Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring perkembangan jaman setiap rumah sakit harus siap

menerima perkembangan teknologi dan informasi. Rumah Sakit

merupakan salah satu instansi yang mampu memberikan jasa pelayanan

kesehatan dan dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan

cepat dan tepat kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 pasal 1 ayat 1 tentang rumah

sakit, rumah sakit merupaka intitusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah

sakit memiliki pengaruh terhadap pelayanan kesehatan masyarakat. Upaya

rumah sakit untuk meningkatkan pelayanan dilakukan dengan cara

memberikan pelyanan yang baik dan cepat kepada masyarakat. Pelayanan

atau kegiatan rumah sakit seperti kegiatan pengobatan dan perawatan

harus didokumentasikan ke dalam rekam medis (medical record).

Berdasarkan Permenkes RI No.269/Menkes/Per/2008 tentang

Rekam Medis, rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan

dokumen tentang identitas pasien, pemerikasaan, pengobatan, tindakan

dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Pada instalasi
rekam medis terdapat beberapa bagian, salah satunya bagian yang

berkaitan dengan pengkodean diagnosis yaitu bagian coding.

Coding merupakan salah satu bagian di instalasi rekam medis yang

berkaitan dengan pengkodean diagnosis dimana pengkodean dilakukan

oleh seorang petugas yaitu coder. Tugas coder yaitu memberikan kode

pada setiap diagnosis maupun tindakan telah diberikan pada

pasienjberdasarkan ICD-10 maupun ICD-9CM. Coder juga bertanggung

jawab atas keakuratan kode diagnosis dan tindakan yang diberikan kepada

pasien.

Mengkode diagnosis merupakan tugas seorang petugas coder

biasanya coder menggunakan standar klasifikasi International Statistical

Classification of Diseases and Related Health Problem Tenth Revision

(ICD-10) sehingga kode yang dihasilkan tepat dan akurat. Isi dokumen

rekam medis antara lain tercantum diagnosis utama penyakit pasien serta

tindakan yang dilakukan oleh dokter apabila tindakan tersebut diperlukan.

Kegiatan dan tindakan serta diagnosis yang ada di dalam rekam medis

harus diberi kode dan selanjutnya diindeks agar memudahkan pelayanan

pada penyajian informasi untuk menunjang fungsi perencanaan,

manajemen dan riset bidang kesehatan. (Depkes RI, 2006).

Pentingnya keakuratan kode diagnosis akan mempengaruhi data

dan informasi laporan, ketepatan tarif INA-CBG‟s yang pada saat ini

digunakan sebagai metode pembayaran untuk pelayanan pasien Jaminan

Kesehatan Nasional. Keakuratan kode diagnosis berperan penting terhadap


analisis pembiayaan pelayanan kesehatan, pelaporan data morbiditas dan

mortalitas, pengambilan kebijakan serta menentukan bentuk pelayanan

yang harus direncanakan.

Diabetes mellitus tipe II merupakan penyakit hiperglikemi akibat

insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun

atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh

sel-sel beta pancreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagain

non insulin dependent diabetes mellitus. Diabetes mellitus tipe II adalah

penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan kenaikan gula darah

akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pancreas dan atau gangguan

fungsi insulin (sekresi insulin).

Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2014

jumlah penderita diabetes mellitus telah meningkat dari 108 juta penderita

di tahun 1980 menjadi 422 juta penderita pada tahuan 2014. Prevalensi

global diabetes mellitus di kalangan orang dewasa diatas usia 18 tahun

telah meningkat dari 4.7% pada tahun 1980 menjadi 8.5% di tahun 2014.

Pada tahun 2015 diperkirakan sekitar 1.6 juta kematian secara langsung

disebabkan oleh diabetes mellitus, sedangkan 2.2 juta kematian lainnya

disebabkan oleh gula darah tinggi pada tahun 2012. Di Indonesia

berdasarkan Pusat Data Dan Informasi (PUSDATIN) Kementerian

Kesehatan RI pada tahun 2013 6.9% atau sekitar 12 juta penduduk

Indonesia menderita diabetes mellitus. Pada Riset Kesehatan Dasar

(RISKEDAS)ntahun 2013 dari 6.9% penderita diabetes mellitus yang


didapatkan, 30.4% yang telah terdiagnosis sebelumnya dan 60.6% tidak

terdiagnosis sebelumnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, rumusan

masalah penelitian ini adalah “Bagaimana keakuratan kode diagnosis

Diabetes Mellitus dokumen rekam medis pasien rawat inap berdasarkan

ICD-10 di Rumah Sakit Milik Universitas di Sukoharjo Tahun 2018 ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui keakuratan kode diagnosis penyakit Diabetes Mellitus

dokumen rekam medis pasien rawat inap berdasarkan ICD-10 di Rumah

Sakit Milik Universitas di Sukoharjo.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui prosedur pencatatan diagnosis Diabetes Mellitus pada

dokumen rekam medis pasien rawat inap berdasarkan ICD-10 di

Rumah Sakit Milik Universitas di Sukoharjo.

b. Mengetahui prosedur kodefikasi Diabetes Mellitus pada dokumen

rekam medis pasien rawat inap berdasarkan ICD-10 Rumah Sakit

Milik Universitas di Sukoharjo.


c. Mengetahui keakuratan kode Diabetes Mellitus pada dokumen

rekam medis pasien rawat inap berdasarkan ICD-10 di Rumah Sakit

Milik Universitas di Sukoharjo.

d. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keakuratan dan

ketidakakuratan kode Diabetes Mellitus pada dokumen rekam medis

pasien rawat inap berdasarkan ICD-10 di Rumah Sakit Milik

Universitas di Suoharjo.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Rumah Sakit

Manfaat penelitian ini bagi rumah sakit adalah sebagai bahan

masukan dalam pengambilan kebijakan di bagian unit rekam medis

khususnya di bagian coding mengenai penerapan prosedur kodefikasi,

dan mengenai kekuratan kode diagnosis diabetes mellitus agar

menghasilkan kode yang tepat dan akurat.

2. Bagi Institusi

Manfaat penelitian ini bagi institusi adalah sebagai bahan

referensi kepustakaan yang dapat digunakan untuk penelitian lebih

lanjut.

3. Bagi Penulis

Manfaat penelitian ini bagi penulis yaitu guna menambah

pengetahuan dan wawasan bagi peneliti dan acuan referensi untuk

mengembangkan penelitian selanjutnya sesuai dengan materi yang


bersangkutan dengan mengetahui keakuratan kode diagnosis diabetes

mellitus pada dokumen rekam medis pasien rawat inap berdasarkan

ICD-10 di Rumah Sakit Milik Universitas di Sukoharjo.

E. Ruang Lingkup

1. Lingkup Keilmuan

Lingkup Keilmuan dalam penelitian ini adalah sub bidang rekam medis

dan informasi kesehatan.

2. Lingkup Materi

Lingkup Materi dalam penelitian ini adalah klasifikasi dan kodefikasi

penyakit.

3. Lingkup Lokasi

Lingkup Lokasi penelitian ini adalah pada Sub Bagian Rekam Medis di

Rumah Sakit Milik Universitas di Sukoharjo.

4. Lingkup Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan

pendekatan retrospective serta pengambilan data dengan metode

observasi dan wawancara.

5. Lingkup Objek

Objek penelitian ini adalah Standar Prosedur Operasional (SPO) Rumah

Sakit dan dokumen rekam medis pasien rawat inap diagnosis Diabetes

Mellitus.
F. Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang “Tinjauan keakuratan

Kode Diagnosis diabetes mellitus pada dokumen rekam medis pasien rawat

inap berdasarkan ICD-10 di Rumah Sakit Milik Universitas di Sukoharjo

Tahun 2018” belum pernah dilakukan oleh orang lain. Penulis mengambil

beberapa contoh KTI sebagai bahan acuan untuk membuktikan keaslian

penelitian yang dilakukan oleh penulis. Contoh-contoh KTI yang penulis

ambil sebagai bahan acuan antara lain sebagai berikut :

Tabel 1.2 Keaslian Penelitian

Judul Tempat Variabel yang Metode


No Peneliti
Penelitian Penelitian diteliti Penelitian
1 Tinjauan Susi Rumah 1. Diagnosa Metode
Keakuratan Susanti Sakit utama yang
Kode (2014) Islam Gastroenteriti digunakan
Diagnosis APIKES Amal s Acute adalah
utama kasus Citra Sehat 2. Kode observasi
Gastroenter Medika Sragen Diagnosis dan
itis Acute kasus wawancara.
pada Gastroenteriti
Dokumen s Acute
Rekam 3. Akurasi Kode
Medis Diagnosis
Pasien Gastroenteriti
Rawat Inap s Acute
G. Sistematika Penulisan

Sistem penelitian karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :

BAB 1 : PENDAHULUAN

Bab ini terdapat latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, ruang lingkup penelitian, keaslian penelitian

dan sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab ini terdapat pengertian rekam medis, tujuan dan

kegunaan rekam medis, pengertian, tujuan dan manfaat

Standar Prosedur Operasional (SPO), Pengertian dan

Tujuan ICD-10, Struktur ICD-10, Kerangka Teori dan

Kerangka Konsep.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab III berisi tentang jenis dan rangcangan

penelitian, variabel penelitian, definisi operasional

variabel, populasi dan sampel, instrument penelitian,

sumber data, pengolahan data, analisa data dan interpretasi

data.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Rekam Medis

1. Pengertian Rekam Medis

Pengertian rekam medis menurut beberapa sumber antara lain :

a) Rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen

tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan

pelayanan lain kepada pasien pada fasilitas pelayanan kesehatan

(Permenkes No. 55 Tahun 2013).

b) Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen

tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan

pelayanan lain yang diberikan kepada seorang pasien selama dirawat

di rumah sakit yang dilakukan di unit-unit rawat jalan termasuk unit

gawat darurat dan unit rawat inap (Permenkes RI

269/Menkes/Per/III/2008).

c) Rekam medis adalah berkas yang menyatakan siapa, apa, mengapa,

dimana, kapan, dan bagaimana pelayanan yang diperoleh seorang

pasien selama dirawat atau menjalani pengobatan (Edna K. Huffman

dalam Firdaus 2012).


2. Tujuan Rekam Medis

Rekam medis bertujuan untuk menunjang tercapainya tertib

administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di

rumah sakit. Tanpa didukung suatu sistem pengelolaan rekam medis

yang baik dan benar, tidak akan tercipta tertib administrasi rumah sakit

sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan tertib administrasi merupakan

salah satu faktor yang menentukan di dalam upaya pelayanan kesehatan

di rumah sakit (Depkes RI, 2006).

a. Kegunaan Rekam Medis

Kegunaan rekam medis dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain

(Depkes RI, 2006) :

1) Aspek Administrasi

Di dalam berkas rekam medis terdapat nilai administrasi, karena isi

dari berkas rekam medis trsebut menyangkut tindakan berdasarkan

wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan para

medis dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan.

2) Aspek Medis

Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai medis karena catatan

tersebut dipergunakan sebagai perencanaan pengobatan atau

perawatan yang diberikan kepada seorang pasien dan dalam rangka

mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan melalui

kegiatan audit medis, manajemen resiko klinis serta keamanan atau

keselamatan pasien dan kendali biaya.


3) Aspek Hukum

Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai hukum, karena isinya

menyangkut masalah adanya jaminan kepada kepastian ukum atas

dasar keadilan, dalam rangka usaha meningkatkan hukum serta

penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan keadilan.

4) Aspek Keuangan

Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai uang, karena isinya

mengandung data atau informasi yang dapat digunakan sebagai

aspek keuangan.

5) Aspek Penelitian

Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai penelitian karena

isinya dengan data atau informasi yang akan dipergunakan sebagai

bahan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dibidang

kesehatan.

6) Aspek Pendidikan

Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai pendidikan karena

isinya menyangkut data atau informasi tentang perkembangan

kronologis dan kegiatan pelayanan medik yang diberikan kepada

pasien, informasi tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan atau

referensi pengajaran dibidang profesi si pemakai.

7) Aspek Dokumentasi

Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai dokumentasi karena

isinya menyangkut sumber ingatan yang harus


didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan pertanggung

jawaban dan laporan rumah sakit.

3. Bagian Rekam Medis

Struktur sistem rekam medis terdiri dari 2 bagian pokok yaitu

bagian pencatatan atau penangkapan data dan bagian pengolahan data.

Rekam medis dapat terselenggara apabila pencatatan dan pengolahan

data rekam medis dapat dilaksanakan dengan baik, lengkap, akurat dan

tepat waktu. Bagian penangkapan data atau pencatatan data tersebut

meliputi :

a) Tempat Pendaftaran Pasien Rawat Jalan (TPPRJ)

Bagian ini bertanggung jawab terhadap data dan informasi identitas

pasien rawat jalan.

b) Tempat Pendaftaran Pasien Rawat Inap (TPPRI)

Bagian ini bertanggung jawab terhadap data dan informasi identitas

pasien yang akan dirawat dan yang sedang dirawat.

c) Unit Rawat Jalan (URJ)

Bagian ini bertanggung jawab terhadap data dan informasi

medis serta keperawatan pasien rawat jalan.

d) Unit Rawat Inap (URI)

Bagian ini bertanggung jawab terhadap data dan pelayanan medis

pasien yang dirawat inap.


e) Unit Gawat Darurat (UGD)

Bagian ini bertanggung jawab terhadap data dan informasi pasien

tentang perawatan pasien gawat darurat.

f) Instalasai Pemeriksaan Penunjang (IPP)

Bagian ini bertanggung jawab terhdap data dan informasi hasil

pemeriksaan penunjang.

Adapun tempat pengelolaan data rekam medis sampai menjadi

informasi atau laporan adalah :

1) Fungsi Assembling

Bagian ini bertanggung jawab terhadap pengendalian nomor

rekam medis

2) Fungsi Coding dan Indexing

Bagian ini bertanggung jawab terhadap penelitian dan penulisan

kode International Classification Of Disease (ICD), indeks

penyakit, indeks operasi, indeks kematian dan indeks dokter.

3) Fungsi Assembling dan Reporting

Bagian ini bertanggung jawab terhadap tinjauan data dan

informasi rekam medis yang sudah terkumpul untuk diolah

menjadi laporan atu informasi yang dibutuhkan oleh manajemen

rumah sakit.
B. ICD-10

1. Pengertian ICD-10

International Statistical Classification of Diseases and Related

Health Problem Tenth Revision (ICD 10) contains guidelines for

recording and coding,together with much new material on practical

aspectsof the classification’s use, as well as an outline of the historical

background to the classification adalah daftar eksklusif (alfanumerik)

kode yang digunakan untuk mengklasifikasikan penyaki, kondisi,

berbagai tanda-tanda, gejala, keluhan dan penyebab eksternal dari cidera

atau penyakit (WHO, 2004:1).

2. Tujuan ICD-10

Tujuan dari ICD adalah untuk memungkinkan analisis rekaman

yang sistematis, interpretasi dan perbandingan mortalitas dan morbiditas

data yang dikumpulkan di berbagai negara atau daerah dan pada waktu

yang berbeda. ICD digunakan untuk menterjemahkan diagnosa penyakit

dan masalah kesehatan lainnya dari kata-kata ke dalam kode

alfanumerik, yang memungkinkan penyimpanan yang mudah,

pengambilan dan analisis data.

ICD dalam pengimplementasiannya telah menjadi klasifikasi

diagnostik standar internasional untuk semua tujuan manajemen

kesehatan. Ini termasuk analisis kesehatan umum kelompok populasi

dan pemantauan kejadian dan prevalensi penyakit dan masalah


kesehatan lainnya dalam kaitannya dengan variabel lain, seperti

karakteristik dan keadaan dari individu yang terkena.

ICD dapat digunakan untuk mengklasifikasikan penyakit dan

masalah kesehatan lainnya direkam pada banyak jenis kesehatan dan

catatan penting.Penggunaan aslinya adalah untuk mengklasifikasikan

penyebab kematian yang tercatat pada pendaftaran kematian.Kemudian,

ruang lingkup diperluas untuk menyertakan diagnosis morbiditas. Hal

ini penting untuk dicatat.

ICD dirancang untuk klasifikasi penyakit dan cedera dengan

diagnosis resmi tidak setiap masalah atau alasan untuk datang ke dalam

kontak dengan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan dengan cara ini.

Akibatnya, ICD menyediakan untuk berbagai tanda-tanda, symtoms,

temuan abnormal, keluhan, dan keadaan sosial yang dapat berdiri dari

diagnosis catatan terkait dengan kesehatan (lihat Volume 1, Bab XVIII

dan XXI) sehingga dapat digunakan untuk mengklasifikasikan data yang

tercatat di bawah judul seperti "diagnosis", "alasan untuk masuk",

"kondisi diperlakukan" dan "alasan untuk konsultasi", yang muncul di

berbagai catatan kesehatan dari mana statistik dan lainnya situasi

kesehatan infromation berasal. (WHO 2004: 2).

Menurut ICD-10 vol 2 terbitan WHO (2004 : 3) ICD-10 memiliki

tujuan dibawah ini :

a. Untuk menterjemahkan diagnosis dokter ke dalam kode yang

berupa alfa numeric.


b. Memudahkan penyimpanan, pencarian data dari sebuah penyakit.

c. Membandingkan data morbiditas antar rumah sakit wilayah dan

Negara.

3. Struktur ICD-10

a. Volume ICD-10

Menurut ICD-10 vol 2 terbitan WHO (2001:21), ICD-10 terdiri dari

3 volume yaitu :

1) Volume 1 adalah daftar tabulasi yang berupa daftar alfanumerik

dan penyakit dan kelompok penyakit beserta catatan inclusion

dan exclusion dan beberapa cara pemberian kode.

2) Volume 2 berisi pengenalan dan petunjuk bagaimana

menggunakan volume 1 dan 3, petunjuk membuat sertifikat dan

aturan-aturan kode mortalitas, petunjuk mencatatat dan

mengkode kode mortalitas.

3) Volume 3 berupa index abjad dari daftar tabulasi volume 1, dan

terdiri dari :

(a) Pendahuluan, menerangkan kegunaan indeks secara umum.

(b) Bagian I adalah daftar istilah abjad yang berhubungan dengan

penyakit, sifat cidera akibat kontak dengan pelayanan

kesehatan dan faktor yang mempengaruhi seseorang sehat.

(c) Bagian II adalah daftar abjad sebab luar cedera morbiditas

dan mortalitas.
(d) Bagian III adalah susunan abjad obat-obatan dan bahan

kimia.

4. Bab-bab dalam ICD-10

Tabel 1.3 Rincian Bab ICD Revisi-10


Bab Penyakit Kode
I Penyakit parasitdan infeksi tertentu A00 – B99
II Neoplasma C00 –D48
Penyakit darah dan organ pembentuk darah
III dan kelainan Tertentu yang melibatkan D50 – D89
mekanisme imun
IV Penyakit endokrin nutrisi dan perilaku E00 – E90
V Gangguan mental dan perilaku F00 – F99
VI Penyakit sistem syaraf G00 – G99
VII Penyakit mata dan adneksa mata H00 – H59
VIII Penyakit telinga dan prosessus mastoideus H60 – H95
IX Penyakit sistem sirkulasi I00 - I99
X Penyakit sistem napas J00 – J99
XI Penyakit sistem cerna K00 – K93
XII Penyakit kulit dan jaringan subkutan L00 – L99
Penyakit sistem muskuloskeletal dan jaringan
XIII M00 – M99
penunjang
XIV Penyakit sistem kemih N00 – N99
XV Kehamilan, kelahiran, dan nifas O00 – O99
Kondisi tertentu yang Bermula dari masa
XVI P00 – P96
perinatal perkembangan
Malformasi,deformasi, dan kelainan
XVII Q00 – Q99
kromosom kongenital perkembangan
Gejala, tanda dan temuan klinis &
XVIII R00 – R99
laboratorium abnormal

5. Alfanumerik

Alfanumerik merupakan kombinasi angka dan huruf.

6. Blok Kategori

Blok kategori terdapat pada setiap bab dibagi dalam beberapa blok,

dimana setiap blok kemudian dibagi dalam 3, 4 dan 5 kategori.


7. Kategori 3 karakter

Karakter pertama dari kode adalah karakter abjad yang diikuti oleh

2 angka. Struktur 3 kategori :

A 09

Karakter pertama A s.d Z diikuti 2 angka


Gambar 1.1 Kategori 3 karakter (WHO, 2004)

8. Kategori 4 karakter

Tidak untuk dilaporkan pada tingkat internasional tetapi

penggunaan karakter ke 4 sampai sub kategori (karakter-5).

A 00 . 0

Karakter pertama A s.d Z diikuti 2 angka titik/poin terakhir angka lain

Gambar 1.2 kategori 4 karakter (WHO, 2004).

9. Konvensi dan Tanda Baca ICD-10

Menurut (Rahayu, 2013 : 1-11) daftar tabulasi ICD-10 (Jilid I)

memuat penggunaan singkatan tertentu, memberi tanda baca, simbol dan

istilah yang harus dimengerti dengan jelas. Sehingga harus merujuk

pada pemberian kode konvensi dan tanda baca yang meliputi:


a. Inclusion Term

Kategori 3 karakter maupun 4 karakter biasanya terdiri dari

beberapa diagnosis yang diketahui dan inclusion terms selain

sebagai tambahan pada judul, seperti pernyataan diagnosis yang

diklasifikasikan di dalamnya. Hal ini menunjuk baik pada kondisi

yang berbeda maupun sama, yang tidak dimasukkan dalam sub

klasifikasi.

Inclusion terms merupakan petunjuk pada isi rubik, karena

banyak hal dalam daftar berhubungan dengan terminologi penting

dalam rubik. Ini termasuk kondisi yang digaris bawahi atau batas

tempat yang berbeda antara satu sub kategori dengan yang lain.

Daftar inclusion terms tidak mempunyai arti yang lengkap maupun

alternatif nama diagnosis yang dimasukkan dalam indeks alphabet,

sehingga harus dililit kembali dalam diagnosis pertama. Kadang-

kadang perlu membaca inclusion terms dalam judul. Hal ini

biasanya menunjuk pada daftar yang terperinci tentang tempat

atau produk farmasi pada judul yang sesuai dengan kata-kata dalam

judul.

Contoh :

a. Malignant neoplasma of….

b. Injury to …

c. Poisoning by …

d. Perlu dimengerti
Gambaran diagnosis secara umum dimasukkan dalam

kategori/ sub kategori dalam kategori 3 karakter yang ditemukan

dalam includes mengikuti chapter, block/ judul kategori.

b. Exclusion Terms

Beberapa daftar kondisi rubik mencantumkan excludes.

Meskipun beberapa rubik disarankan dalam klasifikasi ini, tetapi

pada faktanya diklasifikasikan di tempat lain, contoh : A46,

Erysipelas.

Postpartum/puerperal erysipelas tidak termasuk dalam kode

ini exclusion secara umum dalam jangkauan kategori dalam kategori

3 karakter dicantumkan excluded di awal chapter, block, atau

category title.

c. Glossary Description

Sebagai tambahan untuk inclusion terms, chapter V Mental

and Behavioural Disorder, digunakan glossary description untuk

menunjukkan isi rubik, kelengkapan ini digunakan untuk

terminology mental disoerder di berbagai Negara dengan nama yang

sama untuk menggambarkan kondisi yang tidak terlalu berbeda.

Glossary ini tidak ditujukan bagi staf pemberi kode. Hal yang sama

juga berlaku bagi definisi lain dalam ICD-10. Contoh : Chapter XXI

untuk menjelaskan isi rubik.

d. Two Codes For Certain Condition (Sistem Sangkur dan Bintang)

Pada ICD-9 diperkenalkan suatu sistem, yang dilanjutkan


dalam ICD-10, dimana terdapat 2 kode untuk diagnosis yang berisi

informasi tentang sebab sakit dan manifestasinya pada organ atau

tempat lain yang mempunyai masalah klinis. Kode utama untuk

sebab sakit diberi tanda sangkur (†), kode tambahan untuk

manifestasi diberi tanda bintang (*). Perjanjian ini diadakan karena

kode untuk sebab akibat saja kadang tidak memuaskan bagi

kelengkapan statistik untuk spesialis tertentu yang ingin

mengklasifikasi kondisi yang sesuai dengan chapter untuk

manifestasinya sebagai alasan dalam perawatan.

Sistem sangkur dan bintang disedakan untuk klasifikasi

alternatif untuk pemaparan statistik, dimana kode sangkur

merupakan kode utama dan harus selalu digunakan. Ketepatan untuk

kode bintang digunakan sebagai tambahan jika diperlukan alternatif

metode. Dalam pemberian kode, kode bintang tidak boleh berdiri

sendiri.

Hubungan antara statistik disesuaikan dengan klasifikasi

tradisional untuk memaparkan data mortalitas dan morbiditas serta

aspek perawatan lain. Kode bintang hampir sama dengan kategori 3

karakter. Ada beberapa kategori terpisah untuk kondisi yang sama bila

penyakit tertentu tidak diklasifikasikan sebagai sebab sakit.

Contoh : G20 dan G21 Parkinsonism yang tidak bermanifestasi pada

penyakit yang diklasifikasikan di tempat lain.


G22* Parkinsonism pada penyakit yang diklasifikasikan di tempat

lain. Hubungan antara kode sangkur diberikan pada kondisi yang

disebut pada kode bintang.

Contoh : G22 Syphilitic Parkinsonism dengan kode sangkur A52.†.

Beberapa kode sangkur ditampilakan khusus sebagai kategori

sangkur.

Sering ditemukan kode sangkur untuk diagnosis rangkap dan

kode yang tidak ditandai sebagai kondisi tunggal yang berbeda

antara kategori dengan sub kategori. Klasifikasi untuk sistem

sangkur dan bintang sangat terbatas, yaitu 83 kategori bintang dalam

chapter yang bersangkutan. Rubik tanda ditempatkan pada 3 tempat:

1) Jika tanda sangkur (†) dan kode bintang ditempatkan di awal,

seluruh istilah termasuk klasifikasi rangkap.

Contoh : A17.0† Tuberculosis meningitis (G01*) Tuberculosis of

meninges (cerebral) (spinal) Tuberculosis leptomeningitis

2) Jika tanda sangkur ditempatkan di awal, tetapi tanda bintang

tidak, maka seluruh istilah diklasifikasikan dalam klsifikasi

rangkap tetapi berbeda dalam kode.

Contoh : A18.1† = Tuberculosis of genitourinary system.

Tuberculosis of :

a) Bladder (N33.0*)

b) Cervix (N74.0*)

c) Kidney (N28.1*)
d) Male Genital Organs (N51.-*)

e) Ureter (N29.1*)

Tuberculosis female pelvic inflammatory disease (N74.1*)

3) Jika tanda bintang tidak ditempatkan pada title, maka rubik

secara keseluruhan bukan merupakan subject klasifikasi rangkap,

tetapi termasuk inclusion terms. Jika demikian, terms ini ditandai

dengan simbol dan diberikan kode alternatifnya.

Contoh : A54.8 Other gonococcal infections.

Gonococcal :

a) Peritonitis † (K67.1*)

b) Pneumonia † (J17.0*)

c) Septicaemia

d) Skin lesions

e. Other Optimal Dual Coding

Ada beberapa kondisi tertentu selain sistem sangkur dan bintang

mempunyai 2 kode ICD yang digunakan untuk menggambarkan kondisi

pasien. Catatan dalam daftar tabulasi, Use additional code, if

desired....’Menjelaskan beberapa situasi ini. Kode tambahan digunakan

hanya untuk tabulasi khusus, antara lain :

1) Untuk infeksi lokal, diklasifikasikan dalam chapter body system,

kode dan chapter I mungkin ditambahkan untuk

mengidentifikasi organisme infeksi, dimana infeksi ini tidak

ditampilkan dalam rubik. Satu block kategori, B95-B97

disediakan untuk tujuan dalam chapter I.


2) Untuk neoplasma dengan aktifitas fungsional. Untuk memberi

kode dari chapter II dapat ditambahkan kode yang sesuai dari

chapter IV untuk menjelaskan tipe aktifitas fungsional.

3) Untuk neoplasma, kode morfologi pada volume 1, walaupun

bukan merupakan bagian utama ICD, dapat ditambah pada kode

di chapter II untuk mengidentifikasi tipe morfologi tumor.

4) Untuk kondisi dalam F00-F09 (organic, including symtomatic,

mental disorder) pada chapter V, dimana kode dari chapterlain

mungkin ditambahkan untuk mengidentifikasi sebab dari sakit,

cedera atau kerusakan otak yang lain.

5) Dimana suatu kondisi disebabkan oleh toxic agent, kode dari

chapter XX dapat ditambahkan untuk mengidentifikasi agent

tersebut.

6) Dimana dua kode dapat digunakan untuk menggambarkan

cedera, keracunan atau efek obat yang lain, maka dapat

menggunakan kode dari chapter XIX yang menggambarkan

sebab. Pilihan kode tambahan tergantung pada tujuan dari

pengumpulan data tersebut.

f. Conventions

1) Paranthesis ( )

Paranthesis dalam volume 1 digunakan untuk :

(a) Menutup kode tambahan mengikuti diagnosis tanpa

perubahan pada nomer kode diluar parentheses berada.


Contoh : I10 Hypertension (arterial) (benign) (essential)

(primary) (systemic) ini berarti kode hypertension dapat

digunakan sendiri, dengan satu maupun beberapa kombinasi

dalam parenthesis.

(b) Menutup kode yang tidak termasuk

Contoh : H10.0 Blepharitis, exclude Blepharoconjunctivitis

(H10.5)

(c) Menutup kategori 3 karakter yang termasuk dalam blok

tersebut pada judul blok.

(d) Menghubungkan sistem sangkur dan bintang.

Paranthesis digunakan untuk menutup kode sangkur dalam

kode bintang atau kode bintang yang mengikuti kode

sangkur.

2) Square Brackert []

Square brakets digunakan untuk :

(a) Menutup sinonim, kata lain, penjelasan firasa

Contoh : A30 Leprosy (Hansen’s disease)

(b) Menunjuk pada catatan sebelumnya

Contoh : C00.8 Overlapping lession lip [See note 5 at the

begining of this chapter];


(c) Menunjuk pada pernyataan sebelumnya untuk mencari sub

kategori 4 karakter

Contoh : K27 peptic ulcer, site unspecified. [See before K25

for subdivisions]

3) Colon

Colon digunakan untuk merinci inclusion and exclusion

terms bila kata yang dimaksud tidak lengkap. Colon dapat

mengubah atau menggolongkan satu atau lebih kata di bawahnya

dalam rubik.

Contoh : K36 Other Appendicitis

Diagnosis Appendicitis dapat diklasifikasikan disini bila

menyebutkan chronic dan recurrent.

4) Brace {}

Brace digunakan untuk memerinci inclusion and exclusion

terms untuk menjelaskan selain kata yang disebut sebelumnya

harus diikuti kata selanjutnya agar menjadi lengkap. Beberapa

terminologi sebelum brace harus digolongkan pada satu atau

lebih kata yang mengikutinya.

Contoh : Obstetric damage to pelvic joints and ligaments.

Avulsion of inner symphyseal cartilage. }

Damage }

obstetric

Traumatic separation of symphysis (pubis) }


5) NOS (Not Otherwise Specified)

NOS merupakan singkatan dari Not Otherwise Specified yang

berarti unspecified atau unqualified (Tidak diklasifikasikan pada

yang lain). Kadang terminologi yang tidak lengkap tidak dapat

diklasifikasikan dalam rubik. Hal ini karena, dalam terminologi

medis, kondisi yang sering ditemui adalah nama kondisi tersebut

dan hanya beberapa jenis saja yang memenuhi syarat. Contoh :

mitral stenosis lebih sering digunakan pada rheumatic mitral

stenosis. Ini membuat salah anggapan dalam klasifikasi dan

perhitungannya.

Pemeriksaan lebih lanjut dapat mengurangi kesalahan,

pengkode harus hati-hati untuk tidak memberi kode sebagai

unqualified bila tidak banyak informasi yang tersedia dari pada

ketengan lebih lanjut di tempat lain. Sama halnya, bila dasar

interpretasi data statistik, beberapa kondisi ditandai kekhususan

pada berkas yang telah di beri kode. Dalam perkembangan waktu

dan iterpretasi statistik, penting diperhatikan bahwa angapan

tersebut mungkin mengalami perubahan pada suatu ICD ke ICD

lainnya.

6) NEC (Not Elsewhere Classified)

Kata not elsewhere classified, bila digunakan pada kategori 3

karakter adalah sebagai tanda bahwa variasi kondisi yang ada

mungkin terdapat pada klasifikasi di tempat lain.


Contoh : J16 Pneumonia due to other infectious organism,

not elsewhere classified.

Kategori ini termasuk J16.0 Chlamydial pneumonia dan

J16.8 Pneumonia due to other infectious organism. Banyak

kategori disediakan pada chapter X (seperti J10-J15) dan

chapter yang lain (seperti P23.- Congenital pneumonia) untuk

pneumonia due to specified infectious organism. J18

Pneumonia, organism unspecified, digunakan pada pneumonia

dimana infectious tidak disebutkan.

7) “AND” (IN TITLES)

And dimaksudkan untuk and / or

Contoh : A18.0 Tuberculosis of bones and joints

Dapat diklasifikasikan sebagai tuberculosis of bones,

tuberculosis joint, and tuberculosis of bones and joints.

8) Point Dash (.-)

Pada beberapa kasus, kategori ke 4 karakter dari kategori 3

karakter diikuti dengan point dash.

Contoh : G03 Meningitis due to other and unspecified

causes

Excludes : meningocephalitis (G04.-).

Ini berarti pengkode harus memperhatikan keberadaan

kategori 4 karakter dan dimaksudkan pada kategori yang


sesuai. Ketentuan ini digunakan pada daftar tabulasi dan

indeks alphabet.

C. Coding

1. Pengertian Coding

Coding adalah pemberian penetapan kode dengan menggunakan

huruf atau angka atau kombinasi huruf dalam angka yang mewakili

komponen data (Depkes RI, 2006). Kegiatan dan tindakan serta

diagnosis yang ada di dalam rekam medis harus diberi kode dan

selanjutnya diindeks agar memudahkan pelayanan pada penyajiann

informasi untuk menunjang fungsi perencanaan, manajemen dan riset

bidang kesehatan. Kode klasifikasi penyakit oleh WHO (World Health

Organization) bertujuan untuk menyeragamkan nama dan golongan

penyakit, cidera, gejala dan faktor yang mempengaruhi kesehatan.

2. Pengertian Diagnosis

Diagnosis utama adalah kondisi yang menyebabkan pasien

memperoleh perawatan atau pemeriksaan, ditegakkan pada akhir episode

pelayanan dan bertanggungjawab atas kebutuhan sumber daya

pengobatannya. Sedangkan diagnosis primer adalah diagnosis yang

paling bertanggung jawab akan mayoritas asuhan yang diberikan kepada

pasien, atau penggunaan sumber daya terbesar untuk asuhan pasien.

Pada umumnya diagnosis primer identik dengan diagnosis utama (Hatta,

2008 : 142).
3. Aturan Penulisan Diagnosis

Aturan penulisan diagnosis menurut Permenkes RI Nomor 76 tahun

2006 adalah sebagai berikut :

a. Diagnosis bersifat informative agar bisa diklasifikasikan pada kode

ICD yang spesifik.

1) Karsinoma sel tradisional pada trigonum kandung kemih.

2) Appendicitis acute dengan perforasi.

3) Katarak Diabetikum, Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus.

4) Perikarditis Meningikokus.

b. Jika tidak terdapat diagnosis yang dapat ditegakkan pada akhir

episode perawatan, maka gejala utama, hasil pemeriksaan penunjang

yang tidak abnormal atau masalah lainnya dipilih menjadi diagnosis

utama.

c. Diagnosis untuk kondisi multiple seperti ceera multiple, gejala sisa

(sequele) multiple dari penyakit atau cedera sebelumnya, atau

kondisi multiple yang terjadi pada penyakit human

immunodeficiencyvirus (HIV), jika salah satu kondisi yang jelas

lebih berat dan lebih banyak menggunakan sumber daya

dibandingkan dengan yang lain dicatat sebagai diagnose utama dan

yang lainnya sebagai diagnosis sekunder. Jika tidak ada satu kondisi

yang menonjol, maka digunakan „fraktur multiple‟ atau „penyakit

HIV‟ yang menyebabkan infeksi multiple sebagai diagnosis utama

dan kondisi lainnya sebagai diagnosis sekunder.


Jika suatu episode perawatan atau ditujukan untuk pengobtan

atau pemeriksaan gejala sisa (sequele) suatu penyakit lama yang

sudah tidak diderita lagi, maka diagnosis sequele harus ditulis

dengan asal-usulnya.

Contoh :

1) Septum hidung bengkok karena fraktur hidung di masa kanak-

kanak.

2) Kontraktur tendon Achiles karena efek jangka panjang dari

cedera tendon.

d. Jika terjadi sequele multiple yng pengobatan atau pemeriksaannya

tidak difokuskan pada salah satu dari kondisi sequele multiple

tersebut, maka bisa ditegakkan diagnosis sequele multiple.

Contoh : “sequele cerebrovaskular accident (CVA)” atau “sequele

fracture multiple”.

4. Pemberikan Kode (coding)

Pemberian kode menurut Depkes RI (2006) adalah pemberian

penetapan kode dengan menggunakan huruf atau angka atau kombinasi

huruf dalam angka yang mewakili komponen data. Kegiatan dan

tindakan yang ada di dalam rekam medis harus diberi kode dan

selanjutnya diindeks agar memudahkan pelayanan pada penyajian

informasi untuk menunjang fungsi perencanaan, manajemen, dan riset

dibidang kesehatan. Sejak tahun 1993 WHO mengharuskan Negara

anggotanya termasuk Indonesia menggunakan klasifikasi penyakit


revisi-10 (ICD-10 Inernational Satistical Classification Diseases and

Health Problem Tenth Revision). Kecepatan dan ketepatan pemberian

kode dari suatu diagnosis sangat tergantung kepada pelaksana yang

menangani berkas rekam medis tersebut yaitu :

a. Tenaga Medis dalam menetapkan Diagnosis

Akurasi kode dimulai dari akurasib diagnosis yang ditentukan

oleh dokter karena dokter sebagai penentu utama dalam pemberian

diagnosis penyakit dan yang mempunyai tanggung jawab atas

penetapan diagnosis. Factor yang mempengaruhi keakuratan kode

dari pihak dokter disebabkan karena tulisan okter yang sulit dibaca,

diagnosis yang tidak spesifik, penggunaan singkatan dan istilah-

istilah baru.

b. Tenaga Rekam Medis sebagai Pemberi Kode (Coder)

Coder bertanggung jawab atas keakuratan kode dari suatu

diagnosis yang sudah ditetapkan oelh tenaga medis. Oleh karena itu,

untuk hal yang kurang jelas atau yang tidak lengkap sebelum kode

ditetapkan, komunikasikan terlebih dahulu pada dokter yang

membuat diagnosis tersebut. Faktor yang mempengaruhi keakuratan

kode dari pihak coder disebabkan karena coder belum terlalu

memahami cara mengkode. Ketrampilan coder dalam pemilihan kde,

coder sering menggunakan buku bantu yang dibuat sendiri

didasarkan pada kasus yang sering terjadi tanpa menganalisis

kembali dan menelusur dengan teliti kode diagnosisnya.


c. Tenaga Kesehatan Lainnya

Kelancaran dan kelengkapan pengisian rekam medis di

instalasi rawat jalan dan rawat inap atas kerjasama tenaga medis

dan tenaga kesehatan lain yang ada di masing-masin instalasi kerja

tersebut.

Untuk lebih meningkatkan informasi dalam rekam medis,

petugas rekam medis harus membuat kode sesuai dengan

klasifikasi yang tepat disamping kode penyakit, berbagai tindakan

lain juga harus diberi kode sesuai dengan klasifikasi masing-

masing dengan menggunakan :

1) ICD-10

2) ICD 9-CM

5. Langkah-langkah Dalam Mengkoding

Berikut merupakan cara penggunaan ICD-10 (WHO, 2004:22) :

a. Mengidentifikasi tipe pernyataan yang akan dikode dan buka volume

3 alphabetical index (Bila pernyataan adalah penyakit atau cedera

atau kondisi lain yang terdapat pada bab I–bab XIX atau bab XXI –

volume I, lihat section 1 pada indeks – volume 3. Bila pernyataan

adalah penyebab = external cause dari cedera atau kejadian lain

yang tedapat pada Bab XX - volume I, lihat section II pada indeks -

volume 3).

b. Mengidentifikasi tipe pernyataan yang akan dikode Namun beberapa

kondisi diekspresikan sebagai kata sifat (adjective) atau


menggunakan nama penemu (eponym) yang terdapat pada indeks

sebagai lead term.

c. Membaca seksama dan ikuti petunjuk catatan yang muncul term.

d. Membaca istilah yang terdapat pada tanda kurung ( ) sesudah lead

term (kata dalam kurung = modifer, itu tidak mempengaruhi kode).

Istilah lainnya yang dibawah lead term (dengan tanda minus/ item)

dapat mempengaruhi kode.

e. Mengikuti setiap rujuk silang (cross references) dan lihat tanda see

dan see also yang terdapat dalam indeks.

f. Melihat tabular list (volume 1) untuk melihat kode yang tepat. Lihat

kode 3 karakter diindeks dengan tanda minus pada posisi ke empat

(misal = xxx.-) yang berarti bahwa isian untuk kode yang ke empat

itu adalah dalam volume I dan merupakan posisi karakter tambahan

yang tidak ada dalam indeks.

g. Mengikuti pedoman inclusion dan exclusion pada kode yang dipilih

atau dibagian bawah suatu bab (Chapter), blok atau judul kategori.

h. Mencantumkan kode yang dipilih

6. Pedoman Coding kondisi utama dan kondisi lain

Menurut WHO (2010:119), pedoman pengkodean kondisi utama dan

kondisi lain terdiri dari :

a. Pengkodean secara umum

Kondisi utama dan kondisi lain yang relevan bagi suatu

episode perawatan harus dicatat oleh praktisi rawat kesehatan, dan


pemberian kode yang terbuka, karena kondisi utama yang

dinyatakan harus diterima bagi pemberian kode dan pengolahan data

kecuali hal itu jelas bahwa pedoman yang diberikan diatas sudah

tidak diikuti. apabila mungkin, suatu catatan kondisi utama yang

tidak konsisten atau salah dicatat seharusnya dikembalikan untuk

penjelasana. apabila gagal untuk mendapatkan klarifikasi, peraturan

MB 1 sampai MB 5 akan menolong pemberi kode untuk bekerja

dengan penyebab yang umum tentang pencatatan yang salah.

Pedoman dibawah ini digunakan apabila pemberi kode tidak jelas

tentantg kode yang digunakan.

b. Pengkodean dengan kode-kode tambahan

Kondisi utama kadang-kadang ditujukan bersama dengan

suatu kode tambahan optional untuk memberikan informasi

tambahan. Kode yang dipilih menunjukkan kondisi utama untuk

analisa penyebab tunggal dan suatu kode tambahan dapat termasuk

pada multiple cause analysis.

c. Pengkodean untuk kondisi dengan sistem dagger dan asterisk.

Jika diterapkan kode dagger dan asterisk digunakan untuk

kondisi utama, karena mereka menunjukkan dua cara yang berbeda

untuk suatu kondisi tunggal.

Contoh : Kondisi Utama : Measles Pneumonia

Kondisi Lain :-
Diberi kode Measles complicated by pneumonia (B05.2†) dan

pneumonia in viral diseases classified elsewhere (J17.1*).

d. Pengkodean untuk kondisi yang dicurigai, simtom (gejala) dan

temuan abnormal dan situasi yang bukan penyakit.

Jika sesudah suatu episode perawatan kesehatan, kondisi utama

masih dicatat “dicurigai (suspected)”, “dipertanyakan

(questionable)”, dll dan tak ada informasi lebih lanjut atau klarifikasi

diagnosis yang dicurigai (suspected) harus diberi kode seolah-olah

telah ditegakkan. Kategori Z03.- (Medical Observation and

evaluation for suspected diseases and condition) diterapkan pada

diagnosis yang dicurigai (suspected) yang dapat dikesampingkan

sesudah pemeriksaan).

Contoh : Kondisi Utama : Suspected acute cholecystitis.

Kondisi Lain :-

Diberi kode pada cholecystitis acute (K81.0) sebagai kondisi utama.

e. Pengkodean untuk kondisi multiple

Apabila kondisi multiple dicatat dalam suatu kategori berjudul

“Multiple..., dan tak ada kondisi tunggal menonjol, diberi kode pada

kategori “Multiple..., yang digunakan sebagai kode terpilih, dan kode

tambahan dapat ditambahkan untuk daftar kondisi individu. Kode ini

diterapkan terutama pada kondisi yang berhubungan dengan

panyekit HIV, cedera dan sequelae.

f. Pengkodean untuk kategori kombinasi


ICD memberikan kategori tertentu dimana dua kondisi atau

suatu kondisi dan suatu proses sekunder yang berkaitan dapat

digambarkan dengan satu kode. Kategori kombinasi seperti itu

digunakan sebagai kondisi utama dengan catatan informasi yang

tepat. Indeks alfabet menunjukkan letak kombinasi dilengkapi,

dibawah identasi “with”, yang timbul sesudah lead term. Dua

kondisi atau lebih yang dicatat dibawah “kondisi utama” mungkin

berkaitan (linked) jika satu dari mereka dianggap sebagai suatu

adjectival modifier.

Contoh :

Kondisi Utama : Renal failure

Kondisi Lain : Hipertensi renal failure

Diberi kode Hypertensive renal disease with renal failure (I12.0)

sebagai kondisi utama.

g. Pengkodean untuk kondisi dengan penyebab luar morbiditas dan

cedera

Pengkodeann untuk cidera dan kondisi lain karena penyebab

eksternal, kedua sifat dasar kondisi dan keadaan penyebab eksternal

harus diberi kode. Pilihan kode “kondisi utama” menggambarkan

sifat dasar kondisi tersebut. Hal ini biasanya, dapat diklasifikasikan

pada BAB XIX. Kode dari BAB XX menunjukkan penyebab

eksternal akan digunakan sebagai kode tambahan.


Contoh :

Kondisi Utama : Hipotermia berat pasien jatuh dikebunnya dalam

cuaca dingin

Kondisi Lain : Senilitas

Diberi kode hipotermia (T68) sebagai kondisi utama. Kode

penyebab eksternal pada exposure to excessive nature cold at home

(X31.0) dapat digunakan sebagai kode tambahan opsional.

h. Pengkodean Sequeale pada kondisi tertentu

ICD memberikan sejumlah kategori berjudul “Sequelae of...”

yang dapat digunakan untuk menunjukkan kondisi yang sudah tidak

ada lagi seperti suatu masalah sekarang telah diobati atau diperiksa.

Tetapi kode pilihan untuk “kondisi utama” adalah kode sifat dasar

sequelae itu sendiri, dengan kode “Sequelae of...” yang dapat

ditambahkan sebagai kode tambahan optional.

Contoh :

Kondisi Utama : Late effect dari poliomyelitis

Kondisi Lain :-

Diberi kode sequelae poliomyelitis (B91) sebagai kondisi utama

karena tidak ada informasi lain yang didapatkan.

i. Pengkodean untuk kondisi akut dan kronik

Kondisi utama yang dicatat sebagai akut (sub akut) dan kronis,

dalam ICD dijumpai kategori atau subkategori yang terpisah, tetapi


tidak bagi kombinasi, kategori bagi kondisi akut digunakan sebagai

kondisi utama yang dipilih.

Contoh :

Kondisi Utama : Cholecysitis akut dan kronik

Kondiis Lain :-

Diberi kode acute cholecystitis (K81.0) sebagai kondisi utama, kode

untuk chronic cholecystitis (K81.1) dapat digunakan sebagai kode

tambahan opsional.

j. Kode kombinasi dan komplikasi postprocedural

Apabila kondisi lain dan komplikasi postprocedural dicatat

sebagai kondisi utama, referensi untuk modifier atau qualifier dalam

indeks alfabet adalah penting untuk pemilihan kode yang benar.

Contoh :

Kondisi Utama : Haemorrhage hebat setelah pencabutan

gigi.

Kondisi Lain : Nyeri

Bidang Khusus : Kedokteran Gigi

Dikode pada Haemorrhage resulting from a procedure (T81.0)

sebagai kondisi utama.

7. Aturan Reseleksi Kode Kondisi Utama

Adapun aturan reseleksi kode kondisi utama menurut WHO (2010:129)

adalah sebagai berikut :


a. Morbiditas 1 (MB 1)

Kondisi minor dicatat sebagai “kondisi utama”, kondisi yang

lebih bermakna dicatat sebagai “kondisi lain”. Suatu kondisi minor

atau kondisi yang telah berjalan lama, atau suatu masalah yang

incidentil dicatat sebagai “kondisi utama” dan suatu kondisi yang

lebih berarti, relevan bagi perawatan yang diberikan dan/ atau

spesialisasi dicatat sebagai “kondisi lain”, reseleksi yang terakhir

sebagai “kondisi utama”.

Contoh :

Kondisi Utama : Rheumatoid Arthritis

Kondisi Lain : Diabetes Mellitus

Strangulated femoral hernia

Generalized arteriosclerosis

Pasien di rumah sakit selama 2 minggu.

Prosedur : Herniorraphy

Bidang Khusus : Ilmu Bedah

Reseleksi Strangulated femoral hernia sebagai “kondisi utama”

dengan kode K41.3.

b. Morbiditas 2 (MB 2)

Beberapa kondisi yang dicatat sebagai “kondisi utama”. Jika

beberapa kondisi yang tidak dapat dikode bersama dicatat sebagai

“kondisi utama”, dan detail lain pada catatan menunjuk pada satu

dari kondisi tersebut sebagai “kondisi utama” bagi perawatan pasien,


dipilih kondisi itu. Jika tidak, pilih kondisi yang telah disebutkan

pertama.

Contoh :

Kondisi Utama : Ketuban Pecah Dini

Letak sungsang

Anemia

Kondisi Lain :-

Prosedur : Persalinan Spontan

Dipilih ketuban pecah dini, kondisi pertama yang disebut sebagai

“kondiis utama” dan diberi kode O42.9.

c. Morbiditas 3 (MB 3)

Kondisi yang dicatat sebagai ”kondisi utama”

menggambarkan gejala yang timbul dari diagnosis, kondisi yang

ditangani. Jika suatu gejala atau tanda (biasanya diklasifikasi pada

bab XVIII), atau suatu masalah yang dapat diklasifikasi untuk bab

XXI, dicatat sebagai ”kondisi utama” dan hal ini jelas memberikan

tanda, gejala, atau masalah kondisi yang didiagnosis dicatat di

tempat lain dan perawatan diberikan untuk kondisi yang terakhir,

reseleksi kondisi yang didiagnosis sebagai ”kondisi utama”.

Contoh :

Kondisi Utama : Nyeri abdomen

Kondisi Lain : Appendicitis akut

Prosedur : Appendectomy
Reseleksi appendicitis akut sebagai kondisi utama dengan kode

K35.9.

d. Morbiditas 4 (MB 4)

Spesifisitas, dimana diagnosis dicatat sebagai “kondisi

utama” yang menggambarkan suatu kondisi dalam istilah umum dan

suatu istilah yang memberikan informasi yang lebih tepat mengenai

tempat atau sifat dasar kondisi dicatat di tempat lain. Reseleksi yang

terakhir ini sebagai “kondisi utama”.

Contoh :

Kondisi Utama : Cerebrovaskular accident

Kondisi Lain : Diabetes Mellitus

Hypertensi

Cerebral haemorrhage

Reseleksi cerebral haemorrhage sebagai kondisi utama dengan kode

I61.9.

e. Morbiditas 5 (MB 5)

Alternatif diagnosis – diagnosis utama, dimana suatu gejala

atau tanda dicatat sebagai “kondisi utama” yang karena satu kondisi

atau kondisi yang lain, dipilih gejala tersebut sebagai “kondisi

utama”. Pada keadaan dua kondisi atau lebih dicatat sebagai pilihan

diagnosis bagi “kondisi utama”, seleksi kondisi yang pertama

dicatat.
Contoh :

Kondisi Utama : Gastroenteritis karena infeksi atau

keracunan makanan.

Kondisi Lain :-

Dipilih infectious gastroenteritis sebaga “kondisi utama” dengan

kode A09.

D. Kode Diabetes Mellitus Pada ICD-10

Note : All neoplasm, whether functionally active or not, are

classified in Chapter II. Appropriate codes in this chapter

(i.e. E05.8, E07.0, E16-E31, E34.-) may be used, if

desired, as additional codes to indicate either functional

activity y neoplasms and ectopic endocrine tissue or

hyperfunctio and hypofunction of endocrine glands

associated with neoplasms and other conditions classified

elsewhere.

Excludes: complications of pregnancy, childbirth and the puerperium

(O00-O99)

Symptoms, signs and abnormal clinical and laboratory

findings,not elsewhere classified (R00-R99)

Transitory endocrine and metabolic disorders specific o

fetus and newborn (P70-P74)


This chapter contains the following blocks:

E00-E07 Disorders of thyroid glands

E10-E14 Diabetes mellitus

E15-E16 Other disorders of glucose regulation and pancreatic

internal secretion

E30-E35 Disorders of other endocrine glands

E40-E46 Malnutrition

E50-E64 Other nutritional deficiencies

E65-E68 Obesity and other hyperalimentation

E70-E90 Metabolic disorders

Asterisk categories for this chapter are provided as follows:

E35* Disorders of endocrine gland sin dieases classified

elsewhere.

E90* Nutritional and metabolic disorders in disease classified

elsewhere.

Diabetes Mellitus

(E10-E14)

Use additional external cause code (Chapter XX), if desired, to identify

drug, if drug-induced.

The following fourth-character subdivisions are for use with categories

E10-E14.
.0 With coma

Diabetic :

• coma with or without ketoacidosis

• hyperosmolar coma

• hypoglycaemc coma

 Hyprglycaemic coma NOS

.1 With ketoacidosis

Diabetic :

• acidosis } without mention of coma

• ketoacidosis }

.2† With renal complications

Diabetic nepropathy (N08.3*)

Intracapillary glomerulonephrosis (N08.3*)

Kimmelstiel-Wilson Syndrome (N08.3*)

.3† With ophthalmic complications

Diabetic :

• cataract (H28.0*)

• retinopathy (H36.0*)

.4† With neurological complications

Diabetic :

• amyotrophy (G73.0*)

• autonomic neuropathy (G99.0*)

• mononeuropathy (G59.0*)
• polyneuropathy (G63.2*)

• autonomic (G99.0*)

.5 With peripheral circulatory complications

Diabetic :

• gangrene

• peripheral angiopathy†(I79.2*)

• Ulcer

.6 With other specified complications

Diabetic arthropathy†(M14.2*)

• neuropathic† (M14.6*)

.7 With multiple complications

.8 With unspecified complications

.9 With complications

E. Diabetes Mellitus

1. Pengertian DiabetesMellitus

Diabetes mellitus (DM) menurut Mansjoer (2001:580) adalah

keadaan hiperglikemia kronik, disertai dengan berbagai kelainan

metabolic akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai

komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai

lesi pada membrane basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop

elekrton. Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI

(2014) terdapat dua ketegori utama diabetes mellitus yaitu diabetes


mellitus tipe 1 dan diabetes mellitus tipe II. Diabates mellitus tipe 1,

dulu disebut Insulin-dependent atau juvenile/childhood-onset diabetes.

Ditandai dengan kurangnya produksi insulin. diabetese mellitus tipe II,

dulu disebut Non-Insulin-Dependent atau adult-onset diabetes.

Disebabkan penggunaan insulin yang kurang efektif oleh tubuh.

Menurut Mansjoer (2001;580) Insulin Dependent diabetes mellitus

(IDDM) atau diabetes mellitus Tergantung Insulin (DMTI) disebabkan

oleh deruksi sel beta Langerhans akibat proses autonium, sedangkan

Non Insulin Dependent Diabetes mellitus (NIDDM) atau Diabetes

Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan kegagalan relati

sel beta dan resistensi insulin.

2. Perbedaan diabetes mellitus tipe 1 dan diabetes mellitus tipe 2

Diabetes mellitus tipe I merupakan gangguan metabolik tubuh

dimana ditandai dengan hiperglikemia kronik, yang diakibatkan oleh sel

beta pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga

produksi insulin berkurang bahkan terhenti, sedangkan diabetes mellitus

tipe II adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan

kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta

pancreas dan atau gangguan fungsi insulin (sekresi insulin), sehingga

produksi insulin yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhan. Pada

gejala awal diabetes mellitus tipe I dan diabetes mellitus tipe II tidak

terdapat perbedaan yaitu dimulai dengan poliuria, polifagia, dan

polidypsi. Komplikasi pada diabetes mellitus tipe I dan diabetes mellitus


tipe II tidak terdapat perbedaan yaitu diantaranya nefropathy,

neuropathy, penyakit jantung koroner, gangrene, gangguan mata,

disfungsi seksual, kulit menjadi sensitif, bahaya kehamilan, alzeimer.

Diantara diabetes mellitus tipe I dan diabetes mellitus tipe II yang dapat

membedakan adalah suntik insulin yang diberikan kepada penderita

diabetes mellitus tipe I sedangkan pada penderita diabetes mellitus tipe

II dapat diberikan suntik insulin apabila diperlukan.

3. Manifestasi Klinis diabetes mellitus

Menurut Mansjoer (2001:580) diagnosis diabetes mellitus awalnya

dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa meningkatnya frekuensi

rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsia), dan meningkatnya

frekuensi buang air kecil (poliuria), rasa lemas dan berat badan

menurun. Gejala lain yang mungkin timbul dan dikeluhkan penderita

dalah kesemutan, gatal-gatal, penglihatan kabur, impotensi pada pria

serta pruritus vulva pada wanita.

4. Pemeriksaan Penunjang diabetes mellitus

Menurut Mansjoer (2001:580) pemeriksaan penunjang perlu

dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi untuk diabetes mellitus,

yaitu kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, tekanan darah

tinggi, genetik, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi

>4.000g. riwayat diabetes mellitus pada kehamilan, dan Dysplidemia.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan

glujosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat


diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Untuk

kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penunjangnya negative,

perlu pemeriksaan penunjang ulang tiap tahun. Bagi pasien berusia >45

tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penunjang dapat dilakukan

setiap 3 tahun.

5. Komplikasi

Komplikasi diabetes mellitus meliputi :

a. Kerusakan Syaraf (Neurophaty)

Menurut Ndraha (2014) sistem syaraf tubuh kita terdiri dari

susnan syaraf pusat, yaitu otak dan susunan tulang belakang, susuan

syaraf perifer di oto, kulit, dan organ lain, serta susunan syaraf

otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna.Hal

ini terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan

baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa

darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan

syaraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka lama glukosa darah

tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan

dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan

ke syaraf sehingga terjadi kerusakan yang disebut neuropati diabetic

(diabetic neurophaty).

b. Kerusakan Ginjal (Nefrophaty)

Menurut Ndraha (2014) ginjal manusia terdiri dari dua juta

nefron dan berjuta-juta pembuluh darah kecil yang disebut kapiler.


kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. bahan yang tidak

berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. ginjal bekerja

selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang

masuk ke dalam tubuh. Bila ada kerusakan ginjal racun tidak dapat

dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan

ginjal bocor ke luar.

c. Kerusakan Mata

Menurut Ndraha (2014) penyakit diabetes mellitus bisa

merusak mata penderitanya dan menjadi penyebab utama kebutaan.

Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes

mellitus, yaitu retinopathy¸catarract, dan glaucoma.

d. Gangguan Saluran Cerna

Menurut Ndraha (2014) gangguan saluran cerna pada

penderita diabetes mellitus disebabkan disebabkan karena control

glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan syaraf otonom yang

mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga

mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan

sehingga mnegurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi yang

mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta

pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual bahkan muntah

dan diare juga bisa terjadi, ini adalah akibat dari gangguan syaraf

otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran ,akan

bisa juga timbul akibat pemakaian obat-obatan yang diminum.


6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk diabetes mellitus yaitu :

a. Edukasi

Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku

sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga

pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komprehensif dan

berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku

sehat.

Edukasi pada penyandang diabetes mellitus meliputi

pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan penggunaan

obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik seperti

olahraga, dan mengurangi asupan kalori dan diet makanan tinggi

lemak.

b. Terapi Gizi Medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes mellitus

yaitu makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masn

memperhatikan kteraturan jadwal makan, jenis jumlah makanan.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-

65%, lemak 20%-35%, protein 10%-20%, Natrium kurang dar 3g

dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.


c. Latihan Jasmani

Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali smeinggu, masing-

masing selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan

yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan

berenang. Latihan jasmani selain utnuk menjaga kebugaran juga

dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.

d. Intervensi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan

pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi

farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk injeksi. Obat yang saat

ini ada antara lain :

1) Obat Hipoglikemi Oral (OHO)

a) Pemicu sekresi insulin :

(1) Sulfonilurea

(a) Memiliki efek utama meningkatkan sekres insulin

oleh sel beta pancreas.

(b) Sulfonilurea tidak dianjurkan pada orang tua,

gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi.

(2) Glinid

(a) Terdiri dari repaglinid dan nateglinid.

(b) Cara kerjasama dengan sulfonylurea,akan tetapi lebih

ditekankan pada sekresi insulin fase pertama.


(c) Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia

postprandial.

b) Peningkat sensitivitas insulin :

(1) Bilguanid

(a) Golongan bilguanid yang sering digunakan adalah

metformin.

(b) Metformin menurunkan glukosa darah melalui

pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat

seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan

produksi glukosa hati.

(c) Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita

diabetes gemuk, disertai dyslipidemia dan disertai

resistensi insulin.

(2) Tiazolidindion

(a) Menurunkan meresistensi insulin dengan

meningkatkan jumlah protein pengangkut.

(b) Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal

jantung karena meningkatkan retensi cairan.

c) Penghambat glukoneogenesis :

(1) Biguanid (Metformin)

(a) Selain Selain menurunkan resistensi insulin,

metformin juga mengurangi produksi glukosa hati.


(b) metformin dikontraindikasi kan pada gangguan

fungsi ginjal dengan kreatinin serum>1,5 mg/dl,

gangguan fungsi hati, serta pasien dengan

kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis.

(c) metformin tidak memiliki efek samping

hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea.

(d) metformin memiliki efek samping pada saluran

cerna (mual) akan tetapi bisa diatasi dengan

pemberian sesudah makan.

d) Penghambat glukosidase alfa :

(1) Acarbose

(a) bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus

halus.

(b) Acarbose mempunyai efek samping hipoglikemia

seperti golongan sulfonylurea

(c) penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4)

glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu

hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di

mukosa usus. peptida ini disekresi bila ada makanan

yang masuk, GLP-1 merupakan perangsang kuat

bagi insulin dan penghambat glucagon. Namun

GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang

tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4

dapat meningkatkan
penglepasan insulin dan menghambat penglepasan

glucagon.

2) Obat Injeksi

(a) Insulin

(1) Insulin kerja cepat

(2) Insulin kerja pendel

(3) Insulin kerja menengah

(4) Insulin kerja panjang

(5) Insulin campuran tetap

(b) Agonis GLP-1/Incretin memtik

(1) Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa

menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat

penglepasan glucagon.

(2) Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan

sulfonilurea.

(3) Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti

mual muntah.

7. Clinical Information of Diabetes Mellitus

a. Suatu penyakit dimana tubuh tidak dapat mengendalikan jumlah

glukosa dari darah dan ginjal dalam jumlah yang besar. Penyakit ini

terjadi pada saat tubuh tidak cukup dalam memproduksi insulin.

b. Kelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan hiperglikemia

dan intoleransi glukosa.


c. gangguan metabolisme yang ditandai dengan kadar gula darah tinggi

yang abnormal akibat berkurangnya produksi insulin atau resistensi

insulin.

d. Sub kelas diabetes mellitus yang tidak responsif terhadap insulin

atau dependen (NIDDM). Hal ini ditandai dengan resistensi insulin

dan hiperinsulinemia dan pada akhirnya ditemukan glukosa;

hiperglikemia; dan diabetes. Diabetes mellitus tipe II tidak lagi

dianggap sebagai penyakit yang secara eksklusif ditemukan pada

orang dewasa, akan tetapi pada remaja yang cenderung mengalami

obesitas.

e. Jenis diabetes mellitus yang ditandai dengan resistensi insulin atau

desensitisasi dan peningkatan kadar glukosa darah. Diabetes mellitus

merupakan penyakit kronis yang dapat berkembang secara bertahap

selama masa hidup pasien dan dapat dikaitkan dengan faktor

lingkungan dan faktor keturunan.

f. Diabetes mellitus merupakan penyakit dimana glukosa seseorang

ataukadar gula dalam darahnya terlalu tinggi. glukosa berasal dari

makanan yang sehari-hari masuk ke dalam tubuh manusia,

sedangkan insulin merupakan hormon yang membantu glukosa

untuk masuk ke dalam sel. pada diabetes mellitus tipe II yaitu tubuh

seseorang yang tidak menggunakan insulin dengan baik. Kadar

glukosa dalam darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan masalah

seperti kerusakan mata, ginjal juga syaraf. Diabetes mellitus juga

dapat menyebabkan penyakit jantung, stroke dan bahkan bisa


menyebabkan hilangnya anggota badan. wanita hamil juga bisa

terserang diabetes, yang disebut diabetes gestational.

g. Orang dewasa, orang dengan obesitas, dan keluarga yang memiliki

riwayat diabetes mellitus lebih beresiko terserang diabetes mellitus.

h. Gejala diabetes mellitus tipe II dapat muncul secara perlahan

beberapa orang tidak sadar akan timbulya gejala-gejala tersebut

diantaranya :

1) Rasa haus yang berlebih

2) Sering buang air kecil

3) Mudah lelah

4) Penglihatan kabur

5) Memiliki luka yang lama untuk sembuh.


F. Kerangka Teori

Menurut Uma Sekaran dalam Sugiyanti (2010) kerangka berfikir

(kerangka teori) merupakan model konseptual tentsng bagaimana teori

berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan sebagai

masalah yang penting. Kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

DRM Rawat Inap

Diagnosis diabetes
mellitus

Standar Prosedur Coding berdasarkan ICD- Faktor-faktor yang


Operasional (SPO) 10 mempengaruhi
ketidakakuratan dan
keakuratan kode

Akurat Tidak Akurat

Sumber : Sugiyono (2010)


Keterangan :

Dari dokumen rekam medis yang sudah lengkap memuat diagnosis

utama diabetes mellitus selanjutnya dikode oleh petugas koding sesuai

aturan ICD-10 yang sudah diatur dalam SPO Rumas Sakit oleh petugas

koding. Kemudian akan didapatkan hasil dokumen rekam medis yang

lengkap dan tidak lengkap.

G. Kerangka Konsep

Menurut Notoadmodjo (2010) kerangka konsep adalah kerangka

hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui

penelitian yang akan dilakukan :

INPUT PROSES

Analisis akurasi kode menggunakan


 Standar Prosedur ICD-10
Operasional (SPO)
kodefikasi
 Daignosis diabetes
mellitus
 Kode diagnosis OUTPUT
diabetes mellitus

 Prosedur pencatatan diagnosis


diabetes mellitus
 Prosedur kodefikasi diagnosis
diabetes mellitus
 Kode akurat dan tidak akurat
pada diagnosis diabetes mellitus
 Faktor-faktor yang
mempengaruhi keakuratan dan
ketidakakuratan kode
Keterangan :

Dari input (masukan) dalam penelitian ini Standar Prosedur

Operasional (SPO) koding dan sarana prasarana yang digunakan untuk

mengkoding dokumen rekam medis pasien rawat inap kemudian dilakukan

proses tinjauan prosedur kodefikasi penyakit diabetes mellitus pasien rawat

inap, apakah pengkodean yang dilakukan sudah sesuai dengan Standar

Operasional Prosedur (SPO) yang berlaku di rumah sakit. Setelah itu

dilakukan output (keluaran) antara lain pelaksanaan koding sesuai Satndar

Operasional Prosedur (SPO) atau belum, kekauratan kode diagnosis diabtes

mellitus dan faktor-faktor yang mempengaruhi keakuratan dan

ketidakakuratan kode.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian

deskriptif. Menurut Notoadmodjo (2012), metode penelitian deskriptif

adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk mendiskripsikan atau

menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan pada penelitian ini adalah retrospective.

pendektan retrospective adalah pengumpulan data dimulai dari efek

atau akibat yang telah terjadi (Notoadmodjo, 2010).

B. Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu yang digunakan sebagai cirri, sifat atau ukuran

yang dimiliki atau didapatkan oelh satuan penelitian tentang konsep

pengertian tertentu. (Notoadmodjo, 2010) Variabel penelitian meliputi :

1. Prosedur kodefikasi dalam pemberian kode diagnosis pada dokumen

rekam medis pasien rawat inap.

2. Prosedur pencatatan kode diagnosis diabetes mellitus pasien rawat

inap.

3. Keakuratan kode diagnosis diabetes mellitus dokumen rekam medis

pasien rawat inap.


4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keakuratan kode dan ketidak

akuratan kode diagnosis diabetes mellitus pasien rawat inap.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang

dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan.

(Notoatmojo, 2012).

Tabel 1.4 Definisi Operasional


NO Variabel Definisi
1. Prosedur kodefikasi Suatu standar baku yng mengatur setiap prosedur
diagnosis pada
yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatn rekam
dokumen rekam
medis pasien rawat medis. Standar prosedur operasional koding :
inap.
Cara yang mengatur prosedur kodefikasi
diagnosis.
2. Prosedur pencatatan Pencatatan diagnosis seorang pasien harus sesuai
diagnosis
dengan keadaan pasien harus sesuai dengan
keadaan pasien yang sebenarnya dan harus diisi
oleh tenaga medis yang menangani atau
bertanggung jawab kepada pasien tersebut
sehingg pencatatan diagnosis dilakukan dengann
tepat.
3. Keakuratan dan Akurasi kode adalah akurat atau tidak akuratnya
ketidak akuratan kode diagnosis penyakit diabtes mellitus
kode diagnosis berdasarkan ICD-10 :
kasus diabetes
mellitus
No Variabel Definisi
a. Akurat ialah adanya diagnosis utama dan atau
sekunder serta tepatnya pemberian kode diagnosis
penyakit berdasarkan aturan ICD-10. Rumus
Presentase akurat :

Jumlah dokumen akurat x 100%


Jumlah dokumen yang diteliti

b. Tidak akurat ialah tidak adanya dan atau tidak


tepatnya pemberian kode diagnosis utama, Rumus
Presentase Tidak akurat :
Jumlah dokumen yang tidak akurat x 100%
Jumlah dokumen yang diteliti

4. Faktor yang Yaitu merupakan faktor-faktor yang dapat


mempengaruhi mempengaruhi kekauratan dan ketidakakuratan kode
keakuratan dan diagnosis diabetes mellitus.
ketidakakuratan
kode diagnosis
diabetes mellitus

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti (Notoadmodjo, 2012). Populasi yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu dokumen rekam medis pasien rawat inap, dengan

diagnosis diabetes mellitus tahun 2018.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian besar diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmodjo, 2010).


3. Teknik Pengambilan Sampel

Peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel simple random

sampling atau sampel dilakukan secara acak sederhana, yaitu setiap

anggota atau unit mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi

sebagai sampel (Notoadmodjo, 2010).

E. Pengumpulan Data

Menurut Saryono dan Anggraeni (2013) sumber data dibagi menjadi

dua yaitu sebagai berikut :

1. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat

pengambil data, langsung pada subjek sebagai sumber informasi

yang dicari (Saryono dan Anggraeni, 2013:178). Data yang

diperoleh secara langsung dengan melakukan observasi terhadap

dokumen rekam medis utnuk penyakit diabetes mellitus dan

melakukan wawancara langsung dengan petugas coding atau

petugas bagian rekam medis tentang keadaan coding di Rumah

Sakit Milik Universitas di Sukoharjo.

b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui pihak lain,

tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya.

Biasanya berupa data dokumentasi atau data laporan yang telah

tersedia (Saryono dan Anggraeni, 2013:178). Peneliti memperoleh

data penyakit diabetes mellitus dari indeks penyakit, laporan data

morbiditas, 10 besar penyakit, Profil Rumah Sakit, dan Standar

Prosedur Operasional (SPO) kodefikasi diagnosis.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi atau pengamatan adalah suatu prosedur yang berencana,

yang antara lain meliputi melihat, mendengar, dan mencatat

sejumlah dan taraf aktifitas tertentu atau situasi tertentu yang ada

hubungannya dengan masalah yang diteliti (Notoadmodjo,

2010:131). Peneliti melakukan observasi dengan melihat dan

mencatat kegiatan yang berhubungan de gan keakuratan kode

diagnosis dokumen rekam medis pasien rawat inap di Rumah Sakit

Milik Universitas di Sukoharjo.

b. Wawancara adalah suatu metode yang digunakan untuk

mengumpulkan data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau

informasi secara lisan dari seorang sasaran penelitian (responden),

atau bercakap-cakap berhadap muka dengan orang tersebut (face to

face) (Notoadmodjo, 2010). Peneliti melakukan wawancara dengan

petugas rekam medis khususnya kepala instalasi rekam medis dan

petugas coding di Rumah Sakit Milik Universitas di Sukoharjo.


3. Instrumen Penelitian

Menurut Notoadmodjo (2010) instrumen penelitian adalah alat-

alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Isntrumen

penelitian ini dapat berupa kuesioner daftar pernyataan, formulir

observasi, formulir-formulir lain yang berkaitan dengan pencatatn dan

sebagainya. Instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian

adalah sebagai berikut :

a. ICD-10

ICD-10 yang digunakan adalah ICD-10 volume 1, 2 dan 3

tahun 2010. ICD-10 berisi pedoman untuk merekam dan member

kode penyakit, disertai dengan materi baru yang berupa aspek

praktis penggunaan klasifikasi (ICD-10 Volume 2, 2010).

b. Check List

Check list adalah suatu daftar pengecek berisi nama subjek dan

beberapa gejala atau identitas lainnya dari sarana pengamatan,

tabel hasil penelitian ini digunakan untuk mempermudah dalam

menghitung kode penyakit yang akurat dan tidak akurat dari data

yang diperoleh (Notoadmodjo, 2012).

c. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara dalam penelitian ini digunakan untuk

mengetahui faktor-faktor yang berkaitan dengan keakuratan dan

ketidak akuratan kode diagnosis penyakit diabete mellitus tipe pada


dokumen rekam medis pasien rawat inap di Rumah Sakit Milik

Universitas di Sukoharjo.

d. Pedoman Observasi

Pedoman observasi merupakan suatu pedoman prosedur yang

berencana, yang antara lain meliputi melihat, mendengar, dan

mencatat sejumlah tarif aktivitas tertentu atau situasi tertentu yang

ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. penelitian ini

melakukan observasi pada dokumen rekam medis kasus diabetes

mellitus pasien rawat inap di Rumah Sakit Milik Universitas di

Sukoharjo tahun 2018 berdasarkan ICD-10.

F. Pengolahan Data

Pengolahan data berisi tentang uraian rencana yang akan dilakukan

untuk mengolah data dan penjelasan proses pengolahan datanya.

(Notoadmodjo, 2012).

1. Collecting

Collecting merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data.

Pengamatan data prosedur dan pelaksanaan kodefikasi, serta

keakuratan kode diagnosis diabetes mellitus di Rumah Sakit Milik

Universitas di Sukoharjo.

2. Editing

Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan

isian formulir atau kuesioner (Notoadmodjo, 2010). Pemilihan data


yang dibutuhkan untuk meneliti diagnosa dokter dari dokumen

rekam medis pasien rawat inap dan meneliti kodefikasi yang dikode

oleh coder.

3. Coding

Coding yaitu merubah data berbentuk kalimat atau huruf

menjadi data angka atau bilangan (Notoatmodjo, 2010). Mengkode

diagnosis diabetes mellitus dokumen rekam medis pasien rawat inap

menggunakan ICD-10.

4. Data Entry

Data entry adalah mengisi kolom-kolom lembar kode atau kartu

kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan

(Notoatmodjo, 2010). Data entry dalam penelitian ini adalah

meneliti keakuratan kode diagnosis diabetes mellitus dokumen

rekam medis pasien rawat inap yang diperoleh ke dalam tabel

kemudian melihat keakuratan kode diagnosis pasien rawat inap

yang ada di rumah sakit dengan ICD-10.

5. Tabulasi

Tabulasi adalah membuat tabel-tabel data sesuai dengan tujuan

penelitian atau yang diinginkan peneliti (Notoatmodjo, 2010).

Tabulasi yag dilakukan dalam penelitian ini adalah menyusun kode

diagnosis diabetes mellitus pasien rawat inap dari data yang

diperoleh dalam benuk tabel yang digunakan untuk mengetahui


jumlah kasus dibetes mellitus pada dokumen rekam medis pasien

rawat inap akurat dan tidak akurat.

6. Penyajian Data

Penyajian data yaitu kegiatan untuk menyajikan data hasil

penelitian yang diolah menjadi berbagai bentuk seperti bentuk teks

(textular), bentuk tabel dan diagram (Notoatmojo, 2010). Penyjian data

dalam penelitian ini tentang keakuratan kode diagnosis diabetes

mellitus pada dokumen rekam medis pasien rawat inap disajikan

dengan teks yang bersifat deskriptif, dalam bentuk tabel dan grafik.

G. Analisis Data

Analisis data adalah mengelompokan data berdasarkan variabel

dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel satu dari

seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan

perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan

perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan. (Sugiyono,

2010:207).

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisis secara

deskriptif yaitu dengan meninjau keakuratan kode diagnosis diabetes

mellitus dan memprosentasekan keakuratan dan ketidakakuratan kode

diagnosis diabetes mellitus pada dokumen rekam medis pasien rawat inap

di Rumah Sakit Milik Universitas di Sukoharjo dengan menggunakan

ICD-10 dalam bentuk deskriptif, tabel dan grafik.

Anda mungkin juga menyukai