Anda di halaman 1dari 17

Pada suatu ketika, ada sebuah keluarga yang berisikan seorang ayah, seorang ibu, dan 8 orang

anak. Waku itu, mereka sekeluarga besar pergi berlibur ke Thailand. Dua hari pertama mereka
lewati dengan baik, mereka makan makanan khas Thailand dan mengunjungi tempat-tempat
bersejarah. Namun, pada hari ketiga, sebuah masalah besar terjadi. Ketika mereka sedang jalan-
jalan di pasar malam, salah satu anak dari ayah dan ibu ini ada yang menghilang—nama anak yang
hilang tersebut adalah Deni.
Mereka menunggu selama 1 jam untuk melihat apakah Deni akan datang kembali kepada mereka;
tetapi, setelah 1 jam Deni tetap tidak muncul. Akhirnya, ayah dan ibu ini mulai bertanya kepada
orang-orang sekitar apakah ada yang melihat Deni. Mereka mendeskripsikan rupa fisik Deni dan
pakaian yang Deni pakai, tetapi semua orang hanya menggeleng-gelengkan kepala mereka.
Akhirnya, ayah dan ibu ini datang ke kantor polisi dan meminta polisi untuk mencari anak mereka.
Setelah itu, mereka kembali ke pasar malam tersebut dan mencari semalaman. Setelah 3 jam
mencari Deni, akhirnya mereka menemukan Deni sedang menangis di pinggir toko manisan. Si
ayah dan si ibu langsung memeluk Deni sambil mengatakan: “Aduh Deni, darimana saja coba kamu!
Kamu sudah bikin ayah dan ibu sangat kuatir tau!”
Teman-teman, ketika Deni terhilang, si ayah dan si ibu masih memiliki 7 orang anak; namun,
mereka tidak merasa baik-baik saja karena masih memiliki 7 orang anak, melainkan mereka panik
oleh karena 1 orang anak mereka yang hilang. Si ayah dan si ibu tidak berhenti mencari Deni yang
hilang hingga mereka berhasil menemukannya. Dan ketika si ayah dan si ibu berhasil menemukan
Deni, mereka tidak kesal atas kebodohan Deni, melainkan mereka bersukacita karena anak mereka
yang hilang telah ditemukan kembali.
Begitupula dengan kita semua—fokus kita telah dialihkan oleh dunia sehingga kita meninggalkan
Tuhan. Pada akhirnya kita tersadar bahwa kita telah berjalan begitu jauh dari Tuhan dan kita tidak
tau bagaimana caranya pulang. Namun Tuhan yang kaya akan kasih karunia tidak pernah
meninggalkan kita; Dia pergi mencari kita dan menolak untuk berhenti hingga kita ditemukan
kembali.
ANAK YANG HILANG II
Lukas 15:11-32 | Pendeta Eric Chang |

Hari ini, kita akan melanjutkan pembahasan kita tentang pengajaran Yesus di Lukas 15:11-32, yang
ketiga dari empat perumpamaan di dalam Lukas 15, Perumpamaan tentang Anak yang Hilang. Dan
perumpamaan ini berkisah tentang hubungan bapa-anak (sonship). Apa artinya menjadi anak? Apa
masalah yang timbul dalam hubungan ini? Bagaimana cara kita menjadi anak? Saya akan memberi
gambaran ringkasnya kepada Anda karena perumpamaan ini agak terlalu panjang untuk dibaca.
Isi Cerita tentang Anak yang Hilang
Di dalam perumpamaan ini, Yesus bercerita tentang seorang ayah yang memiliki dua anak laki-laki.
Dan anak yang lebih muda meminta pembagian warisan sebelum ayahnya mati. Ia tidak sabar
menunggu sampai ayahnya mati untuk dapat menikmati warisan itu. Lalu ia berkata, “Maukah
engkau membagi kekayaanmu sekarang dan memberi saya bagian yang ditetapkan buat saya?” Dari
sini kita dapat melihat bagaimana sikap mental dan kepribadian anak tersebut. Memang ada
pengaturan di bawah hukum Yahudi bahwa jika si ayah berkenan, ia dapat membagi warisan kepada
anaknya sebelum ia sendiri meninggal. Perhatikan bahwa si ayah ini tidak menegur anaknya. Ia tidak
berkata, “Aku tidak mengizinkan kamu melakukan hal itu,” suatu ucapan yang cenderung akan
dilontarkan setiap ayah. Dan hal ini memberi kita satu pengertian tentang karakter Allah. Si ayah itu
memberi anaknya bagian warisan anak itu. Tak lama kemudian, anak yang lebih muda ini
memisahkan diri, sesudah menerima bagian warisan dari ayahnya. Di dalam ayat 13, perhatikan
bahwa ia tidak pergi ke negeri yang dekat dengan tempat tinggal ayahnya. Ia merantau ke negeri
yang sangat jauh, berharap bisa pergi dari ayahnya sejauh mungkin, karena – sebagaimana yang
Anda ketahui – setiap anak cenderung ingin mandiri. Anak-anak ingin sekali melakukan segala yang
mereka mau; mereka tidak ingin selalu berada di bawah pengawasan ayahnya. Jadi pergilah anak ini
untuk menikmati kebebasannya.
Namun celaka sekali! Hal-hal yang gampang diraih selalu mudah pula berlalu. Si ayah mungkin
harus bekerja keras untuk memperoleh kekayaan itu, namun si anak tidak akan bisa menghargai hal
yang bukan hasil perjuangannya sendiri, perkara ini sering terjadi pada anak-anak yang berasal dari
keluarga kaya. Lalu ia pergi ke negeri yang sangat jauh dan memboroskan semua kekayaannya.
Pepatah mengatakan, “Gampang didapat, gampang pula habisnya”. Jadi dalam waktu yang sangat
singkat, karena tidak tahu bagaimana mengelola keuangannya, anak ini jatuh bangkrut.
Pada waktu itu ia mulai menyadari, bahwa untuk dapat bertahan hidup ia harus bekerja. Tiba-tiba ia
tersadar bahwa hidup di dunia ini perlu bekerja. Sebelumnya, segala sesuatu yang ia nikmati adalah
hasil pemberian. Sang ayah selalu mencukupi segala sesuatu buatnya. Mendadak saja sekarang ia
harus bekerja. Namun ternyata ia tidak punya keterampilan yang tinggi untuk bekerja. Apa yang
dapat ia lakukan? Orang yang tidak tahu bagaimana mengelola kehidupan dan keuangannya sulit
untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain. Akhirnya, satu-satunya tanggungjawab yang
dipercayakan kepadanya adalah mengawasi babi. Ia mendapat pekerjaan sebagai pemelihara babi.
Namun ini bukan pekerjaan yang dibayar tinggi. Ia mendapati bahwa upahnya tidak mencukupi
untuk memenuhi kebutuhan sehingga ia rela memakan makanan babi. Bagaimanapun juga, makanan
babi tidak terlalu buruk. Kadang kala, sisa-sisa makanan yang lezat dari restoran yang mahal
dikumpulkan dalam tong khusus dan diberikan kepada babi. Jadi cukup sering babi-babi menerima
makanan yang lebih bergizi ketimbang manusia. Banyak orang yang hanya makan roti tawar dengan
gula, selai dan bahan lain yang tidak cukup bergizi, sementara babi menikmati semua hidangan
utama yang juga disajikan kepada orang kaya! Tidak heran jika anak muda ini berminat terhadap
makanan babi, yang penampilannya mungkin tidak begitu menarik, namun rasanya pasti cukup lezat,
percayalah.
Ketika ia sedang dalam keadaan seperti ini, ia mulai merenungkan tentang rumahnya. Kadang kala
dibutuhkan satu pukulan yang keras untuk menyadarkan kita. Ayat 17 menyebutkan, lalu ia
menyadari keadaannya, ia mulai tersadar. Akhirnya ia terbangun. Ia mulai menyadari keadaannya.
Perhatikan bahwa saat di rumah, ayahnya memberi dia segala-galanya, namun jauh dari rumah, ia
bukan siapa-siapa, dan tak ada yang peduli padanya. Ayat 16 berkata, tidak seorangpun yang
memberi kepadanya. Satu-satunya orang yang peduli pada anak ini adalah ayahnya. Namun anak ini
sudah mengingkari orang yang sayang padanya. Sekarang, tidak ada yang peduli padanya di tempat
ini. Ketika kita mengingkari Allah, kita akan segera mendapati bahwa satu-satu-Nya pribadi yang
benar-benar menyayangi kita adalah Allah. Tak seorangpun yang menyayangi kita lebih dari Allah.
Mendapati dirinya berada dalam keadaan seperti itu, ia mulai berpikir, “Pelayan ayahku yang
berjumlah banyak itu semuanya bisa makan sampai puas. Sedangkan aku di sini mati kelaparan!”
Dan akhirnya ia sampai pada kesimpulan yang memang sudah semestinya ia lakukan, “Aku akan
bangkit dan pergi kepada bapaku. Di sanalah satu-satunya tempat yang tersisa bagi aku.”
Namun bagaimana ia bisa kembali kepada ayahnya? Ia sudah mengambil bagian warisannya.
Ayahnya sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengannya. Lalu ia memikirkan dan menyusun
kata-kata yang akan diucapkannya, “Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa.”
