Anda di halaman 1dari 23

METODE PRESEPTORSHIP DAN MENTORSHIP

A. Preceptorship
1. Pengertian Preceptorship
Bimbingan klinik adalah segala bentuk tindakan edukatif yang dilaksanakan oleh
pembimbing klinik untuk memberikan pengetahuan nyata secara optimal dan membantu
peserta didik agar mencapai kompetensi yang diharapkan. Tujuan pelaksanaan bimbingan
klinik yaitu membantu peserta didik menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat praktek,
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang dipelajari dikelas secara terintegrasi ke situasi nyata, dan mengembangkan
potensi peserta didik dalam menampilkan perilaku atau keterampilan yang bermutu ke situasi
nyata dalam praktek. Selain itu, bimbingan klinik juga bertujuan untuk memberi kesempatan
kepada peserta didik mencari pengalaman kerja secara tim dalam membantu proses
kesembuhan klien, memberi pengalaman awal dan memperkenalkan kepada peserta didik
tentang situasi kerja profesional kebidanan, dan membantu peserta didik mengatasi masalah
yang dihadapi di lahan praktek, serta membantu peserta didik dalam mencapai tujuan praktek
klinik.
Menurut Mahen dan Clark (1996), preceptor adalah seorang perawat/bidan yang
mengajar, memberikan bimbingan, dapat menginspirasi rekannya, menjadi tokoh panutan
(Role model), serta mendukung pertumbuhan dan perkembangan individu (trainee) untuk
jangka waktu tertentu dengan tujuan khusus mensosialisasikan trainee pada peran barunya.
Tujuan dari model preceptorship sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu makro
(skala luas) dan mikro (skala individu).
Secara mikro bertujuan untuk melibatkan pengembangan bidan didalam organisasi.
Shamian dan Inhaber (1985) menyatakan bahwa model preceptorship digunakan sebagai alat
ssosialisasi dan orientasi. Hill dan loweinstein (1992) memandang model preceptorship
sebagai salah satu metode rekrutmen staf. Akses ke pengetahuan organisasi dan praktik
klinik tidak dapat di prediksi oleh bidan baru, sehingga diskusi anatara preceptor dan
preceptee diperlukan untuk memberikan praktik terkini dalam lingkungan klinik dengan
harapan preceptee akan memiliki kemampuan yang sama dengan preceptornya.
2. Keuntungan Preceptorship
Ada beberapa keuntungan dari preceptorship, keuntungan bagiperawat baru atau
mahasiswa, keuntungan bagi perawat klinik,keuntungan bagi preceptor sendiri dan
keuntungan bagi profesi. Keuntungan-keuntungan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Perawat Baru
Sebagai perawat baru, preceptorship dapat memberikan beberapa manfaat,
yaitu: preceptoship dapat membantu seorang perawat baru dalam mengembangkan
kepercayaan diri, preceptorshipdapat menjadi tempat sosialisasi profesional untuk masuk
kedalam lingkungan kerja, meningkatkan kepuasan kerja sehingga meningkatkan kepuasan
pasien/klien, dihargai dan dihormati oleh organisasi pelayanan, diakui dan adanya kepastian
pengembangan karier dimasa depan, merasa bangga dan berkomitmen dalam tujuan dan
strategi organisasi perusahaan, mengembangkan kesepahaman tentang komitmen untuk
bekerja dalam profesi dan ketentuan-ketentuan dari lembaga yang berwenang/ konsil
keperawatan, pribadi yang tanggung jawab untuk memelihara pengetahuan
terkini, preceptorship mengurangi stress seorang perawat baru karena ia dibimbing dan
diarahkan sesuai kompetensinya, untuk pengembangan diri yang signifikan karena lebih
membentuk pemahaman yang lebih atas kompetensinya sehingga dapat mengembangkan
karakternya, dan manfaat yang terakhir dari preceptorship pada seorang perawat baru adalah
menunjukkan sikap, pengetahuan dan keahlian (kompetensi) baru.
b. Perawat klinik
Preceptorship juga memberikan beberapa manfaat pada perawat klinik, yaitu: dapat
meningkatkan kualitas perawatan pasien, membantu meningkatkan perekrutan dan
pengurangan perawat klinik, dapat mengurangi sakit dan absen karena tidak ada lagi alasan
stres dan takut masuk kerja karena kekurangannya dalam sebuah atau beberapa bidang yang
diluar kompetensinya, pengalaman pemberian pelayanan semakin meningkat setelah masuk
dalam preceptorship, dapat meningkatkan kepuasan staf, peluang mengidentifikasi staf yang
membutuhkan dukungan tambahan atau perubahan peran, mengurangi risiko keluhan dari
pasien dan keluarga pasien, kesempatan mencari bakat pemimpin
yang ada pada dirinya sendiri, praktisi memahami dampak peraturan–peraturan terhadap
pemberian pelayanan dan mengembangkan hasil (outcome) / pendekatan berbasis bukti
(evidence base), mengidentifikasi staf yang memerlukan dukungan
tambahan lebih lanjut.
c. Pembimbing Klinik/Preceptor
Manfaat preceptorship pada preceptor sendiri adalah dapat mengembangkan penilaian,
supervisi, bimbingan dan ketrampilan yang mendukung. Dapat menimbulkan perasaan
tentang nilai organisasi, praktisi perawat baru dan pasien. Dapat mengidentifikasi komitment
profesi dan ketentuan-ketentuan peraturan. Dapat mendukung pembelajaran sepanjang hayat,
serta dapat membantu dalam meningkatkan keinginan karier dan aspirasi kedepan
seorang preceptor.
d. Profesi.
Manfaat dari preceptorship bagi profesi mencakup tanggung jawab profesional diantaranya:
memberikan standar praktek tinggi dan pelayanan perawatan sepanjang waktu. Keperawatan
menjadi prioritas, pengguna pelayanan keperawatan, sebagai individu dan menghormati
martabatnya. Dapat bekerja sama dengan orang lain untuk melindungi dan meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan keperawatan, keluarga, karier dan masyarakat luas. Menjadi
lebih
terbuka dan jujur, bertingkah laku dengan integritas, menegakkan reputasi profesi.
Meningkatkan image pelayanan keperawatan kesehatan profesional. Meningatkan dukungan
kepada lulusan baru. Membantu perawat dalam menjaga dan memperoleh kompetensi.
Meningkatkan jumlah perawat dengan jiwa kepemimpinan dan kemampuan mengajar.
Meningkatakan retensi keperawatan. Mengurangi kebutuhan untuk melakukan rekrutmen
dan pendidikan kepada perawat (CNA, 2004).
3. Tujuan Preceptorship
Preceptorship secara mikro (bagi individu) adalah untuk membenatu proses transisi dari
pembelajar ke praktisioner (mahen dan Clark, 1996) mengurangi dampak syok realita
(Kramer, 1947) dan memfasilitasi bidan untuk berkembang apa yang dihadapi dalam
lingkungan barunya (bain, 1996). Fokus pada efisiensi dan efektifitas layanan kebidanan
yang berkembang cepat sering kali mem menimbulkan culture shock tersendiri khususnya
bagi bidan baru.
4. Kriteria Preceptorship
Tidak semua bidan senior dan medio dapat memiliki criteria sebagai seorang preceptor.
UKCC (1993) menganjurkanbahwa preceptor adsalah bidan yang memiliki pengalaman
minimal 12 tahun dibidang yang sama atau bidang yang masih berhubungan. Ketrampilan
komunikasi dan kepemimpinan, kemampuan membuat keputusan yang tepat, dan mendukung
perkembangan professional merupakan hal
terpenting (shamian dan Inhaber, 1985). Secara garis besar dapat disimpulkan criteria seorang
preceptor yang berkualitas adalah berpengalaman dan ahli di lingkungan klinik, berjiwa
kepemimpinan, ketrampilan komunikasi yang baik, kemampuan membuat keputusan,
mendukung perkembangan professional, memiliki kemauan untuk mengajar dan mengambil
peran dalam penerapan model preceptorship, tidak mempunyai sikap yang menilai terlalu
awal pada rekan kerja asertif, fleksibilitas untuk berubah, mapu beradaptasi dengan
pembelajaran individu.
Faktor kunci dlam pengembangan dan implementasi model preceptorship adalah
keterlibatan staf yang berpengalaman di semua tingkatan, ketersediaan literature untuk
mendapatkan kepahaman praktik yang terbaik, dan penggunaan pengetahuan yang diperoleh
untuk dijadikan panduan dlam praktik. Penggunaan kobinasi dari strategi perubahan dan
program pendidikan staf dapat diimplementasiakn untuk meningkatkan model preceptoship.
Komitmen dan dukungan dari bidang kebidanan merupakan salah satu faktor penting. Hal
terakhir untuk menilai keberhasilan penerapan model preceptorship harus dilakukan melalui
audit yang sudah distandarisasi
Isu-isu yang dipertimbangkan dlam memberikan panduan bagi program kemitraan
preceptor dan preceptee adalah sebagai berikut :
a. Mengenalkan program
b. Mengidentifikasi dari tujuan pribadi serta institusi dan tujuan yang dapat diukur
c. Identifikasi kebutuhan pelatihan
d. Menyediakan sumber dukungan
e. Rencanakan praktik terkini
f. Diskusi awal mengenai pengembangan profesioanal dan pengenalan supervise klinik
Menurut Cerinus dan Ferguson (1994) bahwa tanggung jawab dari seorang preceptor
diantaranya sebagai berikut :
a. Preceptor bertanggung jawab terhadap pengkajian yang dilakukan preceptee
b. Merencanakan model preceptorship untuk mendesain sesuai kebutuhan preceptee
c. Melakukan peran pengajaran dan sebagai role model
d. Melakukan evaluasi pada preceptee selama penerapan model preceptorship.
Secara umum tanggung jawab seorang preceptor dibagi menjadi dua golongan sebagai
berikut :
a. Mengorientasikan dan mensosialisasikan preceptee pada masing-masing unit
b. Menilai perkembangan dari tujuan yang akan dicapai preceptee
c. Merencanakan kolaborasi dan implementasi program pembelajaran untuk memenuhi
kebutuhan preceptee
d. Melakukan tindakan sebagai role model
e. Mengobservasi dan mengevaluasi perkembangan preceptee
f. Memfasilitasi pengembangan dari apa yang harus dikuasai preceptee melalui model
preceptorship.

