Halaman Judul
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
1.1 SEKILAS TENTANG BAHAN BAKAR PADA PEMBANGKIT LISTRIK.......................... 1
2.3.3 Tripper................................................................................................................................. 31
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Kelas batubara yang banyak dipakai sebagai bahan bakar adalah kelas Sub Bituminus dan
Bituminus. Batubara yang digunakan di PLTU Paiton selama ini semuanya masuk kedalam kategori
kelas Sub Bituminus.
Fuel Handling 1
Batubara adalah bahan bakar padat yang mengandung abu, oleh karena itu pemanfaatan
batubara akan melibatkan biaya tinggi untuk alat yang diperlukan bagi penanganan (coal handling)
dan pembakaran batubara. Itu semua bertujuan untuk mengeliminir debu dan abu.
Penanganan batubara memerlukan pengamanan, karena ada beberapa masalah dalam penanganan
batubara antara lain:
• Batubara dapat terbakar sendiri.
• Batubara dapat menimbulkan pencemaran, seperti pencemaran udara dan tanah.
Fuel Handling 2
Gambar 1.2 Produk dari pengolahan minyak
Fuel Handling 3
Berdasarkan strukturnya, senyawa hidrokarbon dalam minyak bumi terbagi atas empat
kategori utama, yaitu parafinik, naphtenik, aromatik dan olefin. Ikatan parafin dominan
terdapat dalam gasoline dan kerosene (mixed-base petroleum) sedangkan ikatan naftenik
dominan terdapat dalam gas oil dan lubricating oil. Sementara itu residu sendiri
mengandung komponen naftenik, aromatik, dan hidrokarbon tak jenuh.
Fuel Handling 4
Gambar 1.3 Storage & Handling Equipment
Engineered systems
Sistem rekayasa adalah sistem penanganan material yang direkayasa sesuai dengan
kebutuhan dari industri tersebut. Peralatan yang termasuk adalah conveyor, handling robot, AS/RS,
AGV dan sistem penanganan material otomatis lainnya. Sistem rekayasa merupakan kombinasi dari
beberapa peralatan yang terintegrasi dalam satu sistem.
Industrial trucks
Truk Industri biasanya merujuk kendaraan bermotor yang digunakan untuk membantu
proses produksi suatu industry menggunakan bahan bakar bensin, propane atau energi listrik. Truk
Industri membantu sistem material handling dengan fleksibilitas yang cukup tinggi. Forklift adalah
contoh yang paling umum dari truk industri.
Fuel Handling 5
Gambar 1.5 Industrial truck
Conveyor
Sistem conveyor adalah bagian dari material handling equipment yang memindahkan bahan
dari satu lokasi ke lokasi lain yang paling sering digunakan. Conveyor sangat berguna untuk
pengangkutan bahan berat atau besar. Conveyor memungkinkan sistem transportasi cepat dan
Fuel Handling 6
efisien untuk berbagai bahan, yang membuatnya sangat banyak digunakan dalam penanganan
material dan industri kemasan. Terdapat banyak jenis dari conveyor system yang tersedia, dan
digunakan sesuai dengan berbagai kebutuhan industri yang berbeda.
Gambar 1.7 Overhead conveyor Gambar 1.8 Apron conveyor Gambar 1.9 Screw conveyor
Gambar 1.10 Bucket conveyor Gambar 1.11 Pneumatic Gambar 1. 12 Roller conveyor
conveyor
Gambar 1.13 Flight conveyor Gambar 1.14 Chain Conveyor Gambar 1.15 Flight Conveyor
Pada buku ini akan dijelaskan penanganan batubara, debu dan abu serta penanganan bahan
bakar minyak yang berlaku pada PT Pembangkitan Jawa Bali. Penanganan batubara dimulai pada
saat batubara yang telah dipesan datang dilokasi pembongkaran yang ditentukan sebelumnya hingga
batubara digunakan pada proses produksi dan dihasilkan produk samping berupa debu dan abu.
Pada buku ini juga akan dijelaskan penanganan bahan bakar minyak.
Fuel Handling 7
BAB II
COAL HANDLING SYSTEM
Proses produksi listrik tergantung pada operasional instalasi-instalasi yang ada, salah
satunya yaitu instalasi penanganan batubara sebagai penyuplai batubara untuk kegiatan pembakaran
pada furnace. Coal handling system adalah sistem penanganan batubara sebagai bahan bakar PLTU
mulai dari pembongkaran hingga batubara siap digunakan pada furnace. Pada unit pembangkitan
Paiton 1 dan 2, semua aktivitas dikontrol dari CHCB (coal handling control board) kecuali sistem
ship unloader.
Secara umum penanganan batubara melalui tahapan berikut ini. Setelah batubara unloading
dari sistem pengiriman yang digunakan dengan menggunakan ship unloader, batubara akan
ditimbun pada stock pile melalui serangkaian belt conveyor dan selanjutnya akan dicurahkan
melalui telescopic chute atau bucket wheel / stacker reclaimer. Dengan bantuan alat berat seperti
bulldozer batubara ditata saat penimbunan. Ketika akan digunakan batubara akan diarahkan oleh
bulldozer ke reclaimer hopper atau bucket wheel akan mengeruk batubara untuk selanjutnya
ditransfer dengan menggunakan belt conveyor ke silo penampungan pada furnace. Selanjutnya
batubara akan dihancurkan pada mill/pulveriser sebelum digunakan sebagai bahan bakar furnace.
Penjelasan mengenai peralatan coal handling system akan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab
berikutnya.
Fuel Handling 8
Secara umum instalasi penanganan bahan bakar batubara dapat dibagi menjadi beberapa
bagian utama yaitu :
1. Sarana pembongkaran batubara
2. Sarana penimbunan dan pengerukan batubara
3. Sarana pemindahan batubara
4. Sarana penampungan sementara batubara sebelum dibakar
Masing-masing bagian ini memiliki peranan yang saling berkaitan dan akan saling mempengaruhi
satu sama lain apabila terganggu.
Gambar 2.2 Kapal tongkang batubara dan ship unloader di pelabuhan di UP Paiton 1 dan 2
Untuk batubara yang dikirim melalui laut instalasi pembongkaran terdiri dari dermaga yang
dilengkapi dengan ship unloader. Bucket berfungsi untuk mengeruk batubara dari lambung kapal,
hopper akan menampung sementara batubara dari penangkap/bucket. Dari hopper batubara
Fuel Handling 9
digetarkan oleh vibrating feeder dan akan diteruskan ke belt conveyor. Vibrating feeder berguna
agar batubara dari hopper tidak menyumbat dan dapat berjalan dengan lancar, konstan dan merata
tidak menumpuk saat menuju belt conveyor. Melalui belt conveyor batubara akan dipindahkan ke
lokasi penimbunan atau ke silo.