Ucapan ini memiliki makna yang sangat dalam. Dengan kata lain ia sedang berkata, “Aku telah
berdosa kepada Allah dan juga kepadamu, bapa. Apa yang sudah kulakukan bukan sekadar
merupakan kesalahan terhadapmu, tetapi juga suatu kesalahan kepada Allah. Sekarang aku
memintamu untuk menerima aku, bukan sebagai anakmu karena aku tidak punya lagi hak sebagai
anakmu, tapi berilah aku tempat di antara hamba-hambamu. Aku tidak tahu apakah aku boleh
diterima sebagai seorang hamba. Tetapi jika engkau menganggap bahwa aku masih boleh menjadi
hambamu, aku memohon Anda untuk menerima aku.”
Ayah yang Berbelas Kasih
Lalu di ayat 20, kita baca bahwa si ayah selama ini selalu menatapi kejauhan lewat jendela rumah
menanti kepulangannya. Si ayah sudah lama menanti, dan ia tidak dikecewakan. Dari kejauhan, ia
melihat sesosok tubuh yang berpakaian compang camping, berjalan gontai dan melangkah dengan
lesu, dan hatinya segera diliputi oleh sukacita! Ayat 20 berkata, ayahnya telah melihatnya, lalu
tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Kita akan membahas kata ‘belas kasihan’ ini nanti. Lalu si
ayah ini berlari; ia tidak sekadar berjalan. Ia tidak menunggu sampai si anak datang. Ia tidak berkata,
“Saya tunggu di sini saja. Ia harus menerima pelajarannya. Ia pantas menerimanya. Ini satu pelajaran
buatnya.” Tidak ada pembalasan, tidak ada dendam. Si ayah berlari keluar dan memeluk anak bungsu
ini. Si anak segera menyampaikan kata-kata yang sudah dirancangnya itu, “Aku telah berdosa
terhadap surga dan terhadap bapa. Aku tidak layak lagi disebut anakmu. Aku tidak pantas menjadi
anakmu.” Namun sang ayah membalutkan pakaian terbaik buat anaknya. Dan ia memakaikan cincin
di jari sang anak, dan memakaikan sepatu di kakinya, yang menunjukkan bahwa si anak ini bahkan
tidak punya alas kaki lagi. Ia berjalan dengan telanjang kaki selama ini. Dan perutnya yang lapar
dipuaskan dengan daging dari anak lembu yang tambun. Sukacita yang sangat besar!
Si Sulung yang Kesal
Tidak heranlah, anak yang sulung memandang semua hal ini dengan penuh rasa muak dan berpikir,
“Nah, anak ini memang pantas menerima nasibnya! Si pemalas ini tidak pernah bisa diandalkan,
dasar anak bengal yang manja! Ia bahkan berani melecehkan bapa dengan meminta bagian
warisannya sebelum bapa meninggal! Apa ada anak yang lebih hina dari itu? Terus dia pergi jauh
menghambur-hamburkan warisannya. Berfoya-foya di negeri orang, dan sekarang kembali sebagai
pengemis! Tapi bapa bukannya menempatkan dia di tempat yang seharusnya. Bapa malah
bersukacita untuk kepulangannya!” Si anak sulung merasa sangat muak karena tidak seperti bapanya,
ia tidak memiliki belas kasihan sama sekali. Ia tidak punya rasa iba terhadap adiknya, yang sudah
mendapat pelajaran dari pengalaman buruknya. Sang ayah merasa karena si bungsu ini sudah sadar
dan menerima pelajarannya dari pengalaman itu, tidak usahlah kesulitan yang dihadapi itu ditambah-
tambahi. Ia sudah jatuh bangkrut, telanjang kaki dan kelaparan. Perlukah anak itu direndahkan lagi
untuk memastikan bahwa ia belajar dari kesalahannya? Seberapa rendah perlakuan yang mampu ia
tanggung? Sang ayah menganggap bahwa itu semua sudah cukup. Akan tetapi tidak ada yang cukup
bagi si anak sulung. Ia merasa bahwa yang terbaik adalah menempatkan si bungsu sejajar dengan
para budak. Ia tidak berbelas kasihan.
Dan sebagai rangkuman dari perumpamaan ini, si ayah berkata, “Sebab anakku ini telah mati dan
menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” Ini sebabnya mengapa perumpamaan
ini disebut Perumpamaan tentang Anak yang Hilang.
Semestinya ini Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang
Sebenarnya, saya cenderung menyebutnya sebagai Perumpamaan tentang Dua Anak yang Hilang,
yang satu tersesat lebih jauh dari yang lainnya. Atau, disebut Perumpamaan Dua Anak yang Hilang,
satu telah ditemukan kembali dan yang satunya tidak pernah diselamatkan karena tidak pernah hilang.
Pertama-tama, perlu Anda cermati bahwa keseluruhan isi Alkitab bercerita tentang anak-anak yang
hilang. Isi beritanya selalu adalah tentang anak yang hilang. Manusia pertama, Adam, tersesat dan
hilang, dan Adam disebut sebagai seorang ‘anak Allah’ di Lukas 3:38. Yaitu, asal muasalnya,
keberadaan dan segala miliknya bersumber dari Allah. Adam adalah anak Allah dan Adam sudah
hilang.
Siapa lagi anak yang hilang? Sebagian besar Perjanjian Lama berkisah tentang Israel, dan bangsa
Israel disebut sebagai ‘anak Allah’ di dalam beberapa ayat, sebagai contoh, Hosea 11:1,2 dan 10.
Dan Hosea 11:1 (dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu, yaitu, Allah memanggil Israel keluar dari Mesir)
yang dikutip dalam Matius 2:15 bercerita tentang Israel sebagai anak yang hilang. Alkitab adalah
buku yang berkisah tentang anak-anak yang hilang.
Kata ‘anak’ memiliki makna yang luas di dalam Alkitab. Para malaikat Allah di dalam Perjanjian
Lama juga disebut sebagai ‘anak-anak Allah’, sebagai contoh di dalam Ayub 1:6, 2:1, 38:7. Mereka
adalah anak-anak dalam kedudukan yang berbeda, kedekatan yang berbeda terhadap Allah. Namun,
bahkan para malaikat juga bisa terhilang. Perhatikan contoh di dalam surat Yudas ayat 6, di situ
disebutkan bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan
mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia
kekelaman sampai penghakiman pada hari besar.
Kunci Pemahaman Perumpamaan: Menjadi Anak bukan Jaminan Anda Tidak akan Hilang
Ada satu pandangan yang beredar luas di kalangan orang Kristen sekarang ini, bahwa kedudukan
sebagai anak merupakan jaminan keselamatan. Apa dasar jaminan keselamatan seorang Kristen?
“Aku adalah anak”. Dan banyak sekali orang yang berkata, “Sekali menjadi anak akan selamanya
menjadi anak.” Benar, ‘sekali menjadi anak memang akan selamanya menjadi anak,” tetapi apa
artinya itu? Sejauh yang berhubungan dengan Kitab Suci, tidak ada makna jaminan keselamatan
sama sekali. Seperti yang sudah kita lihat, Alkitab selalu bercerita tentang anak yang hilang. Menjadi
seorang anak bukanlah jaminan bahwa Anda tidak akan terhilang, dan inilah poin utama dari
Perumpamaan tentang Anak yang Hilang itu.
Jangan mendasarkan keamanan rohani Anda pada anggapan bahwa Anda adalah anak dan dengan
demikian Anda pasti akan baik-baik saja, jadi Anda boleh berbuat dosa sebanyak yang Anda mau.
Anda boleh meninggalkan Allah dan masih diselamatkan juga pada akhirnya. Itulah pengajaran yang
banyak diberikan oleh sebagian besar Gereja sekarang. Namun saya beritahu, ini adalah ajaran sesat,
berdasarkan Firman Allah; ini bukanlah ajaran yang alkitabiah. Jangan membangun kehidupan
rohani Anda di atas dasar yang salah. Mungkin terasa nyaman, menentramkan, namun tetap saja
salah.
Pernah ada orang yang berkata kepada saya, “Sekalipun orang-orang Kristen mungkin berpaling dari
Allah, mungkin berbuat dosa, melakukan berbagai pelanggaran, mereka tetap akan diselamatkan.”
Saya bertanya, “Adakah dasar dari Firman Allah untuk hal itu?”
Jawabnya, “Sangat mudah! Kita adalah anak-anak Allah, dan jika sudah menjadi anak, maka
selamanya akan tetap sebagai anak.”
Menyedihkan sekali! Membangun anggapan tentang jaminan keselamatan seperti itu sangatlah
membinasakan! Belum pernahkah Anda membaca Alkitab? Alkitab berbicara tentang anak-anak
yang hilang. Adam terhilang. Dia adalah anak. Bangsa Israel terhilang. Mereka juga adalah anak-
anak. Para malaikat adalah anak-anak Allah tetapi mereka juga ada yang hilang. Apakah Anda akan
mendasarkan rasa aman Anda hanya dengan kata-kata, “Aku adalah anak”?
Saya tidak seketikapun menyangkal betapa luar biasanya menjadi seorang anak Allah! Dan kita
adalah anak-anak Allah dalam beberapa pengertian. Sebagai contoh, makna dari ungkapan ‘anak
Allah’ yang memiliki jangkauan yang luas, di Kisah 17:28 Paulus mengutip salah satu pujangga
Yunani yang mengatakan bahwa kita ini dari keturunan Allah juga. Di dalam Dia kita hidup, kita
bergerak, kita ada. Ada cakupan makna yang luas di mana Allah menjadi Bapa dan kita, umat
manusia, adalah makhluk dengan keberadaan yang berasal dari Dia. Sama seperti keberadaan kita
yang berasal dari orang tua kita, di balik itu, Allahlah yang menjadi sumber keberadaan kita
sesungguhnya. Allah adalah bapa di dalam pengertian cakupan yang sangat luas itu. Dan cara
pandang ini juga diterima oleh Alkitab. Akan tetapi ada pengertian yang lebih dipersempit lagi. Sama
seperti di dalam setiap keluarga, beberapa anak memiliki kedekatan yang lebih akrab dengan ayah
mereka ketimbang anak yang lainnya. Hal ini terjadi juga di dalam kehidupan rohani, beberapa anak
memiliki hubungan lebih akrab dengan Allah, dengan Bapa, ketimbang anak yang lainnya.
Di samping itu, ada lagi pengertian yang lebih khusus sifatnya yaitu kita menjadi anak karena Allah
mengangkat kita sebagai anak-Nya. Paulus berkata bahwa kita telah menerima Roh yang menjadikan
kita anak Allah di Roma 8:15. Dengan demikian, kita menjadi anak karena pengangkatan; dan juga
menjadi anak karena kelahiran baru.
Tetapi cukup untuk dikatakan di titik ini, bahwa tidak kira dalam pengertian apa pun, Anda tidak
dapat berkata, “Aku aman karena aku adalah anak.” Saya sedih melihat begitu banyak orang Kristen
yang diajari bahwa kualitas kehidupan yang mereka jalani tidaklah penting. Tidak masalah apakah
mereka kudus atau tidak. Tidak masalah apakah mereka berbuat dosa atau tidak.
Kenyataannya, pernah saya menanyakan salah satu dari orang Kristen itu, “Katakan pada saya,
berdasarkan doktrin yang Anda yakini – jika seorang Kristen melakukan pembunuhan dan tidak
bertobat, apakah ia tetap akan diselamatkan? Ya atau tidak?”
Dan tahukah Anda apa jawabannya? Dia berkata, “Ya.” Berdasarkan teori ‘sekali selamat tetap
selamat’, Anda tentu saja akan tetap diselamatkan biarpun sudah melakukan pembunuhan. Tidak ada
hal yang dapat Anda lakukan untuk tidak diselamatkan.
Saya berkata, “Jadi jika seorang yang bukan Kristen melakukan, katakanlah, sebuah dosa kecil
seperti mencuri, apakah ia harus masuk ke neraka sementara orang Kristen yang membunuh dan
tidak bertobat akan tetap diselamatkan? Doktrin macam apa yang Anda ajarkan ini? Dari bagian
Alkitab yang mana Anda menemukan ajaran ini?” Kesalahan itu datang dari penalaran yang salah
bahwa ‘sekali anak tetap anak.’ Mereka lupa bahwa Anda bisa saja menjadi anak namun tetap hilang.
Dan hal ini adalah jauh lebih tragis ketimbang tidak pernah menjadi anak sama sekali.
Anak yang Hilang Diselamatkan karena Bertobat
Pikirkan hal ini dengan sangat hati-hati. Saya ulangi sekali lagi: Alkitab adalah sebuah Kitab tentang
anak-anak yang hilang. Ini adalah kisah yang tragis. Apakah Anda pikir anak yang bungsu itu akan
diselamatkan jika ia tidak bertobat? Perumpamaan ini bercerita tentang anak yang hilang dan
diselamatkan bukan karena ia adalah seorang anak, tetapi karena ia bertobat. Keberadaan sebagai
anak tidak ada artiya buat dia, jika ia tidak bertobat. Jika ia bisa diselamatkan tanpa harus bertobat,
maka kita tidak membutuhkan perumpamaan ini. Poin pokok dalam perumpamaan ini adalah bahwa
ia diselamatkan karena ia bertobat.
Lalu bagaimana dengan si sulung? Ia juga disebut anak. Tahukah Anda siapa yang diwakili oleh si
sulung ini? Jika Anda memperhatikan dengan teliti perumpamaan-perumpamaan dari Yesus,
beberapa dari antaranya bercerita tentang dua anak. Anak yang sulung selalu dihubungkan dengan
para ahli kitab dan orang-orang Farisi sementara yang bungsu dikaitkan dengan orang-orang berdosa
dan pemungut cukai. Ini adalah dua kelompok utama umat di Israel: para ahli kitab dan orang-orang
Farisi di satu pihak, dan orang-orang berdosa serta pemungut cukai di pihak lannya. Mereka itulah
dua anak ini. Itu sebabnya Yesus berkata kepada orang-orang Farisi dan ahli kitab, “Orang-orang
berdosa dan pemungut cukai akan masuk ke dalam kerajaan Allah tanpa kalian, karena mereka akan
bertobat. Tetapi kalian akan tertinggal di luar. Saat itulah kalian akan meratap dan menggertakkan
gigi.” Tidak ada orang yang diselamatkan tanpa pertobatan. Tidak ada ajaran alkitabiah yang
mengatakan bahwa setiap orang akan diselamatkan tanpa pertobatan.
Jangan Terlalu Yakin bahwa Anda adalah Anak!
Itu sebabnya mengapa Yohanes Pembaptis, nabi besar Allah, berkata, “Jadi hasilkanlah buah yang
sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu:
Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak
bagi Abraham dari batu-batu ini!” (Mat.3:8-9). Namun orang-orang Yahudi, seperti juga orang-
orang Kristen, mendasarkan keyakinan mereka pada keberadaan sebagai anak: “Kami adalah umat
yang terpilih. Kami telah dipilih oleh Allah.” Benar, itu semua karena anugerah, akan tetapi anugerah
juga bisa menyebabkan kita menjadi sombong. Lagi pula, oleh kasih karunia, saya yang dipilih,
bukan Anda. Ia telah memilih kami, bukan kalian. Ini adalah awal suatu kesombongan. Saya mau
tunjukkan bahwa dengan sikap seperti itu berarti Anda masih belum memahami pengajaran yang
alkitabiah tentang hal menjadi anak. Dan itu sebabnya mengapa di dalam Yohanes 8:41 orang-orang
Yahudi berkata kepada Yesus, “Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah,”
dengan kata lain, “Kami para anak.” Benar sekali, mereka memang para anak, akan tetapi Yesus
berkata di ayat 44, “Iblislah yang menjadi bapamu.” Apakah anak-anak Abraham berasal dari iblis?
Bukan, anak-anak Abraham adalah anak-anak perjanjian! Yesus berkata, “Dari buahmulah terlihat
bahwa kalian tidak lain adalah anak-anak iblis.” Ini bukan suatu pernyataan yang bermaksud
menghina. Ini adalah diagnosa tentang keadaan rohani mereka. Tidak, kita tidak boleh mendasarkan
keyakinan kita pada fakta bahwa kita telah dipilih untuk menjadi anak. Mari kita ingat poin ini baik-
baik.
Sangatlah penting bagi kita untuk tidak disesatkan oleh pengajaran palsu di zaman sekarang ini.
Dapat saya katakan bahwa mayoritas pengajaran di Gereja sekarang ini mencoba untuk mengatakan
kepada Anda bahwa yang perlu Anda lakukan adalah menjadi anak. Saudara-saudaraku, menjadi
anak adalah hal yang penting. Itu adalah langkah pertama. Namun jangan membayangkan bahwa
kedudukan sebagai anak adalah dasar dari jaminan keselamatan. Tidak ada dasar alkitabiah bagi hal
itu karena seiring dengan penghargaan itu datang pula suatu tanggungjawab. Semakin banyak Anda
menerima, semakin banyak Allah menuntut dari Anda. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih dari
Anda karena Anda adalah seorang anak. Dan itulah yang Ia katakan kaum Israel, “Karena engkaulah,
dan hanya engkaulah, umat yang Kupilih di atas bumi ini, maka Aku akan menghakimi engkau”
(Ul.7:6-7; Yeh.18:30). Itulah dasar dari penghakiman-Nya.
Ingatlah selalu bahwa perumpamaan ini tidak berkisah tentang orang tidak percaya yang tersesat,
melainkan tentang anak yang hilang. Camkanlah hal ini baik-baik. Dan di dalam perumpamaan ini,
anak-anak tersebut bahkan merujuk kepada kelompok-kelompok yang ada dalam kalangan umat
Yahudi: di satu pihak, orang-orang Farisi beserta para ahli kitab, dan di pihak lain adalah para
pemungut cukai dan orang-orang berdosa.
Allah adalah Bapa kepada Semua
Sekarang, mari kita perhatikan aspek lain di dalam perumpamaan ini: Kebapaan Allah. Allah disebut
sebagai Bapa. Kita sudah memahami bahwa kata ‘anak’ dipakai dalam pengertian yang sangat luas,
menunjukkan bahwa sekalipun orang yang tidak percaya tetap memiliki hubungan dengan Allah
karena Allah yang menciptakan mereka; keberadaan mereka bersumber pada Allah. Dalam
pengertian seperti itu, dia adalah keturunan Allah juga seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam
Kisah 17:28. Berdasarkan pengertian yang sangat luas itu maka Allah juga merupakan Bapa bagi
orang-orang yang tidak percaya karena keberadaan mereka bersumber dari Allah. Berarti
setiap orang harus bertanggung jawab kepada Allah, karena Allah adalah Bapa kepada setiap orang.
Tapi bagi orang-orang Kristen, Ia adalah Bapa di dalam pengertian hubungan yang lebih dekat, dan
juga Bapa bagi Yesus di dalam pengertian hubungan yang malah lebih dekat lagi.
Seperti yang dengan teliti disampaikan oleh Paulus, kita adalah anak-anak berdasarkan adopsi. Kita
memiliki “Roh yang menjadikan kita anak.” Tentu saja, kita tahu bahwa Yohanes berbicara tentang
‘kelahiran kembali’, dan ungkapan itu berbicara tentang keberadaan sebagai anak secara figuratif.
