Makalah Norma Sosial Di Lingkungan Masyarakat Suku Batak
Makalah Norma Sosial Di Lingkungan Masyarakat Suku Batak
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu
kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring
dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan
peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam
menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa
individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah
terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam
masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya,
aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau
dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat berisi tata tertib, aturan, dan petunjuk
standar perilaku yang pantas atau wajar. Norma tersebut berfungsi untuk mengatur
tingkah laku masyarakat supaya di dalam kehidupan bermasyarakat tercipta keamanan,
kenyamanan, dan kesejahteraan.
Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar norma atau tidak
bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma itu, akan
memperoleh hukuman. Untuk itu masyarakat mau tidak mau harus mematuhi norma-
norma yang berlaku di suatu daerah, misalnya Suku Batak. Suku Batak mempunyai
norma-norma sosial seperti norma keagamaan, norma kebiasaan, dan norma kesopanan.
Norma-norma tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat Suku Batak supaya dalam
kehidupan bermasyarakat tercipta keharmonisan dan tentu terhindar dari sanksi-sanksi
yang telah ditentukan. Norma-norma sosial di lingkungan masyarakat Suku Batak akan
dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan materi pada makalah ini.
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, kami akan
membahas norma sosial di masyarakat suku batak diantaranya:
C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas kami mempunyai tujuan:
D. Manfaat Masalah
Manfaatnya adalah sebagai informasi bagi pembaca mengenai norma-norma yang
berlaku di lingkungan masyarakat pada Suku Batak.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Norma Keagamaan
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang
diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam
tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula
Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu
A. Mulajadi Nabolon
Asal-usul dan ati nama Masyarakat Batak Toba menamai Allahnya (The
High God) dengan Mulajadi Nabolon. Ada beberapa variasi nama yang
dialamatkan kepada Allah Tinggi Orang Batak tersebut yakni: Ompu Tuan
Mulajadi Nabolon, Debata Mulajadi Nabolon, Mulajadi Nabolon, Ompu Silaon
Nabolon, Tuan Bubi Nabolon, dan Raja Minangkabau. Dari beberapa variasi
nama itu, nama Mulajadi Nabolon merupakan nama yang paling umum dan
sering digunakan dalam literatur Batak Toba.
3
berarti besar, agung. Nabolon adalah unsur gelar yang merupakan paduan dari 2
kata: na (yang) dan bolon (besar, agung). Karena merupakan unsur nama
keduanya dipadukan. Kodding mengartikan Mulajadi Nabolon dengan “der
groβe Anfang des Werdens oder der seinen Anfang in sich selbst hat.” Oleh
Edwin M. Loeb diterjemahkan dengan “Pemula Agung segala yang ada atau
‘Dia yang memiliki awal dalam dirinya sendiri.’” Ph. L. Tobing, mengikuti
Warneck, menyebutnya sebagai Sang Asal Kejadian (The Origin of Genesis).
Sementara Anicetus B. Sinaga menerjemahkannya dengan Sang Pemula Agung
Genesis.
4
Tampubolon membuat rumusan yang menegasikan temporalitas Allah Tinggi:
‘Dia tidak mempunyai awal, datang dari yang tak berawal, yang tidak berawal
dan berakhir.’ (Tampubolon, 1964:3).
Kedua kata Ompu dan Ompung mempunyai arti yang identik. Kata
Ompung biasa dipakai sebagai bentuk vokatif/sapaan. Dalam budaya Batak
Toba, gelar Ompu menunjuk pada setiap orang dari generasi satu kakek atau
mereka yang lebih tua. Sapaan akan gelar itu menandakan kuasa (power),
kehormatan (dignity), dan kekudusan/mulia (holiness).
5
B. Debata Asi-asi
Debata Asi-asi ( Manuk-Manuk Hulambu jati atau Raja Pinang Habo ) adalah
mahluk pertama yang diciptakan oleh Debata Mulajadi Nabolon, berparuh besi
berkuku gelang yang berkilauan. Mengenai bentuknya, seperti kupu-kupu yang sangat
besar dan mempunyai telur seperti periuk yang sangat besar, wajahnya seperti sarung
bintang Rumariri. Kemudian kepada Debata Asi-asi, Mulajadi Nabolon pernah
bersabda bahwa Debata Asi-asi ditakdirkan hanya bisa menerima segala kata-kata dari
manusia. Memberkati manusia supaya selalu bergondang. Bila yang diinginkan
gondang Debata Guru maka baju yang di gunakan harus berwarna hitam, Jika yang
diinginkan gondang Debata Sori baju yang digunakan harus berwarna putih dan jika
yang diinginkan gondang Debata Bulan maka baju yang digunakan harus berwarna
merah. Biasanya permintaan atau ritual tersebut diatas dilaksanakan satu kali dalam
setahun. Namun bukan dalam hal ini saja setiap manusia selalu membutuhkannya,
tetapi dalam segala hal yang diperlukan. Dan apabila suatu hari nanti ada manusia
yang bungkuk, yang buta, yang tuli, yang satu tangan dan yang satu kaki, maka
mereka adalah golongan dari orang-orang yang menghinanya, tetapi apabila ada anak
satu-satunya yang bersedih hati, manusia yang banyak keturunan, raja dan panglima
maka mereka adalah orang-orang yang selalu bersyukur dan memanggilnya, sebab
apa dan bagaimanapun manusia adalah titisannya.
Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang
besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asiasi sebagai
dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh
penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang memberi ilmu pengetahuan,
ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. (Tampubolon, 1978:9-10).