B. Mentorship
1. Pengertian Mentorship
Mentorship adalah suatu hubungan antara dua orang yang memberikan kesempatan untuk
berdiskusi yang menghasilkan refleksi, melakukan kegiatan/tugas dan pembelajaran untuk
keduanya yang didasarkan kepada dukungan, kritik membangun, keterbukaan, kepercayaan,
penghargaan dan keinginan untuk belajar dan berbagi (Rolfe-Flett, 2001; Spencer, 1999
dikutip dalam Werdati, 2007).Mentorship dapat juga diartikan sebagai proses pembelajaran
dimana mentor mampu membuat menti (peserta mentorship) yang tadinya tergantung
menjadi mandiri melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar yang diharapkan terjadi yaitu
mengalami sendiri dan menemukan sendiri fenomena praktek kebidanan dimana hal ini
diharapkan dapat membangun kepercayaan diri, harga diri dan kesadaran diri yang
merupakan fundamental dalam penyelesaian masalah (Nurachmach, 2007).
Metode ini telah diaplikasikan sejak lama dalam pendidikan keperawatan dan disiplin
ilmu lainnya dalam kesehatan, khususnya diluar negeri. Bahkan hasil review atas pelaksanaan
mentorship menyatakan bahwa mentorship dapat mengatasi kekurangan tenaga bidan,
meningkatkan kepuasan bidan serta memperbaiki kualitas pelayanan (Block & Korow, 2005).
Sejauh ini belum ada catatan pelaksanaan mentorship dalam sistem pendidikan kebidanan
maupun kesehatan di Indonesia.
Metode ini memberikan kesempatan kepada para mentor untuk memantau secara
mendetil perkembangan menti, dimana satu orangmenti digandengkan dengan 1 orang
mentor, kemudian diberikan kesempatan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan
yang didapatkan melalui interaksi dengan teman sejawat yang telah memiliki pengalaman
sehingga terbangun rasa percaya. Untuk dapat membuktikan bahwa mentorship ini memang
mampu untuk menjawab kekurangan yang ada dari metode pengajaran klinik sebelumnya
serta dapat diaplikasikan pada sistem pelayanan kebidanan di Indonesia umumnya dan
Sumatera Barat umumnya, maka perlu dilakukan sebuah penelitian yang menerapkan
mentorship ini.
Literatur menunjukkan penerapan mentorship dalam proses pembelajaran klinik
kebidanan di luar negeri mampu meningkatkan pencapaian kompetensi peserta didik.
Selanjutnya, mentorship juga diakui dapat meningkatkan rasa percaya diri, harga diri dan
kesadaran diri calon bidan serta meningkatkan kesiapan bidan dalam menghadapi dunia kerja.
Dari sisi organisasional kebidanan, keberadaan para menti dapat membantu mengatasi
masalah kekurangan tenaga bidan. Namun demikian, pelayanan kebidanan di Indonesia
menganut sistem yang berbeda dengan pelayanan kebidanan di luar negeri. Hal ini selalu
diupayakan dalam rangka meningkatkan kepuasan pengguna layanan kebidanan.
Dengan perubahan paradigma dalam pendidikan dan perubahan kondisi kehidupan,
konsep pembelajaran pada pendidikan profesi kebidanan mengintegrasikan segala sumber
yang ada kedalam suatu bentuk sistem pembelajaran yang diharapkan lebih efektif dalam
pencapaian kompetensi, yaitu yang memiliki prinsip dasar belajar aktif dan mandiri. Salah
satu metode pembelajaran yang memenuhi kriteria tersebut adalah mentorship (Nurachmach,
2007).
2. Keuntungan dan Kerugian Mentorship
a. KEUNTUNGAN MENTOR (pembimbing klinik)
1) Mentor akan belajar dan melakukan refleksi-perspektif yang luas, mengembangkan
pandangan baru tentan masalah dan mengetahui lebih baik dari kebutuhan / peralatan lain.
2) Kesempatan untuk melangkah diluar rutinitas normal, menjadi lebih objektiv dan untuk
belajar terhadap pertanyaan asumsi sendiri dan mental model
3) Puas dalam memberikan kontribusi positif untuk pengembangan individu dan organisasi
b. KEUNTUNGAN MENTEE (peserta didik)\
1) Perpindahan fundamental dalam ketrampilan individu dan kemawasdirian
2) Pengembangan pendekatan seumur hidup untuk belajar mandiri
Meningkatkan penerimaan untuk kompetensi manajerial
3) Mengembangkan jaringan melintasi spektrum yang luas dari penyedia layanan dalam kondisi
normal.
4) Meningkatkan kapasitas untuk membuat “kemampuan belajar mengaplikasikan” dengan
konteks organisasi .
5) Meningkatkan kemampuan sebagai sumber ide dan praktek dari pandangan organisasi dan di
intergrasikan kedalam dirinya.
6) Meningkatkan mawas diri, otonomi dan percaya diri.
c. KERUGIAN MENTORSHIP
1) Kesulitan / Problem untuk mentoring
2) Memerlukan waktu
3) Kesempatan dan biaya untuk karyawan
4) Saat stress atau krisis konseling dibutuhkan
5) Saat hubungan menjadi disfungsional

Toxic/racun Mentoring (bila proses mentoring tidak berjalan dengan baik) :


(a) Dumpers / sampah : tidak “mendapat” pada akhir proses
(b) Blockers / hambatan : menghindari pertemuan dengan orang yang dibutuhkan
(c) Destroyers / rusak: kegagalan yg berulang, menyebabkan terlihat tidak penting, mencari
kesalahan
3. Karakteristik Mentorship
Adapun 5 karakteristik mentorship yaitu sifat hubungan yang menguatkan dan
memberdayakan, menawarkan serangkaian fungsi menolong/membantu untuk memfasilitasi
pembinaan dan memberikan dukungan, perannya meliputi keterkaitan antara aspek personal,
fungsional dan hubungan, dan tujuan individu (menti) dan fungsi penolong ditetapkan oleh
individu yang terlibat, serta bisa saling memilih (siapa mentor dan menti) dan diidentifikasi
fase hubungannya. Hal ini akan memberikan kenyamanan bagi mentor maupun menti dalam
membangun hubungan dan bagi pengembangan diri.
4. Fase Hubungan dalam Mentoring
Fase hubungan dalam mentoring terdiri dari 4 fase yaitu fase inisiasi, fase perencanaan,
fase pelaksanaan dan fase terminasi. Fase inisiasi berfokus pada mengidentifikasi kesamaan
karakteristik antara individu mentor dan menti, kemampuan atau pengakuan nilai-nilai yang
dianut. Hal yang penting disadari pada fase perencanaan adalah bahwa terhadap keterbatasan-
keterbatasan dari peran mentor dan kemampuan menti. Negosiasi atas pengharapan dilakukan
dan klarifikasi dikemukakan untuk meningkatkan kepuasan pada akhir hubungan mentorship.
Pada fase kerja, fokus utamanya adalah pertumbuhan dan perkembangan dari hubungan dan
pencapaian tujuan dalam mentoring. Kesinambungan hubungan mentoring dipertahankan
melalui interaksi mentor dan menti dan meningkatnya rasa percaya dan kedekatan yang
dibangun.
Sejalan dengan perkembangan fase ini, rasa percaya dan berbagi menjadi terbentuk dan
menti menjadi lebih siap untuk memilah bentuk bantuan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Menti secara bertahap menjadi lebih mandiri dan hanya kadang-kadang mengharapkan
bantuan. Pada perjalanan selanjutnya, menti dengan segala pemahaman barunya menjadi
seorang yang ingin mencoba dan mengambil resiko yang terus dipantau serta didukung. Pada
akhir fase ini, kepercayaan diri menti terus meningkat.
Pada fase terminasi, menti bekerja dan bertindak atas inisiatif sendiri dan pada posisi ini
menti telah bekerja secara mandiri. Jika proses dirasakan bermanfaat oleh kedua pihak, maka
keduanya dapat mempertahankan hubungan pertemanan. Masalah potensial dalam hubungan
mentorship dapat berupa mentor yang over protektif atau terlalu mengontrol sehingga
membekukan kreatifitas dan inovasimenti. Eksploitasi dapat terjadi jika mentor memiliki
tujuan untuk pelayanan pribadi mentor.
MAKALAH PRESEPTORING