Tidak boleh dipahami secara harfiah, namun secara rohaniah. Artinya, kita menjadi anak-anak karena
kita sudah dilahirkan kembali oleh kuasa Allah. Tetapi Paulus lebih suka menggunakan istilah
‘ciptaan baru’ seperti yang dia tulis di dalam 2 Korintus 5:17, kita menjadi ciptaan baru di dalam
Kristus.
Dengan melihat bahwa Allah itu Bapa kepada kita semua, dalam pengertian yang lebih mendalam
bagi kita orang-orang Kristen ketimbang mereka yang non-Kristen, lalu bagaimana sikap kita
terhadap Allah? Pengajaran dari Yesus sangat menekankan hal ini: tentang Kebapaan Allah. Ini
adalah poin yang sangat penting di dalam pengajaran Yesus. Dan Yesus menunjukkan kepada kita di
dalam ajarannya bahwa Allah juga peduli pada orang-orang non-Kristen. Sebagai contoh, Yesus
berkata di dalam Khotbah di atas Bukit bahwa Allah menurunkan hujan kepada orang Kristen dan
yang non-Kristen. Ia tidak membatasi hujan-Nya hanya kepada orang Kristen saja. Ia memberikan
sinar matahari kepada orang Kristen dan yang non-Kristen. Semua itu karena Ia adalah Bapa di
dalam pengertian yang sangat luas, mencukupkan kebutuhan setiap umat-Nya, bahkan termasuk
burung-burung di udara serta bunga-bunga di padang. Bagaimana kita memperlakukan Allah sebagai
Bapa?
Kita sebagai orang Kristen memiliki keakraban yang lebih dekat kepada Allah karena kita mengenal-
Nya bukan hanya sebagai Pencipta tapi juga sebagai Penebus. Kita terikat kepada-Nya sebagai anak
dalam dua cara, sebagai Pencipta dan Penebus. Kita boleh menyebut-Nya Abba Bapa, bukan sekadar
‘Bapa’, tetapi Abba Bapa. Inilah unsur yang menyolok dari ajaran Yesus. Di dalam bahasa
Mandarin, Abba itu sama dengan Baba. Di dalam logat Shanghai, penyebutannya sangat mirip
dengan bahasa Aram, yaitu Ah-ba, suatu panggilan yang sangat akrab. Kadang-kadang kita memakai
kata Dia-dia [Papa]. Ah-ba sangat serupa dengan kata Ibrani, Abba. Mungkin istilah milik orang
Shanghai ini bersumber dari bahasa Ibrani! Saya tidak tahu, mungkin memang ada hubungan antara
keduanya. Jadi kita mendapati sesuatu yang sangat indah di sini.
Orang-orang non-Kristen tidak dapat memanggil Allah dengan Abba Bapa. Ia tidak dapat memanggil
dengan cara seperti itu, karena Anda baru bisa memakai istilah itu jika Roh Allah ada di dalam Anda.
Kata Abba mengungkapkan suatu hubungan yang sangat akrab yang tak pernah dapat dinikmati oleh
orang non-Kristen. Mereka tidak memiliki bentuk hubungan yang hidup dengan Allah. Hubungan
yang mereka miliki bersifat formal dalam pengertian luas Allah sebagai Bapa mereka, sebagai
Pencipta mereka. Akan tetapi mereka tidak berada di dalam hubungan yang akrab dengan Allah
dalam bentuk seperti hubungan seorang anak dengan ayahnya, di mana anak itu boleh memanggil
ayahnya dengan sebutan “Bapa, Papa, Papi dan sebagainya.” Anda pasti tidak akan memanggil orang
lain dengan sebutan “Papi”. Orang itu akan melotot ke arah Anda dan bertanya, “Siapa kamu?
Kenapa kamu panggil saya papi? Apa hak kamu memanggil saya seperti itu?” Tapi jika Anda datang
kepada ayah Anda dan memanggilnya, “Papa,” ia akan senang dengan panggilan itu. Tidak ada
masalah buatnya. Karena hubungan yang akrab itu memang Anda miliki.
Dosa terbesar yang dapat dituduhkan atas seseorang dalam budaya Tiongkok mungkin adalah bu xiao,
yaitu tidak hormat kepada orang tuanya. Di kalangan orang Tionghoa, kata bu xiao mungkin adalah
makian terburuk yang dapat Anda lontarkan terhadap seseorang. Tidak begitu penting apakah ia
seorang perampok bank selama ia masih xiao, yaitu masih menghormati dan mencintai orang
tuanya. Besar kemungkinan orang itu akan mendapat pengampunan jika ia merampok bank karena
ayahnya sakit keras dan ia tidak mampu membayar ongkos pengobatannya. Saya pikir seorang hakim
di Tiongkok akan tergerak untuk berbelas kasihan atas perampok bank ini. Mereka cenderung akan
berbelas kasihan kepada orang yang berbuat sesuatu karena alasan xiao. Jika Anda menyatakan
bahwa seseorang itu bu xiao, ia akan disingkirkan oleh masyarakat Tionghoa. Bahkan kuburanpun
tidak akan disediakan baginya! Ia dipandang tidak layak untuk tetap hidup! Riwayatnya sudah tamat!
Kalau kita sudah mengerti dan terbiasa dengan rasa hutang budi kepada orang tua, mengapa kita
masih belum juga mengerti bahwa hutang budi kita kepada Allah jauh melampaui hutang budi kita
kepada orang tua? Allah adalah Bapa di dalam pengertian yang jauh lebih mendasar ketimbang orang
tua kita.
Pikirkanlah tentang buah-buahan yang Anda makan. Sangat luar biasa nikmatnya! Perhatikan sebuah
jeruk. Buah ini dikemas dengan sangat sempurna. Kemasan kulitnya dilapisi lilin pelindung,
mempertahankan kesegarannya sampai waktu yang cukup lama. Jika Anda sudah mengupasnya, di
bagian dalam Anda akan menemukan daging buah yang dibagi dan dikemas sesuai dengan ukuran
mulut. Anda tidak usah menjejalkan seluruh daging buah ke dalam mulut Anda sekaligus. Setiap
bagiannya dirancang sempurna. Dan lagi, tidak ada juru masak di dunia ini yang dapat meniru
aromanya. Jika seorang ahli kimia mencoba untuk meniru rasa buah jeruk, hasilnya akan jauh
berbeda dengan hasil kreasi Bapa saya di dapur kreatif-Nya. Anda dapat segera merasakan adanya
bahan kimia yang asing. Sekalipun ia memiliki rasa yang sangat mirip dengan jeruk, Anda tetap tahu
bahwa itu bukan rasa yang alami. Rasa yang alami sangatlah sempurna. Tidak terlalu manis, sampai-
sampai mulut Anda terasa lengket. Kadang-kadang, ketika Anda sedang makan manisan, Anda
kesulitan dalam menggerakkan mulut Anda; gigi Anda terasa lengket. Terlalu banyak campuran
gulanya. Terlalu lengket. Tapi tidak demikian dengan jeruk. Rasa, aroma dan rancangannya
sempurna dan seimbang.
Ada bermacam-macam buah. Sebagai contoh, buah apel tidak dirancang seperti buah jeruk. Ketika
Anda menggigitnya, daging buah itu sangat memanfaatkan gigi anda, ia mengosok dan
membersihkan gigi Anda, sekaligus juga memijat gusi Anda. Segalanya sudah dirancang. Dan rasa
yang diberikan juga bermacam-macam. Jika Allah hanya membuat satu macam buah, dan kita semua
hanya bisa melihat buah jeruk, Anda akan bertanya, “Makanan apa lagi yang tersedia selain ini?” Di
dalam dunia ini, Allah menyediakan berbagai macam buah-buahan. Setiap jenis memiliki aroma,
kemanisan dan kenikmatan yang berbeda.
Pernahkah Anda menikmati buah persik? Wah! Rasanya betul-betul fantastis! Sering kali, ketika saya
makan buah persik, saya bertanya-tanya, “Bagaimana buah ini bisa terbentuk?” Kata yang cocok
untuk menggambarkan buah ini adalah ‘fantastik’! Dan lagi pula, anggaplah semua buah memiliki
rasa yang berbeda tetapi dengan bentuk dan tekstur yang sama, hal ini pasti akan membosankan juga.
Akan tetapi setiap buah memiliki tekstur yang berbeda – ada yang renyah, ada pula yang lembut.
Benar-benar luar biasa!
Ketika Anda menikmati buah-buahan itu, pernahkah Anda memikirkan asal muasalnya? Atau Anda
tidak peduli akan hal itu, dan cuma menjejalkannya ke dalam mulut. Ketika saya menikmati buah-
buahan, saya memikirkan betapa indahnya Abba Bapa menciptakan buah itu. Anda tidak akan dapat
memahami apa itu sukacita kehidupan jika Anda tidak mengenal Allah. Sangat indah menjadi
seorang Kristen karena kehidupannya sangat bermakna. Saya rasa menjadi orang non-Kristen berarti
hanya menjalani sebagian sisi saja dari kehidupan ini. Anda tidak akan dapat menikmati hidup ini.
Anda tidak akan dapat menikmati keindahan, rancangan, tujuan dan struktur dari setiap hal.
Perhatikanlah sekuntum bunga. Manfaat apa yang dimiliki oleh sekuntum bunga? Kami orang
Tionghoa sangat mementingkan manfaat suatu benda. Kami selalu menilai apa guna suatu benda.
