Anda di halaman 1dari 33

KAJIAN EKOFISIOLOGI TANAMAN ALFALFA

(Medicago sativa L)

A. Mengenal Tanaman Alfalfa


Alfalfa dalam bahasa Arab mempunyai arti sebagai “Bapak dari semua
makanan” yang dipercaya sebagai tanaman yang berfungsi untuk menyembuhkan
berbagai penyakit. Kegiatan penelitian saat ini memang belum banyak dilakukan
di laboratorium mengenai senyawa yang terkandung dalam tanaman. Dengan
diketahuinya senyawa yang terkandung dalam tanaman akan menentukan
manfaatnya dari berbagai bidang.
1) Syarat Tumbuh
a) Iklim
Unsur iklim merupakan faktor penentu dalam budidaya tanaman.
Tanaman alfalfa merupakan jenis tanaman sub tropik sehingga bila
dibudidayakan di daerah tropik perlu adaptasi serta perlakuan khusus.
Adapun data mengenai karakteristik tanaman alfalfa yang tahan terhadap
musim kemarau di Grati sebagai berikut:
Tabel 1. Karakter tanaman alfalfa yang tahan musim kemarau.
Hasil hijauan
No. Umur Uraian (musim)
(kg/ha)
1 49 hari 1.500 Musim hujan
2 24 hari (regrowth) 2.100 Musim hujan
3 28 hari (regrowth) 2.000 Hujan berkurang
4 30 hari (regrowth) 2.540 Mulai musim kemarau
5 33 hari (regrowth) 3.571 Musim kemarau
6 30 hari (regrowth) 4.077 Musim kemarau hebat
7 Tanaman hidup terus

Data tersebut menunjukkan bahwa tanaman alfalfa mempunyai daya


adaptasi yang luas terhadap perubahan musim, serta menghasilkan hijauan
yang optimal pada musim kemarau. Tanaman alfalfa merupakan
leguminosea perrenial yang tahan terhadap invasi weed, menahan erosi dan
tetap hijau sepanjang tahun baik musim hujan maupun musim kemarau.
Tanaman Alfalfa yang berkembang di Indonesia dapat tumbuh dengan
optimal pada ketinggian kurang dari 100 m dpl. Hal itu menunjukkan bahwa
tanaman alfalfa dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah dengan suhu
yang lebih tinggi. Intensitas cahaya optimal diperlukan oleh tanaman alfalfa
untuk mengimbangi kandungan khlorofil empat kali lipat daripada tanaman
sayuran. Hal itu akan mengoptimalkan produksi tanaman melalui efisiensi
fotosintesis. Belum ada penelitian yang menjelaskan tentang berapa besar
intensitas cahaya yang diperlukan agar diperoleh hasil yang optimal.
Suhu merupakan faktor penting dalam pertumbuhan bagi tanaman
secara umum, maupun pada tanaman alfalfa. Tanaman alfalfa sebagai
tanaman sub tropis mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan
dengan suhu yang relatif tinggi. Tanaman alfalfa dapat tumbuh pada
berbagai ketinggian tempat, baik pada dataran tinggi, sedang maupun
rendah. Telah dilakukan uji coba penanaman alfalfa dengan tiga perlakuan
ketinggian tempat yaitu di Kecamatan Selo (Dataran tinggi), Kecamatan
Boyolali (dataran sedang), Kota Semarang (Dataran Rendah), Kabupaten
Jepara (Dataran Rendah) serta Kecamatan Mranggen (dataran rendah).
Secara geografis Kecamatan Selo terletak diantara Gunung Merapi dan
Merbabu yang merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian tempat
antara 700-1570 m dpl. Kondisi lahan di Kecamatan Selo mempunyai
kemiringan 25-40% ke arah barat dan ke arah timur. Kondisi iklim di
Kecamatan Selo umumnya termasuk tipe C basah dengan curah hujan rata-
rata 2682 mm dan jumlah hari hujan 132 hari. Hasil penelitian menunjukkan
menunjukkan bahwa Kecamatan Selo juga merupakan daerah yang cocok
untuk tanaman alfalfa. Sehingga wilayah tersebut merupakan daerah yang
potensial untuk dilakukan pengembangan budidaya tanaman alfalfa (Renan
dkk, 2006).
b) Tanah
Pertumbuhan tanaman alfalfa (Medicago sativa L) baik pada jenis tanah
grumosol yang bersifat sangat basa dan temperatur rendah. Adapun
penyebaran tanah grumosol (vertisols ) di Indonesia ada tiga daerah yaitu :
1. Dataran rendah kaki bukit yang berbatasan dengan gunung berapi.
2. Dataran rendah berbatasan dengan cekungan dan bukit-bukit kapur.
3. Dataran aluvial campuran gunung berapi dan bahan batu pasir dari
pantai.
Menurut Sutanto (2002) bahwa produktifitas tanah sangat dipengaruhi
banyak faktor yang berperan, baik yang bersifat alami maupun buatan.
Faktor alami yang dimaksud termasuk kapasitas pengikatan air, aerasi dan
kemudahan diolah, sifat kimia termasuk kemampuan memasok hara dan
daya sanggah tanah, sedangkan sifat biologi seperti aktivitas mikrobia dan
kemampuan menekan penyakit. Faktor buatan meliputi pengelolaan
tanaman, lahan, dan tanah yang berpengaruh terhadap produktivitas tanah.
Faktor pengelolaan iklim dan budidaya secara langsung mempengaruhi
pertumbuhan tanaman. Produktivitas tanah dapat ditingkatkan melalui
pengelolaan tanah dan tanaman secara terpadu.
Tanaman alfalfa dapat tetap tumbuh dengan baik pada jenis tanah yang
kurang produktif dengan tingkat kesuburan yang relatif rendah. Dengan
demikian tanaman Alfalfa dapat dikembangkan pada daerah-daerah tersebut,
sebagai upaya meningkatkan penggunaan lahan tidur yang tidak produktif.
Pemanfaatan tanah yang kurang produktif tersebut dalam kurun waktu yang
lama mampu meningkatkan produktifitas lahan.
Jenis rhizobium bersimbiosis pada tanaman alfalfa dan sweet clover.
Penambatan maksimum terjadi bila kadar nitrogen dalam tanah rendah.
Pemberian nitrogen terlalu banyak dapat menekan aktivitas rhizobium.
Jumlah gas nitrogen yang ditambat bakteri rhizobium tergantung strain
rhizobium, tanaman inang dan keadaan lingkungan dalam hal ini : pH tanah,
aerasi, drainase, kelembaban tanah.
Tabel 2. Jumlah tambatan nitrogen rata-rata oleh tanaman kacang-kacangan.
Tanaman Legum Nitrogen ditambat (kg/ha)
1. Alfalfa 194
2. Sweet clover 119
3. White clover 103
4. Cow peas 90
5. Soybeans 58
6. Peanuts 42
7. Beans 40
Tanaman alfalfa merupakan jenis tanaman yang paling tidak toleran
terhadap kemasaman tanah (pH kritis 6,0-6,5). PH kritis merupakan kondisi
dimana perlakuan pengapuran mampu meningkatkan produksi tanaman.
Sehingga dalam budidayanya perlu diperhatikan tingkat kemasaman lahan.
Apabila lahan yang digunakan mempunyai pH dibawah 7, maka perlu
diberikan perlakuan pengapuran. PH rendah mengakibatkan keracunan ion
H, Al, Mn, Fe, KTK rendah, P rendah, bahan organik rendah serta aktivitas
mikroorganisme juga sangat terbatas (Sutibjo, 1986).
Tabel 3. klasifikasi toleranasi tanaman terhadap keasaman tanah.
No Tingkat Toleransi Tanaman
Alfalfa (Medicago sativa L.) Beet gula
1 Paling tidak toleran (Beta vulgaris) Red Clover (Trifolium
pratense) Sweet clover (Melilotus indica)
Barley (Hordeum vulgare) Kapas
2 Medium toleran (Gossypium hirsutum) Fescue (Festuca
arundiaceae) Sorghum (Sorghum vulgare)
Jagung (Zea mays) Kacang tanah (Arachis
hypogaea) Kentang (Solanum tuberosum)
3 Sangat toleran
Kedelai (Glycine max) Wheat (Triticum
vulgare)
(Sumber : Sutibjo, 1986)