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut
(tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti
dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut
Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak
memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8)
6
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh
Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas
kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan
manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang
disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat
Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu
menolong manusia dengan bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai:
naso pinele jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas
keempat dimaksud dari na opat harajaon (Sangti, 1977:279).
Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep bahwa
kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada
pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-
roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat
kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang
yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan
dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin,
dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’
dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia
roh. (ibid. 1978:10).
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa orang
Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu yang disebut
Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu
percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya.
Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah
sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang
ada.
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk
mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya
dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala.
Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan akan harta
benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan,
kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun
7
temurun. Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan
antara orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan
hasangapon. Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia.
Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan
kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang memiliki
keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh atau hilang.
Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilainilai kebudayaan dalam tiga
kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan).
Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara
merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak (laki-
laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah
seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu
dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya
adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri. Manusia harus
menghormati sanak saudaranya dan marga yang dia miliki.
8
B. Norma Kebiasaan
1. Martutuaek (kelahiran)
9
Menurut suku batak, siraja batak berpesan “Jika hendak hubungan saumi istri
jangan dilakukan pada hujan turun agar kelak anak yang lahir tidak berpenyakit
batuk-batuk, dan cawan. Jika si ibu sudah mangandung tiga bulan, maka segala yang
diinginkan sebaiknya harus diberikan sebab jika tidak diberikan, kelak si anak yang
akan lahir di kemudian hari akan terkendala dalam mencari hidup”. Sebelum si ibu
melahirkan, sebaiknya orang tua dari si ibu memberikan makanan adat batak berupa
ikan batak beserta perangkatnya dengan tujuan agar si ibu sehat-sehat pada waktu
melahirkan dan anak yang akan dilahirkan menjadi anak yang berguna bagi nusa dan
bangsa serta pada sanak saudara .
Jika waktu untuk melahirkan sudah tiba maka sanak saudara mamanggil
Sibaso (dukun beranak). Sibaso akan memberikan obat agar si ibu tidak susah untuk
melahirkan yang disebut Salusu (satu butir telur ayam kampung yang terlebih dahulu
didoakan kemudian dihembus, kemudian dipecah lau diberikan kepada si ibu untuk
ditelan. Daun ubi rambat dan daun bunga raya direbus beserta air dari pancuran
disaring lalu diminumkan kepada si ibu mengarah ke bawah.
2) Upacara Saat Terjadi Kelahiran
Dengan banyak persiapan yang telah dilakukan untuk menyambut bayi yang
akan lahir, maka ketika lahir ayah dari si bayi itu akan membelah kayu secara
demonstrative walaupun kelahiean itu terjadi tengah alam. Kegiatan itu dilakukan di
depan rumahnya dengan menuimbulkan suaa keras dan jendela rumah pun dibuka
lebar-lebar dan asap pun membubung dari perapian dapur. Inilah yang menjadi tanda
bahwa ada terjadi kelahiran, sehingga warga kampung merasa terpanggil untuk
melihat kebahagiaan tersebut.
Setelah ibu melahirkan, sibaso mengambil buah ubi rambat dan sisik bambu,
lalu sibaso mematok tali pusat bayi dengan sisik bambu yang tajam dengan
beralaskan buah ubi rambat yang berukuran 3 jari dari bayi. Kemudian penanaman
ari-ari bayi pada orang batak biasa ditaman di tanah yang becek (sawah). Selama
hidup hanya satu kali kita bisa lihat wujud roh manusia yaitu Ari-ari. Suku batak
meyakini bahwa ari-ari merupakan bagian atau saudara dari anak yang baru lahir
dimana akan ada lagi keturunan berikutnya sehingga ari-ari itu harus dijaga dengan
baik dimana tetap bersih dengan memasukkannya kedalam tandok kecil yang
diayam dari pandan bersama dengan 1 biji kemiri, I buah jeruk purut, dan tujuh
lembar daun sirih.
10
Apabila setelah bayi lahir maka sibaso memecahkan kemiri dan
mengunyahnya dan kemudian memberikannya kepada bayi dengan tujuan
membersihkan kotoran yang dibawa bayi dari kandungan sekaligus membersihkan
dalam saluran pencernaan makanan yang pertama yang disebut Tilan (kotoran
pertama), bahkan siduku memberikan kalung yang berwarna merah, putih, hitam,
bersama Soit (sebuah anyaman kalu7ng yang terdapat dari sebuah kayu) dan
hurungan Tondi (buah kayu yang bernama Kayu Hurungan Todi, buak kayu yang
bertuliskan tulisan batak. Kalung ini mempunyai kegunaan agar jauh dari seluruh
mara bahaya, tekanan angina, petir, dan seluruh setan jahat). Apabila si bayi tersebut
terus menangis, maka dia dimandikan dengan bahan yang digunakan untuk
memotong pusar tadi, yaitu kalit bambu, Jeruk purut, dan ubi rambat.
3) Upacara setelah kelahiran
Mangirdak :dalam suku batak apabila seorang putra batak menikah dengan
dengan seorang perempuan baik dari suku yang sama maupun yang beda, ada
beberapa aturan atau kebiasaan yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh,
seorang putra batak yang bermarga Pardede menikah maka sudah merupakan
kebiasaan jika orangtua dari istri disertai rombongan dari kaum kerabat datang
menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya ketika menjelang
kelahiran, hal kunjungan ini disebut dengan istilah Mangirdak (membangkitkan
semangat). Makna spiritualitas yang terkandung adalah kewibawaan dari
seorang anak laki-laki dan menunjukkan perhatian dari orangtua si perempuan
dalam memberikan semangat.
Pemberian Ulos Tondi: ada juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan
selembar ulos yang dinamakan ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh
si putri dan suaminya). Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan.
