PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Swedia pada tahun 1756 oleh Axel Frederick Constedt. Istilah zeolit berasal dari
kata “zein” (bahasa Yunani) yang berarti membuih dan “lithos” yang berarti batu.
Nama ini sesuai dengan sifat zeolit yang akan membuih bila dipanaskan pada
100ºC. Zeolit alam bercampur dengan mineral lain seperti felspar, sodalit, nephelit
dan leusit. Diperkirakan zeolit alam terbentuk dari lava gunung berapi yang
membeku menjadi batuan vulkanik, membentuk sedimen-sedimen dan batuan
metamorfosa dan selanjutnya mengalami proses pelapukan karena pengaruh panas
dan dingin membentuk mineral zeolit. Zeolit merupakan bahan tambang
kelompok mineral yang kegunaannya sangat beragam dan merupakan batuan
lapuk hasil letusan gunung berapi pada zaman Cenozoicum. Di Indonesia banyak
dijumpai di pulau Jawa bagian Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara.
Zeolit memiliki karakteristik yang unik dengan memiliki luas permukaan
besar / gram zeolite karena karakteristiknya yang berpori. Luas permukaan aktif
zeolit hingga 200 m2 / g zeolite [1]. Aplikasi Zeolit di sektor industri adalah
sebagai adsorben, membran, katalis, dll. Adsorpsi adalah proses berbasis
permukaan yang terjadi saat suatu zat terlarut gas atau cairan terakumulasi pada
permukaan suatu zat padat (adsorben) membentuk suatu film molekul atau atom
(adsorbat) [2]. Tantangan untuk sistem adsorpsi dipemisahan industri dan proses
pemurnian mencapai produk yang sebanding kemurnian dengan sistem distilasi
umum. Konsumsi energi juga a smasalah yang relevan untuk dipertimbangkan
dalam membandingkan kedua sistem pemisahan (Wirawan.et.ali.2015).
Adsorben zeolite adalah material yang dapat mengadsorpsi gas berdasarkan
karakteristik porinya. Bahan berpori ini dipilih karena mempunyai luas
permukaan dalam lebih besar dibandingkan dengan luas permukaan luarnya.
Penggunaan material berpori seperti sepiolit, silica dan zeolite sebagai penyerap
gas telah banyak dilakukan. Kombinasi Fe2O3 dan Fe3O4 dengan monmorillonit
untuk mengadsorpsi gas H2S. Zeolit memiliki kemampuan sebagai adsorben
dikarenakan memopunyai rongga dengan struktur kerangka tiga dimensi, tahan
terhadap suhu tinggi dan stabilitas tinggi. Selain itu zeolite juga memiliki ukuran
pori yang seragam dengan kisaran ukuran 3-10 Ǻ sehingga dikategorikan sebagai
2
material mikropori, Volume pori 0,35 cm3/g dan selektivitas yang tinggi
(Mandasari.2014).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kemampuan zeolit alam sebagai adsorben setelah diAktivasi
untuk dapat menyerap gas H2S?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana Kemampuan zeolit alam sebagai adsorben
setelah diAktivasi untuk dapat menyerap gas H2S.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Gambar 2. Heating & Pressurezation (A), Desorption & Condensation (B),
Cooling & Depressurezation (C), Adsorption &Evaporation (D), (wang,
Adsorption refrigation Ashrae journal).
5
menghasilkan efek pendinginan yang diinginkan . Langkah ini setara
dengan " penguapan " dalam siklus kompresi uap. Siklus refrigasi adsorpsi
adalah sistem intermiten dan output pendingin tidak kontinyu. Minimal dua
penyerap yang diperlukan untuk mendapatkan efek pendinginan yang
terusmenerus (ketika penyerapan pertama adalah dalam tahap adsorpsi,
kedua adsorber dalam tahap desorpsi)
Penyerap ini akan melaksanakan proses desorpsi adsorpsi
B. Proses Adsorpsi dan Desorpsi Zeolit
6
wadah air, dimana di simpan untuk kembali akan di uapkan kembali.
Langkah –langkah urutan proses ini sepenuhnya reversibel dan dapat diulang
berkali – kali.
7
Dehidrasi adalah proses yang bertujuan untuk melepaskan molekul
molekul air dari Kristal sehingga terbentuk suatu rongga dengan
permukaan yang lebih besar dan tidak lagi terlindungi oleh sesuatu yang
berpengaruh terhadap proses adsorpsi. Proses dehidrasi memiliki fungsi
utama utama melepas molekul air dari kerngka zeolite sehingga
mempertinggi keaktifan zeolite. Jumlah molekul air sesuai dengan jumlah
pori pori atau volume yang hampa yang akan terbentuk bila unit sel Kristal
zeolite tersebut dipanaskan.
2. Adsorpsi
Pada keadaan normal, ruang hampa dalam Kristal zeolite terisi oleh
molekul air bebas yang berada d sekitar kation. Bila zeolite di panaskan
maka air tersebut akan keluar sehingga zeolite tersebut dapat berfungsi
sebagai penyerap gas / uap cairan. Dehidrasi menyebabkan pori zeolite
sangat terbuka dan mempunyai luas permukaan internal yag mampu
mengadsorpsi sejumlah besar substansi selain air dan mampu memisahkan
molekul zat berdasarkan ukuran molekul dan kepolaranya.
3. Penukaran Ion
Penukar ion di dalam zeolit adalah proses dimana ion zeolite asli yang
terdapat dalam indra kristalin di ganti dengan kation lain dan larutan.
Zeolit mempunyai struktur angka tiga dimensi yang terdiri dari tetrahedral
Si O2 dan Al O4, trivalent Al3+ dalam posisi tetrahedralnya membutuhkan
adanya penambahan muatan listrik, biasanya menggunakan Na+, K+, Mg2+
atau Ca2+. Dalam struktur rangka zeolit , kation kation tersebut tidak
terikat pada posisi yang tepat, tapi dapat bergerak bebas dalam rangka
zeolit dan bertindak sebagai “counter ion” yang dapat di pertukarkan
dengan kation kation lain.
4. Katalisator
Zeolit merupakan katalisator yang baik karena mempunyai pori pori
yang besar dengan permukaan yang luas dan juga memiliki sisi aktif.
Dengan adanya rongga intrakristalin, zeolit dapat dignakan sebagai katalis.
Reaksi kataliktik dipengaruhi oleh ukuran mulut rongga dan sistem alur,
karena reaksi ini tergantung pada difusi pereaksi dan hasil reaksi.
5. Penyaring/ Pemisah
Zeolit mampu memisahkan berdasarkan perbedaan ukuran, bentuk dan
polaritas dari molekul yang disaring. Zeolit mampu memisahkan molekul
gas atau zat dari suatu campuran tertentu karena mempunyai rongga yang
cukup besar dengan garis tengah yang bermacam macam (antara 23A).
Volume dan ukuran garis tengah ruang kosong dalam kristal kristal ini
menjadi dasr kemampuan zeolit untuk bertindak sebagai penyaring
molekul. Molekul yang berukuran lebih kecil dapat dimasukan ke dalam
8
pori. Sedangkan molekul yang berukuran lebih besar dari pori akan
tertahan.
Untuk mendapatkan kandungan aluminium yang optimum pada zeolit
dapat dilakukan dengan metode dealuminasi. Dealuminasi dapat
digunakan untuk mnegontrol aktivitas keasaman dan ukuran pori pori
zeolit berhubungan dengan fungsi zeolit sebagai penyerap.
c) Sifat Fisik dan Kimia Zeolit
Zeolit memiliki sifat fisik dan kimia yaitu (Sutarti,1994) :
Hidrasi derajat yang tinggi
Ringan
Penukar ion yang tinggi
Ukuran saluran yang uniform
Menghantar listrik
Mengadsorpsi uap dan gas
Mempunyai sifat katalistik
Karakteristik Zeolit meliputi :
Density : 1,1 gr,cc
Porositas : 0,31
Volume berpori : 0,28-3 cc/gr
Surface area : 1-20 m2/gr
Jari-jari makropori : 30-100 nm
Jari-jari mikropori : 0,5 nm
9
pengotor dan mengatur kembali letak atom yang dipertukarkan. Pereaksi
kimia ditambahkan pada zeolit yang telah disusun dalam tangki dan
diaduk dalam jangka waktu tertentu. Zeolit kemudian dicuci dengan air
sampai netral dan selanjutnya dikeringkan.
