Tugas Resume Mata Kuliah Hukum Pidana PDF
Tugas Resume Mata Kuliah Hukum Pidana PDF
Dosen:
H. Agus Takariawan, S.H., M.H.
Ijud Tajuddin, S.H., M.H.
Budi Arta Atmaja, S.H., M.H.
Disusun oleh :
MUHAMAD FADILLAH 110110160338
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
PERTEMUAN I & II
HUKUM PIDANA
Menurut Moelyatno: “Bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa
yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yangtelah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana
yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu dapat dilksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.”
Menurut Simons: “Hukum Pidana adalah semua perintah dan larangan yang
diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu pidana/nestapa bagi barangsiapa
yang tidak menaatinya. Dan juga merupakan semua aturan yang ditentukan oleh negara
yang berisi syarat-syarat untuk menjalankan pidana tersebut.”
Menurut Mezger: “Hukum pidana adalah semua aturan hukum (die jenige
rechtnermen) yang menentukan / menghubungkan suatu pidana sebagai akibat hukum
(rechtfolge) kepada suatu perbuatan yang dilakukan”.
2
B. Pembagian Hukum Pidana
1. Hukum Pidana Objektif dan Hukum Pidana Subjektif
Menurut Profesor Simons, hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum
pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objective zin dan hukum pidana
dalam arti subjektif atau strafrecht ini subjective zin.
Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau
yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale. Hukum Pidana
dalam arti subjektif tersebut, oleh Professor Simons telah dirumuskan
sebagai: “Keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan- keharusan,
yang atas pelanggarannya oleh Negara atau oleh suatu masyarakat hukum
umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat
khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan di
mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah diatur serta
keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjatuhan
dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri”.
Hukum pidana dalam arti subjektif atau biasa disebut ius puniendi itu
mempunyai dua pengertian, yaitu:
a. Hak dari negara dan alat-alat kekuasaanya untuk menghukum, yakni hak
yang telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan
oleh hukum pidana dalam arti objektif;
b. Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-
peraturannya dengan hukum.
3
b. Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara
mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang
dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara
bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh
keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim.
4
6. Hukum Pidana Bagian Umum dan Hukum Pidana Bagian Khusus
Hukum pidana bagian umum (algemene deel) adalah hukum pidana yang
memuat asas-asas umum (algemene leerstukken) dam dimuat dalam Buku I KUHP.
Hukum pidana bagian khusus (bijzonder deel) adalah hukum pidana yang
memuat masalah kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran, baik yang
dikodifikasikan maupun yang tidak dikodifikasikan.
Menurut Soedarto, bahwa fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut:
Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena itu fungsi
hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur
hidup kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat
Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum
terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi
yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang
terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu tragic
(suatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana dikatakan sebagai “mengiris
dagingnya sendiri” atau sebagai “pedang bermata dua‟, yang bermakna bahwa hukum
pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan hukum (misalnya: nyawa,
harta benda, kemerdekaan, kehormatan), namun jika terjadi pelanggaran terhadap
larangan dan perintahnya justru mengenakan perlukaan (menyakiti) kepentingan
(benda) hukum si pelanggar. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi
aturan-aturan untuk menaggulangi perbuatan jahat. Dalam hal ini perlu diingat pula,
bahwa sebagai alat social control fungsi hukum pidana adalah subsidair, artinya hukum
pidana hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila usaha-usaha lain kurang
memadai.
5
D. Sumber Hukum Pidana
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum
yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.
6
KUHP, masing-masing untuk golongan Bumiputera yang baru.Dengan Koninklijik
Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah Rancangan KUHP golongan Eropa. Dengan
K.B tanggal 15 Oktober 1995 dan diundangkan pada september 1915 Nomor 732
lahihrlah Wesboek van strafrecht voor Nederlandch Indie yang baru untuk seluruh
golongann penduduk. Dengan Invoringsverordening berlakulah pada tanggal 1 Januari
1918 WvSI tersebut.
Asas Legalitas (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Legi Poenali).
Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.” Pasal 1
ayat 1 ini yang disebut sebagai Asas Legalitas. Asas Legalitas memiliki tiga unsur:
Tidak berlaku surut adalah bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak
dapat dikenakan kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana
dalam undang-undang itu diadakan.