Alfalfa Mempunyai Siklus Calvin Tipe C 3


Jalur yang dilalui karbon dalam proses fotosintesis yang menjadi dasar
pengetahuan kita pada saat ini telah diteliti oleh Calvin dkk. Siklus Calvin
suatu model pengikatan CO2 yang terjadi dalam kloroplas suatu tumbuhan
C3 yang sedang mengadakan fotosintesis. Bagian CO2 dari siklus Calvin
dikatalisis oleh enzim ribulose bi-fosfat (RuBP) karboksilase. ATP yang
dihasilkan selama fosforilase digunakan untuk mengubah ribulase 5-fosfat
menjadi RuBP. Setelah fiksasi CO2, ATP bersama-sama dengan nukleotida
yang terreduksi dalam proses terang, mengubah 3 fosfo-asam-gliserat yang
disebut dengan jalur C3 karena hasil pertama yang dapat diukur setelah
menambahkan CO2 radioaktif (14 CO2) berbentuk molekul dengan 3 atom
C yaitu 3-PGA (Gardner, 1991 : 14-15).
Proses Fotosintesis Dalam Daun
Daun berfungsi sebagai organ utama fotosintesis pada tumbuhan tingkat
tinggi. Evolusi daun telah mengembangkan struktur yang akan menahan
kekerasan lingkungan namun juga efektif dalam penyerapan cahaya dan
cepat dalam pengambilan CO2 untuk fotosintesis. Secara umum daun
tanaman budidaya mempunyai (1) permukaan luar yang luas dan datar; (2)
lapisan pelindung permukaan atas dan bawah; (3) banyak stomata per satuan
luas; (4) permukaan dalam yang luas dan rongga udara yang saling
berhubungan; (5) sejumlah besar kloroplas dalam setiap sel; dan (6)
hubungan yang erat antara ikatan pembuluh dan sel-sel fotosintesis. Sehelai
daun yang ideal untuk pertukaran gas dan penangkapan cahaya hanyalah
setebal satu sel, tetapi kekerasan lingkungan alami memerlukan beberapa
lapisan sel dan pelindung permukaan supaya dapat lestari (Gardner dkk.,
1991).
Tabel 4. Jumlah dan Ukuran Stomata Pada Tanaman Alfalfa dan Tanaman Lain
Ukuran
Nama Epidermis Epidermis
No. Nama Latin Stomata
Umum atas bawah
(μm)
1. Alfalfa Medicago sativa L 169 138 .........
2. Apel Pyrus malus 0 294 ........
3. Kentang Solanum tuberosum L 51 161 .........
4. Jagung Zea mays 52 68 19 X 5
5. Gandum Triticum sativum L 33 14 38 X 7
Sumber : Meyer dkk., 1960 dalam Gardner, 1991
Menurut Gardner dkk., (1991) bahwa varietas dalam suatu species
tanaman budidaya mempunyai laju pertukaran CO2 yang berbeda-beda. Hal
tersebut menguatkan bahwa hasil panen dapat ditingkatkan dengan cara
menyeleksi dan mengembangkan populasi yang mempunyai laju
pengambilan CO2 yang lebih tinggi. Species C4 mempunyai laju pertukaran
CO2 yang tinggi dan merupakan species tanaman budidaya yang termasuk
paling produktif misalnya jagung, sorgum dan tebu. Hal itu memberikan ide
untuk mengembangkan bidang pemuliaan tanaman upaya mengubah species
C3 menjadi C4.
Tabel 5. Variasi Fotosintesis Antar Species
Fotosintesis (mg
No. Species Lokasi
CO2./dm2.Jam)
1. Jagung (Zea mays) New York 21-59
Filipina 28-85
Iowa 22-52
2. Kedelai (Glycine max L) Iowa 29-4
Illionis 12-24
3. Alfalfa (Medicago sativa L) Maryland 28-60
Sumber : Gardner dkk., 1991
Laju Pertumbuhan Maksimum Tanaman Alfalfa Menurut Gardner dkk.,
1991 menunjukkan beragamnya laju pertumbuhan maksimum tanaman
alfalfa dan beberapa tanaman budidaya lainnya. Data laju pertumbuhan
maksimum berbagai tanaman budidaya dapat diketahui pada tabel. Apabila
CGR maksimum 77 g/m2.hari dibandingkan dengan pengukuran nyata CGR
jangka pendek, akan diketahui bahwa kondisi ideal beberapa tanaman
budidaya dapat mencapai 60% dari taksiran maksimum tersebut.
Tabel 6. Laju Pertumbuhan Tanaman Alfalfa dan tanaman Lainnya.
No Species Nama Latin Tipe Karboksilase CGR Maksimum
1 Alfalfa Medicago sativa L C3 23
2 Kentang Solanum tuberosum L C3 37
3 Padi Oryza sativa L C3 36
3 Jagung Zea mays L C4 52
4 Tebu Saccharum officinarum L C4 38
5 Nanas Ananas Comosus CAM 28
Sumber : Gardner dkk., 1991
Efisiensi Pemanfaatan Air Menurut Gardner dkk., 1991, Alfalfa
(Medicago sativa .L) mempunyai nilai koefisien pemanfaatan konsumtif (k)
yang tinggi karena dalam musim semi luas daunnya berkembang dengan
cepat dari karbohidrat cadangan. Walaupun dipanen sepanjang tahun,
tanaman ini menumbuhkan luas daun dengan cepat dari karbohidrat dalam
akar dan pucuk, serta mempertahankan penutup tanah dalam waktu yang
lebih panjang selama musim pertumbuhan. Berdasarkan pemanfaatan air
dan produktivitas berat kering dalam kondisi cukup air dari berbagai macam
tipe tanaman yaitu :
Tabel 7. Pemanfaatan Air dan Produktivitas Berat Kering dalam Kondisi Cukup Air
Kebutuha Efisiensi
Koefisien ET DM
Periode n Air Pemanfaatan
Jalur Pemanfaat -
Tanaman Pertum- Rata- Rata-
Fiksasi an
Budidaya buhan Musiman Rata Musiman Rata (gH2O/g (g DM. kg
CO2 Konsumtif
(hari) (mm) harian (mm) harian DM) H2O)
(k)
(mm) (mm)
Jagung C4 135 0,75 658 4,9 17.000 126 388 2,58
Sorgum C4 110 0,78 583 5,3 14.500 132 402 2,49
Kentang C3 128 0,65 532 4,2 10.000 78 532 1,88
Bit C3 190 0,72 876 4,6 14.500 76 606 1,65
Gandum C3 112 0,66 473 4,2 7.700 69 613 1,63
Kedelai C3 113 0,78 599 5,3 8.500 75 704 1,42
Alfalfa C3 195 0,87 1.112 5,7 11.200 57 993 1,01
Sumber : Gardner dkk., 1991