Gambar 2.3 Bucket, hopper dan vibrating feeder pada ship unloader di UP Paiton 1 dan 2
Untuk batubara yang dikirim menggunakan kereta api, instalasi pembongkaran terdiri dari
stasiun pembongkaran yang memiliki fasilitas antara lain :
./ Hopper sebagai tempat penampungan batubara sementara.
./ Tonggak pengait berfungsi untuk membuka pintu-pintu gerbong, diletakkan diujung
deretan hopper.
./ Peralatan penimbang batubara yang ada dalam gerbong. Terdapat dua tipe yaitu tipe
mekanik dan tipe electromagnet.
Gambar 2.5 Tempat pengambilan sampel pada hopper ship unloader di UP Paiton 1 dan 2
Fuel Handling 11
Pemeriksaan batubara ini meliputi :
1. Pemeriksaan kuantitas batubara (supervision of weighing) dengan menggunakan conveyor
belt weigher/belt scale pa a fasilitas penimbangan batubara di pelabuhan untuk setiap
pengiriman.
2. Apabila conveyor belt weigher di pelabuhan bongkar belum atau tidak dapat digunakan,
maka pemeriksaan kuantitas dilakukan di pelabuhan bongkar dengan draught survey kapal
pengangkut dengan catatan kapal yang bersangkutan harus dilengkapi dengan ship’s
particular dan hydrostatic curves.
3. Pemeriksaan kualitas batubara meliputi :
a. Mengambil contoh (sampling) sesuai dengan metode ASTM D 2234
b. Preparasi batubara dengan metode ASTM D 2013, yaitu menyiapkan batubara untuk
analisa lanjutan, sekaligus menghitung kadar air batubara (air dried loss).
c. Melaksanakan sizing ASTM D 4749
d. Melakukan analisa sampel batubara
./ Total moisture ASTM D 3302
./ Air dryed moisture ASTM D 3302
./ Ash content ASTM D 3174
./ Volatile matter ASTM D 3175
./ Fixed carbon ASTM D 3172
./ Total sulphur ASTM D 4239/D 3177
./ Calorific val e ASTM D 5865
./ Hardgrove grandibility index ASTM D 409
4. Melakukan analisa atas composite sample yang diambil dari setiap 250.000 ton pada lokasi
penambangan terdiri dari pekerjaan :
./ Ultimate analysis
./ Ash analysis
./ Fusibility temperatures
./ Hardgrove grandibility index
./ Relative density
Fuel Handling 12
2.2 INSTALASI PENIMBUNAN DAN PENGERUKAN BATUBARA
Batubara yang telah melalui proses pembongkaran dengan menggunakan ship unloader
dapat dipindahkan dari lokasi pembongkaran langsung ke silo untuk langsung diproses untuk
digunakan atau disimpan di lokasi penimbunan atau stock pile/coal yard. Instalasi pemindahan
batubara akan dibahas pada sub bab selanjutnya.
Penimbunan dilakukan terkait dengan ketersediaan minimum batubara yang telah ditetapkan
agar produksi listrik tetap berjalan lancar tidak terganggu dengan kurangnya bahan bakar. Lokasi
penimbunan biasanya berupa lahan terbuka yang cukup luas, terbagi menjadi dua yaitu timbunan
untuk batubara high rank dan low rank. Batubara ditimbun dengan penampang berbentuk trapesium
dengan ketinggian maksimum sekitar 12 meter.
Ketika batubara akan digunakan sebagai bahan bakar maka akan dilakukan pengerukan
batubara dari stock pile/coal yard untuk kemudian ditransfer dengan instalasi pemindahan batubara.
Berdasarkan peralatan yang digunakan, instalasi penimbunan dan pengerukan batubara dibagi
menjadi dua metode, yaitu :
1. Telescopic chute, bulldozer, reclaimer hopper
Gambar 2.6 Timbunan batubara di UP Paiton 1 dan 2
batubara dibagi
2. Bucket Wheel
Fuel Handling 13
yang memiliki sudut kemiringan (inclined) sehingga dapat mencapai ketinggian yang sudah
ditentukan.
Pada bagian ujung belt conveyor ini dipasang telescopic chute, konstruksi dari
telescopic chute merupakan chute yang memiliki saluran berbentuk silinder teleskopik yang
akan mencurahkan batubara dari atas ke bawah, peralatan ini berfungsi untuk mengurangi
terbentuknya debu akibat dari pencurahan batubara dari ketinggian. Diujung silinder
teleskopik ini dipasang sensor seperti limit switch, apabila sensor mengenai timbunan
batubara maka akan memicu motor listrik bergerak memutar kawat sling sehingga telescopic
chute akan bergerak seperti menggulung keatas.
Fuel Handling 14
Setelah telescopic chute mencurahkan batubara maka dibutuhkan bulldozer untuk
meratakan dan menyebarkan batubara ini menjadi sebuah timbunan yang bentuknya sudah
ditetapkan. Selain itu bulldozer digunakan untuk mengarahkan batubara masuk ke reclaimer
hopper pada saat pengerukan batubara yang akan digunakan sebagai bahan bakar pada
furnace. Pada unit pembangkitan Paiton, terdapat 6 buah bulldozer yang bekerja secara
bersama-sama. Sebagai contoh pada PLTU Paiton terdapat beberapa jenis bulldozer yaitu :
• Dua unit bulldozer merk Caterpillar kapasitas 16 Ton
• Dua unit bulldozer merk Dresser kapasitas 16 Ton
• Dua unit bulldozer merk Dresser kapasitas 8 Ton
1. Untuk keperluan pengerukan, batubara akan diarahkan oleh bulldozer ke reclaimer hopper
yang berada dibawah dari timbunan batubara. Screen hopper akan menyaring batubara dari
Stock Pile di atasnya sehingga hanya batubara dengan ukuran tertentu saja yang dapat jatuh
menuju conveyor dibawahnya. Pada bagian bawah hopper juga terdapat vibrating feeder
yang berguna agar batubara tidak menyumbat. selanjutnya diangkut oleh berbagai peralatan
instalasi pemindahan batubara ke lokasi dimana batubara tersebut akan dibakar.
hopper
Vibrating feeder
Fuel Handling 15
menimbun batubara juga dapat dipakai untuk pengerukan batubara. Terdiri dari roda
pengeruk dan saluran pencurah yang dipasang pada suatu lengan yang cukup panjang.
