Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PRAKTIKUM

ADSORPSI DAN KOLOID

Disusun oleh :

Nama : Viramitha Tualeka


Stambuk : 09320220345
Kelas/Kelompok : C10/4(Empat)

Asisten

(Nurul Makka Mustafa)

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem koloid adalah suatu bentuk campuran yang ukuran partikelnya
terletak antara ukuran partikel larutan sejati dan ukuran partikel suspensi
kasar. Sistem koloid dibedakan atas tingkat wujud fase terdispersi dan
medium pendispersinya.
Sistem koloid dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai
contoh cat adalah sistem koloid yang merupakan campuran heterogen zat
padat pada koloid yang tersebar merata dalam zat cair Sistem koloid
merupakan suatu bentuk campuran yang keadaannya terletak antara larutan
dan suspensi (campuran kasar), contohnya lem, kanji, santan, dan jeli.
Analisis sistem koloid diawali oleh percobaan Thomas Graham.

Thomas Graham menemukan bahwa berbagai larutan misalnya HCl dan

NaCl mudah berdifusi, sedangkan zat-zat seperti kanji, gelatin dan putih

telur sangat lambat atau sama sekali tidak berdifusi. Ia menemukan waktu

difusi relatif untuk berbagai zat. Oleh karena zat yang mudah berdifusi

biasanya berbentuk kristal dalam keadaan padat, Graham menyebutnya

kristaloid. Sedangkan, zat-zat yang sukar berdifusi disebutnya koloid.


Istilah koloid berasal dari bahasa Yunani, yaitu "kolla" dan "oid".
Kolla berarti lem sedangkan oid berarti seperti. Dalam hal ini yang dikaitkan
dengan lem adalah sifat difusinya, sebab sistem koloid mempunyai nilai
difusi yang rendah seperti lem. Untuk memahami sistem koloid, kita dapat
membandingkan tiga jenis campuran yaitu campuran kopi dalam air,
campuran garam dalam air dan campuran susu dalam air. Ketika kita
mencampurkan kopi dalam air, ternyata kopi tidak larut dalam air.
Walaupun campuran ini diaduk, lambat laun kopi akan memisah. Campuran
seperti ini kita sebut suspensi. Suspensi bersifat heterogen, tidak kontinu,
sehingga merupakan sistem dua fase. Ukuran partikel tersuspensi lebih besar
dari 100 nm. Suspensi dapat dipisahkan dengan penyaringan (Mose Y,
2014).
1.2 Tujuan Percobaan
Mempelajari sistem koloid dan daya arang aktif terhadap asam asetat
dengan berbagai macam kosentrasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Adsorpsi


Adsorpsi adalah proses perpindahan massa pada permukaan
pori-pori dalam butiran adsorben. Adsorpsi dapat terjadi karena adanya
energi permukaan dan gaya tarik menarik permukaan. Activated carbon
adalah suatu bahan yang berupa karbon amorf yang sebagian besar
terdiridari karbon bebas serta mempunyai kemampuan daya jerap (adsorpsi)
yang baik. Activated carbon digunakan sebagai bahan pemucat
(penghilang zat warna), penjerap gas, penjerap logam, dan sebagainya. Dari
bahan tersebut yang paling sering dipergunakan sebagaibahan adsorben
adalah activated carbon (Sains dan Teknologi Lingkungan et al., n.d.)
Substansi yang terkonsentrasi pada permukaan didefinisikan sebagai
adsorbat dan material dimana adsorbat terakumulasi didefinisikan sebagai
adsorben. Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida
(cairan maupun gas) terikat kepada suatu padatan dan akhirnya membentuk
suatu film (lapisan tipis) pada permukaan padatan tersebut. Berbeda dengan
absorpsi, dimana fluida terserap oleh fuida lainnya dengan membentuk suatu
larutan.
Adsorpsi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu adsorpsi fisika
(disebabkan oleh gaya Van Der Waals penyebab terjadinya kondensasi gas
untuk membentuk cairan yang ada pada permukaan adsorben) dan adsorpsi
kimia (terjadi reaksi antara zat yang dijerap dengan adsorben, banyaknya zat
yang teradsorbsi tergantung pada sifat khas zat padatnya yang merupakan
fungsi tekanan dan suhu).
Proses adsorpsi dapat berlangsung jika suatu permukaan padatan dan
molekul-molekul gas atau cair, dikontakan dengan molekul-molekul tersebut, maka
didalamnya terdapat gaya kohesif termasuk gaya hidrostatik dan gaya ikatan
hydrogen yang bekerja diantara molekul seluruh material.
Gaya-gaya yang tidak seimbang pada batas fasa tersebut menyebabkan
perubahan-perubahan konsentrasi molekul pada interface solid/fluida. Untuk
mengetahui karakteristik yang terjadi dalam proses adsorpsi dapat diilustrasikan
dengan gambar 2.1 dibawah ini.
Desorp/melepaskan

Adsorp/
menghisap

Gambar 2.1 Gambar adsorpsi dan desorpsi (joejaworski.files).

Padatan berpori yang menghisap (adsorption) dan melepaskan


(desorption) suatu fluida disebut adsorben. Molekul fluida yang dihisap
tetapi tidak terakumulasi atau melekat kepermukaan adsorben disebut
adsorptive, sedangkan yang terakumulasi atau melekat disebut adsorbat.
Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan
maupun gas) terikat kepada suatu padatan dan akhirnya membentuk suatu
film (lapisan tipis) pada permukaan padatan tersebut.
Jika fenomena adsorpsi biasanya disebabkan terutama oleh gaya Van
der Waals dan gaya hidrostatik antara molekul adsorbat, maka atom yang
membentuk permukaan adsorben tanpa adanya ikatan kimia disebut adsorpsi
fisika. Dan jika terjadi interaksi secara kimia antara adsorbat dan adsorben,
maka fenomena tersebut disebut adsorpsi kimia. Pada dasarnya adsorben itu
sendiri dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Adsorben yang mengadsorpsi secara fisik (karbon aktif, silika gel dan
zeolit)
2. Adsorben yang mengadsorpsi secara kimia (calcium cholide, metal
hydride, dan complex salts ), dan
3. Composite adsorbent adsorben yang mengadsorpsi secara kimia dan
fisika (Budilaksono, 2007).

2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adsorpsi


Performa mesin pendingin adsorpsi sangat dipengaruhi baik oleh
perpindahan kalor maupun perpindahan massa. Sedangkan daya adsorpsi
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
a. Tekanan (P), Tekanan yang dimaksud adalah tekanan adsorbat.
Kenaikan tekanan adsorbat dapat menaikan jumlah yang diadsopsi.
b. Temperatur absolut (T), Temperatur ytang dimaksud adalah temperatur
adsorbat. Pada saat molekul-molekul gas atau adsorbat melekat pada
permukaan adsorben akan terjadi pembebasan sejumlah energi yang
dinamakan pristiwa eksotermis. Berkurangnya temperatur akan
menambah jumlah adsorbat yang teradsopsi demikian juga untuk
pristiwa sebaliknya.
c. Interaksi potensial (E), interaksi potensial ini terjadi antara adsorbat
dengan dinding adsorben sangat-sangat bervariasi, tergantung
berdasarkan sifat adsorbat-adsorben (Bambang, 2004).
d. Jenis adsorbat
1. Ukuran molekul adsorbat
Ukuran molekul yang sesuai merupakan hal penting agar
proses adsorpsi dapat terjadi, karena molekul-molekul yang dapat
diadsorpsi adalah molekul-molekul yang diameternya lebih kecil
atau sama dengan diameter pori adsorben.
2. Kepolaran zat
Apabila berdiameter sama, molekul-molekul polar lebih kuat
diadsorpsi daripada molekul-molekul tidak polar. Molekul-molekul
yang lebih polar dapat menggantikan molekul-molekul yang
kurang polar yang terlebih dahulu teradsorpsi.
e. Karakteristik adsorben
1. Kemurnian adsorben sebagai zat untuk mengadsorpsi, maka adsorben
yang lebih murni lebih diinginkan karena kemampuan adsorpsi lebih baik.
2. Luas permukaan dan volume pori adsorben Jumlah molekul
adsorbat yang meningkat dengan bertambahnya luas volume pori
adsorben.
2.3 Adsorben
Kemampuan kerja alat untuk menghasilkan suhu yang rendah sangat
dipengaruhi oleh jenis adsorben. Dimana penyerapan adsorben dipengaruhi
oleh volume yang dipakai, dan luas permukaan spesifik.
Karakteristik adsorben yang dibutuhkan untuk adsorpsi yang baik:
1. Luas permukaan adsorben. Semakin besar luas permukaan maka
semakin besar pula daya adsorpsinya, karena proses adsorpsi terjadi
pada permukaan adsorben.
2. Tidak ada perubahan volume yang berarti selama proses adsorpsi dan
desorpsi.
3. Kemurnian adsorben. Adsorben yang memiliki tingkat kemurnian tinggi,
daya adsorpsinya lebih baik.
4. Jenis atau gugus fungsi atom yang ada pada permukaan adsorben. Sifat-
sifat atom di permukaan berkaitan dengan interaksi molekuler antara
adsorbat dan adorben yang lebih besar pada adsorbat tertentu
2.3.1 Macam-macam adsorben yang umum digunakan
Untuk proses adsorbsi dan desorpsi ada 3 jenis adsorben yang
baisa dipakai yaitu :
1. Silika gel
Silika gel cenderung mengikat adsorbat dengan energi yang
relatif lebih kecil dan membutuhkan temperatur yang rendah
untuk proses desorpsinya, dibandingkan alat untuk menghasilkan
suhu jika menggunakan adsorben lain seperti karbon atau zeolit.
Kemampuan desorpsi silika gel meningkat dengan
meningkatnya temperatur. Kandungan air dalam silika gel akan
hilang dan menyebabkan kemampuan adsorpsinya hilang Silika
gel terbuat dari silika dengan ikatan kimia mengandung air
kurang lebih 5%.
Pada umumnya temperatur kerja silika gel sampai
pada 200°C, jika dioperasikan lebih dari batas temperatur
kerjanya maka kandungan air dalam silika gel akan hilang
dan menyebabkan kemampuan adsorpsinya hilang.
2. Aktif Karbon
Aktif karbon dapat dibuat dari batu bara, kayu, dan
tempurung kelapa melalui proses pyrolizing dan carburizing
pada temperatur 700 sampai 800°C. Hampir semua adsorbat
dapat diserap oleh karbon aktif kecuali air.
Aktif karbon dapat ditemukan dalam bentuk bubuk dan
granular. Pada umumnya karbon aktif dapat mengadsorpsi
metanol atau amonia sampai dengan 30%, bahkan karbon aktif
super dapat mengadsorpsi sampai dua kalinya.
3. Zeolit
Zeolit mengandung kristal zeolit yaitu mineral
aluminosilicate yang disebut sebagai penyaring molekul. Mineral
aluminosilicate ini terbentuk secara alami. Zeolit buatan dibuat
dan dikembangkan untuk tujuan khusus, diantaranya 4A, 5A,
10X, dan 13X yang memiliki volume rongga antara 0.05
sampai 0.30 cm3/gram dan dapat dipanaskan sampai 500°C tanpa
harus kehilangan mampu adsorpsi dan regenerasinya.
Zeolit 4A (NaA) digunakan untuk mengeringkan dan
memisahkan campuran hydrocarbon. Zeolit 5A (CaA) digunakan
untuk memisahakan paraffins dan beberapa Cyclic hydrocarbon.
Zeolit 10X (CaX) dan 13X (NaX) memiliki diameter pori yang
lebih besar sehingga dapat mengadsorpsi adsorbat pada
umumnya.
2.4 Adsorbat
Adsorbat yang biasa digunakan untuk pendinginan adalah air,
metanol, dan ammonia
a. Air
Merupakan adsorbat yang ideal karena memiliki kalor laten
spesifik terbesar, mudah didapat, murah, dan tidak beracun. Air dapat
dijadikan pasangan zeolit, dan silika gel. Tekanan penguapan air yang
rendah merupakan keterbatasan air sebagai adsorbat, sehingga
menyebabkan:
1. Temperatur penguapan rendah (100°C), sehingga penggunaan air
terbatas hanya untuk air-conditioning dan chilling.
2. Tekanan sistem selalu dibawah tekanan normal (1 atm). Sistem
harus memiliki instalasi yang tidak bocor agar udara tidak masuk.
3. Rendahnya tekanan penguapan air menyebabkan rendahnya tekanan
proses adsorpsi di batasi oleh transfer massa.
b. Metanol
Di banyak hal kemampuan atau performa metanol berada diantara air
dan ammonia. Metanol memiliki tekanan penguapan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan air (meskipun pada tekanan 1 atm), sehingga
sangat cocok untuk membuat es.
Meskipun demikian pada temperatur lebih dari 120 °C, tekanan
menjadi tidak stabil. Untuk temperatur aplikasi lebih dari 200 °C
adsorben yang biasa digunakan adalah karbon aktif, silika gel, dan
zeolit.
c. Ammonia
Besarnya panas laten spesifik ammonia adalah setengah lebih
rendah dari panas laten spesifik air, pada temperatur 0°C dan memiliki
tekanan penguapan yang tinggi. Ammonia memiliki keuntungan yang
ramah lingkungan dan dapat digunakan sebagai refrigeran sampai -
40°C, dan dapat dipanaskan sampai 200°C. Kerugian dari ammonia:
1. Beracun, sehingga penggunaannya dibatasi.
2. Tidak dapat ditampung pada instalasi yang terbuat dari tembaga
atau campurannya
2.5 Prinsip Sistem Pendinginan Adsorpsi
Siklus pendingin adsorpsi berlangsung dengan penyerapan refrigerant
atau adsorbat dalam fasa uap kedalam adsorben pada tekanan rendah,
kemudian refrigeran yang terserap pada adsorben didesorpsi dengan
memberikan panas pada adsorben.
Bentuk sederhana dari siklus pendingin adsorpsi seperti dua botol
labu yang berhubungan seperti pada Gambar 2.2.

(b
)

(a (c
) )

(d
)

Gambar 2.2 Siklus sistim pendingin adsorpsi.


Pada awalnya sistem dikondisikan pada tekanan dan temperatur
rendah. Dua buah botol labu (vessel) yang berhubungan, dimana pada labu
pertama terdapat adsorben (karbon aktif) yang mengandung adsorbat
berkonsentrasi tinggi sedangkan pada labu yang kedua terdapat adsorbat
dalam fasa uap.
Labu pertama yang berisi adsorben dengan kandungan adsorbat
berkonsentrasi tinggi dipanaskan, sehingga tekanan sistim meningkat dan
menyebabkan kandungan adsorbat yang ada didalam adsorben berkurang
atau menguap. Proses berkurangnya kandungan adsorbat pada adsorben
pada kasus ini disebut desorpsi.
Adsorbat yang menguap kemudian terkondensasi dan mengalir ke
botol labu yang kedua, disini panas dilepaskan ke lingkungan dimana
tekanan sistem masih tinggi. Pemanasan pada botol labu pertama
dihentikan, lalu pada botol labu yang pertama terjadi perpindahan panas ke
lingkungan sehingga tekanan sistim menjadi rendah.
Tekanan sistem yang rendah menyebabkan adsorbat cair pada botol
labu yang kedua menguap dan terserap ke botol pertama yang berisi
adsorben. Proses terserapnya adsorbat ke adsorben pada kasus ini disebut
adsorpsi.
Proses adsorpsi selalu meghasilkan efek pendinginan yang terjadi
pada botol labu kedua, dimana pada tekanan rendah panas dari lingkungan
diserap untuk menguapkan adsorbat (Gambar 2.2) sampai sistim kembali ke
kondisi awal dimana pada botol labu pertama berisi adsorben dengan
kandungan adsorbat berkonsentrasi tinggi dan pada botol labu kedua
terdapat adsorbat dalam fasa gas.
2.6 Siklus Ideal Sistim Pendingin Adsorpsi
Adsorpsi dan desorpsi merupakan suatu proses yang dapat berlangsung
secara reversible. Adsorpsi merupakan proses exothermic dimana adsorben
(fluida) dan adsorbat (padatan) melepaskan panas sehingga menyebabkan
penurunan pergerakan molekul adsorbat yang mengakibatkan adsorbat
tersebut menempel pada permukaan adsoben dan membentuk suatu lapisan
tipis.
Ketika panas sistem tersebut maka pergerakan molekul adsorbat akan
meningkat sehingga pada jumlah panas tertentu akan menghsailkan energi
kinetik molekul adsorbat yang cukup untuk merusak gaya van der Waals
antara adsorben dan adsorbat.
Proses pelepasan adsorbat dari adsorben disebut sebagai proses
desorpsi, dimana proses ini membutuhkan energi panas sehingga disebut
proses endothermic. Jumlah adsorbat yang terkandung didalam adsorban
dapat digambarkan oleh garis isosters pada diagram tekanan vs temperatur
(Ln P vs -1/T) seperti pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Diagram tekanan vs temperatur yang menggambar kan
garis isosters.
Siklus mesin pendingin adsorpsi tidak membutuhkan energi
mekanis, melainkan membutuhkan energi panas. Pada saat mesin
pendingin beroperasi, beberapa proses yang terjadi pada adsorber yang
melibatkan proses endothermic dan exothermic.
Proses adsorpsi meghasilkan efek pendinginan yang terjadi pada botol
labu kedua, dimana pada tekanan rendah panas dari lingkungan diserap
untuk menguapkan adsorbat.
Proses endothermic berlangsung selama proses pemanasan
(peningkatan tekanan) dan proses pemanasan desorpsi-kondensasi,
sedangkan proses exothermic berlangsung selama proses pendinginan
(penurunan tekanan) proses ini membutuhkan energi panas sehingga
disebut proses endothermic, proses pendinginan -adsorpsi-evaporasi.
Keempat proses tersebut membentuk suatu siklus yang digambarkan oleh
diagram clapeyron ideal seperti pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Diagram clapeyron ideal


2.7 Tekanan Dan Temperatur Saturasi
Tekanan saturasi adalah tekanan yang terjadi pada saat suatu substansi
pada temperatur tertentu mengalami perubahan fase. Temperatur saturasi
yaitu temperatur pada saat suatu substansi berada dalam tekanan tertentu
mengalami perubahan fase.
Ketika substansi mengalami perubahan fase, substansi memerlukan
ataupun melepaskan kalor laten tergantung perubahan fasa yang terjadi.
2.7.1 Macam-Macam Sifat Koloid
1. Efek Tyndall
Sifat koloid yang pertama adalah Efek Tyndall. Efek Tyndall
pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan asal Inggris
bernama John Tyndall. Efek Tyndall merupakan efek
penghamburan cahaya oleh partikel koloid.
2. Gerak Brown
Pada 1827, seorang botanis asal Skotlandia, Robert Brown,
berhasil mengamati gerakan partikel koloid. Ia menemukan,
ternyata secara mikroskopis, Dalam proses berkurangnya
kandungan adsorbat pada adsorben pada kasus ini disebut desorpsi.
partikel-partikel koloid akan bergerak secara acak dengan jalur
patah-patah (zig-zag) dalam medium pendispersi.

Gambar 2.5 Partikel koloid yang bergerak secara acak(patah-patah).


3. Adsorpsi
Adsorpsi merupakan peristiwa menempelnya partikel
bermuatan (ion) pada permukaan koloid. Adsorpsi terjadi karena
adanya kemampuan partikel koloid untuk menarik atau ditempeli
oleh partikel-partikel kecil. Kemampuan untuk menarik ini
disebabkan karena adanya tegangan permukaan koloid yang cukup
tinggi. Misalnya, koloid sol besi (III) hidroksida (Fe(OH) 3) yang
akan bermuatan positif karena mengadsorpsi ion positif. Sol ini
dibuat dengan mencampurkan FeCl3 ke dalam air panas berlebih,
sehingga terjadi proses pembentukkan koloid berupa sol hidrat besi
(III) oksida atau Fe2O3×H2O.
FeCl3+ ×H2O → Fe2O3×H2O
Ketika sol Fe(OH)3 terbentuk, ternyata tersisa banyak ion Fe3+
dalam larutan. Ion-ion ini kemudian diserap oleh sol Fe(OH)3 pada
bagian permukaannya, yang membuat sol Fe(OH)3 kelebihan
muatan positif. Jadi, sol Fe(OH)3 dikenal sebagai koloid bermuatan
positif. Beda lagi dengan sol As2S3. Jika diletakkan di dalam air,
maka sol As2S3 akan bermuatan negatif karena ion yang
diadsorpsinya adalah ion yang negatif. Sol As 2S3 dibuat dengan
mengalirkan H2S ke dalam larutan As2S3. Bentuk reaksinya seperti
ini, guys.
As2S3(aq)+ H2S(g) → As2S3(s) +H2S(l)
Sol As2S3 yang terbentuk dalam air ini ternyata mengadsorbsi
ion-ion sulfida (S2-) yang membuat sol As2S3 menjadi bermuatan
negatif.
4. Koagulasi
Koagulasi adalah proses rusaknya sistem koloid yang
ditandai dengan proses penggumpalan akibat terbentuknya
partikel-partikel yang lebih besar ukurannya daripada ukuran
koloid (lebih besar dari 100nm). Koagulasi dapat dipengaruhi oleh
pemanasan, pendinginan, penambahan elektrolit, pembusukan,
pencampuran koloid yang berbeda muatan, dan elektroforesis.
Contoh koagulasi koloid dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pada
penggumpalan susu yang basi dan telur yang direbus hingga
menggumpal atau mengeras bagian putih dan kuningnya.
2.7.2 Cara Pembuatan Koloid
Pembuatan koloid bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu
kondensasi dan disperse.
1. Pembuatan koloid dengan cara kondensasi
Pada cara ini, pembuatan dilakukan dengan menggabungkan
partikel kecil atau partikel larutan dengan partikel yang lebih besar.
Secara sederhana, pembuatan ini menggabungkan koloid yang
sudah ada dengan partikel kecil yang lainnya. Penggabungan ini
bisa dilakukan melalui tiga cara, yaitu reaksi redoks, dekomposisi,
dan hidrolisis. Reaksi redoks, merupakan reaksi yang ditandai
dengan adanya perubahan bilangan oksidasi. Contohnya, pada
pembuatan sol belerang dengan mengalirkan gas H2S ke dalam
larutan SO2.
2H2S(g)+ SO2(aq) → 3S (koloid) +2H2O(I)
Dekomposisi, merupakan reaksi penguraian suatu zat menjadi
zat yang lebih sederhana. Contohnya, pada pembuatan sol As2S3
dengan mengalirkan gas asam sulfida ke dalam larutan arsenit.
As2O3(aq) + 3H2S(g) → As2S3(s) + 3H2O(l)
Hidrolisis, merupakan reaksi suatu senyawa dengan molekul air
untuk menghasilkan sol logam. Contohnya, pada pembuatan sol
Fe(OH)3 dengan mencampurkan larutan jenuh FeCl3 ke dalam air
mendidih, dan diaduk hingga larutan berwarna merah kecoklatan.
FeCl3(aq) + 3H2O(I) → Fe(OH)3(koloid) + 3HCl(aq)
2. Pembuatan koloid dengan cara dispersi
Cara pembuatan ini terbalik dengan kondensasi, cara dispersi
adalah memecahkan partikel yang besar atau suspensi menjadi
partikel kecil atau koloid. Untuk melakukan pemecahan ini bisa
dilakukan dengan 3 cara, yaitu peptisasi, busur bredig, dan
mekanik. Peptisasi, Pada cara ini, partikel-partikel besar dipecah
dengan bantuan zat pemeptisasi (pemecah). Contoh: endapan
Al(OH)3 dipeptisasi oleh AlCl3, endapan NiS oleh H2S, dan agar-
agar dipeptisasi oleh air. Busur Bredig, Cara ini digunakan untuk
membuat sol-sol logam, seperti Ag, Au, dan Pt. Caranya, arus
listrik bertegangan tinggi dialirkan melalui dua buah elektrode
logam (bahan terdispersi). Kemudian, kedua elektrode itu
dicelupkan ke dalam air, hingga kedua ujung elektrode hampir
bersentuhan, agar terjadi loncatan bunga api. Mekani, Pada cara
ini, butiran-butiran kasar digerus atau digiling dengan penggiling
koloid, hingga tingkat kehalusan tertentu. Lalu, diaduk dalam
medium pendispersi. Contoh, sol belerang dapat dibuat dengan
menggerus serbuk belerang bersama-sama dengan gula pasir,
kemudian serbuk yang sudah halus tersebut dicampur dengan air.
2.8 Sistem Koloid
Koloid adalah suatu bentuk campuran yang keadaannya antara larutan
dan suspensi. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui cara
pembuatan koloid, Untuk mengetahui sifat-sifat dari koloid, dan Untuk
mengetahui cara pembuatan kue bolu dan eskrim. Praktikan menggunakan
beberapa bahan instan yang praktikan gunakan untuk membuat kue dan ice
cream, selain bahan-bahan instan praktikan juga menambahkan telur,
mentega dan cokelat ke dalam adonan kue yang praktikan buat.
Proses langkah percobaan pertama untuk membuat kue dan ice cream
adalah mengaduk adonan mentah tersebut menggunakan mixer sampai
adonan tersebut mengembang, setelah itu adonan ice cream dimasukkan ke
dalam lemari es dan adonan kue dimasukkan ke dalam oven bersuhu 180oC,
selama 45 menit.
Zat yang terdispersi tersebut berjarak ukuran antara dimensi partikel-
partikel atomik dan molekular sampai partikel-partikel yang berukuran
milimeter, ukurannya dapat diklasifikasikan baik yang sebagai membentuk
dispersi molekular maupun disperse koloid. Beberapa suspensi dan emulsi
dapat mengandung suatu jarak ukuran partikel sedemikian sehingga partikel-
partikel nya yang kecil masuk dalam jarak koloidal,sedangkan yang besar-
besar dapat diklasifikasikan sebagai partikel-partikel kasar.
Koloid disebut juga dispersi koloid atau suspensi koloid adalah
campuran yang berada antara larutan sejati dan suspensi. Misalnya adalah
susu segar, yang terdiri dari butir-butir halus dari lemak mentega yang
terdispersi dalam fase cair yang juga mengandung kasein (suatu protein) dan
beberapa zat lainnya.
Dalam koloid seperti susu, partikel zat terlarutnya lebih besar daripada
partikel larutan, tetapi lebih kecil dari partikel yang mengapung pada
suspense. Oleh karena bentuk ukuran dari partikel koloid dibandingkan
dengan ukuran medium di mana partikel itu tersebar, maka disini tidak
digunakan istilah zat terlarut dan pelarut melainkan fase terdispersi dan
medium pendispersi (James E. Brady,1992:597).
Campuran yang bersifat homogeny disebut larutan, sementara yang
bersifat heterogen adalah koloid. Campuran yang lambat berdifusi di
sebabkan oleh partikelnya yang mempunyai daya tarik (perekat) satu sama
lain, zat ini disebut koloid (bahasa Yunani: cola = perekat)
(Syukri,1999:453).
Campuran koloid mengandung partikel-partikel yang ukurannya
berada di antara partikel zat terlarut dalam larutan murni dan campuran
heterogen
Keadaan koloid adalah suatu keadaan antara larutan dan suspensi.
Suatu kumpulan dari beberapa ratus atau beberapa ribu partikel yang
membentuk partikel lebih besar dengan ukuran sekitar 10 Å sampai 2 000 Å
dikatakan berada dalam keadaan koloid.
Dalam suatu sistem koloid, partikel-partikel koloid terdispersi
(tersebar) dalam medium pendispersinya. Zat terdispersi maupun medium
pendispersi koloid dapat berupa zat padat, cair, atau gas. Terdapat 8 tipe
sistem koloid, yaitu busa (gas dalam cair), busa padat (gas dalam padat),
aerosol padat (cair dalam gas), emulsi (cair dalam cair), emulsi padat (cair
dalam padat), aerosol padat (padat dalam gas), sol (padat dalam cair), dan
sol padat (padat dalam padat).
Sistem dispersi adalah sistem dimana suatu zat terbagi halus atau
terdispersi dalam zat lain, koloid merupakan suatu sistem dispersi, karena
terdiri dari dua fasa, yaitu fasa terdispersi (fasa yang tersebar halus) dan fasa
pendispersi. Fase terdispersi umumnya memiliki jumlah yang lebih kecil
atau mirip dengan zat terlarut dan fasa pendispersi jumlahnya lebih besar
atau mirip pelarut dalam suatu larutan. Berdasarkan perbedaan ukuran zat
yang didispersikan, sistem dispersi dibedakan atas disperse kasar, disperse
halus, dan disperse molekuler (Damin Sumardjo,2008:535).
Penggolongan Koloid: Dipandang dari kelarutannya, koloid dibagi atas
dispresi dan koloid asosiasi.
1. Koloid dispresi, yaitu koloid yang partikelnya tidak larut secara individu
dalam medium. Yang terjadi hanyalah penyebaran (dipresi) partikel
tersebut.
2. Koloid asosiasi yaitu koloid yang terbentuk dari gabungan (asosiasi)
partikel kecil. Ditinjau dari interaksi fasa terdispresi dengan fasa
pendispresi, koloid dapat pula di bagi atas koloid liofil dan liofob
(Syukri,1999:455).
1. Koloid liofil, yaitu koloid yang suka berkaitan dengan mediumnya
sehingga sulit dipisahkan atau sangat labil.
2. Koloid liofob, yaitu koloid yang tidak menyukai mediumnya
sehingga cenderung memisah, akibatnya tidak stabil.
2.9 Sifat Koloid
1. Sifat Fisika
Sifat fisika koloid berbeda-beda tergantung jenis koloidnya. Pada
koloid hidrofob sifat-sifat seperti rapatan, tegangan permukaan dan
viskositasnya hampir sama dengan medium pendispersinya. Pada koloid
hidrofil karena terjadi hidrasi, sifat-sifat fisikanya sangat berbeda dengan
mediumnya. Viskositasnya lebih besar dan tegangan permukaannya
lebih kecil.
2. Sifat Koligatif
Suatu koloid dalam medium cair juga mempunyai sifat koligaif.
Sifat ini hanya bergantung jumlah partikel koloid bukan pada jenisnya.
Sifat-sifat koligatif koloid umumnya lebih rendah daripada lautan sejati
dengan jumlah partikel yang sama Ini disebabkan karena butir-butir
koloid terdiri atas beribu-ribu molekul, sedangkan pengaruh terhadap
sifat koligatif hanya ditentukan oleh jumlah molekul.
3. Sifat Optis
Walaupun secara definisi partikel koloid terlalu kecil untuk dapat
dilihat oleh mikroskop biasa mereka dapat dideteksi secara optikal.
Ketika cahaya dilewatkan melalui medium yang mengandung partikel
yang tidak lebih besar daripada 10-9 m, berkas cahaya tersebut tidak
dapat dideteksi dan medium tersebut disebut optically clear. Ketika
partikel koloid hadir, bagaimanapun, sebagian cahaya akan
dihamburkan, dan sebagian lagi akan diteruskan dalam intensitas yang
rendah. Penghamburan ini dikenal dengan nama efek Tyndall.
Efek Tyndall dapat digunakan untuk mengamati partikel-partikel
koloid dengan menggunakan mikroskop. Karena intensitas hamburan
cahaya bergantung pada ukuran partikel, maka efek Tyndall juga dapat
digunakan untuk memperkirakan berat molekul koloid.
Partikel-partikel koloid yang mempunyai ukuran kecil, cendrung
untuk menghamburkan cahaya dengan panjang gelombang pendek.
Sebaliknya partikel-partikel koloid yang mempunyai ukuran besar
cendrung untuk menghamburkan cahaya dengan panjang gelombang
yang lebih panjang.
4. Sifat kinetik
a. Gerak Brown
Partikel koloid bila diamati dibawah mikroskop ultra akan
nampak sebagai bintik-bintik bercahaya yang selalu bergerak secara
acak dengan jalan berliku-liku. Gerakan acak partikel koloid dalam
suatu medium pendispersinya disebut gerak Brown. Terjadinya
gerakan ini disebabkan oleh banyaknya tabrakan molekul molekul
medium pendispersi tidak sama (tidak setimbang)
b. Pengendapan (sedimentasi)
Partikel-partikel koloid mempunyai kecendrungan untuk
mengendap karena pengaruh gravitasi bumi. Hal tersebut bergantung
pada rapat massa partikel terhadap mediumnya. Jika rapat massa
partikel lebih besar dari medium pendispersinya, maka partikel
tersebut akan mengendap. Sebaliknya bila rapat massanya lebih kecil
akan mengapung.
Koagulasi endapan koloid dapat dipercepat oleh suhu tinggi dan
pengadukan serta dengan penambahan elektrolit tertentu. Dengan
suhu tinggi berarti akan menurunkan viskositas dan menaikkan
selisih rapatan. Namun faktor-faktor inipengaruhnya relatif kecil
terhadap kecepatan pengendapan.
c. Difusi
Partikel zat terlarut akan mendifusi dari larutan yang
konsentrasinya tinggi ke daerah yang konsentrasinya lebih rendah.
Difusi erat kaitannya dengan gerak Brown, sehingga dapat dianggap
molekul-molekul atau partikel-partikel koloid mendifusi karena
adanya gerak Brown.
Kecendrungan dari zat untuk berdifusi dinyatakan dengan
koefisien difusi. Menurut Graham, butir-butir koloid berdifusi
sangat lambat karena ukuran partikelnya relatif besar
4. Sifat Listrik
Permukaan partikel koloid mempunyai muatan listrik karena
terjadinya ionisasi atau penyerapan ion-ion dalam larutan. Akibatnya
partikel koloid dapat bergerak dalam medan listrik. Bila partikel
koloid yang bermuatan ditempatkan pada medan listrik, maka
partikel tadi akan bergerak ke arah salah satu elektroda bergantung
pada muatannya.
Proses ini dikenal dengan nama elektroforesis. Laju gerakan
partikel (cm/det) dalam medan listrik dengan gradien potensial
(volt/cm) dikenal sebagai mobilitas partikel tersebut.
2.10 Pembuatan Koloid
1. Dispresi
Gumpalan materi suspensi kasar dapat diubah menjadi lebih kecil
sehingga tersebar dan berukuran koloid. Membuat koloid dengan
memecah gumpalan disebut dispresi (penyebaran), yaitu dengan cara
sebagai berikut.
a) Cara mekanik, yaitu menggerus (menggiling) partikel kasar sampai
berukuran kecil.
b) Cara elektronik, yaitu membuat koloid dengan mencelupkan dua
elktroda ke dalam air.
c) Cara peptisiasi, yaitu membuat koloid dengan menambahkan cairan
ke partikel kasar (endapan) sehingga pecah menjadi koloid.
2.11 Jenis-jenis Koloid
Pada koloid, fase terdispersi dan medium pendispersi bisa berwujud
padat, cair, dan gas. Oleh karena itu, berdasarkan perbedaan antara fase
terdispersi dan medium pendispersinya, sistem koloid dibagi menjadi 8,
yaitu bisa lihat di tabel berikut.
1. Sol Padat
Sol padat memiliki fase terdispersi padat dalam medium pendispersi
yang padat juga. Sol padat ini terbentuk karena pengaruh tekanan dan
suhu, sehingga menghasilkan padatan yang kokoh dan keras. Contohnya,
batuan ruby (batuan permata). Batuan ruby ini merupakan padatan
kromium (Cr) yang tersebar dalam padatan aluminium oksida. Sehingga,
dari sini bisa kelihatan ya, kalau padatan kromium (Cr) itu sebagai fase
terdispersi dan padatan aluminium oksida (AI2O3) sebagai medium
pendispersi.
2. Sol
Sol memiliki fase terdispersi padat dalam medium pendispersi cair
yang tidak mudah berubah sifatnya. Jadi, bedanya sol dengan sol padat
itu terletak di medium pendispersinya, ya. Kalau sol padat mediumnya
padat, sedangkan sol mediumnya cair. Contohnya, cat tembok. Cat
tembok terdiri dari banyak jenis padatan, di antaranya kalsium karbonat
(CaCO3), kaolin, dan lain sebagainya. Zat padat (fase terdispersi) inilah
yang mengalami penyebaran dalam medium cair (medium pendispersi)
yang berupa air (H2O).
3. Aerosol Padat
Aerosol padat memiliki fase terdispersi padat dalam medium
pendispersi gas. Contohnya, asap kendaraan. Asap kendaraan
mengandung padatan berupa timbal, karbon, karbon monoksida, dan lain
sebagainya yang merupakan hasil pembakaran tidak sempurna dari
mesin. Makanya, ketika kamu melewati kendaraan bermotor yang
mengeluarkan asap, kadang kamu akan merasakan kelilipan karena
adanya padatan (fase terdispersi) di dalam asap (medium pendispersi).
4. Aerosol
Aerosol memiliki fase terdispersi berupa cairan dan medium
pendispersi berupa gas. Jadi, bedanya aerosol dengan aerosol padat
terletak pada fase terdispersinya. Aerosol tidak bisa bertahan lama. Hal
ini karena zat penyusunnya yang mudah rusak oleh perubahan suhu dan
tekanan udara lingkungan. Contohnya, parfum. Saat parfum
disemprotkan di udara, cairan parfum akan terdispersi atau tersebar di
udara yang wujudnya gas sebagai merupakan medium pendispersi.
5. Emulsi Padat
Selanjutnya, ada emulsi padat yang memiliki fase terdispersi berupa
cairan dalam medium pendispersi padat. Contohnya, agar-agar. Agar-
agar terbuat dari air (fase terdispersi) yang dicampur dengan bubuk agar-
agar (medium pendispersi). Pada saat bubuk agar-agar dipanaskan dalam
air, serat dari agar-agar akan bergerak bebas. Saat proses pendinginan,
serat tersebut akan saling merapat dan memadat. Jadi, pada agar-agar itu,
partikel-partikel air terdispersi atau tersebar dalam partikel agar-agar.
6. Emulsi
Nah, kalau fase terdispersi dan medium pendispersinya berupa cairan,
maka disebutnya emulsi. Emulsi biasanya tersusun oleh cairan dengan
kepolaran senyawa yang berbeda, sehingga tidak saling bercampur.
Contohnya, susu. Emulsi pada campuran susu dan air itu terjadi ketika
partikel air terdispersi atau tersebar dalam partikel-partikel susu. Nah,
karena partikel air dan susu ini punya level kepolaran yang beda, maka
kedua zat ini ga bisa bercampur dengan sempurna, sehingga susu itu
termasuk koloid, bukan larutan.
7. Buih Padat
Buih padat memiliki fase terdispersi berupa gas dalam medium
pendispersi padatan, atau bisa disebut juga gas yang terdispersi di dalam
padatan. Contohnya, spons. Jika dilihat, spons itu merupakan sebuah
padatan, tapi ketika dipencet ternyata isinya udara. Itu tandanya bahwa
partikel-partikel udara atau gasnya tersebar dalam medium padat.
8. Buih
Jenis koloid yang terakhir, yaitu buih. Bedanya dengan buih padat,
kalau buih memiliki fase terdispersi berupa gas dalam medium pendispersi
cair, atau bisa disebut juga gas yang terdispersi di dalam cairan.
Contohnya, buih sabun karena adanya udara (fase terdispersi) yang
terjebak di dalam larutan sabun (medium pendispersi). Hal ini terjadi
karena molekul sabun yang saling tarik menarik membentuk jaring atau
lapisan yang dapat menjebak udara, sehingga membentuk gelembung-
gelembung bening berisi udara.
2.12 Koloid liofil dan liofob
Koloid yang memiliki medium dispersi cair dibedakan atas koloid
liofil dan koloid liofob. Koloid liofil adalah koloid yang fase
terdispersinya suka menarik medium pendispersinya. Koloid liofob adalah
sistem koloid yang fase terdispersinya tidak suka menarik medium
pendispersinya. Bila medium pendispersinya air maka koloid liofil disebut
koloid hidrofil, sedangkan koloid liofob disebut koloid hidrofob.
Contoh koloid hidrofil : sabun, detergen, agar-agar, kanji, dan
gelatin. Contoh koloid hidrofob : sol belerang, sol-sol sulfida, sol Fe(OH) 3,
sol-sol logam. Koloid liofil atau hidrofil lebih kental daripada koloid
liofob atau hidrofob. Apabila zat padat tersebut dicampurkan air maka
dapat membentuk kembali sol hidrofil (bersifat reversibel). Sebaliknya, sol
hidrofob akan terkoagulasi pada penambahan sedikit elektrolit. Sekali zat
terdispersi sudah dipisahkan, tidak akan membentuk sol lagi jika dicampur
kembali dengan air.

BAB III
PROSEDUR KERJA

3.1 Alat
3.1.1 Alat

Gambar 3.1 Gelas Piala Gambar 3.2 Batang pengaduk


Gambar 3.3 Corong Gambar 3.4 Erlenmeyer

Gambar 3.5 Buret Gambar 3.6 Pipet tetes

Gambar 3.7 Kertas saring Gambar 3.8 Pipet Ukur

3.1.1 Bahan-bahan:
a) Asam Asetat (CH3COOH) Kosentrasi 0,1 M, 0,2 M, 0,3 M, 0,4
M.
b) Natrium Hidroksida (NaOH) 0,2 M
c) Indikator PP
d) Arang

3.2 Cara kerja


3.2.1 Adsorpsi Dan Koloid
Pertama-tama kami menyapkan alat dan bahan, kemudian
menyiapkan larutan (CH3COOH) dalam 4 Kosentrasi yaitu 0,1 M, 0,2
M, 0,3 M, 0,4 M. Kami mengambil 4 buah gelas piala, untuk gelas
pertama kami menambahkan 20mL (CH3COOH) 0,1 M, untuk gelas ke
dua kami menambahkan (CH3COOH) 0,2 M dan seterusnya sampai
gelas terakhir. Setelah itu kami menambahkan arang 0,5 gram pada
keempat gelas berisi asam asetat tadi. Kemudian kami mengaduk
hingga 15 menit sebanyak 3 kali dengan selisi waktu 5 menit. Setelah
selesai mengaduk, kami menyaring ke dalam erelenmeyer
menggunakan kertas saring kemudian memipet sebanyak 10mL filtrap
pada gelas 1 kedalam. Erlenmeyer nomor 1, menetesi dengan
inidikator PP dan titrasi dengan NaOH 0,2 M. Kemudian kami
mencatat volume NaOh yang digunakan, setelah itu kami mengulang
prosedur di atas dengan filtrap no 2 (untuk setiap kosentrasi kami
melakukan titrasi sebanyak 1 kali. Dari data di atas kami menghitung
berat molekul asam asetat yang terabsorpsi untuk masing-masing
kosentrasi dan selanjutnya kami catat di dalam tabel hasil pengamatan
kami.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN

4.1 Tabel Pengamatan


Tabel 4.1 Tabel Pengamatan
Konsentrasi Volume titran
Volume Filtrat
awal CH3COOH Adsorben (gram) (mL) NaOH 0,2
(mL)
(M) M/KOH (0,5 N)
0,4 0,5 10 15,9 mL
0,3 0,5 10 21,5 mL
0,2 0,5 10 10,3 mL
0,1 0,5 10 3,9 mL

4.2 Hasil Reaksi


1. Menghitung Konsentrasi Campuran (C2)
V1.Cl = V2.C2
a. Konsentrasi 0,5 M
V1.Cl = V2.C2
10 mL . 0,5 m
C2 =
25 mL
= 0,2 m
b. Konsentrasi 0,4 M
V1.Cl = V2.C2
10 mL . 0,4 m
C2 =
15,9 mL
= 0,25 M
c. Konsentrasi 0,3 M
V1.Cl = V2.C2
10 mL . 0,3 m
C2 =
21,5 mL
= 0,13 mL
d. Konsentrasi 0,2 M
V1.Cl = V2.C2
10 mL . 0,2m
C2 =
10,3 mL
= 0,19 mL
e. Konsentrasi 0,1 M
V1.Cl = V2.C2
10 mL . 0,1m
C2 =
3,9 mL
= 0,25 mL
2. Menghitung nilai x
X = (C1-C2) . Bm . V
a. Konsentrasi 0,5 M
X = (C1-C2) . Bm . V
=(0,5 – 0,2) . 60 . 10
= (0,3) . 600
= 180
b. Konsentrasi 0,4 M
X = (C1-C2) . Bm . V
= (0,4– 0,25) . 60 . 10
= (0,15) . 600
= 90
c. Konsentarsi 0,3 M
X = (C1-C2) . Bm . V
= (0,3 – 0,13) . 60 . 10
= (0,17) . 60. 10
= 102
d. Konsentrasi 0,2 M
= (0,2 – 0,19) . 60 . 10
= (0,01) . 60 .10
=6
e. Konsentrasi 0,1 M
X = (C1-C2) . Bm . V
= (0,1 – 0,25) . 60 . 10
= -90
x
3. Menghitung Nilai
c2
a. Konsentrasi 0,5 M
X 180
= = 900
C2 0,2
b. Konsentrasi 0,4
X 90
= = 360
C2 0,25
c. Konsentrasi 0,3 M
X 102
= = 1.020
C2 0,13
d. Kosentrasi 0,2 M
X 6
= = 31,5
C2 0,19
e. Konsentrasi 0,1 M
X −90
= = -360
C2 0,25
x
4. Menghitung Nilai log
c2
a. Konsentrasi 0,5 M
180
log = 2,95
0,2
b. Konsentrasi 0,4 M
90
log = 2,55
0,25
c. Konsentrasi 0,3 M
102
log = 2,89
0,13
d. Konsentrasi 0,2 M
6
log = 1,49
0,19
e. Konsentrasi 0,1 M
−90
log = 2,55
0,25
5. Menghitung Nilai C2
a. Konsentrasi 0,5 M
log 180 = 2,25
b. Konsentrasi 0,4 M
log 90 = 1,95
c. Konsentrasi 0,3 M
Log 102 = 2,0
d. Konsentrasi 0,2 M
log 6 = 0,77
e. Konsentrasi 0,1 M
log -90 = 1,95
4.3 Perhitungan
Co (M) C2 (M) x/m Log x/m Log C2
0,5 0,2 900 2,95 2,25
0,4 0,25 360 2,55 1,95
0,3 0,13 1.020 2,89 2,0
0,2 0,19 31,5 1,49 0,77
0,1 0,25 -360 2,55 1,95

4.4 Grafik

4.5 Pembahasan
Pada percobaan adsorpsi dan koloid, dapat kita lihat pengaruh dan
hasilnya Pada percobaan ini dimasukkan arang aktif dengan CH 3COOH
yang berbeda-beda konsentrasinya mulai dari 0,5 M, 0,3 M, dan 0,1.
Kemudian tetesi dengan indikator PP dan titrasi dengan NaOH 0,2 M dapat
dilihat kalau arang aktif merupakan adsorben yang baik. Arang aktif dapat
dikatakan adsorben yang baik karena pori pori arang aktif terbuka dan
mampu menyerap zat pada permukaan. Karena jumlah dari pori-pori arang
aktif yang berukuran mikro sangat banyak sehingga memiliki daya adsorben
yang baik.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan dapat dan bisa disimpulkan bahwa
peristiwa penyerapan muatan oleh permukaan partikel koloid yang disebabkan oleh
luasnya permukaan partikel. Dimana, jika partikel koloid mengadsorpsi ion yang
bermuatan positif, maka koloid tersebut bermuatan positif. Begitu juga sebaliknya.
5.2 Saran
5.2.1 Saran untuk Laboratorium
Untuk laboraturium, saya harap untuk bisa melengkapi alat alat
secara keseluruhan, dan mungkin bisa ditambahkan kipas angin agar
tidak gerah dalam ruangan.
5.2.2 Saran untuk asisten
Untuk asisten, secara keseluruhan sangat baik untuk menjadi
asisten, ramah, dan cara penyampaian materi pun mudah dipahami.
Semoga selalu sabar ke depannya dan senantiasa menjadi asisten yang
tegas.

DAFTAR PUSTAKA

Sains dan Teknologi Lingkungan, J., al Kholif, M. dan Diah Indah Pratiwi, W. (n.d.).
Penurunan Kadar Chemical Oxygen Demand (Cod) dan Fosfat Pada Limbah Laundry
dengan Metode Adsorpsi.
Budilaksono, Dawuh, “Pengujian Alat Pendingin Sistim Adsorpsi Berdasarkan Variasi
Tekanan Maksimum Desorpsi Untuk Pengembangan Menggunakan Solar
Collector”, Skripsi Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007.
Brady,J.E.Kimia Universitas Jilid 1.Jakarta:Bina Rupa Aksara.1992.
Petrucci, R.H.Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Jilid 2.Jakarta:Erlangga.1987.
Sistem koloid Page 7 Sumardjo, Damin.
Pengantar Kimia. Jakarta:EGC.2008. Syukri. Kimia Dasar. Bandung:ITB.1999. Oxtoby,
David W, dkk. Kimia Modern. Jakarta: Erlangga. 2001

Anda mungkin juga menyukai