Kiprah Gulma Terhadap Tanaman Alfalfa


Gulma merupakan tumbuhan yang tidak dikehendaki, tumbuhan yang
tumbuh tidak sesuai dengan tempatnya yang mempunyai sifat dimana nilai
negatifnya melebihi nilai positifnya. Gulma mengadakan interaksi dengan
tanaman, umumnya secara kompetisi. Gulma dan tanaman berinteraksi
secara negatif dalam bentuk penurunan kegiatan pertumbuhan termasuk
peristiwa alelopati. Gulma mengadakan persaingan terhadap unsur hara dan
air terhadap tanaman utama yang dibudidayakan. Keberadaan gulma bagi
tanaman utama menyebabkan berbagai kerugian diantaranya :
1. Menurunkan angka hasil
2. Menurunkan mutu hasil
3. Menjadi inang alternatif hama atau patogen
Berikut ini dijelaskan berbagai tipe interaksi antara gulma dengan
tanaman utama, yaitu :
1. Neutralisme
Kedua tumbuhan tidak saling terpengaruh oleh interaksi. Misalnya:
karet dan Calopogonium mucunoides.
2. Kompetisi
Kedua tumbuhan terpengaruh secara negatif oleh interaksi dalam
bentuk penurunan kegiatan pertumbuhannya (termasuk peristiwa
alelopati). Misalnya : antara jagung dan Chenopodium album.
3. Amensalisme
Satu tumbuhan tidak dipengaruhi oleh interaksi sementara kegiatan
pertumbuhan lainnya dipengaruhi secara negatif. Misalnya : karet
dewasa dan penutup tanah sembung rambat.
4. Dominasi
Satu tumbuhan mendominasi tumbuhan lainnya (termasuk
parasitisme dan predasi). Misalnya : antara Cyperus sp dan padi;
antara Cuscuta sp dan tanaman pagar.
5. Komensalisme
Suatu interaksi positif : satu tumbuhan tidak dipengaruhi, sedang
tumbuhan alain memperoleh keuntungan dari interaksi ini.Misalnya
: antara Azolla sp dan padi.
6. Proto kooperasi
Interaksi kooperatif antara dua tumbuhan dari sini kedua
keuntungan berasal daripadanya. Nama lain biasa disebut
simbiosis. Misalnya antara Azolla sp dan padi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetisi antara lain :
1. Jenis Gulma
Jenis gulma yang berbeda memiliki kemampuan bersaing berbeda
pula. Potensi masing-masing gulma berpengaruh terhadap
persaingan yang terjadi.
2. Kepadatan gulma
Pada musim penghujan kepadatan suatu gulma relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan pada musim kemarau, karena pada musim
penghujan air tersedia dalam jumlah cukup.
3. Distribusi
Gulma mampu menyebar dengan biji atau akar rimpang atau alat
perkembangan lain yang memungkinkan menghasilkan kompetisi
yang tinggi.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Renan dkk.(2006),
ditemukan bahwa gulma yang sering muncul pada tanaman alfalfa adalah
teki (Cyperus rotundus L) dan Alang-alang (Imperata cylindrica). Kedua
jenis gulma ini termasuk sulit untuk dikendalikan karena gulma teki
(Cyperus rotundus L) mempunyai sistem perkembangbiakan tuber (umbi
akar) yang berada dalam tanah. Sedangkan untuk gulma alang-alang
(Imperata cylindrica) mempunyai sistem perkembangbiakan dengan
menggunakan rhizome yaitu batang beserta daun tertinggal dalam tanah.
Rhizome atau rimpang disamping merupakan alat perkembangbiakan juga
merupakan tempat penimbunan zat makanan cadangan bagi alang-alang
(Imperata cylindrica). Apabila gulma ini dicabut tidak beserta umbi akar
dan rimpangnya maka umbi akar dan rhizome yang tertinggal merupakan
umbi akar potensial untuk berkembangbiak sehingga sulit untuk
dikendalikan. Menurut Triharso (2004) bahwa teki (Cyperus rotundus) dan
alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan jenis gulma yang ganas.
Kedua jenis gulma ini termasuk gulma perrenial (tahunan).
B. Karakteristik Tanaman Alfalfa
Tanaman yang termasuk legume tropik perrenial ini dapat menyediakan
hijauan makanan ternak daripada legume tropik annual. Tanaman legume tropik
perrenial mempunyai kemampuan mengikat nitrogen bebas di udara juga lebih
besar daripada legume annual (Soedomo, 1994). Menurut Soedomo (1994),
bahwa legume sub tropik perrenial membutuhkan unsur hara yang lebih banyak
dibandingkan legume tropik. Demikian juga, legume tropic mempunyai
kemampuan adaptasi yang lebih luas keadaan tanah daripada legume subtropik.
Menurut Ayres (1936) dan Bennet (1939) dalam Soedomo (1994) tanaman
leguminoseae dan graminae sebagai makanan ternak mempunyai kemampuan
mencegah erosi tanah satu tingkat dibawah kemampuan hutan. Dimana tanaman
leguminoseae kemampuannya satu tingkat diatas tanaman graminea. Tanaman
yang dimanfaatkan sebagai makanan ternak tersebut mampu melestarikan
kesuburan tanah, sehingga perlu penanganan yang tepat untuk mencegah erosi.
Tabel 8. Banyaknya air dan tanah yang hilang setiap tahun pada tanah
No Tanaman Air (% Curah hujan) Tanah (Ton/acre)
1. Alfalfa 7,50 0,25
2. Rotasi 15,20 11,40
3. Jagung 28,30 68,80
4. Tanah gundul 31,00 112,80

Menurut Soedomo (1994) tanaman famili leguminosea yang ditanam pada


tanah masam memerlukan inokulasi rhizobium yang sesuai kemudian dicampur
dengan zat adhesif dan superfospat yang dibuat pelet. Hal itu juga berlaku untuk
leguminosea Medicago sativa L. yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan
tanaman. Rata-rata nitrogen bebas yang diikat oleh rhizobium adalah 47-905
kg/ha/tahun menurut penelitian Sanchez (1976).
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam budidaya tanaman alfalfa adalah
kelembaban serta suhu yang sesuai. Tanaman ini cocok ditanam didataran tinggi.
Jenis-jenis legum yang menghendaki tempat yang tinggi serta suhu yang rendah,
umumnya kurang toleran terhadap P rendah dibanding dengan jenis rumput
tropik. Strain rhizobium untuk leguminosea daerah beriklim sub tropik
mempunyai pertumbuhan cepat.
Pembahasan mengenai tanaman alfalfa tidak terlepas dengan
mikroorganisme dalam rizosfer. Mikroorganisme dalam rizosfer yang dimaksud
adalah Rhizobium melliloti yang bersimbiosis dengan akar tanaman alfalfa
kemudian membentuk bintil akar. Menurut Rao (1994) bahwa penyakit alfalfa
yang menyebabkan rendahnya produksi hasil budidaya dikaitkan dengan adanya
bakteriofag Rhizobium. Tetapi belum ada bukti bahwa kegiatan bakteriofag
mengurangi kekuatan legum dan kandungan nitrogen dalam lingkungan rumah
kaca. Keasaman tanah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya
populasi rhizobium dalam tanah. Rhizobium meliloti yang bersimbiosis dengan
akar alfalfa sangat peka terhadap asam. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman
legum kurang optimal dalam media asam dibandingkan dalam keadaan netral atau
sedikit basa yang secara tidak langsung dapat disebabkan oleh berkurangnya
koloni Rhizobium dalam tanah dan rizosfer yang menyebabkan tidak cukupnya
pembentukan bintil (Rao, 1994).
Temperatur mempengaruhi pertumbuhan maupun kelestarian Rhizobium.
Rhizobium kelompok alfalfa relatif lebih toleran terhadap temperatur yang lebih
tinggi daripada Rhizobium kelompok tanaman ercis, semanggi, dan kacang. Studi
tentang semanggi dan alfalfa (disebut Lucerne) telah mengungkap bahwa reaksi
pertama sistem perakaran terhadap adanya Rhizobium adalah penggulungan dan
deformasi rambut akar. Pembentukan tongkat gembala yang khas pada rambut
akar umumnya dianggap sebagai awalan penting bagi pembentukan struktur
serupa benang (benang infeksi) yang ada dalam rambut akar (Rao, 1994).
Menurut Rao (1994) bahwa senyawa pengatur tumbuh yang berupa auksin
(IAA-Indol Acetic Acid) mempunyai pengaruh terhadap proses pembentukan
auksin. Frekuensi pembentukan bintil pada tanaman alfalfa akan meningkat pada
kadar IAA yang optimum (10–8 M) dalam medium perakaran. Larutan KNO3
dengan konsentrasi 140 N (ppm) menyebabkan berkurangnya total bintil yang
dihasilkan. Fakta menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara hasil fotosintesis,
sumber nitrogen mineral, reaksi tanah (pH) dan substansi perangsang
pertumbuhan yang bekerja dalam daerah perakaran selama tahap-tahap simbiosis
yang berbeda dalam legum yang membentuk bintil. Selain IAA, kolkisin pada
konsentrasi 10 mg/l dapat menginduksi peningkatan jumlah bintil pada akar
legum seperti alfalfa dan semanggi.
Bintil yang terdapat pada akar alfalfa tentunya mempunyai peranan yang
khas terhadap proses fiksasi nitrogen. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa bakteriod merupakan tempat utama berlangsungnya proses
fiksasi nitrogen. Peranan bakteriod dalam fiksasi nitrogen adalah ditemukannya
enzim nitrogenase dalam ekstrak bakteriod kasar. Kegiatan yang cukup tinggi
dalam memfiksasi nitrogen hingga mencapai maksimum sampai 13 mol N2
/menit/mg protein merupakan suatu bukti. Pigmen merah yang mirip dengan
hemoglobin darah dijumpai dalam bintil akar antara bakteriod dan selubung
membran yang mengelilinginya. Leghemoglobin yang terdapat dalam bintil akar
legum merupakan suatu hemoprotein yang memiliki kerangka heme yang melekat
pada suatu rantai peptid yang mewakili bagian globin dari molekul. Berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan bahwa leghemoglobin tidak berperan dalam fiksasi
nitrogen simbiotik tetapi berfungsi sebagai katup biologis dalam mengatur
pemasokan oksigen ke bakteriod pada tingkat optimum yang kondusif untuk
berfungsinya secara tepat sistem pemfiksasian nitrogen. Jumlah leg-hemoglobin
dalam bintil akar memiliki hubungan langsung dengan jumlah nitrogen yang
difiksasi oleh legum. Kolkisin sebagai senyawa pengatur tumbuh yang mampu
meningkatkan jumlah bintil akar legum seperti alfalfa dan semanggi. Penelitian
terhadap tanaman alfalfa dalam kondisi secara bakteriologis pada agar miring
menunjukkan bahwa Rhizobium dapat mentolerir tingkat yang lebih tinggi dari
seluruh garam seperti garam-garam kalsium, garam-garam magnesium dan garam-
garam natrium. Hal itu menunjukkan pentingnya menghasilkan kultivar tanaman
budidaya legum yang mampu menahan salinitas dan bukan berusaha menularkan
galur bakteri yang tahan garam ke dalam tanah. Pada tanaman alfalfa, tingkat
salinitas/alkalinitas yang lebih tinggi menurunkan pembentukan rambut akar dan
penimbunan lendir di sekitar akar (Rao, 1994).
C. Manfaat Tanaman Alfalfa
Tanaman alfalfa dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dari berbagai
aspek, yaitu ekonomi, sosial, farmakologi dan agronomi. Berdasarkan hasil
pengujian laboratorium yang dilakukan oleh Indonesia Alfata Center (IAC)
terhadap tanaman alfata, sebagai berikut :
Tabel 9. Hasil Analisa Laboratorium Tanaman Alfata
Analisa Segar Berat Kering (%) Analisa Ekstrak Berat Kering (%)
Abu 13,10 Abu 15,00
Lemak 2,70 Lemak 6,50
Protein 32,60 Protein 48,70
Serat Kasar 21,40 Serat Kasar 4,80
Sumber : IAC, 2005