Jika tidak ada gunanya, lupakan saja! Jika Anda memberi saya seikat bunga, mungkin saya akan
memandangi bunga itu dengan rasa kesal. Apa yang bisa saya lakukan dengan seikat bunga? Tidak
bisa dimakan, tak bisa dikenakan, lalu apa yang bisa dilakukan dengan bunga? Pemborosan saja!
Tapi coba amatilah bunga itu dan pikirkan warna, jenis, bentuk dan wanginya. Apakah Anda hanya
memikirkan manfaat praktisnya? Itu semua adalah hal-hal yang memberi sukacita, keindahan dan
memperluas pandangan kita karena mereka memperlihatkan kecantikan yang belum kita pahami
dengan utuh. Segala sesuatu memiliki tujuan dan rancangan. Apa manfaat praktis dari bunga bagi
setiap orang? Apa yang bisa dilakukannya? Tetapi Allah di dalam tujuan-Nya telah menetapkan
rencana bagi setiap dari hal-hal ini.
Atau lihatlah pada berbagai macam jenis pohon. Sejak kedatangan saya di Kanada, saya baru mulai
menghargai keberadaan pohon-pohon. Sungguh luar biasa! Selama ini saya menjalani hidup saya
tanpa pernah peduli pada pepohonan. Pernahkah Anda mengamati pohon-pohon? Bagi saya dulu,
setiap pohon sama saja. Hanya sebuah dundukan berwarna hijau. Sampai akhirnya saya mulai
mengamati setiap pohon dengan lebih dekat, dan saya membatin, “Wah! Ada begitu banyak jenis
pohon! Setiap daunnya memiliki bentuk dan rancangan yang berbeda. Beberapa jenis daun berubah
warna di musim gugur. Setiap pohon memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang kayunya keras, ada
pula yang lunak. Jika yang tersedia hanya kayu lunak, Anda akan kesulitan membangun rumah. Jika
hanya ada kayu keras, muncul pula kesulitan yang lain. Kayu-kayu itu bahkan memiliki corak dan
warna yang berbeda-beda. Sungguh luar biasa!”
Pepatah Tionghoa mengatakan, Yin shui si yuan – saat Anda meminum air, renungkanlah asal
muasal air itu. Saya pikir menjadi orang Kristen itu sangat indah. Benar-benar merupakan
kehidupan yang menggairahkan khususnya jika Anda jalankan apa yang diajarkan kepada kami,
orang-orang Tionghoa – yaitu merenungkan asal-usul segala sesuatu. Dengan begitulah saya
mendapatkan hati yang penuh syukur dan sembah, yaitu xiao dalam pengertian bakti kepada Allah.
Dan saya selalu berterima kasih kepada Allah, “JalanMu benar-benar sangat indah! Engkau adalah
Bapa yang luar biasa bagiku. Sungguh besar kemurahan, kasih karunia dan kebaikanMu kepadaku.
Engkau sungguh ajaib!” Semakin Anda memahami ciptaan Allah, semakin ajaib Allah bagi Anda.
Ada seorang teman saya yang menekuni bidang fisika, dan ia mengatakan bahwa semakin dalam ia
mempelajari bidang itu, semakin kagum hatinya melihat keajaiaban ciptaan Allah. Hatinya dipenuhi
oleh semangat pengabdian. Ada lagi seorang teman saya yang menekuini bidang kedokteran. Dan
suatu hari, ia terlihat sangat gembira.
Lalu saya bertanya, “Apa yang membuatmu gembira hari ini?”
“Sungguh ajaib! Rancangan Allah sungguh ajaib!”
Saya tanyakan, “Apa yang kamu bicarakan?”
Jawabnya, “Tulang sendi lutut.”
Tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya bahwa tulang sendi lutut adalah hal yang ajaib. Lutut
yang saya miliki, bagi saya, tampaknya bukan yang tercantik di antara yang lainnya. Hanya terlihat
sebagai potongan tulang yang menonjol ke depan.
Namun teman ini berkata, “Rancangan tulang sendi lutut sungguh sangat ajaib! Benar-benar
fantastik!” Kemudian ia menjelaskan segala sesuatu tentang tulang sendi lutut kepada saya.
Sebelumnya, saya tidak pernah melihat ada orang yang melonjak kegirangan karena urusan lutut.
Akan tetapi, semakin Anda dapat memahami ciptaan Allah, semakin Anda memahami tentang
rancangan dan manfaatnya, akan semakin mempesona hal itu bagi Anda! Masalah utama kita adalah
ketidaktahuan. Itulah persoalan kita. Kalau saja kita lebih memahami keajaiban rancangan otak kita,
struktur organ-organ tubuh dan tujuannya, bagaimana semuanya dirancang, maka kita pasti akan
memuji Allah. Kita akan berkata, “Ya Allah, Engkau sungguh ajaib!” Kita akan memiliki xiao. Kita
merasa banyak berhutang budi kepada orang tua kita. Mereka sungguh sangat baik kepada kita.
Mereka sangat menyayangi kita, dan penghargaan serta penghormatan yang tinggi layak mereka
dapatkan dari kita. Namun jauh lebih besar lagi hutang budi kita kepada Allah, yaitu Bapa dari segala
bapa, Orang tua dari segala orang tua! Sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab, Bapa dari
semua (Ef.4:6).
Allah adalah Bapa yang Sangat Berbelas Kasihan
Sekarang kita sampai kepada poin berikutnya di dalam perumpamaan ini: Allah tampil sebagai Bapa
dengan belas kasihan yang sangat besar. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, kita perlu
mengoreksi pemahaman kita tentang Allah. Kita selalu saja memandang Allah sebagai Shang Di.
Dalam bahasa Mandarin, Shang Di berarti, “Kaisar di atas.” Shang berarti atas, dan Di berarti Kaisar.
Dan kami memandang Allah seperti Shang Di yang dihormati, disegani dan ditakuti, Kaisar di atas
segala kaisar.
Saya pernah berkunjung ke Tien Tan (Kelenteng dari Surga) pada waktu masih sekolah, ketika saya
di Beijing, dan saya sangat terkesan dengan Tien Tan. Sebuah bangunan yang sangat indah. Di satu
bagian gedung itu, di dalamnya, tidak tertulis kata-kata lain kecualiShang Di – Tuhan, Kaisar Surga.
Kami orang Tionghoa cenderung membayangkan kata Di, kaisar, sebagai satu Pribadi yang
menakutkan, penuh dengan kuasa, dan biasanya, kami tidak mengaitkan ide belas kasihan dengan
seorang kaisar.
Tetapi di dalam Alkitab, kita harus belajar untuk berpikir dengan cara yang berbeda. Allah sangatlah
berbelas kasihan. Biasanya, sekali setahun, Kaisar Tiongkok mengunjungi Tien Tan dan
mempersembahkan kurban kepada Allah. Sungguh hal yang luar biasa, bahkan sebelum datangnya
zaman Alkitab, konsep tentang satu Allah sudah ada. Di dalam beberapa tulisan klasik, Shang
Di juga disebut sebagai Tien, sama dengan yang tertulis di dalam Alkitab berbahasa Tionghoa. Di
Matius, kita melihat kata ‘surga atau langit (heaven)’ yang merupakan sebutan bagi Allah di
kalangan orang Yahudi. Di dalam bahasa Mandarin, julukan penghormatan yang diberikan juga
sama. Tien dipakai untuk menyebut Allah. Kata Tien ini tidak sekadar berarti langit. Dan jika
ditelusuri lebih jauh ke belakang, di dalam tulisan-tulisan klasik China, kata tien selalu mengacu
kepada Allah. Sebagai contoh, pepatah Mou shi zai ren, cheng shi zai tien berarti merencanakan itu
di pihak manusia, melaksananya ada di pihak Allah. Pelaksanaan tidak dengan mengandalkan
manusia melainkan Allah. Jadi kita memiliki konsep tentang Allah yang sangat jelas di Tiongkok.
Dan kaisar mempersembahkan kurban kepada Allah karena ia memahami bahwa manusia pada
dasarnya berhutang segala-galanya kepada Allah, jadi manusia berhutang ketaatan kepada Allah.
Sayangnya, konsep tentang Allah bukan memandang-Nya sebagai Bapa tetapi lebih sebagai Kaisar,
jadi gambaran yang mereka bayangkan adalah Allah sebagai satu Pribadi yang sangat menakutkan.
Di dalam perumpamaan ini, kita menemukan kata ‘belas kasihan’ (Luk.15:20) ini, dan saya ingin
membawa pengamatan Anda pada keindahan ajaran Biblika tentang belas kasihan. Kata dalam
bahasa Yunani yang diterjemahkan sebagai belas kasihan adalah, splagnizomai.
Dan splagnizomai berasal dari kata Yunani splagnon yang berarti bagian dalam dari tubuh, seperti
jantung, hati atau paru-paru. Itu semua disebut splagnon, jeroan, bagian dalam dari tubuh seseorang.
Dan metafora dari kata itu bermakna perasaan terdalam dari Anda. Jadi kata ini bermakna belas
kasihan, dalam pengertian Allah menyayangi kita dari lubuk hati-Nya yang terdalam. Suatu
ungkapan perasaan yang sangat dalam. Kata ini hanya dipakai jika Anda bermaksud untuk
mengungkapkan perasaan yang terdalam, bukan sekadar rasa sayang saja. Dan kata ini dipakai di
dalam perumpaman kali ini dalam menggambarkan belas kasihan sang ayah, rasa sayang dan simpati
yang sangat mendalam, perasaan yang dipendamnya terhadap anak yang hilang namun sudah
bertobat dan kembali.
Yesus Memiliki Belas Kasihan dan Mengajarkannya
Menariknya, kata ‘belas kasihan’ dipakai dalam Perjanjian Baru hanya dalam referensi kepada Yesus.
