Anda di halaman 1dari 114

A.

Skenario Kasus

Seorang anak perempuan berumur 10 tahun dating ke poliklinik umum dengan


keluhan demam tinggi dan mendadak selama 3 hari. Pasien mengeluh nyeri ulu hati
dan sakit kepala hebat. Sevelum dating ke poliklinik pasien sudah muntah 3 kali di
rumah.

B. Kata Sulit

Demam adalah peningkatan suhu tubuh diatas 37,2 oC

C. Kata Kunci
1. Anak perempuan berusia 10 tahun
2. Demam tinggi dan mendadak sejak 3 hari yang lalu
3. Nyeri uluhati dan Sakit kepala hebat
4. Muntah 3 kali sebelum ke poliklinik
D. Rumusan Masalah
1. Apa defnisi dari demam dan bagaimana klasifikasi demam?
2. Bagaimana patofisiologi demam?
3. Apa saja penyakit-penyakit tropis yang menyebabkan demam dan etiologi
penayakit tersebut?
4. Bagaimana langkah-langkah diagnosis?
5. Apa saja Diagnosis Diferential dan Diagnosis Sementara pada scenario?
Jelaskan!
6. Bagaimana pencegahan dari Diagnosis Sementara?
E. Tujuan Pembelajaran
 Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan


penyakit-penyakit yang ditandai dengan demam, etiologi, patomekanisme terjadinya,
cara mendiagnosis dan penatalaksanaannya.
 Tujuan Intruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat:

1. Menjelaskan patomekanisme demam


a. Menyebutkan defenisi demam dan pembahagiannya
b. Mengetahui kriteria kurve suhu demam remitten, demam intermitten,
demam kontinyu, demam tertian, demam kuartana, septik, hektik,
demam balik-balik.
2. Menjelaskan penyakit-penyakit yang menimbulkan demam, dan etiologi
penyakit tersebut.
3. Anamnesis yang perlu dilakukan untuk pasien demam.
4. Menjelaskan langkah langkah pemeriksaan klinis, laboratorium dan
pemeriksaan penunjang untuk diagnosis kelainan dengan keluhan
demam.
5. Menjelaskan penatalaksanaan pasien demam menurut etiologinya
masing-masing
a. Farmakologis
b. Non farmakologis
6. Menjelaskan metode pencegahan demam sesuai etiologinya
F. Jawaban Pertanyaan
1. Apa defnisi dari demam dan bagaimana klasifikasi demam?

Suhu tubuh dapat diukur dengan menggunakan thermometer air raksa dan
tempat pengambilannya dapat di axilla, oral atau rektum. Sehu tubuh normal
berkisar antara 36,5oC – 37,2oC. Suhu subnormal dibawah 36oC. Dengan
demam pada umumnya diartikan suhu tubuh diatas 37,2oC. Hiperpireksia
adalah suatu keadaan kenaikan suhu tubuh sampai tinggi 41,2oC atau lebih.
Sedangkan hipotermia adalah keadaan suhu tubuh dibawah 35oC. Biasaanya
terdapat perbedaan antara pengukuran suhu di aksila dan oral maupun rektal.
Dalam keadan biasa perbedaan ini sekitar 0,5oC suhu rektal lebih tinggi dari
pada suhu oral.

Tempat pengukuran suhu tubuh :

 Axilla

Gambar 1 : Pemeriksaan suhu tubuh axilla

 Oral

Gambar 2 : Pengukuran suhu tubuh oral


https://www.featurepics.com/online/taking-temperature 1228975.aspx
 Rektum

Gambar 3 : Pengukuran suhu tubuh rektal

Sumber : (Sutejo dkk, 2016)

Beberapa tipe dRektumemam antara lain :

 Demam septik

Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi
sekali pada malam hari dan turun kembali ketingkat diatas normal pada pagi
hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang
tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.

Gambar 4 : Demam Septik


 Demam remiten

Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak
pernah mencapai suhu badan normal. perbedaan suhu yang mungkin tercatat
dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada
demam septik.

Gambar 5 : Demam Remiten


 Demam intermiten

Pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal
selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua
dua kali sehari disebut tertian dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara
dua serangan demam disebut kuartana.

Gambar 6 : Demam Intermiten


 Demam tertiana :

Gambar 7 : Demam Tertiana


 Demam kuartana :

Gambar 8 : Demam Kuartana


 Demam kontinyu

Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih
dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut
hiperpireksia.

Gambar 9 : Demam Kontinyu


 Demam siklik

Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari
yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari kemudian diikuti
oleh kenaikan suhu seperti semula.

Gambar 10 : Demam Siklik

2. Bagaimana patofisiologi demam?

Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih
dikarenakan oleh zat toksin yang masuk kedalam tubuh. Umumnya, keadaan
sakit terjadi karena adanya proses peradangan (inflamasi) di dalam tubuh.
Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan
dasar tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam keadaan fisiologis
tubuh. Proses peradangan diawali dengan masuknya zat toksin
(mikroorganisme) kedalam tubuh kita. Mikroorganisme (MO) yang masuk
kedalam tubuh umumnya memiliki suatu zat toksin tertentu yang dikenal
sebagai pirogen eksogen. Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha
melawan dan mencegahnya dengan memerintahkan tentara pertahanan tubuh
antara lain berupa leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya
(fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit ini, tentara-tentara tubuh itu
akan mengeluarkan senjata, berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen
endogen (khususnya IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen
yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk
mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat dapat
keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang
dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2).

Gambar 11 : Patofisiologi Demam

Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim siklooksigenase (COX).


Pengeluaran prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus.
Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di
atas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan ini dikarenakan termostat tubuh
(hipotalamus) merasa bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya
terjadilah respon dingin/ menggigil. Adanya proses mengigil ( pergerakan otot
rangka) ini ditujukan untuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak dan
terjadilah demam.
3. Apa saja penyakit-penyakit tropis yang menyebabkan demam dan
etiologi penayakit tersebut?
1. Demam Berdarah Dengue
Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang
termasuk dalam genus Flavivirus keluarga Flaviviridae ditularkan melalui
gigitan nyamuk yang terinfeksi khususnya Aedes aegypti.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4
yang semuanya menyebabkan DBD, DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti
tikus, kelinci, ajing, kelelawar dan primata. Survey epidemiologi pada
hewan ternak didapatkan antibody terhadap virus demgue pada hewan
kuda, sapi dan babi. Pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat
bereplikasi pada nyamuk genus Aedes dan Toxorhynchites.

Gambar 12: Vektor alami DBD adalah manusia yang terkena


gigitan nyamuk yang terinfeksi Aedes aegypti Alasan Kenapa
Nyamuk Menggigit manusia. 2013.
https://www.merdeka.com/teknologi/alasan-kenapa-nyamuk-
menggigit-manusia-1.html. Diakses 23 Mei 2019
Gambar 13 : Agen dari DBD adalah virus dengue
Penjelasan Virus DBD Dengue Lengkap. 2016.

http://www.generasibiologi.com/2016/10/penjelasan-virus-dbd-
dengue- lengkap.html

Gambar 14 : Air yang tergenang jentik nyamuk yang merupakan


medium dari DBD Puncak Musim Hujan, Yuk Mulai Waspada
Jentik Nyamuk. 2019

https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4402145/puncak-
musim-hujan-yuk- mulai-waspada-jentik-nyamuk.
2. Demam Tifoid

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Bakteri


Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motil,
berflagel, berkapsul dan tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37ºC.

Salmonella typhi dapat hidup dalam tubuh manusia. Manusia yang


terinfeksi dapat mengeksresikan melalui sekret saluran nafas, urin dan
tinja dalam jangka waktu dan bervariasi. Bakteri Salmonella typhi
bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalu mulut.
Pada saat melewati lambung dengan suasana asam banyak bakteri yang
mati, bakeri yang hidup akan mencapai usus halus melekat pada sel
mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usu tepatnya ileum
dan yeyenum. Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s Patch merupakan
tempat bertahan hidup dan multipikasi Salmonella typhi. Penularannya
sebagi besar jalur fekal oral, yaitu melalui makanan dan minuman yang
tercemar oleh bakteri yang berasal dari penderita atau pembawa kuman,
biasanya keluar bersama dengan feses. Dapat juga terjadi transmisi
transplasental dari seorang ibu hamil yang berada pada keadaan
bakterimia pada bayinya.

Gambar 15 : Bakteri Salmonella typhi dibawa makanan,


minuman, kotoran dan urin manusia. Ini Bahaya yang Timbul dari
Makanan yang Dihinggapi Lalat.
https://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-
sehat/17/09/17/owe9fe348-ini-bahaya-yang-timbul-dari-makanan-
yang-dihinggapi-lalat

Gambar 16 : Bakteri Salmonella typhi Enteric Fever. 2017.


http://dahabclinic.com/enteric-fever/

Gambar 17 :Bakteri Salmonella typhi yang dibawah oleh lalat


mencemari makanan dan minuman dengan standar higienis dan
sanitasi rendah. Street food atau Makanan Jalanan. 2017.
https://www.pexels.com/id-id/foto/1519161/
3. Tuberkulosis

Gambar 18 : Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium


tuberculosis: Using Quantitative Proteomics to Understand
Virulence. 2016.
https://www.thermofisher.com/blog/proteomics/mycobacterium-
tuberculosis-using-quantitative-proteomics-to-understand-virulence/

Gambar 19 :Diperantarai oleh droplet masuk ke dalam tubuh


manusia dan bisa juga lewat benda yang terinfeksi. Mengenal
Tindak Kewaspadaan Terhadap Penularan Penyakit. 2017.

http://mediacerita.com/mengenal-tindak-kewaspadaan-terhadap-
penularan-penyakit/
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Basil tuberculosis dapat hidup dan tetap
virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam cairan mati
dalam suhu 600 C dalam 15-20 menit. Fraksi protein basil tuberkulosis
menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat
tahan asam dan merupakan faktor terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel
epiteloid dan tuberkel. Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi
dengan pemanasan sinar matahari dan sinar ultraviolet. Ada dua macam
Mycobacterium Tuberculosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe
bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis usus.
Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang
berasal dari penderita TBC terbuka dan orang yang rentan terinfeksi TBC
ini bila menghirup bercak ini. Perjalanan TBC setelah terinfeksi melalui
udara. Bakteri juga dapat masuk ke sistem pencernaan manusia melalui
benda/bahan makanan yang terkontaminasi oleh bakteri. Sehingga dapat
menimbulkan asam lambung meningkat dan dapat menjadikan infeksi
lambung.

Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil Mycobacterium


tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu
berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan Mycobacterium
tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru (lobus
atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke
bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteks serebri) dan area lain dari
paru (lobus atas). Selanjutnya sistem kekebalan tubuh memberikan
respons dengan melakukan reaksi inflamasi.

Apabila bakteri tersebut terhirup oleh orang sehat maka orang itu
berpotensi terinfeksi bakteri tuberkulosis. Penularan bakteri lewat udara
disebut dengan istilah air-born infection. Bakteri bisa bertahan hidup
beberapa waktu di bawah paparan sinar matahari sehingga
memungkinkan bakteri bisa terbang jauh terbawa aliran udara, dan bila
terbang ke tempat yang lembab dan gelap akan membuat bakteri hidup
lebih lama. Penyebaran bakteri juga bisa terjadi ketika sore atau malam
hari sehingga tidak terpapar oleh sinar matahari yang menyebabkan
bakteri tetap hidup.

4. Campak

Gambar 20 : Paramyxovirus

https://step1.medbullets.com/microbiology/104099/paramyxoviruse

Gambar 21 : Di dalam nasofaring terdapat sekret yang di dalamnya


terdapat virus campa Fungsi Nasofaring. 2015.
http://bapakpengertian.blogspot.com/2015/04/Pengertian-Fungsi-
Nasofaring-adalah.html

Gambar 22 : Diperantarai oleh droplet masuk ke dalam tubuh


manusia Mengenal Tindak Kewaspadaan Terhadap Penularan
Penyakit. 2017.

http://mediacerita.com/mengenal-tindak-kewaspadaan-terhadap-
penularan-penyakit/

Campak disebabkan oleh Paramyxovirus, virus dengan rantai tunggal RNA


yang memiliki satu tipe antigen. Manusia merupakan satu-satunya pejamu
alami bagi penyakit ini. Virus campak mengenai traktus respiratorius atas dan
kelenjar limfe regional dan menyebar secara sistemik selama viremia yang
berlangsung singkat dengan titer virus yang rendah. Virus campak Berada
dalam sekret nasofaring dan darah selama masa tunas, tetap aktif minimal 34
jam pada temperatur kamar, dan mudah mati jika kena panas dan cahaya.

Ada 3 jenis virus campak yang ada di Indonesia G2, G3 dan D9, imunitas
hanya terhadap salah satu jenis virus. Penularan infeksi terjadi karena
menghirup percikan ludah penderita campak (droplet infection) virus campak
mengadakan reflikasi didalam kelenjar limfoid dan selanjutnya masuk ke
pembuluh darah membentuk fokus infeksi dan menyebar ke epitel orofaring,
konjungtiva, saluran napas, kandung kemih dan usus.

5. Varicella

Gambar 23 : Varicella zoster virus. 2017.

https://www.dreamstime.com/royalty-free-stock-photography-
varicella-zoster-virus-medical-illustration-image30425807

Gambar 24 : Varicella mudah menular dengan percikan air ludah


Produksi Air Liur Berlebih, Kok Bisa ?. 2017.
https://globalestetik.com/2-produksi-air-liur-berlebih-kok-bisa/

Varisela disebabkan oleh virus Herpes varicella atau disebut juga


Varicella zoster virus (VZV). Varisela terkenal dengan nama cacar air
adalah penyakit primer VZV, yang pada umumnya menyerang anak.
Sedangkan herpes zoster atau shingles merupakan suatu reaktivitasi
infeksi endogen pada periode laten VZV, umumnya menyerang orang
dewasa atau anak yang menderita defisiensi imun. Varisela sangat mudah
menular terutama melalui percikan ludah, dapat juga kontak langsung dan
jarang melalui kontak tidak langsung. Varisela dapat menyerang semua
golongan umur termasuk neonatus, 90% kasus berumur 10 tahun dan
terbanyak umur 5-9 tahun. Viremia terjadi pada masa prodromal sehingga
transmisi virus dapat terjadi pada fetus intrauterin atau melalui transfusi
darah. Pasien dapat menularkan penyakit selama 24 jam sebelum lesi
kulit. imbul, sampai semua lesi timbul krusta/keropeng, biasanya 7-8 hari.
Seumur hidup seseorang hanya satu kali menderita varisela. Serangan
kedua mungkin berupa penyebaran ke kulit pada herpes zoster. Virus
VZV .masuk tubuh melalui mukosa saluran nafas bagian atas atau
orofaring. Pada lokasi masuknya terjadi replikasi virus yang selanjutnya
menyebar melalui pembuluh darah dan limfe (viremia pertama).
Selanjutnya virus berkembang biak di sel retikuloendotelial. Pada
kebanyakan kasus, virus dapat mengatasi pertahanan non-spesifik seperti
interferon dan respons imun. Satu minggu kemudian, virus kembali
menyebar melalui pembuluh darah (viremia ke-2) dan pada saat ini timbul
demam dan malaise.

6. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium
yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual
didalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam,
menggigil, anemia dan splenomegaly. Dapat berlangsung akut ataupun
kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi
malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi
sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi parasit yang
menyerupai malaria ialah infeksi babesiola yang menyebabkan babesiosis.

Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi


manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan
mamalia. Termasuk genus plasmodium dari famili plasmodidae. Plasmodium
ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan mengalami
pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan seksual terjadi
pada tubuh nyamuk yaitu anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari
100 plasmodium yang menginfeksi binatang (82 pada jenis burung dan reptile
dan 22 pada binatang primate).

Gambar 25 :. Nyamuk anopheles betina

http://www.portalesmedicos.com/publicaciones/articles/447/1/Paludismo
Gambar 26 : macam-macam plasmodium

http://www.portalesmedicos.com/publicaciones/articles/447/1/Paludismo

7. Leptospirosis

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro


organisme leprospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya. Penyakit ini pertama sekali ditemukan oleh weil pada tahun
1886 yang membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan
penyakit lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk yang beratnya dikenal
sebagai weil’s disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti
mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice,
field fever, cane cutter fever dan lain-lain.
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, family treponemataceae,
suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit,
tipis, fleksibel, panjangnya 5-`5 um. Salah satu ujung organisme sering
membengkak, membentuk suatu kait. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak
ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian halus sehingga dalam
mikroskop lapang gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil.
Dengan pemeriksaan lapang redup pada mikroskop biasa morfologi
leptospira secara umum dapat dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan
leptospira digunakan mikroskop lapang gelap (darkfield microscope).
Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan
mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur
yang positif. Dengan medium Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik sebagai
obligat aerob.