7
2. Tidak bisa dianalogikan
Unsur yang kedua yaitu tidak dapat dianalogikan, bahwa pidana tidak
diperbolehkan adanya perumpamaan atau kiasan karena bertentangan dengan
kepastian hukum, contohnya adalah ketika keperawanan seorang wanita
dianalogikan sebagai barang yang jelas tidak diperbolehkan karena barang pada
dasarnya dapat diperjual belikan.
3. Tertulis
Unsur yang terakhir yaitu harus sudah tertulis didalam peraturan perundang-
undangan atau dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Peraturan-peraturan yang
memuat ketentuan pidana tersebut ada didalam UU, Perda Kabupaten/Kota dan
Perda Provinsi yang bisa dilihat dalam Pasal 15 Ayat 1 Undang-undang No.12
Tahun 2011.
8
• Perbuatan itu merupakan tindak pidana dalam peraturan perundang-
undangan negara dimana perbuatan itu dilakukan.
- Pasal 6 KUHP: Dibatasi sehingga tidak dijatuhkan pidana mati. Apabila tindak
pidana yang dilakukan WNI itu diancam pidana mati, namun menurut hukum
negara di mana perbuatan itu tidak diancam pidana mati, maka majelis hakim
Indonesia tidak diperkenankan menjatuhkan pidana mati.
- Pasal 7 KUHP: Pegawai Negeri Indonesia apabila melakukan tindak pidana
seperti Bab 28 Buku 2 KUHP (Kejahatan Jabatan) diberlakukan UU Pidana
negaranya. Asas kebangsaan dan perlindungan.
- Pasal 8 KUHP: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi nakhoda dan penumpang kendaraan air Indonesia, yang melakukan
salah satu dari tindak pidana dalam BAB XXIX buku kedua dan BAB IX buku
ketiga.
Asas Universalitas
Dasar berlakunya hukum: kepentingan hukum penduduk dunia atau bangsa-
bangsa dunia kewajiban negara untuk memelihara keamanan dan ketertiban dunia.
- Pasal 4 KUHP, terutama butir ke-2, 3, 4.
- Pasal 4 Butir 4: perompak dapat diadili oleh negara manapun yang berhasil
menangkap mereka.
9
G. Ilmu Hukum Pidana dan Kriminologi
Hubungan antara ilmu hukum pidana dan kriminologi, dapat dikatakan mempunyai
hubungan timbal balik dan bergantungan satu sama lain. Ilmu hukum pidana
mempelajari akibat hukum daripada perbuatanyang dilarang sebagai kejahatan (crime)
yang dapat disingkat pula dengan nama ”ilmu tentang hukumnya kejahatan”, dengan
demikian sebenarnya bagian hukum yang memuat tentang kejahatan disebut hukum
kejahatan, hukum kriminil (criminal law/penal law, misdaads-recht/delicten-recht).
Akan tetapi telah menjadi lazim bagi hukum tentang kejahatan itu
dinamakan ”straftrecht” yang salinannya ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum
pidana.
PERTEMUAN II
TINDAK PIDANA
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana
(KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum
pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang
merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau
perbuatan pidana atau tindak pidana.
10
Menurut Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit sebagai berikut: Strafbaarfeit itu
sebenarnya adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan
perundang- undangan.”
Adapun menurut Simons masih dalam buku yang sama merumuskan strafbaarfeit
adalah: “Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-
undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”
Delik Kejahatan: Delik ada dalam Buku II Delik Pelanggaran: Delik yang ada dalam buku
KUHP. III KUHP. Contoh: Pasal 504 KUHP
Delik Materiil: Delik yang menitikberatkan Delik Formil: Delik yang menitikberatkan
pada akibat. Contoh: Pasal 338 KUHP pada perbuatannya. Contoh: Pasal 285
(pembunuhan). KUHP (memperkosa).
11
Delik Komisi: Delik yang melanggar larangan Delik Omisi: Delik yang melanggar larangan
dengan berbuat aktif. Contoh: Pasal 338 KUHP. dengan tidak berbuat aktif (pasif).
− Omisi Murni: Delik yang melanggar
keharusan dengan berbuat pasif. Contoh:
Pasal 224 KUHP (dipanggil menjadi saksi).
− Omisi Tidak Murni: Delik yang melanggar
larangan dengan berbuat pasif. Contoh: Pasal
304 KUHP (membiarkan orang lain
sengsara).
Delik Dolus: Delik yang dilakukan dengan Delik Culpa: Delik yang dilakukan dengan
kesengajaan. Contoh: Pasal 340 KUHP kealpaan atau kelalaian. Contoh: Pasal 359
(pembunuhan berencana). KUHP (membunuh orang lain karena kealpaan).