Secara umum tanaman alfalfa dimanfaatkan sebagai pakan ternak, karena


kandungan gizinya yang cukup tinggi dari beberapa hal : abu, protein, lemak, dan
serat kasar. Kandungan gizi yang utama adalah protein sebesar 48,70% berat
berangkasan kering. Fakta tersebut memberikan gambaran tentang sumber protein
bagi hewan ternak khususnya lembu maupun kambing. Alfalfa yang diberikan
untuk ransum ternak, tidak perlu ditambahkan konsentrat tetapi dengan
menggunakan kedelai 30% dan jagung 4%. Perbandingan ransum untuk sapi di
Taiwan adalah serat kasar dan alfalfa sebesar 3 : 1. Kebutuhan alfalfa untuk
seekor sapi sebanyak 3 kg/hari.
Tepung daun alfalfa dapat digunakan untuk ransum sebagai pakan ternak
unggas karena mempunyai kandungan gizi yang relatif baik untuk pertumbuhan
ternak unggas baik petelur maupun pedaging. Tepung daun alfalfa mengandung
komposisi zat makanan sebagai berikut :
Tabel 10. Kandungan zat makanan dalam tepung alfalfa.
No. Kandungan Zat Makanan Jumlah Kandungan
1. Protein (%) 20 ,00
2. Energi metabolisme (kkal/kg) 1630,00
3. Lemak (%) 3,60
4. Serat Kasar (%) 22,00
5. Ca (%) 1,50
6. P total (%) 0,27
7. P tersedia (%) 0,27
8. Na (%) 0,18
9. K (%) 2,50
10. Cl (%) 0,38
11. Mn (%) 44,00
12. Zn (ppm) 32,00
Sumber : Wahju J, 1991
Menurut Wahju (1991), bahwa tepung daun alfalfa merupakan sumber
protein nabati yang mempunyai kandungan nilai gizi yang tinggi sehingga apabila
diberikan sebagai ransum ternak unggas petelur mampu meningkatkan kualitas
telur yang dihasilkan. Sumber protein pada ransum ternak tidak hanya diperoleh
dari tepung ikan, tetapi dapat diperoleh dari tepung daun alfalfa, tepung daun turi,
dan tepung daun turi sebagai sumber protein nabati. Ransum pakan ternak unggas
yang ditambahkan tepung alfalfa akan mampu meningkatkan kualitas telur dari
beberapa aspek : Kualitas kulit telur, Kualitas atau derajat albumin, Kualitas atau
nilai gizi untuk kepentingan konsumen, Bebas kerusakan, Kualitas kuning telur,
dan Ukuran besar telur.
Menurut Wahju (1991) pula bahwa tepung daun alfalfa mempunyai
komposisi asam amino dan vitamin sebagai berikut :
Tabel 11. Komposisi asam amino pada tepung alfalfa.
No. Asam amino dan Vitamin Kandungan
1. Riboflavin (mg/kg) 15,00
2. Niasin ( mg/kg) 55,00
3. Asam pantotenat (mg/kg) 33,00
4. Cholin (mg/kg) 1,60
5. Vitamin B12 (mg/kh) -
6. Piridoksin (mg/kg) 11,00
Biotin (mg/kg) 0,35
7. Asam folat (mg/kg) 4,00
8. Vitamin E (q-tocoferol) (IU/kg) 140,00
9. Asam linoleat (%) 0,52
10. Xantophyl (mg/kg) 310,00
Sumber : Wahju J, 1991
Alfalfa ditengarai mempunyai fungsi sebagai tanaman berkasiat obat untuk
menyembuhkan berbagai penyakit. Senyawa yang terkandung dalam tanaman
dapat berkasiat sebagai obat untuk berbagai penyakit. Penelitian secara uji klinis
masih dalam taraf awal untuk mengetahui senyawa yang terkandung dalam
tanaman. Dengan mengetahui senyawa yang terdapat dalam tanaman, maka akan
nampak lebih jelas fungsi senyawa untuk mengendalikan penyakit. Selain
mengandung protein yang tinggi, tanaman alfalfa juga mengandung senyawa
antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA

Dwidjoseputro, 1988, Pengantar Fisiologi Tumbuhan, Gramedia, Jakarta.

Dewi, N, K., 2005, Kesesuaian Iklim terhadap Pertumbuhan Tanaman, Jurnal


Mediagro Fakultas Pertanian Unwahas, Semarang.

Fukuoka, M., 1995, The Natural Way of Farming : The Theory and Practice of
Green Philosophy, Japan Publications, Tokyo.

Gardner F.P., dkk, 1991, Fisiologi Tanaman Budidaya, Universitas Indonesia


Press, Jakarta.

Juju Wahju, 2004, Ilmu Nutrisi Unggas, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Kartasapoetra, 2003., Teknologi Benih : Pengolahan Benih dan Tuntunan


Praktikum, Rineka Cipta, Jakarta.

Rao, S., 1994, Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman, Universitas


Indonesia Press, Jakarta.

Renan Subantoro, Sri Wahyuningsih, Rossi Prabowo., 2006, Pengaruh GA3,


Kompos, Pupuk Organik Cair, dan TSP Terhadap Pertumbuhan dan
Kualitas Serta Kuantitas Benih Alfalfa Tropika (Medicago sativa.L),
Jurnal Mediagro Faperta Universitas Wahid Haysim Semarang,
Semarang.

Sutanto, R., 2002, Pertanian Organik : Menuju Pertanian Alternatif dan


Berkelanjutan, Kanisius, Yogyakarta.

Sutjibjo,1986, Pengantar Produksi Tanaman Agronomi, IPB, Bogor. Suntoro dkk.,


Tanpa Tahun, Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian UNS, Surakarta.

Triharso, 2004, Dasar-dasar Perlindungan Tanaman, Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta.
El-Darier & Zein El-Dien / JTUSCI 5: 7-13 (2011)

1. Biological activity of Medicago sativa L. (alfalfa) residues on germination


efficiency, growth and nutrient uptake of Lycopersicon esculentum L.
(tomato) seedlings

Salama M. El-Darier*1 and Marwa H. Zein El-Dien2


1Botany and Microbiology Department, Faculty of Science, Alexandria
University,
Alexandria, Egypt, 2 Sidi Gaber Language School, Alexandria, Egypt
Received March 3rd 2011 Revised April 20th 2011 Accepted April 22nd 2011

Abstract
Aqueous extract (MSAE) and crude powder (MSCP) of Medicago sativa
demonstrated inhibitory effects on seed germination, growth and the nutrient
uptake of Lycopersicon esculentum. The results showed that the extracts brought
about considerable inhibition in the germination of tomato seeds and in plumule
and radicle length. The allelopathic effect of Medicago sativa decreased the
germination percentage (GP) of tomato seeds aggravating phytotoxicity (PT) or
inhibition percentage with the increase in extract concentration. The extracts also
reduced the phytomass of leaves, stems and roots of tomato seedling. The uptake
of N, P and K was highly affected and varied drastically by MSCP application.
This study revealed that the inhibitory effect of MSAE and MSCP might be due to
the presence of some allelochemicals which need further investigation.

Keywords: Dry matter, germination, Lycopersicon esculentum, Medicago sativa,


nutrient content, phytotoxicity.

Efisiensi residu dan Aktivitas biologis Medicago sativa L. ( alfalfa ) pada


perkecambahan, pertumbuhan dan serapan hara dari bibit Lycopersicon
esculentum L. (tomat)

Abstrak
Ekstrak air (MSAE) dan bubuk mentah ( MSCP ) dari Medicago sativa
menunjukkan efek Penghambatan pada perkecambahan biji, pertumbuhan dan
serapan hara dari Lycopersicon esculentum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ekstrak membawa penghambatan yang cukup besar dalam perkecambahan benih
tomat dan bulu kecil dan radikula panjang . Efek alelopati dari Medicago sativa
penurunan persentase perkecambahan ( GP ) dari biji tomat memperparah
phytotoxicity ( PT ) atau persentase penghambatan dengan peningkatan
konsentrasi ekstrak . Ekstrak juga mengurangi phytomass daun , batang dan akar
bibit tomat . Penyerapan N , P dan K adalah sangat terpengaruh dan bervariasi
secara drastis oleh aplikasi MSCP . Penelitian ini mengungkapkan bahwa efek
penghambatan MSAE dan MSCP mungkin disebabkan karena adanya beberapa
allelochemicals yang perlu penyelidikan lebih lanjut.
Kata kunci : Kering peduli , perkecambahan , Lycopersicon esculentum ,
Medicago sativa , kandungan gizi, fitotoksisitas.
2. Development of Alfalfa (Medicago sativa L.) as a Feedstock for
Production of Ethanol and Other Bioproducts

Deborah A. Samac, Hans-Joachim G. Jung, and JoAnn F. S. Lamb USDA-


ARS-Plant Science Research, University of Minnesota, St. Paul

Alfalfa (Medicago sativaL.) has considerable potential as a feedstock for


production of fuels, feed, and industrial materials. However, unlike other major
field crops such as corn and soybeans, which are commonly refined for production
of fuel and industrial materials, refining of alfalfa remains undeveloped. Instead,
alfalfa is primarily processed and used on-farm in the form of dried hay, silage,
and fresh forage known as “greenchop,” or is grazed by animals in pastures. In
many countries, including the United States, alfalfa is used as a basic component
in feeding programs for dairy cattle and is an important feed for beef cattle,
horses, sheep, and other livestock. Known as the “Queen of the Forages,” alfalfa
provides highly nutritious forage in terms of protein, fiber, vitamins, and minerals
for ruminant animals. If alfalfa is developed to its full potential as a feedstock for
biorefining, a major shift may occur in the manner in which alfalfa is produced
and used for feeding farm animals.

Pengembangan Alfalfa (Medicago sativa L.) sebagai Bahan baku untuk


Produksi Etanol dan lain Bioproducts

Alfalfa (Medicago sativaL.) memiliki potensi besar sebagai bahan baku untuk
produksi bahan bakar, pakan, dan bahan industri. Namun, tidak seperti bidang
utama lainnya tanaman seperti jagung dan kedelai, yang biasanya disempurnakan
untuk produksi bahan bakar dan bahan industri, pemurnian alfalfa tetap
berkembang. Sebagai gantinya, alfalfa terutama diproses dan digunakan pada
pertanian dalam bentuk kering jerami, silase, dan hijauan segar yang dikenal
sebagai "greenchop," atau menyerempet oleh binatang di padang rumput. Di
banyak negara, termasuk Amerika Serikat, alfalfa digunakan sebagai komponen
dasar dalam program pemberian makanan untuk sapi perah dan merupakan pakan
penting bagi sapi potong, kuda, domba, dan ternak lainnya. Dikenal sebagai
"Queen of the Forages," alfalfa memberikan pakan bergizi tinggi dalam hal
protein, serat, vitamin, dan mineral untuk hewan ruminansia. Jika alfalfa
dikembangkan secara maksimal sebagai bahan baku untuk biorefining, perubahan
besar dapat terjadi dalam cara di mana alfalfa dihasilkan
dan digunakan untuk memberi makan hewan ternak.
Int. J. Mol. Sci. 2015, 16, 16104-16124; doi:10.3390/ijms160716104

3. Analysis of Cell Wall-Related Genes in Organs of Medicago sativa L.


under Different Abiotic Stresses

Marc Behr 1,2, Sylvain Legay 1, Jean-Francois Hausman 1,* and Gea Guerriero
1,*
1. Environmental Research and Innovation (ERIN), Luxembourg Institute of
Science and Technology (LIST), 5, Avenue des Hauts-Fourneaux, L-4362
Esch/Alzette, Luxembourg; E-Mails: marc.behr@list.lu (M.B.);
sylvain.legay@list.lu (S.L.)
2. Groupe de Recherche en Physiologie végétale, Earth and Life Institute—
Agronomy, Université catholique de Louvain, 5 (bte 7.07.13) Place Croix
du Sud, B-1348 Louvain-la-Neuve, Belgium
* Authors to whom correspondence should be addressed;
E-Mails: jean-francois.hausman@list.lu (J.-F.H.); gea.guerriero@list.lu
(G.G.); Tel.: +352-47-02-61-443 (J.-F.H.); +352-275-888-1 (G.G.).

Academic Editor: Ann Cuypers


Received: 28 May 2015 / Accepted: 9 July 2015 / Published: 16 July 2015
Abstract: Abiotic constraints are a source of concern in agriculture, because they
can have a strong impact on plant growth and development, thereby affecting crop
yield. The response of plants to abiotic constraints varies depending on the type of
stress, on the species and on the organs. Although many studies have addressed
different aspects of the plant response to abiotic stresses, only a handful has
focused on the role of the cell wall. A targeted approach has been used here to
study the expression of cell wall-related genes in different organs of alfalfa plants
subjected for four days to three different abiotic stress treatments, namely salt,
cold and heat stress. Genes involved in different steps of cell wall formation
(cellulose biosynthesis, monolignol biosynthesis and polymerization) have been
analyzed in different organs of Medicago sativa L. Prior to this analysis, an in
silico classification of dirigent/dirigent-like proteins and class III peroxidases has
been performed in Medicago truncatula and M. sativa. The final goal of this study
is to infer and compare the expression patterns of cell wall-related genes in
response to different abiotic stressors in the organs of an important legume crop.

Keywords: abiotic stresses; gene expression; peroxidases; dirigent proteins;


cellulose synthases; cell wall
Analisis Dinding Sel - Terkait Gen di Organ Medicago sativa L. bawah
Menekankan abiotik yang berbeda

Abstrak: kendala abiotik merupakan sumber keprihatinan di bidang pertanian,


karena mereka dapat memiliki dampak yang kuat pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, sehingga mempengaruhi hasil panen. Respon tanaman
kendala abiotik bervariasi tergantung pada jenis stres, pada spesies dan pada
organ. Meskipun banyak penelitian telah membahas aspek yang berbeda dari
respon tanaman terhadap cekaman abiotik, hanya segelintir telah difokuskan pada
peran dinding sel. Pendekatan yang ditargetkan telah digunakan di sini untuk
mempelajari ekspresi gen-dinding terkait sel dalam organ yang berbeda dari
tanaman alfalfa dikenakan selama empat hari untuk tiga perlakuan cekaman
abiotik yang berbeda, yaitu garam, dingin dan stres panas. Gen yang terlibat
dalam langkah-langkah yang berbeda dari pembentukan dinding sel (biosintesis
selulosa, monolignol biosintesis dan polimerisasi) telah dianalisis dalam berbagai
organ Medicago sativa L. Sebelum analisis ini, di silico klasifikasi dirigent /
protein dirigent-seperti dan kelas III peroksidase memiliki telah dilakukan di
Medicago sativa truncatula dan M.. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk
menyimpulkan dan membandingkan pola ekspresi gen-dinding sel yang terkait
dalam menanggapi stres abiotik yang berbeda dalam organ tanaman legum
penting.

