Anda di halaman 1dari 23

TUGAS RESUME MATA KULIAH HUKUM PIDANA

Dosen:
H. Agus Takariawan, S.H., M.H.
Ijud Tajuddin, S.H., M.H.
Budi Arta Atmaja, S.H., M.H.

KELAS HUKUM PIDANA : E / FH

Disusun oleh :
MUHAMAD FADILLAH 110110160338

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
PERTEMUAN I & II

HUKUM PIDANA

A. Pengertian Hukum Pidana


Menurut Soedarto: “Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang
mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat
yang berupa pidana.”
Menurut Satochid Kartanegara: “Bahwa hukuman pidana adalah sejumlah
peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-
larangan dan keharusan- keharusan yang ditentukan oleh Negara atau kekuasaan lain
yang berwenang untuk menentukan peraturan pidana, larangan atau keharusan itu
disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbulah hak negara untuk
melakukan tuntutan, menjatuhkan pidana, melaksanakan pidana.”

Menurut Moelyatno: “Bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa
yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yangtelah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana
yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu dapat dilksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.”

Menurut Simons: “Hukum Pidana adalah semua perintah dan larangan yang
diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu pidana/nestapa bagi barangsiapa
yang tidak menaatinya. Dan juga merupakan semua aturan yang ditentukan oleh negara
yang berisi syarat-syarat untuk menjalankan pidana tersebut.”

Menurut Mezger: “Hukum pidana adalah semua aturan hukum (die jenige
rechtnermen) yang menentukan / menghubungkan suatu pidana sebagai akibat hukum
(rechtfolge) kepada suatu perbuatan yang dilakukan”.

2
B. Pembagian Hukum Pidana
1. Hukum Pidana Objektif dan Hukum Pidana Subjektif
Menurut Profesor Simons, hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum
pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objective zin dan hukum pidana
dalam arti subjektif atau strafrecht ini subjective zin.

 Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau
yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale. Hukum Pidana
dalam arti subjektif tersebut, oleh Professor Simons telah dirumuskan
sebagai: “Keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan- keharusan,
yang atas pelanggarannya oleh Negara atau oleh suatu masyarakat hukum
umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat
khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan di
mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah diatur serta
keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjatuhan
dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri”.

 Hukum pidana dalam arti subjektif atau biasa disebut ius puniendi itu
mempunyai dua pengertian, yaitu:
a. Hak dari negara dan alat-alat kekuasaanya untuk menghukum, yakni hak
yang telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan
oleh hukum pidana dalam arti objektif;
b. Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-
peraturannya dengan hukum.

2. Hukum Pidana Materiel dan Hukum Pidana Formel


Hukum pidana berdasarkan materi yang diaturnya terdiri atas hukum pidana
materil dan hukum pidana formil. Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana materil
dan hukum pidana formil sebagai berikut:
a. Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan
pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk
dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan
hukuman atas pelanggaran pidana.

3
b. Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara
mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang
dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara
bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh
keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim.

3. Hukum Pidana Umum Dan Hukum Pidana Khusus


Hukum Pidana Umum (Algemeen strafrecht – jus commune) adalah hukum
pidana yang berlaku umum atau yang berlaku bagi semua orang. Hukum pidana
umum dimuat dalam KUHP.
Hukum Pidana Khusus (Bijzonder strafrecht – jus special) adalah hukum pidana
yang berlaku khusus bagi golongan orang-orang tertentu (contoh: anggota TNI).
Atau yang memuat perkara-perkara pidana tertentu (seperti: tindak pidana ekonomi,
tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, dan lain-
lain).

4. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Lokal


Hukum pidana umum, disebut juga dengan hukum pidana nasional adalah
hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah pusat dan yang berlaku pada seluruh
wilayah negara.
Hukum pidana lokal atau biasa disebut hukum pidana daerah adalah hukum
pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah tingkat I atau tingkat II yang hanya
berlaku pada daerah tersebut.

5. Hukum Pidana yang Dikodifikasikan dan Hukum Pidana yang Tidak di


Kodifikasikan
Hukum pidana yang dikodifikasikan adalah hukum pidana yang telah
dikumpulkan dan dibukukan (dikitabkan), seperti: KUHP dan KUHPM.
Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan adalah hukum pidana yang tidak
dikumpulkan, melainkan tersebar dalam undang-undang atau peraturan-peraturan
yang bersifat khusus.

4
6. Hukum Pidana Bagian Umum dan Hukum Pidana Bagian Khusus
Hukum pidana bagian umum (algemene deel) adalah hukum pidana yang
memuat asas-asas umum (algemene leerstukken) dam dimuat dalam Buku I KUHP.
Hukum pidana bagian khusus (bijzonder deel) adalah hukum pidana yang
memuat masalah kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran, baik yang
dikodifikasikan maupun yang tidak dikodifikasikan.

C. Fungsi Hukum Pidana

Menurut Soedarto, bahwa fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Fungsi yang Umum

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena itu fungsi
hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur
hidup kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat

2. Fungsi yang Khusus

Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum
terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi
yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang
terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu tragic
(suatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana dikatakan sebagai “mengiris
dagingnya sendiri” atau sebagai “pedang bermata dua‟, yang bermakna bahwa hukum
pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan hukum (misalnya: nyawa,
harta benda, kemerdekaan, kehormatan), namun jika terjadi pelanggaran terhadap
larangan dan perintahnya justru mengenakan perlukaan (menyakiti) kepentingan
(benda) hukum si pelanggar. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi
aturan-aturan untuk menaggulangi perbuatan jahat. Dalam hal ini perlu diingat pula,
bahwa sebagai alat social control fungsi hukum pidana adalah subsidair, artinya hukum
pidana hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila usaha-usaha lain kurang
memadai.

5
D. Sumber Hukum Pidana

Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum
yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-
Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta dan sebagainya. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya pasal
jembatan yakni Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ada juga Memori
Penjelasan (Memorie van Toelichting, yang disingkat M.v.T.). Serta Hukum Pidana Adat
yang hidup di masyarakat.

E. Sejarah Hukum Pidana di Indonesia (KUHP)


I. Zaman VOC
Di daerah Cirebon berlaku papakeum cirebon yang mendapat pengaruh
VOC.Pada tahun 1848 dibentuk lagi Intermaire strafbepalingen. Barulah pada tahun
1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia:
1. Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (stbl.1866 Nomor 55) yang
berlaku bagi golongan eropa mulai 1 januari 1867. Kemudian dengan Ordonasi
tanggal 6 mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputra dan timur asimg.
2. Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde ( Stbl.1872
Nomor 85), mulai berlaku 1 januari 1873.

II. Zaman Hindia Belanda


Setelah berlakunya KUHP baru di negeri Belanda pada tahun 1886
dipikirkanlah oleh pemerintahan belanda yaitu 1866 dan 1872 yang banyak
persamaanya dengan Code Penal Perancis, perlu diganti dan disesuaiakan dengan
KUHP baru belanda tersebut.Berdasarkan asas konkordansi (concrodantie) menurut
pasal 75 Regerings Reglement, dan 131 Indische Staatsgeling. Maka KUHP di negeri
belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda harus dengan
penyusaian pada situasi dan kondisi setempat. Semula di rencanakan tetap adanya dua

6
KUHP, masing-masing untuk golongan Bumiputera yang baru.Dengan Koninklijik
Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah Rancangan KUHP golongan Eropa. Dengan
K.B tanggal 15 Oktober 1995 dan diundangkan pada september 1915 Nomor 732
lahihrlah Wesboek van strafrecht voor Nederlandch Indie yang baru untuk seluruh
golongann penduduk. Dengan Invoringsverordening berlakulah pada tanggal 1 Januari
1918 WvSI tersebut.

III. Zaman Pendudukan Jepang


Dibandingkan dengan hukum pidana materiel,maka hukum acara pidana lebih
banyak berubah,karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan.Ini diatur di
dalam Osamu Serei Nomor 3 tahun 1942 tanggal 20 sepetember 1942.

IV. Zaman Kermedekaan


Ditentukan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut bahwa
hukum pidana yang berlaku sekarang (mulai 1946) pada tanggal 8 Maret 1942 dengan
pelbagai perubahan dan penambahan yang diseuakan dengan keadadn Negara
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie di ubah menjadi Wetboek van Stafrecht yang dapat disebut kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

F. Asas-Asas dalam Hukum Pidana


I. Asas Berlakunya Undang-Undang menurut Waktu

 Asas Legalitas (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Legi Poenali).
Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.” Pasal 1
ayat 1 ini yang disebut sebagai Asas Legalitas. Asas Legalitas memiliki tiga unsur:

1. Tidak berlaku surut (non-rektroaktif)

Tidak berlaku surut adalah bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak
dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana
dalam undang-undang itu diadakan.

7
2. Tidak bisa dianalogikan

Unsur yang kedua yaitu tidak dapat dianalogikan, bahwa pidana tidak
diperbolehkan adanya perumpamaan atau kiasan karena bertentangan dengan
kepastian hukum, contohnya adalah ketika keperawanan seorang wanita
dianalogikan sebagai barang yang jelas tidak diperbolehkan karena barang pada
dasarnya dapat diperjual belikan.

3. Tertulis

Unsur yang terakhir yaitu harus sudah tertulis didalam peraturan perundang-
undangan atau dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Peraturan-peraturan yang
memuat ketentuan pidana tersebut ada didalam UU, Perda Kabupaten/Kota dan
Perda Provinsi yang bisa dilihat dalam Pasal 15 Ayat 1 Undang-undang No.12
Tahun 2011.

II. Asas Berlakunya Undang-Undang menurut Tempat


 Asas Teritorial
Dasar berlakunya hukum: tempat atau wilayah hukum negara, apapun
kewarganegaraannya, siapapun orangnya.
- Pasal 2 KUHP: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah
Indonesia.”
- Diperluas di Pasal 3 KUHP: ketentuan-ketentuan dapat dilakukan terhadap
orang-orang di luar wilayah Indonesia yang melakukan tindak pidana di atas
alat pelayaran Indonesia “Tindak pidana” harus menurut UU yang berlaku di
Indonesia.

 Asas Nasionalitas Aktif


Dasar berlakunya hukum: warga negara Indonesia dimanapun keberadaannya.
- Pasal 5 KUHP, diperluas di Pasal 6, 7, 8 KUHP.
- Pasal 5 KUHP ayat (1) sub 2 batas atau syarat berlakunya asas personalitas:
• Perbuatan itu adalah kejahatan tertentu menurut peraturan perundang-
undangan Indonesia

8
• Perbuatan itu merupakan tindak pidana dalam peraturan perundang-
undangan negara dimana perbuatan itu dilakukan.
- Pasal 6 KUHP: Dibatasi sehingga tidak dijatuhkan pidana mati. Apabila tindak
pidana yang dilakukan WNI itu diancam pidana mati, namun menurut hukum
negara di mana perbuatan itu tidak diancam pidana mati, maka majelis hakim
Indonesia tidak diperkenankan menjatuhkan pidana mati.
- Pasal 7 KUHP: Pegawai Negeri Indonesia apabila melakukan tindak pidana
seperti Bab 28 Buku 2 KUHP (Kejahatan Jabatan) diberlakukan UU Pidana
negaranya. Asas kebangsaan dan perlindungan.
- Pasal 8 KUHP: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi nakhoda dan penumpang kendaraan air Indonesia, yang melakukan
salah satu dari tindak pidana dalam BAB XXIX buku kedua dan BAB IX buku
ketiga.

 Asas Nasionalitas Pasif


Dasar berlakunya hukum: kepentingan hukum yang dilindungi dari suatu negara
(kepentingan hukum negara atau kepentingan nasional Indonesia)
Dilatarbelakangi pemikiran bahwa negara telah diberi kepercayaan oleh rakyat atau
warga negara untuk melindungi kepentingan bersama.
- Pasal 4 KUHP mengatur mengenai kejahatan-kejahatan tertentu yang
mengancam kepentingan hukum Indonesia sehingga ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia dapat diterapkan kepada setiap orang yang
melakukan tindak pidana tersebut di luar Indonesia.
- Pasal 8 KUHP.

 Asas Universalitas
Dasar berlakunya hukum: kepentingan hukum penduduk dunia atau bangsa-
bangsa dunia kewajiban negara untuk memelihara keamanan dan ketertiban dunia.
- Pasal 4 KUHP, terutama butir ke-2, 3, 4.
- Pasal 4 Butir 4: perompak dapat diadili oleh negara manapun yang berhasil
menangkap mereka.

9
G. Ilmu Hukum Pidana dan Kriminologi

Hubungan antara ilmu hukum pidana dan kriminologi, dapat dikatakan mempunyai
hubungan timbal balik dan bergantungan satu sama lain. Ilmu hukum pidana
mempelajari akibat hukum daripada perbuatanyang dilarang sebagai kejahatan (crime)
yang dapat disingkat pula dengan nama ”ilmu tentang hukumnya kejahatan”, dengan
demikian sebenarnya bagian hukum yang memuat tentang kejahatan disebut hukum
kejahatan, hukum kriminil (criminal law/penal law, misdaads-recht/delicten-recht).
Akan tetapi telah menjadi lazim bagi hukum tentang kejahatan itu
dinamakan ”straftrecht” yang salinannya ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum
pidana.

Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan, yang lazimnya mencari


sebab-sebabnya sampai timbul kejahatan dan cara menghadapi kejahatan dan
tindakan/reaksi yang diperlukan. Kedua ilmu pengetahuan itu bertemu dalam fokus
pada kejahatan, dengan prinsip-prinsip yang berbeda karena objek dan tujuannya. Ilmu
hukum pidana mempunyai objek pada aturan hukum tentang kejahatan dengan akibat
hukum berupa pidana dan tujuannya untuk mendapatkan pengertian dan penggunaan
pidana yang sebaik-baiknya guna mencapai keadilan hukum, sedangkan krimonologi
mempunyai objek manusia penjahat di belakang peraturan hukum pidana dan tujuannya
memperoleh pengertian tentang sebab kejahatan untuk memberikan pidana atau
tindakan yang tepat agar tidak melakukan lagi kejahatan.

PERTEMUAN II

TINDAK PIDANA

A. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana
(KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum
pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang
merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau
perbuatan pidana atau tindak pidana.

10
Menurut Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit sebagai berikut: Strafbaarfeit itu
sebenarnya adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan
perundang- undangan.”

Menurut Pompe Strafbaarfeit juga diartikan sebagai: “Suatu pelanggaran norma


(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja
telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.”

Adapun menurut Simons masih dalam buku yang sama merumuskan strafbaarfeit
adalah: “Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-
undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”

B. Jenis-Jenis Tindak Pidana


1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan yang dimuat dalam buku
II dan pelanggaran yang dimuat dalam buku III.
Alasan pembedaan antara kejatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran
lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada
pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana
kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi dengan ancaman
pidana penjara.
Kriteria lain yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yakni
kejahatan merupakan delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga
menimbulkan bahaya secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya
membahayakan in abstracto saja.

2. Menurut Doktrin atau Ilmu Pengetahuan Pidana

Delik Kejahatan: Delik ada dalam Buku II Delik Pelanggaran: Delik yang ada dalam buku
KUHP. III KUHP. Contoh: Pasal 504 KUHP
Delik Materiil: Delik yang menitikberatkan Delik Formil: Delik yang menitikberatkan
pada akibat. Contoh: Pasal 338 KUHP pada perbuatannya. Contoh: Pasal 285
(pembunuhan). KUHP (memperkosa).

11
Delik Komisi: Delik yang melanggar larangan Delik Omisi: Delik yang melanggar larangan
dengan berbuat aktif. Contoh: Pasal 338 KUHP. dengan tidak berbuat aktif (pasif).
− Omisi Murni: Delik yang melanggar
keharusan dengan berbuat pasif. Contoh:
Pasal 224 KUHP (dipanggil menjadi saksi).
− Omisi Tidak Murni: Delik yang melanggar
larangan dengan berbuat pasif. Contoh: Pasal
304 KUHP (membiarkan orang lain
sengsara).
Delik Dolus: Delik yang dilakukan dengan Delik Culpa: Delik yang dilakukan dengan
kesengajaan. Contoh: Pasal 340 KUHP kealpaan atau kelalaian. Contoh: Pasal 359
(pembunuhan berencana). KUHP (membunuh orang lain karena kealpaan).
Delik Laporan/Biasa: Delik yang tida Delik Aduan: Delik yang menunggu adanya
menunggunya aduan dimana sudah ada aduan untuk dapat diproses atau dituntut.
penuntutan ataupun pemeriksaan. Contoh: Pasal 284 KUHP (berzinah).
Delik Berdiri Sendiri: Delik yang Delik berlanjut: Delik yang dilakukan
dikenakan tersendiri, timbulnya dari berbeda niat. dengan cara bertahap dalam mencapai
tujuannya, terdapat 1 niat. Contoh: mengambil
uang 1 jt, namun menyicil 100 rb tiap hari hingga
Delik Selesai: Delik yang dilakukan dan Delik yang diteruskan: Delik yang untuk
langsung menimbulkan akibat atau langsung mencapai tujuan harus diteruskan, kalau tidak
selesai. diteruskan maka tidak akan berhasil.
Delik Tunggal: Delik yang dilakukan bukan Delik Berangkai: Delik yang dilakukan
merupakan suatu kebiasaan. Contoh: Pasal 338 merupakan suatu kebiasaan atau sebagai mata
KUHP. pencarian. Contoh: Pasal 296 KUHP (germo).
Delik Politik: Delik yang mempunyai Komun: Delik yang tidak memiliki tujuan
tujuan politik. Contoh: Pasal 107 KUHP (makar). politik.

Delik Propia: Delik yang merumuskan Komuna: Delik yang dilakukan oleh siapa saja.
kualifikasi atau hanya dilakukan oleh orang- Contoh: perumusan ”Barangsiapa”.
orang tertentu. Contoh: yang perumusannya
seorang pejabat, seorang ibu, seorang dokter,
dll. (Pasal 341

12
Delik Sederhana: Delik yang hanya terdapat Delik Kualifisir: Delik yang selain memuat
unsur-unsur pokok saja. Contoh: Pasal 338 unsur- unsur pokok, terdapat juga unsur
KUHP. yang diperberat. Contoh: Pasal 340 (karena
rumusan ”dengan rencana terlebih dahulu”.
Delik Previlisir: Delik yang selain memuat
unsur- unsur pokok, terdapat juga unsur yang
meringankan. Contoh: Pasal 341 KUHP (karena
rumusan ”seorang ibu”).

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur- unsur yang
ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.

Unsur-Unsur Subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);


2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud
dalam Pasal 53 ayat(1) KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti yang terdapat di
dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; dan
5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut
Pasal 308 KUHP.

Unsur-Unsur Objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:

1. Sifat melawan hukum atau wederrechtelicjkheid;


2. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di
dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai
pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan
menurut Pasal 398 KUHP; dan

13
3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.

PERTEMUAN III & IV

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

A. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan
pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.

Pemahaman kemampuan bertanggung jawab menurut beberapa pandangan


adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Menurut Pompe kemampuan bertanggungjawab pidana harus mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang
memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia
menentukan perbuatannya.
2. Oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya;
3. Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
pendapatnya.

Syarat-syarat orang dapat dipertanggungjawabkan menurut G.A. Van Hamel adalah


sebagai berikut:
1. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau m
enginsyafi nilai dari perbuatannya;
2. Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tatacara
kemayarakatan adalah dilarang; dan
3. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.

14
B. Kesalahan (Schuld)
Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian telah
melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang dilarang oleh
hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggung jawab.
I. Kesengajaan (Opzet).
Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan
unsur culpa. Ini layak oleh karena biasanya, yang pantas mendapatkan hukuman pidana
itu ialah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Kesengajaan ini harus
mengenai ketiga unsur tindak pidana, yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2: akibat
yang menjadi pokok-alasan diadakan larangan itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu
melanggar hukum. Kesengajaan yang dapat dibagi menjadi 3 bagian, yakni:

1. Kesengajaan sebagai maksud / tujuan (opzet als oogmerk)


Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki (willens)
untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak
berbuat / melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan tahu juga
menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil).

2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)


Kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada
umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu. Apabila perbuatan
tertentu yang disadarinya pasti menimbulkan akibat yang tidak dituju itu dilakukan juga
maka disini terdapat kesengajaan sebagai kepastian.

3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn)


Kesengajaan sebagai kemungkinan adalah kesengajaan untuk melakukan
perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia
tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan
perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan.

15
II. Kealpaan (Culpa)
Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena
pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan menurut undang-
undang, kelalaian itu terjadi dikarenakan perilaku orang itu sendiri.

1. Kealpaan Berat (Culpa Lata)


Kealpaan berat dalam bahasa belanda disebut dengan Merlijke Schuld atau Grove
shculd, para ahli menyatakan bahwa kealpaan berat ini tersimpul dalam “kejahatan
karena kealpaan”

2. Kealpaan ringan (Culpa levis atau Culpa levissima)


Kealpaan ringan dalam bahasa Belanda disebut sebagai Lichte schuld, para ahli
tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan, oleh karena sifatnya yang
ringan.
Jadi kelalaian yang disadari terjadi apabila seseorang tidak melakukan suatu
perbuatan, namun dia sadar apabila dia tidak melakukan perbuatan tersebut, maka akan
menimbulkan akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Sedangkan kealpaan yang
tidak disadari terjadi apabila pelaku tidak memikirkan kemungkinan adanya suatu
akibat atau keadaan tertentu, dan apabila ia telah memikirkan hal itu sebelumnya maka
ia tidak akan melakukannya.

PERTEMUAN V

SIFAT MELAWAN HUKUM (WEDERRECHTTELIJK)

A. Pengertian Melawan Hukum

Menurut Simons: Melawan hukum artinya “Bertentangan dengan hukum”,


bukan saja dengan hak orang lain (hukum subjektif), tetapi juga dengan hukum
objektif, seperti dengan hukum perdata atau hukum administrasi negara.

Menurut Vos, Moeljatno, dan Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana


BPHN dalam Rancangan KUHPN bahwa melawan hukum (Tim Pengkajian
memakai istilah “bertentangan dengan hukum”) artinya “bertentangan dengan apa
yang dibenarkan oleh hukum atau anggapan masyarakat”, atau yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
16
B. Jenis-Jenis Sifat Melawan Hukum

Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan
hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum.adapun sifat perbuatan melawan
hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam, yakni:

1. Sifat Melawan Hukum Formil (Formale wederrechtelijk)

Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan


hukum adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, kecuali jika
diadakan pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan dalam undang- undang,
bagi pendapat ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum
adalah undang-undang.

2. Sifat Melawan Hukum Materil (Materiele wederrechtelijk).

Menurut pendapat ini belum tentu perbuatan yang yang memenuhi rumusan
undang-undangitu bersifat melawan hukum.bagi pendapat ini yang dinamakan
hukum itu bukan hanya undang-undang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga
meliputi hukum yang tidak tertulis, yakni kaidah-kaidah atau kenyataan-kenyataan
yang berlaku di masyarakat.

C. Het Subciale
Subsosialitas adalah tingkah laku akan penting bagi hukum pidana jika
perbuatan itu mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil
sekali jika tidak ada bahaya demikian,maka unsur subsosialitas tidak ada.

PERTEMUAN KE VI

AJARAN SEBAB-AKIBAT (KAUSALITEIT)

A. Pengertian Kasualitas

Kausalitas merupakan ajaran yang mencari sebab dari timbulnya suatu


akibat dari delik yang dilakukan oleh pelaku. Dengan demikian, ajaran
kausalitas terdiri dari tiga delik yaitu: delik yang bersifat materiil, omisi tidak
murni, dan formil yang dikualifisir. Dipilih tiga delik tersebut karena
sebabnya ada akibat, tidak mungkin ada akibat tanpa sebab.

17
B. Teori-Teori Tentang Sebab-Akibat (Kasualitas)

a. Teori Conditio Sine Qua Non

Teori ini berasal dari von buri, seorang ahli hukum jerman. Ajaran ini
pertama kali dicetuskan pada tahun 1873. Ajaran ini menyatakan bahwa
penyebab adalah semua faktor yang ada dan tidak dapat dihilangkan untuk
menimbulkan suatu akibat. Menurut teori ini, tidak membedakan mana faktor
syarat dan yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan
suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk yang menjadi
penyebabnya.

Teori ini disebut juga dengan teori ekivalensi (aquivalelenz-theori),


disebut dengan teori ekivalensi, karena ajaran Von Buri ini menilai semua faktor
adalah sama pentingnya terhadap timbulnya suatu akibat. Dengan ajaran yang
dikemukakan oleh Von Buri ini, maka menjadi di perluasnya
pertanggungjawaban dalam hukum pidana.

Ajaran ini mempunyai kelemahan, yaitu pada tidak membedakan antara


faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
Walaupun teori ini memiliki kelemahan yang mendasar, tetapi dalam
praktiknya di negeri Belanda pernah juga dianut oleh Hoge Raad dalam
pertimbangan suatu putusan, yang menyatakan bahwa “untuk dianggap sebagai
suatu sebab daripada suatu akibat, perbuatan itu tidak perlu bersifat umum atau
normal”.

Ajaran ini merupakan dasar dari ajaran tentang hubungan kausalitas


(sebab–akibat), karena kenyataannya berbagai ajaran kausalitas bermunculan
dan berkembang yang merupakan penyempurnaan atau masih berkaitan dengan
ajaran kausalitas Von Buri.

Karena mempunyai kelemahan Teori Conditio Sine Qua Non, akhirnya


disempurnakan lewat dua teori, yaitu Teori Mengindividualisir dan Teori
Menggeneralisir.

18
I. Teori-Teori yang Mengindividualisir

Teori-teori yang mengindividualisir ialah teori yang dalam usahanya


mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat
pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan, dengan kata
lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkret
(post factum). Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi, maka diantara
sekian rangkaian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya
merupakan faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan
faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya berupa faktor yang paling
berperan atau dominan atau mempunyai andil yang paling kuat tehadap
timbulnya akibat, sedangkan faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat saja
dan bukan faktor penyebab. Penganut teori ini adalah Birkmeyer dan Karl
Binding.

II. Teori-Teori Yang Menggeneralisir

Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab


(causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan daengan
timbulnya akibat adalah dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang
secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat
menimbulkan suatu akibat. Jadi mencari faktor penyebab dan menilainya tidak
berdasarkan pada faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada
pengalaman pada umumnya menurut akal dan kewajaran manusia atau disebut
secara abstract, tidak secara inconcret.

Penggunaan teori ini dapat diberikan contoh ialah, karena jengkel pada
bawahannya yang berbuat salah, bawahannya itu ditamparnya dengan tangan
kosong yang secara wajar menurut akal dan pengalaman orang pada umumnya
tidak akan menimbulkan kematian, akan tetapi kemudian korban pingsan dan
meninggal. Menurut teori ini, kematian bawahan ini bukan disebabkan oleh
perbuatan menampar oleh atasannya, karena secara wajar dan skal serta
pengalaman orang pada umumnya perbuatan menampar tidaklah akan
menimbulkan akibat kematian. Kematian itu bisa saja disebabkan oleh penyakit
jantung atau darah tinggi yang diderita oleh korban. Perbuatan menampar hanya
sekedar faktor syarat belaka.
19
PERTEMUAN VII

PERCOBAAN (POGGING)

A. Pengertian Percobaan
1. Percobaan Menurut KUHP
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan
Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP.

Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan


melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP
hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku
dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
1. Teori subjektif, dilihat dari niat, dimana suatu perbuatan sudah
merupakan permulaan dari niatnya.
2. Teori objektif, dilihat dari perbuatan si pelaku, dimana suatu
perbuatan sudah ada pelaksanaannya.
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari
pelaku.

B. Perlunya Lembaga Hukum Percobaan

Dalam menjamin ketentraman individu terhadap niat jahat dari beberapa


diantara sesama individu, maka hukum pidana positif tidak mengambil resiko.
Terkecuali dalam hal beberapa kejahatan, seperti yang tercantum dalam pasal-pasal
182 djb (lihatlah pasal 184 ayat 5, pasal 351 ayat 4 dan pasal 352 ayat 2) maka
KUHP, dengan menjatuhkan suatu hukuman, tidak menunggu sampai terjadinya
akibat kejahatan yang sedang dilakukan (khusus dalam hal delik materil). KUHP
telah sanggup menjatuhkan hukuman atas perbuatan memulai melaksanakan suatu
niat yang jahat. Sikap KUHP ini, yaitu sanggup telah menghukum pembuat yang
baru saja memulai melaksanakan niat jahat dan tidak memberi kesempatan kepada
pembuat tersebut untuk menyelesaikan perbuatannya (tidak memberi kesempatan

20
kepada pembuat tersebut untuk menimbulkan akibat jahat perbuatannya), adalah
sesuai dengan ide prevensi yang menjadi salah satu dasar penting dari pidana
modern. Sikap KUHP ini ternyata dari pasal 53 ayat 1 yang berbunyi “Percobaan
akan melakukan kejahatan boleh dihukum, kalau maksud akan melakukan
kejahatan itu sudah ternyata dengan permulaan membuat kejahatan itu dan
perbuatan itu tidak diselesaikan hanyalah oleh sebab hal – ihwal yang tidak
tergantung terhadap kehendaknya sendiri”. Lembaga hukum pidana yang
dicantumkan dalam ketentuan ini terkenal dibawah nama percobaan atau poging.

Tetapi KUHP juga tidak mau membatasi atau merampas kemerdekaan individu
kalau hal itu tidak perlu. Oleh sebab itu, dalam pasal 54 ditentukan bahwa
“Percobaan akan melakukan pelanggaran tiada boleh dihukum”. Jadi, hanya
percobaan atas kejahatan-kejahatan (buku II KUHP) saja diancam dengan
hukuman. Tetapi diantrara kejahatan itu ada tiga yang tidak mengenal suatu
percobaan yang diancam dengan hukuman, yaitu:

1. Pasal 184 (5) KUHP;


2. Pasal 302 (4 KUHP;
3. Pasal 351 (5) KUHP;

Dalam terjadinya delik kejahatan maka hukum pidana posistif membedakan


antara dua fase, yaitu fase memulai pelaksanaan niat jahat, yg diberi nama
percobaan, dan fase terjadinya akibat. Dengan terjadinya akibat, maka delik
kejahatan yang bersangkutan adalah suatu delik terselesai atau voltooid. Kedua fase
ini masing-masingnya, diancam dengan hukuman. oleh Van Hattum dikemukakan
bahwa ketentuan-ketentuan pidana, yang mengatakan kelakuan-kelakuan mana
merupakan delik, karena harus lengkap, selalu memberi lukisan-ukisan
(omsrijvingen) tentang delik-delik terselesai. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak
dapat memberi lukisan tentang sebagian delik-delik saja. Penentuan perbuatan
mana merupakan percobaan atas masing-masing kejahatan yang tercantum dalam
masing-masing pasal KUHP, diserahkan kepada ilmu hukum pidana maupun
jurisprudensi hukum pidana.

21
C. Perbuatan yang Seolah-olah atau Mirip dengan Percobaan
1. Ondeudelijke Poging atau Percobaan Tidak Mampu.
Dikatakan tidak mampu atau tidak sempurna karena alat atau objek
kejahatan tersebut tidak sempurna atau tidak mampu menyebabkan tindak
pidana yang dituju tidak mungkin terwujud. Akan tetapi banyak ahli masih
mendebatkan istilah percobaan tidak mampu ini.

2. Mangel am Tatbestand
Mangel am Tatbestand ini adalah suatu perbuatan yang diarahkan untuk
mewujudkan tindak pidana tetapi ternyata kekurangan atau tidak memenuhi
salah satu unsur tindak pidana yang dituju. Disini telah terjadi
kesalahpahaman terhadap salah satu unsur tindak pidana. Seseorang telah
selesai melakukan suatu perbuatan, akan tetapi tidak terjadi kejahatan.
Mangel am tatbestand ini berada di luar lapangan percobaan yang dapat
dipidana. Contoh: A mengambil barang yang dikira milik B, tapi ternyata
barang tersebut miliknya sendiri.

3. Putatief Delict
Pada Putatief Delict terjadi kesesatan hukum pada seseorang yang
melakukan perbuatan dalam usahanya untuk mewujudkan tindak pidana.
Putatief Delict bukanlah suatu tindak pidana dan juga bukan percobaan,
melainkan suatu kesalahpahaman bagi orang yang melakukan suatu
perbuatan yang dikiranya telah melakukan suatu tindak pidana, padahal
sebenarnya bukan. Contoh: orang asing yang melakukan perbuatan yang
menurut hukum negaranya adalah perbuatan asusila di Indonesia, tetapi
disini bukan merupakan tindak pidana.

4. Percobaan Selesai, Percobaan Tertunda, dan Percobaan yang Dikualifisir


i. Percobaan Selesai (delict manque) adalah melakukan perbuatan
yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana yang
pelaksanaannya sudah begitu jauh-sama seperti tindak pidana
selesai, akan tetapi oleh sebab sesuatu hal tindak pidana itu tidak
terjadi. Dikatakan percobaan karena tindak pidana itu tidak terjadi,

22
dan dikatakan selesai karena pelaksanaan sesungguhnya sama
dengan pelaksanaan yang dapat menimbulkan tindak pidana selesai.
Contoh: orang yang mau menembak orang lain, peluru telah
ditembakkan tapi tembakannya meleset.

ii. Percobaan Tertunda adalah percobaan yang perbuatan


pelaksanannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan.
Contoh: seorang pencopet telah memasukkan tangannya ke dalam
tas seorang perempuan dan telah memegang dompet sang
perempuan, tiba – tiba perempuan itu sadar dan memukul tangan
pencopet itu, menyebabkan terlepaslah dompet yang telah
dipegangnya.

iii. Percobaan yang Dikualifisir adalah percobaan yang perbuatan


pelaksanaannya merupakan tindak pidana selesai yang lain daripada
yang dituju. Contoh: seseorang bermaksud membunuh temannya
dengan pisau, akan tetapi setelah menikam si teman ternyata
temannya tidak meninggal, hanya luka berat.

23

Anda mungkin juga menyukai