Gambar 27 : Leprospira interogans

http://www.portalesmedicos.com/publicaciones/articles/474/1/Leptospi
rosis
Gambar 28 : Vektor penularan leptospirosis

http://www.utusan.com.my/berita/luar-negara/parlimen-united-
kingdom-hadapi-masalah-tikus-1.515780

8. Chikungunya
Chikungunya (CHIK) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dari
genus Alphavirus, famili Togaviridae, dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terinfeksi oleh virus
tersebut. Penyakit ini pertama kalinya dilaporkan oleh Robinson dan
Lumsden setelah terjadinya wabah di lembah Makonde tahun 1952.
CHIK ditandai oleh adanya gejala khas (trias) yaitu demam, nyeri sendi
(arthralgia) dan ruam kulit (rash). CHIK adalah penyakit yang bersifat sembuh
sendiri (self-limiting) dan tidak ada pengobatan yang spesifik untuk demam
CHIK.

Gambar 29 : Nyamuk Aedes aegypti


https://sehatalamiku.com/penyakit-chikungunya-dan-penyembuhannya-
secara-alami/

Gambar 30 : Virus chikungunya


http://www.esculape.com/infectio/chikungunya_2007_run.html
9. Tetanus
Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh toksin dari Clostridium
tetani. Tetanus didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut atau kontraksi
otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan leher) dan
spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, dan terdapat riwayat luka
ataupun kecelakaan sebelumnya.

C. tetani adalah basillus anaerobic bakteri gram positif anaerob yang


ditemukan di tanah dan kotoran binatang. Berbentuk batang dan
memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski
tidak selalu terlihat. C. tetani merupakan bakteri yang motile karena
memiliki flagella, dimana menurut antigen flagella nya, dibagi menjadi 11
strain. Namun ke sebelas strain tersebut memproduksi neurotoksin yang
sama. Spora yang di produksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen
desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora, C.tetani dapat
bertahan dari air mendidih selama beberapa menit (meskipun hancur dengan
autoclave pada suhu 121 derajat celcius selama 15-20 menit).

Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika
menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan
melepaskan toksin tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5 ng/kg).

Gaambar 31 : Clostridium tetani

http://www.jarmam.gr.jp/situmon/gram3.html

10. Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada
mukosa saluran pernafasan atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram
positif Corynebacterium diphtheria, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang
membentuk membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala
umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria. Basil ini


juga disebut bakteri Klebs-Loffler karena ditemukan pertama kalinya
tahun 1884 oleh bacteriologist dari German yaitu Edwin Klebs (1834-
1921) dan Friedrich Loffler (1852-1951). Basil ini termasuk jenis batang
gram positif, pleomorfik, tersusun berpasangan (palisade), tidak bergerak,
tidak membentuk spora (kapsul), aerobik dan dapat memproduksi
eksotoksin. Bentuknya seperti palu, diameternya 0,11 mm dan panjangnya
beberapa mm.

Gambar.32 : Corynebacterium diphtheria

https://www.isplbwiki.net/2017/10/klasifikasi-bakteri-berdasarkan-
dinding.html

4. Bagaimana langkah-langkah diagnosis?


A. Anamnesis
1) Identitas pasien
Nama, jenis kelamin, tanggal lahir, alamat, nomor telepon, suku,
agama, status imunisasi ( bagi anak ), status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, nama, nomor telepon keluarga yang dapat dihubungi.
2) Keluhan utama
Keluhan terpenting yang membawa pasien untuk datang berobat.
Riwayat penyakit sekarang
a) Onset / awitan dan kronologis (kapan terjadinya? Sudah berapa
lama? Timbul mendadak atau tidak? Hilang timbul/menetap)
b) Sifat demam : subfebris, tinggi, terus-menerus, intermitten, lebih
tinggi pada sore dan malam hari, bersifat serangan interval tertentu.
c) Analisis sistem yang menyertai keluhan utama : ruam kemerahan
pada kulit (kapan timbul, lokasi, penyebaran), kaku kuduk atau
nyeri leher, menggigil, nyeri kepala hebat, mual muntah, nyeri saat
buang air kecil atau gangguan berkemih lainnya (frekuensi lebih
sering), nyeri telinga.
d) Tempat tinggal atau riwayat bepergian dalam 2 minggu terakhir ke
daerah endemis
e) Riwayat pengobatan yang pernah diterima (Roespandi, 2009)
3) Riwayat Kebiasaan, Sosial Ekonomi, dan Budaya
a) Aktivitas sebelum sakit, termasuk hobi
b) Pola makan, dan komposisi makanan.
c) Kebiasaan merokok, minum teh dan kopi, pemakaian alcohol, obat,
jamu, atau narkoba.
d) Riwayat promiskuitas bila di curigai.
e) Riwayat perjalanan keluar kota, riwayat imunisasi.
f) Pola tidur.
g) Dukungan pembiayaan, care giver/ keluarga dan hubungan sosial.
h) Kondisi tempat tinggal dan lingkungan.
i) Kesulitan yang dihadapi baik pekerjaan, keluarga, dan keuangan.
4) Riwayat Keluarga
a) Kondisi kesehatan keluarga bila masih hidup, atau umur saat
meninggal dan sebabnya.
b) Riwayat penyakit yang pernah diderita dalam keluarga.
c) Riwayat penyakit herediter.
B. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
a) Menilai keadaan sakit secara umum: sakit ringan, sedang, berat,
tidak tampak sakit dapat dilihat dari ekspresi wajah dan gaya
berjalan
b) Status Gizi : mengukur tinggi badan dan berat badan untuk
mengukur IMT ( BB/TB2 ) interpretasi ringan/sedang/berat
c) Menilai kesadaran : kompos mentis, apatis, somnolen, delirium,
sopor/ stupor, koma.
2) Tanda vital :
a) Melakukan pemeriksaan tekanan darah, dilakukan setelah pasien
beristirahat, di ukur saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri.

Gambar 33 : (pemeriksaan tekanan darah)


Sumber : (Sygo, 2009)
b) Melakukan pemeriksaan nadi, menetapkan frekuensi, irama, dan isi
nadi, kualitas nadi dan dinding arteri, serta membandingkan
pemeriksaan arteri radialis kiri dan kanan.
Gambar 34 : (pemeriksaan denyut arteri radialis)
Sumber : (Jones,2008)
c) Melakukan pemeriksaan napas, menetapkan frekuensi, sifat, dan
irama napas, serta adakah bantuan otot- otot pernapasan.
d) Melakukan pemeriksaan suhu, di ukur pada oral/axilla/rectal

Gambar 34 : (pemeriksaan suhu tubuh oral)


Sumber : (Sutejo dkk, 2016)
Gambar 35 : (pemeriksaan suhu tubuh axilla)
Sumber : (Sutejo dkk, 2016)

Gambar 36 : (pemeriksaan suhu tubuh rektal)


Sumber : (Sutejo dkk, 2016)

C. Melakukan Pemeriksaan Jasmani Lainnya


a) Kulit
1) Kualitas kulit : kelembapan kulit, elastisitas kulit (turgor), atrofi
kulit, hipertrofi kulit
2) Warna kulit : melanosis, albinisme (akromia kongenital), vitiligo,
piebaldisme, palor, ikterus, sianosis, eritema, klorosis
3) Efloresensi : makula, papula, nodus, urtika, vesikel, bula, skuama,
4) Lesi lain pada kulit: edema, purpura, striae
5) Rambut : rambut kering, mudah dicabut
6) Wajah : pucat, ikterus, dan sianosis, risus sardonikus
7) Mata : periksa adanya tanda-tanda anemia, ikterus, edema, mata
cekung
8) Hidung : apakah ada rinore atau epistaksis
9) Mulut : periksa apakah pucat, sianosis, ada lidah kotor, pucat, bibir
kering, perdarahan di gusi, membran pada tonsil, kemerahan pada
faring atau lari
Pemeriksaan kelenjar parotis : apakah terjadi pembesaran atau tidak
10) Pemeriksaan sistem muskuloskeletal : menilai adanya gerak
spasme anggota gerak, hiperfleksi dan nyeri tekan otot
b) Pemeriksaan jantung
1) Inspeksi
(a) Pernafasan, bentuk dada, retraksi dan kelainan yang ditemukan
(b)Melekatkan seluruh telapak tangan pada dinding toraks untuk
menentukan adakah kelainan lainnya
2) Palpasi
Pada palapsi perhatikan ada tidaknya rusuk yang patah
3) Perkusi
(a) Menentukan batas jantung kanan dengan sebelumnya
menentukan batas paru paru hati-hati pada linea midklavikula
kanan, lalu pada dua jari diatas batas paru hati, dilakukan per
kusi kea medial sampai terdengar perubahan suara dari sonor
menjadi redup.
(b)Menentukan batas jantung kiri dengan sebelumnya menetukan
batas paru- lambung pada linea aksilaris anterior kiri. Lalu pada
dua jari diatas paru-lambung, dilakukan perkusi kea rah medial
sampai terdengar perubahan dari sonor menjadi redup.
(c) Menentukan pinggang jantung dengan melakukan perkusi pada
linea parasternal kiri kea rah bawah sampai terdengar perubahan
suara dari sonor menjadi redup.
4) Auskultasi
(a) Melakukan auskultasi jantung sambil membandingkan dengan
meraba pulsasi arteri
(b)Auskultasi pada daerah sela iga 4-5 linea midklavikula kiri untuk
mendengarkan bunyi katup mitral
(c) Auskultasi pada daerah sela iga 2 linea parasternal kiri untuk
mendengarkan bunyi katup pulmonal
(d)Auskultasi pada daerah sela iga 2 linea parasternal kanan untuk
mendengarkan bunyi katup aorta
(e) Asukultasi pada daerah sela iga 4-5 linea parasternal kanan untuk
mendengarkan bunyi katup tricuspid, dibandingkan pada waktu
inspirasi dan ekspirasi
c) Pemeriksaan paru
1) Inspeksi
(a) Dada dikaji tentang postur, bentuk, kesimetrisan, serta warna
kulit
(b)Frekuensi, irama, kedalaman dan upaya bernapas
(c) Adakah retraksi dinding dada
(d)Ekspansi paru simetris atau tidak
(e) Irama pernapasan, pernapasan cepat atau pernapasan dalam
2) Palpasi

Apakah ada nyeri tekan, massa, kesimetrisan ekspansi paru, dengan


menggunakan telapak tangan atau jari sehingga dapat merasakan
getaran dinding dada dengan menyuruh pasien untul mengucapkan
tujuh tujuh secara berulang ulang yang disebut dengan vocal
fremitus

3) Perkusi
(a) mengetahui batas jantung, paru serta suara jantung maupun paru.
Suara paru normal adalah sonor
(b)batas paru hepar : di ICS 4 samapi ICS 6
(c) batas atas kiri jantung : ICS 2-3
(d)batas atas kanan jantung : ICS 2 linea sternalis kanan
(e) batas kiri bawah jantung lonea edia klavikularis ICS ke 5 kiri
4)Auskultasi
(a) Suara napas
 Vesikuler : terdengar di semua lapangan paru yang normal,
bersifat halus, nada rendah, inspirasi lebih panjang dari
ekspirasi
 Broncho vesikuler : terdengar di daerah percabangan
bronchus dan trachea, inspirasi sama panjang dengan
ekspirasi
 Bronchial : terdengar di daerah trakea dan suprasternal. Notch
bersifat kasar, nada tinggi, inspirasi lebih pendek

Suara Tambahan yang juga dapat terdengar

 Ronchi : Bunyi dengan nada rendah, sangat kasar, terdengar


baik inspirasi maupun ekspirasiakibat terkumpulnya secret
dalam trachea atau bronchus
 Wheezing : Bunyi “ngii” yang bisa ditemukan pada fase
inspirasi maupun ekspirasi akibat udara terjebak dalam celah
sempit
 Pleural friction rub : Suatu bunyi terdengar kering akibat
gerakan pleura yang meradang. Bunyi ini terdengar pada
akhir inspirasi atau awal ekspirasi. Suara seperti gosokan
amplas.
d) Pemeriksaan abdomen
1) Inspeksi
(a) Apakah abdomen simetris
(b)Bagaimana bentuk dan kontur abdomen
(c) Bagaimana ukuran abdomen
(d)Apakah tedapat kondisi khusus pada dinding abdomen meliputi
kelainan kulit, kelainan vena, kelainan umbilicus, striae alba,
bekas operasi.
(e) Pergerakan dinding abdomen
2) Palpasi
Superfisial dan dalam (hepar, lien)
Pengukuran splenomegali dapat dilakukan dengan menggunakan
dua metode yaitu Hacket yang lebih sering digunakan dalam
penelitian endemisitas penyakit dan Schuffner yang lebih sering
digunakan dalam klinik.
Metode Hacket diintepretasikan sebagai berikut:
- Kelas 0 tak teraba walau dengan inspirasi normal
- Kelas 1 teraba di tepi costa dengan inspirasi dalam
- Kelas 2 teraba di bawah costa sampai pertengahan puting susu
dan umbilicus
- Kelas 3 teraba sampai garis horizontal umbilicus
- Kelas 4 teraba antara umbilicus dan symphisis pubis
- Kelas 5 teraba di luar dan di bawah daerah kelas 4
Gambar 37 : pemeriksaan lien metode Hacket
Sumber : (Harjanti, 2015)

Metode Schuffner diintepretasikan sebagai berikut :


- Tarik garis imajiner (A) yang melalui perpotongan antara linea
mid-clavicularis kiri dengan arcus costa dengan umbilicus
- Dengan membagi 4 garis A tersebut maka didapatkan area yang
membatasi Scuffner I-IV
- Kemudian tarik garis imajiner kedua (B) yang tegak lurus
dengan A, yang melalui umbilicus, garis ini juga merupakan
batas Scuffner VI
- Dari B tarik garis imajiner ketiga (C) yang tegak lurus dengan B
sampai berpotongan dengan SIAS
- Dengan membagi 4 garis C tersebut maka didapatkan area yang
membatasi Scuffner V-VIII
Gambar 38 : pemeriksaan metode Scuffner
Sumber : (Harjanti, 2015)

Intepretasikan dengan mengukur pembesaran hepar sampai sekian


sentimeter dibawah arcus costa kanan

Gambar 39 : pemeriksaan metode Scuffner


Sumber : (Harjanti, 2015)

3) Perkusi
Shifting dullness
4) Auskultasi
Suara peristaltic (bising usus) dan pembuluh darah
D. Pemeriksaan Penunjang Pasien Demam

Pemeriksaan penunjang dilakukan pada pasien yang mengalami


demam bila secara klinis faktor risiko tampak serta penyebab demam
tidak diketahui secara spesifik. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan yaitu:

1) Sero-Imunologi
Pemeriksaan serologi dapat bermanfaat pada seorang pasien
“demam belum terdiagnosis”. Biasanya di perlukan specimen darah
untuk pemeriksaan ini. Hal ini berguna untuk interpretasi titer
serologik. Suatu kenaikan titer sebesar 4 kali atau lebih mempunyai
arti yang sangat besar untuk dapat menentukan kemungkinan
penyebab penyakit, baik itu karena bakteri, virus ataupun jamur.

Tabel 1 : Daftar uji virologis


No Virus Penyebab Jenis Uji Penyakit
1. Dengue NS-1, (IHA, untuk Demam Dengue
penelitian) atau DBD
Blot IgM/IgG
2. Cytomegalovirus Anti-CMV IgM Elisa, Infeksi
(CMV) aviditas CMV Cytomegalovirus
Anti-CMV IgM Elisa
3. Epstein – Barr Virus Paul Bunnel Mononukleosis
(EBV) Infeksiosa
Anti EBV
4. Hepatitis A s/d E Virus A s/d E Hepatitis akut
5. Coxiella burnetti IFA Demam Q
6. HIV Anti HIV-Elisa HIV/AIDS
Viral load HIV
Sumber : (Setiati, 2014).

Tabel 2 : Daftar uji Bakterio-parasitologis


No Penyakit Infeksi Jenis Uji Penyakit
1. Salmonella typhi Widal, Typhidot PCR Demam Tifoid
2. Leptospira spp M A T, IgM lepto Leptospirosis
3. Filaria spp IFAT Filariasis
4. Candida spp Mikroskop cahaya Candidiasi
KOH/NaCl
Sumber : (Setiati, 2014).

2) Hemato-Kimia
Salah satu pengukuran yang dapat dilaksanakan pada pasien demam
adalah pemeriksaan hematologis seperti darah rutin, morfologi darah
tepid an hitung jenis leukosit, pada infeksi bakteri akut dapat
menunjukan pergeseran hitung jenis ke kiri atau tanpa leukositosis.
Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan C-Reaktif Protein (CRP),
dimana kadar CRP dapat meningkat 10 kali pada infeksi bakteri akut.
Ada juga pemeriksaan prokalsitonin bila di duga terdapat sepsis
(Setiati, 2014). Pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) dapat
merupakan petunjuk untuk perlunya perawatan dan pemberian
antibiotik empirik.
Pemeriksaan bio-kimia selanjutnya dapat membantu mengukur
kadar kalsium yang dapat meningkat pada sarkoidosis dan beberapa
karsinomatosis. Selanjutnya pada penyakit hati dapat diperiksa
SGOT/SGPT/GAMA GT mengenai fungsi hati.
3) Mikrobiologi
Isolasi kuman penyebab infeksi merupakan criteria diagnosis utama
pada pasien yang tersangka demam karena infeksi. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan bisa dengan pengambilan darah untuk kultur
mikroorganisme, selain kultur darah mikroorganisme dalam urin juga
penting. Isolasi virus biasanya diambil dari sekret hidung, usap
tenggorokan atau sekresi bronkial. Untuk infeksi saluran cerna
pemeriksaan mikroorganisme dari feses diperlukan untuk memantau
spectrum kuman penyebab.
4) Radiologi
 Ultrasonografi (USG)
Pada saat ini asosiasi antara suatu gangguan internitis terutama
di daerah jantung atau abdominal dengan jeni pemeriksaan ini
makin berkembang dan banyak digunakan. USG penting untuk
mendiagnosis adanya abses pada organ-organ intra-abdominal.

Gambar 1.40 : USG


Sumber : https://www.google.com/search?safe=strict&client=
gambar+alat+UsG&oq=gambar+alat+UsG&gs
 Pencitraan
Pencitraan dapat membantu untuk pemeriksaan khususnya hati.
Scanning paru-paru dapat membantu mendiagnosis khusunya
adanya kecurigaan tentang adanya emboli paru.
 Endoskopi
Indikasi yang berhubungan dengan penyakit demam lama yang
disertai diare dan nyeri perut. Pasien serupa ini mungkin menderita
kolitis ulserativa dan dapat didiagnosis dengan sigmoidoskopi atau
kolonoskopi.

Gambar 41 : Endoskopi

https://www.google.com/search?q=gambar+endoskopi&safe=strict
&client

 Elektrokardiografi
Pemeriksaan ini kurang bermanfaat tapi di indonesia mungkin
dapat mendiagnosis pada pasien tersangka demam tifoid.
Dilaporkan bahwa sepertiga pasien dapat di diagnosis.
 Biopsi
Pemeriksaan kelenjar yang membesar atau massa tumor yang
jelas dan mudah dicapai harus dilakukan. Hal ini berguna untuk
mendiagnosis penyakit seperti limfoma, metastasis keganasan,
tuberkulosis atau infeksi jamur, terutama pada kelenjar yang
membesar.
Gambar 42 : Biopsi

https://www.google.com/search?q=gambar+biopsi&safe=strict&cli
ent

 Laparatomi
Laparatomi hanya dibenarkan bilamanana suatu petunjuk keras
bahwa penyebab demam adalah karena suatu kelainan utama
diabdomen

5. Apa saja Diagnosis Diferential dan Diagnosis Sementara pada scenario?


Jelaskan!
I. Demam Berdarah Dengue (DBD)
A. Defnisi
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue
B. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam genus flavivirus, keluarga flaviviridae. Flavivirus merupakan virus
dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal
dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam
dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak.
C. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik
Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran
diseluruh wilayah Indonesia. Di Indonesia DBD telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah
terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang
endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382
(77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Peningkatan jumlah kasus DBD,
pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus padatahun 2009.
Pada tahun 2016 kasus DBD di Sulawesi Tenggara merupakan yang
tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penderita DBD di
Sulawesi Tenggara yang dilaporkan sebanyak 3.433 kasus, melonjak
lebih dari 2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya, 33 kasus di antaranya
meninggal dunia (Incidence Rate/Angka Kesakitan 132,5 per 100.000
penduduk dan Case Fatality Rate (CFR)/Angka Kematian = 1,0%, angka
ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1,4%.
Terdapat 6 kabupaten/kota dengan jumlah kasus yang relatif tinggi
adalah Kota Kendari, Baubau, Kabupaten Muna, Konawe Selatan,
Kolaka, Konawe, dan Kolaka Utara. Kejadian kasus tertinggi dialami
Kota Kendari yang mencapai 1.093 kasus, ini adalah jumlah kasus
tertinggi dalam 6 tahun terakhir. Pada semua kabupaten/kota tersebut
telah ditetapkan sebagai daerah KLB DBD tahun 2016 .
Kematian akibat DBD yang dilaporkan sebanyak 33 orang dari total
3.433 kasus DBD, jumlah tersebut berasal dari 10 kabupaten/kota. Kasus
kematian tertinggi dilaporkan oleh Kota Kendari dan Konawe Selatan
masing-masing dengan 7 dan 6 kasus. Kematian akibat DBD
dikategorikan tinggi jika CFR > 2 %, CFR DBD Sulawesi Tenggara
sebesar 1%, dengan demikian angka kematian akibat DBD di Sulawesi
Tenggara masih berada pada kategori sedang.
D. Patogenesis
Virus dengue masuk kedalam tubuh inang kemudian mencapai sel
target yaitu makrofag. Sebelum mencapai sel target maka respon immune
non-spesifik dan spesifik tubuh akan berusaha menghalanginya. Aktivitas
komplemen pada infeksi virus dengue diketahui meningkat seperti C3a
dan C5a mediator-mediator ini menyebabkan terjadinya kenaikan
permeabilitas kapiler, celah endotel melebar lagi. Akibat kejadian ini
maka terjadi ekstravasasi cairan dari intravaskuler ke extravaskuler dan
menyebabkan terjadinya tanda kebocoran plasma seperti
hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura, asites, syok hipovolemik.
Kenaikan permeabilitas kapiler ini berimbas pada terjadinya
hemokonsentrasi, tekanan nadi menurun dan tanda syok lainnya
merupakan salah satu patofisiologi yang terjadi pada DBD.

a) Trombositopenia

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme


supresi sumsum tulang, destruksi dan pemendekan masa hidup
trombosit. Mekanisme peningkatan destruksi ini belum diketahui
dengan jelas. Penyebab trombositopenia pada DBD adalah akibat
terbentuknya kompleks virus antibody pada membrane trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (Adenosine Diphosphat) sehingga
trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (Reticulo Endothelial System) sehingga terjadi
trombositopenia. Penurunan jumlah trombosit diperkirakan terjadi,
karena infeksi virus Dengue yang menyerang berasal dari jenis virus
yang mengalami mutasi.

b) Hematokrit meningkat dan hemoglobin (dapat normal/


meningkat/menurun)
Nilai hematokrit (Normal 37-48%) biasanya mulai meningkat
pada hari ketiga dari perjalanan penyakit dan makin meningkat sesuai
dengan proses perjalanan penyakit DBD. Peningkatan nilai
hematokrit merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi
akibat kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular disertai efusi
cairan serosa, melalui kapiler yang rusak. Akibat kebocoran ini volume
plasma menjadi berkurang yang dapat mengakibatkan terjadinya syok
hipovolemik dan kegagalan sirkulasi. Pada kasus-kasus berat yang
telah disertai perdarahan, umumnya nilai hematokrit tidak meningkat,
bahkan malahan menurun. Kadar hemoglobin (Normal 12-16 gr/dL)
pada hari-hari pertama biasanya normal atau sedikit menurun.
Tetapi kemudian kadarnya akan naik mengikuti peningkatan
hemokonsentrasi dan merupakan kelainan hematologi paling awal
yang ditemukan pada DBD.
c) Leukopenia
Pada penderita DBD dapat terjadi leukopenia ringan sampai
leukositosis sedang. Leukopenia dapat terjadi pada hari demam
pertama dan ke-3 pada 50% kasus DBD ringan. Hal ini sebagian besar
disebabkan oleh adanya degenerasi sel PMN yang matur dan
pembentukan sel PMN muda.Pada saat demam, mulai terjadi
pengurangan jumlah leukosit dan netrofil disertai limfositosis relatif.
Leukopenia mencapai puncaknya sesaat sebelum demam turun dan
normal kembali pada 2-3 hari setelah defervescence (demam turun).
Penurunan trombosit umumnya mengikuti turunnya leukosit dan
mencapai puncaknya bersamaan dengan turunnya demam.
E. Gambaran Klinis

Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris,
fase kritis dan fase pemulihan.

a. Fase febris : Biasanya demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai


muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia,
artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri
tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan
muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan
seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula
terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
b. Fase kritis : terjadi pada hari 3-7 sakit dan ditandai dengan
penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan
timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24-
48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh leukopeni
progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat
terjadi syok.
c. Fase pemulihan : bila fase kritis terlewati maka terjadi
pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara
perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita
membaik, nafsu makan pulih kembali , hemodinamik stabil dan
dieresis membaik .
F. Faktor Risiko
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus
Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopticus). Peningkatan kasus setiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat
perindukan nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi,
kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya.
Beberapa factor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi
biakan virus dengue yaitu:
a. Vector: perkembangbiakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan
vector dilingkungan, transportasi vector dari satu tempat ke tempat
lain;
b. Pejamu: terdapatnya penderita dilingkungan/keluarga, mobilisasi
dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;
c. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
G. Diagnosis
a. Anamnesis : Riwayat penyakit yang harus digali adalah saat mulai
demam/sakit, tipe demam, adanya tanda bahaya, kemungkinan
adanya gangguan kesadaran.
b. Pemeriksaan Fisik: selain tanda vital, juga pastikan kesadaran
penderita, status hidrasi, status hemodinamik sehingga tanda-tanda
syok dapat dikenal lebih dini, adalah takipnea/pernafasan
Kusmaul/efusi pleura, apakah ada hepatomegali/asites/kelainan
abdomen lainnya, cari adanya ruam atau petekie atau tanda
perdarahan lainnya, bila tanda perdarahan spontan tidak ditemukan
maka lakukan uji torniket. Sensitivitas uji torniket ini sebesar 30%
sedangkan spesifisitasnya mencapai 82%.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
a) Leukosit : dapat normal atau menurun
b) Trombosit : <100.000/ul
c) Hematokrit : hematokrit yang tinggi (sekitar 20% atau
lebih) menunjukkan adanya kebocoran plasma
d) Protein/albumin :dapat terjadi hipoproteinemia akibat
kebocoran plasma (Normal 3,5-5 gr/dl)
e) Ureum, kreatinin bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
f) Elektrolit : sebagai pemantauan pemberian cairan
g) Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG
terhadap dengue :
(1) IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai
minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari
(2) IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada
hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai
terdeteksi pada hari ke-2
2) Pemeriksaan Radiologi
a) Foto Thoraks : didapatkan efusi pleura
b) USG : efusi pleura dan asites.
H. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik untuk demam dengue prinsip utama adalah
terapi suportif. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan
tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan
cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan
cairan oral tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen
caira melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan
hemokonsentrasi secara bermaka
Gambar 43 : logaritma penanganan DBD
Sumber : WHO 2011, logaritma penanganan DBD,
https://www.academia.edu/29536007/Derajat_Demam_Berdarah_m
enurut_WHO, diakses tanggal 21 Mei 2019 (08:10)
I. Komplikasi
a) Ensefalopati dengue :Sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat terjadi pada
DBD yang tidak disertai syok.
b) Kelainan ginjal : syok yang tidak teratasi dengan baika Edema paru:
akibat pemberian cairan berlebihan.
J. Prognosis
Secara umum DBD memiliki prognosis yang baik bila ditangani
dengan baik. Prognosisnya akan buruk ketika terjadi kelalaian dalam
mengontrol terjadinya syok yang dapat segera menyebabkan kematian

II. DEMAM TIFOID


A. Definisi
Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid) merupakan penyakit
infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi (Purba,
2016). Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesa.
Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menmbulkan wabah
B. Etiologi
Salmonella typhi (5. typhi) disebut juga Salmonella choleraeszls
serovar typhi, Salmonella serovar typhi , Salmonella enterica serovar
typhi. S. typhi adalah strain bakteri yang menyebabkan terjadinya
demam tipoid. Salmonella typhi (5. Typhi) termasuk anggota familia
Enterobacteriaceae, memiliki antigen O (somatic), antigen H (lagel)
dan antigen kapsul (Vi), tersebar luas di seluruh dunia. S. typhi
mempunyai keaneka ragaman genetik yang dapat ditunjukkan dengan
adanya perbedaan sensitivitas terhadap antibiotik yang
menggambarkan adanya perbedaan profil plasmid, demikian pula
dengan adanya perbedaan ribotyping dari setiap strain yang berasal
dari daerah yang berbeda. Dengan diketahuinya keaneka ragaman
genetik strain baheri S.typhi dapat digunakan sebagai dasar untuk
melacak epidemiologi dari kasus demam typoid, disamping itu dengan
adanya keunikan-keunikan sifat yang dimiliki oleh strain bakteri
tersebut dapat digunakan sebagai dasar identifikasi dan klasifikasinya.
C. Epidemiologi
Penyakit menular ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia
dan menyebabkan 216.000– 600.000 kematian. Studi yang dilakukan
di daerah urban di beberapa negara Asia pada anak usia 5–15 tahun
menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif mencapai
180–194 per 100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5–15 tahun
sebesar 400–500 per 100.000 penduduk, di Asia Tenggara 100–200
per 100.000 penduduk, dan di Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus
per 100.000 penduduk.

Di Indonesia, insiden demam tifoid banyak dijumpai pada populasi


yang berusia 3-19 tahun. Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan RI tahun 2010, melaporkan demam tifoid
menempati urutan ke-3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien
rawat inap di rumah sakit Indonesia

D. Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi
kedalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk
kedalam usus dan selanjtnya berkembang biak. Bila respon imunitas
humoral (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel
epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina
propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak
didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal
dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini
masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel
atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah
lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik

Kuman yang berada di hepar akan masuk kembali ke dalam usus


kecil, sehingga terjadi infeksi seperti semula dan sebagian kuman
dikeluarkan bersama tinja

Gambar 44 ; Patogenesis masuknya kuman Salmonella typhi


E. Gejala Klinis
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-
gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan
berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai
komplikasi hingga kematian
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan
dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga
malam hari
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relatif (adalah peningkatan suhu 1°C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor
ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor,
koma, delirium, atau psikosis. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2014)
F. Penatalaksanaan
a) Farmakologi : Pemberia antimikroba
1. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg/hari
dapat diberikan secara per oral atau intravena, diberikan sampai
dengan 7 hari bebas panas. Dari pengalaman penggunaan obat
ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari
2. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg, demam
rata-rata menurun hari ke-5 sampai ke-6
3. Kotrimoksazol. Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim)
diberikan selama 2 minggu
4. Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan oabt ini untuk
menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mg/KgBB dan digunakan selama 2 minggu
5. Sefalosporin Generasi Ketiga. Hingga saat ini golongan
sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk demam
tifoid adalah seftriakson =, dosis yang dianjurkan adalah 3-4
gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan ½ jam perinfus sekali
sehari, diberikan selama 3-5 hari
6. Fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan
aturan pemberiannya :
- Norfloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin dosis 2x500 mg/hari elama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin dosis moomg/hari selama 7 hari
- Levofloksasin dosis 1x500 mg/hari selama 5 hari
7. Azitromisin.
b) Non Farmakologi
Istirahat yang cukup. Tirah baring dan perawatan profesional
bertujuan untuk mencegah komplikasi tirah baring dengan
perawatan sepenuhnya ditempat seperti makan, minum, mandi,
buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali
dijaga kebersihan seperti tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan
yang dipakai. Posis pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus
dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga
G. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan hematologi pada demam
tifoid tidak spesifik. Dapat ditemukan adanya anemia
normokromik normositer dalam beberapa minggu setelah sakit.
Anemia dapat terjadi antara lain oleh karena pengaruh berbagai
sitokin dan mediator sehingga terjadi depresi sumsum tulang,
penghentian tahap pematangan eritrosit maupun kerusakan
langsung pada eritrosit. Disamping itu anemia bisa disebabkan
perdarahan usus.. Hitung leukosit umumnya rendah,
berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, memiliki
variasi yang lebar, leukopenia, jarang dibawah 2500/ mm3,
umumnya terjadi dalam waktu 1 hingga 2 minggu setelah sakit.
Leukositosis dapat mencapai 20.000-25.000/mm3, yang
menandakan adanya suatu abses pyogenik. Trombositopenia
dapat merupakan suatu tanda penyakit yang berat serta terjadinya
suatu gangguan koagulasi intravaskuler
2. Pemeriksaan serologis Widal . Pemeriksaan widal adalah
pemeriksaan antibodi terhadap antigen O dan H S.Typhi, yang
sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan widal
memiliki sensitivitas dan spesifitas rendah, dan penggunaannya
sebagai pemeriksaan tunggal di daerah endemik akan
mengakibatkan overdiagnosis.Antibodi O meningkat pada hari 6-
8, dan antibodi H pada hari 10-12 setelah onset. Kelemahan
pemeriksaan widal lainnya, dapat juga terjadi reaksi silang
dengan enterobakter lain, atau sebaliknya penderita demam tifoid
tidak menunjukkan peningkatan titer antibodi. Untuk
mendapatkan hasil pemeriksaan yang cepat dan lebih akurat
dalam mendiagnosis demam tifoid, dikembangkan pemeriksaan
alternatif dari widal seperti IDL Tubex
3. Uji typhidot. Dapat mendeteksi antiobodi IgM dan IgG yang
terdapat pada protein membran luar Salmonella thypi. Hasil
positif pada uji thypidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan
dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen S.thypi seberat 50kD, yang terdapat pada strip
nitroselulosa. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2014)
4. Uji IgM Dipstick. Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM
spesifik terhadap S.thypi pada spesimen seum atau whole blood.
Uji ini menggunkana strip yang mengandung antigen
lipopolisakarida (LPS) S. thypoid dan antigen IgM (sebagai
kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM
yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip
sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji.
(Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2014)
5. Biakan darah. Diagnosis utama demam tifoid adalah isolasi
kuman S.typhi. Isolasi kuman penyebab demam tifoid dapat
dilakukan dengan mengambil biakan dari berbagai tempat dalam
tubuh. Biakan darah memberi hasil positif pada 40-60% kasus.
Sensitivitas biakan darah yang paling baik adalah selama minggu
pertama sakit, dapat positif sampai minggu kedua dan setelah itu
kadang saja ditemukan positif. Pemeriksaan biakan feses dan
urine positif pada akhir minggu pertama tetapi memiliki
sensitivitas yang lebih rendah.
H. Prognosis
Prognosis pada umumnya baik pada demam tifoid tanpa
komplikasi. Hal ini juga tergantung pada ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya dan komplikasi
I. Komplikasi
1. Perdarahan Intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka
berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi
perdarahan
2. Perforasi Usus
Bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi
3. Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-
genemia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial
thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products
sampai Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID).