Makna spiritualitas yang terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian
ulos ini dapat memberikan ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang
baru saja mempunyai kebahagiaan dengan adanya kelahiran.
Mengharoani: sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya
diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia
itu yang dikenal dengan istilah mengharoani (menyambut tibanya sang anak).
Ada juga yang menyebutnya dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak
hula-hula membawa makanan yang akan memperlancar air susu sang ibu.
Makna spiritualitas yang terkandung adalah yaitu menunjukkan kedekatan dari
11
hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan juga terhadap si ibu maupun ayah
dari si anak itu.
Martutu Aek: pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke
pancur dan dimandikan dan dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang
dikenal dengan pesta Martutu Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu
yaitu Ulu Punguan. Hal ini telah ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan
pada waktu pagi-pagi waktu matahari terbit kemudian sang ibu menggendong
anaknya yang pergi bersama-sama dengan rombongan para kerabatnya menuju
ke suatu mata air dekat kampung mereka. Setelah sampai disana, bayi
dibaringkan dalam keadaan telanjang dengan alaskan kain ulos. Kemudian
sibaso menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh si anak, yang terkejut
karenanya dan menjerit tiba-tiba. Melalui ritus ini, keluarga menyampaikan
persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru Saniang Naga yang
merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh leluhur untuk
menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat sekaligus
meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara martutu
aek biasanya dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan,
mebang). Kita tahu pada zaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali
seminggu. Onan adalah symbol pusat kehidupan dan keramaian sekaligus
symbol kedamaian. Orangtua si bayi akan membawa bayi ke tempat itu dan
sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada
orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Pada acara
marhata sesudah makan, maka diumumkan lah nama si bayi. Bila anak yang
lahir ini adalah anak pertama maka sudah biasa bila ada pemberian sawah oleh
orangtua serta mertua untuk modal kerja . Namun pada saat pemberian nama
pada waktu itu, peran dari sibaso sangat besar karena keluarga meminta
rekomendasi sibaso untuk sebuah nama, jika sibaso tidak menyetujui nama yang
dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan mengganti nama
itu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan kekuatan kepada
tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya persembahan-persembahan
kepada dewi air Boru saniang naga sehingga si anak kelak mempunyai daya
tahan tubuh yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit.
Mengallang Esek-esek: keluarga yang mendapat anak ini akan mempunyai
kebahagiaan yang luar biasa dimana untuk menunjukkan kebahgiaan itu, pihak
12
keluarga akan memotong ayam dan memasak nasi kemudian memanggil para
tetangga sekaligus kerabat walaupun tengah malam ataupun dini hari untuk
diundang makan atau syukuran (hal ini dibantu dengan tidakan demonstrative
ayah si anak dengan membelah kayu pada saat kelahiran dimana warga
kampung akan segera tahu dengan pertanda itu). Kemudian ibu-ibu sekampung
pun segera berdatangan dengan anak-anak mereka, ini juga bagian dari
Mangallang Haroan atau mengharoani (menikmati makanan kedatangan). Kalau
didaerah Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini biasanya
hanya bersifat apa adanya, misalnya jika tidak ada ayam maka sayur labu siam
dan ikan asin pun jadi karena mangharoani ini sebagai ungkapan sukacita yang
spontan dan tulus dari suatu komunitas yang saling mengasihi atas kehidupan
baru. Sementara itu selama tiga malam, para bapak bergadang atau ”melek-
lekkan” sambil berjudi. Ini dilakukan bertjuan untuk menjaga si bayi dan ibunya
dari kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya karena setelah
melahirkan tubuh si ibu dan si bayi pastilah masih sangat rentan atau lemah.
Makna spiritualitas yang terkandung adalah sebagai ungkapan sukacita terhadap
warga yang sekampung dengan si anak yang baru lahir itu sehingga warga
kampung tahu ada kebahagiaan dalam suatu keluarga.
Selain jamuan mengharoani ini, di Toba dikenal juga tradisi Mangambit
atau Marambit (harafiahnya berarti menggendong ataupun jamuan resmi yang
diadakan keluarga untuk menyambut kelahiran si bayi dengan memotong babi).
Pada kesempatan inilah keluarga dapat menyampaikan permohonan kepada
ompungbao (ompung dari pihak perempuan) agar menghadiahkan sepetak tanah
yang disebut indahan arian (makan siang) kepada cucunya ataupun pemberian
seekor kerbau/lembu yang disebut dengan batu ni ansimun (biji ketimun, yang
dapat berkembangbiak). Namun berhubung tanah yang dapat dibagi-bagikan
semakin sempit, maka tradisi mangambit semakin berangsur hilang.
Mebat atau Mengebati: sesudah anak cukup kuat untuk dibawa berjalan-jalan
maka keluarga pun memilih hari untuk membawanya mengunjungi atau
melawat (mebat,mengebati) kepada ompungnya (terutama ompungbao) dan
keluarga lain seperti tulang. Ketika melakukan kunjungan, keluarga ini
membawa makanan (memotong seekor babi) kepada ompung si bayi. Pada
kesempatan ini ompung bao dapat memberikan ulos parompa (ulos kecil untuk
menggendong atau mendukung anak bayi). Bagi komunitas kristen batak
13
modern, tradisi mebat (melawat) ini tentu juga baik untuk dipertahankan sebab
makna yang terkandung dalam tradisi mebat ini adalah mendekatkan si anak
secara emosional kepada kerabatnya terutama ompungbao dan tulangnya. Hal
inilah yang menjadi makna spiritualitas yang terkandung dalam upacara Mebat.
Paias Rere: ada kalanya suatu keluarga muda tinggal dirumah atau kampung
mertuanya dan melahirkan anak disana. Ada kebiasaan pada zaman dahulu,
keluarga mengadakan jamuan paias rere (membersihkan tikar) untuk mertuanya
sebagai tanda terima kasih atas kesibukan mertua dalam mengurus bayi yang
baru lahir. Bagi keluarga Kristen batak modern yang menganut kesetaraan laki-
laki dan perempuan, tentu saja adapt paias rere ini harus dikritisi dan diberi
makna baru yaitu hanya sebagai ucapan terima kasih. Sebab bagi kita anak laki-
laki dan perempuan sama saja. Inilah yang menjadi makna spiritualitas yang
terkandung dalam upacara Paias Rere.
Ulos Parompa: ulos parompa adalah ulos yang diberikan oleh ompungbao
kepada cucunya. Pada zaman dahulu ulos kecil ini memang benar-benar
fungsional atau digunakan untuk menggendong (mangompa) si bayi sehari-hari.
Namun sekaranfg dalam prakteknya ulos parompa tinggal merupakan symbol
kasih ompungbao sebab komunitas batak modern sudah menggunakan tempat
tidur bayi, kain panjang batik, gendongan atau ayunan untuk menggendong
bayi. Ada kebiasaan komunitas batak sekarang terutama di kota-kota untuk
mengobral ulos parompa. Kini bukan hanya ompungbao, tetapi seolah-olah
semua hula-hula harus memberikan ulos parompa kepada bayi yang baru lahir.
Obral ulos ini hanya mengurangi makna ulos parompa . Makna spiritualitas
yang terkandung dalam pemberian ulos parompa adalah menunjukkan
kedekatan atau perhatian yang besar dari ompungbao kepada si anak yang lahir
itu.
Dugu-dugu: sebuah makanan cirri khas batak pada saat melahirkan, yang
diresep dari bangun-bangun, daging ayam, kemiri dan kelapa. Dugu-dugu ini
bertujuan untuk mengembalikan peredaran urat bagi si ibu yang baru
melahirkan, membersihkan darah kotor bagi ibu yang melahirkan, menambah
dan menghasilkan air susu ibu dan sekaligus memberikan kekuatan melalui asi
kepada anknya.
14
Dasar Hukum Martutuaek
1) Setelah bayi yang lahir genap erumur satu bulan, barulah boleh ditabalkan namanya
dalam suatu upacara yang ditentukan waktunya.
2) Ibadat ini dilaksanakan dengan persembahan dupa dan pangurason yang berisi dua
buah jeruk purut. Selain itu ada kain putih yang melambangkan kesucian.
3) Tidak boleh dibawa bayi yang baru lahir itu ke mata air sebelum dilaksanakan
upacara martutuaek.
4) Apabila keadaan waktu yang membuat terpaksa anak itu dibawa bepergian dan
kebetulan pula melewati mata air, maka pada waktu pemberian namanya, sia anak
tidak perlu lagi dibawa ke mata air untuk memandikannya.
5) Tidak ada alasan kemiskinan untuk tidak mentaati aturan agama Malim
(martutuaek), telah tertulis dalam pustaha habonoron (sumber hukum) yang
berbunyi “nipisna mantet neangna, hapalna mantet dokna” artinya dilaksanakan
sesuai kemampuan.
6) Semua upacara agama yang merupakan aturan (ibadat dalam agama Malim) harus
dipimpin oleh pemimpin ritual (ihutan atau wakilnya) kecuali upacara Mararisabtu.
Pada masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah
unik dan sangat khas. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status
orang yang meninggal dunia. Untuk yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di
bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila
mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat
remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol),
keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos
(kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate
poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos
dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang yang meninggal.
Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang
yang mati:
15
2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil
(mate mangkar),
3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin,
namun belum bercucu (mate hatungganeon),
4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate
sari matua), dan
5. Telah bercucu tapi tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua).
Pada masa megalitik, kematian seseorang pada usia tua yang telah memiliki
keturunan, akan mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena
kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang disembah. Hal itu terindikasi dari
banyaknya temuan kubur-kubur megalitik dengan patung-patung leluhur sebagai
objek pemujaan (Soejono,1984:24).
Mate Saur matua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara bagi
masyarakat Batak (terkhusus Batak Toba), karena mati saat semua anaknya telah
berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate
saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah
memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya
perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep
kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).
Dalam kondisi seperti inilah, masyarakat Batak mengadakan pesta untuk orang
yang meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang
meninggal tersebut memang sudah waktunya (sudah tua) untuk menghadap Tuhan
dan ini disambut dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada, tapi mengingat
meninggalnya memang dikarenakan proses alami (sudah tua) maka kesedihan tidak
akan berlarut-larut. Ibaratnya, orang yang meninggal dalam status saur matua,
hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/LUNAS. Dalam masyarakat Batak, hutang
orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika hutang seseorang itu LUNAS,
maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega.
16
digunakan di daerah perantauan umumnya, namun di daerah aslinya, Sumatera Utara,
gondang sebagai alat musik khas Bataklah yang digunakan. Ini semata-mata karena
alat musik gondag yang sulit ditemukan di daerah perantauan. Untuk peyembelihan
hewan, juga ada kekhasannya. Masyarakat Batak secara tersirat seperti punya simbol
tentang hewan yang disembelih pada upacara adat orang yang meninggal dalam status
saur matua ini. Biasanya, kerbau atau sapi akan disembelih oleh keluarga Batak
(terkhusus Batak Toba) yang anak-anak dari yang meninggal terbilang sukses
hidupnya (orang mampu). Namun, jika kerbau yang disembelih, maka anggapan
orang terhadap keluarga yang ditinggalkan akan lebih positif, yang berarti anak-anak
yang ditinggalkan sudah sangat sukses di perantauan sana.
Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-
pihak kerabat sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo
raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat
terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial
masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-
hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok
orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-
orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga
perempuan pihak ayah). Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman
luar rumah duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan
sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat (biasanya akan turut membantu
dalam penyelenggaraan upacara). Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan
upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis
upacara dengan pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut
penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik
beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri
upacara, dsb.
17
berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo raja dapat dijadikan pertimbangan
untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara saur matua sebelum
dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat dibarengi
dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat (seperti masyarakat
non-Batak). Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada
siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah duka).
18
terdiri dari seperangkat instrumen yakni : 4 ogung, 1 hesek , 5 taganing, 1 odap, 1
gondang, 1 sarune.
Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata
ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang
memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut
mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap peralihan
mangampu dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan
dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri upacara tersebut,
sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.
Setelah semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri dengan
menyerahkan ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat). Ibadah bisa
dilakukan di tempat itu juga, atau ketika jenazah sampai di lokasi perkuburan. Hal ini
menyesuaikan kondisi, namun prinsipnya sama saja. Maka sebelum peti dimasukkan
ke dalam lobang tanah (yang sudah digali sebelumnya), ibadah singkat dilaksanakan
(berdoa), barulah jenazah yang sudah di dalam peti yang tertutup dikuburkan.
Sepulang dari pekuburan, dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap
hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang
(berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai
adat ungkap hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya
tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau
beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung,
keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah membawa
rasa senang pada pihak hula-hula.
Ini adalah bagian dari ritual kematian adat Batak, khususnya Batak Toba.
Memang unik, tetapi itu nyata dan saya melihat serta pernah mengikuti prosesi ini
sendiri. Kematian yang seharusnya dengan air mata akan penuh dengan canda tawa
dan riuhnya pesta pakai musik, layaknya pesta pernikahan, hanya jika mendiang
meninggal dalam status SAUR MATUA tadi. Ya, ini memang adatnya, kita tidak
mungkin menolak ataupun menentangnya. Tetapi saya bangga memiliki budaya
seperti ini, penuh kekhasan yang tidak ada di negara lain di dunia ini.
19
Dasar Hukum Pasahat Tondi
a. Tidak boleh menangisi bahkan meratapi orang yang sedang sakit sekarat serta
orang yang sudah meninggal dunia. Hal itu akan berakibat terhambatnya ruhnya
menghadap Debata.
b. Tidak boleh makan di rumah keluarga si mayat selama jenazah itu belum
dikuburkan.
c. Terlebih dahulu tanah kuburan disucikan dan diberitahu kepada Nagapadohaniaji
sebelum tanah itu digali.
d. Jenazah harus dimandikan sampai bersih dengan beralaskan kain putih. Apabila
sudah bersih, maka jenazah itu dibalut dengan kai putih dan baru kemudian
dimasukkan ke dalam peti jenazah.
e. Apabila sudah didoakan agar dihapuskan dosa-dosanya, jenazah disucikan
kembali. Barulah kemudian peti jenazah itu boleh ditutup dan dibawa ke kuburan.
f. Selama tujuh hari dan tujuh malam, rumah tempat persemayaman mayat harus
isucikan.
· Adab terhadap Jenazah
Jika yang meninggal anak kecil,hukumnya harus segera dikebumikan, tetapi jika
yang meninggal itu orang dewasa, atau lansia maka boleh saja disemayamkan
lebih lama selama tiga hari batas maksimalnya. Dikarenakan supaya kerabat yang
dari jauh atau merantau atau yang sedang bepergian dapat melihat jenazah untuk
yang terakhir kalinya.
3. Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
20
sitompion. Bersamaan dengan itu harus dipergelarkan gondang sabangunan dan
disediakan juga ayam jantan dan betina, kambing putih serta lembu stio-tio.
2) Ada upacara mardebata yang sifatnya sebagai ungkapan rasa syukur atas berkat
dari Debata.
4. Upacara Mangan Na Paet (Memakan yang Pahit)
Arti mangan na paet dalam bahasa Batak adalah “memakan yang pahit” , sedangkan
meruut istilah adalah suatu aturan (ibadat) yang wajib diamalkan oleh setiap warga
parmalim pada setiap akhir tahun.
Dasar Hukum Mangan Na Paet
1) Apabila sudah tiba diujung tahun, tepatnya pada hari 29 dan 12 menurut kalender
Batak diharuskan warga parmalim untuk berkumpul di Bale Pasogit Partonggoan
(di pusat) atau di Bale Parsantian (di Cabang0 untuk beribadat dengan tujuan
“menebus dosa”
2) Harus diyakini bahwa memang pahit rasanya akibat dari dosa yang sudah
dilakukan mulai dari pangkal tahun hingga ujung tahun.
3) Disebabkan penderitaan yang dialami dan juga dosa yang diperbuat sehingga
yang pahit itu suatu bukti kesungguhan hati (menebus dosa dan bertaubat) dalam
ibadat mangan na paet.
4) Tidak boleh memakan segala yang dapat mengenyangkan perut dan mengerjakan
“keinginan diri” termasuk hasrat seksual selama menjalankan ibadat.
5) 5). Orang yang sudah menebus dosa meskipun tidak disaksikan oleh orang lain
dan menegakkan amal didalam kesucian tuhan, yakinlah pada hari esok ia akan
mendapatkan kehidupan tondi dan sedikitpun tak merasa takut akan cobaan dan
ujian yang akan datang.
5. Upacara Mamasumasu (Memberkati Perkawinan)
1) Apabila hendak kawin dengan anak parmalim, maka dari pihak anak perempuan
harus memberikan dua belas rupiah, sedangkan dari pihak anak laki-laki
sebanyak enam rupiah sebagai wujud gambaran adat yang keduanya diletakkan
diatas parbuesanti.
2) Apabila hanya pengantin perempuan yang anggota parmalim, sedang pengantin
laki-laki bukan berasal dari agama Malim sementara mereka berdua harus
dinikahkan dengan tata cara agama Malim, maka untuk ini pengantin laki-laki
harus lebih dulu masuk menjadi penganut agama Malim dengan memberikan
21
persyaratan yaitu memberikan uang dua rupiah dan kain putih tujuh hasta yang
diletakkan diatas parbuesanti.
3) Apabila pengantin laki-laki saja yang hanya penganut agama Malim sedangkan
pengantin perempuan berasal dari penganut agama lain, sementara tata cara
perkawinan bersikeras dinikahkan menurut agama Malim, maka perempuan harus
lebih dulu memberikan pengakuan lisan menjadi penganut agama Malim.
C. Norma Kesopanan
Didalam budaya Batak yang turun temurun sampai saat ini dan selalu
dilaksanakan adalah soal perjodohan, dimana banyak hubungan antara sesama orang
batak yang semarga ataupun berlainan marga dan berlainan rumpun marga tidak boleh
saling menikah, hal ini dilakukan karena peraturan adat yang masih berlaku.
Dalam Suku batak hal ini adalah peraturan, yang terkait erat dengan hukum dalihan na
tolu yaitu
1. Somba Marhula-hula
2. Manat Mardongan Tubu
3. Elek Marboru
Maksud dan tujuan dari aturan ini di berlakukan agar jangan terjadi simpang siur
struktur kedudukan antara sesama orang batak dalam adat.
Di dalam adat Batak hubungan kekerabatan yang tidak boleh saling menikahi antaralain
adalah :
4. Saudara Kandung, yaitu Anak laki-laki dan anak perempuan dari satu ibu dan Bapak
tidak boleh saling menikah.
5. Anak laki-laki dan anak perempuan keturunan saudara kandung laki-laki dari orang
tua laki-laki tidak boleh saling menikahi.
6. Laki-laki dan perempuan satu marga tidak boleh saling menikah walaupun bukan
saudara kandung laki-laki dari orang tua laki-laki.
22
7. Laki-laki dan perempuan dalam satu rumpun marga, misalnya walaupun mereka
berbeda marga tapi dalam satu rumpun marga contohnya, Sihaloho dengan Situngkir
dll, karena dari satu rumpun Silalahi Sabungan tidak bisa saling menikah.
8. Anak laki-laki dan perempuan keturunan saudara perempuan dari orang tua
perempuan tidak boleh saling menikahi (Keturunan dari Inang uda atau Inang tua
marpariban).
9. Anak laki-laki dan perempuan yang marganya marpadan dengan satu marga, maksud
marpadan adalah ikatan satu marga dengan marga lain menjadi ikatan saudara yang
di lakukan oleh leluhur dahulu.
10. Anak laki-laki dari orang tua laki-laki tidak boleh mengawini anak perempuan dari
keturunan saudara perempuannya (Anak laki-laki tidak boleh menikahi anak
perempuan Namboru kandung), sebaliknya anak laki-laki dari saudara bapak
perempuan boleh menikahi anak perempuan saudara laki-lakinya (Anak namboru
laki-laki boleh menikahi anak tulangnya yang di sebut Pariban)
11. Anak laki-laki tidak boleh mengambil atau menikahi anak perempuan dari keturunan
tulangnya oarang tua perempuan yang disebut tulang rorobot. (Dalam hal ini bukan
berarti tidak boleh menikahi perempuan dari marga yang sama dengan marga tulang
rorobot) dikenal dalam bahasa batak Pariban an so boi diolihon.
Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak yang
berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan hidup dari
marga lain selain marganya.
Bila ada yang menikah dengan satu marga, dia sudah melanggar adat. Dan akan
dapat sanksi dari kepala adat yg bersangkutan. Bila sudah terjadi, akan terjadi suatu
musibah di dalam hidupnya akibat melanggar peraturan adat batak tersebut.
Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak maka dia harus
diadopsi oleh salah satu marga Batak (alias membeli marga). Dalam hal membeli marga,
seseorang tersebut membuat acara untuk membeli marga, mengundang ketua adat dan
raja-raja adat.
Sistem kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba, termasuk hal yang sangat
penting dan berperan banyak dalam menuntun perilaku hidupnya sehari-hari. Dengan
23
ikatan aturan system kekerabatan itu masyarakat batak dapat hidup dalam bimbingan
sopan santun, berdedikasi, bertanggungjawab. Dengan tutur sapa kekerabatan,
masyarakat batak bias berbicara lebih sopan, lebih beradab dan berbudaya. Oleh
karena itu, dalam masyarakat batak toba, dalam bertutur kata dan memanggil sapaan
seseorang tidaklah sembarangan. Karena sudah ada sapaan panggilan terhadap orang
lain maupun kerabat keluarga, diantaranya
A. Tutur-Sapa Awal
Saat kita bertemu dengan seseorang yang belum kita kenal dengan baikl, maka
unutk berkomunikasi dengan beliau, hendaklah digunakan Tutur sapa awal sebagai
berikut ;
1. Ompung,bagi seseorang Orangtua yang memang sudah tua; orang tua dari
orangtua kita. Dalam artinya bahasa Indonesia ialah Kakek atau Nenek.