Preseptoring merupakan suatu program yang dilakukan untuk memberikan dukungan kepada
bidan baru atau mahasiswa yang sedang praktik di rumah sakit agar tercipta orientasi dan
adaptasi yang sukses.Preseptoring merupakan salah satu bentuk pembelajaran klinik di rumah
sakit.Preseptoring sendiri di Indonesia masih sangat jarang dikenal, terbukti dengan sulitnya
mencari jurnal penelitian atau artikel terkait dengan Preseptoring.Hasil wawancara terhadap 5
orang preceptor didapatkan bahwa 4 orang diantaranya belum mengetahui apa itu
Preseptoring.Kata bimbingan klinik jauh lebih dikenal oleh para praktikan, bidan, maupun CI
(Clinical Instructur).

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Sang Pencipta Allah SWT yang telah
menggerakkan tangan Penulis, untuk menyelesaikan Makalah dengan
judul“PRESEPTORING”.
Dalam penyusunan makalah ini Penulis memperoleh arahan, bimbingan serta motivasi
dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
terutama dosen pengampu Mata Kuliah METODIK KHUSUS yang telah banyak
memberikan masukan.
Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu Penulis
dengan segala rasa hormat dan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna penyempurnaan dan pengembangan makalah ini.
Akhir kata Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
Penulis dan umumnya bagi kita semua serta pengembangan ilmu pengetahuan.

Sukabumi, Oktober 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan Penulisan...................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Preseptoring..........................................................................................
1. Pengertian Preseptoring..................................................................
2. Elemen-elemen di dalam Preseptoring............................................
3. Keuntungan Preseptoring...............................................................
4. Pertimbangan Keberhasilan Program Preseptoring.........................
B. Preceptor...............................................................................................
1. Definisi Preceptor...........................................................................
2. Karakteristik Preceptor...................................................................
3. Kompetensi Preceptor....................................................................
4. Peran Preceptor...............................................................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan...........................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu cara untuk mengembangkan mutu pembelajaran klinik adalah dengan
menerapkan metode preseptorship yang baik. Pengalaman praktek yang maksimal selama
dilapangan praktek akan dapat mengintegrasikan semua pengetahuan, keterampilan dan sikap
mahasiswa yang akan menjadi bekal bagi mahasiswa setelah selesai dari institusi pendidikan.
Preseptorsip adalah suatu metode pengajaran dimana seorang praktisi
yang memilikipengalaman di bidangnya yang mampu memberikan dukungan kepada
mahasiswa dalam memahami perannya dan hubungan kesejawatan. Preseptorsip bersifat
formal, disampaikan secara perseorangan dan individu dalam waktu yang sudah ditentukan
sebelumnya antara perawat yang berpengalaman (preseptor) dengan perawat baru (preseptee)
yang didesain untuk membantu perawat baru untuk menyesuaikan diri dengan baik dan
menjalankan tugas yang baru sebagai seorang perawat atau bidan. Menurut CAN (2004)
program preseptorsip dalam pembelajaran bertujuan untuk membentuk peran dan tanggung
jawab mahasiswa untuk menjadi perawat yang profesional dan berpengetahuan tinggi,
dengan menunjukan sebuah pencapaian berupa memberikan perawatan yang aman,
menunjukan akuntabilitas kerja, dapat dipercaya, menunjukan kemampuan dalam
mengorganisasi perawatan pasien dan mampu berkomunikasi dengan baik terhadap pasien
dan staf lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian preseptoring?
2. Apa saja elemen-elemen di dalam preseptoring?
3. Apa saja keuntungan preseptoring?
4. Bagaimana pertimbangan-keberhasilan program preseptoring?
5. Apa definisi preceptor?
6. Bagaimana karakteristik preceptor?
7. Apa saja kompetensi preceptor?
8. Bagaimana peran preceptor?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian preseptoring
2. Untuk mengetahui elemen-elemen di dalam preseptoring
3. Untuk mengetahui keuntungan preseptoring
4. Untuk mengetahui pertimbangan- keberhasilan program preseptoring
5. Untuk mengetahui definisi preceptor
6. Untuk mengetahui karakteristik preceptor
7. Untuk mengetahui kompetensi preceptor
8. Untuk mengetahui peran preceptor

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Preseptoring
1. Pengertian Preseptoring
Preseptoring adalah suatu metode pengajaran dan pembelajaran kepada mahasiswa
dengan menggunakan bidan sebagai model perannya. Preseptoring bersifat formal,
disampaikan secara perseorangan dan individual dalam waktu yang sudah ditentukan
sebelumnya antara bidan yang berpengalaman (preceptor) dengan bidan baru (preceptee)
yang didesain untuk membantu bidan baru untuk menyesuaikan diri dengan baik dan
menjalankan tugas yang baru sebagai seorang bidan. (CNA, 1995). Program Preseptoring
dalam pembelajaran bertujuan untuk membentuk peran dan tanggung jawab mahasiswa untuk
menjadi bidan yang profesional dan berpengetahuan tinggi, dengan menunjukan sebuah
pencapaian berupa memberikan bidanan yang aman, menunjukan akuntabilitas kerja, dapat
dipercaya, menunjukan kemampuan dalam mengorganisasi bidanan pasien dan mampu
berkomunikasi dengan baik terhadap pasien dan staf lainnya (CNA, 2004)
Menurut NMC (Nurse Midwifery Council di UK 2009) mendefinisikan Preseptoring
sebagai suatu periode (Preseptoring) untuk membimbing dan mendorong semua praktisi
kesehatan baru yang memenuhi persyaratan untuk melewati masa transisi bagi mahasiswa
untuk mengembangkan kemampuan praktik mereka lebih lanjut (Keen, 200).
Waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan Preseptoring adalah sekurang-kurangnya 1-
2 bulan. Lama waktu pelaksanaan biasanya ditentukan oleh institusi pendidikan atau pegawai
yang mengetahui karakteristik dari mahasiswa atau praktisi, persyaratan yang dibutuhkan dan
karakteristik tempat di mana pelaksanaan Preseptoring akan dilakukan. Seorang preceptor
adalah orang yang mampu melakukan dan telah mendapatkan kompetensi dasar yang
dibutuhkan bagi seorang pemula. Beberapa kompetensi yang diberikan oleh preceptor akan
disesuaikan oleh tempat di mana mereka bekerja dan disesuaikan oleh masing-masing bidang
kebidanan oleh peran preceptor.
Peran serta preceptee terdapat dalam pengkajian dan evaluasi formatif dan sumatif.
Evaluasi dalam program Preseptoring dapat dilaporkan kepada institusi dengan meyakinkan
bahwa mahasiswa telah mendapatkan kompetensi yang dibutuhkan dalam keamanan diri,
etika dan praktek yang kompeten.
Kebanyakan sekolah bidan mempunyai program untuk mengikutsertakan Preseptoring
untuk membantu mahasiswa mendapatkan kompetensi klinik dan mempersiapkan mereka
untuk masa transisi terhadap tempat bekerja, khususnya di fase akhir dari program. Institusi
pendidikan kebidanan yang menerima mahasiswa dari unit lain tetapi ingin mendapatkan
gelar di bidang kebidanan, juga menggunakan
Preseptoring untuk membantu menyesuaikan dengan peran yang baru. Pada akhirnya
pengembangan staf di fasilitas layanan kesehatan yang menggunakan Preseptoring untuk
mengorientasikan pegawai baru atau bidan yang pindah dari unit yang berbeda telah menjadi
hal biasa saat ini.

2. Elemen-elemen di dalam Preseptoring


Menurut Ann Keen (2004) dalam bukunya yang berjudul “Preseptoring Framework”
elemen-elemen Preseptoring meliputi bidan baru, preceptor, dan bidan klinik.
a. Bidan baru
1) Kesempatan untuk menerapkan dan mengembangkan pengetahuan, kemampauan dan nilai-
nilai yang telah dipelajari.
2) Mengembangkan kompetensi spesifik yang berhubungan dengan peran preceptee.
3) Akses dukungan dalam menanamkan nilai-nilai dan harapan- harapan profesi.
4) Personalisasi program pengembangan yang mencakup pembelajaran post-registrasi seperti
kepemimpinan, manajemen, dan bekerja secara efektif dalam tim multi disiplin.
5) Kesempatan untuk merefleksikan praktek dan menerima umpan balik yang konstruktif.
6) Bertanggung jawab atas pembelajaran individu dan pengembangan dari pembelajaran
tentang pengelolaan diri.
7) Kelanjutan dari pembelajaran sepanjang hayat.
8) Meningkatkan cakupan prinsip-prinsip peraturan konsil kebidanan.

b. Preceptor
1) Bertanggung jawab untuk mengembangkan orang lain secara profesional agar mencapai
potensi.
2) Ikut merumuskan dan terus menunjukkan pengembangan profesional.
3) Bertanggung jawab untuk mendiskusikan praktek individu dan memberikan umpan balik.
4) Bertanggung jawab untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman individu yang dimiliki.
5) Memiliki wawasan dan empati dengan praktisi bidan baru selama fase transisi.
6) Bertingkah laku sebagai role model yang teladan.
7) Menerima persiapan sebagai peran.
8) Meningkatkan cakupan prinsip-prinsip peraturan konsil kebidanan.

c. Bidan klinik
1) Proses penjaminan kualitas.
2) Menanamkan kerangka pengetahuan dan sikap diawal kerja.
3) Mempromosikan dan mendorong kultur kerja yang terbuka, jujur, dan transparan diantara
para staf kebidanan,
4) Mendukung pemberian pelayanan kesehatan yang berkualitas dan efisien.
5) Mengindikasikan komitmen organisasi dalam pembelajaran.

3. Keuntungan Preseptoring
Mahasiswa yang telah secara formal diberikan pendidikan oleh preceptor menunjukan
tingkat sosialisasi dan performa yang lebih baik (Udlis, 2006).Program Preseptoring juga
telah terbukti bermanfaat dalam mengendalikan biaya melalui retensi bidan baru, peningkatan
kualitas pelayanan, dan mendorong pengembangan professional. Studi deskriptif yang
dilakukan oleh (Kim, 2007) menemukan bahwa kompetensi
kebidanan diantara para mahasiswa bidan senior secara positif berhubungan dengan
partisipasi dalam program Preseptoring klinis. Bagi partisipan, Preseptoring sebagai sarana
untuk memfasilitasi suksesnya proses masuk dan orientasi di profesi kebidanan, membantu
dalam pengembangan kemampuan serta efektivitas waktu. Bagi preceptor akan
mendapatkan kepuasan ketika seorang pemula yang dibimbingnya menjadi lebih percaya diri
(Neumanet. al.,2004; Wright, 2002).
Preceptor mendapatkan keuntungan dari meningkatnya harga diri dan kesadaran diri
sebagai seorang panutan. Bagi institusi, Preseptoring meningkatkan kualitas dari praktik
profesi kebidanan dan lebih menghemat biaya dari pada orientasi secara manual. Program
Preseptoring memberikan keuntungan kepada semua komponen yang terdapat didalamya.
Canadian Nurse Association (CNA) menyebutkan ada tiga pihak yang mendapatkan
keuntungan dari program Preseptoring ini yaitu preceptee (partisipan), institutuion (institusi
pendidikan) , dan profession (profesi)
a. Bagi peceptee (partsipan)
1) Adanya peningkatan kepuasan kerja.
2) Penurunan tingkat stress bagi mahasiswa.
3) Perkembangan diri yang signifikan.
4) Meningkatkan kepercayaan diri.
6) Penciptaan sikap, pengetahuan, dan kemampuan yang lebih baik.
a. Bagi institusi
1) Penghematan biaya bidanan.
2) Meningkatkan perekrutan bidan baru.
3) Peningkatkan upaya penyembuhan terhadap pasien.
4) Meningkatkan loyalitas intsitusi.
5) Meningkatkan produktivitas.
b. Terhadap profesi kebidanan
1) Meningkatkan dukungan terhadap lulusan baru.
2) Meningkatkan kualitas kerja bagi bidan yang sudah bekerja,
3) Mengurangi angka perekrutan bidan.
4) Meningkatkan jumlah bidan yang mempunyai nilai kepemimpinan dan pengajaran yang
baik.

Menurut Ann Keen (2004) dalam bukunya “Preseptoring Framewok” terdapat


keuntungan dalam mengimplementasikan Preseptoring yang berdampak pada peningkatan
kepuasan pasien. Ann Keen menyebutkan terdapat empat pihak yang mendapat keuntungan
dengan adanya program Preseptoring ini.
a. Praktisi yang baru terdaftar
1) Meningkatkan kepercayaan diri.
2) Sosialisasi yang profesional ke dalam lingkungan kerja.
3) Meningkatkan kepuasan bekerja yang mengarah kepada perbaikan kepuasan pasien atau
klien.
4) Merasa dihargai dan dihormati oleh organisasi pekerja.
5) Merasa diinvestasikan dan meningkatkan karir masa depan.
6) Merasa bangga dan berkomitmen terhadap strategi korporasi dan tujuan organisasi.
7) Mengembangkan pemahaman tentang komitmen dalam bekerja didalam profesi dan
persyaraan badan pengawas.
8) Tanggung jawab pribadi untuk meningkatkan pengetahuan.
b. Pegawai
1) Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien.
2) Meningkatkan rekrutment dan retensi.
3) Mengurangi sakit dan ketidakhadiran.
4) Meningkatkan pengalaman pemberian pelayanan yang baik.
5) Meningkatkan kepuasan staf.
6) Kesempatan untuk mengidentifikasi staf kebidanan yang membutuhkan dukungan tambahan
atau pergantian peran.
7) Mengurangi resiko komplain.
8) Praktisi yang terdaftar yang mengerti tentang peraturan kebidanan, mereka memberikan dan
mengembangkan suatu hasil dari pendekatan yang berbasis fakta.
9) Mengidentifikasi staf yang membutuhkan dukungan tambahan yang lebih lanjut.
c. Preceptor
1) Mengembangkan penilaian, supervisi, mentoring dan keterampilan pendukung.
2) Mengenali komitmen terhadap profesi mereka dan peraturan- peraturan yang dibutuhkan.
3) Mendukung pembelajaran sepanjang hayat.
4) Meningkatkan aspirasi karir masa depan.
d. Profesi
Merangkul tanggung jawab profesi yang meliputi :
1) Menyediakan standar yang tinggi dari praktik dan pemberian pelayanan di semua sektor.
2) Membuat bidanan prioritas, memperlakukan pengguna jasa sebagai individu dan
menghormati martabat mereka.
3) Bekerja dengan praktisi medis lain untuk melindungi dan mempromosikan kesejahteraan dan
kesehatan mereka, keluarga mereka, dan masyarakat yang lebih luas.
4) Bersikap terbuka dan jujur, bertindak dengan integritas dan menegakan reputasi dari profesi.
5) Meningkatkan gambaran dari profesi pemberi layanan kesehatan

4. Pertimbangan-pertimbangan Keberhasilan Program Preseptoring


Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan program
Preseptoring, termasuk tingkat kecemasan pada preceptee, beban kerja preceptor, konflik dan
kemitraan. Pengalaman dalam program Preseptoring dapat menyebabkan stress yang
signifikan terhadap preceptee (Yonge, Myrick, & Haase, 2002) dan dapat menimbulkan
kekecewaan tentang profesi kebidanan. Keterbukaan dalam berbagi informasi antara
preceptee dan preceptor maupun dengan koordinator program dan penasihat fakultas adalah
satu hal yang sangat penting untuk dilakukan dan harus tetap dipertahankan. Seorang
preceptor harus mengetahui tentang bagaimana mengenali stress pada preceptee, bagaimana
cara membantu mereka mengatasi stress atau bagaimana cara memberikan bantuan lebih
lanjut, misalnya konseling ketika itu memang dibutuhkan.
Sama halnya, beban kerja yang berlebih dapat mempengaruhi kepuasan kerja bagi
sebagian preceptor (Lockwood-Rayerman, 2004).
Beban kerja berlebih mungkin bersumber dari banyaknya pasien yang harus ditangani
disamping harus berperan sebagai preceptor untuk memenuhi tanggung jawab, mempunyai
preceptee yang terlalu banyak, dan tidak diberi pilihan dalam mengambil tanggung jawab
tambahan sebagai seorang preceptor. Ini merupakan isu-isu etik yang harus dipertimbangkan
ketika akan menjalankan program Preseptoring di tempat kerja kebidanan.
Penting untuk mengenali bahwa konflik bisa saja timbul antara preceptor dan preceptee
(Mamchur & Myrick, 2003). Program-program orientasi harus memberikan wawasan dan
pendekatan bagi preceptor dan preceptee tentang bagaimana mengenali dan menyelesaikan
masalah.
Secara ideal, Preseptoring adalah suatu kemitraan antara preceptor (yang mana
bertanggung jawab untuk mengajari, mengevaluasi, dan memberikan umpan balik) dan
preceptee serta koordinator program / penasihat fakultas. Untuk mewujudkan program
Preseptoring yang sukses, yang terakhir yang harus disiapkan adalah menyediakan kursus
orientasi, dukungan evaluatif dan informatif untuk preceptor dan preceptee.

B. Preceptor
1. Definisi Preceptor
Preceptor didefinisikan sebagai seseorang yang sudah ahli dalam memberikan latihan
praktikal kepada mahasiswa (Moyer & Wittmann Price, 2008).
Definisi lain dari preceptor adalah bidan yang sudah terdaftar yang memberikan
supervisi melalui hubungan perseorangan dengan mahasiswa bidan selama dalam tatanan
klinik (Barker, 2010).
Preceptor adalah seseorang yang memberikan pengajaran, konseling, memberikan
inspirasi, bekerja sebagai seorang panutan, mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari
mahasiswa baru yang dibimbingnya dengan waktu yang terbatas dan dengan tujuan yang
spesifik dari sosialisasi pemula menjadi peran yang baru (Morrow, 1984).
Preceptor memberikan sarana yang efektif untuk menjembatani kesenjangan antara
teori dan praktek dalam pendidikan kebidanan dan membantu menurunkan kecemasan bagi
lulusan baru yang memasuki dunia kerja. Dengan adanya preceptorakan sangat membantu
mahasiswa maupun lulusan baru untuk lebih memahami karakteristik tempat kerja dan
membantu beradaptasi dengan baik. Dapat disimpulkan bahwa preceptor adalah seorang yang
staff kebidanan yang sudah berpengalaman dan sudah terdaftar yang memberikan pengarahan
dan supervisi secara formal dalam waktu yang sudah ditentukan dan dengan tujuan khusus
terhadap mahasiswa yang baru lulus dan masuk dalam dunia kerja kebidanan agar lebih
mudah beradaptasi dengan lingkungan dan dapat memaksimalkan proses transisi dari seorang
pemula menjadi bidan yang lebih berpengalaman.
2. Karakteristik Preceptor
Kemampuan berkomunikasi yang baik, bersikap positif selama menuju proses
pengajaran dan pembelajaran serta mempunyai kemampuan untuk menstimulasikan
pemikiran yang kritis adalah pertimbangan yang penting dibutuhkan oleh seorang preceptor
(Altman, 2006).
Studi fenomena yang dilakukan oleh Ohrling dan Hellberg (2001) dimana 17 staff
bidan menceritakan pengalaman mereka selama berperan menjadi preceptor menemukan
bahwa bidan mengerti pemahaman tentang Preseptoring seperti mengurangi perasaan
ketidakberdayaan kepada mahasiswa ketika belajar dan memberdayakan mahasiswa ketika
praktik. Preceptor harus mempunyai kemampuan untuk menghadapkan mahasiswa kebidanan
kepada pengalaman klinik yang efektif yang secara langsung meningkatkan perkembangan
kepercayaan dan kompetensi (Spouse, 2001).
Seorang preceptor juga dapat mempengaruhi perkembangan sikap profesionalisme
terhadap mahasiswa.

3. Kompetensi Preceptor
Seorang preceptor harus memiliki kompetensi yang sesuai agar perannya sebagai
seorang preceptorakan lebih diakui dan akan mendukung profesionalitas kerja yang
dilakukannya. Canadian Nurses Association menjelaskan ada lima kompetensi yang harus
dimiliki seorang preceptor, yaitu
a. Kolaborasi
1) Berkolaborasi dengan preceptee pada semua tahapan Preseptoring.
2) Menyusun dan menjaga kerjasama dengan penasehat / kepala fakultas dan rekan lain
(Universitas, profesi pelayanan kesehatan, dan klien)
3) Membuat jaringan dengan preceptor lain untuk mendiskusikan peningkatan praktik.
4) Membantu menginterpretasikan peran preceptee kepada individu, keluarga, komunitas dan
populasi.
b. Karakter Personal
1) Menunjukan antusias dan tertarik pada preceptor.
2) Menunjukan ketertarikan dalam kebutuhan dan perkembangan pembelajaran preceptee.
3) Membantu perkembangan pembelajaran lingkungan yang positif.
4) Beradaptasi untuk berubah.
5) Menunjukan kemampuan komunikasi yang efektif dengan klien dan universitas.
6) Menunjukan kemampuan pemecahan masalah yang efektif.
7) Menunjukan kesiapan dan keterbukaan untuk belajar dengan preceptor.
8) Menunjukan tanggung jawab atas perbedaan preceptee(latar belakang pendidikan, ras, kultur
dll)
9) Menggabungkan preceptee ke dalam budaya sosial. 10) Memiliki kepercayaan diri dan
kesabaran.
10) Mengakui keterbatasan diri dan berkonsultasi dengan orang lain.
c. Fasilitasi belajar
1) Menilai kebutuhan pembelajaran klinik preceptee dalam bekerjasama dengan preceptee dan
penasehat fakultas / koordinator program dengan cara :
a) Meninjau kompetensi dasar sesuai dengan bidang ilmu (praktik, pendidikan), standar praktik,
tempat (rumah sakit, klinik spesialis).
b) Membicarakan harapan hasil pembelajaran berdasarkan atas data pada kompetensi dasar.
c) Mengkaji pengalaman preceptee sebelumnya dengan tanggung jawab pengetahuan dan
keahlian untuk menjaga pemahaman, perkembangan, dan kebutuhan pembelajaran yang
spesifik pada tempat praktek.
d) Mengidentifikasi potensi belajar pada tempat praktek yang akan menyesuaikan
perkembangan dan kebutuhan belajar preceptee.
e) Membantu preceptee untuk mengembangkan hasil pembelajaran individu, peran saat praktek
sesuai dengan panduan Specific (spesifik), Measurable and observable (dapat diukur dan
diobservasi), Achievable (dapat dicapai dengan sumber yang memadai selama Preseptoring),
Relevant (relevan), Time (waktu).
2) Merencanakan aktivitas pembelajaran klinik dalam bekerjasama dengan preceptee dan
dengan penasehat fakutas/koordinator program, dengan cara :
a) Membantu preceptee untuk mencari tempat kegiatan pembelajaran untuk mendapatkan hasil
pembelajaran dan untuk membuat waktu preceptee supaya optimal.
b) Ketika memungkinkan, pilihlah tugas klinik/aktivitas pembelajaran sesuai dengan yang
teridentifikasi pada hasil pembelajaran dan cara belajar preceptee.
c) Ketika memungkinkan urutkan tugas klinik / aktivitas pembelajaran selama Preseptoring dari
hal yang kecil sampai yang kompleks guna meningkatkan pengetahuan.
3) Mengimplementasikan pembelajaran klinik dalam tempat praktek dengan bekerjasama
dengan preceptee dan penasehat fakultas / koordinator program dengan cara :
a) Menyusun strategi pembelajaran klinik dengan tepat.
b) Membantu preceptee dalam menyiapkan fasilitas pembelajaran.
c) Ketika memungkinkan, kaji aktivitas preceptee. Ini bertujuan untuk mengetahui kemajuan
dan mengatur aktivitas tersebut.
d) Berdiskusi dengan preceptee terkait kendala-kendala dalam praktek.
e) Mengklarifikasi peran preceptor dan preceptee untuk merencenakan kegiatan.
f) Memberikan umpan balik secara konstruktif (contohnya pelatihan, dukungan, dorongan dan
pujian).
g) Melakukan intervensi secara cepat dalam hal-hal yang tidak diinginkan.
h) Penyesuaian level supervisi guna membantu perkembangan diri.
4) Mengevaluasi hasil pembelajaran klinik dalam kerjasama dengan preceptee dan penasehat
fakultas dan koordinator program dengan cara :
a) Memberikan umpan balik secara konstruktif menggunakan lembar evaluasi (contohnya
evaluasi formatif harian/mingguan)
b) Menanyakan pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan preceptee yang telah dipelajari.
c) Menjelaskan penilaian preceptor terhadap kegiatannya.
d) Mendiskusikan ketidakcocokan antara preceptor dan preceptee
e) Berpartisipasi dengan mahasiswa dalam melengkapi lembar evaluasi struktur yang
menekankan pentingnya evaluasi diri, dan untuk mengetahui kemajuan hasil pembelajaran
dan potensi berikutnya (contohya, evaluasi sumatif yang dilakukan saat tengah dan akhir
pembelajaran klinik).
f) Memberikan pujian dan dukungan pembelajaran lingkungan dengan memfokuskan pada
potensi mahasiswa, pencapaian dan kemajuan menjelang pertemuan melalui proses evaluasi.
g) Memberikan umpan balik yang positif tentang peningkatan atau kesalahan untuk
mendapatkan fundamental, profesional atau sasaran diri.
h) Melakukan langkah yang tepat jika perkembangan hasil pembelajaran kurang memuaskan
(contohnya berkonsultasi dengan pembimbing fakultas / koordinator program).
i) Menanyakan pertanyaan terbuka kepada mahasiswa untuk menentukan pemahaman
keefektifan intervensi preceptor untuk memfasilitasi pembelajaran klinik.