III. MALARIA

Malaria adalah suatu penyakit akut maupun kronik disebabkan oleh


protozoa genus Plasmodium dengan manifestasi berupa demam, anemia
dan pembesaran limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan
suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebakan oleh infeksi
Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya
bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam, menggigil, anemia,
dan pembesaran limpa.
A. Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
plasmodium yang hidup dan berkembang biak di dalam sel darah
manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk
anopheles betina.
B. Etiologi
Ada 2 jenis makhluk yang berperan besar dalam penularan malaria
yaitu parasit malaria (yang disebut Plasmodium) dan nyamuk
anopheles betina. Parasit malaria memiliki siklus hidup yang
kompleks, untuk kelangsungan hidupnya parasit tersebut
membutuhkan host (tempatnya menumpang hidup) baik pada manusia
maupun nyamuk, yaitu nyamuk anopheles. Ada empat jenis spesies
parasit malaria di dunia yang dapat menginfeksi sel darah merah
manusia, yaitu:

1. Plasmodium falciparum

2. Plasmodium vivax

3. Plasmodium malariae

4. Plasmodium ovale

Keempat spesies parasit malaria tersebut menyebabkan jenis


penyakit malaria yang berbeda, yaitu:

1. Plasmodium falciparum Menyebabkan malaria falsiparum


(disebut juga malaria tropika), merupakan jenis penyakit
malaria yang terberat dan satu-satunya parasit malaria yang
menimbulkan penyakit mikrovaskular., karena dapat
menyebabkan berbagai komplikasi berat seperti cerebral
malaria (malaria otak), anemia berat, syok, gagal ginjal akut,
perdarahan, sesak nafas, dll.

2. Plasmodium vivax Menyebabkan malaria tertiana. Tanpa


pengobatan: berakhir dalam 2 – 3 bulan. Relaps 50% dalam
beberapa minggu – 5 tahun setelah penyakit awal.

3. Plasmodium malariae Menyebabkan malaria quartana.


Asimtomatis dalam waktu lama

4. Plasmodium ovale Jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya


banyak di Afrika dan Pasifik Barat. Lebih ringan. Seringkali
sembuh tanpa pengobatan. Seorang penderita dapat dihinggapi
oleh lebih dari satu jenis plasmodium. Infeksi demikian disebut
infeksi campuran (mixed infection). Biasanya campuran
P.Falciparum dengan P.Vivax atau P.Malariae. Infeksi
campuran tiga jenis sekaligus jarang sekali terjadi. Infeksi jenis
ini biasanya terjadi di daerah yang tinggi angka penularannya.
Malaria yang disebabkan oleh P.Vivax dan P.Malariae dapat
kambuh jika tidak diobati dengan baik. Malaria yang
disebabkan oleh spesies selain P.Falciparum jarang berakibat
fatal, namun menurunkan kondisi tubuh; lemah, menggigil dan
demam yang biasanya berlangsung 10-14 hari.

Parasit Plasmodium sebagai penyebab (agent). Agar dapat hidup


terus menerus, parasit penyebab penyakit malaria harus berada dalam
tubuh manusia untuk waktu yang cukup lama dan menghasilkan
gametosit jantan dan betina yang sesuai untuk penularan. Parasit juga
harus menyesuaikan diri dengan sifat-sifat spesies nyamuk Anopheles
yang antropofilik agar sporogoni memungkinkan sehingga dapat
menghasilkan sporozoit yang infektif.
Sifat-sifat spesifik parasitnya berbeda untuk setiap spesies
Plasmodium dan hal ini mempengaruhi terjadinya manifestasi klinis
dan penularan. P.falciparummempunyai masa infeksi yang paling
pendek diantara jenis yang lain, akan tetapi menghasilkan parasitemia
yang paling tinggi. Gametosit P.falciparum baru berkembang setelah
8-15 hari sesudah masuknya parasit ke dalam darah. Parasit P.vivax
dan P.ovale pada umumnya menghasilkan parasitemia yang rendah,
gejala yang lebih ringan dan mempunyai masa inkubasi yang lebih
lama daripada P.falciparum. Walaupun begitu, sporozoit P.vivax dan
P.ovale di dalam hati dapat berkembang menjadi skizon jaringan
primer dan hipnozoit. Hipnozoit ini menjadi sumber terjadinya relaps.

Setiap spesies Plasmodium terdiri dari berbagai strain yang secara


morfologis tidak dapat dibedakan. Strain suatu spesies yang
menginfeksi vektor lokal, mungkin tidak dapat menginfeksi vektor dari
daerah lain. Lamanya masa inkubasi dan pola terjadinya relaps juga
berbeda menurut geografisnya. P.vivax dari daerah Eropa Utara
mempunyai masa inkubasi yang lama, sedangkan P.vivaxdari daerah
Pasifik Barat (antara lain Irian Jaya) mempunyai pola relaps yang
berbeda. Terjadinya resistensi terhadap obat anti malaria juga berbeda
menurutstrain geografis parasit. Pola resistensi di Irian Jaya juga
berbeda dengan di Sumatera dan Jawa.

Nyamuk Anopheles. Pada manusia, nyamuk yang dapat menularkan


malaria hanya nyamuk Anopheles betina. Pada saat menggigit host
terinfeksi (manusia yang terinfeksi malaria), nyamuk Anopheles akan
menghisap parasit malaria (plasmodium) bersamaan dengan darah,
sebab di dalam darah manusia yang telah terinfeksi malaria banyak
terdapat parasit malaria. Parasit malaria tersebut kemudian
bereproduksi dalamtubuh nyamuk Anopheles, dan pada saat menggigit
manusia lain (yang tidak terinfeksi malaria), maka parasit malaria
masuk ketubuh korban bersamaan dengan air liur nyamuk. Malaria
pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk betina anopheles.
Dari lebih 400 spesies anopheles di dunia, hanya sekitar 67 yang
terbukti mengandung sporozoit dan dapat menularkan malaria.

Nyamuk Anopheles terutama hidup di daerah tropik dan subtropik,


namun bisa juga hidup di daerah beriklim sedang dan bahkan di daerah
Antarika. Anopheles jarang ditemukan pada ketinggian 2000 – 2500
m, sebagian Anopheles ditemukan di dataran rendah. Semua vektor
tersebut hidup sesuai dengan kondisi ekologi setempat, antara lain ada
nyamuk yang hidup di air payau pada tingkat salinitas tertentu (An.
sundaicus, An.subpictus), ada yang hidup di sawah (An. aconitus), air
bersih di pegunungan (An. maculatus), genangan air yang terkena sinar
matahari (An. punctulatus, An. farauti).

Kehidupan nyamuk sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan


yang ada, seperti suhu, kelembaban, curah hujan, dan
sebagainya.Efektifitas vektor untuk menularkan malaria ditentukan
hal-hal sebagai berikut.

1) Kepadatan vektor dekat pemukiman manusia.


2) Kesukaan menghisap darah manusia atau antropofilia.
3) Frekuensi menghisap darah (ini tergantung dari suhu).
4) Lamanya sporogoni (berkebangnya parasit dalam nyamuk
sehingga menjadi efektif).
5) Lamanya hidup nyamuk harus cukup untuk sporogoni dan
kemudian menginfeksi jumlah yang berbeda-beda menurut
spesies.
Nyamuk Anopheles betina menggigit antara waktu senja dan subuh,
dengan jumlah yang berbeda-beda menurut spesiesnya. Kebiasaan
makan dan istrahat nyamuk Anopheles dapat dikelompokkan menjadi:

1. Endofilik : suka tinggal dalam rumah/bangunan.

2. Eksofilik : suka tinggal diluar rumah.

3. Endofagi : menggigit dalam rumah/bangunan.

4. Eksofagi : menggigit diluar rumah/bangunan.

C. Epidemiologi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai


respon imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun
kehamilan dapat maningkatkan resiko malaria. Ada beberapa faktor yang
turut mempengaruhi seseorang terinfeksi malaria adalah :

1. Ras atau suku bangsa Pada penduduk benua Afrika prevalensi


Hemoglobin S (HbS) cukup tinggi sehingga lebih tahan terhadap
infeksi P. falciparum karena HbS dapat menghambat
perkembangbiakan P. falciparum.

2. Kekurangan enzim tertentu Kekurangan terhadap enzim Glukosa 6


Phosphat Dehidrogenase (G6PD) memberikan perlindungan
terhadap infeksi P. falciparum yang berat. Defisiensi terhadap
enzim ini merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama
pada wanita.

3. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu mengancurkan


Plasmodium yang masuk atau mampu menghalangi
perkembangannya. Hanya pada daerah dimana orang-orang
mempunyai gametosit dalam darahnya dapat menjadikan nyamuk
anopheles terinfeksi. Anak-anak mungkin terutama penting dalam
hal ini. Penularan malaria terjadi pada kebanyakan daerah tropis
dan subtropics, walaupun Amerika Serikat, Kanada, Eropa,
Australia dan Israel sekarang bebas malaria local, wabah setempat
dapat terjadi melalui infeksi nyamuk local oleh wisatawan yang
datang dari daerah endemis9 . Malaria congenital, disebabkan oleh
penularan agen penyebab melalui barier plasenta, jarang ada.
Sebaliknya malaria neonates, agak sering dan dapat sebagai akibat
dari pencampuran darah ibu yang terinfeksi dengan darah bayi
selama proses kelahiran.

D. Siklus Hidup Malaria

Silkus Pada Manusia. Ketika nyamuk anoples betina (yang


mengandung parasit malaria) menggigit manusia, akan keluar sporozoit
dari kelenjar ludah nyamuk masuk ke dalam darahdan jaringan hati.
Dalam siklus hidupnya parasit malaria membentuk stadium sizon jaringan
dalam sel hati (stadium ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah, akan
keluar merozoit/kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium
sizon dalam eritrosit (stadium eritrositer). Disitu mulai bentuk troposit
muda sampai sizon tua/matang sehingga eritrosit pecah dan keluar
merozoit. Sebagian besar Merozoit masuk kemabli ke eritrosit dan
sebagian kecil membentuk gametosit jantan9 . Siklus Pada Nyamuk
Anopheles Betina. Betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk malaria
betina dan melanjutkan siklus hidupnya di tubuh nyamuk (stadium
sporogoni). Didalam lambung nyamuk, terjadi perkawinan antara sel
gamet jantan (mikro gamet) dan sel gamet betina (makro gamet) yang
disebut zigot. Zigot berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke
dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista
matang kemudian pecah, keluar sporozoit yang berpindah ke kelenjar liur
nyamuk dan siap untuk ditularkan ke manusia.

Khusus P. vivax dan P. ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati


(sizon jaringan) sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak
melanjutkan siklusnya ke sel eritrosit, akan tetapi tertanam di jaringan
hati –disebut hipnosit-. Bentuk hipnosit inilah yang menyebabkan malaria
relapse. Pada penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat
dalam keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah,
sibuk, stress atau perubahan iklim (musim hujan), hipnosoit dalam
tubuhnya akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dari sel hati
ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul kembali
gejala penyakit. Misalnya 1 – 2 tahun sebelumnya pernah menderita P.
vivax/ovale dan sembuh setelah diobati, bila kemudia mengalami
kelelahan atau stress, gejala malaria akan muncul kembali sekalipun yang
bersangkutan tidak digigit oleh nyamuk anopheles. Bila dilakukan
pemeriksaan, akan didapati Pemeriksaan sediaan darah (SD) positif P.
vivax/ovale.

Pada P. Falciparum serangan dapat meluas ke berbagai organ tubuh


lain dan menimbulkan kerusakan seperti di otak, ginjal, paru, hati dan
jantung, yang mengakibatkan terjadinya malaria berat atau komplikasi.
Plasmodium Falciparum dalam jaringan yang mengandung parasit tua –
bila jaringan tersebut berada di dalam otak- peristiwa ini disebut
sekustrasi. Pada penderita malaria berat, sering tidak ditemukan
plasmodium dalam darah tepi karena telah mengalami sekuestrasi.
Meskipun angka kematian malaria serebral mencapai 20-50% hampir
semua penderita yang tertolong tidak menunjukkan gejala sisa neurologis
(sekuele) pada orang dewasa. Malaria pada anak kecil dapat terjadi
sekuel.Pada daerah hiperendemis atau immunitas tinggi apabila dilakukan
pemeriksaan Pemeriksaan sediaan darah (SD) sering dijumpai
Pemeriksaan sediaan darah (SD) positif tanpa gejala klinis pada lebih dari
60% penduduk

Siklus hidup plasmodium

1. Siklus pada manusia Pada saat nyamuk anopheles infektif menghisap


darah manusia, sporozoit yang berada dikelenjar liur nyamuk akan
masuk ke dalam peredaran darah selama kurang lebih ½ jam. Setelah
itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati.
Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10.000-
30.000 merozoit hati (tergantung speciesnya). Siklus ini disebut siklus
eksoeritrositer yang berlangsung selama lebih kurang 2 minggu.1 Pada
plasmodium vivax dan plasmodium ovale, sebagian tropozoit hati
tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi
bentuk dormant yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat
tinggal di dalam hati selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Pada suatu saat imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga
dapat menimbulkan relaps (kambuh).1 Merozoit yang berasal dari
skizon hati yang pecah akan masuk keperedaran darah dan
menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit
tersebut berkembang dari stadium sporozoit sampai skizon (8-30
merozoit, tergantung speciesnya). Proses perkembangan aseksual ini
disebut skizogoni.

Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang


keluar akan menginfeksisel darah merah lainnya. Siklus ini disebut
siklus eritrositer.1 Setelah sampai 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian
merozoit yang menginfeksi sel darah merah akan membentuk stadium
seksual (genosit jantan dan betina)
2. Siklus pada nyamuk anopheles

Apabila nyamuk anopheles betina menghisap darah yang mengandung


gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan betina melakukan
pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet
kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar
lambung nyamuk ookinet akan menjadio okista dan Berbagai studi
menunjukkan, pada infeksi plasmodium knowlesi, siklus reproduksi
aseksual (pembelahan diri dalam tubuh manusia atau hewan) terjadi
dalam waktu 24 jam. Lebih cepat dibandingkan siklus 48 jam pada
plasmodium vivax, plasmodium ovale, dan plasmodium falciparum,
sedangkan 72 jam pada plasmodium malariae. Setiap kali sel-sel
membelah akan terjadi serangan demam.

Masa inkubasi

Yaitu rentan waktu sejak sporozoit masuk sampai timbulnya gejala


klinis yang ditandai denagan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung
species plasmodium mengeluarkan berbagai macam sitokin, diantaranya
Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF akan dibawa aliran darah ke
hipothalamus, yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh manusia.
Sebagai akibat demam terjadi vasodilasi perifer yang mungkin
disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. 5,6 Limpa
merupakan organ retikuloendotelial. Pembesaran limpa disebabkan oleh
terjadi peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktifasinya
sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi
parasit dan sisa eritrsit akibat hemolisis.5,6 Anemia terutama disebabkan
oleh pecahnya eritrosit dan fagositosis oleh sistem retikuloendotetial.
Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis plasmodium dan status
imunitas penjamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun,
sekuentrasi oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal
dan gangguan eritropoisis. Hiperglikemi dan hiperbilirubinemia sering
terjadi. Hemoglobinuria dan Hemoglobinemia dijumpai bila hemolisis
berat. Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria tropika,
disebabkan kartena sel darah merah terinfeksi menjadi kaku dan lengket,
perjalanannya dalam kapiler terganggu sehingga melekat pada endotel
kapiler karena terdapat penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi
penumpukan sel dan bahan-bahan pecahan sel maka aliran kapiler
terhambat dan timbul hipoksia jaringan, terjadi gangguan pada integritas
kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan bukan perdarahan kejaringan
sekitarnya dan dapat menimbulkan malaria cerebral, edema paru, gagal
ginjal dan malobsorsi usus

E. Patogenesis

Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit,


inang dan lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya
peningkatan permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi
intravaskuler. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit
maka akan terjadi anemia. Beratnya anemi tidak sebanding dengan
parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang
mengandung parasit. Hal ini diduga akibat adanya toksin malaria yang
menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah
melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang menyebabkan
terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap
eritrosit. Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta
pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit
dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi
maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hyperplasia dari
retikulosit diserta peningkatan makrofag.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi
merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang
mengandung parasit mengalami perubahan struktur danbiomolekular sel
untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi
mekanisme, diantaranya transport membran sel, sitoadherensi, sekuestrasi
dan resetting.

Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah


terinfeksi P. falciparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan
kapiler. Selain itu eritrosit juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak
terinfeksi sehingga terbentuk roset.

1. Demam Akibat ruptur eritrosit → merozoit dilepas ke sirkulasi


Pelepasan merozoit pada tempat dimana sirkulasi melambat
mempermudah infasi sel darah yang berdekatan, sehingga
parasitemia falsifarum mungkin lebih besar daripada parasitemia
spesies lain, dimana robekan skizon terjadi pada sirkulasi yang
aktif. Sedangkan plasmodium falsifarum menginvasi semua eritrosit
tanpa memandang umur, plasmodium vivax menyerang terutama
retikulosit, dan plasmodium malariae menginvasi sel darah merah
matang, sifat-sifat ini yang cenderung membatasi parasitemia dari
dua bentuk terakhir diatas sampai kurang dari 20.000 sel darah
merah /mm3. Infeksi falsifarum pada anak non imun dapat
mencapai kepadatan hingga 500.000 parasit/mm.

2. Anemia Akibat hemolisis, sekuestrasi eritrosit di limpa dan organ


lain, dan depresi sumsum tulang. Hemolisis sering menyebabkan
kenaikan dalam billirubin serum, dan pada malaria falsifarum ia
dapat cukup kuat untuk mengakibatkan hemoglobinuria (blackwater
fever). Perubahan autoantigen yang dihasilkan dalam sel darah
merah oleh parasit mungkin turut menyebabkan hemolisis,
perubahan-perubahan ini dan peningkatan fragilitas osmotic terjadi
pada semua eritrosit, apakah terinfeksi apa tidak. Hemolisis dapat
juga diinduksi oleh kuinin atau primakuin pada orang-orang dengan
defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase herediter9 . Pigmen yang
keluar kedalam sirkulasi pada penghancuran sel darah merah
berakumulasi dalam sel retikuloendotelial limfa, dimana folikelnya
menjadi hiperplastik dan kadang-kadang nekrotik, dalam sel kupffer
hati dan dalam sumsum tulang, otak, dan organ lain. Pengendapan
pigmen dan hemosiderin yang cukup mengakibatkan warna abu-abu
kebiruan pada organ.

3. Kejadian immunopatologi Aktivasi poliklonal →


hipergamaglobulinemia, pembentukan kompleks imun, depresi
immun, pelepasan sitokin seperti TNF Bentuk imunitas terhadap
malaria dapat dibedakan atas:

a) Imunitas alamiah non imunologis Berupa kelainan-kelainan


genetic polimorfisme yang dikaitkan dengan resistensi
terhadap malaria, misalnya: Hb S, Hb C, Hb E, thallasemin
alafa-beta, defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase,
golingan darah duffy negative kebal terhadap infeksi
plasmodium vivax, individu dengan HLA-Bw 53 lebih rentan
terhadap malaria dan melindungi terhadap malaria berat.

b) Imunitas didapat non spesifik Sporozoit yang masuk kedalam


darah segera dihadapi oleh respon imun non spesifik yang
terutama dilakukan oleh magrofag dan monosit, yang
menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL1, IL2, IL4, IL6,
IL8, dan IL10, secara langsung menghambat pertumbuhan
parasit (sitostatik), membunuh parasit (sitotoksik).

c) Imunitas didapat spesifik. Merupakan tanggapan system imun


terhadap infeksi malaria mempunyai sifat spesies spesifik,
strain spesifik, dan stage spesifik.

Gambar 45: pathogenesis malaria

Referensi: https://www.cdc.gov/dpdx/malaria/index.html
G. Manifestasi Klinis

Menurut berat-ringannya gejala malaria dapat dibagi menjadi 2 jenis:

a) Gejala malaria ringan (malaria tanpa komplikasi) Meskipun disebut


malaria ringan, sebenarnya gejala yang dirasakan penderitanya
cukup menyiksa (alias cukup berat). Gejala malaria yang utama
yaitu: demam, dan menggigil, juga dapat disertai sakit kepala, mual,
muntah, diare, nyeri otot atau pegal-pegal. Gejala-gejala yang
timbul dapat bervariasi tergantung daya tahan tubuh penderita dan
gejala spesifik dari mana parasit berasal. Malaria sebagai penyebab
infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium mempunyai gejala utama
yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan
proses skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI
(glycosyl phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau
toksin lainnya. Pada beberapa penderita, demam tidak terjadi
(misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang dengan
parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah
demam periodic, anemia dan splenomegali. Manifestasi umum
malaria adalah sebagai berikut:
1. Masa inkubasi Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari
tergantung dari spesies parasit (terpendek untuk P. falciparum
dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi dan pada
pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes.
Selain itu juga cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan
nyamuk atau secara induksi (misalnya transfuse darah yang
mengandung stadium aseksual).
2. Keluhan-keluhan prodromal Keluhan-keluhan prodromal
dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa: malaise,
lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan
otot, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-
kadang merasa dingin di punggung. Keluhan prodromal
sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P.
falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas.
3. Gejala-gejala umum Gejala-gejala klasik umum yaitu
terjadinya trias malaria (malaria proxym) secara berurutan
yang disebut trias malaria, yaitu :
 Stadium dingin (cold stage) Stadium ini berlangsung + 15
menit sampai dengan 1 jam. Dimulai dengan menggigil
dan perasaan sangat dingin, gigi gemeretak, nadi cepat
tetapi lemah, bibir dan jari-jari pucat kebiru-biruan
(sianotik), kulit kering dan terkadang disertai muntah.
 Stadium demam (hot stage) Stadium ini berlangsung + 2 –
4 jam. Penderita merasa kepanasan. Muka merah, kulit
kering, sakit kepala dan sering kali muntah. Nadi menjadi
kuat kembali, merasa sangat haus dan suhu tubuh dapat
meningkat hingga 41C atau lebih. Pada anak-anak, suhu
tubuh yang sangat tinggi dapat menimbulkan kejang-
kejang.
 Stadium berkeringat (sweating stage) Stadium ini
berlangsung + 2 – 4 jam. Penderita berkeringat sangat
banyak. Suhu tubuh kembali turun, kadang-kadang sampai
di bawah normal. Setelah itu biasanya penderita
beristirahat hingga tertidur. Setelah bangun tidur penderita
merasa lemah tetapi tidak ada gejala lain sehingga dapat
kembali melakukan kegiatan sehari-hari. Gejala klasik
(trias malaria) berlangsung selama 6 – 10 jam, biasanya
dialami oleh penderita yang berasal dari daerah non
endemis malaria, penderita yang belum mempunyai
kekebalan (immunitas) terhadap malaria atau penderita
yang baru pertama kali menderita malaria.Di daerah
endemik malaria dimana penderita telah mempunyai
kekebalan (imunitas) terhadap malaria, gejala klasik timbul
tidak berurutan, bahkan tidak selalu ada, dan seringkali
bervariasi tergantung spesies parasit dan imunitas
penderita. Di daerah yang mempunyai tingkat penularan
sangat tinggi (hiperendemik) seringkali penderita tidak
mengalami demam, tetapi dapat muncul gejala lain,
misalnya: diare dan pegal-pegal. Hal ini disebut sebagai
gejala malaria yang bersifat lokal spesifik.

Siklus demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal


selama beberapa jam selama satu hari . bila demam seperti ini terjadi
setiap dua dua kali sehari di sebut tertian dan bilaterjadi dua hari bebas
demam di antara dua serangan demam di sebut kuartana.

Gambar 46 :: siklus demam interminten


Referensi: Setiati, S dkk. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
1 edisi VI. Jakarta : interna publishing

Gejala klasik (trias malaria) lebih sering dialami penderita


malaria vivax, sedangkan pada malaria falciparum, gejala menggigil
dapat berlangsung berat atau malah tidak ada. Diantara 2 periode
demam terdapat periode tidak demam yang berlangsung selama 12
jam pada malaria falciparum, 36 jam pada malaria vivax dan ovale,
dan 60 jam pada malaria malariae.
b) Gejala malaria berat (malaria dengan komplikasi) Penderita
dikatakan menderita malaria berat bila di dalam darahnya
ditemukan parasit malaria melalui pemeriksaan laboratorium
Sediaan Darah Tepi atau Rapid Diagnostic Test (RDT) dan disertai
memiliki satu atau beberapa gejala/komplikasi berikut ini:
1. Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat (mulai dari koma
sampai penurunan kesadaran lebih ringan dengan manifestasi
seperti: mengigau, bicara salah, tidur terus, diam saja, tingkah
laku berubah)
2. Keadaan umum yang sangat lemah (tidak bisa duduk/berdiri)
3. Kejang-kejang
4. Panas sangat tinggi
5. Mata atau tubuh kuning
6. Tanda-tanda dehidrasi (mata cekung, turgor dan elastisitas
kulit berkurang, bibir kering, produksi air seni berkurang)
7. Perdarahan hidung, gusi atau saluran pencernaan
8. Nafas cepat atau sesak nafas
9. Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum
10.Warna air seni seperti teh tua dan dapat sampai kehitaman
11. Jumlah air seni kurang sampai tidak ada air seni
12.Telapak tangan sangat pucat (anemia dengan kadar Hb kurang
dari 5 g%)

Penderita malaria berat harus segera dibawa/dirujuk ke fasilitas


kesehatan untuk mendapatkan penanganan semestinya.

H. Diagnosis
1. Anamnesis Keluhan utama dapat meliputi demam, menggigil, dapat
disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-
pegal. Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke
daerah endemik malaria. Riwayat tinggal didaerah endemik malaria.
Riwayat sakit malaria. Riwayat minum obat malaria satu bulan
terakhir. Gejala klinis pada anak dapat tidak jelas. Riwayat
mendapat transfusi darah.

Selain hal-hal tadi, pada pasien penderita malaria berat, dapat


ditemukan keadaan seperti Gangguan kesadaran dalam berbagai
derajat, Keadaan umum yang lemah, Kejang-kejang, Panas sangat
tinggi, Mata dan tubuh kuning, Perdarahan hidung, gusi, tau saluran
cerna, Nafas cepat (sesak napas), Muntah terus menerus dan tidak
dapat makan minum, Warna air seni seperti the pekat dan dapat
sampai kehitaman, Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada
dan Telapak tangan sangat pucat.

2. Pemeriksaan fisik

a. Malaria Ringan

Demam (pengukuran dengan termometer ≥ 37,5°C),


Konjungtiva atau telapak tangan pucat, Pembesaran limpa
(splenomegali), dan Pembesaran hati (hepatomegali).
b. Malaria Berat Mortalitas: Hampir 100% tanpa pengobatan,
Tatalaksana adekuat: 20%, Infeksi olehP. falciparum disertai
dengan salah satu atau lebih kelainan yaitu Malaria serebral,
Gangguan status mental, Kejang multipel, Koma, Hipoglikemia:
gula darah < 50 mg/dL, Distress pernafasan, Temperatur > 40oC,
tidak responsif dengan asetaminofen, Hipotensi, Oliguria atau
anuria, Anemia dengan nilai hematokrit 1,5 mg/dL, Parasitemia
> 5%, Bentuk Lanjut (tropozoit lanjut atau schizont) P.
falciparum pada apusan darah tepi, Hemoglobinuria, Perdarahan
spontan, dan Kuning.

3. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan dengan mikroskop Pemeriksaan sediaan darah (SD)


tebal dan tipis di Puskesmas/Iapangan/rumah sakit untuk
menentukan Ada tidaknya parasit malaria (positif atau
negatif),Spesies dan stadium plasmodium, Kepadatan parasite.

Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan


hal-hal sebagai berikut:

1. Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu


diperiksa ulang setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut.

2. Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3. hari


berturut-turut tidak ditemukan parasit maka diagnosis malaria
disingkirkan.

b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)


Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit
malaria, dengan menggunakan metoda imunokromatografi,
dalam bentuk dipstik Tes ini sangat bermanfaat pada unit gawat
darurat, pada saat terjadi kejadian luar biasa dan di daerah
terpencil yang tidak tersedia fasilitas lab serta untuk survey
tertentu. Hal yang penting lainnya adalah penyimpanan RDT ini
sebaiknya dalam lemari es tetapi tidak dalam freezer pendingin.

c. Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat: pemeriksaan


peninjang meliputi; darah rutin, kimia darah lain (gula darah,
serum bilirubin, SGOT & SGPT, alkali fosfatase,
albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, anaIisis
gas darah, EKG, Foto toraks,Analisis cairan serebrospinalis,
Biakan darah dan uji serologi, dan Urinalisis.

I. Pengobatan

Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan


membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia.
Adapun tujuan pengobatan radikal untuk mendapat kesembuhan kilinis
dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan. Semua obat anti
malaria tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong karena bersifat
iritasi lambung, oleh sebab itu penderita harus makan terlebih dahulu
setiap akan minum obat anti malaria.

Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi.

1. Malaria Falsiparum
Lini pertama pengobatan malaria falsiparum adalah seperti yang
tertera dibawah ini: Lini pertama = Artesunat + Amodiakuin +
Primakuin Setiap kemasan Artesunat + Amodiakuin terdiri dari 2
blister, yaitu blister amodiakuin terdiri dari 12 tablet @ 200 mg =
153 mg amodiakuin basa, dan blister artesunat terdiri dari 12 tablet
50 mg. Obat kombinasi diberikan per-oral selama tiga hari dengan
dosis tunggal harian sebagai berikut: Amodiakuin basa
= 10 mg/kgbb dan Artesunat = 4 mg/kgbb. Primakuin tidak boleh
diberikan kepada:
 Ibu hamil
 Bayi <1 tahun
 Penderia defesiensi G-PD
Pengobatan lini kedua malaria falsiparum diberikan, jika
pengobatan lini pertama tidak efektif dimana ditemukan: gejala
klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang
(persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi).
Lini kedua = Kina + Doksisiklin atau Tetrasiklin + Primakuin
Kina diberikan per-oral, 3 kali sehari dengan dosis 10
mg/kgbb/kali selama 7(tujuh) hari.Doksisiklin diberikan 2 kali per-
hari selama 7 (tujuh) hari, dengan dosis orang dewasa adalah 4
mg/Kgbb/hari, sedangkan untuk anak usia 8-14 tahun adalah 2
mg/kgbb/hari. Doksisiklin tidak diberikan pada ibu hamil dan anak
usia
2. Pengobatan malaria vivaks, malaria ovale, malaria malariae A.
Malaria vivaks dan ovale Lini pertama pengobatan malaria vivaks
dan malaria ovale adalah seperti yang tertera dibawah ini:
Lini Pertama = Klorokuin + Primakuin
Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan
malaria vivaks dan malaria ovale. Klorokuin diberikan 1 kali per-
hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kgbb. Dosis
Primakuin adalah 0.25 mg/kgbb per hari yang diberikan selama 14
hari dan diberikan bersama klorokuin.Seperti pengobatan malaria
falsiparum, primakuin tidak boleh diberikan kepada: ibu hamil, bayi
Dosis Primakuin adalah 0,25 mg/kgbb per hari yang diberikan
selama 14 hari. Seperti pengobatan malaria pada umumnya,
primakuin tidak boleh diberikan kepada Ibu hamil, bayi < 1tahun,
dan penderita defisiensi G6-PD. Dosis kina adalah 30mg/kgbb/hari
yang diberikan 3 kali per hari. Pemberian kina pada anak usia di
bawah 1 tahun harus dihitung berdasarkan berat badan. Dosis dan
cara pemberian primakuin adalah sama dengan cara pemberian
primakuin pada malaria vivaks terdahulu yaitu 0.25 mg/kgbb
perhari selama 14 hari.
3. Pengobatan malaria vivaks yang relaps Pengobatan kasus malaria
vivaks relaps (kambuh) sama dengan regimen sebelumnya hanya
dosis perimakuin ditingkatkan Klorokuin diberikan 1 kali per-hari
selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kgbb dan primakuin
diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kgbb/hari. Untuk
penderita defisiensi enzim G6PD yang dapat diketahui melalui
anamnesis ada keluhan atau riwayat warna urin coklat kehitaman
setelah minum obat (golongan sulfa, primakuin, kina, klorokuin dan
lain-lain), maka pengobatan diberikan secara mingguan. Klorokuin
diberikan 1 kali per-minggu selama 8 sampai dengan 12 minggu,
dengan dosis 10 mg basa/kgbb/kali Primakuin juga diberikan
bersamaan dengan klorokuin setiap minggu dengan dosis 0,76
mg/kgbb/kali.
4. Pengobatan malaria malariae
Pengobatan malaria malariae cukup diberikan dengan klorokuin 1
kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kgbb
Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur
penderita
5. Catatan
a. Fasilitas pelayanan kesehatan dengan sarana diagnostik malaria
dan belum tersedia obat kombinasi artesunat + amodiakuin,
Penderita dengan infeksi Plasrnodium falciparurn diobati dengan
sulfadoksinpirimetamin (SP) untuk membunuh parasit stadium
aseksual. Obat ini diberikan dengan dosi tunggal sulfadoksin 25
mg/kgbb atau berdasarkan dosis pirimetamin 1,25 mg/kgbb
Primakuin juga diberikan untuk membunuh parasit stadium
seksual dengan dosis tunggal 0,75 mg/kgbb. Pada pengobatan
malaria falsiparum gagal atau alergi SP, Jika pengobatan dengan
SP tidak efektif (gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit
aseksual tidak berkurang atau timbul kembali) atau penderita
mempunyai riwayat alergi terhadap SP atau golongan sulfa
lainnya, penderita diberi regimen kina + doksisiklin/tetrasiklin +
primakuin. Pengobatan alterflatif = Kina + Doksisiklin atau
Tetrasiklin + Primakuin
b. Fasilitas pelayanan kesehatan tanpa sarana diagnostik malaria.
Penderita dengan gejala klinis malaria dapat diobati sementara
dengan regimen klorokuin dan primakuin. Pemberian klorokuin
1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg
basa/kgbb. Primakuin diberikan bersamaan dengan klorokuin
pada hari pertarna dengan dosis 0,75 mg/kgbb.

6. Pengobatan Malaria Dengan Komplikasi


Definisi malaria berat/komplikasi adalah ditemukannya Plasmodium
falciparum stadium aseksual dengan satu atau beberapa manifestasi
klinis meliputi; Malaria serebral (malaria otak), Anemia berat (Hb3
mg%), Edema paru atau Acute Respiratory Distress Syndrome,
Hipoglikemi: gula darah< 40 mg%, Gagal sirkulasi atau syok:
tekanan sistolik 2 kali per 24 jam setelah pendinginan pada
hipertermia, Asidemia (pH:< 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma
< 15 mmol/L), Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi
malaria akut (bukan karena obat anti malaria pada seorang dengan
defisiensi G-6-PD).

Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat:


1. Gangguan kesadaran ringan (GCS < 15)
2. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan) tanpa kelainan
neurologik
3. Hiperparasitemia > 5 %.
4. lkterus (kadàr bilirubin darah > 3 mg%)
5. Hiperpireksia (temperatur rektal > 40° C pada orang dewasa,
>41° C pada anak)
Pengobatan malaria berat ditujukan pada pasien yang datang
dengan manifestasi klinis berat termasuk yang gagal dengan
pengobatan lini pertama. Apabila fasilitas tidak atau kurang
memungkinkan, maka penderita dipersiapkan untuk dirujuk ke rumah
sakit atau fasilitas pelayanan yang lebih lengkap. Penatalaksanaan
kasus malaria berat pada prinsipnya meliputi:
1) Tindakan umum
2) Pengobatan simptomatik
3) Pemberian obat anti malaria
4) Penanganan komplikasi

J. Pencegahan
Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi
malaria sehingga bila terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat.
Kemoprofilaksis ini ditujukan kepada orang yang bepergian ke daerah
endemis malaria dalam waktu yang tidak terlalu lama, seperti turis,
peneliti, pegawai kehutanan dan lain-lain Untuk kelompok atau
individu yang akan bepergian/tugas dalam jangka waktu yang lama,
sebaiknya menggunakan personaI protection seperti pemakaian
kelambu, repellent, kawat kassa dan Iain-lain.
Sehubungan dengan laporan tingginya tingkat resistensi
Plasmodium falciparum terhadap klorokuin, maka doksisiklin menjadi
pilihan untuk kemoprofilaksis Doksisiklin diberikan setiap hari dengan
dosis 2 mg/kgbb selama tidak Iebih dari 4-6 minggu.
Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada anak umur < 8 tahun dan
ibu hamil. Kemoprofilaksis untuk Plasmodium vivax dapat diberikan
klorokuin dengan dosis 5 mg/kgbb setiap minggu. Obat Jurnal
Averrous Vol.4 No.2 2018 tersebut diminum satu minggu sebelum
masuk ke daerah endemis sampai 4 minggu setelah kembali.
Dianjurkan tidak menggunakan klorokuin lebih dan 3-6 bulan.

K. Prognosis
Prognosis malaria berat tergantung kecepatan diagnosa dan ketepatan
& kecepatan pengobatan. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi,
maka mortalitas yang dilaporkan pada anak-anak 15 %, dewasa 20 %, dan
pada kehamilan meningkat sampai 50 %. Prognosis malaria berat dengan
kegagalan satu fungsi organ lebih baik daripada kegagalan 2 fungsi organ

VI. CHIKUNGUNYA

A. Definisi
Chikungunya adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
chikungunya yang ditularkan oleh nyamuk Aedes sp. Vektor utama
demam chikungunya adalah nyamuk Aedes aegypti (Ae. aegypti),
tetapi dapat juga ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus (Ae.
albopictus). Vektor penular penyakit chikungunya sama dengan vektor
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), sehingga tindakan
pencegahan penyakit chikungunya sama dengan tindakan pencegahan
penyakit DBD.
B. Etiologi dan patogenesis
Virus Chikungunya merupakan anggota genus Alphavirus dalam
famili Togaviridae. Strain Asia merupakan genotipe yang berbeda
dengan yang dari Afrika. Virus ini berbentuk sferis dengan ukuran
diameter sekitar 42 nm. Virus Chikungunya disebut juga Arbovirus A
Chikungunya Type, CHIK, CK. Virions mengandung satu molekul
single stranded RNA. Virus dapat menyerang manusia dan hewan.
Virions dibungkus oleh lipid membran; pleomorfik; spherikal; dengan
diameter 70 nm. Pada permukaan envelope didapatkan glycoprotein
spikes (terdiri atas 2 virus protein membentuk heterodimer).
Necleocapsids isometric; dengan diameter 40 nm (Sari, 2015)

Gambar 47: siklus infeksi Chikungunya (Bayer, 2018)


C. Epidemiologi
Wabah chikungunya telah dilaporkan di Afrika dan Asia Tenggara
sejak virus chikungunya pertama kali diisolasi di Tanzania pada tahun
1953. Genotipe virus Chikungunya terdiri dari genotipe Asia, West
African dan East Central South African (ECSA). Genotipee Asia
endemik di wilayah Asia tenggara dan genotipee ECSA endemik di
wilayah Asia Selatan seperti India sedangkan genotipe West Africa
pada umumnya endemik didaerah Afrika. Ketiga genotipe ini
menyebabkan demam chikungunya (CF). Kejadian wabah
chikungunya disebabkan oleh genotipe Asia sering dilaporkan selama
1960-2003 di banyak negara Asia Tenggara, termasuk India, Malaysia,
Indonesia, Kamboja, Vietnam, Myanmar, Pakistan, Filipina, dan
Thailand. Wabah yang disebabkan oleh CHIKV muncul kembali
dilaporkan di Indonesia dan Malaysia selama 2005- 2007 dan sejak
tahun 2005, beberapa pulau Samudera Hindia dan India telah
mengalami wabah besar-besaran chikungunya disebabkan oleh
genotipe East Central South Africa (ECSA) walaupun sebelumnya
kejadian luar biasa hanya disebabkan oleh genotipe Asia. Penyakit
chikungunya menjadi perhatian global ketika menyebabkan epidemi
besar di Pulau Reunion pada tahun 2005-2006 yang menyebar dengan
cepat ke bagian lain dunia. Epidemi tersebut disebabkan oleh genotipe
East Central South Africa (ECSA) yang memiliki mutasi pada rantai
asam amino A226V protein E1, yang memfasilitasi transmisi oleh
Aedes albopictus. Meskipun genotipee ECSA termasuk yang
bermutasi, telah endemik di Asia Tenggara, tetapi di Indonesia hanya
pernah dilaporka ditemukan didaerah Kalimantan Barat. Data dari
surveillans penyakit menunjukkan hampir setiap tahun terjadi kejadian
luar biasa (KLB) chikungunya di berbagai daerah di Indonesia.
Kejadian luar biasa chikungunya dilaporkan sejak tahun 1982 di
Provinsi Jambi, kemudian antara tahun 1983 dan 1985 penyakit sudah
menyebar ke Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur dan
Papua, kemudian dalam 2 tahun belakangan berturut - turut (2008-
2009) dilaporkan terjadi KLB di berbagai daerah yaitu: DKI Jakarta,
Provinsi. Banten, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Jawa Tengah, Jawa Barat, Riau dan Sumatera Barat, sedangkan pada
daerah lain yang dilaporkan terjadi KLB selain daerah diatas adalah
Kalimantan Selatan, Lampung (2008) dan Aceh serta Jambi (tahun
2009).
D. Gejala klinis
Sesudah masa inkubasi selama 3-12 hari, gejala awal adalah seperti
flu, sakit kepala yang parah, kedinginan demam, (>400 C), sakit pada
persendian, nausea (mual), dan muntah-muntah. Sendi-sendi utama
menjadi bengkak dan sakit bila disentuh. Sering terjadi rash (bintik-
bintik kecil atau ruam). Jarang terlihat adanya pendarahan
(hemorrhage). Penderita yang sakit jarang yang sembuh dalam waktu
3-5 hari. Sering menderita sakit pada persendian selama beberapa
bulan
1. Demam
Biasanya demam tinggi, timbul mendadak disertai mengigil dan
muka kemerahan (flushed face). Panas tinggi bisa bertahan
selama 2-3 hari dilanjutkan dengan penurunan suhu tubuh
selama 1-2 hari, kemudian naik lagi membentuk kurva “sadle
back fever” (Bifasik). Pada beberapa penderita mengeluh nyeri
di belakang bola mata dan bisa terlihat mata kemerahan
(injection conjungtiva), mata berair, dan rasa terbakar pada mata.
2. Sakit Persendian
Nyeri sendi biasanya terlokalisir di daerah sendi yang besar,
tetapi bisa juga di beberapa sendi kecil. Persendian yang nyeri
tidak bengkak, tetapi teraba lebih lunak. Nyeri persendian ini
sering merupakan keluhan yang pertama muncul sebelum timbul
demam dan dapat bermanifestasi berat menyerupai artritis
rheumatoid. Pada pemeriksaan sendi tidak terlihat tanda- tanda
pengumpulan cairan sendi. Sendi yang sering dikeluhkan adalah
sendi lutut, siku, pergelangan, jari kaki, tangan, serta tulang
belakang.
3. Nyeri Otot
Nyeri otot (fibromyalgia) bisa pada seluruh otot terutama pada
otot peyangga berat badan seperti pada otot bagian leher, daerah
bahu, dan anggota gerak. Kadang-kadang terjadi pembengkakan
pada otot sekitar mata kaki atau sekitar pergelangan kaki
(archilles).
4. Bercak Kemerahan (Rash) pada Kulit
Kemerahan pada kulit bisa terjadi pada seluruh tubuh berbentuk
makulo- makulo popular (viral rash), sentrifugal (mengarah ke
bagian anggota gerak, telapak tangan, dan telapak kaki). Bercak
kemerahan ini terjadi pada hari pertama demam. Lokasi
kemerahan biasanya pada daerah muka, badan, tangan, dan kaki.
5. Sakit Kepala
Keluhan sakit kepala merupakan keluhan yang sering ditemui.
Biasanya sakit kepala tidak terlalu berat.
6. Kejang dan Penurunan Kesadaran
Kejang biasanya pada anak karena panas yang terlalu tinggi, jadi
bukan secara langsung oleh penyakitnya. Kadang-kadang kejang
disertai penurunankesadaran. Pemeriksaan cairan spinal (cerebro
spinal) tidak ditemukan kelainan biokimia dan jumlah sel.
7. Gejala lain
Gejala lain yang kadang-kadang dapat timbul adalah kolaps
pembuluh darah kapiler dan pembesaran kelenjar getah bening
E. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis pasti dapat dilakukan dengan uji laboratorium tetapi
infeksi CHIK sudah harus dipikirkan bilamana terjadi wabah penyakit
dengan tiga gejala (trias) utama yaitu demam, adanya ruam (rash) dan
manifestasi reumatik. Isolasi virus dapat dilakukan dengan inokulasi
sel biakan nyamuk (mosquito cell culture), menyuntik nyamuk dengan
sera penderita, inokulasi sel biakan mamalia atau mencit (suckling
mice). Viremia terjadi pada 48 jam pertama dari infeksi dan dapat
dideteksi sampai hari keempat. Antibodi IgM dapat dideteksi dengan
menggunakan metode ELISA pada penderita yang telah sembuh dari
infeksi CHIK dan akan menetap dalam kadar yang cukup tinggi selama
6 bulan. Antibodi hambatan hemaglutinasi (haemagglutination
inhibition antibodies) timbul sejalan dengan menurunnya viremia dan
semua penderita akan memperlihatkan hasil positif pada hari ke-5 dan
ke-7 masa sakitnya. (Suriptiastuti, 2007)
1. IsolasiVirus
Isolasi virus chikungunya didasarkan pada inokulasi spesimen
biologis dari nyamuk atau dari manusia (serum) secara invitro
dengan menggunakan kultur jaringan sel vero, BHK-21, HeLa
sel, dan sel C6/36. Jenis untuk isolasi virus chikungunya adalah
serum pada masa akut 0-6 hari. Spesimen yang berasal dari
nyamuk juga dapat digunakan untuk bahan isolasi virus. Semua
spesimen biologis untuk isolasi virus harus diproses secepatnya,
bila memang perlu ditunda maksimal penundaan adalah 48 jam
dengan disimpan pada suhu 2-80 C.
2. Deteksi Viral RNA
Deteksi viral RNA virus chikungunya dapat dilakukan pada saat
akut penderita <8 hari. Deteksi viral RNA juga dapat
menggunakan spesimen biologis dari nyamuk (vektor). Deteksi
viral RNA didasarkan pada gen NSP1 atau E16 saat ini telah
dikembangkan berbagai macam teknik deteksi viral RNA virus
chikungunya yaitu secara RT-PCR (Reverse Transcripatase-
Polymerase Chain Reaction) dan Real Time PCR.
3. Serologi (Deteksi IgM atau IgG)
Infeksi chikungunya juga dapat dideteksi secara serologi dengan
mendeteksi anti-chik berupa IgM atau IgG. Sampai saat ini telah
banyak dikembangkan teknik diagnostik untuk mendeteksi
chikungunya secara serologi, diantaranya haemaglutination,
Complement Fixation Test (CFT), Immuno Flourescent Assay
(IFA), dan Plaque Reduction Neutralization Testing (PRNT).
Antibodi IgM dapat dideteksi dari hari ke 4 infeksi sampai
beberapa minggu waktu lamanya. Antibodi IgG dapat dideteksi
hari ke 15 sampai beberapa tahun lamanya.
Spesimen yang digunakan adalah serum atau plasma penderita pada
masa akut. Jumlah spesimen yang dibutuhkan untuk konfirmasi KLB
chikungunya adalah 5-10 spesimen dari setiap satuan KLB (per
kecamatan/per puskesmas), jika jumlah penderita ≥ 10, namun jika
jumlah penderita < 10 maka untuk konfirmasi jumlah spesimen yang
diperiksa jumlah penderita.
F. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
Chikungunya pada dasarnya bersifat self limiting disease artinya
penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya. Hingga saat ini,
belum ada vaksin maupun obat khusus untuk Chikungunya, oleh
karenanya pengobatan ditujukan untuk mengatasi gejala yang
mengganggu (simtomatis). Obat-obatan yang dapat digunakan
adalah obat antipiretik, analgetik (non-aspirin analgetik; non steroid
anti inflamasi drug parasetamol, antalgin, natrium diklofenak,
piroksikam, ibuprofen, obat anti mual dan muntah adalah
dimenhidramin atau metoklopramid). Aspirin dan steroid harus
dihindari. Terapi lain disesuaikan dengan gejala yang dirasakan.
2. Non farmakologi
Bagi penderita dianjurkan untuk makan makanan yang bergizi,
cukup karbohidrat terutama protein serta minum sebanyak
mungkin. Memperbanyak konsumsi buah-buahan segar, sebaiknya
minum jus buah segar. Vitamin peningkat daya tahan tubuh dapat
bermanfaat untuk menghadapi penyakit ini. Selain vitamin,
makanan yang mengandung cukup banyak protein dan karbohidrat
juga meningkatkan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang baik
dan istirahat cukup bisa membuat rasa ngilu pada persendian cepat
hilang. Disarankan juga minum banyak air putih untuk
menghilangkan gejala demam.
G. Komplikasi
Penyebab morbiditas yang tertinggi adalah dehidrasi berat,
ketidakseimbangan elektrolit dan hipoglikemia. Beberapa komplikasi
lain yang dapat terjadi meskipun jarang berupa gangguan perdarahan,
komplikasi neurologis, pneumonia dan gagal nafas
H. Prognosis
Penyakit ini bersifat self limiting diseases, tidak pernah dilaporkan
adanya kematian sedangkan keluhan sendi mungkin berlangsung lama.
Penelitian sebelumnya pada 107 kasus infeksi Chikungunya
menunjukkan 87,9% sembuh sempurna, 3,7% mengalami kekakuan
sendi atau mild discomfort, 2,8% mempunyai persistent residual joint
stiffness tapi tidak nyeri dan 5,6% mempunyai keluhan sendi yang
persistent, kaku dan sering mengalami efusi sendi

V. LEPTOSPIROSIS

A. Definisi

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


patogen spirochaeta, genus Leptospira. Spirochaeta ini pertama kali
diisolasi di Jepang oleh Inada setelah sebelumnya digambarkan oleh
Adolf Weil tahun 1886. Weil menemukan bahwa penyakit ini menyerang
manusia dengan gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta
kerusakan ginjal. Di Indonesia, gambaran klinis leptospirosis dilaporkan
pertama kali oleh Van der Scheer di Jakarta pada tahun 1892, sedang
isolasinya dilakukan oleh Vervoot pada tahun 1922. Penyakit ini disebut
juga sebagai Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud
fever, atau Swineherd disease.

B. Etiologi

Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta, dapat


menyebabkan penyakit infeksius yang disebut leptospirosis. Leptospira
merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15
µm, disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2 µm. Salah satu ujung
bakteri ini seringkali bengkok dan membentuk kait. Leptospira memiliki
ciri umum yang membedakannya dengan bakteri lainnya. Sel bakteri ini
dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3-5 lapis. Di bawah
membran luar, terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helikal,
serta membran sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini adalah lokasi
flagelnya, yang terletak diantara membran luar dan lapisan peptidoglikan.
Flagela ini disebut flagela periplasmik. Leptospira memiliki dua flagel
periplasmik, masing-masing berpangkal pada setiap ujung sel. Kuman ini
bergerak aktif, paling baik dilihat dengan menggunakan mikroskop
lapangan gelap.

Gambar 48 : Gambaran koloni bakteri Leptospira

(https://www.who.int/topics/leptospirosis/en/)

Gambar 49 : Gambaran bakteri Leptospira

(https://www.who.int/topics/leptospirosis/en/)
Leptospira merupakan Spirochaeta yang paling mudah dibiakkan,
tumbuh paling baik pada keadaan aerob pada suhu 28-30ºC dan pada pH
7. Media yang bisa digunakan adalah media semisolid yang kaya protein,
misalnya media Fletch atau Stuart. Lingkungan yang sesuai untuk hidup
leptospira adalah lingkungan lembab seperti kondisi pada daerah tropis.
Berdasarkan spesifisitas biokimia dan serologi, Leptospira sp. dibagi
menjadi Leptospira interrogans yang merupakan spesies yang patogen
dan Leptospira biflexa yang bersifat tidak patogen (saprofit). Sampai saat
ini telah diidentifikasi lebih dari 200 serotipe pada L.interrogans. Serotipe
yang paling besar prevalensinya adalah canicola, grippotyphosa, hardjo,
icterohaemorrhagiae, dan pomona.

C. Epidemiologi

Leptospirosis merupakan zoonosis dengan distribusi luas di seluruh


dunia, terutama pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropis. Angka
kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Di
daerah dengan kejadian luar biasa leptospirosis ataupun pada daerah yang
memiliki faktor risiko tinggi terpapar leptospirosis, angka kejadian
leptospirosis dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000 per tahun. Di
daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka kejadian leptospirosis
berkisar antara 10-100 per 100.000 sedangkan di daerah subtropis angka
kejadian berkisar antara 0,1-1 per 100.000 per tahun. Case fatality rate
(CFR) leptospirosis di beberapa bagian dunia dilaporkan berkisar antara
leptospira. Selain itu penularan bisa juga terjadi karena manusia
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan
bakteri leptospira.

Faktor lingkungan memiliki peranan penting dalam proses penularan


leptospirosis. Faktor lingkungan tersebut meliputi lingkungan fisik,
biologik, dan sosial. Salah satu pengaruh lingkungan sosial adalah
mengenai jenis pekerjaan. Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit
leptospirosis antara lain: petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan,
pekerja pengontrol tikus, tukang sampah, pekerja selokan, buruh
tambang, tentara, pembersih septic tank dan pekerjaan yang selalu kontak
dengan binatang.

D. Patogenesis

Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara,


yang tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar
bakteri leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang
lecet atau luka dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa
penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat (intak)
terutama bila kontak lama dengan air. Selain melalui kulit atau mukosa,
infeksi leptospira bisa juga masuk melalui konjungtiva. Bakteri leptospira
yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak menimbulkan lesi pada tempat
masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang menggangsir
(burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya
leptospira ke dalam tubuh.

Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di


darah dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal
bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1
atau 2 hari infeksi. Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas
yang tinggi, lesi primer adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah
dan menimbulkan vaskulitis serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul
dapat disertai dengan kebocoran dan ekstravasasi sel.
Gambar 50 :. Pathogenesis infeksi bakteri leptospira

(Garcia LS dan Isenberg HD, 2010)

Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada


permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada
bakteri leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan
endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi
perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi
agregasi trombosit disertai trombositopenia. Bakteri leptospira
mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang mengakibatkan
lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal
dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat
sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga
menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat
dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal
ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal disertai edema dan
perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Sementara
perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata. Secara
mikroskopik tampak perubahan patologi berupa nekrosis sentrolobuler
disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.

E. Gambaran klinik

Gambaran klinik pada leptospirosis berkaitan dengan penyakit febril


umum dan tidak cukup khas untuk menegakkan diagnosis. Secara khas
penyakit ini bersifat bifasik, yaitu fase leptospiremi/ septikemia dan fase
imun.

1. Fase leptospiremi atau septicemia


Masa inkubasi dari leptospira virulen adalah 7-12 hari, rata-rata 10
hari. Untuk beberapa kasus, dapat menjadi lebih singkat yaitu 2 hari
atau bahkan bisa memanjang sampai 30 hari.10 Fase ini ditandai
adanya demam yang timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil, sakit
kepala, mialgia, ruam kulit, mual, muntah, conjunctival suffusion,
dan tampak lemah Demam tinggi dan bersifat remiten bisa
mencapai 40ºC sebelum mengalami penurunan suhu tubuh.
Conjunctival suffusion merupakan tanda khas yang biasanya timbul
pada hari ke-3 atau ke-4 sakit. Selama fase ini, leptospira dapat
dikultur dari darah atau cairan serebrospinal penderita. Tes serologi
menunjukkan hasil yang negatif sampai setidaknya 5 hari setelah
onset gejala. Pada fase ini mungkin dijumpai adanya hepatomegali,
akan tetapi splenomegali kurang umum dijumpai. Pada hitung
jumlah platelet, ditemukan adanya penurunan jumlah platelet dan
trombositopeni purpura. Pada urinalisis ditemukan adanya
proteinuri, tetapi kliren kreatinin biasanya masih dalam batas
normal sampai terjadi nekrosis tubular atau glomerulonefritis.
2. Fase imun
Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan berhubungan
dengan timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita. Pada kasus
yang ringan (mild case) fase kedua ini berhubungan dengan tanda
dan gejala yang minimal, sementara pada kasus yang berat (severe
case) ditemukan manifestasi terhadap gangguan meningeal dan
hepatorenal yang dominan. Pada manifestasi meningeal akan timbul
gejala meningitis yang ditandai dengan sakit kepala, fotofobia, dan
kaku kuduk. Keterlibatan sistem saraf pusat pada leptospirosis
sebagian besar timbul sebagai meningitis aseptik. Pada fase ini
dapat terjadi berbagai komplikasi, antara lain neuritis optikus,
uveitis, iridosiklitis, dan neuropati perifer. Pada kasus yang berat,
perubahan fase pertama ke fase kedua mungkin tidak terlihat, akan
tetapi timbul demam tinggi segera disertai jaundice dan perdarahan
pada kulit, membrana mukosa, bahkan paru. Selain itu ini sering
juga dijumpai adanya hepatomegali, purpura, dan ekimosis. Gagal
ginjal, oliguria, syok, dan miokarditis juga bisa terjadi dan
berhubungan dengan mortalitas penderita.
Gambar 51 :. Sifat bifasik leptospirosis

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan


(nonikterik) dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari
leptospirosis berat.
1. Leptospirosis ringan (non-ikterik)
Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik, dan
ini diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di
masyarakat. Gejala leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan
virallike illness, yaitu demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri
kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai
nyeri retro orbital dan fotofobia. Nyeri otot diduga terjadi karena
adanya kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase (CPK) pada
sebagian besar kasus meningkat, dan pemeriksaan CPK ini dapat
membantu penegakan diagnosis klinik leptospirosis.17,20 Dapat
juga ditemukan nyeri perut, diare, anoreksia, limfadenopati,
splenomegali, rash makulopapular, kelainan mata (uveitis,
iridosiklitis), meningitis aseptik dan conjunctival suffusion.
Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan
nyeri tekan di daerah betis. Gambaran klinik terpenting
leptospirosis non-nikterik adalah meningitis aseptik yang tidak
spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Sebanyak 80-
90% penderita leptospirosis anikterik akan mengalami pleositosis
pada cairan serebrospinal selama minggu ke-2 penyakit dan 50%
diantaranya akan menunjukkan tanda klinis meningitis. Karena
penderita memperlihatkan penyakit yang bersifat bifasik atau
memberikan riwayat paparan dengan hewan, meningitis tersebut
kadang salah didiagnosis sebagai kelainan akibat virus. Pasien
dengan leptospirosis non-ikterik pada umumnya tidak berobat
karena keluhan bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit
ini bisa sembuh sendiri (self-limited) dan biasanya gejala kliniknya
menghilang dalam waktu 2 sampai 3 minggu. Karena gambaran
kliniknya mirip dengan penyakit demam akut yang lain, maka pada
setiap kasus dengan keluhan demam akut, leptospirosis anikterik
harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis banding, terutama di
daerah endemik leptospirosis seperti Indonesia.
2. Leptospirosis berat (ikterik)
Bentuk leptospirosis yang berat ini pada mulanya dikatakan sebagai
Leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat terlihat pada
setiap serotipe leptospira yang lain. Manifestasi leptospirosis yang
berat memiliki angka mortalitas sebesar 5-15%. Leptospirosis
ikterik disebut juga dengan nama Sindrom Weil. Tanda khas dari
sindrom Weil yaitu jaundice atau ikterik, azotemia, gagal ginjal,
serta perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6 hari setelah onset
gejala dan dapat mengalami perburukan dalam minggu ke-2. Ikterus
umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat.
Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase
imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase
leptospiremia. Beratnya berbagai komponen sindrom Weil
kemungkinan mencerminkan beratnya vaskulitis yang
mendasarinya. Ikterus biasanya tidak terkait dengan nekrosis
hepatoselular, dan setelah sembuh tidak terdapat gangguan fungsi
hati yang tersisa. Kematian pada sindrom Weil jarang disebabkan
oleh gagal hati.
F. Diagnosis
a. Diagnosis klinik
Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan
riwayat kontak terhadap binatang atau lingkungan yang
terkontaminasi urin binatang, disertai dengan gejala akut demam,
menggigil, mialgia, conjunctival suffusion, nyeri kepala, mual, atau
muntah. Selain itu penting juga untuk mempertimbangkan jenis
pekerjaan penderita dan riwayat adanya kontak dengan air
sebelumnya. Sebelumnya klinisi menggunakan kriteria diagnosis
menurut The Center for Disease Control of Leptospirosis Report
(Faine S. Guideline for The Control of Leptospirosis, Geneva
WHO, 1982).
Akan tetapi kriteria diagnosis ini mempunyai beberapa
kelemahan. Pemberian nilai pada faktor-faktor epidemiologik dalam
kriteria diagnosis tersebut sangat subjektif dan tidak spesifik. Hasil
pemeriksaan serologik dalam kriteria diagnosis tersebut menjadi
kendala bagi klinisi karena pemeriksaan serologik tersebut jarang
tersedia dan jika ada maka hasilnya diperoleh setelah beberapa hari.
Aplikasi kriteria diagnosis secara berlebihan dapat menyesatkan
para klinisi. Untuk menegakkan diagnosis klinik, klinisi
membutuhkan kriteria diagnosis baru yang lebih sesuai dan
memudahkan dalam menegakkan diagnosis leptospirosis. Kriteria
diagnosis tersebut adalah Kriteria Diagnosis Leptospirosis WHO
SEARO 2009.
b. Diagnosis laboratorium
Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan
laboratorium. Pada sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan
netropenia, terutama selama fase awal penyakit. Anemia tidak biasa
ditemukan pada leptospirosis anikterik, tetapi dapat terjadi anemia
berat pada sindrom Weil. Kadar enzim hati, kreatinin, dan ureum
dapat sedikit meningkat pada leptospirosis anikterik, dan meningkat
secara ekstrim pada sindrom Weil. Pemeriksaan laboratorium untuk
leptospirosis terdiri dari: pemeriksaan mikroskopik, kultur,
inokulasi hewan, dan serologi.
1. Pemeriksaan mikrobiologi
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di
mikroskop lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan
mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase kontras.
Spesimen pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin.
2. Kultur
Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal
hanya pada 10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut
biasanya dijumpai di dalam urin pada 10 hari pertama
penyakit. Media Fletcher dan media Tween 80-albumin
merupakan media semisolid yang bermanfaat pada isolasi
primer leptospira. Pada media semisolid, leptospira tumbuh
dalam lingkaran padat 0,5-1 cm dibawah permukaan media
dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi. Untuk kultur
harus dilakukan biakan multipel, sedangkan jenis bahan yang
dibiakkan bergantung pada fase penyakit.9 Baru- baru ini
dideskripsikan suatu metode radiometrik untuk mendeteksi
organisme leptopira secar cepat dengan menggunakan sistem
BACTEC 460 (Johnson Laboratories). Dengan sistem ini,
leptospira dideteksi pada darah manusia setelah inkubasi 2-5
hari.
3. Inokulasi hewan
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi
inokulasi intraperitoneal pada marmot muda. Dalam beberapa
hari dapat ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal;
setelah hewan ini mati (8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik
pada banyak organ.
4. Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas
pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test
merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid
screening. Pemeriksaan gold standart untuk mendeteksi
antibodi terhadap Leptospia interrogans yaitu Microscopic
Agglutination Test (MAT) yang menggunakan organisme
hidup. Pada umumnya tes aglutinasi tersebut tidak positif
sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi, kadar puncak
antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan menetap selama
beberapa tahun, walaupun konsentrasinya kemudian akan
menurun.20 Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada tingkat
serovar sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
strain Leptospira pada manusia dan hewan dan karena itu
membutuhkan sejumlah strain (battery of strains) Leptospira
termasuk stock-culture, disamping sepasang sera dari pasien
dalam periode sakit akut dan 5-7 hari sesudahnya.
Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi serokonversi
berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau
lebih antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik
leptospirosis digunakan nilai ≥ 1:160) . Pemeriksaan
serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah Macroscopic
Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination
Test (MCAT), rapid latex agglutination assay (RLA assay),
enzyme linked immune sorbent assay (ELISA), immuno-
fluorescent antibody test, dan immunoblot. Selain uji serologi
yang telah disebutkan di atas, terdapat pula uji serologis
penyaring yang lebih cepat dan praktis sebagai tes
leptospirosis. Uji serologis penyaring yang sering digunakan
di Indonesia adalah Lepto Dipstick Assay, LeptoTek Dri Dot,
dan Leptotek Lateral Flow. Saat ini juga telah dikembangkan
pemeriksaan molekuler untuk diagnosis leptospirosis. DNA
leptospirosis dapat dideteksi dengan metode PCR
(Polymerase Chain Reaction) dengan menggunakan spesimen
serum, urin, humor aqueous, cairan serebrospinal, dan
jaringan biopsi.
G. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi dari leptospirosis, diantaranya adalah
gagal ginjal akut (95% dari kasus), gagal hepar akut (72% dari kasus),
gangguan respirasi akut (38% dari kasus), gangguan kardiovaskuler
akut (33% dari kasus), dan pankreatitis akut (25% dari kasus)
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita leptospirosis adalah:
1. Gagal ginjal akut.
Gagal ginjal akut yang ditandai dengan oliguria atau poliuria
dapat timbul 4-10 hari setelah gejala leptospirosis terlihat.
Terjadinya gagal ginjal akut pada penderita leptospirosis melalui
3 mekanisme, yaitu Invasi/ nefrotoksik langsung dari leptospira,
Reaksi imunologi, dan Reaksi non spesifik terhadap infeksi
seperti infeksi yang lain.
2. Gagal hepar akut
Di hepar terjadi nekrosis sentrilobuler fokal dengan proliferasi
sel Kupfer disertai kolestasis. Terjadinya ikterik pada
leptospirosis disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena
kerusakan sel hati, gangguan fungsi ginjal yang akan
menurunkan ekskresi bilirubin sehingga meningkatkan kadar
bilirubin darah, terjadinya perdarahan pada jaringan dan
hemolisis intravaskuler akan meningkatkan kadar bilirubin,
proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intra hepatik.
3. Gangguan respirasi dan perdarahan paru
Adanya keterlibatan paru biasanya ditandai dengan gejala yang
bervariasi, diantaranya: batuk, dispnea, dan hemoptisis sampai
dengan Adult Respiratory Distress Syndrome ( ARDS ) dan
Severe Pulmonary Haemorrhage Syndrome ( SPHS ). Paru dapat
mengalami perdarahan dimana patogenesisnya belum diketahui
secara pasti. Perdarahan paru terjadi diduga karena masuknya
endotoksin secara langsung sehingga menyebabkan kerusakan
kapiler dan terjadi perdarahan. Perdarahan terjadi pada pleura,
alveoli, trakeobronkial, kelainan berupa kongesti septum paru,
perdarahn alveoli multifokal, dan infiltrasi sel mononuklear.25
Pada pemeriksaan histologi ditemukan adanya kongesti pada
septum paru, oedem dan perdarahan alveoli multifokal, esudat
fibrin.26 Perdarahan paru dapat menimbulkan kematian pada
penderita leptospirosis.
4. Gangguan kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa
gangguan sistem konduksi, miokarditis, perikarditis,
endokarditis, dan arteritis koroner. Manifestasi dari gangguan
kardiovaskuler ini sangat bervariasi dari tanpa keluhan sampai
bentuk yang berat berupa gagal jantung kongestif yang fatal.
Selama fase septikemia, terjadi migrasi bakteri, endotoksin,
produk enzim atau antigen karena lisisnya bakteri, akan
meningkatkan permeabilitas endotel dan memberikan
manifestasi awal penyakit vaskuler.
5. Pankreatitis akut
Sebenarnya pankreatitis akut adalah komplikasi yang jarang
ditemui pada pasien leptospirosis berat. Pankreatitis terjadi
karena adanya nekrosis dari sel-sel pankreas akibat infeksi
bakteri leptospira (acute necrotizing pancreatitis). Selain itu,
terjadinya pankreatitis akut pada leptospirosis bisa disebabkan
karena komplikasi dari gagalnya organ-organ tubuh yang lain
(multiple organ failure), syok septik, dan anemia berat (severe
anemia).
H. Penatalaksanaan
Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat
selflimited disease dan sulit dikonfirmasi pada awal infeksi.
Pengobatan harus dimulai segera pada fase awal penyakit.20 Secara
teori, Leptospira sp. adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap
antibiotik.
Tabel .3 : Manajemen kasus dan kemoprofilaksis leptospirosis
berdasarkan Kriteria Diagnosis WHO SEARO 2009

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus


leptospirosis adalah segera merujuk penderita leptospirosis bila adanya
indikasi pada disfungsi organ ginjal, hepar, paru, terjadi perdarahan
dan gangguan saraf.
I. Prognosis
Prognosis umumnya baik dan pasien dapat sembuh total dari
leptospirosis. Pada beberapa pasien, pemulihan dapat berlangsung
berbulan-bulan, bahkan bertahuntahun. Pada anak angka kematian
lebih rendah dibandingkan dewasa. Gejala sisa mungkin terjadi,
termasuk kelelahan kronis dan gejala neuropsikiatri lainnya seperti
sakit kepala, paresis, kelumpuhan, perubahan suasana hati, dan
depresi. Sekitar sepertiga kasus yang menderita meningitis aseptik
dapat mengalami nyeri kepala periodik. Beberapa pasien dengan
riwayat uveitis leptospirosis mengalami kehilangan ketajaman
penglihatan dan pandangan yang kabur. Leptospirosis selama
kehamilan dapat menyebabkan kematian janin, aborsi, atau lahir mati.
Tingkat fatalitas kasus di berbagai belahan dunia telah dilaporkan
berkisar dari <5%-30%. Angka ini tidak terlalu dapat dipercaya karena
di banyak daerah terjadinya penyakit ini tidak terdokumentasi dengan
baik. Selain itu, kasus ringan mungkin tidak terdiagnosis sebagai
leptospirosis. Penyebab penting kematian termasuk gagal ginjal, gagal
jantung-paru, dan perdarahan luas. Gagal hati jarang menjadi
penyebab, meskipun timbul ikterik. Perbaikan prognosis leptospirosis
berat akhir-akhir ini terjadi karena penggunaan hemodialisis sebagai
sarana penunjang gagal ginjal reversibel yang mungkin terjadi dalam
beberapa kasus dan diberikannya perawatan suportif yang agresif.
J. Pencegahan
Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan
hasil studi faktor-faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu
pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan
pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah bagaimana agar
orang sehat sebagai sasaran bisa terhindar dari leptospirosis, sehingga
kegiatannya bersifat promotif, termasuk disini proteksi spesifik dengan
cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder yang sasarannya
adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang
tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan
kematian.
Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar
tidak terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi:
 Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi
Para pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira,
misalnya pekerja irigasi, petani, pekerja laboratorium, dokter
hewan, harus memakai pakaian khusus yang dapat melindungi
kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi leptospira.
Misalnya dengan menggunakan sepatu bot, masker, sarung
tangan.
 Melindungi sanitasi air minum penduduk
Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik,
dilakukan filtrasi dan deklorinai untuk mencegah invasi
leptospira.
 Pemberian vaksin
Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut,
akan memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai
pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum
imun spesifik telah terbukti melindungi pekerja laboratorium.
Vaksinasi terhadap hewan peliharaan efektif untuk mencegah
leptospirosis.
 Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis
 Pengendalian hospes perantara leptospira
Roden yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adalah
tikus. Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti
penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan
bahan rodentisida, dan menggunakan predator roden
 Usaha promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan
dengan cara edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah
yang lain mempunyai serovar dan epidemi leptospirosis yang
berbeda. Untuk mendukung usaha promotif ini diperlukan
peningkatan kerja antar sektor yang dikoordinasikan oleh tim
penyuluhan kesehatan masyarakat Dinas Kesehatan setempat.

Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap


pasien yang didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang
menguntungkan dalam pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak
tergantung pada subgrup maupun serotipe leptospira. Untuk
pengobatan Leptospirosis ringan (mild illness/ suspect case) dapat
menggunakan Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 hari;
atau Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari.
Sedangkan untuk Leptospirosis berat (severe case/ probable case)
dapat menggunakan Injeksi Penicillin G 2 juta unit IV / 6 jam selama 7
hari; Injeksi Ceftrioxine 1 gr IV/ hari selama 7 hari.

Pengelolaan secara umum penderita leptospirosis sama dengan


penyakit sistemik akut yang lain. Rasa sakit diobati dengan analgetika,
gelisah, dan cemas dikendalikan dengan sedatif, demam diberi
antipiretik, jika terjadi kejang pemberian sesuai dengan keparahan
penyakit dan komplikasi yang timbul.

6. Bagaimana pencegahan dari Diagnosis Sementara?

Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu


pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier

A. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah tahap awal dari ketiga tahap pencegahan


suatu penyakit. Pada tahap ini dilakukan penyuluhan dan proteksi spesifik
untuk mengendalikan penyakit yang bersangkutan..
Indonesia adalah Negara yang mempunyai program tersendiri untuk
mengendalikan penyakit Demam Berdarah Dengue. Program itu bernama
Gerttak PSN (Gerakan Seretak Pembasmian Sarang Nyamuk). Mengingat
keterbatasan dana dan sarana yang dimiliki oleh Negara, maka kegiatan
penyuluhan dan penggerakkan masyarakat dalam PSN Demam Berdarah
Dengue dilaksanakan melalui kerja sama lintas sektor serta lintas
program, termasuk LSM yang terkait penyuluhan, bimbingan dan
motivasi kepada masyarakat. Kegiatan ini bertujuan untuk mewujudkan
kemandirian masyarakat dalam mencegah penyakit demam berdarah
dengue.

Dalam rangka peningkatan penggerakkan masyarakat dalam PSN


Demam Berdarah Dengue secara intensif, pemerintah juga melakukan
pembinaan dan pemantapan terhadap Pokjanal/Pokja Demarn Berdarah
Dengue melalui orientasi secara berjenjang, dengan memperioritaskan
Kecamatan endemis Demam Berdarah Dengue.

Tidak hanya PSN, pemerintah melalui Dinas Kesehatan juga


mempunyai tim khusus dalam bidang Surveilans DBD. Tim dengan
lambing sepatu bolong ini akan selalu siap untuk turun ke lapangan untuk
memperoleh data yang diinginkan. Surveilans untuk nyamuk Aedes
aegypti ini sangat penting untuk menentukan distribusi, kepadatan
populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat
yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau
kekebalan insektisida yang dipakai untuk memprioritaskan wilayah dan
musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan
memudahkan pemilihan dan 10 penggunaan sebagian besar peralatan
pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya.
Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik.
Selain penyuluhan dan surveilans, pemerintah juga mempunyai satu
program yang diberi nama fogging. Fogging atau pengasapan ini
dilakukan untuk memberantas nyamuk dewasa. Penyemprotan ini
dilakukan dengan manggunakan zat kimia berupa pestisida. Untuk
membasmi penularan virus dengue, penyemprotan dilakukan 2 siklus
dengan interval 1 minggu. Pada penyemprotan siklus pertama, semua
nyamuk yang mengandung virus dengue dan nyamuknyamuk lainnya
akan mati. Tetapi akan segera muncul nyamuk-nyamuk baru yang
diantaranya akan menghisap darah pada penderita viremia (pasien yang
positif terinfeksi DBD) yang masih dapat menimbulkan terjadinya
penularan kembali, oleh karena itu perlu dilakukan penyemprotan yang
kedua agar nyamuk baru yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum
sempat menularkan pada orang lain. Tindakan penyemprotan dapat
membasmi penularan akan tetapi tindakan ini harus diikuti dengan
pemberantasan terhadap jentiknya agar populasi nyamuk penular dapat
diminimalisir.

B. Pencegahan Sekunder

Pencegahan tingkat kedua ini murupakan upaya manusia untuk


mencegah orang yang sakit agar sembuh, menghambat progresifitas
penyakit, menghindarkan komplikasi dan mengurangi ketidakmampuan.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit
secara dini dan pengadaan pengobatan yang cepat dan tepat.

Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan


oleh petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara :

 Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD,


berikan pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres
dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak mengandung
asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan
kesehatan.
 Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan
pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segaera melaporkan
penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada
Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan
segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan
penyakit dilokasi penderita 11 dan rumah disekitarnya untuk
mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
 Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan
kejadianluar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan
Kota/Kabupaten, disertai dengan cara penanggulangan seperlunya
diagnosis laboratorium.
C. Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan


mengadakan rehabilitasi.

Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan :

1) Transfusi Darah

Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis


dan malena diindikasikan untuk mendapatkan transfusi darah
secepatnya.

2) Stratifikasi Daerah Rawan DBD

Menurut Kemenkes RI, adapun jenis kegiatan yang dilakukan


disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan seperti :

 Endemis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu
ada kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah fogging
Sebelum Musim Penularan (SMP), Abatisasi selektif, dan
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.

 Sporadis

Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada


kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik
Berkala (PJB), PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan 3M,
penyuluhan tetap dilakukan.

 Potensial

Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak


ada kasus DBD. Tetapi penduduknya padat, mempunyai
hubungan transportasi dengan wilayah lain dan persentase rumah
yang ditemukan jentik > 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah
PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.

 Bebas

Yaitu Kecamatan, Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD.


Ketinggian dari permukaan air laut > 1000 meter dan persentase
rumah yang ditemukan jentik ≤ 5%. Kegiatan yang dilakukan
adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.
DAFTAR PUSTAKA

ADLER, B., S. FAINE and L.M. GORDON. 1981. The EnzymeLinked


Immunosorbent Assay (ELISA) as a serological test for detecting antibodies
against Leplospira interrogans serovar hardjo in sheep. Aus. Vet. J. 57: 414-417

American Academy of Pediatrics. Leptospirosis. Dalam: Pickering LK, penyuinting.


Redbook: Report of The Committee on Infectious Disease. 25th ed. Elk Grove
Village, Il: American Academy of Pediatrics; 2000:h. 3702..

Bayer Public Health. 2018. Available at:


https://www.publichealth.bayer.com/diseases/chikungunya

Candra, Aryu. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, pathogenesis dan


Faktor Risiko Penularan. Vol 2 Hal 110. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro

Cita, YP. 2011. BAKTERI SALMONELLA TYPHI DAN DEMAM TIFOID.


Jakarta: STIKes Istara Nusantara

Darmawati, S. 2009. KEANEKARAGAMAN GENETIK Salmonella typhi.


Semarang: Analisis Kesehatan FIKKES UNMUS

Depkes RI. 2004. Tatalaksanam Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Direktorat


Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta.

Dinas Kesehatan Profinsi Sulawesi Tenggara. 2017. Profil Kesehatan Sulawesi


Tenggara Tahun 2016. Data dan Informasi Dinas Kesehatan Profinsi Sulawesi
Tenggara. Kendari.
Garcia LS, Isenberg HD. Clinical Microbiology Procedures (3rd ed). Washington
DC: ASM Press, 2010.

GERRITSEN, M.J., M.J. KOOPMANS, T.C.E.M. DEKKER, M.C.M. DE JONG, A.


MOERMAN and T. OLYHOCK. 1994. Effective treatment with
dihydrostreptomycin of naturally infected cows shedding Leptospira
interrogans serovar hardjo subtype hardjobovis. Am. J. Vet. Res. 55(3): 339-
343.

Harjanti, T., Arif, M., 2015, Keterampilan Klinik Sistem Hematologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin 2015

Kementrian Kesehatan RI. 2016. Kendalikan Demam Berdarah Dengue dengan PSN
3M Plus. www.depkes.go.id. 21 Mei 2018 (22:10)

Maha M S, Puspandari N, Subangkit. 2017. “Dominasi Virus Chikungunya


Genotipee Asia di Indonesia”. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol 6(1) :
21-28

NAZIR, H. 2005. Diagnosis klinis dan penatalaksanaan leptospirosis. Disampaikan


pada Workshop dan Training Penanggulangan Leptospirosis bagi Dokter
Puskesmas di Propinsi DKI Jakarta, Bapelkes Depkes Cilandak,29 Maret2005.

Purba, IE. 2016. Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia : tantangan dan
peluang. Medan: Media Litbangkes

Restuastuti T, Yuliawati, Lesmana S D. 2011. “Hubungan Antara Pengetahuan dan


Sikap Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Chikungunya pada Keluarga di
Desa Kepenuhan Timur , Kec. Kepenuhan, Kab.Rokan Hulu, Propinsi Riau”.
Jurnal Ilmu Kedokteran. Vol 5(1) : Hal. 41-48.
Referensi: Julia Fitriany , Ahmad Sabiq. 2018. Malaria. Pediatrics,Faculty of
Medicine, Malikussaleh University, Uteunkot, Lhokseumawe, 24352, Indonesia

Roespandi, H., 2009, Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: World
Health Organization

Sari I M. 2015. Faktor yang berhubungan dengan Kejadian chikungunya di wilayah


kerja Puskesmas luwunggede kecamatan Tanjung kabupaten brebes. Skripsi.
Semarang

Setadi B, Setiawan A, Effendi D. Leptospirosis. Sari pediatri. 2013;15: 163-7

Septarini, W. N. 2017. Modul Metode Pengendalian Penyakit Menular, Penyakit


yang Ditularkan melalui Vektor. Program Studi Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana: Bali.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing

Setiati, S dkk.2015, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta :
Internal Publishing

Soedarma SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH. Leptospirosis. In: Soedarma SP,
Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH, editors. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis (2nd ed). Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2008; p. 364-9.

Sutejo, I.R., Wulandari, P., Sudarmanto, Y., 2016, Modul Keterampilan Klinik Dasar
Blok 5 Pemeriksaan Fisik Dasar dan BLS, Fakultas Kedokteran Universitas
Jember 2016

Suriptiastuti. 2007. Re-emergensi chikungunyah: epidemiologi dan peran vektor pada


penyebaran penyakit. Universa Medicina. Vol 26 (2).
Sygo, J., 2009, Kehidupan di Bawah Tekanan, National Post,
http://www.nationalpost.com/life/health/story.html?id=1270676 (diakses tanggal:
9 februari 2009)

Teuku Romi Imansyah Putra. Malaria dan Permasalahannya. JURNAL


KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 11 Nomor 2 Agustus 2011

Anda mungkin juga menyukai