09 Buku Ajar Struktur Beton Prategang
09 Buku Ajar Struktur Beton Prategang
DISUSUN OLEH :
I PUTU LAINTARAWAN, ST, MT.
I NYOMAN SUTA WIDNYANA, ST, MT.
I WAYAN ARTANA, ST.
Puji syukur penulis kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat-Nya, penyusunan Buku Ajar Struktur Beton Prategang dapat diselesaikan. Buku
Ajar ini disusun untuk menunjang proses belajar mengajar mata kuliah Beton Prategang
sehingga pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik dan lancar, serta pada akhirnya
tujuan instruksional umum dari mata kuliah ini dapat dicapai.
Diktat ini bukanlah satu-satunya pegangan mahasiswa untuk mata kuliah ini,
terdapat banyak buku yang bisa digunakan sebagai acuan pustaka. Diharapkan
mahasiswa bisa mendapatkan materi dari sumber lain.
Penulis menyadari bahwa diktat ini masih banyak kelemahan dan
kekurangannya. Oleh karena itu kritik dan saran pembaca dan juga rekan sejawat
terutama yang mengasuh mata kuliah ini, sangat kami perlukan untuk kesempurnaan
tulisan ini. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih.
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1 Definisi .....................................................................................................................1
1.2 Konsep Dasar Beton Prategang...............................................................................1
1.3 Perkembangan Penggunaan Prategang.....................................................................5
1.4 Metode Pemberian Pratekan dan Pengangkuran Ujung ...........................................6
1.5 Penjangkaran Ujung .................................................................................................8
1.6 Keuntungan dan Kerugian Beton Prategang.............................................................9
1.7 Material ....................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA
Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Hindu Indonesia iii
Struktur Beton Pratekan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Definisi beton prategang menurut beberapa peraturan adalah sebagai berikut:
a. Menurut PBI – 1971
Beton prategang adalah beton bertulang dimana telah ditimbulkan tegangan-
tegangan intern dengan nilai dan pembagian yang sedemikian rupa hingga tegangan-
tegangan akibat beton-beton dapat dinetralkan sampai suatu taraf yang diinginkan.
b. Menurut Draft Konsensus Pedoman Beton 1998
Beton prategang adalah beton bertulang dimana telah diberikan tegangan dalam
untuk mengurangi tegangan tarik potensial dalam beton akibat pemberian beban
yang bekerja.
c. Menurut ACI
Beton prategang adalah beton yang mengalami tegangan internal dengan besar dan
distribusi sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi sampai batas tertentu
tegangan yang terjadi akibat beban eksternal.
Dapat ditambahkan bahwa beton prategang, dalam arti seluas-luasnya, dapat
juga termasuk keadaan (kasus) dimana tegangan-tegangan yang diakibatkan oleh
regangan-regangan internal diimbangi sampai batas tertentu, seperti pada konstruksi
yang melengkung (busur). Tetapi dalam tulisan ini pembahasannya dibatasi dengan
beton prategang yang memakai tulangan baja yang ditarik dan dikenal sebagai tendon.
Dalam bentuk yang paling sederhana, ambillah balok persegi panjang yang diberi
gaya prategang oleh sebuah tendon sentris (cgs berimpit cgc), lihat Gambar 1.1.
Akibat gaya prategang F, akan timbul tegangan tekan merata sebesar :
F
= .................................................................................................(1.1)
A
Jika M adalah momen eksternal pada penampang akibat beban dan berat sendiri
balok, maka tegangan pada setiap titik sepanjang penampang akibat M adalah :
M v
= ...............................................................................................(1.2)
I
dimana y adalah jarak dari sumbu yang melalui titik berat dan I adalah momen
inersia penampang. Jadi distribusi tegangan yang dihasilkan adalah:
F M v
= ± ...................................................................................(1.3)
A I
a. Konsep kedua, Sistem prategang untuk kombinasi baja mutu tinggi dengan beton.
Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi (gabungan) dari
baja dan beton, seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tarikan dan
beton menahan tekanan, dengan demikian kedua bahan membentuk kopel penahan
untuk melawan momen eksternal (Gambar 1.3). Pada beton prategang, baja mutu
tinggi dipakai dengan jalan menariknya sebalum kekuatannya dimanfaatkan
sepenuhnya. Jika baja mutu tinggi ditanam pada beton, seperti pada beton bertulang
biasa, beton disekitarnya akan menjadi retak berat sebelum seluruh kekuatan baja
digunakan (Gambar 1.4). oleh karena itu, baja perlu ditarik sebelumnya (pratarik)
terhadap beton. Dengan menarik dan menjangkarkan ke beton dihasilkan tegangan
dan regangan yang diinginkan pada kedua bahan, tegangan dan regangan tekan pada
beton serta tegangan dan regangan pada baja. Kombinasi ini memungkinkan
pemakaian yang aman dan ekonomis dari kedua bahan dimana hal ini tidak dapat
dicapai jika baja hanya ditanamkan dalam bentuk seperti pada beton bertulang biasa.
Gambar 1.3 Momen penahan internal pada balok beton prategang dan beton bertulang
b. Konstruksi dimana setelah betonnya cukup keras, barulah bajanya yang tidak terekat
pada beton diberi tegangan.
Untuk konstruksi ini disebut : Post-tensining. Pada sistem Post-tensioning, beton di
cor dahulu dan dibiarkan mengeras sebelum di beri gaya prategang. Baja dapat
ditempatkan seperti propil yang ditentukan, lalu beton di cor, lekatan dihindarkan
dengan menyelubungi baja yaitu dengan membuat selubung/sheat. Bila kekuatan
beton yang diperlukan telah tercapai, maka baja ditegangkan di ujung-ujungnya dan
dijangkar. Gaya prategang di transfer ke beton melalui jangkar pada saat baja
ditegangkan, jadi dengan demikian beton ditekan.
Langkah-langkah pelaksanaan sistem Post-tensioning :
Langkah 1. Beton di cor dan tendon diatur sedemikian dalam sheat, sehingga tidak
ada lekatan antara beton dan baja (Gambar 1.10 a).
Langkah 2. Tendon di tarik pada salah satu/kedua ujungnya dan menekan beton
langsung (Gambar 1.10 b).
Terlihat bahwa kekuatan penampang beton pratekan enam kali lebih besar jika
dibandingkan dengan beton bertulang.
Ketahanan geser balok bertambah, yang disebabkan oleh pengaruh pratekan yang
mengurangi tegangan tarik utama (akan di bahas lebih lanjut pada tegangan geser
beton prategang). Pemakaian kabel yang melengkung, khususnya dalam untuk
bentang panjang membantu mengurangi gaya geser yang timbul pada penampang
tempat tumpuan.
Jumlah berat baja prategang jauh lebih kecil dibandingkan dengan berat baja
tulangan biasa (1/5 – 1/3), sehingga berkurangnya beban mati yang diterima
pondasi.
Biaya pemeliharaan beton prategang lebih kecil, karena tidak adanya retak-retak
pada kondisi beban kerja (terhindar dari bahaya korosi).
b. Kerugian
Dituntut kwalitas bahan yang lebih tinggi (pemakaian beton dan baja mutu yang
lebih tinggi), yang harganya lebih mahal.
Dituntut keahlian dan ketelitian yang lebih tinggi.
1.7 Material
a. Beton
Beton berkekuatan tinggi adalah perlu di dalam beton prategang oleh karena
materialnya memberikan tahanan yang tinggi dalam tegangan tarik, geser, pengikatan
dan dukungan.
Dalam daerah angker, yang tegangan-tegangan dukungnya menjadi lebih tinggi,
beton berkekuatan tinggi selalu lebih disukai untuk menghindarkan pengangkuran yang
khusus, sehingga dapat memperkecil biaya.
Pada beton prategang penting untuk mengetahui diagram tegangan-regangan
untuk memperkirakan kehilangan gaya prategang dan juga untuk analisis penampang.
Untuk lebih memahami sifat-sifat dan karakteristik dari beton mutu tinggi, pembaca
hendaknya mempelajari dari peraturan-peraturan tentang beton yang berlaku.
BAB II
ANALISA KEHILANGAN GAYA PRATEGANG
2.1 Pendahuluan
Analisa kehilangan prategang (loss of prestress) merupakan bagian penting dari
perencanaan konstruksi beton prategang. Sampai saat ini analisa kehilangan prategang
selalu berpedoman pada peraturan beton prategang negara-negara yang sudah
memilikinya.
Diantara peraturan-peraturan tersebut ada yang dengan mudah dapat disesuaikan
dengan keadaan di Indonesia dan ada pula yang sulit dilaksanakan karena peraturan
tersebut khusus dibuat untuk negara yang bersangkutan. Kehilangan prategang jangka
waktu panjang harus dianalisa lebih berhati-hati karena kehilangan ini erat sekali
hubungannya dengan keadaan lingkungan bangunan tersebut berada. Pada umumnya
sumber kehilangan prategang dapat dibedakan 2 (dua) bagian besar, tergantung dari
waktu terjadinya, yaitu kehilangan jangka waktu pendek (immediate losses of prestress)
dan kehilangan jangka waktu panjang (deferred losses of prestres).
Berbagai jenis kehilangan prategang yang dijumpai dalam sistem-sistem pre
tensioning dan post tensioning dikumpulkan dalam tabel berikut :
a = b . Ea
b
= . Ea
Eb
= n . b
dimana : b = regangan beton
b = tegangan tekan beton pada titik berat baja
Eb = modulus elastis beton
a. Deformasi Elastis Beton Akibat Gaya Prategang
a.1. Sistem pre tensioning
Bila tendons di titik berat beton
P
b = A
b
ae . A
=
Ab
= ae .
ae = at – n b
= at – n ae
at
=
1 n
Kehilangan prategang :
a = at - ae
at
= at - 1 n
Jadi :
n
a = at 1 n
ae . A ea2
= 1
Ab ib2
Dengan cara yang sama seperti diatas akan didapat :
a 1 ei . ea / ib2
a = at
2
1 n 1 ei . ea / ib
Bila tendons exentris berlapis-lapis.
Lapisan kabel ke : 1, 2, 3, .............. n
Luas kabel tiap lapisan : A1, A2, A3, ............. An
Letak dari titik berat (exertrisitas) : e1, e2, e3, ...... en
Tegangan efektif tiap lapisan dianggap sama = ae
Maka momen yang terjadi
M = ae ( A1 . e1 + A2 . e2 + A3 . e3 + ..... + An . en )
Tegangan beton pada baja lapisan ke i, adalah
ae ae A1 .e1 A2 .e2 ... An .en ei
bi = (A1 + A2 + .... + An) +
Ab Ib
Dan kemudian akan didapat :
n 1 ei . ea / ib2
ai = at
2
1 n 1 ei . ea / ib
a.2. Sistem Post tensioning
Kalau tendons 1 batang (ditarik sekali), karena dongkrak menekan beton, begitu
selesai penarikan perpendekan elastis sudah terjadi. Jadi tidak ada kehilangan prategang.
Kalau tendons banyak (ditarik satu persatu) maka yang ditarik duluan akan kehilangan
prategang akibat penarikan berikutnya.
Kabel sentris : ada m batang tendons.
luas total = A cm2
A
masing-masing tendons = cm2
m
Tegangan beton pada tendons oleh tendons ke 1 akibat tarikan ke j ( i < j ).
σ at . A
b ij = m = σ at . ω
Ab m
n ω σ at
a = m 1 m 2 ..... (1) (0)
m
m 1
a = at n
2
Kehilangan prategang rata-rata :
Δ σa σ at n ω m 1
a rata-rata = =
m m 2
Sehingga :
a = n . b
M t . ea
= n .
Ib
Dari macam-macam gesekan, maka gesekan ini adalah yang terpenting untuk
diperhatikan.
Gesekan dalam saluran tendons disebabkan oleh :
a. Gesekan fisis yang normal terjadi antara dua benda yang bergeser satu terhadap
lainnya, dalam hal ini tendons yang bergerak terhadap dinding saluran yang diam,
terutama pada tracee tendons berbentuk lengkung.
b. Melendut-lendutnya letak saluran tendons (tidak tepatnya tracee saluran) disebut
biasanya dengan ”Wobble – effect”.
c. Karatan-karatan yang terdapat pada tendons dan dinding saluran tendons yang
terbuat dari baja.
d. Kemungkinan adanya specie beton yang masuk (bocor) dalam saluran tendons.
e. Kebersihan saluran.
Perhitungan berkurangnya pratekanan sampai sekarang merupakan cara
pendekatan. Dalam garis besarnya hanya menghitung 2 (dua) macam gesekan yaitu :
gesekan pada tendons ( ) yang melengkung dan wobble effect ( k1 ).
Pratekanan dalam penampang sejauh x dari jack dihitung dengan rumus EULER –
COOLEY – MONTAGNON :
Fx = Fa . e – ( + k1x)
dimana : = Coef. gesekan tendons terhadap salurannya.
= Perubahan sudut lengkungan (radial)
k1 = Coef. Wobble – Effect
F = Fa . e -
= Fa . e - . L / R L/R, bila lengkungan tendons constant.
Pengaruh wobble – effect dengan cara yang sama didapat :
ln F = - k1 . L
k1 . L
F = - Fa . e
Jumlahnya menjadi :
= - - k1 L
F
ln F Fa
F = Fa . e k1 L
Untuk pratekanan sejarak x dari ujung jacking rumus menjadi
Fx = Fa . e k1 x
Untuk keperluan perencanaan dalam praktek perlu diketahui nilai coeffisien dan k1
lebih teliti agar perhitungan dapat dilakukan seteliti mungkin.
a . Ea
a =
L
dimana : L = panjang tendons
Untuk berbagai jenis angker sudah ditentukan berdasarkan atas banyak percobaan. Yang
perlu mendapat perhatian adalah makin panjang bentang balok ( = panjang tendons )
yaitu L maka makin kecil % kehilangan itu.
Δ σ bs
bs =
Eb
Δ σ bs
= Ab
Eb
Δ σ as
=
Eb
Δ σ as
ba = bs - bs ba =
Ea
Δ σ as Δ σ as
= bs -
Ea Eb
Akan didapat :
E a . bs
as =
1 n ω
b. Bila tendons exentris (sebesar ea)
Apabila tidak dihitung dengan cara lain, menurut PBI 1971, maka rangkak dari
beton (bp) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
σb
bp =
Eb
= 1 . 2 . 3 . 4 . 5
bp = be + br r = rangkak
e = elastis
br = bp - be
σb σb
= -
Eb Eb
σb
= (-1)
Eb
e a2
1 n ω 1 2
ib
ar = at
e a2
1 1 n ω 1 2
ib
dimana : b = tegangan tekan yang menyebabkan rangkak dalam beton (kg/cm2).
Eb = modulus elastis beton.
1 = koef. yang bergantung kepada kelembaban relatif udara sekelilingnya.
2 = koef. yang bergantung pada tebal fiktif (hf), yaitu luas penampang
dibagi dengan setengah penampang yang berhubungan dengan udara.
3 = koef. yang bergantung pada jumlah pemakaian semen dan nilai faktor
air semen.
4 = koef. yang bergantung umur beton pada saat dibebani dan pada suhu
rata-rata udara sekelilingnya selama pengerasan.
pasti kehilangan tegangan total yang dapat dijumpai dalam kondisi-kondisi kerja normal
sebagai yang dianjurkan oleh T.Y. Lin dilakukan di bawah ini :
Prosentase kehilangan tegangan
No. Type kehilangan
Pre tensioning Post tensioning
1. Perpendekan elastis 1 1
dan lenturan beton.
2. Rangkak beton 6 5
3. Susut beton 7 6
4. Relaxasi baja 8 8
Jumlah 25 20
BAB III
DISAIN PENAMPANG
Gambar 3.1 Lengan momen (), yang bervariasi pada balok beton prategang
Gambar 3.2 Lengan momen (jd) yang tetap pada balok beton bertulang
Gambar 3.3 Distribusi tegangan pada beton prategang berdasarkan teori elastik
dengan,
Mbh = momen akibat beban hidup yang dapat dihitung berdasarkan
peraturan beban yang ada.
Mbs = 0,15 Mbh – 1,30 Mbh (ditaksir)
Sehingga,
Mt = 1,15 Mbs – 1,30 Mbh
Atau h dihitung fungsi dari panjang bentang ( L ).
h = 1/14 L – 1/12 L
(untuk bentang berat – jembatan)
h = 1/20 L – 1/20 L
(untuk gedung)
b. Menghitung luas penampang beton ( Ab )
Dasarnya tegangan beton dalam kondisi akhir seperti berikut (lihat Gambar 3.4).
Sehingga,
T
Ab = σ br = tegangan izin beton rata-rata
σ br
= 0,5 σ b akhir
T
Ab = ............................................................................(3.5)
0,5 σ b akhir
Sehingga,
T
Ab = ...................................................................(3.7)
0,5 σ b akhir
3.3.1 Disain Elastis, Tidak Diizinkan Tegangan Tarik Pada Beton, Baik Dalam
Keadaan Awal Maupun Akhir
Pada bagian akan dibahas disain akhir untuk penampang akibat lenturan
berdasarkan teori elastik tanpa terjadi tegangan tarik pada penampang beton baik pada
saat awal (peralihan) maupun saat akhir (beban kerja).
Ta . t 1 . y 2
Ta Ab
0 = -
Ab Ib
Ab
Ta Ta t1 . y 2
0 = - 2
Ab Ab ib
Ta t .y
0 = 1 1 2 2 .....................................................................(3.9)
Ab ib
maka,
t .y
0 = 1 1 2 2 ...........................................................................(3.10)
ib
sehingga harga t1 menjadi :
ib 2
t1 = ............................................................................................(3.11)
y2
2. Menghitung T dan Ta
Dasarnya adalah tegangan pada keadaan akhir. Dengan letak cgs sejauh e a
dari cgc dari pers. (3.13), maka :
Mt = T . z2 atau
Mt
T = .................................................................................................(3.16)
z2
Dimana, z2 = ea + t2
T
Ta = 1 ΔT .......................................................................................(3.16)
Diambil harga Ab yang terbesar dari kedua persamaan diatas (pers. 3.17 dan
3.18), kemudian dibandingkan dengan Ab yang didapat dari disain pendahuluan :
Bila cocok, OK, perhitungan dilanjutkan ke yang lainnya.
Bila tidak cocok, penampang beton harus di revisi (dibesarkan atau diperkecil).
Dari kedua harga Aa perlu yang dihitung berdasarkan persamaan (3.19) dan
(3.20), pilihlah yang terbesar kemudian tentukan jumlah tendon yang diperlukan.
5. Pemeriksaan penampang
Pada langkah yang kelima ini menyangkut 2 (dua) perhitungan sebagai berikut :
a. Menghitung total kehilangan prategang yang terjadi.
Perhitungan total kehilangan prategang ini mengikuti langkah-langkah yang
telah diuraikan pada Bab II.
b. Menghitung tegangan-tegangan yang terjadi pada beton.
b1. Dalam kondisi awal,
Pada serat atas,
Ta T . e . y2 M bs
= a a ..................................................(3.21)
Ab Ib Ib
Gambar 3.6 Distribusi tegangan, diizinkan tegangan tarik tetapi tidak diperhitungkan
kekuatannya
h1 dan h2 dapat dihitung sebagai berikut :
Kondisi awal,
h h1 σb
= ...........................................................................(3.25)
h1 σ b awal
atau
h . σ b awal
h1 = .............................................................................(3.26)
σ b σ b awal
h . σ b akhir
h2 = ............................................................................(3.27)
σ b σ b akhir
selanjutnya dicari sifat-sifat penampang, baik dalam keadaan awal maupun keadaan
akhir.
1. Menghitung letak tendon ( ea )
Dalam kondisi awal,
M bs
Eai = t1 + ...................................................................................(3.28)
Ta
dan,
T
Ta = 1 ΔT .......................................................................................(3.31)
Ta . z11 y 2
b z1 = , sehingga :
Ib
σ b z1 . I b
z11 =
Ta . y 2
σ b z1
Ta . z11 y 2
Ib
Sehingga :
σ b z1 . I b
σ b z1
Ta . y 2
b. Beban waktu bagian cast-in-place sedang di cor (berat sendiri bagian pre-cast +
berat sendiri beton muda + berat cetakan + orang bekerja dan peralatan). Momen
yang ditimbulkannya sebesar Mp.
