RINGKASAN SKRIPSI
DISUSUN OLEH :
NAMA : DHENNIE INDRA ISWORO
NIM : 03/166254/SP/20238
JURUSAN SOSIOLOGI
i
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi berjudul :
MEKANISME SURVIVAL STRATEGY NELAYAN KURSIN
DALAM UPAYA PEMENUHAN KEBUTUHAN KELUARGA
Oleh
DHENNIE INDRA ISWORO
NIM : 03/166254/SP/20238
Dosen Pembimbing
Tim Penguji
ii
SURAT PERNYATAAN
No Mahasiswa : 03/166254/SP/20238
Jurusan : Sosiologi
Angkatan : 2003
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya tidak terdapat karya
Tinggi dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh pihak lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah itu dan
Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,,,, kata pertama yang terbentuk dalam hati dan jiwa ketika
tersusun dan selesainya karya ini. Tanpa hidayah dan kekuatan dari Allah SWT,
tugas ini tidak akan mencapai tahap akhir. Setelah bertahun-tahun akhirnya skripsi
yang mayoritas bekerja sebagai nelayan. Masyarakat nelayan selama ini masih
garis pantai terpanjang di dunia. Hal inilah yang mendorong penulis untuk
KELUARGA ini masih sangat sederhana dan sarat dengan cela, namun begitu
karya ini adalah bagian dari usaha yang pernah dilakukan oleh penulis. Untuk
itu penulis terbuka terhadap segala kritik dan masukan dari pembaca semua.
Penulis
iv
HALAMAN MOTTO & PERSEMBAHAN
Bluemoon!!!
You saw me standing alone
Without a dream in my heart
Without a love of my own
Untuk kedua orang tuaku, SAFRUDIN, S.Pd dan ROKHYATI yang selalu
mendukung dan mensuport semua yang tlah aku lakukan
Buat Lik Ibah, um Agus, Um Toni a.k.a Gacon, Um Sarip, Um Sokhi, Um Ci-
u Bapane Erin a.k.a Wawan, Erien, Lala pooh, Nabil, Fariz, Ais, Ecan, m.Zoel
n m.Andi, m.Lia n m.Komar, Fajar, Apip n Dani
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Kedua orang tuaku yang telah memberikan segala fasilitas, suport dan
dorongan bagiku untuk skripsi ini yang sudah bertahun-tahun belum selesai.
Pak Pur dan Pak Andreas yang bersedia menjadi penguji sekaligus
memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini.
Mbak Sri, Pak Yadi, mas Rudi yang membantu dalam proses administrasi.
Anak-anak SLG’03 atas persahabatan yang telah dan selalu terjalin antara
kita. Dewi, n anunk buat pinjeman bukune, mizoe buat fotocopian materi
kuliah, onedha, arun, esti, hanoe, damar, dani, junot, eno, maryam, debby,
selly, reno, eno, gundhi, simbah, rosyid, hendra, yosep, insan, asdos, riza,
galih, edo, wahyu, ovik, dinda, rizman, mustangin, izzah, germo, rio, iyok,
tegar, dodot, supri, maya, nadya, tutut, anto, manda, gusto, ria, irfan, rezka,
novi, hafidz, haris, kiki, rohmi, denta, fit-chan, kemed, noplenx, amrik,
berry, citra, yuki, hilda. U’r all the Best, kapan ngumpul meneh?
Temen2 KKN @siandong, Aish, Iyuth, C-poet, ina, dara, rini, elly, nana,
yandi, andi, nanda.
Anak” Gama Cendekia, Sintesa, JMF, & MCFC INA - Yogya, be FIGHT!
Pendhega KM. Sri Jasuma Jaya, kang Apeh dkk. & Pendhega KM. Kawan
Baru, Ucup, kang Darso, dkk.
Untuk rekan-rekan guru di SD Muhammadiyah Kemantran n santri”
kelas 3 yang pinter-pinter, plus mbedude poll.
vi
DAFTAR ISI
vii
2.2.3 Nelayan Cumi ................................................................................. 21
2.2.4 Nelayan Pancing / Krawe ................................................................ 22
2.2.5 Nelayan Gemplo ............................................................................. 22
2.2.6 Nelayan Purse seine / Pursin / Kursin ............................................. 23
2.3 Kelembagaan Masyarakat Nelayan di Desa Bongkok ................................ 24
viii
ABSTRAKSI
Penulis memakai beberapa metode yang dinilai relevan untuk menggali data,
menganalisis dan menarik sebuah kesimpulan dari persoalan tersebut melalui
Observasi Partisipatoris. Unit analisis yang peneliti ambil adalah kelompok
nelayan kursin di desa Bongkok dalam satu kapal purse seine. Sebagai
pembanding peneliti meneliti dua kelompok kapal kursin, yaitu kapal kursin yang
menggunakan freezer untuk mengawetkan ikan dan kapal kursin yang
menggunakan media es batu sebagai pengawet hasil tangkapan. Dari kedua kapal
ini penulis berusaha mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dengan cara
wawancara, observasi, dan dokumentasi, kemudian dianalisis dengan cara
deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis deskriptif
yang bersifat eksploratif yaitu menggambarkan keadaan atau fenomena.
Dari data yang ada terlihat bahwa struktur dan hubungan antara nelayan kursin
dengan tauke lebih bersifat vertikal dan kaku dalam ikatan profesional kerja.
Nelayan kursin menerapkan pola nafkah ganda dalam pemenuhan kebutuhan
keluarga, yaitu dalam sektor produksi berupa optimalisasi kerja nelayan seperti;
berpindah unit penangkapan, mamancing, membuat ikan asin dan alang-alang di
samping sektor non-produksi melalui pemanfaatan pranata sosial yang ada dalam
masyarakat. Melalui upaya-upaya yang dilakukan nelayan kursin di desa Bongkok
untuk memenuhi kebutuhan keluarga terlihat bahwa peluang terjadinya mobilitas
sosial merupakan hal yang langka karena keterbatasan akses, sarana, maupun
kemampuan yang mereka miliki.
ix
Glosary
ABK : Anak Buah Kapal, nelayan yang tidak punya jabatan di
kapal
Alang-alang : Meminta sebagian hasil tangkapan kapal
Along : Memperoleh hasil tangkapan yang baik (banyak)
Bagen : Pendapatan dari bagi hasil (bagian)
Balu : Pelampung
Caduk : Sejenis keranjang untuk membantu menaikkan hasil
tangkapan ke atas kapal ketika ngambat
Cekel : Jabatan (di kapal)
Coban : Alat yang digunakan ketika kiteng untuk menambal jala
Cantrang : Alat tangkap sejenis mini trawl (pukat harimau versi kecil)
Dogol : Nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring cantrang /
santrang / mini trawl
Gemplo : Versi kecil dari cantrang
Jegong : Petugas yang bertanggungjawab atas payang dan hasil
tangkapan
Jibatu : Petugas yang bertanggungjawab atas jangkar dan pemberat
Jigidang : Tukang gidang (memerintah dengan tekanan), mandor di
atas kapal
Jremudi : Nahkoda kapal, ketika di laut lebih sering disebut tekong
Juru arus : Petugas yang bertanggungjawab atas rumpon
Juru lampu : Petugas yang bertanggungjawab atas lampu rumpon
Kapal Es-esan : Kapal purse seine yang menggunakan es untuk
mengawetkan hasil tangkapan
Kapal Freezer : Kapal purse seine yang menggunakan refrigator untuk
mengawetkan hasil tangkapan
Kiteng : Memperbaiki/menambal payang
Krawe : Nelayan yang menggunakan alat tangkap utama pancing
x
Mburit : Menata payang untuk dipergunakan kembali sekaligus
membersihkan sisa ikan yang tersangkut setelah proses
penangkapan
Motoris : Petugas yang bertanggungjawab atas mesin kapal
Nelayan Kursin : Nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring purse seine
Ngambat : Proses penarikan jaring/payang untuk menaikkan ikan ke
atas kapal
Ngoyo : Sifat berlebih-lebihan (dalam berusaha), memaksakan diri.
Ngranjing : Berlabuh / mendarat
Nyotek : Masa berlayar pendek, berangkat ketika pertengahan bulan
puasa dan kembali sebelum lebaran.
Palka : Ruangan di bagian depan kapal
Payang : Jala berukuran besar (istilah umum di desa Bongkok)
Pecingan : Angpau, biasanya diberikan oleh yang lebih tinggi
derajatnya (berupa uang)
Pendhega : Nelayan selain jremudi (istilah untuk anak buah di kalangan
nelayan), biasanya digunakan ketika berada di darat.
Petengan : Masa berlayar ketika bulan mati (tidak terbit bulan),
merupakan masa utama untuk mengadakan penangkapan
ikan karena ikan lebih mudah terkumpul oleh lampu kapal.
Potasi : Perbekalan kapal ketika berlayar
Pratok : Juru masak
Resing : Menata ikan di palka setelah dibekukan dengan refrigator
pada kapal freezer
Rumpon : Pemikat ikan
Sangu : Uang saku, sekaligus sebagai uang ikatan kerja bagi
pendhega.
Serep : Wakil Nahkoda
Sopek : Perahu nelayan yang menggunakan motor tempel (biasanya
digunakan oleh nelayan tradisional)
Tauke : Pemilik kapal / juragan
Tawur : Proses menebar jaring/payang ke laut
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara maritim yang mempunyai garis pantai
terpanjang di dunia. Potensi perikanan laut Indonesia yang terdiri atas potensi
perikanan pelagis dan perikanan demersal tersebar pada hampir semua bagian
perairan di Indonesia yang ada, seperti pada perairan laut teritorial, perairan laut
nusantara dan perairan laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Luas perairan laut
Indonesia diperkirakan seluas 5,8 juta km2 dengan garis pantai terpanjang di dunia
sepanjang 81.000 km dan gugusan pulau-pulau sebanyak 17.508 buah,
mempunyai potensi ikan yang diperkirakan mencapai 6,26 juta ton per tahun yang
dapat dikelola secara lestari dengan rincian 4,4 juta ton dapat ditangkap di
perairan Indonesia dan 1,86 juta ton dapat diperoleh di perairan ZEEI.
Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia ini walaupun telah mengalami
berbagai peningkatan pada beberapa aspek, namun secara signifikan belum dapat
memberi kekuatan dan peran yang lebih kuat terhadap pertumbuhan
perekonomian dan peningkatan pendapatan masyarakat nelayan Indonesia1.
Dari 67.439 desa di Indonesia, kurang lebih 9.261 desa dikategorikan
sebagai desa pesisir, yang sebagian besar penduduknya miskin. Desa-desa pesisir
adalah kantong-kantong kemiskinan struktural yang potensial. Kesulitan
mengatasi masalah kemiskinan di desa-desa pesisir telah menjadikan penduduk di
kawasan itu menanggung beban kehidupan yang tidak dapat dipastikan kapan
masa berakhirnya. Kerawanan di bidang sosial-ekonomi dapat menjadi lahan
subur bagi timbulnya kerawanan-kerawanan di bidang kehidupan yang lain2.
