Anda di halaman 1dari 17

‘Jism’, ‘Aradh’, ‘Jauhar’ dan ‘Ruh Amr’ : Struktur Insan dalam Perspektif

Imam Al-Ghazali

Posted by Herry @ 19:43 | in Jurnal


e-mail this article | + to del.icio.us | TrackBack | Share on Facebook

Muhammad Sigit Pramudya dan Kuswandani Yahdin,


Jurnal Suluk Ruh Al-Quds, Vol. I, No. 1, (2001) Paramartha - PICTS
 
SEBAGAI seorang ulama yang berjasa membuat jembatan antara aspek dzahir dan batin, syari’at
dan tashawwuf (ihsan) bagi umat Islam umumnya, Imam Al-Ghazali ra sangat memperhatikan
pengetahuan tentang struktur insan, yaitu pengetahuan manusia terhadap dirinya sendiri. Hal ini
dikarenakan pengetahuan yang benar tentang struktur insan merupakan platform (landasan,
sistem operasi) bagi tumbuhnya keberagamaan yang utuh sehingga seorang muslim dapat
memulai keislamannya dengan arahan yang jelas dan nyata di mana dia akan adil dalam
mendayagunakan segala potensi pencarian kebenaran yang Allah hadirkan dalam dirinya baik
yang melekat pada aspek jasadiahnya seperti pikir dan nalar (logika), maupun yang melekat pada
aspek bathiniahnya seperti petunjuk Allah, nur ilmu (ilmu ladunni) dan ilmu tasawwur.

Karena itu bahasan mengenai struktur insan sesungguhnya amat bertaburan dalam khazanah
Imam Al-Ghazali, meski sering beliau samarkan dan tegaskan bahwa walayah beliau tidak dalam
membahas masalah ini sampai ke detil dan inti permasalahan. Atau seperti beliau katakan
sendiri, “Lagi pula tujuan kami hanya membicarakan sifat-sifatnya dan hal-ihwalnya, bukan
memperbincangkan hakikat dzatnya, sebab ilmu mu’amalah hanya mengenal sifat-sifatnya dan
hal-ihwalnya, bukan hakikat.” Namun demikian, kita tetap bisa mendapatkan suatu gambaran
yang utuh tentang struktur insan. Hanya saja karena beliau banyak mengkhususkan diri dalam
masalah mu’amalah dan menjembatani hubungan antara aspek dzahir dan bathin dari Islam,
maka bahasa yang beliau gunakan juga berupa bahasa mu’amalah dan ‘jembatan’.

Struktur Insan

Struktur manusia adalah struktur berbagai alam dan bagian-bagiannya. Tentu saja hal ini tidak
dalam bentuk penampakannya, tapi lebih pada unsur-unsur penyusunnya, inter relasinya, dan
mekanisme hukum yang berlaku di dalamnya dimana alam yang dimaksud tidak hanya meliputi
alam fisik inderawi tapi juga alam-alam atas (alamul a’laa), termasuk alam malaikat. Semua ini
adalah kalam ilahi yang bertutur tentang Dia SWT yang berada di balik semuanya.

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut rupa-Nya” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Untuk menjelaskan struktur insan yang kompleks ini maka Imam Al-Ghazali ra menggambarkan
bahwa manusia itu adalah hewan yang mampu berpikir (hayyawan nathiq)., maksudnya
berjasmani seperti hewan, tapi juga mampu mencerap pengetahuan tentang Allah SWT
sebagaimana malaikat. Perbedaan antara manusia dengan hewan adalah adanya tambahan unsur
jiwa (an-nafs) yang membuat manusia mampu berpikir dan mewujudkan apa yang dipikirkannya
(nathiq), baik dalam bentuk perkataan hingga perbuatan, sehingga bila saja binatang diberi jiwa
(an-nafs) sebagaimana yang diberikan kepada manusia, tentu ia akan sanggup berpikir dan
akhirnya mukallafah.

Struktur makhluq yang seperti ini oleh Imam Al-Ghazali ra dibagi dalam tiga aspek: Jiwa (an-
nafs), Ruh dan Jasmani (jism).

Jasmani manusia terbentuk dari berbagai komponen dan unsur yang sanggup ‘membawa’ dan
mempertahankan ruh dan nafsnya, yang kemudian menjadi suatu tubuh berpostur yang memiliki
wajah, dua tangan dan kaki, serta bisa tertawa. Unsur-unsur jasmani tersebut adalah unsur yang
sama dengan unsur makrokosmos yaitu air, udara, api dan tanah. Hal ini terlihat dari proses
penciptaan jasmani Nabi Adam as yang dilukiskan melalui tahapan ath-thiin dan shalshal di
mana kedua jenis tanah liat tersebut merupakan hasil dari perubahan empat unsur tanah, air,
udara dan api. Bagi anak-cucu Nabi Adam as, proses tersebut tidak transparan lagi karena
jasmani bani adam terbentuk dalam rahim ibu melalui fase-fase nuthfah, ‘alaqah dan mudhghah.
Meski begitu secara hakiki jasmani bani adam tetap berasal dari 4 unsur tersebut dan akan
kembali ke bentuk unsur dasar itu.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan insan dari suatu saripati (berasal) dari tanah
(thiin). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim).Kemudian air mani itu Kami ciptakan jadi segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami ciptakan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami ciptakan menjadi tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk (berbentuk) lain. Maha Memberkahi Allah, Sebaik-baiknya Maha Pencipta. (Al-
Mu’minun [23]: 12-14)”

Dan (ingatlah), ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
menciptakan seorang basyar dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam (shalshal)
yang diberi bentuk.” (Al-Hijr [15]: 28)

Jika diperhatikan lebih jauh mekanisme kehidupan yang melibatkan bagian-bagian tubuh, maka
akan ditemui persamaan dengan mekanisme serupa yang melibatkan bagian-bagian alam
(makrokosmos). Hanya saja untuk memetakan persamaan ini dengan lengkap dan rinci, andai
pun kita diberi usia yang cukup panjang sampai berabad-abad, tidak akan tuntas untuk
menguraikannya. Oleh karenanya kita diminta untuk berusaha mencoba sendiri meneliti apa
yang kita saksikan, tentu maka akan menemukan persamaan makrokosmos dengan mikrokosmos
diri kita.

