Ecodrain PDF
Ecodrain PDF
MODUL 08
DRAINASE BERWAWASAN
LINGKUNGAN (ECODRAIN)
halaman kosong
DAFTAR ISI
i
4.1.4 Sedimentasi/Polutan .......................................................................................... 431
4.2 Monitoring Ukuran Kinerja Non Teknis ................................................................... 432
4.3 Evaluasi ..................................................................................................................... 432
5 LANGKAH MENUJU SISTEM DRAINASE PERKOTAAN SECARA
TERPADU BERWAWASAN LINGKUNGAN (ECODRAIN) DI INDONESIA............ 433
5.1 Perubahan Paradigma ................................................................................................ 433
5.2 Tantangan Penanganan Drainase Perkotaan.............................................................. 434
5.3 Landasan Hukum....................................................................................................... 434
5.4 Kondisi yang Diharapkan .......................................................................................... 439
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 440
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 3-1. Pergeseran Paradigma Pengelolaan Air Hujan dan Limpasannnaya .................... 387
Tabel 3-2. Contoh hasil perhitungan jumlah sumur resapan dengan menggunakan Metode PU
dengan kedalaman sumur 3 m, efisiensi 100%. .................................................... 399
Tabel 3-3. Jarak minimum sumur resapan dengan bangunan lainnya. .................................. 400
Tabel 3-4. Volume sumur resapan pada tanah dengan permeabilitas rendah. ....................... 401
Tabel 3-5. Usulan Pengaturan Kewenangan Antar Institusi Terkait dalam Pengelolaan Saluran
Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan............................................. 421
Tabel 4-1 Komposisi Limbah Domestik ............................................................................... 430
Tabel 4-2. Baku Mutu Air Limbah Domestik ( Kep.Men LH 112/2003) .............................. 431
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Pengaruh urbanisasi pada daerah tangkapan air terhadap laju limpasan............ 385
Gambar 3.1. Fasilitas Pemanenan Air Hujan (PAH) .............................................................. 390
Gambar 3.2. Tangki Penampungan Air Hujan untuk Rumah Tangga (kiri) dan untuk industri
(kanan) (sumber Maryono, 2011) ...................................................................... 391
Gambar 3.3. Tangki Penampungan Air Hujan di Bawah Permukaan Tanah.......................... 392
Gambar 3.4. Debit resapan pada sumur dengan berbagai kondisi (Bouilliot, 1976; dalam
Sunjoto, 1988). ................................................................................................... 395
Gambar 3.5. Bagan alir pembuatan sumur resapan air hujan ................................................. 397
Gambar 3.6. Salah satu contoh konstruksi sumur resapan ...................................................... 398
Gambar 3.7. Konstruksi kolam resapan dipadukan dengan pertamanan ................................ 402
Gambar 3.8. Potongan Memanjang Bioretensi ....................................................................... 403
Gambar 3.9. Pembuatan lubang biopori.................................................................................. 406
Gambar 3.10. Konstruksi Perkerasan dengan Paving Block .................................................... 407
Gambar 3.11. Konstruksi Grass Block untuk Lapangan Parkir ................................................ 407
Gambar 3.12. Susunan Taman Atap ......................................................................................... 409
Gambar 3.13. Unguided cable hoist trash rake ........................................................................ 413
Gambar 3.14 Guided cable hoist trash rake ............................................................................ 413
Gambar 3.15. Trashrack dan trashboom ................................................................................... 414
Gambar 3.16. Operasional Tipe Bioremediasi Landfarming .................................................... 415
Gambar 3.17. Penampang Ø Proses Bioremediasi Landfarming.............................................. 415
Gambar 3-18 Biofilter .............................................................................................................. 416
Gambar 4-9 Contoh Rawa Buatan Aliran Vertikal (Constructed Wetlands) ........................ 417
Gambar 4-10 Tampak Atas Rawa Buatan untuk Mengolah Air Limbah ................................. 417
Gambar 3-21. Proses dalam Fitoremediasi ............................................................................... 418
Gambar 3-22. Flow Diagram Proses Fitoremediasi dalam Pengolahan Air
............................................................................................................................ 419
Gambar 3-23. Organisasi Pelaksanaan Program Pengelolaan Drainase Secara Terpadu
Berwawasan Lingkungan (ecodrain).................................................................. 420
Gambar 3-24. Konsep Pengelolaan 3 R di kawasan Daerah Pengaliran Sunga (DPS)i
............................................................................................................................ 427
iv
DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN
(ECODRAIN)
1 PENDAHULUAN
Drainase yang berasal dari bahasa Inggris drainage mempunyai arti mengalirkan, menguras,
membuang, atau mengalihkan air. Dalam bidang teknik sipil, drainase secara umum dapat
didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal
dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi, dari suatu kawasan/lahan sehingga
fungsi kawasan/lahan tidak terganggu. Drainase dapat juga diartikan sebagai usaha untuk
mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas. Jadi drainase menyangkut tidak
hanya air permukaan tapi juga air tanah.
Secara umum sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang
berfungsi untuk mengurangi dan / atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan
sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Dirunut dari hulunya, bangunan sistem
drainase terdiri dari saluran penerima (interceptor drain), saluran pengumpul (collector drain),
saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main drain), dan badan air penerima
(receiving waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong-
gorong, siphon, jembatan air (aquaduct), pelimpah, pintu-pintu air, bangunan terjun, kolam
tando, dan stasiun pompa. Pada sistem yang lengkap, sebelum masuk ke badan air penerima, air
diolah dahulu di instalasi pengolah air limbah (IPAL), khususnya untuk sistem tercampur.
Hanya air yang telah memenuhi baku mutu tertentu yang dimasukkan ke badan air penerima,
sehingga tidak merusak lingkungan.
Drainase sering diabaikan oleh ahli hidraulik dan seringkali direncanakan seolah-olah bukan
pekerjaan yang penting, atau paling tidak dianggap kecil dibandingkan dengan pekerjaan-
pekerjaan pengendalian banjir. Padahal pekerjaan drainase merupakan pekerjaan yang rumit dan
kompleks, bisa jadi memerlukan biaya, tenaga, dan waktu yang lebih besar dibandingkan
dengan pekerjaan pengendalian banjir. Secara fungsional, kita sulit memisahkan secara jelas
antara sistem drainase dan pengendalian banjir. Namun secara praktis kita dapat mengatakan
bahwa drainase menangani kelebihan air sebelum masuk ke alur-alur besar atau sungai.
Dewasa ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yang sangat
penting. Kualitas manajemen suatu kota dapat dilihat dari kualitas sistem drainase yang ada.
Sistem drainase yang baik dapat membebaskan kota dari genangan air. Genangan air
383
menyebabkan lingkungan menjadi kotor dan jorok, menjadi sarang nyamuk, dan sumber
penyakit lainnya, sehingga dapat menurunkan kualitas lingkungan, dan kesehatan masyarakat.
384
Limpasan
74% 89%
20 20 20
debit (m3/dt)
debit (m3/dt)
debit (m3/dt)
10 10 10
0 0 0
0 30 60 0 30 60 0 30 60
waktu (menit) waktu (menit) waktu (menit)
Gambar 2.1. Pengaruh urbanisasi pada daerah tangkapan air terhadap laju limpasan.
385
Drainase menjadi permasalahan yang membutuhkan penyelesaian yang tidak dapat ditunda-
tunda lagi.
Akumulasi antara dampak kesalahan dalam pengelolaan hujan dan kesadaran lingkungan
tersebut memberikan inspirasi untuk mengembangkan model pengelolaan Drainase, yakni
dengan pendekatan ecodrain. Pendekatan ini dapat disebut juga dengan pendekatan integralistik
dengan implementasi berupa usaha untuk melakukan pengelolaan Drainase secara komprehensif
dan terpadu serta memasukan faktor ekologi/lingkungan dalam setiap usaha pengelolaan
Drainase.
Menurut Maryono (2001) yang mengusulkan Konsep Eko-Drainase (Eco-Drainage Concept)
yaitu, “Release of excess water to the rivers at an optimal time which doesn’t cause hygenic and
flood problems”; Eko-Drainase diartikan suatu usaha membuang/mengalirkan air kelebihan ke
sungai dengan waktu seoptimal mungkin sehingga tidak menyebabkan terjadinya masalah
kesehatan dan banjir di sungai terkait (akibat kenaikan debit puncak dan pemendekan waktu
mencapai debit puncak). Dari pengertian ini dapat diuraikankan ada 2 (dua) pendekatan yang
digunakan dalam konsep eko-Drainase yakni pendekatan eko-hidraulik, yakni pengelolaan
drainase yang dilakukan dengan memperhatikan fungsi hidraulik dan fungsi ekologi, serta
pendekatan kualitas air, yakni upaya meminimalkan dan atau meniadakan pencemaran air yang
dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi manusia dan flora-fauna.
Dalam dua dekade terakhir, telah terjadi pergeseran konsep dan paradigma pengelolaan sistem
drainase perkotaan, dari konsep konvensional ke konsep eko-drainase atau konsep drainase
berwawasan lingkungan; dari paradigma mengalirkan dan/atau membuang kelebihan air (hujan)
menjadi mengelola air hujan dan limpasannya. Perubahan paradigma ini bertolak dari
pemikiran bahwa air hujan adalah suatu sumberdaya, dengan demikian sudah selayaknya harus
dikelola, tidak hanya mempertimbangkan daya gunanya dan/atau daya rusaknya saja, akan
tetapi juga perlu mempertimbangkan aspek keberlanjutannya. Dengan demikian, berbagai
teknologi yang dikembangkan harus diarahkan untuk mempertahankan keberadaan air hujan
dan limpasannya selama mungkin ada daerah tangkapannya, dalam rangka mengoptimasi daya
gunanya dan menjaga keberlanjutannya sekaligus mengendalikan daya rusaknya. Pergeseran
paradigma pengelolan air hujan dan limpasannnya secara lengkap seperti dalam Tabel 3.1
berikut.
Sampai saat ini telah dikembangkan beberapa konsep pengelolaan sistem drainase perkotaan
berbasis pengelolaan air hujan dan limpasannya, diantaranya: LID (Low Impact Development),
yang dikembangkan di Amerika Serikat; SUDS (Sustainable Urban Drainage System), yang
dikembnagkan di Inggris; dan WSUD (Water Sensitive Urban Design), serta IUSM (Integrated
Urban Stormwater Management), yang dikembangkan di Australia.
386
Tabel 3-1. Pergeseran Paradigma Pengelolaan Air Hujan dan Limpasannnaya
Drainase Konvensional: Eko-drainase:
Drainase Pematusan Drainase Berkelanjutan
sistem pengelolaan genangan sistem pengelolaan ekosistem
membuang air hujan secepat-cepatnya mengelola air hujan dan meniru proses alam
hanya memperhatikan puncak banjir air hujan terpadu dengan tata guna lahan
fokus pada hujan ekstrim mempertimbangkan volume limpasan
bersifat reaktif (pemecahan masalah) bersifat proaktif (memecahkan masalah)
berbasis teknologi berbasis tim multidisiplin
pengambilan keputusan sepihak keputusan berdasar konsensus
kepemilikan pada pemerintah kemitraan dengan semua pihak
melalui cara-cara:
1) mengelola limpasan sedekat mungkin dengan tempat di mana hujan jatuh;
2) mengelola potensi pencemaran pada sumbernya saat ini dan di masa yang akan datang; dan
3) melindungi sumber daya air dari sumber pencemar.
387
Konsep ecodrain memungkinkan suatu kawasan perkotaan (daerah tangkapan air = DTA) dibagi
banyak bagian (sub-DTA) yang masing-masing mempunyai karakteristik dan pemanfaatan
lahan yang berbeda-beda, masing-masing dengan strategi pengelolaan hujan dan limpasan yang
berbeda pula. Mengelola hujan di tempatnya tidak hanya mengurangi iuantitas limpasan yang
harus dikelola di suatu tempat, tetapi juga mengurangi kebutuhan sistem pembawa (saluran)
untuk mengalirkan air keluar dari kawasan.
Konsep ecodrain merupakan salah satu unsur dari konsep pengelolaan hujan terpadu (Integrated
Stormwater Management). Pengelolaan secara integratif ini bukan hanya diartikan secara
administratif dari hulu ke hilir, namun juga harus diartikan secara substantif menyeluruh
menyangkut seluruh aspek yang berhubungan dengan Drainase, yang meliputi semua aspek;
aspek teknis operasional pengelolaan Drainase, kelembagaan/institusi, keuangan/pembiayaan,
peran masyarakat dan atau swasta dan hukum peraturan.
Pengelolaan Air Hujan Perkotaan Terpadu (PAHPT) mempunyai konsep sbb.:
1) mereduksi banjir – meminimalkan tinggi puncak banjir yang berasal dari DTA perkotaan;
2) meminimalkan pencemaran – melalui pencegahan, pengumpulan, dan/atau pengelolaan
bahan pencemar;
3) menampung limpasan hujan – pemanenan dan pemanfaatan hujan dan limpasannya di
dalam kawasan atau di dekat DTA perkotaan;
4) memperbaiki lansekap perkotaan – tidak menyembunyikan badan air dari pandangan publik
dengan cara memadukan fungsinya dengan lansekap perkotaan dan dengan runag terbuka
hijau; dan
5) menekan investasi untuk drainase – perpaduan inovatif antara sistem pengelolaan limpasan
hujan dengan ekosistem perkotaan untuk mengurangi biaya infrastruktur.
Brown (2005) mengatakan bahwa dalam PAHPT upaya pemanenan dan pemanfaatan air hujan
dan limpasanya sebagai tambahan upaya pengendalian pencemaran untuk melindungi ekosistem
perairan perkotaan, adalah sama pentingnya dengan upaya perlindungan terhadap banjir. Namun
upaya-upaya tersebut sulit disinergikan mengingat bahwa selama ini secara historis
kelembagaan saling terpisah antara pengelola banjir, pengeloa kualitas air, erencana kota, dan
perlindungan lingkungan. oleh karena itu diperlukan adanya kolaborasi antar sektor, dengan
mengikut sertakan semua pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan, yang
merefleksian filosofi pengelolaan DTA terpadu.
388
3.2 Manfaat Ecodrain
Dengan pelaksanaan ecodrain akan memberikan manfaat baik jangka pendek, menengah
maupun jangka panjang, sebagai berikut:
1) Mengurangi ketinggian muka air banjir pada jaringan drainase;
2) Pengaturan aliran yang lebih baik akan mengurangi resiko genangan;
3) Melindungi sungai dan anak sungai dari erosi dan banjir;
4) Suplai air tanah (Groundwater recharge);
5) Menyediakan tempat untuk keberlangsungan habitat air/keuntungan ekologis;
6) Meningkatkan jumlah biota air;
7) Mengurangi waterborne diseases;
8) Memproteksi air yang dapat digunakan untuk kepentingan rekreasi;
9) Mengurangi kemungkinan kerusakan properti akibat genangan;
10) Meningkatkan nilai estetika untuk perumahan lokal (local residence);
11) Meningkatkan nilai NJOP tanah dan bangunan untuk wilayah yang tidak terkena genangan;
12) Memberikan pendidikan kepada masyarakat; dan
13) Operasi dan Pemeliharaan yang lebih mudah.
389
banyak dipandang sebagai sumber bencana, kelebihan hujan menimbulkan banjir, tidak ada
hujan menimbulkan kekeringan. Kondisi itu harus diubah dengan cara mengembangkan
fasilitas pemanenan air hujan (PAH). Debit banjir dapat dikurangi dengan PAH sehingga
ketersediaan air dapat ditingkatkan. Ada beberapa jenis PAH yang dapat dikembangkan untuk
memanen air hujan, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua grup, yaitu (Gambar
3.1):
• Tipe tampungan atau simpanan, dan
• Tipe resapan.
Fasilitas pemanenan air hujan tipe tampungan sangat beragam jeninya. Berdasarkan lokasinya
dibedakan menjadi penyimpanan di dalam lokasi (in-site storage), dan penyimpanan di luar
lokasi (off-site storage). Penyimpanan di dalam lokasi dapat berada di permukaan tanah
390
(Gambar 3-2) maupun di bawah permukaan tanah (Gambar 3-3). Fasilitas PAH di kawasan
padat, di mana lahan sangat terbatas, dapat digunakan tipe tampungan individual berupa tanki
air dari drum bekas, tanki fiber, atau bahan. Air hujan dari atap ditampung di tanki air, dan
dapat dimanfaatkan untuk menyiram tanaman atau mencuci mobil, atau untuk kebutuhan
industri.
Untuk kawasan pedesaan, di perkampungan dapat dikembangkan belumbang atau saluran buntu
di pekarangan. Saluran ini berfungsi menyimpan air sekaligus pengisian air tanah. Dengan
demikian ketersediaan air tanah akan selalu terjaga. Demikian juga di lahan pertanian, dapat
dikembangkan lumbung-lumbung air, embung, waduk, parit dan lain-lain, yang berfungsi
menangkap air hujan sebanyak-banyaknya. Tampungan-tampungan baru tersebut juga
merupakan upaya untuk melakukan konservasi di hulu yang dimaksudkan untuk
mempertahankan dan memelihara keberadaan, sifat dan fungsi sumberdaya air sehingga dapat
lebih dijamin ketersediaan dan kualitas air untuk memenuhi berbagai kebutuhan secara
berkesinambungan baik bagi generasi sekarang maupun akan datang. Selain itu, pembangunan
tampungan baru juga merupakan upaya untuk melakukan pengendalian banjir yang saat ini
sering terjadi di hilir terutama di beberapa wilayah perkotaan.
Gambar 3.2. Tangki Penampungan Air Hujan untuk Rumah Tangga (kiri) dan untuk
industri (kanan) (sumber Maryono, 2011)
391
Gambar 3.3. Tangki Penampungan Air Hujan di Bawah Permukaan Tanah
Fasilitas PAH tipe resapan dapat dibuat secara individual, maupun kelompok. Fasilitas PAH
dapat dibuat di mana saja, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Untuk kawasan perkotaan, di
mana lahan sangat terbatas, fasilitas PAH tipe resapan lebih cocok, seperti sumur resapan air
hujan, biopori, bioretensi. Tipe PAH ini tidak perlu lahan khusus. Lahan untuk PAH masih
dapat difungsikan untuk keperluan lain. Taman kota, median jalan, dan taman parkir juga dapat
dimanfaatkan untuk peresapan maupun tampungan sementara dalam bentuk bioretensi.
Peresapan air hujan ke bawah tanah dapat melindungi kota dari gangguan polusi panas dan
kekurangan air serta memperbaiki lingkungan kota (Basuki, 2009).
Walaupun kegunaan pengisian air tanah buatan begitu banyak, namun tidak dapat diterapkan di
sembarang tempat. Beberapa persyaratan fisik yang harus dipenuhi dalam pembuatan pengisian
air tanah buatan antara lain:
(1) Tersedia kapasitas yang memadai. Lokasi dengan muka air tanah dekat dengan muka tanah
tidak cocok untuk pembuatan pengisian air tanah buatan, demikian juga lokasi dengan
tekanan piezometrik yang tinggi.
(2) Tersedia air yang cukup dengan kualitas yang memadai (lebih baik dari kualitas air tanah
lokal).
(3) Tanah atau batuan pada lokasi mempunyai transmisibilitas atau permeabilitas yang cukup.
392
Untuk menanggulangi defisit air tanah, telah banyak pemikir yang mengajukan konsep
pengisian buatan (artificial recharge), misalnya dengan genangan buatan dengan sumber air
dari sungai (Todd, 1980); membuat kolam-kolam di sekitar rumah (Seaburn, 1970);
pemanfaatan pipa jaring-jaring drainase yang porus guna meresapkan air hujan di sekitar rumah
(Dune dan Leopold, 1978); dan menyebarkan air pada lahan yang luas yang sekaligus untuk
mengairi daerah pertanian (Mac Donald, 1969 dalam Sunjoto, 1988). Cara yang terakhir ini
telah lama dipraktekkan di Jawa dan Bali yaitu pada lahan pertanian basah (padi sawah).
Walaupun kegunaan pengisian air tanah buatan begitu banyak, namun tidak dapat diterapkan di
sembarang tempat. Beberapa persyaratan fisik yang harus dipenuhi dalam pembuatan pengisian
air tanah buatan antara lain:
(1) Tersedia kapasitas yang memadai. Lokasi dengan muka air tanah dekat dengan muka tanah
tidak cocok untuk pembuatan pengisian air tanah buatan, demikian juga lokasi dengan
tekanan piezometrik yang tinggi.
(2) Tersedia air yang cukup dengan kualitas yang memadai (lebih baik dari kualitas air tanah
lokal).
(3) Tanah atau batuan pada lokasi mempunyai transmisibilitas atau permeabilitas yang cukup.
Beberapa jenis fasilitas PAH tipe resapan yang sudah banyak dikenal di masyarakat adalah
sebagai berikut:
1) Sumur Resapan
Sumur resapan, sebenarnya telah banyak dipraktekkan oleh nenek moyang kita, yaitu
dengan membuat lubang-lubang galian di kebun halaman serta memanfaatkan sumur-
sumur yang tidak terpakai sebagai penampung air hujan.
Konsep dasar sumur resapan pada hakekatnya adalah memberi kesempatan dan jalan pada
air hujan yang jatuh di atap atau lahan kedap untuk meresap ke dalam tanah dengan jalan
air ditampung pada suatu sistem resapan air. Berbeda dengan cara konvensional dimana air
hujan dibuang / dialirkan ke sungai terus ke laut, cara ini mengalirkan air hujan ke dalam
sumur-sumur resapan yang di buat di halaman rumah. Sumur resapan ini merupakan sumur
kosong dengan maksud kapasitas tampungannya cukup besar sebelum air meresap ke
dalam tanah. Dengan adanya tampungan, maka air hujan mempunyai cukup waktu untuk
meresap ke dalam tanah, sehingga pengisian tanah menjadi optimal.
Berdasarkan konsep tersebut, maka ukuran atau dimensi sumur yang diperlukan untuk
suatu lahan atau kapling sangat tergantung dari beberapa faktor, sebagai berikut:
393
(1). Luas permukaan penutupan, yaitu lahan yang airnya akan ditampung dalam sumur
resapan, meliputi luas atap, lapangan parkir dan perkerasan-perkerasan lain.
(2). Karakteristik hujan, meliputi intensitas hujan, lama hujan, selang waktu hujan. Secara
umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi hujan, makin lama berlangsungnya hujan
memerlukan volume sumur resapan yang makin besar. Sementara selang waktu hujan
yang besar dapat mengurangi volume sumur yang diperlukan.
(3). Koefisien permeabilitas tanah, yaitu kemampuan tanah dalam melewatkan air per
satuan waktu. Tanah berpasir mempunyai koefisien permeabilitas lebih tinggi
dibandingkan tanah berlempung.
(4). Tinggi muka air tanah. Pada kondisi muka air tanah yang dalam, sumur resapan perlu
dibuat secara besar-besaran karena tanah benar-benar memerlukan pengisian air
melalui sumur-sumur resapan. Sebaliknya pada lahan yang muka airnya dangkal,
pembuatan sumur resapan kurang efektif, terutama pada daerah pasang surut atau
daerah rawa dimana air tanahnya sangat dangkal.
Sejauh ini telah dikembangkan beberapa metode untuk mendimensi sumur resapan,
beberapa diantaranya adalah sebagai berikut.
Sunjoto (1988)
Secara teoritis, volume dan efisiensi sumur resapan dapat dihitung berdasarkan
keseimbangan air yang masuk ke sumur dan air yang meresap ke dalam tanah (Sunjoto,
1988) dan dapat dituliskan sebagai berikut:
FKT
Q 2
H 1 e R
FK
dimana :
H = tinggi muka air dalam sumur (m)
F = adalah faktor geometrik (m)
Q = debit air masuk (m3/dt)
T = waktu pengaliran (detik)
K = koefisien permeabilitas tanah (m/dt)
R = jari-jari sumur (m).
Faktor geometrik tergantung pada berbagai keadaan sebagaimana dapat dilihat pada
Gambar 3-4, dan secara umum dapat dinyatakan dalam persamaan:
394
Qo F .K .H
R R
L LR
2 LKH
2 LKH QO
(a) QO 2
(b) L L
2 ln 1
L L 2R 2R
ln 1
R R
(c) QO 4 RKH
(d) Qo 2 RKH
R R
(e)
Qo 4 RKH (f) Qo 5,5 RKH
Gambar 3.4. Debit resapan pada sumur dengan berbagai kondisi (Bouilliot, 1976;
dalam Sunjoto, 1988).
395
Kedalaman efektif sumur resapan dihitung dari tinggi muka air tanah bila dasar sumur
berada di bawah muka air tanah tersebut, dan diukur dari dasar sumur bila muka air tanah
berada di bawah dasar sumur. Sebaiknya dasar sumur berada pada lapisan tanah dengan
permeabilitas tinggi.
Metode PU
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman, Departemen Pekerjaan (1990) telah
menyusun standar tata cara perencanaan teknis sumur resapan air hujan untuk lahan
pekarangan yang dituangkan dalam SK SNI T-06-1990 F. Tidak jauh berbeda dengan apa
yang dikemukakan oleh Sunjoto, metode PU menyatakan bahwa dimensi atau jumlah
sumur resapan air hujan yang diperlukan pada suatu lahan pekarangan ditentukan oleh
curah hujan maksimum, permeabilitas tanah dan luas bidang tanah, yang dapat dirumuskan
sebagai berikut:
D.I.A t D.k.A s
H
A s D.K.P
dimana:
D = durasi hujan (jam)
I = intensitas hujan (m/jam)
At = luas tadah hujan (m2), dapat berupa atap rumah atau permukaan tanah yang
diperkeras
k = permeabilitas tanah (m/jam)
P = keliling penampang sumur (m)
As = luas penampang sumur (m2)
H = kedalaman sumur (m).
396
PEMERIKSAAN TINGGI MUKA
AIR TANAH
> 3 m?
tidak
ya
PERMEABILITAS TANAH
> 2 cm/jam?
tidak
ya
PERSYARATAN JARAK
Memenuhi
syarat? tidak
ya
SISTEM PENAMPUNGAN AIR HUJAN
SUMUR RESAPAN AIR HUJAN
TERPUSAT (EMBUNG, WADUK, DLL)
397
Peluap ke saluran Peluap ke saluran
drainase drainase
Saluran dari talang Saluran dari talang
rumah rumah
Dinding porus
398
Permeabilitas tanah:
Permeabilitas tanah yang dapat dipergunakan untuk sumur resapan dibagi menjadi 3 kelas,
yaitu:
(1). Permeabilitas tanah sedang (geluh/lanau, 2,0 – 6,5 cm/jam)
(2). Permeabilitas tanah agak cepat (pasir halus, 6,5 – 12,5 cm/jam)
(3). Permeabilitas tanah cepat (pasir kasar, lebih besar 12,5 cm/jam).
Tabel 3-2. Contoh hasil perhitungan jumlah sumur resapan dengan menggunakan Metode
PU dengan kedalaman sumur 3 m, efisiensi 100%.
Luas bidang Jumlah sumur (buah)
No. tadah Permeabilitas sedang Permeabilitas agak cepat Permeabilitas cepat
m2 80 cm 140 cm 80 cm 140 cm 80 cm 140 cm
1. 20 1 * * * * *
2. 30 1 * 1 * * *
3. 40 2 1 1 * * *
4. 50 2 1 1 * 1 *
5. 60 2 1 1 * 1 *
6. 70 3 1 2 1 1 *
7. 80 3 2 2 1 1 *
8. 90 3 2 2 1 2 1
9. 100 4 2 2 1 2 1
10. 200 8 3 4 2 3 2
11. 300 12 5 7 3 5 2
12. 400 15 6 9 4 6 3
13. 500 19 8 11 5 7 4
Keterangan : * : tidak dianjurkan Sumber : SNI T-06-1990-F
I : 87,0 mm/jam
D : 5 jam
Penempatan:
Untuk memberikan hasil yang baik, serta tidak menimbulkan dampak negatif, penempatan
sumur resapan harus memperhatikan kondisi lingkungan setempat. Penempatan sumur
resapan harus memperhatikan letak septik tank, sumur air minum, posisi rumah, dan jalan
umum. Tabel 4-2. memberikan batas minimum jarak sumur resapan terhadap bangunan
lainnya.
399
Tabel 3-3. Jarak minimum sumur resapan dengan bangunan lainnya.
Jarak minimal
No. Bangunan/obyek yang ada dengan sumur
resapan (m)
1. Bangunan/rumah 3,0
2. Batas pemilikan lahan/kapling 1,5
3. Sumur untuk air minum 10,0
4. Septik tank 10,0
5. Aliran air (sungai) 30,0
6. Pipa air minum 3,0
7. Jalan umum 1,5
8. Pohon besar 3,0
Sumber : Cotteral and Norris dalam Kusnaedi, 2000.
Pemeriksaan:
Sumur resapan air hujan perlu diperiksa secara periodik setiap 6 bulan sekali untuk
menjamin kontinuitas operasi sumur resapan. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
400
Tabel 3-4. Volume sumur resapan pada tanah dengan permeabilitas rendah.
Volume sumur resapan Volume sumur resapan tanpa
Luas kavling
No. dengan saluran drainase saluran drainase sebagai
(m2)
sebagai pelimpasan (m3) pelimpasan (m3)
1. 50 1,3 – 2,1 2,1 – 4,0
2. 100 2,6 – 4,1 4,1 – 7,9
3. 150 3,9 – 6,2 6,2 – 11,9
4. 200 5,2 – 6,2 8,2 – 15,8
5. 300 7,8 – 12,3 12,3 – 23,4
6. 400 10,4 – 16,4 16,4 – 31,6
7. 500 13,0 – 20,5 20,5 – 39,6
8. 600 15,6 – 24,6 24,6 – 47,4
9. 700 18,2 – 28,7 28,7 – 55,3
10. 800 20,8 – 32,8 32,8 – 63,2
11. 900 23,4 – 36,8 36,8 – 71,1
12. 1000 26,0 – 41,0 41,0 – 79,0
13. dst - -
Sumber : SK. Gub. No. 17 th. 1992 dalam Dinas Pertambangan DKI Jakarta.
401
Tanaman tahunan
Saluran pemasukan
Kolam
berakar pendek
Saluran limpasan
Saluran pemasukan
Kolam
1,5 m 2-5 m
Kerikil
3m
Seperti halnya pada sumur resapan individual, sumur kolektif juga harus memperhatikan
tata letak serta jarak yang tepat supaya dapat berfungsi dengan baik dan tidak menimbulkan
dampak negatif pada lingkungan. Berdasarkan lahan yang tersedia, sumur kolektif dapat
dibuat dalam bentuk kolam resapan, sumur dalam, atau parit berorak. Kolam resapan cocok
dibuat pada wilayah dimana lahan tersedia cukup dan kondisi air tanahnya dangkal (<5 m).
Sumur dalam dapat dibuat pada lahan sempit, namun syaratnya air tanah harus dalam (>
5m). Sedangkan jika lahannya sempit dan air tanahnya dangkal dapat dibuat parit berorak.
3) Kolam Resapan
Kolam resapan merupakan kolam terbuka yang khusus dibuat untuk menampung air hujan
dan meresapkannya ke dalam tanah. Model kolam ini cocok untuk kawasan dimana air
tanahnya dangkal namun tersedia lahan yang cukup luas. Model ini dapat dipadukan
dengan pertamanan atau hutan kota/ hutan masyarakat. Dengan demikian kolam resapan
dapat mempunyai fungsi ganda, konservasi air dan udara, sekaligus mempunyai nilai
estetika.
402
4) Saluran Berumput (Grassed Chanels)
Saluran berumput adalah anak sungai alam atau parit buatan bervegetasi yang digunakan
untuk mengakomodasi dan mengurangi kecepatan limpasan air hujan. Saluran berumput
dapat diterapkan di hampir semua tempat dan sangat efektif mengontrol limpasan dari jalan
raya dan kawasan perumahan.
Saluran berumput mempunyai beberapa manfaat, yaitu:
(1) Menangkap sedimen dan polutan lainnya oleh rerumputan;
(2) Mengurangi limpasan dan meningkatkan infiltrasi yang pada gilirannya, mengontrol
debit puncak;
(3) Sangat efektif untuk mengontrol limpasan dari jalan raya dan kawasan pemukiman;
(4) Dapat memberikan resapan air tanah, jika desain dan tanah memungkinkan untuk
peningkatan infiltrasi.
sheet flow
rumput penyaring
batas
perkerasan
media tanam
bioretensi
403
Beberapa proses utama yang terjadi pada bioretensi adalah sebagai berikut:
(1) Intersepsi: tertangkapnya air hujan oleh daun tanamanserta lapisan penutup (mulsa),
sehingga memperlambat terjadinya aliran permukaan;
(2) Infiltrasi: merupakan proses utama bioretensi, baik yang dilengkapi dengan drainase
bawah tanah maupun yang tidak;
(3) Pengendapan: partikel yang terbawa air mengendap dipermukaan bioretensi akibat
aliranyang lambat;
(4) Absorpsi: proses penahanan air di ruang antar partikel tanah yang selanjutnya diserap
oleh akar tanaman;
(5) Evapotranspirasi: limpasan permukaan akan diubah menjadi uap air oleh tanaman di
bioretensi;
(6) Filtrasi: proses penyaringan kandungan kimia seperti metal nitrat yang terbawa air
oleh humus dan tanah.
Bioretensi cocok untuk mengelola air hujan yang jatuh di jalan raya, dan lapangan parkir
terbuka. Pada awal hujan yang jatuh di jalan dan lapangan parkir akan mencuci dan
membawa serta polutan yang ada (sedimen, bahan kimia, partikel keausan ban, oli, dll.)
masuk ke dalam bioretensi. Air ini akan mengalami pemurnian di dalam bioretensi. Jika
hujan masih terus berlangsung sehingga kapasitas bioretensi terlampaui, air akan mengalir
langsung ke sistem drainase melalui pelimpah didisediakan. Air limpasan ini sudah relatif
bersih karena kotoran sudah tercuci oleh hujan yang awal, sehingga boleh langsung masuk
ke sistem drainase.
6) Biopori
Biopori atau disebut juga lubang resapan biopori (LRB) adalah lubang buatan di tanah
dengan diameter 10 - 30 cm, panjang 30 - 100 cm yang diisi sampah organik yang
berfungsi untuk menjebak air yang mengalir di sekitarnya.
Manfaat Biopori
Manfaat biopori tidak hanya berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air, tetapi juga
terkait dengan pengelolaan lahan. Manfaat biopori selengkapnya adalah sebagai berikut:
404
(1) Memaksimalkan air yang meresap ke dalam tanah sehingga menambah air tanah;
(2) Mengurangi genangan air yang menimbulkan penyakit;
(3) Mengurangi air hujan yang dibuang percuma ke laut;
(4) Mengurangi resiko banjir di musim hujan;
(5) Maksimalisasi peran dan aktivitas flora dan fauna tanah;
(6) Membuat kompos alami dari sampah organik daripada dibakar;
(7) Menyuburkan tanah;
(8) Mencegah terjadinya erosi tanah dan bencana tanah longsor.
405
Gambar 3.9. Pembuatan lubang biopori
406
Gambar 3.10. Konstruksi Perkerasan dengan Paving Block
407
beratap rumput dari Irlandia dan Skandinavia. Namun, atap hijau modern mulai
dikembangkan dalam 50 tahun terakhir, dengan meningkatnya kecanggihan untuk
memenuhi berbagai kebutuhan tumbuh tanaman.
Sebagian besar kemajuan teknologi atap hijau modern dibuat di Jerman; pertumbuhannya
pada 1970-an dan 1980-an telah mencapai nilai £39 million. Selanjutnya teknologi ini
menyebar ke berbagai negara Eropa lainnya seperti Swiss, Belanda, Austria, Inggris, Italia,
Perancis, dan Swedia (www.efb-greenroof.eu). Bahkan saat ini diperkirakan 10% dari
semua bangunan yang ada di Jerman telah memiliki taman atap. Selain Jerman, Austria
(kota Linz) telah mengembangkan proyek taman atap sejak tahun 1983, demikian juga
dengan Swiss yang mulai intensif mengembangkan taman atap sejak tahun 1990. Di
Inggris, pemerintah kota London dan Sheffield bahkan telah membuat kebijakan khusus
mengenai pengembangan taman atap. Pengembangan taman atap juga populer di Amerika
meskipun tidak seintensif di Eropa. Beberapa negara di Asia seperti Jepang, Korea,
Hongkong, China, dan Singapura merupakan penggiat dalam proyek-proyek taman atap.
Keberadaan taman atap, khususnya di kota-kota besar (metropolis) memiliki peran penting
seperti halnya ruang hijau lainnya. Ancaman terhadap eksistensi RTH akibat pembangunan
infrastruktur-infrastruktur kota dapat diimbangi atau dikompensasi dengan
mengembangkan taman atap. Pada umumnya manfaat taman atap adalah sebagai berikut:
(1) Memperbaiki kualitas udara, vegetasi pada taman atap mampu merubah polutan
(toksin) di udara menjadi senyawa tidak berbahaya melalui proses reoksigenasi; taman
atap juga berperan dalam menstabilkan jumlah gas rumah kaca (karbon dioksida) di
atmosfir kota sehingga dapat menekan efek rumah kaca;
(2) Menurunkan suhu udara, keberadaan taman atap dapat mengurangi efek panas radiasi
sinar matahari yang berasal dari dinding bangunan maupun dari tanah (heat island
effect). Taman atap juga dapat mengurangi penyebaran debu dan material lainnya,
serta asap. Hal ini dapat berperan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca;
(3) Konservasi air, taman atap dapat menyimpan sebagian air yang berasal dari air hujan
sehingga menyediakan mekanisme evapotranspirasi yang lebih efisien. Taman atap
juga mampu memperpanjang waktu limpasan sehingga menurunkan debit puncak
banjir;
(4) Mengurangi polusi suara/kebisingan, komposisi vegetasi pada taman atap memiliki
potensi yang baik dalam meredam kebisingan yang berasal dari luar bangunan (suara
bising kendaraan bermotor atau aktivitas industri);
(5) Menampilkan keindahan pada aspek bangunan (estetika), sama halnya dengan fungsi
taman pada umumnya, taman atap menyediakan keindahan bagi aspek bangunan
sehingga tampak lebih hidup, asri, dan nyaman;
408
(6) Meningkatkan keanekaragaman hayati kota, taman atap dapat berfungsi sebagai
habitat sekaligus penghubung bagi pergerakan organisme (wildlife) antar ruang hijau
di kawasan perkotaan
Berdasarkan jumlah biaya (perawatan) yang dibutuhkan, kedalaman tanah (media tanam),
dan jenis tanaman yang digunakan, taman atap dibedakan menjadi dua macam yaitu:
(1) Taman Atap Ekstensif (Extensive Green Roofs), taman atap jenis ini membutuhkan
biaya perawatan yang cukup murah, media tanam (tanah) yang dangkal, dan tanaman
yang digunakan adalah tanaman hias ringan. Taman atap ini mempunyai skala
bangunan yang ringan dan sempit sehingga banyak digunakan pada bagian rumah
yang tidak terlalu luas seperti garasi, atap rumah, teras, atau dinding. Jenis ini pada
umumnya tidak memerlukan fasilitas irigasi untuk perawatannya.
(2) Taman Atap Intensif (Intensive Green Roofs), taman atap ini memiliki media tumbuh
yang tebal, mempunyai ukuran yang luas dengan struktur bangunan yang besar dan
kuat, mampu menampung berbagai jenis tanaman baik kecil maupun besar (pohon).
Taman atap jenis ini banyak digunakan pada bangunan-bangunan besar (pencakar
langit), serta dapat dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi. Jenis ini memerlukan sistem
irigasi yang kompleks untuk perawatannya.
a). Taman atap ekstensif, tebal b). Taman atap intensif, tebal > 20
12,5 – 20 cm cm
409
3.3.2 Saringan Sampah Manual dan Otomatis
Saringan sampah merupakan salah satu bangunan penting dalam ecodrain. Hal ini disebabkan
kesadaran masyarakat yang rendah untuk membuang sampah di TPA, selain itu kapasitas TPA
sendiri yang kurang memadai dan akhirnya sampah terbuang ke saluran drainase. Sampah
tersebut ada yang dalam kondisi terapung, melayang dan berada di dasar saluran/badan air.
1) Pendekatan Analisa Jumlah Sampah yang masuk ke dalam sungai (Sistem DAS) 1
Sampah yang diproduksi oleh permukiman, daerah perkantoran dan perdagangan, dan
fasum dan fasos di perkotaan dan perdesaan tidak semua dapat terangkut ke Tempat
Pengolahan Akhir (TPA) atau tereduksi dengan kegiatan 3R dan komposting ataupun di
timbun/dibakar, ternyata masih ada sebagian dari prosentase sampah tersebut yang dibuang
ke perairan (sungai, danau dan pantai/laut). Dari hasil penelitian di bebarapa kota besar di
Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya didapatkan jumlah
prosentase sampah yang cukup besar yang dibuang ke sungai dan saluran-saluran drainase,
yang secara signifikan juga menyebabkan kegagalan fungsi sarana prasarana drainase dan
pengendalian banjir karena dapat mengurangi kapasitas saluran serta mengganggu
operasional fungsi pintu air dan instalasi pompa banjir.
Jenis sampah yang sering dibuang ke sungai dan saluran-saluran drainase tersebut
diantaranya adalah sampah basah seperti sampah sisa-sisa makanan dan sayur-mayur,
buah-buahan; sampah kering seperti kayu, plastik, pakaian, kasur, dan bantal, logam, kaca,
keramik; sampah balokan seperti batang pohon tumbang, balok kayu; sampah binatang
seperti bangkai kucing, bangkai ayam, bangkai anjing, dan bangkai tikus; dan sampah
industri pertanian dan perkebunan seperti sisa-sisa pestisida dan herbisida.
Tempat-tempat yang potensial menjadi sumber sampah sungai antara lain:
a) Pasar, tempat-tempat komersil di sepanjang aliran sungai (termasuk dalam DAS
Sungai).
b) Pabrik-pabrik, bengkel dan industri (kecil, menengah, dan besar) di sepanjang aliran
sungai.
c) Rumah tinggal, permukiman sekolah dan bangunan-bangunan umum di sepanjang
aliran sungai yang tidak dilindungi pagar pengamanan sungai.
d) Kandang-kandang hewan, tempat pemotongan hewan yang dekat aliran sungai.
e) Jalan, lapangan serta pohon-pohon yang berada sepanjang aliran sungai.
Sampah-sampah tersebut ada yang kondisi terapung, melayang dan berada di dasar
saluran/sungai/waduk. Hal ini terjadi tergantung pada sifat-sifat fisik sampah (berat jenis,
1
Penyusunan Sistem Pengelolaan Sampah Sungai di DKI Jakarta, Proyek Peningkatan Prasarana Permukiman DKI Jakarta,
Ditjen Cipta Karya 1998/1999, Laporan Akhir. halaman 4-1 s.d. 4-3.
410
permukaan dlsb), yang mana akan menentukan konsep penanganan pemeliharaan dan
operasional sarana (O&M) dan prasarana drainase. Sampah-sampah tersebut selain
menyebabkan dibutuhkannya kegiatan O&M seperti kegiatan pengerukan, pembuatan
screen/floating screen, juga menyebabkan peningkatan biaya pemeliharaan prasarana dan
sarana drainase dan pengendalian banjir.
2) Perhitungan Laju Timbulan Sampah Sungai
Produksi sampah sungai dalam layanan pembersihan ini adalah sampah sungai yang timbul
di daerah perkotaan yang mempunyai jumlah yang lebih sedikit dari jumlah sampah yang
ada secara keseluruhan. Hanya sebagian kecil dari produksi sampah kota yang masuk ke
dalam sistem aliran sungai.
Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a) Adanya pola angkutan sampah darat oleh Dinas Kebersihan/Pemda/Pemkot.
b) Adanya pola angkutan sampah darat oleh swadaya masyarakat setempat.
c) Adanya pemulung sampah yang memisahkan sampah-sampah logam, plastik, kayu dan
lain-lainnya untuk daur ulang.
d) Masih terdapatnya lahan-lahan terbuka yang dapat menampung dan menyimpan
sampah dan secara alami dapat direduksi.
e) Masih terdapatnya daeran sempadan sungai yang terbuka dan belum dipagar sehingga
masih banyak penduduk yang membuang sampah.
f) Kesadaran sebagian besar masyarakat untuk tidak membuang sampah ke dalam sungai.
Tempat-tempat yang menjadi sumber sampah di sepanjang sistem aliran sungai adalah:
a) Permukiman kumuh/liar disepanjang sungai.
b) Permukiman padat disepanjang aliran sungai.
c) Lokasi-lokasi pasar, tempat-tempat komersial di sepanjang aliran sungai.
d) Pabrik-pabrik dan industri di sepanjang aliran sungai.
e) Fasilitas-fasilitas umum di sepanjang aliran sungai.
f) Kandang-kandang hewan, tempat pemotongan hewan yang dekat aliran sungai.
g) Jalan-jalan lingkungan, jalan setapak, lapangan, taman serta pohon-pohon yang berada
disepanjuang aliran sungai.
411
Qsd = Quantitas sampah darat
Kss = Koefisien timbulan sampah sungai (0,2 - 0,6%)
Produksi sampah untuk suatu kawasan pemukiman yang berada dipinggir aliran sungai/kali
dihitung berdasarkan banyaknya populasi yang menghasilkan sampah setiap harinya, jika
dinyatakan dengan persamaan adalah sebagai berikut:
412
Sedangkan pergerakan naik dan turun nya rake digerakan oleh hoist melalui
kabel/wire rope (seperti terlihat pada Gambar 3.14).
413
a) Climber Trash Rake
Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: pergerakan rake diperoleh dari motor penggerak
disambung dengan socket dan rantai, pergerakan naik dan turunnya rake digerakan
oleh socket melalui rantai.
b) Elbow Arm
Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: rake dilengkapi dengan dua lengan, sedangkan
bagian ujungnya dilengkapi dengan backhoe untuk pengambilan sampah. Pergerakan
naik dan turun bagian lengan dan backhoe dengan system mekanis atau hydraulic.
3.3.3 Bioremediasi
Proses bioremediasi adalah salah satu teknik pengurangan atau penghilangan tingkat toksisitas,
mobilitas dan kuantitas bahan pencemar (kontaminan) pada sumber air dan tanah terkontaminasi
dengan menggunakan mikroorganisme (mikroflora atau mikrofauna). Bila menggunakan
makroflora (tumbuhan) disebut phytoremediasi.
Kontaminan yang biasa ditemui pada sumber air dan tanah terkontaminasi adalah kontaminan
organik dan beberapa kontaminan anorganik.
414
Teknik bioremediasi dan atau phytoremediasi banyak digunakan didalam upaya pemulihan
kondisi sumber air dan tanah terkontaminasi karena terbukti lebih murah dan efektif
dibandingkan dengan teknik remediasi menggunakan bahan kimia.
Teknik bioremediasi yang dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sedimen (endapan) sungai
atau bozem atau waduk adalah secara: (1) in-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat tanah
terkontaminasi berada dan (2) ex-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat lain.
415
3.3.4 Biofilter
Biofilter atau biasa disebut parit tumbuhan adalah saluran alamiah yang didesain sedemikian
rupa dimana terdapat tumbuh-tumbuhan yang berfungsi mengelola pengaliran limpasan
sehingga lebih lambat mengalir diantara tumbuhan.
Biofilters efektif jika arus lambat dan dangkal pada saluran parit alamiah. Dalam berbagai jenis
tanah, biofilter juga menyebabkan terjadinya penyerapan hujan ke dalam tanah, lebih lanjut
mengurangi pencemaran air dan mengurangi debit limpasan (yang akhirnya mengurangi
potensi banjir). Konsep utama biofilter adalah menggerakan aliran air dengan lambat melalui
tumbuh-tumbuhan.
416
air dengan metoda rawa buatan (wetland constructed) adalah alternatif lain pengolahan air yang
meniru proses alamiah yang terjadi di lahan basah (rawa) alami.
Gambar 3-2029 Tampak Atas Rawa Buatan untuk Mengolah Air Limbah3
Menurut jenis aliran air, rawa buatan secara umum digolongkan dalam dua bentuk: aliran
horisontal dan aliran vertikal. Dalam sistim aliran horisontal, air memasuki rawa dari satu titik,
mengalir dalam rawa buatan, kemudian keluar dari titik di ujung rawa. Sedangkan dalam rawa
2
Sumber : Brown and Caldwell, Aqua Treatment Technologies, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/ Constructed_wetland
3
Khiatuddin Maulida, "Melestarikan Sumberdaya Air Dengan Teknologi Rawa Buatan", Gadjah Mada University Press, 2003. Halaman 71.
417
buatan aliran vertikal, air merembes/mengalir secara vertikal baik dari atas ke arah bawah atau
dari bawah ke arah atas.
Rawa buatan aliran horisontal dapat digolongkan lebih lanjut dalam empat bentuk, yaitu:
a. Rawa buatan yang alirannya mengalir di atas permukaan tanah.
b. Rawa buatan yang proses pengaliran airnya lewat substrat tempat tumbuhnya tanaman air.
c. Kombninasi bentuk pertama dan kedua
d. Rawa buatan hidroponik aliran tipis yang tidak menggunakan substrat tanah atau pasir.
Sementara itu, rawa buatan aliran vertikal dapat digolongkan ke dalam dua bentuk (lihat
Gambar 4-11):
1) Aliran vertikal menurun dimana air dialirkan di permukaan sistem kemudian merembes
melalui substrat yang dipenuhi oleh akar tanaman hingga mencapai dasar rawa buatan untuk
ke luar dari sistem.
2) Aliran vertikal menanjak dimana air disalurkan melalui pipa ke dasar sistem untuk naik
pelan-pelan melalui lapisan substrat sebelum keluar melalui saluran yang letaknya di
permukaan substrat.
4
Bioremediation by Tina Yu, bahan Ekspose.
418
3.3.6 Fitoremediasi
Selain pemanfaatan bagi pemulihan kualitas air, teknik fitoremediasi dapat pula dimanfaatkan
bagi menjaga dan menjamin kualitas kompos dengan fitoteknologi dan ekotoksikologi.5
Jenis-jenis tanaman yang sering digunakan di Fitoremediasi adalah; Anturium Merah/Kuning,
Alamanda Kuning/Ungu, Akar Wangi, Bambu Air, Cana Presiden Merah/Kuning/Putih, Dahlia,
Dracenia Merah/Hijau, Heleconia Kuning/Merah, Jaka, Keladi Loreng/Sente/Hitam, Kenyeri
Merah/Putih, Lotus Kuning/Merah, Onje Merah, Pacing Merah/Putih, Padi-padian, Papirus,
Pisang Mas, Ponaderia, Sempol Merah/Putih, Spider Lili, dll.
3.4.1 Kelembagaan
Penyelenggaraan pengelolaan drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain)
melibatkan instansi terkait di pusat dan daerah serta masyarakat di kawasan/lokasi dalam suatu
daerah aliran sungai yang akan ditangani. Dimana diharapkan sejak tahap awal perlu segera
dilaksanakan pengorganisasian agar jalannya kegiatan dapat berlangsung secara efisien dan
5
Mangkoedihardjo Sarwoko, Fitoteknologi dan Ekotoksikologi dalam Desain Operasi Pengomposan Sampah, Seminar Nasional
Teknologi Lingkungan III ITS, Surabaya, 27 September 2005.
6
Matthew Dempsey, Phytoremediation, December, 1997. http://www.rpi.edu/dept/chem-eng/Biotech-
Environ/MISC/webpage1.html
419
efektif mencapai hasil yang optimal. Dibawah ini adalah bagan organisasi pelaksanaan kegiatan
pengelolaan ecodrain.
DIREKTUR PLP
DITJEN CIPTA KARYA
PUSAT
GUBERNUR
KEPALA DINAS PU/KIMPRASWIL
PROVINSI/
INSTANSI TEKNIS LAIN YANG
PROVINSI DITUNJUK SATKER
PENG.PLP
WALIKOTA/BUPATI
KEPALA DINAS PU
KOTA/KABUPATEN/
KOTA/KABUPATEN INSTANSI TEKNIS LAIN YANG
DITUNJUK
KONSULTAN BANTEK,
SUDIN TATA AIR/ SUDIN KEBERSIHAN/ DED & SPV
DRAINASE PERSAMPAHAN
KELOMPOK KONTRAKTOR/
MASYARAKAT DAN USAHA SUPPLIER
DAUR ULANG
MASYARAKAT DAN SWASTA
Pengelolaan ecodrain tentunya tidak terlepas dari pengaturan kewenangan antar instansi yang
ada sehingga dapat meminimalisir kemungkinan tumpang tindihnya birokrasi. Usulan
pengaturan kewenangan antar institusi tersebut dijelaskan dalam Tabel 3-5 di bawah ini:
420
Tabel 3-5. Usulan Pengaturan Kewenangan Antar Institusi Terkait dalam Pengelolaan
Saluran Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan
Institusi
Kewenangan /Tanggung Jawab
A B C D E F G H I
Aspek Peraturan dan Pengaturan
Penyusunan Pedoman dan Permen/Kepmen
X X - - - - - - X
Tentang Ecodrain
Sosialisasi Undang-undang No 7 Tahun 2004
tentangSumber Daya Air terutama terkait X X - X X - - - -
dengan Ecodrain
Penyusunan Perda Provinsi / SK. Gub /
Instruksi Gub. Tentang Pelaksanaan
Ecodrain dan Penunjukan Lokasi - - X X - - - - X
Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain Tingkat
Provinsi
Penyusunan Perda Provinsi/ SK. Gub/
Instruksi Gub. Tentang Pengendalian
Perencanaan Tata Guna Lahan Dan - - X X - - - - X
Perlindungan Alam Daerah Bantaran Sungai
Tingkat Provinsi
Penyusunan Perda Kabupaten Kota/ SK.
Bupati Walikota/ SK.Bupati Walikota/
Instruksi Bupati Walikota Tentang
- - - - X X X - X
Pelaksanaan Ecodrain dan penunjukan
Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain
Tingkat Kabupaten Kota
Penyusunan Perda Kabupaten Kota/ SK.
Bupati Walikota/ SK.Bupati Walikota/
Instruksi Bupati Walikota Tentang
- - - X - - X - X
Pengendalian Perencanaan Tata Guna Lahan
dan Perlindungan Alam Daerah Bantaran
Sungai Tingkat Kabupaten Kota
Penyusunan Perda Kabupaten Kota/ SK.
Bupati Walikota/ SK.Bupati Walikota/
- - - - - - X - X
Instruksi Bupati Walikota Tentang Mutu/
Kualitas Air Sungai
Aspek Teknis dan Operasional
Perencanaan - - X X X - - - X
Pembangunan Fisik X X X X X - - - -
Pengawasan Fisik X X X X X - - - -
Operasional dan Pemeliharaan (O&P) - - - X X X - X -
421
Institusi
Kewenangan /Tanggung Jawab
A B C D E F G H I
Sosialisasi Pelaksanaan Fisik - - X X X X X X X
Aspek Pembiayaan
Perencanaan X X X X X - - - -
Pembangunan Fisik X X X X X - - - -
Pengawasan Fisik X X X X X - - - -
Operasional dan Pemeliharaan (O&P) - - - X X X - X -
Sosialisasi Pelaksanaan Fisik - - X X X X X X X
Aspek Peran Masyarakat dan atau Swasta
Pengelolaan Air Limbah dengan SANIMAS X - X X X X X X X
Pengelolaan Sampah dengan Konsep 3 R X - X X X X X X X
Pelatihan dan Capacity Building Kegiatan 3R
X X X X X - - - X
dan SANIMAS
Sosialisasi desain elemen sistem drainase
X X X X X X X - X
Berwawasan lingkungan
Keterangan:
A = Direktorat PLP Ditjen Cipta Karya.
B = Ditjen SDA melalui Balai Besar Wilayah Sungai.
C = Pemerintah Daerah c.q. BAPPEDA Provinsi.
D = Dinas PU Provinsi.
E = Dinas PU Kabupaten Kota.
F = Dinas Kebersihan Kabupaten Kota.
G = Dinas / Bidang Lingkungan Hidup Kabupaten Kota.
H = Masyarakat / Swasta (KSM).
I = Perguruan Tinggi / Konsultan / LSM / Organisasi Profesi.
422
1) Kegiatan Struktural
Kegiatan fisik yang berupa pembangunan prasarana dan sarana, pengadaan barang (M&E),
pemeliharaan dan perawatan.
423
2) Kegiatan fisik sebagaimana disepakati dalam Daftar Isian Proyek (DIP) yang
diselenggarakan secara bersama antara seluruh stakeholder di kawasan yang
bersangkutan.
3) Khusus pada kegiatan fisik dari Pemerintah Pusat (Direktorat PLP – Ditjen Cipta
Karya, Kementerian Pekerjaan Umum) pada beberapa kota sebagai pilot project.
Diharapkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat berkontribusi bagi
terwujudnya semua rencana yang ada dalam studi perencanaan Pengelolaan
Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (Ecodrain). Kontribusi tersebut
dapat berbentuk penyiapan lahan, tenaga, dan pendanaan fisik, serta komitmen
untuk meneruskan program tersebut secara berkesinambungan.
4) Kegiatan pelaksanaan konstruksi fisik terdiri dari tahap persiapan, tahap
pelaksanaan konstruksi dan tahap pengakhiran (finishing).
Setelah pembangunan prasarana dan sarana drainase selesai dibangun, langkah selanjutnya agar
prasarana dan sarana drainase berfungsi sesuai rencana semula, diperlukan pemeliharaan, yaitu
berupa :
1) Pemeliharaan Rutin
2) Pemeliharaan Berkala
3) Pemeliharaan Khusus
4) Rehabilitasi
a. Untuk pekerjaan saluran perlu dilakukan : (1). Pengukuran profil memanjang dan
melintang untuk mengetahui volume sedimentasi/lumpur, kecuali untuk pekerjaan rutin
berkala yang hanya mengangkat sampah dan benda terapung; (2). Menghitung volume
kerusakan talud saluran, untuk talud dari pasangan atau tanah; (3). Menghitung rencana
biaya volume sedimentasi termasuk angkutan dan atau perhitungan biaya perbaikan
talud; (4).Pekerjaan dilakukan secara swakelola atau tender
b. Untuk pekerjaan bangunan pelengkap perlu dilakukan: (1). Meng hitung volume
kerusakan bangunan pelengkap dari gambar disain detail; (2). Menghitung rencana
biaya volume kerusakan bangunan dari gambar disain detail; (3). Pekerjaan dilakukan
secara swakelola atau tender.
424
c. Untuk pekerjaan kolam penampungan perlu dilakukan: (1). Pengukuran profil
memanjang dan melintang untuk mengetahui volume sedimentasi / lumpur, kecuali
untuk pekerjaan rutin berkala yang hanya mengangkat sampah dan benda terapung; (2).
Menghitung volume kerusakan talud kolam, untuk talud dari pasangan atau tanah; (3).
Menghitung rencana biaya volume sedimentasi termasuk angkutan dan atau perhitungan
biaya perbaikan talud; (4).Pekerjaan dilakukan secara swakelola atau tender.
425
masyarakat lemah dalam hal pendanaan, maka tugas fasilitator adalah membantu mencari jalan
keluar agar masyarakat mampu mendapat pendanaan yang dibutuhkan, tetapi harus dilakukan
secara hati-hati jangan sampai menjadi ketergantungan masyarakat.
Mengapa dalam pengelolaan sampah dilakukan secara berbasis masyarakat karena produsen
sampah utama adalah masyarakat, sehingga masyarakat harus bertanggung jawab terhadap
sampah yang produksi.
Sumber sampah yang berasal dari masyarakat, sebaiknya dikelola oleh masyarakat yang
bersangkutan agar mereka bertanggung jawab terhadap sampahnya sendiri, karena jika dikelola
oleh pihak lain biasanya mereka kurang bertanggung jawab bahkan cenderung destruktif.
Faktor yang mempengaruhi sampah, baik kuantitas dan kualitasnya sangat dipengaruhi oleh
berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Beberapa faktor yang penting antara lain;
a. Jumlah Penduduk. Dapat dipahami dengan mudah bahwa semakin banyak penduduk
semakin banyak pula sampahnya. Pengelolaan sampah inipun berpacu dengan laju
pertumbuhan penduduk.
b. Keadaan Sosial Ekonomi. Semakin tinggi keadaan social ekonomi masyarakat, semakin
banyak jumlah perkapita sampah yang dibuang. Kualitas sampahnya semakin banyak yang
bersifat tidak dapat membusuk. Perubahan kualitas sampah ini, tergantung pada bahan yang
tersedia, peraturan yang berlaku serta kesadaran masyarakat akan persoalan sampah.
c. Kenaikan Kesejahteraan. Inipun akan meningkatkan kegiatan konstruksi dan
pembaharuan bangunan. Transportasi-pun bertambah dengan konsekuensi bertambahnya
volume dan jenis sampah.
d. Kemajuan Teknologi. Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kuantitas
sampah, karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan
produk manufaktur yang semakin beragam pula.
Kenyataan yang ada saat ini adalah bahan sampah sulit dikelola, yang disebabkan oleh berbagai
hal antara lain:
a. Cepat berkembangnya teknologi, lebih cepat daripada kemampuan masyarakat untuk
mengelola dan memahami persoalan sampah.
b. Meningkatnya tingkat hidup masyarakat, yang tidak disertai dengan keselarasan
pengetahuan tentang persampahan.
c. Meningkatnya biaya operasional dan pengelolaan sampah.
Penanganan sampah 3 R adalah konsep penanganan sampah dengan cara reduce / mengurangi,
reuse / menggunakan kembali, dan recycle / mendaur ulang sampah mulai dari sumbernya,
dalam hal ini adalah kawasan yang potensial sebagai sumber sampah sungai.
Konsep pengelolaan 3R yang diusulkan dapat dilihat pada Gambar 4-18 berikut.
426
Gambar 3-24. Konsep Pengelolaan 3 R di kawasan Daerah Pengaliran Sunga (DPS)i7
7
Modifikasi dari Anonim, Bantek 3 R Bozem Morokembangan, Dinas PU Kota Surabaya Tahun 2007.
427
diinginkan), detektif (untuk menemukan dan memperbaiki sesuatu hal yang tidak diinginkan
yang telah terjadi), atau direktif (untuk menimbulkan atau mendorong terjadinya sesuatu yang
diinginkan).
Tiga tujuan umum pengendalian kegiatan ecodrain adalah untuk:
Meyakinkan terlaksananya tujuan yang telah ditetapkan, termasuk apa yang digariskan
dalam rencana, kebijakan, prosedur, dan semuanya sejalan dengan peraturan dan
perundang-undangan yang mengikat kegiatan;
Menjamin pelaksanaan kegiatan berdasarkan dokumen perencanaan dan studi;
Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan.
Studi kelayakan dan Bantuan Teknis (Bantek) merupakan alat kendali pelaksanaan pengelolaan
drainase secara terpadu berwawasan lingkungan (ecodrain). Kegiatan pengendalian
dilaksanakan pada setiap tahapan pelaksanaan sejak tahap perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan ecodrain.
Pengendalian pelaksanaan dilakukan oleh Satuan Kerja Pengembangan PLP tingkat provinsi
dan atau dinas teknis setempat atau unit pengelola teknis/UPT/badan tertentu sesuai
kewenangan yang ditetapkan oleh kelembagaan pemrakarsa kegiatan ecodrain atau dapat
ditetapkan kemudian berdasarkan kesepakatan para pemangku kepentingan.
428
Tujuan dari sistem monitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut:
1) Memantau/memonitor perkembangan pelaksanaan berbagai kegiatan dalam pengelolaan
ecodrain
2) Mengendalikan kinerja pelaksanaan berbagai kegiatan dalam pengelolaan ecodrain.
3) Memberikan bahan masukan untuk persiapan pelaksanaan kegiatan dan pengembangan
program pada tahun berikutnya.
4) Memberikan bahan untuk kelengkapan pertanggung jawaban pelaksanaan kegiatan-kegiatan
dalam pengelolaan ecodrain.
5) Memberikan informasi yang lengkap yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan
program pengelolaan ecodrain.
Untuk lebih mengoptimalkan kegiatan monitoring dan evaluasi program dan kegiatan
pengelolaan ecodrain perlu dikembangkan mekanisme monitoring dan evaluasi secara
berjenjang baik menggunakan perangkat lunak (software) maupun berupa buku laporan
(hardware).
4.1 Monitoring Ukuran Teknis/Infrastruktur
Pemantauan aspek structural dimaksudkan untuk mengendalikan agar kinerja pengelolaan
sistem drainase perkotaan sesuai dengan sasaran perencanaan awal. Pemantauan aspek
structural meliputi:
4.1.1 Kondisi dan Fungsi Sarana dan Prasarana Sistem Drainase Perkotaan, Jaringan
Saluran dan Bangunan Pelengkap
Pemantauan sistem pola pengaliran, kapasitas sistem, permasalahan pengaliran, serta kondisi
sarana dan prasarana system drainase perkotaan, jaringan saluran dan bangunan pelengkap.
Pada monitoring kondisi saluran pemantauan dilakukan mengacu pada peta jaringan drainase
dan skema sistem yang dilengkapi data: elevasi dasar saluran, dimensi saluran, kemiringan
saluran, material saluran dan tahun pembangunan. Selanjutnya pada kondisi bangunan
pelengkap, meliputi pemantauan kegiatan operasi dan pemeliharaan rumah pompa dan pompa
banjir, pintu air, kolam retensi, gorong-gorong, dll. Pemantauan dimensi pompa, elevasi inlet
dan outlet pompa, kapasitas pompa dan jenis pompa serta instalasi mekanikal elektrikal pompa
banjir. Pemantauan dimensi dan jumlah pintu air, elevasi dasar, bukaan normal dan maksimal
pintu air, kapasitas, jenis, kedalaman air dan bahan pintu air serta instalasi mekanikan elektrikal
pintu air.
Pemantauan pada saluran dan bangunan pelengkap dilakukan dengan menggunakan peralatan
menggunakan alat pengukuran dan alat pemantauan yang dikalibrasi.
429
4.1.2 Karakteristik Genangan
Berupa pemantauan lokasi genangan, luas, tinggi, lama genangan dan intensitas genangan
dilengkapi koordinat lokasi genangan, peta genangan serta korban jiwa dan kerugian material,.
2) Limbah Non Domestik, berupa: (i). Limbah Point Source dari kegiatan industri dan
pertambangan ; (ii). Aliran Limbah Non Point Source dari limbah pertanian, peternakan dan
kegiatan usaha kecil dan menengah
3) Kegiatan Pemanfaatan Lahan, yaitu : (i). Pertanian; (ii). Aliran Irigasi; (iii). Peternakan;
(iv).Urban Runoff; (v). Jalan Raya ; (vi).Konstruksi; (vii).Pertambangan
Parameter sumber pencemar setiap jenis limbah berlainan, terbagi menurut limbah domestik,
kegiatan pemanfaatan lahan dan limbah industri.
Komposisi parameter limbah domestik yaitu sebagai berikut :
430
Sementara itu jenis parameter tingkat konsentrasi limbah domestic, pemanfaatan lahan dan
industry dapat dilihat pada bagian lampiran pedoman ini.
Baku Mutu Air Limbah Domestik mengacu pada Kep.Men LH 112/2003, yaitu:
BMLC Industri mengacu pada Kep.Men LH 51/1995 yang ditentukan menurut 21 jenis industri,
yang ditetapkan berdasarkan beban pencemaran, dan kadar kecuali untuk jenis industri farmasi
dan pestisida, hanya ditetapkan berdasarkan kadar.
Secara lengkap besarnya beban pencemaran maksimal dijelaskan pada bagian lampiran buku
ini.
4.1.4 Sedimentasi/Polutan
Dalam PP 82/2001 tentang “Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air telah
menetapkan , bahwa :
Pemerintah, Pemprov, Pemkab atau Pemkot sesuai dengan kewenangan masing masing
dalam rangka pengendalian pencemaran air pada sumber air berwenang menetapkan daya
tampung beban pencemaran.
Daya tampung beban pencemaran dipergunakan untuk: pemberian ijin lokasi; pengelolaan
air dan sumber air; penataan ruang; pemberian ijin pembuangan air limbah; penetapan mutu
air sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran air dan penegakkan hukum dalam
rangka pengendalian pencemaran air.
431
Sehubungan dengan itu maka telah dikeluarkan peraturan berupa Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No 110/2003, tentang “Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban
Pencemaran Air Pada Sumber Air” telah disebutkan bahwa untuk menghitung daya tampung
beban pencemaran menggunakan software QUAL2E. Model tersebut pertama kali
dikembangkan oleh US-EPA dan telah dimanfaatkan di banyak negara seperti Korea, Jepang
dan Malaysia. Model tersebut terus dikembangkan hingga versi ketiga yang diberi nama
QUAL2Kw. Hasil akhir dari software ini adalah memprediksi jumlah beban pencemaran dari
setiap saluran drainase atau aliran sumber pencemaran yang masuk mengalir kedalam sungai
sesuai dengan target baku mutu air sungai yang ditentukan.
4.3 Evaluasi
Evaluasi pengelolaan system ecodrain adalah mempelajari semua hasil monitoring sejak dari
perencanaan hingga tahap pengelolaan system. Tolok ukur perencanaan meliputi : ketentuan
yang berlaku; Standar, Pedoman, Manual serta SNI. Evaluasi system ecodrain diarahkan pada
perencanaan yang dituangkan sebagai tolok ukur yang harus dicapai dan ditaati oleh pengelola
system. Evaluasi dilakukan terhadap : pengelolaan, pengoperasian, -pemeliharaan dan
rehabilitasi yang kemudian dibandingkan terhadap tolok ukur/kriteria/standar yang telah
ditetapkan pada tahap perencanaan.
432
Evaluasi dilakukan :
1) Terhadap aspek teknis setiap 6 – 12 bulan sekali
2) Terhadap aspek non teknis : (a). Bidang administrasi keuangan berupa audit setiap 6 – 12
bulan sekali; (b). Bidang Kelembagaan dan institusi setiap 12 bulan sekali
3) Pemerintah pusat dalam hal ini dilaksanakan oleh Dirjen Cipta Karya melaksanakan
evaluasi laporan kinerja pengelolaan system ecodrain perkotaan yang dibiayai oleh APBN
dan laporan evaluasi kinerja pengelolaan system ecodrain perkotaan dan provinsi.
433
mendekati 260 juta, sedangkan di Pulau Jawa dan Madura diperkitrakan menjadi 155 juta,
sehingga Pulau Jawa-Madura, Bali, dan NTB sudah berada pada kondisi stress air dengan ISA
berturut-turut sebesar 1.222 m3/kapita/tahun, 1.424 m3/kapita/tahun, dan 1.687 m3/kapita/tahun,
sedangkan secara nasional masih berada pada 10.600 m3/kapita/tahun (Suprapto, 2003; Suripin,
2004).
434
1) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Ketentuan-ketentuan dalam UU-7/2004 yang mendasari pembentukan payung hukum
pengelolaan sistem drainase adalah sebagai berikut:
a) Konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan
daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air (pasal 20 ayat (1)).
b) Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan
sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang
disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan
manusia (pasal 21 ayat (1)).
c) Perlindungan dan pelestarian sumber air dilakukan melalui pemeliharaan
kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air (pasal 21 ayau (2) huruf a).
435
3) UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
a) Ruang lingkup sampah yang diatur oleh ketentuan ini adalah: sampah rumah tangga,
sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik (pasal 2).
b) Tugas dan kewenangan pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan
dilimpahkan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah (pasal 5 sampai dengan pasal
9)
c) Setiap orang dan badan hukum berhak mendapatkan lingkungan hidup yang sehat serta
dapat berperan dalam setiap tahapan pengelolaan sampah (pasal 11). Selaras dengan
pemberian hak tersebut, orang perorangan dan badan hukum mempunyai kewajiban
dalam pengelolaan sampah (pasal 12 – 15, pasal 28).
d) Terkait dengan tugas dan wewenang mengawasi pengelolaan sampah, pemerintah
daerah (Bupati/Walikota) dapat memberi sanksi admnistrasi (pasal 32).
436
6) PP No. 26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang
Ketentuan dalam PP 26/2008 yang terkait dengan pengelolaan sistem drainase adalah
ketentuan zero delta Q policy. Pasal 106 ayat (1) menyebutkan: Peraturan zonasi untuk
kawasan imbuhan air tanah disusun dengan memperhatikan:
a) pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang
memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;
b) penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan
c) penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun
yang diajukan izinnya.
Dalam penjelasan PP itu, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kebijakan prinsip zero
delta Q” adalah keharusan agar tiap bangunan tidak boleh mengakibatkan bertambahnya
debit air ke sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai.
437
8) PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai
Ketentuan dalam PP 38/2011 yang terkait dengan pengelolaan sistem drainase adalah
ketentuan yang terkait dengan pengelolaan sungai. Salah satu kegiatan yang bertujuan
untuk pengendalian daya rusak air sungai yang dilakukan melalui:
(1) Pembangunan prasarana pengendalian banjir dilakukan dengan membuat (pasal 36 ayat
(2)):
a. peningkatan kapasitas sungai;
b. tanggul;
c. pelimpah banjir dan/atau pompa;
d. bendungan; dan
e. perbaikan drainase perkotaan.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 36 ayat (2) huruf dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan “perbaikan drainase perkotaan” adalah pembuatan sistem pematusan air hujan
di perkotaan yang peka terhadap lingkungan hidup yaitu tidak hanya mengalirkan air
namun memberi prioritas pada pembangunan sarana resapan/infiltrasi dan kolam
penampung/peredam banjir.
(3) Resapan air dapat berupa saluran, pipa berlubang, sumur, kolam resapan, dan bidang
resapan sesuai dengan kondisi tanah dan kedalaman muka air tanah (pasal 37 ayat 1) .
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 37 ayat 1 dinyatakan bahwa:
a. Yang dimaksud dengan “saluran” adalah saluran bervegetasi (berupa rumput) yang
berfungsi untuk meresapkan air hujan.
b. Yang dimaksud dengan “pipa berlubang” adalah pipa yang bagian bawahnya
berlubang dan ditanam di dalam tanah dengan posisi mendatar yang berfungsi
mengalirkan dan meresapkan air hujan.
438
c. Yang dimaksud dengan “sumur resapan” adalah lubang vertikal yang diisi dengan
batu dan kerikil yang berfungsi meresapkan air hujan.
d. Yang dimaksud dengan “kolam resapan” adalah kolam yang dasarnya tanpa
perkerasan.
e. Yang dimaksud dengan “bidang resapan” adalah luasan yang dapat berfungsi
meresapkan air hujan.
(4) Dalam hal bidang resapan dimanfaatkan untuk keperluan lain, wajib menggunakan
lapis penutup atau perkerasan lulus air (pasal 37 ayat (2)).
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 37 ayat (2) dinyatakan bahwa:
a. Yang dimaksud dengan ”keperluan lain” misalnya untuk pedestrian, halaman
gedung, atau lapangan parkir.
b. Yang dimaksud dengan “perkerasan lulus air” adalah perkerasan yang
menggunakan bahan berongga sehingga air hujan tetap dapat meresap ke dalam
tanah.
(5) Pembangunan prasarana yang berfungsi sebagai drainase kota dilaksanakan oleh
bupati/walikota (pasal 39 ayat (2) jo pasal 36 ayat (2) huruf e).
(6) Sungai dan/atau anak sungai yang seluruh daerah tangkapan airnya terletak dalam satu
wilayah perkotaan, dapat berfungsi sebagai drainase perkotaan (pasal 77 ayat (1)).
(7) Sungai dan/atau anak sungai yang berfungsi sebagai drainase perkotaan,
pengelolaannya diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan pembinaan
teknis dari Menteri (pasal 77 ayat (2)).
(8) Penentuan sungai dan/atau anak sungai yang berfungsi sebagai drainase perkotaan
dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah kabupaten/kota dengan Menteri
atau Gubernur sesuai kewenangannya (pasal 77 ayat (3)).
439
1) sistem yang mampu menangkap air hujan sebanyak-banyaknya dan menahannya baik
di permukaan tanah maupun di dalam tanah, dengan tidak menimbulkan
genangan/banjir yang menimbulkan kerugian;
2) sistem yang mampu mengendalikan debit dan limpasan, dan mampu mengantisipasi
dampak pemanasan global, sehingga sistem dapat berfungsi lama, dengan melakukan
adaptasi dan menerapkan konsep “zero delta Q policy”;
3) sistem yang mampu menjaga kualitas air dengan baku mutu yang sesuai dengan
persyaratan lingkungan hidup, dengan menerapakn sistem drainase terpisah;
4) sistem yang didukung oleh semua pemangku kepentingan.
5) sistem yang terintegrasi dengan infrastruktur kota lainnya, sehingga tidak saling
bertabrakan.
DAFTAR PUSTAKA
Allen P. Davis & Richard H. McCuen, ”Stormwater Management for Smart Growth”, Springer,
USA, Springer, xv + 368 hal, 2005.
Anonim, ”Isu Strategis dalam Prinsip-prinsip Dasar Sistem Drainase Perkotaan”, Materi
Pelatihan Teknis PLP, 2007.
Anonim, “Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia”, Deputi Bidang Sarana dan
Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi – BAPPENAS.British Columbia Ministry of
Water, Land and Air Protection (2005). Water Balance Model for British Columbia: Well,
What is Rainwater Management, Really?
Brown, R.R. (2005). Impediments to Integrated Urban Stormwater Management: The Need for
Insitutional Reform. Scholl of Geography and Environmental Science, The Institute for
Sustainable Water Resources, Monash University, Australia.
ISSDP (2007). National Analysis of Sanitation Supply and Potential Demand in Six Indonesian
Cities. Unpublished report.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/PRT/M/2008, Tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional
Pengembangan Sistem Pengelolaan sistem drainase Permukiman (KSNP-SPALP);
Peraturan Menteri Pekerjaan UU No. 45/PRT/1990 Tentang Pengendalian Mutu Air Pada
Sumber-Sumber Air,
440
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air;
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Anatara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.
Subdit Drainase dan Persampahan Dirjen Cipta Karya Kementerian PU, Pedoman Pengelolaan
Drainasi Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (Ecodrain), 2007.
Suripin, Kurniani, D., dan Budieny, H. (2010). Improving Rainfall Management In Developed
Area By Using Bioretention System. © Journal of Mathematics and Technology, ISSN:
2078-0257, No.5, December, 2010. Pp 57-60.
Suripin. (2004). Pengembangan Sistem Drainase yang Berkelanjutan. ANDI, Yogyakarta.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;
Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air;
Victorian Storm Water Committee (1999). The Urban Stormwater: Best Practice Environmental
Manahgement Guidelines.
Winogradoff, A. Derk (2001). The Bioretention Manual, Program and Planning Division
Department of Environmental Resources Prince George’s County.
441
halaman kosong
442