Sejak krisis mulai merambah ke berbagai wilayah pada pertengahan tahun
1997, kelompok nelayan3 boleh dibilang adalah kelompok masyarakat pesisir
1
www.walhi.co.id
2
Subing dalam Kusnadi : 2002
3
Sebagaimana didefinisikan oleh Dirjen Perikanan, Departemen Pertanian (1988), yang disebut
sebagai nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi
penangkapan binatang dan tanaman air dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk
dijual. Orang yang melakukan pekerjaan seperti membuat perahu, jaring, mengangkut alat
tangkap serta perlengkapannya ke perahu/kapal, dan mengangkut ikan, tidak termasuk sebagai
1
yang paling menderita dan merupakan korban pertama dari perubahan situasi
sosial ekonomi yang terkesan tiba-tiba, namun berkepanjangan. Bisa
dibayangkan, apa yang dapat dilakukan nelayan untuk bertahan dan
melangsungkan kehidupannya, jika dari hari ke hari potensi ikan di laut semakin
langka karena cara penangkapan yang berlebihan.
Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup di kalangan nelayan,
telah menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi atau
ketimpangan pendapatan merupakan masalah krusial yang dihadapi dan tidak
mudah untuk diatasi (Kusnadi:2002:26-27). Di berbagai daerah, modernisasi
perikanan selain menyebabkan terjadinya proses marginalisasi nelayan tradisional
dan nelayan kecil, kebijakan ini juga telah mendorong timbulnya situasi
overfishing di sejumlah kawasan perairan.
Keadaan alam juga sangat berpengaruh terhadap kondisi ekonomi nelayan.
Kondisi cuaca yang tidak menentu berpengaruh pada jumlah perolehan nelayan
ketika berlayar. Ombak yang tinggi terkadang tidak memungkinkan nelayan untuk
berlayar. Hal ini berdampak langsung terhadap kemampuan pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari rumah tangga nelayan.
Musim ikan yang tidak berlangsung sepanjang tahun menyebabkan
penghasilan yang didapatkan oleh rumah tangga nelayan juga fluktuatif. Ketika
musim ikan, yang biasanya berlangsung selama empat bulan antara Mei sampai
Agustus, mereka bisa memperoleh hasil tangkapan yang cukup. Sedangkan di saat
lain, khususnya pada musim pembarat atau paceklik, hasil yang didapat tidak
seberapa. Dalam masa-masa sepi penghasilan biasanya istri dan anak-anak
keluarga nelayan harus ikut berjuang keras mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga dengan melakukan segala pekerjaan yang dapat
mendatangkan penghasilan.
Demikian juga yang terjadi pada kelompok-kelompok nelayan di desa
Bongkok kecamatan Kramat kabupaten Tegal, khususnya kelompok nelayan
purse seine atau lebih sering disebut pursin atau kursin. Dalam penulisan
nelayan. Semikian juga istri, anak dan anggota keluarga yang lain tidak termasuk sebagai
nelayan.
2
selanjutnya nelayan purse seine peneliti sebut dengan istilah nelayan kursin
sebagaimana penyebutan masyarakat nelayan di desa Bongkok. Desa Bongkok
merupakan sebuah desa di kabupaten Tegal bagian utara yang daerahnya
berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Meskipun demikian, desa Bongkok tidak
termasuk sebagai desa pesisir, karena daerah pantai hanya digunakan untuk
tambak dan kebun saja. Walaupun sebagian besar penduduk desa Bongkok
bekerja sebagai nelayan, akan tetapi desa Bongkok sendiri termasuk daerah
agraris karena wilayah pertaniannya cukup luas.
Nelayan kursin merupakan kelompok nelayan yang paling banyak terdapat
di desa Bongkok. Nelayan kursin tergolong sebagai nelayan modern apabila
dilihat dari alat tangkap yang digunakan, yaitu alat tangkap sejenis pukat cincin
yang bernama purse seine. Ciri yang paling menonjol dari alat tangkap jenis ini
adalah adanya cincin pengerut, yang berfungsi sebagai pemberat sekaligus
pengerut bagian bawah jaring sehingga jaring akan berbentuk kantong ketika
menangkap ikan.
Sebagian besar nelayan di desa Bongkok bekerja pada unit penangkapan
ikan menggunakan kapal purse seine. Hal ini disebabkan karena sistem kerja pada
kapal purse seine tidak terlalu sulit, bahkan yang baru pertama kali berlayar dapat
langsung bekerja dan mampu untuk mengikuti sistem kerjanya. Dari segi jam
kerja sendiri, dalam satu hari kegiatan aktif penangkapan ikan hanya 5 – 7 jam
sehari, itupun dalam dua kali penangkapan. Pada kapal purse seine waktu yang
diperlukan dalam proses penangkapan ikan berkisar antara 3 – 4 jam saja,
sehingga banyak waktu luang yang dimiliki nelayan kursin untuk mengerjakan hal
lain, entah memperbaiki jaring atau memancing ikan maupun cumi-cumi yang
hasilnya menjadi milik pribadi sehingga potensi penghasilan yang bisa didapatkan
oleh nelayan juga cukup besar. Selain itu penghasilan yang didapat dari bagi hasil
merupakan pendapatan bersih. Untuk biaya perjalanan dan konsumsi selama
berlayar menjadi tanggungan pemilik kapal, bahkan apabila kapal mereka
berlabuh di Jakarta, biaya perjalanan dari Tegal ke Jakarta juga ditanggung
pemilik kapal. Dari sekitar 60 orang nahkoda/jurumudi yang ada di desa
Bongkok, sebagian besar merupakan nahkoda kapal purse seine. Hal ini
3
menjadikan pendhega dari desa Bongkok yang lebih memilih untuk ikut bekerja
di kapal mereka karena adanya kedekatan personal.
Meskipun nelayan kursin merupakan kelompok nelayan di desa Bongkok
yang sudah modern secara alat tangkap, akan tetapi hal tersebut tidak berpengaruh
banyak terhadap tingkat perekonomian sebagian besar di antara mereka karena
semua nelayan kursin yang ada di desa Bongkok merupakan nelayan buruh4,
sehingga perbedaan atau stratifikasi masyarakat nelayan secara ekonomi
tergantung pada posisi mereka dalam kapal maupun kegiatan ekonomi anggota
keluarga lain di rumah. Hal ini terkait dengan sistem bagi hasil yang ada. Secara
umum perbedaan yang paling menonjol adalah Jremudi (jurumudi/nahkoda) yang
sering juga disebut tekong dengan nelayan biasa atau pendhega. Jremudi dianggap
sebagai golongan yang lebih karena penghasilannya lebih besar daripada
pendhega.
Ketimpangan pendapatan yang diperoleh nelayan, yaitu antara jremudi
dengan pendhega menjadikan usaha-usaha yang dilakukan nelayan kursin untuk
memenuhi kebutuhan keluarga juga berbeda. Tuntutan kebutuhan ekonomi
keluarga nelayan menjadikan nelayan kursin harus mampu memperoleh
pendapatan tidak hanya dari bagi hasil semata. Perbedaan status dalam kelompok
nelayan terkadang menjadi beban tambahan pada kebutuhan ekonomi keluarga.
Dari hal tersebut di atas terlihat bahwa relasi sosial masyarakat yang pada
awalnya berperan positif dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, lambat-
laun justru menjadi tambahan beban ekonomi keluarga pada masyarakat nelayan
khususnya keluarga pendhega kursin. Hal ini terutama diakibatkan oleh ketidak-
pastian pendapatan keluarga nelayan karena tergantung pada hasil tangkapan
nelayan setiap bulannya. Ditambah lagi keterbatasan sosial ekonomi keluarga
4
Nelayan buruh, kelompok nelayan yang tidak memiliki alat tangkap sendiri, melainkan memakai
alat tangkap milik orang lain dan mereka menggunakannya dengan perjanjian tertentu pula. Di
berbagai daerah, istilah lokal untuk menyebut kategori sosial nelayan buruh cukup beragam. Di
kalangan masyarakat nelayan Bugis-Makassar disebut Sawi, di pesisir timur Jambi disebut
kelasi, dalam masyarakat Sunda/Jawa disebut dengan Bendhega/Pandhega/Pendhega dan
dalam masyarakat Madura disebut pandhiga. Di desa Bongkok, kelompok nelayan buruh
disebut pendhega. Sedangkan pemilik kapal/pemilik perahu disebut tauke/toke, khususnya
pemilik kapal modern. Sebagian besar pemilik kapal yang diawaki pendhega dari desa Bongkok
adalah cukong Jakarta.
4
pendhega yang berbeda sehingga akan terlihat pula perbedaan cara mereka untuk
bertahan (survival strategy) maupun strategi adaptasi yang mereka lakukan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
Kondisi ini menjadikan sebuah ketertarikan tersendiri bagi penulis untuk
mencoba mempelajari relasi sosial ekonomi nelayan serta mekanisme survival
strategi nelayan di desa Bongkok kecamatan Kramat kabupaten Tegal, khususnya
pada kelompok nelayan kursin untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
5
menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam
menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab
persoalan-persoalan tersebut. Dari rumusan ini terkandung pengertian bahwa
dalam satu paradigma tertentu terdapat kesamaan pandangan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan dari cabang ilmu itu serta kesamaan metode serta
instrumen yang dipergunakan sebagai peralatan analisa.
Paradigma yang dipandang paling cocok untuk konteks penelitian ini adalah
paradigma definisi sosial. Dengan mengacu pada pemikiran Weber yang
berpendapat bahwa struktur sosial dan pranata sosial adalah dua hal yang tidak
terpisah, maka dapat diambil pengertian bahwa aspek kedirian manusia menjadi
aspek yang sangat penting dalam upaya memahami realitas sosial. Paradigma ini
meyakini bahwa setiap tindakan manusia memiliki arti atau makna tertentu yang
bisa ditafsirkan. Perkembangan dari suatu hubungan sosial dapat pula diterangkan
melalui tujuan-tujuan dari manusia yang melakukan hubungan sosial itu dimana
ketika ia mengambil manfaat dari tindakannya tersebut.
Manusia pada dasarnya terbentuk dari lingkungan mereka tinggal. Pada
masyarakat tradisional, mereka masih tergantung pada kondisi alam yang ada.
akan tetapi perubahan alam terkadang menimbulkan kemajuan pada masyarakat
karena adanya usaha dari manusia untuk menundukkan alam.
Bisa dikatakan bahwa adaptasi dengan alam akan membentuk teknologi
budaya dan secara derifatif juga menciptakan komponen sosial berikut perangkat
ideologisnya. Tapi adaptasi dengan budaya-budaya lain bisa membentuk
masyarakat dan teknologi yang pada gilirannya bertindak berdasarkan teknologi
dan menentukan masa depannya. Keseluruhan akibat proses proses adaptatif ini
adalah produksi suatu keutuhan budaya yang terorganisir, suatu teknologi terpadu,
masyarakat dan ideologi, yang berhadapan dengan pengaruh selektif ganda alam
di satu pihak dan di pihak lain dampak budaya-budaya luar.( Harding dalam
Nasikun : 1995)
Seperti dikatakan oleh Nasikun, bahwa pada dasarnya masyarakat
terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu, suatu general agreement yang memiliki daya mengatasi
6
perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota
masyarakat. Masyarakat adalah suatu sistem yang secara fungsional
terintegrasikan ke dalam suatu bentuk equilibrium. yang di dalamnya terdapat
suatu pelapisan-pelapisan yang membedakan kedudukan dari masing-masing
anggota masyarakat tersebut (Nasikun:1995). Dalam penelitian ini peneliti
berangkat dari dua macam teori, yaitu;
a. A G I L
Parsons dalam karyanya The Social System melihat bahwa dalam suatu
sistem sosial, berbagai struktur pada dasarnya saling mendukung dan
cenderung menuju pada keseimbangan dinamis. Parsons memandang aktor
lebih dilihat dari status peran yang dimilikinya. Status mengacu pada posisi
struktural dalam sistem sosial. Peran adalah apa yang dilakukan aktor pada
posisinya itu, dilihat dalam konteks signifikansi fungsionalnya untuk sistem
yang lebih luas (Ritzer & Goodman : 2003).
Agar sebuah masyarakat stabil bisa tetap eksis, maka beberapa fungsi di
dalamnya harus terjawab, misalnya fungsi adaptasi terhadap lingkungannya
(adaptation) yang menjamin kelangsungan hidup masyarakat tersebut lebih
lama, lalu mengejar tujuan (goal atau sasaran), sebab suatu sistem akan
berfungsi jika diorientasikan menuju ke suatu tujuan; integrasi (integration)
para anggotanya terhadap kelompok; dan akhirnya terpeliharanya model-model
dan norma (pola yang tersembunyi atau latern pattern).
Masing-masing fungsi ini terkait dengan sebuah subsistem. Dalam
perkembangannya subsistem ekonomi bertujuan untuk melakukan adaptasi;
subsistem politik bertugas memberi definisi tujuan akhir; subsistem kultural
(agama,pendidikan) bertugas untuk mendefinisikan dan memelihara norma-
norma dan nilai, dan terakhir subsistem sosial yang berperan sebagai integrasi
sosial pada masyarakat. Setiap subsistem pada gilirannya harus memastikan
keempat fungsi AGIL agar bisa tetap eksis. (Dortier dalam Cabin: 2004)
Keempat masalah fungsional yang mendasar itu tidak dilihat sebagai
tahap-tahap yang memberi dinamika-dinamika kelompok tugas yang kecil,
melainkan sebagai “dinamika-dinamika fundamental dalam ruang tindakan”
7
(fundamental dimensions of action space). Dalam sistem yang lebih besar,
seperti masyarakat keseluruhan, tipe-tipe tindakan yang relevan dengan
keempat persyaratan fungsional ini dapat dilihat sebagai subsistem-subsistem
yang berbeda secara analitis. Dalam dinamika subsistem-subsistem ini terdapat
batas-batas yang melingkupinya, batas-batas pertukaran antar subsistem yang
dapat dilihat dalam diagram berikut:
adaptation goal attainment
8
mengenai objek fisik maupun sosial, termasuk di dalamnya norma-norma
sosial dan nilai-nilai kultural. Proses pelembagaan (institutionalization)
mencakup pelaku-pelaku (actors) yang menyesuaikan tindakan-tindakan
mereka satu sama lain yang memberikan kepuasan timbal-balik dan kalau hal
ini berhasil, tindakan-tindakan ini berkembang menjadi suatu pola mengenai
status-status peranan-suatu struktur peran. Hal-hal ini dapat dilihat dalam
hubungannya dengan harapan-harapan yang dimiliki aktor-aktor tersebut dalam
berhubungan satu sama lain (yakni, dalam tema makna-makna atau simbol-
simbol). Sistem-sistem sosial dan struktur-struktur peranan kadang-kadang
dilihat sebagai hasil dari tindakan sosial dan kadang-kadang sebaliknya, akan
tetapi semuanya mendasar pada hal yang sama, yaitu suatu teori mengenai
pribadi-pribadi yang diturunkan menjadi teori mengenai masyarakat. Dalam
hal ini interaksi simbolik merupakan upaya spesifikasi untuk lebih
mengerucutkan pandangan lebih terfokus pada aktor-aktor pelaku peranan.
Blumer dalam karyanya Symbolic Interactionism : Perfectives and method
mengasumsikan bahwa :
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang
dimiliki benda-benda itu bagi mereka.
2. Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat.
3. Makna-makna dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses
penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya
dengan tanda-tanda yang dihadapinya.
b. DBO Theory
Senada dengan hal di atas, Peter Hudstrom mengemukakan DBO theory
yang yang mempunyai kekuatan untuk menjelaskan sekaligus mempunyai
presisi dalam memberi informasi atas riset sosiologi dan pemahamannya
dimana; Lingkup yang mendasari komponen-komponen DBO adalah aksi dan
interaksi. Dengan kata lain DBO theory adalah penjelasan baru mengenai aksi
dan interaksi. Konsep aksi merujuk pada tindakan yang telah “diniatkan”
dilakukan. Aksi atau tindakan aktor i, dipengaruhi oleh desires, beliefs maupun
opportunities aktor i. Desire adalah keinginan atau kehendak. Belief adalah
9
preposisi mengenai keyakinan yang dipegang sebagai benar. Sementara
Opportunities digambarkan sebagai “menu” bagi alternatif tindakan yang
tersedia bagi aktor. Baik desire maupun belief adalah fenomena mental yang
bisa dikatakan sebagai alasan mengapa aktor melakukan suatu tindakan.5
Demikian juga dalam interaksi dengan aktor lain, reaksi merupakan timbal-
balik dari pengertian antara aktor yang satu dengan aktor yang lain. Dapat kita
gambarkan dalam diagram di bawah ini.
Desires of actor B
dapat lebih mudah dan lebih banyak mengumpulkan data-data primer secara
lebih mendalam. Dalam pengumpulan data ini peneliti ikut berlayar serta
ikut bekerja sebagai pendhega pada kapal purse seine. Unit analisa yang
diteliti adalah kelompok nelayan kursin dalam dua kapal purse seine yang
dinahkodai oleh jremudi yang berasal dari desa Bongkok. Di atas kapal,
5
Widijanto : 2009 dalam http://widijanto.wordpress.com/2009/10/08/dbo-theory/
10
peneliti ikut serta bekerja sebagai ABK dan menjadi bagian dari awak kapal
Pertama kali peneliti ikut berlayar dengan kapal purse seine yang
berlayar selama 10 hari pada pertengahan bulan puasa tahun 2010 atau biasa
disebut dengan istilah “nyotek” oleh nelayan. Nyotek adalah masa berlayar
Pemalang saja, tidak terlalu jauh. Kapal berangkat dari pelabuhan Tegal
Pemalang. Hasil tangkapan juga dibongkar dan dijual di situ karena terdapat
Selain itu peneliti juga ikut berlayar dengan kapal purse seine yang
karena ada sedikit perbedaan dalam sistem kerja dan perhitungan bagi hasil
antara kedua kapal itu. Peneliti berangkat dari pelabuhan Muara Baru –
Muara Baru tanggal 26 Agustus 2011. Selama masa berlayar itu dua kali
guide dan alat perekam, baik audio maupun visual serta field notes.
11
Pengumpulan data juga peneliti lakukan dengan telpon dan SMS apabila
tetapi juga dengan ikut serta berlayar sebagai pendhega dengan kapal
ke rumah.
yaitu:
peneliti ambil.
12
mengumpulkan data-data penelitian karena mereka berkaitan
membantu peneliti dalam menggali data dan dalam hal ini informan
mengenai hal yang diteliti, dalam hal ini yang peneliti jadikan
13
1.6.3 Pengumpulan Data
nelayan kursin yang ada di desa Bongkok. Hal ini peneliti lakukan untuk
14
Dalam analisis ini, yang dilakukan dari awal mula penelitian berbareng
secara lebih khusus dengan meninjau item per item ini untuk mengetahui
bermakna.
proses penelitian. Hasil penelitian ini diolah dan dianalisis secara deskriptif
secara verbal, bukan dalam hitungan statistik. Ada tiga alur kegiatan analisis
yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan
15
membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data dengan cara
naratif. Penyajian data dengan pola sederhana dan valid serta mudah
dipahami.
berlangsung.
16
BAB II
PROFIL DESA BONGKOK DAN USAHA PERIKANAN
6
Monografi Dinamis Desa Bongkok th 2011
17
Kelompok nelayan yang banyak dijumpai di desa Bongkok adalah kelompok
nelayan purse seine, atau sering disebut nelayan pursin atau kursin. Kursin
menjadi pilihan sebagian besar nelayan di desa Bongkok karena sistem dan beban
kerja yang dikerjakan tidak terlalu berat. Jremudi kapal di desa Bongkok kurang
lebih ada 60 orang dan sebagian besar bekerja pada unit penangkapan ikan dengan
menggunakan kapal purse seine7.
Pemanfaatan jaringan keluarga dan hubungan sosial menjadi salah satu upaya
ekonomi keluarga di desa Bongkok. Sebagaimana ketika mengadakan hajatan atau
resepsi, tamu yang datang harus memberikan sumbangan dan dianggap sebagai
hutang yang harus dikembalikan dengan jumlah yang sama apabila dia
mengadakan hajatan pula. Sumbangan bukan lagi merupakan bantuan untuk tuan
rumah, tetapi merupakan hutang yang harus dibayar. Hal ini terkadang mendorong
terjadinya bisnis terselubung ketika hajatan. Yang dihitung ketika selesai
mengadakan hajatan bukanlah biaya yang dikeluarkan ketika mengadakan hajatan,
tetapi keuntungan yang diperoleh dari hasil sumbangan tamu yang hadir.
Hal inilah yang terkadang menjadi beban utama bagi sebagian besar
keluarga yang ada di desa Bongkok. Kesulitan utama mereka bukan untuk
memenuhi kebutuhan pokok mereka, yaitu sandang, pangan dan papan, tetapi
justru untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka.
7
Lihat gambar 1
18
Mayang menjadi pekerjaan bagi sebagian penduduk desa Bongkok
karena hanya membutuhkan tenaga saja tanpa diperlukan ketrampilan khusus
untuk bekerja di sektor ini. Mayang juga menjadi pekerjaan alternatif bagi
anak-anak pada saat libur sekolah, khususnya di wilayah Bongkok bagian
utara yang dekat dengan pantai, yang sebagian besar penduduknya bekerja
sebagai nelayan. Hanya saja yang menjadi masalah, terkadang anak-anak
yang sudah pernah bekerja sebagai nelayan dan merasakan mudahnya
mendapatkan uang menjadi malas untuk melanjutkan sekolah, sehingga
banyak anak yang putus sekolah, meskipun sekarang ini kecenderungan ini
semakin jarang terjadi karena pola pikir masyarakat yang semakin maju.
Mereka lebih memilih untuk bekerja sebagai nelayan daripada menyelesaikan
sekolahnya. Banyak di antara mereka yang beranggapan bahwa tidak perlu
bersekolah tingi-tinggi karena pada akhirnya akan terjun juga ke laut
mengikuti jejak ayah maupun saudara-saudaranya, terutama anak-anak yang
berasal dari keluarga miskin.
Sebagaimana umumnya rumah tangga lain di desa Bongkok, keluarga
nelayan kursin juga tidak terlepas dari interaksi dengan kelompok lain. Pada
masyarakat desa Bongkok, tidak terlihat adanya stratifikasi sosial yang kaku.
Terkadang cukup sulit untuk menempatkan seseorang dalam tingkat
stratifikasi sosial tertentu karena adanya integrasi sosial antar anggota
kelompok masyarakat. Seseorang bisa jadi jika dipandang dari satu sisi
termasuk menempati kedudukan tinggi, tetapi di sisi lain, dia termasuk
kelompok bawah. tetapi secara umum seseorang yang berpengetahuan agama
tinggi menempati status sosial yang tinggi disamping tingkat ekonomi yang
dimilikinya.
Pada masyarakat nelayan di desa Bongkok, posisi seseorang di dalam
kapal sangat berperan penting dalam stratifikasi sosial. Hal ini berhubungan
langsung dengan kondisi ekonomi keluarga. Semakin tinggi jabatan seorang
nelayan di dalam kapal, maka semakin besar pula potensi pendapatan
keluarga yang mereka miliki, dan di sisi lain semakin tinggi juga status sosial
mereka. Meskipun status sosial tertinggi bagi kelompok nelayan adalah
19
jremudi, akan tetapi tidak selalu jremudi dapat menjadi pemuka masyarakat
karena jabatan jremudi merupakan jabatan ekonomi yang kurang
berhubungan dengan masyarakat desa secara langsung. Jabatan sebagai
jremudi hanya terhubung dengan pendhega masing-masing.
Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan
berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial
masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari
konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di
kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai
nelayan. Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar
penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, kebudayaan nelayan
berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat
pesisir secara keseluruhan. Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan
sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman
kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk
menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di
lingkungannya (Keesing, dalam Kusnadi : 2010).
Nelayan kursin di desa Bongkok masih terikat dengan adat kebiasaan dan
kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun di kalangan nelayan.
Kebudayaan Tionghoa juga sedikit berpengaruh dalam masa pelayaran
mereka meskipun apabila ada perbedaan antara perhitungan Tionghoa dan
Jawa, maka yang dilakukan adalah kepercayaan nelayan. Meskipun seluruh
nelayan yang ada di desa Bongkok beragama Islam, akan tetapi sebagian
besar di antara mereka dapat dianggap sebagai kelompok Islam abangan yang
kurang memegang teguh nilai-nilai keislaman. Kepercayaan dan adat nenek
moyang masih menjadi tuntunan mereka ketika melaut.sebagian besar
jremudi mempunyai hubungan dengan “orang pintar” yang akan menghitung
hari-hari baik maupun jam keberangkatan kapal. sesajen dan ritual
keberangkatan kapal merupakan menu wajib yang harus dilakukan oleh
jremudi ketika akan berangkat dari pelabuhan.
20
2.2 PENGELOMPOKAN NELAYAN DI DESA BONGKOK
Di desa Bongkok, pengelompokan nelayan lebih kepada jenis alat
tangkap yang dipakai ketika berlayar. Pada masyarakat nelayan desa
Bongkok dikenal beberapa kelompok nelayan, di antaranya; nelayan
gilnet/longle, nelayan dogol, nelayan cumi, nelayan krawe, nelayan gemplo
dan nelayan kursin.
2.2.1 Nelayan Gilnet / Jaring
Nelayan Gilnet menggunakan alat tangkap yang disebut Gillnet.
Alat tangkap ini berupa jaring lurus/setenda. Gillnet / jaring insang
adalah alat penangkapan ikan berbentuk lembaran jaring empat persegi
panjang, yang mempunyai ukuran mata jaring merata. Lembaran jaring
dilengkapi dengan sejumlah pelampung pada tali ris atas dan sejumlah
pemberat pada tali ris bawah. Daerah operasi nelayan gilnet dari Tegal
umumnya berada di Laut Jawa pada posisi antara 1070 – 1170 BT dan 40
– 50 LU khususnya di daerah berkedalaman lebih dari 25m.
2.2.2 Nelayan Dogol / Cantrang / Santrang
Nelayan dogol menggunakan alat tangkap yang disebut cantrang
atau santrang, dan terkadang disebut juga mini trawl. Alat tangkap ini
beroperasi pada kedalaman 10 – 40m khususnya untuk menangkap
ikan-ikan demersal atau dasar. Daerah operasi nelayan dogol sama
dengan daerah operasi nelayan gilnet, yaitu di Laut Jawa pada posisi
1070 – 1170 BT dan 40 – 50 LU. Kapal cantrang dapat aktif beroperasi
pada malam ataupun siang hari. Sistem kerjanya bersifat aktif, yaitu
dengan cara menebarkan jaring cantrang secara melingkar kemuadian
ditarik dengan kapal. Jaring cantrang menggunakan alat bantu penarik
berupa tali yang disebut slambar/slampad.8
2.2.3 Nelayan Cumi
Nelayan cumi merupakan kelompok nelayan yang khusus berburu
cumi-cumi (Loligo vulgaris). Alat tangkap yang digunakan adalah
8
Lihat gambar 3
21
jaring berukuran besar dengan bantuan lampu cumi dan lampu sorot
(lampu galaksi) untuk memikat cumi-cumi dengan cahayanya. Nelayan
cumi beroperasi pada kedalaman laut 7 – 30m.9 Selain menggunakan
jala, nelayan cumi juga menggunakan pancing untuk memancing cumi-
cumi. Bahkan bagi nelayan cumi, hasil tangkapan utama justru berasal
dari hasil pancingan pribadi.
Pendapatan nelayan cumi berasal dari dua sumber, yaitu dari gaji
harian dan hasil penjualan cumi-cumi dari pancingan pribadi. Nelayan
cumi di Tegal umumnya menerima gaji Rp.16.000,- / hari dari pemilik
kapal. Sedangkan semua hasil pancingan pribadi harus dijual kepada
pemilik kapal dengan harga Rp.3.000,- sampai dengan Rp. 4.000,- per
kilogramnya. Padahal harga cumi-cumi di pasar bisa mencapai Rp.
50.000,- per kilogramnya. Hal ini menjadikan hasil yang diperoleh
nelayan cumi juga terbatas. Mereka tidak bisa menjual hasil pancingan
mereka sendiri ke pasar.
2.2.4 Nelayan Pancing / Krawe
Nelayan pancing atau sering disebut nelayan krawe / ngrawe
merupakan kelompok nelayan yang menggunakan alat tangkap berupa
pancing, baik memakai joran ataupun tidak. Berbeda dengan nelayan
lain yang menggunakan alat tangkap berupa jaring/jala, nelayan
pancing hanya menggunakan pancing dengan bantuan alat bantu
rumpon. Ikan hasil pancingan mereka biasanya adalah ikan tongkol dan
tengiri. Hal ini dikarenakan ikan buruan utama nelayan pancing
merupakan ikan-ikan pelagis yang bergerombol. Nelayan pancing
beroperasi di daerah berkedalaman laut antara 10 – 40m atau sama
dengan nelayan dogol.
2.2.5 Nelayan Gemplo
Gemplo / nggemplo adalah sebutan untuk nelayan tradisional
yang berlayar mencari ikan secara harian, dalam arti setiap hari pulang
ke rumah. Mereka menggunakan alat tangkap jaring gemplo, yaitu versi
9
Lihat gambar 4
22
kecil dari payang. Nelayan gemplo beroperasi dengan perahu kecil atau
sering disebut dengan perahu sopek. Mereka berangkat pada
pertengahan malam dan kembali ke darat pada pagi hari. Ada juga yang
berlayar di siang hari, mereka berangkat setelah subuh dan kembali ke
darat sekitar jam 1 siang. Daerah jelajah mereka juga terbatas di dekat
pantai / daerah pesisir saja. Dalam satu perahu gemplo, umumnya
terdiri dari 1 jremudi dengan 3-7 orang ABK. Biasanya pemilik perahu
sendiri yang menjadi jremudi. Alat tangkap yang mereka gunakan
selain gemplo adalah pancing. Masyarakat nelayan di desa Bongkok
umumnya menjadikan nggemplo sebagai sarana belajar pertama kali
bagi anak-anak nelayan untuk mengenal dunia kelautan. Sebelum
bekerja pada unit penangkapan ikan yang lain, biasanya anak-anak akan
ikut nggemplo untuk membiasakan diri dan melatih kemampuan
mereka bekerja di laut. Semua nelayan di desa Bongkok dapat
dipastikan pernah bekerja sebagai nelayan gemplo. Nelayan yang
bekerja di unit penangkapan lain pun terkadang ikut nggemplo dengan
perahu sopek ketika masa istirahat berlayar.
2.2.6 Nelayan Purse seine / Pursin / Kursin
Nelayan purse seine / pursin / kursin merupakan kelompok
nelayan yang paling banyak terdapat di desa Bongkok. Nelayan kursin
tergolong sebagai nelayan modern apabila dilihat dari alat tangkap yang
digunakan, yaitu alat tangkap sejenis pukat cincin yang bernama purse
seine. Ciri yang paling menonjol dari alat tangkap jenis ini adalah
adanya cincin pengerut, yang berfungsi sebagai pemberat sekaligus
pengerut bagian bawah jaring sehingga jaring akan berbentuk kantong
ketika menangkap ikan.
Selain enam kelompok nelayan di atas, nelayan dari desa Bongkok ada
juga yang bekerja pada unit penangkapan ikan yang penghasilannya diperoleh
berdasarkan gaji bulanan, yaitu nelayan pasporan dan kapal tuna. Nelayan
pasporan umumnya mempunyai kontrak kerja 2 tahun di luar negeri,
sedangkan nelayan tuna hanya 6 bulan dan biasanya beroperasi di perairan
23
Bali. Kedua kelompok nelayan ini terutama berasal dari nelayan terdidik,
seperti lulusan sekolah pelayaran dan perikanan. Di Tegal sendiri terdapat
beberapa sekolah kejuruan yang membuka kelas maritim.
Nelayan di desa Bongkok umumnya tidak bekerja pada unit
penangkapan ikan yang sama terus menerus. Adakalanya mereka berpindah
unit penangkapan ikan atau bekerja pada sektor lain di luar penangkapan
ikan. Di desa Bongkok, pendhega bebas untuk ikut bekerja dengan jremudi
manapun karena ikatan kerja antara pendhega dengan jremudi hanyalah satu
kali masa berlayar saja. Setelah bagi hasil dari satu perjalanan dibagikan,
maka hubungan kerja antara pendhega dan jremudi juga berakhir. Meskipun
demikian adakalanya pendhega akan ikut bekerja dengan jremudi tertentu
karena adanya hubungan personal atau menganggap hasil yang diperoleh
selama ikut jremudi tersebut cukup besar (alongan)10.
10
Along : mendapatkan hasil tangkapan yang memuaskan ketika berlayar
24
kucuran dana dari pusat, yang sebagian besar habis untuk dana operasional
organisasi bukan untukkepentingan nelayan.. HNSI sendiri oleh sebagian
besar nelayan desa Bongkok dianggap tidak bisa mewakili kepentingan
mereka, terlebih kegiatan HNSI lebih tertuju pada kelompok nelayan
tradisional sehingga nelayan yang bekerja pada unit penangkapan modern
kurang diperhatikan. Akibatnya banyak nelayan yang tidak merasa
membutuhkan adanya organisasi nelayan. Mereka cenderung lebih menyukai
kelompok nelayan yang bersifat informal kekeluargaan.
Di desa Bongkok terdapat beberapa perkumpulan nelayan, akan tetapi
hanya bersifat temporer, tanpa ada kepengurusan yang jelas. Perkumpulan
tersebut biasanya terpusat pada jremudi yang berpengaruh dengan status
keanggotaan yang cair, dimana anggotanya bisa berganti-ganti setiap saat.
Salah satu perkumpulan nelayan yang pernah adalah kelompok nelayan IRAN
BOX yang diketuai oleh seorang jremudi bernama Buang. IRAN BOX
dibentuk ketika akan mengajukan bantuan kepada pemerintah. Akan tetapi
sekarang ini kelompok nelayan IRAN BOX sudah tidak ada kegiatan lagi,
bahkan kelompok nelayan ini sudah tidak diketahui keberadaannya, hanya
tinggal papan nama kelompok saja di pinggir jalan.
25
BAB III
RELASI SOSIAL EKONOMI NELAYAN KURSIN
11
Lihat gambar 6
26
sekitar tanggal 18 dalam almanak Jawa dan kembali ke rumah sekitar tanggal
12. Kebiasaan ini mereka lakukan mengikuti perputaran bulan. Ketika bulan
purnama, gelombang cenderung tinggi dan cahaya yang masuk ke dalam laut
menyebar merata, sehingga ikan-ikan juga cenderung menyebar tidak
terpengaruh cahaya dari kapal nelayan. Hal ini mengakibatkan tangkapan
yang didapatkan nelayan umumnya berkurang drastis, sehingga nelayan
kursin menjadikan masa purnama sebagai masa istirahat yang dimanfaatkan
untuk berkumpul bersama keluarga. Masa ini juga digunakan untuk
melakukan perbaikan-perbaikan pada kapal ataupun alat tangkap.
Adakalanya mereka berlayar kurang dari satu bulan, biasanya mereka
lakukan di bulan puasa. Mereka berangkat pada pertengahan puasa dan
kembali ke rumah beberapa hari sebelum lebaran. Mereka menyebut masa
berlayar yang singkat ini dengan sebutan “cotekan” atau “nyotek”, yang
artinya mengambil seadanya. Hal ini karena ketika nyotek mereka hanya
berlayar dalam waktu yang singkat dan daerah jelajahnya hanya di sekitar
perairan Tegal saja, bukan di lokasi potensial sebagaimana biasanya.
3.1.1 Jenis Kapal dan Alat Tangkap
Berdasarkan standar klasifikasi alat penangkap perikanan laut,
purse seine termasuk dalam klasisfikasi pukat cincin. Von Brandt
menyatakan bahwa purse seine merupakan alat tangkap yang lebih
efektif untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil di sekitar permukaan
air. Purse seine dibuat dengan dinding jaring yang panjang, dengan
panjang jaring bagian bawah sama atau lebih panjang daripada bagian
atas dan bagian tengah jaring berbentuk melengkung. Dengan bentuk
konstruksi seperti ini, tidak ada kantong yang berbentuk permanen pada
jaring purse seine. Karakteristik jaring purse seine terletak pada cincin
pemberat sekaligus pengerut yang ada di bagian bawah jaring.
Pengoperasian purse seine dilakukan dengan melingkari
gerombolan ikan sehingga membentuk sebuah dinding besar yang
selanjutnya jaring akan ditarik dari bagian bawah sehingga membentuk
seperti sebuah kolam. Untuk mempermudah penarikan jaring hingga
27
membentuk kantong, alat tangkap ini mempunyai atau dilengkapi
dengan cincin sebagai tempat lewatnya “tali kolor” atau “tali pengerut”
(Subani&Barus : 1989).
Kapal yang digunakan untuk pengoperasian purse seine umumnya
terbuat dari kayu jati (Tectona grandis) yang dilapisi dengan serat fiber
(fiberglass). Secara umum kapal purse seine Pantura merupakan kapal
purse seine type Skandinavia. Pada kapal jenis ini, ruang kemudi
(Wheel House) terletak di bagian belakang kapal (buritan) sedangkan
bagian depan (haluan) sampai ke bagian tengah diisi oleh palka-palka
ikan yang jumlahnya bervariasi dari 8 buah sampai 18 buah tergantung
ukuran kapal.12
Mesin utama terletak tepat di bagian bawah ruang kemudi
berdampingan dengan mesin pembantu yang berfungsi sebagai
generator untuk menyalakan lampu-lampu sorot pemikat ikan. Akan
tetapi, sebagian besar mesin utama yang digunakan bukanlah marine
engine yang khusus diperuntukkan buat kapal ikan seperti caterpillar
atau yanmar, tapi menggunakan mesin mobil. Mesin pembantu
berjumlah 2 -3 buah berfungsi sebagai generator listrik untuk
menyalakan lampu-lampu sorot pemikat ikan berkekuatan tinggi.
Jumlah lampu yang digunakan juga tergantung ukuran kapal.
Umumnya berkisar antara 30 sampai 50 buah lampu dengan kekuatan
1000 watt per buahnya. Dengan kekuatannya tersebut, lampu-lampu ini
sanggup menarik ikan-ikan yang bermukim di dasar perairan sekalipun.
Alat navigasi kapal-kapal purse seine Laut Jawa umumnya
lengkap. Pada umumnya kapal purse seine dilengkapi dengan GPS
receiver sebagai penunjuk arah selain kompas. GPS ini juga bisa
digunakan untuk menyimpan posisi dan lokasi rumpon yang telah
diturunkan pada pelayaran sebelumnya atau untuk menyimpan lokasi
daerah penangkapan ikan yang berlimpah. Selain GPS, kapal ini juga
terkadang dilengkapi dengan fish finder seperti SONAR atau
12
Lihat gambar 8
28
Echosounder. Bahkan beberapa kapal juga dilengkapi dengan Marine
Radar. Selain beberapa alat di atas, alat yang wajib ada di dalam kapal
adalah radio kapal sebagai sarana komunikasi kapal.
Ikan yang menjadi tujuan penangkapan purse seine adalah ikan-
ikan pelagis yang bergerombol (pelagic shoaling species). Ini berarti
ikan yang akan ditangkap tersebut harus membentuk suatu gerombolan
(shoaling), berada dekat permukaan air (sea surface) dan diharapkan
dalam suatu densitas shoaling yang tinggi. Jika ikan belum terkumpul
dalam suatu area penangkapan (catchable area), atau berada di luar
kemampuan perangkap jaring, maka harus diusahakan agar ikan
berkumpul ke suatu area penangkapan. Hal ini ditempuh misalnya
dengan penggunaan cahaya dan rumpon. Meskipun demikian, tidak
jarang nelayan purse seine juga memburu ikan-ikan demersal,
khususnya pada kedalaman di bawah 40 meter. Hasil tangkapan kapal
purse seine dengan alat bantu rumpon dan lampu sorot umumnya
adalah ikan tembang (Sardinalla fimbriata), sardin (Sardinella sirm),
kembung (Rastrelliger brachisoma), selar bentong (Selar
crumenopthalmus), layang (Decapterus russeli), cakalang/tongkol
(Katsuwonus pelamis), alu-alu (Sphyraena jello), layur (Trichiurus
savala), udang (Penaeus merguensis), dan cumi-cumi (Loligo vulgaris).
Daerah jelajah nelayan purse seine dari Tegal umumnya berada di
Laut Jawa pada daerah antara 1070 – 1170 BT dan 40 – 50 LU pada
kedalaman laut antara 40 – 70 meter. Ketika musim pembarat mereka
cenderung mencari ikan di daerah barat, antara Selat Sunda sampai ke
kepulauan Natuna. Sedangkan ketika angin timur, mereka lebih sering
berlayar di daerah sekitar pulau Karimunjawa, pulau Bawean, Selat
Madura sampai ke sekitar pulau Kalimantan.
3.1.2 Struktur Jabatan di Atas Kapal
Pada kelompok nelayan kursin, terdapat struktur jabatan di dalam
kapal yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Sebagai contoh, ada perbedaan struktur jabatan dan sistem bagi hasil
29
antara nelayan kursin di Tegal dan nelayan kursin di Pekalongan.
Jabatan utama pada nelayan kursin sekaligus merupakan pemimpin
adalah jremudi yang berhubungan langsung dengan penilik kapal.
Sedangkan pendhega hanya bertanggungjawab terhadap jremudi saja.
Adapun struktur kerja nelayan kursin Tegal di atas kapal adalah :
a. Jremudi / Jurumudi / nahkoda (1 orang)
Jremudi atau sering disebut tekong merupakan pucuk pimpinan di
dalam kapal, dan merupakan orang yang diserahi tanggung jawab
pengoperasian kapal oleh pemilik kapal. Jremudi juga menentukan
daerah penangkapan ikan, sehingga jremudi harus mengetahui
kondisi perairan pada daerah penangkapan. Pada kelompok nelayan
kursin di desa Bongkok, jabatan jremudi umumnya dicapai karena
ketrampilan yang dipunyai. Seorang jremudi harus menguasai semua
ilmu yang berkaitan dengan pelayaran dan penangkapan ikan. Pada
masyarakat nelayan kursin di desa Bongkok, jremudi merupakan
jabatan tertinggi sehingga menempati strata sosial tertinggi di
kalangan nelayan.
b. Serep (1 orang)
Serep (pengganti) merupakan wakil jremudi, biasanya bertugas
sebagai pimpinan dalam proses penangkapan ikan bagi pendhega
secara langsung karena jremudi lebih terfokus pada operasional
kapal dalam menebarkan jaring dan menentukan koordinat
penangkapan.
c. Motoris I / Juru mesin I / KKM (1 orang)
Motoris I / Kepala Kamar Mesin bertanggungjawab terhadap
operasional mesin kapal dan perbaikan mesin apabila ada kerusakan
di laut. Perawatan elektronika kapal juga menjadi tanggung jawab
motoris, baik di laut maupun di darat.
d. Motoris II / Juru mesin II (1 orang)
Bertugas membantu motoris I.
30
e. Juru arus / tarik rumpon (4 orang)
Juru arus / tarik rumpon bertugas sebagai penanggungjawab
pembuatan rumpon dan operasional di area penangkapan sebelum
proses penangkapan ikan.
f. Jegong / tarik kolor (6 orang)
Jegong bertugas menarik kolor (tali pengerut jaring) dalam proses
penangkapan ikan. Setelah selesai proses penangkapan ikan, jegong
bertugas menata jaring untuk proses penangkapan berikutnya.
Jegong juga bertanggungjawab dalam proses pemilahan dan
penyimpanan hasil tangkapan ke dalam palka kapal serta proses
pembongkaran muatan (hasil tangkapan) ketika mendarat
(ngranjing).
g. Jibatu (4 orang)
Jibatu bertugas menurunkan dan menaikkan jangkar ketika kapal
berhenti atau akan bergerak, jibatu juga bertanggungjawab mengurus
pemberat rumpon (pesawat). Dalam proses penangkapan ikan, jibatu
bertanggungjawab menarik dan menata pelampung (balu) yang
dibantu oleh pratok.
h. Juru lampu (1 orang)
Juru lampu bertanggungjawab terhadap lampu-lampu / elektronika
rumpon13.
i. Pratok / juru masak (2 orang)
Bertanggungjawab terhadap konsumsi penghuni kapal dan
membantu jibatu dalam proses penarikan pelampung jaring ketika
ngambat (menarik payang dalam proses penangkapan ikan).
j. ABK (10 – 20 orang)
ABK merupakan pendhega yang tidak mempunyai jabatan khusus di
atas kapal.
13
Lihat gambar 9
31
3.1.3 Sistem Kerja dan Bagi Hasil
Nelayan purse seine umumnya melakukan kegiatan penangkapan
ikan dua kali sehari, yaitu malam hari sekitar jam 8 – 12 malam dan
pagi hari sekitar jam 4 pagi. Satu kali proses penangkapan (tawur)
membutuhkan waktu sekitar 2 – 3 jam. Meskipun demikian, terkadang
tawur bisa menghabiskan waktu lebih dari 10 jam apabila hasil
tangkapan dalam jaring cukup banyak. Adapun proses penangkapan
ikan dalam kapal kursin adalah sebagai berikut :
Ketika kapal sampai di lokasi penangkapan, maka jangkar
diturunkan oleh jibatu. Bersamaan dengan itu rumpon diturunkan ke
dalam laut oleh juru tarik rumpon dan dibiarkan sampai waktu tawur.
Ketika hari mulai gelap, lampu sorot yang ada disekeliling kapal mulai
dinyalakan. Rumpon dan lampu digunakan untuk memikat gerombolan
ikan agar berkumpul di sekitar kapal. Kemudian sekitar jam 8 malam
atau bulan mulai muncul maka proses penangkapan ikan (tawur)
dimulai.
Kegiatan pertama yang dilakukan ketika tawur adalah mengangkat
rumpon ke atas kapal yang dikomandoi oleh juru tarik rumpon. Proses
pengangkatan rumpon dilakukan oleh banyak orang dan dibantu dengan
gardan pemutar untuk mempermudah pengangkatan pemberat (bandul)
rumpon yang dilkukan oleh jibatu. Setelah rumbon diangkat ke atas
kapal maka lampu sorot di atas kapal dimatikan dan jangkar dinaikkan
ke atas kapal oleh jibatu depan. Setelah itu lampu rumpon diturunkan
dari kapal, dan juru lampu serta seorang juru arus ikut serta terjun ke air
untuk menjaga lampu dan mengawasi payang disamping memantau
arus air dan gerombolan ikan.
Setelah lampu rumpon diturunkan, maka jegong mulai
menebarkan jaring (nawur) ke dalam laut dibantu jremudi dengan cara
menjalankan kapal melingkari gerombolan ikan sehingga jaring akan
membentuk lingkaran dinding di dalam air untuk membatasi pergerakan
gerombolan ikan. Setelah ujung payang dapat dinaikkan oleh juru arus
32
ke atas kapal, maka jegong mulai menarik kolor pengerut dengan
bantuan gardan pemutar sehingga jaring akan membentuk kantong di
bagian bawah untuk menangkap gerombolan ikan yang terjerat di dalam
dinding jaring. Setelah pemberat dan cincin pengerut sudah berhasil
diangkat ke atas kapal, maka lampu-lampu kapal dinyalakan kembali
dan dimulailah kegiatan ngambat14, yaitu proses penarikan payang oleh
seluruh ABK untuk mengumpulkan ikan dan menaikkannya ke atas
kapal yang dipimpin oleh serep dan atau jigidang. Dua jibatu depan
menarik pelampung dari haluan kapal, sedangkan dua jibatu belakang
menarik pelampung dari buritan sekaligus menata payang dari arah
belakang di buritan untuk proses tawur selanjutnya. Bersamaan dengan
itu seluruh ABK berjajar di sebelah kanan kapal untuk menarik jala
payang sekaligus mengumpulkan hasil tangkapan yang terjerat jala.
Setelah ikan terkumpul di dalam jaring, maka ikan dinaikkan ke
atas kapal dengan bantuan caduk, yaitu keranjang yang terbuat dari
jaring untuk mempermudah pengangkatan ikan. Setelah itu, ikan
dipilah-pilah dan dimasukkan ke dalam palka kapal sesuai jenisnya.
Setelah dipisahkan menurut jenisnya kemudian ikan dimasukkan
kedalam box penyimpanan.
Kapal purse seine di Tegal terbagi menjadi 2 jenis, yaitu kapal
freezer, yang memakai mesin pendingin untuk mengawetkan ikan dan
kapal biasa (es-esan) yang memakai es untuk mengawetkan ikan.
Secara umum, perbedaan antara kapal purse seine es dan freezer di
antaranya :
14
Ketika ngambat, sangat diperlukan adanya kerjasama dari seluruh ABK. Ketika ngambat harus
dilakukan secara serentak sehingga payang dari haluan sampai buritan tetap dalam keadaan
kencang ketika ditarik ke atas kapal. Apabila payang kendor (kendo), apalagi sampai melambai
(nglampreh) maka akan semakin menyulitkan nelayan karena ikan akan berusaha lolos dari
lubang jaring sehingga akan mengurangi hasil tangkapan. Selain itu ikan yang terjerat di sela-sela
jaring harus diambil ketika menarik payang sehingga memperlambat proses tawur. Jaring yang
kendor juga akan mudah dirusak oleh ikan yang mencoba meloloskan diri.
33
Jenis kapal Kapal Es Kapal Freezer
Alat pengawet Es Balok Refrigrator
Proses Penyimpanan Ikan dipisahkan menjadi dua, Ikan dipisahkan perjenis dan
yang berharga mahal dan ditempatkan di dalam wadah
murah kemudian langsung terbuat dari kaleng kemudian
dimasukkan ke palka dicampur dibekukan di dalam freezer.
dengan es untuk mengawetkan Setelah beku ikan dibungkus
ikan memakai plastik yang sudah
disiapkan dan ditata rapi di
dalam palka.
Proses bongkar Hasil tangkapan dikeluarkan Proses bongkar cukup ringan
dari palka baru dipisahkan dan bersih karena ikan sudah
menurut jenisnya di darat. dipisahkan menurut jenisnya
Proses bongkar dilakukan dan berada dalam kondisi beku
dengan berat karena ikan dibungkus plastik sehingga
bercampur dengan es yang proses bongkar bisa cepat
sebagian mencair sehingga selesai. Proses bongkar paling
menimbulkan iritasi apabila lama satu hari, itupun karena
terkena kulit terutama bagi menunggu mobil pengangkut
yang belum terbiasa. Proses ikan. Untuk memindahkan ikan
bongkar dan memilah hasil dari kapal sendiri hanya
tangkapan dapat menghabiskan menghabiskan waktu paling
waktu sampai dua hari lama 4 jam.
Tingkat kerusakan Cukup tinggi karena banyak Hampir tidak mengalami
ikan yang hancur sehingga kerusakan sehingga tidak
harga jual berkurang mengurangi harga jual
Sistem Bagi Hasil Tidak ada potongan lain Ada potongan 7% dari total
pendapatan untuk freezer. 5%
untuk pemilik kapal dan 2%
untuk jremudi
(Hasil wawancara dengan Amir tanggal 16 Agustus 2011)
34
nelayan. Untuk kapal purse seine yang menggunakan pendingin
(freezer), akan dipotong lagi untuk 7% dari sisa potongan pertama, baru
dikurangi potasi dan perawatan jaring. Pola hubungan kerja di antara
unit alat tangkap akan menentukan pola bagi hasil. Pola bagi hasil ini
akan menentukan tingkat pendapatan nelayan, baik tauke maupun
pendhega. Secara ringkas dapat kita lihat pada perhitungan di bawah
ini.
Pendapatan Nelayan Purse Seine = (I – II) – III – IV – V : 2, dimana :
I = Hasil Bersih Lelang
II = Pembagian Pertama (Tauke 5%, Jremudi 5%, pendhega 5%)
III = Perawatan Freezer 7% (Tauke 5%, jremudi 2%)
IV = Perbekalan / potasi
V = Biaya penyusutan payang (alat tangkap) 30%
Salah satu pola bagi hasil yang ada yaitu hasil penerimaan bersih
dalam sistem bagi hasil, dibagi dua yaitu 50% untuk pemilik perahu dan
50% untuk pendhega. Bagi hasil ini diperoleh dari penerimaan kotor
yang teluh dikurangi dengan retribusi, biaya operasi dan perawatan
peralatan. Bagian pendhega yang 50% akan dibagi lagi sesuai dengan
jumlah anak buah kapal yang turut melaut. Penerimaan yang diperoleh
pendhega pada satu unit alat tangkap akan semakin mengecil jika
tenaga kerja yang bekerja semakin banyak. Bagian pendhega ini tetap
50% berapapun jumlah pendhega yang bekerja (Hariati dkk,:1990
dalam Purwanti:1994). Menurut Adriyan (2005), nelayan pemilik
memperoleh bagian lebih besar daripada nelayan buruh dalam sistem
bagi hasil. Bagi hasil ini berlaku dalam setiap skala usaha penangkapan.
Bahkan dalam unit penangkapan modern, tingkat kesenjangan
perolehan pendapatan antara nelayan pemilik dangan nelayan buruh
sangat besar. Tingkat pendapatan yang diperoleh nelayan buruh
semakin kecil karena biaya operasi dan pemeliharaan peralatan tangkap
cukup besar. Biaya tersebut harus ditanggung bersama antara nelayan
pemilik dan nelayan buruh.
35
Nelayan, khususnya nelayan tradisional, mempunyai perilaku
yang khas dalam menjalankan usahanya, yaitu perilaku yang
mengutamakan “pemerataan resiko” usaha. Perilaku tersebut terbentuk
sebagai hasil adaptasi terhadap usaha penangkapan ikan yang beresiko
tinggi dan pola penangkapan yang tidak teratur. Perilaku adaptif
tersebut, setelah melalui proses waktu, melembaga dalam bentuk
institusi, dan merupakan bagian dari kehidupan nelayan. Institusi-
institusi yang dimaksud, yang merupakan aspek penting dalam
pemberdayaan, adalah pola pemilikan kelompok atas sarana produksi
dan sistem bagi hasil. Pola pendapatan nelayan yang tidak teratur
menyebabkan perilaku mengutamakan pemerataan resiko tetap
bertahan.
Selain pendapatan dari bagi hasil tangkapan ikan dan udang,
nelayan juga memperoleh penghasilan dari hasil penjualan cumi-cumi.
Adapun sistem pembagiannya adalah hasil penjualan cumi-cumi
dikurangi 28% (tauke) – 2% (jremudi), kemudian dibagi dua, 50%
untuk pemilik kapal (tauke) dan 50% untuk nelayan.
Dari pendapatan bagi hasil terakhir tersebut, dibagi dengan perincian:
Jremudi : = 4 bagian
Serep : = 2 bagian
Motoris I : = 2 bagian
Motoris II : = 1,5 bagian
Juru Arus : 4 x 1,5 bagian = 6 bagian
Jegong : 6 x 1,5 bagian = 9 bagian
Pratok : 2 x 1,5 bagian = 3 bagian
Juru lampu : = 1,5 bagian
Jibatu : 4 x 1,25 bagian = 5 bagian
ABK : 22 x 1 bagian = 22 bagian
Jigidang = 1 bagian +
Total : = 57 bagian
36
Pendapatan jigidang merupakan pendapatan tambahan. Apabila
seorang nelayan menjadi ABK sekaligus jigidang, maka dia
mendapatkan 2 bagian, dari ABK dan Jigidang sekaligus. Bagi KKM,
selain mendapatkan bagi hasil, dia juga mendapatkan gaji dari pemilik
kapal yang jumlahnya sesuai dengan perjanjian kerja. dari bagi hasil
tersebut dapat dilihat adanya perbedaan yang sangat jauh antara jremudi
dengan pendhega. Pendhega yang tidak mempunyai jabatan di atas
kapal dari bagi hasil yang ada memperolah pendapatan dengan bagian
terkecil, sedangkan jremudi memperoleh pendapatan hampir 20 kali
lipat. Apabila dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh tauke
maka seorang ABK hanya memperoleh pendapatan 1% dari pendapatan
tauke.15
15
Lihat lampiran 2
37
pola hubungan patron-klien yang umum terjadi antara nelayan kaya (juragan)
dan tengkulak dengan nelayan miskin (buruh/pendhega). Pola vertikal
terbentuk karena ada ketergantungan ekonomi antara buruh dengan juragan
maupun tengkulak.
Scott (1994) menyebutkan bahwa hubungan patron-klien banyak
ditemukan di kehidupan petani proletar. Patron-klien melibatkan hubungan
antara seorang individu dengan status sosial ekonomi lebih tinggi (patron)
yang menggunakan pengaruh dan sumberdaya yang dimilikinya untuk
menyediakan perlindungan dan keuntungan bagi seseorang dengan status
lebih rendah (klien). Pendhega sangat tergantung kepada sejumlah kecil tauke
yang memiliki alat produksi maupun modal.
Secara definitif, patronase merupakan suatu tipe hubungan pertukaran
barang dan jasa secara timbal balik antara dua orang atau banyak orang
berdasarkan kepentingan tunggal atau banyak. Patron sebagai pihak yang
memiliki kemampuan dan sumber daya yang lebih besar cenderung lebih
bayak menawarkan satuan barang dan jasa pada klien. Sementara klien tidak
selamanya mampu membalas satuan barang tersebut secara seimbang.
Ketidak mampuan ini menimbulkan rasa hutang budi pada klien, sehingga
tercipta struktur ketergantungan yang tidak saja terbatas hubungan produksi
tapi dapat meluas pada kehidupan sosial lainnya. (Scott : 1994).
Nelayan purse seine di desa Bongkok mempunyai kebebasan dalam
ikatan kerja, terutama bagi pendhega yang tidak mempunyai jabatan khusus
di dalam kapal. Ikatan kerja nelayan di desa Bongkok bukan antara pendhega
dengan pemilik kapal, akan tetapi hubungan kerja yang terjadi adalah antara
pendhega dengan jremudi. Ikatan kerja antara pendhega dan jremudi hanya
dihitung dalam satu kali masa berlayar saja. Ketika selesai berlayar dan
perolehan bagi hasil sudah dibagikan, maka ikatan kerja itu juga berakhir, dan
pendhega bebas untuk bekerja dengan jremudi lain.
Pendhega umumnya akan ikut bekerja dengan jremudi yang
mengajaknya lebih dahulu dengan perantaraan jigidang. Pada masa sandar
kapal, jigidang akan berkeliling mengumpulkan ABK untuk jremudi yang
38
diikutinya. Sebagai ikatan kerja, jigidang akan membagikan uang saku
(sangu) kepada pendhega. Sangu ini merupakan pinjaman dari pemilik kapal
yang akan diambil gantinya dari potongan hasil tangkapan nelayan ketika
sudah kembali dari berlayar.
Terkadang pendhega enggan untuk bekerja kepada jremudi tertentu
karena jremudi tersebut mempunyai sifat yang kurang disukai ataupun
terkenal jarang memperoleh hasil tangkapan yang memuaskan (ora alongan).
Bagi pendhega yang sudah mempunyai jabatan (cekelan/nyekel) di kapal,
umumnya akan ikut dengan satu jremudi saja setiap berlayar. Apabila ingin
ikut dengan jremudi lain maka dia harus meminta izin dahulu dengan jremudi
yang lama. Jremudi yang lain juga tidak berani menerima apabila belum
mendapatkan izin dari jremudi sebelumnya karena akan dianggap membajak
pendhega berpengalaman.
Hubungan kerja antara jremudi dan tauke sendiri lebih berdasarkan
pada kepercayaan. Tidak ada perjanjian kerja secara tertulis antara tauke
dan jremudi, yang ada hanyalah kepercayaan dan adat kebiasaan. Jremudi
merupakan orang yang ditunjuk untuk mengoperasikan kapal oleh tauke.
Tauke bisa kapan saja memberhentikan jremudi, tanpa ada jaminan untuk
jremudi. Sebagaimana diungkapkan oleh Umar :
“jremudi kue kur ditunjuk tauke, ora nganggo perjanjian, sing dinggo
kepercayaan karo adat kebiasaan tok. Jremudi ibarate supir sing dikongkon
nggawa prau. Misale ana prau kosong, tauke ditodokna jremudi sing bisa
nggawa neng jremudi liane. Tauke bisa kapan bae ngandegna jremudi ari wis
ora cocok maning.”
(Jremudi cuma ditunjuk oleh tauke, tidak memakai perjanjian, yang digunakan
hanya saling percaya dan adat kebiasaan saja. Jremudi ibaratnya supir yang
disuruh untuk membawa perahu. Jika ada perahu kosong (belum ada
nahkoda), tauke ditunjukkan kepada jrenudi yang biasa membawa kapal oleh
jremudi yang lain. Sehingga tauke bisa kapan saja memberhentikan jremudi
apabila sudah tidak cocok lagi.”)
39
“Wong mayang kue angel, laka jaminan nggo wong mayang. Ari ana apa-apa
neng laut, tauke kur ngai santunan tok. Mending ari taukene pengerten, ari ora
awake dewek sing susah. Pemerintah ya kurang perhatian karo nelayan,
peraturane kurang memperhatikan nelayan.”
“(jadi) nelayan itu susah, tidak ada jaminan untuk nelayan. Kalau ada apa-apa
(kecelakaan) di laut, tauke hanya memberi santunan saja. Masih mending kalau
taukenya pengertian, kalau tidak kita sendiri yang susah. Pemerintah juga
kurang perhatian terhadap nelayan, peraturan pemerintah kurang
memperhatikan (kepentingan) nelayan.”
40
jremudi lain karena hubungan antar jremudi di desa Bongkok cukup baik.
Jika sikap seorang pendhega sudah tidak dapat ditoleransi oleh jremudi
maupun pendhega lain, maka pendhega tersebut akan disuruh pulang oleh
jremudi dengan dititipkan di kapal lain yang akan mendarat.
Melalui penelitian yang peneliti lakukan dapat dilihat bahwa pola
perilaku pendhega dalam lingkungan kerja dapat dipandang sebagai strategi
adaptasi mereka untuk tetap dapat bekerja sehingga mereka bisa memperoleh
penghasilan (Adaptation). Akibat perolehan pendapatan yang fluktuatif
menyebabkan mereka harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan mereka,
baik kondisi alam maupun lingkungan kerja mereka yang keras sehingga
mereka dapat memperkecil resiko hilang atau berkurangnya pendapatan
(Goal). Relasi dan kerjasama antar rekan kerja, baik dengan jremudi maupun
sesama pendhega menjadi sarana antar nelayan untuk menjamin
keberlangsungan kerja mereka (integration) sehingga terbentuk pola
hubungan kerja yang teratur yang menjadi tuntunan mereka baik secara
langsung ataupun tidak langsung (latern pattern).
Struktur maupun relasi kerja nelayan sendiri masih belum berpihak
pada pendhega karena bagian terbesar terakumulasi pada pemilik modal.
Meskipun terdapat tingkatan jabatan dalam kapal purse seine, semua nelayan
kursin hanyalah nelayan buruh yang nasibnya masih tergantung pada
kebijakan pemilik modal, tanpa adanya kemungkinan untuk mengakumulasi
modal. Nelayan kursin hidup dari ketidak-pastian pendapatan setiap
bulannya. Hubungan yang terjadi antar nelayan di desa Bongkok lebih
condong sebagai hubungan ekonomi semata, lebih sering berhubungan dalam
ikatan kerja. Hubungan yang terjalin antara pendhega dengan jremudi juga
bukanlah hubungan patron-klien sehingga pendhega tidak menggantungkan
hidup pada jremudi.
41
BAB IV
MEKANISME SURVIVAL STRATEGY NELAYAN KURSIN
42
Kusnadi (2003), membedakan faktor penyebab kemiskinan nelayan ke
dalam dua kelompok. Pertama, sebab-sebab kemiskinan nelayan yang bersifat
internal, mencakup: (1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia pada
nelayan; (2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi
penangkapan; (3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang
seringkali kurang menguntungkan buruh; (4) kesulitan melakukan
diversifikasi usaha penangkapan; (5) ketergantungan yang tinggi terhadap
okupasi melaut; (6) gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang
berorientasi ke masa depan. Kedua, sebab-sebab kemiskinan yang bersifat
eksternal, mencakup: (1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih
berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi
nasional dan parsial; (2) sistem pemasaran hasil perikanan yang lebih
menguntungkan pedagang perantara; (3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut
karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan
bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konversi hutan bakau di
kawasan pesisir; (4) penggunaan peralatan tangkap ikan yang tidak ramah
lingkungan; (5) penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan;
(6) terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen; (7) terbatasnya peluang
kerja di sektor non-perikanan yang tersedia di desa nelayan; (8) kondisi alam
dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang
tahun; dan (9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas
barang, jasa, modal, dan manusia.
Hal utama yang mendorong terus berlangsungnya kemiskinan nelayan
adalah ketidak-pastian pendapatan dari hasil berlayar yang diperoleh nelayan
setiap bulannya. Fluktuasi perolehan ikan nelayan merupakan hal yang pasti
dialami oleh setiap nelayan. Perubahan musim berpengaruh terhadap tingkat
pendapatan nelayan. Apabila nelayan tidak bisa berangkat melaut, maka
mereka harus mencari nafkah dari sektor lain. Apabila mereka tidak
mempunyai ketrampilan lain, maka tabungan keluarga yang mereka gunakan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam bulan itu. Sering terjadi hutang
43
merupakan menjadi satu-satunya jalan bagi mereka. Sebagaimana
diungkapkan oleh Amri (32th)
Wingi enyong balik nggawa 300, kur entong nggo neboki utang neng
warung tok. Untunge neng umah bisa melu nggemplo.
(Kemarin aku pulang membawa 300 ribu, cuma habis untuk membayar
hutang di warung. Untung di rumah masih bisa ikut nggemplo.)
16
http://www.age-of-the-sage.org/psychology/maslow_pyramid.html
44
Pada masyarakat nelayan desa Bongkok, adaptasi upacara-upacara adat
juga berperan penting dalam usaha pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga.
Akibatnya terjadi keterikatan yang kuat antara adat istiadat dengan kondisi
sosial ekonomi keluarga. Salah satu pola adaptasi yang sering digunakan
adalah pemanfaatan aktivitas-aktivitas sosial sebagai asuransi ekonomi. Pada
umumnya pada komunitas Jawa, tolong-menolong/gotong royong menjadi
sebuah elemen harmoni esensial untuk menjalankan aktivitas sosial.
Aktivitas-aktivitas sosial terkadang berbaur dengan aktivitas ekonomi.
Beberapa aktivitas sosial seperti takziah/pelayatan (menghadiri pemakaman
orang meninggal) dan khususnya jagong/kondangan (pesta/perayaan) tidaklah
murni sebuah aktivitas sosial karena juga mencakup hadiah finansial berupa
sumbangan ataupun donasi berupa bahan makanan dan tenaga. Sumbangan-
sumbangan didasarkan pada kepentingan-kepentingan ekonomis dan
merupakan bagian dari hubungan-hubungan tukar menukar.
Hal di atas dapat dipahami sebagai “moral economy” orang-orang yang
hidup sesuai dengan prinsip “utamakan selamat” (safety first). Sumbangan-
sumbangan membantu menurunkan biaya total upacara-upacara, akan tetapi
frekwensinya yang terlalu sering dalam aktivitas sosial dapat pula
mengganggu stabilitas ekonomi rumah tangga. Apabila pendapatan keluarga
tidak mencukupi untuk memberikan semua sumbangan di atas, maka anggota
rumah tangga akan meminjam dari pihak lain. Maka, hutang tidak
dipergunakan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan rumah tanga yang
mendesak, akan tetapi juga untuk memberikan sumbangan dalam aktivitas-
aktivitas sosial (Susetiawan:2000).
45
dilakukan oleh nelayan kursin untuk memenuhi kebutuhan keluarga lebih
banyak bersifat pribadi dan jarang melibatkan kelompok. Hal ini merupakan
imbas dari sistem maupun struktur kerja nelayan kursin yang tidak berada
dalam satu ikatan kelompok tertentu yang erat. Fleksibilitas nelayan terhadap
alat tangkap yang mereka gunakan juga merupakan salah satu upaya adaptasi
untuk menyikapi kebutuhan keluarga dengan ketidak-pastian pendapatan
yang mereka miliki.
4.3.1 Berpindah Kapal
Ikatan kerja pendhega pada satu kapal kursin merupakan ikatan
kerja yang terbatas, hanya dalam satu kali masa berlayar saja. Apabila
seorang pendhega merasa bahwa kapal yang diikutinya tidak
mememperolah penghasilan yang cukup ( ora alongan), maka biasanya
dia akan berpindah, ikut dengan jremudi lain. Mereka berpindah kapal
tidak hanya berpindah dari kapal kursin yang satu ke kapal kursin yang
lain. Tak jarang mereka berpindah ke kapal dengan alat tangkap yang
berbeda. Hal ini biasanya dilakukan oleh pendhega yang tidak memiliki
jabatan di atas kapal. Seorang nelayan kursin terkadang memanfaatkan
masa sandar kapal untuk nggemplo, terutama apabila pendapan yang
diperolehnya dari bagen dirasakan masih belum mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
4.3.2 Memancing dan Membuat Ikan Asin
Tambahan penghasilan yang bisa didapatkan pendhega kapal
kursin ketika melaut adalah dari hasil pancingan pribadi. Bahkan
terkadang perolehan dari hasil pancingan pribadi ini bisa lebih banyak
daripada perolehan dari bagi hasil kapal. Ketika musim cumi-cumi,
seorang pendhega bisa memperoleh cumi-cumi lebih dari 50kg kering
dalam satu trip, tergantung rajin tidaknya mereka memancing.17
Selain memancing, pendhega juga bisa membuat ikan asin secara
sederhana di atas kapal. Setiap kapal kursin umumnya membawa
persediaan garam untuk membuat ikan asin. Pendhega biasanya
17
Lihat Gambar 13
46
mengambil sebagian dari hasil tangkapan bersama untuk dikeringkan.
ikan asin tersebut dianggap sebagai pendapatan pribadi pendhega.
4.3.3 Alang-alang
Seorang pendhega terkadang melakukan alang-alang apabila dia
tidak berangkat melaut. Alang-alang adalah meminta ikan kepada kapal
yang baru mendarat. Biasanya hal ini dilakukan apabila dia mengenal
jremudi kapal yang baru datang karena hanya jremudi yang berhak
untuk memberikan ikan.
Dari data di atas dapat kita lihat bahwa strategi ekonomi nelayan kursin
dalam menghadapi kondisi kemiskinan mencakup upaya-upaya alokasi
sumber daya, khususnya tenaga kerja di dua sektor sekaligus, yaitu sektor-
sektor produksi dan non produksi. Upaya di sektor produksi merujuk pada
ragam kegiatan nelayan di bidang ekonomi produksi. Sedangkan upaya di
sektor non produksi merujuk pada keterlibatan di beragam lembaga sosial
dalam masyarakat.
Di sektor produksi, keluarga nelayan kursin menerapkan pola nafkah
ganda sebagai bagian strategi ekonomi. Dalam pola itu nelayan mencari
nafkah di berbagai sumber, baik melalui usaha pribadi ataupun ikut bekerja
dengan orang lain sebagai buruh. Dalam keterbatasan penguasaan sumber
daya produksi selain tenaga, maka pola nafkah ganda pada rumah tangga
miskin berarti pemanfaatan potensi tenaga kerja rumah tangga (pria dan
wanita, dewasa dan anak-anak) yang serasional mungkin pada beragam sektor
produksi yang ada. Dalam hal ini, wanita/istri tidak hanya terlibat dalam
kegiatan produksi yang tak langsung menghasilkan pendapatan, tetapi juga
dalam kegiatan produksi yang langsung menghasilkan pendapatan
(White:1976, Hart:1986, Pudjiwati Sayogyo:1983 dalam Ihromi:1999).
Di samping pola nafkah ganda di sektor produksi, keluarga nelayan
kursin juga berupaya mengatasi kondisi kemiskinan melalui keterlibatan
anggota keluarga dalam beragam pranata kesejahteraan asli di sektor non
produksi. Lembaga kesejahteraan asli itu adalah lembaga informal bentukan
masyarakat sendiri. Beragam lembaga kesejahteraan asli yang hidup dalam
47
masyarakat pada prinsipnya adalah bentuk-bentuk pengorganisasian sumber
daya antar rumah tangga (Sitorus, Dkk:1992 dalam Ihromi:1999).
Upaya-upaya yang dilakukan nelayan dalam upaya pemenuhan
kebutuhan keluarga merupakan mekanisme survival strategy mereka yang
dipengaruhi oleh desires, beliefs maupun opportunities mereka. Desire adalah
keinginan atau kehendak, yaitu keinginan nelayan kursin untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Belief adalah preposisi mengenai keyakinan yang
dipegang sebagai benar atau dengan kata lain merupakan kondisi-kondisi
yang dialami dan dirasakan mereka. Sementara Opportunities digambarkan
sebagai “menu” bagi alternatif tindakan yang tersedia bagi nelayan kursin
untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Akan tetapi “menu” yang tersedia bagi nelayan kursin sangat terbatas,
sehingga nelayan masih terus berputar dalam perputaran kemiskinan.
Keluarga nelayan kursin di desa Bongkok, khususnya pendhega belum
mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Meskipun keluarga
nelayan kursin di desa Bongkok sudah mampu untuk memenuhi kebutuhan
pokok mereka, akan tetapi masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sosial
yang merupakan bagian dari interaksi mereka dalam bermasyarakat.
Kegiatan-kegiatan sosial yang pada awalnya dimaksudkan sebagai strategi
pemenuhan ekonomi keluarga lambat laun berangsur menjadi beban
tambahan bagi ekonomi keluarga sehingga pendhega semakin sulit untuk
untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
48
BAB V
KESIMPULAN
Kelompok nelayan, khususnya nelayan buruh (pendhega) merupakan
kelompok yang rentan miskin karena sangat tergantung kepada alam. Apa yang
disediakan alam pada saat itu, maka hanya sejumlah itu pula yang dapat diambil
oleh nelayan tanpa bisa mengusahakan dan merawat perkembangan tangkapan.
Peraturan dan sistem kerja yang ada selama ini belum berpihak kepada nelayan
buruh yang merupakan kelompok mayoritas di kalangan nelayan.
Melalui penelitian yang peneliti lakukan terlihat bahwa nelayan kursin di
desa Bongkok sebagian besar sudah mampu untuk mencukupi kebutuhan pokok
mereka. Yang menjadi masalah utama pada kelompok nelayan kursin, khususnya
pendhega adalah upaya pemenuhan kebutuhan sosial mereka. Kegiatan-kegiatan
sosial yang semakin bergeser mengarah kepada kegiatan ekonomi menyebabkan
keluarga nelayan harus mampu menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan
sosial yang semakin meningkat.
Relasi yang terjalin antara nelayan dengan tauke maupun antar nelayan
sendiri bersifat vertikal dan kaku dalam ikatan profesionalisme kerja. Akibatnya
tercipta aturan-aturan dan nilai-nilai pada kelompok nelayan, di antaranya :
profesionalisme kerja, kepatuhan terhadap pimpinan, kerjasama dalam kelompok,
kesetaraan, saling menghargai. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan nelayan
sendiri agar dapat bekerja pada unit penangkapan di manapun karena ikatan kerja
yang ada sangatlah terbatas, terbukti dengan adanya sistem kerja tak tertulis yang
telah dipakai nelayan sejak lama.
Nelayan kursin menerapkan pola nafkah ganda dalam pemenuhan kebutuhan
keluarga, yaitu dalam sektor produksi berupa optimalisasi kerja nelayan, di
antaranya melalui ; berpindah unit penangkapan, memancing cumi-cumi dan
membuat ikan asin di sela kegiatan penangkapan ikan serta terkadang
melalakukan alang-alang. Di sektor non-produksi dilakukan melalui pemanfaatan
pranata sosial yang ada dalam masyarakat. Akan tetapi pemanfaatan pranata-
pranata sosial inilah yang terkadang menjadi bumerang bagi keluarga nelayan
49
kursin. Pranata sosial yang pada awalnya merupakan sarana untuk menambah
pendapatan keluarga justru menjadi beban tambahan bagi nelayan kursin.
Dari data-data penelitian yang peneliti peroleh dapat disimpulkan bahwa
peningkatan taraf hidup bagi nelayan merupakan hal yang cukup sulit dilakukan
karena tingginya ketergantungan kepada alam. Keterbatasan akses, sarana maupun
kemampuan yang dimiliki nelayan kursin menjadikan mereka tidak dapat memilih
usaha lain, sehingga semakin kecil pula peluang mereka untuk keluar dari
lingkaran kemiskinan, khususnya bagi nelayan pendhega. Bisa dikatakan bahwa
mobilitas sosial pada nelayan, khususnya nelayan buruh (pendhega) merupakan
suatu hal yang langka.
50
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Cabin, Philippe & Jean Francois Dortier (ed). 2004. SOSIOLOGI, Sejarah
dan Berbagai Pemikirannya. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Chamsyah, Bachtiar. 2006. Teologi Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta :
RMBOOKS
Ihromi, T.O. (Penyunting). 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia
Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan
Sumberdaya Perikanan. Yogyakarta : LKiS
Kusnadi. 2002. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung :
Humaniora Utama Press
Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta : LKiS
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Quantitative Data
Analysis, diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta : Penerbit UI–
Press
Nasikun, Dr. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : PT. Rja Grafindo Pustaka
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi modern, Edisi
keenam, Cet. Ke-4. Jakarta : Kencana
Ritzer, George. 2003. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.
Jakarta : PT. Grafindo
Scott, James T. 1994. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di
Asia Tenggara. Jakarta : LP3ES
Susetiawan, DR. 2000. Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh,
Perusahaan dan Negara di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
51
MAKALAH
Kusnadi, 2010. Kebudayaan Masyarakat Nelayan. Makalah ini disampaikan
dalam kegiatan JELAJAH BUDAYA TAHUN 2010 di Yogyakarta
WEBSITE
http://widijanto.wordpress.com/2009/10/08/dbo-theory/
http://www.age-of-the-sage.org/psychology/maslow_pyramid.html
http://www.walhi.co.id
52
Lampiran
TRANSAKSI KM KAWAN BARU BULAN Agustus 2011
(Catatan Nahkoda KM Kawan Baru)
25 – 26 Agustus 2011
53
Tanggal 27 Agustus 2011
54
BAGIAN NAHKODA
BAGIAN ABK
BAGIAN BOS
55
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2
Gambar 1
Gambar 4
Gambar 3
Gambar 5 Gambar 6
Gambar 7 Gambar 8
56
Foto – Foto Perjalanan
57
Menambal jaring (kiteng) Alat untuk menambal jaring (coban)
Salah satu sudut Pelabuhan Tegal Salah Satu sudut Pelabuhan Muara Baru
58
Menata payang (mburit) Lampu Galaksi
59