3) Modifikasi
Di dalam proses pengolahan air, zeolit hasi laktivasi telah mampu
menyerap ion logam berat yang berbentuk kation. Agar zeolit dapat juga
menyerap logam berat yang berupa anion, mikroorganisme serta zat
organik lain maka zeolit perlu dimodifikasi. Cara modifikasi ialah
dengan jalan melapisi zeolit dengan polimer organik vinil piridin,
polimer organik alam atau dengan mangan
10
BAB III
METODE PENELITIAN
E. Prosedur Penelitian
a) Preparasi Zeolit Alam
Zeolite alam dihaluskan kemudian diayak menggunakan ayakan
100 mesh. Zeolit selanjutnya dicuci menggunakan aquades hingga
mencapai pH netral (pH=7). Setelah itu zeolite dikeringkan di dalam oven
selama 4 jam pada suhu 110ºC. Zeolit kemudian dianalisis menggunakan
GSA,XRD, dan XRF.
b) Aktivasi Zeolit Alam
Metode ini mengacu kepada Roocyta (2006) dimana aktivasi
zeolite alam dilakukan dengan 3 tahap yaitu tahap demineralisasi,
dealuminasi dna kalsinasi. Tahap pertama yaitu demineralisasi zeolite
alam. Zeolit hasil preparasi dicuci dengan menggunakan EDTA 1 M
melalui proses refluks pada suhu 80-90ºC selama 24 jam. Setelah
direfluks, sampel dicuci dengan aquades hingga pH netral (pH=7).
Sampel kemudian disaring dan diambil endapannya. Endapan yang
diperoleh dikeringkan di dalam oven selama 4 jam suhu 110ºC dan
ditimbang.
11
Tahap kedua yaitu dealuminasi, sampel zeolite hasil demineralisasi
ditimbang dan direfluks selama 24 jam pada suhu 80-90ºC. Setelah itu,
sampel diuci dengan menggunakan aquades hingga pH netral (pH=7).
Sampel disaring dan diambil endapannya. Kemudian endapan tersebut
dikeringkan di dalam oven selama 4 jam pada suhu 110ºC dan ditimbang.
Terakhir tahap ketiga yaitu zeolite dikalsinasi selama 3 jam pada suhu
500ºC.
c) Pembuatan Adsorben
Prose pembuatan adsorben yaitu zeolite teraktivasi (serbuk)
ditimbang kemudian dicampurkan dengan aquades. Campuran zeolite
diaduk hingga merata dan dibentuk pelet. Zeolit yang telah berbentuk
pellet dikeringkan di dalam oven dan disimpan dalam desikator selama 30
menit. Pelet yang telah kering dimasukkan ke dalam tabung adsorben
dengan masing-masing variasi ketebalan yaitu 1, 2 dan 3 cm.
d) Pembuatan Gas H2S
Prosedur pembuatan gas H2S mengacu pada penelitian Prasetyo
(2002). FeS dan Hl 1 M direaksikan dengan komposisi masa 0,06 g dan
1,5 mL. Gas yang terbentuk dialirkan ke dalam Erlenmeyer yang telah
berisis 50 mL larutan penjerap (ZnSO4) untuk kemudian diuji kadar
H2Snya.
12
Larutan contoh uji dan blanko dipipet sebanyak 20 mL ke dalam
tabung reaksi. Masing-masing tabung ditambahkan 2 mL para-
aminodimetilanilin dan 1 mL FeCl3 Kemudian dihomogenkan. Setelah itu
diencerkan dengan aquades hingga volume 25 mL, dihomogenkan kembali
dan didiamkan 30 menit. Larutan contoh uji diukur serapannya pada
panjang gelombang 670 nm dan dihitung konsentrasi gas H2S dengan
menggunakan kurva kalibrasi. Kapasitas Adsorpsi Zeolit Alam dapat
dihitung dengan rumus berikut.
(𝑘𝑜𝑛𝑠H2S tanpa adsorben − konsH2S dengan adsorben)(ppm)
𝐾𝑎𝑝. 𝐴𝑑𝑠 =
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑑𝑠𝑜𝑟𝑏𝑒𝑛 (𝑔)
Persentase efisiensi gas H2S yang diadsorpsi dapat dihitung dengan
rumus berikut
(𝑘𝑜𝑛𝑠H2S tanpa adsorben − konsH2S dengan adsorben)μl/ml
%. H2S = × 100%
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑑𝑠𝑜𝑟𝑏𝑒𝑛 μl/ml
13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
14
Gambar 2. Dealuminasi zeolite
Pada penelitian ini zeolite alam yang digunakan sebagai adsorben
mempunyai nilai rasio Si/Al rendah sebesar 5 (seperti ditunjukkan pada Tabel
2), hal ini menunjukkan zeolite bersifat hidrofilik. Zeolit yang baik digunakan
untuk adsorben adalah zeolite yang bersifat hidrofobik dengan nilai rasio
Si/Al >5. Proses dealuminasi dapat meningkatkan rasio Si/Al zeolite. Roocyta
(2006) menyatakan konsentrasi optimum dalam proses dealuminasi dengan
HNO3, Zeolit alam dicuci kembali dengan aquades hingga pH netral. Hal ini
bertujuan untuk menghilangkan kelebihan asam dari ion H+ saat proses
dealuminasi. Adanya gugus H+ dimaksudkan untuk meningkatkan daya aktif
zeolite sebagai adsorben yang berhubungan dengan pusat aktif dan saluran
antara struktur zeolite.
Tahap selanjutnya adalah kalsinasi, suhu 500°C merupakan suhu
optimum dalam proses aktivasi zeolit. Hal ini diperkuat oleh beberapa
penelitian yang menggunakan zeolit sebagai adsorben. Gustian dan Suharto
(2005) menggunakan suhu 500°C dalam pengaktifan zeolit yang digunakan
dalam penurun salinitas air. Selain itu, Setiadi dan Pertiwi (2007) menyatakan
kalsinasi pada suhu 500°C efektif dikarenakan tidak merusak struktur dari
zeolite sebesar 50%. Kalsinasi dilakukan bertujuan untuk menguapkan basa
Bronsted, H2O serta dapat mengatur kembali susunan atom yang tertukar
sehingga menjadi lebih teratur dengan terbentuknya oksida logam yang stabil
dan kuat diantara zeolit (Jetsya dan Maygasari, 2010).
15
Gambar 3. Pembentukan situr asam Bronsted dan Lewia pada zeolite.
16
Berdasarkan kesesuaian difaktogam zeolite pada penelitian ini dengan
referensi dapat disimpulakn bahwa jenis zeolite yang digunakan sebagai
adsorben gas H2S pada penelitian ini adalah jenis modernit. Hal ini dilihat
dari % tertinggi pada daerah 2θ. Hal ini juga dipaparkan oleh kesuma (2013),
mineral modernit memiliki puncak khas pada 2θ= 22,3º , 25,65 º dan 27,66 º.
Modernit merupakan salah satu jenis zeolite yang memiliki stabilitas termal
yang tinggi, hal ini dilihat dari kemampuannya untuk mempertahankan
strukturnya pada suhu tinggi.
C. Komposisi Kimia Zeolit sebelum dan Sesudah Aktivasi
Analisis komposisi zeolit alam pada penelitian ini dilakukan
menggunakan alat X-Ray Fluorosence Thermo ARL 9900. Analisis tersebut
diperoleh hasil bahwa kandungan senyawa dari zeolit tanpa dan dengan
aktivasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Karakterisasi XRF zeolite Alam Tanpa dan dengan Aktivasi
No Logam Zeolit Alam Tanpa Aktivasi Zeolit Alam dengan Aktivasi
(%) (%)
1 Si 31,66 35,02
2 Al 5,71 4,95
3 Fe 1,23 0,28
4 Ca 1,83 0,55
5 Mg 0,47 0,06
6 Na 2,42 0,71
7 K 2,92 1,76
17
logam Al mengalami penurunan sebesar 38,59%. Dengan nilai rasio Si/Al
zeolit alam tanpa dan dengan aktivasi meningkat dari 6 menjadi 11. Hal ini
dikarenakan pada proses refluks zeolite dengan HNO3 8 M selama 24 jam
mampu melarutkan material pengotor di dalam zeolite, selain itu juga terjadi
proses pelepasan Al dalam kerangka menjadi Al di luar kerangka sehingga
rasio Si/Al zeolite meningkat. Semakin besar rasio Si/Al zeolite alam maka
zeolite tersebut bersifat hidrofobik.
D. Karakterisasi Pori Zeolit Alam Tanpa dan dengan Aktivasi
Menggunakan GSA
Salah satu penggunaan zeolit alam adalah dengan memanfaatkan
porositasnya yaitu sebagai adsorben. Untuk mengetahui pori zeolit alam maka
perlu dilakukan identifikasi porositas zeolite alam. Luas permukaan spesifik,
volume total pori dan rerata jari pori dapat dianalisis dengan uji adsorpsi-
desorpsi gas N2 dengan menggunakan persamaan Brunaurer, Emmet dan
Teller (BET).
18
bentuk pelet agar gas H2S dapat mengalir melewati celah-celah adsorben. Jika
adsorben berbentuk serbuk maka gas akan sulit melewati adsorben, meskipun
luas permukaannya lebih besar dibandingkan dengan adsorben dalam bentuk
pelet. Hasil penelitian Wahono dkk. (2010) diketahui bahwa zeolit memiliki
kemampuan penyerapan yang baik terhadap gas yaitu gas H2S. Adsorben
zeolit alam yang telah di bentuk pelet kemudian diujikan pada gas H2S yang
dibuatsecara sintetik. Gas H2S dibuat dengan mereaksikan FeS dan HCl 1M,
sehingga diperoleh persamaan reaksi:
19
Keterangan :
Adsorben 1 adalah adsorben dengan ketebalan 1 cm
Adsorben 2 adalah adsorben dengan ketebalan 2 cm
Adsorben 3 adalah adsorben dengan ketebalan 3 cm
Konsentrasi gas H2S tanpa adsorben dalam larutan penjerap sebesar
59,664 ppm
20
terhadap gas H2S pada adsorben 3 pun lebih besar dengan kemampuan
penyerapan sebesar 91,22%.
Dari Tabel 4 dan tabel 5 dapat disimpulkan bahwa dengan komposisi
masa yang sama pada adsorben 1 kemampuan penyerapan terhadap gas H2S
memiliki kemampuan penyerapan yang berbeda. Adsorben 1 tanpa aktivasi
kemampuan penyerapan terhadap gas lebih kecil disbanding dengan adsorben
1 dengan aktivasi. Hal ini dikarenakan dengan aktivasi luas permukaan,
volume total pori dan rerata jari pori zeolit alam menjadi lebih besar
dibandingkan tanpa aktivasi sehingga kemampuan penyerapan terhadap gas
H2S juga lebih besar. Begitu juga pada adsorben 2 dan 3 tanpa aktivasi.
Berdasarkan data yang disajikan diatas efisiensi penyerapan zeolit alam
terhadap gas H2S optimum terdapat pada adsorben 3 (aktivasi) dengan nilai
persentase penyerapan sebesar 91,22%.
Selain mengetahui efisiensi gas H2S yang teradsorpsi juga dapat
diketahui kapasitas adsorpsi zeolit alam sebagai adsorben tanpa dan dengan
aktivasi.
21
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Zeolit alam dengan aktivasi memiliki nilai kapasitas adsorpsi dua kali
lebih besar dibandingkan zeolit tanpa aktivasi. Selain itu berdasarkan hasil uji
adsorpsi gas H2S menggunakan metode metilen biru pada variasi zeolite
ketebalan adsorben 3 cm memilki nilai efisiensi optimum sebesar 91,22 %.
B. Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca agar dapat terus melakukan
berbagai percobaan untuk meningkatkan pembuatan berbagai material
terutama materi berpori karna sangat berguna untuk kehidupan manusia.
22