Kata kunci : cekaman abiotik ; ekspresi gen; peroksidase ; protein dirigent ;


Sintase selulosa ; dinding sel
Polish J. of Environ. Stud. Vol. 19, No. 5 (2010), 913-919

4. Alfalfa (Medicago sativa L.) Apigenin Glycosides and Their Effect on the
Pea Aphid (Acyrthosiphon pisum)

Sylwia Goławska1*, Iwona Łukasik1, Artur Goławski2, Ireneusz Kapusta3,


Bogdan Janda3

1Department of Biochemistry and Molecular Biology, University of Podlasie,


Prusa 12, 08-110 Siedlce, Poland
2Department of Zoology, University of Podlasie, Prusa 12, 08-110 Siedlce,
Poland
3Department of Biochemistry, Institute of Soil Science and Plant Cultivation,
Czartoryskich 8, 24-100 Puławy, Poland
Received: 6 October 2009
Accepted: 22 April 2010

Abstract
Flavonoids are a group of secondary metabolites found in most families. They are
known to have important physiological functions in plants by protecting them
against biotic stresses. Liquid chromatography (HPLC) was used to determine the
flavonoid profiles, especially apigenin glycosides, their total concentration, as
well as changes in the amount of six flavones found in the aerial parts of alfalfa
(Medicago sativa L.) (Fabaceae) Radius cv. for three vegetative stages, uninfested
and infested by the pea aphid (Acyrthosiphon pisum Harris) (Homoptera:
Aphididae). It has been shown that both control and infested green aerial parts of
alfalfa plants had similar flavonoid profiles. The dominant flavonoid of alfalfa
was compound 7-O-[2-O-feruloyl-β-D-glucuronopyranosyl(1→2)-O-β-D-
glucuronopyranosyl]-4’-O-β-D-glucuronopyranosideapigenin. Compound 4’-O-β-
D-glucuronopyranosideapigenin was present in the smallest amounts. The total
concentration of flavones was rather high and ranged from 10.32 to 12.28 mg/g
d.m., but there were no significant differences between uninfested and infested
alfalfa plants. There was a negative correlation between the concentration of total
apigenin glycosides in the alfalfa plants and pea aphid abundance and phloem sap
ingestion. This finding may indicate the importance of apigenin glycoside forms
as nutritional compounds.

Keywords: Medicago sativa, flavonoids, apigenin glycosides, herbivore,


Acyrthosiphon pisum
Alfalfa ( Medicago sativa L. ) Apigenin Glikosida dan Pengaruh mereka pada
Aphid Pea ( Pisum Acyrthosiphon )

Abstrak
Flavonoid adalah kelompok metabolit sekunder yang ditemukan di sebagian besar
keluarga. Mereka diketahui memiliki fungsi fisiologis penting pada tanaman
dengan melindungi mereka terhadap cekaman biotik. Kromatografi cair (HPLC)
digunakan untuk menentukan profil flavonoid, terutama apigenin glikosida,
Konsentrasi total mereka, serta perubahan jumlah enam flavon ditemukan di
bagian udara alfalfa (Medicago sativa L.) (Fabaceae) Radius cv. untuk tiga tahap
vegetatif, uninfested dan penuh dengan kacang aphid (Acyrthosiphon Pisum
Harris) (Homoptera: Aphididae). Telah terbukti bahwa kedua kontrol dan penuh
bagian aerial hijau tanaman alfalfa memiliki profil flavonoid yang sama.
Flavonoid dominan alfalfa adalah senyawa 7-O-[2-O-feruloyl-β-D-
glucuronopyranosyl(1→2)-O-β-D-glucuronopyranosyl]-4’-O-β-D-
glucuronopyranosideapigenin. Senyawa 4'-O-β-D-glucuronopyranosideapigenin
hadir dalam jumlah terkecil. Konsentrasi total flavon agak tinggi dan berkisar
10,32-12,28 mg / g dm, tapi tidak ada perbedaan yang signifikan antara uninfested
dan penuh tanaman alfalfa. Ada korelasi negatif antara konsentrasi total glikosida
apigenin dalam tanaman alfalfa dan kacang kutu kelimpahan dan floem getah
konsumsi. Temuan ini mengindikasikan pentingnya bentuk glikosida apigenin
sebagai senyawa gizi.

Kata kunci: Medicago sativa, flavonoid, glikosida apigenin, herbivora,


Acyrthosiphon Pisum
BIOKEMISTRI 18(2):63-69 (December 2006)
Available online at http://www.bioline.org.br/bk and at
http://www.ajol.info/journals/biokem

5. The effects of ascorbic acid on salt induced alfalfa (Medicago sativa L.)
in in vitro culture

Lila ARAB and Ali Akbar EHSANPOUR*


Department of Biology, Faculty of Science, Isfahan University, Isfahan, Iran
Received 17 February 2006
MS/No BKM/2006/005, © 2006 Nigerian Society for Experimental Biology.
All rights reserved.

Abstrak
Asam askorbat sebagai agen antioksidan telah digunakan untuk meningkatkan
toleransi stress. Kalus yang dihasilkan dari segmen batang alfalfa ( Medicago
sativa L. ) pada media MS dilengkapi dengan 2,4 asam asetat Dichlorophenoxy ,
asam asetat naftalena dan kinetin ( 2 mg / l masing-masing) .Calli kemudian
dipindahkan ke media yang sama yang mengandung 0 , 30 , 60 , 90 , 120 mM
NaCl dan 0 , 0,5 , 1,0 , 2,0 mM asam askorbat . Penambahan asam askorbat
dengan benih unggul menengah perkecambahan dan juga meningkatkan aktivitas
fosfat asam , kandungan klorofil , dan kering massa. Na + dan K + isi batang -
daun dan akar relatif meningkat dengan beberapa variasi . Berat segar kalus juga
meningkat asam askorbat bawah tekanan garam kondisi

Kata kunci : Asam askorbat, in vitro, Medicago sativa, stres garam


Plant Physiol. (1981) 67, 1198-1203
0032-0889/81/67/1 198/06/$00.50/0

6. Root Nodule Enzymes of Ammonia Assimilation in Alfalfa (Medicago


sativa L.)'

DEVELOPMENTAL PATTERNS AND RESPONSE TO APPLIED


NITROGEN

Received for publication September 8, 1980 and in revised form December


18, 1980
R. GENE GROAT AND CARROLL P. VANCE2
United States Department ofAgriculture, Science and Education
Administration, Agricultural Research, and the

Department ofAgronomy and Plant Genetics, The University of Minnesota,


St. Paul, Minnesota 55108

ABSTRACT
Nitrogenase-dependent acetylene reduction activity of glasshouse-grown alfalfa
(Medcago sativa L.) decreased rapidly in response both to harvesting (80% shoot
removal) and applied NO3- at 40 and 80 kilograms N per hectare. Acetylene
reduction activity of harvested plants grown on 0 kilogram N per hectare began to
recover by day 15 as shoot regrowth became signiflcant. In contrast, acetylene
reduction activity of aOl plants treated with 80 kilograms N03--N per hectare and
harvested plants treated with 40 kilograms N08--N per hectare remained low for
the duration of the experment. Acetylene reduction of unharvested alfalfa treated
with 40
kilograms N per hectare declined to an intermediate level and appeared to recover
slightly by day 15. Changes in N2-flxing capacity were accompanied by similar
changes in levels of nodule soluble protein. After an initial lag of 24 hours,
specific activities of alfalfa nodule glutamine synthetase, NADH-glutamate
synthase, and NAD-glutamate dehydrogenase (oxidative amination) decreased
similar to but less rapidly than acetylene reduction activity. Increased specific
activities of these nodule enzymes occurred as acetylene reduction activity
increased and shoot growth resumed. The observed rates of glutamine synthetase
and glutamate synthase were sufficient to assimilate ammonia produced via
symbiotic N2 fixation. Nodule NADH-dependent glutamate dehydrogenase
(reductive amination) specific activity was not associated with changes in
acetylene reduction activity. The data indicate that host plant glutamine synthetase
and NADHglutamate synthase function to assimilate symbiotically fixed N and
that NADH-dependent glutamate dehydrogenase may function in ammonia
assimilation during senescence in alfalfa nodules.

Enzim Amoniak Asimilasi di Bintil Akar Alfalfa ( Medicago sativa L. )'


Abstrak
Kegiatan pengurangan asetilena tergantung nitrogenase dari kaca-tumbuh alfalfa
(Medcago sativa L.) menurun dengan cepat dalam menanggapi baik untuk panen
(penghapusan menembak 80%) dan diterapkan NO3- pada 40 dan 80 kilogram N
per hektar. Kegiatan pengurangan asetilena tanaman dipanen ditanam di 0
kilogram N per hektar mulai pulih hari 15 sebagai tunas pertumbuhan kembali
menjadi signiflcant. Sebaliknya, kegiatan pengurangan asetilena tanaman AOL
diobati dengan 80 kilogram N03 - N per hektar dan tanaman dipanen diobati
dengan 40 kilogram N08 - N per hektar tetap rendah selama experment tersebut.
Pengurangan asetilena alfalfa dipanen diobati dengan 40 kilogram N per hektar
menurun ke tingkat menengah dan muncul untuk memulihkan sedikit demi hari
15. Perubahan N2-flxing kapasitas disertai oleh perubahan serupa di tingkat nodul
protein larut. Setelah lag awal 24 jam, aktivitas spesifik alfalfa nodul glutamin
sintetase, NADH-glutamat sintase, dan NAD-glutamat dehidrogenase (aminasi
oksidatif) menurun mirip tapi kurang cepat dari kegiatan pengurangan asetilena.
Peningkatan aktivitas spesifik enzim nodul terjadi kegiatan pengurangan sebagai
asetilena meningkat dan pertumbuhan tunas kembali. Tingkat yang diamati
glutamin sintetase dan glutamat sintase yang cukup untuk mengasimilasi amonia
dihasilkan melalui simbiosis fiksasi N2. Nodul tergantung NADH glutamat
dehidrogenase (aminasi reduktif) aktivitas spesifik tidak terkait dengan perubahan
dalam kegiatan pengurangan asetilena. Data menunjukkan bahwa glutamin
sintetase dan tanaman inang NADHglutamate fungsi synthase untuk
mengasimilasi symbiotically tetap N dan tergantung NADH glutamat
dehidrogenase mungkin berfungsi dalam asimilasi amonia selama penuaan di
nodul alfalfa.
Caunii et al. Chemistry Central Journal 2012, 6:123
http://journal.chemistrycentral.com/content/6/1/123

7. Design of optimal solvent for extraction of bio–active ingredients from


six varieties of Medicago sativa

Angela Caunii1, George Pribac2, Ioana Grozea3, Dorin Gaitin3 and Ionel
Samfira3*

Abstract
Background: Extensive research has been performed worldwide and important
evidences were collected to show the immense potential of plants used in various
traditional therapeutic systems. The aim of this work is to investigate the different
extracting solvents in terms of the influence of their polarity on the extracting
ability of bioactive molecules (phenolic compounds) from the M. sativa flowers.
Results: The total phenolic content of samples was determined using the Folin
Ciocalteu (FC) procedure and their antioxidant activity was assayed through in
vitro radical decomposing activity using the radical DPPH° assay (IUPAC name
for DPPH is (phenyl)–(2,4,6–trinitrophenyl) iminoazanium). The results showed
that water was better than methanol and acetic acid for extracting bioactive
compounds, in particular for total phenolic compounds from the flowers of alfalfa.
The average content of bioactive molecules in methanol extract was 263.5±1.02
mg GAE/100g of dry weight lyophilized extract. The total phenolic content of the
tested plant extracts was highly correlated with the radical decomposing activity.
However, all extracts were free–radical inhibitors, but the water extract was more
potent than the acetic and the methanol ones. The order of inhibitor effectiveness
(expressed by IC50) proved to be: water extract (0.924mg/mL) > acetic acid
extract (0.154mg/mL) > methanol (0.079mg/mL). The profiles of each extract
(fingerprint) were characterized by FT–MIR spectroscopy.
Conclusions: The present study compares the fingerprint of different extracts of
the M. sativa flowers, collected from the wild flora of Romania. The total
phenolic content of the tested plant extracts was highly correlated with the radical
decomposing activity. The dependence of the extract composition on the solvent
polarity (acetic acid vs. methanol vs. water) was revealed by UV–VIS
spectrometry and Infrared fingerprint.
Desain pelarut yang optimal untuk bio - bahan aktif dari ekstraksi enam
varietas Medicago sativa

Abstrak
Latar Belakang: Penelitian yang ekstensif telah dilakukan di seluruh dunia dan
bukti-bukti penting dikumpulkan untuk menunjukkan potensi besar dari tanaman
yang digunakan dalam berbagai sistem terapi tradisional. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menyelidiki pelarut ekstraksi berbeda dalam hal pengaruh
polaritas mereka pada kemampuan penggalian dari bioaktif molekul (senyawa
fenolik) dari bunga M. sativa.
Hasil: Total kandungan fenolik sampel ditentukan dengan menggunakan Folin
Ciocalteu (FC) prosedur dan aktivitas antioksidan mereka diuji melalui in vitro
aktivitas membusuk radikal menggunakan DPPH radikal ° assay (nama IUPAC
untuk DPPH adalah (fenil) - (2,4 , 6-trinitrophenyl) iminoazanium). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa air adalah lebih baik daripada metanol dan asam
asetat untuk mengekstraksi senyawa bioaktif, khususnya total senyawa fenolik
dari bunga alfalfa. Isi rata-rata molekul bioaktif dalam ekstrak metanol adalah
263,5 ± 1,02 mg GAE / 100g berat kering ekstrak lyophilized. Total konten
fenolik dari ekstrak tanaman diuji sangat berkorelasi dengan aktivitas membusuk
radikal. Namun, semua ekstrak yang inhibitor radikal bebas, tetapi ekstrak air
lebih kuat daripada asetat dan yang metanol. Urutan efektifitas inhibitor
(dinyatakan oleh IC50) terbukti: ekstrak air (0.924mg / mL)> ekstrak asam asetat
(0.154mg / mL)> metanol (0.079mg / mL). Profil masing-masing ekstrak (sidik
jari) yang ditandai dengan spektroskopi FT-MIR.
Kesimpulan: Penelitian ini membandingkan sidik jari dari ekstrak yang berbeda
dari bunga M. sativa, yang dikumpulkan dari flora liar Rumania. Total konten
fenolik dari ekstrak tanaman diuji sangat berkorelasi dengan aktivitas membusuk
radikal. Ketergantungan dari komposisi ekstrak pada polaritas pelarut (asam asetat
vs metanol vs air) itu diungkapkan UV-VIS spektrometri dan sidik jari Infrared.
Reprinted from AGRONOMY JOURNAL
Vol. 66, March-April 1974, p. 207-208'

8. Effect of SO -S Fertilization on Se Concentration of 4 Alfalfa (Medicago


sativa L.)'

D. T. Westermann and C. W. Robbins

ABSTRACT
Selenium is not required for plant growth, but is necessary for the prevention of
white muscle disease and other low-Se related animal disorders. Areas in the
Pacific Northwest that produce forages low in Se are nearly identical to those
known to be S deficient. While SO4-S has been shown to inhibit SeOeSe uptake
by plants, the effect of S fertilization on Se uptake by plants growing on low-Se
soils where other forms of Se may exist has not been evaluated. This was
examined on eight alfalfa [Medicago sativa L.) experimental sites where S
fertilization was a variable in southern Idaho. Yields were measured, and plant
samples were taken from the first harvest of alfalfa (0.1 bloom) and analyzed for
total Se and 5, and Se uptake.
Sulfur fertilization significantly reduced forage Se concentrations at four of the
eight experimental sites. Forages at seven sites contained less than 0.1 ppm Se
before S fertilization, which was further reduced by the S fertilization. The
decrease in Se concentration mainly reflected a dilution effect caused by a growth
response to the S fertilization. No direct relationship was apparent between forage
Se and S levels. This study showed that S fertilization of S-deficient, low-Se soils
to increase forage production may increase the incidence of Se deficiency in
animals. Thus ranchers, cattlemen, and agronomists should became aware of this
potential problem and provide protective measures against Se deficiency in their
livestock.

Additional Index words: S deficiency, Animal nutrition, Se uptake.


Pengaruh SO -S Pemupukan pada Se Konsentrasi 4 Alfalfa ( Medicago sativa
L.)'

ABSTRAK
Selenium tidak diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, tetapi diperlukan untuk
pencegahan penyakit otot putih dan gangguan hewan lainnya rendah-Se terkait.
Daerah di Pacific Northwest yang menghasilkan hijauan rendah Se hampir identik
dengan yang dikenal S kekurangan. Sementara SO4-S telah terbukti dapat
menghambat penyerapan SeOeSe oleh tanaman, pengaruh pemupukan S pada
serapan Se oleh tanaman yang tumbuh di tanah-Se rendah di mana bentuk-bentuk
lain dari Se mungkin ada belum dievaluasi. Ini diperiksa pada delapan alfalfa
[Medicago sativa L.) situs eksperimental di mana S pembuahan adalah variabel di
Idaho selatan. Hasil diukur, dan sampel tanaman diambil dari panen pertama dari
alfalfa (0,1 mekar) dan dianalisis total Se dan 5, dan serapan Se.
Sulfur pemupukan secara signifikan mengurangi konsentrasi Se hijauan di empat
dari delapan situs eksperimental. Hijauan di tujuh lokasi yang terdapat kurang dari
0,1 ppm Se sebelum S fertilisasi, yang kemudian dikurangi dengan pemupukan S.
Penurunan konsentrasi Se terutama mencerminkan efek dilusi yang disebabkan
oleh respon pertumbuhan terhadap pemupukan S. Tidak ada hubungan langsung
jelas antara hijauan Se dan S tingkat. Studi ini menunjukkan bahwa S pembuahan
S-kekurangan, rendah-Se tanah untuk meningkatkan produksi hijauan dapat
meningkatkan kejadian defisiensi Se pada hewan. Dengan demikian peternak,
peternak, dan agronomi harus menyadari potensi masalah ini dan memberikan
tindakan perlindungan terhadap defisiensi Se ternak mereka.

Indeks kata tambahan: defisiensi S, gizi Hewan, serapan Se.


Revista Mexicana de Fitopatología
ISSN: 0185-3309
mrlegarreta@prodigy.net.mx
Sociedad Mexicana de Fitopatología, A.C.
México

Hung Chang, H.; Kokko, Eric G.; Jenn Wen, H.


Infection of Alfalfa (Medicago sativa L.) Pollen by Mycoparasitic Fungi
Coniothyrium minitans Campbell
and Gliocladium catenulatum Gilmon and Abbott
Revista Mexicana de Fitopatología, vol. 21, núm. 2, julio-diciembre, 2003, pp.
117-122
Sociedad Mexicana de Fitopatología, A.C.
Texcoco, México

9. Infection of Alfalfa (Medicago sativa L.) Pollen by Mycoparasitic Fungi


Coniothyrium minitans Campbell and Gliocladium catenulatum Gilmon
and Abbott

Huang Hung-Chang, Eric G. Kokko, Agriculture and Agri-Food Canada,


Lethbridge
Research Centre, P.O. Box 3000, Lethbridge, AB T1J 4B1, Canada; and Huang
Jenn-
Wen, Department of Plant Pathology, National Chung-Hsing University,
Taichung, Taiwan.
LRC Contribution No. 387-02069. Correspondence to: huangh@agr.gc.ca

(Received: December 5, 2002 Accepted: January 27, 2003)

Abstract.
Studies using scanning and transmission electron microscopy revealed that pollen
grains of alfalfa (Medicago sativa) are susceptible to infection by mycoparasitic
fungi, Coniothyrium minitans and Gliocladium catenulatum. The mode of
infection was similar between the two mycoparasites. The infection process
involved direct hyphal penetration of pollen cell walls, most frequently through
germ pores. Growth and proliferation of the invading hyphae in the cell lumen
resulted in plasmolysis, as well as degradation and disintegration of pollen
cytoplasm. The impact of infection of alfalfa pollen grains by C. minitans and G.
catenulatum on dispersal of these mycoparasites and their potential for control of
blossom blight of alfalfa, caused by Sclerotinia sclerotiorum, is discussed.

Additional keywords: Medicago sativa, blossom blight of alfalfa, Sclerotinia


sclerotiorum.
10. Infeksi Alfalfa ( Medicago sativa L. ) Pollen oleh mycoparasitic Jamur
Coniothyrium minitans Campbell dan Gliocladium catenulatum
Gilmon dan Abbott

Abstrak.
Studi menggunakan scanning dan transmisi elektron mikroskop mengungkapkan
bahwa serbuk sari dari alfalfa (Medicago sativa) yang rentan terhadap infeksi oleh
jamur mycoparasitic, Coniothyrium minitans dan Gliocladium catenulatum.
Modus infeksi adalah serupa antara kedua mycoparasites. Proses infeksi yang
terlibat penetrasi hifa langsung dari dinding sel serbuk sari, paling sering melalui
kuman pori-pori. Pertumbuhan dan proliferasi hifa menyerang di lumen sel
mengakibatkan plasmolisis, serta degradasi dan disintegrasi serbuk sari
sitoplasma. Dampak dari infeksi alfalfa serbuk sari oleh C. minitans dan G.
catenulatum pada penyebaran mycoparasites ini dan potensi mereka untuk
menguasai hawar bunga dari alfalfa , yang disebabkan oleh Sclerotinia
sclerotiorum, dibahas.

Kata kunci tambahan : sativa Medicago, hawar bunga dari alfalfa , Sclerotinia
sclerotiorum
Plant Physiol. (1990) 94, 1802-1807
0032-0889/90/94/1 802/06/$01 .00/0

11. VI. Differential Responsiveness of Chalcone Synthase Induction to


Fungal Elicitor or Glutathione in Electroporated Protoplasts

Arvind D. Choudhary', Christopher J. Lamb, and Richard A. Dixon*


Plant Biology Division, The Samuel Roberts Noble Foundation, P. 0. Box 2180,
Ardmore, Oklahoma 73402,
(A.D.C., R.A.D.); and Plant Biology Laboratory, Salk Institute for Biological
Studies,
La Jolla, California 92037 (C.J.L.)

ABSTRACT
Protoplasts derived from cell suspensions of alfalfa (Medcago sativa L.)
responded to treatment with fungal elicitor (FE) by an increase in endogenous
chalcone synthase (CHS) activity but were unresponsive to reduced glutathione
(GSH). Preexposure of protoplasts to polyethylene glycol and electroporation
resulted in strong responsiveness to GSH but little change in responsiveness to
FE. Protoplasts from suspension cultures which had been subcultured more than
12 times lost responsiveness to GSH, but not FE, as assessed by measuring
expression of a chimeric gene containing a bean CHS promoter linked to a
bacterial chloramphenicol acetyltransferase (CAT) reporter gene. In protoplasts in
which putative cis-acting CHS promoter sequences had been coelectroporated in
trans with the intact CHS promoter-CAT construct, the extent of CAT expression
depended upon the elicitor used (FE or GSH), the age (number of times
subcultured) of the cells from which the protoplasts were isolated, and the nature
of the coelectroporated CHS promoter sequence. For example, a region of the
CHS promoter from -326 to -141 behaved as a
trans-activator when coelectroporated with the CAT construct into unelicited
protoplasts isolated from newly initiated cell suspensions, but the same region
acted as a trans-silencer in the same protoplasts in the presence of FE. This
silencer activity was much reduced in GSH-treated protoplasts. The results
suggest that there are differences in the signal transduction pathways for
elicitation of CHS transcription by FE and GSH, which involve previously
identified cis-elements in the CHS promoter.
VI . Diferensial Responsiveness dari Chalcone Sintase Induksi untuk jamur
elisitor atau Glutathione di Electroporated Protoplas

ABSTRAK
Protoplas yang berasal dari suspensi sel alfalfa (Medcago sativa L.) menanggapi
pengobatan dengan elisitor jamur (FE) dengan peningkatan endogen chalcone
synthase (CHS) aktivitas tetapi tidak responsif terhadap glutation tereduksi
(GSH). Preexposure protoplas untuk polietilen glikol dan elektroporasi
mengakibatkan respon yang kuat untuk GSH tetapi sedikit perubahan dalam
respon untuk FE. Protoplas dari kultur suspensi yang telah disubkultur lebih dari
12 kali kalah tanggap terhadap GSH, tapi tidak FE, sebagaimana dinilai dengan
mengukur ekspresi gen chimeric yang mengandung promotor CHS kacang terkait
dengan gen reporter bakteri kloramfenikol acetyltransferase (CAT). Dalam
protoplas yang diduga cis-acting urutan promotor CHS telah coelectroporated di
trans dengan CHS utuh promotor-CAT membangun, tingkat ekspresi CAT
tergantung pada elisitor yang digunakan (FE atau GSH), usia (jumlah kali
disubkultur) dari sel-sel dari mana protoplas diisolasi, dan sifat urutan CHS
promotor coelectroporated. Sebagai contoh, sebuah wilayah promotor CHS dari -
326 ke -141 berperilaku sebagai trans-aktivator ketika coelectroporated dengan
CAT membangun ke protoplas unelicited diisolasi dari suspensi sel baru dimulai,
tapi daerah yang sama bertindak sebagai trans-peredam di protoplas yang sama di
hadapan FE. Kegiatan peredam ini jauh berkurang di protoplas GSH-diobati.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam jalur transduksi sinyal
untuk elisitasi dari CHS transkripsi oleh FE dan GSH, yang melibatkan
sebelumnya diidentifikasi cis-elemen di promotor CHS.

Anda mungkin juga menyukai