Anda di halaman 1dari 27

Menurut von Hiene Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari

daerah Yunnan di Cina Selatan, yaitu di antara sungai-sungai besar Yang-tse,


Sungai Mekhong, dan Sungai Menam. Geldern berpendapat demikian karena ia
menemukan benda-benda yang sama bentuknya di Yunnan dan di Indonesia,
seperti kapak persegi dan kapak lonjong.

1. Bangsa Proto Melayu


Sekitar tahun 2.000 SM diduga bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) telah tiba di
Kepulauan Nusantara. Bangsa yang pertama kali datang ke Indonesia menjadi
pembawa kebudayaan neolithikum dalam dua cabang persebaran. Cabang
pertama yaitu bangsa yang membawa kebudayaan kapak lonjong yang disebut
sebagai ras Papua-Melanosoid. Arah persebarannya dari Yunnan lewat Filipina,
kemudian ke Sulawesi Utara, Maluku, dan ada yang sampai ke Irian. Sedangkan
cabang yang kedua adalah bangsa Proto Melayu yang disebut ras Austronesia.
Arah gelombang cabang yang kedua ini dimulai dari Yunnan kemudian ke
Malaya, Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau lainnya. Jenis
kebudayaan yang mereka bawa berupa kapak persegi.

2. Bangsa Deutero Melayu


Sekitar tahun 500 SM bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda) tiba di
Kepulauan Nusantara. Mereka datang membawa kebudayaan logam yang
berasal dari Dongson, di Vietnam Utara. Benda-benda logam yang mereka bawa
di antaranya berupa nekara, candrasa, bejana perunggu, manik-manik, arca
dan sebagainya. Rute persebaran nenek moyang dari kelompok Melayu Muda
ini dimulai dari daratan Asia ke Thailand, Malaysia Barat, lalu menuju tempat-
tempat di Kepulauan Nusantara. Bangsa yang tiba pada gelombang terakhir ini
masih tergolong ras Austronesia. Nenek moyang kita dari ras Papua-Melanesoid,
Austronesia, dan sisa ras Austro-Melanesoid lantas melahirkan bermacam-
macam suku bangsa yang tersebar di seluruh pelosok wilayah Nusantara seperti
sekarang ini.

Agar lebih jelas bagaimana persebaran nenek moyang bangsa Indonesia,


perhatikan bagan berikut!
Perhatikan peta penyebaran nenek moyang bangsa Indonesia berikut ini!

Peta Penyebaran Nenek Moyang bangsa Indonesia


(Sumber: Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, 1)
ASAL-USUL DAN PERSEBARAN NENEK MOYANG BANGSA INDONESIA

Bangsa Indonesia termasuk ras Mongoloid terutama Malayan Mongoloid. Ras Mongoloid mempunyai 3
subras yaitu:
1. Asiatik Mongoloid (Cina,Jepang,Korea)
2. Malayan Mongoloid (Melayu)
3. American Mongoloid (Suku Indian)

Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Sebelum bangsa Melayu Austronesia masuk ke Indonesia, wilayah Indonesia sudah ada suku Weddid
dan Negrito. Kedua suku tersebut berasal dari daerah Tonkin.
Dari Tonkin kemudian menyebar ke Hindia Belanda, Indonesia, hingga pulau-pulau di Samudera Pasifik.

Suku Bangsa Melayu yang terdapat di Indonesia dalam proses menetapnya dibedakan menjadi dua yaitu
1. Bangsa Melayu Tua (Proto Melayu)
2. Bangsa Melayu Muda (Deutro
Melayu)

Bangsa Melayu Tua (Proto Melayu)


Bangsa Melayu Tua (Proto Melayu) adalah rumpun bangsa Austronesia yang datang kali pertama di
Indonesia sekitar 2000 tahun SM. Kedatangan bangsa Austronesia dari daratan Yunan menuju Indonesia
menempuh dua jalur berikut:
1. Jalur Utara dan Timur
2. Jalur Barat dan Selatan

1. Jalur Utara dan Timur


- Melalui Teluk Tonkin menuju Taiwan (Formosa), Filipina, Sulawesi, dan Maluku dengan membawa
kebudayaan kapak lonjong.
- Persebaran periode Proto Melayu ini membawa kebudayaan batu baru/Neolithikum.

2. Jalur Barat dan Selatan


- Melalui Semenanjung Malaka, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara dengan
membawa kebudayaan kapak persegi.
- Persebaran periode Deutro Melayu ini mebawa kebudayaan logam.

Bangsa Melayu Muda (Deutro Melayu)


Bangsa Melayu Muda (Deutro Melayu) adalah rumpun bangsa Austronesia yang datang di Indonesia
pada gelombang kedua terjadi pada sekitar 500 tahun SM. Bangsa Melayu Muda datang ke Indonesia
melalui jalur barat, yakni berangkat dari Yunan, Teluk Tonkin, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaka,
dan kemudian menyeberangi Selat Malaka hingga sampai di Kepulauan Indonesia.

Penyebaran manusia purba di Indonesia tidak berlangsung dalam satu tahap. Berdasarkan bukti-bukti
sejarah yang ditemukan, kedatangan manusia purba di indonesia berlangsung tiga tahap yaitu zaman
mesolithikum, zaman neolithikum, dan zaman perundagian.

Zaman mesolithikum
Terjadi gelombang masuk manusia purba melonosoid dan daerah teluk tonkin, vietnam, melalui jalur
fhilipina, malaysia dan indonesia. Sisa keturunan bangsa melonosoid yang masih ditemukan, antara lain
orang sakai di siak, orang aeta di filipina, orang semang di malaysia, dan orang papua melonosoid di
indonesia

Zaman neolithikum (200 SM)


Terjadi perpindahan manusia purba dari rumpun bangsa melayu tua (proto melayu) dari daerah yunan,
china, melalui jalur semenanjung malaya, indonesia, filipina, dan formosa. Kebudayaan neolithikum,
khususnya jenis kebudayaan kapak persegi dan kapak lonjong.

Zaman perundagian
Terjadi perpindahan manusia purba dari rumpun bangsa melayu muda ( deutero melayu ) dari daerah
teluk tonkin, vietnam ke daerah daerah di sebelah selatan vietnam, termasuk indonesia.
Bangsa ini merupakan pendukung kebudayaan perunggu, terutama kapak corong nekara , moko, bejana
perunggu, dan arca perunggu. Kebudayaannya sering disebut kebudayaan Don son karena berasal dari
donson teluk tonkin)
Teori Asal-usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia

“Pada kesempatan kali ini, sejarah kelas x .blogspot.com akan membahas mengenai jenis-jenis
manusia purba di Indonesia. Postingan ini penulis buat agar kalian dapat menganalisis asal-
usul nenek moyang bangsa Indonesia.”

Tahukah kalian, dari mana asal-usul nenek moyang bangsa kita? Ada yang menyebutkan nenek
moyang kita berasal dari cina, ada yang bilang nenek moyang kita berasal dari melayu, ada yang
bilang berasal dari Taiwan, bahkan ada yang bilang berasal dari afrika. Untuk lebih jelasnya,
mari kita pelajari mengenai teori-teori asal-usul nenek moyang Bangsa Indonesia dari para ahli
sejarah dan antropologi.

1. Teori Yunnan

Teori ini menyatakan bahwa asal-usul nenek moyang kita berasal dari Yunnan, China. Teori ini
didukung oleh Moh. Ali, yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Mongol
yang terdesak oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat sehingga melakukan migrasi menuju ke
selatan.

Ada pula R.H Geldern dan J.H.C. Kern yang juga mendukung teori ini. Dasar pendapat mereka
berdua adalah :

 Ditemukannya kapak tua di wilayah Nusantara yang memiliki kemiripan dengan kapak
tua yang ada di kawasan Asia Tengah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa telah
tejadi migrasi penduduk dari Asia Tengah ke Kepulauan Nusantara.
 Bahasa melayu yang berkembang di Nusantara memiliki kemiripan dengan bahasa
champa yang ada di Kamboja. Hal ini membuka kemungkinan bahwa penduduk champa
yang ada di Kamboja berasal dari dataran Yunnan dengan menyusuri sungai Mekong.
Arus perpindahan ini selanjutnya diteruskan ketika sebagian dari mereka melanjutkan
perpindahan dan sampai ke wilayah Nusantara.

Menurut teori ini, migrasi penduduk dari Yunnan menuju Kepulauan Nusantara ini melalui tiga
gelombang, yaitu ; perpindahan orang negrito, proto melayu dan juga deutro nelayu.
1. Orang Negrito Orang negrito diperkirakan sudah memasuki Kepulauan Nusantara sejak
1000 SM. Mereka diyakini sebagai penduduk paling awal Kepulauan Nusantara. Hal ini
dibuktikan dengan penemuan arkeologi di gua Cha, Malaysia. Pada perkembangannya,
orang Negrito menurunkan orang Semang. Cirri-ciri fisik orang Negrito yaitu berkulit
gelap, rambut keriting, hidung lebar dan bibir tebal.Di Indonesia, ras ini sebagian besar
mendiami daerah Papua. Keturunan ras ini terdapat di Riau (pedalaman) yaitu suku Siak
(Sakai), serta suku Papua melanosoid mendiami Pulau Papua dan Pulau Melanesia.
2. Proto Melayu Migrasi orang proto Melayu ke Kepulauan Nusantara diperkirakan
memasuki wilayah Nusantara pada 2500 SM. Sebutan Proto Melayu adalah untuk
menyebutkan orang-orang yang melakukan migrasi pada gelombang pertama ke
Nusantara. Yang termasuk orang-orang Proto Melayu adalah suku Toraja, Dayak,
Sasak, Nias, Rejang, dan Batak. Orang proto Melayu memiliki keahlian lebih baik dalam
hal bercocok tanam bila dibandingkan dengan orang Negrito.
3. Deutro Melayu Deutro Melayu adalah sebutan untuk orang-orang yang melakukan
gelombang migrasi pada gelombang kedua ke Nusantara. Kedatangan Deutro Melayu ke
Nusantara diperkirakan pada 1500 SM. Suku bangsa yang termasuk Deutro Melayu di
Indonesia, antara lain Minangkabau, Aceh, Sunda, Jawa, Melayu, Betawi, dan Manado.

2. Teori Nusantara

Teori Nusantara menyatakan bahwa asal usul bangsa Indonesia berasal dari Indonesia sendiri,
bukan dari luar. Teori ini didukung antara lain oleh Muhammad Yamin, Gorys Keraf, dan
J.Crawford. Teori ini dilandasi oleh beberapa argument, antara lain :

 Bangsa Melayu merupakan bangsa yang berperadaban tinggi. Peradaban ini tidak
mungkin dapat dicapai apabila tidak melalui proses perkembangan dari kebudayaan
sebelumnya.
 Bahasa Melayu memang memiliki kesamaan dengan bahasa Champa (Kamboja), namun
persamaan ini hanyalah suatu kebetulan saja.
 Adanya kemungkinan bahwa orang Melayu adalah keturunan dari Homon soloensis dan
Homo wjakensis.
 Adanya perbedaan bahasa antara bahasa Austronesia yang berkembang di Nusantara
dengan bahsa Indo-eropa yang berkembang di Asia Tengah.
3. Teori Out of Taiwan

Teori ini berpandangan bahwa bangsa yang ada di Nusantara ini berasal dari Taiwan bukan
Daratan Cina. Teori ini didukung oleh Harry Truman Simanjuntak. Menurut pendekatan
linguistic, dijelaskan bahwa dari keseluruhan bahasa yang dipergunakan suku-suku di Nusantara
memiliki rumpun yang sama, yaitu rumpun Austronesia. Akar dari keseluruhan cabang bahasa
yang dipergunakan leluhur yang menetap di Nusantara berasal dari rumpun Austronesia di
Formosa atau dikenal dengan rumpun Taiwan. Selain itu, menurut riset genetika yang dilakukan
pada ribuan kromosom tidak menemukan kecocokan pola genetika dengan wilayah Cina.

4. Teori Out of Africa

Teori ini menyatakan bahwa manusia modern yang hidup sekarang berasal dari Afrika. Dasar
dari teori ini adalah berdasarkan ilmu genetika melalui penelitian DNA mitokondria gen
perempuan dan gen laki-laki. Menurut ahli dari Amerika Serikat, Max Ingman, manusia modern
yang ada sekarang ini berasal dari Afrika antara kurun waktu 100-200 ribu tahun lalu. Dari
Afrika, mereka menyabar ke luar Afrika. Dari hasil penelitian Ingman, tidak ada bukti yang
menunjukan bahwa gen manusia modern bercampur dengan gen spesies manusia purba.

Manusia Afrika melakukan migrasi ke luar Afrika diperkirakan berlangsung sekitar 50.000-
70.000 tahun silam. Tujuannya adalah menuju Asia Barat. Jalur yang mereka tempuh ada dua,
yaitu mengarah ke Lembah Sungai Nil, melintasi Semenanjung Sinai lalu ke utara melewati Arab
Levant dan yang kedua melewati Laut Merah. Pada 70.000 tahun yang lalu bumi memasuki
zaman glasial terakhir dan permukaan air laut menjadi lebih dangkal karena air masih berbentuk
gletser. Dengan keadaan seperti ini mereka sangat memungkinkan menyeberangi lautan hanya
dengan menggunakan perahu primitif.

Setelah memasuki Asia, beberapa kelompok tinggal sementara di Timur Tengah, sedangkan
kelompok lainnya melanjutkan perjalanan dengan menyusuri pantai Semenanjung Arab menuju
ke India, Asia Timur, Indonesia, dan bahkan sampai ke Barat Daya Australia, yaitu dengan
ditemukannya fosil laki-laki di Lake Mungo. Jejak paling kuat untuk membuktikan bahwa
manusia Afrika telah bermigrasi hingga ke Australia adalah jejak genetika.
Siapakah Nenek Moyang Bangsa Indonesia

PERTANYAAN tersebut dapat dikaji dari ilmu arkeologi, ilmu linguistik, ilmu antropologi
budaya, ilmu paleoantropologi, dan ilmu genetika. Para ahli purbakala telah menelusurinya dan
meneliti endapan tanah purba 1,5 juta tahun yang lalu. Endapan purba tersebut dikenal dengan
nama plestosen bawah dan ditemukan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari fosil-fosil
yang terdapat di endapan purba tersebut para ahli dapat meneliti perikehidupan manusia purba.

Dari peta distribusi geografis, ada jenis makhluk yang bernama homo erectus. Makhluk ini
menunjukkan bahwa nusantara kita adalah daerah migrasi makhluk ini. Mereka tersebar dari
Afrika sampai ke nusantara kita. Homo erectus diperkirakan lahir di Afrika, 1,7 juta tahun yang
lalu. Wujud makhluk ini seperti monyet besar.

Apakah nenek moyang manusia Indonesia adalah makhluk homo erectus ini? Bukan! Makhluk
yang berwujud mendekati kera tersebut sudah punah. Tidak punya keturunan lagi. Dan itu sudah
terjadi berabad-abad yang lalu.

Nenek moyang manusia konon, dari makhluk yang bernama homo sapiens, yang lahir ratusan
ribu tahun silam. Fosil-fosil homo sapiens ditemukan di gua-gua purba, zaman pra sejarah.
Mereka hidup di gua-gua, pada era helosen. Jadi makhluk homo erectus danhomo sapiens tidak
punya hubungan “darah”. Homo sapiens bukan keturunan homo erectus. Lebih tegas lagi – dari
kajian ilmu kepurbakalaan – dapat diketahui bahwa manusia bukan keturunan kera! Tentunya
termasuk manusia yang berdiam di nusantara ini. Demikian menurut kajian ilmu, bukan dari
kajian yang lain.

Dari Ilmu Linguistik


Dari kajian ilmu linguistik atau ilmu bahasa, bangsa Indonesia adalah penutur bahasa
Austronesia. Sekitar 5.000 tahun lalu, bahasa ini sudah digunakan oleh manusia di nusantara.
Bahasa ini konon akar dari bahasa Melayu. Bahasa Austronesia memiliki penyebaran paling luas
di dunia, khususnya sebelum zaman penjajahan oleh bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa Asia-
Afrika.

Bahasa Austronesia berkembang menjadi 1.200 bahasa lokal, dari Madagaskar, Afrika, di barat
sampai di Pulau Paskah di timur, dari Taiwan di utara sampai Selandia Baru di selatan .
Penyebaran bahasa Austronesia lebih luas dibanding penyebaran bahasa Indo Eropa, Aria Barat,
dan Aria Timur atau Semit.

Keturunan Bahasa Austronesia tumbuh dan berkembang ratusan tahun dan digunakan oleh 300
juta manusia di Asia Timur dan Asia Pasifik. Para penutur bahasa Austronesia, beragam,
misalnya mulai dari para nelayan, pelaut, pedagang, bangsawan, pengeliling dunia, sampai kaum
petani di pedalaman. Sekitar 80 juta manusia penutur bahasa Austronesia hidup di kepulauan
nusantara dan kepulauan Pasifik.

Jadi siapa nenek moyang manusia yang bertutur dengan menggunakan bahasa Austronesia yang
tinggal di nusantara itu? Masih menjadi kontroversi di kalangan para ahli. Pendapat mereka
bermacam ragam, ada yang mengatakan dari Formusa (Taiwan), Hainan (Hongkong), Yunan
(China Selatan), Filipina, atau Jepang.

Dari Bahasa Austrik


Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Harry Truman Simanjuntak pernah berpendapat,
rumpun bahasa Austronesia merupakan bagian dari bahasa Austrik. Bahasa ini berawal dari
daratan Asia, kemudian terbagi dua, yaitu Austro Asiatik dan Austronesia.

Austro Asiatik menyebar ke daratan Asia, misalnya di Indo-China, Thailand, dan Munda di India
Selatan. Sedang bahasa Austronesia menyebar ke selatan dan di tenggara seperti Indonesia,
Filipina, Malaysia, sampai ke kepulauan Pasifik.

Menurut teori Model Out of Taiwan, bahasa Austronesia mulai mengkristal di Formusa atau
Taiwan. Penutur bahasa ini bermigrasi dari daratan China Selatan 6.000 tahun yang lalu.
Diperkirakan mereka berasal dari Fujian atau Guangdong, dua daerah di China Selatan.

Proses kristalisasi bahasa Austronesia di Taiwan kemudian melahirkan budaya Da-pen-keng.


Budaya tersebut berkembang dan bercabang-cabang menjadi sejumlah dialek lokal. Itu terjadi
sekitar 4.700 tahun lalu. Pada masa Austronesia awal tersebut manusia sudah mengerti
memelihara babi dan anjing, sudah mengenal budidaya padi meski masih sederhana, menanam
ubi dan tebu, membuat kain dari kulit kayu, dan membuat gerabah..

Ratusan tahun kemudian budaya mereka meningkat lagi. Misalnya mulai menggunakan peralatan
dari batu dan tulang dan mulai membuat kano, perahu kecil dan sempit.

Sejumlah kelompok penutur bahasa Austronesia ini kemudian mulai berkelana ke selatan, lewat
lautan, dengan menggunakan perahu yang sederhana, yang lebih banyak digerakkan oleh arus
ombak lautan. Mereka terus bergerak ke arah selatan. Di antara mereka ada yang bergerak kearah
Asia Tenggara, sampai ke Filipina dan Kalimantan Utara. Itu terjadi 4.500 tahun yang lalu.

Kelompok pemukim awal di Filipina atau di Kalimantan Utara ini akhirnya menciptakan
bahasa Proto Malayo Polynesia (PMP), yang merupakan cabang dari induknya, Proto
Austronesia.

Di kawasan baru tersebut perbendaharaan budaya mereka bertambah. Budidaya tanaman yang
berasal dari biji-bijian, mulai bertambah, misalnya mulai menanam kelapa, sagu, sukun, dan
pisang. Pada saat itu, perhubungan laut juga mulai meningkat. Teknologi pelayaran mereka
mulai canggih. Maka di antara mereka mulai ada yang bermigrasi ke pulau-pulau di nusantara,
misalnya ke Sulawesi dan Maluku. Bahkan ada yang sampai ke pulau Mikronesia, Lautan
Pasifik.

Dalam tahap selanjutrnya, puluhan tahun kemudian, mereka ada yang bermigrasi ke Jawa,
Sumatra, dan Semenanjung Malaka. Ke arah timur, mereka menuju ke Nusa Tenggara, Maluku,
Papua Barat, sampai ke kepulauan Bismarck. Di kawasan timur ini, budaya tanaman biji-bijian
mereka tinggalkan dan beralih ke budidaya berbagai tanaman umbi-umbian. Bumi dan alam di
nusantara bagian timur ternyata tidak cocok untuk tanaman biji-bijian.

Menurut pakar arkeologi yang lain, Daud Ario Tanudirjo, persebaran para penutur Proto Malayo
Polynesia tersebut terjadi sekitar 4.000 hingga 3.300 tahun yang lalu. Hal itu ditandai luasnya
distribusi gerabah berpoles merah..

KEMAMPUAN mereka mengarungi lautan jarak jauh, mendorongnya untuk terus mencari
daerah baru yang kemungkinan lebih baik, atau lebih nyaman untuk hidup. Mereka telah
mengenal strategi lompat katak. Dari pulau yang satu melompat ke pulau yang lain yang lebih
dekat. Demikian seterusnya, sampai mereka tiba di pulau yang paling jauh.

Bahasa Proto Malayo Polynesia tersebut berkembang di kawasan barat nusantara sedangkan di
kawasan Halmahera, Maluku, berkembang dan menjadi pusat bahasa-bahasaProto Central
Malayo Polynesi. Bahasa-bahasa Proto Eastern Malayo Polynesia berkembang di daerah
Kepala Burung, Papua Barat dan bahasa-bahasa Proto Oceanic berkembang di Kepulauan
Bismarck, Pasifik Barat dan sekitarnya.

Bentuk rumpun bahasa Austronesia ini tumbuh lebih menyerupai bentuk garuketimbang
bentuk pohon. Mengapa? Karena semua proto-bahasa dalam bentuk ini, dariProto Malayo
Polynesia hingga ke Proto Oceania menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi, yakni lebih dari
84 persen dari 200 pasangan kata. Demikian menurut pakar arkeologi Daud Aris Tanudirjo.

Sementara itu menurut pakar bahasa Austronesia, Peter Bellwood, berbagai proto-bahasa yang
pernah tersebar dari Filipina sampai Kepulauan Bismarck, boleh dikatakan satu bahasa, namun
dengan sedikit perbedaan variasi dialek.

Austromelanesoid – Mongoloid
Mungkin Anda bertanya, nama makhluk apa lagi ini? Apakah ini nenek moyang kita? Jawabnya
bukan! Sabar.

Dari hasil penemuan dan penelitian di pegunungan Sewu, bagian tengah Jawa Tengah-Jawa
Timur, para ahli menemukan kohabitasi, bercampurnya dua suku bangsa di suatu wilayah, yaitu
ras Australo-melanesid dengan ras Mongoloid dalam waktu yang hampir bersamaan.
Kohabitasi dua ras tersebut jauh sebelum datangnya para penutur Austronesia yang berciri ras
Mongoloid.

(1) Dalam situs purbakala di kawasan Jateng-Jatim tersebut ditemukan kerangka


Austromelanesoid yang dikubur dalam posisi terlipat. Di tempat yang sama juga ditemukan
kerangka Mongoloid dikubur dalam posisi terbujur.

(2) Penemuan kerangka manusia purba di daerah Wajak, dekat Tulungagung, Jawa Timur,
menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid pada bagian wajahnya, sekaligus menunjukkan ciri-ciri ras
Austromelanesid pada bentuk umum tengkoraknya. Dari bukti tersebut dapat disimpulkan,
bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah
1. percampuran antara dua ras Austromelanesid dan Mongoloid yang mendiami bumi
nusantara ini, gelombang demi gelombang, dalam waktu berabad-abad, kemudian
bercampur dengan
2. rumpun Asia dari India,
3. bercampur lagi dengan rumpun Aria dari India, dan
4. bercampur lagi dengan bangsa Semit dari Eropa, di masa-masa modern sesudahnya.

Dari bukti-bukti arkeologis tersebut di atas maka orang akan sulit jika menetapkan mana
sebenarnya yang disebut bangsa Indonesia yang asli. Apalagi sekarang! Zaman globalisasi. Kini
dunia rasanya sudah menjadi satu. Kita sekarang sudah menjadi satu warga negara, warga
negara dunia. Kemanusiaan yang adil dan beradab – seperti yang diamanatkan oleh Sila ke-dua
Pancasila — seharusnya sudah menjadi way of life semua bangsa di dunia. Apapun ideologinya,
apapun filosofinya, apapun agamanya. Mankind is one!
Asal - usul nenek moyang indonesia

KEDATANGAN NENEK MOYANG KE INDONESIA

Siapa sebenarnya nenek moyang Bangsa Indonesia, dari mana asal-usulnya, dan sejak kapan
mereka mulai menempati bumi Nusantara ini dan beranak-pinak?

Pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan mempelajari peninggalan arkeologi serta bantuan
disiplin ilmu lainnya seperti ilmu linguistik, antropologi budaya, paleoantropologi atau ilmu
genetika.

TEORI ASAL-USUL BANGSA INDONESIA

Beberapa teori atau pendapat yang berbeda-beda tentang asal-usul manusia dan masyarakat
Indonesia :

1. Van Heine Geldern (sosiolog dan sejarawan Belanda)

Terjadi perpindahan penduduk dari Asia ke pulau-pulau di sebelah selatan Asia atau yang
disebut Austronesia (Pulau Selatan). Bangsa yang mendiami pulau itu adalah bangsa
Austronesia. Wilayah Austronesia meliputi pulau-pulau yang membentang dari Madagaskar
sampai pulau Paskah, Taiwan dan Selandia baru. Mereka membawa kebudayaan Neolithikum.
Ada juga bangsa Austronesia yang tinggal di pulau yang terletak antara benua Asia dan Asutralia
yaitu di daerah Yunan dan membawa kebudayaan Yunan. Diperkirakan mereka masuk ke
Indonesia melalui 2 gelombang yaitu +/- tahun 2000 SM dan 200 SM. Alasan nenek moyang
Bangsa Indonesia meninggalkan daerah asalnya masing-masing adalah karena adanya bencana
alam dan serangan dari suku bangsa lain.

2. Dr.H.Kern (ahli Bahasa)

Berdasarkan penelitian terhadap 113 bahasa daerah di Indonesia tahun 1899, disimpulkan bahwa
masing-masing bahasa ada kemiripan , sehingga disimpulkan bahwa bahasa daerah yang ada di
Indonesia berasal dari satu rumpun yang sama yaitu bahwa Austronesia.

Orang-orang Austronesia yang memasuki wilayah nusantara, dalam perkembangannya disebut


bangsa melayu Indonesia. Mereka inilah yang menjadi nenek moyang langsung bangsa
Indonesia.

Bangsa Melayu dibedakan menjadi 2 suku bangsa, yaitu :

a. Melayu Tua (Proto Melayu)


yang mewarisi kebudayaan Paleolithikum (Bacson-Hoabinh). Suku bangsa Indonesia yang
termasuk anak ketrunan ini adalah suku Dayak dan Toraja.
b. Melayu Muda(Deutero Melayu)
Yang mewarisi kebudayaan Perunggu (Dongson). Suku bangsa Indonesia yang termasuk
keturunan ini adalah suku Jawa, Melayu dan Bugis.

ILMU GENETIKA

Dari fosil-fosil yang ditemukan, jejak-jejak hadirnya makhluk berciri manusia di kepulauan
Nusantara ini dapat dirunut kembali paling tidak hingga periode 1,5 juta tahun silam dalam
endapan purba sejak kala plestosen bawah di sejumlah situs di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Namun bukan dari spesies ini manusia Indonesia lahir. Diperkirakan pada akhirnya Spesies
Homo Erectus dan juga sejenisnya di belahan dunia lainnya kandas sejutaan tahun lampau dan
terpisah dari masa ketika manusia murni atau Homo Sapiens pertama muncul di bumi hanya
seratusan ribu tahun yang lalu.

Sejauh ini komponen fosil Homo Sapiens yang ditemukan di gua-gua hunian pra sejarah di
nusantara ini berasal dari awal kala Helosen dan menunjukkan ciri-ciri Sapiens murni tanpa
kaitan dengan Homo Erekctus yang masanya berbeda jauh.

Lalu siapakah persisnya Homo Sapiens nenek moyang kita? Betulkah orang-orang yang
menggunakan bahasa Austronesia pada 5.000 tahun lalu, bahasa yang menjadi cikal-bakal
bahasa Melayu dan digunakan bangsa Indonesia sekarang ini? Dari mana asal-usulnya?

ILMU LINGUISTIK

Dari studi linguistik, bangsa Indonesia adalah penutur Austronesia. Bahasa ini, dibanding
rumpun bahasa yang ada di dunia pada masa itu seperti Indo Eropa, Aria Barat, dan Aria
Timur,atau Semit cukup fenomenal.

Bahasa Austronesia ini memiliki sebaran paling luas di dunia sebelum masa kolonialisasi Barat,
dan mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau
Paskah di timur serta Taiwan di utara hingga Selandia Baru di selatan.

Bahasa tersebut kini dituturkan lebih dari 300 juta manusia yang penuturnya memiliki latar
belakang budaya yang amat beragam, dari masyarakat pemburu-peramu, para pengelana laut,
kaum nelayan, hingga masyarakat agraris, dan pedagang modern. Sebesar 80 persen Tinggal di
kepulauan Indonesia

PERDEBATAN

Mengenai asal-usul rumpun bangsa berbahasa Austronesia yang menjadi cikal-bakal bangsa-
bangsa di Asia Tenggara dan Asia Pasifik masih menjadi perdebatan, apakah berasal dari
Formosa (Taiwan), dataran Sunda, Hainan (Hongkong), Yunan (China Selatan), Filipina atau
bahkan Jepang.
Menurut Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Harry Truman Simanjuntak, rumpun
Austronesia sendiri merupakan bagian dari bahasa Austrik yang berawal di daratan Asia dan
terbagi dua.

Dua rumpun itu Austro Asiatik yang menyebar di daratan Asia, misalnya, bahasa yang
dituturkan Mon-Khmer di Indochina, Thai, dan Munda di India Selatan serta bahasa Austronesia
yang menyebar ke selatan tenggara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, hingga Kepulauan
Pacific.

Teori yang dominan yakni Model Out of Taiwan menyebutkan, bahasa Austronesia mulai
mengkristal di Formosa (Taiwan) setelah penuturnya bermigrasi ke pulau itu pada 6.000 tahun
lalu dari daratan china Selatan, mungkin sekitar Fujian atau Guangdong.

Proses ini melahirkan bahasa Austronesia awal dan budayanya diwakili budaya Da-pen-keng.
Budaya dan bahasa ini segera terpecah menjadi beragam budaya dan dialek lokal pada sekitar
4.700 tahun lalu.

Pada masa itu penutur Austronesia awal ini kemudian mengenal domestikasi babi dan anjing
serta menanam padi, ubi, dan tebu, membuat kain kulit kayu dan gerabah, serta menggunakan
peralatan dari batu dan tulang juga membuat kano.

Beberapa kelompok dari para penutur Austronesia itu kemudian mulai menjelajahi kepulauan
Asia Tenggara pada 4.500 tahun lalu, khususnya ke Filipina Utara dan kalimantanUtara.

Kelompok pemukim awal ini akhirnya menciptakan bahasa Proto Malayo Polynesia (PMP) yang
merupakan cabang dari induknya Proto Austronesia.

Di kawasan baru itu perbendaharaan tanaman yang dibudidayakan bertambah dari pertanian biji-
bijian ditambah dengan kelapa, sagu, sukun dan pisang.

Pada masa itu teknologi pelayaran mereka makin canggih. Ada yang bermigrasi ke arah timur
menuju Mikronesia, ada yang menuju ke arah selatan melalui Filipina Selatan ke Kalimantan,
Sulawesi dan Maluku Utara.
.

Selanjutnya dari Kalimantan dan Sulawesi gerak migrasi mengarah ke Jawa dan Sumatera serta
Semenanjung Malaka. Sedangkan yang dari Maluku Utara ke selatan menuju Nusa Tenggara dan
ke timur ke pantai utara Papua Barat dan terus ke timur hingga ke Kepulauan Bismarck.

Ketika bermigrasi ke arah timur pertanian biji-bijian ditinggalkan karena lingkungan tak
mendukung dan menggantinya dengan menanam berbagai umbi-umbian.

Menurut Pakar Arkeologi lainnya, Daud Aris Tanudirjo, persebaran tersebut berlangsung sekitar
4.000 hingga 3.300 tahun lalu dengan ditandai luasnya distribusi gerabah berpoles merah.
Kemampuan mengarungi lautan jarak jauh mendorong mereka bermigrasi lompat katak dengan
mengarungi daerah-daerah yang jauh dan melewati daerah-daerah yang dekat.

Selain bahasa Proto Malayo Polynesia yang berkembang di Barat, juga berkembang bahasa-
bahasa Proto Central Malayo Polynesia yang berpusat di Halmahera, Proto Eastern Malayo
Polynesia di kawasan Kepala Burung, dan Proto Oceanic di Kepulauan Bismarck dan kemudian
menyebar ke wilayah sekitarnya.

Bentuk rumpun bahasa Austronesia ini lebih menyerupai garu daripada bentuk pohon. Karena
semua proto-bahasa dalam kelompok ini, dari Proto Malayo Polynesia hingga Proto Oseania
menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi, yaitu lebih dari 84 persen dari 200 pasangan kata.

Bahkan menurut Pakar Austronesia Peter Bellwood, berbagai proto bahasa yang pernah tersebar
dari Filipina hingga kepulauan Bismarck ketika itu pada dasarnya masih bisa dikatakan satu
bahasa dengan sedikit variasi dialek, ujar Daud.

NENEK MOYANG

Jadi bangsa Indonesia merupakan keturunan ras Mongoloid, karena orang-orang asal Formosa
yang bermigrasi ke Kepulauan Indonesia bersamaan dengan menyebarnya bahasa Austronesia
merupakan ras Mongoloid Selatan ?

Penelitian antropometrik dan tengkorak WW Howell terhadap populasi dari Asia Tenggara dan
Asia Pasifik menyimpulkan dua pengelompokan, yakni penduduk Australia (Aborijin) dan
Melanesia di Papua Nugini dalam satu kelompok.

Sedangkan penduduk Polinesia-Micronesia-Mongoloid Selatan pada kelompok yang lain, di


mana nenek moyang penduduk Polynesia dan Micronesia secara fenotif memang lebih dekat
kepada Mongoloid daripada ras Austomelanesid.

Dari studi genetik dengan penelitian mitochondrial DNA juga membuktikan bahwa penduduk
Polinesia, yakni penutur bahasa Proto Malayo Polynesia, memiliki ciri genetika "9 base-pair
deletion" yang menjadi ciri khas penduduk Asia Timur.

Namun, penemuan kerangka manusia di pegunungan Sewu menunjukkan adanya kohabitasi


antara dua ras Australomelanesid dan Mongolid dalam waktu hampir bersamaan jauh sebelum
datangnya para penutur Austronesia yang berciri ras Mongoloid.

Dalam situs itu kerangka berciri Austromelanesoid dikubur dengan posisi terlipat berada di situs
yang sama dengan manusia berciri ras Mongoloid yang dikubur dengan posisi terbujur.

Kerangka yang ditemukan di situs-situs itu memiliki pertanggalan 4.500-7.000 tahun lalu (Song
Keplek, Pacitan) dan 9.800-13.000 tahun lalu (Gua Braholo, Gunung Kidul).

Ras Australomelanesid sendiri, kata Harry Widianto dari Balai Arkeologi Yokyakarta, diduga
bermula dari daratan Asia Tenggara yang bermigrasi sekitar 10 ribu tahun lalu kearah selatan dan
dataran bagian barat.

Bukti-bukti digarisbawahi dengan peninggalan di Vietnam, Thailand, dan Indonesia bagian


barat, kemudian ras tersebut menyebar ke daerah yang lebih timur di Nusa Tenggara.

Menurut Daud Aris, migrasi petani Austronesia di berbagai tempat di nusantara telah
menyebabkan tersingkirnya penduduk Austromelanesoid yang mengandalkan kehidupannya dari
berburu dan mengumpulkan makanan ke wilayah lebih timur dan selatan seperti Papua dan
Australia.

Namun demikian penemuan manusia Wajak dekat Tulungagung yang membawa ciri Mongoloid
pada bagian wajah sekaligus Austromelanesid dari bentuk umum tengkoraknya menunjukkan
adanya percampuran kedua ras.

Percampuran dua ras itu sudah ada sebelum penutur Austronesia yang berciri Mongloid datang
ke nusantara, karena perkiraan pertanggalannya 11 ribu tahun lalu.

Dengan demikian kenyataan itu melemahkan model Out of Taiwan dan memperkuat teori S
Oppenheimer yang menyatakan asal-usul penutur Austronesia berasal dari dataran Sunda
sebelum zaman es mencair.

KESIMPULAN

Jadi bangsa Indonesia merupakan percampuran antara dua ras Austromelanesid dan Mongolid
yang mendiami bumi nusantara gelombang demi gelombang dan bercampur dengan rumpun Aria
dari India, bangsa Semit dan Eropa di masa-masa modern sesudahnya.
Selasa, 22 Januari 2013
TERBENTUKNYA PERADABAN AWAL MASYARAKAT INDONESIA

Mendeskripsikan kehidupan manusia di masa lampau adalah dengan menganalisis serangkaian


peninggalan sejarahnya agar supaya kita mengetahui apa definisi dan benluk peninggalan sejarah itu.
Dari peninggalan sejarah itulah, kita bisa merekonstruksi beragam peristiwa yang terjadi pada masa
lampau untuk dijadikan cerita sejarah. Begitu pula saat kita hendak meneliti dan menulis kehidupan
manusia dan masyarakat awal yang ada di Kepulauan Indonesia. Melalui bantuan ilmu Arkeologi kita
bisa mengungkap misteri kehidupan manusia di masa lampau. Serangkaian penemuan fosil, baik
menyangkut manusia maupun hasil budayanya, bisa kita jadikan tahap awal untuk meneliti seperti apa
wujud kehidupan mereka itu.
Penemuan fosil itu memang bisa dijadikan pintu pembuka untuk mengungkap misteri kehidupan
manusia yang telah terselimuti kabut selama ratusan ribu tahun itu. Namun, itu belum bisa menjamin
bahwa rekonstruksi yang kita lakukan itu sesuai dengan faktanya. Karena, sebuah fosil bisa dianalisis dan
diinterpretasi menjadi beragam cerita sesuai dengan visi, kepentingan, dan kejujuran para penelitinya.
Inilah yang sering menimbulkan polemik di antara para ilmuwan, seperti dalam kasus asal usul manusia
modern. Apakah manusia itu berasal dari Afrika lalu menyebar ke berbagai tempat di dunia atau muncul
di berbagai tempat secara sendiri-sendiri. Sebagai bagian dari masyarakat ilmiah, kita mesti kritis di
dalam menyikapi temuan-temuan itu. Pembelajaran berikut ini akan mendeskripsikan teori-teori asal usul
manusia di Indonesia, dilanjutkan dengan menganalisis perkembangan kehidupan serta kebudayaan
manusia dan masyarakat awal di Indonesia
A. Asal Usul dan Persebaran Manusia
1. "Hawa Mitokondria" dan "Adam Kromosom Y" Asal Mula Manusia Modern
Selama berpuluh-puluh tahun petunjuk satu-satunya dalam penelitian persebaran manusia purba
adalah fosil-fosil dan artefak-artefak yang ditinggalkan dalam pengembaraan mereka. Penelusuran asal
usul manusia seperti mendapatkan darah baru, setelah penerapan teknologi genetika dengan menggunakan
DNA mitokondria (mtDNA) untuk mencari tahu hubungan kekerabatan antarpopulasi. Terobosan itu
membuka pintu gerbang menuju pengungkapan cikal-bakal manusia modern atas dasar persamaan
genetik.
Setiap tetes darah manusia berisi buku sejarah yang ditulis dalam bahasa genetika. Kode-kode
genetika manusia atau genom, adalah 99,9 persen identik di seluruh dunia. Selebihnya ialah DNA yang
bertanggungjawab terhadap perbedaan individual, seperti warna mata, resiko penyakit, dan beberapa
DNA yang tidak begitu jelas fungsinya.
Suatu ketika dalam perubahan genetika yang langka, mutasi acak dan tidak berbahaya dapat
terjadi dalam salah satu DNA yang tak berfungsi tersebut, yang kemudian diwariskan ke semua keturunan
orang itu. Namun, mutasi-mutasi yang memberikan petunjuk tetap terlindungi. Salah satunya adalah DNA
mitokondria (mtDNA), yang diteruskan utuh dari ibu ke anak. Demikian juga sebagian besar kromoson
Y, yang menentukan laki-laki, berpindah utuh dari ayah ke anak laki-laki.
Berdasarkan penelitian mtDNA dari berbagai populasi, para ilmuwan menyimpulkan, bahwa
manusia modern sekarang ini semua merupakan satu keturunan dari satu nenek moyang ("Hawa"
mitokondria). Hawa mitokondria segera bergabung dengan "Adam kromosom Y". Semua umat manusia
terkait dengan Hawa mitokondria melalui rantai para ibu yang tak terpatahkan.
Oleh karena itu, DNA Mitokondria dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah asal usul dan
persebaran manusia dari sisi ibu (maternal). Orang-orang di dari berbagai belahan dunia memiliki garis
keturunan berbeda, tetapi mereka mtDNA dan kromoson Y purba yang setara. Untuk mempelajari
persebaran manusia purba/ penelitian DNA mitokondria ini menggunakan sumber genetik yang dapat
bertahan dalam waktu lama, yaitu tulang-belulang yang sudah menjadi fosil.
Kesimpulan itu membuka cakrawala baru bahwa manusia modern bukanlah keturunan dari
manusia purba semacam Homo Sapiens yang hidup 500.000 tahun lalu, atau bahkan, spesies yang lebih
tua seperti Homo Habilis (2,5-1,6 juta tahun lalu), Homo Ergaster (1/8-1,4 juta tahun lalu), dan Homo
Erectus (1,5 juta tahun lalu).

2. Folimorfisme
Polimorfisme adalah sifat keragaman sel yang disebabkan oleh adanya sejumlah mutasi yang
terjadi secara alamiah dan tidak membawa akibat buruk yang memunculkan variasi individu-individu
yang khas. Sifat keberagaman gen (polimorfisme) ini juga dapat digunakan dalam rangka penelusuran asal
usul manusia dan hubungan kekerabatan antara berbagai ras dan suku, dan untuk membedakan ras yang
satu dengan yang lain. Rangkaian informasi genetik yang terkandung dalam DNA mitokondria dapat juga
menggambarkan karakteristik suatu populasi.
Oleh karena, itu jauh-dekatnya kekerabatan suatu kelompok suku bangsa dapat dilihat dari
persamaan variasi dari suku bangsa tersebut. Semakin besar jumlah variasi yang memisahkan dua
kelompok etnik, semakin jauh jarak kekerabatan antara kedua kelompok tersebut. Sebaliknya jika ada dua
orang yang mtDNA-nya persis sama, maka kekerabatan di antara keduanya sangat dekat, mungkin satu
ibu, satu nenek, atau satu nenek moyang.
3. Daerah Asal Manusia
Pada pertengahan tahun 1980-an Allan Wilson dan rekan-rekan di University of California,
Barkeley, menggunakan mtDNA untuk mengidentifikasikan tempat asal nenek moyang umat manusia.
Mereka membandingkan mtDNA dari wanita-wanita di seluruh dunia dan menemukan bahwa wanita-
wanita keturunan Afrika menunjukkan keanekaragaman dua kali lebih banyak daripada kaum wanita lain.
Max Ingman, doktor genetik asal Amerika Serikat mengungkapkan hal senada dengan pendapat
bahwa manusia modern berasal dari salah satu tempat di Afrika antara kurun waktu 100 - 200 ribu tahun
lalu. Dari situ moyang manusia masa kini itu lantas menyebar dan mendiami tempat-tempat di luar
Afrika. Gen manusia modern ini tidak bercampur dengan gen spesies manusia purba.
Sekitar 50.000 hingga 70.000 tahun silam, satu gelombang kecil manusia yang mungkin hanya
berjumlah seribu orang dari Afrika menuju pantai-pantai Asia bagian Barat. Ada dua jalur tersedia
menuju Asia. Pertama mengarah ke Lembah Sungai Nil, melintasi Semenanjung Sinai lalu ke utara lewat
Levant. Namun, jalur yang satunya juga mengundang untuk dijelajahi, yaitu melintasi Laut Merah. Pada
saat itu (70.000 tahun yang lalu) bumi memasuki zaman es terakhir dan permukaan laut menjadi lebih
rendah karena air tertahan dalam gletser. Pada bagian tersempit di muara Laut Merah hanya berjarak
beberapa kilometer. Dengan menggunakan perahu primitif, manusia modern dapat menyeberangi laut
untuk pertama kalinya.
Setelah berada di Asia, bukti genetis memperkirakan populasi terpecah. Satu kelompok tinggal
sementara di Timur Tengah, sementara kelompok lain menyusuri pantai sekitar Semenanjung Arab, India
dan wilayah Asia yang lebih jauh. Setiap generasi mungkin bergerak hanya beberapa kilometer lebih jauh.
Para pengembara telah mencapai Australia Barat Daya 45.000 tahun lalu. Hal ini terbukti dengan
penemuan fosil seorang pria di Lake Mungo. Fosil-fosil lain yang belum terungkap di dalam tanah
mungkin berusia lebih tua yaitn sekitar 50.000 tahun yang lalu. Hal ini menjadi bukti paling awal manusia
modern yang berada jauh dari Afrika.
Tidak ada jejak fisik berupa fosil orang-orang ini sepanjang sekitar 13.000 kilometer dari Afrika ke
Australia. Semua mungkin sudah lenyap saat air laut naik sesudah zaman es. Namun jejak genetika
berlangsung terus. Beberapa kelompok pribumi pada kepulauan Andaman dekat Myanmar, Malaysia dan
Papua Nugini, serta orang Aborigin di Australia memiliki tanda garis keturunan mitokondria purba.
B. Asal Usul dan Persebaran Manusia di Kepulauan Indonesia
Kehidupan manusia di mana pun dia berada, tidak pernah terlepas dari alam yang melingkunginya.
Interaksi antara manusia dengan alam itulah yang bisa mendorong lahirnya kebudayaan. Oleh karena itu,
cara paling baik untuk mengetahui bagaimana kehidupan manusia pada masa-masa awal, bisa dimulai
dengan menganalisis struktur dan umur bumi. Dan hal ini bisa diawali dengan meneliti fosil yang
ditemukan. Dari situlah, kita bisa mengetahui seperti apa wujud manusia, kapan dia hidup, berapa
umurnya, dan bagaimana bentuk kebudayaannya.
Untuk bisa mengetahui bagaimana karakteristik bumi dari zaman ke zaman itu, kita perlu bantuan
ilmu geologi dan geografi. Menurut ilmu geologi, bumi itu dibagi menjadi beberapa zaman.

1. Zaman Arkhaicum atau Zaman Tertua


Periode mi terjadi kira-kira beberapa puluh juta tahun Sebelum Masehi. Zaman ini berlangsung kira-kira
2500 juta tahun yang lalu. Pada masa ini, belum ada binatang-binatang yang bertulang, yang hidup
hanyalah binatang-binatang rendah.
2. Zaman Palaeozoicum atau Zaman Pertama
Periode ini terjadi kira-kira 340 juta tahun Sebelum Masehi. Hidup pada masa ini ikan dan binatang yang
hidup di darat maupun di air.
3. Zaman Mesozoicum atau Zaman Kedua
Periode ini terjadi kira-kira 140 juta tahun Sebelum Masehi. Pada masa ini telah hidup binatang reptil
yang besar, ikan-ikan yang besar, dan beberapa binatang yang menyusui.
4. Zaman Neozoicum
Zaman ini terbagi lagi menjadi beberapa zaman, yaitu:
a. Zaman Ketiga
Periode ini terjadi kira-kira 60 juta tahun yang lalu. Pada periode ini, sudah banyak ditemukan binatang
menyusui. Bahkan pada akhir zaman ini sudah, ada beberapa kera seperti manusia, misalnya gorila, orang
utan, dan se-bagainya.
b. Zaman Keempat
Periode ini terjadi kira-kira 600.000 tahun yang lalu. Manusia dipastikan telah ada pada masa ini. Zaman
ini terbagi menjadi dua periode, yaitu Diluvium atan zaman es dan Alluvium yaitu zaman yang kita alami
sekarang, yang terdiri atas diluvium tua, tengah, dan muda. Dalam ilmu Geologi, zaman diluvium disebut
juga zaman pleistosen atau zaman glasial atau zaman es. Sedangkan zaman alluvium disebut juga zaman
Holosen di mana mulai hidup Homo sapiens.

Kepulauan Indonesia sendiri pada zaman pleistosen yaitu saat manusia telah hidup dan
berkembang, masih bersatu dengan daratan Asia Tenggara. Coba kamu amati peta Asia Tenggara pada
zaman pleistosen. Karena air yang ada di Kutub Utara dan Selatan membeku hingga sampai ke lintang
60°, maka permukaan air laut turun sampai 70 meter dari keadaan sekarang. Salah satu akibatnya adalah
wilayah Indonesia bagian barat bersatu dengan daratan atau kontinen Asia dan wilayah Indonesia bagian
timur bersatu dengan Benua Australia. Kamu tentu bisa menghubungkan fenomena ini dengan kemiripan
flora dan fauna yang ada di kedua bagian Indonesia itu, dengan yang ada di kedua benua tersebut.
Kebanyakan binatang yang ada di Indonesia bagian barat mempunyai kesamaan dengan yang ada di
daratan Asia, sementara yang berada di kawasan Indonesia Timur mempunyai kemiripan dengan binatang
yang ada di Benua Australia. Mungkinkah fenomena itu juga bisa digunakan untuk merunut asal usul
manusianya?
C. Beragam Teori Muncul dan Berkembangnya Manusia
Kamu telah mengetahui pada zaman apa manusia ada di muka bumi. Pertanyaan mendasar yang
mengemuka adalah pada periode apakah manusia itu muncul dan berkembang serta dari manakah asal
usulnya? Permasalahan inilah yang hingga saat ini menjadi kontroversi dan perdebatan di antara para
ilmuwan. Berikut ini kita deskripsikan beberapa teori dan pendapat para ilmuwan yang berkaitan dengan
asal-usul serta perkembangan manusia.
a. Kalangan Evolusionis
Tokoh-tokoh pemikir Yunani Kuno seperti Empodocles, Anaximander, dan Aristoteles berpendapat
bahwa baik tumbuhan maupun hewan itu mengalami evolusi dan dari tubuh binatang tertentu berevolusi
menjadi manusia. Mereka mengatakan bahwa binatang yang satu berasal dari binatang yang lain.
b. Ernest Haeckel (1834-1919)
Ilmuwan biologi dari Jerman ini berpendapat bahwa asal usul kehidupan yang pertama berasal dari zat
putih telur yang liat dan cair. Akibat pengaruh dari luar maka terciptalah bakteri, amuba, binatang
berongga, ikan, amfibi, reptil, dan binatang yang menyusui anak. Binatang-binatang itn saling
memengaruhi satu dengan yang lainnya. Pada zaman tersier (ketiga) dari binatang menyusui itu
berkembang dan muncullah manusia. Haeckel berkesimpulan, bahwa nenek . moyang manusia itu berasal
dari bangsa kera atau monyet dalam tingkatan yang teratur.
c. Charles Robert Darwin (1809-1882)
Darwin adalah ilmuwan Inggris yang kemudian dikenal sebagai tokoh evolusi itu, memaparkan teorinya
menjadi dua kelompok, yaitu:
1) Teori Descendensi atau Turunan
Dalam bukunya yang berjudul The Descen of Man (1871), Darwin berkata bahwa manusia lebih dekat
dengan kera besar di Afrika (gorila dan simpanse). Teori lainnya menyebutkan bahwa makhluk yang
lebih tinggi itu berasal dari makhluk yang lebih rendah. Akhirnya, semua makhluk hidup bisa di-
kembalikan kepada beberapa bentuk asal.
2) Teori Natural Selection atau Seleksi Alam
Teori ini mencoba member! keterangan tentang terjadinya tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang yang
menyesuaikan diri kepada alam sekitarnya. Darwinisme adalah sebuah teori yang mengatakan bahwa
semua barang-barang yang hidup dapat maju perlahan-lahan naik ke atas. Keyakinan Darwin bahwa
manusia itu berasal dari hewan, telah memicu perdebatan antarilmuwan dan kontroversi bahkan hingga
kini. Dalam kerangka teori Darwin itu pulalah, berbagai penemuan fosil manusia purba yang ada di
Indonesia senantiasa dikaitkan.
Asal usul kehidupan awal manusia dan masyarakat di Indonesia dengan beberapa cara yang bisa
kita lakukan untuk melacak asal usul kehidupan manusia dan masyarakat awal di Indonesia.
a. Berdasarkan Rumpun Kebahasaan
Menurut penelitian, penduduk di wilayah Indonesia (selain orang Irian dan Halmahera) mempunyai
banyak persamaan dalam hal ras, kebudayaan, serta bahasa. Dengan menggunakan hukum-hukiim suara,
kita bisa menemukan adanya rumpun kebahasaan.
"Bahasa menunjukkan bangsa, tiada bahasa hilanglah bangsa," kata Muhammad Yamin. Nah, ketika kita
mempelajari bahasa Indonesia, kita mengenal adanya rumpun bahasa yang meliputi kawasan Asia
Tenggara yang . disebut rumpun bahasa Austria. Rumpun bahasa ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu
bahasa Austro-Asia yaitu bahasa-bahasa di India (Mundha) dan Mon Khmer di India Belakang, serta
bahasa Austronesia yang meliputi bahasa Indonesia, Melanesia, Micronesia, dan Polinesia.
Menurut Dr. H. Th. Fischer dalam bukunya Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia, bila
ditinjau dari fisiknya maka penduduk asli Indonesia terdiri atas tiga golongan. Pertama, golongan Negrito
dengan ciri-ciri berkniit hitam, ranibul keriling, tubuhnya kecil dan tingginya rata-rata 1,5 m. Profil
semacam ini terdapat pada orang Tapiro di Irian. Kedua, golongan Weddoid dengan ciri khas rambut
berombak tegang, lengkung alis menjorok ke depan, dan kulitnya agak cokelat. Profil semacam ini
terdapat pada bangsa Senoi di Malaka, Sakai di Siak, Knbn di Palembang, dan Tomnna di Sulawesi.
Ketiga, golongan Melayu dengan ciri tubuh lebih tinggi dan ramping, wajahnya bundar, hidung pesek
serta berambut hitam. Golongan ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu Proto-Melayu dan Deutero-
Melayu. Von Eichstedt menamakannya sebagai Palaeo-Mongolid. Profil Proto-Melayu terdapat pada
suku bangsa Mentawai, Toraja, dan Dayak. Kelompok ini disebut juga Melayu Tua. Profil Deutero-
Melayu terdapat pada suku bangsa Sunda, Jawa, Minangkabau, Bali, dan Makassar. Kelompok ini disebut
juga kelompok Melayu Muda.
1. Bangsa Melayu Berasal dari Utara yaitu Asia Tengah
Ada beberapa ilmuwan yang mengatakan bahwa bangsa Melayu berasal dari daratan Asia bagian tengah.
Sekilas akan kita deskripsikan siapa tokoh dan teorinya dalam deskripsi berikut ini:
a) Berdasarkan penelitian terhadap kapak tua (beliung batu) yang ada di sekitar hulu Sungai Brahmaputra,
Irrawaddy, Salween, Yangtze, dan Hwang, mempunyai kemiripan dengan yang ada di Indonesia, la
berkesimpulan bahwa kapak tua itu dibawa oleh orang Asia Tengah ke Kepulauan Indonesia (R.H.
Geldern)
b) Setelah meneliti beberapa perkataan yang digunakan sehari-hari terutama mengenai nama-nama tumbuh-
tumbuhan, hewan, dan nama perahu, terdapat persamaan bahasa baik di Indonesia, Madagaskar, Filipina,
Taiwan, dan Kepulauan Pasifik. Kesimpulannya: bahasa Melayu itu berasal dari satu induk yang ada di
Asia (J.H.C. Kern).
c) Kesimpulan penelitiannya menunjukkan bahwa bahasa Melayu dan bahasa Polinesia (yang digunakan
beberapa pulau di Kepulauan Pasifik) ternyata serumpun. Sementara itu, E. Aymonier dan A. Cabaton
menemukan bahwa bahasa Campa serumpun dengan bahasa Polinesia, di mana keduanya merupakan
warisan dari bahasa Melayu Kontinental (W. Marsden).
d) Antara bahasa Melayu dan bahasa Polinesia terdapat kesamaan pembentukan kata. Kedua bahasa itu
berasal dari bahasa yang lebih tua yang disebut Melayu Polinesia Purba. Sementara itu, A.H. Keane
menemukan bahwa struktur bahasa Melayu serupa dengan bahasa di Kampuchea (J.R. Foster).
e) Ada kesamaan adat kebiasaan antara suku bangsa Naga di Assam (daerah Burma dan Tibet) dengan suku
bangsa Melayu. Persamaan adat itu juga berkait erat dengan bahasanya. Dari situ tentu bahasa Melayu
berasal dari Asia. Pendapat Logan didukung oleh G.K. Nieman dan R.M. Clark serta Slamet Muljana dan
Asmah Haji Omar. Maka Slamet Muljana berkesimpulan bahwa bahasa Austronesia (termasuk di
dalamnya bahasa Melayu) berasal dari Asia. Sedangkan Asmah Haji Omar menguraikan bahwa
perpindahan orang Melayu dari daratan Asia ke Indonesia tidak sekaligus. Ada yang melalui daratan yaitu
tanah semenanjung melalui Lautan Hindia, ada pula yang melalui Laut Cina Selatan (J.R. Logam).

Secara ringkas, perpindahan orang Melayu dari Asia Tengah dapat dijelaskan dengan merunut latar
belakang asal usul orang Negrito, Proto-Melayu, dan Deutero-Melayu. Sebelum kedatangan bangsa
Melayu, Kepulauan Indonesia dihuni oleh penduduk asli yang disebut sebagai orang Negrito. Mereka
hidup kira-kira sejak tahun 8000 Sebelum Masehi, tinggal di dalam gua dengan mata pencaharian berburu
binatang. Alat yang mereka gunakan terbuat dari batu dan zaman ini disebut sebagai zaman batu
pertengahan. Profil orang ini ditemukan pada bangsa Austronesia yang menjadi cikal bakal orang Negrito,
Sakai, dan Semai yang hidup pada zaman paleolit dan mesolit.
Gelombang pertama kedatangan orang-orang Asia Tengah diperkirakan pada tahun 2500 Sebelum
Masehi. Mereka disebut sebagai Proto-Melayu. Peradabannya lebih maju apabila dibandingkan dengan
orang Negrito, karena mereka telah pandai membuat alat bercocok tanam, barang pecah belah, dan
perhiasan. Kelompok ini hidup berpindah-pindah dan hidup pada zaman neolitik atau zaman batu baru.
Gelombang kedua terjadi pada tahun 1500 Sebelum Masehi terdiri atas orang Deutero-Melayu.
Peradabannya lebih maju lagi apabila dibandingkan dengan orang Proto-Melayu. Mereka telah mengenal
kebudayaan logam karena menggunakan alat perburuan dan pertanian yang terbuat dari besi. Selain itu,,
mereka telah menetap di suatu tempat, mendirikan kampung, bermasyarakat, dan menganut animisme.
Mereka hidup di zaman logam di sekitar pantai Kepulauan Indonesia. Kedatangan Deutero-Melayu ini
mendesak Proto-Melayu, hingga mereka pindah ke pedalaman.
2. Bangsa Melayu Berasal dari Nusantara
Ada beberapa ilmuwan yang mendukung teori ini. Beberapa di antaranya bisa diperhatikan pada
deskripsi di bawah ini.
a) Setelah membuat perbandingan bahasa-bahasa di Sumatra, Jawa, Kalimantan, serta kawasan Polinesia, ia
berkesimpulan bahwa asal bahasa yang ada di Kepulauan Indonesia berasal dari bahasa Jawa di Jawa dan
bahasa Melayu di Sumatra. Kedua bahasa itu merupakan induk bahasa-bahasa di Indonesia. Alasan yang
ia kemukakan adalah bahwa bangsa Jawa dan bangsa Melayu telah mencapai peradaban yang tinggi pada
abad XIX. Hal ini bisa dicapai, karena selama berabad-abad kedua bangsa itu telah mempunyai
kebudayaan yang maju. Kesimpulannya: orang Melayu tidak berasal dari rnana-mana, tetapi merupakan
induk yang menyebar ke tempat lain. Sedang bahasa Jawa adalah bahasa tertua yang menjadi induk dari
bahasa-bahasa yang lain (J. Crawfurd).
b) Bangsa-bangsa berkulit cokelat yang hidup di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Singapura,
Indonesia, Brunei, dan Filipina adalah bangsa Melayu yang berasal dari rumpun bahasa yang satu.
Bahkan mereka bukan saja sama kulitnya, tetapi bentuk dan anggota badannya sama dan membedakannya
dari bangsa Cina di sebelah timurnya atau bangsa India di sebelah baratnya (Sutan Takdir Alisyabana).
c) Dengan teori leksikostatistik dan teori migrasi ia meneliti asal usul bangsa dan bahasa Melayu.
Kesimpulannya: tanah air dan nenek moyang bangsa Austronesia haruslah daerah Indonesia dan Filipina
yang dahulunya merupakan kesatuan geografis (Gorys Keraf).
d) Pada saat es mencair pada zaman kuarter (satu juta tahun hingga 500.000 yang lalu), air menggenangi
daratan-daratan yang rendah. Daratan tinggi membentuk pulau dan memisah daratan-daratan rendah. Saat
inilah Semenanjung Malaka berpisah dengan daratan lain dan membentuk Kepulauan Indonesia.
Dampaknya adalah tiga kelompok Homo sapiens yaitu orang Negrito di sekitar Irian dan Melanesia,
orang Kaukasus di Indonesia Timur, Sulawesi dan Filipina, serta orang Mongoloid di utara dan barat
lautAsia, berpisah satu dengan yang lain (Pendapat lainnya).
Dari deskripsi di atas, kita bisa merekonstruksi kehadiran suatu bangsa dengan merunut
penggunaan bahasanya. Perkembangan suatu bahasa memang bisa meliputi suatu kawasan yang sangat
luas dan terjadi dalam kurun waktu yang lama. Dari studi kebahasaan ini, kita bisa mengetahui dari mana
sebuah bahasa berasal dan ke arah mana bahasa itu berkembang. Dari sinilah kila bisa mengetahui bangsa
yang menjadi pemakai bahasa tersebut.
b. Berdasar Temuan Arkeologis
Sungguh beruntung kita hidup di wilayah Indonesia. Berbagai tempat di negara kita ternyata
termasuk dalam wilayah "dunia lama" yang menjadi salah satu situs tempat ditemukannya manusia-
manusia purba. Dari berbagai penemuan fosil di beberapa tempat, kita bisa sedikit menguak bagaimana
kehidupan manusia pada masa-masa awal peradaban. Setidaknya ada tiga fosil yang bisa dijadikan
pembuka tabir kehidupan manusia di masa lampau.
Pada tahnn 1898 seorang dokter Belanda, Engene Dubois menemukan sekelompok fosil di Lembah
Sungai Bengawan Solo (di Desa Kedung Brubus dan Trinil), yang terdiri atas tengkorak atas, rahang
bawah, dan sebuah tulang paha. Isi otak makhink itu lebih besar apabila dibandingkan dengan jenis kera,
namun jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan isi otak mannsia. (Perbandingan isi otaknya adalah
800 cc:
1.500 cc). Gigi pada fosil itu menunjukkan sifat manusia, sedang tulang pahanya menunjukkan ia
bisa berdiri tegak. Fosil ini kemudian ia namai dengan Pithecanthropus erectus atau manusia kera yang
berjalan tegak. Dubois meyakininya sebagai nenek moyang manusia zaman sekarang. Benarkah teori
Dubois tersebut?
Fenomena kehidupan manusia Indonesia di masa lampau semakin terkuak, setelah sekitar dua
puluh fosil berhasil ditemukan di berbagai daerah antara tahun 1931-1934. Ahli geologi dari Jerman yang
bernama G.H.R. von Koenigswald menemukan empat betas fosil Pithecanthropus yang terdiri atas dua
betas tengkorak dan dua tibia (tulang kering) di Desa Ngandong di sekitar Lembah Bengawan Solo.
Semua fosil yang ditemukan pada lapisan pleistosen tengah itu kemudian diteliti secara mendalam oleh
ahli palaeoantropologi kita yaitu Teuku Jacob. Dalam disertasi berjudul Some Problems Pertaining to the
Racial History of the Indonesian Region yang ia pertahankan di Universitas Utrecht tahun 1967, fosil
yang semula disebut Homo soloensis itu kemudian ia sebut Pithecanthropus soloensis. Diduga umurnya
antara 800.000 hingga 200.000 tahun. Pada tahun 1938 ditemukan fosil di Desa Perning (Mojokerto) dan
Trinil (Surakarta) yang diperkirakan berumur 2.000.000 tahun dan diberi nama Pithecanthropus
Mojokertensis.
Von Koenigswald kembali menemukan fosil di Sangiran pada tahun 1941 yang terdiri atas bagian
rahang bawah (mirip rahang manusia) dengan ukuran yang sangat besar bahkan melebihi ukuran gorila
jantan. jantan. Dari situ kemudian diberi nama Meganthropus palaeojavanicus atau* Manusia Besar dari
Jawa zaman kuno (mega=besar, anthropus=manusia). Penemuan berikutnya terjadi di Desa Sangiran
(lima fosil) dan Sambungmacan, Sragen serta berbagai tempat lainnya hingga semua fosil berjumlah 41
buah.
Lalu, teori apa yang kita dapat setelah menganalisis serangkaian penemuan fosil-fosil tersebut?
Teuku Jacob berpendapat bahwa makhluk pithecanthropus itu belum berbudaya. Alasannya sebagai
berikut. (1) Suatu fakta bahwa tidak pernah ditemukan adanya peralatan di sekitar penemuan fosil, yang
menunjukkan bahwa makhluk itu sudah berbudaya. (2) Volume otak Pithecanthropus masih terlampau
kecil bila dibandingkan dengan makhluk manusia sekarang. Volume otak bisa diperkirakan dari kapasitas
rongga tengkoraknya. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa volume otak Pithecanthropus erectus
sekitar 800 cc, Pithecanthropus soloensis (1.000 cc), sedang manusia sekarang rata-rata 1.500 cc. Dengan
demikian, sulit dipercaya bahwa makhluk itu telah mempunyai akal. (3) Rongga mulut tengkorak
Pithecanthropus menunjukkan bahwa makhluk itu belum bisa menggunakan bahasa. Dengan keterbatasan
akal dan ketiadaan bahasa, sulit bagi makhluk ini untuk secara sadar membuat pola-pola kehidupan yang
teratur. Akal dan bahasa memang merupakan kunci berkembangnya sebuah kebudayaan. Berkat adanya
evolusi dan adaptasi terhadap lingkungan alamnya, tentu makhluk ini juga berkembang pula keahlian
serta kebudayaannya.
Namun, terlepas dari perdebatan dan kontroversi yang menyertai penemuan fosil-fosil itu, adasatu
hal yang disepakati oleh para ahli palaeoantropologi yaitu bahwa Pithecanthropus (termasuk di dalamnya
Meganthropus palaeojavanicus) dianggap sebagai makhluk pendahuluan manusia di kawasan Asia,
khususnya Asia Tenggara. Mereka hidup 2.000.000 hingga 200.000 tahun yang lalu, terdiri atas
kelompok-kelompok berburu kecil beranggotakan 10 sampai 12 individu. Rata-rata setiap individu
berumur 20 tahun, sehingga Pithecanthropus yang berusia 10 tahun telah merupakan makhluk dewasa.
Maka, menjadi tidak mengherankan apabila di berbagai tempat di Indonesia ditemukan kelompok-
kelompok fosil dari makhluk purba. Hanya saja, meskipun mereka mungkin telah menggunakan beberapa
alat untuk membantu keterbatasan kemampuan organismenya, namun mereka belum dianggap
sepenuhnya sebagai makhluk manusia yang berbudaya.
Itulah deskripsi singkat tentang beberapa teori yang berkaitan dengan asal usul manusia di Indonesia.
Tentu masih banyak lagi teori-teori yang lain yang diungkapkan oleh sejumlah ilmuwan baik dari dalam
maupun dari luar negeri. Antara lain kamu bisa mencarinya di situs-situs yang ada di internet atau melalui
beragam pustaka. Misalnya pada situs http://www.harunyahya.com, di sini kamu bisa mengikuti
perdebatan seputar penemuan-penemuan manusia dari beberapa ilmuwan. Dengan mengikuti perdebatan
itu tentu kamu akan bertambah kritis, luas wawasan dan tidak ketinggalan zaman dalam mengikuti
perkembangan mutakhir seputar teori-teori mengenai penemuan manusia.

D. Perkembangan Manusia Purba di Indonesia


1. Kondisi Alam Indonesia
Konon pada zaman es, wilayah kita terbagi menjadi dua bagian. Wilayah barat yang disebut Paparan
Sunda menjadi satu dengan Asia Tenggara kontinental. Paparan ini meliputi Jawa, Kalimantan, serta
Sumatra dan menjadi satu dengan daratan Asia Tenggara, sehingga merupakan wilayah yang luas.
Wilayah timur yang disebut Paparan Sahul menjadi satu dengan Benua Australia. Wilayah yang terletak
di antara Paparan Sunda dan Sahul itu meliputi Kepulauan Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Kawasan ini kelak, oleh Wallacea disebut penyaring bagi fauna (bahkan manusia) di kedua daratan.
Karenanya, tipe fauna di kedua daratan cenderung berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan dukungan
iklim serta suhu yang baik, evolusi tumbuhan dan hewan (termasuk Primates) bisa berlangsung.
Pada masa itu, manusia hidup dalam kelompok-kelompok kecil di berbagai daerah dengan mobilitas yang
cukup tinggi. Jalur Indonesia-kontinen Asia bisa mereka tempuh melalui rute darat, begitu pula dengan
Indonesia-Australia. Peralatan batu yang ditemukan di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara serta di
Filipina, mungkin bisa digunakan untuk merunut kehidupan Pithecanthropus yang tinggal di kawasan ini.
Kemudahan komunikasi itu memungkinkan mereka untuk mengadakan migrasi ke dalam dua arah yang
berlawanan.
Perubahan mulai terjadi pada daratan dan kehidupan manusia, saat es mulai mencair. Karena air laut
menjadi lebih tinggi dan menutupi bagian-bagian rendah dari kedua paparan, maka membentuk pulau-
pulau baru yang saling terpisah. Dampaknya adalah kelompok-kelompok manusia itu menjadi tercerai-
berai dan hidup di dalam pulau-pulau yang saling berlainan.
Fenomena alam itu tidak hanya sekali terjadi, sehingga memungkinkan faktor-faktor evolusi seperti
seleksi alam, arus gen, dan efek perintis untuk bekerja. Hasilnya adalah populasi baru yang mungkin
sekali berbeda dengan induknya. Mungkin karena faktor hibridisasi yaitu pembauran gen atau perjodohan
antara dua golongan makhluk hidup. Mungkin pula karena pigminasi yaitu proses pengerdilan individu
sebagai akibat adanya seleksi alam dan terbatasnya bahan makanan untuk populasi yang semakin
bertambah. Proses inilah yang antara lain mengakibatkan mengapa manusia purba yang ditmukan di
kawasan Sangiran berbeda dengan yang ditemukan di Flores pada tahun 2004.
Nah, dengan latar belakang sejarah seperti itulah muncul kehidupan manusia di bumi Indonesia. Lalu,
seperti apa jenis manusia purba yang ada di Indonesia dan sampai pada tahap apakah kebudayaan
mereka? Pembelajaran berikut ini akan memandumu dalam mengidentifikasi dan mendeskripsikan
perkembangan manusia purba di Indonesia.
2. Jenis Manusia Purba di Indonesia
Seperti telah kamu ketahui, bahwa manusia purba itu mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda bila
di-bandingkan dengan manusia zaman sekarang. Tengkorak manusia purba cenderung lebih kecil namun
memanjang, rahangnya tebal namun tidak berdagu serta tidak mempunyai dahi. Perbandingan semacam
ini bisa kita peroleh setelah kita menganalisis serangkaian penemuan fosil, baik yang berupa tengkorak
maupun tulang-tulang anggota badan lainnya.
Begitu pula saat kita nanti mendeskripsikan hasil-hasil budayanya. Data-data tentang hasil budayanya itu
bisa kita peroleh setelah kita menganalisis fosil yang berwujud beragam bentuk peralatan yang diduga
pernah mereka gunakan. Lalu, untuk menentukan usia fosil itu kita harus menganalisis lapisan bumi di '
mana fosil itu ditemukan, tentu dengan bantuan ilmu Geologi. Dengan cara inilah, kita sekarang bisa
mengklasifikasi jenis dan budaya manusia purba di Indonesia.
Penemuan manusia purba di Indonesia terjadi pada akhir abad XIX. Bermula dari dugaan Eugene Dubois
bahwa manusia purba, monyet, dan kera itu biasanya hidup di daerah tropis, karena iklimnya tidak banyak
mengalami perubahan. Ada tiga dasar teori yang digunakan Dubois sebagai acuan. Teori pertama, bahwa
pencarian missink link dalam evolusi manusia berasal dari daerah tropik. Alasannya, berkurangnya rambut
pada tubuh manusia purba hanya bisa terjadi pada daerah tropika yang hangat. Teori kedua, Dubois
mencatat bahwa dalam dunia binatang, umumnya mereka tinggal di daerah geografis yang sama dengan
asal nenek moyangnya. Dari segi biologi, hewan yang paling mirip dengan manusia adalah kera besar.
Oleh karena itu, Dubois menduga bahwa nenek moyang kera besar mempunyai hubungan kekerabatan
(kinship) dengan manusia. Teori ketiga, Dubois percaya bahwa Asia Tenggara merupakan asal usul
manusia. Alasannya, di sana ada orang utan dan siamang.
Penelitian pun dilakukan oleh sejumlah peneliti luar negeri di berbagai tempat. Secara umum
penelitian itu terbagi menjadi tiga tahap yaitu periode 1889-1909, periode 1931-1941, serta periode 1952
sampai sekarang. Dunia ilmu pengetahuan (terutama Palaeoantropologi dan ilmu Hayat) menjadi gempar
saat tahun 1889 Dubois berhasil menemukan sejumlah fosil atap tengkorak di Wajak, Tulungagung,
Kediri, yang kemudian diikuti dengan penemuan-penemuan lain di Kedungbrubus dan Trinil. Fosil itu
disebut dengan Pithecanthropus erectus.
Namun sayangnya, sebagian besar fosil tersebut kini tersimpan di Leiden, Belanda. Fosil lain
berhasil ditemukan oleh ter Haar, Oppenoorth, dan von Koenigswald di Ngandong, Blora, antara tahun
1931-1933, berupa tengkorak dan tulang kering yang disebut Pithecanthropus soloensis. Pada tahun
1936-1941, von Koenigswald kembali berhasil menemukan fosil rahang dan gigi yang bemkuran besar
serta tengkorak manusia purba di Sangiran, yang kemudian disebut Meganthropuspalaeojavanicus.
Selanjutnya, penelitian pascakemerdeka-an banyak melibatkan ahli-ahli Indonesia, terutama di kawasan
Sangiran. Berikut ini adalah jenis manusia purba di Indonesia.
a. Meganthropus atau Manusia Raksasa
Meganthropus berasal dari kata mega yang berarti besar dan anthropus yang berarti manusia. Memang,
apabila fosil makhluk itu kamu amati, pasti kamu akan terperangah: besar rahang bawahnya melebihi
rahang gorila laki-laki. Fosilnya yang terdiri atas rahang bawah, rahang atas,''serta gigi-gigi lepas di-
temukan oleh von Koenigswald di Pucangan tahun 1936-1941, dalam lapisan bumi pleistosen tua. Fosil
ini kemudian disebut Meganthropus Paleojavanicus atau manusia besar dari Jawa zaman kuno.
Selanjutnya, rahang bawah yang lain ditemukan oleh Marks di Kabuh tahun 1952. Namun, sejauh ini di
kalangan ilmuwan nasih merasa kesulitan untuk menempatkan Meganthropus di dalam evolusi manusia.
Apakah tergolong Pithecanthropus, Homo, atau Australopithecusl. Pakar palaeoan-tropologi kita, Prof.
Dr. Teuku Jacob, berpendapat bahwa Meganthropus me-rupakan bentuk khusus (yang lebih besar) dari
Pithecanthropus. Alasan teorinya adalah ia berevolusi dengan cara adaptif, akibat pengaruh lingkung-an
alam'pada masa tertentu. Mungkin, seandainya rahang bawah itu ditemukan bersama-sama dengan rahang
atas dan tengkoraknya, misteri kehidupan Meganthropus baru bisa terbuka.
b. Pithecanthropus atau Manusia Kera
Pithecanthropus berasal dari kata pithekos yang berarti kera dan anthropus yang berarti manusia.
Kebanyakan fosil jenis inilah yang berhasil ditemukan di Indonesia. Mereka hidup pada zaman pleistosen
awal, tengah, dan akhir. Makhluk ini mempunyai ciri-ciri tinggi badannya 165-180 cm, tubuh dan
badannya tegap, gerahamnya masih besar, rahangnya kuat, tonjolan kening tebal (melintang pada dahi
dari pelipis ke pelipis), tonjolan - belakang kepalanya nyata, belum berdagu, serta berhidung lebar.
Volume otaknya berkisar antara 750 sampai 1.300 cc.
Makhluk jenis Pithecanthropus juga ditemukan di kawasan yang lain. Di Cina Selatan ditemukan
Pithecanthropus lautianensis dan di Cina Utara disebut Pithecanthropus Pekinensis. Mereka hidup
800.000 hingga 500.000 tahun yang lampau. Makhluk sejenis juga ditemukan di Tanzania, Kenya, dan
Aljazair di Afrika, serta di Eropa seperti di Jerman Barat, Jerman Timur, Prancis, Yunani, dan Hongaria.
Namun, kebanyakan ditemukan di Indonesia. Ada beberapa jenis manusia purba yang tergolong ke dalam
Pithecanthropus, antara lain sebagai berikut.
1) Pithecanthropus Mojokertensis ( Manusia Kera dari Mojokerto)
Jenis ini diduga merupakan manusia purba tertua yang ada di Indonesia dan ditemukan tahun 1936 di
Pucangan serta Mojokerto, berupa tengkorak anak-anak berusia 6 tahun. Isi otaknya berkisar 650 cc. Fosil
ini ke-mudian disebut Pithecanthropus mojokertensis atau Pithecanthropus robustus (robustus artinya
besar). Dari hasil penelitian, bisa di-simpulkan bahwa makhluk ini hidup pada 2,5 sampai 1,25 juta tahun
yang lampau. Makhluk ini mempunyai spesifikasi: berbadan tegap, tonjolan keningnya tebal, tulang
pipinya kuat, dan mu-kanya menonjol ke depan. Makhluk ini hidup bersama-an dengan Meganthropus,
namun sulit menghubung-kan evolusi keduanya.
2) Pithecanthropus Erectus (Manusia Kera yang Berjalan Tegak)
Jenis ini merupakan generasi kedua manusia purba di Indonesia. Yang fenomenal dari jenis ini adalah
selain fosilnya ditemukan paling awal, juga memiliki wilayah penyebaran yang cukup luas. Fosil jenis ini
terdiri atas atap tengkorak, tulang paha, serta beberapa fragmen tulang paha yang ditemukan di Trinil
tahun 1891. Fosil ini merupakan kepunyaan laki-laki dengan isi otak kira-kira 900 cc. Dari penelitian
terhadap tengkoraknya, Dubois member! nama Pithecanthropus atau manusia kera dan dari tulang
pahanya ia member! nama erectus atau berjalan tegak. Tidak kurang dari 23 jenis fosil berhasil ditemukan
di berbagai daerah di kawasan Sangiran. Maka, tidak aneh bila fakta dan cerita tentang kehidupan
Pithecanthropus lebih banyak kita peroleh dibandingkan dengan manusia purba dari jenis yang lain.
Misalnya, makhluk ini hidup sekitar sejuta hingga setengah juta tahun yang lalu, mempunyai tinggi badan
160-180 cm dengan berat badan 80 sampai 100kg.
Yang membedakan Pithecanthropus erectus dengan Pithecanthropus Mojokertensis adalah besar isi
tengkorak, tebal atap tengkorak, bentuk tonjolan belakang kepala dan tonjolan kening, serta daerah
telinga. Dari fosi1 Pithecanthropus orectus yang berhasil ditemukan, kebanyakan berjenis kelamin laki-
laki. Diduga jenis perempuannya banyak yang meninggal saat kehamilan dan persalinan.
3). Pithecanthropus Soloensis (Manusia Kera dari Solo)
Nama Pithecanthropus soloensis diberikan oleh ilmuwan kita Prof. Dr. Teuku Jacob setelah meneliti 14
jenis fosi1 dari Desa Ngandong di Lembah Bengawan Solo sebelah utara Trinil. Jenis ini merupakan
generasi ketiga manusia purba di Indonesia. Dari penemuan fosil yang ada di Sangiran dan
Sambungmacan, makhluk ini mempnnyai ciri khas: volume otak 1.000 sampai 1.300 cc, tengkoraknya
lonjong, tebal dan masif, tonjolan keningnya cukup nyata, dahinya lebih terisi, serta tengkoraknya lebih
tinggi dibanding kedua manusia terdahulu. Tanda-tanda yang lain adalah akar hidungnya lebar dan rongga
matanya sangat panjang, tinggi badannya 165 sampai 180 cm, serta tulang keringnya tegap. Dari
identifikasi ini bisa disimpulkan bahwa meskipun letak kepalanya di atas tulang belakang, namun belum
seperti letak kepala manusia saat ini.
Pithecanthropus soloensis yang hidup kira-kira 900.000 hingga 300.000 tahun yang lalu itu, secara
evolutif lebih dekat dengan Pithecanthropus Mojokertensis dibandingkan dengan Pithecanthropus
Erectus.
Para ilmuwan menduga bahwa kedua makhluk itu memang mem-punyai kaitan dalam hal evolusi. Yang
membedakannya dengan kedua manusia purba terdahulu adalah besarnya tengkorak, tonjolan kening, dan
tonjolan belakang kepala, daerah telinga dan daerah hidung. Hanya saja, volume otaknya semakin
bertambah, demikian pula otak kecilnya. Kamu tentu mengetahui apa dampak yang muncul di balik
berkembangnya volume otak ini. Dengan otak yang semakin berkembang itu, Pithecanthropus Soloensis
mulai menemukan dan mempunyai cara hidup yang baru. Perubahan inilah yang menyebabkan
berkembangnya kebudayaan manusia-manusia purba di Indonesia. Oleh karena itu, ada beberapa ahli
yang mengelompokkan Pithecanthropus Soloensis ini ke dalam kelompok Homo Neandertalensis.
Bahkan, ada pula yang memasukkan-nya ke dalam kelompok Homo Sapiens. Namun, sejauh ini para
ilmuwan belum mencapai kesepakatan.
4) Homo ( Manusia)
Jenis Homo ini mulai mendekati dengan bentuk manusia. Hidup pada zaman pleistosen muda. Sementara
itu, dari serangkaian fosi1 yang ditemukan diduga mereka hidup 200.000 tahun yang lalu. Selain banyak
jumlahnya dan ditemukan di berbagai tempat, fosilnya tidak hanya berupa tengkorak melainkan juga
berupa kerangka yang lengkap. Ada beberapa jenis manusia purba dari kelompok Homo ini, antara lain
sebagai berikut.
a). Homo Neandertalensis (Manusia dan Lembah Neander)
Fosil makhluk ini ditemukan tahun 1856 di Lembah Sungai Neander dekat Kota Dusseldorf, Jerman.
Fosil sejenis juga ditemukan di Francis, Belgia, Jerman, Italia, Yugoslavia, serta berbagai negara di
Eropa. Di Palestina, fosil itu ditemukan di Gua Tabun dekat Mount Carmel, sehingga disebut
HomoPalestinensis. Semula, makhluk ini hanya dianggap sebagai evolusi manusia yang kandas. Namun,
setelah penemuan Homo neandertalensis, para ilmuwan sepakat bahwa makhluk ini merupakan nenek
moyang salah satu ras manusia.
Yang cukup mengagumkan dari penemuan fosil-fosil ini adalah ditemukan-nya beragam peralatan batu
dan sisa-sisa kebudayaan lama di dekat lokasi fosil. Hal itu menunjukkan, bahwa tingkat kehidupan
mereka sudah akrab dengan kebudayaan. Bahkan, di Eropa sering ditemukan bekas-bekas api di sekitar
penemuan fosil, yang diduga sebagai solusi atas dinginnya iklim di daerah Glasial. Dari penelitian
terhadap peralatan yang berhasil ditemukan menunjukkan bahwa mereka sudah berburu. Peralatan batu
selain digunakan untuk senjata juga digunakan untuk memotong.
b). Homo Sapiens (Manusia Sekarang)
Generasi pertama dari manusia sekarang mula-mula hidup pada lapisan pleistosen muda atau zaman
glasial terakhir (sekitar 80.000 tahun yang lampau). Mulai saat itu, tidak ditemukan lagi makhluk-
makhluk dari dua jenis terdahulu. Karena sejak zaman holosen, fosil manusia yang berhasil ditemukan
menunjukkan perbedaan empat ras pokok yang saat itu ada di muka bumi. Keempatnya sebagai berikut.
(1) Ras Australoid yang kini sisa-sisanya bisa kamu temukan di pedalaman Benua Australia. Fosil manusia
dari jenis ini ditemukan oleh Rietschoten tahun 1889 di Desa Wajak Kab. Tulungagung Jawa Timur, di
Lembah Sungai Brantas dalam lapisan pleistosen muda. Fosil ini berupa tengkorak, fragmen rahang
bawah, dan beberapa buah ruas leher. Pada tahun berikutnya ditemukan pula fragmen tulang tengkorak,
rahang atas dan bawah serta tulang paha dan tulang kering. Dari hasil penelitian terhadap fosil itu
diperoleh beberapa kesimpulan. Tengkorak manusia ini tergolong besar dengan volume otak 1.630 cc,
mukanya datar dan lebar. Akar hidungnya lebar, dahinya agak miring, di atas rongga mata ada busur
kening yang nyata. Tinggi manusia itu kira-kira 173 cm diteliti dari tulang pahanya. Manusia yang
kerrtudian disebut Homo Wajakensis itu diperkirakan hidup 40.000 tahun yang lampau, tersebar di
Paparan Sunda dan sebagian Indonesia Timur.
Prof. Dr. Teuku Jacob mengajukan sebuah teori, bahwa di daerah Papua (Irian Jaya), telah berkembang
suatu ras khusus dari ras Wajak dan menjadi nenek moyang penduduk asli Australia sekarang. Salah satu
kemungkinan mengapa terjadi arus migrasi dari Irian ke Australia adalah, masih utuhnya daratan di kedua
bagian bumi itu. Laut saat itu belum terbentuk, sehingga mobilitas manusia bisa merambah ke wilayah
yang luas. Nah, dari sinilah kita bisa merunut mengapa ras Wajak mampu menyebar hirigga ke Irian.
Bahkan, menurut Teuku Jacob, dari ras Wajak ini pulalah berkembang menjadi penduduk Irian dan
Melanesia.
(2) Ras Mongoloid adalah ras yang paling besar jumlahnya dan luas wilayah penyebarannya, bahkan hingga
saat ini. Fosil manusia dari jenis ini ditemukan di Gua Chou-Kou-Tien (sebelah barat Beijing) Tiongkok
antara tahun 1927 dan 1937. Fosil yang berhasil ditemukan itu membuktikan bahwa manusia ini memiliki
kemiripan dengan Pithecanthropus yang ada di Indonesia. Fosil ini kemudian diberi nama
Pithecanthropus pekinensis. Dari hasil penelitian terhadap fosilnya, diperoleh data bahwa ternyata
tengkoraknya lebih besar bila dibandingkan dengan Pithecanthropus Erectus, dengan volume otak kira-
kira 900 hingga 1.000 cc. Berarti volume otaknya telah mendekati volume otak manusia sekarang.
Apalagi di sekitar penemuan fosilnya ditemukan serangkaian peralatan yang menunjukkannya telah
memiliki kebudayaan. Bermula dari manusia inilah, kemudian berkembang menjadi beragam ras
Mongoloid di Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Utara, Asia Timur Laut, bahkan hingga
Benua Amerika Utara dan Selatan. Mereka diperkirakan hidup antara 40.000 hingga 30.000 tahun yang
lampau. Kamu kini tentu bisa merunut, bangsa-bangsa mana sajakah yang nenek moyangnya berasal dari
Pithecanthropus Pekinensis ini.
(3) Ras Kaukasoid yang menjadi cikal bakal bangsa-bangsa di Eropa, Afrika bagian utara Gurun Sahara, Asia
Barat Daya, Australia serta Benua Amerika Utara dan Selatan. Fosil manusia yang berhasil ditemukan di
Desa Les Eyzies, Dordogne di Prancis, diperkirakan berasal dari 60.000 tahun yang lampau. Fosil
manusia yang menjadi nenek moyang penduduk Eropa sekarang itu kemudian disebut Homo Sapiens
Cromagnonensis. Fosil yang ditemukan itu mempunyai bentuk yang indah, tinggi, dan besar, mukanya
selaras dengan bentuk dahinya. Sisa-sisa manusia ini bisa dijumpai pada bangsa Kabyl di Afrika Utara.
(4) Homo Sapiens yang mula-mula menunjukkan ciri-ciri ras Negroid, ditemukan di Asselar sebelah timur
laut Timbuktu (di tengah-tengah Gurun Sahara). Fosil manusia ini oleh para ahli palaeoantropologi diberi
nama Homo Sapiens Asselar, diperkirakan hidup 14.000 tahun yang lampau. Ras Negroid ini dianggap
oleh para peneliti manusia purba sebagai ras manusia yang paling muda
Dari keempat jenis nenek moyang ras itulah, manusia berevolusi dan berkembang biak menjadi besar
serta beragam sifatnya. Masing-masing ras mempunyai spesifikasi dan membentuk satuan sosial sendiri-
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai