Anda di halaman 1dari 13

“Sang Sungging”

dan
“Puteri Senuro”

Nama Guru : AZIMAH, S.Pd.SD.

NIP : 19621212 198406 2 004

SD NEGERI 03 INDRALAYA SELATAN

KECAMATAN INDRALAYA SELATAN

KABUPATEN OGAN ILIR

TAHUN PELAJARAN 2018-2019


Sang Sungging dan Puteri Senuro

Terbetiklah sebuah kisah, di Kesultanan Palembang,

mengabdilah seorang pati bernama Abdul Hamid. Beliau berasal dari

keturunan kerajaan dari Pulau Jawa dan menetap di Kesultanan

Palembang. Beliau terkenal dengan beberapa keahliannya seperti

rancang bangun, melukis, mengukir/memahat bahkan menyiapkan

rencana-rencana yang akan dilakukan oleh Istana. Beliau sangat dekat

dan sudah dipercaya layaknya anggota keluarga oleh Sultan.

Syahdan, pada suatu masa

beliau mendapat mandat dari

Sultan untuk membuat

lukisan utuh permaisurinya.

Mendapat tugas tersebut, Abdul

Hamid menyanggupi

dengan senang hati. Siang dan

malam dia melukis permaisuri demi

Sultan. Mendekati tahap akhir pengerjaan lukisan tersebut Sultan

mendatangi Abdul Hamid dengan maksud ingin melihat hasil lukisan


yang dibuat olehnya. Sultan kelihatan senang dan menunjukkan binar

muka yang puas atas lukisan yang dikerjakannya.

Pada malam berikutnya, Abdul Hamid melanjutkan pekerjaannya

melukis permaisuri dengan sangat hati-hati. Dan…selesai sudah,

gumannya tersenyum gembira setelah menyelesaikan lukisan tersebut.

Sambil menatap hasil pekerjaannya, ia membayangkan wajah

kegembiraan Sultan. Lama dia berdiam sampai dia tertidur sekejap.

dan tanpa disadarinya tinta yang digunakannya menetes ke lukisan

yang sudah jadi tersebut.

Keesokan harinya dengan perasaan bangga, Abdul Hamid

menghadap Sultan dan menyerahkan lukisan yang dibuatnya.

Alangkah terkejutnya dia, bukannya pujian yang diterima tetapi malah

caci maki. Melihat lukisan tersebut, Sultan murka dan marah tanpa

bisa terbendungkan. Sultan menghardik Abdul Hamid dengan

pertanyaan yang penuh kecurigaan, dari mana Abdul Hamid tahu

kalau di paha kiri atas (dekat kemaluan) istrinya terdapat tahi lalat

sebagaimana hasil lukisan tersebut. Mendapat hardikan pertanyaan

tersebut Abdul Hamid justru bingung bukan kepalang. Usut punya

usut ternyata hasil tetesan tinta yang tanpa disengaja dan disadari oleh
Abdul Hamid waktu dia mengantuk malam itu jatuh tepat di paha

sebelah kiri atas dari lukisan permaisuri, sehingga menyebabkan

Sultan menuduh jika Abdul Hamid telah berselingkuh dengan istrinya.

Mendapat tuduhan seperti itu, Abdul Hamid berusaha

menjelaskan hal yang sebenarnya. Akan tetapi, kemarahan Sultan

sudah tidak bisa dielakkan lagi. Abdul Hamid pun diminta

meninggalkan istana bahkan diancam akan dihukum gantung.

Mendapati situasi yang tidak menguntungkan seperti itu, Abdul

Hamid beserta hulu balangnya bergegas melarikan diri dengan

menggunakan perahu. Tanpa arah tujuan yang jelas mereka terus

menyusuri sungai menuju pedalaman demi menghindari kejaran

tentara Sultan.

Berbulan-bulan mereka mengayuh perahu. Dari Sungai Ogan

menyusuri sebuah lebak yang kemudian dikenal dengan nama Lebak

Meranjat. Merapatlah mereka di sebuah hutan belantara seberang

Tanjung Batu yang akhirnya menetap, berdiam diri, bergaul di daerah

tersebut sembari mengajarkan keahliannya dalam hal bertukang,

memahat, membuat perhiasan, hingga menyebarkan ajaran agama

Islam.
Karena keahlian dan kepandaiannya, kian hari keberadaan Abdul

Hamid dan pengikutnya semakin

mendapat tempat dihati penduduk.

Karena berbagai keahliannya ini

terutama sekali keahliannya sebagai

tukang kayu dan tukang pahat, maka

oleh penduduk setempat beliau diberi

gelar Usang Sang Sungging (Sang

Sungging).

Selang beberapa waktu beliau tinggal di seberang Tanjung Batu,

terdengarlah olehnya bahwa ada seorang puteri cantik yang tinggal di

hulu sungai dan menetap di sebuah dusun bernama Senuro.

Mendengar kabar ini, Sang Sungging lalu mengirim utusan untuk

mengadakan silaturahmi dengan Puteri tersebut. Sepulangnya dari

tempat Sang Puteri, para utusannya membawa kabar baik bahwa

maksud dan tujuan mereka diterima dengan baik dan tangan terbuka

oleh Puteri. Utusannya juga bercerita bahwa Sang Puteri senang

mengajarkan kepada penduduk setempat bagaimana cara mengerjakan


kerajinan menganyam, membuat bakul dari kulit bambu dan membuat

kerajinan lainnya.

Mendengar berita tersebut, Sang Sungging pun tidak dapat

menyembunyikan kegembiraannya dan memutuskan untuk segera

bertemu Sang Puteri. Setelah kedua insan tersebut berjumpa,

diketahuilah bahwa Puteri tersebut bernama Nafisah. Konon karena

kecantikan rupanya dan kulitnya agak kemerah-merahan seperti buah

Pinang Masak, maka oleh penduduk setempat ia dijuluki Puteri Pinang

Masak.

Sultan langsung mengutus beberapa pengawal istana untuk

menjemput puteri dan membawanya ke

istana. Sebelum para pengawal

datang, puteri rupanya sudah lebih

dulu mengetahuinya.

Puteri sangat bersedih hati,

berusaha dan berikhtiar bagaimana

caranya menghindari hal

tersebut. Bahkan akhirnya Puteri bersumpah lebih baik mati daripada

menjadi gundik Sultan. Namun puteri juga sadar bahwa untuk


menghindari kekuasaan Sultan dan para pengawalnya adalah suatu

upaya yang tidak mungkin.

Puteri dan keluarganya lalu mencari cara bagaimana mengelabui

para pengawal istana yang hendak menjemputnya. Akhirnya

munculnya tipu muslihat untuk mengelabui mereka. Sebelum para

pengawal istana tiba, Puteri merebus jantung pisang. Setelah dingin,

air rebusan jantung pisang itu lalu dibuat mandi oleh Puteri, akibatnya

badan Puteri menjadi hitam pekat, kotor dan kelihatan menjijikankan

dan kemolekannya menjadi hilang.

Ketika para Pengawal Sultan sampai dirumah Puteri Nafisah,

mereka sangat terkejut dengan pemandangan ditemui. Mereka menjadi

ragu apakah benar orang yang berdiri dihadapan mereka adalah Puteri

Nafisah yang kecantikannya menggemparkan seluruh negeri itu.

Timbul keragu-raguan di hati mereka untuk membawa Puteri, namun

karena ini adalah perintah Sultan dan tidak boleh dilanggar, maka

akhirnya mereka membawa juga Puteri Nafisah ke istana untuk

dipersembahkan kehadapan Sultan.

Sesampai di istana mereka langsung menghadap Sultan berikut

Sang Puteri. Begitu melihat sosok yang berdiri dihadapannya, Sultan


bertanya kepada para pengawalnya, apakah benar yang mereka bawa

ini adalah Puteri Nafisah yang terkenal kecantikannya tersebut.

Dengan kalimat tercekat, para pengawal mengiyakan. Lalu Sultan

mengulangi pertanyaannya, kali ini ke arah Puteri Nafisah. Mendapat

pertanyaan tersebut Puteri Nafisah diam saja. Mendapatkan kondisi

tersebut, murkalah Sang Sultan dan seketika itu Puteri Nafisah di usir

keluar dari istana. Maka dengan bergegas Sang Puteri meninggalkan

istana dan kembali kerumahnya.

Mengetahui tipu muslihatnya berhasil, Puteri dan keluarganya

merasa senang tiada terkira. Seiring dengan perjalanan waktu, mereka

pun kemudian hidup tenang dan terlepas dari niat Sang Sultan.

Namun, kondisi ini ternyata tidak berjalan semulus yang mereka

harapkan. Cerita kecantikan Sang Puteri ternyata masih tetap menjadi

buah bibir di kalangan khalayak. Sultan pun penasaran dan mengutus

para penyelidik istana untuk menyelidiki kabar yang berhembus

tersebut. Para penyelidik bekerja secara diam-diam dan dengan sangat

cermat. Setelah melakukan pengamatan beberapa lama, para

penyelidik istana akhirnya mendapatkan fakta yang sebenarnya.


Mereka juga mengetahui tipu muslihat Sang Puteri ketika menghadap

Sultan sebelumnya.

Mendengar laporan dari para penyelidiknya, Sultan marah bukan

kepalang. Diperintahkannya kembali pengawal untuk menjebut Sang

Putri secara paksa. Namun sebelum para pengawal istana sampai, para

pengikut setia Sang Puteri segera menyampaikan berita tersebut.

Mendapati berita itu, Puteri dan keluarganya sangat terkejut dan sedih

bukan kepalang. Mereka berunding, usaha apa kali ini yang harus

mereka lakukan untuk menghindari niat Sang Sultan. Setelah

berunding, akhirnya diputuskan satu-satunya jalan adalah melarikan

diri.

Dengan persiapan seadanya, di suatu malam, bersama dengan

dua orang dayang dan dua orang pengawal, berangkatlah Puteri

Nafisah dengan menggunakan sebuah rejung (perahu) menuju ke

uluhan Sungai Ogan. Berbulan-bulan rombongan Sang Puteri

menyusuri sungai dan lebak, sesekali mereka harus menepi dan

bersembunyi untuk menghindari kejaran para pengawal istana.

Akhirnya sampailah mereka pada sebuah lebak yang cukup luas, yang

kelak lebak itu bernama Lebak Meranjat. Di sebuah teluk yang


bernama Teluk Lancang, rejung atau perahu mereka dihadapkan ke

teluk tersebut, dan menyusuri sebuah sungai (payo) yang arusnya

sangat deras. Lalu sampailah mereka di suatu tempat yang mereka

perkirakan cukup aman dan tidak mungkin ditemukan oleh para

pengawal istana.

Kedatangan seorang Puteri beserta dayang dan pengawalnya

cepat tersebar di telinga penduduk sekitar. Penduduk pun beramai-

ramai tinggal dan menetap bersama Sang Puteri. Untuk

menghilangkan jejak, Puteri Nafisah kemudian mengganti namanya

dengan sebutan Puteri Senuro. Tempat bermukim mereka berkembang

menjadi sebuah dusun yang kemudian diberi nama Senuro, sesuai

dengan nama Sang Puteri. Dua dayang dan dua pengawal putri ikut

hidup dan menetap disana. Mereka berjanji akan menyertai dan

menjaga puteri hingga akhir hayatnya.

Ditempat yang baru ini Sang Puteri menjadi buah bibir para

pemuda dan anak-anak orang terpandang di sekitar wilayah tersebut.

Sang Puteri juga mempunyai kepandaian dalam hal membuat

anyaman. Puteri mengajarkan juga kepandaian kepada penduduk

terutama kaum remaja putrinya, terutama anyaman untuk alat-alat


memasak yang digunakan sehari-hari. Puteri juga terkenal dengan

keahliannya dalam membuat anyaman yang tidak tembus oleh air.

Sampai akhirnya kabar kecantikan dan keahliannya ini turut di dengar

oleh Sang Sungging.

Sang Sungging begitu terharu mendengarkan cerita dan

pengalaman Putri Nafisah atau Puteri Senuro ini. Ternyata mereka

berdua mengalami peristiwa yang serupa. Dari beberapa kali

pertemuan, keduanya pun sepakat untuk menjalin tali kasih. Keduanya

juga tak segan bercerita mengenai kepandaian masing-masing. Sang

Sungging dalam hal bertukang, memahat, melukis dan membuat

kerajinan, sementara Puteri Senuro dalam hal membuat anyam-

anyaman. Sang Sungging juga mendengar jika Sang Puteri bisa

membuat anyaman yang tidak tembus air.

Suatu hari Sang Sungging ingin dibuatkan masakan gulai kepada

Puteri Senuro. Sang Puteri memenuhi permintaan itu. Setelah gulai

masak, dibuatlah sebuah bakul dengan tudungnya untuk tempat gulai

tersebut dan langsung dikirim kepada Sang Sungging. Mendapat

kiriman Dari Puteri Senuro, Sang Sungging langsung membuka bakul

tersebut dan alangkah herannya Sang Sungging, karena sedikitpun kua


gulai itu tidak menetes keluar. Sang Sungging semakin percaya dan

takjub dengan kepandaian Sang Putrti. Setelah habis gulainya

dimakan lalu bakul tadi dikembalikan kepada Puteri Senuro. Sebagai

balasannya Sang Sungging menyuguh (menyerut) papan dengan

umbangnya (hasil suguhan kayu) hampir 9 meter tanpa terputus-putus.

Umbang kayu ini kemudian dimasukkan ke dalam bakul tersebut dan

dikirim kembali ke Puteri Senuro. Oleh Puteri Senuro umbang

tersebut kemudian dianyam menjadi bakul. Pada perjalanannya, bakul

inilah yang kemudian menjadi wadah hantaran lauk pauk dari Sang

Puteri ke Sang Sungging.

Kedua sejoli itu saling berlomba

menunjukkan keahlian masing-masing

sembari menjaga tali percintaannya

menuju hari pernikahan. Persiapan demi

persiapan pun mereka gencarkan demi

menjelang pelaksanaan pernikahan.

Sebelum pernikahan terjadi, datang beberapa orang pengawal Puteri

Senuro menemui Sang Sungging membawa pesan bahwa Sang Puteri


sedang jatuh sakit. Dari hari ke hari sakitnya bertambah parah dan

tidak menunjukkan kesembuhan.

Dalam kondisi sakit parah tersebut Puteri Senuro tetap

memikirkan kelangsungan hidup kaumnya. Dia masih teringat dengan

kisahnya dulu dan tidak mau kaumnya kelak mengalami nasib serupa.

Merasa kondisinya sudah tidak bisa diharapkan lagi, sebelum

meninggal Sang Puteri berdoa dan bersumpah kepada yang maha

kuasa agar kelak anak cucu kaumnya tidak memiliki paras cantik

seperti dirinya, karena kecantikan itu akan membawa kesengsaraan.

Setelah melafazkan sumpah tersebut akhirnya Puteri Senuro

menghembuskan nafasnya yang terakhir. Puteri wafat dengan

meninggalkan empat orang dayang dan dua orang pengawal yang

sangat setia termasuk kekasihnya Sang Sungging. Puteri lalu

dimakamkan ditempat tersebut. Bagi anak cucu kaumnya, Puteri

Senuro atau Pteri Pinang Masak menjadi pelambang kaum wanita

yang menjunjung tinggi martabat. Setelah Sang Puteri meninggal,

dayang-dayang dan pengawalnya bertekad akan tetep berdiam di

tempat itu, dan akan mati berkubur disamping kubur Sang Puteri.

Anda mungkin juga menyukai