dengan kepolaran yang sesuai.

Tahap selanjutnya adalah penambahan 0,5 ml larutan jenuh Kalium Iodida (KI) ke dalam
masing-masing campuran di Erlenmeyer dan kemudian didiamkan selama 1 menit untuk
selanjutnya ditambahkan aquades sebanyak 30 ml di setiap erlenmeyernya. Penambahan larutan
jenuh KI ini berfungsi untuk membebaskan iodin. Selain itu penggunaan KI yang jenuh berfungsi
agar asam lemak jenuh berikatan dengan kalium dan asam lemak tak jenuh yang berikatan dengan
iodium.

Selanjutnya campuran tersebut, dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat yang sebelumny
sudah dibakukan terlebih dahulu. Natrium tiosulfat termasuk larutan baku sekunder, dimana zat di
dalamnya tidak dapat ditentukan konsentrasinya dengan tepat. Untuk menetapkan konsentrasi
larutan tersebut, larutan dibakukan dengan metode titrasi menggunakan larutan baku primer yang
telah diketahui konsentrasinya. Dalam hal ini, larutan baku primer yang digunakan adalah kalium
dikromat. Berdasarkan prinsip reaksi reduksi oksidasi, kalium dikromat akan mengoksidasi iodida
dalam KI menjadi iodium dalam suasana asam. Hal ini disebabkan karena reaksi ini dapat
berlangsung hanya dalam suasana asam, dengan penambahan asam, yaitu asam klorida. Selama
proses titrasi berlangsung, erlenmeyer perlu dijauhkan dari cahaya langsung karena iodium yang
mudah terurai oleh cahaya. Iodium bebas tersebut kemudian bereaksi dengan natrium tiosulfat
membentuk senyawa NaI yang tidak berwarna. Sebelum warna larutan menjadi bening,
ditambahkan terlebih dahulu indikator kanji 1% untuk mempertegas warna dalam penentuan titik
akhir titrasi dengan perubahan warna larutan menjadi biru. Warna biru tersebut merupakan
kompleks yang terbentuk antara iodium bebas dengan amilum. Waktu penambahan indikator kanji
ini perlu diperhatikan, sebab penambahan indikator kanji sebelum mendekati titik akhir titrasi
(kuning pudar) akan menyebabkan terjadinya reaksi antara iod-amilum dan akan menberikan hasil
titrasi yang menyimpang. Maka penambahan indicator ini harus dilakukan mendekati titik akhir
titrasi agar amilum dalam indicator kanji tidak membungkus iod yang dapat menyebabkan amilum
sukar dititrasi kembali ke sanyawa awal.. Setelah itu, larutan dititrasi kembali dengan natrium
tiosulfat hingga warna biru hilang. Warna biru yang hilang ini menandakan bahwa kompleks iod-
amilum yang terbentuk terurai kembali, dan iod yang bebas kembali berikatan dengan natrium
tiosulfat. Hal ini dapat terjadi, karena ikatan antara iod-natrium tiosulfat lebih kuat dibandingkan
ikatan antara iod-amilum. Dari hasil titrasi pembakuan natrium tiosulfat tersebut didapatkan
konsentrasi larutan yaitu 0,0635 N. Berdasarkan hasil tersebut, didapatkan konsentrasi tidak sesuai
dengan konsentrasi yang diinginkan, yaitu 0,1 N. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kualitas dan
kestabilan zat-zat yang digunakan dalam titrasi tersebut, sehingga hasil pembakuan tidak sesuai.

Titrasi penetapan bilangan peroksida dilakukan terhadap sampel minyak baru dan minyak
yang telah mengalami beberapa kali proses penggorengan, mulai 1 hingga 5 kali. Titrasi sampel
minyak setelah 1 kali penggorengan membutuhkan volume natrium tiosulfat yang bervariasi, yaitu
3,5 ml; 3,05 ml; dan 5,25. Selain itu, pengamatan titik akhir titrasi sulit untuk ditentukan karena
tidak adanya perubahan warna menjadi biru setelah penambahan indikator amilum. Sama halnya
dengan sampel minyak baru dan minyak setelah 2 dan 4 kali penggorengan, volume natrium
tiosulfat yang dibutuhkan bervariasi dan sulit untuk mengamati titik akhir titrasi. Sementara itu,
titrasi sampel minyak setelah 3 dan 5 kali penggorengan menunjukkan perubahan warna menjadi
biru setelah penambahan amilum, sehingga titik akhir titrasi dapat ditentukan. Volume natrium
tiosulfat yang dibutuhkan kedua sampel tersebut berturut-turut adalah 0,1 ml dan 0,5 ml. Dengan
adanya data volume natrium tiosulfat tersebut, kedua sampel dapat ditentukan bilangan
peroksidanya dengan persamaan berikut :

1000 𝑥 𝑁 (𝑉1 − 𝑉0)


BP (meq O2/kg) =
𝑤

Dan diperoleh hasil bilangan peroksida kedua sampel tersebut berturut-turut, adalah 1,257
dan 6,31. Hasil ini menunjukkan bahwa sampel minyak yang telah mengalami beberapa kali proses
penggorengan akan menghasilkan bilangan peroksida yang tinggi, dimana bilangan peroksida
merupakan jumlah asam lemak yang mengalami oksidasi. Angka bilangan peroksida ini
berbanding lurus dengan frekuensi penggunaan minyak dalam proses penggorengan, semakin
banyak proses penggorengan, maka semakin banyak pula peroksida yang dihasilkan. Meskipun
angka bilangan peroksida yang dihasilkan oleh kedua sampel tersebut belum melebihi batas
maksimum, yaitu 10 meq O2/kg, namun apabila penggunaan minyak sebanyak 5 kali proses
penggorengan tersebut dilakukan terus menerus, maka akan terjadi akumulasi peroksida dalam
tubuh dan memberikan dampak yang buruk untuk kesehatan.

Dari hasil praktikum kali ini didapatkan beberapa hambatan diantaranya yaitu, pada saat
pembakuan Natrium tiosulfat tidak tercapainya titik akhir titrasi yang ditunjukan dengan larutan
yang berwarna biru kehijauan keruh. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor larutan KI yang
kondisinya sudah tidak baik dimana larutan KI sendiri memiliki fungsi sebagai penghasil iodin,
jika larutan KI dalam kondisi tidak baik maka akan berefek pada iodin yang dihasilkan tidak
banyak yang terbebas sehingga iodin yang akan bereaksi denga natrium pun tidak banyak. Faktor
lain yang perlu diperhatikan yaitu suasana pH saat titrasi, dimana untuk terbentuknya iodin
diperlukan suasana pH saat titrasi dalam keadaan asam agar iodin dari KI dapat bereaksi dengan
sempurna. Karena jika suasana dalam keadaan basa maka akan terbentuk endapan iodide.

Sebelum dilakukan titrasi sebaiknya diperhatikan kembali sifat dari bahan yang kita
gunakan, adapun bahan yang digunakan kali ini yaitu larutan iodine yang mengandung iodium dan
memiliki sifat sensitive terhadap cahaya jika direaksikan dengan larutan asam akan menghambat
proses titrasi yang akan berakibat peningkatan pH menjadi basa dan memicu terbentuknya iodida
sehingga titik akhir tidak terbentuk. Ditunjukan dengan larutan yang berwarna biru kehijauan
keruh. Selain hal yang telah dipaparkan, factor lain yang dapat menjadi factor yaitu dapat karena
Natrium tiosulfat yang digunakan sudah rusak sehingga kadara yang didapat sudah mengalami
penurunan dan menyebabkan tidak terbentuknya reaksi.
Ferdinan, A., Hairunisa., Justicia, A. K., dan Andhika. 2017. Penurunan Bilangan Peroksida

dengan kulit pisang kepok (Musa normalis L). Jurnal Ilmiah Ibnu Sina. 2(1):117-121

Winarno, F.G.1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai