Anda di halaman 1dari 68

LAPORAN TUTORIAL

GASTROENTEROHEPATOLOGI
MODUL KULIT KUNING

KELOMPOK 5
1. Wd. Nurfadillah Silo (K1A1 15 122)
2. Apriani Sumarto Rumansara (K1A1 14 124)
3. Astrid Nabila (K1A1 15 008)
4. Karwika Dwi Saputri Nurdin ( K1A1 16 007 )
5. Nur Afiyat (K1A1 16 044)
6. Gusti Ayu Kumala Dewi ( K1A1 16 046)
7. Nur Inayatul Isra Ahmad ( K1A1 16 048)
8. Anisa Luthfia (K1A1 16 113)
9. Muhammad Junaid Azis ( K1A1 16 114)
10. Sri Meutia Wahyu Ningsih ( K1A1 16 116)
11. Ayu Amelia Anzar ( K1A1 16 118)

NAMA TUTOR : dr. Inez Tieneke Hasuba

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
A. Skenario
Seorang laki-laki 35 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan utama kulit
berwarna kuning. Keadaan tersebut dialami sejak 1 bulan yang lalu disertai
dengan keluhan rasa penuh pada ulu hati, mual, tidak nafsu makan, demam,
nyeri kepala, dan badan terasa lemah, 2 hari sebelum masuk RS penderita
mengeluhkan mata kuning dan buang air kecil yang berwarna coklat seperti
teh. Penderita belum buang air besar selama 5 hari. Penderita memiliki
kebiasaan minum beralkohol.
B. Kata Sulit
 Demam
Demam adalah peningkatan temperatur tubuh di atas normal (37 oC)
(Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 29).
 Mual
Mual adalah sensasi tidak menyenangkan yang samar pada epigastrium dan
abdomen dengan kecenderungan untuk muntah (Kamus Saku Kedokteran
Dorland Edisi 29).
C. Kalimat Kunci
1. Laki-laki 35 tahun
2. Kulit berwarna kuning sejak 1 bulan lalu
3. Keluhan rasa penuh pada ulu hati, mual, tidak nafsu makan, demam, nyeri
kepala, badan lemas
4. Dua hari sebelumnya mata kuning dan dan buang air kecil coklat seperti
teh
5. Belum buang air besar selama 5 hari
6. Riwayat konsumsi alkohol
D. Pertanyaan
1. Jelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi organ terkait!
2. Bagaimana fungsi dan mekanisme pembentukan bilirubin di hati dan
sistem biliaris?
3. Jelaskan mekanisme pembentukan batu empedu!
4. Jelaskan pengertian, klasifikasi, dan derajat ikterus!
5. Bagaimana epidemiologi ikterus?
6. Jelaskan patomekanisme tiap gejala dari skenario!
7. Sebutkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala kulit kuning!
8. Jelaskan hubungan kebiasaan minum alkohol dengan keluhan yang
dialami!
9. Jelaskan langkah-langkah diagnosis pada skenario!
10. Jelaskan differential diagnosis dan diagnosis sementara dari kasus!

E. Jawaban Pertanyaan
1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Hepar
a. Anatomi
 Hepar
Merupakan organ yang terbesar di dalam tubuh manusia. Warna
coklat kemerah-merahan, konsistensi padat dan mengandung banyak
pembuluh darah. Berat hepar kira-kira 1/50 berat badan; pada pria berat
1,4 – 1,6 kg dan pada wanita 1,2 – 1,4 kg. Ukuran hepar dalam arah
transversal kira-kira 20 – 22,5 cm, arah vertical 15 – 17,5 cm [di bagian
lateral], dan ukuran antero-posterior kurang lebih 10 – 12,5 cm.Hepar
dibungkus oleh capsula Glissoni, yaitu suatu jaringan ikat yang
transparan.
o Morfologi
Hepar mempunyai bentuk hemisphere dan irregular, serta
mempunyai permukaan yang rata. Mempunyai facies diaphragmatica yang
konveks dan facies visceralis yang konkaf.
Hepar terdiri dari dua buah lobi, yang dipisahkan oleh incisura
umbilicalis [ligamentum falciforme hepatis] dan fossa sagittalis sinistra
menjadi lobus hepatis dexter dan lobus hepatis sinister.
- Lobus Hepatis Dexter
Lobus hepatis dexter mempunyai ukuran yang lebih besar daripada
lobus hepatis sinister, yaitu kira-kira 5/6 bagian dari seluruh hepar.
Fossa sagitalis sinistra terdiri atas :
 fossa ductus venosi [ di dorso – cranial ] ;
 fossa venae umbilicalis [ di ventro – caudal ].
 Pada facies visceralis [ = facies postero – inferior ] terdapat dua fossae,
yaitu :
1) fossae vesicae felleae, yang ditempati oleh vesica fellea ;
2) fossae venae cavae, yang ditempati oleh vena cava inferior.
Kedua fossae tersebut, bersama-sama membentuk fossa sagitalis
dextra.
Di antara kedua fossae sagitalis sinistra dan fossa sagitalis dextra
terdapat suatu cekungan, letak melintang, disebut porta hepatis, yang
membagi dua lobus hepatis dexter, di antara kedua fossa tersebut tadi,
menjadi dua buah lobi yang lebih kecil. Dengan demikian di antara kedua
fossae sagitalis tadi tampak suatu bangunan berbentuk huruf “ H “ oleh
adanya porta hepatis. Kedua lobi yang dimaksud adalah :
1) lobus quadratus hepatis ;
2) lobus caudatus hepatis.
Lobus quadratus hepatis terletak pada facies inferior lobus hepatis
dexter, dibatasi di :
 depan oleh margo anterior hepatis,
 dorsal oleh porta hepatis
 di bagian sinister oleh fossa venae umbilicalis
 di sebelah kanan oleh fossa vesicae felleae.
Pada lobus ini terdapat suatu cekungan, yang dibentuk oleh pars
pylorica ventriculi dan pars superior duodeni, dan disebut impressio
duodeni lobi quadrati.
- Lobus caudatus hepatic
Lobus ini berada pada facies posterior lobus hepatis dexter setinggi
vertebra Thoracalis 10 – 11, dan dibatasi di :
 ventro-caudal oleh porta heaptis,
 kanan oleh fossa venae cavae,
 kiri oleh fossa ductus venosi.
Lobus ini mempunyai tonjolan yang berjalan agak ke antero-lateral,
yang memisahkan fossa venae cavae dan fossa vesicae felleae, tonjolan itu
dinamakan processus caudatus. Di sebelah kiri dari processus caudatus,
berbatasan dengan porta hepatis dan fossa ductus venosi, terdapat
processus papillaris, suatu tonjolan kecil.
- Lobus hepatis sinister
Bentuknya jauh lebih kecil daripada lobus hepatis dexter, lebih
pipih dan hanya kira-kira 1/6 dari hepar keseluruhan. Lokalisasi di dalam
regio epigastrium dan sedikit di dalam regio hypochondrium sinistrum.
Facies superior sedikit konveks. Permukaannya luas dan dibagi menjadi :
 facies diaphragmatica
 facies visceralis hepatis.
- Facies diaphragmatica hepatis
Facies ini berbatasan langsung dengan diaphragma thoracis,
berbentuk konveks dan luas. Terbagi menjadi facies anterior dan facies
superior, namun batasnya tidak jelas, dan disebut facies antero-superior
Facies anterior, berbatasan dengan facies inferior dari facies
visceralis hepatis berupa suatu tepi yang tajam, disebut margo anterior
hepatis. Pada facies anterior ini terdapat perlekatan dari ligamentum
falciforme hepatis, yang membagi hepar menjadi dua buah lobi. Pada
margo anterior di sebelah kanan terdapat suatu cekungan, yang ditempati
oleh fundus vesica fellea.
Facies superior, bagian tengahnya berbentuk konkaf, merupakan
suatu cekungan, disebut impressio cardiaca, yang ditempati oleh
ventriculus dexter cordis. Ada bagian yang tidak ditutupi oleh peritoneum
viscerale, disebut pars affixa hepatis.

- Facies visceralis hepatis


Berbatasan langsung dengan viscera abdominis lainnya di dalam
cavum abdominis, terdiri dari dua buah permukaan, sebagai berikut :
 facies posterior,
 facies inferior.
Kedua facies tersebut tidak mempunyai batas yang jelas, dan facies
visceralis ini disebut juga facies postero-inferior.
Facies posterior di bentuk sebagian besar oleh lobus hepatis dexter
dan sebagian kecil oleh lobus hepatis sinister, berbentuk mirip segitiga.
Bentuknya tampak agak konkaf oleh karena berbatasan dengan columna
vertebralis. Sebagian besar facies posterior tidak ditutupi oleh peritoneum
viscerale dan bersama-sama dengan bagian yang tidak ditutupi pula oleh
peritoneum viscerale pada facies superior hepatis membentuk pars affixa
hepatis. Pada facies posterior ini terdapat suatu cekungan yang dinamakan
fossa venae cavae, ditempati oleh vena capa inferior. Di sebelah kanan
fossa tersebut, terdapat suatu cekungan yang berbatasan dengan glandula
suprarernalis dexter, disebut impressio suprarenalis. Pada facies posterior
ini terdapat lobus caudatus hepatis [spigeli], yang di sebelah kirinya
terdapat cekungan, disebut fossa ductus venosi, ditempati oleh ligamentum
venosum Arantii. Pada fossa ductus venosi terdapat perlekatan dari
ligamentum hepato gastricum. Di sebelah kiri fossa ductus venosi, pada
lobus hepatis sinister, terdapat impressio oesophagea, ditempati oleh
oesophagus pars abdominalis.
Facies inferior, menghadap ke arah caudo – ventral dan berbatasan
dengan facies anterior membentuk margo anterior hepatis. Pada facies
inferior terdapat :
1. Impressio colica, ditempati oleh flexura coli dextra dan sebagian
colon transversum,
2. Impressio renalis, ditempati oleh polus superior ren dexter,
3. Impressio duodenalis, ditempati oleh pars inferior duodeni,
4. Fossa vesicae felleae, ditempati oleh fundus vesicae felleae,
5. Fossa venae umbilicalis, ditempati oleh ligamentum teres hepatis yang
merupakan sisa dari vena umbilicalis sinistra; fossa venae umbilicalis
berada di bagian kiri dari lobus hepatis dexter.
Di antara fossa vesicae felleae dan fossa venae umbilicalis
terdapat lobus quadratus hepatis. Di antara lobus quadratus dan lobus
caudatus hepatis terdapat porta hepatis, yang merupakan pintu tempat
keluar masuknya struktur ke dan dari hepar, yaitu :
 vena portae dan cabang-cabangnya [ramus dexter et sinister],
 ductus cysticus, ductus hepaticus dan ductus chelodochus,
 arteria hepatica propria dextra dan arteria hepatica sinistra,
 nervus dan pembuluh lymphe.
Pada lobus sinister terdapat suatu cekungan yang besar, yang
berhubungan dengan gaster, disebut impressio gastrica. Di sebelah
kanannya dekat pada fossa sagitalis sinistra terdapat tonjolan yang
dinamakan tuber omentale.
Pada bagian margo posterior lobus hepatis sinister terdapat
appendix fibrosa hepatis, jaringan ikat yang merupakan sisa dari jaringan
hepar pada masa embryonal.
o VASCULARISASI HEPAR
Hepar mendapat circulasi darah dari arteria hepatica, vena portae dan vena
hepatica. Circulasi ini disebut circulasi portal.
1) Arteri hepatica communis
Merupakan cabang dari arteria coeliaca, berjalan ke ventral agak ke
kanan pada margo superior pancreatic di sebelah dorsal pars superior
duodeni. Kemudian arteri ini membelok dan masuk ke dalam ligamentum
hepatoduodenale di bagian caudal foramen epiploicum Winslowi, berjalan
di dalam ligamentum ini bersama-sama denga ductus choledochus, vena
porta, pembuluh lymphe dan serabut saraf menuju ke porta hepatis. Di
dalam ligamentum heptoduodenale a.hepatica communis berada di sebelah
anterior agak ke kiri dari ductus choledochus, dan berada di sebelah
anterior vena porta. Sampai pada porta hepatis a.hepatica communis
bercabang dua membentuk [a] arteria hepatica propria dextra dan [b]
arteria hepatica propria sinistra.
2) Arteri hepatica propria dextra
Arteri ini berjalan di sebelah ventral vena portae, kemudian
menyilang ductus hepaticus communis, berjalan terus ke kanan dan
sebelum masuk ke dalam lobus hepatis dexter memberi cabang a.cystica
yang memberi suplai darah kepada vesica fellea.
3) Arteri hepatica propria sinister
Arteri ini berjalan ke arah porta hepatis, berada di sebelah kiri
ductus hepatis dexter, dan sebelum masuk ke dalam lobus hepatis sinister
memberi cabang ke cranial dan caudal, serta memberi suplai darah untuk
capsula Glissoni dan lobus caudatus.
4) Vena portae hepatis
Berada setinggi vertebra lumbalis II. Dibentuk oleh persatuan vena
mesenterica superior dengan vena lienalis. Berada di sebelah dorsal collum
pancreatic, berjalan di sebelah dorsal pars superior duodeni, lalu berjalan
ascendens masuk ke dalam ligamentum hepato duodenale.
Di dalam lig.hepato duodenale vena portae berada di sebelah dorsal
a.hepatica communis, sampai pada porta hepatis vena portae bercabang
dua menjadi ramus dexter dan ramus sinister, dan bersama-sama dengan
a.hepatica propria dexter dan a.hepatica propria sinister masuk ke dalam
lobus hepatis dexter dan lobus hepatis sinister.
5) Vena hepatica
Vena ini membawa darah dari hepar masuk ke dalam vena capa
inferior. Terdiri dari upper group, tiga vena yang besar dan lower group,
yang jumlahnya bervariasi dan ukurannya lebih kecil.
o Lymphonodus
Hepar merupakan organ yang mempunyai sistema lymphatica yang
terbesar dibandingkan dengan viscera abdominis lainnya. Diperkirakan ¼ -
½ cairan lymphe yang berada di dalam ductus thoracicus berasal dari hepar.
Terdiri dari kelompok superficial dan profunda.
1) Kelompok superficialis, berasal dari bagian subserosa hepar, meliputi 3
bagian, yaitu :
 Pada facies inferior dan facies anterior hepatis. Sebagian besar dari
bagian ini mengalir menuju ke lymphonodi hepatici, dan sebagian
kecil [ dari lobus hepatis sinister ] mengalir menuju ke lymphonodi
gastrici superiores, dan seterusnya menuju ke lymphonodi coeliaci,
selanjutnya ke cysterna chili.
 Pada facies superior dan facies posterior aliran lymphe menuju ke
lymphonodi para aortici [ sekitar vena cava inferior ], selanjutnya
menuju ke lymphonodi sternalle [ terletak di sebelah dorsal processus
xiphoideus ] yang membawa cairan lymphe dari daerah pars affixa
hepatis pada facies superior hepatis.
 Pada facies posterior sebagian menuju ke lymphonodi coeliaci,
seterusnya ke cisterna chili.
2) Kelompok profunda, sebagian besar menuju ke lymphonodi hepatici, lalu
menuju ke lymphonodi coeliaci, selanjutnya ke cisterna chili. Sebagian
kecil saja yang menuju ke lymphonodi para aortici, selanjutnya ke
lymphonodi coeliaci, terus ke cisterna chili.

o INNERVASI HEPAR
Hepar mendapatkan innervasi dari ;

a) Nn.splanchnici
Innervasi ini bersifat sympathis untuk pembuluh darah di dalam hepar.
Diperoleh melalui plexus coeliacus dan merupakan serabut-serabut
postganglioner.

b) N.vagus dexter et sinister


Bersifat parasympathis, berasal dari chorda anterior dan chorda posterior
nervi vagi.

 Chorda anterior [ dari N.vagus sinister ], mengikuti a.gastrica dexter


masuk ke dalam ligamentum hepatoduodenale, mencapai porta hepatis.
Sebagian serabut chorda anterior tidak melalui plexus coeliacus dan
sebagian lagi mengikuti percabangan plexus coeliacus, masuk ke
dalam ligamentum hepatoduodenale, dan berakhir pada hepar ;
 Chorda posterior [ dari N.vagus dexter ], setelah mempersarafi gaster
lalu masuk plexus coeliacus, lalu mengikuti ligamentum
hepatoduodenale menuju ke porta hepatis, memberi rami hepatici.
c) N.phrenicus dexter
Setelah masuk ke dalam cavum abdominis, lalu menuju ke plexus
coeliacus, mengikuti ligamentum hepatoduodenale, mencapai porta
hepatis. Nervus ini bersifat viscero-afferent untuk ligamentum falciforme
hepatis, lig.coronarium hepatis, lig.triangulare hepatis dan capsula
Glissoni.

Semua serabut saraf tersebut tadi membentuk plexus hepaticus


anterior dan plexus hepaticus posterior, dalam hal ini turut dibentuk oleh
serabut-serabut dari plexus coeliacus dexter et sinister.

- Apparatus Excretorius Hepatis


Terdiri dari :

a. Vescira fellea
b. Ductus cysticus
c. Ductus hepaticus
d. Ductus Choledochus

 Vesica Fellea (Gallbladder)


Vesica fellea merupakan suatu kantong berbentuk memanjang,
berjalan dari caudo-anterior pada fossa vesica fellea ke cranio-posterior
sampai porta hepatis. Mempunyai dua facies, yaitu facies anterior yang
berhubungan dengan dasar fossa vesica fellea, dan facies posterior yang
ditutupi oleh peritoneum.
Morfologi vesica fellae terdiri dari corpus, collum dan fundus.
Fundus vesica fellea terletak pada tepi costa 8 – 9 dexter, di sebelah lateral
m.rectus abdominis, yaitu pada arcus costarum dexter. Berbatasan di
dorso-caudal dengan colon transversum dan pars descendens duodeni.
Mucosa vesica fellea berlipat-lipat membentuk villi, disebut plicae tunicae
mucosae. Kadang-kadang fundus vesica fellea seluruhnya dibungkus oleh
peritoneum sehingga seakan-akan mempunyai mesenterium, dan kelihatan
fundus tergantung pada hepar.

- Vascularisasi : a.cystira, suatu cabang dari a.hepatica propria


dexter; vena cystica bermuara ke dalam ramus dexter yang portae.
- Innervasi : cabang-cabang dari plexus coeliacus.
- Lymphe drainage : menuju ke lymphonodi hepatici.

o Ductus Cysticus
Merupakan lanjutan dari vesica fellea, terletak pada porta hepatis.
Panjangnya kira-kira 3 – 4 cm. Pada porta hepatis ductus cysticus mulai dari
collum vesicae fellea, kemudian berjalan ke postero-caudal di sebelah kiri
collum vesicae felleae. Lalu bersatu dengan ductus hepaticus communis
membentuk ductus choledochus. Mucosa ductus ini berlipat-lipat terdiri dari
3 – 12 lipatan, berbentuk spiral yang pada penampang longitudional terlihat
sebagai valvula, disebut valvula spiralis [ Heisteri ].
o Ductus Hepaticus
Ductus hepaticus berasal dari lobus dexter dan lobus sinister bersatu
membentuk ductus hepaticus communis pada porta hepatis dekat pada
processus papillaris lobus caudatus. Panjang ductus hepaticus communis
kurang lebih 3 cm. Terletak di sebelah ventral a.hepatica propria dexter dan
ramus dexter vena portae. Bersatu dengan ductus cysticus menjadi ductus
choledochus.
o Ductus Choledochus
Mempunyai panjang kira-kira 7 cm, dibentuk oleh persatuan ductus
cysticus dengan ductus hepaticus communis pada porta hepatis. Di dalam
perjalanannya dapat di bagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut :
1) bagian yang terletak pada tepi bebas ligamentum hepatoduodenale,
sedikit di sebelah dextro-anterior a.hepatica communis dan vena
portae;
2) bagian yang berada di sebelah dorsal pars superior duodeni, berada di
luar lig.hepatoduodenale, berjalan sejajar dengan vena portae, dan
tetap di sebelah dexter vena portae ;
3) bagian caudal yang terletak di bagian dorsal caput pancreatis, di
sebelah ventral vena renalis sinister dan vena cava inferior.
Pada caput pancreatis ductus choledochus bersatu dengan ductus
pancreaticus Wirsungi membentuk ampulla, kemudian bermuara pada
dinding posterior pars descendens duodeni membentuk suatu tonjolan ke
dalam lumen, disebut papilla duodeni major.
b. Fisiologi
 Hepar

Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan


manusia dan memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan
dengan pencernaan.

Hati terletak di bawah diafragma.Hati dibagi menjadi 2 lobus


utama yaitu lobus kanan dan lobus kiri.Hati dihubungkan oleh rangkaian
duktus.Bermula dari duktus hepatikus kanan dan kiri, lalu bergabung
menjadi satu pada duktus hepatikus utama.Duktus hepatikus utama
bergabung dengan duktus kistikus dari kandung empedu, keduanya
membentuk duktus empedu.Duktus empedu menuju duodenum dan
bermuara di ampula hepatopankreatikus bersama-sama dengan duktus
pankreatikus.

Hati menampilkan 7 fungsi pokok yaitu:

1) Menghasilkan garam empedu, yang digunakan oleh usus halus untuk


mengemulsikan dan menyerap lipid
2) Menghasilkan antikoagulan heparin dan protein plasma seperti
protrombin, fibrinogen, dan albumin
3) Sel-sel retikuloendotelial hati, memfagosit (memangsa) sel-sel darah
yang telah rusak, juga bakteri
4) Menghasilkan enzim yang memecah racun atau mengubahnya menjadi
struktur yang tak berbahaya. Sebagai contoh, ketika asam amino hasil
pemecahan protein dipecah lagi menjadi energy, dihasilkan sampah-
sampah nitrogen beracun (misalnya ammonia) yang akan diubah
menjadi urea. Selanjutnya urea dibuang melalui ginjal dan kelenjar
keringat.
5) Nutrient yang baru diserap akan dikumpulkan di hati. Tergantung
kebutuhan tubuh, kelebihan glukosa akan diubah menjadi glikogen atau
lipid untuk disimpan. Sebaliknya hati juga dapat mengubah glikogen
dan lipid menjadi glukosa kembali jika dibutuhkan.
6) Hati menyimpan glikogen, tembaga, besi, vitamin A, B12, D, E, dan K.
Juga menyimpan racun yang tak dapat dipecah dan dibuang (misalnya
DDT)
7) Hati dan ginjal berperan dalam aktivasi vitamin D.

 Kandung Empedu

Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ


berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang
dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Pada manusia, panjang
kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap – bukan
karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan empedu yang
dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari
melalui saluran empedu.
Bagian-bagian dari kandung empedu adalah:
o Fundus vesika felea merupakan bagian kandung empedu yang paling
akhir setelah korpus vesika felea
o Korpus Vesika Felea merupakan bagian dari kandung yang di dalamnya
berisi getah empedu.
o Leher Kandung Kemih merupakan leher dari kandung empedu yaitu
saluran pertama masuknya getah empedu ke kandung empedu.
o Duktus sistikus memiliki panjang sekitar 33/4 cm berjalan dari leher
kandung empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus ,membentuk
saluran empedu ke duodenum.
o Duktus Hepatikus merupakan saluran yang keluar dari leher
o Duktus koledokus merupakan saluran yang membawa empedu ke
duodenum.
Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:
o Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
o Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama
haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan
kelebihan kolesterol.

c. Histologi
Merupakan kelenjar eksokrin (empedu) & endokrin (albumin,
transferin) yang dibungkus kapsula Glisson (mesotel, jaringan ikat padat
tidak beraturan, kolagen, elastin, fibroblas, pembuluh darah kecil).
Hilus/porta hepatis (tempat masuk vasa, pembuluh limfatik,
saraf).Pembuluh darah aferen : Vena porta (darah dari sal cerna, 75%) &
Arteri hepatika (25%) .Pembuluh darah eferen : sinusoid – vena sentralis –
vena hepatica.
Darah kaya nutrien (vena porta) & darah kaya oksigen (A. hepatika) -
lewat kanalis porta – sinusoid - bercampur – hepatosit – sinusoid – vena
sentralis
o Fungsi hati:
- sekresi empedu
- Pembentukan protein plasma (faktor koagulasi, albumin, lipoprotein),
urea, asam amino
- Timbunan glukosa (glikogen) dan lemak (trigliserida)
- Glukoneogenesis
- Detoksifikasi
- Transfer Ig A
o Sel – sel dari hepar
- Sel parenkim hati,
- Sel endotel sinusoid
- Sel Kupffer (makrofag)
- Fibroblastic fat—storing cells / Ito cells pada Celah Disse (berisi
droplet lemak, menyimpan vit A)

o Lobulus – lobulus hati


1) Lobulus klasik, (fungsi endokrin)
- Bentuk heksagonal
- Pusatnya vena sentralis
- Sudutnya kanalis portal (jar ikat, duktus biliaris, a. hepatia, vena
porta)
2) Lobulus portal (fungsi eksokrin)
- Bentuk segitiga
- Pusatnya duktus biliaris
3) Asinus hati (O2 & nutrient)
- Bentuk belah ketupat
- Ujung nya adalah vena sentralis
- Pusatnya aliran darah yang masuk
- 3 zona, (bedasar perubahan patologis)

2. Fungsi dan Mekanisme Pembentukan Bilirubin di Hati dan Sistem


Biliaris

Bilirubin suatu pigmen tetrapirol, adalah produk penguraian hem


(feroprotoporfirin IX). Sekitar 70-80% dari 250-300mg biirubin yang
diproduksi setaip hari berasal dari penguraian hemoglobin di sel darah merah
yang sudah tua. Sisanya berasal dari sel eritroid yang mengalami
penghancuran premature di sumsum tulang dan dari perputaran hemoprotein
misalnya mioglobin di sitokrom yang terdapat di jaringan di seluruh tubuh.

Pembentukan bilirubin terjadi di retikuloendotel, terutama di limpa


dan hati. Reaksi pertama, hemoglobin dikatalisis oleh enzim mikrosom hem
oksigenase, secara oksidatif menguraikan jembatan α gugus porfirin dan
membuka cincin hem. Produk akhir dari reaksi ini adalah biliverdin, karbon
monoksida dan besi. Reaksi kedua biliverdin dikatalisis oleh enzim sitosol
biliverdin m=reduktase, mereduksi jemabtan metilensentral biliverdin dan
mengubahnya menjadi bilirubin. Bilirubin terbentuk di sel retikuloendotel
pada hakikatnya tidak larut dalam air. Hal ini disebabkan oleh ikatan
hydrogen internal yang kuat antara gugus larut-air bilirubin, gugus dengan
asam imino dan laktam pada separuh lawannya. Konfigurasi ini menghambat
akses pelarut ke residu hidropobik di bagian luar.bilirubin tak terkonjugasi
yang terikat ke albumin diangkut ke hati tempat bilirubin, tetapi bukan
albuminnya, diserap oleh hepatosit melalui suatu proses ynag paling tidak
melibatkan transport membrane yang diperantarai oleh pangangkut.

Setelah masuk ke hepatosit, bilirubin tak terkonjugasi terikat ke


protein sitosol ligandin, atau glutation S-transferase B. sementara ligandin
merupakan suatu protein transport, yang berperan meyanlurkan bilirubin tak
terkonyugasi dari membrane plasma ke reticulum endoplasma. Kini
perannya mungkin adalah mengurangi efluks bilirubin kembali ke plasma.
Di reticulum endoplasma, bilirubin dilarutkan dengan berkonjugasi ke asam
glukoronat, suatu proses yang merusak ikatan hydrogen internal dan
,menghasilkan bilirubin monoglukoronida dan diglukoronida. Konjugasi
asam glukoronat ke bilirubin dikatalisis oleh bilirubin uridin difosfat-
glukoronosil transferase (UDPGTG). Bilirubin Konjugat yang kini hidrofilik
berdifusi ke reticulum endoplasma ke membrane kanalikulus, tempat
bilirubin monoglukoronida dan diglukoronida secara aktif dipindahkan ke
dalam kanalikulus empedu oleh suatu mekanisme dependen-energi yang
melibatkan protein resistensi obat multiple.
Bilirubin terkonjugasi dieksresikan ke dalam saluran empedu lalu ke
duodenum mengalir tanpa berubah sepanjang usus halus prokimal. Bilirubin
terkonjugasi tidak diserap oleh mukosa usus. Ketika mencapai ileum distal
dan kolon, bilirubin terkonjugasi dihidrolisis menjadi bilirubin tak
terkonjugasi oleh β-glukoronidase bakteri. Bilirubin tak terkonjugasi
direduksi oleh bakteri usus normal untuk membentuk sekelompok tetrapitrol
tak berwarna yang disebut urobilinogen. Sekitar 80-90% dari produk-produk
ini dieksresikan dalam tinja, baik tanpa diubah maupun dioksidasi menjadi
turunan oranye yang disebut utobilin. Sisa 10-20% urobilinogen diserap
secara pasif, masuk ke darah vena porta, dan dire-ekspresikan oelh hati.
Sebagian kecil (biasanya <3 mg/dl) lolos dari penyerapan hati, tersaring oleh
glomerulus ginjal dan dieksresikan di urin.

3. Mekanisme Pembentukan Batu Empedu

Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di


klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol,
batu pigmen dan batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah
kolesterol (batu yang mengandung >50% kolesterol) atau batu campuran
(batu yang mengandung 20-50% kolesterol), 10% sisanya adalah batu jenis
pigmen yang mana mengandung <20% kolesterol. Faktor yang
mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan stasis kandung
empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan kosentrasi
kalsium dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin
dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu
menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh
(kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus
untuk pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu,
kemudian lama kelamaan tersebut bertambah ukuran, beragregasi, melebur
dan membentuk batu.

 Mekanisme pembentukan batu kolesteraol


Tiga hal yang memudahkan terjadinya batu kolesterol di kandung
empedu yaitu supersaturasi kolesterol, pembetukan inti kolesterol dan
disfungsi kandung empedu.
- Supersaturasi kolesterol
Secara normal, komposisi empedu terdiri atas 70 % garam empedu,
22% fosfolipid (terutama lesitin), 4% kolesterol, 3% protein, dan 0,3%
18
bilirubin. Terbentuknya batu empedu tergantung dari keseimbangan
kadar garam empedu, kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar
kolesterol atau semakin rendah kandungan garam empedu, akan
membuat kondisi di dalam kandung empedu jenuh akan kolesterol
(supersaturasi kolesterol). Kolesterol disintesis dihati dan diekskresikan
dalam bentuk garam empedu. Dengan meningkatnya sintesis dan sekresi
kolesterol, resiko terbentuknya empedu juga meningkat. Penurunan berat
badan yang terlalu cepat (karena hati mensintesis kolesterol lebih
banyak), maka esterogen dan kontrasepsi (menurunkan sintesis garam
empedu) menyebabkan supersaturasi kolesterol.
- Pembentukan inti kolesterol
Nampaknya faktor pembentukan inti kolesterol mempunyai peran
lebih besar dalam proses pembentukan dibandingkan faktor
supersaturasi. Kolesterol baru dapat dimetabolisme di dalam usus dalam
bentuk terlarut air. Dan empedu memainkan peran tersebut. Kolesterol
diangkut dalam bentuk misel dan vesikel. Misel merupakan agregat yang
berisi fosfolipid (terutama lesitin), garam empedu dan kolesterol. Apabila
saturasi kolesterol lebih tinggi, maka akan diangkut dalam bentuk
vesikel. Vesikel ibarat sebuah lingkaran dua lapis. Apabila kosentrasi
kolesterol sangat banyak, dan supaya kolesterol dapat terangkut, maka
vesikel akan memperbanyak lapisan lingkarannya, sehingga disebut
sebagai vesikel berlapis-lapis (vesicles multilamellar). Pada akhirnya, di
dalam kandung empedu, pengangkut kolesterol, baik misel dan vesikel,
akan bergabung menjadi vesikel multilapis. Vesikel ini dengan adanya
protein musin akan membentuk Kristal kolesterol. Kristal kolesterol yang
terfragmentasi pada akhirnya akan di lem (disatukan) oleh protein
empedu membentuk batu kolesterol.
- Penurunan fungsi kandung empedu
Menurunnya kemampuan kontraksi dan kerusakan dinding
kandung empedu, memudahkan seseorang menderita batu empedu.
Kontraksi kandung empedu yang melemah akan menyebabkan stasis
empedu. Stasis empedu akan membuat musin yang di produksi di
kandung empedu terakumulasi seiring dengan lamanya cairan empedu
tertampung dalam kandung empedu. Musin tersebut akan semakin kental
dan semakin pekat sehingga semakin menyulitkan proses pengosongan
cairan empedu. Bila daya kontraksi kandung empedu menurun dan di
dalam kandung empedu tersebut sudah ada Kristal, maka Kristal tersebut
tidak akan dapat dibuang keluar ke duodenum. Beberapa kondisi yang
dapat menganggu daya kontraksi kandung empedu, yaitu hipomotilitas,
parenteral total (menyebabkan aliran empedu menjadi lambat),
kehamilan, cedera medulla spinalis dan diabetes melitus.

4. Pengertian, Klasifikasi, dan Derajat Ikterus


Penimbunan pigmen empedu dalam tubuh menyebabkan
perubahan warna jaringan menjadi kuning dan disebut sebagai ikterus.
Ikterus biasanya dapat dideteksi pada sklera, kulit, atau urine yang menjadi
gelap bila bilirubin serum mencapai 2 sampai 3 mg/dL.
Tabel 5.1. Penilaian ikterus menurut Kramer

Derajat Perkiraan Kadar


Luas Ikte rus
Ikterus Bilirubin

I Kepala dan leher 5 mg/dL

II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9 mg/dL

III Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) 11 mg/dL


hingga tungkai atas (di atas lutut)

IV Sampai lengan dan kaki di bawah lutut 12 mg/dL

V Sampai telapak tangan dan kaki 16 mg/dL

Tabel 5.2. Klasifikasi ikterus


Gambaran Hemolitik Hepatoseluler Obstruktif

Warna kuning Kuning pucat Orange-kuning Kuning-hijau


muda atau tua muda atau tua

Warna urine Normal (atau gelap Gelap (bilirubin Gelap (bilirubin


dengan terkonjugasi) terkonjugasi)
urobilinogen)

Warna feses Normal atau gelap Pucat (lebih sedikit Warna dempul
(lebih banyak sterkobilin) (tidak ada
sterkobilin) sterkobilin)

Pruritus Tidak ada Tidak menetap Biasanya menetap

Bilirubin serum Meningkat Meningkat Meningkat


indirek atau tak
terkonjugasi

Bilirubin serum Normal Meningkat Meningkat


direk atau
terkonjugasi

Bilirubin urine Tidak ada Meningkat Meningkat

Urobilinogen Meningkat Sedikit meningkat Menurun


urine
5. Epidemiologi Ikterus
Secara epidemiologi, ikterus terjadi pada 1/2500 kelahiran hidup, dan
daripada jumlah tersebut, sebanyak 68% adalah intrahepatik dan 32% adalah
ekstrahepatik.dan dari sejumlah kasus ekstrahepatik pula, sebanyak 72%-
86% adalah kasus hepatitis neonatal, atresia biliaris dan defisiensi αl-
antitripsin (gangguan metabolisme).

6. Patomekanisme Gejala
a. Nyeri kepala
Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan
neuron trigeminal sentral. Fenomena pengurangan nilai ambang dari kulit
dan kutaneus allodynia didapat pada penderita yang mendapat serangan
migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan sebagai refleksi
pemberatan respons dari neuron trigeminalsentral.3 lnervasi sensoris
pembuluh darah intrakranial sebahagian besar berasal dari ganglion
trigeminal dari didalam serabut sensoris tersebut mengandung neuropeptid
dimana jumlah dan peranannya adalah yang paling besar adalah
CGRP(Calcitonin Gene Related Peptide), kemudian diikuti oleh
SP(substance P), NKA(Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase
activating peptide (PACAP) nitricoxide (NO), molekul prostaglandin E2
(PGEJ2) bradikinin, serotonin(5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP),
mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor2. Khusus untuk nyeri kepala
klaster clan chronic parox-ysmal headache ada lagi pelepasan
VIP(vasoactive intestine peptide) yang berperan dalam timbulnya gejala
nasal congestion dan rhinorrhea.10,14 Marker pain sensing nerves lain
yang berperan dalam proses nyeri adalah opioid dynorphin, sensory
neuron-specific sodium channel(Nav 1.8), purinergic reseptors(P2X3),
isolectin B4 (IB4) , neuropeptide Y , galanin dan artemin reseptor ( GFR-
∝3 = GDNF Glial Cell Derived Neourotrophic Factor family receptor-∝3).
29 Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam
transmisi dan modulasi nyeri terletak dibatang otak. Batang otak
memainkan peranan yang paling penting sebagai dalam pembawa impuls
nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi transmisi
sensoris sebahagian besar berpusat di batang otak (misalnya
periaquaductal grey matter, locus coeruleus, nukleus raphe magnus dan
reticular formation), ia mengatur integrasi nyeri, emosi dan respons
otonomik yang melibatkan konvergensi kerja dari korteks somatosensorik,
hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan struktur sistem limbik lainnya.
Dengan demikian batang otak disebut juga sebagai generator dan
modulator sefalgi.25 Stimuli elektrode, atau deposisi zat besi Fe yang
berlebihan pada periaquaduct grey(PAG) matter pada midbrain dapat
mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti migren (migraine like
headache).Pada penelitian MRI(Magnetic Resonance Imaging) terhadap
keterlibatan batang otak pada penderita migren, CDH(Chronic Daily
Headache) dan sampel kontrol yang non sefalgi, didapat bukti adanya
peninggian deposisi Fe di PAG pada penderita migren dan CDH
dibandingkan dengan kontrol.15 Patofisiologi CDH belumlah diketahui
dengan jelas .Pada CDH justru yang paling berperan adalah proses
sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi reseptor NMDA(N-metil-D-
Aspartat), produksi NO dan supersensitivitas akan menaikkan produksi
neuropeptide sensoris yang bertahan lama. Kenaikan nitrit Likuor
serebrospinal ternyata bersamaan dengan kenaikan kadar
cGMP(cytoplasmic Guanosine Mono phosphat) di likuor. Kadar CGRP,
SP maupun NKA juga tampak meninggi pada likuor pasien CDH.26
Reseptor opioid di down regulated oleh penggunaan konsumsi opioid
analgetik yang cenderung menaik setiap harinya. Pada saat serangan akut
migren, terjadi disregulasi dari sistem opoid endogen, akan tetapi dengan
adanya analgesic overusedmaka terjadi desensitisasi yang berperan dalam
perubahan dari migren menjadi CDH.15 Adanya inflamasi steril pada
nyeri kepala ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai
sel. Makrofag melepaskan sitokin lL1 (Interleukin .1), lL6 dan TNF∝
(Tumor Necrotizing Factor ∝) dan NGF (Nerve Growth Factor). Mast
cellmelepas/mengasingkan metabolit histamin, serotonin, prostaglandin
dan arachidonic acid dengan kemampuan melakukan sensitisasi terminal
sel saraf. Pada saat proses inflamasi, terjadi proses upregulasi beberapa
reseptor (VR1, sensory specific sodium/SNS, dan SNS-2)dan
peptides(CGRP, SP)
b. Mual
Beberapa rangsangan yang dapat menimbulkan rasa mual ,
diantaranya ialah : rasa nyeri dalam perut , rangsangan labirin , daya ingat
yang tak menyenangkan. Umumnya letak yang tepat dari impuls
rangsangan yang tak diketahui dengan pasti .perasaan mual umunya
disertai dengan timbulnya hipersalivasi. Selama ada rasa mual , tonus
lambung menurun, begitu juga peristaltik lambung berkurang bahkan
menghilang. Sebaliknya tonus duodenum dan jejenum bagian proksimal
menaik, sehingga timbul refluks isi duodenum kedalam lambung
c. Mata Kuning
- Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah
yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan
produksi bilirubin. Penghancuran eritrosit yang menimbulkan
hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan
autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi
hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus
hemolitik.
Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati.
Akibatnya bilirubin indirek meningkat dalam darah. Karena bilirubin
indirek tidak larut dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam
urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan urobilinogen
meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine feces
(warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin
abnormal (cickle sel anemia), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer),
antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), dan malaria tropika
berat.
o Hiperbilirubinemia konjugasi/direk
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan
eksresi bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat
disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung
ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan
masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul
hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan :
Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat
yg.meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel.
Ikterus pada trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin
Johnson dan Rotor, ikterus pasca bedah. Obstruksi saluran bilier
ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang
disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total
maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab
tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah :
- Obstruksi sal.empedu didalam hepar
- Sirosis hepatis,
- abses hati,
- hepatokolangitis,
- tumor maligna primer dan sekunder.
- Obstruksi didalam lumen sal.empedu : batu empedu, askaris
- Kelainan di dinding sal.empedu : atresia bawaan, striktur
traumatik, tumor saluran empedu.
- Tekanan dari luar saluran empedu : Tumor caput pancreas, tumor
Ampula Vatery, pancreatitis, metastasis tumor di
lig.hepatoduodenale
d. Urin berwarna teh tua
Sedangkan warna urin seperti air teh (merah kecoklatan) bisa
karena adanya peningkatan bilirubin dan urobilinogen. Adanya bilirubin
menunjukkan kerusakan (sumbatan) pada saluran kanalikuli biliaris
sehingga bilirubin tak bisa keluar, yang akhirnya mengalir masuk ke
pembuluh darah menuju ginjal. Adanya urobilinogen dalam urin
menunjukkan urin normal tapi karena kadarnya yang meningkat sehingga
terjadi oksidasi berlebih yang akhirnya urin menjadi merah kecoklatan.
e. Tidak nafsu makan
Salah satu penyebabnya bisa dikarenakan terjadinya ikterus
hepatoseluler dan meningkatkan produksi bilirubin atau hiperbilirubinemia
sehingga sekresi sekretin dan kolesistokinin meningkat yang menyebabkan
penurunan tekanan sfingter esofagus bagian bawah, peningkatan motilitas
duodenum serta motilitas lambung berkurang. Efek dari hal tersebut
adalah refluks isi lambung yang asam melewati esofagus padahal epitel
dari esofagus tidak dipersiapkan untuk menahan asam sehingga terjadi
iritasi dari lapisan mukosa esofagus. Refluks dari isi lambung ke esofagus
mencetus pusat mual muntah di bagian otak untuk memberikan respon
mual. Ketika refluks sampai ke mulut dan akhirnya dikeluarkan juga
merangsang nervus vagus di sepanjuang esofagus dan bisa terjadi muntah.
Maka dari itu umumnya menimbulkan gangguan makan.
f. Badan lemas
Karena adanya kerusakan fungsi hati, terjadi penurunan
metabolisme bilirubin (hiperbilirubinemia) menimbulkan ikterus.
Terganggunya fungsi metabolik, penurunan metabolisme glukosa
meningkatkan glukosa dalam darah (hiperglikemia), penurunan
metabolisme lemak sehingga pemecahan lemak menjadi energi tidak ada
akibatnya terjadi keletihan.

7. Penyakit-Penyakit yang Mempunyai Gejala Kulit Kuning


- Ikterus hemolitik (pra hepatik)
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan ikterus hemolitik yaitu
anemia sel sabit, sferositosis herediter (SDM abnormal), anemia pernisiosa,
talasemia, malaria.Transfusi darah juga dapat menyebabkan ikterus
hemolitik bila terjadi inkompatibilitas transfusi.
- Ikterus hepatoseluler (inta hepatik)
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan ikterus hepatoseluler
yaitu hepatitis (termasuk hepatitis alkoholik, hepatitis autoimun), sirosis
hepatis, leptospirosis, karsinoma hepar, pemakaian obat-obatan tertentu
(seperti isoniazid, diklofenak, lovastatin yang menyebabkan gangguan
transport bilirubin; asetaminofen (paracetamol), penisilin, kontasepsioral,
estrogen, steroid anabolik yang menyebabkan hepatitis imbas obat),
Sindrom Gilbert, Sindrom Cringle-Najjar, Sindrom Dubin-Johnson,
Sindrom Rotor, sirosis bilier.
- Ikterus obstruktif (post hepatik)
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan ikterus obstruktif yaitu
atresia bilier, kolelitiasis, karsinoma kaput pankreas, karsinoma ampula
Vateri, pankreatitis, kanker vesica vellea.

8. Hubungan Kebiasaan Minum Alkohol dengan Gejala

Hepar adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling


kompleks di dalam tubuh. Organ hati terlibat dalam metabolisme zat
makanan serta sebagian besar obat dan toksikan dan juga untuk
mendetoksifikasi zat kimia yang tidak berguna/merugikan tubuh,
termasuk alkohol/etanol. Yang bertanggung jawab terhadap peran sentral
hati dalam metabolisme adalah hepatosit. Konsumsi alkohol kronis
mengakibatkan berbagai gangguan hati yaitu: steatosis hati (perlemakan
hati) (80%), steatohepatitis alkoholik (10-35%), sirosis (10%), dan
karsinoma hepatoselular.

Pada konsumsi alkohol kronis terjadi peningkatan permeabilitas


usus sehingga endotoksin usus mudah masuk ke aliran darah yang
kemudian dapat mengaktifkan sel Kupffer. Bila teraktivasi, sel Kupffer
akan memproduksi berbagai sitokin, salah satunya yang sangat penting
yaitu TNF-α, dan reactive oxygen species; keduanya merupakan pemicu
berbagai jenis proses inflamasi pada hati. Peningkatan radikal bebas akibat
pemberian alkohol akan mengaktifkan nuclear factor yang akan
meningkatkan tumor necrosis factor (TNF alfa) yang berperan terhadap
nekrosis dan inflamasi pada hati. Bila terpapar etanol baik akut maupun
kronis TNF-α dapat meningkatkan pembentukan ROS di mitokondria
hepatosit melalui rantai transpor elektron sehingga memperparah
kerusakan jaringan hati.

Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu, fase ikterus
prahepatik, ikterus postheatik, dan ikterus intrahepatik. Hubungan gejala
penyakit kuning dengan kebiasaan meminum alkohol dapat dijelaskan pada
fase ikterus intrahepatik yang diakibatkan oleh Kerusakan sel hati dan biasa
terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.
Ikterus jenis ini terjadi di dalam hati karena penurunan pengambilan dan
konjugasi oleh hepatosit sehingga gagal membentuk bilirubin terkonjugasi.
Kegagalan tersebut disebabkan rusaknya sel-sel hepatosit, hepatitis akut atau
kronis dan pemakaian obat yang berpengaruh terhadap pengambilan
bilirubin oleh sel hati. Gangguan konjugasi bilirubin dapat disebabkan
karena defisiensi enzim glukoronil transferase sebagai katalisator. Kerusakan
sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk
akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga
bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang
kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam
aliran darah. Bilirubin direk ini larut dalam air sehingga mudah di
ekskresikan oleh ginjal kedalam air kemih. Adanya sumbatan intrahepatik
akan menyebabkan penurunan ekskresi bilirubin dalam saluran pencernaan
yang kemudian akan menyebabkan tinja berwarna pucat, karena
sterkobilinogen menurun.

9. Langkah-Langkah Diagnosis
a. Langkah-Langkah Diagnosis Umum Sistem Gastroenterohepatologi
1) Anamnesis
 Identitas pasien
 Keluhan utama
 Onset
 Gejala lain yang berhubungan
 Menggali riwayat penyakit dahulu dan sekarang yang berkaitan
diantaranya riwayat kebiasaan dan riwayat keluarga
2) Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
- Periksa rambut, konjungtiva, sklera dan kulit
- Kulit thoraks, kontur abdomen, kontur usus, skar, kongesti vena,
peristaltik usus yang tampak atau adanya massa.
 Auskultasi
- Dengan menggunakan membran stetoskop diatas mid abdomen untuk
mendengarkan bising usus.
- Bruit dari karsinoma pankreas dikiri regio epigastrium
- Pemeriksaan khusus asites : pudle sign, shifting dullness, dan fluid wave
 Palpasi
- Palpasi abdomen dengan ringan denga jari-jari adduksi kedalaman 1
cm, dan palpasi dalam dengan kedalaman 4-5 cm tujuan untuk
menemukan struktur dibawahnya.
- Menilai ekspresi wajah pasien
- Palpasi kuadran kiri abdomen. Untuk menemukan palpable lien (dengan
metode schuffner dan metode hacket) dan ginjal kiri, normal tidak
ditemukan massa.
- Palpasi kuadran kanan abdomen, untuk menemukan palpable hepar,
ginjal kanan
- Apabila ditemukan massa pada abdomen dilakukan penilaian : lokasi,
ukuran, besar, keknyalan, mobilitas dan pulsasi.
 Perkusi
- Perkusi pada ke empat kuadran abdomen.
- Perkusi batas paru hepar digaris midklavikula kanan dimulai dari ICS II
kebawah.
- Untuk menentukan lokasi dan ukuran hepar.

b. Langkah-Langkah Diagnosis Umum dengan Keluhan Utama Kuning


 Tahap awal ketika akan mengadakan penilaian klinis seorang
pasien dengan ikterus adalah tergantung kepada apakah
hiperbilirubinemia bersifat konjugasi atau tak terkonjugasi.
 Ikterus ringan tanpa warna air seni yang gelap harus difikirkan
kemungkinan adanya hiperbilirubinemia indirect yang mungkin
disebabkan oleh hemolisis, sindroma Gilbert atau sindroma Crigler
Najjar, dan bukan karena penyakit hepatobilier.
 Ikterus yang lebih berat dengan disertai warna urin yang gelap
menandakan penyakit hati atau bilier.
 Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu difikirkan segera
bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik
(batu saluran empedu atau keganasan kaput pankreas). Kolestasis
ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier
atau kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena
keganasan pankreas (bagian kepala/kaput) sering timbul kuning
yang tidak disertai gajala keluhan sakit perut (painless jaundice).
 Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai kadar yang lebih
tinggi, warna kuning pada sklera mata sering memberi kesan
yang berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan kehijauan
(greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan
(yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik.
 Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat
ditegakkan melalui penggabungan dari gejala-gajala lain yang
timbul dan hasil pemeriksaan fungsi hepar serta beberapa
prosedur diagnostik khusus. Sebagai contoh, ikterus yang disertai
demam, dan terdapat fase prodromal seperti anoreksia, malaise, dan
nyeri tekan hepar menandakan hepatitis. Ikterus yang disertai rasa
gatal menandakan kemungkinan adanya suatu penyakit
xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan
anemia menandakan adanya suatu anemia hemolitik.

c. Pemeriksaan Penunjang
 Darah rutin
Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya suatu
anemia dan juga keadaan infeksi.
 Urin
Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat
warna urin dan melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau
tidak.
 Bilirubin
Penyebab ikterus yang tergolong prehepatik akan menyebabkan
peningkatan bilirubin indirek. Kelainan intrahepatik dapat
berakibat hiperbilirubin indirek maupun direk. Kelainan posthepatik
dapat meningkatkan bilirubin direk.
 Aminotransferase dan alkali fosfatase
 Tes serologi hepatitis virus
IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis A
akut. Hepatitis B akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA
hepatitis B.
 Biopsi hati Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif
untuk ikterus hepatoseluler dan beberapa kasus ikterus kolestatik
(sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik akibat obat-obatan
(drug induced).

d. Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan sangat berharga ubtuk mendiagnosis
penyakit infiltratif dan kolestatik. USG abdomen, CT Scan, MRI sering
bisa menemukan metastasis dan penyakit fokal pada hati. Endoscopic
Retrograd Cholangiopancreatography (ERCP) dan PTC (Percutans
Transhepatic Colangiography). ERCP merupakan suatu perpaduan
antara pemeriksaan endoskopi dan radiologi untuk mendapatkan
anatomi dari sistim traktus biliaris (kolangiogram) dan sekaligus
duktus pankreas (pankreatogram). ERCP merupakan modalitas yang
sangat bermanfaat dalam membantu diagnosis ikterus bedah dan
juga dalam terapi sejumlah kasus ikterus bedah yang inoperabel. Di
samping itu kelainan di daerah papila Vateri (tumor, impacted
stone) yang juga sering merupakan penyebab ikterus bedah dapat
terlihat jelas dengan teknik endoskopi ini.

10. Differential Diagnosis dan Diagnosis Sementara


a. Hepatitis Alkoholik
o Pengertian
Hepatitis alkoholik adalah peradangan hati yang disebabkan oleh
minuman beralkohol. Meskipun hepatitis alkoholik paling mungkin terjadi
pada peminum berat selama bertahun-tahun, hubungan antara peminum
alkohol dan hepatitisalkoholik merupakan hal yang kompleks. Tidak
semua peminum berat mengalamihepatitis alkoholik, dan penyakit ini
dapat terjadi pada orang yang hanya minum sedikit. Orang yang terus
minum alkohol dapat mengalami kerusakan hati yanglebih serius
dalam bentuk sirosis dan gagal hati.

o Patogenesis
Patogenesis hepatitis alkoholik adalah multifaktorial. Bukti saat ini
menunjukkan bahwa kerusakan adalah hasil akhir dari interaksi kompleks
antara metabolisme etanol, peradangan dan kekebalan bawaan. Jalur
metabolik seperti itu menghasilkan spesies oksigen reaktif yang
merupakan penginduksi kuat peroksidasi lipid, yang pada gilirannya
menyebabkan kematian hepatosit oleh nekrosis atau apoptosis.
Endotoksemia tingkat tinggi juga telah didapatkan di antara seseorang
yang mengalami hepatitis alkoholik, mungkin karena peningkatan
permeabilitas usus . Endotoksin (lipopolisakarida) berikatan dengan
protein pengikat lipopolisakarida, dan kompleks kemudian menempel
pada molekul CD14 pada sel Kupffer yang memicu jalur untuk
menyebabkan aktivasi sel Kupffer. Berbagai sitokin dilepaskan karena
respon Th1 yang meningkat, khususnya interferon-gamma dan tumor
necrosis factor-alpha (TNF-α). Faktor chemotactic seperti interleukin-8
menyebabkan migrasi leukosit polimorfonuklear ke lobulus hepatik.
Perubahan ini menginduksi sindrom respon inflamasi sistemik yang
ditandai dengan malaise, demam, dan leukositosis neutrofil perifer. TNF-α
memediasi efeknya dengan mengikat ke dua molekul permukaan sel,
TNF-R1 dan TNF-R2 . TNF-R1 adalah inducer utama hepatocytotoxicity
melalui nekrosis atau apoptosis. Metabolisme etanol menghasilkan
acetaldehyde, dan malondialdehyde adalah salah satu produk akhir dari
peroksidasi lipid. Kedua senyawa mengikat protein seluler untuk
membentuk adisi yang stabil. Respon imun variabel terhadap neoantigen
ini dapat berkontribusi terhadap kerentanan individu terhadap hepatitis
alkoholik. Sangat mungkin bahwa baik nonimmunologic (stres oksidatif,
cedera sitokin) dan faktor imunologi memainkan peran penting dalam
patogenesis hepatitis alkoholik. Berbagai pilihan pengobatan di hepatitis
alkoholik berbagi tujuan pengobatan umum untuk memblokir berbagai
tanggapan imunologi bawaan .

o Faktor risiko
Sebuah studi telah mengidentifikasi faktor risiko terhadap
perkembangan dan perkembangan penyakit hati. Pola minum, jenis
kelamin, predisposisi genetik, dan penyakit hati bersamaan dapat
meningkatkan risiko kerentanan. Konsumsi alkohol secara bersamaan
dengan asupan makanan telah dipublikasikan untuk menurunkan risiko
penyakit hati alkoholik dibandingkan dengan mereka yang mengonsumsi
alkohol saja. Variant gen penyandian untuk metabolisme alkohol, seperti
alkohol dehidrogenase, dehidrogenase aldehid, dan sitokrom CYP2E1
dapat memfasilitasi hepatotoksisitas dengan meningkatkan toleransi
alkohol melalui penundaan pembentukan asetaldehida atau metabolisme
alkohol melalui jalur toksik non-oksidatif lainnya. Polimorfisme gen
dehidrogenase asetaldehida dapat menyebabkan berbagai tingkat
sensitivitas alkohol pada orang Asia dan wanita, yang dapat
mengembangkan penyakit hati alkoholik bahkan jika mereka tidak
mengonsumsi alkohol sama besarnya dengan yang lain. Perempuan dua
kali lebih mungkin mengembangkan hepatotoksisitas dengan jumlah yang
lebih rendah dan durasi penggunaan alkohol yang lebih pendek
dibandingkan dengan laki-laki, yang mungkin disebabkan oleh perbedaan
alkohol lambung dan proporsi lemak tubuh yang lebih tinggi pada wanita
di samping perbedaan tingkat dehidrogenase. Polimorfisme gen CYP2E1
dapat mempengaruhi metabolisme alkohol di antara mereka dengan latar
belakang etnis dan pecandu alkohol yang berbeda, namun patogenesis
yang tepat belum dapat dipahami.
Obesitas yang mendasari dengan indeks massa tubuh (BMI) ≥ 30
kemungkinan mempotensiasi keparahan hepatitis alkoholik. Jalur umum
dipostulasikan untuk generasi steatohepatitis melalui efek sinergis atau
aditif dari penggunaan alkohol berat dikombinasikan dengan obesitas,
meskipun mekanisme yang tepat tidak didefinisikan dengan baik. Satu unit
alkohol setara dengan 8 g. Subjek yang kelebihan berat badan atau
obesitas yang mengkonsumsi 15 atau lebih unit alkohol per minggu
memiliki peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas terkait hati
dibandingkan dengan kontrol. Penelitian lain di Inggris yang meneliti 107,
742 perempuan menemukan bahwa subjek dengan BMI tinggi (≥ 25 kg /
m 2
) yang minum ≤ 15 unit alkohol memiliki risiko pengembangan
penyakit hati kronis yang setara dibandingkan dengan wanita dengan BMI
rendah (<25) yang minum ≥ 15 unit per minggu. Wanita dengan BMI ≥ 25
yang minum ≥ 15 unit alkohol mingguan memiliki hasil yang paling
buruk.
Alkoholik dengan co-morbiditas hati lainnya, seperti hepatitis B,
hepatitis C, dan hemochromatosis memiliki keparahan penyakit yang lebih
besar dan kemungkinan untuk mengembangkan sirosis. Penyakit hati
kronis yang mendasari dapat berkontribusi pada pengembangan presentasi
akut dan kronis pada Hepatitis alkoholik.

o Presentase Klinis
Gejala hepatitis alkoholik tidak spesifik,dapat mengalami
kelelahan, nyeri perut kuadran kanan atas, anoreksia, demam, dan
penurunan berat badan. Perkembangan ikterus dapat terjadi secara cepat.
Pasien dengan hepatitis alkoholik dapat mengembangkan hepatomegali
lunak, asites, ensefalopati hepatik, perdarahan gastrointestinal atas, dan
sarcopenia. Tanda-tanda penyalahgunaan alkohol kronis seperti spider
angiomata, splenomegali, eritema palmar, ginekomastia, pembesaran
kelenjar parotid, atrofi testis, dan kontraktur Dupuytren mungkin ada.
Studi laboratorium karakteristik menunjukkan 2: 1 aspartat
aminotransferase (AST) ke alanine aminotransferase (ALT) rasio dengan
nilai-nilai khas kurang dari 300-400 mg / dL. Kadar ALT serum biasanya
lebih rendah daripada AST pada hepatitis alkoholik karena aktivitas ALT
yang berkurang pada vitamin B6 hepatosit yang hilang dan cedera
mitokondria yang menyebabkan pelepasan mitokondria AST. Tingkat
aminotransferase yang lebih tinggi dapat mengarah ke faktor tambahan
yang menyebabkan hepatotoksisitas ( misalnya , hepatitis iskemik yang
dilemahkan, kerusakan hati yang disebabkan obat, rhabdomyolysis, atau
hepatitis virus akut). Tingkat bilirubin bisa setinggi 30 mg / dL dengan
koagulopati berat, leukositosis, anemia, dan onset baru gagal ginjal terlihat
pada pasien dengan sindrom hepatorenal. Penarikan alkohol berat dapat
mengancam jiwa ketika pasien mengalami tremens delirium, kejang,
koma, dan serangan jantung. Pengobatan dengan stabilisasi hemodinamik,
perlindungan saluran napas, dan benzodiazepin diperlukan . Ada
prevalensi lebih tinggi dari pasien yang mengalami penarikan alkohol pada
hepatitis alkoholik dibandingkan dengan sirosis alkoholik. Beberapa
gangguan elektrolitik telah diidentifikasi pada pasien dengan hepatitis
alkoholik, seperti hipokalemia, hypophosphatemia, dan hypomagnesaemia
antara lain. Suplementasi dengan tiamin, asam folat, dan koreksi glukosa,
kalium, magnesium, dan fosfat dianjurkan.

o Diagnosa
Hepatitis alkoholik terutama merupakan diagnosis klinis. Jika ada
pantangan yang dikonfirmasi untuk lebih dari 2 bulan atau pasien
melaporkan kurang dari 4 minuman sehari-hari secara rata-rata, hepatitis
alkoholik kurang mungkin. Biopsi hati dianggap sebagai standar emas
untuk diagnosis hepatitis alkoholik, tetapi mereka tidak dianggap
dilakukan secara rutin untuk evaluasi AH di Amerika Serikat. Diagnosis
histologis tidak diperlukan untuk diagnosis dan manajemen AH
berdasarkan parameter ini . Namun demikian, jika diagnosis klinis tidak
jelas atau muncul multifaktorial, biopsi hati dapat dipertimbangkan.
Perhatian harus dilakukan ketika ada hipertensi portal parah dan
koagulopati. Jika manfaat lebih besar daripada risiko, pendekatan
transjugular dapat menentukan gradien vena hepatic dan tekanan portal
dan direkomendasikan ketika pasien mengalami koagulopati berat atau
asites. Penyebab lain penyakit hati, termasuk sirosis alkohol
dekompensasi, sepsis, dan obstruksi bilier harus disingkirkan. Pencitraan
abdomen biasanya menunjukkan steatosis dan / atau sirosis dengan
splenomegali, yang tidak spesifik pada hepatitis alkoholik .
Temuan histologis kardinal hepatitis alkoholik meliputi hepatosit
pembengkakan, badan Mallory-Denk, dan infiltrasi neutrofilik dalam
pengaturan steatosis makrovesikular dengan fibrosis dan distorsi lobular.

o Predikator motalitas
Sistem penilaian klinis telah dikembangkan untuk memprediksi
hasil pada pasien dengan hepatitis alkoholik dan pengobatan panduan.
Salah satunya menggunakan skor Maddrey
Skor Maddrey menggabungkan serum bilirubin dan waktu
prothrombin untuk menghasilkan skor fungsi diskriminan (DF). A DF> 32
ditandai sebagai hepatitis alkoholik berat dan memiliki mortalitas jangka
pendek yang tinggi sekitar 50%. Pasien dengan DD> 32 mungkin
mendapat manfaat dari terapi kortikosteroid. DF <32 diklasifikasikan
sebagai tingkat keparahan ringan atau sedang dengan tingkat mortalitas
10%.
o Tatalaksana
- Suplementasi gizi
Pasien dengan hepatitis alkoholik dan sirosis memiliki defisiensi
nutrisi dan sarkopenia. Malnutrisi kalori protein dikaitkan dengan
mortalitas jangka pendek dan panjan. Vitamin A, Vitamin D, tiamin,
piroksidin, folat, dan seng adalah defisiensi vitamin yang umum terlihat
pada pecandu alkohol. Studi awal dari Asosiasi Veteran menemukan
100% dari 363 pasien hepatitis alkoholik memiliki kekurangan gizi
protein kalori . Tingkat malnutrisi dikaitkan dengan tingkat keparahan
penyakit hati.
- Kortikosteroid
Pasien dengan hepatitis alkoholik ringan (DF <32) memiliki
tingkat kematian 10% bila tidak diobati dengan prednisolon. Perawatan
suportif dibenarkan . Berbagai pilihan pengobatan telah dipelajari,
namun hanya prednisolon yang tetap menjadi terapi utama.
Kortikosteroid memiliki berbagai fungsi modulasi kekebalan termasuk
penindasan faktor transkripsi pro-inflamasi: NFΚΒ dan protein
pengaktif 1 (AP-1), yang menurunkan tingkat sirkulasi TNF-α dan IL-8
.Penggunaan prednisolon diindikasikan pada pasien dengan DF> 32 atau
ensefalopati hepatik, tetapi kontraindikasi pada infeksi aktif, perdarahan
gastrointestinal, pankreatitis akut, atau gagal ginjal.
- Pentoxifylline
Pentoxifylline menghambat faktor nekrosis tumor, sitokin yang
bertanggung jawab untuk inisiasi kaskade inflamasi yang terlihat pada
hepatitis alkoholik.. Manfaat yang terlihat sebagian besar untuk
mencegah sindrom hepatorenal. Ini dapat menjadi alternatif bagi pasien
yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid atau gagal ginjal awal,
namun tidak direkomendasikan sebagai agen lini pertama.
- N-acetylcysteine
Stres oksidatif yang dihasilkan dari hepatitis alkohol menurunkan
tingkat glutathione. NAC adalah zat antioksidan, yang merupakan pro-
obat untuk prekursor gluthathione.
- Penghambat alpha anti-TNF lainnya
Penghambat anti-TNF alfa, seperti infliximab dan etanercept tidak
dianjurkan untuk pengobatan hepatitis alkoholik. Meskipun studi awal
kortikosteroid dan infliximab menunjukkan peningkatan skor Maddrey
dalam bulan pertama, penelitian selanjutnya menunjukkan anti-TNF
alpha inhibitor dikaitkan dengan peningkatan kematian akibat infeksi
- Transplantasi hati
Transplantasi hati dapat dianggap sebagai pilihan terakhir untuk
pasien dengan hepatitis alkoholik ketika perawatan medis telah gagal
atau merupakan kontraindikasi. Kebanyakan pusat transplantasi hati
membutuhkan pantangan minimal enam bulan sebelum pertimbangan
alokasi donor. Mengingat kelangkaan organ donor, risiko rekatisme
dikhawatirkan untuk pasien dengan hepatitis alkoholik yang menjalani
transplantasi hati .
Meskipun hasil awal mungkin tampak menjanjikan, masalah etika
yang berkaitan dengan kekurangan organ, kekhawatiran sosial budaya
tentang peredaran organ yang bijaksana, dan risiko rekolisme tetap
Kelayakan seleksi pasien melalui penilaian psikososial yang ketat
dibatasi oleh sumber daya. Seorang psikiater kecanduan yang
berpengalaman dalam transplantasi hati mungkin tidak tersedia di semua
pusat. Transplantasi hati untuk hepatitis alkoholik akut berat refrakter
harus digunakan secara bijaksana pada individu yang sangat terseleksi
yang berisiko residivisme rendah.
b. Kholelitiasis
o Definisi
Kolelitiasis adalah deposit Kristal empedu yang ditemukan di dalam
kandung empedu. Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung
empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke
dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai
batu saluran empedu sekunder.
o Epidemiologi
Prevalensi kolelitiasis berkisar antara 5-25% dengan angka kejadian
yang lebih sering pada populasi Negara barat, perempuan dan usia lanjut.
Di negara Barat komposisi utama batu empedu adalah kolesterol,
sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien didapatkan batu pigmen
pada 73% pasien sedangkan batu kolesterol pada 27% pasien.
o Patologi
Batu emepedu pada hakekatnya merupakan endapan satu atau lebih
komponen empedu: kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein,
asam lemak, dan fosfolipid. Batu empedu memiliki komposisi yang
terutama terdiri dari tiga jenis: pigmen, kolesterol, dan batu campuran.
Batu pigmen terdiri atas garam kalsium dan salah satu dari keempat anion
ini: bilirubinat, karbonat, fosfat atau asam lemak rantai panjang. Batu ini
cenderung berukuran kecil, multiple dan berwarna hitam kecoklatan. Batu
kolesterol biasanya berukuran besar, soliter, berstruktur bulat atau oval,
bewarna kuning pucat dan seringkali mengandung kalsium dan pigmen.
Batu kolesterol campuran paling sering ditemukan. Batu ini memiliki
gambaran batu pigmen maupun batu kolesterol, majemuk, dan bewarna
coklat tua.
o Etiologi
Kasus batu emepedu sering ditemukan di Amerika Serikat, yaitu
mengenai 20% penduduk dewasa. Setiap tahunnya, beberapa ratus ribu
orang yang menderita penyakit ini menjalani pembedahan saluran
empedu. Batu empedu jarang terjadi pada usia dua dekade pertama.
Namun wnaita yang meminum obat kontrasepsi oral atau yang hamil akan
lebih beresiko menderita batu empedu, bahkan pada usia remaja dan usia
20-an. Faktor ras dan familial tampaknya berkaitan dengan semakin
tingginya insiden terbentuknya batu empedu. Isiden sangat tinggi pada
orang Amerika asli, diikuti oleh orang kulit putih, dan akhitnya orang
Afro-Amerika. Kondisi klinis yang dikaitkan dengan semakin
meningkatnya insiden batu empedu adalah diabetes, sirosi hati,
pancreatitis, kanker kandung empedu, dan penyakit atau reseksi ileum.
Faktor resiko lain yang berkaitan dengan timbulnya batu empedu adalah
obesitas, multiparitas, pertambahan usia, jenis kelamin perempuan, dan
ingesti segera makanan yang mengandung kalori rendah atau lemak
rendah.
o Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan
jarang dibentuk pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu
masih belum diketahui sepenuhnya, akan tetapi tampaknya faktor
presdiposisi terpentingadalah gangguan mtabolisme yang menyebabkan
terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi
kandung empedu.
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor
penting dalam pembentukkan batu emepdu. Sejumlah penyelidikan
menunjukkan bahwa hati penderita batu emepdu kolesterol mensekresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan
ini mengendap dalam kandung empeduuntuk membentuk batu empedu.
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan
supersaturasi progresif, prubhan komposisi kimia, dan pengendapan unsur
tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi,
atau keduanyadapat menyebabkan terjadinya statis.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam
pembentukan batu. Mucus meningkatkan viskositas empedu, dan unsure
sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi,
infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai akibat dari terbentuknya batu
empedu, dibandingkan sebagai penyebab terbentuknya batu empedu.
o Manifestasi Klinis
Dapat bersifat asimtomatis. Gejala muncul saat terjadi inflamasi
dan obstruksi ketika batu bermigrasi ke duktus sistikus. Keluhan khas
berupa kolik bilier. Karakteristik kolik bilier antara lain :
- Nyeri kuadran kanan atas atau epigastrium
- Kadang menjalar ke area interskapularis, scapula kanan atau bahu
- Bersifat episodik, remiten dan mendadak
- Berlangsung 15 menit – 5 jam
- Hilang perlahan dengan sendirinya
- Disertai mual dan muntah
o Diagnosis
Diagnosisi ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisis, yang dibuktikan dengan temuan radiologi berupa batu empedu pada
kandung empedu.
o Penatalaksanaan
Pada pasien asimtomatis belum terdapat bukti yang mendukung
intervensi bedah. Resiko operasi dianggap lebih besar dibandingkan
manfaatnya. Tatalaksana berupa intervensi gaya hidup, antara lain
olahraga, ,enurunkan berat badan dan diet rendah kolesterol.
Pasien dengan gejala pilihan terapi utama berupa intervensi bedah
atau prosedur invasiv minimal untuk mengeluarkan batu. Terapi
farmakologis masih belum menunjukkan efikasi yang bermakna.
- Intervensi bedah (Kolesistektomi Laparoskopi)
- Prosedur Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
- Terapi farmakologis dengan asam ursodeksikolat dosis 10-15
mg/KgBB/Hari.
o Komplikasi
- Kolesistitis akut (radang kandung empedu)
- Koledokolitiasis (batu empedu pada duktus sistikus)
- Kolangitis akut (radang saluran empedu)
- Pankreatitis akut
- Mukokel, empiema, hingga gangrene pada kandung empedu
- Keganasan kandung empedu

c. Hepatitis Virus
Istilah “Hepatitis” dipakai untuk semua jenis peradangan pada sel-
sel hati, yag bisa disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obat-
obatan (termaksud obat tradisional), konsumsi alcohol, lemak yang
berlebih dan penyakit autoimmune. Ada 5 jenis hepatitis virus yaitu
hepatitis A, B, C, D, dan E. antara hepatitis yang satu dengan yang lain
tidak saling berhubungan.
o Hepatitis A
- Penyebabnya adalah virus hepatitis A, dan merupakan penyakit
endemis di beberapa Negara berkembang. Selain itu merupakan
hepatitis yang ringan bersifat akut, sembuh spontan/sempurna, tanpa
gejala sisa dan tidak menyebabkan infeksi kronik
- Penularannya melalui fecal oral. Sumber penularan umumnya terjadi
karna pencemaran air minum, makanan yang tidak dimasak, makanan
yang tercemar, sanitasi yang buruk, dan personal hygiene rendah.
- Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya IgM antibody dalam
serum penderita
- Gejalanya bersifat akut tidak khas bisa berupa demam, sakit kepala,
mual dan muntah, sampai ikterus. Bahkan dapat menyebabkan
pembengkakan hati.
- Tidak ada pengobatan khusus hanya pengobatan pendukung dan
menjaga keseimbangan nutrisi
- Pencegahannya melalui kebersihan lingkungan, terutama terhadap
makanan dan minuman. Serta menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS)

o Hepatitis B
Hepatitis B akut

- Etiologinya virus Hepatitis B dari golongan virus DNA


- Masa inkubasi 60-90 hari
- Penularannya vertikel 95% terjadi masa perinatal (saat persalinan) dan
5% intra uterine, penularan horizontal melalui transfuse darah, jarum
suntik tercemar, pisau cukur, tattoo, transplantasi organ.
- Gejala tidak khas sepeti lesu, nafsu makan berkurang, demam ringan,
nyeri abdomen sebelah kanan, dapat timbul ikterus, air kencing warna
the.
- Diagnosis ditegakkan dengan test fungsi hati serum transminase (ALT
meningkat), serologi HBsAg dan IgM anti HBC dalam serum.
- Pengobatan tidak diperlukan antiviral, pengobatannya bersifat
simtomatis
- Pencegahannya :
a. Telah dilakukan penapisan darah sejak tahun 1992 terhadap bank darah
melalui PMI.
b. Imunisasi yang sudah masuk dalam program nasional HBO (<12 jam),
DPT/HB1 (2 bulan), DPT/HB2 (3 bulan), DPT/HB3 (4 bulan)
c. Menghindari factor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan

Hepatitis B kronik

- Hepatitis B kronik berkembang dari Hepatitis B akut


- Usia saat terjadinya infeksi mempengaruhi kronisitas penyakit. Bila
penularan terjadi saat bayi maka 95% akan menjadi Hepatitis B kronik
sedangkan bila penularan terjadi pada usia balita maka 20-30% menjadi
penderrita hepatitis B kronik dan bila penularan saat dewasa maka hanya
5% yang menjadi penderita hepatitis B kronik
- Hepatitis B kronik ditandai dengan HBsAg (Hepatitis B surface
Antigen) positif (>6 bulan). Selain HBsAg, perlu diperiksa HBeAg
(Hepatitis B E-Antigen, anti-HBe dalam serum, kadar ALT (Alanin
Amino Transferase), HBV-DNA (Hepatitis B Virus-Deoxyribunukleic
Acid) serta biopsy hati.
- Biasanya tanpa gejala
- Sedangkan untuk pengobatannya saat ini telah tersedia 7 macam obat
untuk hepatitis B (Interferon alfa-2a, pegimterferon alfa-2a, lamivudin,
adefovir, entecavir, telbivudin dan tenofovir)
- Prinsip pengobatan tidak perlu terburu-buru tetapi jangan terlambat
- Adapun tujuan pengobatan memperpanjang harapan hidup, menurunkan
kemungkinan terjadinya sirosis hepatis atau hepatoma
o Hepatitis C
- Penyebab utamanya adalah sirosis dan kanker hati
- Etiologi virus Hepatitis C termaksud gologan virus RNA (Ribo Nucleic
Acid)
- Masa inkubasi 2-24 minggu
- Penularan melalui hepatitis C melalui darah dan cairan tubuh, penuaran
masa perinatal sangat kecil melalui jarum suntik (IDUs, tatto),
transplantasi organ, kecelakaan kerja (petugas kesehatan), hubungan
seks dapat menularkan tetapi sangat kecil.
- Kronisitasnya 80% penderita akan menjadi kronik
- Pengobatan hepatitis C : kombinasi pegylated interferon dan ribavirin.
- Pencegahan hepatitis C dengan menghindari factor resiko karna sampai
saat ini belum tersediannya vaksin untuk hepatitis C
o Hepatitis D
- Virus hepatitis D paling jarang ditemukan, tetapi paling berbahaya
- Hepatitis D juga disebut virus delta, virus ini memerlukan virus hepatitis
B untuk berkembang biak sehingga hanya ditemukan pada orang yang
telah terinfeksi virus Hepatitis B.
- Tidak ada vaksin tetapi otomatis orang akan terlindungi jika telah
diberikan imunisasi Hepatitis B.
o Hepatitis E
- Dahulu dikenal sebagai hepatitis non a- non b
- Etiologi virus hepatitis E termaksud virus RNA
- Masa inkubasi 2-9 minggu
- Penularan melalui fecal oral seperti hepatitis A
- Diagnosis dengan didapatkannya IgM dan IgG, Anti HEV pada
penderita yang terinfeksi
- Gejalannya ringan menyerupai gejala flu, sampai ikterus
- Pengobatannya belum ada pengobatan antivirus
- Pencegahannya dengan menjaga kebersihan lingkungan, terutama
kebersihan makanan dan minuman
- Vaksinasi hepatitis E belum tersedia.

d. Kista Duktus Koledokus


o Pendahuluan

Pada tahun 1720, seorang ahli anatomi berkebangsaan Jerman,


Abraham Vater, mendeskripsikan anatomi normal dan abnormal dari
duktus biliaris. Pada tahun1852, Douglas, pertama kali mempublikasikan
deskirpsi klinis dari seorang pasien dengan dilatasi dari duktus biliaris.
Kista duktus koledokus lebih sering ditemukan pada perempuan, dengan
rasio perempuan dibanding laki-laki yaitu 3:1 dan 4:1. Kondisi ini jarang
terjadi, dengan insidensi terjadinya pada populasi di Barat yaitu 1 dalam
13.000 sampai 15.000 kelahiran hidup.
o Etiologi dan Embriologi

Etiologi pasti kista duktus koledokus sampai saat ini masih belum
diketahui dengan jelas. Terdapat beberapa teori berkenaan dengan
etiologi dan patogenesis dari kista duktus koledokus:

1) Terjadinya kegagalan rekanalisasi sehingga terjadi kelemahan


kongenital pada dinding duktus biliaris, dimana hal ini
merupakan hipotesis awal
2) Terdapatnya abnormalitas pada inervasi dari distal common bile duct
yang menyebabkan terjadinya obstruksi fungsional dan dilatasi proksimal
3) Kelemahan yang didapat dari dinding duktus biliarisyang berhubungan
dengan PBM, pertama kali diperkenalkan oleh Babbit (1969), dimana
digambarkan terdapatnya common pancreaticobiliary channel pada
kistaduktus koledokus, dan terjadinya refluks enzim pankreas dapat
menyebabkankerusakan pada duktus biliaris dan dilatasi,
4) Terdapatnya obstruksi dari bagiandistal duktus biliaris. Stenosis sering
ditemukan dibagian bawah dari kista tipe 1,tetapi apakah penyebabnya
kongenital ataupun sekunder akibat adari inflamasi masih belum jelas.

Todani dan kawan – kawan, berdasarkan analisisnya


menggunakan endoscopic retrograde cholangiography (ERCP) dan
pemeriksaan dengan kolangiografi lain, menerangkan terjadinya anomali
pada pembentukan duktus pankretiko biliaris dimana duktus pankreatikus
bersatu dengan duktus biliaris pada lokasi yang lebih proksimal diluar
ampula Vater, dimana hal ini dapat menyebabkan terjadinya refluks dari
enzim pankreas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada
dinding duktus dan terjadinya dilatasi.

Konsentrasi yang tinggi dari enzim pankreas sering


ditemukan pada bile di dalam kista. Hal ini ditunjang dengan
meningkatnya kadar amilase yang diaspirasi dari kistaduktus koledokus.
Long common channel tidak hanya disertai dengan
komplikasi pankreatitis, tetapi dapat juga disertai dengan komplikasi
protein plugs, kalkulus, pada anak dan dapat berkembang menjadi
karsinoma kandung empedu.

o Patologi
Pada kista duktus koledokus, mukosa duktus biliaris
menunjukkan adanya erosi, deskuamasi epitel dan hiperplasia
papilary dengan regenerasi atipik. Displasia mukosaduktus
biliaris tanpa karsinoma juga kerap ditemui. Perubahan
metaplasia seperti selmucous, sel goblet dan sel Panet juga
ditemui. Hiperplasia dan metaplasia meningkat seiring usia dan
dapat menjadi karsinoma pada usia dewasa. Perubahan ini dapat
ditemui pada semua tipe kista duktus koledokus.
Mukosa kandung empedu pada pasien dengan PBMU
menunjukkan kolesistitis, cholesterolosis, adenomyosis atau
adenomyomatosis, polip, termasuk adenoma dan hiperflasia epitel.
Mukosa kandung empedu pada FFCC ditandai hiperplasia difus d i epitel
dengan atau tanpa metaplasia dari pyloric glands, sel goblet dan sel Panet.

o Kelainan Penyerta

Kelainan pada pertemuan duktus pankreatikobiliaris sering


dijumpai. Hilar duct strictures dapat dijumpai pada kista tipe IV. Todani
et al, 1998, melaporkan terdapat18 kasus dengan hilar duct stricture dari
55 pasien dengan kista tipe IV. Kelainan lain yang dilaporkan yaitu duktus
biliaris ganda, duplikasi kandung empedu danagenesis kandung empedu.

Terjadinya malformasi diluar kandung empedu jarang


ditemukan. Kemungkinan kelainan penyerta lain yang cukup sering
ditemukan yaitu anomali pada traktus urinarius (Dudin et al.,1995;Stringer
et al.,1995; Samueldan Splitz,1996), dan duodenal atresia, annular
pankreas dan abnormalitas pada jari (Dudinet al ., 1995)
o Klasifikasi Anatomis

Klasifikasi Kista Duktus koledukus yang umum dipakai adalah


klasifikasi menurut Alonzo-Todani (1977) yang didasarkan pada lokasi
kista duktus billiaris:

- Tipe I : tipe ini merupakan tipe yang tersering (80-90% dari Kista
Duktus Koledokus). Tipe ini mencangkup dilatasi fusiform atau
sacular dari duktuskoledokus dengan melibatkan sebagian hingga
seluruh duktus.
- Tipe I A : berbentuk sacular dan melibatkan seluruh dari duktus
ekstrahepatik.
- Tipe I B : berbentuk sacular dan melibatkan sebagian segmen dari
duktus billiaris.
- Tipe I C : berbentuk fusiform dan melibatkan sebagian besar
hinggaseluruhnya dari duktus ekstra hepatik
- Tipe II : tampak seperti divertikulum yang menonjol pada dinding
duktus koledokus, sedangkan duktus billiaris intrahepatik dan ektrahepatik
normal.
- Tipe III : dikenal sebagai choledochocele. Biasanya terdapat
intraduodenal tetapi terkadang dapat muncul pada bagian intra hepatik dari
traktus biliaris. Sebaliknya, sistem duktus normal dan duktus koledokus
biasanya memasuki choledochocele ke dalam dinding dari duodenum.
- Tipe IV : untuk tipe IVA terjadi dilatasi multipel dari duktus intra
dan ekstrahepatik sedangkan untuk tipe IV B hanya melibatkan duktus
ekstrahepatik saja.
- Tipe V (Caroli disease): multipel dilatasi dari duktus intrahepatik.

Klasifikasi kista duktus koledokus dengan pancreaticobiliary malunion (PBMU) :

1) Dilatasi pada duktus biliaris ekstrahepatik yang berbentuk kistik


2) Dilatasi pada duktus biliaris yang berbentuk fusiform
3) Forme fruste kista duktus koledokus tanpa PBMU
4) Tampak seperti divertikulum pada duktus koledokus
5) Choledochocele ( diverticulum pada bagian distal dari duktus koledokus)
6) Hanya terjadi dilatasi dari duktus biliaris intrahepatik (penyakit Caroli’s)

o Prenatal Diagnosis

Kista duktus koledokus dapat terdeteksi secara rutin dengan


pemeriksaan prenatal ultrasonografi yang dilakukan pada minggu ke 15
kehamilan (Schroeder et al., 1989;Bancroft et al ., 1994; Stringer et al.,
1995; Redkar et al ., 1998). Kista mungkin sulit dibedakan dengan atresia
duodenum, kista ovarium ataupun kelainan lain. Kista ini dapat terlihat
secara tipikal, tetapi tipe dari kista tidak dapat ditentukan.

Menurut Redkar, MacKenzie dan kolega, walaupun maternal


ultrasonografi berguna, tetapi tidak akurat dan tidak dapat diandalkan
dalam membedakan kista duktus koledokus dengan malformasi yang
terjadi padi traktus biliaris. Tetapi bagaimanapun juga, apabila terdapat
kecurigaan akan diagnosis kista duktuskoledokus, harus dilakukan
ultrasonografi postnatal. Apabila kecurigaan akan kistaduktus koledokus
dapat dibuktikan, maka dilakukan penatalaksanaan sehubungandengan
diagnosis.

o Presentasi Klinis
Kista duktus koledokus dapat terlihat pada semua usia, tetapi lebih
dari setengahnya pertama kali terlihat pada dekade pertama kehidupan.
Manifestasi klinis akan berbeda sesuai dengan usia pada saat permulaan
gejala. Gejala pada pasien dengan kista duktus koledokus dapat
diklasifikasikan menjadi gejala pada anak bayi dan pada anak yang lebih
besar. Pada bayi, dengan rentang usia 1 sampai 3 bulan, gejala yang
muncul adalah obstruktif jaundice, feses yang akholis, dan hepatomegali.
Tampilan klinis pada kelompok ini tidak dapat dibedakan dari atresia
biliaris. Kadang-kadang disertai juga dengan fibrosis hati. Pasien pada
kelompok ini tidak harus terdapatgejala nyeri pada abdomen ataupun
massa pada abdomen.
Pada kelompok umur yang lebih besar, biasanya manifestasi klinis
akantampak pada anak setelah usia 2 tahun. Pada anak yang lebih besar,
gejalanya dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu massa pada perut
kanan atas dengan jaundice intermittent karena obstruksi biliaris, yang
umumnya dijumpai pada pasien dengan kista duktus koledokus sakuler,
dan nyeri perut akibat pankreatitis, yang biasanya tampak pada bentuk
yang fusiform. Pada kelompok umur ini, classic triad berupa nyeri perut,
terabanya massa, dan jaundice yang dikemukan oleh Alonso-Lej dan
kolega biasanya dijumpai. Karena obstruksi yang terjadi pada kelompok
umur inihanya parsial, maka gejala bersifat intermiten.
Rekuren kolangitis dapat menjadi ciri dari gejala kista duktus
koledokus pada anak yang lebih besar. Bagaimanapun, sangat penting
ditekankan bahwa gejala pada anak yang lebih besar sering tidak ketara
dan bersifat intermitan, sehingga sering tidak terdiagnosis, yang
mengakibatkan kerusakan hati yang terus berlanjut, sehingga pasien
biasanya datang dengan kondisi sirosis hati dan manifestasi hipertensi
portal.
o Diagnosis
- Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak mampu untuk menegakkan
diagnosis dari kistaduktus koledokus, tetapi dapat menggambarkan kondisi
klinis dari pasien. Oleh karena gejala tersering adalah jaundice, hasil
laboratorium terpenting adalah conjugated hiperbilirubinemia, peningkatan
alkaline phosphatase, dan marker lainuntuk obstruktif jaundice. Apabila
obstruksi biliaris sudah terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka dapat
pula disertai profil koagulasi yang abnormal. Nilai amilase plasma dapat
menunjukkan peningkatan pada saat episode nyeri perut.
- Pemeriksaan Radiologi
Bagaimanapun bentuk dari kelainan anatomi, pemeriksaan
radiologis merupakankunci dalam menegakkan diagnosis. Computed
tomography (CT) cholangiography, dahulu digunakan sebagai alat
penunjang dalam menegakkan diagnosis dari kistaduktus koledokus, saat
ini digantikan oleh pemeriksaan yang lebih akurat.
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang awal yang
terpilih dandapat menggambarkan ukuran, bentuk, duktus proksimal,
pembuluh darah dan bnetuk dari hepar. Komplikasi seperti kolelitiasis,
hipertensi portal dan biliary ascites dapat pula terlihat.
Percutaneus transhepatic cholangiography dan endoscopic
retrogradecholangiopancreatography (ERCP) dapat memeberikan
gambaran yang akurat darisistem pancreaticobiliary. Tetapi, pemeriksaan
ini bersifat invasif dan tidak cocok untuk digunakan berulang kali serta
merupakan kontraindikasi apabila dilakukandalam keadaan pankreatitis
akut. Pemeriksaan ini dilakukan dengan anesthesia umum.
Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) dapat
dilakukan dibawah pengaruh sedasi pada anak tanpa menggunakan bahan
kontras atau tanapa radiasi. MRCP merupakan pemeriksaan yang bersifat
noninvasif dan dapatdigunakan untuk menggambarkann duktus pankreatik
dan biliaris proksimal dariobstruksi. Pada anak dengan usia dibawah 3
tahun, MRCP amungkin tidak dapat menggambarkan sistem
pankreticobiliaris dikarenakan kalibernya yang kecil.
Kolangiografi intraoperatif tidak diperlukan jika seluruh sistem
biliaris telah dicitrakan sebelum eksisi kista, namun hal ini harus dipakai
jika system pancreaticobiliary tidak seluruhnya tercitrakan.
o Penatalaksanaan
Eksisi kista merupakan terapi definitif yang terpilih untuk kista
duktus koledokus karena tingginya morbiditas dan tingginya resiko
terjadinya karsinoma setelahdrainase interna. Bervariasi pendekatan telah
diusahakan sejak dahulu untuk penanganan pembedahan mulai dari
aspirasi kista, marsupialisasi, serta drainage eksternal tetapi angka
mortalitas tetap tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan kebanyakan pasien
yang datang dengan kondisi lanjut.
Pada tahun1924, McWhorter pertama kali mempublikasikan eksisi
dari kistakoledokus dengan anastomosis dari duktus hepatikus ke
duodenum. Prosedur inidirasakan sangat sulit, dengan angka kematian
mencapai 30%. Pada tahun 1933,Gross mempublikasikan dan
menyimpulkan bahwa choledochocystoduodenostomy sebagai prosedur
pembedahan yang cukup aman dan efektif serta memiliki mortalitas yang
rendah. Pada tahun 1965, Fonkalsrud dan Boles mendukung hal tersebut,
sehingga sejak saat itu drainase interna tanpa eksisi kista merupkan
tindakan yang terpilih. Kemudian terhadap pasien tersebut dilakukan
follow up selama 15 tahun, dan didapatkan bahwa angka morbiditas
meningkat dari 30% menjadi 50%, dan hal ini berhubungan dengan
morbiditas yang terjadi lanjut. Komplikasi yang terjadi antara lain kronik
kolangitis yang rekuren, kemungkinan akibat terjadinya refluks dari
duodenum ke traktus biliaris, yang pada akhirnya menyebabkan inflamasi
kronis danstenosis pada anastomosis. Hal memberikan gejala yang ringan
sehingga diagnosis tidak dapat dibuktikan dan pada akhirnya berkembang
menjadi sirosis bilier danhipertensi portal.
Pada tahun 1970, Kasai dan kolega dan Ishida dan kolega,
melaporkan hasilyang memuaskan dengan dilakukannya eksisi kista dan
Roux-en-Y jejunostomy.Roux-en-Y cyst jejunostomy telah dikembangkan
sebagai alternatif dari cytduodenostomy untuk menghindari terjadinya
reflux isi dari duodenum ke dalam percabangan traktus billiaris.
o Tekhnik Operasi
Posisi pasien supine diatas meja operasi. Dilakukan insisi subcostal
kanan yang dapat diperlebar kemudian. Bila dibandingkan dengan tipe
kista yang fusiform, biasanya terjadi adesi antara tipe kista yang kistik
dengan struktur disekitarnya seperti vena porta dan arteri hepatika,
terutama pada anak yang lebih tua. Dilakukan insisi transverse pada
dinding anterior kista, akan tampak dinding posterior kista dari dalam,
sehingga kista dapat dibebaskan dari jaringan sekitarnya termasuk vena
porta dan arteri hepatica.
Apabila adhesi kista cukup hebat, mukosektomi kista lebih baik
dilakukandaripada full-thickness. Untuk menghindari terjadinya
pankreatitis dan atau pembentukan batu akibat dari kista residual, maka
duktus biliaris distal harus direseksi sedekat mungkin dengan
pancreticobiliary junction (gambar 12). Setelah dilakukan mukosektomi,
ujung distal dari kista dijahitkan secara transfixed sebanyak 2 kali dengan
benang absorbable. Stump distal bisa saja dibiarkan demikian atau
dibenamkan diantara dinding otot disekitar kista.
Eksisi kista dan Roux-en-Y hepatico-jejunostomy (RYH)
merupakan tindakan terpilih untuk kista duktus koledokus. Anastomosis
jejunum diatas dari sisa CBDdirekomendasikan jika rasio antara CBD dan
jejunum proksimal kurang atau sama dengan 1 (common hepatic duct)
sampai 2,5 (jejunum). Jika duktus biliaris terlalukecil, maka lebih
disarankan melakukan end to side anastomosis. Anastomisis harus
dilakukan sedekat mungkin dengan ujung jejunal limb. End to side
anastomosis harus dilakukan jauh dari ujung buntu jejunum proksimal
sehingga dapat terjadi blind pouch saat anak semakin besar. Statis bile
pada blind pouch dapat membentuk batui ntrahepatik, khususnya jika
duktus intrahepatik berdilatasi. Kami percaya dengan hepatico
jejunostomy end to end dan jejuno-jejunostomy end to sideakan mencegah
terbentuknya batu dan terjadinya kolangitis asenden.
Beberapa ahli bedah menentukan panjang Roux en Y jejuna limb
tanpa mempertimbangkan ukuran anak. Hal ini menyebabkan jejunal limb
Roux en Y yang panjang yang sebetulnya tidak perlu khsususnya bayi dan
anak yang lebih muda.Redundansi Roux limb agaknya akan terjadi seiring
pertumbuhan anak. Hal ini menyebabkan terjadinya bile statis pada limb,
yang pada akhirnya menyebabkanterjadinya kolangitis atau terjadinya
pembentukan batu. Konstruksi Roux en Yagaknya mencegah terjadinya
redundansi Roux limb. Kami merekomendasikan mengamankan jejunal
limb dari ligamentum Treitz ke Roux limb pada anastomosisside to side
sekitar 8cm proksimal dari anastomosis end to side untuk memastikan
bileflow yang smooth dan pasase distal yang baik. Tanpa menggunakan
teknik ini jejunostomy akan berbentuk T, sehingga menyebabkan
terjadinya refluks konten jejunum ke Roux limb, situasi yang kami temui
pada satu pasien yang dioperasi ditempat lain.
o Komplikasi
Dari beberapa literatur disebutkan dapat terjadi komplikasi pasca
eksisi kista baik awal maupun lanjut seperti cholangitis, pembentukan
batu, striktur anatomosis, pancreatitis, disfungsi hepar dan keganasan.
Fenomena pembentukan batu setelah operasi pertama kali diungkapkan
olehTsuchida et al. Uno dan kawan-kawan, pada penelitiannya tentang
batu intrahepatik yang terjadi setelah eksisi kista, menerangkan bahwa
selalu terjadi striktur sebagaikejadian awal. Cetta juga melaporkan bahwa
stasis dari bile akibat striktur dari duktus merupakan kejadian yang
mendahului, bukan mengikuti, untuk terbentuknya batuintrahepatik. Telah
banyak dilaporkan terjadinya degenerasi maligna baik akibat
retained cyst ataupun akibat inflamasi kronis yang terjadi oleh karena
refluks dari enzim pankreas akibat kelemahan dari fungsi sfingter Oddi
yang menyebabkan perubahan histologis dan perkembangan ke arah
malignansi. Pankreatitis akut merupakankomplikasi yang terjadi pada 20%
kasus pada follow up jangka panjang akibat dari pembentukan protein
plug.

e. Hepatitis Akut Karena Obat

Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein
transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme
apoptosis hepatosit karena asam empedu. Terjadi penumpukan asam-asam
empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli
yangmenghasilkan translokasi Fas sitoplasmik ke membran plasma, dimana
reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memacu
kematian sel melalui apoptosis. Disamping itu, banyak
reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450 yang
mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang
dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga
menghasilkan ikatan baru yang tidak punya peran. Kompleks enzim-
obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk
berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik sel T,
merangsang respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel sitotoksik dan
berbagai sitokin. Obat- obat tertentu menghambat fungsi mitokondria
dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi.
Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak
epitel saluran empedu.

1) Kerusakan hepatosit
Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan
penurunan ATP, menyebabkan gangguan aktin. Kegagalan
perakitan benang-benang aktin di permukaan hepatosit menyebabkan
rupturnya membran hepatosit.
2) Gangguan protein transport
Obat yang mempengaruhi protein transport di membran kanalikuli dapat
mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan
gangguan pompa transport misal multidrug resistance–associated
protein 3 (MRP3) menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan
kolestasis.
3) Aktivasi sel T sitolitik
Ikatan kovalen dari obat pada enzim P450 dianggap imunogen,
mengaktifkan sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun multifaset.
4) Apoptosis hepatosit
Aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF menyebabkan
berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat pada kematian sel
terprogram (apoptosis).
5) Reaksi
Hipersensitivit
as
Biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses
sensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam
kulit, eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan
granulomatosa atau eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau
dua challenge dose, gejala-gejala di atas biasanya segera timbul lagi.
6) Reaksi idiosinkrasi karena kelainan metabolisme ( Metabolic-
idiosyncratic ) Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu
antara satu minggu sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak
disertai demam, ruam kulit,eosinofilia maupun kelainan histopatologik
yang spesifik seperti di atas. Dengan memberikan satu atau dua
challenge dose kelainan ini tidak dapat diinduksi untuk timbul lagi;
untuk ini obat perlu diberikan lagi selama beberapa hari sampai
beberapa minggu. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang
cukup lama agar penumpukan metabolit.
7) Gangguan mitokondria
Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada
α-oksidasi (mempengaruhi produksi energi dengan cara menghambat
sintesis dinuclotide adenin nicotinamide dan dinucleotide adenin
flavin, yang menyebabkan menurunnya produksi ATP) dan enzim
rantai respirasi.
8) Kerusakan duktus biliaris
Metabolit racun yang diekskresikan di empedu dapat menyebabkan
kerusakan epitel duktus biliaris.

Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada


hati dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan
yang unpredictable.

- Predictable Drug Reactions (intrinsik), merupakan obat yang dapat


dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan
kepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan
ini ada obat yang langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak
secara tidak langsung yaitu dengan mengacaukan metabolisme atau
faalsel hati. Obat hepatotoksik predictable yang langsung
merusak sel hati umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan.
Contohnya ialah karbon tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksin yang
predictable yangmerusak secara tidak langsung masih banyak yang
dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol, steroid
kontrasepsi danrifampisin. Tetrasiklin, etanol dan metotreksat
menimbulkan steatosisyaitu degenerasi lemak pada sel hati. Parasetamol
menimbulka nnekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid yang
mengalamialkilasi pada atom C--17 menimbulkan ikterus akibat
terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan
ikterus karena mempengaruhi konjugasi dan transpor bilirubin dalam hati.
- Unpredictable Drug Reactions/Idiosyncratic drug reactions,
merupakan obat yang menimbulkan kerusakan hati namun bukan
disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya
reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari
kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat
diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah kecil orang
yang rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan
idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi
hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme.
o Implikasi Klinik

Gambaran klinik hepatotoksitas imabas obat sulit di bedakan secara


klinik dengan penyakit hepatitis atau klolestasis dengan etiologi lain.
Riwayat pemakaian obat-obatan atau substansi hepatotoksik lain harus
dapat di ungkap onset umumnya cepat lelah , malaise, dan ikterus, serta
dapat terjadigagal hati akut yang berat terutama bila pasien masi
meminum obat tersebut setelah onset hepatotoksisitas. Apabila jejas
hepatosit lebih dominan maka kadar aminotransferase dapat meningkat
hingga paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan kadar
fosfatase alkali dan bilirubin menonjol pada kholestasis. Mayoritas reaksi
obat idiosinkratik melibatban kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic
dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala
hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak mulai
minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab
di hentikan pemakaianya .

Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti


phenytoin yang berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas
hepatosit yang berat. Pemulian reaksi imunologik umumnya lambat
sehingga di duga allergen tetap bertahap di hepatosit selama berminggu -
minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis asetaminofen ( lebih dari 4 gr per
24 jam) merupakan contoh hepatotoksisitas obat yang tergantung dosis yang
dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit terutama area sentrilobuler.
Kadar aminotranserase biasanya sangat tinggi, dapat melebihi
3500UI/L.
Berdasarkan international consensus criteria, maka diagnosis
hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan:
- Waktu mulai dari minum dan berhentinya minum obat sampai awitan
reaksi nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau
kompatibel ( <5 hari atau >90 hari sejak mulai minum obat dan <15 hari
dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan <30 hari dari
penghentian obat untuk reaksi kolestasis) dengan hepatotoksisitas obat.
- Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif
(enzim hati turun 50% dari konsentrasi diatas batas atas normal dalam 8
hari) atau sugestif (enzim hati turun 50% dalam 30 hari untuk reaksi
hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
- Adanya respon positif pada paparan ulang obat yang sama paling tidak
kenaikan 2 x lipat enzim hati.
o Epidemiologi
Angka kejadian hepatitis akut et causa obat-obatan sebagian
besar tidak diketahui dengan pasti, hal ini dikarenakan penelitian
prospektif pada populasi yang berhubungan dengan kerusakan hati yang
diakibatkan oleh obat masih relatif rendah. Angka kejadian penyakit ini
pada populasi umum diperkirakan 1-2 kasus per 100.000 orang pertahun.
Pada pusat rujukan tersier kira-kira terdapat 1,2% hingga 6,6% kasus
penyakit hati akut yang diakibatkan oleh hepatitis akut et causa obat- obatan.
Sedangkan estimasi insidens penyakit ini adalah 14 per 100.000 pasien per
tahun pada penelitian prospektif yang dilakukan di Prancis bagian utara,
yang berarti 10 kali lebih tinggi dari rata-rata yang dilaporkan oleh
penelitian lain. Laporan terbaru mengindikasikan bahwa hepatitis akut et
causa obat-obatan dan alkohol terjadi dalam 1/100 pasien yang dirawat di
bagian penyakit dalam. Hepatitis akut et causa obat- obatan adalah
kejadian yang jarang tetapi terkadang menjadi penyakit yang serius.
Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting di dalam praktek
sehari-hari. Di negara-negara barat, penyebab mayoritas hepatitis akut et
causa obat-obatan adalah obat antibiotik, antikonvulsan dan agen
psikotropika. Laporan lain menyebutkan bahwa Asetaminofen merupakan
penyebab utama hepatitis akut et causa obat-obatan di negara-negara barat.
Di Amerika Serikat, amoksisilin/klavulanat, INH, nitrofurantoin
danflorokuinolons adalah penyebab hepatitis akut et causa obat-obatan yang
terbanyak. Perbedaan diantara penelitian di AS dan Eropa dikarenakan
terdapat perbedaan di dalam penggunaan obat-obat yang diterima di
masing-masing negara dan kebiasaandi dalam meresepkan obat. Di negara
Asia, herbal dan suplemen diet adalah penyebab paling sering dari hepatitis
akut et causa obat-obatan. Herbal dan suplement diet baru-baru ini
menyebabkan kurang dari 10% kasus hepatitis akut et causa obat-obatan di
negara-negara barat.
o Etiologi
Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian secara
parenteral dari sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat
kurang lebih 900 jenis obat, toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat
mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati. Beberapa diantaranya
seperti pada tabel 1 dibawah ini merupakan penyebab paling sering dari
Drug Induced Liver Injury.
Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug-
Induced Liver Injury yakni
Penelitian yang dilakukan oleh Kazuto Tajiri and Yukihiro
Shimizu di Jepang mengungkapkan bahwa penyebab dari Drug Induced
Liver Injury diantaranya adalah asetaminofen (16,9%), anti-HIV seperti
Stavudine,Didanosine, Nepirapine, Zidovudine (16,8%), Troglitazone
(11,7%), antikonvulsan seperti Asam Valproat dan phenitoin (10,3%), anti
kanker (12,3%)yang meliputi Flutamide (3,3%), Cyclophosphamide
(3,1%), Methotrexate.

o Patogenesis
- Metabolisme obat
Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga membuat mereka
mampu menembus membran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih
hidrofilik melalui proses-proses biokimiawi di dalam hepatosit,
menghasilkan produk- produk larut air yang diekskresi ke dalam urin
atau empedu. Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur oksidatif
utamanya melalui sistem enzim sitokrom P-450.
- Sistem Enzim yang Berperan Dalam Detoksifikasi
 Sistem tahap I
Sistem detoksifikasi tahap I, melibatkan terutama enzim supergen
sitokrom P-450, secara umum merupakan enzim pertahanan pertama
melawan bahan asing. Sebagian besar bahan kimia dimetabolisme
melalui biotransformasi tahap I. Pada reaksi umum tahap I, enzim
sitokrom P-450 (CYP450) menggunakan oksigen dan sebagai kofaktor,
NADH, untuk menambah kelompok reaktif, misalnya hidroksil radikal.
Sebagai hasil dari tahap ini dalam detoksifikasi, diproduksi suatu
molekul reaktif yang lebih toksik daripada molekul awal. Apabila
molekul reaktif ini tidak berlanjut pada metabolisme selanjutnya, yaitu
tahap II (konjugasi), dapat menyebabkan kerusakan pada protein,
RNA, dan DNA di dalam sel. Beberapa penelitian menunjukkan
bukti terhadap hubungan antara terjadinya induksi tahap I dan/atau
berkurangnya aktivitas tahap II dengan meningkatnya resiko
penyakit, misalnya kanker, SLE, dan penyakit Parkinson.
 Sistem
tahap II
Reaksi konjugasi pada tahap II umumnya mengikuti aktivasi tahap
I,dimana akan mengakibatkan xenobiotik yang telah larut air dapat
diekskresikan melalui urin atau empedu. Beberapa macam reaksi
konjugasi terdapat di dalam tubuh, termasuk glukoronidasi, sulfas, dan
konjugasi glutation serta asam amino. Reaksi ini memerlukan kofaktor
yang tercukupi melalui makanan. Banyak yang diketahui
mengenai peran dari sistem enzim tahap I pada metabolism bahan
kimia seperti halnya aktivasinya oleh racun lingkungan dan komponen
makanan tertentu. Walau begitu, peran detoksifikasi tahap I pada
praktek klinik tidak terlalu diperhatikan. Kontribusi dari sistem
tahap II lebih diperhatikan dalam penelitian dan praktek klinik.
o Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya Drug
Induced Liver Injury antara lain:
1) Ras
Beberapa obat memiliki perbedaan toksisitas terhadap ras tertentu.
Misal, ras kulit hitam akan lebih rentan terhadap toksisitas isoniazid. Laju
metabolisme dikontrol oleh enzim P-450 dan itu berbeda pada tiap
individu.
2) Umur
Reaksi obat jarang terjadi pada anak-anak. Resiko kerusakan
hepar meningkat pada orang dewasa oleh karena penurunan klirens,
interaksi obat, penurunan aliran darah hepar, variasi ikatan obat, dan
volume hepar yang lebih rendah. Ditambah lagi, kurangnya asupan
makanan, infeksi,dan sering keluar masuk rumah sakit menjadi alasan
penting akan terjadinya hepatotoksisitas obat.
3) Jenis Kelamin
Walaupun alasannya tidak diketahui, reaksi obat pada hepar
lebih banyak pada wanita.
4) Konsumsi alcohol
Peminum alkohol akan lebih rentan pada toksisitas obat karena
alkohol menyebabkan kerusakan hepar dan perubahan sirotik yang
mengubah metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi simpanan
glutation yangmenyebabkannya lebih rentan terhadap toksisitas obat.
5) Penyakit hepar
Pada umumnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak
semuanya memiliki peningkatan resiko kerusakan hepar. Walaupun total
sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang mungkin terpengaruh lebih
dari yanglainnya. Modifikasi dosis pada penderita penyakit hati harus
berdasarkan pengetahuan mengenai enzim spesifik yang terlibat dalam
metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV dan Hepatitis B atau C, resiko
efek hepatotoksik meningkat jika diberikan terapi antiretroviral. Pasien
dengansirosis juga resikonya meningkat terhadap dekompensasi pada obat.
6) Faktor genetic
Gen unik mengkode tiap protein P-450. Perbedaan genetik pada
enzim P-450 menyebabkan reksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi
idiosinkratik. Debrisoquine merupakan obat antiaritmia yang
menyebabkan rendahnya metabolisme karena ekspresi dari P-450-II-D6.
Hal ini dapat di identifikasi dengan amplifikasi PCR dari gen mutasi.
7) Penyakit lain
Seseorang dengan AIDS, malnutrisi, dan puasa lebih rentan
terhadap reaksi obat karena rendahnya simpanan glutation.
8) Formulasi obat
Obat-obatan long-acting lebih menyebabkan kerusakan hepar
dibandingkan dengan obat-obatan short-acting.
o Penatalaksanaan
Kecuali penggunaan N-acetylcysteine untuk keracunan
asetaminofen (parasetamol), tidak ada anti dotum spesifik terhadap
setiap obat. Terapi efek hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera
obat-obatan yang dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan
kortikosteroid, meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol.
Demikian juga penggunaan ursodiol pada keadaan kolestatik. Pada obat-
obatan tertentu seperti amoksisilin, asam klavulanat dan fenitoin
berhubungan dengan sindrom dimana kondisi pasien memburuk dalam
beberapa minggu sesudah pengobatan dihentikan dan perlu waktu
berbulan-bulan untuk pulih sepertisedia kala. Prognosis gagal hati akut
karena reaksi idiosinkratik obat buruk,dengan angka mortalitas lebih dari
80%.
o Pencegahan
- Membeli obat sesuai dengan aturan resep dari dokter
- Hati-hati dalam penggunan herbal dan suplemen
- Jangan mencampur penggunaan obat dan alcohol
- Hati-hati dengan paparan bahan kimia
- Lindungi anak-anak dari semua obat, herbal dan suplemen
o Komplikasi

Komplikasi dari hepatitis akut adalah :

- Peningkatan tekanan di vena porta


Darah dari usus, lien dan pancreas masuk ke hati melalui vena
porta. Jika ada kerusakan pada jaringan hati maka akan terjadi bendungan
sirkulasi darah yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada vena
porta.
- Pelebaran vena
Ketika ada pembendungan di vena porta maka darah akan mengalir
kembali ke perut, esophagus dan traktus intestinal bagian bawah.
- Gagal hati
- Sirosis hati
DAFTAR PUSTAKA

Adyana, P., 2012, Pengaruh Alkohol Terhadap Kesehatan, Semnas FMIPA


Undiksha 2012.

Cahyono, J. B. S. B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisius


FK UNHAS, 2018, Penuntun CSL Sistem Gastroenterohetpaologi, Makassar.

Fung, P., Pyrsopoulos, N. 2017. Emerging Concept in Alcoholic Hepatitis.


Departemen of Medicine, Division of Gastroenterology and Hepatology.
Rutgers new jersey Medical School. Newark

Irwana, O., 2009, Ikterus, Pekanbaru Riau, Files of DrsMed – FK UR

Longo dan L. 2014. Harrison Gastroenterology dan Hepatologi. Jakarta: EGC

M, L.B., Sunny W., 2012, Peran Sel Kupffer pada Steatohepatitis Alkohol, Jurnal
Biomedik, Volume 4, Nomor 2, Juli 2012, hlm. 79-87

Ndraha, S. 2013. Kolestasis Intrahepatik. Continuing Medical Education 40 (8) :


567
Price, S.A. dan Wilson, L. M. 2015. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Volume 1. Jakarta: EGC
Setiati, S., dkk, 2014, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Interna
Publising : Jakarta

Tanto C, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi IV. Jakarta: Media
Aesculapius
Waldo E. Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1 & 2. Penerbit
Buku Kedokteran : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai