UNIVERSITAS INDONESIA
SKRIPSI
JUSTISIA SABAROEDIN
0806342434
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG HUBUNGAN TRANSNASIONAL
DEPOK
JANUARI 2012
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
JUSTISIA SABAROEDIN
0806342434
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG HUBUNGAN TRANSNASIONAL
DEPOK
JANUARI 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat-Nya Penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak sejak masa perkuliahan hingga
masa penyusunan skripsi, sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati, Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa
hormat kepada:
1. Bapak Adijaya Yusuf, S.H., LL.M. dan Ibu Melda Kamil Ariadno, S.H.,
LL.M. selaku dosen pembimbing Penulis yang telah menyediakan waktu
dan pikiran untuk membantu dan mengarahkan Penulis dalam penyusunan
skripsi ini;
2. Bang Hadi Rahmat Purnama, S.H., LL.M. selaku pembimbing akademis
yang telah banyak memberikan bimbingan dan semangat selama Penulis
menjalankan kuliah di FHUI;
3. Seluruh pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, khususnya tim
pengajar Program Kekhususan Hukum tentang Hubungan Transnasional
atas segala ilmu pengetahuan dan didikannya sehingga membuat Penulis
menjadi pelajar serta pribadi yang lebih baik;
4. Bapak Abdul Kadir Jailani dan Mr. Termsak Chalermpalanupap yang
bersedia untuk diwawancara untuk memenuhi bahan skripsi ini disela-sela
kesibukan beliau;
5. Orang tua Penulis, yaitu Karmeihan Sabaroedin dan Nurmalina yang telah
memberi bantuan serta dukungan moril maupun materil kepada Penulis;
6. Kakak Penulis, yaitu Kristina Sabaroedin, yang meskipun jauh namun
cukup berperan dalam pembentukan pribadi Penulis;
7. Pacar sekaligus sahabat Penulis, yaitu Umar Bawahab, yang telah setia
memberikan bantuan seperti menemani Penulis wawancara, telah
memberikan dukungan moril selama pembuatan skripsi ini, serta telah
v
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
vi
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
vii
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
menerima segala kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
viii
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
ABSTRAK
Kata kunci:
Organisasi internasional, keanggotaan, pengunduran diri.
x
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
ABSTRACT
Keyword:
International organization, membership, withdrawal.
xi
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................................. i
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................... ix
ABSTRAK ................................................................................................................... x
ABSTRACT ................................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Pokok Permasalahan ................................................................................................... 9
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 9
1.4 Definisi Operasional ................................................................................................. 10
1.5 Metodologi Penulisan ............................................................................................... 11
1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................................... 13
BAB 2 MASALAH KEANGGOTAAN ORGANISASI INTERNASIONAL.... 16
2.1 Organisasi Internasional sebagai Subyek Hukum Internasional................................ 16
2.2 Personalitas Hukum Organisasi Internasional ........................................................... 22
2.3 Keanggotaan Organisasi Internasional ..................................................................... 27
2.3.1 Prinsip-prinsip Keanggotaan Organisasi Internasional....................................... 27
2.3.2 Klasifikasi Keanggotaan Organisasi Internasional ............................................. 28
2.3.3 Penerimaan Keanggotaan ................................................................................... 28
2.3.4 Penangguhan Keanggotaan ................................................................................. 30
2.3.5 Pengakhiran Keanggotaan .................................................................................. 31
2.3.6 Praktek Keanggotaan di Beberapa Organisasi Internasional .............................. 32
BAB 3 PENGUNDURAN DIRI DARI KEANGGOTAAN ORGANISASI
INTERNASIONAL ................................................................................................... 44
3.1 Pengaturan Pengunduran Diri Menurut Vienna Convention on the Law of
Treaties ................................................................................................................................ 44
3.1.1 Penggunaan Istilah “denunciation” dan “withdrawal”...................................... 44
3.1.2 Penggunaan Pengunduran Diri di dalam VCLT ................................................. 45
3.1.3 Pembahasan Saat Pembentukan Pasal 56 VCLT ................................................ 47
3.1.4 Pandangan Para Penulis ...................................................................................... 50
3.1.5 Praktek Negara ................................................................................................... 54
3.2 Hubungan Pengakhiran Perjanjian Internasional dengan Status Keanggotaan
Organisasi Internasional ...................................................................................................... 55
3.3 Praktek Pengaturan Pengunduran Diri dari Keanggotaan Beberapa Organisasi
Internasional beserta Contohnya.......................................................................................... 61
3.3.1 Liga Bangsa-Bangsa ........................................................................................... 61
3.3.2 Perserikatan Bangsa-Bangsa............................................................................... 69
xii
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
xiii
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2007), hlm. 1
2
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, (Jakarta: CV. Rajawali,
1991), hlm 1.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
2
3
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
(Bandung: PT Alumni, 2003), hlm. 13.
4
Rebecca M.M. Wallace, International Law, (London: Sweet & Maxwell, 1992), hlm.
59.
5
Adolf, op.cit, hlm. 2.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
3
Sebagai aktor utama di dalam hukum internasional, suatu negara memiliki konsep
kedaulatan. Kedaulatan artinya suatu negara memiliki kekuasaan tertinggi.6
Namun, kedaulatan ini terbatas hanya di dalam wilayah negara tersebut saja.
Seiring dengan berkembangnya zaman dan perkembangan kebutuhan
manusia, negara sebagai satu-satunya subyek hukum internasional dianggap tidak
lagi dapat memadai untuk memenuhi kepentingan manusia, khususnya
masyarakat suatu negara. Suatu hubungan bilateral yang dibentuk oleh misi
diplomatik sudah tidak lagi dianggap cukup. Masalah-masalah antara lebih dari
dua negara semakin banyak yang muncul. Mengingat pengaturannya tidak lagi
dapat diselesaikan hanya melalui perjanjian-perjanjian bilateral ataupun melalui
saluran diplomatik yang tradisional saja, maka mulailah timbul pemikiran untuk
mendirikan organisasi-organisasi internasional. Dalam membentuk organisasi
internasional, negara-negara melalui organisasi itu akan berusaha untuk mencapai
tujuan yang menjadi kepentingan bersama dan kepentingan ini menyangkut
bidang kehidupan internasional yang sangat luas. Karena bidang-bidang tersebut
menyangkut kepentingan banyak negara maka diperlukan peraturan internasional
agar kepentingan masing-masing negara dapat terjamin.
Sejak pertengahan abad ke-17 perkembangan organisasi internasional
tidak saja diwujudkan dalam berbagai konferensi internasional yang kemudian
melahirkan persetujuan-persetujuan, tetapi lebih dari itu telah melembaga dalam
berbagai variasi dari komisi (commission), sarekat (union), dewan (council), liga
(league), persekutuan (association), perserikatan bangsa-bangsa (united nations),
persemakmuran (commonwealth), masyarakat (community), kerjasama
(cooperation), dan lain-lain.7 Proses perkembangan organisasi internasional yang
sebegitu cepat sekaligus telah menciptakan norma-norma hukum yang berkaitan
dengan organisasi itu, yang kemudian membentuk suatu perjanjian yang disebut
6
Kusumaatmadja, op.cit, hlm. 16.
7
Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta: PT
Tatanusa, 2007), hlm. 2.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
4
instrumen dasar atau instrumen pokok (constituent instrument), atau biasa disebut
Anggaran Dasar. Organisasi internasional dalam arti luas pada hakekatnya
meliputi bukan saja organisasi internasional publik tetapi juga organisasi
internasional privat. Organisasi internasional publik beranggotakan negara dan
karena itu disebut juga sebagai organisasi antar-pemerintahan (inter-governmental
organization).8 Namun pada umumnya disebut sebagai organisasi internasional.
Agar sesuatu organisasi internasional mempunyai status publik, organisasi ini
haruslah dibentuk dengan suatu persetujuan internasional, mempunyai badan-
badan dan karena mempunyai persetujuan internasional maka pembentukan itu
dibawah hukum internasional. Selain organisasi internasional, dikenal pula
organisasi internasional privat. Organisasi internasional privat ini beranggotakan
bukan negara, melainkan badan-badan atau lembaga-lembaga swasta diberbagai
negara.9 Karena itu, organisasi internasional privat juga dikenal sebagai organisasi
non pemerintahan (non-governmental organization) atau lazim disebut sebagai
NGO. Organisasi ini dicakup oleh hukum privat dan bukan hukum publik dan
karena hukum privat merupakan hukum nasional suatu negara, maka organisasi
internasional privat dicakup oleh hukum nasional, bukan hukum internasional.10
Dengan demikian, yang dimaksud dengan organisasi internasional hanyalah
organisasi internasional publik, bukan organisasi internasional privat.
Dewasa ini telah ditemukan banyaknya organisasi internasional. Bahkan
organisasi-organisasi internasional yang ada dapat dibuat suatu pengklasifikasian.
Ada yang membedakan antara organisasi yang memiliki keanggotaan yang
universal dengan organisasi internasional dengan keanggotaan regional.11
Organisasi yang memiliki keanggotaan universal contohnya adalah Perserikatan
8
Ibid, hlm. 3.
9
Ibid, hlm. 5.
10
Ibid.
11
Philippe Sands dan Pierre Klein, Bowett’s Law of International Institutions, (London:
Sweet & Maxwell, 2001), hlm. 18.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
5
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
6
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
7
dan stabilitas wilayah, dan membentuk kerja sama di berbagai bidang kepentingan
bersama. Namun lambat laun organisasi ini mengalami kemajuan yang cukup
signifikan di bidang politik dan ekonomi, seperti disepakatinya Deklarasi
Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality
Declaration/ZOPFAN) yang ditandatangani tahun 1971.15 ASEAN telah menjadi
suatu organisasi regional yang penting bagi perkembangan negara-negara
berkembang yang terletak di kawasan Asia Tenggara.
Seperti halnya organisasi internasional lainnya, ASEAN juga memiliki
suatu instrumen pokok (constituent instrument), yaitu ASEAN Charter. ASEAN
Charter ini terbentuk pada bulan November 2007 di Singapura pada Konferensi
Tingkat Tinggi ASEAN yang ke-13.16 ASEAN Charter pun mulai diberlakukan
pada tanggal 15 Desember 2008 setelah semua para anggota ASEAN
menyampaikan ratifikasi kepada Sekretaris Jenderal ASEAN. Untuk Indonesia,
pemberlakukan Piagam ASEAN ini disahkan melalui Undang-undang RI Nomor
38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara (Charter of The Association of Southeast Asian Nations). Implementasi
ASEAN Charter mulai ditegaskan pada KTT ASEAN ke-14 di Hua Hin, Thailand.
ASEAN Charter berlaku sebagai instrumen pokok bagi ASEAN. Artinya,
ASEAN Charter merupakan konstitusi ASEAN. Segala kegiatan ASEAN,
termasuk mengenai personalitas hukum ASEAN, diatur oleh ASEAN Charter.
Setiap negara anggota ASEAN terikat untuk mematuhi segala kewajiban yang
ditentukan di dalam ASEAN Charter sebagai anggota ASEAN. Namun, sebatas
manakah suatu negara anggota harus terikat terhadap ASEAN Charter? Apakah
negara anggota terus terikat terhadap ASEAN Charter sampai jangka waktu yang
tidak terbatas?
15
Ibid, hlm. 3.
16
Ibid, hlm. 5.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
8
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
9
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
10
17
S. Tasrif, Hukum Internasional Tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek,
Bandung: Abardin, Cet. 2., 1987, hlm. 10 sebagaimana dikutip Huala Adolf, Aspek-aspek Negara
dalam Hukum Internasional
18
Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ilmu
Negara, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 85.
19
Kusumaatmadja, op.cit, hlm. 97.
20
Suryokusumo, op.cit, hlm. 1.
21
Ibid, hlm. 18.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
11
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
12
27
Ibid.
28
Ibid, hlm. 28.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
13
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
14
• BAB 5 : Penutup
Bab 5 ini akan membahas mengenai penutup. Di dalam
penutup ini akan diuraikan mengenai kesimpulan yang didapat dari
penelitian yang telah dilakukan, yakni kesimpulan mengenai masalah
pengunduran diri secara sepihak negara anggota dari keanggotaan
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
15
ASEAN. Selain itu, di dalam bab ini juga akan dipaparkan saran
penulis terhadap masalah tersebut.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
16
BAB 2
MASALAH KEANGGOTAAN DALAM ORGANISASI INTERNASIONAL
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
17
bersangkutan memiliki hak untuk mengirim dan menerima perwakilan, dan yang
terakhir adalah apakah subyek yang bersangkutan dapat mengajukan dan
menerima tuntutan internasional. Apabila salah satu dari indikator ini terpenuhi,
maka subyek yang bersangkutan dapat dianggap sebagai subyek hukum
internasional. Subyek hukum negara memenuhi ketiga indikator ini, sementara
subyek lainnya tidak, atau setidaknya memenuhi tapi secara terbatas.
Organisasi internasional juga dapat dinilai dari ketiga indikator tersebut,
sebagai berikut:
1. Organisasi internasional memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian
internasional.
Saat ini, kapasitas organisasi internasional untuk membuat perjanjian
internasional pada umumnya telah diterima.34 McNair dalam bukunya
menyatakan bahwa:35
“If fully sovereign states possesses a treaty power when acting
alone, it is not surprising to find the same power attribute to an
international organization which they have created from the
members of which usually sovereign states.”
34
Ibid, hlm. 45.
35
McNair, The Law of Treaties, (Oxford: The Claredon Press, 1961), hlm. 50.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
18
36
Lihat Pembukaan dari Vienna Convention on the Law of Treaties Concluded with or
between International Organizations 1986 yang berbunyi “international organizations possess the
capacity to conclude treaties which is necessary for the exercise of their functions and the
fulfilment of their purposes”.
37
Pasal 6 Vienna Convention on the Law of Treaties Concluded with or between
International Organizations 1986.
38
Contohnya, pada Desember 1995, terdapat sekitar 125 negara-negara yang
menempatkan diplomat-diplomatnya di European Community. Kebanyakan dari negara-negara
tersebut menggabungkan perwakilannya pada EC dengan kedutaannya pada Belgia. EC sendiri
memiliki perwakilannya yang ditempatkan, misalnya di Jenewa, Tokyo, dan Washington, DC.
39
Lihat Jan Klabbers, Introduction to International Institutional Law, hlm. 47.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
19
adalah jelas.40 Hakim ICJ dalam kasus Reparation for Injuries ini
menyatakan bahwa para anggota organisasi internasional, dalam kasus ini
PBB, telah memberikan kepercayaan kepada organisasi tersebut untuk
menjalankan fungsi-fungsinya agar dapat mencapai tujuan organisasi
bersangkutan, dan pemenuhan tujuannya ini atau untuk menjalankan
fungsinya ini tidaklah mungkin dilakukan apabila PBB tidak diberikan
suatu personalitas hukumnya tersendiri.41 Meskipun ICJ menekankan
karakteristik dari PBB sebagai suatu organisasi yang diberikan tanggung
jawab yang penting dalam ranah internasional, namun telah secara luas
diterima bahwa alasan yang sama dapat diberikan terhadap organisasi
internasional lainnya. Dalam prakteknya, kemungkinan bagi organisasi
internasional untuk mengajukan tuntutan harus memperhatikan batasan-
batasan yang ada. Dalam hal ini, tidak dapat diragukan bahwa organisasi
internasional bukan merupakan pihak yang dapat menjalani proses
pengadilan di hadapan ICJ.42 Namun, apakah suatu organisasi
internasional benar-benar mungkin untuk menuntut atau dituntut dapat
bergantung pada isu kekebalan dan juga apakah organisasi yang
bersangkutan memiliki kedudukan, yang mana hal ini dapat bergantung
pada pertimbangan apakah organisasi yang bersangkutan memiliki
personalitas hukum.
40
Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nations, advisory opinion,
(1949) ICJ Reports 174, hlm. 180.
41
Sands dan Klein, op.cit, hlm. 472.
42
Pasal 34 ayat (1) dari Statuta ICJ jelas menyatakan bahwa “only states may be parties
in cases before the Court”.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
20
43
Suwardi, op.cit, hlm. 9.
44
Perjanjian tersebut ditandatangani di Lake Success pada tanggal 26 Juni 1947 dan
disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 1947 dan berlaku setelah pertukaran
nota (Exchange of Note) pada tanggal 21 November 1947.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
21
45
Suwardi, op.cit, hlm. 11.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
22
Dalam Piagam PBB sendiri tidak secara tegas mencantumkan status PBB
sebagai subyek hukum internasional, kecuali dalam Pasal 104 yang menyebutkan
bahwa PBB di wilayah negara anggotanya dalam menjalankan tugasnya dan
untuk memenuhi tujuan PBB, akan memiliki kapasitas hukum.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
23
48
Ibid, hlm. 19.
49
Ibid, hlm. 21.
50
Ibid, hlm. 24.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
24
51
Contohnya dalam instrumen pokok dari International Atomic Energy Agency (IAEA)
mencantumkan sebagai tambahan, bahwa para anggotanya tidak akan dapat dikenakan dalam hal
pinjaman yang diberikan oleh badan tersebut. Ketentuan ini menjelaskan bahwa personalitas badan
tersebut benar-benar terpisah dari personalitas negara anggotanya.
52
Suwardi, op.cit, hlm. 12.
53
Ibid, hlm. 13.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
25
54
Ibid, hlm. 14.
55
Ibid.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
26
56
Suryokusumo, op.cit, hlm. 27.
57
Ibid, hlm. 34.
58
Ibid, hlm. 35.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
27
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
28
2. Kuantitatif
Pendekatan kuantitatif ini diartikan bahwa keputusan mengenai
keanggotaan negara-negara lainnya di luar negara-negara anggota utama,
akan diambil oleh organisasi-organisasi itu sendiri dengan ketentuan
bahwa negara-negara itu harus memenuhi persyaratan dalam instrumen
pokok masing-masing.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
29
ratifikasi. Dalam penerimaan keanggotaan ini biasanya ada dua prosedur yang
harus ditempuh. Pertama, adanya permintaan dari calon anggota. Kedua, negara
yang bersangkutan telah meratifikasikan anggaran dasar organisasi internasional
dimana negara tersebut ingin menjadi anggota.
Jadi, dalam penerimaan keanggotaan ini ada dua tindakan, yaitu tindakan
sesuai dengan hukum nasional dan tindakan dalam hukum internasional. Dalam
suasana nasional, adanya oposisi terhadap pemerintah dapat berpengaruh dalam
proses penerimaan keanggotaan dalam suatu organisasi internasional. Hubungan
suasana nasional dan suasana internasional dalam kaitannya dengan penerimaan
keanggotaan dalam suatu organisasi internasional sangat penting.63
Dalam instrumen pokok suatu organisasi internasional sering ditentukan
bahwa suatu negara calon anggota harus memenuhi persyaratan yang ditentukan
sesuai dengan konstitusi negara tersebut.64 Prosedur keanggotaan ditentukan oleh
organisasi internasional tersebut. Misalnya di PBB, permohonan keanggotaan
harus disampaikan kepada Sekretaris Jenderal PBB.65 Sedangkan mengenai
tanggal kapan suatu negara dinyatakan efektif menjadi anggota suatu organisasi
internasional, maka harus memenuhi 2 syarat.66 Pertama, organisasi internasional
telah menerima keanggotaan, dan kedua, calon anggota telah meratifikasi
instrumen pokok organisasi internasional.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
30
68
Klabbers, op.cit, hlm. 121.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
31
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
32
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
33
74
Manley O. Hudson, “Membership in the League of Nations”, The American Journal of
International Law (Juli, 1924), hlm. 436.
75
Ibid, hlm. 442.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
34
2. Perserikatan Bangsa-Bangsa
Keanggotaan pada PBB didasarkan pada prinsip universalitas.
Namun, pada mulanya prinsip universalitas ini tidak dapat diterima
sebagai prinsip dasar di PBB. Hal ini dikarenakan, negara-negara yang
76
Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini lihat Bab 3.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
35
77
Suryokusumo, op.cit, hlm. 51.
78
Ibid, hlm. 53.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
36
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
37
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
38
82
Ibid, hlm. 69.
83
Ibid.
84
Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai pengunduran diri dari PBB lihat Bab 3.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
39
85
Instrumen pokok dari EU terdiri atas dua perjanjian, yakni Treaty on European Union
(TEU) dan Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU). Hal ini disebutkan di dalam
Pasal 1 ayat (3) TEU.
86
Hal ini disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (2) dari Treaty on European Union. Ayat
tersebut berbunyi: “This Treaty marks a new stage in the process of creating an ever closer union
among the peoples of Europe, in which decisions are taken as openly as possible and as closely as
possible to the citizen.”
87
Pasal 49 ayat (1) Treaty on European Union berbunyi sebagai berikut: “Any European
State which respects the values referred to in Article 2 and is committed to promoting them may
apply to become a member of the Union. The European Parliament and national Parliaments shall
be notified of this application. The applicant State shall address its application to the Council,
which shall act unanimously after consulting the Commission and after receiving the consent of
the European Parliament, which shall act by a majority of its component members. The conditions
of eligibility agreed upon by the European Council shall be taken into account.”
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
40
88
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pasal 2 tersebut adalah penghormatan terhadap
martabat manusia, kebebasan, demokrasi, persamaan, supremasi hukum dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia, termasuk hak asasi dari kaum minoritas. Bunyi Pasal 2 TEU ini
adalah: “The Union is founded on the values of respect for human dignity, freedom, democracy,
equality, the rule of law and respect for human rights, including the rights of persons belonging to
minorities. These values are common to the Member States in a society in which pluralism, non-
discrimination, tolerance, justice, solidarity and equality between women and men prevail.”
89
Phoebus Athanassiou, “Withdrawal and Expulsion from the EU and EMU, Some
Reflections”, Legal Working Paper Series No. 10 (Desember, 2009), hlm. 9.
90
Ibid.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
41
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
42
94
Pasal 53 TEU.
95
Ketentuan pengunduran diri di dalam Pasal 50 TEU ini merupakan hasil amandemen
terhadap TEU yang terjadi berdasarkan Treaty of Lisbon 2009. Sebelum adanya amandemen ini,
TEU yang lama tidak memiliki ketentuan mengenai pengunduran diri.
96
Pasal 50 ayat (2) TEU: “A Member State which decides to withdraw shall notify the
European Council of its intention. In the light of the guidelines provided by the European Council,
the Union shall negotiate and conclude an agreement with that State, setting out the arrangements
for its withdrawal, taking account of the framework for its future relationship with the Union. That
agreement shall be negotiated in accordance with Article 218(3) of the Treaty on the Functioning
of the European Union. It shall be concluded on behalf of the Union by the Council, acting by a
qualified majority, after obtaining the consent of the European Parliament.”
97
Pasal 50 ayat (3) EU: “The Treaties shall cease to apply to the State in question from
the date of entry into force of the withdrawal agreement or, failing that, two years after the
notification referred to in paragraph 2, unless the European Council, in agreement with the
Member State concerned, unanimously decides to extend this period.”
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
43
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
44
BAB 3
PENGUNDURAN DIRI NEGARA ANGGOTA DARI KEANGGOTAAN
ORGANISASI INTERNASIONAL
98
Yogesh Tyagi, “The Denunciation of Human Rights Treaties”, British Year Book of
International Law (2008), hlm. 89.
99
Sebagai contoh, Department of International Law of the Organization of American
States (OAS) menggunakan dua ungkapan di dalam konteks Peru: “withdrawal of declaration”
dan “withdrawal of denunciation”. Yang pertama mengacu kepada keputusan Peru utnuk
mengundurkan diri dari penerimaannya terhadap yurisdiksi fakultatif dari Inter-American Court of
Human Rights (IACtHR), sementara yang kedua menandakan keputusan Peru untuk
mengundurkan diri dari keputusannya yang pertama. Lihat Yogesh Tyagi, “The Denunciation of
Human Rights Treaties”, British Year Book of International Law (2008), hlm. 89.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
45
100
McNair, op.cit, hlm. 491.
101
PBB, Final Clauses of Multilateral Treaties: Handbook dalam Yogesh Tyagi, “The
Denunciation of Human Rights Treaties”, hlm. 89.
102
Tyagi, loc.cit, hlm. 89.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
46
pihak. Hal ini dapat dilakukan bahkan jika perjanjian internasional yang
bersangkutan memberikan jangka waktu minimum untuk pemberitahuan.
Meskipun lebih diharapkan agar persetujuan para pihak dituangkan dalam bentuk
tertulis, namun kesepakatan dari para pihak tidak harus dituangkan dalam bentuk
yang sama dengan perjanjian internasional.103 Apabila perjanjian internasional
yang bersangkutan memberikan hak kepada pihak ketiga berdasarkan Pasal 36
VCLT, atau suatu kewajiban timbul bagi pihak ketiga dari perjanjian internasional
yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 37 VCLT, maka persetujuan dari pihak
ketiga ini juga diperlukan.104 Persetujuan tersebut tidak harus diungkapkan dalam
bentuk yang tertentu. Pasal 54 (b) membebankan satu prasyarat yang hanya dapat
diberlakukan terhadap suatu perjanjian multilateral, yaitu sebelum mengambil
tindakan para pihak harus mengkonsultasikan semua pihak di dalam perjanjian
tersebut, yaitu negara yang telah memberikan persetujuan untuk terikat sewaktu
perjanjian tersebut belum berlaku. Meskipun ketentuan-ketentuan ini tampak
seperti memberikan gambaran bahwa kewenangan yang ada adalah untuk
mengakhiri atau menangguhkan perjanjian internasional secara keseluruhan,
namun para pihak tentunya bebas untuk sepakat untuk mengakhiri atau
menangguhkan hanya bagian tertentu dari perjanjian internasional. Namun,
bagaimana halnya apabila di dalam suatu perjanjian internasional tidak terdapat
ketentuan mengenai pengunduran diri ini?
Selanjutnya, Pasal 56 VCLT memberikan ketentuan apabila di dalam
suatu perjanjian internasional yang bersangkutan tidak terdapat ketentuan
mengenai pengunduran diri. Pasal 56 VCLT ini berbunyi sebagai berikut:
“1. A treaty which contains no provision regarding its termination and
which does not provide for denunciation or withdrawal is not subject to
denunciation or withdrawal unless:
(a) it is established that the parties intended to admit the possibility of
denunciation or withdrawal; or
(b) a right of denunciation or withdrawal may be implied by the nature of
the treaty.
2. A party shall give not less than twelve months’ notice of its intention to
denounce or withdraw from a treaty under paragraph 1”.
103
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, (Cambridge: Cambridge University
Press, 2000), hlm. 232.
104
Ibid.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
47
Pasal 56 ayat (1) VCLT mengandung ketentuan umum bahwa negara-negara tidak
boleh mengundurkan diri dari perjanjian internasional yang tidak memiliki
ketentuan mengenai pengunduran diri. Namun, ketentuan ini memiliki dua
pengecualian. Pertama, suatu perjanjian internasional yang tidak memiliki
ketentuan mengenai pengunduran diri tetap dapat dilakukan pengunduran diri
terhadapnya apabila para pihak di dalam perjanjian tersebut menghendaki adanya
kemungkinan terhadap hal tersebut. Ada atau tidaknya kehendak terhadap hal
tersebut dapat dilihat dari bahan-bahan seperti travaux preparatoires dari
perjanjian tersebut.105 Kedua, hak untuk mengundurkan diri dari perjanjian
internasional yang bersangkutan bisa tersirat dalam sifat dari perjanjian tersebut.
Pada saat VCLT ini terbentuk, ketentuan ini tidak mencerminkan hukum
kebiasaan internasional.106 Setelah VCLT ini terbentuk, International Court of
Justice (ICJ) telah menerima Pasal 56 dari Konvensi Wina sebagai mencerminkan
hukum kebiasaan internasional di dalam perkara Case Concerning Military and
Paramilitary Activites In and Against Nicaragua (Nicaragua v. United States).107
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
48
109
Golongan perjanjian internasional ini sempat dimasukkan ke dalam usulan pasal yang
diusulkan oleh Sir Waldock sebagai Pasal 17 ayat 3. Rancangan rumusan yang diusulkan oleh Sir
Humphrey tersebut berbunyi sebagai berikut: “3. (a) In cases not falling under paragraph 2, a
party shall have the right to denounce or withdraw from a treaty by giving twelve months' notice
to that effect to the depositary, or to the other party or parties, when the treaty is: (i) a commercial
or trading treaty, other than one establishing an international regime for a particular area, river
or waterway; (ii) a treaty of alliance or of military co-operation, other than special agreements
concluded under Article 43 of the [United Nations] Charter; (iii) a treaty for technical co-
operation in economic, social, cultural, scientific, communications or any other such matters,
unless the treaty is one falling under sub-paragraph (b); (iv) a treaty of arbitration, conciliation
or judicial settlement. (b) In the case of a treaty which is the constituent instrument of an
international organization, unless the usage of the organization otherwise prescribes, a party shall
have the right to withdraw from the treaty and from the organization by giving such notice as the
competent organ of the organization, in accordance with its applicable voting procedure, shall
decide to be appropriate.”
110
Widdows, loc.cit, hlm. 96.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
49
oleh PBB telah menjadi jelas bahwa kebanyakan dari perjanjian ini tidak
mengandung klausul yang berkaitan dengan jangka waktu atau pengunduran diri.
Untuk golongan keempat, yaitu perjanjian internasional di bidang
arbitrase, konsiliasi, atau penyelesaian sengketa, Special Rapporteur tersebut
memberikan justifikasi berdasarkan fakta yang ada bahwa mayoritas dari
perjanjian tersebut dibuat untuk jangka waktu tertentu atau dapat dilakukan
pengunduran diri.111
Dalam kategori Sir Humphrey selanjutnya, yaitu konstitusi dari organisasi
internasional (instrumen pokok). Apabila organisasi internasional tersebut tidak
menyatakan secara tegas bahwa pengunduran diri dilarang, maka pengunduran
diri tersebut dapat dilakukan. Praktek yang terjadi atas pengunduran diri dari
konstitusi organisasi internasional banyak terjadi, namun praktek-praktek tersebut
tidak berjalan ke arah yang sama.112 Peaslee mendemonstrasikan bahwa kurang
dari satu per lima dari konstitusi dari organisasi-organisasi yang ada tidak
menyediakan hak untuk mengundurkan diri.113
Sir Humphrey kemudian menyebutkan sejumlah ahli (Hall, Oppenheim,
dan McNair), sementara mempertahankan aturan umum dari doktrin tradisional
bahwa pengunduran diri hanya diperbolehkan jika hak tersebut dinyatakan secara
tegas di dalam perjanjian internasional yang bersangkutan, dan hanya dapat diakui
adanya hak tersirat pada jenis perjanjian internasional tertentu. Oppenheim
tampak berpendapat bahwa pengunduran diri dapat dilakukan atas pemberitahuan
salah satu pihak dengan syarat perjanjian tersebut bukan perjanjian yang dibentuk
untuk selamanya.
Selain menyebutkan penggolongan perjanjian internasional yang
berdasarkan sifatnya dapat dilakukan pengunduran diri, Sir Humphrey di dalam
111
Ibid.
112
Ibid. hlm. 98.
113
Peaslee, International Governmental Organization, dalam Kelvin Widdows, “The
Unilateral Denunciation of Treaties Containing No Denunciation Clause”, British Year Book of
International Law (1982), hlm. 98.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
50
114
Rancangan yang diusulkan Sir Humphrey tersebut berbunyi sebagai berikut: “A treaty
shall continue in force indefinitely with respect to each party where the treaty: (a) is one
establishing a boundary between two States, or effecting a cession of territory or a grant of rights
in or over territory; (b) is one establishing a special international regime for a particular area,
territory, river, waterway or air space; (c) is a treaty of peace, a treaty of disarmament, or for the
maintenance of peace; (d) is one effecting a final settlement of an international dispute; (e) is a
general multilateral treaty providing for the codification or progressive development of general
international law; provided always that the treaty is not one entered into merely for the purpose of
establishing a modus vivendi.” Lihat Kelvin Widdows, “The Unilateral Denunciation of Treaties
Containing No Denunciation Clause”, British Year Book of International Law (1982), hlm. 86.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
51
pengunduran diri. Salah satu Penulis yang paling dipercaya mengenai hukum
perjanjian internasional adalah Lord McNair, yang telah menulis sebelum adanya
pembahasan mengenai hal tersebut oleh International Law Commission. Lord
McNair menulis bahwa pendekatan yang diadopsi oleh Britania Raya dan hampir
semua negara lainnya terhadap perjanjian internasional adalah perjanjian
internasional pada umumnya ditujukan untuk jangka waktu yang tidak terbatas
dan terhadapnya tidak dapat dilakukan pengakhiran secara sepihak, kecuali, telah
dinyatakan secara tegas atau diam-diam mengenai hak tersebut di dalam
ketentuannya atau di dalam ketentuan lain mengenai pengakhirannya.115
Pada suatu perjanjian internasional yang pada dasarnya tidak dapat
diakhiri, terdapat kemungkinan untuk diakhiri apabila terdapat kesepakatan dari
seluruh pihak dalam perjanjian yang bersangkutan. Namun, Lord McNair
kemudian memberikan sebuah pengecualian, yaitu dalam hal perjanjian
internasional di bidang komersial. Beliau menyatakan bahwa di dalam perjanjian
internasional yang berisikan secara murni tawar menawar komersial di antara para
pihak, maka keberadaan dari hak untuk mengundurkan diri secara tersirat dengan
memberikan pemberitahuan dalam jangka waktu yang sesuai dapat disimpulkan
dari sifat perjanjian internasional yang bersangkutan dengan dasar bahwa
perjanjian tersebut memerlukan revisi dari waktu ke waktu untuk
mengharmonisasikan dengan keadaan yang terus berubah.
Mengenai masalah ketentuan pengunduran diri yang tersirat, Lord McNair
menulis bahwa kehendak para pihak dapat disimpulkan dari ketentuan dari
perjanjian yang bersangkutan, situasi dan keadaan dimana perjanjian tersebut
dibuat, dan sifat dari permasalahannya.116 Beliau juga berpendapat bahwa dalam
perjanjian internasional di bidang politik, dimana di dalamnya tidak terdapat
kehendak yang jelas mengenai kewajiban yang tanpa batas waktu, adalah tidak
ditujukan untuk memiliki jangka waktu yang tidak terbatas dan oleh karena itu
memiliki hak yang tersirat untuk mengundurkan diri atas dasar itikad baik dan
dengan pemberitahuan yang sesuai.
115
McNair, op.cit, hlm. 493.
116
Ibid, hlm. 511.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
52
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
53
kehendak dari salah satu pihak, dikarenakan sifat dari isinya tidak ditujukan untuk
membentuk suatu keadaan yang permanen.
Penulis lainnya dari English school sejak dimulai dari Oppenheim. Hall
dan seterusnya, telah meniru pendekatan ini.120 Penulis lainnya tidak memberikan
komentar secara mendalam, selain dari referensi yang telah ada mengenai
kehendak yang tersirat atau telah membatasi diri mereka pada suatu observasi
bahwa pengunduran diri adalah sah hanya ketika perjanjian yang bersangkutan
mengandung ketentuan yang memperbolehkannya, tanpa membahas apakah dan
dalam keadaan apa ketentuan semacam itu dapat tersirat.
Penulis-penulis tersebut kemudian terbagi atas sejumlah aliran, yang
merefleksikan secara akurat pembagian yang sama di dalam ILC.121 Aliran yang
pertama adalah yang mengasumsikan bahwa dalam ketiadaan kehendak yang
dinyatakan untuk memperbolehkan pengunduran diri maka hak semacam itu
seharusnya tidak diperbolehkan dan bahwa perjanjian semacam itu harus
dianggap sebagai memiliki jangka waktu yang tidak terbatas (perpetual) (dan
terhadapnya ada kemungkinan untuk pengakhiran berdasarkan persetujuan
bersama). Aliran yang kedua adalah yang membuat asumsi bahwa jenis perjanjian
tertentu dapat dilakukan pengunduran diri kapanpun setelah memberikan
pemberitahuan yang sesuai. Dan aliran yang ketiga adalah yang menyiratkan
ketentuan untuk pengunduran diri tidak berdasarkan suatu golongan perjanjian
yang pasti tetapi kapanpun tergantung pada situasi dari kasus yang bersangkutan
(jenis perjanjian, keadaan saat terjadinya) yang mengindikasikan suatu kehendak
dari para pihak yang memperbolehkan pengakhiran secara sepihak. Hanya ada
satu hal yang pasti, yaitu ketika suatu perjanjian internasional secara jelas
dikehendaki untuk menjadi permanen, seperti perjanjian perdamaian, perjanjian
yang mempengaruhi penyelesaian akhir dari suatu sengketa, perjanjian mengenai
batas-batas negara dan seterusnya, maka terhadap perjanjian-perjanjian ini tidak
diperbolehkan untuk dilakukan pengakhiran sepihak.
120
Ibid.
121
Ibid, hlm. 109.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
54
122
Deklarasi ini muncul dari suatu kejadian yang melibatkan pasal-pasal Black Sea dari
Treaty of Paris tahun 1856 darimana pemerintah Rusia mengumumkan pada tahun 1870 bahwa ia
harus dilepaskan dari perjanjian. Britania Raya menyatakan bahwa hak untuk melepaskan suatu
pihak dari suatu perjanjian internasional merupakan hak yang hanya dimiliki oleh pemerintah dari
pihak yang merupakan pihak dari instrumen yang orisinil. Rusia kemudian meninggalkan
posisinya di dalam perjanjian dan kemudian konferensi diadakan di London dimana pasal-pasal
diamandemen dengan persetujuan bersama dan sebuah Deklarasi, ditandatangani oleh semua
pihaknya pada tahun 1871.
123
Widdows, loc.cit, hlm. 94-95.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
55
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
56
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
57
132
Klabbers, op.cit, hlm. 82.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
58
dari instrumen pokok tersebut sebagian besar dari tujuan bersama yang dijalankan
oleh organisasi tersebut, instrumen pokok (konstitusi) kemudian dikategorikan
lebih berdasarkan pada situasi dimana kekuatan yang digunakan dalam mencapai
tujuan bersama, daripada dalam mencapai tujuan yang telah disepakati bersama
sebagaimana yang terdapat di dalam perjanjian internasional lainnya.133
Di dalam VCLT, meskipun tidak memutuskan secara tegas mengenai
kedudukan instrumen pokok, namun terlihat mendukung pandangan bahwa
instrumen pokok dari organisasi internasional membentuk kelas tersendiri.
Sebagai contoh, di dalam Pasal 5 disebutkan bahwa ketentuan hukum yang
relevan dengan organisasi internasional diperbolehkan untuk bertentangan dengan
hukum perjanjian internasional. VCLT juga menghormati semacam posisi yang
khusus bagi organisasi internasional ketika berbicara mengenai isu lain yang
berbeda. Sebagai contoh, organ dari organisasi internasional diperbolehkan
memiliki peran untuk memeriksa kompatibilitas dari reservasi yang dilakukan
oleh negara-negara anggota, sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (3).
Di dalam kasus tertentu terlihat adanya perbedaan yang jelas antara
perjanjian internasional biasa dengan perjanjian internasional yang membentuk
suatu organisasi internasional (instrumen pokok). Suatu contoh yang jelas
berhubungan dengan keanggotaan dari suatu organisasi internasional. Biasanya,
ketika suatu negara melakukan aksesi134 suatu perjanjian internasional yang
dihasilkan di antara negara-negara lain, maka biasanya negara pihak ketiga dapat
menggunakan hak mereka untuk melakukan aksesi atau tidak, hal ini tergantung
pada kehendak negara pihak ketiga yang bersangkutan. Di dalam organisasi
internasional hal ini seringkali berbeda. Aksesi dari anggota baru bukanlah
semata-mata suatu tindakan unilateral yang dilakukan oleh anggota baru tersebut,
tetapi paling sering harus diikuti dengan keputusan positif yang memperbolehkan
negara tersebut untuk bergabung menjadi anggota oleh suatu organ yang
bersangkutan dari organisasi tersebut. Sebagai contoh, di dalam PBB penerimaan
133
Ibid, hlm. 83.
134
Aksesi artinya penerimaan suatu perjanjian internasional sehingga negara yang
bersangkutan dapat menjadi anggota dari suatu perjanjian internasional tanpa menandatangani
perjnajian internasional yang bersangkutan. Lihat Anthony Aust, Modern Treaty Law and
Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), hlm. 88.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
59
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
60
Suatu negara juga dapat menginginkan untuk keluar dari suatu perjanjian
internasional (atau setidaknya mengancam untuk keluar) tidak untuk memutuskan
diri mereka dari kerjasama di masa yang akan datang dengan negara-negara lain,
tapi sebagai suatu strategi untuk meningkatkan suara mereka di dalam suatu
organisasi internasional atau suatu forum negosiasi berbasis perjanjian
internasional.137 Pengunduran diri AS pada tahun 1970an dan 1980an dari
perjanjian yang membentuk International Labor Organization (ILO) dan
UNESCO mengikuti pola ini.138 Dalam setiap kejadian tersebut, AS menggunakan
pilihan untuk keluar atau ancaman untuk keluar, dan diikuti kehilangan dukungan
organisasi dan pembiayaan, untuk menekan organisasi-organisasi untuk
mengubah perilaku mereka, setelah AS memperbaharui keanggotaannya. Uni
Soviet dan sekutunya menggunakan pendekatan yang sama pada tahun 1950an
dengan secara sementara mengundurkan diri tetapi kemudian bergabung kembali
dengan WHO, UNESCO, dan ILO.139 AS dan EC juga menggunakan strategi
keluar (exit) tersebut untuk menutup Uruguay Round yang membentuk World
Trade Organization (WTO). Mereka mengundurkan diri dari General Agreement
on Tariffs and Trade (GATT) yang lama, sebuah perjanjian internasional yang
memberikan keuntungan khusus bagi negara berkembang, dan kemudian
meratifikasi WTO Agreement yang baru sebagai suatu paket, memaksa negara-
negara berkembang untuk menerima paket kewajiban yang luas yang
menguntungkan kepentingan AS dan Eropa.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, setiap anggota dari suatu
organisasi internasional terikat terhadap ketentuan di dalam instrumen pokoknya,
termasuk ketentuan mengenai keanggotaannya. Namun, bagaimana halnya dengan
137
Albert O. Hirschman, Exit, Voice and Loyalty: Responses to Decline in Firms,
Organizations, and States, dalam Laurence R. Helfer, “Exiting Treaties”, Virginia Law Review
(November, 2005), hlm. 1584.
138
Lihat Mark F. Imber, The USA, ILO, UNESCO, dan IAEA: Politicization and
Withdrawal in the Specialized Agencies, dalam Laurence R. Helfer, “Exiting Treaties”, Virginia
Law Review (November, 2005), hlm. 1584
139
N. Feinburg, Unilateral Withdrawal from an International Organization, dalam
Laurence R. Helfer, “Exiting Treaties”, Virginia Law Review (November, 2005), hlm. 1584.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
61
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
62
diri.140 Banyak kritik yang kemudian diajukan terhadap draft tersebut yang
berkaitan dengan tidak adanya ketentuan mengenai pengunduran diri tersebut.
Senator Knox mengkritik di dalam sebuah pidatonya di Senate pada tanggal 1
Maret 1919 bahwa istilah “league” merupakan hal yang menyesatkan karena
istilah tersebut dikonotasikan dengan sebuah konfederasi yang menyiratkan
sebuah hak dari para anggotanya untuk mengundurkan diri sesuai kehendak
anggota yang bersangkutan. Namun, pada kenyataan draft yang ada pada saat itu
tidak mencantumkan suatu ketentuan pengunduran diri sehingga seakan-akan
bentuk asosiasi yang diberikan disini adalah sebuah serikat (union), dan selama
berada di dalam serikat tersebut maka akan terus berada di dalamnya tak peduli
seberapa berat beban yang dapat terjadi. Atas kritik-kritik dari senator-senator di
Amerika Serikat, akhirnya Presiden Wilson mengindikasikan bahwa Covenant
tersebut tidak akan dapat diterima oleh Amerika Serikat apabila tidak
mengandung ketentuan yang spesifik mengenai pengunduran diri, meskipun
diperkirakan Perancis akan menentang adanya klausul mengenai pengunduran
diri.
Kemudian pada pertemuan yang ke-13 dari Commission on the League of
Nations, Presiden Wilson memperkenalkan suatu klausul mengenai pengunduran
diri:141
“After the expiration of ten years from the ratification of the Treaty of
Peace of which this Covenant forms a part, any State a member of the
League may, after giving one year's notice of its intention, withdraw from
the League, provided all its international obligations and all its
obligations under this Covenant shall have been fulfilled at the time of its
withdrawal.”
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
63
143
Widdows, loc.cit, hlm. 98.
144
Pasal 1 ayat (3) dari Covenant tersebut pada akhirnya berbunyi: “Any Member of the
League may, after two years' notice of its intention so to do, withdraw from the League, provided
that all its international obligations and all its obligations under this Covenant shall have been
fulfilled at the time of its withdrawal”.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
64
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
65
148
Burns, loc.cit, hlm. 48.
149
Ibid.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
66
anggota yang telah melanggar ketentuan Covenant berdasarkan Pasal 16 ayat (4).
Berdasarkan hal ini, maka kemungkinan Council juga yang akan menentukan
apakah suatu anggota telah melanggar suatu ketentuan dari Covenant.
150
Ibid, hlm. 44.
151
Ibid.
152
Ibid.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
67
mereka undangan yang tulus untuk kembali dan berpartisipasi dalam Liga. Brazil
merespon ke Council dengan menyatakan bahwa Brazil tidak mengubah
keputusannya untuk mengundurkan diri, sedangkan Spanyol memutuskan untuk
membatalkan kehendaknya untuk mengundurkan diri.
Persoalan mengenai pemenuhan kewajiban ini baru muncul ketika Jepang
menyampaikan pemberitahuan pengunduran diri kepada Liga.153 Pengunduran diri
Jepang ini dilakukan berkaitan dengan laporan yang dihasilkan oleh Liga atas
usahanya dalam menyelesaikan konflik Sino-Jepang. Laporan ini diterima dengan
suara bulat kecuali suara negatif dari Jepang. Bagian III dari laporan tersebut
berjudul “Chief Characteristics of the Dispute” dan di dalamnya terdapat
beberapa opini dari Majelis sehubungan dengan adanya pemenuhan atau tidak
dipenuhinya kewajiban di hadapan Covenant dari para pihak yang bersengketa. Di
dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa Jepang dan Cina masing-masing
memiliki keluhan terhadap sesamanya di Manchuria sebelum tanggal 18
September 1931. Lebih lanjut dinyatakan bahwa, meskipun pada tanggal 18
September 1931 petugas Jepang di dekat Mukden mengaku bahwa mereka
bertindak atas dasar pembelaan diri, namun Majelis tidak dapat
mempertimbangkan bahwa operasi militer lainnya yang dilakukan oleh Jepang di
Mukden dan tempat lainnya di Manchuria pada malam yang sama merupakan
tindakan pembelaan diri. Selain itu, tindakan pembelaan diri tersebut tidak
mengecualikan suatu negara untuk mematuhi ketentuan Pasal 12 dari Covenant.
Bagian terakhir dari laporan tersebut terdiri atas seperangkat rekomendasi
yang diusulkan oleh Majelis sebagai rekomendasi yang adil dan tepat. Dalam
membuat rekomendasi-rekomendasi ini, Majelis memutuskan untuk mengikuti
prinsip-prinsip tertentu, dan yang paling penting diantaranya adalah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan di dalam Covenant, the Pact of Paris, dan the Nine-Power
Treaty of Washington. Rekomendasi yang spesifik yang diberikan untuk
penyelesaian sengketa di antaranya adalah evakuasi tentara Jepang di luar zona
South Manchuria Railway, pengorganisasian Manchuria yang otonom dibawah
kedaulatan Cina, negosiasi antara Cina dan Jepang dengan bantuan sebuah komite
yang dibentuk Majelis.
153
Ibid, hlm. 45.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
68
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
69
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
70
157
Ibid, hlm. 30.
158
Ibid, hlm. 31.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
71
159
Pasal 108 Piagam PBB berbunyi: “Amendments to the present Charter shall come into
force for all Members of the United Nations when they have been adopted by a vote of two thirds
of the members of the General Assembly and ratified in accordance with their respective
constitutional processes by two thirds of the Members of the United Nations, including all the
permanent members of the Security Council.” Sedangkan Pasal 109 Piagam PBB berbunyi: “1. A
General Conference of the Members of the United Nations for the purpose of reviewing the
present Charter may be held at a date and place to be fixed by a two-thirds vote of the members of
the General Assembly and by a vote of any seven members of the Security Council. Each Member
of the United Nations shall have one vote in the conference. 2. Any alteration of the present
Charter recommended by a two-thirds vote of the conference shall take effect when ratified in
accordance with their respective constitutional processes by two thirds of the Members of the
United Nations including all the permanent members of the Security Council. . 3. If such a
conference has not been held before the tenth annual session of the General Assembly following
the coming into force of the present Charter, the proposal to call such a conference shall be
placed on the agenda of that session of the General Assembly, and the conference shall be held if
so decided by a majority vote of the members of the General Assembly and by a vote of any seven
members of the Security Council.”
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
72
juga memiliki kewajiban yang diberikan oleh Piagam, atau oleh amandemen dari
Piagam, selayaknya anggota PBB.160
Selain itu, apabila Dewan Keamanan menganggap bahwa pengunduran
diri dari suatu anggota merupakan ancaman terhadap kedamaian, maka
berdasarkan Pasal 39, Dewan Keamanan dapat memberikan rekomendasi kepada
anggota yang bersangkutan untuk tidak mengundurkan diri, dan dalam hal
ketidakpatuhan terhadap rekomendasi ini, Dewan Keamanan dapat mengambil
langkah-langkah penegakkan, atau Dewan Keamanan juga dapat mengambil
langkah penegakkan tanpa adanya rekomendasi terlebih dahulu. Langkah-langkah
penegakan ini merupakan langkah-langkah yang tercantum di dalam Bab VII dari
Piagam PBB, yakni mengenai “Aciton with Respect to Threats to the Peace,
Breaches of the Peace, and Acts of Aggression”. Langkah-langkah tersebut
diantaranya adalah Dewan Keamanan dapat memperingatkan anggota yang
bersangkutan untuk mematuhi ketentuan yang bersangkutan, menentukan cara
tertentu untuk membuat anggota tersebut patuh tanpa menggunakan kekuatan
bersenjata seperti menyela hubungan ekonomi negara yang bersangkutan atau
pemutusan hubungan diplomatis, ataupun melakukan tindakan-tindakan seperti
blokade udara, laut, atau darat. Dengan demikian, pernyataan di dalam penjelasan,
yang menyatakan PBB tidak dapat memaksa anggota yang bersangkutan untuk
melanjutkan kerjasamanya di dalam PBB (“it is not the purpose of the
Organization to compel that Member to continue its cooperation in the
Organization”), adalah tidak sesuai dengan kemungkinan yang ditentukan oleh
rumusan Pasal 39 dari Piagam.
Pada tanggal 25 Juni 1945, ketika laporan dari Commission I yang
mengandung penjelasan dari Committee I/2 tersebut dipresentasikan di dalam Sesi
Pleno Kesembilan dari Konferensi, Uni Soviet menyatakan perbedaan
pendapatnya bahwa hak untuk mengundurkan diri merupakan konsekuensi dari
prinsip demokrasi dan juga prinsip kedaulatan. Uni Soviet menyatakan
pandangannya ini dengan memasukkan Pasal 17 dari Konstitusi USSR yang
160
Lihat Pasal 2 butir 6 Piagam PBB yang berbunyi: “The Organization shall ensure that
states which are not Members of the United Nations act in accordance with these Principles so far
as may be necessary for the maintenance of international peace and security.”
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
73
memberikan hak bagi setiap Republik Uni untuk secara bebas mengundurkan diri
dari USSR dan menyatakan bahwa Pasal tersebut dimasukkan ke dalam
Konstitusi USSR sebagai bentuk pengakuan terhadap hak kedaulatan. Uni Soviet
berpendapat bahwa dengan tidak adanya ketentuan untuk mengundurkan diri
maka hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dan kedaulatan.
Namun, pendapat ini sepandangan dengan Committee I/2, dimana di dalam
penjelasannya tidak menyimpulkan hak untuk mengundurkan diri dari kedaulatan
para negara anggota. Penjelasan tersebut hanya menyebutkan mengenai
pengunduran diri berdasarkan “exceptional circumstances”.
Hans Kelsen juga memberikan komentarnya terhadap pandangan Uni
Soviet ini. Apabila dengan adanya kedaulatan mengimplikasikan adanya suatu
hak pengunduran diri yang tidak dapat dilanggar dari organisasi yang dibentuk
oleh suatu perjanjian internasional, maka ini berarti negara berdaulat tersebut
hanya terikat pada sebuah perjanjian internasional selama negara tersebut
menghendaki.161 Dengan demikian dalam pemikiran ini, maka kedaulatan tidak
sesuai dengan pemikiran bahwa hukum internasional mengikat negara-negara.
Apabila dasar dari Piagam merupakan konsep dari kedaulatan yang tidak terbatas,
maka tidak ada satupun ketentuan di dalam Piagam yang mengikat para
anggotanya. Dengan demikian, tidak dapat disangkal bahwa organisasi
internasional yang dibentuk oleh suatu perjanjian internasional memiliki suatu
fungsi yang esensial untuk membatasi kedaulatan dari para anggota. Hal ini
menghilangkan konsep kedaulatan yang tidak terbatas, meskipun terdapat
rumusan Pasal 2 butir 1 yang menyatakan adanya persamaan kedaulatan
“sovereign equality” di antara para anggota sebagai salah satu prinsip dari PBB.
Hans Kelsen juga menyatakan bahwa terdapat suatu pandangan yang telah
secara umum diterima. Pandangan tersebut menyatakan bahwa suatu perjanjian
internasional yang dibuat dengan tujuan untuk membuat kondisi yang abadi
(“everlasting condition of things”) tidak dapat dilakukan pengunduran diri oleh
suatu anggota jika perjanjian internasional yang bersangkutan tidak memberikan
kemungkinan untuk pengunduran diri tersebut. Pengecualian terhadap hal ini,
yang disetujui oleh beberapa Penulis, adalah pengaplikasian dari clausula rebus
161
Kelsen, loc,cit, hlm. 33.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
74
sic stantibus.162 Arti dari klausula tersebut seharusnya adalah perubahan keadaan
yang fundamental yang dapat menjustifikasi suatu anggota dalam meminta agar
dilepaskan dari kewajiban-kewajiban perjanjian internasional yang bersangkutan
(“a fundamental change of circumstances may be of such kind as to justify a party
in demanding to be released from the obligations of an unnotifiable treaty”).
Perubahan fundamental dari keadaan (“fundamental change of circumstances”)
ini berarti bahwa kewajiban-kewajiban yang ditetapkan di dalam perjanjian
internasional yang bersangkutan membahayakan keberadaan anggota yang
menghendaki pengunduran diri tersebut di dalam organisasi internasional tersebut.
Ketika sebuah negara berpendapat bahwa telah terjadi perubahan keadaan
yang fundamental, maka yang pertama yang harus dilakukan negara yang
bersangkutan adalah meminta anggota lainnya untuk mencabut perjanjian
internasional yang bersangkutan.163 Jika pencabutan tersebut, bersama dengan
usulan untuk mengajukan kasus tersebut ke sebuah pengadilan internasional,
ditolak, negara yang bersangkutan dapat menyatakan dirinya tidak lagi terikat
dengan perjanjian internasional yang bersangkutan.
Apabila suatu anggota dari PBB berkehendak untuk mengundurkan diri
dari PBB dikarenakan perubahan fundamental dari keadaan tersebut, maka
anggota yang bersangkutan harus mengajukan permintaan kepada PBB untuk
dilepaskan dari keanggotaan, dan jika permintaan ini ditolak, sengketa tersebut
harus diajukan kepada organ yudisial utama dari PBB, yaitu International Court
of Justice (ICJ). Namun, di dalam Piagam tidak terdapat ketentuan yang
memberikan wewenang kepada Dewan Keamanan ataupun Majelis Umum untuk
melepaskan suatu negara dari keanggotaan, dan ICJ tidak memiliki yurisdiksi
dalam suatu sengketa antara PBB dan sebuah anggota. Anggota yang ingin
mengundurkan diri tersebut harus menyampaikan permintaannya kepada semua
anggota PBB lainnya, dan anggota yang bersangkutan hanya dapat melaksanakan
hak pengunduran dirinya setelah menunggu jawaban selama jangka waktu tertentu
yang sesuai, kecuali anggota lainnya mengusulkan kasus ini diberikan kepada
keputusan suatu pengadilan internasional. Pengadilan ini dapat merupakan ICJ
162
Ibid, hlm. 34.
163
Ibid.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
75
jika sengketa yang diajukan adalah sengketa antar negara, dan bukan sebagai
sengketa antara organisasi internasional dan anggotanya. Apabila pengadilan yang
bersangkutan memutuskan bahwa tidak terjadi suatu perubahan yang vital dari
keadaan, maka hak untuk mengundurkan diri tersebut tidak ada.
Analisis ini menunjukkan bahwa clausula rebus sic stantibus tidak
memberikan anggota-anggota hak untuk mengundurkan diri sebagai suatu
pernyataan dari kedaulatan mereka, maupun memberikan hak untuk
mengundurkan diri berdasarkan keadaan istimewa (“exceptional circumstances”)
sebagaimana yang disebutkan di dalam komentar dari Committee I/2.164 Keadaan
istimewa ini sama sekali tidak sama dengan hak untuk mengundurkan diri
berdasarkan perubahan vital dari keadaan. Suatu keadaan dimana suatu
amandemen telah dilakukan tanpa persetujuan suatu anggota atau sebuah
amandemen yang telah disetujui oleh suatu anggota yang tidak terjadi, tidak bisa
diinterpretasikan sebagai suatu perubahan vital dari keadaan yang dapat
menjustifikasi suatu pihak untuk dilepaskan dari keanggotaan.
Penjelasan dari Committee I/2 mengacu hanya kepada pengunduran diri
“anggota” dari PBB, dan istilah “anggota” disini berarti anggota dari komunitas
yang dibentuk oleh Piagam dalam arti yang sempit, yakni negara-negara yang
diwakili di dalam Majelis Umum. Akan tetapi, terdapat suatu organisasi
internasional yang dibentuk oleh Piagam dalam arti yang lebih luas, yaitu yang
terdiri atas bagian integral dari Statuta ICJ. Ini adalah komunitas keseluruhan dari
PBB, yaitu PBB itu sendiri dalam arti yang sempit, dan komunitas yudisial yang
dibentuk oleh Statuta ICJ.
Berdasarkan Pasal 93 butir 1 dari Piagam, anggota PBB secara ipso facto
menjadi anggota dari Statuta dan dengan demikian juga sebagai anggota dari
komunitas yudisial. Meskipun Statuta merupakan suatu bagian yang integral dari
Piagam, namun Statuta tersebut tetap merupakan instrumen yang independen.165
Prosedur amandemen yang terkandung di dalam Statuta tidak sama dengan yang
terdapat di dalam Piagam. Kenyataan bahwa terdapat kemungkinan adanya
164
Ibid, hlm. 35.
165
Ibid, hlm. 36.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
76
166
Schwelb, loc.cit, hlm. 663.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
77
sesuatu yang dapat diragukan. Tidak ada reservasi terhadap Piagam yang pernah
terjadi.
Schwarzenberger menyatakan bahwa seperti Piagam itu sendiri, Deklarasi
interpretatif tersebut merupakan bagian dari lex societes dari PBB, sehingga
semua anggota dari PBB, baik anggota orisinil maupun yang diterima belakangan,
terikat terhadapnya.
Dehousse menyatakan bahwa dalam hukum, Deklarasi tersebut memiliki
kekuatan mengikat yang sama seperti jika Deklarasi tersebut dimasukkan ke
dalam batang tubuh Piagam. Ketentuan umum dari hukum internasional mengenai
pengakhiran perjanjian internasional, sebagaimana ketentuan mengenai
interpretasi perjanjian internasional, mendukung pandangan Schwarzenberger dan
Dehousse ini.
Suatu pernyataan muncul belakangan ini yang dikemukakan oleh
International Law Commission (ILC). ILC menyatakan bahwa apabila suatu
perjanjian internasional tidak memiliki ketentuan mengenai pengakhirannya dan
tidak memiliki ketentuan mengenai pengunduran diri, maka atas perjanjian
internasional semacam itu tidak dapat dilakukan pengunduran diri, kecuali jika
para pihak berkehendak untuk menerima kemungkinan dari pengunduran diri
tersebut. Berdasarkan Deklarasi tersebut, maka dapat dianggap bahwa para pihak
berkehendak untuk menerima kemungkinan untuk pengunduran diri.
167
Ibid, hlm. 665-666.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
78
"in the circumstances which have been created by colonial powers in the
United Nations so blatantly against our anti-colonial struggle and indeed
against the lofty principles and purposes of the United Nations Charter,"
the Government, 'felt that no alternative had been left for Indonesia but
withdrawal from the United Nations."
Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Indonesia juga mengumumkan
bahwa Indonesia telah memutuskan untuk mengundurkan diri dari specialized
agencies seperti FAO, UNICEF, dan UNESCO.
Dalam menjawab surat ini, Sekretaris Jenderal menyatakan sebagai
berikut:168
“The position of your Government recorded therein has given rise to a
situation in regard to which no express provision is made in the Charter. It
is to be recalled, however, that the San Francisco Conference adopted a
declaration relating to the matter. Upon receiving your letter, I issued it as
a document of both the Security Council and the General Assembly, these
being the two bodies concerned with membership questions, and I
transmitted it directly to all Governments of Member States, as the
Governments of the parties to the Charter. I also held consultations with
the Members of the Organization. Your statement that "Indonesia has
decided at this stage and under the present circumstances to withdraw
from the United Nations" and your assurance that "Indonesia still upholds
the lofty principles of international co-operation as enshrined in the
United Nations Charter" have been noted. In conclusion, I wish to express
both the profound regret which is widely felt in the United Nations that
Indonesia has found it necessary to adopt the course of action outlined in
your letter and the earnest hope that in due time it will resume full co-
operation with the United Nations.”
Pernyataan Sekretaris Jenderal bahwa “the earnest hope that in due time
Indonesia will resume full cooperation with the United Nations” tidak
memberikan jawaban apapun mengenai permasalahan keabsahan dari tindakan
pengunduran diri Indonesia. Kalimat tersebut secara jelas dibentuk sedemikian
rupa sehingga dapat diinterpretasikan bahwa Indonesia tidak berhenti menjadi
anggota, karena suatu non-anggota tidak dapat melanjutkan kerjasama penuh
(“resume full cooperation”), kecuali apabila anggota yang bersangkutan telah
diterima kembali ke dalam PBB.169
168
Ibid, hlm. 666.
169
Ibid.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
79
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
80
anggota dapat mengundurkan diri dari kursinya pada organ subsider, dan dalam
kasus ini tindakan Indonesia dapat dianggap sebagai suatu tindakan pengunduran
diri yang tersirat dari kursi organ subsider tersebut.170
Pada tanggal 1 Maret 1965, Sekretariat mengambil suatu tindakan
administratif, yakni penghilangan plat nama dan bendera Indonesia, serta tidak
dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar sebagai anggota dari PBB.
Pernyataan pengunduran diri yang dilakukan Indonesia ini juga memiliki
implikasi terhadap rencana kewajiban finansial negara anggota tahun 1965. Pada
Sesi Keduapuluh dari Majelis Umum, Indonesia tidak dimasukkan ke dalam skala
penilaian yang digunakan untuk menghitung kontribusi negara anggota untuk
budget PBB tahun 1965, 1966, dan 1967. Tindakan ini pun tidak harus
diinterpretasikan sebagai suatu pengakuan dari Majelis Umum mengenai legalitas
dari pengunduran diri Indonesia. Hal ini dikarenakan apabila Majelis Umum
mengantisipasi pemasukan dari Indonesia, maka hal tersebut bukan merupakan
suatu perencanaan budget yang terencana karena Majelis Umum tidak memiliki
cara untuk memaksa Indonesia untuk membayar kontribusinya.171
Pada tanggal 19 September 1966, Duta Besar Indonesia untuk Amerika
Serikat menyampaikan sebuah telegram kepada Sekretaris Jenderal yang berisikan
bahwa Pemerintah telah memutuskan untuk melanjutkan kembali kerjasama
penuh (full cooperation) dengan PBB dan untuk melanjutkan partisipasinya di
dalam aktifitas PBB dimulai dengan Sesi Keduapuluhsatu dari Majelis Umum.
Pada tanggal 28 September 1966, dengan mengacu kepada telegram ini, Presiden
dari Majelis Umum melaporkan kepada Majelis bahwa pada tanggal 22
September 1966, Menteri Luar Negeri Indonesia telah berunding dengan
Sekretaris Jenderal dan Presiden Majelis Umum dan telah menegaskan kembali
keputusan dari Pemerintah Indonesia untuk melanjutkan partisipasi penuh dalam
aktifitas PBB. Setelah menyebutkan perkembangan yang terjadi semenjak Januari
1965, Presiden dari Majelis Umum melanjutkan dengan menyatakan:172
170
Ibid, hlm. 667.
171
Ibid, hlm. 668.
172
Ibid, hlm. 668-669.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
81
173
Ibid, hlm. 670.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
82
174
Ibid.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
83
tahun 1950, Indonesia tidak pernah berhenti menjadi anggota. Pengunduran diri
Indonesia menjadi tidak efektif didasarkan atas alasan Indonesia untuk
mengundurkan diri, yakni yang dikarenakan terpilihnya Malaysia sebagai anggota
tidak tetap dari Dewan Keamanan. Alasan tersebut bukanlah merupakan alasan
yang tergolong atas keadaan istimewa (“exceptional circumstances”) yang dapat
menjustifikasi pengunduran diri dari PBB tersebut. Alasan-alasan yang terdapat di
dalam Deklarasi interpretatif yang dapat menyebabkan suatu negara
mengundurkan diri dari PBB, yaitu dua keadaan yang berhubungan dengan proses
amandemen, sama sekali tidak sesuai dengan kasus pengunduran diri Indonesia.
Suatu pengunduran diri berdasarkan suatu alasan yang tidak termasuk
keadaan istimewa tidaklah diizinkan dan merupakan suatu pelanggaran terhadap
kewajiban internasional anggota yang bersangkutan. Tidak dapat diragukan lagi
bahwa istilah “keadaan istimewa” (“exceptional circumstances”) tidaklah terlalu
tepat, termasuk juga penjelasan mengenai istilah ini yang terkandung di dalam
Deklarasi interpretatif.
Di dalam keadaan yang terdapat sekarang pada praktek organisasi
internasional, secara umum tidak mungkin dapat dicegah suatu negara anggota
dari melakukan pelanggaran kewajibannya dan juga untuk memaksa
keberadaannya untuk terus berada di dalam Organisasi. Apabila keadaan yang ada
bukan merupakan keadaan yang dapat menjadi suatu ancaman atas kedamaian
atau pelanggaran keamanan, maka PBB tidak memiliki cara yang legal untuk
memaksakan negara yang ingin mengundurkan diri untuk terus melanjutkan
keanggotaanya.175
175
Ibid.
176
Widdows, loc.cit, hlm. 100.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
84
177
Ibid.
178
Ibid, hlm. 101.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
85
efektif dan oleh karenanya Uni Soviet bersedia untuk bergabung kembali dengan
WHO. Di antara kedua kejadian ini, WHO menganggap negara-negara yang
mengundurkan diri ini tetap sebagai anggota, namun dalam keadaan yang tidak
aktif.179
179
Ibid.
180
Athanassiou, loc.cit, hlm. 9-10.
181
Ibid, hlm. 11.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
86
Dari pernyataan ECJ tersebut maka dengan membentuk sebuah komunitas yang
memiliki jangka waktu tidak terbatas dan dengan memiliki kapasitas hukumnya di
dunia internasional, maka dengan demikian terdapat suatu transfer kekuasaan dari
negara yang bersangkutan terhadap komunitas tersebut, atau dengan kata lain
terdapat suatu pembatasan dari kedaulatan negara anggota yang bersangkutan.
Selain itu, ECJ juga secara jelas mengakui adanya suatu kewajiban dari
pengadilan nasional untuk mengesampingkan hukum nasional mereka, termasuk
hukum konstitusional, apabila hukum yang bersangkutan bertentangan dengan
hukum EC.184
Jadi, dengan tidak adanya ketentuan pengunduran diri tersebut, maka
pengunduran diri tersebut tidak diperbolehkan. Namun, terhadap hal ini terdapat
beberapa pengecualian. Terdapat tiga situasi dimana suatu negara anggota
memiliki, dalam situasi yang ekstrim, hak untuk mengundurkan diri.185 Pertama,
apabila suatu negara lain telah secara dasar secara terus menerus melanggar
perjanjian-perjanjian internasional EU. Kedua, apabila institusi Eropa telah
182
Ibid.
183
Ibid, hlm. 16.
184
Ibid, hlm. 17.
185
Ibid, hlm. 18-19.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
87
bertindak secara ultra vires. Ketiga, apabila suatu negara anggota menghadapi
suatu kesulitan yang luar biasa yang membuat negara yang bersangkutan kesulitan
untuk mematuhi kewajiban kontraktualnya.
Tanpa mengenyampingkan kemungkinan penggunaan doktrin rebus sic
stantibus, maka kesimpulan yang dapat ditarik bahwa adanya suatu hak
mengundurkan diri secara sepihak yang tersirat dari perjanjian-perjanjian
internasional, bahkan dalam situasi yang luar biasa sekalipun, akan menjadi
sangat kontroversial.186 Pengecualian terhadap hal ini kemungkinan adalah
sebagai suatu upaya terakhir apabila terdapat suatu pelanggaran yang sangat serius
dan bertahan lama dari perjanjian-perjanjian internasional atau terdapat suatu
keadaan luar biasa yang mempengaruhi kemampuan suatu negara anggota dalam
memenuhi kewajiban kontraktualnya. Suatu cara pengunduran diri yang dapat
diterima adalah dengan suatu perjanjian yang diratifikasi oleh semua negara
anggota.187
Kasus pengunduran diri pun jarang terjadi pada di ECSC sampai dengan
EU. Namun, pernah sekali terjadi kasus pengunduran diri, meskipun tidak dapat
dikatakan sepenuhnya bahwa kasus tersebut merupakan kasus pengunduran diri
negara anggota dari keanggotaan EEC. Kasus pengunduran diri tersebut adalah
kasus pengunduran diri Greenland, yang merupakan bagian dari negara Denmark,
dari EEC.
Greenland merupakan bagian yang integral dari Kerajaan Denmark. Pada
tahun 1973 Kerajaan Denmark bergabung dengan EC sehingga sebagai suatu
bagian yang terintegrasi dengan Denmark, maka Greenland pun memperoleh
keanggotaan dalam EC.188 Keputusan Denmark untuk bergabung dengan EC
dihasilkan oleh sebuah referendum, dimana populasi Denmark memberikan suara
untuk bergabung dengan perbandingan hampir 2:1 dengan mayoritas
menghendaki untuk bergabung. Namun, Greenland tidak mengikuti pola ini.
70,3% memberikan suara yang bertentangan dengan mengikuti keanggotaan EC.
186
Ibid, hlm. 21.
187
Ibid.
188
Ove Johansen dan Carsten Lehmann Sorensen, “Greenland’s Way out of the European
Community”, The World Today (Juli-Agustus, 1983), hlm. 271.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
88
189
Kepulauan Faroe merupakan bagian dari Kerajaan Denmark yang tidak dimasukkan ke
keanggotaan EC.
190
OCT ini merupakan status yang diberikan kepada negara-negara non Eropa yang
merupakan koloni dari negara-negara anggota EC yang terhadap negara-negara ini diberikan
hubungan ekonomi dengan EC. Lihat Bagian Keempat dari the Treaty of Rome.
191
Stephen Hall, Nationality, Migration Rights, and Citizenship of the Union, (Dordrecht:
Martinus Nijhoff Publishers, 1995), hlm. 24.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
89
ini, negara-negara dan teritori tersebut harus merupakan negara non Eropa,
memiliki hubungan khusus dengan Belgia, Denmark, Perancis, Italia, Belanda,
dan Britania Raya, dan terdaftar di dalam Annex IV dari EC Treaty.
Permasalahan mengenai legalitas pengunduran diri dari EU ini tidak
menjawab mengenai pengunduran diri yang dilakukan oleh Greenland. Hal ini
tidak dapat disangkal bahwa tidak adanya protes dari negara anggota terhadap
pengunduran diri Greendland merupakan suatu pertimbangan politis. EEC tidak
memiliki sanksi yang dapat diberlakukan terhadap negara yang ingin
mengundurkan diri dan membuat negara yang bersangkutan mematuhi perjanjian
internasionalnya.192
Ketentuan mengenai pengunduran diri ini kemudian mulai disinggung
untuk dimasukkan ke dalam instrumen pokok EU dengan pembuatan draft Treaty
on establishing a Constitution of Europe. Namun, perjanjian ini tidak berhasil
diratifikasi oleh negara-negara anggota EU. Kemudian dibentuklah Lisbon Treaty,
yang merupakan perjanjian internasional yang berisikan amandemen dari Treaty
on European Union (Maastricht Treaty) dan Treaty establishing the European
Community (Rome Treaty) yang kemudian berubah menjadi Treaty on the
Functioning of the European Union. Di dalam Lisbon Treaty ini pada akhirnya
terdapat ketentuan mengenai pengunduran diri di dalam Pasal 50.
Mengapa setelah sekian lama pada akhirnya Lisbon Treaty memasukkan
ketentuan mengenai pengunduran diri? Terhadap hal ini terdapat beberapa
alasan.193 Pertama, dengan adanya kemungkinan pengunduran diri yang baru ini,
maka EU akan siap apabila terjadi suatu pengunduran diri dari EU. Kedua, suatu
negara yang berdaulat secara politis tidak lagi dapat dipaksa untuk menghormati
komitmennya apabila negara tersebut tidak lagi ingin menghormati komitmennya
tersebut. Ketiga, dengan dimasukkannya ketentuan mengenai pengunduran diri ini
dapat mencegah kesan bahwa EU tidak demokratis. Apabila hak untuk
mengundurkan diri ini diakui, maka negara-negara tidak akan terlalu menentang
untuk menyerahkan kedaulatannya terhadap institutsi-institusi EU. Berdasarkan
192
Athanassiou, loc.cit, hlm. 22.
193
Ibid, hlm. 25-26.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
90
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
91
BAB 4
ANALISIS PENGUNDURAN DIRI NEGARA ANGGOTA SECARA
SEPIHAK DARI KEANGGOTAAN ASEAN
194
Sekretariat Nasional ASEAN, The Association of Southeast Asian Nations, (Jakarta:
Departemen Luar Negeri, 1975), hlm. 13.
195
SEATO merupakan suatu organisasi regional yang bertujuan untuk membentuk
pertahanan terhadap blok Komunis di wilayah Asia Tenggara. SEATO ini dibentuk oleh Southeast
Asia Collective Defense Treaty, di bawah perlindungan negara Barat dengan Amerika Serikat
sebagai pemeran utama. Anggotanya adalah Australia, Perancis, New Zealand, Pakistan, Filipina,
Thailand, Britania Raya, dan Amerika Serikat. SEATO bubar pada tahun 1977.
196
ASA dibentuk pada tahun 1961 sebagai suatu organisasi yang membentuk pertahanan
keamanan terhadap kekuatan komunis. Anggota ASA hanya terdiri atas tiga negara, yakni
Thailand, Malaysia, dan Filipina. Di dalam ASA sendiri terdapat pergolakan, terutama ketika
Filipina mengklaim Sabah, yang merupakan wilayah Malaysia. Pada saat ini, Thailand membantu
mengembalikan harmonitas di dalam ASA dengan membantu diplomasi di antara Malaysia dan
Filipina. ASA ini yang kemudian menjadi cikal bakal ASEAN.
197
MAPHILINDO merupakan suatu organisasi regional yang dibentuk pada Juli 1963.
Organisasi ini dibentuk berdasarkan impian seorang nasionalis Filipina, Jose Rizal, yang
mengimpikan untuk menyatukan bangsa Melayu. Lihat: Gerald W. Fry, The Association of
Southeast Asian Nations, (New York: Infobase Publishing, 2008), hlm. 41-44.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
92
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
93
Dan dengan demikian pada awal Agustus 1967, kelima Menteri Luar
Negeri tersebut menghabiskan waktu empat hari di dalam sebuah resort di pantai
Bang Saen, sebuah kota di pesisir pantai kurang dari seratus kilometer di tenggara
Bangkok. Di sana mereka bernegosiasi mengenai dokumen tersebut (deklarasi)
dengan cara informal. Namun, hal tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, setiap
orang memberikan suatu perspektif historis dan politis yang berbeda-beda. Pada
akhirnya, Deklarasi tersebut terbentuk juga, dan setiap perwakilan kemudian
memberikan pidato sebelum masing-masing menandatangani Deklarasi tersebut.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
94
Hukum internal ini terdiri atas instrumen pokok, keputusan dan resolusi yang
dikeluarkan berdasarkan instrumen pokok tersebut, dan praktek dari organisasi
yang bersangkutan.201 Sedangkan hukum eksternal merupakan hukum yang
berlaku di luar organisasi internasional yang terbagi atas hukum nasional dan
hukum internasional.202
ASEAN sendiri dibentuk berdasarkan Deklarasi Bangkok pada tahun
1967. Deklarasi ini sendiri pada dasarnya tidak memiliki dasar kekuatan yang
mengikat.203 Pembentukan ASEAN ini pada awalnya tidak dituangkan dalam
suatu perjanjian internasional yang mengikat. Kekuatan mengikat organisasi ini
pada awalnya hanyalah berdasarkan kesadaran dan semangat para pihak untuk
membentuk suatu kerjasama regional. Kemudian para negara-negara anggota
ASEAN meneruskan komitmen yang mereka bentuk di dalam Deklarasi Bangkok
dengan membuat suatu deklarasi dan perjanjian internasional, yakni Zone of
Peace, Freedom and Neutrality Declaration (ZOPFAN) pada tahun 1971, dan the
ASEAN Free Trade Area Agreement (AFTA) pada tahun 1992. Namun, ASEAN
tetap berjalan tanpa adanya suatu struktur pemerintahan regional atau sistem
pengadilan yang dapat memaksa negara-negara anggota untuk mematuhi
perjanjian internasional yang dibuatnya, dan juga tidak memiliki cara untuk
menghukum para negara yang tidak mematuhi perjanjian yang telah dibuatnya.204
Hal ini dikarenakan pada dasarnya ASEAN dibentuk untuk memberikan
suatu cara yang sistematis bagi para pimimpin negara-negara anggota ASEAN
untuk berkumpul dan berdialog secara reguler mengenai masalah-masalah yang
terdapat di wilayah Asia Tenggara. Dan karena itu pula, kegiatan dasarnya
merupakan pertemuan-pertemuan yang diadakan setiap tahunnya, seperti ASEAN
Summit dan Ministerial Meetings, ASEAN merupakan suatu organisasi
201
Pasal 2(1)(j) The Vienna Convention on the Law of Treaties between States and
International Organizations 1986.
202
Ibid.
203
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik
Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 38.
204
Gerald W. Fry, The Association of Southeast Asian Nations, (New York: Infobase
Publishing, 2008), hlm. 59.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
95
internasional yang dibentuk lebih untuk tujuan sosial dibandingkan untuk tujuan
melakukan tindakan-tindakan.
Baru pada tahun 2007 akhirnya ASEAN Charter terbentuk. Charter ini
berlaku sebagai dasar (konstitusi) dari ASEAN. Hal ini terlihat dari ketentuan-
ketentuan yang terdapat di dalamnya, yang sebagian besar mengatur mengenai
struktur dari ASEAN, hak dan kewajiban anggotanya, cara penyelesaian sengketa,
tujuan dari ASEAN, dan lain-lain. Dengan demikian, instrumen hukum yang
mengatur kegiatan organisasi ini secara internal adalah ASEAN Charter.
ASEAN sebagai organisasi internasional merupakan suatu subyek hukum
internasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelum ini, suatu
organisasi internasional sebagai suatu subyek hukum internasional memiliki
personalitas hukum. Personalitas hukum suatu organisasi internasional pada
umumnya disebutkan di dalam instrumen pokoknya. Atau, apabila di dalam
instrumen pokok organisasi internasional yang bersangkutan tidak menyebutkan
bahwa organisasi tersebut memiliki personalitas hukum, maka organisasi tersebut
dapat disimpulkan memiliki personalitas hukum dengan adanya maksud dan
tujuan dari organisasi internasional yang bersangkutan.205 Di dalam Pasal 3
ASEAN Charter disebutkan bahwa ASEAN, sebagai suatu organisasi
206
internasional, memiliki personalitas hukum.
205
Lihat Bab 2 mengenai “Personalitas Hukum Organisasi Internasional”.
206
Pasal 3 ASEAN Charter berbunyi sebagai berikut: “ASEAN, as an inter-governmental
organisation, is hereby conferred legal personality.”
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
96
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
97
209
Hasil wawancara dengan Dr. Termsak Chalermpalanupap, Director of Political and
Security Cooperation ASEAN Secretariat, pada tanggal 5 Desember 2011, pukul 10.00 WIB.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
98
210
Widdows, loc.cit, hlm. 109.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
99
tersebut ditempatkan pada tempat yang khusus, yang berbeda dengan perjanjian
internasional pada umumnya. Dan hal ini tampaknya diakui di dalam VCLT
berdasarkan Pasal 5. Akan tetapi, pada dasarnya instrumen pokok tersebut tetap
merupakan perjanjian internasional, dan aturan hukum yang mengatur
mengenainya adalah hukum perjanjian internasional yang terdapat di dalam
VCLT.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
100
yang ditujukan untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan tidak terdapat
ketentuan pengunduran diri, tidak dapat dilakukan pengunduran diri.211
Mengenai hak pengunduran diri tersirat dari sebuah perjanjian
internasional dapat dilihat dari ketentuan perjanjian internasional tersebut,
keadaan ketika perjanjian tersebut dibuat, dan sifat dari hal yang diperjanjikan.212
Berkaitan dengan hal ini, Lord McNair mengutip tulisan Brierly.213 Brierly
menyatakan bahwa berkaitan dengan hak untuk pengunduran diri tersirat pada
perjanjian yang tidak mengandung ketentuan pengunduran diri, maka yang harus
dilihat adalah kehendak para pihak. Brierly kemudian menyatakan bahwa untuk
perjanjian internasional yang dibuat untuk jangka waktu yang tidak terbatas,
secara umum tidak dapat dilakukan pengunduran diri. Berkaitan dengan hal ini,
Brierly menyebutkan perjanjian internasional yang dibuat dengan tujuan untuk
membentuk suatu keadaan yang permanen terhadap sesuatu (permanent state of
things), maka terhadap perjanjian internasional tersebut tidak dapat dilakukan
pengunduran diri. Akan tetapi, menurut Brierly, terdapat pula perjanjian
internasional yang berdasarkan sifat dari hal yang diperjanjikannya dapat
dilakukan pengunduran diri meskipun tidak memiliki klausul pengunduran diri.
Contoh dari perjanjian semacam ini adalah modus vivendi, perjanjian persekutuan
dan perdagangan.
Berkaitan dengan pandangan bahwa untuk perjanjian internasional yang
dibentuk untuk jangka waktu yang tidak terbatas atau membentuk suatu keadaan
tertentu yang permanen, maka dapat dikatakan bahwa ASEAN Charter merupakan
suatu perjanjian internasional yang bertujuan untuk jangka waktu yang tidak
terbatas.214 Di dalam ASEAN Charter sendiri tidak terdapat ketentuan mengenai
jangka waktu ataupun pengakhiran dari Charter tersebut sebagai sebuah
perjanjian internasional. ASEAN Charter merupakan perjanjian internasional yang
211
McNair, op.cit, hlm. 511.
212
Ibid.
213
Ibid.
214
Hasil wawancara dengan Dr. Termsak Chalermpalanupap, Director of Political and
Security Cooperation ASEAN Secretariat, pada tanggal 5 Desember 2011, pukul 10.00 WIB.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
101
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
102
semacam itu tidak diberikan hak untuk mengundurkan diri, kecuali disebutkan
diperbolehkan di dalam konstitusi perjanjian internasional yang bersangkutan.216
Di dalam tulisannya, setelah mengutip beberapa contoh praktek dan pandangan
para Penulis, Kelvin Widdows kemudian memberikan kesimpulan bahwa
dikarenakan adanya praktek dan pandangan Penulis yang berbeda-beda mengenai
hal ini, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah dengan tidak membenarkan
adanya suatu hak tersirat untuk pengunduran diri, kecuali apabila para pihak telah
menyatakan adanya kehendak untuk memperbolehkan hal tersebut dalam situasi
tertentu.217
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
103
Piagam tersebut terdapat perbincangan mengenai hal ini, dimana kebanyakan dari
para pihak sepakat untuk tidak memasukkan ketentuan mengenai pengunduran
diri untuk menutupi kekurangan yang terdapat di dalam Liga Bangsa-Bangsa.
Akan tetapi, Uni Soviet menentang hal ini. Menurut Uni Soviet, hak untuk
pengunduran diri tersebut merupakan konsekuensi dari adanya kedaulatan
negara.220 Hans Kelsen kemudian memberikan pandangan di dalam tulisannya
mengenai hal ini. Menurut Hans Kelsen, apabila dengan adanya kedaulatan
mengimplikasikan adanya suatu hak pengunduran diri yang tidak dapat dilanggar
dari organisasi yang dibentuk oleh suatu perjanjian internasional, maka ini berarti
negara berdaulat tersebut hanya terikat pada sebuah perjanjian internasional
selama negara tersebut menghendaki.221 Apabila dasar dari Piagam merupakan
konsep dari kedaulatan yang tidak terbatas, maka tidak ada satupun ketentuan di
dalam Piagam yang mengikat para anggotanya. Dengan demikian, menurut Hans
Kelsen, tidak dapat disangkal bahwa organisasi internasional yang dibentuk oleh
suatu perjanjian internasional memiliki suatu fungsi yang esensial untuk
membatasi kedaulatan dari para anggota.
Berdasarkan pernyataan Hans Kelsen tersebut dapat dikemukakan
beberapa hal. Pertama, meskipun setiap negara memiliki kedaulatannya masing-
masing, namun segera setelah negara tersebut masuk ke dalam perjanjian dengan
negara lain, terutama pada perjanjian yang membentuk suatu organisasi
internasional, maka kedaulatan tersebut menjadi terbatas. Negara yang
bersangkutan tidak dapat dengan sekehendaknya mengundurkan diri. Kedua,
dengan demikian, Hans Kelsen dapat dianggap berpandangan bahwa terhadap
suatu konstitusi organisasi internasional tidak dapat dilakukan pengunduran diri
secara sepihak.
Selanjutnya, pada akhirnya ketentuan mengenai pengunduran diri tidak
dimasukkan ke dalam Piagam PBB. Namun, apakah dengan tidak adanya
ketentuan ini maka pengunduran diri tidak dapat dilakukan? Committee I/2
kemudian memberikan suatu interpretasi terhadap tidak adanya klausul
220
Kelsen, loc.cit, hlm. 33.
221
Ibid.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
104
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
105
kemudian membayarkan kontribusi yang sesuai kepada PBB atas periode non-
partisipasinya di dalam PBB.
Contoh lainnya terjadi di World Health Organization (WHO). Di dalam
Konstitusi WHO tidak terdapat suatu ketentuan mengenai pengunduran diri. Akan
tetapi, terdapat suatu pernyataan deklaratif bahwa suatu anggota tidak lagi terikat
untuk terus menjadi anggota WHO apabila telah terjadi amandemen terhadap
Konstitusi, dan negara yang bersangkutan merasa hak dan kewajibannya menjadi
berubah karena adanya amandemen tersebut sehingga negara yang bersangkutan
tidak menyetujui dan tidak dapat menerima amandemen tersebut.224 Ketika
Amerika Serikat menyampaikan penerimaannya terhadap Konstitusi WHO, untuk
memastikan bahwa Amerika Serikat memiliki hak untuk mengundurkan diri dari
WHO, Amerika Serikat kemudian menyampaikan reservasi atas hak pengunduran
dirinya tersebut.
Meskipun tidak terdapat ketentuan mengenai pengunduran diri dari WHO,
namun masih terdapat beberapa negara yang mencoba untuk melakukan
pengunduran diri dari WHO. Pada tahun 1949, Uni Soviet menyampaikan
pemberitahuan kepada WHO akan kehendaknya ingin mengundurkan diri dari
WHO dikarenakan tidak puasnya Uni Soviet terhadap aspek-aspek pekerjaan dari
WHO. Direktur Jenderal WHO kemudian merespon terhadap pemberitahuan Uni
Soviet ini dengan menyatakan bahwa karena tidak adanya ketentuan mengenai
pengunduran diri di dalam Konstitusi WHO, maka ia tidak dapat menerima
pemberitahuan tersebut sebagai pengunduran diri dari WHO. Setelah itu, beberapa
negara lainnya, yakni Bulgaria, Romania, Albania, Czechoslovakia, dan Polandia
juga menyampaikan pemberitahuan pengunduran dirinya terhadap WHO.
Terhadap pemberitahuan-pemberitahuan yang diperoleh WHO ini diadopsi
resolusi oleh World Health Assemblies bahwa WHO akan selalu menyambut
kembali kelanjutan kerjasama penuh dari para anggota ini. Kemudian, pada Juli
1955, Uni Soviet dan negara-negara lainnya yang menyampaikan pemberitahuan
pengunduran diri tersebut menyatakan keinginannya untuk bergabung kembali
dengan WHO. Terhadap negara-negara ini tidak diberikan prosedur-prosedur
penerimaan negara baru, melainkan hanya menerima kelanjutan kerjasama
224
Widdows, loc.cit, hlm. 100.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
106
4.4.4 Analisis
Dari rumusan Pasal 56 VCLT, pandangan-pandangan para Penulis tersebut
serta praktek yang terjadi di organisasi-organisasi internasional, maka dapat
disimpulkan bahwa pengunduran diri dari konstitusi organisasi internasional yang
tidak memiliki ketentuan mengenai pengunduran diri tidak dapat dilakukan.
ASEAN Charter sebagai konstitusi dari ASEAN tidak memiliki ketentuan
mengenai pengunduran diri, sehingga dengan demikian pengunduran diri dari
ASEAN tidak dapat dilakukan.225 Memang benar negara memiliki kedaulatan
sehingga dapat bertindak berdasarkan kehendaknya. Akan tetapi, seperti yang
telah diketahui kedaulatan tersebut memiliki batasan-batasan, terutama harus
sesuai dengan hukum internasional dan apabila telah melakukan perjanjian maka
negara tersebut terikat dengan perjanjian tersebut. Dalam hal ini hukum
internasional yang membatasi hal tersebut adalah Pasal 56 VCLT. Demikian
halnya dengan perjanjian yang membentuk konstitusi suatu organisasi
internasional. Negara tersebut terikat dengan komitmennya terhadap organisasi
internasional yang bersangkutan. Apabila kedaulatan ini tidak dibatasi, maka
seperti pendapatnya Hans Kelsen, negara hanya terikat dalam suatu perjanjian
selama negara yang bersangkutan menghendaki. Dengan demikian, fungsi dari
perjanjian internasional tersebut tidak dapat terjalani.
ASEAN merupakan suatu organisasi regional di wilayah Asia Tenggara
yang pada dasarnya dibentuk sebagai wadah berdialog dan bertukar pikiran untuk
mengatasi masalah yang ada di kalangan negara berkembang Asia Tenggara ini.
Organisasi ini diharapkan untuk ada dengan jangka waktu yang tidak terbatas.
Tidak adanya suatu pembahasan mengenai kemungkinan mengenai pengunduran
diri ini tidak dilakukan secara tidak sengaja, melainkan dikarenakan hal tersebut
225
Hasil wawancara dengan Abdul Kadir Jailani, Kasubdit Perjanjian Politik dan
Keamanan, Direktorat Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan, Kementerian Luar Negeri,
pada tanggal 19 Desember 2011, pukul 11.00 WIB.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
107
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
108
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
109
Berdasarkan Pasal 20 ayat (4) ASEAN Charter secara jelas disebutkan bahwa
masalah pelanggaran kewajiban akan diberikan kepada ASEAN Summit untuk
diambil kebijakan. Selain itu, sebagai badan pengambil kebijakan tertinggi di
dalam ASEAN berdasarkan Pasal 7 ayat (2) ASEAN Charter, maka ASEAN
Summit berwenang mengambil kebijakan dalam menangani situasi-situasi yang
berdampak pada ASEAN. Dengan demikian, apabila suatu negara memaksa untuk
mengundurkan diri sehingga mengakibatkan tidak terpenuhi kewajibannya, maka
terhadap negara tersebut dapat diadukan kepada ASEAN Summit.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
110
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
111
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
112
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
113
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
114
dari organisasi ini pun tidak terdapat di dalam ASEAN Charter. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Dr. Termsak Chalermpalanupap, yaitu Direktur Politik dan
Keamanan di Sekretariat ASEAN, disebutkan juga bahwa ASEAN memang
dibentuk dengan tujuan jangka waktu yang tidak terbatas. Dengan demikian, maka
hal ini juga memberikan alasan kedua terhadap mengapa pengunduran diri dari
ASEAN tidak dapat dilakukan.
Selain itu, apabila melihat pada praktek-praktek yang terdapat di dalam
organisasi internasional lainnya, maka hal ini juga dapat membuktikan bahwa
pengunduran diri dari ASEAN tidak dapat dilakukan. PBB dan WHO merupakan
dua di antara organisasi-organisasi internasional yang tidak memiliki ketentuan
mengenai pengunduran diri. Pada kasus pengunduran diri Indonesia dari PBB,
pada akhirnya pengunduran diri tersebut tidak diakui oleh PBB. Indonesia hanya
dianggap sebagai anggota yang tidak aktif. Hal ini dibuktikan dengan pembayaran
kontribusi yang dilakukan Indonesia kepada PBB untuk jangka waktu non-
aktifnya, ketika Indonesia kembali pada PBB. Hal yang sama juga terjadi pada
WHO, ketika negara-negara yang menyatakan pengunduran dirinya tersebut juga
dianggap sebagai anggota yang non-aktif. Hal ini juga dibuktikan dengan
dibayarnya kontribusi oleh negara-negara tersebut kepada WHO untuk jangka
waktu non-aktifnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengunduran
diri dari ASEAN tidak dapat dilakukan. Namun, terhadap hal ini timbul
permasalahan mengenai bagaimana halnya apabila negara-negara tersebut
bersikeras untuk mengundurkan diri. Organisasi internasional memang tidak
dilengkapi dengan sanksi hukum yang imperatif sehingga tidak bisa mencegah
suatu negara untuk mengundurkan diri. Apabila suatu negara bersikeras untuk
mengundurkan diri dari ASEAN (atau organisasi internasional lain), maka dapat
dikatakan bahwa negara anggota yang bersangkutan terus menerus melanggar
kewajibannya sebagai anggota. Terhadap negara ini dapat diambil langkah
sebagai pelanggaran kewajiban. Pada ASEAN maka permasalahan ini diserahkan
kepada ASEAN Summit sebagai institusi pengambil kebijakan berdasarkan pada
Pasal 20 ayat (4).
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
115
5.2 Saran
Pada prakteknya, memang banyak terdapat organisasi internasional yang
tidak mengatur mengenai masalah pengunduran diri dikarenakan dengan adanya
ketentuan pengunduran diri tersebut malah dapat mendorong kemungkinan
terjadinya pengunduran diri. Selain itu, ketentuan mengenai pengunduran diri
memang secara sengaja tidak dimasukkan karena dimaksudkan untuk membuat
suatu perjanjian yang memiliki jangka waktu yang tidak terbatas. ASEAN Charter
merupakan salah satu instrumen pokok organisasi internasional yang seperti itu.
Akan tetapi, akan lebih baik apabila di dalam suatu instrumen pokok setidaknya
diberikan suatu pengaturan mengenai pengunduran diri. Seperti yang terjadi
dalam EU, pengaturan mengenai pengunduran diri pada akhirnya dimasukkan
dikarenakan ada pemikiran bahwa apabila suatu negara sebenarnya ingin
mengundurkan diri maka dengan memaksa negara tersebut untuk terus terikat di
dalam suatu organisasi internasional akan membuat negara tersebut menjadi tidak
produktif bagi organisasi internasional yang bersangkutan. Atau setidaknya, suatu
Deklarasi Interpretatif seperti yang terdapat di dalam PBB diperlukan agar
terdapat kejelasan mengenai pengunduran diri dari ASEAN. Pengaturan mengenai
pengunduran diri tersebut dapat diatur secara terbatas, seperti misalnya
pengunduran diri hanya diperbolehkan apabila terjadi suatu keadaan rebus sic
stantibus dan pengunduran diri yang tidak berdasarkan alasan tersebut tidak
diperbolehkan. Akan lebih baik juga apabila diberikan semacam suatu bentuk
sanksi bagi negara yang mengundurkan diri tidak berdasarkan alasan yang
diperbolehkan tersebut. Hal ini dilakukan agar terdapat suatu kejelasan mengenai
mekanisme pengunduran diri dari ASEAN.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
116
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Direktorat Jenderal Kerja sama ASEAN. ASEAN Selayang Pandang Edisi Ke-19,
Tahun 2010. Jakarta: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2010.
Fry, Gerald W. The Association of Southeast Asian Nations. New York: Infobase
Publishing, 2008.
Mamudji, Sri, et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Nincic, Djura. The Problem of Sovereignity in the Charter and in the Practice of
the United Nations. Den Haag: Martinus Nijhoff Publishers, 1970.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
117
Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Ilmu Negara. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2009.
Wallace, Rebecca M.M. International Law. London: Sweet & Maxwell, 1992.
Athanassiou, Phoebus. “Withdrawal and Expulsion from the EU and EMU, Some
Reflections”. Legal Working Paper Series No. 10 (Desember, 2009).
Johansen, Ove dan Carsten Lehmann Sorensen, “Greenland’s Way out of the
European Community”, The World Today (Juli-Agustus, 1983).
Kelsen, Hans. “Withdrawal from the United Nations”. The Western Political
Quarterly (Maret, 1948).
Schwelb, Egon. “Withdrawal from the United Nations: the Indonesian
Intermezzo”. The American Journal of International Law (Juli, 1967).
Tyagi, Yogesh. “The Denunciation of Human Rights Treaties”. British Year Book
of International Law (2008).
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012
118
PERJANJIAN INTERNASIONAL
United Nations. Charter of the United Nations and Statute of the International
Court of Justice. San Francisco, 26 Juni 1945.
WAWANCARA
Hasil wawancara dengan Abdul Kadir Jailani, Kasubdit Perjanjian Politik dan
Keamanan, Direktorat Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan,
Kementerian Luar Negeri, pada tanggal 19 Desember 2011, pukul 11.00
WIB.
Universitas Indonesia
Ketentuan hukum..., Justisia Sabaroedin, FH UI, 2012