Kemudian adanya ruh membuat manusia mirip dengan hewan karena ruh yang dimaksud di sini
adalah ruh yang juga dimiliki oleh hewan, yaitu ruh hewani. Dalam Al-Qur’an dikenal dengan
istilah nafakh ruh. Ruh hewani ini adalah sesuatu yang bertempat, sehingga eksistensinya bisa
dideteksi oleh ilmu kedokteran. Ia berjalan (mengalir) di seluruh anggota tubuh, pembuluh
darah , urat nadi dan syaraf. Kehadirannya di suatu anggota tubuh, membuat bagian tubuh
tersebut menjadi hidup. Apakah itu berwujud gerakan, sentuhan, menatap, mendengar, dan
sebagainya. Ibaratnya seperti pelita yang beredar menelusuri suatu tempat yang penuh dengan
lorong-lorong; tempat tersebut adalah ibarat tubuh. Bagian-bagian tubuh yang diibaratkan
dengan lorong-lorong akan hidup ketika cahaya pelita menerangi lorong tersebut.Cahaya pelita
itulah ibarat dari ruh hewani yang mengalir dan beredar di seluruh tubuh. Ruh tersebut tidak
memberi petunjuk pada pengetahuan. Ia tak lebih daripada perangkat unik yang bisa mematikan
badan, di mana misi Rasulullah Saw bukan ditujukan pada ruh tersebut. Ruh inipun bukanlah
Ruh Amr yang dimaksud di Al-Israa’ [17]: 85 (pembahasan tentang Ruh Amr ini akan diuraikan
di bagian Hubungan Jiwa dengan Ruh).

Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ar-Ruh. Katakanlah: Ar-Ruh itu berasal dari Amr
Rabbku, dan tidaklah engkau diberi pengetahuan tentang itu melainkan sedikit. (Al-Israa’ [17]:
85)

Sehingga bisa dikatakan bahwa Imam Al-Ghazali meluruskan pemahaman sebagian umat Islam
yang menyamakan makna Ar-Ruh dengan Nafakh Ruh (ruh hewani).

Kemudian manusia juga memiliki jiwa (an-nafs) yang merupakan jauhar, yaitu yang berdiri
sendiri, tidak berada di tempat manapun dan juga tidak bertempat pada apapun. Jiwa adalah alam
sederhana yang tidak terformulasi dari berbagai unsur (materi) sehingga tidak mengalami
kehancuran sebagaimana benda materi. Karena itu, kematian bagi manusia sesungguhnya
hanyalah kematian tubuh dimana yang hancur dan terurai kembali ke asalnya adalah tubuh,
sedangkan jiwa tidak akan hilang dan tetap eksis, sebagaimana firman Allah di Ali ‘Imran [3]:
169.

Janganlah engkau sekali-kali mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati:
bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. (Ali ‘Imran [3]: 169)

Jiwa (an-nafs)merupakan esensi yang sempurna dan tunggal yang tidak muncul selain dengan
cara mengingat, menghapal, berpikir, membedakan dan mempertimbangkan sehingga dikatakan
bahwa ia menerima seluruh ilmu. Ia mengetahui masalah-masalah yang rasional maupun yang
ghaib. Dialah yang sanggup memahami, berpikir dan merespon segala yang ada; bukan tubuh
maupun otak yang sebenarnya hanyalah sebentuk materi. Bahkan Imam Al-Ghazali ra
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya adalah suatu kondisi yang ada pada jiwa.
Adanya ilmu menggambarkan jiwa yang berpikir tenang (an-nafs an-nathiqah al-muthmainnah)
tentang hakikat segala sesuatu, artinya adanya pengetahuan tentang al-haq itu merepresentasikan
tentang jiwa. Ini dikarenakan jiwa di dalam tubuh akan berusaha mencari kesempurnaan, agar ia
sanggup mengikuti derajat malaikat yang dekat dengan Allah (muqarrabun), di mana Allah
adalah sumber segala pengetahuan juga merupakan obyek ilmu yang paling utama, paling tinggi,
dan paling mulia.

Kesemuanya ini adalah struktur dasar yang memiliki alamnya masing-masing, tetapi kemudian
dalam totalitas diri manusia, semua ini akan saling berinteraksi dan membentuk relasi-relasi.
Relasi-relasi antar alam ini kemudian bisa mewujud dan menciptakan alam-alam baru yang tak
kalah eksis. Bahkan kehadiran mereka bisa membiaskan eksistensi struktur dasar jiwa-ruh-jasad
sehingga manusia menjadi makhluk yang amat kompleks. Pada titik inilah usaha mengenali diri
sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Rasulullah Muhammad Saw “Man ‘arafa nafsahu faqad
‘arafa Robbahu”, menjadi sedemikian sulit dan butuh jihad. Semakin kompleks kehidupannya,
maka semakin besar jihad yang dibutuhkan.

Jiwa merupakan suatu jauhar

Dalam menjelaskan tentang struktur insan, Imam Al-Ghazali ra membahasnya dalam hubungan
yang kuat antar unsur-unsur (aspek) dalam diri manusia tersebut, khususnya antara jiwa (nafs)
dengan tubuh (jism) dengan tujuan agar terlihat bahwa hakikat (jauhar) seorang manusia adalah
jiwanya (nafs). Sementara jiwa (nafs) sendiri bukan bagian dari alam ciptaan (khalq), sehingga
eksistensinya tak bisa disentuh sebatas menggunakan indera lahiriah.

Sesuatu itu disebut jauhar bila ia merupakan substansi dari bentuk-bentuk material. Tapi meski
begitu, jauhar bukanlah bagian dari alam material, artinya jauhar itu tidak terdiri dari unsur-unsur
materi. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali ra memandang segala bentuk-bentuk material itu sendiri
pada prinsipnya ada demi menunjukkan eksistensi dari jauhar tersebut. Sebagaimana terjadi pada
diri manusia di mana jasad menunjukkan keberadaan sang jiwa (an-nafs).

Imam Al-Ghazali ra menjelaskan bahwa jiwalah yang menggerakkan tubuh melalui energi yang
tidak tampak dan sangat selaras. Artinya jiwa merupakan entitas hakiki yang berada dibalik
seluruh organ tubuh, panca indera dan aktivitas otak sehingga jasmani itu ibarat pakaian yang
bergerak karena kehendak sang jiwa. Ketika jiwa menggunakan mata, maka tampaklah jiwa
sebagai penglihatan. Ketika jiwa menggunakan telinga, maka ia dikenal sebagai pendengaran.
Ketika jiwa menggunakan hidung, maka ia pun muncul sebagai penciuman, dan demikian
seterusnya. Meskipun demikian, pada dasarnya jiwa adalah suatu jauhar yang tunggal, di mana ia
tidak terbagi-bagi sebagai mana tubuh terbagi-bagi dalam anggota tubuh dan panca indera.
Karena bila ia terbagi-bagi seperti itu, berarti ia mengikuti hukum-hukum material, sementara ia
bukan materi.

Karena itu Imam Al-Ghazali ra menekankan pembahasan strutur insan dalam relasi jauhar,
aradh dan jism. Jiwa sebagai jauhar dan jasad sebagai jism. Jiwa yang memiliki kehendak dan
pengetahuan, sedangkan jasad bisa menjadi alat bagi jiwa untuk mewujudkan suatu kehendak di
alam khalq (alam ciptaan) sehingga muncullah istilah karya dan cipta. Tanpa jiwa, jasad
hanyalah sebentuk materi yang tak bisa berbuat apa-apa dan tak mengetahui apa-apa. Tapi ketika
jiwa dilekatkan pada jasad, maka bermunculanlah kekuatan-kekuatan diri seperti penglihatan,
pendengaran, gerakan dan pikiran sejalan dengan proses pertumbuhan manusia. Kekuatan-
kekuatan yang muncul kemudian inilah yang disebut dengan aradh, yang sering didefinisikan
sebagai sifat dan aksiden yang mewujud seiring dengan bertemunya jauhar dan jism.

Analogi yang cukup mendekati adalah seperti ditunjukkan pada gambar 1. Pada gambar tersebut
digambarkan adanya sumber cahaya yang memancarkan cahaya tak berwarna (putih) ke segala
penjuru. Berdasarkan hukum fisika telah diketahui bahwa ketika cahaya putih — yang
sebenarnya merupakan perpaduan dari segala warna cahaya – melewati benda tembus pandang
berwarna seperti lensa, maka akan terjadi penyaringan (filter) cahaya. Bila lensa tersebut
berwarna merah, maka lensa tersebut hanya akan melewatkan cahaya merah dan meredam
cahaya warna lainnya. Demikian juga ketika melewati lensa kuning dan hijau, sehingga lahirlah
cahaya yang berwarna-warni. Dalam keseharian, kita mungkin dapat melihat fenomena ini di
traffic light (lampu lalu lintas).

Gambar 1. Sumber cahaya, lensa kaca berwarna dan cahaya merah-kuning-hijau yang
dihasilkannya.

Inilah perumpamaan jiwa jauhar (an-nafs), aradh dan jasmani (jism). Sumber cahaya pada
gambar 1 adalah perumpamaan dari jiwa jauhar, cahaya berwarna adalah perumpamaan dari
berbagai aradh dan lensa adalah perumpamaan dari anggota tubuh (jasmani). Ketika jiwa (an-
nafs) dipertemukan dengan jasmani-nya maka muncullah aradh-aradh-nya, seperti munculnya
cahaya merah, kuning dan hijau dari cahaya tak berwarna (putih) (lihat Gambar 1). Dengan
analogi tersebut semoga terpahami bahwa penglihatan, pendengaran, penciuman, kemampuan
berkata-kata, kemampuan berfikir, bernalar dan berkhayal serta kekuatan-kekuatan lainnya baik
yang terlihat atau tidak, sesungguhnya hanyalah ibarat spektrum warna cahaya yang sumbernya
adalah jiwa (an-nafs). Adanya kekuatan-kekuatan tersebut pada akhirnya semestinya
menunjukkan tentang adanya jiwa (an-nafs) sebagai jati diri manusia.

Pertemuan antara jiwa dengan jasad ini sebenarnya adalah proses yang memakan waktu dimana
jiwa yang melakukan eksplorasi terhadap jasad sehingga dari struktur alamiah jasad tersebut,
jiwa akan berusaha mencari suatu bakat ketika ia sanggup menguasainya. Karena itu, manusia
dapat menyaksikan dan merasakan bahwa seluruh hidupnya dipenuhi dengan aktivitas tersebut
dimana kemudian kita istilahkan dengan ‘belajar’. Betapa seorang bayi belajar menguasai dan
mengkoordinasikan perangkat-perangkat tubuhnya sehingga secara bertahap muncullah kekuatan
penglihatan, pendengaran, tertawa dan gerak dalam dirinya. Betapa pula ketika manusia
menyadari tentang adanya kekuatan ruhaninya, maka ia pun belajar untuk menghidupkan dan
menggunakannya. Ini semua adalah karakteristik alamiah, yang bila berjalan secara normal maka
jiwa akan berjalan dengan aman yaitu berusaha mengikuti derajat malaikat dan berusaha semakin
dekat dengan Allah SWT. Semua ini terjadi adalah dengan kekuasaan Allah dan segala
sistematisasi-Nya, tidak ada Tuhan selain Dia.
Kekuatan jiwa (aradh) itu dibedakan menjadi dua, yaitu motorik (penggerak) dan kognitif.
Sementara kognitif sendiri terbagi menjadi dua, yaitu luar dan dalam. Kognitif luar adalah seperti
mendengar, melihat, membaui, meraba dan sebagainya. Adapun kognitif dalam terdiri dari tiga
macam:

1. Imajinasi (khayaliyyah), yang bertugas merekam segala bentuk yang pernah ditangkap oleh
indera.

2. Fantasi (wahmiyyah), yang mampu memahami berbagai makna (pengertian). Kekuatan ini
akan merekam pengertian (makna) dari segala bentuk yang direkam oleh khayaliyyah.

3. Pikiran (fikriyyah), yang berfungsi menyusun beberapa bentuk, antara yang satu dengan yang
lainnya.

Di tempat lain, Imam Al-Ghazali ra menyebutkan aspek kognitif ini sebagai bagian dari tentara
qalb, yang disebut dengan divisi al-ilmu wal idrak yaitu divisi yang bertugas untuk meraih
pengetahuan dan pemahaman tentang segala sesuatu. Beliau kemudian menggambarkan dengan
lebih rinci sebagaimana terlihat pada gambar berikut ini.

Dari gambar tersebut terlihat bahwa kognitif luar itu melekat pada panca indera dan kognitif
dalam itu melekat pada dimagh (otak). Yang menarik ternyata hampir semua kekuatan (aradh)
tersebut juga dimiliki oleh binatang karena kambingpun bisa langsung mengerti bahwa anjing
hutan adalah musuhnya, maka ia segera melarikan diri. Artinya hewanpun adalah makhluk yang
berfikir. Karena itu jiwa (an-nafs) mestilah sesuatu yang derajatnya di atas kekuatan-kekuatan
(aradh) tersebut, karena jiwa (an-nafs) merupakan pembeda antara manusia dan binatang yang
perbandingannya sebagaimana dilukiskan pada gambar 1 di mana cahaya dengan sumbernya
tetaplah sesuatu yang derajatnya berbeda.
Gambar 2. Tentara Qalb yang tergabung dengan divisi al-ilm wal idrak.

Demikianlah, sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor pembeda manusia dengan binatang
adalah pada zat jiwa itu sendiri, yaitu jiwa sebagai jauhar yang memiliki kemampuan untuk
merespon atau memahami pengetahuan yang tidak dapat dilihat oleh mata. Imam Al-Ghazali ra
menyatakan bahwa jiwa jauhar ini bukanlah kekuatan-kekuatan tersebut, melainkan merupakan
esensi yang sempurna dan tunggal yang tidak muncul selain dengan cara mengingat, menghapal,
berpikir, membedakan dan mempertimbangkan sehingga dikatakan bahwa dialah yang menerima
seluruh ilmu. Ia tidak bosan menerima gambaran-gambaran yang lepas dari materi. Semua
bagian diri manusia berkhidmat kepada jauhar ini dan melaksanakan perintahnya.

Dalam hubungannya dengan jasad, jiwa jauhar ini (an-nafs) dikatakan memiliki dua jenis
kekuatan, yaitu kekuatan yang bersifat amaliah (praktis) dan yang bersifat ilmiah. Adapun yang
bersifat amaliah adalah kekuatan yang menjadi pusat penggerak manusia sehingga melahirkan
karya dan cipta dalam wujud teknologi-teknologi manusia. Sementara yang bersifat ilmiah
adalah yang mampu memahami materi ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak ada bentuk dan
bendanya, di mana ilmu pengetahuan tersebut merupakan masalah-masalah yang bersifat
universal, abstrak dan hanya dapat dipahami oleh akal.

Dalam kaitannya dengan aspek amaliah dan ilmiah inilah maka jiwa jauhar ini disebut juga
dengan jiwa berpikir (nafs nathiqah) karena makna nathiq di sini tidak hanya meliputi kekuatan
berpikir (ilmiah), tapi sampai pada kekuatan untuk mewujudkannya dalam bentuk gerak dan
perbuatan (amaliah). Al-Qur’an menamai nafs nathiqah sebagai suatu paduan antara jiwa yang
tenteram (nafs muthmainnah) dengan ruh Amri. Karena itu Imam Al-Ghazali ra menyatakan
bahwa nafs nathiqah adalah jauhar yang hidup, aktif dan rasional.

Tingkatan Jiwa

Jiwa itu sesungguhnya berlapis-lapis dan bertingkat, sehingga istilah jiwa sebenarnya digunakan
untuk mewakili/menggambarkan banyak aspek. Bila istilah jiwa ditujukan pada jiwa yang
menjadi jauhar manusia (an-nafs), maka binatang dapat dikatakan tak memiliki jiwa tersebut.
Tapi bila derajat pemahaman tentang jiwa ini diturunkan, maka binatang pun sebenarnya
memiliki jiwa. Bahkan tenaga gas dan segala sesuatu yang dapat berkembang (seperti tumbuhan)
juga dikatakan memiliki jiwa. Hanya saja derajat jiwa yang mereka miliki tidak cukup untuk
membuat mereka mukallafah. Karena itu dalam tulisan ini, ketika jiwa disebut dalam bentuk isim
ma’rifah an-nafs, maka itu menunjuk kepada jiwa jauhar. Sedangkan ketika disebut dengan nafs
saja, maka itu menunjukkan kepada jiwa dalam seluruh derajatnya (jiwa secara umum).

Untuk memahami masalah ini lebih jauh, harus dipahami bahwa jiwa itu tumbuh. Ia berproses
dari suatu kekuatan (kemampuan, potensi) menuju bentuk perbuatan. Jiwa hewani (an-nafs al-
hayawaniyyah) melekat pada kesempurnaan suatu tubuh (jism) secara alamiah dimana pada
derajat tersebut pemilik jiwa memiliki kemampuan untuk dapat merasa dan bergerak sehingga
dikatakan bahwa jiwa hewani adalah tingkatan pertama dari munculnya suatu perbuatan. Karena
itulah binatang dan manusia sama-sama memiliki jiwa jenis ini.

Penggerak indera pada binatang adalah melalui daya fantasi, yang fungsinya sama dengan daya
intelektual yang ada pada manusia. Seekor binatang akan berperilaku sesuai dengan perilaku
yang dikendalikan daya fantasinya ketika melihat sesuatu yang berbahaya. Kalau melihat sesuatu
yang berbahaya, ia akan segera menghindar, dan tidak terlalu salah bila dikatakan bahwa ia
punya daya rekam yang mampu merekam citra.

Jiwa manusia sendiri memang memiliki dua sisi. Satu sisi menuju alam ruh (alam tinggi, alamu’
a’la) dan sisi lain menuju alam bawah (rendah, alam materi) di mana dia diperintah agar
memelihara dua sisi yang saling berseberangan ini. Dari sisi yang menuju alam tinggi ia mirip
dengan malaikat dalam berbagai keutamaan dan ketekunan beribadat kepada Tuhannya.
Sedangkan sisi yang menuju alam bawah membuatnya mampu berinteraksi dengan alam bawah
yang terformulasi dari unsur materi (alam khalq). Penguasaan jiwa terhadap alam materi tersebut
adalah melalui tubuh fisik (jism).

Berbagai alam tersebut memiliki tuntutannya masing-masing, yang sering saling bertolak
belakang. Inilah yang membuat jiwa manusia cenderung bingung dalam menjalani kehidupannya
di dunia. Masing-masing ingin dipenuhi secara adil sesuai dengan hukum keadilan Tuhan.
Karena itu agar manusia pada akhirnya tetap bisa cenderung pada sisi yang tinggi, maka Allah
memperkuatnya dengan akal agar dapat menerima apa yang disampaikan dari para malaikat dan
Rasul-Nya, di samping juga sanggup memahami apa yang dikehendaki Tuhannya. Inilah
kebijakan Tuhan (hikmah Ilahiyyah) yang menjadikan manusia itu istimewa.
Dua sisi tersebut kemudian membuat jiwa (an-nafs) memiliki dua kekuatan dasar, yaitu amaliah
dan ilmiah. Kekuatan amaliah terkait dengan sisi yang menuju alam bawah yang sebagian besar
bersifat inderawi, sedang kekuatan ilmiah terkait dengan sisi yang menuju alam atas karena dari
sisi inilah turunnya pengetahuan yang tak terbatas. Terkait dengan hal tersebut, jiwa hewani
sesungguhnya adalah representasi jiwa pada sisi yang menghadap alam bawah di mana dengan
jiwa hewani tersebut manusia dan binatang dapat menghasilkan dan mensistemkan suatu gerakan
atau perbuatan. Hanya saja pada binatang, mereka bergerak dan berbuat tanpa pengetahuan
tentang sisi bagian atas sehingga binatang tidak mengerti tentang apa yang menjadi dasar
gerakan (perbuatan) mereka. Perbuatan dan karya cipta mereka sepenuhnya dilakukan atas dasar
wahyu yang diterima dari Allah swt.

“Dan Rabbmu mewahyukan kepada seekor lebah: Buatlah sarang-sarang di gunung-gunung, di


pohon, dan di tempat-tempat yang dibikin (manusia).” (An-Nahl [16]: 68)

Sementara manusia bergerak dan berbuat atas dasar pengetahuan yang didapatnya. Bila sisi jiwa
yang menghadap alam atas mampu menerima pengetahuan-Nya, maka dia akan berbuat dan
berkarya atas dasar ilmu-ilmu tinggi itu. Bila tidak, maka manusia juga akan tetap berbuat, tapi
atas dasar ilmu-ilmu rendah (pengetahuan duniawi). Karena itu Al-Qur’an sering menyindir
mereka yang tak memiliki pengetahuan tentang alam-alam atas sebagai tak ubahnya dengan
binatang, bahkan lebih rendah dari itu. Mereka tidak mengenal malaikat dan Tuhan penciptanya,
tapi sangat mengenal dunianya.

“Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka (mampu) mendengar atau
menggunakan ‘aqlnya?. Mereka itu tiada lain bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesatlah
jalan mereka.” (QS. Al-Furqan:44).

Manusia dikatakan lebih sesat dari binatang karena meski binatang tak memiliki pengetahuan
tentang alam-alam atas namun binatang berada dalam ketaatan yang mutlak kepada Sang
Penciptanya. Mereka mendengar, melihat dan mengetahui kehendak Allah SWT atas diri
mereka. Mereka tak akan pernah bergerak kecuali atas dasar ilmu Allah SWT yang sudah
tercatat dalam suatu kitab, di mana Dia tak akan keliru atau lupa. Sedangkan manusia yang tak
berpengetahuan tentang alam-alam atas, maka mereka justru terputus dari ketaatan kepada
kehendak Allah SWT karena dengan apa mereka memahami kehendak Allah SWT atas diri
mereka? Kalaupun mereka membangun suatu ‘ketaatan’, maka itu adalah atas dasar persangkaan
yang dibangun di bawah kendali hawa nafsu dan syahwat.

Hubungan jiwa dengan kematian

Kematian itu sesungguhnya adalah terpisahnya jauhar jiwa dari jasmani dan aradhnya. Imam Al-
Ghazali ra menjelaskan bahwa sakaratul maut adalah ungkapan tentang rasa sakit yang
menyerang inti jiwa dan menjalar ke seluruh bagian jiwa sehingga tak ada lagi satu pun bagian
jiwa yang terbebas dari rasa sakit itu. Inti jiwa di sini adalah jauhar jiwa, dan bagian jiwa adalah
aradh dan jasmani, sehingga dapat dibayangkan betapa sakitnya sakratul maut karena jiwa (an-
nafs) harus tercerabut bukan hanya dari jasmaninya, tetapi juga dari aradhnya.
Manusia pasti akan merasakan derita dan rasa sakit kematian dan sesungguhnya sendi-sendinya
akan mengucapkan selamat tinggal satu sama lain, seraya berkata, ‘Sejahteralah atasmu.
Sekarang kita saling berpisah hingga datang hari kiamat.’

Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah berbicara tentang angan-angan yang diriwayatkan oleh
Ali ra.,

“Dua hal yang paling kutakuti dari kau semua, melebihi segala sesuatu yang lain: menuruti hawa
nafsu dan berpanjang angan-angan. Sebab menuruti hawa nafsu akan menghalangi orang dari
kebenaran, sedangkan berpanjang angan-angan berarti mencintai dunia.”

Kecintaan terhadap dunia itulah yang akan menjadi pangkal rasa sakit ketika sakaratul maut tiba.
Tapi tak juga dapat dipungkiri bahwa angan-angan adalah salah satu aradh. Ia merupakan bagian
dari divisi al-ilm wal idrak yang membuat manusia dapat menjalani dan menikmati kehidupan di
dunia ini. Al-Hasan berkata, “Kelalaian dan angan-angan adalah dua nikmat besar yang
dianugerahkan kepada manusia. Sekiranya tidak ada keduanya, niscaya orang-orang Muslim
tidak akan berjalan di jalan-jalan.” Mutharrif bin ‘Abdullah juga berkata, “Seandainya aku
mengetahui saat kematianku, niscaya aku takut akan hilang akalku sendiri. Tetapi Allah SWT
telah merahmati hamba-hamba-Nya dengan memberi mereka kelalaian akan maut. Seandainya
bukan karena kelalaian itu, tentu mereka tidak akan menikmati kesenangan dalam hidup, dan
tidak ada pasar yang dibangun di tengah-tengah mereka.”

Dikatakan bahwa suatu ketika Nabi Isa as duduk di dekat seorang tua yang sedang menggali
tanah dengan cangkul. Isa berdo’a, “Wahai Tuhan, cabutlah angan-angannya,” dan orang itu pun
meletakkan cangkulnya dan membaringkan diri. Setelah berlalu satu jam, Isa as berkata, “Wahai
Tuhan, kembalikanlah angan-angannya.” Orang itupun lalu bangkit kembali dan meneruskan
pekerjaannya. Ketika Isa as bertanya kepadanya tentang hal yang terjadi, dia berkata, “Ketika
saya sedang bekerja, jiwa saya berkata, ‘Berapa lama lagi engkau akan bekerja, sedangkan
engkau sekarang sudah tua?’ Oleh karena itu saya lalu meletakkan cangkul saya dan berbaring.
Kemudian jiwa saya berkata kepada saya, ‘Demi Tuhan, engkau harus bekerja untuk sisa
umurmu.’ Saya pun bangkit kembali dan mengambil cangkul saya lagi.”

Kematian itu memisahkan jiwa dengan angan-angannya. Semakin panjang angan-angannya,


semakin berat sakaratul mautnya. Semakin pendek angan-angannya, semakin ringan sakaratul
mautnya. Tapi angan-angan tidak mungkin dihilangkan sama sekali. Karena itu Rasulullah SAW
dalam hal angan-angan ini berdoa sebagai berikut, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
dunia yang menghapus kebaikan di akhirat. Aku berlindung kepada-Mu dari hidup yang
menghalangi kematian yang baik, dan aku berlindung kepada-Mu dari angan-angan yang
bertentangan dengan amal shaleh.” At-Tsauri berkata, “Zuhud terhadap dunia adalah
memendekkan angan-angan, bukan makan makanan kasar atau memakai jubah wol.” Suatu
ketika Al-Mufadhdhal bin Fadhaalah berdoa kepada Tuhannya agar menghilangkan angan-
angannya, lalu diapun kehilangan selera makan dan minumnya. Kemudian dia berdoa lagi agar
Tuhan mengembalikan kepadanya angan-angannya. Dan seketika itu juga dia pun kembali
kepada makanan dan minumannya.
Karena alasan ini dikatakan bahwa maut lebih menyakitkan daripada tusukan pedang, gergaji,
atau sayatan gunting karena rasa sakit yang diakibatkan oleh tusukan pedang terjadi melalui
asosiasi bagian tubuh yang tertusuk dengan jiwa, maka betapa sakitnya jika luka itu langsung
dirasakan oleh jiwa itu sendiri! Orang yang ditusuk bisa berteriak kesakitan karena masih ada
tenaga dalam hati dan lidahnya. Sedangkan suara dan jeritan orang yang sekarat terputus karena
rasa sakit itu telah memuncak sehingga tenaga menjadi hilang, semua anggota tubuh melemah
dan sama sekali tak ada lagi daya untuk berteriak meminta pertolongan. Rasa sakit itu telah
melumpuhkan akalnya, membungkam lidahnya dan melemahkan semua raganya.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika sekelompok kaum Bani Israil berjalan melewati pekuburan,
dan salah seorang di antara mereka berkata kepada yang lain, “Bagaimana jika kalian berdoa
kepada Allah SWT agar dia menghidupkan satu mayat dari pekuburan ini dan kalian bisa
mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya?” Mereka pun berdoa kepada Allah SWT. Tiba-tiba
mereka berhadapan dengan seorang laki-laki dengan tanda-tanda sujud di antara kedua matanya
yang muncul dari salah satu kuburuan. “Wahai manusia!” katanya, “Apa yang kalian kehendaki
dariku? Lima puluh tahun yang lalu aku mengalami kematian, namun hingga kini rasa pedihnya
belum juga hilang dari hatiku!”

Hubungan Jiwa dengan Akal

Meski jiwa adalah jauhar, tetapi ketika dikaitkan dengan keberadaan akal (‘aql), maka ia tak
lebih dari sekedar mediator karena jiwa (an-nafs) sesungguhnya bukanlah pemilik perbuatan.
Meski jiwa (an-nafs) menguasai kekuatan untuk mewujudkan suatu perbuatan, tapi prakarsa
terhadap suatu perbuatan tidak datang dari jiwa. Karena itu ketika Allah SWT menciptakan jiwa
dengan sistem dan tipe seperti ini, maka kebijakan Tuhan (hikmah ilahiyyah) menjadikan
manusia itu lebih istimewa yaitu dengan memberi bantuan, memperkokoh dan memberi berbagai
sarana yang memungkinkannya untuk meraih pengetahuan di sisi alam atas dan mewujudkannya
di alam bawah. Untuk meraih sisi yang tinggi, maka jiwa diperkuat dengan akal (‘aql), agar
dapat menerima apa yang disampaikan dari para malaikat dan Rasul-Nya, disamping juga agar
dapat memahami apa yang dikehendaki Tuhannya.

Dalam hubungannya dengan akal (‘aql), Imam Al-Ghazali ra menjelaskan bahwa jiwa ibarat
seorang ksatria yang dikirim ke daerah yang rawan musuh. Sementara yang mengirimkannya
adalah sang Raja yang perintah-Nya harus ditaati dan larangan-Nya harus dijauhi. Ia diperintah
untuk memblokade daerah yang rawan tersebut, menyalurkan bahan makanan kepada para
pasukan dan memerangi musuh. Untuk itu, sang Raja telah menetapkan tiga perkara, yaitu:
pertama, pada tempat yang rawan musuh tersebut telah disempurnakan gedung, rumah, pagar,
dinding, benteng, sungai, pepohonan, buah dan sarana-sarana lain. Kedua, sang Raja telah
mengirimkan seorang hamba dan para pembantu bagi prajurit tersebut di mana hamba dan para
pembantu itu dijadikan selalu berinteraksi kepadanya. Mereka sepenuhnya dalam kendali dan
perintah si ksatria; baik diperintah dengan benar maupun tidak, mereka tidak akan membantah
dan membangkang. Namun Raja menginginkan agar mereka diperlakukan dengan baik, dan
mengharapkan sang ksatria tidak sekali-kali tertipu oleh segala kewenangan yang diberikan
kepadanya. Ketiga, sang Raja juga mengirimkan seorang perdana menteri yang bijaksana sebagai
penasehat bagi sang Ksatria. Perdana menteri ini mengetahui dan melihat apa yang ada di
seluruh alam ini, juga mengetahui perilaku yang baik, jalan yang benar serta akibat berbagai
masalah. Kehadiran perdana menteri ini merupakan penghormatan sang Raja bagi Ksatria di
mana Raja menginginkan agar sang Ksatria melaksanakan segala sesuatu atas sepengetahuannya.

Ksatria dalam kisah di atas adalah perumpamaan dari jiwa (an-nafs). Sementara tubuh ibarat
daerah rawan musuh, sedangkan insting, kekuatan jiwa (aradh) dan beberapa unsur lain yang ada
dalam tubuh adalah ibarat berbagai macam bekal dan sarana-sarana lain yang diberikan kepada
hamba. Adapun kebutuhan makan dan keperluan-keperluan hidup yang lain diibaratkan sebagai
faktor yang harus terjadi di daerah tersebut dan berbagai bencana yang mungkin menimpanya.
Sedangkan akal (‘aql) digambarkan sebagai seorang perdana menteri, dan Dan sang Raja adalah
ibarat dari Allah SWT.

Akal ini berasal dari Sang Penciptanya, dan jiwa dikatakan bergerak menuju berbagai keutamaan
bila ia menerima perintah dari akal. Jiwa itu menjadi mediator untuk bergerak dan cenderung
kepada tujuan Tuhannya, sehingga apa yang dilakukan (pekerjaan fisik) menjadi suatu pekerjaan
Allah. Karena itu, jiwa dijadikan dalam bentuk jauhar yang memadukan dua sisi, satu sisi mirip
akal dan satu sisi mirip fisik. Bisa jadi ia ke sisi bawah, maka ia menjadi nilai-nilai kerendahan.
Dan bisa jadi ia ke sisi atas (tinggi), maka ia menjadi nilai-nilai keutamaan. Demikianlah jiwa
akan menggantung di antara dua sisi tersebut, di mana fisik akan berinteraksi dengan jiwa, jiwa
akan berinteraksi dengan akal, sementara akal dengan Sang Pencipta. Ini semua terjadi secara
sistematis, sebagaimana alam yang juga terjadi secara sistematis dan saling berinteraksi satu
sama lain sehingga Allah tidak menanganinya secara langsung, tapi semua berada dalam Ilmu-
Nya sebab dia bukanlah jisim (fisik) yang berdimensi, bukan pula ‘aradh atau jauhar. Itu
sebabnya sering dikatakan bahwa ketika muncul kecenderungan untuk berbuat ketaatan, maka itu
bersumber dari Allah SWT.

Yang paling sempurna akalnya adalah yang paling besar rasa takut kepada Allah SWT dan yang
paling memperhatikan apa yang diperintah dan dilarang-Nya, meski paling sedikit tatawwu’-nya.
(Al-Hadits)

Akal yang dimaksud pada sistematika jasad-jiwa-‘aql-Khaliq adalah ciptaan pertama Allah
SWT.

Yang pertama diciptakan Allah SWT adalah akal. Lalu Ia perintahkan kepadanya, ‘Datanglah!’
maka ia datang. Lalu Ia perintahkan lagi kepadanya, ‘Pergilah!’ maka ia pun pergi. Kemudian
Allah SWT berfirman, ‘Demi Keperkasaan-Ku dan Keagungan-Ku, tak ada sesuatu yang telah
Kuciptakan lebih mulia di sisi-Ku daripadamu. Denganmu Aku mengambil, dan denganmu Aku
memberi. Denganmu Aku memberikan pahala, dan denganmu Aku menjatuhkan hukuman. (Al-
Hadits)

Meski akal adalah ciptaan Allah SWT, tapi ia bukan jism, bukan aradh dan bukan pula jauhar.
Karena itu Imam Al-Ghazali ra menyebutkan bahwa pengetahuan tentang akal ini termasuk
dalam ilmu mukasyafah.

 
Hubungan Jiwa dengan Ruh

Pemahaman tentang Ruh berada di tataran yang kontroversial yang muncul karena
kesalahpahaman terhadap apa yang dimaksud di QS. Al-Israa’ [17]: 85 yaitu kalimat Ruh min
Amri Rabbi. Kata “Ruh” di sini umumnya dipahami dengan ruh hewani dan kemudian
melekatkan istilah nyawa kepadanya untuk menunjukkan bahwa kematian akan terjadi bila
nyawa manusia lepas dari tubuhnya. Tetapi yang dimaksud ruh di Al-Israa’ [17]: 85 itu bukanlah
ruh hewani atau nyawa itu, melainkan apa yang Imam Al-Ghazali ra istilahkan dengan Ruh Amr.
Jiwa (an-nafs) sendiri memiliki relasi yang erat apakah dengan Ruh Amr maupun ruh hewani di
mana relasinya saling unik. Karena itu pembahasan hubungan jiwa dengan ruh ini juga harus
dipilah menjadi dua bagian.

1. Hubungan Jiwa dengan Ruh Hewani

Ruh hewani ini disebut juga dengan Nafakh Ruh karena ruh inilah yang ditiupkan (nafakh) ke
dalam jasmani janin pada usia kandungan 120 hari.

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku tiupkan di dalamnya ruh-Ku,
maka tunduklah mereka kepada-Nya dengan bersujud.(Al-Hijr [15]: 29)

Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya dari Ruh-Nya, dan Dia
menjadikan kalian (memiliki) pendengaran, bashiirah, dan fu’aad, tapi sedikit di antara kalian
yang bersyukur. (As-Sajdah [32]: 9)

Ruh hewani ini adalah fisik yang lembut yang bersumber dari rongga hati jasmani, yang dengan
perantaraan otot-otot dan urat-urat yang bermacam-macam, ia tersebar ke seluruh bagian-bagian
tubuh. Ia adalah wujud fisik yang pergerakannya berada dalam kendali jiwa, di mana akibat
pergerakan dan sirkulasinya di seluruh bagian tubuh maka muncullah aradh (kekuatan) jiwa
seperti penglihatan, pendengaran, penciuman dan gerakan. Ia ibarat lampu menyala yang terletak
dalam kaca qalb dimana lampu itu diedarkan menyusuri ‘lorong-lorong’ otot dan urat syaraf
sehingga cahayanya menerpa dinding-dinding lorong tersebut. Sedangkan yang memiliki
kehendak dan pengetahuan ke mana lampu itu harus diedarkan adalah jiwa (an-nafs). Adapun
ketika dinding terterpa cahaya lampu, dikatakan muncullah aradh (kekuatan) jiwa di mana bila
dinding tersebut berada di lorong-lorong otot dan urat syaraf mata, maka aradh tersebut disebut
dengan penglihatan. Begitu pula dengan penginderaan lainnya dan gerakan adalah cahaya lampu
tersebut ketika menerpa dinding.

Kemudian ibarat lampu menyala tadi, maka ruh hewani ini juga memiliki panasnya, itulah yang
dikenal dengan syahwat, sedang emosi (ghadab) adalah asapnya di mana asap itu pada dasarnya
muncul karena ada panas yang tidak proporsional. Asap itulah yang nantinya akan mengotori
kaca qalb dan memekatkan qalb dengan abunya. Akibatnya cahaya yang terpancar dari pelita
kian lama kian redup.
Imam Al-Ghazali ra mengatakan bahwa tidak ada firman Allah SWT dan taklif dari pengembang
syari’at yang ditujukan kepada ruh ini. Sementara kita pun tahu bahwa kelak di yaumil hisab,
segala aktivitas kita, termasuk penginderaan dan gerakan, akan dimintai pertanggung
jawabannya oleh Allah SWT. Lantas kepada siapa Allah SWT memintai itu? Jawabannya adalah
kepada jiwa (an-nafs), sebagai bagian diri kita yang memiliki pengetahuan dan kehendak karena
jiwa (an-nafs) yang menggerakkan pelita ruh, sehingga timbullah berbagai aktivitas dalam diri.

2. Hubungan Jiwa dengan Ruh Amr

Untuk memahami keberadaan Ruh Amr, kita harus mengerti bahwa dia berasal dari alam Amr,
yaitu alam di mana Amr-Amr (kehendak-kehendak) Allah SWT lahir dan berkembang. Dan
ini adalah suatu alam tersendiri, apapun—termasuk kehendak (Amr)—ketika dilekatkan pada
martabat ketuhanan, maka iapun memiliki alamnya sendiri. Bila pada martabat kemanusiaan
kehadiran kehendak hanya berwujud ‘niat’, maka tidak demikian dengan Allah SWT. Di sisi
Allah SWT, Amr-Nya itu hidup dan mewujud meski tidak dalam bentuk-bentuk yang kasat mata.

Karena itu Ruh Amr berbeda dengan ruh hewani (nafakh ruh, nyawa) karena Ruh Amr bukanlah
sesuatu wujud fisik sebagaimana ruh hewani. Dia pun bukan merupakan aradh sebab urusan
(Amr) Allah SWT mustahil berupa jasad maupun aradh. Ruh Amr ini bersifat lathifah ‘alimah,
yaitu sesuatu yang lembut (tidak berjasad), memiliki ilmu dan memberikan kepahaman pada diri
(nafs) manusia. Karena itu bila dikaitkan dengan jiwa (an-nafs), kehadiran Ruh Amr ini adalah
dalam posisi guru, pemberi pemahaman dan yang mentransfer pengetahuan dari sisi Allah SWT
sebab jiwa (an-nafs) hanya mampu mengetahui kekuatan yang ada dalam dirinya saja.

Jiwa (an-nafs) sendiri sejak awal memang sudah memiliki potensi pengetahuan, yaitu tentang
dirinya sendiri. Karena itu dikenalah aksioma Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu dimana
frasa ‘arafa nafsahu menunjukkan proses sang jiwa (an-nafs) ketika berusaha memahami
pengetahuan yang dikandung dalam dirinya dan frasa ‘arafa Robbahu menunjukkan proses
ketika datang pengetahuan dari Allah SWT yang melegalkan (membenarkan maupun
menyalahkan) pengetahuan manusia tentang jiwanya (an-nafs). Sementara kata faqad tidak mesti
bermakna serial secara waktu, tapi serial secara urutan sebab akibat. Dalam hal ini, Man ‘arafa
nafsahu adalah sebab dari ‘arafa Rabbahu. Allah SWT berkepentingan terhadap kebenaran
proses pengenalan manusia terhadap dirinya, karena manusia diciptakan sesuai dengan citra Dia
SWT. Dan sebagai makhluq yang paling ‘mirip’ dengan Allah SWT, maka diri manusia
membawa pengetahuan tentang Allah SWT, dalam derajat akurasi dan kebenaran tertinggi di
seluruh semesta alam.

Bila dalam proses ‘arafa nafsahu subyeknya adalah jiwa (an-nafs), maka dalam proses ‘arafa
Rabbahu subyeknya adalah Ruh Amr. Ruh Amr ini baru akan hadir bila si jiwa (an-nafs) telah
sempurna berproses yaitu telah sampai ke derajat nafs al-muthmainnah . Hadirnya Ruh Amr yang
membawa pengetahuan dari sisi-Nya, membuat nafs al-muthmainnah disebut sebagai nafs
nathiqah dimana nathiq menunjukkan kemampuan melahirkan pengetahuan ke dalam bentuk-
bentuk perbuatan.

Karena itu kehadiran Ruh Amr terkait dengan amal shalih. Hadirnya Ruh Amr membuat sang
jiwa (an-nafs) akan mampu menggunakan kekuatannya (aradh) maupun jasmani untuk
menjalankan amal shalihnya, yaitu sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ruh Amr ibarat sosok
Rasul dalam suatu kaum dimana kaum itu adalah perumpamaan diri Al-Mu’miniin.

Dan ketahuilah bahwa di dalam diri kalian terdapat utusan Allah. Seandainya dia taat kepadamu
di dalam banyak hal dari sebuah al-Amr niscaya engkau mendapatkan kesusahan namun Allah
menjadikan kamu mencintai keimanan dan menghiasinya di dalam qalb kalian dan menjadikan
kalian benci kepada kekufuran serta kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang
yang diberi bimbingan. (Al-Hujuraat [49]: 7)

Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang al-mukmin ketika Dia mengutus
seorang rasul di dalam nafs-nafs mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
mensucikan-Nya, dan mengajarkan mereka Al-Kitaab dan Al-Hikmah, walaupun sebelumnya
mereka berada dalam kesesatan yang nyata. (Ali ‘Imran [3]: 164)

“Katakanlah: Ruh Al-Quds telah menurunkannya dari Rabbmu dengan penyertaan al-haqq untuk
meneguhkan orang-orang yang beriman, dan sebagai petunjuk serta berita gembira bagi orang-
orang yang berserah diri.” (An-Nahl [16]: 102)

Relevansi pemahaman struktur insan dengan struktur keberagamaan

Imam Al-Ghazali ra mengatakan bahwa tidak banyak yang mendalami masalah struktur insan
ini, posisi nafs-qalb-‘aql-ruh, perbedaan maknanya, batas-batasnya dan apa-apa sebenarnya yang
dilabeli oleh nama-nama tersebut. Akibatnya, banyak kesalahan-kesalahan diperbuat orang,
termasuk para ulama, disebabkan oleh ketidakmengertian akan arti terminologi-terminologi
tersebut. Khususnya terhadap pemahaman makna ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan
terminologi-terminologi tersebut.
Pemahaman tentang makna istilah-istilah tersebut amat berpengaruh dalam membentuk struktur
keberagamaan seseorang, karena manusia adalah makhluk yang berproses dan berkembang, baik
lahir maupun batin dimana proses tersebut ada polanya. Pola proses inilah yang amat penting
dipahami seseorang. Dengan memahami pola tersebut seorang muslim bisa mengukur posisi
perjalanannya menuju Allah SWT dan membangun keberagamaannya dengan struktur benar
sesuai kehendak Allah SWT. Proses ini dikenal di kalangan kaum sufi dengan istilah ‘uruj
(mi’raj). Proses ini bisa dipahami sebagai proses berpindahnya atau naiknya kesadaran manusia,
dari satu kesadaran ke kesadaran lain sehingga faktor kendali kehidupan seseorang juga
senantiasa berpindah sejalan dengan ‘uruj.

Imam Al-Ghazali ra juga memperkenalkan mekanisme ‘uruj dalam bentuk yang lebih
singkat,yaitu:

Pemahaman tentang struktur insan selain ditujukan untuk mengidentifikasi keberadaan entitas-
entitas tersebut, utamanya adalah demi memahami mekanisme ‘uruj ini. Bahwa keberagamaan
seseorang dibangun dengan pola tumbuh dan hadirnya nafs-qalb-‘aql-ruh secara nyata di mana
hal itu semua diawali dari kesadaran bahwa semua entitas tersebut eksis dan nyata.

Gambar 3.Mekanisme ‘uruj dalam perspektif Imam Al-Ghazali

Manusia awalnya belajar hanya dengan jasadnya yaitu dengan menggunakan perangkat-
perangkat jasadiah saja, dan menjadikan alam-alam jasmaniah sebagai bahan pembelajaran dan
sumber informasi, seperti otak, nalar (rasio) dan bagian-bagian lain dari consciousness (alam
sadar) manusia di mana itu semua hanyalah ‘aradh dari jiwa. Kemudian dengan taubat, manusia
berkesempatan untuk menghidupkan nafsnya (jiwa jauhar) dan menjadikannya sebagai subyek
belajar pada fase nafs. Di sini bahan pembelajaran dan sumber informasinya adalah alam
malakut, dan begitu seterusnya proses uruj ini mengalir hingga totalitas kepribadian kita bertemu
dengan Ruh yang merupakan utusan Allah SWT dimana yang dimaksud dengan Ruh tersebut
adalah Ruh Amr atau disebut juga dengan Ruh Al-Quds.

Imam Al-Ghazali ra mengatakan bahwa hakikat seseorang ditentukan dari aspek tertinggi dalam
dirinya, karena itu ‘uruj juga menunjukkan aspek tertinggi yang eksis dalam diri seseorang pada
suatu saat. Awalnya manusia hanyalah seonggok daging dengan kekuatan berpikir, karena dalam
kepribadian manusia hanya eksis jasadnya saja. Tapi bila nafs seseorang telah hidup, maka
sebutan nafs tersebut juga melekat dalam totalitas kepribadiannya. Begitu juga bila qalb-nya, dan
kemudian ‘aql-nya, telah kembali.

Dalam ‘uruj ini ada yang sifatnya tumbuh dari dalam dirinya, dan ada yang berupa rahmat dari
sisi Allah SWT yang diterima kelak. Dari Jasad sampai dengan Akal (‘Aql), itu semua
merupakan potensi yang ada dalam diri manusia sejak lahir tapi potensi tersebut belum berarti
apa-apa sampai benar-benar berwujud dan eksis. Manusia harus berjihad untuk mewujudkannya
dan kemudian bila berhasil dalam jihad-nya ini, maka Allah SWT akan menurunkan Rahmat-
Nya, yaitu Ruh Amr atau Ruh Al-Quds yang selanjutnya akan menjadi pembimbing dan rasul
bagi diri manusia. Pada titik inilah manusia memasuki derajat ihsan, yaitu “Engkau beribadah
kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya,
sesungguhnya Dia melihatmu” (HR. Bukhari).

Demikianlah relevansi pemahaman struktur insan dengan terbangunnya struktur keberagamaan


seorang manusia dengan benar. Sesuai dengan firman Allah di QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 56,
manusia diciptakan adalah untuk beribadah. Dan Rasulullah saw menjelaskan bahwa ibadah
yang semestinya adalah ketika yang disembah itu tersaksikan atau menyaksikan. Dan itu terjadi
kala Ruh Amr (Ruh Al-Quds) telah hadir dan bersatu dengan kepribadian seorang manusia.

Copyright © 2001 PICTS

Anda mungkin juga menyukai