d. Praktik Profesional
1) Berperilaku otonomi dan konsisten sesuai dengan standar kebidanan yang diakui oleh
peraturan provinsi dan kode etik kebidanan.
2) Bekerja.
3) Membantu mahasiswa untuk mendapatkan ilmu, keahlian dan keputusan peraturan provinsi
dan kode etik kebidanan.
4) Mengklarifikasi peran, hak dan tanggungjawab yang berhubungan dengan pembelajaran
klinik.
e. Pengetahuan Tatanan Klinik
1) Isi dasar pengetahuan
a) Misi dan filosofi.
b) Sistem bidanan (kelompok kebidanan, kebidanan utama).
c) Kebijaksanaan dan prosedur.
d) Lingkungan fisik.
e) Peran dan fungsi interdisiplin.
f) Format, dokumentasi dan mekanisme pelaporan.
g) Sumber pembelajaran.
2) Menunjukkan peran bidan dengan kelompok mutidisiplin (contohnya; farmasi, pekerja
sosial, psikology, terapi okupasi).
3) Mengkaji garis besar institusi pendidikan bagi mahasiswa dan preceptor/clinical instructor
(contohnya; harapan dari pelaksanaan pembelajaran klinik, dan apa yang dilakukan
mahasiswa selama pembelajaran klinik.
4. Peran Preceptor
Menurut Minnesota Department of Health (2005), seorang preceptor mempunyai 3
peran yaitu sebagai pengasuh, pendidik, dan sebagai panutan. Tugas atau peran seorang
preceptor adalah menjembatani kesenjangan antara apa yang preceptee pelajari ketika di
kampus dengan kenyataan yang ada di lapangan. Preceptor membantu preceptee untuk
menumbuhkan kepercayaan diri dan mendapatkan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan
ketika melakukan peran barunya sebagai bidan di klinik (Oerman & Heinrich, 2003)
Preceptor memfasilitasi pembelajaran mahasiswa melalui pengembangan sikap saling
percaya dalam pelaksanaan Preseptoring. Seorang preceptor harus melihat preceptee sebagai
seseorang yang mempunyai kemampuan dan ketertarikan untuk menjadi bidan yang
berkompeten dengan segala kerentanannya selama proses pembelajaran (Ohlring, 2004).
Seorang preceptor harus memiliki tanggung jawab sebagai,
a. Role Modelling (panutan)
1) Menunjukan praktik kebidanan profesional yang kompeten, mendorong preceptee untuk
mengintegrasikan praktik klinikal yang profesional.
2) Menunjukan kemampuan berkomunikasi yang efektif dengan anggota tim dan pasien.
3) Mengetahui pengetahuan pasien tentang tempat, kebutuhan klinikal umum dan frekuensi
penggunaan kemampuan klinikal.
4) Mengetahui kebutuhan utama pasien.
b. Skill Building (Pembangun kemampuan)
1) Mengembangkan sebuah pembelajaran kontrak atau menggabungkan keinginan preceptee
tentang akuisisi kemampuan yang dimiliki untuk difungsikan di level yang diharapkan dari
area kerja.
2) Memastikan preceptee menjadi tidak asing lagi dengan kompetensi utama dari area kerja.
3) Menyesuaikan gaya pengajaran agar cocok dengan gaya pembelajaran dari preceptee.
4) Menciptakan kesempatan pembelajaran, mengijinkan untuk praktik, pengulangan dan
evaluasi diri.

c. Critical Thinking (Pemikir yang kritis)


1) Mengidentifikasi kemampuan dan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh mahasiswa dan
menggunakan pengetahuan serta kemampuan tersebut sebagai dasar untuk pencapaian tujuan.
2) Memberdayakan preceptee untuk berpikir melalui masalah.
3) Mendorong preceptee untuk bertanya dan menjawab pertanyaan.
4) Menawarkan umpan balik yang konstruktif yang bersifat reguler.
5) Mempunyai kemampuan untuk mengartikulasikan rasional untuk praktik mahasiswa.
6) Menciptakan lingkungan yang memfasilitasi pengambilan resiko dan pembelajaran,
mengijinkan preceptee untuk belajar dari kesalahan.
d. Socialization (Sosialisasi)
1) Bekerja dengan tim untuk menyambut anggota baru atau praktikan di tempat kerja.
2) Memastikan pemahaman tentang aspek sosial dari suatu ruang, peraturan yang tidak
dikatakan, pemfungsian unit, rantai perintah dan sumber daya.
3) Mengorientasikan preceptee terhadap tempat kerja, pengenalan, komunitas di dalam praktik
dan budaya tim.

Menurut Judith M. Scanlan (2008) tugas seorang preceptor adalah :


a. Menjelaskan orientasi tempat bagi mahasiswa.
b. Mempertahankan pengetahuan dasar saat ini yang berfungsi sebagai sumber pengetahuan
sebagai peran bidan.
c. Sebagai model praktik kebidanan professional.
d. Memberikan pengawasan (supervise) klinik.
e. Membantu mahasiswa dalam beradaptasi dengan peran baru yang melekat dalam praktek
professional.
f. Berkontribusi dalam evaluasi sistem yang mengukur kemajuan mahasiswa.
g. Berkomunikasi dengan dosen dan mahasiswa untuk memfasilitasi fungsi dari pengalaman
Preseptoring.

Menurut Departemen Kesehatan Minessota (2005) peran seorang preceptor adalah :


a. Bersama dengan departement administrasi kesehatan, mahasiswa, dan fakultas
mengidentifikasi berbagai kesempatan belajar yang berbasis populasi sebagai tambahan
pengalaman bagi mahasiswa kebidanan.
b. Memastikan komunikasi yang berkelanjutan dengan departemen kesehatan, sekolah
kebidanan dan mahasiswa.
c. Bersedia meluangkan waktu untuk mahasiswa sebagaimana yang sudah dijadwalkan dan
menghubungi mahasiswa apabila tidak bisa membuat jadwal pertemuan.
d. Mendukung kurikulum berbasis populasi dan membantu dalam penerapannya di kehidupan
nyata dalam kerangka tujuan klinik.
e. Membantu mahasiswa dalam mengembangkan kemampuan dan pengetahuan untuk praktik
yang berbasis populasi.
f. Bertindak sebagai departemen kesehatan dan narasumber masyarakat untuk fakultas.
g. Bertindak sebagai narasumber masyarakat dan mendukung mahasiswa kebidanan di dalam
instansi kebidanan.
h. Mengintegrasikan teori pembelajaran orang dewasa dan prinsip-prinsip dalam interaksi
dengan mahasiswa.
i. Memberikan umpan balik mengenai kemajuan siswa, mengidentifikasi masalah, dan
menyarankan cara-cara untuk menyelesaikan masalah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Preseptoring merupakan suatu program yang dilakukan untuk memberikan dukungan
kepada bidan baru atau mahasiswa yang sedang praktik di rumah sakit agar tercipta orientasi
dan adaptasi yang sukses.Preseptoring merupakan salah satu bentuk pembelajaran klinik di
rumah sakit.Preseptoring sendiri di Indonesia masih sangat jarang dikenal, terbukti dengan
sulitnya mencari jurnal penelitian atau artikel terkait dengan Preseptoring.Hasil wawancara
terhadap 5 orang preceptor didapatkan bahwa 4 orang diantaranya belum mengetahui apa itu
Preseptoring.Kata bimbingan klinik jauh lebih dikenal oleh para praktikan, bidan, maupun CI
(Clinical Instructur).
Preceptor adalah seorang bidan ahli yang sudah terdaftar dan berpengalaman kerja yang
memberikan pengarahan, bimbingan, dan supervisi kepada mahasiswa praktik atau bidan
yang baru saja masuk ke rumah sakit. Bimbingan dan pengarahan bersifat formal, diberikan
dalam rentang waktu tertentu dan mempunyai tujuan agar mahasiswa praktikan atau bidan
baru mampu beradaptasi dengan sukses di area kerja klinik.Tugas utama seorang preceptor
adalah untuk menjembatani kesenjangan antara teori yang didapatkan selama pembelajaran di
kampus, dengan kenyataan yang ada di klinik. Preceptor merupakan bagian dari
Preseptoring.Preceptor sendiri di Indonesia lebih dikenal dengan istilah CI (Clinical
Instructur). Kata preceptor masih sangat jarang dikenal di Indonesia.
Mentorship Teaching In Clinical Teaching of Nursing

Hanan Ali Alzahrani


(
Correspondence:
Hanan Ali Alzahrani,
Master of Midwifery, Clinical Instructor & Specialist at nursing college,
King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia
Email: hanoo-nurse1@hotmail.com; s3313172@student.rmit.edu.au

Abstract

A clinical learning environment forms an integral part of student nurses' learning experiences, both personally and
professionally, enabling them to move towards achieving a high level of competence during their professional
career. Nurse educators aim to assist student nurses to integrate the theories learnt in the classroom to relevant
clinical situations, in order to enhance the quality of health care delivery results (Ahren, 2000). Even if technology
advances beyond current imagination in the years to come (which may happen with simulation teaching methods)
the authenticity and benefits derived from clinical teaching will still be valued (Cant & Cooper, 2010). While
students learn important nursing skills in this process, teachers/educators gain knowledge and skills as a result of
extensive research on particular subjects. Another aspect of the important role of the clinical teacher is the
students' perception of clinical educators as role models. In order to fulfill these roles, that is, to provide higher
education and to guide students regarding the implementation of theory in clinical environments, clinical teachers
also need assistance and education. Within the nursing context, there remains a gap between the knowledge
gained and its application. So it is crucial for clinical teachers to learn effective skills that will facilitate the learning
of students in ways that are then converted skillfully in the clinical setting (Brykczynski, 2012). This requires the
use of effective methods of teaching. Such knowledge will help clinical teachers evaluate how effectively students
are taught, recognize their own teaching weaknesses, and rectify or improve their teaching, based on different
theories of clinical teaching (Hallas, 2012).

This paper aims to highlight mentorship through a literature review, and a discussion of teaching theories which
are utilized in this important role. In addition, this paper examines the literature associated with the supervision of
student nurses and focuses on the nature and practice of mentorship in practice settings. Also, a brief literature
review regarding clinical teachers as mentors in nursing is included along with a discussion of the advantages and
disadvantages of this. The clinical teaching method will be related to behavioral theory and will be evaluated from
a mentor's perspective. In the second part of this assignment, the gap between clinical teaching and clinical
practice will be identified.

Key words: Clinical Teaching; Mentorship teaching; Nurse; Nursing Students; Knowledge; Learning.

LITERATURE REVIEW

Description of Situation
In their article, Price & Price (2009) discussed practical ways in which the exploration of role model practice is
conducted with clinical nurses. In this case, although an attempt is made to increase the knowledge and skills of clinical
nurses in dealing with patients through the use of role modelling practice, the results indicate that the practice hasn't
been effective. Here the opportunity to learn was not taken advantage of because the strategy doesn't consider the
enhancement of the learning process for clinical nurses.

Guided clinical learning experiences are very important in relation to nursing students and their education. The main aim
of clinical learning experiences is to prepare student nurses for their contribution towards better health care delivery and
outcomes. In this situation, the clinical teacher's/mentor's role is crucial. One cannot define mentoring in one line or in
one definition; it is a wide term that includes coaching, teaching and analyzing the work of the person who is under
mentorship (Ali & Panther, 2008). The wide range of benefits that it provides makes it popular and in high demand. A
mentorship is a kind of relationship between two people where one person is experienced and knowledgeable and the
other person is learning. The experienced person helps the learner to understand his role and the responsibilities
associated with it. In mentorship, the purpose is made clear and then the procedure is designed to achieve it both in
formal and informal ways (Borren et al, 2000).

Advantages
Price & Price (2009) discuss the advantages relating to clinical placements. One key advantage is that the student can
work with a professional while investigating the practice. Burns and Paterson (2005) discussed how practical application
provides an opportunity for students to learn reasoning and judgment in the area of clinical nursing. Andrews (1999)
conducted a review suggesting that the opportunities for practice development are highly valued by student nurses.

Recently, the focus for mentorship has switched from students to professional nurses. Block et al. (2005) emphasized
the advantage of mentorship in increasing the retention rates of nurses in hospitals. Hospitals face many challenges
when it comes to retaining nurses because many nurses are dissatisfied with their jobs. Improving nurse retention rates,
would, in turn, increase patient outcomes. Research has shown that the implementation of mentorship programs has
been proven to be effective in the retention of nurses.

The advantages and the role of mentorship in modern practice related to nursing in the United Kingdom was discussed
by Myall et al. (2008), who aimed to identify the impact of nursing education based on locality in the United Kingdom.
Their study also took into account the academic staff and and examined similar situations in Australia. The study
concludes with a discussion of the perceptions of mentors and student nurses. For nursing students, mentorship is
essential and has attracted the interest of a great number of researchers. Although a great deal of research has been
conducted on mentorship in the clinical nursing area, very little attention has been paid to mentorship rules and
regulating bodies. The study aims to expand knowledge on the regulatory bodies for clinical nursing mentorship
programs. The method used in this study is an online survey and a questionnaire for clinical prequalifying learners and
for mentors in practice. The findings of this research highlighted the need to provide mentors who are adequately
prepared and who can support the mentorship process. Finally, the research concludes with ways by which the gap
between reality and theory on mentorship can be bridged, such as identifying the responsibilities and roles relating to
the mentor. This would also benefit the development of standards for mentorship for clinical nursing, supporting
students in countries which run on similar systems.

The literature review suggests that dealing with problems in rural areas regarding clinical nursing presents many
challenges for both managers and policy makers. Hence, the use of programs, including mentorships, perceptoring and
clinical supervision are all helpful in dealing with problems in these areas, and may also help in nursing recruitment and
increasing retention rates. Furthermore, these programs are also helpful in supporting relationships within organizations.
Mentoring, perceptoring and clinical supervision have all been proven to be important for management in meeting the
challenges offered in clinical nursing practice and are also vital tools for the future workforce planning process.

The success of mentorship is highly dependent upon the interaction and level of comfort between the person and the
environment of the organization where the mentorship is taking place. A mentor has far more responsibility than the
mentee. A mentor has to undertake a dual duty, that is provide proper care to the patient as well as proper guidance to
the mentee (Clinard & Ariav, 1998). This helps students learn the practice standards in an individualized way (Ali &
Panther, 2008) and provides them with the opportunity to build on their knowledge by putting theory into practice, while
planning the management of patient problems. In a typical clinical setting, teaching by clinical teachers/mentors occurs
by the following process. The student nurse carries out the assessment of a patient and plans interventions after the
diagnosis is established. The assessment is presented to the mentor who validates the assessment and plan. Then, it is
implemented by the student with support from the mentor. Later, the mentor reflects on the particular case and
discusses any future implications.

The mentor, being a teacher, provides constant feedback and evaluates his/her student. The student refines their
practice on the basis of knowledge, skills and practice by gaining assistance and support (Li et al., 2011). The
mentor/clinical teacher plays an important role in the development of a qualified nurse. Clinical teachers impart
knowledge and skills to a whole class, but the scenario differs when they teach and assist one single student. The
behavioral theory of learning can be implemented by teachers/mentors and they can change the learning environment
for the student in either a positive or negative way (Quinns & Hughes, 2007).

Due to varying degrees of responsibilities, a shortage of time and increasing demand, it is very difficult for mentors to
address the individual needs of a student (McCloughen, O' Brien & Jackson, 2011). Mentors may not be able to
coordinate with the students due to a lack of time. Also, it is essential that the mentor understands the learning styles of
the students and the leadership style they most respect (Cleary et al., 2013). When a student's preferred learning style
is catered for, students learn quickly. This is often in contrast to classroom teaching where most of the time, it is
assumed that the students have understood the topic well (Pastston et al., 2010).

Nurse-leaders use mentorship to grow and develop leadership potential in other nurses. Formal preparation to be a
mentor is not fundamental to all mentorship. Some nurse-leaders who mentor others for leadership grow into being
mentors as a result of lifelong subjective experiences.

Improved teaching learning recommendations


Price and Price (2009) described how role modelling can be more effective using a set of techniques to add both fun
and efficiency in the process of clinical nursing mentorship and also discuss the principles regarding role modelling, as
part of mentorship. They state that in order to improve the process, a proper understanding of role modelling principles,
the planning of clinical teaching is an effective session for role modelling, revealing clinical reasoning, discovering the
understanding by the student and the formation of practice template are essential. The definition of the role modelling
process, in relation to healthcare, is the development of expertise and competence (McGurk 2008). Bandura (1997)
observed that humans mostly learn from emulation and observations of the individuals around them. The author also
describes the conditions which are essential for the role modelling process to be successful. These include sufficient
attention of the learner towards the role model, the learner's retention of key information, the ability of the learner to
reproduce or effectively model the behaviour of the role model and reward and recognition from others regarding the
learner's behaviour in order to motivate the learner. It might provide a measure by which to determine whether
modelling has been properly adapted by the student.

Price (2007) emphasised the importance of experienced professionals in planning the role modeling session. The
author explained the process of analysis of the nurses to practice their skills in appreciation of the strengths and
abilities. This is an advantage because the nurses can explain and share their knowledge and have an impact on the
learner. In a role modeling session, the difference between learning from advice and learning from the role model must
be clearly defined.

Price (2009) also stated the importance of the ability of the practitioner to show understanding regarding the clinical
reasoning of role models. This process is directly relative to the methods and techniques demonstrated by the role
models. Price further explains three ways to plan responses in advance to the patient's questions. These include
reasoning which can be shared by the patient in an ethical way, can be better considered once the event has passed
and which helps in the exemplification of the best practice and is shown in an exploratory way. Some healthcare
decisions and patient care activities should not be discussed when the patient is within earshot. This is because the
patient might feel uncomfortable listening to the conversation, which can't be explained in depth to the patient due to its
complexities. Weaver (2007) explains how sometimes the need for reflection is felt after the event has occurred. So the
complexity of clinical reasoning can be reduced if questions regarding ethical, professional, effective and efficient
clinical reasoning are considered.

Gobet and Chassy (2008) suggest templates as ways of representating situations which are helpful in carrying out
decisions. Adapting the use of templates also increases the chance that a particular mentoring session will be effective,
helping, understood in greater depth, and give an idea of what action to take next. Practitioners are expected to
formulate ideas for templates to deliver when they practice nursing in the future.

The success of the e-mentorship program for clinical nurses is discussed by Faiman et al. (2012) who used a survey
which showed that, according to the post- and pre-test scores, the nurse educators who had taken part in the e-
mentorship program demonstrated improved knowledge. In addition, more than half of the nurses in the sample
population reported improvement in assessment, education relating to patients and a better understanding and
communication with the patients. The research also concluded that the outcomes of management were also improved
after using the e-mentorship program.

Gap Between Clinical Teaching and Clinical Practice


Clinical practice is as important as clinical teaching. Theories acquire value only when they find application in a real
scenario. Clinical practice has much relevance for students who learn to apply clinical theories and, simultaneously,
practice their skills. Clinical practice acts as an evaluation tool for the clinical teacher to determine how much positive
effect their teaching has had to support better quality nurses.

Research suggests that, irrespective of the numerous teaching models devised, in order to improve the standard of
teachers, as well as students, there are substantial gaps between clinical practice and teaching. One reason for this is
the setting. While a classroom setting doesn't have the pressure of performance with time constraints and risk to life,
students may fail to cope with the real, stressful situations of the clinical setting. This can give rise to anxiety and clinical
errors. The real environment of the clinical setting must be imitated in the classroom, or bedside teaching must be
implemented in teaching models in order to prepare students for their future role. A second gap is due to the imparting
of theory-oriented teaching rather than practice-oriented teaching. Theory which originates from practice is very different
from theory which is taught in the classroom. Since every human being is different from another, it is very difficult to
predict how individuals will react, physically and mentally, to different interventions. This gap could be bridged by
incorporating sufficient practical teaching. Students must be provided proper clinical supervision which helps in
enhancing self-esteem as well as assisting them in the learning of practical skills. The bridge between teaching and
practice is not very wide; by careful analysis and formulation of strategies, it can be addressed.

CONCLUSION
In a study conducted by Myall, Levett-Jones and Lathlean (2008), it was stated that "the results provide new evidence of
a narrowing of the gap between the theory and practice of mentoring and for the continuing implementation of standards
to clarify the roles and responsibilities of the mentor". They also suggest that there are many benefits to developing
such standards in countries with similar systems of support for nursing students. Students frequently perceive their
mentors as role models, both professionally and personally. It is the duty of clinical teachers, who are placed as
mentors, to have specified strategies to use in these contrasting settings. It is the clinical teacher/mentor's role and
responsibility to nurture future nurses whose potential aids the delivery of better health care. This then implies that the
selected teaching methods must be effective, specific to each learner's needs, and must incorporate every aspect of the
student nurse's development.

REFERENCES
1. Ahern-Lehman, C. (2000). Clinical evaluation of nurse practitioner students: Articulating the wisdom of expert nurse
practitioner faculty. San Diego: Claremont Graduate University & San Diego State University.
2. Ali, P.A., & Panther, W. (2008). Professional development and the role of mentorship. Nursing Standard, 22(42): 35-9
3. Andrews, M., & Wallis, M. (1999). Mentorship in nursing: a literature review. Journal Of Advanced Nursing, 29(1),
201-207. doi:10.1046/j.1365-2648.1999.00884.x
4. Bandura A (1977) Social Learning Theory. General Learning Press, New York, NY.
5. Block, L., Claffey, C., Korow, M. K., & McCaffrey, R. (2005). The Value of Mentorship Within Nursing Organizations.
Nursing Forum, 40(4), 134-140. doi:10.1111/j.1744-6198.2005.00026.x
6. Boreen, J., Johnson, M. K., Niday, D., & Potts, J. (2000). Mentoring beginning teachers: guiding, reflecting, coaching.
York, Maine: Stenhouse Publishers
7. Brykczynski, K. (2012), Clarifying, affirming, and preserving the nurse in nurse practitioner education and practice.
Journal of the American Academy of Nurse Practitioners, 24: 554-564.8. Burns I, Paterson IM (2005) Clinical practice
and placement support: supporting learning in practice. Nurse Education in Practice.5, 1, 3-9.
9. Cant, r.p., & Cooper, s.j. (2010). Simulation-based learning in nurse education: systematic review. Journal of
Advanced Nursing 66(1), 3-15.
10. Clinard, L.M., & Ariav, T. (1998). "What mentoring does for mentors: A cross-cultural perspective" European Journal
of Teacher Education 21 (1): 91-108.
11. Cleary, M., Happell, B., Lau, S.T., & Mackey, S. (2013). Student feedback on teaching: Some issues for
consideration for nurse educators. International Journal of Nursing Practice 19:1, 62-66
12. Daloz, L.A, (1986). Mentoring in education, (1st Ed), ISBN 155542001X, San Francisco, Calif.
13. DeCicco, J. (2008). Developing a Preceptorship/Mentorship Model for Home Health Care Nurses. Journal Of
Community Health Nursing, 25(1), 15-25. doi:10.1080/07370010701836310
14. Faiman, B., Miceli, T. S., Richards, T., & Tariman, J. D. (2012). Survey of Experiences of an E-Mentorship Program:
Part II. Clinical Journal Of Oncology Nursing, 16(1), 50-54.
15. Gobet F, Chassy P (2008) Towards an alternative to Benner's theory of expert intuition in nursing: a discussion
paper. International Journal of Nursing Studies. 45, 1, 129-139.
16. Hallas, D., Biesecker, B., Brennan, M., Newland, J. A. & Haber, J. (2012). Evaluation of the clinical hour requirement
and attainment of core clinical competencies by nurse practitioner students. Journal of the American Academy of Nurse
Practitioners, 24: 544-553.
17. Li, H.C., Wang, L. S., Lin, Y.H. & Lee, I. (2011). The effect of a peer-mentoring strategy on student nurse stress
reduction in clinical practice. International Nursing Review, 58: 203-210
18. McCloughen, A., O' Brien, L. & Jackson, D. (2011). Nurse Leader Mentor as a Mode of Being: Findings from an
Australian Hermeneutic Phenomenological Study. Journal of Nursing Scholarship, 43: 97-104
19. McGurk V (2008) Practice development within a neonatal intensive care unit. Innovation or expectation. Journal of
Neonatal Nursing. 14, 2, 52-55.
20. Myall, M., Levett-Jones, T. & Lathlean, J. (2008). Mentorship in contemporary practice: the experiences of nursing
students and practice mentors. Journal of Clinical Nursing, 17: 1834-1842. doi: 10.1111/j.1365-2702.2007.02233.x
21. Patston, P., Holmes, D., Maalhagh-Fard, A., Ting, K. & Ziccardi, V. B. (2010). Maximising the potential of part-time
clinical teachers. The Clinical Teacher, 7: 247-250.
22. Price B (2007) K823 Developing Skills for Practice. (Course Study Guide). The Open University, Milton Keynes.
23. Price, A., & Price, B. (2009). Role modelling practice with students on clinical placements. Nursing Standard, 24(11),
51-56.
24. Quinn, M. & Hughes, S. (2007), Quinn's Principle and Practice of Nurse Education, (5th Ed). Cheltenham Nelson
Throne, p 202.

Anda mungkin juga menyukai