Delik Laporan/Biasa: Delik yang tida Delik Aduan: Delik yang menunggu adanya
menunggunya aduan dimana sudah ada aduan untuk dapat diproses atau dituntut.
penuntutan ataupun pemeriksaan. Contoh: Pasal 284 KUHP (berzinah).
Delik Berdiri Sendiri: Delik yang Delik berlanjut: Delik yang dilakukan
dikenakan tersendiri, timbulnya dari berbeda niat. dengan cara bertahap dalam mencapai
tujuannya, terdapat 1 niat. Contoh: mengambil
uang 1 jt, namun menyicil 100 rb tiap hari hingga
Delik Selesai: Delik yang dilakukan dan Delik yang diteruskan: Delik yang untuk
langsung menimbulkan akibat atau langsung mencapai tujuan harus diteruskan, kalau tidak
selesai. diteruskan maka tidak akan berhasil.
Delik Tunggal: Delik yang dilakukan bukan Delik Berangkai: Delik yang dilakukan
merupakan suatu kebiasaan. Contoh: Pasal 338 merupakan suatu kebiasaan atau sebagai mata
KUHP. pencarian. Contoh: Pasal 296 KUHP (germo).
Delik Politik: Delik yang mempunyai Komun: Delik yang tidak memiliki tujuan
tujuan politik. Contoh: Pasal 107 KUHP (makar). politik.
Delik Propia: Delik yang merumuskan Komuna: Delik yang dilakukan oleh siapa saja.
kualifikasi atau hanya dilakukan oleh orang- Contoh: perumusan ”Barangsiapa”.
orang tertentu. Contoh: yang perumusannya
seorang pejabat, seorang ibu, seorang dokter,
dll. (Pasal 341
12
Delik Sederhana: Delik yang hanya terdapat Delik Kualifisir: Delik yang selain memuat
unsur-unsur pokok saja. Contoh: Pasal 338 unsur- unsur pokok, terdapat juga unsur
KUHP. yang diperberat. Contoh: Pasal 340 (karena
rumusan ”dengan rencana terlebih dahulu”.
Delik Previlisir: Delik yang selain memuat
unsur- unsur pokok, terdapat juga unsur yang
meringankan. Contoh: Pasal 341 KUHP (karena
rumusan ”seorang ibu”).
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur- unsur yang
ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.
13
3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
A. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan
pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
14
B. Kesalahan (Schuld)
Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian telah
melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang dilarang oleh
hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggung jawab.
I. Kesengajaan (Opzet).
Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan
unsur culpa. Ini layak oleh karena biasanya, yang pantas mendapatkan hukuman pidana
itu ialah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Kesengajaan ini harus
mengenai ketiga unsur tindak pidana, yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang, ke-2: akibat
yang menjadi pokok-alasan diadakan larangan itu, dan ke-3: bahwa perbuatan itu
melanggar hukum. Kesengajaan yang dapat dibagi menjadi 3 bagian, yakni:
15
II. Kealpaan (Culpa)
Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena
pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan menurut undang-
undang, kelalaian itu terjadi dikarenakan perilaku orang itu sendiri.
PERTEMUAN V
Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan
hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum.adapun sifat perbuatan melawan
hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam, yakni:
Menurut pendapat ini belum tentu perbuatan yang yang memenuhi rumusan
undang-undangitu bersifat melawan hukum.bagi pendapat ini yang dinamakan
hukum itu bukan hanya undang-undang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga
meliputi hukum yang tidak tertulis, yakni kaidah-kaidah atau kenyataan-kenyataan
yang berlaku di masyarakat.
C. Het Subciale
Subsosialitas adalah tingkah laku akan penting bagi hukum pidana jika
perbuatan itu mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil
sekali jika tidak ada bahaya demikian,maka unsur subsosialitas tidak ada.
PERTEMUAN KE VI
A. Pengertian Kasualitas
17
B. Teori-Teori Tentang Sebab-Akibat (Kasualitas)
Teori ini berasal dari von buri, seorang ahli hukum jerman. Ajaran ini
pertama kali dicetuskan pada tahun 1873. Ajaran ini menyatakan bahwa
penyebab adalah semua faktor yang ada dan tidak dapat dihilangkan untuk
menimbulkan suatu akibat. Menurut teori ini, tidak membedakan mana faktor
syarat dan yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan
suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk yang menjadi
penyebabnya.
18
I. Teori-Teori yang Mengindividualisir
Penggunaan teori ini dapat diberikan contoh ialah, karena jengkel pada
bawahannya yang berbuat salah, bawahannya itu ditamparnya dengan tangan
kosong yang secara wajar menurut akal dan pengalaman orang pada umumnya
tidak akan menimbulkan kematian, akan tetapi kemudian korban pingsan dan
meninggal. Menurut teori ini, kematian bawahan ini bukan disebabkan oleh
perbuatan menampar oleh atasannya, karena secara wajar dan skal serta
pengalaman orang pada umumnya perbuatan menampar tidaklah akan
menimbulkan akibat kematian. Kematian itu bisa saja disebabkan oleh penyakit
jantung atau darah tinggi yang diderita oleh korban. Perbuatan menampar hanya
sekedar faktor syarat belaka.
19
PERTEMUAN VII
PERCOBAAN (POGGING)
A. Pengertian Percobaan
1. Percobaan Menurut KUHP
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan
Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP.
20
kepada pembuat tersebut untuk menimbulkan akibat jahat perbuatannya), adalah
sesuai dengan ide prevensi yang menjadi salah satu dasar penting dari pidana
modern. Sikap KUHP ini ternyata dari pasal 53 ayat 1 yang berbunyi “Percobaan
akan melakukan kejahatan boleh dihukum, kalau maksud akan melakukan
kejahatan itu sudah ternyata dengan permulaan membuat kejahatan itu dan
perbuatan itu tidak diselesaikan hanyalah oleh sebab hal – ihwal yang tidak
tergantung terhadap kehendaknya sendiri”. Lembaga hukum pidana yang
dicantumkan dalam ketentuan ini terkenal dibawah nama percobaan atau poging.
Tetapi KUHP juga tidak mau membatasi atau merampas kemerdekaan individu
kalau hal itu tidak perlu. Oleh sebab itu, dalam pasal 54 ditentukan bahwa
“Percobaan akan melakukan pelanggaran tiada boleh dihukum”. Jadi, hanya
percobaan atas kejahatan-kejahatan (buku II KUHP) saja diancam dengan
hukuman. Tetapi diantrara kejahatan itu ada tiga yang tidak mengenal suatu
percobaan yang diancam dengan hukuman, yaitu:
21
C. Perbuatan yang Seolah-olah atau Mirip dengan Percobaan
1. Ondeudelijke Poging atau Percobaan Tidak Mampu.
Dikatakan tidak mampu atau tidak sempurna karena alat atau objek
kejahatan tersebut tidak sempurna atau tidak mampu menyebabkan tindak
pidana yang dituju tidak mungkin terwujud. Akan tetapi banyak ahli masih
mendebatkan istilah percobaan tidak mampu ini.
2. Mangel am Tatbestand
Mangel am Tatbestand ini adalah suatu perbuatan yang diarahkan untuk
mewujudkan tindak pidana tetapi ternyata kekurangan atau tidak memenuhi
salah satu unsur tindak pidana yang dituju. Disini telah terjadi
kesalahpahaman terhadap salah satu unsur tindak pidana. Seseorang telah
selesai melakukan suatu perbuatan, akan tetapi tidak terjadi kejahatan.
Mangel am tatbestand ini berada di luar lapangan percobaan yang dapat
dipidana. Contoh: A mengambil barang yang dikira milik B, tapi ternyata
barang tersebut miliknya sendiri.
3. Putatief Delict
Pada Putatief Delict terjadi kesesatan hukum pada seseorang yang
melakukan perbuatan dalam usahanya untuk mewujudkan tindak pidana.
Putatief Delict bukanlah suatu tindak pidana dan juga bukan percobaan,
melainkan suatu kesalahpahaman bagi orang yang melakukan suatu
perbuatan yang dikiranya telah melakukan suatu tindak pidana, padahal
sebenarnya bukan. Contoh: orang asing yang melakukan perbuatan yang
menurut hukum negaranya adalah perbuatan asusila di Indonesia, tetapi
disini bukan merupakan tindak pidana.
22
dan dikatakan selesai karena pelaksanaan sesungguhnya sama
dengan pelaksanaan yang dapat menimbulkan tindak pidana selesai.
Contoh: orang yang mau menembak orang lain, peluru telah
ditembakkan tapi tembakannya meleset.
23