2. Amang, bagi seorang bapak ( Ayah )
3. Inang, bagi seorang Ibu
4. Tulang, kepada Orangtua yang satu marga dengan Ibu kita
5. Bapa Uda, kepada orangtua yang satu marga dengan Ayah kita
6. Lae, bagi sesame laki-laki yang sebaya kita (khusus buat laki-laki)
7. Ito, seseorang perempuan yang sebaya dengan kita
8. Ampara, bagi sesama laki-laki yang satu marga dengan kita
9. Eda, bagi sesama wanita yang umurnya sebaya
1. NAMBORU
Kakak atau adik perempuan dari Ayah kita. Baik sebelum beliau menikah maupun
sesudahnya. Namboru merupakan seorang teman yang paling sesuai. Seorang remaja
lelaki, akan sangat berceloteh kepada berbagai macam hal kepada Namborunya.
Bicara seenaknya saja, dan tidak ada rasa sungkan, dan tidak akan dihantui oleh rasa
marah.
2. INANG BAJU
24
Adik (masih belum menikah) dari Ibu kita. Tempat mencurahkan perasaan. Biasanya
wanita lebih suka cerita kepada Inang baju daripada Namborunya.
Semua anak gadis dari Tulang kita. Kita pasti cepat akrab. Zaman dahulu, umumnya
boru ni tulang dianggap sebagai bakal istri.
Dalam bahasa batak, subang berarti pantang. Dan sesuai aturan baku
masyarakat batak toba, terdapat 5 macam tutur sapa yang ditetapkan sebagai hal yang
harus dijaga dengan hati-hati dan penuh rasa hormat.
Bagi sebahagian masyarakat batak toba yang sudah maju sekarang, bias saja
mengganggap aturan ini sebagai hal yang menggelikan. Akan tetapi, aturan baku ini
telah membina hidup masyarakat batak toba dengan etika keluarga yang baik, berguna
untuk menumbuhkan rasa segan dan rasa saling hormat-menghormati.
1. Namarbao
yaitu antara kita sendiri dengan hula-hula kita (yang perempuan). Kita harus menyapa
beliau dengan kata INANG dengan penuh rasa hormat dan segan. Lebih segan dan
hormat daripada memanggil inang kepada Ibu yang lain. Bahkan harus ditambahi
dengan “halaki nang bao, atau halak ina ta”. Tujuanny auntuk menunjukkan rasa
hormat kepada beliau. Tidak boleh berbicara berduaan, atau berdekatan, apalagi
sampai senggolan. Itu amat dipantangkan. Tidak perlu menyalam langsung tangan
beliau, cukup menundukkan kepaladan berucap : “horas ma ninna hamu
inang,”. Tidak boleh duduk berhadapan seberang meja.
2. Namaranggi boru
yaitu terhadap Isteri dari adik kita Laki-laki. Sama dengan NAMARBAO, tidak boleh
disebut namanya, jangan senggolan, jangan duduk berdekatan atau langsung
berhadap-hadapan. Namun Isteri kita sering menjadi dekat dengan beliau.
25
26
3. Namarhahadoli
Tutur sapa yang digunakan isteri adik laki-laki kita sendiri kepada kita. Sama dengan
nomor 2.
4. Marparumaen
Isteri dari putera kita. Tidak boleh langsung ditegur, dipanggil atau disuruh.
Karena bila seseorang sudah menjadi mantu, itu berarti harkat kemanusiaan kita
sedang menuju sempurna. Sebentar lagi kita sudah punya cucu, satu kebanggaan yang
sangat diidamba. Pantangan hampir sama dengan yang diatas. Tidak boleh senggolan,
berbicaralah hendaklah segan, tidak sembarangan ataupun bercanda. Pada zaman
dahulu cara penyampaian pesan nya begini “ santabbi tiang, haru patu hamu ma
sipanganonta di meja I, nunga male iba “ artinya Permisi tiang, kamu buatkanlah nasi
di meja itu, saya sudah lapar”. Jadi tianglah yang menjadi alat untuk menyampaikan
pesan tersebut agar tidak berkomunikasi langsung.
5. Namarsimatua
Tutur sapa dari si mantu kepada mertua. Tetap saja tidak boleh langsung bicara.
Karena itu sang mantu hendaknya segera sigap melaksanakan tugasnya di rumah.
Jangan sampai ada perintah dari mertua
Arti harafiah dan leksikal : Sudah kenyang bukan karena makan Puas bukan
karena minum Kenyang karena penderitaan Puas karena kesedihan/dukacita
27
keputusasaan. Penderitaan sering dianggap sebagai takdir. Takdir ditentukan oleh
Debata Mulajadi Na Bolon (Allah orang Batak Toba) harus diterima dengan pasrah
saja. Ada orang yang menyerah saja pada penderitaan dan menjadi apatis. Namun
untuk sebagian orang takdir dilihat sebagai sarana pendidikan, yakni mendidik untuk
tabah menghadapi segala cobaan hidup, menyingkirkan sifat sombong dan sekaligus
menanamkan rasa patuh kepada orang tua, raja, hula-hula (kerabat keluarga), nenek
moyang dan Debata Mulajadi Na Bolon.
Jenis pantun ini ialah “pantun andung” (pantun tangisan) pada penderitaan.
Pantun ini diungkapkan pada waktu mengalami penderitaan (kesedihan dan duka
cita), misalnya pada saat kematian orang tua, sahabat dan famili.
Silaklak ni dandorung
Tu dangka ni sila-sila
Ndang iba jumonokjonok
Tu na so oroan niba
Arti terdalam : Dua baris terakhir dari syair pantun di atas menasehatkan
kepada semua pria agar tidak mendekati seorang perempuan/wanita yang tidak
istrinya. Nasehat ini merupakan usaha untuk menghindari tindakan perzinahan dan
sekaligus merupakan larangan untuk tidak melakukan perzinahan. Seorang laki-laki
yang mendekati perempuan yang bukan istrinya dan melakukan hubungan seksual
disebut berzinah. Orang yang melakukan perzinahan dihukum dan terkutuk
hidupnya.
Jenis Sastra : Pepatah nasehat ini digolongkan ke dalam pantun nasehat atau
pepatah nasehat (Batak: umpama etika hahormaton, adat dohot uhum). Pepatah ini
digunakan pada kesempatan pesta adat, pesta perkawinan, dan pada hari-hari biasa
28
serta pada kesempatan yang biasa juga. Juga sering diungkapkan pada waktu diadakan
musyawarah kampung karena adanya tindakan pelanggaran perkawinan. Biasanya
orang yang berzinah dihukum secara adat.
Arti terdalam : sopan santun, sikap hormat dan ramah tamah akan
membuahkan hidup yang mulia dan bahagia (baik), sedangkan sikap ceroboh dan
sombong (angkuh) akan menyebabkan kematian, penderitaan, malapetaka dalam
hidup seseorang. Pada umumnya orang yang sopan memiliki banyak teman yang
setia, ke mana dia pergi selalu mendapat perlindungan dan sambutan dari orang yang
dijumpainya. Sedangkan orang yang ceroboh dan sombong sulit mendapat teman
bahkan sering mendapat lawan dan musuhnya banyak. Yang seharusnya kawan pun
menjadi lawan bagi orang yang seperti ini.
Pat ni satua
Tu pat ni lote
Mago ma panguba
Mamora na niose
Kaki tikus
Ke kaki burung puyuh
29
Lenyap/hilanglah si pengingkar janji
Dan kayalah yang diingkari
30
Arti harafiah dan leksikal :
Arti terdalam : Umpama ini digunakan untuk kerabat sedarah dan dari satu
keluarga (Batak: dongan sabutuha). Pepatah ini mengisyaratkan kebersamaan untuk
menanggung duka dan derita, suka dan kegembiraan. Sejajar dengan
ungkapan:”ringan sama dijingjing, berat sama dipikul”. Dari ungkapan ini terbersit
arti mendalam dari kekerabatan yang dianut oleh orang Batak Toba. Kekerabatan
mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang dipupuk atas dasar hubungan
darah.Kerukunan diusahakan atas dasar unsur-unsur Dalihan Na Tolu. Hubungan
antar manusia dalam kehidupan orang BatakToba diatur dalam sistem kekerabatan
Dalihan Na Tolu. Hubungan ini telah disosialisasikan kepada generasi dari generasi
ke generasi berikutnya. Hubungan ini telah ditanamkan kepada anak sejak dia mulai
mengenal lingkungannya yang paling dekat, misalnya dengan orang tua, sanak
saudara dan kepada famili dekat. Pengertian marga dijelaskan dengan baik sesuai
dengan kode etik Dalihan Na Tolu. Tata cara kehidupan, cara bicara, adat-istiadat
diatur sesuai dengan kekerabatan atas dasar Dalihan Na Tolu itu.
31
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di dalam kehidupan bermasyarakat Suku Batak diatur oleh norma-norma sosial.
Norma-norma sosial itu diantaranya norma keagamaan, norma kebiasaan, dan norma
kesopanan.
Dalam norma keagamaan Suku Batak mempunyai suatu konsep Batak, seluruh
kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala
dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak,
dan semua orang Batak harus mempunyai sahala.
Dalam norma kebiasaan di suku Batak terdapat kebiasaan-kebiasaan yang sering
dilakukan yaitu Martutuaek (kelahiran), Pasahat Tondi (kematian), Mardebata
(peribadatan atas niat seseorang), Upacara Mangan Na Paet (Memakan yang Pahit), dan
Upacara Mamasumasu (Memberkati Perkawinan).
B. Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
http://monaliasakwati.blogspot.co.id/2011/12/makalah-norma-sosial.html
https://benzmanroe.wordpress.com/2010/05/06/mulajadi-nabolon-konsep-mitologis-
penciptaan/
http://brotampu.blogspot.co.id/2015/12/teologi-suku-batak_2.html
https://pungsin.wordpress.com/tag/kitab-debata-asi-asi/
http://napitupulublog.blogspot.co.id/2015/03/upacara-kelahiran-di-adat-batak.html
https://baturajasigiro.wordpress.com/category/kelahiran-anak/
http://partukko.blogspot.com/2013/04/lahir-nikah-dan-mati-sebagai-orang-batak.html
http://alterpernando.blogspot.com/2011/01/makna-kelahiran-dalam-masyarakat-batak.html
http://agamalokal2016pa4akel1.blogspot.co.id/2016/05/suku-batak.html
https://www.gentaandalas.com/tradisi-pesta-dalam-upacara-kematian-suku-batak/
http://dominique122.blogspot.co.id/2015/04/masyarakat-batak-toba-di-bona.html
http://parlinerwin.blogspot.co.id/2011/04/kebudayaan-batak.html
https://www.facebook.com/notes/punguan-sinurat/aturan-perkawinan-dalam-adat-
batak/145264155158
https://merryinriama.wordpress.com/2015/10/04/etika-adat-istiadat-batak/
https://zhemwelelanor.blogspot.co.id/2016/09/makalah-etika-suku-batak.html
33