M p . y1 Mp
b = + ..........................................................(3.52)
Ib Ab . t2
T
dan Ta = 1 ΔT
..........................................................................(3.56)
Ta - ea M p α 2 M q / T
Ab = - 1 .............................(3.58)
σ b 11 t2
Ib y2
Dengan 2 =
Ib y2
d. Akibat ( Mp)
M p . y1
b = ±
Ib
Catatan :
Tegangan-tegangan yang diperoleh dari (a) sampai dengan (d) di atas adalah bekerja
pada penampang pre-cast, dengan y1 adalah jarak serat beton yang ditinjau ke cgc.
e. Akibat beban hidup (Mq), pada penampang gabungan.
M q . y1
b = ±
Ib
Superposisi diagram tegangan adalah seperti pada Gambar 3.12 berikut ini.
Keterangan :
a. Tegangan akibat gaya prategang awal (Ta)
b. Tegangan akibat berat sendiri bagian pre-cast (Mbs).
c. Tegangan akibat gaya prategang akhir (T).
d. Tegangan akibat (Mp).
e. Tegangan akibat beban hidup (Mq), pada penampang gabungan.
BAB IV
GESERAN, BLOK AKHIR DAN TATA LETAK TENDON
(SHEAR, END BLOCK AND CABLE LAYOUTS)
persamaan (4.1), menghasilkan 2 harga yang berarti 2 tegangan utama. Salah satu
tegangan utama tersebut adalah tegangan tarik induk ().
b. Lingkaran Mohr pada elemen balok beton bertulang biasa. (elemen diambil pada
garis netral).
Elemen diambil pada garis netral, sehingga x = y = 0 dan besarnya teg. Geser
:
V
= 7 / 8 bh
y = 0
F F . e a . y1 M . y1
x = -
Ab Ib Ib
V.s
= I.b
4. Tegangan tarik induk () yang bersesuaian dengan dan b di atas kemudian
diberikan oleh persamaan :
2
σ σ
= τ 2 b b ........................................................................(4.5)
2 2
Secara grafis, ini dapat diselesaikan dengan Lingkaran Mohr (seperti pada Gambar
4.3).
Apabila tegangan tarik induk () lebih besar dari pada tegangan tarik beton yang
diizinkan maka diperlukan penulangan geser (biasanya dipakai tulangan sengkang dari
baja lunak). Proses perhitungan sengkang sama seperti [ada beton bertulang biasa
(sesuaikan dengan peraturan yang berlaku).
Kesimpulan :
Jadi terlihat dari gambar lingkaran Mohr, bahwa beton pratekan lebih aman dari
beton bertulang biasa terhadap tegangan tarik induk (). Hal ini disebabkan oleh :
1. Karena umumnya seluruh penampang tertekan, maka tegangan geser yang timbul
pada beton pratekan relatif lebih kecil.
2. Karena umumnya kabel prategang miring, maka komponen vertical gaya tendon
memperkecil gaya lintang.
σ bp 0,6 σ pb A b
p
/ A b .......................................................................(4.6)
bp 0,8 bip A b
p
/ Ab 0,2 ..........................................................(4.7)
A B
p a
N
x x
A B b
p
a
x x
D
z T
Menurut percobaan :
z = 0,42 h ............................................................................................(4.9)
sehingga :
M M
T = = 0,42 h .......................................................................(4.10)
z
dimana :
M = Mx (momen terhadap serat x-x)
2
a
M = ½ (b’ . b) (h1)2 – ½ (p . a) ..............................................(4.11)
z
Kemudian :
N = p . a2 = b’ . b . h
atau
σb ' . b . h
p =
a2
dengan :
b = lebar balok
axa = ukuran plat bantalan
Gaya tarik melintang (T) menimbulkan tegangan tarik melintang. Karena beton
lemah terhadap tarik maka harus diberikan tulangan sebesar :
T
A=
σa
Tulangan ini harus disebar melintang (seperti sengkang geser) sepanjang block
akhir, dengan a adalah tegangan izin baja (umumnya dipakai baja lunak).
Gambar 4.10 Letak daerah batas untuk cgs tanpa diizinkan tegangan tarik
2. Bila diizinkan tegangan tarik lebih kecil dari pada tanpa mengizinkan tegangan
tarik.
Untuk mencapai tegangan tarik yang diizinkan ( bz ) di serat atas pada
keadaan awal D harus di geser ke bawah sebesar :
M tr σ b2 . I b σ b2 . A b . t 1
a1 = ................................................(4.17)
Ta Ta . y 2 Ta
Sedangkan untuk mencapai tegangan tarik b1 di serat bawah pada keadana akhir, D
harus di geser ke atas sebesar :
σ b1 . A b . t 2
A2 =
T
dimana :
b 2 = tegangan beton tarik yang diizinkan pada keadaan awal.
b1 = tegangan beton tarik yang diizinkan pada keadaan akhir.
Ab = luas penampang beton.
t1 = jarak teras bawah dari cgc.
Karena a1 dan a2 tetap, maka seluruh sistem akan bergeser ke bawah sebesar a1
dan keatas sebesar a2 (Gambar 4.11).
Batas atas TA
TB
Batas bawah
(a) Batas atas terlalu dekat dasar
Batas atas TA
TB
Batas bawah
(b) Batas atas terlalu jauh di atas dasar
Batas atas TA
TB
Batas bawah
(c) Batas atas dan serta bawah berpotongan
Gambar 4.12 Posisi yang tidak dikehendaki untuk daerah batas cgs
BAB V
DISAIN ELASTIS METODA BEBAN BERIMBANG
(LOAD BALANCING METHOD)
Suatu tendon prategang diberi bentuk dan gaya yang sedemikian rupa, sehingga
sebagian dari beban luar (termasuk beban mati) yang telah ditetapkan dapat diimbangi
sepenuhnya.
dimana c1 dan c2 adalah konstanta integrasi yang dapat dihitung dari syarat batas
(boundary conditions) dari tendon.
1. Gaya imbang balok sederhana tendon parabola
Sebagai contoh untuk balok sederhana (atas dua perletakan) momen pada kedua
tumpuan = 0 dan eksentrisitas kabel pada kedua tumpuan = 0, maka syarat batasnya
menjadi :
y = 0 pada x = 0
dan x = L
substitusi syarat batas pada persamaan (5.4), diperoleh :
y = 0 dan x = 0 c2 = 0
L
y = 0 dan x = 0 c1 = Wb .
2
sehingga persamaan (5.4) dapat ditulis :
Wb . x . L x
P.y = ..............................................................................(5.5)
2
p sin
P c.g.c V = 2 F sin p
c.g.s p cos
Komponen
melintang
P
Tegangan beton = A .................................................................................(5.8)
b
BAB VI
ANALISIS PENAMPANG TERLENTUR
6.1 Asumsi dasar
Adapun asumsi-asumsi dasar yang berlaku dalam analisis struktur beton
prategang untuk menahan lentur adalah :
1. Bidang rata akan tetap rata sebelum dan sesudah pembebanan (konservasi bidang
rata Navier), sehingga deformasi berbanding lurus terhadap garis netralnya.
2. Terjadi lekatan sempurna antara baja dan beton.
3. Kekuatan tarik beton diabaikan.
x
Tegangan beton = fc = fc’ p
ε0 ε0
c c 2 x 2 x2
Cc = 0
fc b dx b fc' p
0
ε
εo
2
dx
0
Dengan menyelesaikan persamaan ini, resultante gaya tekan untuk penampang
persegi panjang adalah :
c
Cc = b fc’p c 2 1
0 3 0
fc b dx
c
x Cc x disubsitusikan ke dalam persamaan di atas untuk Cc dan
0
susun kembali suku-sukunya, jarak dari garis netral ke garis kerja resultante gaya
tekan adalah :
8 0 3 c
x c
12 0 4 c
5. Momen batas untuk elemen terlentur tercapai apabila regangan pada beton tertekan
mencapai 0,003 mm/mm atau regangan baja tarik mencapai 5%.
BAB VII
BALOK MENERUS (CONTINOUS BEAM)
menerus ini, kita dapat menggunakan penampang-penampang beton yang lebih kecil
untuk beban dan bentang yang sama, yang mengurangi beban mati dari struktur tersebut
dan memperoleh semua penghematan yang diakibatkannya.
7.4 Definisi-Definisi Dari Istilah Yang Dipakai Dalam Desian Balok Menerus
Momen primer adalah momen lenturan yang nyata pada suatu potongan dalam
struktur statis tak tentu karena exentrisitas tendon terhadap sumbu pusat (cgc) lihat
Gambar 7.6.b.
Momen sekunder (momen lenturan parasitas) adalah momen tambahan yang
timbul pada suatu potongan statis tak tentu karena reaksi perletakan yang timbul sebagai
konsekwensi dari prapenegangan struktur (Gambar 7.6.c).
Momen resultante adalah jumlah momen primer dan momen sekunder pada
suatu potongan (MR = Mr + Ms) lihat Gambar 7.6.d.
Garis-C, merupakan hal yang penting dalam disain balok prategang menerus, karena
kalau kita tahu letaknya maka kita tahu pula bentuk diagram tegangan pada penampang
yang bersangkutan.
akibat lengkungan kabel dan juga patahan kabel. Apabila menggeser kabel tanpa
merubah sudut patahan atau sudut lengkungan, maka beban pengaruhnya tetap,
sehingga garis-c akan tetap pula.
Teori dari ”GUYON”
Di dalam struktur-struktur beton prategang statis tak tentu, dimungkinkan untuk
membuat modifikasi-modifikasi sederhana pada suatu profil tendon yang ditentukan
lebih dahulu tanpa merubah garis tekanan dalam batang. Ini adalah suatu sifat penting
dari balok-balok kontinu prategang, pertama kali di ucapkan oleh ”GUYON” sebagai
berikut :
Dalam suatu balok prategang kontinu, kalau profil tendon dipindahkan vertical
pada salah satu dari tumpuan-tumpuan pertengahan dengan suatu nilai, tetapi tanpa
merubah bentuk hakikinya di antara tumpuan-tumpuan, resultante garis tekanan tidak
berubah.
Kegunaan transpormasi linier dalam disain balok menerus, dimana kita
menginginkan suatu garis-c tertentu. Garis-c tersebut dapat dihasilkan dari bermacam-
macam posisi tendon, dan diambil yang terbaik posisinya. Bila garis-c berimpit dengan
posisi cgs-line, maka posisi tendon yang demikian disebut ”CONCORDANCY OF
CABLE” (tendon yang konkordan).
dx
dengan : K =
I
Dalam balok beton prategang, M = P . e (momen primer), maka :
P e m k
a = E
oleh karena P dan E, konstan sepanjang balok :
a=
P
Kme
E
untuk suatu profil konkordan, a = 0.
Sehingga dengan demikian, untuk memperoleh konkordan kabel, maka
eksentrisitas kabel sepanjang balok disusun sedemikian untuk memenuhi syarat
berikut :
P
Karena : tidak sama dengan nol, maka :
E
K m e = 0
BAB VIII
PRATEGANG SEBAGIAN DAN TULANGAN NON PRATEGANG
dengan
(Mc)s : momen batas yang diimbangi oleh tulangan prategang
(Mc)s + p : momen batas total yang diimbangi oleh tulangan prategang dan non-
prategang.
Kedudukan garis netral (tinggi x ) dicari sedemikian rupa sehingga keseimbangan
penampang tercapai, artinya bahwa Nbu = Na + N (lihat Gambar 8.3). Pencarian harga
x yang memenuhi keseimbangan ini dilakukan dengan jalan memutar-mutar bidang
deformasi dengan sumbu putar sbu atau s du yang mana tercapai terlebih dahulu.
Keseimbangan gaya-gaya horisontal.
Nbu = Na - N = 0...........................................................................................(8.2)
dengan : N1bu = x
Na = Na . au
N = N . pu
Momen batas yang diimbangi oleh tulangan prategang :
(Mc)s = (Ac . aau . z2) ................................................................................(8.3)
Momen batas total yang diimbangi oleh tulangan prategang dan non- prategang :
(Mc)a + p = (A2 . au) zc + (Ap . pu) zp ......................................................(8.4)
Jika suatu struktur akan direncanakan dengan beton prategang parsial, terlebih
dahulu struktur tersebut harus dihitung untuk prategang penuhnya, karena kemampuan
batas prategang parsial harus sama dengan kemampuan batas beton prategang penuh
yang bersangkutan. Kemudian dengan mengambil presentase prategang yang > 60%,
kita dapat menghitung luas tulangan passifnya (non-prategang).
DAFTAR PUSTAKA