Di dalam Perjanjian Baru kita mendapatkan enam referansi:
Yang pertama dipakai dalam Matius 9:36. Yesus kala itu sedang memandangi kerumunan orang-
orang yang mengikuti dia: tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka
lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. Saat Yesus menatap kita sekarang ini,
Anda boleh yakin bahwa Yesus menatap ke arah kita dengan keprihatinan yang mendalam, belas
kasihan yang mendalam, atas keadaan kita yang seperti domba tanpa gembala.
Yang kedua terdapat di Matius 14:14. Kata ini dipakai dalam kejadian pemberian makan kepada
5.000 orang di padang belantara: Ketika Yesus mendarat, ia melihat orang banyak yang besar
jumlahnya, maka tergeraklah hatinya oleh belas kasihan kepada mereka dan ia menyembuhkan
mereka yang sakit. Ketika Yesus melihat mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan di tengah
tempat yang sepi, hatinya tergerak oleh belas kasihan kepada mereka. Alasan mengapa ia memberi
makan orang banyak itu bukanlah karena ia ingin membuat mukjizat. Ini adalah pandangan keliru
yang sering terjadi. Alkitab memberi tahu kita bahwa Yesus memberi makan 5.000 orang karena
didorong oleh belas kasihan kepada mereka. Ia merasa sedih melihat mereka kelaparan.
Referensi yang ketiga ada di Matius 15:32, dan ini adalah peristiwa pemberian makan kepada 4.000
orang: Lalu Yesus memanggil murid-muridnya dan berkata: “Hati-ku tergerak oleh belas kasihan
kepada orang banyak itu. Sudah tiga hari mereka mengikuti aku dan mereka tidak mempunyai
makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di
jalan.” Sekali lagi, Yesus memberi makan 4.000 orang karena hatinya tergerak oleh belas kasihan
pada mereka yang kelaparan.
Yang keempat ada di Markus 1:41. Yesus berbelas kasihan kepada seorang penderita kusta, jenis
orang yang selalu diabaikan oleh masyarakat. Penderita kusta terlihat menjijikkan karena seluruh
tubuh dan wajah mereka dipenuhi oleh luka. Mereka tersisih dari masyarakat dan tak ada yang mau
mendekatinya karena orang takut tertular kusta itu. Dan Yesus memandang ke arah penderita kusta
itu dan berbelas kasihan kepadanya: Maka tergeraklah hatinya oleh belas kasihan, lalu ia
mengulurkan tangannya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau
tahir.”
Yang kelima ada di Matius 20:34 ketika Yesus berbelas kasihan, perasaan mendalam dari batinnya
terhadap atas dua orang buta. Ia menatap dengan penuh belas kasih kepada kedua orang buta itu,
yang terpaksa mengemis karena di dalam masyarakat mereka itu, orang buta tidak dapat memperoleh
pekerjaan. Mereka harus seumur hidup menjadi pengemis. Dan Yesus berbelas kasihan kepada
mereka: Maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan, lalu ia menjamah mata mereka dan
seketika itu juga mereka melihat lalu mengikuti dia.
Yang keenam terdapat di Lukas 7:13. Yesus berbelas kasihan kepada seorang janda di Nain yang
sedang meratapi kematian anak tunggalnya, dan janda itu menangis sambil mengikuti orang-orang
yang menggotong jenazah anaknya ke kuburan: Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah
hatinya oleh belas kasihan, lalu ia berkata kepadanya: “Jangan menangis!” Ia merasa sangat
kasihan kepada janda itu. Dia menghentikan arak-arakan itu dan membangkitkan anak si janda itu.
Sekali lagi, Yesus membuat mukjizat bukan untuk membuktikan bahwa ia mampu membangkitkan
orang mati. Yesus tak pernah berusaha untuk pamer kuasa. Ia tidak pernah berusaha untuk
membuktikan sesuatu. Ia melakukan semua hal itu atas dorongan belas kasihan. Ia membangkitkan
anak si janda karena dorongan belas kasihan. Alasannya melakukan mukjizat itu adalah rasa belas
kasihan kepada si janda yang sedang bersedih. Camkanlah hal ini.
Sangat mengagumkan bahwa kata ‘belas kasihan’ di dalam Perjanjian Baru ini hanya dipakai dengan
merujuk kepada Yesus. Kata ini bahkan tidak muncul di dalam surat-surat rasul Paulus. Selain itu,
kata ‘belas kasihan’ ini juga dipakai langsung di dalam ajaran Yesus, dalam tiga referensi, tetapi di
satu referensi, kata ini muncul dua kali, jadi total keseluruhannya bisa dikatakan ada empat referensi.
Yang pertama muncul dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik, di Lukas 10:33: Lalu
datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang
itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.
Referensi yang kedua ada di dalam perumpamaan ini, yaitu perumpamaan tentang anak yang hilang
di Lukas 15:20, di mana sang ayah tergerak oleh belas kasihan melihat keadaan anaknya yang
menyedihkan, kurus, kelelahan, berpakaian lusuh dan telanjang kaki. Itu adalah anaknya, dan sang
ayah ini berbelas kasihan kepada anaknya: Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia
masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu
berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.
Yang ketiga dan sekaligus keempat ada di Matius 18:33, tentang seorang hamba yang mendapat
belas kasihan dari tuannya ketika ia tidak sanggup melunasi hutangnya, dan hutang itu dihapuskan.
Sayang sekali, hamba itu tidak berbelas kasihan kepada hamba yang lain: “Bukankah engkaupun
harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?“
Dan seluruh gambaran yang indah tentang kebapaan Allah, ungkapan belas kasihan-Nya yang
terdalam, dirumuskan dengan sangat indah di dalam kata-kata yang terdapat dalam Lukas 6:36,
“Hendaklah kamu murah hati (merciful, penuh belas kasihan), sama seperti Bapamu adalah murah
hati (merciful, penuh belas kasihan).” Yesus mengajarkan bahwa Allah, Bapa kita penuh dengan
belas kasihan. Dari sini, kita dapat melihat betapa indahnya gambaran tentang keberadaan manusia
sebagai anak dan Kebapaan Allah.
Kunci Pemahaman perumpamaan ini: Si Anak Bertobat
Di kedua perumpamaan yang sebelumnya (tentang domba dan uang dirham yang hilang), domba dan
koin itu bersikap pasif. Mereka tidak mengambil peranan apapun. Si gembala dan perempuan itulah
yang melakukan segalanya. Namun jika Anda hanya mengambil salah satu saja dari ketiga
perumpamaan itu, misalnya tentang domba yang hilang saja, maka Anda akan sampai kepada doktrin
yang keliru yang berkata bahwa Allahlah yang melakukan segalanya sedangkan manusia tidak
berperan apa-apa di dalam keselamatan. Atau bahwa peranan manusia adalah pasif sepenuhnya.
Seseorang tinggal duduk menunggu keselamatan dari Allah. Apa yang dilakukan oleh si domba?
Domba itu hanya duduk diam dan tidak berbuat apa-apa. Ia hanya menanti sampai Allah (sang
gembala) datang dan menyelamatkannya. Nah, jika Anda membangun doktrin keselamatan dengan
dasar seperti itu, Anda akan masuk ke dalam salah satu bentuk ajaran Calvinisme – ajaran tentang
kepasifan manusia dalam berhadapan dengan aktifitas Allah. Padahal, kedua perumpamaan itu baru
lengkap jika perumpamaan yang ketiga ini dimasukkan.
Di dalam perumpamaan tentang anak yang hilang ini, pada kenyataannya, sang ayah justru tidak
berperan aktif; ia berdiam di rumah menantikan anaknya kembali. Si anaklah yang melakukan
segalanya. Anak itu bertobat. Anak itu yang memutuskan apa yang akan ia katakan kepada ayahnya.
Anak itu yang pergi kembali kepada ayahnya. Namun, jika Anda membangun doktrin hannya
berdasarkan perumpamaan ini saja, Anda juga akan masuk dalam kesimpulan yang salah, bahwa
manusia yang melakukan segalanya sedangkan Allah tidak berbuat apa-apa. Anda harus memakai
ketiga perumpamaan ini secara serentak untuk dapat melihat gambaran yang selengkapnya.
Kesalahan dari orang-orang Calvinis tepatnya pada masalah penekanan ini: mereka hanya berfokus
pada kedua perumpamaan yang pertama dan mengabaikan yang ketiga, yaitu Perumpamaan tentang
Anak yang Hilang. Itu sebabnya, para pendukung Calvin mengajarkan bahwa Allah melakukan
segala-galanya dan manusia tidak perlu berbuat apapun. Anda cuma perlu duduk menanti sampai
Allah datang menyelamatkan Anda. Malahan, iman Andapun dinyatakan sebagai karunia. Pada
dasarnya Anda tidak memiliki iman sama sekali. Semuanya merupakan pemberian, jadi bahkan di
dalam hal iman, Anda juga tinggal menerima saja, Anda pasif. Ini adalah pendapat yang terlalu
ekstrim, dan jelas tidak sesuai dengan Alkitab. Dan saya harus menyatakan hal ini dan
menyatakannya dengan tegas.
Yesus sama sekali tidak mengajarkan hal ini. Si anak teringat pada kasih ayahnya dan ia bertobat.
Perhatikan bahwa di dalam keseluruhan perumpamaan ini, si anaklah yang mengambil peranan aktif
sampai dengan kepulangannya ke rumah. Hal ini sangat penting untuk kita ingat-ingat. Jika kita
sudah paham akan hal ini, kita juga akan dapat melihat bahwa pertobatan adalah saat kita
terbangun melihat kenyataan dunia rohani. Sebagaimana yang sudah Anda lihat di dalam ayat 17,
di situ dikatakan bahwa ia menyadari keadaannya. Ia terbangun.
Di Efesus 5:14 kita baca, Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati
dan Kristus akan bercahaya atas kamu. Ini pernyataan yang penting. Jika Anda belum mengenal
Allah, maka keadaan Anda sama seperti anak bungsu yang boros ini yang masih lelap dalam tidurnya.
Anda masih belum terbangun. Anda masih belum memahami realitas kerohanian. Anda masih
tinggal di dalam mimpi. Sekaranglah saatnya bangun dan melihat realitas Allah. Ada beberapa orang
yang susah dibangunkan sehingga dibutuhkan benturan keras untuk membangunkan mereka. Si
bungsu ini masih terlelap. Ia masih asyik menikmati dunia khayalnya sampai akhirnya dia terbenam
dalam kekacauan.
Dosa dari Pengingkaran terhadap Allah
Perumpamaan ini sangat mengena dengan kehidupan saya. Saya tidak bisa menceritakannya secara
panjang lebar sekarang ini kesaksian hidup saya, akan tetapi si bungsu itu mengalami hal yang sangat
mirip dengan pengalaman saya. Dulu saya menjalani hidup di dalam dunia yang tidak nyata. Saya
menjalani hidup sebagai seorang yang agnostik (tidak peduli kepada Tuhan) atau ateis (tidak percaya
adanya Tuhan). Saya terombang-ambing di antara keduanya. Secara filsafat, agnostikisme lebih
layak diterima ketimbang ateisme; karena ateisme tidak memiliki dasar pemikiran yang masuk akal.
Saya terombang-ambing di antara kedua aliran pemikiran itu. Saya menjalani kehidupan di dunia
tidak nyata yang saya bangun di dalam diri saya ini sampai akhirnya terjerumus ke dalam masalah
seperti yang dialami oleh si anak bungsu itu. Sampai pada suatu hari, ketika saya duduk di dalam
penjara penguasa Komunis, saya tersadar dan berkata, “Apa yang saya lakukan ini?” Sangat serupa
dengan anak yang hilang di dalam perumpamaan ini yang berkata, “Aku seharusnya bisa tetap
tinggal dengan bapa menjalani hidup yang berkelimpahan. Sekarang malahan harus duduk bersama
babi!” Seperti itulah keadaan saya pada waktu itu. Saya duduk di halaman penjara, di bawah
todongan senapan mesin seorang penjaga Komunis, dan saya tersadar. Dibutuhkan pengalaman yang
seburuk itu untuk membangkitkan kesadaran saya. Saya membatin, “Apa yang sudah saya lakukan
ini?” Dan kemudian saya menatap ke atas dan bertanya, “Bagaimana dengan Allah yang selama ini
tidak saya pedulikan?” Lalu untuk pertama kalinya, saya berkata pada diri sendiri, “Aku tahu apa
yang harus kukatakan kepada Allah.” Dan saya mulai menyusun doa di dalam hati saya dan
memanjatkan doa tersebut. Saya bertobat, dan saya sangat kagum ketika mendapati bahwa Allah
sangat berbelas kasih. Allah yang sudah saya perlakukan dengan kurang ajar, ternyata sangat
berbelas kasihan kepada saya!
Anda mungkin tidak berpikir bahwa Anda sudah melakukan banyak dosa. Lihatlah anak yang hilang
ini yang telah meninggalkan rumahnya. Apakah ia sudah menghina bapanya? Apakah ia sudah
melecehkan bapanya? Apakah ia sudah mengutuki bapanya? Tidak. Apakah ia mencuri sesuatu dari
bapanya? Tidak. Ia meminta bagiannya dan ia mendapatkan itu. Mungkin caranya sedikit memalukan,
tidak elok, akan tetapi itu tidak salah di sisi hukum, tidak berdosa. Ia tidak melanggar hukum apapun.
Lalu bagaimana cara kita memahami situasi ini? Apakah ia sudah berbuat kasar kepada ayahnya?
Tidak. Jadi, ia tidak mencuri, tidak membunuh – tidak melakukan hal yang jahat. Lalu apa dosanya?
Kesalahan apa yang dibuat oleh anak ini? Hanya satu: ia menyangkal ayahnya.
Apa kesalahan yang Anda lakukan sebagai seorang non-Kristen? Apakah Anda melakukan
pembunuhan? Pencurian? Atau merampok bank? Tidak. Kesalahannya adalah bahwa Anda telah
berpaling dari Allah. Pada dasarnya Anda telah bu xiao. Anda telah menolak untuk memuliakan
Allah, Bapa segala yang ada, sumber dari hidup kita. Itulah kejahatan Anda. Itulah hal yang saya
lakukan dulu. Saya bahkan melakukan lebih dari itu. Saya sudah menghina dan mengolok-olok
orang-orang Kristen, walaupun saya tidak menghina Allah. Saya tidak mencuri, merampok, tidak ada
tindak kriminal yang pernah saya lakukan, akan tetapi saya justru melakukan hal yang terburuk –
membelakangi Allah. Saya berkata, “Aku tidak punya waktu untukMu. Aku akan menjalani hidup
dengan caraku sendiri. Selamat tinggal.”
Ketika saya ingin berbalik kepada-Nya, saya menyadari bahwa saya tidak berhak untuk berbicara
kepada-Nya. Namun sungguh besar belas kasihan-Nya! Ia berlari menyambut saya! Dan tempat yang
dipilih sungguh luar biasa, saya bertemu dengan Allah di dalam penjara penguasa Komunis. Betul-
betul tempat yang luar biasa! Saya bersyukur kepada Allah atas kehadiran kaum Komunis dalam hal
ini. Jika pihak Komunis tidak pernah datang, mungkin saya tidak akan pernah menjadi orang Kristen.
Segala sesuatu terjadi dengan tujuan yang sudah pasti, bahkan peristiwa kemenangan kaum Komunis
sekalipun. Jika Tiongkok tidak dimenangkan oleh kaum Komunis, saya ragu apakah saya dapat
menjadi Kristen. Dengan pengalaman segawat itulah saya dibangunkan pada kenyataan. Saya
tersadar dari mimpi dan bertemu dengan Allah. Suatu perjumpaan dengan Allah yang sangat
mengesankan yang terjadi di halaman penjara, yang belum pernah dapat saya bayangkan sebelumnya.
Saya bertemu dengan Allah ketika sedang duduk di halaman penjara itu. Saya bercakap-cakap
dengan-Nya. Dan saya mengalami Dia dalam suatu cara yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh
mereka yang belum pernah mengalami Allah. Pengalaman ini tidak dapat diterangkan. Allah hadir
melingkupi saya, dan seluruh tubuh saya dipenuhi oleh rasa sukacita, sukacita yang tidak dapat saya
pahami. Pengalaman pertemuan ini tidak dapat saya pahami secara nalar dan tidak juga dapat saya
jelaskan menurut bahasa nalar.
Jaminan Hanya ada di dalam Allah, Bapa kita yang Penuh Belas kasih
Kita akan masuk ke dalam poin yang terakhir walaupun masih ada banyak kekayaan makna di dalam
perumpamaan ini yang dapat kita gali. Poin ini dapat diilustrasikan dengan memakai pengalaman
saya di dalam kamp tahanan kaum Komunis itu. Sesudah Allah menempatkan saya di tempat yang
sangat rendah seperti itulah baru saya siap untuk bertemu dengan-Nya. Bagaimana menurut Anda
jika si bungsu ini, ketika ia sedang duduk di antara babi-babi, berkata pada dirinya sendiri, “Nah,
saya ini masih seorang anak! Jika saya menuntut ke pengadilan, mungkinkah dia akan menyangkal
bahwa ia adalah ayah saya dan saya adalah anaknya?” Anggaplah ia memutuskan, “Saya akan pulang
dan berkata, “Sudahlah bapa, bagaimanapun juga saya ini kan anakmu. Engkau tahu siapa saya,
bukankah begitu? Sekarang ini saya terlihat lusuh, tetapi nama keluarga saya masih Chang, bukankah
begitu? Engkau adalah ayah saya dan engkau tidak mungkin dapat menyangkal hal itu. Ini akte
kelahiran saya. Semua keterangan ada di sana.”” Menurut Anda, jika dia berbuat seperti itu, apa yang
akan terjadi dengan si bungsu ini?
Saya lihat ada begitu banyak orang Kristen yang berperilaku seperti ini. Mereka berpikir bahwa pada
Hari itu, mereka akan datang menghadap kepada bapa dan berkata, “Lihat, ini surat baptis saya, saya
dibaptis di sebuah gereja yang sangat bagus, Gereja Injil di Montreal (Kanada). Tempat yang cukup
layak untuk beribadah. Lihatlah keterangan di dalam surat itu. Ini tanda tangan pendetanya.
Sekalipun mungkin engkau tidak bisa membaca, tentunya engkau tahu bahwa itu adalah tanda tangan.
Ini surat resmi. Jadi, sekarang saya datang. Saya mau mengklaim keselamatan saya! Saya memang
tidak menjalani hidup selayaknya sebagai orang Kristen. Cukup banyak dosa yang saya perbuat.
Cukup banyak tindakan ngawur yang saya lakukan. Bahkan mungkin kualitas kehidupan rohani saya
sebagai orang Kristen masih di bawah kualitas kehidupan orang yang non-Kristen. Tapi saya punya
surat baptis. Saya adalah seorang anak!”
Dan orang-orang yang malang itu mengira bahwa Allah akan berkata, “Oh, mari sini anakKu!
Baiklah, karena kamu punya surat baptis, Aku terima kamu sebagai anak dan engkau boleh kembali
ke rumah.”
Seperti kebanyakan pengalaman orang-orang Kristen pada hari itu, Anda juga akan sangat terkejut!
Jika Anda mendasarkan keselamatan Anda pada klaim anda sebagai anak, tamatlah riwayat Anda! Ini
bukan untuk menakut-nakuti.
Kita berbicara tentang keberadaan sebagai anak di dalam perumpamaan ini. Si anak bungsu baru
menjadi layak sebagai anak justru saat ia menyadari bahwa ia tidak layak untuk menjadi anak. Si
bungsu ini menjadi anak seutuhnya baru pada saat ia menyadari bahwa ia sesungguhnya tidak
mempunyai hak untuk menjadi anak. Ini adalah perbedaan yang mendasar antara si bungsu dan si
sulung, anak namun belum menjadi anak. Ini adalah poin yang harus kita pegang dan pahami secara
mendalam. Ketika si bungsu membatin, “Aku akan berkata kepada bapa, ‘Saya tidak layak menjadi
anakmu. Berilah saya tempat di antara para hambamu,'” saat itulah ia berada dalam keadaan yang
layak menerima anugerah. Anugerah bukanlah anugerah jika Anda dapat menuntut pemenuhannya.
Waspadalah terhadap setiap doktrin atau pengajaran yang mendorong Anda untuk berpikir bahwa
pada Hari Penghakiman nanti Anda berhak untuk menuntut keselamatan bagi Anda, bahwa Anda
berhak untuk memperolehnya atas dasar suatu tanggal dan bulan anda percaya. Setiap orang yang
berpikir seperti itu akan segera mendapatkan kejutan besar. Hanya ada satu macam orang yang akan
mendapatkan warisan, yaitu orang miskin. “Berbahagialah orang yang miskin.” Mereka tidak
memiliki hak; dan mereka tidak menuntut hak apapun. Mereka hanya datang dalam kerendahan hati
dan bertobat.
Saya beritahu Anda bahwa saya akan menjadi orang yang sangat bodoh jika saya menghadap kepada
Allah di Hari Penghakiman itu dan berkata, “Lihat, saya seorang pendeta. Saya sudah memberitakan
Injil selama bertahun-tahun! Saya berkhotbah di dalam banyak seminar dan KKR. Lihat saja betapa
banyak peserta yang hadir di sana, mereka semua tahu bahwa saya memberitakan Injil, bukankah
begitu? Saya adalah seorang Kristen, dan bukan hanya itu, saya seorang pendeta! Jadi kalau ada
orang yang berhak masuk ke dalam kerajaan Allah, sayalah orang itu! Perintahkanlah para malaikat
untuk meniupkan terompet menyambut saya!” Saya beritahu Anda, jika saya datang kepada Allah
dengan cara seperti ini, Ia sama sekali tidak akan ada waktu untuk saya.
Pada Hari itu, saat saya datang kepada Allah, saya akan berkata, “Tuhan, saya tidak punya apa-apa
yang dapat saya persembahkan padaMu. Saya tidak mempunyai klaim apapun. Kiranya Kau
berkenan menerima saya sebagai hambaMu. Saya sudah mengusahakan apa yang dapat saya lakukan.
Pekerjaan saya sungguh tidak berarti sekalipun itu sudah saya lakukan dengan segenap kemampuan
saya di dalam kasih karuniaMu. Karena keterbatasan saya, hasilnya memang tidak memadai. Saya
sungguh memohon kiranya Engkau mau menempatkan saya di antara para hambaMu.” Hanya sikap
hati seperti itu yang dicari oleh Allah. Ia tidak punya waktu untuk berurusan dengan orang-orang
yang angkuh dan meninggikan diri. Dan jika Anda pernah menerima doktrin atau ajaran yang
menempatkan Anda di dalam semacam ‘jaminan’ seperti itu, lupakan saja! Tidak ada landasan
alkitabiah yang meneguhkan ajaran itu. Seperti yang diceritakan oleh Yesus, anak ini diterima karena
ia pulang kepada ayahnya, memohon untuk boleh diterima sebagai hamba atau budak. Ingatlah hal
itu baik-baik. Camkanlah hal ini baik-baik.
Saya berdoa agar Anda dapat mempelajari sikap ini karena inilah kunci pemahaman seluruh
perumpamaan ini. Jika Anda mencari sesuatu pelajaran dari perumpamaan ini, maka poin inilah hal
utama yang disampaikan oleh perumpamaan ini. Bukan sekadar kepulangan si anak bungsu yang
diceritakan. Yang terpenting adalah dengan cara bagaimana si bungsu ini pulang. Yang
terpenting adalah perubahan besar yang sudah terjadi di dalam sikap si anak bungsu itu.
Rasul Tuhan yang besar, Paulus, bermegah hanya dalam satu gelar saja, yaitu “hamba atau budak
Yesus Kristus.” Ia tidak menuntut kehormatan yang lebih tinggi ketimbang sekadar sebagai seorang
budak Yesus. Pada zamannya, seorang pekerja dengan upah harian masih berkedudukan lebih tinggi
dari pada seorang budak. Seorang pekerja harian mempunyai sedikit kemerdekaan, hal yang tidak
dimiliki oleh seorang budak. Paulus hanya berkeinginan untuk dapat diterima sebagai salah satu
budak Yesus Kristus. Paulus tidak bermegah atas keberadaannya sebagai anak. Ia menyatakan
dengan sangat tegas, “Memang benar, kita menantikan pengangkatan sebagai anak. Namun di atas
segalanya, saya bermegah hanya atas kesempatan istimewa menjadi seorang hamba atau budak
Yesus Kristus.”
Seorang hamba atau budak tidak menerima penghargaan atau balas jasa setelah ia melakukan segala
sesuatu. Ia sekadar dipandang telah menjalankan tugasnya. Pernahkah Anda melihat ada budak yang
datang kepada majikannya dan berkata, “Lihat, perhatikan prestasi saya”? Apapun yang sudah Anda
kerjakan bagi Tuhan, tidak peduli sebesar apapun prestasi Anda, tidak lebih dari sekadar menunaikan
apa yang memang sudah seharusnya Anda kerjakan.
Inilah arti dari ‘keselamatan oleh anugerah’. Anugerah berarti “Tidak ada satu hal pun yang layak
untuk saya banggakan. Saya tidak menuntut apa-apa, saya tidak membanggakan keberadaan sebagai
anak yang telah diberikan kepada saya.” Hal yang paling berbahaya adalah membanggakan anugerah
seolah-olah anugerah itu merupakan hak Anda. Mari saya ingatkan bahwa, di dalam pengajaran yang
alkitabiah, segala sesuatu yang dilandasi oleh hak bukanlah anugerah. Segala sesuatu yang menjadi
hak Anda pasti berasal dari hasil usaha Anda sendiri. Segala sesuatu yang berasal dari anugerah tidak
pernah merupakan hasil perjuangan. Jika kita menjadi anak, hal itu terjadi bukan karena kita
memiliki hak atas hal itu. Dan sekalipun saya adalah anak, saya tidak dapat mengklaim keberadaan
saya sebagai anak sebagai satu hak karena hal itu selalunya merupakan anugerah, dan anugerah tidak
pernah dilandasi oleh hak.
Pada Hari itu, saya akan datang kepada Allah bukan sebagai orang penting, namun sebagai seorang
berdosa yang telah bertobat yang diselamatkan oleh anugerah. Dan saya akan menghadap Allah Bapa
dan berkata, “Inilah saya, dengan penuh sukacita menerima dan terus menerima anugerahMu.” Dan
saya memiliki keyakinan itu bukan karena saya adalah anak, melainkan karena belas kasih-Nya.
Keyakinan itu tidak berdasarkan kedudukan saya, sebagai anak atau apapun itu, tetapi berdasarkan
pada siapa Allah itu – Bapa yang penuh dengan belas kasihan.
Akan tetapi Dia tidak akan berbelas kasih kepada orang-orang yang tinggi hati, orang-orang yang
membanggakan kedudukan mereka sebagai anak seolah-olah hal itu merupakan hak yang dapat
mereka klaim. Orang-orang ini masih belum memahami apa arti keberadaan sebagai anak. Akan
tetapi Gereja di zaman sekarang ini dipenuhi oleh orang-orang Kristen yang berkata, “Saya pasti
selamat karena saya adalah anak Allah.” Anda baru bisa hidup dan berlaku seperti seorang anak jika
Anda menjalani hidup dan berperilaku seperti seorang yang sadar bahwa Anda tidak layak bahkan
untuk berada di antara para pekerja harian apa lagi kelayakan untuk menjadi anak. Semoga Anda
dapat memahami hal itu.
Kiranya Allah menganugerahkan kesempatan bagi kita untuk bisa kembali kepada-Nya dalam
pertobatan, hari demi hari. Semoga saya bisa menjalankan hal ini setiap hari sehingga jika Hari itu
tiba, saya dapat datang menghadap kepada-Nya di dalam jaminan kepastian iman, dalam belas kasih-
Nya kepada orang-orang yang bertobat dan rendah hati. Inilah jaminan kepastian kita: Barangsiapa
datang kepadaku, ia tidak akan Kubuang (Yoh.6:37). Inilah jaminan keselamatan saya, bukan
didasarkan saya ini penting, saya adalah anak Allah. Jangan pernah mendasarkan jaminan
keselamatan Anda kepada segala sesuatu yang lain selain Allah.

Anda mungkin juga menyukai