Bucket wheel/stacker reclaimer dapat berjalan diatas rel yang dipasang di sepanjang area
penimbunan. Selain itu bucket wheel/stacker reclaimer juga dapat berputar sampai lebih dari
200o dan roda pengeruk serta roda pencurah dapat digerakkan naik-turun.
Fuel Handling 16
2. Frekuensi Kedatangan dan jumlah muatan
3. Metode penimbunan dan pe gerukan
4. Waktu pembongkaran
Selain faktor-faktor diatas harus pula diperhatikan kapasitas pemakaian batubara untuk seluruh unit
pada operasi beban normal setiap harinya. Setelah jumlah stok batubara yang harus ditimbun telah
ditentukan selanjutnya stok tersebut diklasifikasikan. Pengklasifikasian stok penimbunan batubara
adalah sebagai berikut :
a. Penimbunan Sementara (Live Stock)
Yaitu timbunan batubara yang diprioritaskan untuk segera dikeruk kembali bagi keperluan
unit. Jadi batubara ini hanya ditimbun untuk jangka pendek.
b. Penimbunan Jangka Lama (Dead Stock)
Batubara ini hanya akan dikeruk untuk dipergunakan bila memang diperlukan setelah Live
Stock habis. Jadi ini merupakan prioritas kedua setelah Live Stock.
Menimbun batubara baik dengan telescopic chute atau bucket wheel memiliki prosedur tertentu.
Batubara sebaiknya ditimbun dengan penampang timbunan berbentuk trapesium dengan ketinggian
sekitar 12 meter. Disekeliling timbunan harus disediakan saluran air yang memadai. kantong udara
diantara batubara. Pemeriksaan secara periodik harus dilakukan terutama pada musim kemarau
karena timbunan batubara mudah terbakar.
Fuel Handling 17
3) Bentuk timbunan yang jelek dan rusak.
4) Permukaan batubara yang tidak rata
5) Erosi akibat angin dan hujan.
Bila dari pengalaman terlihat bahwa timbunan batubara pernah terbakar maka pengukuran
suhu pada beberapa titik di areal penimbunan harus dilakukan setiap minggu. Tempat-tempat yang
mempunyai suhu tinggi (lebih panas) dapat diidentifikasi dan diperlihatkan dengan cermat. Ini
berarti bahwa timbunan harus dilengkapi dengan peralatan khusus berupa pipa yang ditanam pada
beberapa tempat dimana thermometer bisa dipasang.
Gambar 2.11 Diagram Alir Coal Handling System di PLTU Paiton Unit 1&2
Instalasi pemindahan batubara secara keseluruhan terdiri dari beberapa peralatan yaitu :
1. Belt conveyor
2. Transfer house
3. Tripper
4. Silo
Batubara akan dicurahkan diatas belt conveyor sebagai media pembawa, setelah melewati beberapa
transfer house maka batubara akan dicurahkan kedalam silo melalui tripper. Untuk selanjunya
Fuel Handling 18
batubara akan diproses sebelum dibakar. Peralatan-peralatan diatas akan dijelaskan pada sub bab
berikut.
Fuel Handling 19
1. Rangka (Frame) 8. Rol pemuat (impact idler)
Belt
Fuel Handling 20
2. Carrying idler
Berfungsi untuk menjaga belt pada bagian yang berbeban atau sebagai roll penunjang ban
bermuatan material. Posisi dari Carrying idler berada di atas conveyor table. Komposisinya
terdiri dari 3 buah roll penggerak berbentuk V.
3. Return idler
Berada di bawah belt pada sisi balik conveyor. Komposisinya hanya terdiri dari 1 buah roll
penyangga dan berfungsi untuk menyangga belt dengan arah putar balik.
Carrying idler
return idler
4. Impact idler
Posisinya persis di bawah chute. Pada bagian luarnya dilapisi dengan karet dan jarak antara
satu sama lain lebih rapat dari carrying idler. Fungsinya untuk menahan belt agar tidak
sobek/rusak akibat batubara yang jatuh dari atas.
5. Steering idler
Merupakan idler yang berfungsi untuk menjaga kelurusan belt agar tidak bergerak ke
kiri/kanan. Posisinya di bagian pinggir belt.
Fuel Handling 21
6. Motor
Berfungsi sebagai penggerak utama dari Belt Conveyor. Dalam pengoperasiannya
dihubungkan dengan gearbox dan fluid coupling.
7. Fluid coupling
Kopling fluida sebagai alat transfer daya dari motor listrik penggerak ke pulley. Kopling
fluida digunakan agar tidak terjadi hentakan saat motor listrik dinyalakan untuk pertama kali
(start up) dan juga dapat menyerap serta membuang panas.
8. Reducer / gearbox
Peralatan yang menggandengkan sumber daya ke pulley dan berfungsi mereduksi putaran
dari motor agar putaran input dari motor dapat dikurangi.
Fuel Handling 22
Gambar 2.19 Konstruksi Motor, Fluid Coupling, dan Reducer
9. Drive pulley
Merupakan pulley yang secara langsung atau tidak langsung terhubung dengan motor listrik
dan dikopling dengan gearbox. Fungsinya untuk memutar belt menuju ke depan. Posisi
drive pulley tidak harus selalu di depan, bisa dipasang dimana saja yang dianggap
memungkinkan.
10. Gravity take up / counter weight dan Take up pulley
Counter weight merupakan bandul yang terhubung dengan take up pulley yang berfungsi
untuk memberi/menjaga ketegangan belt.
Fuel Handling 23
12. Head pulley
Pulley terakhir yang berada pada ujung depan conveyor. Tidak semua head pulley dapat
dipakai sebagai drive pulley. head pulley yang tidak dapat dihubungkan dengan drive pulley
tidak dapat disebut sebagai drive pulley.
13. Snub pulley
Pulley yang digunakan untuk memperbesar luas bidang kontak antara pulley dengan belt,
agar tidak terjadi slip antara permukaan belt dan pulley. Biasanya Snub pulley terletak di
dekat drive pulley dan tail pulley.
14. Tail pulley
Berada di sisi belakang conveyor. Berfungsi untuk memutar kembali Belt Conveyor menuju
ke arah drive pulley. Tail pulley dilengkapi dengan belt cleaner yang berfungsi untuk
mencegah batubara agar tidak masuk ke tail pulley. pada conveyor jenis light duty, tail puley
juga sering dijadikan sebagai take up pulley.
15. Scrapper (pembersih)
Merupakan perangkat yang berfungsi membersihkan material yang menempel pada belt.
Fuel Handling 24
17. V-Plough scrapper
Berfungsi untuk membersihkan material yang tertumpah pada arah balik belt sebelum
Gravity take-up pulley, agar tidak ada material atau batubara yang masuk ke Gravity take-
up.
18. Rem berfungsi untuk mencegah conveyor bergerak saat motor dimatikan.
Terdapat dua jenis rem pada conveyor yaitu :
o Electromagnet Brake, prinsip kerja rem ini adalah dengan menekan sepatu rem
melawan pegas dengan menggunakan elektromagnet. Arus listrik yang
membangkitkan elektromagnet akan mengalir secara otomatis saat motor penggerak
berhenti.
o Thrustor Brake, prinsip kerja rem ini adalah ketika motor penggerak berhenti maka
sepatu rem akan menekan secara perlahan karena gaya hidrolik yang melawan gaya
pegas akan berkurang.
2. Underspeed switch
Pendeteksi apabila konveyor berputar dengan kecepatan rendah. Berupa reduction gear
yang dipasang pada tail pulley conveyor.
Belt missalignment
Fuel Handling 27
5. Belt tension switch
Pendeteksi bertambah panjangnya belt conveyor, berupa switch yang dipasang di bawah
counter weight/gravity take-up conveyor. Juga untuk mendeteksi putusnya konveyor.
6. Backstop
Berfungsi agar belt conveyor tidak berjalan mundur saat motor dimatikan. Biasanya
terdapat pada belt conveyor yang memiliki sudut kemiringan tertentu.
7. Interlock
Merupakan peralatan pengaman yang akan mematikan seluruh motor listrik pada belt
conveyor pada rute yang berkaitan apabila terdapat satu motor listrik yang mati atau trip.
Fuel Handling 28
2.3.2 Transfer House
Transfer house adalah tempat perpindahan batubara dari jalur konveyor satu ke konveyor
berikutnya. Hal ini dilakukan terkait dengan rute konveyor yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam suatu sistem coal handling terdapat lebih dari satu transfer house. Digunakan untuk
menempatkan peralatan-peralatan antara lain:
1. Diverter gate
Pemilih arah aliran batu bara yang dikehendaki yaitu arah kanan atau kiri.
2. Splitter
Pemilih aliran batubara ke s tu arah atau ke dua arah dengan flow pada masing-masing arah
dapat diatur.
Fuel Handling 29
3. Transfer chute
Berfungsi sebagai pengarah batubara saat batubara ditransfer dari satu konveyor ke
konveyor lainnya.
Transfer chute
4. Magnetic separator
Pemisah logam berfungsi untuk memisahkan logam-logam yang ikut terbawa saat batubara
diangkut oleh conveyor. Peralatan pemisah logam terdiri dari conveyor yang berjari dan
bergerak mengelilingi elektromagnet. Pemisah logam ini diletakkan diatas conveyor
pengangkut batubara, jari-jari pada conveyor akan termagnetisasi sehingga akan menarik
logam-logam yang terbawa bersama batubara. Logam-logam ini akan dibuang pada tempat
penampungan yang telah disiapkan. Magnetic separator dipasang pada transfer house
sesudah loading batubara dari ship unloader atau stockpile.
Fuel Handling 30
5. Dust suppression
Peralatan untuk mengatasi debu batu bara yang timbul dari pada saat batubara ditransferkan
dari satu jalur conveyor ke jalur conveyor berikutnya. Metode yang dilakukan adalah dengan
penyemprotkan cairan berupa air atau bahan kimia pengikat debu. Penyemprotan dilakukan
dengan tekanan tertentu dan debit cairan tertentu.
Dust suppresion
2.3.3 Tripper
Setelah batubara ditransportasikan oleh belt conveyor, batubara akan ditampung sementara
pada silo yang berjumlah lebih dari satu. Tripper terletak diatas silo penampungan batubara,
alat ini akan mengarahkan batubara dari belt conveyor ini kedalam silo yang dikehendaki.
Tripper akan bergerak sepanjang rel untuk berpindah tempat saat akan mengisi batubara dari
satu silo ke silo lainnya.
Gambar 2.40 Peralatan dust collector & silo ventilation di UP Paiton 1 dan 2
Hopper akan menampung debu yang terkumpul, dari hopper debu ini akan ditransportasikan oleh
screw conveyor kembali kedalam silo.
Fuel Handling 32
Slide gate
Screw conveyor
Coal feeder akan membawa batubara masuk kedalam pulverizer, didalam pulverizer
batubara akan dihaluskan serta diberikan udara panas hingga suhu tertentu sebelum dibakar didalam
furnace pada boiler. Pada sistem atau proses pulverizing atau proses penumbukkan dari batu bara
terdiri dari tiga proses utama yakni :
a. Proses feeding atau pemberian makan
Proses feeding atau pemberian makan akan mengontrol laju bahan bakar yang masuk
tergantung dari kebutuhan boiler dan kebutuhan primary air untuk pengeringan, dan
kemudian batubara yang telah di tumbuk bersama-sama dengan primary air akan mengalir
menuju burner.
c. Proses drying atau pengeringan
Karena batubara memiliki jenis dan tipe serta kandungan moisture yang berbeda-beda dan
disini batubara low rank juga bisa digunakan maka dryers atau pengering adalah sebagai
unit terintegrasi dengan sistem pulverizing. Udara panas dari air preheater atau kita sebut
dengan primary air akan masuk ke dalam pulverizer pada temperatur sekitar 3500 C yang
dialirkan oleh primary air fan atau blower udara primary.
d. Proses grinding atau penumbukkan.
Proses grinding adalah proses penumbukkan, proses erosi dan proses penghancuran atau
kombinasi dari ketiga proses ini. Pulverizer yang ada saat ini di bagi berdasarkan
kecepatannya yakni :
1. Pulverizer dengan speed rendah atau di bawah 75 rpm yang disebut dengan ball tube
mill.
2. Pulverizer kecepatan menengah yakni 75 sampai dengan 225 rpm yang di sebut
sebagai ball and race mill and bowl mill.
Fuel Handling 34
3. Pulverizer kecepatan tinggi di atas 225 rpm yang di sebut sebagai impact atau
hammer mill.
Batubara yang keluar dari Pulverizer diharapkan memiliki temperatur 55°C– 65°C, hal ini
dilakukan dengan mengatur pembukaan hot air damper pada mill. Batubara yang telah diproses
selanjutnya akan disalurkan ke boiler (proses pembakaran) secara pneumatic dengan bantuan udara
Fuel Handling 35
primer dari primary air fan. Setiap Unit PLTU disediakan 5 pulverizer dan pada boiler. Setiap
pemakaian batu bara di tiap-tiap pulverizer akan dicatat melalui totalizer yang terdapat pada panel
operasi pulverizer di lokal panel.
Batubara atau material lain (kayu, batu, dll) yang tidak bisa digerus akan dikeluarkan dari
pulverizer sebagai pyrites. Pyrites akan ditampung pada pyrites hopper untuk kemudian disalurkan
ke submerged scraper conveyor (SSC) dan bercampur dengan bottom ash masuk ke penampungan
(Silo) selanjutnya dibuang dengan menggunakan Dump Truck ke ash disposal. (apabila banyak batu
bara yang terbuang kurangi feeder rate, sampai normal operasi)
Fuel Handling 36
2.5.1 Persiapan
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan pada seluruh peralatan sistem seperti belt conveyor
beserta Idler dan Roller-nya, chute, sistem proteksi dan sebagainya. Selain itu juga mengaktifkan
peralatan-peralatan yang ada dalam sistem seperti Belt weigher, magnetic separator dan
sebagainya. Demikian pula halnya dengan semua breaker power supply di central control room
(CCR) baik untuk motor-motor penggerak conveyor maupun supply tegangan untuk peralatan lain
harus diletakkan pada posisi stand by. Pada beberapa PLTU ditiap breaker di CCR terdapat
beberapa pilihan posisi seperti posisi Remote atau Local . Letakkan posisi switch pada mode
operasi yang dikehendaki.
2.5.3 Start Up
Setelah rute conveyor dipilih maka rangkaian conveyor dapat di start. Cara menjalankan ada
dua macam yaitu, secara manual dan secara otomatis. Bila di start secara otomatis maka rangkaian
conveyor akan start mulai dari conveyor yang paling hilir berurutan sampai yang paling hulu. Misal
rute yang dipilih terdiri dari 5 rangkaian conveyor dengan nomor conveyor mulai dari hulu adalah
T1 – T3 – T5 – T7 – T9, maka program start akan secara otomatis dimulai dari conveyor nomer 9
kemudian No. 7, No. 5, No. 3, No. 1. Pada unit pembangkitan Paiton 1 dan 2 terdapat 18 jalur
konveyor mulai dari hulu pada ship unloader sampai di hilir sebelum tripper, antara lain A1, A2,
B1, B2, C1, C2, D1, D2, E1, E2, F1, F2, J1,J2, K1, K2, L1&L2. Conveyor tersebut akan start
berurutan secara otomatis. Conveyor berikutnya akan mulai start apabila conveyor sebelumnya
telah mencapai 80% dari kecepatan normalnya. Apabila dijalankan secara manual maka tiap-tiap
conveyor dapat di start secara manual satu persatu dengan urutan yang sama seperti urutan start
otomatis yaitu mulai dari conveyor paling hilir.
Fuel Handling 37
2.5.4 Menormalkan
Setelah semua conveyor berjalan normal, conveyor dapat mulai dibebani secara bertahap
hingga mencapai kapasitas normalnya.
2.5.6 Stop
Setelah semua conveyor bersih, signal stop dapat diberikan baik secara otomatis ataupun
manual. Bila di-stop secara otomatis maka segera setelah signal stop diberikan conveyor akan
berhenti satu persatu mulai dari bagian paling hulu sampai bagian paling hilir secara otomatis.
Bila rangkaian conveyor adalah seperti contoh diatas maka conveyor akan stop maka
conveyor akan mulai di-stop mulai dari conveyor No. : 1 – 3 – 5 – 7 – 9 secara berurutan. Bila di-
stop secara manual maka rangkaian conveyor dapat di-stop satu persatu dengan urutan yang sama.
Setiap conveyor juga dapat di-stop dari local dengan menggunakan kabel Emergency Trip Wire
yang ada disisi conveyor sepanjang lintasan conveyor.
Fuel Handling 38
3. Lampu “supply available” menyala menujukkan bahawa switch pemasok bekerja dengan baik.
Untuk mengoperasikan instalasi dari papan mimik, lampu “supply available” dan “auxiliary
available” harus menyala dan lampu “out of sequence” mati. Jika switch ditutup semua lampu
kontrol mati. Paddle feeder, pintu corong pengisi, ban pengangkut bolak-balik dan reclaim hopper
juga terdapat mimik diagram dan dilengkapi dengan indikator dua posisi yang bertentangan. Paddle
feeder pengisi harus di start dan di stop dari lokal, tetapi kecepatan roda paddle feeder di kontrol
dari papan mimik. Pintu pelat corong pengisi, ban pengangkut bolak-balik dan reclaim hopper juga
dikontrol dari lokal.
Alarm tanda bahaya juga disediakan di panel kontrol sehingga bila terjadi gangguan maupun
keadaan yang membahayakan terhadap peralatan dalam sistem dapat segera diketahui. Pada setiap
papan alarm disediakan dua buah tombol yang masing-masing berinisial “A” (Accept) sedang yang
satunya berinisial “R” (Reset). Bila muncul salahsatu alarm, maka operator harus menekan tombol
“A” untuk mematikan suara alarm. Lampu alarm akan tetap menyala sampai gangguan bisa diatasi
dan signal gangguan di reset.
Fuel Handling 39
Penanganan masalah-masalah yang timbul pada stadium dini lebih mudah dilakukan, menghemat
waktu, biaya dan operasi menjadi lebih efisien yang akhirnya akan meningkatkan produtivitas. Pada
coal handling system perawatan rutin mencakup seluruh peralatan yang terkait dengan penanganan
batubara, yaitu :
1. Perawatan harian atau rutin atau berkala yang jadwalnya disusun sedemikian rupa sehingga
semua unit mendapat giliran dan porsi pemeliharaan yang sama.
2. Perbaikan yang dilakukan sedini mungkin. Perbaikan ini umumnya berupa reparasi atau
penggantian bagian-bagian kecil dari peralatan.
3. Perbaikan besar jika ada kerusakan yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, misalnya
overloading, penggantian sukucadang yang sudah waktunya, dan lain-lain.
Sebagai langkah pencegahan kerusakan belt conveyor maka pada awal operasi saat running test dan
setiap interval waktu operasi diperlukan pengecekan peralatan terhadap :
1. Kondisi sambungan karena belt merupakan peralatan paling vital, kasus sambungan putus
mendadak umumnya berawal dari kerusakan-kerusakan kecil yang cenderung diabaikan.
2. Kondisi belt yang diawasi adalah belt tracking, menjaga belt berjalan lurus dengan
memperhatikan keadaan belt yang dan bagian-bagian yang berputar.
3. Kondisi karet pulley lagging dengan memeriksa tebal karet lagging, kedalaman ulir dan
mengamati daerah yang mulai aus.
4. Kondisi idler semua diperiksa secara rutin untuk mengetahui adanya idler macet dan idler
aus. Idler macet karena adanya kotoran yang terjebak didalam bearing, jika dibiarkan
dinding idler akan terkikis dan menampakkan ujung-ujung tajam yang dapat menggores
permukaan belt apabila dibiarkan karet belt akan menjadi panas dan terbakar karena adanya
gesekan antara belt dengan roller.
5. Kondisi alat pembersih (scrapper) harus selalu menempel dan menekan belt pada sisi
kembali.
6. Kondisi transfer point dengan memperhatikan curahan dan penyebaran material.
7. Kondisi peralatan pengaman conveyor harus dalam kondisi baik.
Berikut ini merupakan contoh preventive maintenance yang dilakukan pada ship unloader yaitu
peralatan trolley drive system.
• Periksa brake thrustor
• Periksa disk brake
• Periksa Gear box level oil
• Pemeriksaan Lube oil pump
Fuel Handling 40
• Periksa secara visual pada gearbox
• Grease gear coupling
• Periksa kekencangan baut clamp
• Periksa sambungan rel
Sedangkan corrective maintenance adalah perawatan yang dilakukan pada saat peralatan
tersebut rusak atau umur pakainya telah habis ataupun faktor eksternal yang menyebabkan peralatan
tersebut rusak. Perlakuan yang diberikan adalah perbaikan atau penggantian pada peralatan tersebut.
Corrective maintenance menimbulkan biaya tinggi, karena seringkali masalah atau kerusakan yang
terjadi sudah pada tahap serius, tidak tersedianya suku cadang, pengerahan personil dalam jumlah
besar dan tidak jarang pengoperasian dari peralatan tersebut harus dihentikan.
Fuel Handling 41
BAB III
ASH HANDLING SYSTEM
Abu merupakan limbah yang cukup banyak di PLTU sebagai produk proses pembakaran
dalam ketel. Abu ini tidak diperkenankan dibuang ke atmosfer melalui cerobong karena dapat
mencemari lingkungan. Oleh karena itu abu harus ditangkap dan dipisahkan dari gas hasil
pembakaran sehingga gas yang keluar kecerobong tidak lagi mengandung abu yang akan
mencemari lingkungan. Fly ash dan bottom ash adalah terminology umum untuk abu terbang yang
ringan dan abu berat yang dihasilkan dari pembakaran batubara.
Fuel Handling 42
Pada pusat pembangkit dengan kapasitas 2000 MW dengan empat unit boiler, setiap boiler
membutuhkan 200 ton/jam batubara. Bila kadar abu kira-kira 12-15% maka setiap boiler akan
menghasilkan abu 24-30 ton/jam dan total 2300-2880 ton/24 jam untuk empat boiler yang
seluruhnya beroperasi penuh. Antara 15-20 % dari abu ini berbentuk clinker (kerak yang keras)
yang dikumpulkan dibawah furnace. 80-85 % terbawa oleh gas bekas dan dikumpulkan di hopper-
hopper economizer, air heater, grit collector dan electric precipitator. Sebagian besar debu
terkumpul di electric precipitator.
BOILER
S
FLY ASH
T
ELECTRIC A
PRECIPITATOR C Lapisan Fly Ash, Bottom RUN OFF
FLY ASH K Ash dan Clay (Tanah Liat) POUND
ASH
BATUBARA
TERBAKAR ID FAN ASH DISPOSAL AREA Creared By :
DI DALAM HOPPER HOPPER Suherman Staff OC
BOILER ATMOSFIR
BOTTOM
± 600 M
ASH BAG
FILTER
CYCLONE
SEPARATOR
BOTTOM ASH
S I LO
SUBMERGED SCRAPER 705 m3
CONVEYOR FLY ASH
VACUUM BLOWER
SILO
BOTTOM ASH 3500 m3
CONVEYOR
ASH
DISPOSAL
SILO
INTERMIDIATE
FLY ASH 32 00 m3
SILO
200 m3
Jaraknya ± 1300 M
Kap. 30 T/H
Jaraknya
± 1200 M
DUMP TRUCK
Gambar 3.2 Diagram Alir Ash Handling System Pada Unit Pembangkitan Paiton 1 dan 2
Fuel Handling 43
3.1 INSTALASI PENANGANAN BOTTOM ASH
Abu yang dihasilkan di furnace yang memiliki dimensi dan bobot yang besar akan jatuh ke
bagian bawah furnace karena beratnya sendiri. Terdapat berbagai macam peralatan untuk
penanganan bottom ash yaitu :
1. Submerged scraper conveyor (SSC)
2. Clinker grinder
3. Belt conveyor
4. Bottom ash silo
5. Transportasi pembuangan
6. Siklus air
SSC memiliki dua kompartemen yang terpisah. Ruang pertama (basah), mengandung 3-6
feet air, menerima abu padat yang jatuh dari tungku dan dengan flight conveyor yang terdapat di
ruang ini abu akan diteruskan ke ruang kedua. Ruang kedua adalah sisi miring dewatering, pada
ruang ini air yang masih terbawa akan jatuh dengan sendirinya. Umumnya, kecepatan maksimum
scraper conveyor sekitar 20 feet per menit.
Fuel Handling 44
Gambar 3.4 Ilustrasi Konfigurasi SSC
Gambar 3.5 Alur Penan anan Bottom Ash Setelah SSC di UP Paiton 1 dan 2
Fuel Handling 45
Gambar 3.6 Ash Crusher / Clinker Grinder
Gambar 3.7 Belt Conveyor Pada Instalasi Penanganan Bottom Ash di UP Paiton 1 dan 2
Fuel Handling 46
3.1.4 Bottom Ash Silo
Setelah ditransfer dengan belt conveyor, bottom ash akan di tampung sementara sebelum diangkut
ke ash disposal area untuk ditimbun.
Fuel Handling 47
3.1.6 Siklus Air
Penanganan bottom ash memerlukan air yang digunakan di hampir keseluruhan proses.
Siklus air dapat dilihat pada diagram dibawah ini.
Gambar 3.10 Siklus Air Pada Bottom Ash Handling System di UP Paiton 1 dan 2
Terdapat tiga pasang pompa utama yang digunakan untuk proses ini yaitu Slurry pump untuk SSC,
Pyrite sluice pump untuk pyrite reject hopper, Resirculation pump untuk sirkulasi air dari surge
tank.
Sluice pump
Slurry pump
Resirculation pump
Gambar 3.11 Instalasi Air Pada Bottom Ash Handling System di UP Paiton 1 dan 2
Fuel Handling 48
3.2 INSTALASI PENANGANAN FLY ASH
Dari skema instalasi diatas dapat dilihat bahwa fly ash yang ditangkap oleh electrostatic
precipitator akan ditampung pada hopper yang untuk selanjutnya ditransferkan menuju fly ash silo
dengan menggunakan vacuum blower. Sebelum memasuki silo, fly ash akan melewati dua buah air
separator yang akan memisahkan udara dengan abu. Fly ash handling system menggunakan
berbagai peralatan yang saling berkaitan satu sama lain., Peralatan tersebut adalah :
1. Electrostatic precipitator
2. Electrostatic precipitator hopper
3. Vacuum blower
a. Primary air separator
b. Secondary air separator
4. Fly ash silo
5. Transportasi pengangkutan fly ash
Fuel Handling 49
3.2.1 Electrostatic Precipitator
Electrostatic Precipitator bekerja berdasarkan prinsip muatan listrik statis. Gas-gas yang
mengandung abu akan dilewatkan kedalam ruang (chamber) yang bermuatan listrik negatif DC
tegangan tinggi. Partikel-partikel abu ini kemudian akan bermuatan dan akan tertarik keluar dari
aliran gas dan menempel pada elektroda karena perbedaan muatan antara partikel abu dengan
elektroda.
Fuel Handling 50
Gambar 3.15 Peralatan Yang Terdapat Di Electrostatic Precipitator
Fuel Handling 51
.
Collecting
electrode
Discharge
electrode
Rapping ini menyebabkan partikel abu jatuh kedalam Hopper yang terletak dibawah elektroda.
Tegangan DC diputus ada saat Rapping.
Fuel Handling 52
Rapper collector
electrode
Fuel Handling 53
Untuk menunjang transfer fly ash maka di bagian bawah electrostatic precipitator hopper terdapat
beberapa peralatan yaitu :
1. Slide gate valve
Berfungsi untuk membuka dan menutup katub pada bagian hopper.
2. Vacuum breakage valve
Berfungsi untuk mengurangi kevakuman dari saluran transfer fly ash apabila vacuum blower
memberikan kevakuman berlebihan.
3. Ash intake valve
Berfungsi untuk mengatur masuknya fly ash apabila kevakuman dari saluran dirasa sudah
cukup.
Vacuum breakage
Air intake valve
valve
Gambar 3.20 Peralatan Transfer Fly Ash pada Bagian Bawah Electrostatic Precipitator
Hopper
Fuel Handling 54
3.2.3 Vacuum Blower
Vacuum blower berfungsi untuk menyedot debu dari electrostatic precipitator hopper ke fly
ash silo. Sebelum ditampung pada fly ash silo, abu terbang akan melewati primary dan secondary
air separator untuk memisahkan abu dengan udara yang ikut terbawa ketika disedot oleh vacuum
blower.
2. Abu ditransfer ke silo penampung abu dari seluruh unit dengan menggunakan udara
bertekanan untuk selanjutnya ditransportasikan dengan truck.
Peralatan yang digunakan saat unloading fly ash adalah :
1. Fluidizing air blower
Fludizing air blower berfungsi untuk mencegah fly ash menggumpal pada saat proses
unloading.
Fuel Handling 57
2. Telescopic chute
Alat ini digunakan untuk saluran saat mentransfer abu dari fly ash silo kedalam tangki
truk.
Fuel Handling 58
Gambar 3.29 Mill Reject / Pyrite Hopper di UP Paiton 1 dan 2
Fuel Handling 59
Gambar 3.31 Blower untuk Mentransferkan Economizer Ash di UP Paiton 1 dan 2
Fuel Handling 60
Gambar 3.32 Ash Disposal Area di UP Paiton 1 dan 2
Fuel Handling 61
6. Lengkapi lokasi instalasi dengan hose air yang cukup. Debu bila dibiarkan dalm udara
terbuka akan terhambur kemana-mana. Cara paling baik adalah menyemprot dengan air
yang kemudian dibersihkan.
Pada peralatan fly ash yaitu vacuum blower perawatan yang dilakukan adalah :
• Periksa level oli
• Periksa kekencangan v-belt
• Periksa kondisi flexible joint, kekencangan baut
• Periksa kondisi filter
• Periksa kelainan suara dan temperatur secara visual
• Periksa kondisi operasi enable valve
• Periksa kondisi operasi check valve
• Periksa kondisi operasi silencer
Sedangkan corrective maintenance adalah perawatan yang dilakukan pada saat peralatan
tersebut rusak atau umur pakainya telah habis, perlakuan yang diberikan adalah perbaikan atau
penggantian pada peralatan tersebut.
Fuel Handling 62
BAB IV
DUST HANDLING SYSTEM
Debu merupakan partikel-partikel kecil dari batubara yang belum digunakan sebagai bahan
bakar. Debu terbentuk di area transfer batubara, yaitu pada saat batubara keluar dari head pulley
pada belt conveyor ke media penanganan lain seperti silo atau di transfer ke belt conveyor rute
lainnya. Batubara akan menarik udara di sekitarnya. Dengan kecepatan yang cukup, aliran udara
dapat melepaskan ikatan partikel-partikel dari aliran batubara sehingga beberapa partikel menjadi
halus. Partikel halus inilah yang menjadi debu dan mengalir bersama batubara, atau dapat menyebar
keluar dari penutup conveyor. Kondisi yang menentukan apakah partikel halus tersebut akan
berterbangan tergantung kepada beberapa faktor yaitu: kecepatan udara, ukuran partikel dan daya
ikat dari batubara. Penanganan debu dipisahkan dari penanganan abu karena perbedaan jenis materi,
penanganan serta peralatan yang digunakan. Menurut peralatan yang digunakan penanganan debu
dibagi menjadi tiga :
1. Dust collector pada Silo
2. Dust suppression pada Belt Conveyor
3. Vacuum truck
Fuel Handling 63
Gambar 4.1 Instalasi pada Dust Collector
Fuel Handling 64
dan jatuh kembali ke aliran batubara. Dust Suppression ini terdapat di seluruh transfer house mulai
dari hopper pada jetty crane.
Dust suppresion
Fuel Handling 65
BAB V
FUEL OIL HANDLING SYSTEM
Jenis bahan bakar selain batubara yang banyak digunakan di PT. PJB adalah Bahan Bakar
Minyak (BBM). BBM merupakan bahan bakar yang berbentuk cair dengan standar tertentu, yang
digunakan untuk proses produksi listrik, dibagi menjadi dua macam yaitu, High Speed Diesel
(HSD) oil dan Marine Fuel Oil atau Residual Oil. Seperti halnya batubara, pengelolaan bahan bakar
juga meliputi beberapa aspek seperti :
1. Pembongkaran bahan bakar minyak
2. Penyimpanan dan suplai bahan bakar minyak
Dalam bab ini akan di jelaskan penanganan untuk setiap jenis bahan bakar minyak.
Fuel Handling 66
Kemudian tanker menge uarkan muatan melalui jaringan pipa dermaga ke storage tank
untuk disimpan. Sebelu m mulai untuk mengeluarkan isi tanker, prosedur tertentu yang
harus diikuti adalah :
a. Check bahwa tangki penyimpanan (storage tank) punya cukup ruangan untuk
menerima sejumlah HSD oil tanpa meluap (overflowing).
b. Atur dan set semua katup (ullages) pada semua tangki penampung dan catat
temperatur HSD oil sehingga jumlah HSD oil didalam tangki pada saat start dapat
dihitung. Pengukura kekosongan (ullages) diambil lagi sesudah pengisian. Volume
HSD oil dihitung dari perbedaan ullage ini.
Catatan :
Ullage adalah jarak yang diukur antara titik referensi yang ada di ujung atas tangki (top of
the tank) dan permukaan atas dari minyak. Kadang-kadang diketahui sebagai pengukuran
kekosongan (measurement of emptiness). Karena jarak dari tanda referensi (reference
mark) pada ujung atas tangki ke dasar bawah adalah tetap dan diketahui. maka kedalaman
minyak dapat dihitung sebagai perbedaan antara tinggi ini dan ullage. Dari tabel yang
dibuat ketika tangki dikalibrasi sesaat setelah konstruksi, volume minya k yang ada dalam
tangki dapat dibaca pada setiap pengukuran ullage. Berat minyak diperoleh dengan
mengalikan volume pada temperatur ambient dengan specific gravity (juga pada
temperatur ambient). Hasilnya adalah dalam kg.
Fuel Handling 67
biasanya dilengkapi dengan pompa untuk memompakan minyak langsung ke tangki
penyimpanan (storage tank) station. Untuk menaksir/memperkirakan volume dari minyak
maka tanker membawa tongkat pengukur (dip stick) yang diberi ukuran. Jembatan
timbang dapat digunakan jika tersedia dilapangan (site).
Fuel Handling 68
Gambar 5.3 HSD oil service tank di UP Gresik
Contoh Instalasi bahan bakar solar apat dilihat pada gambar dibawah ini.
Fuel Handling 69
Secara umum tahapan penanganan HSD oil pada unit pembangkitan listrik adalah :
1. Dimulai dari unloading ar m pada berbagai instalasi pembongkaran, HSD oil akan disimpan
pada main storage tank. Bila melewati laut maka kapal akan memompak an HSD untuk di
tampung pada main storage tank.
2. Selanjutnya HSD oil akan disalurkan menuju day tank/service tank dengan menggunakan
pompa. Di unit pembangkitan Gresik pompa yang digunakan untuk mentransfer HSD oil
adalah jenis gear pump. Pada HSD oil day tank ini HSD oil akan disaring terlebih dahulu
oleh filter sebelum disalurkan ke peralatan-peralatan yang memerlukan bah an bakar solar.
3. Bahan bakar yang akan digunakan pada burner di boiler akan diukur laju alirannya dengan
flowmeter ketika di pompa dari HSD oil day tank.
Fuel Handling 70
Tekanan bahan bakar akan dibatasi dengan menggunakan control valve.
Setelah dari control valve bahan bakar disalurkan ke tripping valve yang hanya berfungsi pada saat
burner trip dan terakhir HSD oil akan dibakar pada burner.
Fuel Handling 71
Gambar 5.9 Peralatan Residual Oil Unloading melalui Laut di UP Gresik
Kemudian tanker mengeluarkan muatan melalui jaringan pipa der maga ke tangki
penyimpanan station.
Fuel Handling 72
Gambar 5.10 Peralatan Unloading HSD Melalui Darat
Fuel Handling 73
Residual oil memiliki sifat yang berbeda dari high speed diesel sehingga penanganannya
akan berbeda. Minyak residu memerlukan pemanasan agar bisa di transfer.
Auxiliary steam
Auxiliary steam
Menuju burner
Filter Flowmeter
filter Filter
Heater Pompa Pompa
Service tank Heater
Auxiliary steam
Auxiliary steam
Menuju burner
P-51
Filter
Flowmeter Filter Pompa
filter pompa Heater
Heater
Service tank
Main storage tank
Proses pertama penanganan miny ak residu adalah menampung minyak tersebut di residual oil
storage tank. Pada unit pembangkitan PT. PJB minyak residu ditransportasikan dengan
menggunakan kapal laut, urutan prosesnya adalah :
1. Kapal merapat didermaga yang memiliki peralatan untuk pembongkaran minyak residu
(jetty). Jetty yang diguna kan untuk HSD tidak akan digunakan untuk residual oil.
2. Setelah instalasi pembongkaran terpasang, kapal akan memompakan minyak residu.
Keperluan pemanas (heater) untuk memompakan minyak residu disuplai oleh kapal.
3. Minyak yang dipompakan dari kapal akan di tampung pada residual oil storage tank.
Proses kedua adalah mentransfer minyak residu ke residual oil service tank, urutan perlakuan untuk
proses ini adalah :
o
1. Minyak residu akan memasuki preheater dan dipanaskan sampai temper atur 45 C
2. Penyaringan dengan menggunakan filter.
3. Minyak residu akan dipompakan menggunakan screw pump dan kembali disaring
sebelum memasuki flow meter.
Fuel Handling 74
Gambar 5.13 Filter di UP Gresik
4. Pada flowmeter akan terbaca laju aliran dari minyak residu yang ditransf er.
Fuel Handling 75
Proses ketiga adalah mentransfer minyak residu ke burner pada furnace, urutan perlakuan untuk
proses ini adalah :
1. Dari residual oil service tank akan disaring dengan menggunakan filter.
3. Pada heater minyak residu akan dipanaskan sampai temperatur 85oC. Pemanasan
menggunakan auxiliary steam.
Fuel Handling 76
Gambar 5.18 Heater di UP Gresik
4. Minyak residu akan memasuki flowmeter untuk menghitung laju alirannya.
5. Tekanan minyak residu akan dibatasi oleh control valve, sebelum memasuki burner valve
rack terdapat tripping valve yang digunakan ketika burner trip.
Fuel Handling 77