Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Inovasi penelitian yang saat ini dikembangkan di Indonesia adalah


memanfaatkan sumber daya alam yang ketersediaannya melimpah sehingga dapat
memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan material aplikatif sebagai
upaya dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu mineral
yang ketersediaannya di Indonesia dalam jumlah yang besar adalah zeolite. Zeolit
merupakan mineral dengan gugusan alumina silica yang bertaut silang melalui
pengikatan atom oksigen dengan struktur (Al,Si)O4 tetrahedral yang terhidrasi
logam alkali dan alkali tanah. Lokasi zeolite alam dapat dijumpai di daerah yang
secara geografis terletak pada jalur pegunungan vulkanik seperti pulau Sumatera,
Jawa, dan Nusa Tenggara TImur.
Data dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mencantumkan
bahwa cadangan zeolite alam yang terdapat di kabupaten Ende, Nusa Tenggara
Timur sekitar 6.115.000 ton. Meskipun cadangan zeolite di daerah ini cukup besar
namun ridak diikuti oleh pemanfaatan yang maksimal. Oleh karena itu, upaya
peningkatan potensi zeolite alam perlu dikembangkan dengan baik sehingga
aplikasinya lebih bervariasi untuk keperluan dalam bidang lingkungan, industry,
dan pertanian. Secara umum kualitas dan potensi zeolite dapat ditingkatkan
melalui proses aktivasi. Selain untuk menghilangkan unsur pengotor, proses
aktivasi zeolitpun dapat merubah rasio Si/Al sehingga karakteristik zeolite sesuai
dengan bahan yang akan diadsorpsi. Aktivasi dapat dilakukan secara fisika dan
kimia. Proses aktivasi fisika dapat dilakukan dengan kalsinasi zeolite alam pada
suhu 600ºC. Aktivasi zeolite alam secara kimia dilakukan dengan senyawa asam
(HCl) dan basa (NaOH) pada berbagai konsentrasi (Dala.2017).
Zeolit merupakan mineral yang terdiri dari kristal aluminosilikat terhidrasi
yang mengandung kation alkali atau alkali tanah dalam kerangka tiga dimensinya.
Ion-ion logam tersebut dapat diganti dengan kation lain tanpa merusak struktur
zeolit dan dapat menyerap air secara reversible. Zeolit pertama kali ditemukan di

1
Swedia pada tahun 1756 oleh Axel Frederick Constedt. Istilah zeolit berasal dari
kata “zein” (bahasa Yunani) yang berarti membuih dan “lithos” yang berarti batu.
Nama ini sesuai dengan sifat zeolit yang akan membuih bila dipanaskan pada
100ºC. Zeolit alam bercampur dengan mineral lain seperti felspar, sodalit, nephelit
dan leusit. Diperkirakan zeolit alam terbentuk dari lava gunung berapi yang
membeku menjadi batuan vulkanik, membentuk sedimen-sedimen dan batuan
metamorfosa dan selanjutnya mengalami proses pelapukan karena pengaruh panas
dan dingin membentuk mineral zeolit. Zeolit merupakan bahan tambang
kelompok mineral yang kegunaannya sangat beragam dan merupakan batuan
lapuk hasil letusan gunung berapi pada zaman Cenozoicum. Di Indonesia banyak
dijumpai di pulau Jawa bagian Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara.
Zeolit memiliki karakteristik yang unik dengan memiliki luas permukaan
besar / gram zeolite karena karakteristiknya yang berpori. Luas permukaan aktif
zeolit hingga 200 m2 / g zeolite [1]. Aplikasi Zeolit di sektor industri adalah
sebagai adsorben, membran, katalis, dll. Adsorpsi adalah proses berbasis
permukaan yang terjadi saat suatu zat terlarut gas atau cairan terakumulasi pada
permukaan suatu zat padat (adsorben) membentuk suatu film molekul atau atom
(adsorbat) [2]. Tantangan untuk sistem adsorpsi dipemisahan industri dan proses
pemurnian mencapai produk yang sebanding kemurnian dengan sistem distilasi
umum. Konsumsi energi juga a smasalah yang relevan untuk dipertimbangkan
dalam membandingkan kedua sistem pemisahan (Wirawan.et.ali.2015).
Adsorben zeolite adalah material yang dapat mengadsorpsi gas berdasarkan
karakteristik porinya. Bahan berpori ini dipilih karena mempunyai luas
permukaan dalam lebih besar dibandingkan dengan luas permukaan luarnya.
Penggunaan material berpori seperti sepiolit, silica dan zeolite sebagai penyerap
gas telah banyak dilakukan. Kombinasi Fe2O3 dan Fe3O4 dengan monmorillonit
untuk mengadsorpsi gas H2S. Zeolit memiliki kemampuan sebagai adsorben
dikarenakan memopunyai rongga dengan struktur kerangka tiga dimensi, tahan
terhadap suhu tinggi dan stabilitas tinggi. Selain itu zeolite juga memiliki ukuran
pori yang seragam dengan kisaran ukuran 3-10 Ǻ sehingga dikategorikan sebagai

2
material mikropori, Volume pori 0,35 cm3/g dan selektivitas yang tinggi
(Mandasari.2014).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kemampuan zeolit alam sebagai adsorben setelah diAktivasi
untuk dapat menyerap gas H2S?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana Kemampuan zeolit alam sebagai adsorben
setelah diAktivasi untuk dapat menyerap gas H2S.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Umum Adsorpsi


Proses adsorpsi terjadi pada permukaan yang menghubungkan dua buah
fasa yang didalamnya terdapat gaya kohesif termasuk gaya hidrostatik dan
gaya ikatan hydrogen yang bekerja diantara molekul seluruh material. Gaya-
gaya yang tidak seimbang pada batas fasa tersebut menyebabkan perubahan-
perubahan konsentrasi molekul pada interface solid/fluida. Proses adsorpsi
melibatkan pemisahan sebuah zat dari suatu fase yang diikuti oleh akumulasi
pada permukaan zat yang lain. Material yang menyerap disebut adsorben
sedangkan material yang teradsorpsi disebut adsorbat (refrigerant). Jika
fenomena adsorpsi disebabkan terutama oleh gaya Van der Waals dan gaya
hidrostatik antara molekul adsorbat dan atom yang membentuk permukaan
adsorben tanpa adanya ikatan kimia maka disebut adsorpsi fisika. Dan jika
terjadi interaksi secara kimia antara adsorbat dan adsorben maka
fenomenanya disebut adsorpsi kimia. Adsorpsi adalah proses eksotermis yang
diikuti oleh adanya pelepasan panas.

Gambar 1. Siklus Dasar refrigerasi adsorpsi (Nurkholis Jayaswobowo)

Siklus refrigerasi adsorpsi sangat tergantung pada adsorpsi gas


refrigeran (uap) ke dalam adsorben pada tekanan rendah dan dilanjutkan
dengan desorpsi dengan pemanasan. Sebagai sebuah gambaran sederhana
dapat dilihat pada gambar 1 diatas, sebuah sistem refrigerasi adsorpsi terdiri
dari dua buah vessel yang saling berhubungan, satu vessel terdiri adsorben
dan vessel kedua terdapat refrigeran. Pada kondisi awal sistem berada pada
tekanan dan temperature rendah, adsorben memiliki konsentrasi refrigerant
yang cukup tinggi dan vessel yang lain terdapat refrigerant dalam bentuk gas
(gambar 2.1.a). Vessel yang terdapat adsorben dipanaskan (desorber) yang
mengakibatkan keluarnya refrigerant dan naiknya tekanan sistem. Refrigerant
yang terdesorpsi kemudian terkondensasi sebagai cairan didalam vessel kedua
dengan dikeluarkannya panas (gambar 1. b) Selanjutnya desorber didinginkan
kembali ke temperature ambien, menyerap kembali refrigeran dan
menurunkan tekanannya. Tekanan yang rendah pada vessel kedua
menyebabkan proses penguapan yang memproduksi efek pendinginan.

4
Gambar 2. Heating & Pressurezation (A), Desorption & Condensation (B),
Cooling & Depressurezation (C), Adsorption &Evaporation (D), (wang,
Adsorption refrigation Ashrae journal).

Siklus adsorpsi dasar terdiri dari empat langkah : pemanasan dan


kompresi tekanan, desorpsi dan kondensasi, pendinginan dan penurunan
tekanan, dan adsorpsi dan penguapan.
 Pada langkah pertama , adsorber dipanaskan oleh sumber panas pada suhu
TH. Tekanan pada adsorber meningkat dari tekanan evaporating hingga
tekanan condensing selama suhu adsorber meningkat . Langkah ini
quivalent ke " kompresi " dalam siklus kompresi uap.
 Pada langkah kedua , adsorber terus menerima panas dan suhu yang terus
meningkat , yang menghasilkan desorpsi ( atau generasi ) dari uap refrigeran
dari adsorben dalam adsorber tersebut . Uap desorbed ini dicairkan dalam
kondensor dan panas kondensasi yang dilepaskan ke heat sink pertama pada
suhu TC . Langkah ini setara dengan " kondensasi " disiklus kompresi uap .
 Pada awal langkah ketiga , adsorber tidak dihubungkan dari kondensor.
Kemudian, itu didinginkan oleh fluida perpindahan panas pada kedua suhu
heat sink dari TM . Tekanan dari adsorber menurun dari tekanan kondensasi
ke tekanan evaporasi akibat penurunan suhu adsorber . Langkah ini setara
dengan " ekspansi " di kompresi uap siklus .
 Pada langkah terakhir , adsorber yang terus melepaskan panas ketika
sedang terhubung ke evaporator. Temperatur adsorber terus menurun, yang
menghasilkan adsorpsi uap refrigeran dari evaporator oleh adsorben,

5
menghasilkan efek pendinginan yang diinginkan . Langkah ini setara
dengan " penguapan " dalam siklus kompresi uap. Siklus refrigasi adsorpsi
adalah sistem intermiten dan output pendingin tidak kontinyu. Minimal dua
penyerap yang diperlukan untuk mendapatkan efek pendinginan yang
terusmenerus (ketika penyerapan pertama adalah dalam tahap adsorpsi,
kedua adsorber dalam tahap desorpsi)
 Penyerap ini akan melaksanakan proses desorpsi adsorpsi
B. Proses Adsorpsi dan Desorpsi Zeolit

Gambar 3. Proses Adsorpsi Zeolit terhadap air (gas/cair, (Windy, Hermawan,


Modul bahan ajar KKRA 2011-2013).
Dengan menggunakan Zeolit, berbentuk seperti pasir alumoslicate,
sebagai adsorbent dan air sebagai fluida kerja, daya pendinginan dan
pemanasan dapat dihasilkan dalam suatu proses adsorpsi. Jika proses ini
berlangsung pada sebuah lingkungan vakum , seperti yang ditunjukkan pada
gambar 3, maka penyerapan air di wadah oleh zeolit itu sedemikian kuatnya
sehingga tekanan internal akan turun secara drastis. Air yang tersisa di wadah
air akan menguap, sehingga akan mendingin dan bahkan dapat membeku
karena adanya penguapan. Es yang di hasilkan dapat di gunakan untuk
pendinginan dan AC. Sementara itu kalor akan di hasilkan secara simultan
karena proses adsorpsi dalam wadah yang dapat di manfaatkan untuk
pemanasan. Jika katup di letaklkan antara saluran penghubung dua wadah,
maka pemanasan atau pendinginan dapat di lakukan secara bergantian. Tanpa
kehilangan energi. Dan tahap ini akan berlangsung hingga zeolit jenuh.

Gambar 4. Proses Desorpsi Zeolite terhadap air (gas/air) (Windy, Hermawan,


Modul bahan ajar KKRA 2011-2013).
Seperti ditunjukkan gambar 4 proses desorpsi dimulai dengan proses
pemanasan. Air di dorong dari zeolite dalam bentuk uap, mengembun di

6
wadah air, dimana di simpan untuk kembali akan di uapkan kembali.
Langkah –langkah urutan proses ini sepenuhnya reversibel dan dapat diulang
berkali – kali.

C. Zeolit Sebagai Adsorben


Kata “zeolit” berasal dari dua kata bahasa Yunani yaitu zeo yang
berartimendidih dan litos yang berarti batu. Zeolit merupakan kelompok
mineral yang mempunyai sifat dapat menyerap air dan melepaskannya lagi
tanpa mengalami perubahan struktur yang signifikan, sehingga zeolit masuk
dalam kelompok zatadsorben. Dalam kelompok adsorben, zeolit termasuk
adsorben yang mempunyaiukuran pori mikro (mikropori) dan dalam
klasifikasi BET, zeolit masuk ke dalam golongan tipe I. (Laeli K.,2011)
a) Struktur Zeolit
Zeolit merupakan Kristal berongga yang terbentuk oleh jaringan
silika alumina tetra hedral tiga imensi dan mempunyai struktur yang
relative teratur dengan rongga yang ada di dalamnya terisi oleh logam
alkali atau alkali tanah sebagai penyeimbang muatannya. Rongga rongga
tersebut merupakan suatu system saluran yang di dalamnnya terisi oleh
molekul air (Ismaryata,1999).

Gambar 5. Kerangka tetra hedral zeolite (Lesley & Elain.1992)

Menurut Barred and Breck, Zeolit di kelompokan menjadi 4 yaitu :


 Zeolit yang terbentuk pada suhu tinggi, dimana masing masing
temperature tertentu akan terbentuk jenis zeolite tertentu pula.
 Zeolit yang terbentuk di dekat permukaan lingkungan sedimentasinya
dengan perubahan kimia.
 Zeolit yang terbentuk pada suhu rendah pada lingkungan pengendapan
laut.
 Zeolit yang terbentuk sebagai akibat terbentuknya “eraters” di
lingkungan dasar laut yang menghasilkan fast hydrothermal
zeolitization dari gelas vulkanik.
b) Sifat-Sifat Umum Zeolit
Zeolit mempunyai beberapa sifat di antaranya (Amelia 2003) :
1. Dehidrasi/Desorpsi

7
Dehidrasi adalah proses yang bertujuan untuk melepaskan molekul
molekul air dari Kristal sehingga terbentuk suatu rongga dengan
permukaan yang lebih besar dan tidak lagi terlindungi oleh sesuatu yang
berpengaruh terhadap proses adsorpsi. Proses dehidrasi memiliki fungsi
utama utama melepas molekul air dari kerngka zeolite sehingga
mempertinggi keaktifan zeolite. Jumlah molekul air sesuai dengan jumlah
pori pori atau volume yang hampa yang akan terbentuk bila unit sel Kristal
zeolite tersebut dipanaskan.
2. Adsorpsi
Pada keadaan normal, ruang hampa dalam Kristal zeolite terisi oleh
molekul air bebas yang berada d sekitar kation. Bila zeolite di panaskan
maka air tersebut akan keluar sehingga zeolite tersebut dapat berfungsi
sebagai penyerap gas / uap cairan. Dehidrasi menyebabkan pori zeolite
sangat terbuka dan mempunyai luas permukaan internal yag mampu
mengadsorpsi sejumlah besar substansi selain air dan mampu memisahkan
molekul zat berdasarkan ukuran molekul dan kepolaranya.
3. Penukaran Ion
Penukar ion di dalam zeolit adalah proses dimana ion zeolite asli yang
terdapat dalam indra kristalin di ganti dengan kation lain dan larutan.
Zeolit mempunyai struktur angka tiga dimensi yang terdiri dari tetrahedral
Si O2 dan Al O4, trivalent Al3+ dalam posisi tetrahedralnya membutuhkan
adanya penambahan muatan listrik, biasanya menggunakan Na+, K+, Mg2+
atau Ca2+. Dalam struktur rangka zeolit , kation kation tersebut tidak
terikat pada posisi yang tepat, tapi dapat bergerak bebas dalam rangka
zeolit dan bertindak sebagai “counter ion” yang dapat di pertukarkan
dengan kation kation lain.
4. Katalisator
Zeolit merupakan katalisator yang baik karena mempunyai pori pori
yang besar dengan permukaan yang luas dan juga memiliki sisi aktif.
Dengan adanya rongga intrakristalin, zeolit dapat dignakan sebagai katalis.
Reaksi kataliktik dipengaruhi oleh ukuran mulut rongga dan sistem alur,
karena reaksi ini tergantung pada difusi pereaksi dan hasil reaksi.
5. Penyaring/ Pemisah
Zeolit mampu memisahkan berdasarkan perbedaan ukuran, bentuk dan
polaritas dari molekul yang disaring. Zeolit mampu memisahkan molekul
gas atau zat dari suatu campuran tertentu karena mempunyai rongga yang
cukup besar dengan garis tengah yang bermacam macam (antara 23A).
Volume dan ukuran garis tengah ruang kosong dalam kristal kristal ini
menjadi dasr kemampuan zeolit untuk bertindak sebagai penyaring
molekul. Molekul yang berukuran lebih kecil dapat dimasukan ke dalam

8
pori. Sedangkan molekul yang berukuran lebih besar dari pori akan
tertahan.
Untuk mendapatkan kandungan aluminium yang optimum pada zeolit
dapat dilakukan dengan metode dealuminasi. Dealuminasi dapat
digunakan untuk mnegontrol aktivitas keasaman dan ukuran pori pori
zeolit berhubungan dengan fungsi zeolit sebagai penyerap.
c) Sifat Fisik dan Kimia Zeolit
Zeolit memiliki sifat fisik dan kimia yaitu (Sutarti,1994) :
 Hidrasi derajat yang tinggi
 Ringan
 Penukar ion yang tinggi
 Ukuran saluran yang uniform
 Menghantar listrik
 Mengadsorpsi uap dan gas
 Mempunyai sifat katalistik
Karakteristik Zeolit meliputi :
 Density : 1,1 gr,cc
 Porositas : 0,31
 Volume berpori : 0,28-3 cc/gr
 Surface area : 1-20 m2/gr
 Jari-jari makropori : 30-100 nm
 Jari-jari mikropori : 0,5 nm

Zeolit yang diperoleh dari proses penyiapan telah dapat digunakan


untuk berbagai keperluan. Akan tetapi daya serap, daya ukar ion maupun
daya katalis dari zeolit tersebut belum maksimal. Untuk memperoleh zeolit
dengna kemampuan yang tinggi diperlukan beberapa perlakuan, antara lain
preparasi, aktivasi dan modifikasi.
1) Preparasi
Tahap ini bertujuan untuk memperoleh ukuran produk yang sesuai
dengna tujuan penggunaan. Preparasi ini terdiri dari tahap peremukan
(crushing) sampai penggerusan (grinding).
2) Aktivasi
Proses aktivasi zeolit dapat dilakukan dengna 2 cara yaitu secara
fisis dan kimiawi. Aktivasi secara fisis berupa pemanasan zeolit dengna
tujuan untuk menguapkan air yang terperangkap dalam pori-pori kristal
zeolit sehingga luas permukaan pori-pori bertambah. Aktivasi secara
kimia dilakukan dengna larutan asam H2SO4 atau basa NaOH dengan
tujuan untuk membersihkan permukaan pori, membuang senyawa

9
pengotor dan mengatur kembali letak atom yang dipertukarkan. Pereaksi
kimia ditambahkan pada zeolit yang telah disusun dalam tangki dan
diaduk dalam jangka waktu tertentu. Zeolit kemudian dicuci dengan air
sampai netral dan selanjutnya dikeringkan.
3) Modifikasi
Di dalam proses pengolahan air, zeolit hasi laktivasi telah mampu
menyerap ion logam berat yang berbentuk kation. Agar zeolit dapat juga
menyerap logam berat yang berupa anion, mikroorganisme serta zat
organik lain maka zeolit perlu dimodifikasi. Cara modifikasi ialah
dengan jalan melapisi zeolit dengan polimer organik vinil piridin,
polimer organik alam atau dengan mangan

10
BAB III
METODE PENELITIAN

D. Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Amilum, HNO3,
H2SO4, HCl, (NH4)2SO4, FeCl3, 6H2O, Na2CO3, Na2S, 9H2O, para-amino
dimetalanilin dihidroklorida, ZnSO4.7H2O, Aquades. Sampel yang digunakan
adalah zeolite alam.
Tabel 1 Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
No. Nama Alat Manfaat
1. Neraca Analitis Menimbang massa bahan yang digunakan
2. Ayakan 100 mesh Mengayak bahan dengan kehalusan 100 mesh
3. Magnetic Stirer Mengaduk campuran/Sampel
4. Mortar Menggiling/Menghaluskan bahan
5. Tanur Alat Uji Kekerasan Sampel
6. Jangka Sorong Mengukur diameter dan tebal sampel
7 Spektrofotometer Mengkarakterisasi zeolit
UV-Vis
8. Hot Plate Memanaskan Campuran/sampel
9. Oven Mengeringkan bahan
10. XRD Mengkarakterisasi zeolit
11. XRF Mengkarakterisasi zeolit
12. GSA Mengkarakterisasi zeolit

E. Prosedur Penelitian
a) Preparasi Zeolit Alam
Zeolite alam dihaluskan kemudian diayak menggunakan ayakan
100 mesh. Zeolit selanjutnya dicuci menggunakan aquades hingga
mencapai pH netral (pH=7). Setelah itu zeolite dikeringkan di dalam oven
selama 4 jam pada suhu 110ºC. Zeolit kemudian dianalisis menggunakan
GSA,XRD, dan XRF.
b) Aktivasi Zeolit Alam
Metode ini mengacu kepada Roocyta (2006) dimana aktivasi
zeolite alam dilakukan dengan 3 tahap yaitu tahap demineralisasi,
dealuminasi dna kalsinasi. Tahap pertama yaitu demineralisasi zeolite
alam. Zeolit hasil preparasi dicuci dengan menggunakan EDTA 1 M
melalui proses refluks pada suhu 80-90ºC selama 24 jam. Setelah
direfluks, sampel dicuci dengan aquades hingga pH netral (pH=7).
Sampel kemudian disaring dan diambil endapannya. Endapan yang
diperoleh dikeringkan di dalam oven selama 4 jam suhu 110ºC dan
ditimbang.

11
Tahap kedua yaitu dealuminasi, sampel zeolite hasil demineralisasi
ditimbang dan direfluks selama 24 jam pada suhu 80-90ºC. Setelah itu,
sampel diuci dengan menggunakan aquades hingga pH netral (pH=7).
Sampel disaring dan diambil endapannya. Kemudian endapan tersebut
dikeringkan di dalam oven selama 4 jam pada suhu 110ºC dan ditimbang.
Terakhir tahap ketiga yaitu zeolite dikalsinasi selama 3 jam pada suhu
500ºC.
c) Pembuatan Adsorben
Prose pembuatan adsorben yaitu zeolite teraktivasi (serbuk)
ditimbang kemudian dicampurkan dengan aquades. Campuran zeolite
diaduk hingga merata dan dibentuk pelet. Zeolit yang telah berbentuk
pellet dikeringkan di dalam oven dan disimpan dalam desikator selama 30
menit. Pelet yang telah kering dimasukkan ke dalam tabung adsorben
dengan masing-masing variasi ketebalan yaitu 1, 2 dan 3 cm.
d) Pembuatan Gas H2S
Prosedur pembuatan gas H2S mengacu pada penelitian Prasetyo
(2002). FeS dan Hl 1 M direaksikan dengan komposisi masa 0,06 g dan
1,5 mL. Gas yang terbentuk dialirkan ke dalam Erlenmeyer yang telah
berisis 50 mL larutan penjerap (ZnSO4) untuk kemudian diuji kadar
H2Snya.

Gambar 1. Pembuatan gas H2S


Uji kadar H2S dengan metode metilen biru menggunakan
spektrofotometer mengacu pada SNI 19-7117.7-2005.
F. Pengambilan Gas H2S
c) Persiapan contoh uji
Larutan yang berisi 50 mL contoh uji dipindahkan dari rangkaian
dan dibilas dengan menggunakan aquades. Contoh uji kemudian
diencerkan hingga volume 200 mL dengan menggunakan aquades
(sampel). Selain itu disiapkan 100 mL larutan penjerap (ZnSO4)
kemudian diencerkan dengan aquades hingga volume 200 mL (blanko).
d) Pengujian Contoh Uji

12
Larutan contoh uji dan blanko dipipet sebanyak 20 mL ke dalam
tabung reaksi. Masing-masing tabung ditambahkan 2 mL para-
aminodimetilanilin dan 1 mL FeCl3 Kemudian dihomogenkan. Setelah itu
diencerkan dengan aquades hingga volume 25 mL, dihomogenkan kembali
dan didiamkan 30 menit. Larutan contoh uji diukur serapannya pada
panjang gelombang 670 nm dan dihitung konsentrasi gas H2S dengan
menggunakan kurva kalibrasi. Kapasitas Adsorpsi Zeolit Alam dapat
dihitung dengan rumus berikut.
(𝑘𝑜𝑛𝑠H2S tanpa adsorben − konsH2S dengan adsorben)(ppm)
𝐾𝑎𝑝. 𝐴𝑑𝑠 =
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑑𝑠𝑜𝑟𝑏𝑒𝑛 (𝑔)
Persentase efisiensi gas H2S yang diadsorpsi dapat dihitung dengan
rumus berikut
(𝑘𝑜𝑛𝑠H2S tanpa adsorben − konsH2S dengan adsorben)μl/ml
%. H2S = × 100%
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑑𝑠𝑜𝑟𝑏𝑒𝑛 μl/ml

13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Preparasi Zeolit dan Aktivasi Alam


Preparasi zeolite alam diawali dengan tahap penghalusan dan
pengayaan. Zeolit alam dihaluskan dengan proses penggilingan kemudian
diayak menggunakan ayakan 100 mesh. Hal ini bertujuan untuk memperoleh
ukuran partikel yang halus dan homogeny. Dengan ukuran partikel yang
halus, luas permukaannya akan meningkat. Zeolit yang telah seragam
ukurannya kemudian dicuci dengan menggunakan aquades hingga pH netral.
Pencucian dengan aquades bertujuan untuk menghilangkan debu dan
pengotor-pengotor yang menempel pada permukaan zeolite. Selanjutnya
zeolite dikeringkan di dalam oven pada suhu ± 110ºC selama 4 jam.
Pengeringan ini bertujuan untuk menghilangan kandungan air yang terdapat
pada zeolite setelah proses pencucian.
Aktivasi zeolite meliputi tiga tahap yaitu demineralisasi, dealuminasi
dan kalsinasi. Demineralisai adalah proses untuk mengurangi mineral-mineral
yang terdapat di dalam zeolit. Proses demineralisasi zeolit menggunakan
Etilen Diamin Tetra Asetat (EDTA) 1 M yang merupakan ligan heksadentat
yang mempunyai enam atom donor yaitu dua atom nitrogen dan empat atom
oksigen dari empat gugus asetat. Ligan ini merupakan ligan multidentat
karena memiliki lebih dari dua atom koordinasi per molekul.
Dealuminasi zeolite alam menggunakan HNO3 8 M dilakukan untuk
mengurangi kandungan aluminium yang terdapat di kerangka maupun
permukaan zeolit. Dengan berkurangnya Al maka rasio Si/Al akan meningkat
sehingga bersifat hidrofobik, sehingga kemampuan penyerapan zeolit
terhadap gas akan semakin besar. Selain itu proses dealuminasi juga
dilakukan untuk menjaga stabilitas struktur pori dan meningkatkan kapasitas
adsorpsi zeolite.
Pada proses dealuminasi, ion H+ yang dihasilkan dari reaksi penguraian
HNO3 akan mengurangi ikatan atom Al yang berada pada kerangka zeolite.
Ion H+ akan diserang oleh atom oksigen yang terikat pada Si dan Al.
Berdasarkan harga energy disosiasi ikatan Al-O (116 kkal/mol) lebih rendah
dibandingkan dengan nilai energy disosiasi ikatan Si-O (190 kkal/mol) maka
dari pada itu ikatan Al-O jauh lebih mudah untuk terurai dibandingkan
dengan ikatan Si-O. Ion H+ cenderung mengakibatkan pemutusan ikatan Al-O
dan membentuk gugus silanol. Sedangkan ion NO3- memiliki
elektronegativitas yang tinggi dan berukuran kecil sehingga mengakibatkan
ion dihasilkan dari reaksi penguraian HNO3 akan mengurangi ikatan NO3-
mudah untuk berikatan dengan kation bevalensi besar seperti Si4+ dan Al3+.
Ion NO3- cenderung akan berikatan dengan atom Al (1,61) lebih kecil
dibandingkan dengan elektronegativitas atom Si (1,90) Mekanisme reaksinya
dapat dilihat pada Gambar 2.

14
Gambar 2. Dealuminasi zeolite
Pada penelitian ini zeolite alam yang digunakan sebagai adsorben
mempunyai nilai rasio Si/Al rendah sebesar 5 (seperti ditunjukkan pada Tabel
2), hal ini menunjukkan zeolite bersifat hidrofilik. Zeolit yang baik digunakan
untuk adsorben adalah zeolite yang bersifat hidrofobik dengan nilai rasio
Si/Al >5. Proses dealuminasi dapat meningkatkan rasio Si/Al zeolite. Roocyta
(2006) menyatakan konsentrasi optimum dalam proses dealuminasi dengan
HNO3, Zeolit alam dicuci kembali dengan aquades hingga pH netral. Hal ini
bertujuan untuk menghilangkan kelebihan asam dari ion H+ saat proses
dealuminasi. Adanya gugus H+ dimaksudkan untuk meningkatkan daya aktif
zeolite sebagai adsorben yang berhubungan dengan pusat aktif dan saluran
antara struktur zeolite.
Tahap selanjutnya adalah kalsinasi, suhu 500°C merupakan suhu
optimum dalam proses aktivasi zeolit. Hal ini diperkuat oleh beberapa
penelitian yang menggunakan zeolit sebagai adsorben. Gustian dan Suharto
(2005) menggunakan suhu 500°C dalam pengaktifan zeolit yang digunakan
dalam penurun salinitas air. Selain itu, Setiadi dan Pertiwi (2007) menyatakan
kalsinasi pada suhu 500°C efektif dikarenakan tidak merusak struktur dari
zeolite sebesar 50%. Kalsinasi dilakukan bertujuan untuk menguapkan basa
Bronsted, H2O serta dapat mengatur kembali susunan atom yang tertukar
sehingga menjadi lebih teratur dengan terbentuknya oksida logam yang stabil
dan kuat diantara zeolit (Jetsya dan Maygasari, 2010).

15
Gambar 3. Pembentukan situr asam Bronsted dan Lewia pada zeolite.

B. Karakterisasi XRD Zeolit Alam


Karakterisasi kristalinitas zeolite alam dilakukan menggunakan X-Ray
Diffraction (XRD) yang bertujuan untuk mengetahui jenis mineral penyusun
zeolite. Hasil analisa pada penelitian ini ditunjukkan pada difraktogram
zeolite alam Gambar 4.

Gambar 4. Hasil analisis XRD zeolit alam

Jenis mineral penyusun zeolit ditandai dengan munculnya puncak (2θ)


pada daerah tertentu dari tingkat kristalinitas struktur komponen. Mineral
penyusun zeolit alam kebanyakan adalah kuarsa dan modernit. Hal ini dapat
dilihat dari puncak tertinggi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

16
Berdasarkan kesesuaian difaktogam zeolite pada penelitian ini dengan
referensi dapat disimpulakn bahwa jenis zeolite yang digunakan sebagai
adsorben gas H2S pada penelitian ini adalah jenis modernit. Hal ini dilihat
dari % tertinggi pada daerah 2θ. Hal ini juga dipaparkan oleh kesuma (2013),
mineral modernit memiliki puncak khas pada 2θ= 22,3º , 25,65 º dan 27,66 º.
Modernit merupakan salah satu jenis zeolite yang memiliki stabilitas termal
yang tinggi, hal ini dilihat dari kemampuannya untuk mempertahankan
strukturnya pada suhu tinggi.
C. Komposisi Kimia Zeolit sebelum dan Sesudah Aktivasi
Analisis komposisi zeolit alam pada penelitian ini dilakukan
menggunakan alat X-Ray Fluorosence Thermo ARL 9900. Analisis tersebut
diperoleh hasil bahwa kandungan senyawa dari zeolit tanpa dan dengan
aktivasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Karakterisasi XRF zeolite Alam Tanpa dan dengan Aktivasi
No Logam Zeolit Alam Tanpa Aktivasi Zeolit Alam dengan Aktivasi
(%) (%)
1 Si 31,66 35,02
2 Al 5,71 4,95
3 Fe 1,23 0,28
4 Ca 1,83 0,55
5 Mg 0,47 0,06
6 Na 2,42 0,71
7 K 2,92 1,76

Berdasarkan hasil X-Ray Fluorosence (XRF) pada Tabel 2 terlihat


bahwa kandungan logam Si pada zeolite tanpa dan dengan aktivasi
meningkat. Kandungan logam Al zeolite tanpa dan dengan aktivasi
meningkat. Kandungan logam Al zeolite tanpa dan dengan aktivasi menurun.
Rasio Si/Al zeolite alam tanpa dan dengan aktivasi meningkat dari 5 menjadi
7. Selain itu hasil XRF menunjukkan bahwa kadar logam alkali dan alkali
tanah (seperti Na,K,Mg dan Ca) dengan aktivasi mengalami penurunan, hal
ini juga diikuti dengan penurunan logam Fe. Penambahan EDTA pada proses
demineralisasi mampu menghilangkan mineral dan mengikat logam-logam
pengotor pada zeolit. Hal ini juga dipaparkan pada penelitian Kesuma (2013)
bahwa pada tahap dealuminasi logam Si meningkat sebesar 19,23% dan

17
logam Al mengalami penurunan sebesar 38,59%. Dengan nilai rasio Si/Al
zeolit alam tanpa dan dengan aktivasi meningkat dari 6 menjadi 11. Hal ini
dikarenakan pada proses refluks zeolite dengan HNO3 8 M selama 24 jam
mampu melarutkan material pengotor di dalam zeolite, selain itu juga terjadi
proses pelepasan Al dalam kerangka menjadi Al di luar kerangka sehingga
rasio Si/Al zeolite meningkat. Semakin besar rasio Si/Al zeolite alam maka
zeolite tersebut bersifat hidrofobik.
D. Karakterisasi Pori Zeolit Alam Tanpa dan dengan Aktivasi
Menggunakan GSA
Salah satu penggunaan zeolit alam adalah dengan memanfaatkan
porositasnya yaitu sebagai adsorben. Untuk mengetahui pori zeolit alam maka
perlu dilakukan identifikasi porositas zeolite alam. Luas permukaan spesifik,
volume total pori dan rerata jari pori dapat dianalisis dengan uji adsorpsi-
desorpsi gas N2 dengan menggunakan persamaan Brunaurer, Emmet dan
Teller (BET).

Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa luas permukaan zeolit alam dengan


aktivasi mengalami peningkatan lima kali lipat dari zeolit alam tanpa aktivasi.
Rerata jari pori zeolit alam setelah aktivasi meningkat enam kali dan volume
total pori zeolit dengan aktivasi meningkat dibandingkan dengan zeolit tanpa
aktivasi. Disimpulkan bahwa zeolit alam dengan aktivasi dapat menyerap gas
H2S lebih besar dibandingkan dengan zeolit alam tanpa aktivasi. Hal ini
dikarenakan luas permukaan, rerata jari pori dan volume total porinya lebih
besar untuk berinteraksi dengan gas H2S. Interaksi yang terjadi antara zeolit
dan gas merupakan interaksi gadient luas permukaan kuadrupol molekul. Sisi
aktif dari zeolit akan lebih mudah berinteraksi dengan gas yang memiliki
momen kuadrupol yang lebih besar atau sebanding (Tagliabue et al., 2009).
E. Pembuatan Adsorben dan Uji Daya Adsorpsi Gas H2S
Adsorben gas H2S pada penelitian ini dibuat dari zeolit alam tanpa dan
dengan aktivasi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan penyerapan
dari masing-masing variasi adsorben. Adsorben dari zeolit alam ini
dicampurkan dengan akuades dan dibentuk pelet. Adsorben dibuat dalam

18
bentuk pelet agar gas H2S dapat mengalir melewati celah-celah adsorben. Jika
adsorben berbentuk serbuk maka gas akan sulit melewati adsorben, meskipun
luas permukaannya lebih besar dibandingkan dengan adsorben dalam bentuk
pelet. Hasil penelitian Wahono dkk. (2010) diketahui bahwa zeolit memiliki
kemampuan penyerapan yang baik terhadap gas yaitu gas H2S. Adsorben
zeolit alam yang telah di bentuk pelet kemudian diujikan pada gas H2S yang
dibuatsecara sintetik. Gas H2S dibuat dengan mereaksikan FeS dan HCl 1M,
sehingga diperoleh persamaan reaksi:

Adsorben dimasukkan kedalam tabung adsorben dengan variasi


ketinggian tabung 1, 2 dan 3 cm. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan penyerapan optimum dari masing-masing adsorben. Gas H2S
yang terbentuk dialirkan tanpa dan dengan menggunakan adsorben. Uji gas
tanpa adsorben ini dilakukan sebagai pembanding untuk mengetahui gas H2S
yang terbentuk, sehingga dengan ditambahkan adsorben dapat siketahui
kemampuan penyerapan adsorben tersebut. Gas H2S yang terbentuk dialirkan
dan ditangkap oleh larutan penjerap (ZnSO4) dan ditepatkan dengan H2O
sehingga terbentuk persamaan reaksi

Larutan yang telah menjerap gas H2S kemudian diukur konsentrasinya


dengan metode metilen biru menggunakan spektrofotometer UV-Vis
berdasarkan SNI 19-7117.72005. Untuk mengetahui konsentrasi H2S yang
terserap pada penelitian ini dibuat terlebih dahulu kurva kalibrasi dengan lima
variasi konsentrasi sehingga didapatkan persamaan garis y = 0.014x + 0.058
dengan nilai R2 sebesar 0.98 (seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5).
Persamaan garis yang didapatkan dari kurva kalibrasi digunakan untuk
menentukan konsentrasi H2S sampel yang akan diuji pada penelitian ini.

Gambar 5. Kurva kalibrasi antara konsentrasi standar dengan


adsorbansi Tanpa Aktivasi

19
Keterangan :
Adsorben 1 adalah adsorben dengan ketebalan 1 cm
Adsorben 2 adalah adsorben dengan ketebalan 2 cm
Adsorben 3 adalah adsorben dengan ketebalan 3 cm
Konsentrasi gas H2S tanpa adsorben dalam larutan penjerap sebesar
59,664 ppm

Pada Tabel 4 adsorben 1 tanpa aktivasi memiliki kemampuan


penyerapan terhadap gas H2S paling kecil dibandingkan dengan adsorben 2
dan 3 tanpa aktivasi. Hal ini berhubungan dengan masa adsorben yang
digunakan untuk proses adsorpsi. Adsorben 2 komposisi masa yang
digunakan dalam penyerapan dua kali lipat lebi hbanyak dibandingkan
dengan adsorben 1 yaitu sebanyak 10 g. Sedangkan adsorben 3 memiliki
masa tiga kali lipat lebih banyak dari adsorben 1 sebanyak 15 g. Sehingga
dari Tabel 4 diatas dapat disimpulkan bahwa semakin banyak adsorben yang
digunakan maka semakin besar kemampuan penyerapan zeolit alam terhadap
gas H2S.
Selain dilakukan pengukuran kemampuan penyerapan zeolite alam
tanpa aktivasi terhadpa gas H2S juga dilakukan pengukuran gas H2S
menggunakan zeolite alam dengan aktivasi.

Berdasarkan Tabel 5 adsorben 1 dengan aktivasi memiliki kemampuan


penyerapan paling rendah yaitu sebesar 72,12% dibandingkan dengan
adsorben 2 dan 3 dengan aktivasi. Hal ini dikarenakan komposisi masa
adsorben yang digunakan pada adsorben 1 lebih sedikit dibandingkan
adsorben 2 dan 3. Adsorben 2 memiliki komposisi masa sebanyak 10 g dan
adsorben 3 memiliki masa sebanyak 15 g. Sehingga kemampuan penyerapan

20
terhadap gas H2S pada adsorben 3 pun lebih besar dengan kemampuan
penyerapan sebesar 91,22%.
Dari Tabel 4 dan tabel 5 dapat disimpulkan bahwa dengan komposisi
masa yang sama pada adsorben 1 kemampuan penyerapan terhadap gas H2S
memiliki kemampuan penyerapan yang berbeda. Adsorben 1 tanpa aktivasi
kemampuan penyerapan terhadap gas lebih kecil disbanding dengan adsorben
1 dengan aktivasi. Hal ini dikarenakan dengan aktivasi luas permukaan,
volume total pori dan rerata jari pori zeolit alam menjadi lebih besar
dibandingkan tanpa aktivasi sehingga kemampuan penyerapan terhadap gas
H2S juga lebih besar. Begitu juga pada adsorben 2 dan 3 tanpa aktivasi.
Berdasarkan data yang disajikan diatas efisiensi penyerapan zeolit alam
terhadap gas H2S optimum terdapat pada adsorben 3 (aktivasi) dengan nilai
persentase penyerapan sebesar 91,22%.
Selain mengetahui efisiensi gas H2S yang teradsorpsi juga dapat
diketahui kapasitas adsorpsi zeolit alam sebagai adsorben tanpa dan dengan
aktivasi.

Gambar 6. Kapasitas penyerap zeolite pada gas H2S


Zeolit dengan aktivasi memiliki pengaruh besar terhadap adsorpsi gas
H2S. Hal ini terlihat bahwa adsorpsi gas H2S oleh zeolite tanpa aktivasi hanya
mampu menyerap 2,267 ppm/g sedangkan zeolite alam dengan aktivasi
mampu menyerap dua kali lebih besar gas H2S yang terserap yaitu sebanyak
5,731 ppm/g. Yuliusman dkk. (2010) menyatakan hal ini dikarenakan pada
zeolite dengan aktivasi terjadi pelepasan zat-zat pengotor di dalam poro-pori
zeolite sehingga pori-pori yang terbuka berisis zat pengotor dapat
mengadsorpsi gas H2S.

21
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Zeolit alam dengan aktivasi memiliki nilai kapasitas adsorpsi dua kali
lebih besar dibandingkan zeolit tanpa aktivasi. Selain itu berdasarkan hasil uji
adsorpsi gas H2S menggunakan metode metilen biru pada variasi zeolite
ketebalan adsorben 3 cm memilki nilai efisiensi optimum sebesar 91,22 %.
B. Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca agar dapat terus melakukan
berbagai percobaan untuk meningkatkan pembuatan berbagai material
terutama materi berpori karna sangat berguna untuk kehidupan manusia.

22

Anda mungkin juga menyukai